Anda di halaman 1dari 2

DALIL HARAMNYA

POLIANDRI
Wednesday, 07 February 2007
DALIL HARAMNYA POLIANDRI

Tanya : Ustadz, apa dalil dilarangnya poliandri? Soalnya ada feminis yang tanya saya

Jawab :

Poliandri adalah pernikahan seorang perempuan dengan lebih dari satu suami (Lihat :
http://en.wikipedia.org/wiki/Polygyny). Hukum poliandri adalah haram berdasarkan Al-Qur`an dan As-
Sunnah.

Dalil Al-Qur`an, adalah firman Allah SWT :

"dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki ."
(QS An-Nisaa` [4] : 24)

Ayat di atas yang berbunyi "wal muhshanaat min al-nisaa` illa maa malakat aymaanukum" menunjukkan
bahwa salah satu kategori wanita yang haram dinikahi oleh laki-laki, adalah wanita yang sudah bersuami,
yang dalam ayat di atas disebut al-muhshanaat.

Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani berkata dalam an-Nizham al-Ijtima’i fi al-Islam (Beirut : Darul Ummah, 2003)
hal. 119 : "Diharamkan menikahi wanita-wanita yang bersuami. Allah menamakan mereka dengan al-
muhshanaat karena mereka menjaga [ahshana] farji-farji (kemaluan) mereka dengan menikah."

Pendapat tersebut sejalan dengan pendapat Imam Syafi’i yang menyatakan bahwa kata muhshanaat yang
dimaksud dalam ayat tersebut bukanlah bermakna wanita merdeka (al-haraa`ir), tetapi wanita yang
bersuami (dzawaatul azwaaj) (Al-Umm, Juz V/134).

Imam Syafi’i menafsirkan ayat di atas lebih jauh dengan mengatakan :

"Wanita-wanita yang bersuami –baik wanita merdeka atau budak— diharamkan atas selain suami-suami
mereka, hingga suami-suami mereka berpisah dengan mereka karena kematian, cerai, atau fasakh nikah,
kecuali as-sabaayaa (yaitu budak-budak perempuan yang dimiliki karena perang, yang suaminya tidak ikut
tertawan bersamanya)… (bi-anna dzawaat al-azwaaj min al-ahraar wa al-imaa` muharramaatun ‘ala ghairi
azwaajihinna hatta yufaariquhunna azwajuhunna bi-mautin aw furqati thalaaqin, aw faskhi nikahin illa as-
sabaayaa…) (Imam Syafi’i, Ahkamul Qur`an, Beirut : Darul Kutub al-‘Ilmiyah, 1985, Juz I/184).

Jelaslah bahwa wanita yang bersuami, haram dinikahi oleh laki-laki lain. Dengan kata lain, ayat di atas
merupakan dalil al-Qur`an atas haramnya poliandri.

Adapun dalil As-Sunnah, bahwa Nabi SAW telah bersabda :

"Siapa saja wanita yang dinikahkan oleh dua orang wali, maka [pernikahan yang sah] wanita itu adalah bagi
[wali] yang pertama dari keduanya." (ayyumaa `mra`atin zawwajahaa waliyaani fa-hiya lil al-awwali
minhumaa) (HR Ahmad, dan dinilai hasan oleh Tirmidzi) (Imam Asy-Syaukani, Nailul Authar, hadits no.
2185; Imam Ash-Shan’ani, Subulus Salam, Juz III/123).
Hadits di atas secara manthuq (tersurat) menunjukkan bahwa jika dua orang wali menikahkan seorang
wanita dengan dua orang laki-laki secara berurutan, maka yang dianggap sah adalah akad nikah yang
dilakukan oleh wali yang pertama (Imam Ash-Shan’ani, Subulus Salam, Juz III/123).

Berdasarkan dalalatul iqtidha`1), hadits tersebut juga menunjukkan bahwa tidaklah sah pernikahan seorang
wanita kecuali dengan satu orang suami saja.

Makna (dalalah) ini –yakni tidak sahnya pernikahan seorang wanita kecuali dengan satu suami saja –
merupakan makna yang dituntut (iqtidha`) dari manthuq hadits, agar makna manthuq itu benar secara
syara’. Maka kami katakan bahwa dalalatul iqtidha` hadits di atas menunjukkan haramnya poliandri.

Dengan demikian, jelaslah bahwa poliandri haram hukumnya atas wanita muslimah berdasarkan dalil-dalil
al-Qur`an dan As-Sunnah yang telah kami sebutkan di atas. Wallahu a’lam [ ]

Yogyakarta, 7 Pebruari 2007

Muhammad Shiddiq al-Jawi

----

1) Dalalatul iqtidha` adalah makna yang tidak terucap dalam lafal teks ayat atau hadits, namun merupakan
keharusan makna yang mesti ada agar makna-makna lafal itu bernilai benar, baik bernilai benar karena
tuntutan akal maupun tuntutan syara’. Pembahasan dalalatul iqtidha` lebih mendalam dan contoh-contohnya
lihat kitab-kitab ushul fiqih (Imam Asy-Syaukani, Irsyadul Fuhul, hal. 178; Abdul Wahhab Khallaf, ‘Ilmu Ushul
Al-Fiqh, hal. 150; Syaikh al-Hudhari Bik, Ushul al-Fiqh, hal. 121; Wahbah az-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami,
Juz I/355; Taqiyuddin an-Nabhani, Asy-Syakhshiyah al-Islamiyah, Juz III/177; ‘Atha ibn Khalil, Taysir al-
Wushul ilaa al-Ushul, hal. 161).

Anda mungkin juga menyukai