Anda di halaman 1dari 11

INFO QARDHAWI

update fatwa dan berita qardhawi

 
 PROFIL QARDHAWI
 BERITA TERBARU
 FATWA
 RESENSI BUKU
Home resensi buku Ringkasan Buku Fiqh Ikhtilaf Yusuf Qardhawi
Ringkasan Buku Fiqh Ikhtilaf Yusuf Qardhawi
Hatta Syamsuddin 15.34 resensi buku
MUKADDIMAH
Wajar jika Islam menghadapi musuh dari luar, sesuai sunnatut tadaafu‘(sunnah
pertarungan) antara ynag haq dan yang bathil. Sebagaimana ketetapan Allah pada surat Al
Furqan 31 yang artinya,“Demikianlah, telah Kami adakan bagi tiap-tiap nabi, musuh dari
orang-orang yang berdosa.“

Yang perlu dikhawatirkan adalah jika musuh itu datang dari dalam tubuh Islam sendiri,
gerakan Islam yang satu dengan gerakan Islam lainnya. Perbedaan yang terlalu dibesarkan
dan dipermasalahkan dan menimbulkan perpecahan. Oleh sebab itu kita sangat
memerlukan kesadaran yang mendalam mengenai apa yang disebut Fiqhul Ikhtilaf.

Ia merupakan salah satu dari 5 fiqh;


a. fiqhul maqashid(sasaran), membahas ttg sasaran syari’At dalam segal aspek kehidupan
b. fiqhul aulawiyat, skala prioritas
c. fiqhus sunnah, sunnah kauniaah dan ijtima’iah.
d. Fiqhul muwazanah bainal mushalih wal mafasid,, pertimbangan antara kemashalatan
dan kemudharatan
e. Fiqhul ikhtilaf, perbedaan pendapat.

PENDAHULUAN
Macam-macam dan sebab ihtilaf atau perselisihan:

A. Faktor akhlaq.
Diantaranya antara lain karena:
- membanggakan diri dan kagum pendapat sendiri
– buruk sangka dan mudah menuduh orang tanpa bukti
– egoisme dan mengikuti hawa nafsu
– fanatik kepada pendapat orang, mazhab atau golongan
– fanatik kepada negeri, daerah, partai, jama’ah atau pemimpin

Kesemuanya ini akhlaq yang tercela dan hal yang mencelakakan. Kita wajib menghindari
sifat-sifat tersebut.

B. Faktor Pemikiran
Timbul karena perbedaan sudut pandang mengenai suatu masalah.
- masalah ilmiah, perbedaan menyangkut cabang syari’At dan beberaa maslah aqidah yang
tidak menyentuh prinsip-prinsip pasti
- masalah alamiah, perbedaan mengenai sikap politik dan pengabilan keputusan atas
berbagai masalah
- masalah politk, perbedaan yang bersifat politis dan fiqhi
- Ikhtilaf fikriah, perbedaan pandangan mengenai penilaian terhadap sebagian ilmu
pengetahuan atau mengenai penilaian terhadap sebagian peristiwa sejarah.

Perbedaan yang terbesar umumnya adalah mengenai fiqhi dan aqidah.

BAGIAN PERTAMA
PERSATUAN ADALAH KEWAJIBAN, PERPECAHAN ADALAH DOSA
I. PERSATUAN ADALAH SUATU KEWAJIBAN ISLAM
Sasaran kerja para da’i dan aktivitas Islam adalah persatuan, ta’liful qulub, kerapihan dan
kekokohan barisan. Kita harus menjauhi perselisihan dan perpecahan serta menghindari
segal hal yang dapat memecahbelah jama’ah. Perselisihan akan menimbulkan kerusakan
pada hubungan baik sesama saudara dan melemahkan agama, ummat dan dunia.

AL Qur’an Surat Ali Imran 100 – 107 merupakan ajakan serius kepada persatuan
pandangan hidup dan kesatuan barisan Muslim diatas landasan Islam. Ayat-ayat tersebut
mengandung:
a. peringatan agar berhati-hati terhadap intrik-intrik orang-orang di luar Islam
b. mengungkapkan bahwa perstauan merupakan buah keimanan dan perpecahan adalah
buah kekafiran.
c. Berpegang teguh pada tali Allah, dari semua pihak merupakan asaaas persatuan dan
kesatuan kaum Muslimin. Tali Allah adalah Islam dan Al Qur’an.
d. Mengingatkan bahwa ukhuwah imaniyah, setelah beraneka permusuhan dan
peperangan Jahiliah, merupakan nikmat terbesar sesuah nikmat iman.
e. Tidak ada sesuatu yang dapat mempersatukan ummat kecuali jika ummat memiliki
sasaran besar dan risalah yang diperjuangkan.. Dan tidak ada sasaran yang lebih besar
selain dakawah kepada kebaikan yang dibawa oleh Islam
f. Sejarah telah mencatat bahwa orang-orang sebelum kita telah berpecah-belah dan
berselisih dalam masalah agama, kemudian mereka binasa, walaupun mereka telah
mendapatkan penjelasan dan pengetahuan dari Allah sebelumnya.

Dalam Al Qur’an dijelaskan mengenai ukhuwah (Al Hujurat 10) dan sejumlah adab dan
akhlak utama (AL Hujurat 11 – 12). Juga sangat mengecam perpecahan (AL An’am 65, Al
An’am 159, Asy Syura 13)
Dalam As sunnah juga banyak sekali menyinggung masalah ini. As sunnah mengajak
kepada kehidupan jama’ah, persatuan, mengecam tindakan nyeleneh dan perpecahaan,
mengajak kepada ukhuwah dan mahabbah. As sunnah mencela permusuhan dan
perselisihan.

"Penyakit ummat sebelum kamu telah menjangkit kepada kalian; kedengkian dan
permusuhan. Permusuhan adalah pencukup, Aku tidak mengatakan mencukur rambut
tetapi pencukur agama. Demi Dzat yang diriku berada di tengahtengahNya, kalian tidak
akan masuk surga sampai kalian beriman dan kalian tidak beriman sampai kalian saling
mencintai."(HR Tirmidzi)

ISLAM MEMBENCI PERPECAHANIslam sangat membenci perpecahan dan perselisihan


sampai Rasulullah SAW memerintahkan kepada orang yang sedang membaca Al Qur’an
agar menghentikan bacaanya jika bacaannya itu akan mengakibatkan perpecahan.

"Bacalah AL Qur’an selama bacaan itu dapat menyatukan hati kalian, tetapi jika kalian
berselisih makan hentikanlah bacaan itu." (HR Bukhari & Muslim)

Kendati keutamaan membaca Al Qur’an sangat besaar,namun Nabi SAW tidak


mengizinkan membacanya jika bacaan itu membawa kepada perselisihan dan
pertentangan. Jika perselisihan mengangkut pemahaman makna maka harus dibaca
dengan berpegang teguh kepada pemahaman dan pengertian yang akan menumbuhkan
kesatuan.

Jika terjadi perselisihan atau timbul suatu keraguaan maka hendaklah bacaan itu
ditinggalkan dan berpegang teeguh pada yang Muhkam yang akan membawa persatuan.

MENGAPA HARUS MENJAGA PERSATUAN DAN KESATUAN?Manfaat dan pengaruh


positifnya sangat banyak, antara lain:
1. memperkuat orang-orang yang lemah dan menambah kekuatan bagi yang sudah kuat.
2. Merupakan benteng pertahanan dari ancaman kehancuran.

II. PERPECAHAN UMMAT BUKAN SUATU KELAZIMAN


Ada yang berpendapat bahwa perpecahan adalah lazim (umum, dianggap biasa dan
merupakan ketetapan yang telah ditetapkan Allah, dengan alasan:
1. Adanya sejumlah hadits yang mengabarkan bahwa Allah menimpakan keganasan
sebagian Ummat kepada sebagian yang lain
"Aku meminta kepada Allah tiga hal lalu Dia memberiku dua hal dan menolak yang satu.
Aku meminta kepada Allah agar membinasakan ummatku dengan bencana kelaparan lalu
Dia mengabulkannya. Aku meminta-Nya agar tidak membinasakan Ummatku dengan
bencana banjir lalu Dia mengabulkannya. Dan aku meminta-Nya agar tidak menimpakan
keganasan sebagian ummatku kepada sebagian yang lain tetapi Dia menolak permintaanku
ini." HR Muslim, Dan hadits-hadits lainnya yang serupa

Hadits itu dan juga hadits lainnya yang semakna menunjukkan bahwa Allah menjamin 2 hal
bagi umat Nabi-Nya, yaitu:
a. Allah tidak akan membinasakan Ummat Nabi SAW dengan bencana yang pernah
ditimpakan kepada ummat-ummat terdahulu
b. Allah tidak akan menguasakan musuh atas mereka sampai kepada batas menindas dan
melenyapkan eksistensi mereka sama sekali.

Permintaan Nabi SAW agar Allah tidak menimpakan perpecahan kepada ummat ini ditolak.
Artinya persoalan tsb diserahkan kepada sunnah kauniyah, sunnah ijtima’iah dan hukum
sebab akibat lainnya. Dalam hal ini ummat ini berkuasa penuh atas dirinya. Allah tidak
memaksakan sesuatu kepadanya dan tidak pula memberi kekhususan.

Semua tergantung dari ummat itu sendiri apakah menyambut perintah Rabbnya, perintah
Nabinya, menyatukan kalimat, merapikan barisan dan berhasil merebut kemenangan atas
musuh Allah. Atau berpecah belah dan dikuasai musuh.

Hadits tersebut tidak mengisyaratkan bahwa perpecahan adalah lazim, karena banyak
justru ayat-ayat Al Qur’an yang melarang mengecam perpecahan.

2. Hadits tentang perpecahan Ummat menjadi 73 golongan


Hadits ini tidak termasuk dalam Bukhari dan Muslim, yang berarti hadits ini tidak shahih
menurut salah satu syarat dari keduanya.

Sebagian riwayat lain tdak menyebutkan tambahan ,“Semua golongan akan masuk neraka
kecuali satu.“. Hadits tersebut diriwayatkan oleh Abu Dawud, Tirmidzi, AL Hakim, Ibnu
Majah dan Ibnu Hibban. Akan tetapi perawinya Muhammad bin Amer, dinilai sebagai orang
yang jujur tapi banyak kelemahannya
Sedang hadits yang dengan tambahan, diriwayatkan oleh Abdullah bin Amer, Mu’awiyah,
Auf bin Malik dan Anas ra. Tapi semuanya bersanad lemah.

Hadits tersebut dengan tambahannya dapat menimbulkan perpecahan dan menyesatkan


dan saling mengkafirkan kalangan ummat Islam. Oleh karena itu beberapa ulama menolak
hadits tersebut baik dari segi sanad maupun makna.
Abu Muhammad Ibnu Hazm mengatakan bahwa tambahan ini adalah palsu.

BAGIAN KEDUA
LANDASAN PEMIKIRAN BAGI FIQHUL IKHTILAF
I. PERBEDAAN MASALAH FURU‘: KEMESTIAN; RAHMAT DAN KELELUASAAN
Upaya penyatuan adalah suatu hal yang tidak mungkin, malahan akan mempeluas
perbedaan itu sendiri dan perselisihan. Upaya-upaya seperti itu hanya menunjukkan
kedunguan. Perbedaan merupakan suatu kemestian dan tidak dapat dihindari.

Antara lain dapat disebabkan karena:


a. tabi’at agama, adanya ayat-ayat mutasyabihat yang memang menuntut kita untuk
berijtihad
b. tabi’at bahasa, adanya pemahaman yang berbeda dari makna yang terkandung.
c. tabi’at manusia, yang diciptakan berbeda-beda dan memiliki kepribadian, tabi’at,
pemikiran sendiri-sendiri. Hal ini merupakan perbedaan macam atau variasi dan bukan
merupakan perbedaan yang mengarah ke pertentangan
d. tabi’at alam dan kehidupan; alam diciptakan bervariasi dan berbeda-beda.
Perselisihan yang ditolerir: ketika seseorang melakukan amal perbuatan yang didasarkan
pada hujjah atau pengetahuan orang sebagai dasar untuk melakukannya tanpa disertai
permusuhan dan celaan kepada orang yang berbeda dengannya.

Perbedaan yang tercela:


- yang bermotif pembangkangan, kedengkian, dan mengikuti hawa nafsu.
- yang mengakibatkan perpecahan dan permusuhan ummat

II. MENGIKUTI MANHAJ PERTENGAHAN DAN MENINGGALKAN SIKAP BERLEBIHAN


DALAM AGAMA
Mengikuti manhaj pertengahan yang mencerminkan tawazun atau keseimabngan dan
keadilan, jauh dari sikap berlebihan atau mengurangi ajaran.

Hadits Rasulullah SAW,“Binasalah orang-orang yang berlebihan“. Orang-orang ynag


berlebihan ini menurut Imam Nawawi adalah orang yang ucapan dan perbuatan mereka
terlalu dalam dan melampaui batas.

Ciri lainnya adalah selalu memperbanyak pertanyaan yang hanya akan menghasilak
kesusahan dan kesempitan. Prinsip umum dari shahabiyah ra adalah tashil/memudahkan
dan musamahah/toleransi.

III. MENGUTAMAKAN MUHKAMAT BUKAN MUTASYABIHAT


Berdasarkan surat Ali Imran 7. Apabila ayat-ayat muhkamat ditinggalkan makan terbukalah
pintu erdebatan dan perbantahan. Rasulullah SAW mengecam tindakn mempertentangkan
satu ayat al Qur’an dan ayat lainnya dan tidka mengembalikan ayat mutasyabihat kepada
ayat-ayat muhkamat.

Tindakan mempertentangkan satu ayat dengan ayata yang lin biasanya terjadi karena
mengikuti ayat-ayat mutasyabihat yang bergam penunjukkannya dan nampak secara
lahiriah saling bertentangan. Jika dikembalikan kepada ayat-ayat muhkamat niscaya
pertentangan akan sirna.

IV. TIDAK MEMASTIKAN DAN MENOLAK DALAM MASALAH-MASALAH IJTIHADIAH


Para ulama kita menegaskan tidak boleh ada penolakan dari seseorang kepada orang lain
dalam masalah ijtihadiah.
V. MENELA’AH PERBEDAAN PENDAPAT PARA ULAMA
Agar kita mengetahui beragamnya mazhab dan bervariasinya sumber pengambilan, juga
sudut pandang dan dalil-dalil yang mendasarinya. Hal ini membantu lahirnya sikap toleransi
dan tenggang rasa.

Yang penting diingat adalah tidak mengagumi pendapat sendiri dan tidak mencela
pendapat orang lain.

VI. MEMBATASI PENGERTIAN DAN ISTILAH


Kita harus membatasi beberapa pemahaman yang menjadi sebab terjadinya perselisihan
itu. Seringkali suatu istilah dipertengtangkan dengan sengit. Harus dibatasi. Diluruskan,
dijelaskan pemahamannya agar tidak disalahpahami oleh orang-orang yang dapat
mengakibatkan vonis sesat dan menyesatkan.

VII. MENGGARAP MASALAH BESAR YANG DIHADAPI UMMAT


Ummat memiliki permasalahan yang lebih besar dibandingkan harus mempermasalahkan
perbedaan yang ada. Apabila kita sepaham mengenai masalah besar yna gkita hadapai
dan menjadikan cita-cita bersama dan tujuan kita bersama, niscaya perbedaan yang ada
tidak akan diperbesarkan dan dipersilisihkan.

Sebaiknya energi dan pikiran kita dipusatkan ke situ, antara lain:


- IPTEK
- Sosial ekonomi
- Politik
- Ghazwul fikri
- Zionisme
- Perpecahan dan sengketa di Dunia Arab dan Islam
- Dekandensi moral

VIII. BEKERJASAMA DALAM MASALAH YANG DISEPAKATI


Masalah khifafiah hendaknya tidak dibesar-besarkan sehingga menghabiskan dan
menguras waktu dan tenaga. Persoalan kaum muslimin bukanlah terletak pada perbedaan
masalah-masalah khilafiah yang didasarkan pada ijtihad, akan tetapi terletak pada tidak
difungsikannya akal, pembekuan fikiran, pembisuan kehendak, pemasungan kebebasan,
perampasan hak asasi, pengabaian kewajiban, tersebarnya egoisme, pengabaian sunnah-
sunnah Allah ttg alam dan masyarakat, kesewenangan ata kebenaran dsb.nya

Masalah-masalah ummat yang bisa kita sepakati sangat banyak, sebaiknya kita
bekerjasama menyelesaikannya.

IX. SALING TOLERANSI DALAM MASALAH YANG DIPERSELISIHKAN


Toleransi dlm masalah yang diperselisihkan dapat dilakukan jika kita tidak fanatik terhadap
satu pendapat yang bertentangan dengan pendapat yang lain.

Prinsipnya;
- menghormati pendapat orang lain
- menyadari kemungkinan beragamnya kebenaran
- kesadaran dan kenyataan bahwa berbagai perselisihan yang kita saksikan bukan ttg
hukum syar’i

X. MENAHAN DIRI DARI ORANG YANG MENGUCAPKAN „LAA ILAAHA ILLALLAAH“


Tindakan yang paling berbahaya yang dapat menghancurkan persatuan ummat ialah
takfir/pengkafiran sesama muslim.

Rasulullah SAW mengecam takfir ini dalam berbagai haditsnya, salah satu yang
diriwayatkan Ibnu Umar,"Apabila seseorang berkata kepada saudaranya,'wahai si kafir',
maka panggilan itu kembali kepada salah satu jika ia seperti apa yang dikatakan. Tetapi jika
tidak, maka panggilan itu akan kembali kepada yang mengucapkan.“

Dalam hadits lain,“ Barangsiapa menuduh kafir seorang Mu’min maka ia seperti
membunuhnya.“

Sumber : http://catatanhati.blogsome.com/2003/01/20/fiqh-perbedaan/

Fiqh Aulawiyat dan Fiqh Muwazanat


0

Diposkan oleh CahAngon on 02 Maret 2012 , in Tarbiyah, Tokoh, Tsaqofah


Seseorang sahabat bertanya melalui SMS kepada saya, bagaimanakah prinsip-prinsip menetapkan
prioritas kegiatan ? Pertanyaan kecil ini mengingatkan saya kepada “kajian lama” tentang Fikih
Prioritas dan Fikih Pertimbangan. Maka saya menemukan pula “buku lama” dan “catatan lama”,
rasanya tetap aktual untuk dihadirkan dalam zaman kekinian.
Fiqh Aulawiyat (Fikih Prioritas), menurut Dr. Yusuf Qardhawi, adalah fikih “meletakkan segala
sesuatu pada peringkatnya dengan adil, dari segi hukum nilai dan pelaksanaannya”. Sehingga
sesuatu yang tidak penting tidak didahulukan atas sesuatu yang penting. Sesuatu yang penting tidak
didahulukan atas sesuatu yang lebih penting. Sesuatu yang tidak kuat (marjuh) tidak didahulukan
atas sesuatu yang kuat (rajih). Sesuatu yang biasa-biasa saja tidak didahulukan atas sesuatu yang
utama atau paling utama.

Allah Ta’ala telah berfirman :


“Dan Allah telah meninggikan langit dan Dia meletakkan neraca (keadilan). Supaya kamu jangan
melampaui batas tentang neraca itu, dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah
kamu mengurangi neraca itu” (Ar Rahman: 7-9).
Sedangkan Fiqh Muwazanat (Fikih Pertimbangan) adalah fikih untuk memberikan pertimbangan
untuk memilih (1) antara berbagai kemaslahatan dan manfaat dari berbagai kebaikan yang
disyariatkan (2) antara berbagai bentuk kerusakan, madharat dan kejahatan yang dilarang agama
(3) antara maslahat dan kerusakan, antara kebaikan dan kejelekan, apabila keduanya bertemu.
Pada akhirnya Fikih Pertimbangan memerlukan Fikih Prioritas, dan sebaliknya, karena keduanya
memang berhubungan dengan erat.
PRINSIP-PRINSIP PENERAPAN FIKIH MUWAZANAT
Pertama, pertimbangan untuk memilih antara berbagai kemaslahatan
Kaidah yang digunakan untuk memilih antara berbagai kemaslahatan, adalah sebagai berikut:
Mendahulukan kepentingan yang sudah pasti atas kepentingan yang baru diduga adanya, atau baru
diragukan.
Mendahulukan kepentingan yang besar atas kepentingan yang kecil.
Mendahulukan kepentingan jama’ah atas kepentingan pribadi.
Mendahulukan kepentingan yang banyak atas kepentingan yang sedikit.
Mendahulukan kepentingan yang berkesinambungan atas kepentingan sementara dan insidental.
Mendahulukan kepentingan inti dan fundamental atas kepentingan yang bersifat formalitas dan tidak
penting.
Mendahulukan kepentingan masa depan yang kuat atas kepentingan kekinian yang lemah.
Kedua, pertimbangan untuk memilih antara berbagai kemudharatan
Kaidah yang digunakan untuk menentukan pilihan antara berbagai kemudharatan adalah sebagai
berikut:
Tidak ada bahaya dan tidak boleh membahayakan.
Suatu bahaya sedapat mungkin harus disingkirkan.
Suatu bahaya tidak boleh disingkirkan dengan bahaya yang sepadan atau lebih besar.
Memilih bahaya atau keburukan yang lebih ringan dibandingkan bahaya atau keburukan lainnya.
Memilih menanggung bahaya yang lebih rendah untuk menolak bahaya yang lebih tinggi.
Memilih menanggung bahaya yang khusus untuk menolak bahaya yang lebih luas dan umum.
Ketiga, pertimbangan untuk memilih antara kemaslahatan dan kemudharatan apabila keduanya
bertemu
Kaidah-kaidah penting untuk memilih antara kebaikan dan keburukan apabila keduanya bertemu
adalah sebagai berikut:
Menolak kerusakan didahulukan atas mengambil kemanfaatan.
Kerusakan kecil ditolerir untuk memperoleh kemaslahatan yang lebih besar.
Kerusakan yang bersifat sementara ditolerir untuk kemaslahatan yang berkesinambungan.
Kemaslahatan yang sudah pasti tidak boleh ditinggalkan karena adanya kerusakan yang baru
diduga adanya.
BAGAIMANA MENGETAHUI KEMASLAHATAN DAN KEMUDHARATAN ?
Dr. Yusuf Qardhawi menjelaskan, “Kebaikan dan kerusakan di dunia serta di akhirat hanya dapat
diketahui melalui syariat agama. Jika ada hal-hal yang belum diketahui, maka harus dicari dari dalil-
dalil agama, yaitu Al Qur’an, As Sunnah, Ijma’, Qiyas yang benar dengan cara pengambilan dalil
yang shahih”.
Masih menurut Dr. Qrdhawi, “Sedangkan kemaslahatan dunia dan hal-hal yang berkaitan
dengannya dapat diketahui dengan kepentingan, pengalaman, kebiasaan, dan dugaan yang benar.
Jika ada sesuatu yang masih belum diketahui maka harus dicari argumennya”.
PRINSIP-PRINSIP PENERAPAN FIKIH AULAWIYAT
Memprioritaskan kualitas atas kuantitas
Memprioritaskan ilmu atas amal
Memprioritaskan amal yang luas kemanfaatannya atas amal yang kurang luas kemanfaatannya
Memprioritaskan amal hati atas amal anggota badan
Memprioritaskan hal yang ushul (pokok) atas furu’ (cabang)
Memprioritaskan pengerjaan Fardhu atas Sunnah dan Nawafil
Memprioritaskan Fardhu Ain atas Fardhu Kifayah
Memprioritaskan meninggalkan yang haram atas yang makruh
Memprioritaskan hak hamba atas hak Allah semata
Memprioritaskan hak umat atas hak individu
Memprioritaskan wala’ terhadap kepada umat atas wala’ kepada kabilah dan individu
Memprioritaskan memperbaiki diri sebelum memperbaiki sistem
Memprioritaskan pembinaan (tarbiyah) sebelum jihad
Rujukan: Dr. Yusuf Qardhawi, Fiqh Prioritas, Sebuah Kajian Baru Berdasarkan Al Qur’an dan As
Sunnah, Robbani Press, Jakarta, 1996.
Sumber : http://cahyadi-takariawan.web.id/?p=2242

Share This Post

Anda mungkin juga menyukai