Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

MASLAHAT MURSALAT ATAU ISTISHLAH


Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ushul Fiqh
Dosen Pengampu:
Dosen 1: Dr. Hariman Surya Siregar, M.Ag.
Dosen 2: Siti Halimah, M. Pd

Disusun Oleh:

1. Ranny Amalia (1202020128)


2. Rayhan Muhammad Alfarizi (1202020130)

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2020
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Dengan menyebut nama Allah yang Maha pengasih lagi Maha penyayang, kami
panjatkan puji syukur atas kehadirat Allah SWT, yang mana telah memberikan kita semua
rahmat, hidayat, dan karunianya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah tentang
“Maslahat Mursihah Atau Istishlah” ini. Dan pembahasannya meliputi pengertian, syarat-
syarat serta macam-macam Mashlahat Mursalah/Istishlah.

Makalah ini kami susun agar pembaca dapat menambah wawasan ilmu pengetahuan,
dengan adanya makalah ini, tidak lupa pula kami ucapkan kepada orang tua, teman yang telah
mendukung kami untuk dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu.

Akhir kata kami menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan dimulai dari
kosakata baku, dan dari aspek penulisan, oleh karena itu, kami menerima kritik dan sarannya
atas penyelesaian makalah ini. Semoga makalah ini bermanfaat bagi pembaca.

Waalaikumsalam Warahmatullahi Wabarakatuh

Bandung, 20 Oktober 2020

Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR…………………….……………………………………………………
DAFTAR ISI…………………………………………………………..……………………….
BAB I…………………………………………………………………………………………...
PENDAHULUAN……………………………………………………………………………...
1. Latar Belakang…………………………………………………………………………..
2. Rumusan Masalah………………………………………….............................................
3. Tujuan Penulisan………………………….......................................................................
BAB II……………………………………..................................................................................
PEMBAHASAN………………………………………..............................................................
1. Pengertian Maslahat Mursalah/ Ishtishlah……………………………............................
2. Syarat-syarat berhujjah Maslahat Mursalah/ Istishlah………………………..................
3. Macam-macam Maslahat Mursalah/ Istishlah………………………...............................
4. Dalil-dalil Maslahat mursalat/Istishlah……………...…………………………………..
5. Landasan hukum Maslahat Mursalah……………………………………………………
PENUTUP....................................................................................................................................
1. Kesimpulan.........................................................................................................................
2. Saran..................................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................................
BAB I

PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Maslahah mursalah merupakan dalil hukum untuk menetapkan hukum atas persoalan-
persoalan baru yang secara eksplisit tidak disebutkan di dalam al-Quran dan as-Sunnah al-
Maqbulah, baik diterima maupun ditolak. Dalam studi usul fikih, maslahah mursalah sebagai
dalil hukum ini digagas oleh Imam Malik. Para ahli usul fikih masih berbeda pendapat
tentang kehujahan maslahah mursalah sebagai dalil hukum. Secara umum, pengguna
maslahah mursalah ini adalah ahli usul fikih dari kalangan mazhab Maliki dan ahli usul
lainnya yang menganggap baik untuk digunakan dalam memecahkan problem umat akibat
dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini.

Permasalahan umat islam setiap hari makin berkembang dan kompleks. Keberadaan
nash Al-Quran dan as-sunnah sebagai referensi utama utama semua hukum hanya mencakup
permasalahan yang sangat global. Mengingat bahwa tujuan dari maslahat adalah menarik
kemanfaatan dan menolak kemudharatan yang merupakan tujuan yang dikehendaki oleh
pembuat syari,at.

Dari latar belakang diatas kami mengambil kesimpulsn yang telah kami rumuskan
yaitu pengertian, syarat-syarat dan macam-macam maslahat mursalat dan ishtishlah.

1.2. Rumusan Masalah


1. Pengertian Maslahat Mursalah/Ishtishlah?

2. Syarat-Syarat berhujjah Maslahat Mursalah/Istishlah?

3. Macam-Macam Maslahat Mursalah/Istishlah?

4. Dalil-dalil Maslahat mursalah/Istishlah?

1.3. Tujuan Penulisan


1. Untuk mengetahui pengertian Maslahat Mursalah /Istishlah.

2. Untuk mengetahui apa saja syarat-syarat Maslahat, Mursalah Istishlah.

3. Untuk mengetahui macam-macam Maslahat, Mursalah/ Istishlah.

4. untuk mengetahui dalil-dalil Maslahat Mursalah/istishlah.


BAB II

PEMBAHASAN

1 Pengertian Maslahat Mursalah/Ishtishlah

Maslahah Mursalah menurut bahasa terdiri dari dua kata, yaitu maslāhah dan
mursalah. Yang pertama, Kata maslāhah berasal dari kata kerja bahasa Arab ( ‫ يَصْ لُ ُح‬-‫صلَ َح‬
َ )
menjadi (‫ ْلحًا‬KK‫)ص‬
ُ atau (ً‫لَ َحة‬KK‫ص‬
ْ ‫ ) َم‬yang berarti sesuatu yang mendatangkan kebaikan. Kata
maslahah kadang-kadang disebut juga dengan ( ْ‫ )اَ ِال ْستِصْ الَح‬yang artinya mencari yang baik (
ِ ُ‫ )طَلَب‬yang kedua, kata mursālah adalah isim maf’ul dari fi’il madhi dalam bentuk
ْ‫االصْ الَح‬
tsulasi, yaitu (‫) َر َس َل‬, dengan penambahan huruf “alif” dipangkalnya, sehingga menjadi ( ‫)اَرْ َس َل‬.
ْ ‫( ) ُم‬bebas). Kata “terlepas” dan “bebas”
Secara etimologis artinya terlepas, atau dalam arti ( ‫طلَ ْق‬
disini bila dihubungkan dengan kata maslahah maksudnya adalah “terlepas atau bebas dari
keterangan yang menunjukkan boleh atau tidak bolehnya dilakukan”. Secara mutlak,
maslahat mursalah diartikan oleh ahli ushul fiqh sebagai suatu kemaslahatan yang secara
hukum tidak disyariatkan oleh syar’I, serta tidak ada dalil syar,i yang menerangkan atau
membatalkannya. Misalnya kemaslahatan yang diambil para sahabat dalam mensyariatkan
pengadaan penjara, percetakan mata uang, penetapan hak milik tanah pertanian dan
penentuan pajak penghasilan, atau hal-hal lain yang termasuk kemaslahatan yang dituntut
oleh keadaan darurat, kebutuhan atau kebaikan, namun belum disyariatkan hukumnya , dan
tidak ada nukti syara’ yang menunjukkan terhadap kebenaran atau kesalahannya .

Pembentukan hukum dimaksudkan untuk mewujudkan kemaslahatan manusia artinya


mendatangakn keuntungan, menolak mudorat dan menghilangkan kesulitan dari mereka.
Kemaslahatan akan terus-menerus muncul bersamaan dengan perkembangan situasi dan
kondisi manusia akibat perbedaan lingkungan. Pensyariatan hukum terkadang mendatangkan
kemanfaatan pada suatu masa dan pada masa yang lain mendatangkan mudorat. Pada saat
yang sama, kadangkala suatu hukum dapat mendatangkan manfaat dalam lingkungan
tertentu, namun justru mendatangkan mudorat dalam lingkungan lain.

Maslahat memiliki banyak definisi di kalangan ulama diantaranya adalah:

 Imam Al-Ghazali dalam kitab al-Mustasyfā merumuskan Maslahah Mursalah sebagai


berikut:

ْ ‫َمالَ ْم يَ ْشهَ ْد لَهُ ِم ْن ال َّشرْ ع بِ ْالب‬


‫ُطالَ ِن َوالَ بِاْ ِال ْعتِبَاِر نَصٌّ ُم َعي ٌَّن‬ ِ
Artinya: “Apa-apa (maslahah) yang tidak ada bukti baginya dari syara’ dalam bentuk nash
tertentu yang membatalkannya dan tidak ada yang memperhatikannya.”

 Asy-Syaukani dalam kitab Irsyād al-Fuhūl yang memberikan definisi yaitu:

ُ‫ع اَ ْلغَاهُ اَ ِو ا ْعتَبَ ُره‬


ُ ‫اَل ُمنَا ِسبُ الَّ ِذىْ الَيَ ْعلَ ُم اَ َّن ال َشاِر‬

Artinya: “Maslahah yang tidak diketahui apakah syari’ menolaknya atau


memperhitungkannya.”

 Ibnu Qudaima dari ulama Hambali memberi rumusan:

‫َما لَ ْم يَ ْشهَ ْد لَهُ اِ ْبطَا ٌل َوالَ اِ ْعتِبَا ٌر ُم َعي ٌَّن‬


Artinya: “Maslahat yang tidak ada bukti petunjuk tertentu yang membatalkannya dan tidak
pula yang memperhatikannya.”

 Yusuf Hamid al- ‘Alim memberikan rumusan:

ْ ‫ع الَ لِب‬
ِ َ‫ُطالَ نِهَا َوالَ ِال ْعتِب‬
‫ارهَا‬ ُ ْ‫َمالَ ْم يَ ْشهَ ِد ال َّشر‬

Artinya: “Sesuatu yang tidak ada petunjuk syara’ tidak untuk membatalkannya, juga tidak
untuk memperhatikannya.”

 Abdul Wahab al-Khallaf memberi rumusan berikut:

‫ارهَا اَوْ ِال ْلغَا ِءهَا‬


ِ َ‫ع َدلِ ْي ٌل ِال ْعتِب‬ ِ ‫اِنَّهَا َمصْ لَ َحةٌ لَ ْم يَ ِر ْد َع ِن ال َّش‬
ِ ‫ار‬

Artinya: “Maslahahal-Mursalah adalah mashlahat yang tidak ada dalil syara’ datang untuk
mengakuinya atau menolaknya.”

 Muhammad Abu Zahra memberi defenisi yang hampir sama dengan rumusan Jalal al-Din di
atas yaitu:

‫ار اَوْ بِ ْالغَا ِء‬


ِ َ‫ع َوالَ يَ ْشهَ ُد لَهَا اَصْ ٌل خَ اصٌّ بِاْ ِال ْعتِب‬ ِ ‫صالِ ُح ْال ُمالَ ِء َمةُ لِ َمقَا‬
ِ ‫صد ال َّش‬
ِ ‫ار‬ َ ‫اَ ْل َم‬

Artinya: “Maslahat yang selaras dengan tujuan syariat Islam dan petunjuk tertentu yang
membuktikan tentang pembuktian atau penolakannya.”
 Imam Malik sebagaimana dinukilkan oleh Imam Syatibi dalam kitab al-I’tishām
mendefinisikan Maslahah Mursalah adalah suatu maslahat yang sesuai dengan tujuan,
prinsip, dan dalil-dalil syara’, yang berfungsi untuk menghilangkan kesempitan, baik yang
bersifat dhārurīyah (primer) maupun hajjīyah (sekunder).

Dari beberapa definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa maslahat mursalah/istishlah


adalah sesuatu yang baik menurut akal dengan pertimbangan dapat mewujudkan kebaikan
atau menghindarkan keburukan bagi manusia. Dan apa yang baik menurut akal dan selaras
pula dengan tujuan syara’ tersebut tidak ada petunjuk syara’ secara khusus menolaknya, juga
tidak ada petunjuk syara’ yang mengakuinya.

Pensyariatan hukum terkadang mendatangkan kemanfaatan pada suatu masa dan pada
masa yang lain mendatangkan mudarat. Pada saat yang sama, kadangkala suatu hukum dapat
mendatangkan manfaat dalam lingkungan tertentu, namun justru mendatangkan mudarat
dalam lingkungan yang lain. Adapun kemaslahatan yang ditetapkan oleh syari’ dalam
berbagai hukum, dan dijelaskan ‘illat pensyariatannya dalam istilah para ahli ilmu ushul fiqih
disebut dengan mashlahah mu’tabarah. Misalnya pemeliharaan kehidupan manusia, syari’
mewajibkan qisas terhadap pelaku pembunuhan dengan sengaja. Contoh lain pemeliharaan
harta manusia dimana syari’ mewajibkan hukuman potong tangan bagi pencuri, baik laki-laki
maupun wanita. Kemudian, pemeliharaan kehormatan mereka, syari’ mensyariatkan
hukuman dera kepada penuduh zina, pelaku zina.

Sifat munasib yang berlaku di syari’ ada:

a. Munasib Muatstsir yaitu sifat yang sesuai, dimana syari’ telah Menyusun hukum
sesuai dengan sifat ini, berdasarkan nash atau ijma’, sifat itu ditetapkan sebagai ‘illat hukum
yang disusun berdasarkan kesesuaian terhadap sifat yang ada.

b. Munasib Mulaim yaitu sifat yang sesuai, yang mana syari’ telah Menyusun hukum
sesuai dengan siifat ini, namun tidak ada nash maupun ijma’ yang menetapkannya sebagai
‘illat hukum, yang disusun sesuai dengan sifat tersebut.

Adapun kemaslahatan yang muncul karena tuntutan lingkungan dan kenyataan baru
yang datang setelah terhentinya wahyu, sedangkan syari’ belum mensyariatkan suatu hukum,
dan tidak ada dalil syari’ yang mengakui atau membatalkannya, maka ini disebut dengan
munasib mursal. Contoh lain seperti kemaslahatan yang mengkehendaki bahwa akad jual beli
yang tidak dicatat, tidak dapat dipakai sebagai dasar pemindahan hak milik. Semua itu
merupakan berbagai kemaslahatan yang hukumnya tidak disyariatkan oleh syari’ dan tidak
ada dalil yang menunjukkan atas pengakuan atau pembatalannya. Hal tersebut dinamakan
mashlahah mursalah.

2. Syarat-syarat berhujjah Maslahat Mursalah/Istishlah

Ulama yang berhujjah dengan maslahat mursalah, mereka bersikap sangat hati-hati
sehingga tidak menimbulkan pembentukan hukum berdasarkan hawa nafsu dan keinginan
tertentu. Oleh karena itu mereka menyusun 3 syarat pada mashlahah mursalah yang dipakai
sebagai dasar pembentukan hukum, yaitu:

Pertama: Harus merupakan kemaslahatan yang hakiki, bukan yang bersifat dugaan.
Maksudnya, untuk membuktikan bahwa pembentukan hukum pada suatu kasus dapat
mendatangkan kemanfaatan dan penolakan bahaya. Jika sekedar dugaan bahwa pembentukan
hukum dapat menarik manfaat, tanpa mepertimbangkannya dengan bahaya yang datang,
maka kemaslahatan ini bersifat dugaan semata (mashlahah mursalah).

Contohnya, pencabutan hak suami untuk mentalak istrinya dan menjadikan hak talak
tersebut sebagai hak hakim dakam segala situasi dan kondisi.

Kedua: kemaslahatan ini bersifat umum, bukan pribadi. Maksudnya, untuk


membukiktikan bahwa pembentukan hukum pada suatu kasus dapat mendatangkan manfaat
bagi mayoritas umat manusia, atau menolak bahaya dari mereka, dan bukan ntuk
kemaslahatan individua tau beberapa orang.

Hukum tidak boleh disyariatkan untuk mewujudkan kemaslahatan khusus bagi


penguasa atau pembesar, dan memalingkan perhatian dan kemaslahatan mayoritas umat.
Dengan kata lain, seluruh kemaslahatan harus memberikan manfaat umat manusia.

Ketiga: pembentukan hukum berdasarkan kemaslahatan, tidak bertentangan dengan


hukum atau prinsip yang berdasarkan nash dan ijma’. Oleh karena itu, tidak benar mengakui
kemaslahatan yang menuntut persamaan antara anak laki-laki dan perempuan dalam bagian
warisan. Sebab maslahat yan demikian itu batal, karena bertentangan dengan Nash Al-Quran.
Dalam hal ini fatwa Yahya bin Yahya Al-Laitsi Al-Maliki, ulama fiqih Andalusia dan murid
imam Malik bin Anas, yaitu tentang seorang raja Andalusia berbuka puasa dengan sengaja
pada siang hari bulan Ramadhan, kemudian Imam Yahya memberikan fatwa, bahwa tidak
perlu membayar kafarat namun berpuasa dua bulan berturut-turut. Fatwa diatas didasarkan
pada kemaslahatan, tetapi yang diambil bertentangan dengan Nash, karena didalam Nash
telah jelas disebutkan bahwa kafarat orang yang berbuka puasa dengan sengaja pada siang
hari dibulan Ramadahan adalah memerdekakan seorang budak. Jika tidak mendapatkannya,
maka berpuasa dua bulan berturut-turut, jika tidak sanggup, maka dengan memberi makanan
kepada 60 orang miskin, tanpa membedakan apakah raja atau orang fakir yang berbuka
puasa.

Dari uraian tersebut, bahwa kemaslahatan atau sifat yang munasif harus terdapat salah
satu bukti syara’ yang mengakui atau membenarkan. Namun jika bukti syara’ menunjukkan
batalnya pengakuan tersebut, maka sifat itu adalah munasib al mulgha (yang dibatalkan), dan
apabila tidak ada bukti syara’ yang menunjukkan terhadap pengakuan Syari’ yang
membenarkan (mengakui) atau membatalkannya, maka sifat tersebut adalah munasib mursal,
dengan kata lain disebut mashlahah mursalah.

3. Macam-macam maslahat mursalah/ istihlah

Para ahli ushul fiqh mengemukakan beberapa pembagian maslahah jika dilihat dari
beberapa segi, dilihat dari kualitas dan kepentingan kemashlahatan itu, mereka membaginya
kepada tiga macam, yaitu:

a. Maslahah Al-Dharuriyah (primer), yaitu kemaslahatan yang berhubungan dengan kebutuhan


pokok umat manusia didunia dan di akhirat. Kemaslahatan seperti ini ada lima, yaitu:

1) Memelihara agama
2) Memelihara jiwa
3) Memelihara akal
4) Memilhara keturunan
5) Memelihara harta

kelima kemaslahatan ini, disebut dengan Al-Maslahih Al-Khamsah. Memeluk suatu


agama merupakan fitrah dan naluri insan yang tidak bisa diingkari dan sangat dibutuhkan
umat manusia. Untuk kebutuhan tersebut, Allah menyariatkan agama yang wajib dipelihara
setiap orang, baik yang berkaitan dengan aqidah, ibadah, maupun muamalah. Hak hidup juga
merupakan hak paling asasi bagi setiap manusia. Dalam kaitan ini untuk kemaslahatan,
keselamatan jiwa dan kehidupan manusia Allah menyariatkan berbagai hukum yang terkait
dengan itu, seperti syariat Qishash, kesempatan mempergunakan hasil sumber alam untuk
dikonsumsi manusia, hukum perkawinan untuk melanjutkan generasi manusia, dan berbagai
hukum lainnya. Akal merupakan sasaran yang menentukan bagi seseorang dalam menjalani
hidup dan kehidupannya. Oleh sebab itu, Allah menjadikan pemeliharaan akal itu sebagai
sesuatu yang pokok. Untuk itu, antara lain Allah melarang meminum minuman keras, karena
minuman itu bisa merusak akal dan hidup manusia.

b. Maslahah Al-Hajiyah (sekunder), yaitu kemaslahatan dalam menyempurnakan kemaslahatan


pokok sebelumnya yang berbentuk keringanan untuk mempertahankan dan memelihara
kebutuhan mendasar manusia. Serta persoalan yang dibutuhkan oleh manusia untuk
menghilangkan kesulitan dan kesusahan yang dihadapi. Dengan kata lain, dilihat dari segi
kepentingannya Misalnya diperbolehkan jual beli saham (pesanan), kerja sama dalam
pertanian (Muzara’ah) dan yang lainnya. Kesemuanya di syariatkan Allah untuk mendukung
kebutuhan mendasar Al-Maslahih Al-Khansah di atas.
c. Maslahah Al-Tahsiniyyah(tersier), yaitu, kemaslahatan yang sifanya pelengkap, berupa
keleluasaan yang dapat melengkapi kemaslahatan sebelumnya. Misalnya, dianjurkan untuk
memakan yang bergizi, berpakaian yang bagus, dan berbagai jenis cara menghilangkan najis
dari badan manusia. dan begitu pula dalam hadits Nabi diajarkan untuk memakai harum-
haruman yang pada dasarnya menjadi kesenangan manusia.

jika dilihat dari kandungan maslahah, maka ia dapat dibedakan yaitu:

1) Maslahah Al- ‘Ammah, yaitu kemaslahatan umum yang menyangkut kepentingan orang
banyak. Kemaslahatan umum itu tidak berarti untuk kepentingan semua orang tapi bisa saja
untuk kepentingan mayoritas umat.

2) Maslahah Al-Khashshah, yaitu kemaslahatan pribadi. Dan ini sangat jarang sekali seperti
kemaslahatan yang berkaitan dengan pemutusan hubungan perkawinan seseorang yang
dinyatakan hilang (maqfud).

Sedangkan jika dilihat dari segi berubah atau tidaknya maslahah, Mushtafa al-Syalabi,
membaginya kepada dua bagian, yaitu:

1) Maslahah Al-Tsubitsh, yaitu kemaslahatan yang bersifat tetap, tidak berbah sampai akhir
zaman.

2) Maslahah Al-Mutaghayyirah, yaitu kemaslahatan yang berbubah-ubah sesuai dengan


perubahan tempat, waktu dan subyek hukum.
Jika dilihat dari segi keberadaan maslahah, menurut syara’ terbagi kepada:

1) Maslahah Al-Mu’tabaroh, yaitu kemashlahatan yang terdapat dalam nash yang secara
tegas menjelaskan dan mengakui kebenarannya. Dengan kata lain yakni kemaslahatan
yang diakui oleh syar’i dan terdapatnya dalil yang jelas, sebagaimana disebutkan oleh
Muhammad al – Said Ali Abd. Rabuh. Yang masuk dalam mashlahat ini adalah semua
kemaslahatan yang dijelaskan dan disebutkan oleh nash, seperti memelihara agama, jiwa,
keturunan dan harta benda, yang selanjutnya kita sebut dengan maqashid asy-syari’ah.

2) Maslahah Al-Mulghah, yaitu kemaslahatan yang ditolak oleh syara’, karena bertentangan
dengan ketentuan syara’.  Dengan kata lain, maslahat yang tertolak karena ada dalil yang
menunjukkan bahwa ia bertentangan dengan dalil yang jelas. Dapat disimpulkan juga bahwa
syara’ menyikapi maslahat ini dengan menolak keberadaannya sebagai variabel penetap
hukum (illat). contoh menyamakan pembagian warisan antara seorang perempuan dengan
saudara laki-lakinya. Penyamakan ini memang banyak maslahatnya namun berlawanan
dengan ketentuan nash.

3) Maslahah Al-Mursalah, yaitu kemaslahatan yang keberadaannya tidak didukung syara’, dan
tidak pula dibatalkan/ditolak syara’ melalui dalil yang rinci. Dengan demikian maslahat
mursalah ini merupakan maslahat yang sejalan dengan tujuan syara’ yang dapat dijadikan
dasar pijakan dalam mewujudkan kebaikan yang dihajatkan manusia serta terhindar dari
kemudharatan. Diakui bahwa dalam kenyataannya jenis maslahat yang disebut terakhir ini
terus tumbuh dan berkembang seiring dengan perkembangan masyarakat Islam yang
dipengaruhi oleh perbedaan kondisi dan tempat.

Contoh Maslahah Mursalah:

Adapun beberapa contoh masalah yang menggunakan ketentuan hukum berdasarkan


maslahat yaitu antara lain:

1. Tindakan Abu bakar terhadap orang-orang yang ingkar membayar zakat, itu adalah
demi kemaslahatan.
2. Menulis huruf Al-Quran kepada huruf latin.

3. Membuang barang yang ada di atas kapal laut tanpa izin yang punya barang Karena ada
gelombang besar yang menjadikan kapal oleng. Demi kemaslahatan penumpang dan menolak
bahaya.

4. Dalam Al-Quran dan Sunnah Rasul tidak ada nash yang melarang mengumpulkan Al-
Quran dari hafalan kedalam tulisan, meskipun demikian, para sahabat di zaman Abu bakar
bersepakat untuk menulis dan mengumpulkannya, karena mengingat kemaslahatan umat yang
saat itu sahabat penghafal Al-Quran banyak yang meninggal dunia.

5.   Khulafaur ar-Rasyidin menetapkan keharusan menanggung ganti rugi kepada pada
para tukang. Padahal menurut hukum asal, bahwasanya kekuasaan mereka didasarkan atas
kepercayaan. Akan tetapi ternyata seandainya mereka tidak dibebani tanggung jawab
mengganti rugi, mereka akan berbuat ceroboh dan tidak memenuhi kewajibannya untuk
menjaga harta benda orang lain yang berada dibawah tanggungjawabnya.

6. Tuntunan Beribadah dimasa pandemi Covid-19 seperti, mengganti Sholat Jum’at


dengan sholat Dzuhur, meninggalkan sholat Jum’at bagi Muslim yang terpapar pandemi ,
tidak melaksanakan Sholat berjama’ah di Masjid, menutup sementara masjid, menggunakan
masker dalam sholat, menggunakan hand sanitizer, tidak melakukan Sholat Taraweh dan
Witir Berjama’ah di Masjid cukup dengan keluarga di rumah. Tidak melakukan I’tikaf di
Masjid, Menunda pelaksanaan Resepsi dan aqad nikah, ( Work From Home, Tidak boleh
Mudik, Kedermawanan, memaksimalkan penggunaan Kas Masjid untuk Penanggulangan
Covid-19, dll).   Semuanya ini merupakan bentuk Ijtihad yang dilakukan oleh Ulama dan Ulil
Amri di Indonesia untuk upaya lahiriyah memutus mata rantai penyebaran wabah yang akan
menimbulkan kemadlaratan bagi dirinya dan kemadlaratan bagi orang lain (la dharar wa la
dhiror) artinya hal tersebut memperioritaskan keselamatan diri dan keselamatan bersama
(fiqih al-awlawiyat).

2.4 Dalil-dalil Maslahah Mursalah

Adanya dalil umum yang diungkap oleh ulama, yang menjadi maslahah mursalah
sebagai hujjah diantaranya adalah:
a. Praktek para sahabat yang telah menggunakan maslahah mursalah diantaranya:
Sahabat mengumpulkan al qur’an kedalam beberapa mushaf, padahal Rasulullah tidak pernah
menyuruh. Dengan tujuan untuk menjaga kitab ini dari kepunahan. Dan yang lainya adalah
khulafaurrasyidin menetepkan keharusan menanggung ganti rugi kepada para tukang. Sebab
kalu tidak dibenai dengan ganti rugi maka mereka akan ceroboh dalam memegang amanah
dari majikanya. Kemudian contoh yang lain adalah saat umar bin khattab memerintahkan
para penguasa agar memisahakan antara harta kekayaan pribadi dengan harta diperoleh dari
kekuasaan agara terhindar dari manipulasi.

b. Adanya maslahah sesuai dengan maqhasaid as syariah artinya dengan mengambil


masalahah berarti sama dengan merealisasikan maqhasaid as syariah. menggunakan dalil
maslahah atas dasar bahwa ia adalaha sumber hukum pokok yang berdiri sendiri.

c. Seandainya maslahah tidak diambil pada setiap kasus yang jelas mengandung
maslahah selama berada dalam katek maslahah syariah, maka orang-orang mukalaff akan
mengalami kesulitan dan kesempitan.

d. Kemaslahatan umat manusia itu sifatnya selalu aktual. Karena itu jika tidak ada
syari’at hukum yang berdasarkan maslahah mursalah yang berkenaan dengan maslahah baru
sesuai tuntutan perkembangan, maka pembentukan hukum hanya akan terkunci berdasarkan
maslahah yang mendapat pengakuan syar’i dengan demikian kemaslahatan yang dibutuhkan
umat manusia disetiap masa dan tempat menjadi terabaikan, berarti pembentukan hukum
tidak melihat kemaslahatan umat manusia. Hal ini tidaklah cocok dan tidaklah sesuai dengan
maksud syari’at yang selalu ingin mewujudkan maslahat bagi kehidupan.

Dibawah ini akan di terangkan pendapat beberapa orang ulama didalam kitab ushul
tentang al maslahah al mursalah yaitu:

1. Al-amidi berkata dalam kita al-ihkam, IV: 140, “para ulama dari golongan syafi’i,
Hanafi dan lain-lain telah sepakat untuk tidak berpegang kepada istishlah, kecuali imam
malik, dan diapun tidak bersependapat dengan para pengikutnya. Para ulama tersebut sepakat
untuk tidak memakai istishlah dalam setiap kemaslahatan kecuali dalam hal yang penting dan
khusus secara qath’i meraka tidak menggunakan kemaslahatan.
2. Menurut Ibnu Hajib, sesuatu yang tidak ada dalilnya itu disebut mursal. Akan tetapi,
kalau gharib atau ada pembatalannya maka dalil itu tertolak secara sepakat. Adapun bila
dalilnya sesuai, maka imam Al-Ghazali memakainya, dia menerimanya dari Asy-Syafi.
Namun yang lebih utama adalah menolaknya

3. Imam Asy-Syatibi berkata dalam kitab Al-Istifham, II: 111-112 pendapat tentang
adanya maslahah dan mursalah itu tetap diperdebatkan di kalangan para ulama, yang dapat
dibagi dalam 4 pendapat yaitu:

a. Al-Qadhi dan beberapa ahli menolaknya dan menganggapnya sebagai sesuatu yang
tidak ada dasarnya.

b. Imam Malik menganggapnya ada dan memakainya secara mutlak.

c. Imam Asy-Syafi’I dan para pembesar golongan Hanafiyah memakai maslahah


mursalah dalam permasalahan yang tidak dijumpai dasar hukumannya yang shahih. Namun
mereka mensyaratkan dasar hukum yang mendekati. Hal itu senada dengan pendapat Al-
Juwaini.

d. Imam Al-Ghazali berpendapat bahwa bila kecocokannya itu ada dalam tahap tahsim
atau tajayyun (perbaikan), tidaklah dipakai sampai dalil yang jelas, Adapun bila berada pada
martabat penting boleh memakainya, tetapi harus memenuhi beberapa syarat.

5. Landasan hukum Maslahat Mursalah/ Istishlah


Sumber asal dari metode maslahah mursalah adalah diambil dari alQur’an maupun al-
Sunnah yang banyak jumlahnya, seperti pada ayat-ayat berikut:
1. Q.S Yunus: 57
َ‫ٰۤياَيُّهَا النَّاسُ قَ ۡد َجٓا َء ۡت ُكمۡ َّم ۡو ِعظَةٌ ِّم ۡن َّربِّ ُكمۡ َو ِشفَٓا ٌء لِّ َما فِى الصُّ د ُۡو ۙ ِر َوهُدًى َّو َر ۡح َمةٌ لِّ ۡـل ُم ۡؤ ِمنِ ۡين‬

Artinya : “Wahai manusia! Sungguh, telah datang kepadamu pelajaran (Al-


Qur'an) dari Tuhanmu, penyembuh bagi penyakit yang ada dalam dada dan
petunjuk serta rahmat bagi orang yang beriman.”

2. . Q.S. Yunus: 58

َ ِ‫قُلْ بِفَضْ ِل ٱهَّلل ِ َوبِ َرحْ َمتِِۦه فَبِ ٰ َذل‬


۟ ‫ك فَ ْليَ ْف َرح‬
َ‫ُوا هُ َو خَ ْي ٌر ِّم َّما يَجْ َمعُون‬
Artinya: “Katakanlah: "Dengan kurnia Allah dan rahmat-Nya,
hendaklah dengan itu mereka bergembira. Kurnia Allah dan rahmat-
Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan”

3.. Q.S. Al-Baqarah: 220

ۚ ‫ك ع َِن ْٱليَ ٰتَ َم ٰى ۖ قُلْ ِإصْ اَل ٌح لَّهُ ْم خَ ْي ٌر ۖ َوإِن تُخَالِطُوهُ ْم فَإ ِ ْخ ٰ َونُ ُك ْم‬ َ َ‫لُون‬Kََٔ‫فِى ٱل ُّد ْنيَا َوٱلْ َءا ِخ َر ِة ۗ َويَسْٔـ‬
ِ ‫ح ۚ َولَوْ َشٓا َء ٱهَّلل ُ أَل َ ْعنَتَ ُك ْم ۚ إِ َّن ٱهَّلل َ ع‬
‫َزي ٌز َح ِكي ٌم‬ ِ ِ‫َوٱهَّلل ُ يَ ْعلَ ُم ْٱل ُم ْف ِس َد ِمنَ ْٱل ُمصْ ل‬

Artinya: “Tentang dunia dan akhirat. Mereka menanyakan kepadamu


(Muhammad) tentang anak-anak yatim. Katakanlah, "Memperbaiki
keadaan mereka adalah baik!" Dan jika kamu mempergauli mereka,
maka mereka adalah saudara-saudaramu. Allah mengetahui orang yang
berbuat kerusakan dan yang berbuat kebaikan. Dan jika Allah
menghendaki, niscaya Dia datangkan kesulitan kepadamu. Sungguh,
Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana.”

Sedangkan nash dari al-Sunnah yang dipakai landasan dalam


mengistimbatkan hukum dengan metode maslahah mursalah adalah Hadits
Nabi Muhammad SAW, yang diriwayatkan oleh Ibn Majjah yang berbunyi:

‫اس‬KK‫ة عن ابن عب‬KK‫ابر الجعفى عن عكرم‬KK‫ر عن ج‬KK‫ انبٲ نا معم‬. ‫ حدثنا عبدالرزاق‬, ‫حدثنا محمد بن يحي‬
‫ والضرا ر‬9 ‫ الضرر‬: ‫ قال رسول هللا صلى هللا عليه و سلم‬: ‫قال‬

Artinya: “Muhammad Ibn Yahya bercerita kepada kami, bahwa Abdur


Razzaq bercerita kepada kita, dari Jabir al-Jufiyyi dari Ikrimah, dari Ibn
Abbas: Rasulullah SAW bersabda, “ tidak boleh membuat mazdarat
(bahaya) pada dirinya dan tidak boleh pula membuat mazdarat pada orang
lain”. (HR. Ibn Majjah)
BAB III

PENUTUP
1. Kesimpulan
Maslahat mursalah diartikan oleh ahli ushul fiqh sebagai suatu kemaslahatan yang secara
hukum tidak disyariatkan oleh syar’I, serta tidak ada dalil syar,i yang menerangkan atau
membatalkannya.
Syarat-syarat berhujjah, Pertama: Harus merupakan kemaslahatan yang hakiki, bukan yang
bersifat dugaan. Kedua: kemaslahatan ini bersifat umum, bukan pribadi. Ketiga:
pembentukan hukum berdasarkan kemaslahatan, tidak bertentangan dengan hukum atau
prinsip yang berdasarkan nash dan ijma’.
Macam-macam maslahat : 1. Maslahah Al-Tahsiniyyah(tersier), yaitu, kemaslahatan yang
sifanya pelengkap, berupa keleluasaan yang dapat melengkapi kemaslahatan sebelumnya. 2.
Maslahah Al-Hajiyah (sekunder), yaitu kemaslahatan dalam menyempurnakan kemaslahatan
pokok sebelumnya yang berbentuk keringanan untuk mempertahankan dan memelihara
kebutuhan mendasar manusia. Serta persoalan yang dibutuhkan oleh manusia untuk
menghilangkan kesulitan dan kesusahan yang dihadapi. 3. Maslahah Al-Dharuriyah (primer),
yaitu kemaslahatan yang berhubungan dengan kebutuhan pokok umat manusia didunia dan di
akhirat’
Dalil-dalilnya yaitu Praktek para sahabat yang telah menggunakan maslahah mursalah
diantaranya: Sahabat mengumpulkan al qur’an kedalam beberapa mushaf, Adanya maslahah
sesuai dengan maqhasaid as Syariah.

2. Saran
Penulis menyadari betul bahwa makalah ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu,
kami mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca yang sekiranya membangun agar
kekurangan dari makalah ini dapat diperbaiki dan menjadi lebih sempurna
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Wahhab Khalaf, ilmu ushul fiqh. (Semarang: Dina Utama Semarang, 1994)
Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, terj. Saefullah Ma’shum, et al, Ushul Fiqih, Jakarta:
Pustaka Firdaus, 2005
Jalaluddin al-Suyuti, Al-Asbah wa al-Nazdo’ir, Semarang, 1987,
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Maslahah
https://jabar.kemenag.go.id/portal/read/maslahah-mursalah-dalam-kedudukannya-sebagai-
sumber-hukum-islam
https://core.ac.uk/download/pdf/235121653.pdf
https://tafsirweb.com/3331-quran-surat-yunus-ayat-57.html
https://tafsirweb.com/3332-quran-surat-yunus-ayat-58.html

Anda mungkin juga menyukai