Anda di halaman 1dari 9

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puja dan puji kami panjatkan ke hadirat ALLAH S.W.T.
karena berkat rahmat-NYA jualah, kami bisa menyelesaikan penulisan makalah tentang
‘MASLAHAH MURSHALAH’ ini.

Dan tidak lupa pula kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada
semua pihak yang telah membantu dalam proses pembuatan makalah ini, baik dari awal
pembuatan hingga selesainya makalah ini.

Kami menyadari bahwa tak ada manusia yang sempurna di dunia ini, oleh karena itu
kami mohon maaf yang sebesar-besarnya apabila terdapat kesalahan-kesalahan dalam
makalah ini baik disengaja maupun tidak disengaja. Oleh karena itu kami sangat
mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun, semoga makalah ini bermanfaat
untuk kita semua, Amien.

Banjarmasin, Nopember 2009


Penyusun

Penulis
DAFTAR ISI
Kata
Pengantar………………………………………………………………………………..1
Daftar Isi………………………………………………………………………………………
2
BAB I PENDAHULUAN
A.Latar
Belakang……………………………………………………………………………..3
BAB II PEMBAHASAN
1.Pengertian…………………………………………………………………………………...
4
2.Tinjauan Maslahat
Mursalah……………………………………………………………...5
3.Pembagian
Maslahat………………………………………………………………………..7
4.Dalil Mengamalkan Mashalihul
Mursalah………………………………………………..9
5.Pendapat Ulama Mazhab Seputar Mashaluhul
mursalah……………………………...10
Kesimpulan…………………………………………………………………………………..1
2
Daftar Pustaka……………………………………………………………………………....13

BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Sebelum kita masuk kedalam pembahasan, haruslah kita fahami dulu sebenarnya yang
dibenarkan dalam Islam. Supaya kita tidak terjerumus pada permainan kata-kata atau bahkan
dengan sengaja atau tidak sengaja mempermainkan syari’at sebagaimana yang seringkali
dilakukan oleh kaum sekuler dan Islam liberal.

Banyak kita temukan orang-orang dalam memutuskan suatu perkara berdasarkan


maslahat semata, dalam ushul fiqih ini dikenal dengan “mashalih murshalah”, baik perkara
individu, jamaah maupun negara. Segala sesuatu dianggap benar jika ada maslahatnya, serta
salah jika tidak ada maslahatnya meskipun sesuai dengan syari’at. Padahal para Imam
Madzhab dan fuqaha menyatakan bahwa mashalih murshalah bukanlah dalil.Akibatnya
terjadi kerancuan dalam berbagai hal, yang halal diharamkan dan yang haram dihalalkan.
Bagi kaum muslimin, semua tentang dien harus bersumber dari Al Quran dan Sunnah
yang shohih menurut pemahaman para sahabat dan orang-orang yang mengikutinya. Dien
menurut pandangan Islam adalah apa-apa yang telah ditentukan oleh Allah dalam kitabnya
yang bijaksana dan Sunnah Nabi-Nya yang shohih, baik berupa perintah, larangan, maupun
petunjuk untuk kemaslahatan manusia di dunia dan di akhirat.
Dari Anas r.a., ia telah berkata; Telah bersabda Rasulullah SAW: “Apabila ada sesuatu
urusan duniamu, maka kamu lebih mengetahu. Dan apabila ada urusan agamamu, maka
kembalikan padaku.” (H.R. Ahmad). Hadits ini mununjukkan bahwa apapun urusan agama
mutlak harus mengacu pada Nabi, sementara urusan dunia bebas terserah kita selama tidak
diatur oleh agama dan tidak bertentangan dengan Al Quran dan Sunnah.
Pada dasarnya urusan duniawi boleh, dan tidak terlarang, kecuali ada keterangan yang
melarang, mengharamkan, dan bukan mencari dalil yang menghalalkan. Perbuatan yang
ditinggalkan Rasullullah SAW ada dua bagian, yaitu: (1) Ada yang menjadi Bid’ah; (2) Ada
yang menjadi Maslahat Mursalah.

BAB II
PEMBAHASAN
1. PENGERTIAN
Mashalihul mursalah terdiri dari dua kalimat yaitu maslahat dan mursalah. Maslahat
sendiri secara etimologi didefinisikan sebagai upaya mengambil manfaat dan menghilangkan
mafsadat/madharat. Dari sini dapat dipahami, bahwa maslahat mamiliki dua terma yaitu
adanya manfaat (‫ )إجابي‬dan menjauhkan madharat (‫)سلبي‬. Sedangkan mursalah artiya lepas.
Sedangkan secara terminologi terkandung dalam beberapa pendapat para ulama :
1. Imam ‘Izudin bin Abdus Salam: (Maslahat memiliki dua bentuk; pertama tinjauan hakiki
yaitu membuat tentram dan nyaman, kedua majazi yaitu sebab-sebabnya. Ini dapat kita
katakan bahwa terwujudnya maslahat itu disebabkan karena adanya mafsadat. Sebagai
contoh, memotong tangan pencuri hakekatnya adalah menghilangkan cara dan perbuatannya.
Merajam orang yang berjina serta menjilidnya merupakan pengasingan (‫ )تغريب‬atas perbuatan
mereka. Jadi intinya, semua hukuman dalam syari’at jangan dipahami sebagai mafsadat,
bahkan hal itu merupakan maksud dari syari’at (memberikan kemaslahatan bagi manusia).
2. Syaikh Thohir bin ‘Asur salah satu ulama kontemporer: (bahwa maslahat disandarkan pada
pekerjaan yang memberikan manfaat selamanya bagi semua manusia atau dirinya sendiri)
3. Ibnu Taimiyah: (maslahat dalam pandangan mujtahid adalah perbuatan yang
mendatangkan manfaat yang benar dan bukan bersumber dari syari’at yang tidak bermanfaat)
serta Al-Khawarijmi memberikan pandangannya seputar maslahat ini yaitu menjaga maksud
dari hukum dengan menafikan segala bentuk mafsadat dari penciptaan
4. Ar-Raisuni mengatakan hakekat maslahat adalah setiap ketentraman dan kesenangan
jasmani, jiwa, akal dan rohani,. Sedangkan hakekat mafsadat adalah setiap hal yang merusak
jasmani, jiwa, akal dan rohani. Ar-Roji mengatakan bahwa tidak ada interpretasi lain untuk
masalahat kecuali ketentraman (al-ladāh) karena hal itu merupakan akses terhadapnya
(baca:maslahat). Serta tidak ada pengertian lain untuk mafsadat kecuali kerusakan sebagai
bagian darinya1[1].
5. Abdul Wahhab Khallaf, mashalihul mursalah adalah sesuatu yang dianggap maslahat
namun tidak ada ketegasan hukum yang merealisasikannya dan tidak ada pula dalil tertentu
baik yang mendukung ataupun menolaknya2[2].

Dari paparan pengertian diatas, baik dari tinjauan etimologi maupun terminologi kita
bisa menarik konklusi bahwa yang disebut dengan maslahat adalah suatu perbuatan hukum
yang mengandung manfaat dan ketentraman bagi semua manusia atau dirinya sendiri

2
terhadap jasmani, jiwa, akal serta rohani dengan tujuan untuk menjaga maqhasid asy-
syari’ah.

.2. Tinjauan Mashlahat Mursalah


Dari pengertian yang diberikan oleh para ulama’ ada dua versi
pengertian untuk maslahat mursalah ini yaitu sebagai berikut:
1. kemashlahatan itu tidak ada dalilnya dari syariat yang khusus mengenai persoalan tersebut
yang menetapkan atau menolaknya.
2. kemashlahatan itu termasuk dalam keumuman dalil-dalil syar’I yang menetapkannya atau
menolaknya, meskipun tidak ada dalil khusus yang berkaitan dengan masalah tersebut3[3].
Pada pengertian yang pertama di atas jelas jika yang dimaksud dengan maslahat
mursalah itu seperti pengertian tersebut maka hal itu adalah bertentangan dengan
kesempurnaan Islam.
Allah berfirman:
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Ku-cukupkan kepadamu
nikmat-Ku………….…” (Al-Maidah: 3)
Oleh karena itu Allah tidak membiarkan kita begitu saja untuk menganggap maslahat
dan menganggap baik sesuai dengan hawa nafsu kita dalam masalah syar’I dan agama. Allah
berfirman:
“ Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggung
jawaban).” (Al-Qiyamah: 36)
Oleh karena Itu Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan dalam kitab
Ash-Shorimul Maslul:Tidak boleh menetapkan hukum dengan sekedar menggunakan istihsan
atau istishlah, karena hal tersebut merupakan bentuk pembuatan syari’at berdasarkan akal.
Dan banyak orang mengira bahwa sesuatu itu bermanfaat bagi agama dan dunia
padahal sebenarnya ia lebih dekat dengan mudlarat, sebagaimana yang Allah
katakan tentang khamar dan judi: “Katakanlah; pada keduanya terdapat dosa
yang besar dan juga terdapat beberapa manfa’at bagi manusia namun dosa
keduanya lebih besar dari pada manfaatnya.”
Imam Asy-Syinqithi Rahimahullah berkata: ”Oleh karena itu para penganut madzhab
menetapkan maslahat mursalah itu bukanlah hujjah dalam agama Allah. ” (Lihat
Mudzakirotul Ushul karangan Asy-Syinqithi hal. 170)
Adapun para ulama’ yang menggunakan maslahah mursalah dibawa kepada
pengertian maslahah mursalah yang kedua.
Oleh karena itu Abu Hasan Al-Amidi dalam kitab Al-Ihkam fii Ushulil Ahkam
IV/216 setelah beliau menyebutkan pembagian maslahat ada yang dianggap
syah oleh syar’I, ada yang ditolak oleh syar’I dan ada pula yang dibiarkan
oleh syar’ii yang kemudian dikenal dengan maslahah mursalah. Beliau
mengatakan: “Para fuqoha’ dari kalangan syafi’iyyah, hanafiyyah dan yang lainnya telah
sepakat atas tidak bolehnya berpegang dengan maslahat mursalah tersebut
dan inilah pendapat yang benar, namun sebuah riwayat menyebutkan bahwa
Imam Malik menggunakan maslahatan tersebut, namun para sahabatnya
mengingkari bahwasanya Imam Malik berpendapat seperti itu. Mungkin jika
periwayatan itu benar maka yang paling mendekati bahwasanya ia tidak
berpendapat untuk semua kemaslahatan. Akan tetapi hal tersebut hanya
berlaku untuk kemaslahatan yang Dlaruriyyah, Kulliyyah dan Qath’iyyah,
bukan pada kemaslahatan yang tidak Dlaruri, Kulli dan Qath’i. Hal itu
sebagaimana jika orang-orang kafir melakukan tatarrus dengan sekelompok

3
kaum muslimin. Seandainya kita menahan diri tidak memerangi mereka mereka
pasti akan menguasai negeri kaum muslimin. Dan mereka akan memusnahkan
kaum muslimin sampai ke akar-akarnya. Namun jika kita memerangi mereka, akan
teratasi mafsadah yang akan menimpa kaum muslimin secara qath’i meskipun
dalam hal ini harus membunuh orang yang tidak berdosa.Pembunuhan seperti ini meskipun
dibenarkan namun tidak ada nas yang mengiyakannya atau melarangnya.
Jika hal ini dapat dipahami maka sebenarnya kemaslahatan itu hanya
berkisar pada dua saja yaitu yang dinyatakan oleh syar’I atau yang ditentang oleh syar’i.
Ulama Mazhab Malikiyah dan Hanabilah mengakuinya dengan menetapkan syarat-
syarat sebagai berikut:
a) Ada kesesuaian antara kemaslahatan yang dianggap sebagai dasar
yang berdiri sendiri dengan tujuan-tujuan syariat dengan demikian maka ia
tidak mengorbankan maslah-masalah pokok dan tidak bertentangan dengan
dalil-dalil qath’i.
b) Kemaslahatan itu sendiri rasional, sejalan dengan sifat-sifat yang pantas dan masuk akal.
c) Pelaksanaan kemaslahatan itu benar-benar dapat menghilangkan kesulitan.
Penggunaan maslahat tanpa persyaratan tertentu dikhawatirkan akan mengikuti hawa
nafsu belaka, oleh karena itu di perlukan syarat-syarat tertentu agar penggunaan maslahat
tetap dalam nilai-nilai syariah.4[4]
Ulama Mazhab Hanafiyah dan asy syafi’iyah tidak melihat sebagai
dasar yang berdiri sendiri, namun memasukkannya kedalam qiyas. (Lihat;
Ushul Fiqih karangan Abu Zahroh hal. 279-280).
Diantara syarat yang lain adalah dalam kitab Irsyadul Fuhul hal. 242 dikatakan ”Jika
kemaslahatan tersebut Dlarudiyyah, Qath’iyyah dan Kulliyyah maka kemaslahatan tersebut
diakui namun jika salah satu dari tiga hal tersebut tidak terpenuhi maka kemasslahatan
tersebut tidak bisa diterima.
Yang dimaksud dengan Dharuriyyah adalah hendaknya kemaslahatan yang hendak dicapai
itu termasuk dari bagian dharuriyyatul khamsah. Qath’iyyah adalah kepastian manfaat yang
akan ada. Dan yang dimaksud dengan Kulliyyah adalah berlaku untuk seluruh kaum
muslimin dan tidak hanya berlaku unuk sebagian kaum muslimin atau suatu keadaan tertentu
saja
Inilah yang dipilih oleh Imam Al-Ghazali rahimahullah dan Imam Al-Baidhawi
rahimahullah, dan Imam Al-Ghazali rahimahullah memberikan permisalan dengan masalah
tatarrus ( Ketika non muslim menawan muslim sebagai perisai untuk menghindari
serangan).”
Dengan demikian maka pada pengertian yang kedua ini tepatlah jika Imam Al-Qarrafi
mengatakan:”Setelah diteliti sebenarnya maslahat mursalah itu digunakan oleh seluruh
madzhab.”

3. Pembagian Maslahat
Maslahat secara garis besar dibagi menjadi tiga bagian, diantaranya:
Pertama, mashalih al-mu’tabiroh yaitu maslahat yang terdapat pada hukum yang ditetapkan
oleh nash, seperti maslahat pada hukum qishash. Pada pointer ini syari’at menjelaskan secara
langsung (tekstual) melalui nash atau ijmā’ atau dengan hukum yang disepakati oleh nash dan
ijmā’ diantaranya -seperti pendapat Al-Ghazali- qiyas. Elemen yang membentuk maslahat
pada marhalah ini seperti menjaga agama (khifdzu al-din) yaitu perintah untuk jihad dan
memerangi orang-orang yang murtad, menjaga jiwa (khifdzu an-nafs) yaitu dengan
memberikan hukuman qishas terhadap orang yang melakukan pembunuhan dengan sengaja,

4
menjaga akal (khifdzu al-‘aql) yaitu menerapkan sanksi atas orang yang minum khamar,
menjaga keturunan (khifdzu an-nasl/al-‘irdh) yaitu menghukum pelaku yang berbuat zina dan
menjaga harta (khifdzu al-mal) yaitu mengharamkan pencurian dan memotong tangan bagi
orang yang melakukan hal itu. Ini semua dikenal dengan istilah ushūlul khomsah atau
sifatnya dhoruriyah.
Kedua, mashalihul mulghōh yaitu maslahat yang dianggap invalid oleh syariah atau dengan
kata lain bahwa maslahat itu merupakan maslahat yang keberadaanya diingkari oleh syariah,
seperti maslahat zina. Kenikmatan yang didapat dari zina bisa disebut maslahah tetapi ia
dibatalkan oleh syariah melalui nash-nash yang ada. Demikian juga maslahat riba, minum
arak dan lain sebagainya.
Ketiga, mashalihul mursalah atau al-mashlahatul maskut ‘anha. yaitu maslahat yang
keberadaanya secara langsung tidak ditetapkan oleh nash tetapi sekaligus juga tidak ada nash
yang dengan jelas membatalkannya. Seperti keharusan untuk membuat akte nikah bagi kedua
pasangan yang melakukan akad nikah. Karena tanpa akte nikah, hakim atau pemerintah tidak
menerima gugatan terhadap hal-hal yang berkaitan dengan pernikahan. Akte nikah dalam hal
ini disebut maslahat mursalah. Contoh lain ialah pengumpulan Al-Qur'an oleh Abu Bakar
yang kemudian dibukukan oleh penerusnya, Utsman. Sahabat mendirikan penjara, mencetak
mata uang, atau menetapkan tanah pertanian yang menjadi milik bagi orang yang membuka
lahan tersebut5[5].
Di antara ketiga maslahat ini hanya maslahat mu'tabarah saja yang disepakati ulama
sebagai maslahat yang dapat dipakai untuk menetapkan suatu hukum.
Sedangkan dalam maslahat mursalah, para ulama terbagi dalam tiga golongan.
Golongan pertama berpendapat bahwa maslahat mursalah tidak boleh menjadi dalil
(argumentasi) suatu hukum. Golongan kedua berpendapat bahwa maslahat mursalah boleh
dijadikan dalil suatu hukum. Sedangkan golongan ketiga berpendapat bahwa maslahat
mursalah boleh dijadikan sebagai dalil dari suatu hukum dengan syarat bahwa suatu maslahat
terkandung dalam maslahat dharuriat (primer), qhathiyah (pasti) dan kulliyah (menyeluruh).
Contoh dari maslahah mursalah yang dharuriah qath'iyah kulliyah ini ialah suatu kasus
di mana pasukan kafir mengepung wilayah Islam. Untuk berlindung dari serangan tentara
Islam, mereka menjadikan para tawanan muslim sebagai perisai hidup. Dalam kasus seperti
ini, membunuh para tawanan muslim yang dijadikan perisai hidup disebut maslahah
mursalah. Kasus ini telah memenuhi tiga kriteria yang disyaratkan di atas.
Kriteria dharurah dalam kasus tersebut adalah memelihara agama. Penyerangan orang
kafir terhadap negara Islam sudah barang tentu akan mengganggu eksistensi agama dan umat
Islam. Kriteria qath'iyyah juga terdapat dalam kasus ini, yaitu perkiraan bahwa seandainya
para tawanan muslim dan tentara kafir tidak dibunuh, sudah pasti pasukan kafir tersebut akan
menguasai semua wilayah Islam. Dan yang terakhir adalah kriteria kulliyah, yaitu seandainya
para tawanan muslim tidak dibunuh, maka justru ketika berhasil mengu-asai wilayah Islam,
orang-orang kafir itu akan membunuh semua umat Islam termasuk para tawanan muslim tadi.
(6
Untuk mengetahui kapan suatu maslahat itu dianggap valid (mu'tabarah) dan bisa
dijadikan landasan suatu hukum, ada lima syarat atau batasan yang bisa dijadikan titik tolak.
Kelima syarat tersebut ialah:

1. Maslahat tidak bertentangan dengan maqasid syariah.


2. Maslahat tidak bertentangan dengan nash Al-Quran.
3. Maslahah tidak bertentangan hadits Nabi.
4. Maslahat tidak bertentangan dengan qiyas (analogi).

5
5. Maslahat tidak bertentangan dengan maslahat lainnya yang lebih penting atau
maslahat yang sejajar dengannya6[6].

4. Dalil Mengamalkan Mashalihul Mursalah


Naqli :
v Al-Qu’ran
Sebagaimana firman Allah SWT {‫}فاعتبروا يا أولي األبصارل‬surat Al-Hasyr ayat 2. Allah
memerintahkan kepada menusia untuk senantiasa menyelami hukum-hukum yang terkandung
dalam Al-Qur’an untuk menentukan syari’at yang tidak disinggung secara literal. Ini
mengindikasikan tentang kebolehan umat Islam untuk berijtihad dengan melewati
(mujawaz)teks sekalipun asalkan tidak bertujuan untuk mendekonstruksi ajaran Islam itu
sendiri.
v Sunnah
Rosullullah memberikan kesempatan kepada para sahabat untuk melakukan ijtihad
dalam tataran makna nash Al-Qur’an yang global tatkala nash khusus tidak menyentuh
wilayah tersebut. bagi Rasulullah menetapkan metodologi ini kepada umat setelahnya dan
memberikan ruang seluas-luasnya untuk melakukan ijtihad selama masih dalam koridor yang
sesuai. Contoh yang paling populer adalah (Ketika Rasulullah mengutus Mu’adz bin Jabal ke
Yaman dia bertanya (menguji) kepadanya “apa yang akan engkau perbuat jika menemukan
suatu permasalahan?” Muadz menjawab “aku akan menetapkannya dengan hukum Allah”
jika engkau tidak mendapatkannya? “dengan sunnah rosul” dan apabila tidak ditemukan juga.
“aku akan berijtihad dengan pendapatku (ra’yu). Kemudian rosulullah menepuk dada Mua’dz
dan berkata “Maha suci Allah yang telah memberikan taufiq kepadamu, dan rosul
merestuinya).
v Perbuatan Sahabat
1. Kesepakatan para sahabat untuk menghimpun mushaf Al-Qur’an pada masa Abu Bakar
yang tidak dijelaskan secara khusus oleh dalil atas pekerjaan tersebut.
2. Kesepakatan para sahabat untuk menghukum orang yang minum khamr dengan 80 kali
cambukan (jaldah3. Khulafaur Rasyidin memutuskan untuk membayar para pekerja/pengrajin
(shanā’a).
4. Sahabat memutuskan hukuman (dibunuh) sekelompok orang oleh seorang jika mereka
bekerjasama dalam pembunuhan terhadap satu orang tersebut.
‘Aqli
Sebagaimana telah kita ketahui bersama bahwa konstitusi Islam telah mencapai titik
final. Sedangkan berbagai kejadian selalu mengalami perubahan dengan kadar yang berbeda,
dan peristiwa yang terjadi itu tidak bisa begitu saja lepas dari syariat karena aturan dalam
Islam selalu bersinergi dengan ruang dan waktu sebagaimana tertuang dalam firman Allah {
‫ }وما أرسلناك إّال كافة للّناس بشيرا ونذيرا‬surat Saba` ayat 28. Kalau kenyataannya demikian, maka
harus ada metode untuk istinbat hukum melalui ruh nash-nash dan kaidah-kaidah umum
dalam merespon setiap kejadian baru disebabkan kontinuitas waktu dan perubahan tempat.
Dan mashalihul mursalah merupakan refresentasi dari metodologi yang dibutuhkan ketika
menentukan hukum.
Sejalan dengan ini Syaikh Az-Zanjānī mengutip perkataan Iman Syāfi’i “hal tersebut
(mashalihul mursalah) dibutuhkan untuk menetapkan aturan atas kejadian yang khusus
dengan mengambil makna dan kebenaran dari aspek finalitas syari’at tersebut. Dan sesuatu
yang final tidak bisa bergeser oleh yang bukan final.

6
Syarat-syarat mashalihul mursalah menurut sebahagian ulama terbagi menjadi
beberapa bagian. Menurut Imam Ghazali dalam kitabnya Al-Mustasfa sedikitnya ada 3
syarat mashalihul mursalah itu bisa direalisasikan.
1. Sifatnya dharuriyah.
2. Universal/Syumuli. Harus mencakup semua kalangan umat Islam tidak boleh hanya untuk
kepentingan sebahagian orang.
3. Ada dalil qoth’i atau mendekati dalil qoth’i tersebut (dzani). Imam Ghazali tidak
menjadikan syarat ini untuk mashalihul mursalah pada umumnya kecuali dia hanya
menempatkan syarat ini pada contoh kasus yang khusus. Seperti diperbolehkannya orang
muslim untuk meminta bantuan kepada orang kafir dalam peperangan selama hal itu bisa
mendatangkan kemaslahatan bagi umat Islam.
Imam Syatibi memberikan 3 syarat yang berbeda dengan Imam Ghazali.
1. Rasional. Ketika mashalihul mursalah dihadapkan dengan akal, maka akalpun bisa
menerimanya.
2. Sinergi dengan maqhasid syari’ah
3. Menjaga prinsip dasar (dharuri) untuk menanggalkan kesulitan (raf’ul haraj).
5. Pendapat Ulama Madzhab Seputar Mashalihul Mursalah
Para ulama sepakat tidak boleh menggunakan mashalihul mursalah pada aspek ibadah.
Perkara-perkara ibadah tidak bisa direkonstruksi melalui ijtihad atau ra`yu karena ghoir
ma’kulil ma’na (tidak bisa dicerna oleh akal). Sedangkan menambah syari’at dalam ibadah
merupakan bid’ah yang notabene termasuk kategori menyesatkan.
Dikalangan semua ulama madzhab hakekatnya menyetujui konsep mashalihul
mursalah, hanya permasalahannya ada pada penggunaan istilah mashalihul mursalah ini
sebagai mashadir tasyri’ yang mustaqil. Ulama madzhab yang secara khusus menerapkan
mashalihul mursalah sebagai mashadir tasyri’ atau ushul madzhab adalah Imam Ahmad bin
Hambal (Hambali) dan Imam Malik (Malikiyah). Sedangkan ulama madzhab yang tidak
menyertakan mashalihul mursalah sebagai referensi adalah Imam Syafi’i (Syafi’iyyah) dan
Imam Hanafi (Hanafiyah).Adapun aliran yang menolak mshalihul mursalah diantaranya
aliran Syi’ah dan Dhahiriyah.
Pendapat ulama yang menolak mashalihul mursalah diantaranya:
Ø Sesungguhnya adanya syari’at bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan bagi manusia.
Merupakan hal yang mustahil jika syari’at tidak mengandung unsur maslahat. Oleh sebab itu,
apabila mashalihul mursalah digunakan sebagai rujukan berarti ada sebahagian syari’at yang
tidak memuat nilai-nilai maslahat karena ini bertentangan dengan firman Allah {‫أيحسب اإلنسان‬
‫ }أن يترك سدي‬surat Al-Qiyamah:36.
Ø Adanya keraguan dalam mashalihul mursalah, antara mashalihul mu’tabarah dengan
mashalihul mulghoh karena tidak bisa menggabungkan keduanya. Maka, dalil tersebut tidak
bisa dipakai karena tidak ada yang tahu untuk menunjukan bahwa orang yang menggunakan
mashalihul mursalah itu termasuk maslahat yang mu’tabarah bukan mulghiyyah.
Ø Menggunakan mashalih sama dengan kebodohan dalam syari’at karena akan terjadi
asimilasi dalam aturan-aturan Islam yang dipengaruhi oleh egosentris dan kekuasaan yang
hegemonik. Dan hukum-hukum tersebut dilandasi dengan kepentingan pribadi mereka
masing-masing dengan klaim maslahat.
Beberapa alasan yang menerima mashalihul mursalah, adalah sebagai berikut:
ü Bahwasanya syari’at tidak ditetapkan kecuali untuk kemaslahatan dan nash-nash syari’at
beserta hukumnya sangat varian. Penetapan maslahat mursalah merupakan karakteristik dari
syari’at itu sendiri.
ü Kemaslahatan manusia selalu mengalami perubahan karena perbedaan situasi, kondisi dan
waktu serta tidak mungkin menyesuaikannya dengan kondisi pada waktu dulu.
ü Sesungguhnya para mujtahid -baik dari kalangan sahabat atau setelahnya- banyak yang
melarapkan ijtihad mereka dalam menjaga kemaslahatan dan tidak ada seorang pun yang
mengingkarinya.

Kesimpulan
· Tujuan awal dari penerapan syari’at yaitu untuk mewujudkan serta menjaga kemaslahatan
manusia dalam berbagai aspek kehidupan. Dimana hal tersebut bisa terejawantahkan pada
mashalihul mursalah ini sebagai subordinasi dari karakteristik syari’at.
· Mashalihul mursalah bisa kita interpretasikan sebagai upaya untuk mengambil manfaat dan
menghilangkan mafsadat dengan tetap berpijak pada terma-terma umum dari nash syari’at
melalui pendekatan rasio yang akan menghasilkan produk hukum untuk dijadikan undang-
undang dalam merespon permasalahan yang berkembang disebabkan pergeseran situasi,
kondisi dan waktu.
· Maslahat sendiri terbagi menjadi tiga bagian besar, yaitu mashalihul mu’tabarah,
mashalihul mulghoh dan mashalihul mursalah atau al-mashlahatul maskut ‘anha.
· Para ulama sepakat bahwa mashalihul mursalah tidak boleh diterapkan pada aspek ibadah
yang sudah final.

DAFTAR PUSTAKA
Efendi, Satria. 2005. Ushul Fiqh. Jakarta : Prenada Media
@ http://pwkpersis.wordpress.com
@ http://milhan.blog.friendster.com
Djazuli, Ahmad. 2005. Ilmu Fiqh. Jakarta : Prenada Media
Khallaf, A. Wahhab. 1995. Ilmu Ushul Fiqh. Jakarta : Rineka Cipta

Anda mungkin juga menyukai