Anda di halaman 1dari 13

Kawin lari yang dimaksud di sini bisa jadi berbagai macam pengertian.

Bisa jadi, tanpa wali nikah,


atau ada wali (tidak jelas) dan tidak ada izin dari wali sebenarnya. Ada juga kawin lari dengan
kumpul kebo, tinggal satu atap tanpa status nikah. Boleh jadi ketika hamil mereka menjalin
hubungan RT secara resmi. Yang kami bahas di sini adalah kawin lari, lalu menikah dengan wali
yang tidak jelas (asal copot), jadi sama saja tidak memakai wali. Dan yang wajib ada wali adalah si
wanita, bukan laki-laki.
Padahal wali memiliki urutan yang ditetapkan oleh para ulama. Seperti ulama Syafiiyah membuat
urutan:
Ayah
Kakek
Saudara laki-laki
Anak saudara laki-laki (keponakan)
Paman
Anak saudara paman (sepupu)
Dan pengertian wali wanita adalah kerabat laki-laki si wanita dari jalur ayahnya, bukan ibunya. Jika
masih ada kerabat yang lebih dekat seperti ayahnya, maka tidak boleh kerabat yang jauh seperti
paman menikahkan si wanita. Boleh saja jika si wali mewakilkan kepada orang lain (seperti si ayah
kepada paman) sebagai wali si wanita. Dan ketika itu si wakil mendapat hak sebagaimana wali.
Dan ingat, syarat wali adalah: (1) Islam, (2) laki-laki, (3) berakal, (4) baligh dan (5) merdeka (Lihat
Shahih Fiqh Sunnah, 3: 142-145).
Dalil-dalil yang mendukung mesti adanya wali wanita dalam nikah.
:






:



Dari Aisyah, ia berkata, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, Seorang wanita yang
menikah tanpa izin walinya maka pernikahannya adalah batiil, batil, batil. Dan apabila mereka
bersengketa maka pemerintah adalah wali bagi wanita yang tidak memiliki wali. (HR. Abu Daud
no. 2083, Tirmidzi no. 1102, Ibnu Majah no. 1879 dan Ahmad 6: 66. Abu Isa At Tirmidzi mengatakan
bahwa hadits ini hasan)

:

:

Dari Abu Musa Al Asyari berkata, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, Tidak sah
pernikahan kecuali dengan wali. (HR. Abu Daud no. 2085, Tirmidzi no. 1101, Ibnu Majah no. 1880
dan Ahmad 4: 418. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)














Dari Abu Hurairah, ia berkata, Wanita tidak bisa menjadi wali wanita. Dan tidak bisa pula wanita
menikahkan dirinya sendiri. Wanita pezina-lah yang menikahkan dirinya sendiri. (HR. Ad
Daruquthni, 3: 227. Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dan Syaikh Ahmad Syakir)
Imam Al Baghawi berkata, Mayoritas ulama dari kalangan sahabat Nabi dan sesudah mereka
mengamalkan kandungan hadits Tidak sah pernikahan kecuali dengan wali. Hal ini merupakan
pendapat Umar, Ali, Abdullah bin Masud, Abdullah bin Abbas, Abu Hurairah, Aisyah dan
sebagainya. Ini pula pendapat Said bin Musayyib, Hasan al-Bashri, Syuraih, Ibrahim An NakhaI,
Qotadah, Umar bin Abdul Aziz, dan sebagainya. Ini pula pendapat Ibnu Abi Laila, Ibnu Syubrumah,
Sufyan Ats Tsauri, Al Auzai, Abdullah bin Mubarak, Syafii, Ahmad, dan Ishaq (Syarh Sunnah, 9:
40-41).
Demikianlah keadaan sebagian pemuda, demi cinta sampai ingin mendapat murka Allah. Kawin lari
sama saja dengan zina karena status nikahnya tidak sah.
Adapun bentuk pernikahan terlarang lainnya bisa dilihat pada pembahasan Siapakah Mahrom
Anda? Keterangan dalam tulisan tersebut menunjukkan pula bentuk pernikahan yang terlarang.
Begitu pula silakan merujuk pula pada tulisan Nikah Beda Agama dan Menikahi Wanita
Hamil Karena Zina. Jadi pembahasan bentuk nikah yang terlarang kami anggap sudah selesai.
Alhamdulillah wa shalaatu wa salaamu ala Rosulillah wa ala aalihi wa shohbihi wa man tabiahum
bi ihsanin ila yaumid diin.
Fenomena yang menjamur di kalangan muda-mudi saat ini, yang sulit terelakkan lagi adalah
perzinaan, sebelum mendapat label sah sebagai pasangan suami istri. Hal ini sudah dianggap
biasa di tengah-tengah masyarakat kita. Si wanita dengan menahan malu telah memiliki isi dalam
perutnya. Namun masalah yang timbul adalah bolehkah wanita tersebut dinikahi ketika ia dalam
kondisi hamil? Lalu apa akibat selanjutnya dari perbuatan zina semacam ini.
Semoga artikel sederhana berikut ini bisa memberikan pencerahan kepada orang-orang yang ingin
mencari kebenaran. Hanya Allah yang beri taufik.
Bahaya Zina
Allahh Taala dalam beberapa ayat telah menerangkan bahaya zina dan menganggapnya sebagai
perbuatan amat buruk. Allah Taala berfirman,








Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji.
Dan suatu jalan yang buruk. (QS. Al Isro: 32)
Dalam ayat lainnya, Allah Taala berfirman,

Dan orang-orang yang tidak menyembah tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa
yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina,
barang siapa yang melakukan yang demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa(nya).
(QS. Al Furqon: 68). Artinya, orang yang melakukan salah satu dosa yang disebutkan dalam ayat ini
akan mendapatkan siksa dari perbuatan dosa yang ia lakukan.
Ada seseorang yang bertanya kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, Wahai
Rasulullah, dosa apa yang paling besar di sisi Allah? Beliau bersabda, Engkau menjadikan bagi
Allah tandingan, padahal Dia-lah yang menciptakanmu. Kemudian ia bertanya lagi, Terus apa
lagi? Beliau bersabda, Engkau membunuh anakmu yang dia makan bersamamu. Kemudian ia
bertanya lagi, Terus apa lagi? Beliau bersabda,


Kemudian engkau berzina dengan istri tetanggamu. Kemudian akhirnya Allah turunkan surat Al
Furqon ayat 68 di atas.[1] Di sini menunjukkan besarnya dosa zina, apalagi berzina dengan istri
tetangga.
Dalam hadits lainnya, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
















Jika seseorang itu berzina, maka iman itu keluar dari dirinya seakan-akan dirinya sedang diliputi
oleh gumpalan awan (di atas kepalanya). Jika dia lepas dari zina, maka iman itu akan kembali
padanya.[2]
Inilah besarnya bahaya zina. Oleh karenanya, syariat Islam yang mulia dan begitu sempurna
sampai menutup berbagai pintu agar setiap orang tidak terjerumus ke dalamnya. Namun itulah
yang terjadi jika hal ini dilanggar, akhirnya terjadilah apa yang terjadi. Terjerumuslah dalam dosa
besar zina karena tidak mengindahkan berbagai jalan yang dapat mengantarkan pada zina seperti
bentuk pacaran yang dilakukan muda-mudi saat ini. Jadilah di antara mereka hamil di luar nikah.
Hukum Menikahi Wanita Hamil Karena Zina
Ada beberapa fatwa ulama yang kami temukan, di antaranya adalah Fatwa Asy Syabkah Al
Islamiyah no. 9644 mengenai syarat menikahi wanita yang dizinai, tanggal Fatwa 23 Jumadil Ula
1422 H.
Pertanyaan:

.
Apakah boleh seseorang menikahi wanita yang dizinai dan ia tahu bahwa wanita tersebut betul
telah dizinai sebelum menikahinya. Ia ingin menutup aibnya dengan menikahinya karena wanita
tersebut masih kerabatnya. Aku ingin jawaban dari kalian mengenai hal ini. Apakah hal ini
mungkin? Syukron.
Jawaban:
:

)
[3: ( ]
. : : :

.
.

.
.
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam kepada Rasulullah, keluarga dan para sahabatnya.
Amma badu:
Mengenai hukum menikahi wanita yang telah dizinai, maka ada perbedaan pendapat di antara
para ulama. Sebagian ulama mengatakan bahwa menikahi wanita tersebut dinilai sah. Sebagian
ulama lainnya melarang hal ini. Di antara ulama yang melarangnya adalah Imam Ahmad. Pendapat
ini didukung kuat dengan firman AllahTaala,











Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan
yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina
atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas oran-orang yang mukmin. (QS. An
Nur: 3)
Jika seseorang mengetahui bahwa wanita tersebut adalah wanita yang telah dizinai, maka ia boleh
menikahi dirinya jika memenuhi dua syarat:
Pertama: Yang berzina tersebut bertaubat dengan sesungguhnya pada Allah Taala.
Kedua: Istibro (membuktikan kosongnya rahim).
Jika dua syarat ini telah terpenuhi, maka wanita tersebut baru boleh dinikahi. Dalil yang
mengharuskan adanya istibro adalah sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam,

Wanita hamil tidaklah disetubuhi hingga ia melahirkan dan wanita yang tidak hamil istibronya
(membuktikan kosongnya rahim) sampai satu kali haidh.[3][4]
Ringkasnya, menikahi wanita yang telah dizinai jika wanita tersebut betul-betul telah bertaubat
pada Allah dan telah melakukan istibro (membuktikan kosongnya rahim dari mani hasil zina),
maka ketika dua syarat ini terpenuhi boleh menikahi dirinya dengan tujuan apa pun. Jika tidak
terpenuhi dua syarat ini, maka tidak boleh menikahinya walaupun dengan maksud untuk
menutupi aibnya di masyarakat.Wallahu alam.[5] Demikian Fatwa Asy Syabkah Al Islamiyah-.
Simpulannya, konsekuensi dari menikahi wanita hamil adalah nikahnya tidak sah, baik yang
menikahinya adalah laki-laki yang menzinainya atau laki-laki lainnya. Inilah pendapat terkuat
sebagaimana yang dipilih oleh para ulama Hambali dan Malikiyah karena didukung oleh dalil yang
begitu gamblang. Bila seseorang nekad menikahkan putrinya yang telah berzina tanpa beristibra
terlebih dahulu, sedangkan dia tahu bahwa pernikahan itu tidak boleh dan si laki-laki serta si
wanita juga mengetahui bahwa itu adalah haram, maka pernikahannya itu tidak sah. Bila keduanya
melakukan hubungan badan maka itu adalah zina. Dia harus taubat dan pernikahannya harus
diulangi, bila telah selesai istibra dengan satu kali haidh dari hubungan badan yang terakhir atau
setelah melahirkan.
Status Anak Hasil Zina
Adapun nasab anak, ia dinasabkan kepada ibunya, bukan pada bapaknya. Nabishallallahu alaihi
wa sallam bersabda,





Anak dinasabkan kepada pemilik ranjang. Sedangkan laki-laki yang menzinai hanya akan
mendapatkan kerugian.[6]
Firasy adalah ranjang dan di sini maksudnya adalah si istri yang pernah digauli suaminya atau
budak wanita yang telah digauli tuannya, keduanya dinamakan firasykarena si suami atau si tuan
menggaulinya atau tidur bersamanya. Sedangkan makna hadits tersebut yakni anak itu
dinasabkan kepada pemilik firasy. Namun karena si pezina itu bukan suami maka anaknya tidak
dinasabkan kepadanya dan dia hanya mendapatkan kekecewaan dan penyesalan saja.
Inilah pendapat mayoritas ulama bahwa anak dari hasil zina tidak dinasabkan kepada bapaknya,
alias dia adalah anak tanpa bapak. Namun anak tersebut dinasabkan pada ibu dan keluarga
ibunya. Jika wanita yang hamil tadi dinikahi oleh laki-laki yang menzinainya, maka anaknya tetap
dinasabkan pada ibunya. Sedangkan suami tersebut, status anaknya hanyalah seperti robib (anak
tiri). Jadi yang berlaku padanya adalah hukum anak tiri. Wallahu alam.[7]
Bila seseorang meyakini bahwa pernikahan semacam ini (menikahi wanita hamil) itu sah, baik
karena taqlid (ngekor beo) kepada orang yang membolehkannya atau dia tidak mengetahui bahwa
pernikahannya itu tidak sah, maka status anak yang terlahir akibat pernikahan itu adalah anaknya
dan dinasabkan kepadanya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, Barangsiapa menggauli
wanita dengan keadaan yang dia yakini pernikahan itu sah, maka nasab (anak) diikutkan
kepadanya, dan dengannya berkaitanlah masalah mushaharah (kekerabatan) dengan kesepakatan
ulama sesuai yang kami ketahui. Meskipun pada hakikatnya pernikahan itu batil (tidak teranggap)
di hadapan Allah dan RasulNya, dan begitu juga setiap hubungan badan yang dia yakini tidak
haram padahal sebenarnya haram, (maka nasabnya tetap diikutkan kepadanya).[8]
Ringkasnya, anak hasil zina itu tidak dinasabkan kepada laki-laki yang menzinai ibunya (walaupun
itu jadi suaminya), konsekuensinya:
Anak itu tidak berbapak.
Anak itu tidak saling mewarisi dengan laki-laki itu.
Bila anak itu perempuan dan di kala dewasa ingin menikah, maka walinya bukan laki-laki tadi,
namun walinya adalah wali hakim, karena dia itu tidak memiliki wali.
Penutup
Setelah kita melihat pembahasan di atas. Awalnya hamil di luar nikah (alias zina). Akhirnya karena
nekad dinikahi ketika hamil, nikahnya pun tidak sah. Kalau nikahnya tidak sah berarti apa yang
terjadi? Yang terjadi adalah zina. Keturunannya pun akhirnya rusak karena anak hasil zina tidak
dinasabkan pada bapak hasil zina dengan ibunya. Gara-gara zina, akhirnya nasab menjadi rusak.
Inilah akibat dari perbuatan zina. Setiap yang ditanam pasti akan dituai hasilnya. Jika yang ditanam
keburukan, maka keburukan berikut pula yang didapat. Oleh karena itu, para salaf mengatakan,












Di antara balasan kebaikan adalah kebaikan selanjutnya dan di antara balasan kejelekan adalah
kejelekan selanjutnya.[9]
Semoga Allah senantiasa memberi taufik, memberikan kita kekuatan untuk menjalankan perintahNya dan menjauhi setiap larangan-Nya.
Diselesaikan di Pangukan-Sleman, 9 Rabiul Akhir 1431 H (bertepatan dengan 24/03/2010)
Terima kasih Mas Nugroho atas pertanyaan sangat luar biasa ini, jazaakallah.
1.Sebelumnya kita perlu melihat terlebih dahulu pendapat para ulama seputar hukum wali dalam
pernikahan perempuan. Para ulama dalam hal ini terbagi empat pendapat:
Pendapat pertama yaitu pendapatnya Jumhur ulama baik salaf maupun khalaf, di antaranya tiga
Imam Madzhab, Imam Malik, Imam Syafii dan Imam Ahmad bin Hanbal, mensyaratkan wali dalam
pernikahan seorang perempuan yang sudah dewasa dan berakal, baik dia gadis maupun janda.

Jumhur menilai, jika seorang perempuan yang menikah tanpa ada wali, maka pernikahannya tidak
sah.
Pendapat kedua, yaitu pendapatnya Abu Hanifah, Zufar, asy-Syabi dan Imam az-Zuhri
berpendapat bahwa wali bukanlah termasuk syarat sahnya pernikahan. Ia hanya sunnat saja
(dianjurkan). Artinya, menurut Imam Abu Hanifah, perempuan yang dewasa dan berakal sehat,
baik gadis maupun janda, jika menikah tanpa wali, maka nikahnya sah, namun tidak mendapatkan
pahala sunnat.
Pendapat ketiga, yaitu pendapatnya Imam Daud ad-Dzahiri, bahwa wali disyaratkan jika
perempuan yang hendak menikahnya itu adalah gadis, sedangkan jika ia janda maka tidak
disyaratkan.
Pendapat keempat, adalah pendapatnya Ibnu Sirin, al-Qasim bin Muhammad, al-Hasan bin Shalih,
juga Abu Yusuf, bahwa jika perempuan menikahkan dirinya tanpa wali, maka pernikahannya
diserahkan kepada keputusan wali. Jika walinya menyetujui dan merestui, maka pernikahannya
sah, namun jika walinya tidak menyetujui, maka tidak sah. Untuk lebih jelas pendapat-pendapat di
atas dalam dilihat dalam kitab al-Mughni karya Ibnu Qudamah, Bidyatul Mujtahid juga dalam
Badi ash-Shani.
Dari keempat pendapat di atas, pendapat Jumhur ulama, hemat saya, dan ini juga banyak diambil
oleh sebagian besar Negara-negara Islam, lebih kuat dan lebih sesuai dengan kemaslahatan si
wanita juga keluarganya, juga masyarakat muslim pada umumnya. Jumhur ulama berdalil, di
antaranya adalah bahwa dalam ayat-ayat al-Quran yang berbicara tentang perintah menikahkan
perempuan, seperti dalam surat an-Nur ayyat 32, juga al-Baqarah ayat 221, Allah menujukkan
pernikahan perempuan atau tidaknya kepada wali mereka. Ini artinya bahwa pernikahan mereka
tidak oleh mereka sendiri akan tetapi oleh walinya.
Di samping itu, banyak hadits yang lebih mempertegas lagi. Di antaranya adalah dua hadits
berikut ini:
[ )) (( ] :
Artinya: Dari Abu Musa, Rasulullah saw bersabda: Tidak sah nikah tanpa wali (HR. Abu Daud,
Turmudzi, Ibnu Majah dan Ahmad)
)) :
[ : ] .((
Artinya: Dari Aisyah, Rasulullah saw bersabda: Wanita mana saja yang menikah tanpa idzin dari
walinya, maka nikahnya batal, maka nikahnya batal, maka nikahnya batal. Jika ia berhubungan
badan dengan perempuan tersebut maka wanita itu berhak mendapatkan mahar, karena telah
halal berhubungan badan dengannya. Jika mereka berselisih, maka penguasa (hakim) adalah wali
bagi yang tidak mempunyai wali (HR. Turmudzi, Ibnu Majah dan Ahmad. Imam Turmudzi berkata:
Hadits ini Hasan).
Kedua hadits di atas dipadang shahih oleh sebagian besar ulama hadits, termasuk ulama hadits
belakangan yang terkenal ketat dalam menilai hadits yaitu Syaikh Albany. Ini di antara dalil
pendapat Jumhur ulama. Dengan demikian, wali adalah di antara syarat sah pernikahan.
Perempuan yang menikah tanpa wali, menurut Jumhur, pernikahannya tidak sah.
Lalu kapan wali hakim berperan? Wali hakim berfungsi bagi wanita yang tidak mempunyai wali.
Misalnya jika seluruh walinya sudah meninggal dunia, atau wanita yang masuk Islam sementara
ayah atau wali lainnya bukan muslim.
Selain itu, wali hakim juga dapat berfungsi jika seluruh wali perempuan menolak (wali adhal)
menikahkan perempuan tersebut sementara perempuan tersebut berakal sehat, juga baligh, serta
calon suaminya satu kufu (satu level dengan keadaan si perempuan, terutama dalam hal
agamanya). Jika seluruh wali menolak dalam keadaan di atas, maka seluruh ulama sepakat wali
berpindah kepada hakim.
Demikian juga, menurut Hanafiyyah, Malikiyyah dan Syafiiyyah, jika seorang wali menolak
menikahkan perempuan berakal, dewasa dan calon suaminya itu sekufu, maka walinya berpindah
kepada Wali Hakim. Sedangkan menurut Hanabilah, dalam kasus terakhir ini, kewaliannya
berpindah kepada wali yang lebih jauh.
Dari sini nampak, bahwa wali hakim tidak dapat berfungsi kecuali jika tidak ada wali atau wali
tersebut menolak menikahkan putrinya padahal memenuhi syarat-syarat di atas.
Apabila dalam kasus di atas, wali menolak menikahkan perempuan tersebut tanpa alasan yang
benar, tidak syari, padahal si wanita sudah dewasa, berakal sehat dan calonnya adalah baik
agamanya juga satu kufu, maka jumhur membolehkan untuk menikah dengan wali hakim. Hanya
perlu diingat, bahwa syarat-syarat di atas tidak boleh dilihat subjektif. Anda perlu mengetahui
alasan orang tua, juga mendengar nasihat keduanya. Penolakan mereka, pasti demi kebaikan
putrinya, bukan semata-mata karena factor lain.
Oleh karena itu, saya secara pribadi tidak membenarkan seorang perempuan, bagaimanapun
keadaannya untuk nikah lari tanpa ada idzin dari orang tua khususnya walinya. Karena, orang tua,
umumnya jauh lebih mengetahui kemaslahatan putra putrinya. Betapa banyak mereka yang yakin
dengan pilihannya, lalu dia kawin lari tanpa izin walinya, lalu setelah menikah ia menyesali
perbuatannya, dan mengakui kebenaran alasan orang tuanya. Sekali lagi, untuk para wanita, izin
orang tua sangatlah perlu dan harus, karena bukan semata untuk masalah sah tidaknya

pernikahan, akan tetapi keberkahan setelah pernikahannya. Izin orang tua adalah kunci
keberkahan dan kebahagiaan.
Demikian juga untuk orang tua, khususnya para wali, tidak dibenarkan menghalang-halangi
putrinya untuk menikah dengan seseorang yang menjadi pilihannya selama dia baik, sekufu, juga
putrinya itu telah dewasa. Karena wali yang menghalang-halangi tersebut (wali adhal) dibenci oleh
Allah. Allah berfirman:



Artinya: Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, maka janganlah kamu
(para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat
kerelaan di antara mereka dengan cara yang maruf. (QS. Al-Baqarah: 232).
Hukum Nikah Siri
Pertanyaan:
Assalamualaikum
Saya Adi, saya ingin menanyakan perihal nikah siri. Saya memiliki kekasih, selang beberapa lama
menjalani hubungan dengan kekasih saya, saya mulai berpikir untuk menghalalkan hubungan kami
dengan menikah secara siri agar ketika saya mengajak kekasih saya ke mana saja tanpa ada rasa
berdosa karena belum mahramnya. Saya masih kuliah dan orang tua saya pun belum menyetujui
apabila kita menikah karena saya belum menyelesaikan kuliah saya.
Kemudian terbesit dalam pikiran saya untuk menikah siri secara diam-diam tanpa sepengetahuan
orang tua. Saya ingin mendatangkan wali dari pihak wanita namun ayah dari kekasih saya telah
meninggal. Pertanyaanya :
1. Apakah boleh penghulu yang menikahkan kami menjadi wali dari pihak wanita? (karena ayah
dari pihak wanita telah meninggal)
2. Apakah hukumnya menikah tanpa sepengetahuan dari orang tua dari pihak laki-laki dan ibu dari
pihak wanita?
Dari: Adi Yanuar
Jawaban:
Waalaikumussalam
Nikah siri Menurut presepsi masyarakat dipahami dengan dua bentuk pernikahan :
Nikah tanpa wali yang sah dari pihak wanita.
Nikah di bawah tangan, artinya tanpa adanya pencatatan dari lembaga resmi negara (KUA).
Nikah siri dengan pemahaman yang pertama, statusnya tidak sah, sebagaimana yang ditegaskan
mayoritas ulama. Karena di antara syarat sah nikah adalah adanya wali dari pihak wanita. Di
antara dalil yang menegaskan haramnya nikah tanpa wali adalah:
Pertama, hadis dari Abu Musa Al-Asyari radhiallahu anhu, bahwa Nabi shallallahu alaihi wa
sallam bersabda,



Tidak ada nikah (batal), kecuali dengan wali. (HR. Abu Daud, turmudzi, Ibn Majah, Ad-Darimi, Ibn
Abi Syaibah, thabrani, dsb.)
Kedua, hadis dari Aisyah radhiallahu anha, bahwa nabi shallallahu alaihi wa sallambersabda,









Wanita manapun yang menikah tanpa izin wali, maka nikahnya batal. (HR. Ahmad, Abu daud,
dan baihaqi)
Dan masih banyak riwayat lainnya yang senada dengan keterangan di atas, sampai Al-Hafidz Ibn
Hajar menyebutkan sekitar 30 sahabat yang meriwayatkan hadis semacam ini. (At-Talkhis AlHabir, 3:156)
Kemudian, termasuk kategori nikah tanpa wali adalah pernikahan dengan menggunakan wali yang
sejatinya tidak berhak menjadi wali. Beberapa fenomena yang terjadi, banyak di antara wanita
yang menggunakan wali kiyai gadungan atau pegawai KUA, bukan atas nama lembaga, tapi murni
atas nama pribadi. Sang Kyai dalam waktu hitungan menit, didaulat untuk menjadi wali si wanita,
dan dilangsungkanlah pernikahan, sementara pihak wanita masih memiliki wali yang sebenarnya.
Keterangan tentang urutan siapa saja yang berhak menjadi wali, telah dijelaskan di:
https://konsultasisyariah.com/urutan-wali-nikah/
Jika nikah siri dipahami sebagaimana di atas, maka pernikahan ini statusnya batal dan wajib
dipisahkan. Kemudian, jika keduanya menghendaki untuk kembali berumah tangga, maka harus
melalui proses pernikahan normal, dengan memenuhi semua syarat dan rukun yang ditetapkan
syariah.
Selanjutnya, jika yang dimaksud nikah siri adalah nikah di bawah tangan, dalam arti tidak
dilaporkan dan dicatat di lembaga resmi yang mengatur pernikahan, yaitu KUA maka status
hukumnya sah, selama memenuhi syarat dan rukun nikah. Sehingga nikah siri dengan pemahaman
ini tetap mempersyaratkan adanya wali yang sah, saksi, ijab-qabul akad nikah, dst.
Hanya saja, pernikahan semacam ini sangat tidak dianjurkan, karena beberapa alasan:

Pertama, pemerintah telah menetapkan aturan agar semua bentuk pernikahan dicatat oleh
lembaga resmi, KUA. Sementara kita sebagai kaum muslimin, diperintahkan oleh Allah untuk
menaati pemerintah selama aturan itu tidak bertentangan dengan syariat. Allah berfirman,









Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah, taatlah kepada Rasul, dan pemimpin
kalian. (QS. An-Nisa: 59)
Sementara kita semua paham, pencatatan nikah sama sekali tidak bertentangan dengan aturan
Islam atau hukum Allah.
Kedua, adanya pencatatan di KUA akan semakin mengikat kuat kedua belah pihak. Dalam
Alquran, Allah menyebut akad nikah dengan perjanjian yang kuat ( ) , sebagaimana yang
Allah tegaskan di surat An-Nisa: 21.
Nah, surat nikah ditujukan untuk semakin mewujudkan hal ini. Dimana pasangan suami-istri
setelah akad nikah akan lebih terikat dengan perjanjian yang bentuknya tertulis. Terlebih kita hidup
di zaman yang penuh dengan penipuan dan maraknya kezhaliman. Dengan ikatan semacam ini,
masing-masing pasangan akan semakin menunjukkan tanggung jawabnya sebagai suami atau
sebagai istri.
Ketiga, pencatatan surat nikah memberi jaminan perlindungan kepada pihak wanita.
Dalam aturan nikah, wewenang cerai ada pada pihak suami. Sementara pihak istri hanya bisa
melakukan gugat cerai ke suami atau ke pengadilan. Yang menjadi masalah, terkadang beberapa
suami menzhalimi istrinya berlebihan, namun di pihak lain dia sama sekali tidak mau menceraikan
istrinya. Dia hanya ingin merusak istrinya. Sementara sang istri tidak mungkin mengajukan gugat
cerai ke pengadilan agama, karena secara administrasi tidak memenuhi persyaratan.
Dus, jadilah sang istri terkatung-katung, menunggu belas kasihan dari suami yang tidak
bertanggung jawab itu. Beberapa pertanyaan tentang kasus semacam ini telah disampaikan
kepada kami. Artinya, itu benar-benar terjadi dan mungkin banyak terjadi.
Anda sebagai wanita atau pihak wali wanita, selayaknya perlu mawas diri. Bisa jadi saat di awal
pernikahan Anda sangat menaruh harapan kepada sang suami. Tapi ingat, cinta kasih juga ada
batasnya. Sekarang bilang sayang, besok tidak bisa kita pastikan. Karena itu, waspadalah..
Keempat, memudahkan pengurusan administrasi negara yang lain.
Sebagai warga negera yang baik, kita perlu memenuhi tertib administrasi. Baik KTP, KK, SIM dst.
Bagi Anda mungkin semua itu terpenuhi, selama status Anda masih mengikuti orang tua dan
bukan KK sendiri. Lalu bagaimana dengan keturunan Anda. Bisa jadi anak Anda akan menjumpai
banyak kesulitan, ketika harus mengurus ijazah sekolah, gara-gara tidak memiliki akta kelahiran.
Di saat itulah, seolah-olah anak Anda tidak diakui sebagai warga negara yang sempurna. Dan kami
sangat yakin, Anda tidak menginginkan hal ini terjadi pada keluarga Anda.
Allahu alam
Status Hukum Perkawinan Siri Tanpa Sepengetahuan Keluarga
Saya pernah menikah siri tanpa sepengetahuan keluarga. Semuanya pihak laki-laki yang
mengurus. Itu saya lakukan karena pihak laki-laki berjanji akan mengikuti agama saya, tetapi
ternyata tidak. Yang mau saya tanyakan adalah: 1: Apakah yang saya lakukan itu sah menurut
hukum? 2. Saya sudah berjalan hampir 3 bulan tidak serumah lagi, dan laki laki itu tidak memberi
nafkah lahir dan batin, apakah saya masih berstatus istrinya atau bukan? 3. Saya sudah tidak mau
bersatu lagi, dikarenakan laki-laki itu terlalu kasar berbicara dan tidak menghargai saya, apa yang
harus saya lakukan? Bagaimana jika saya mau menikah dengan yang lain?
Jawaban :
Sdri. Penanya yang baik,
Saudari tidak menyebutkan apa agama Saudari dan pria itu. Dalam cerita Anda juga tidak
diuraikan Saudari menikah secara agama apa. Kami berasumsi bahwa Saudari beragama Islam dan
menikah dengan tata cara agama Islam. Selain itu, walaupun Anda menikah tanpa sepengetahuan
keluarga, kami berasumsi bahwa persyaratan mengenai adanya wali nikah dan saksi nikah telah
terpenuhi. Sebagai referensi, Anda dapat membaca artikel Sahkah Perkawinan Jika Wali Nikah
Bukan Orang Tua Mempelai Wanita? dan Bagaimana Menikah Jika Tanpa Restu Orang
Tua?
Sebagai sesama perempuan saya sungguh berempati terhadap masalah yang tengah Saudari
hadapi.Kami berasumsi menikah siri dengan laki-laki pilihan hati tanpa sepengetahuan keluarga
yang Saudari maksud adalah telah melangsungkan pernikahan (ijab qabul) sesuai dengan syarat
dan rukun nikah menurut agama Islam tanpa dicatatkan di Kantor Urusan
Agama (KUA) setempat.
Menanggapi pertanyaan Saudari tentang apakah pernikahan Saudari sah menurut hukum,berikut
kami kutip bunyi Pasal 4 Kompilasi Hukum Islam (KHI) jo. Pasal 2 Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan):
Pasal 4 KHI:

Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut Hukum Islam sesuai dengan Pasal 2 ayat 1
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Pasal 2 UU Perkawinan:
(1)
Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu.
(2)
Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Hal ini berarti, perkawinan Anda sah apabila telah dilakukan menurut Hukum Islam (menurut
hukum agama dan kepercayaan yang sama dari pasangan calon suami istri). Selain
itu, pasangan suami istritersebut, berdasarkan Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan, mempunyai
kewajiban mencatatkan perkawinannya ke KUA (pegawai Pencatat Nikah) dan mendapatkan buku
nikah sebagai bukti pencatatan perkawinan.
Bahwa sepanjang belum ada kata talak dari suami kepada Saudari, tentunya Saudari masih
merupakan istri sah dari suami Saudari.
Tidak adanya legalitas berupa buku nikah sebagai bukti diakuinya pernikahan Saudari oleh Negara
dikarenakan menikah siri, memang akan berdampak pada permasalahan status perkawinan dan
bagaimana untuk memproses perceraian bila salah satu pihak tidak menginginkan bersama lagi
sebagai suami istri. Untuk itu kami menyarankan agar Saudari mengajukan itsbat nikah ke
Pengadilan Agama di wilayah tempat tinggal Saudari. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal
7 KHI:
Pasal 7 KHI:
(1)
Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat
Nikah.
(2)
Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akat Nikah, dapat diajukan itsbat
nikahnya ke Pengadilan Agama.
(3)
Itsbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal yang
berkenaan dengan:
(a) Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian;
(b) Hilangnya Akta Nikah;
(c) Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan;
(d) Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang-undang No.1 Tahun 1974 dan;
(e) Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut
Undang-Undang No.1 Tahun 1974;
(4)
Yang berhak mengajukan permohonan itsbat nikah ialah suami atau isteri, anak-anak
mereka, wali nikah dan pihak yang berkepentingan dengan perkawinan itu.
Pasca itsbat nikah dan mengajukan gugatan cerai, Pengadilan Agama setempat akan memberikan
kepada Saudari akta cerai, sebagai bentuk telah putusnya perkawinan karena putusan hakim.
Demikian jawaban dari saya semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;
2. Kompilasi Hukum Islam.
PENJELASAN LENGKAP TENTANG MAHAR
Oleh Aep Saepulloh Darusmanwiati***
Pendahuluan
Pembahasan kali ini sebenarnya merupakan perpanjangan dan perluasan dari pembahasan pada
makalah sebelumnya. Mengingat dalam persoalan ini terdapat ketentuan-ketentuan dan aturanaturan tersendiri dan lumayan banyak, maka penulis mencoba membahasnya dalam bahasan
khusus. Dalam pembahasan nanti sebagaimana pembaca akan ikuti, penulis mencoba
memaparkan segala hal yang erat kaitannya dengan mahar, dan resepsi, mulai dari jenis dan
macam mahar, apa saja yang dapat dijadikan mahar, kapan mahar bisa jatuh dan tidak mesti
dibayar, sampai maslah al-Hiba' yakni permohonan sejumlah uang dari kerabat isteri.
Apa itu Mahar?
Mahar atau mas kawin adalah harta atau pekerjaan yang diberikan oleh seorang laki-laki kepada
seorang perempuan sebagai pengganti dalam sebuah pernikahan menurut kerelaan dan

kesepakatan kedua belah pihak, atau berdasarkan ketetapan dari si hakim. Dalam bahasa Arab,
mas kawin sering disebut dengan istilah mahar, shadaq, faridhah danajr. Mas kawin disebut
dengan mahar yang secara bahasa berarti pandai, mahir, karena dengan menikah dan membayar
mas kawin, pada hakikatnya laki-laki tersebut sudah pandai dan mahir, baik dalam urusan rumah
tangga kelak ataupun dalam membagi waktu, uang dan perhatian.
Mas kawin juga disebut shadaq yang secara bahasa berarti jujur, lantaran dengan membayar mas
kawin mengisyaratkan kejujuran dan kesungguhan si laki-laki untuk menikahi wanita tersebut. Mas
kawin disebut dengan faridhah yang secara bahasa berarti kewajiban, karena mas kawin
merupakan kewajiban seorang laki-laki yang hendak menikahi seorang wanita. Mas kawin juga
disebut dengan ajran yang secara bahasa berarti upah, lantaran dengan mas kawin sebagai upah
atau ongkos untuk dapat menggauli isterinya secara halal. Para ulama telah sepakat
bahwa mahar hukumnya wajib bagi seorang laki-laki yang hendak menikah, baik mahar tersebut
disebutkan atau tidak disebutkan sehingga si suami harus membayar mahar mitsil.
Oleh karena itu, pernikahan yang tidak memakai mahar, maka pernikahannya tidak sah karena
mahar termasuk salah satu syarat sahnya sebuah pernikahan, sebagaimana telah dijelaskan pada
makalah sebelumnya.
Apa saja yang boleh dijadikan mahar?
Mas kawin tidak mesti berupa uang atau harta benda, akan tetapi boleh juga hal-hal lainnya. Untuk
lebih jelasnya, berikut ini hal-hal yang dapat dijadikan mas kawin atau mahar:
1. Semua benda atau alat tukar (uang) yang dapat dijadikan harga dalam jual beli
seperti uang atau benda-benda lainnya yang biasa diperjualbelikan dengan syarat
benda atau uang tersebut, halal, suci, berkembang, dapat dimanfaatkan dan dapat
diserahkan.
Oleh karena itu, harta hasil curian, tidak dapat dijadikan mas kawin karena ia barang haram bukan
halal. Demikian juga, peternakan babi tidak dapat dijadikan mas kawin karena bendanya tidak suci.
Piutang yang belum jelas kembalinya, juga tidak dapat dijadikan mas kawin lantaran tidak dapat
diserahkan. Point pertama ini didasarkan kepada ayat berikut ini:


Artinya: "Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari istri-istri dengan
hartamu" (QS. An-Nisa: 24).
Kata amwal dalam ayat di atas dipahami oleh para ulama sebagai mas kawin, mahar.
2. Semua pekerjaan yang dapat diupahkan.
Menurut Madzhab Syafi'i dan Hanbali, pekerjaan yang dapat diupahkan, boleh juga dijadikan
mahar. Misalnya, mengajari membaca al-Qur'an, mengajari ilmu agama, bekerja dipabriknya,
menggembalkan ternaknya, membantu membersihkan rumah, ladang atau yang lainnya. Misalnya,
seorang laki-laki berkata: "Saya terima pernikahan saya dengan putri bapak yang bernama Siti
Maimunah dengan mas kawin akan mengajarkan membaca al-Qur'an kepadanya selama dua
tahun, atau dengan mas kawin mengurus ladang dan ternaknya selama dua bulan". Akan tetapi
menurut Abu Hanifah dan Imam Malik, mahar dengan pekerjaan yang dapat diupahkan hukumnya
makruh (dibenci).
Penulis lebih condong untuk mengambil pendapat madzhab Syafi'i yang membolehkan kerja
sebagai mas kawin. Hal ini sebagaimana telah terjadi ketika Nabi Musa menikahi salah seorang
gadis laki-laki tua (dalam satu riwayat dikatakan laki-laki tua itu adalah Nabi Syuaib), dengan mas
kawin bekerja untuk laki-laki tua itu (calon mertuanya) selama delapan tahun sebagaimana
difirmankan oleh Allah swt dalam surat al-Qashash ayat 27:


Artinya: "Berkatalah dia (Syu'aib): "Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah
seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun dan jika
kamu cukupkan sepuluh tahun maka itu adalah suatu kebaikan) dari kamu" (QS. Al-Qashash:27).
Dalil lain bolehnya kerja dijadikan sebagai shadaq, mas kawin adalah hadits berikut ini:
[ )) , : (( [
Artinya: "Rasulullah saw bersabda: "Pergilah sesungguhnya saya telah menikahkan kamu
dengannya dengan apa ayat-ayat al-Qur'an yang kamu hapal" (HR. Bukhari).
Sebagian ulama menakwilkan kata bima ma'aka minal qur'an dengan akan mengajarkan
satu atau beberapa surat dari al-Qur'an.

3. Membebaskan budak.
Menurut Imam Syafi'i, Imam Ahmad dan Imam Daud ad-Dhahiry, bahwa membebaskan budak
dapat dijadikan sebagai mas kawin. Maksudnya, apabila seseorang hendak menikahi seorang
wainta yang masih menjadi budak belian, kemudian ia membebaskannya dan menjadikan
pembebasannya itu sebagai mas kawinnya, maka boleh-boleh saja. Sedangkan menurut sebagian
ulama lain, membebaskan budak tidak boleh dijadikan sebagai mas kawin.
Dalil kelompok yang membolehkan adalah dalam sebuah hadits dikatakan bahwa
Rasulullah saw menikahi Shafiyyah dengan maskawin membebaskannya dari budak belian menjadi
seorang yang merdeka dan dalam hadits tersebut tidak ada keterangan bahwa hal itu khusus
untuk Rasulullah saw. Karena tidak ada keterangan kekhususan itulah, maka ia berarti berlaku dan
diperbolehkan juga untuk seluruh ummatnya termasuk kita. Hadits dimaksud adalah sebagai
berikut:
: (( ((
] [
Artinya: "Dari Anas, bahwasannya Rasulullah saw membebaskan Shafiyyah dan menjadikan
pembebasannya itu sebagai mas kawinnya" (HR. Bukhari Muslim).
Sedangkan bagi yang menolak mengatakan bahwa hadits di atas adalah khusus untuk Rasulullah
saw saja. Artinya, mas kawin dengan membebaskan budak itu hanya diperbolehkan untuk
Rasulullah saw saja dan tidak yang lainnya. Namun demikian, penulis lebih condong untuk
mengambil pendapat yang membolehkan karena sebagaimana telah dijelaskan di atas, tidak ada
keterangan dan dalil lain yang mengatakan bahwa hal itu khusus untuk Rasulullah saja. Karena
tidak ada keterangan yang mengkhususkan itulah, hukum yang dikandung dalam hadits di atas
berlaku umum termasuk juga untuk ummatnya.
4. Masuk Islam.
Bolehkah seorang laki-laki masuk Islam lalu masuk Islamnya itu dijadikan sebagai mas kawin? Para
ulama berbeda pendapat. Bagi Jumhur ulama, masuk Islamnya seseorang boleh dijadikan mas
kawin. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam hadits berikut ini:
, , : ((
[ , , : ,
[ ))
Artinya: Anas berkata: "Abu Thalhah menikahi Ummu Sulaim dengan mas kawinnya adalah masuk
Islam (masuk Islamnya Abu Thalhah). Ummu Sulaim masuk Islam sebelum Abu Thalhah. Kemudian
Abu Thalhah meminangnya. Ketika meminangnya, Ummu Sulaim berkata: "Saya sudah masuk
Islam, jika kamu masuk Islam juga, maka saya siap menikah dengan kamu". Abu Thalhah akhirnya
masuk Islam dan masuk Islamnya itu dijadikan sebagai mas kawin keduanya" (HR. Nasa'i).
Sedangkan ulama yang mentidakbolehkan masuk Islamnya seseorang dijadikan mas kawin adalah
Ibnu Hazm. Ibnu Hazm memberikan catatan penting untuk hadits di atas dengan mengatakan:
Pertama, kejadian dalam hadits di atas terjadi beberapa saat sebelum hijrah ke Madinah, karena
Abu Thalhah termasuk sahabat Rasulullah saw dari golongan Anshar yang masuk Islam paling
awal. Dan pada saat itu, belum ada kewajiban mahar bagi wanita yang hendak dinikahi.
Kedua, dalam hadits di atas juga tidak disebutkan bahwa kejadian itu diketahui oleh
Rasulullah saw. Karena tidak diketahui oleh Rasulullah saw, maka posisinya tidak mempunyai
ketetapan hokum, karena Rasulullah saw tidak mengiyakannya juga tidak melarangnya. Karena
tidak ada kepastian hokum itulah, maka ia harus dikembalikan kepada asalnya, bahwa ia tidak bias
dijadikan sebagai mas kawin.
Berapa batas minimal dan maksimal mas kawin itu?
Para ulama telah sepakat bahwa tidak ada batasan maksimal bagi seorang laki-laki dalam
memberikan mas kawinnya. Ia boleh memberikan jumlah yang sangat besar atau lebih besar lagi.
Dalam hal ini Imam Ibnu Taimiyyah berkata dalam bukunya Majmu al-Fatawa: 32/195):
"Bagi orang yang memiliki kelapangan rezeki kemudian ia bermaksud memberikan mas kawin
dalam jumlah yang sangat besar, maka tidak mengapa dan boleh-boleh saja sebagaimana
difirmankan oleh Allah dalam surat an-Nisa ayat 20:
" Sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka (isteri-isteri) harta yang
banyak".
Adapun bagi orang yang tidak cukup lapang untuk memberikan mas kawin dalam

jumlah yang banyak, lalu ia memaksakan diri memberikannya karena alasan gengsi atau yang
lainnya, maka hukumnya adalah makruh". Sedangkan mengenai batas minimal mas kawin, para
ulama mengatakan bahwa berapa saja jumlahnya selama itu berupa harta atau hal lain yang
disamakan dengan harta dan disetujui serta direlakan oleh si calon mempelai wanita, maka hal
demikian boleh-boleh saja. Pendapat ini adalah pendapat Jumhur ulama seperti Imam Syafi'I,
Ahmad bin Hanbal, Abu Tsaur, Imam Auzai dan lainnya. Bahkan Ibn Hazm membolehkan kurang
dari itu. Ibn Hazm mengatakan bahwa setiap hal yang dapat dibagi dua, boleh dijadikan mas kawin
sekalipun ia berupa biji gandum selama ada kerelaan dari calon isteri.
Dalil yang mengatakan bahwa tidak ada batas minimal dalam mas kawin ini adalah berikut ini:
1. Keumuman dari ayat berikut ini:

24
: (

(








Artinya: "Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari istri-istri dengan hartamu
untuk dikawini bukan untuk berzina" (QS. An-Nisa: 24).
Kata "harta" dalam ayat di atas mencakup harta yang sedikit juga harta yang banyak. Dalam ayat
di atas juga tidak disebutkan berapa batasa minimal mas kawin, dan karena tidak dijelaskan batas
minimalnya itulah, maka boleh dengan berapa saja selama ada keridhaan dari si calon isteri.
2. Hadit berikut ini di mana Rasulullah saw berkata kepada laki-laki yang siap menikahi seorang
wanita yang menyerahkan dirinya untuk dinikahi oleh Rasulullah saw, namun Rasulullah saw tidak
berkeinginan menikahinya:
[ )) : (( , : :
[
Artinya: "Rasulullah saw bersabda: "Apakah kamu mempunyai sesuatu untuk mas kawinnya?"
Lakilaki itu menjawab: "Tidak" Rasulullah saw bersabda kembali: "Carilah sekalipun sebuah cincin
dari besi" (HR. Muslim).
Dalam hadits di atas juga tegas bahwa mahar boleh dengan apa saja selama ia berupa harta
termasuk sekalipun berupa cincin besi.
Mas Kawin yang berlebihan dan memberatkan.
Bagaimana pandangan hukum Islam tentang mas kawin yang sangat memberatkan dan berlebihan
/ mahal? Mungkin untuk konteks Indonesia hal ini tidak banyak terjadi mengingat di Indonesia, mas
kawin umumnya sederhana dan tidak mahal. Namun, untuk konteks Negara-negara arab semisal
Mesir, Saudi Arabia dan yang lainnya, mahar sangatlah mahal dan memberatkan kaum laki-laki.
Oleh karena itu tidaklah mengherankan apabila umumnya kaum laki-laki menikah di atas kepala
tiga (umumnya menikah setelah usia 35 tahun), karena mereka harus mengumpulkan uang
sebanyak mungkin demi membayar mahar yang sangat mencekik. Sebaliknya, akibat mahar yang
mahal ini, banyak gadis-gadis tua belum menikah. Yang terjadi? Mereka gadis-gadis tua "siap"
menjadi isteri-isteri kedua, ketiga bahkan isteri simpanan.
Bukan hanya itu, dengan mahalnya mahar dan biaya pernikahan ini, banyak terjadi pernikahan Urfi
di kalangan anak-anak muda sebagaimana telah disinggung dalam makalah sebelumnya Meski di
Negara Indonesia, persoalan mahalnya mas kawin tidak menjadi masalah, akan tetapi di beberapa
tempat dan daerah, umumnya juga sama dengan adat Arab, mahalnya mas kawin. Untuk itu, mari
kita sama-sama perhatikan bagaimana Islam melihat masalah di atas.
1. Hal paling pertama yang harus ditegaskan di sini, bahwa dalam ajaran Islam, pada dasarnya
mas kawin itu tidak boleh memberatkan ia harus ringan dan memudahkan. Perhatikan haditshadits berikut ini:
)) [ : (( [
Artinya: Rasulullah saw bersabda: "Sebaik-baik mas kawin adalah yang paling meringankan" (HR.
Imam Hakim).
: (( :
)) [ , , [
Artinya: Dari Siti Aisyah ketika ditanya, berapa mas kawin Rasulullah saw? Siti Aisyah menjawab:
"Mas kawin Rasulullah saw kepada isteri-isterinya adalah dua belas setengah Uqiyah (nasya'
adalah setengah Uqiyah) yang sama dengan lima ratus dirham. Itulah mas kawin Rasulullah saw
kepada isteri-isterinya" (HR. Muslim).
[ )) : (( [

Artinya: Rasulullah saw bersabda: "Wanita yang paling banyak berkahnya adalah yang paling
ringan mas kawinnya" (HR. Hakim dan Baihaki).
Demikian juga dengan hadits-hadits sebelumnya yang menerangkan bahwa mas kawin tersebut
dengan cincin dari besi, masuk Islam dan membebaskan budak. Semua ini menunjukkan bahwa
mas kawin yang paling baik adalah yang ringan tidak memberatkan. Bahkan, dalam hadits di atas
disebutkan, mas kawin yang ringan akan membuat rumah tangganya lebih berkah dan langgeng.
2. Apabila si calon suami berada dalam kelapangan rizki, dan kaya, maka sebaiknya ia
memperbanyak mas kawinnya. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits Shahih
riwayat Imam Abu Daud dan Nasai bahwa Raja Najasyi pernah menikahkan Rasulullah saw dengan
Ummu Habibah dengan mas kawin empat ribu dirham, padahal mas kawin Rasulullah saw dengan
isteri-isterinya yang lain tidak lebih dari 400 dirham.
Ini menunjukkan bahwa apabila calon suaminya memang orang yang kaya, maka sebaiknya
memberikan mahar yang besar, namun apabila tidak mampu dan miskin, maka tidak boleh
memberatkan dan tidak boleh terlalu memaksakan diri. Hadits di atas juga sebagai dalil bahwa
mas kawin boleh bersumber dari pemberian seseorang, tidak mesti dari usaha sendiri,
sebagaimana dalam hadits di atas, mas kawin Rasulullah saw dibayarkan oleh Raja Najasyi.
Mas kawin adalah hak si perempuan bukan hak walinya.
Mahar atau mas kawin dalam ajaran Islam merupakan hak calon mempelai wanita dan bukan hak
wali. Oleh karena itu, besar kecilnya mahar ditentukan oleh wanita bukan oleh walinya. Namun,
tidak mengapa apabila si wanita tersebut berunding dengan walinya untuk menentukan berapa
besarnya mas kawin. Meski demikian, keputusan terakhir tetap di tangan si wanita. Apabila si
wanita menentukan jumlah mahar terntentu kemudian si wali juga menentukan jumlah tertentu,
maka yang diambil adalah ucapan si wanita. Oleh karena mahar adalah hak si wanita, maka si wali
ataupun yang lainnya tidak boleh mengambil seluruh atau sebagian jumlah mahar tersebut tanpa
ada izin dari si wanita. Oleh karena itu, ulama Syafi'iyyah dan Hanabilah berpendapat bahwa
seorang suami tidak boleh membayar mahar kecuali kepada isterinya atau kepada orang yang
diwakilkan oleh isterinya.
Di antara dalil bahwa mahar itu adalah hak si calon mempelai wanita adalah:

















Artinya: "Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian
dengan
penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu
dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi
baik akibatnya" (QS. An-Nisa: 4).









Artinya: "Maka istri-istri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada
mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban" (QS. An-Nisa: 24).
Nikah Bersyarat
Pertanyaan:
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh
Pengasuh konsultasisyariah.com yang dirahmati Allah, apakah boleh seorang akhwat
mengajukan syarat kepada ikhwan yang menjadi calon pasangan hidupnya nanti sebelum
pernikahan. Syarat tersebut dimisalkan tidak mengikuti lembaga yang kurang disukai oleh akhwat
tersebut.
Kapankah waktu yang tepat untuk menyampaikannya? Sebelum dilamar atau setelahnya? Serta
apa saja yang perlu diketahui akhwat terhadap ikhwan yang menjadi pasangannya sebelum
menikah?
Jazakallahu khairan
Dari: Ummu Abdirrahman
Jawaban:
Waalaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh
Pertama, dibolehkan bagi kedua belah pihak, baik wanita maupun laki-laki untuk
mengajukan syarat dalam nikah, selama tidak bertentangan dengan konsekuensi nikah.
Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,











Sesungguhnya persyaratan yang paling layak untuk dipenuhi adalah persyaratan yang diajukan
untuk melanjutkan pernikahan. (HR. Bukhari 2721, Muslim 1418, dna yang lainnya).
Ibnu Qudamah mengatakan:


Syarat yang diajukan dalam nikah, terbagi menjadi tiga: Pertama, syarat yang wajib dipenuhi.
Itulah syarat yang manfaat dan faidahnya kembali kepada pihak wanita. Misalnya, syarat agar si
wanita tidak diajak pindah dari rumahnnya atau daerahnya, atau tidak diajak pergi safar, atau
tidak poligami selama istri masih hidup, atau tidak menggauli budak. Wajib bagi pihak suami untuk
memenuhi semua persyaratan yang diajukan ini. Jika suami tidak memenuhinya maka istri punya
hak untuk melakukan fasakh. Pendapat ini diriwayatkan dari Umar bin Khatab, Sad bin Abi
Waqqash, Muawiyah, dan Amr bin Ash radhiyallahu anhum. (al-Mughni, 7:93).
Kedua, bahwa syarat yang dianjukan dalam nikah wajib untuk dipenuhi jika diajukan sebelum akad
nikah atau ketika akad nikah.
Al-Buhuti mengatakan:
) (
) ( : ) (
) ( ) (
Syarat dalam nikah adalah syarat karena tujuan tertentu yang diajukan salah satu pihak, calon
suami atau istri kepada yang lain ketika akad. Waktu yang ternilai untuk pengajuan syarat itu
adalah ketika akad. Misalnya, pihak wali mengatakan: Saya nikahkan Anda dengan putriku fulanah
dengan syarat berikut. Kemudian pihak suami menerimanya. Demikian pula ketika kedua calon
membuat kesepakatan syarat tertentu sebelum akad nikah. (Kassyaful Qana, 5:91).
Imam Ibnu Utsaimin mengatakan:

Ketahuilah bahwa persyaratan yang diajukan dalam nikah hanya ternilai ketika bersamaan
dengan akad nikah atau sebelum akad nikah. Bukan menyusul (setelah) akad nikah. (Asy-Syarhul
Mumthi, 12:163).
Syarat sebelum akad nikah bisa dilakukan ketika lamaran atau menjelang akad nikah.
Allahu alam
Kecantikannya benar-benar memikat Anda. Paras ayunya betul-betul menyihir Anda. Saatnya
menguatkan tekad dan melangkahkan kaki. Anda pun mendatangi rumahnya dan bertemu orang
tuanya. Anda utarakan keinginan Anda untuk melamarnya. "Aku mau menikah denganmu dengan
syarat aku tetap tinggal di rumah orang tuaku! tiba-tiba itulah kata-kata yang keluar dari
mulutnya. Apa yang harus Anda lakukan ketika itu? Menyetujuinya karena merasa tak ada yang
salah? Atau justru menolaknya karena menganggapnya terlalu mengada-ada dan melanggar
syariat? Apakah boleh seorang wanita mengajukan syarat tertentu kepada calon suaminya?
Demikian pula seorang pria, bolehkah ia mengajukan syarat tertentu kepada calon istrinya? Syaratsyarat yang diajukan salah satu pasangan terhadap yang lainnya ada tiga macam: 1.Syarat yang
sesuai dengan tujuan pernikahan dan sesuai pula dengan syariat. Contoh dari syarat yang sejenis
ini: Syarat yang diajukan seorang wanita kepada calon suaminya: "Aku mau menikah denganmu.
Dengan syarat, engkau nanti mempergauliku dengan baik! " "Aku mau menikah denganmu.
Dengan syarat, engkau memberiku nafkah berupa sandang, pangan dan papan! " "Aku mau
menikah denganmu. Dengan syarat engkau harus berbuat adil dalam memperlakukan antara diriku
dengan istri-istrimu yang lain! " Adapun syarat yang diajukan seorang pria kepada calon istri: "Aku
siap menikahimu tapi kamu harus menaatiku nanti dalam perkara yang ma'ruf. " "Aku mau
menikahimu tapi nanti kamu tidak boleh keluar dari rumah kecuali dengan izinku. " "Aku mau
menikahimu tapi kamu tidak boleh menggunakan hartaku kecuali dengan keridaanku. " Dan masih
banyak lagi syarat lain yang semisalnya. Di mana syarat-syarat tersebut sesuai dengan tujuan
pernikahan dan tidak pula bertentangan dengan syariat. Hukum dari syarat sejenis ini adalah sah
menurut kesepakatan ulama. Karena itu, wajib bagi pihak yang menerima syarat ini untuk
melaksanakan dan menunaikannya. Lihat: Fathulbari (9/218-almarifah), Raudhatul Ath-Thalibin
(7/264), Mughnilmuhtaj (3/226). 2. Syarat yang menafikan tujuan dari pernikahan dan
bertentangan pula dengan syariat. Contoh dari syarat yang sejenis ini: syarat yang diajukan
seorang wanita kepada calon suaminya: - agar ia tidak perlu menaati suaminya kelak -atau boleh
keluar rumah tanpa izin darinya - atau agar ia tidak disetubuhi -atau agar ia menceraikan istri
pertamanya Dan berbagai syarat lain yang semisalnya. Di mana syarat-syarat itu tidak sesuai
dengan tujuan dari suatu pernikahan dan bertentangan pula dengan syariat. Hukum dari syarat
sejenis ini adalah tidak sah menurut kesepakatan ulama, maka tidak wajib menunaikannya.





Rasulullah bersabda:










Semua persyaratan yang bertentangan dengan Kitabullah maka itu batil, sekalipun berjumlah
seratus syarat. (HR. Bukhari no. 2023 dan Muslim no. 2762 Maktabah Syamilah) 3. Syarat yang
tidak diperintahkan di dalam syariat dan tidak pula dilarang. Namun dalam persyaratannya ada
kemaslahatan bagi salah satu pasangan. Contoh dari syarat yang sejenis ini: syarat yang diajukan
seorang wanita kepada calon suaminya: -agar ia kelak tidak dimadu -atau agar ia tidak pindah dari
rumahnya -atau agar tidak bepergian jauh bersamanya Dan berbagai syarat lain yang semisalnya.
Di mana syarat-syarat itu tidak ada perintahnya dalam syariat dan tidak pula larangan, sedangkan

di dalam persyaratan tersebut ada kemaslahatan bagi salah satu pasangan. Hukum dari syarat
sejenis ini adalah sah menurut pendapat yang benar dari kalangan ulama. Maka, wajib bagi pihak
yang menerima syarat ini untuk melaksanakan dan menunaikan syarat tersebut. Jika ia tidak
melaksanakannya, maka boleh bagi pihak yang mengajukan syarat tersebut untuk membatalkan
akad pernikahan. Nabi bersabda, Semua persyaratan yang bertentangan dengan
Kitabullah maka itu batil, sekalipun berjumlah seratus syarat. (HR. Bukhari: 2168 dan Muslim:
1504) Hadits ini menunjukkan bahwa syarat yang tidak bertentangan dengan syariat, yaitu yang
tidak ada perintah maupun larangannya dari kitabullah dan tidak pula dari sunnah nabi, bukanlah
sesuatu yang batil, bahkan wajib ditunaikan. Allah berfirman: Hai orang-orang yang

beriman, penuhilah janji-janji kalian. (QS. Al-Maidah: 1) Nabi bersabda:


Sesungguhnya syarat yang paling berhak untuk kalian penuhi









adalah apa yang dihalalkan dengannya kemaluan (syarat dalam pernikahan). (Bukhari no. 2520

dan Muslim no. 2542 Maktabah Syamilah ) Nabi bersabda:





Orang orang muslim itu terikat dengan syarat-syarat yang dibuat di antara mereka. (HR.Abu
Daud no. 3120 Maktabah Syamilah) Mudahan-mudahan keterangan di atas jelas dan gamblang.
Sehingga Anda tak bingung tatkala calon Anda berkata, Aku mau menikah denganmu dengan
syarat ceraikan dulu istri pertamamu! Dan Anda juga tidak bimbang mengambil sikap tatkala
calon Anda berkata, "Aku mau menikah denganmu dengan syarat aku jangan dimadu! ".. Sumber:
Shahih Fiqh sunnah karangan Abu Malik Kamal bin As-Sayyid terbitan Al-Maktabah At-Taufiqiyyah
Kairo
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/imamfatahillah/bolehkah-wanita-mengajukan-syarattertentu-kepada-calon-suami_5517b3ed813311a3689de42a

Anda mungkin juga menyukai