Anda di halaman 1dari 19

HADITS MUSIBAH DAN BERKABUNG

Untuk Memenuhi Salah satu Tugas Kelompok Mata Kuliah Materi Hadits MA/SMA
Dosen Pengampu: Drs. Asep Herdi, M.Ag

Disusun oleh:
Kelompok 3
1. Muhammad Rifqi Mutawakkil (1202020109)
2. Ranny Amalia (1202020128)
3. Reza Fahlefi (1202020133)

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2021
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Warohmatullohi Wabarokatuh.
Puji dan syukur mari kita panjatkan kepada Alloh SWT yang telah memberikan
nikmat serta hidayah-Nya terutama nikmat kesehatan sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul “Musibah dan Berkabung” dengan tepat waktu.
Sholawat serta salam semoga tetap tercurah limpahkan kepada junjunan kita semua
yakni Nabi Muhammad SAW yang sangat kita nantikan syafaatnya di akhirat kelak.
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas dari Bapak Drs. Asep Herdi, M.Ag.
selaku dosen pengampu pada mata kuliah Materi Hadits MA/SMU. Selain itu, kami
juga berharap agar makalah ini dapat menambah wawasan bagi pembaca tentang
“Musibah dan Berkabung”.
Kami mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada dosen pengampu mata
kuliah Materi Hadits MA/SMU. Tugas yang telah diberikan ini dapat menambah
pengetahuan dan wawasan mengenai bidang yang ditekuni.
Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
proses penyusunan makalah ini dan menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu, krtik dan saran yang bersifat membangun akan kami terima
demi kesempurnaan makalah ini.
Wassalamu’alaikum warohmatullohi wabarokatuh

Bandung, 6 Oktober 2021

Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR....................................................................................
DAFTAR ISI ..................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN ..............................................................................
A. Latar Belakang .....................................................................................
B. Rumusan Masalah ................................................................................
C. Tujuan Masalah....................................................................................
BAB II PEMBAHASAN ................................................................................
A. Pengertian Musibah dan Berkabung ....................................................
B. Teks,Terjemah, Mufrodat.....................................................................
C. Macam-macam Musibah......................................................................
D. Esensi Hadits: Ta’rif Istilah dan Ta’rif Dilalah....................................
E. Ta’rif Arkan Hadits .............................................................................
F. Kualitas Hadits .....................................................................................
G. Tashih dan I’tibar Hadits......................................................................
H. Ta’ammul Hadits..................................................................................
I. Munasabah dan Asbabul Wurud ..........................................................
J. Istinbat Ahkam dan Hikmah ................................................................
BAB III PENUTUP ........................................................................................
A. Kesimpulan ..........................................................................................
B. Implikasi ..............................................................................................
C. Saran ....................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Semua orang pasti pernah mendapat musibah baik pada jiwa, harta, atau
keluarganya. Sudah menjadi takdir Allah bahwa semua orang pasti merasakan
yang namanya musibah baik kecil maupun besar. Musibah yang menimpa semua
manusia pasti atas kehendak Allah. Umat manusia yang Allah berikan musibah
bukan berarti Allah swt. ingin menyusahkan hamba-Nya tersebut.
Allah swt. memberikan musibah kepada hamba-Nya karena ingin
menghapuskan sebagian dari kesalahan-kesalahan hamba-Nya tersebut. Seorang
hamba yang sabar ketika mendapat musibah maka Allah akan menghapus
sebagian kesalahannya. Namun, apabila hamba tersebut tidak sabar menanggung
penderitaan maka jelas hanya penderitaan yang bertambah berat.

Allah SWT berfirman dalam Qur’an:

ُ ‫صيبَ ٍة ِإاَّل بِِإ ْذ ِن ٱهَّلل ِ ۗ َو َمن يُْؤ ِم ۢن بِٱهَّلل ِ يَ ْه ِد قَ ْلبَهۥُ ۚ َوٱهَّلل‬


ِ ‫اب ِمن ُّم‬ َ ‫ص‬ َ ‫َمٓا َأ‬
‫بِ ُكلِّ َش ْى ٍء َعلِي ٌم‬
Artinya:
“Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan ijin
Allah; dan barangsiapa yang beriman kepada Allah niscaya Dia akan memberi
petunjuk kepada hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”.
B. Rumusan Masalah
1. Apa hadits yang menjelaskan tentang musibah dan berkabung?
2. Bagaimana teks, terjemah hadits mufradat dari hadits tersebut?
3. Apa saja macam-macam musibah?
4. Apa saja esensi hadits menurut ta’rif istilah dan ta’rif dilalah dari hadits
tersebut?
5. Apa saja Ta’rif Arkan Hadits tersebut?
6. Apa jenis kualitas hadits tentang musibah dan berkabung?
7. Bagaimana Tashih dan I’tibar Hadits tersebut?
8. Bagaimana Ta’ammul Hadits tersebut?
9. Bagaimana Munasabah dan Asbabul Wurud hadits tersebut?
10. Bagaimana Istinbat Ahkam dan Hikmah hadits tersebut?
C. Tujuan Masalah
1. Mengetahui hadits tentang musibah dan berkabung.
2. Mengetahui teks, terjemah hadits mufradat.
3. Mengetahui macam-macam musibah.
4. Mengetahui esensi hadits menurut ta’rif istilah dan ta’rif dilalah.
5. Mengetahui Ta’rif Arkan Hadits
6. Mengetahui jenis kualitas hadits tersebut.
7. Mengetahui Tashih dan I’tibar Hadits.
8. Mengetahui Ta’ammul Hadits.
9. Mengetahui Munasabah dan Asbabul Wurud.
10. Mengetahui Istinbat Ahkam dan Hikmah.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Musibah dan Berkabung


Musibah berasal dari kata ashaaba, yushiibu, mushiibatan yang berarti
bala dan malapetaka. Sedangkan menurut pengertian istilah adalah sebagaimana
yang dikemukakan oleh Al-Maraghi: “Musibah adalah semua peristiwa yang
menyedihkan atau segala sesuatu yang menyakiti manusia, pada jiwa, harta
atau keluarganya seperti meninggalkan seseorang yang dikasihani, kehilangan
harta benda atau penyakit yang menimpa baik ringan atau berat”.
Berkabung berasal dari kata kabung berati kain putih yang diikatkan di
kepala sebagai tanda berduka cita. Jadi berkabung adalah turut berduka cita
karena adanya keluarga atau yang lain meninggal dunia.

B. Teks, Terjemah, Mufradat dan Maksud Lafadz Hadits

ِ ‫يل َح َّدثَنَا دَا ُو ُد بْنُ َأبِي ْالفُ َرا‬


‫ت َح َّدثَنَا َع ْب ُد هَّللا ِ بْنُ بُ َر ْي َدةَ ع َْن‬ َ ‫اع‬ ِ ‫ بْنُ ِإ ْس َم‬y‫َح َّدثَنَا ُمو َسى‬
ُ ‫ت َسَأ ْل‬
‫ت‬ ْ َ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم قَال‬ َ ‫ج النَّبِ ِّي‬ ِ ْ‫ي هَّللا ُ َع ْنهَا َزو‬ ِ ‫يَحْ يَى ب ِْن يَ ْع َم َر ع َْن عَاِئ َشةَ َر‬
yَ ‫ض‬
‫ َأنَّهُ َع َذابٌ يَ ْب َعثُهُ هَّللا ُ َعلَى َم ْن يَ َشا ُء‬y‫ُون فََأ ْخبَ َرنِي‬ ِ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ع َْن الطَّاع‬ َ ِ ‫ُول هَّللا‬
َ ‫َرس‬
َ ‫ث فِي بَلَ ِد ِه‬
‫ ُمحْ ت َِسبًا‬y‫صابِ ًرا‬ ُ ‫ْس ِم ْن َأ َح ٍد يَقَ ُع الطَّاعُونُ فَيَ ْم ُك‬ َ ‫َوَأ َّن هَّللا َ َج َعلَهُ َرحْ َمةً لِ ْل ُمْؤ ِمنِينَ لَي‬
‫َب هَّللا ُ لَهُ ِإاَّل َكانَ لَهُ ِم ْث ُل َأجْ ِر َش ِهي ٍد‬
َ ‫صيبُهُ ِإاَّل َما َكت‬ ِ ُ‫يَ ْعلَ ُم َأنَّهُ اَل ي‬
(‫)رواه البخاري‬
Artinya:
“Telah bercerita kepada kami Musa bin Isma'il telah bercerita kepada
kami Daud bin Abu Al Furat telah bercerita kepada kami 'Abdullah bin
Buraidah dari Yahya bin Ya'mar dari 'Aisyah radliallahu 'anhu, istri
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam berkata; "Aku pernah bertanya
kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam tentang masalah tha'un
lalu beliau mengabarkan aku bahwa tha'un (penyakit sampar, pes,
lepra) adalah sejenis siksa yang Allah kirim kepada siapa yang Dia
kehendaki dan sesungguhnya Allah menjadikan hal itu sebagai rahmat
bagi kaum muslimin dan tidak ada seorangpun yang menderita tha'un
lalu dia bertahan di tempat tinggalnya dengan sabar dan mengharapkan
pahala dan mengetahui bahwa dia tidak terkena musibah melainkan
karena Allah telah mentaqdirkannya kepadanya, maka dia mendapatkan
pahala seperti pahala orang yang mati syahid”. (HR. Bukhori)

Mufradat

‫َح َّدثَنَا‬ Telah bercerita kepada


kami

‫ج النَّبِ ِّي‬
ِ ْ‫زَ و‬ Istri Nabi Muhammad

‫َسَأ ْلت‬ Saya bertanya

y‫فََأ ْخبَ َرنِي‬ Mengabarkanku

ٌ‫َع َذاب‬ Siksa

ُ ‫يَ ْب َعثُهُ هَّللا‬ Yang Allah kirim

‫َعلَى َم ْن يَ َشا ُء‬ Kepada siapa yang Allah


kehendaki

ُ‫َج َعلَه‬ Menjadikan hal itu

‫ْس ِم ْن َأ َح ٍد‬
َ ‫لَي‬ Tidak ada satu orang pun

ُ‫يَقَ ُع الطَّاعُون‬ Yang menderita tha'un

‫فِي بَلَ ِد ِه‬ Di tempat tinggalnya

ِ ‫اَل ي‬
ُ‫ُصيبُه‬ Tidak terkena musibah

ُ ‫َب هَّللا‬
َ ‫ِإاَّل َما َكت‬ Melainkan karena Allah
telah mentaqdirkannya
kepadanya

‫َأجْ ِر َش ِهيد‬ pahala orang yang mati


syahid
C. Macam-macam Musibah
1. Musibah dilihat dari segi keimanan
Dalam pandangan keimanan musibah dibedakan menjadi dua, yaitu:
a. Musibah Dunia
Musibah Dunia adalah musibah yang menimpa di dunia serta dapat
menimpa semua umat manusia di bumi ini. Seperti musibah yang
berupa bencana alam baik yang di darat, laut, dan air atau yang
menimpa raga manusia secara khusus seperti beragam penyakit yang
menimpa jasadnya.
b. Musibah Akhirat
Musibah ini menimpa manusia pada saat di dunia dan yang berkaitan
langsung dengan kehidupan akhirat nantinya. Yang dimaksud dengan
musibah dalam bentuk ini yaitu musibah yang menimpa
keberagamaan atau keimanan seseorang. Perlu diketahui musibah
dalam bentuk ini adalah musibah yang paling besar. Contohnya,
seseorang yang dulu rajin beribadah kini bermalasmalasan atau orang
yang dulu taat kini meninggalkan dan suka kemaksiatan. Inilah
musibah yang tidak ada keberuntungannya sama sekali.

2. Musibah dilihat dari segi bentuknya


Kalau dilihat dari segi bentuknya, musibah ini dibagi menjadi
tiga bentuk, yaitu terdiri dari:
a. Musibah Natural (Alam)
Musibah natural adalah musibah yang terjadi tanpa ada unsur
kesengajaan atau bisa dikatakan terjadi secara alami dan sudah
menjadi ketentuan-Nya. Musibah dalam bentuk ini memaksa
manusia untuk menerimanya.
b. Musibah Kultural
Yang dimaksud dengan musibah kultural adalah musibah yang
terjadi karena kebiasaan buruk manusia.
c. Musibah Struktural
Musibah stuktural adalah musibah yang terjadi disebabkan oleh
sistem hidup yang rusak yang tidak layak diterapkan di tengah-
tengah manusia.

3. Musibah dilihat dari segi fungsinya


Sedangkan jika dilihat dari fungsi musibah itu sendiri, maka
musibah dapat dikelompokkan menjadi beberapa, yaitu:
a. Musibah Sebangai Ujian atau Cobaan
Musibah ini diberikan Allah SWT kepada hamba-hamba-Nya yang
beriman untuk menguji keimanan dan kesabaran mereka, agar
diketahui siapa di antara mereka yang imannya benar-benar mutiara
dan yang imannya sekedar pecahan kaca. Musibah itu bertujuan
untuk menimpa manusia yang beriman agar tidak berputus asa
terhadap musibah yang menimpanya.
b. Musibah Sebagai Peringatan
Bagi setiap muslim, musibah bisa sebagai peringatan agar mereka
mau kembali ke jalan yang benar. Musibah juga berarti peringatan
dari Allah SWT bahwa sesungguhnya manusia adalah makhluk yang
sangat lemah dihadapan Allah SWT. Kesadaran ini perlu
ditumbuhkan karena manusia cenderung merasa paling kuat dan
paling berguna, sehingga sombong. Kesombongan inilah yang
mengakibatkan kita sering menolak kebenaran dan meremehkan
orang lain.
c. Musibah Sebagai Adzab
Musibah ini datang sebagai tanda murka Allah SWT kepada orang-
orang pelaku dosa dan jauh dari keimanan dan takwa.

D. Esensi Hadits: Ta’rif Istilah dan Ta’rif Dilalah


Esensi hadits secara lughah adalah khabar. Secara istilah adalah setiap
yang idhafah kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, shahabat, tabi’in, dan
kepada Allah yang bukan al-Qur’an. Secara dilalah adalah semua hadits yang
termaktub pada kitab Hadits.
ِ ‫يل َح َّدثَنَا دَا ُو ُد بْنُ َأبِي ْالفُ َرا‬
‫ت َح َّدثَنَا َع ْب ُد هَّللا ِ بْنُ بُ َر ْي َدةَ ع َْن‬ ِ ‫ بْنُ ِإ ْس َم‬y‫َح َّدثَنَا ُمو َسى‬
َ ‫اع‬
ُ ‫ت َسَأ ْل‬
‫ت‬ ْ َ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم قَال‬ ِ ْ‫ي هَّللا ُ َع ْنهَا َزو‬
َ ‫ج النَّبِ ِّي‬ ِ ‫يَحْ يَى ب ِْن يَ ْع َم َر ع َْن عَاِئ َشةَ َر‬
yَ ‫ض‬
‫ َأنَّهُ َع َذابٌ يَ ْب َعثُهُ هَّللا ُ َعلَى َم ْن يَ َشا ُء‬y‫ُون فََأ ْخبَ َرنِي‬
ِ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ع َْن الطَّاع‬
َ ِ ‫ُول هَّللا‬
َ ‫َرس‬
َ ‫ث فِي بَلَ ِد ِه‬
‫ ُمحْ ت َِسبًا‬y‫صابِ ًرا‬ ُ ‫ْس ِم ْن َأ َح ٍد يَقَ ُع الطَّاعُونُ فَيَ ْم ُك‬
َ ‫َوَأ َّن هَّللا َ َج َعلَهُ َرحْ َمةً لِ ْل ُمْؤ ِمنِينَ لَي‬
)‫َب هَّللا ُ لَهُ ِإاَّل َكانَ لَهُ ِم ْث ُل َأجْ ِر َش ِهي ٍد (رواه البخاري‬ ِ ُ‫يَ ْعلَ ُم َأنَّهُ اَل ي‬
َ ‫صيبُهُ ِإاَّل َما َكت‬
“Telah bercerita kepada kami Musa bin Isma'il telah bercerita kepada
kami Daud bin Abu Al Furat telah bercerita kepada kami 'Abdullah bin
Buraidah dari Yahya bin Ya'mar dari 'Aisyah radliallahu 'anhu, istri Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam berkata; "Aku pernah bertanya kepada Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam tentang masalah tha'un lalu beliau mengabarkan
aku bahwa tha'un (penyakit sampar, pes, lepra) adalah sejenis siksa yang Allah
kirim kepada siapa yang Dia kehendaki dan sesungguhnya Allah menjadikan
hal itu sebagai rahmat bagi kaum muslimin dan tidak ada seorangpun yang
menderita tha'un lalu dia bertahan di tempat tinggalnya dengan sabar dan
mengharapkan pahala dan mengetahui bahwa dia tidak terkena musibah
melainkan karena Allah telah mentaqdirkannya kepadanya, maka dia
mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mati syahid”.
Teks tersebut dikatakan hadits secara lughah, karena teks tersebut
substansinya berupa khabar atau informasi. Teks tersebut dikatakan hadits secara
istilah karena idhafah kepada Nabi SAW, sebab secara istilah Hadits adalah
setiap yang idhafah kepada Nabi SAW, shahabat, tabi’in, dan kepada Allah
SWT yang bukan Al-Qur’an; tandanya adalah sighah: ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬
َ ِ‫ َرسُوْ ُل هللا‬.
Teks tersebut dikatakan Hadits secara dilalah karena termaktub pada kitab
Hadits, yakni kitab Shahih Muslim, sebab Hadits secara dilalah adalah semua
Hadits yang termaktub pada kitab Hadits atau mashadir ashliyah. (‫)رواه البخاري‬
‫‪E. Ta’rif Arkan Hadits‬‬
‫‪Esensi Hadits secara arkan adalah terdiri dari matan lengkap dengan rawi‬‬
‫‪dan sanadnya.‬‬

‫يل َح َّدثَنَا دَا ُو ُد بْنُ َأبِي ْالفُ َرا ِ‬


‫ت َح َّدثَنَا َع ْب ُد هَّللا ِ بْنُ بُ َر ْي َدةَ ع َْن‬ ‫َح َّدثَنَا ُمو َسى‪ y‬بْنُ ِإ ْس َم ِ‬
‫اع َ‬
‫ت َسَأ ْل ُ‬
‫ت‬ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم قَالَ ْ‬ ‫ج النَّبِ ِّي َ‬‫ي هَّللا ُ َع ْنهَا َزوْ ِ‬ ‫يَحْ يَى ب ِْن يَ ْع َم َر ع َْن عَاِئ َشةَ َر ِ‬
‫ض َ‪y‬‬
‫ُون فََأ ْخبَ َرنِي‪َ y‬أنَّهُ َع َذابٌ يَ ْب َعثُهُ هَّللا ُ َعلَى َم ْن يَ َشا ُء‬
‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ع َْن الطَّاع ِ‬
‫ُول هَّللا ِ َ‬
‫َرس َ‬
‫ث فِي بَلَ ِد ِه َ‬
‫صابِ ًرا‪ُ y‬محْ ت َِسبًا‬ ‫ْس ِم ْن َأ َح ٍد يَقَ ُع الطَّاعُونُ فَيَ ْم ُك ُ‬
‫َوَأ َّن هَّللا َ َج َعلَهُ َرحْ َمةً لِ ْل ُمْؤ ِمنِينَ لَي َ‬
‫َب هَّللا ُ لَهُ ِإاَّل َكانَ لَهُ ِم ْث ُل َأجْ ِر َش ِهي ٍد (رواه البخاري)‬ ‫يَ ْعلَ ُم َأنَّهُ اَل يُ ِ‬
‫صيبُهُ ِإاَّل َما َكت َ‬

‫‪Teks tersebut dikatakan hadits secara arkan karena terdiri dari unsur rawi, sanad,‬‬
‫‪dan matan.‬‬
‫‪Sanad:‬‬
‫ت َح َّدثَنَا َع ْب ُد هَّللا ِ بْنُ بُ َر ْي َدةَ ع َْن يَحْ يَى ب ِْن‬‫يل َح َّدثَنَا دَا ُو ُد بْنُ َأبِي ْالفُ َرا ِ‬
‫اع َ‬‫َح َّدثَنَا ُمو َسى‪ y‬بْنُ ِإ ْس َم ِ‬
‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬ ‫ي هَّللا ُ َع ْنهَا َزوْ ِ‬
‫ج النَّبِ ِّي َ‬ ‫ض َ‪y‬‬‫يَ ْع َم َر ع َْن عَاِئ َشةَ َر ِ‬
‫‪Matan:‬‬
‫ُون فََأ ْخبَ َرنِي‪َ y‬أنَّهُ َع َذابٌ يَ ْب َعثُهُ هَّللا ُ َعلَى َم ْن يَ َشا ُء َوَأ َّن هَّللا َ َج َعلَهُ َرحْ َمةً لِ ْل ُمْؤ ِمنِينَ‬
‫ع َْن الطَّاع ِ‬
‫َب هَّللا ُ‬
‫ُصيبُهُ ِإاَّل َما َكت َ‬ ‫صابِ ًرا‪ُ y‬محْ تَ ِسبًا يَ ْعلَ ُم َأنَّهُ اَل ي ِ‬
‫ث فِي بَلَ ِد ِه َ‬ ‫ْس ِم ْن َأ َح ٍد يَقَ ُع الطَّاعُونُ فَيَ ْم ُك ُ‬
‫لَي َ‬
‫لَهُ ِإاَّل َكانَ لَهُ ِم ْث ُل َأجْ ِر َش ِهي ٍد‬
‫‪Perawi dan Mukharrij:‬‬

‫‪Nama Perawi‬‬ ‫‪Urutan Periwayat‬‬ ‫‪Urutan Dalam Sanad‬‬


‫‪‘Aisyah‬‬ ‫‪Periwayat I‬‬ ‫‪Sanad V‬‬
‫‪Yahya bin Ya’mar‬‬ ‫‪Periwayat II‬‬ ‫‪Sanad IV‬‬
‫‪‘Abdullah bin Buroidah‬‬ ‫‪Periwayat III‬‬ ‫‪Sanad III‬‬
Daud bin Abil Furot Periwayat IV Sanad II
Musa bin Ismail Periwayat V Sanad I
Imam Bukhari Periwayat VI Mukharrij al-Hadits

F. Kualitas Hadits
Hadist ini merupakan hadits shahih karena sanadnya bersambung. Setiap
hadits yang rangkaian sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh perawi yang
adil dan dhabit dari awal sampai akhir sanad, tidak terdapat di dalamnya syadz
dan ‘illah.

G. Tashih dan I’tibar Hadits

Tashhih dalam hal ini berarti penganalisisan hadits melalui pengkajian rawi, sanad
dan matan sesuai dengan kaidah. Terdapat dua kategori terkait kualitas hadits

Yaitu Maqbul dan mardud. Maqbul artinya hadits yang diterima serta dapat dijadiak
sebagai hujjah. Sebaliknya hadits Mardud tidak dapat diterima dan tidak dapat dijadikan
sebagai hujjah. Kemudian karena pada pembahasan poin sebelumnya hadits ini
dikatakan shahih dengan kata lain Maqbul yang telah dikemukakan pula komentar
terhadap perawi tersebutt dalam uraian biografi singkat para perawi. Hadits ini pula
tidak bertentangan dengan Al-qur’an serta sanadnya bersambung (muttashil)

Dalam ilmu muṣṭalaḥ hadis, dikenal sebuah istilah yang bernama i‘tibār. I‘tibār ialah
suatu cara untuk mencari hadis syāhid dan hadis mutābi‘ dengan jalan mengobservasi
rawi yang sama antara sebuah hadis dengan hadis lain, atau mengenai suatu matan hadis
yang bersesuaian atau menguatkan terhadap matan hadis yang lain. Kaidah i‘tibar, yaitu
penelitian literatur hadis untuk mencari dan mengkaji kualitas hadis yang ditulis dalam
literatur hadis tersebut. Artinya, kualitas sebuah hadis bisa dilihat berdasarkan tinjauan
terhadap keberadaan hadis tersebut dalam literatur hadisnya.
Sebelum dilakukannya al-i‘tibar terlebih dahulu dilakukan kegiatan takhrij hadis,
sebagai langkah awal penelitian untuk hadis yang akan diteliti, maka seluruh sanad
hadis dicatat dan dihimpun untuk kemudian dilakukan kegiatan i‘tibar. I‘tibār menurut
bahasa; al-I‘tibār Maṣdar dari kata “i‘tabara” sedang makna I‘tibār adalah
memperhatikan/meninjau suatu perkara untuk mengetahui sesuatu jenis lainnya.

Hadits tentang musibah didapatkan pada Kitab Fathul Bari Ibnu Hajar jilid 10
halaman 277 hadis nomor 3215, Shahih Bukhari hadis nomor 3215.

H. Ta’ammul Hadits

Tathbiq atau aplikasi Hadits Maqbul terbagi pada:


a. Maqbul yang ma'mul bih: dapat diamalkan, meliput:
1) Hadits yang muhkam: yang jelas tegas;
2) Hadits mukhtalif: yang dapat dikompromikan;
3) Hadits rajih: lebih unggul;
4) Hadits nasikh: wurud belakangan.
b. Maqbul yang ghair ma'mul bih: tidak dapat diamalkan, melputi:
1) Hadits yang mutasyabih: tidak jelas;
2) Hadits marjuh: tidak unggul;
3) Hadits mansukh: wurud duluan;
4) Hadits mutawaqqaf fih: tidak bisa dikompromikan, ditarjih, dan dinasakh.
Hadits Maqbul, yakni Hadits yang berkualitas diterima sebagai hujjah dengan sebutan
Shahih atau Hasan, baik Lidzatihi atau Lighairihi, ada yang ma’mul bih (dapat
diamalkan) dan ada juga yang ghair ma’mul bihi (tak dapat diamalkan).
Kaidahnya adalah:
1. Bila Hadits maqbul itu hanya satu atau banyak namun sama (lafzhi atau ma’nawi),
maka yang muhkam (jelas, tegas) ma’mul, dan yang mutasyabih (tidak jelas) ghair
ma’mul.
2. Bila Hadits maqbul itu banyak dan tanaqudh (berbeda) atau ta’arudh (berlawanan),
maka ditempuh thariqah jam’u, tarjih, nasakh, dan tawaquf.
Berdasarkan kriteria tersebut, Hadits tentang “Musibah dan Berkabung” ini
dikategorikan sebagai hadits maqbul shahih lidzatih dan termasuk hadits ma’mul bih
(dapat diamalkan) sebab lafazhnya muhkam, yakni matan dan kandungannya tegas
dan jelas.
I. Munasabah dan Asbabul Wurud
Munasabah secara etimologi, menurut as-suyuthi berarti al musyakalah
(keserupaan) dan al- muqorobah (kedekatan). Istilah munasabah digunakan
dalam ‘illat dalam bab qiyas, dan berati al-wasf al-mmukarrib li al-hukm
(gambaran yang berhubungan dengan hukum). Istilah munasabah diungkapkan
pula dengan kata rabth (pertalian).
Dapat disimpulkan bahwa Munasabah adalah sebuah teori dalam konteks
penafsiran untuk menemukan sisi relevansi serta kemud’alakan yang merupakan
satu kesatuan yang utuh baik antara hadits dengan ayat Al Qur’an atau dengan
hadits yang lainnya dalam rangka mewujudkan keterpaduan pesan-pesan al-
Qur’an dan hadits secara integral sehingga tidak lagi ditemukannya paradoks
antar dan intermakna kalimat, ayat maupun surat.

Munasabah Hadits tentang Musibah wabah penyakit

‫ك ع َْن ُم َح َّم ِد ْب ِن ْال ُم ْن َك ِد ِر َوع َْن َأبِي‬ ِ ‫َح َّدثَنَا َع ْب ُد ْال َع ِز‬
ٌ ِ‫يز بْنُ َع ْب ِد هَّللا ِ قَا َل َح َّدثَنِي َمال‬
‫ص ع َْن َأبِي ِه َأنَّهُ َس ِم َعهُ يَ ْسَأ ُل‬
ٍ ‫النَّضْ ِر َموْ لَى ُع َم َر ب ِْن ُعبَ ْي ِد هَّللا ِ ع َْن عَا ِم ِر ب ِْن َس ْع ِد ب ِْن َأبِي َوقَّا‬
‫ال ُأ َسا َمةُ قَا َل‬ ِ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم فِي الطَّاع‬
َ َ‫ُون فَق‬ َ ِ ‫ُأ َسا َمةَ ْبنَ َز ْي ٍد َما َذا َس ِمعْتَ ِم ْن َرسُو ِل هَّللا‬
َ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم الطَّاعُونُ ِرجْ سٌ ُأرْ ِس َل َعلَى طَاِئفَ ٍة ِم ْن بَنِي ِإ ْس َراِئ‬
‫يل َأوْ َعلَى‬ َ ِ ‫َرسُو ُل هَّللا‬
‫ض َوَأ ْنتُ ْم بِهَا فَاَل ت َْخ ُرجُوا‬
ٍ ْ‫ض فَاَل تَ ْق َد ُموا َعلَ ْي ِه َوِإ َذا َوقَ َع بَِأر‬
ٍ ْ‫َم ْن َكانَ قَ ْبلَ ُك ْم فَِإ َذا َس ِم ْعتُ ْم بِ ِه بَِأر‬
ُ‫م ِإاَّل فِ َرارًا ِم ْنه‬yْ ‫ ِم ْنهُ قَا َل َأبُو النَّضْ ِر اَل ي ُْخ ِرجْ ُك‬y‫فِ َرا ًرا‬
“Telah bercerita kepada kami ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdullah berkata, telah
bercerita kepadaku Malik dari Muhammad bin Al Munkadir dan dari Abu an-
Nadlar, maula ‘Umar bin ‘Ubaidullah dari ‘Amir bin Sa’ad bin Abu Waqash
dari bapaknya bahwa dia (‘Amir) mendengar bapaknya bertanya kepada
Usamah binZaid; “Apa yag pernah kamu dengar dari Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam tentang masalah tha’un (wabah penyakit sampar, pes,
lepra)?”. Maka Usamah berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda: “Tha’un adalah sejenis kotoran (siksa) yang dikirim kepada satu
golongan dari Bani Isra’il atau kepada umat sebelum kalian. Maka itu jika
kalian mendengar ada wabah tersebut di suatu wilayah janganlah kalian
memasuki wilayah tersebut dan jika kalian sedang berada di wilayah yang
terkena wabah tersebut janganlah kalian mengungsi darinya”. Abu an-Nadlar
berkata; “Janganlah kalian mengungsi darinya kecuali untuk menyelematkan
diri”
Hadits diatas, memiliki kesamaan isi atau hukum dengan hadits dalam
lafadz Shahih Bukhari yang berbunyi:

ِ ‫ُول هَّللا‬
َ ‫ت َرس‬ ُ ‫ت َسَأ ْل‬ْ َ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم قَال‬ ِ ْ‫ي هَّللا ُ َع ْنهَا زَ و‬
َ ‫ج النَّبِ ِّي‬ ِ ‫ع َْن عَاِئ َشةَ َر‬
yَ ‫ض‬
ُ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ع َْن الطَّاعُو ِن فََأ ْخبَ َرنِي َأنَّهُ َع َذابٌ يَ ْب َعثُهُ هَّللا ُ َعلَى َم ْن يَ َشا ُء َوَأ َّن هَّللا َ َج َعلَه‬ َ
‫ ُمحْ ت َِسبًا يَ ْعلَ ُم َأنَّهُ اَل‬y‫صابِ ًرا‬
َ ‫ث فِي بَلَ ِد ِه‬ ُ ‫ْس ِم ْن َأ َح ٍد يَقَ ُع الطَّاعُونُ فَيَ ْم ُك‬
َ ‫َرحْ َمةً لِ ْل ُمْؤ ِمنِينَ لَي‬
‫َب هَّللا ُ لَهُ ِإاَّل َكانَ لَهُ ِم ْث ُل َأجْ ِر َش ِهي ٍد‬
َ ‫صيبُهُ ِإاَّل َما َكت‬
ِ ُ‫ي‬

“Dari ‘Aisyah radliallahu ‘anhu, istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam


berkata; “Aku pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
tentang masalah tha’un lalu beliau mengabarkan aku bahwa tha’un (penyakit
sampar, pes, lepra) adalah sejenis siksa yang Allah kirim kepada siapa yang
Dia kehendaki dan sesungguhnya Allah menjadikan hal itu sebagai rahmat bagi
kaum muslimin dan tidak ada seorangpun yang menderita tha’un lalu dia
bertahan di tempat tinggalnya dengan sabar dan mengharapkan pahala dan
mengetahui bahwa dia tidak terkena musibah melainkan karena Allah telah
mentaqdirkannya kepadanya, maka dia mendapatkan pahala seperti pahala
orang yang mati syahid.”

Asbabul Wurud

Suatu kali Ummu Salamah tertimpa musibah dengan kematian suaminya tercinta Abu
Salamah. Saat itu Ummu Salamah teringat pesan Nabi SAW agar berdoa` bila tertimpa
musibah. Dia mengucapkan doa` itu:" Ya Allah SWT, berilah pahala atas musibah yang
menimpaku dan gantilah dengan yang lebih baik daripadanya". Di samping itu Ummu Salamah
percaya bahwa sebagaimana Rasulullah SAW berkata akan diganti dengan yang lebih baik.

Tapi Ummu Salamah bertanya-tanya, "Siapakah yang lebih baik dari suamiku
Abu Salamah ?" Ternyata setelah masa iddah-nya habis, Rasulullah SAW
meminangnya. Maka Ummu Salamah semakin yakin bahwa Allah SWT betul-betul
telah menggantinya dengan yang lebih baik yaitu Rasulullah SAW . Semakin seseorang
kuat imannya, ujian dan musibah semakin banyak.

Umat muslim diajarkan Allah SWT agar jika terkena musibah segera
mengucapkan inna lillahi wa inna ilaihi rajiun ( kita milik Allah dan akan kembali
kepada Allah ). Sebagian ulama salaf berkata :" Segala musibah yang menimpa diri kita,
pada hakekatnya ringan, selama musibah itu tidak menyangkut keutuhan agama kita ".

J. Istinbath Ahkam dan Hikmah Hadits

 Melakukan metode karantina yang telah diperintahkan Rasulullah SAW untuk


mencegah wabah tersebut menjalar ke negara-negara lain.
 Mendirikan tembok di sekitar daerah yang terjangkit wabah seperti yang
disunnahkan oleh Rasulullah SAW
 Menjanjikan bahwa mereka yang bersabar dan tinggal akan mendapatkan pahala
sebagai mujahid di jalan Allah, sedangkan mereka yang melarikan diri dari daerah
tersebut diancam malapetaka dan kebinasaan.
 Menasihati masyarakat agar menghindari penyakit. Dari hadis Abu Hurairah, Imam
Bukhari meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda, “Jauhilah orang yang terkena
lepra, seperti kamu menjauhi singa.
 Mewajibkan umat untuk menghindari segala hal yang dapat membahayakan orang
lain.
Dalam ajaran Islam, wabah atau tha’un (virus) tertentu diyakini sebagai bentuk
azab yang Allah turunkan kepada orang-orang yang selama ini memilih jalan kekufuran
dan suka berbuat kerusakan. Adapun tha’un yang menimpa orang-orang yang beriman
diyakini sebagai rahmat atau kebaikan daripada Allah SWT. Bagi orang-orang Mukmin
yang berusaha berlindung dari buruknya wabah, misalnya dengan menetap di rumah
(stay at home), dengan penuh keyakinan, tawakal, kesabaran, dan harapan akan
memperoleh pahala dari sisi Allah SWT, Bahkan baginya adalah balasan pahala seperti
orang yang mati syahid, meskipun dia masih hidup.
Maka berdasarkan keumuman lafadz dari hadits Nabi SAW, orang Mukmin yang
meninggal dunia karena terkena wabah penyakit tersebut tetap dikategorikan sebagai
orang yang mati syahid. Sebagaimana dijelaskan dalam riwayat dari Abu Hurairah, ia
berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Orang yang mati syahid ada lima macam, yaitu
orang yang kena tha’un (wabah), orang yang mati karena sakit perut, korban tenggelam,
korban yang tertimpa reruntuhan, dan orang syahid di jalan Allah.’” (HR Bukhari dan
Muslim).
Diturunkan wabah oleh Allah SWT pasti memiliki sisi positif bagi umat nya yaitu
untuk menguatkan karakter keimanan, mengangkat derajat dan menghapus dosa, tanda
cinta dan kebaikan Allah SWT musibah atau ujian juga bisa menjadi penanda atas cinta
dan kebaikan Allah SWT kepada makhluk-Nya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Musibah yang dimaksudkan sebagai sesuatu yang menimpa, mencakup
hal-hal yang buruk maupun yang baik., tetapi kebanyakan orang memandang
sesuatu itu sebagai musibah jika dalam bentuk bencana dan malapetaka (yang
tidak disukai), dan sedikit orang yang melihat dan menyadari berbagai
kenikmatan – yang tidak disikapi dengan baik – sebagai suatu musibah yang
dapat menggoyahkan dan merusak keimanan. Yang dituntut dari seorang
muslim manakala ia mendapatkan musibah yang tidak disenangi adalah bersabar
pada saat hantaman (saat-saat) pertama, lalu ditindaklanjutinya dengan istirja’
(inna lillah wa inna ilaihi raji’un), bahwa sesungguhnya kita dari Allah dan
sesungguhnya kepada-Nya jualah kita akan kembali, sehingga tidak ada yang
perlu dirisaukan secara berlebihan

B. Saran
Tidak ada satu pun manusia yang tidak pernah ditimpa musibah dan
tidak ada satu pun manusia yang tidak punya kesalahan. Allah swt.
Memberikan cobaan kepada hambanya, sebenarnya bukan untuk menyiksa
hamba tersebut di dunia, tapi salah satu cara Allah swt. Menghapus sebagian
dosa atau kesalahan hambanya tersebut agar siksaan di Akhirat berkurang.
Maka dari itu, marilah kita berusa untuk bisa bersabar ketika mendapat
musibah agar sebagian dari kesalahan yang pernah kita kerjakan diampuni.
Khilaf melakukan kesalahan sudah menjadi fitrah umat manusia. Namun,
bukan berarti kita terus larut dalam kekhilafan tersebut. Kita harus terus
berusaha menjadi lebih baik dan berusaha bersabar ketika mendapat musibah
agar sebagian kesalahan yang pernah kita perbuat Allah swt. Ampuni dengan
asbab kesabaran kita menghadapi musibah sebagaimana isi makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Maktabah Asy-Syamilah, Versi I 1442.004 (Versi Terbaru)
Baqi, Muhammad Fu’ad Abdul. Al-Lu‟lu‟u wal Marjan II.
Fariq bin Gasim Anuz, “Hikmah diBalik Musibah: Pesan-pesan Unruk Orang Yang
Tertimpa Musibah dan dirundung duka”, (Jakarta: Darus Sunnah Press, 2007), hlm. 34.
M. Quraish Shihab, “Musibah dalam Perspektif al-Qur‟an “ dalam Jurnal Study al-
Qur‟an vol.I.No I., hal. 11-14
Muhammad, H. Abu Bakar. (1997). Hadis Tarbawi. Surabaya: Karya Abditama.
Yunus, Mahmud. (2007). Kamus Arab Indonesia. Ciputat, PT. Mahmud Yunus Wa
Dzurriyah.
http://staimaarifjambi.blogspot.com/2009/01/makalah-tugas-terstruktur-perorangan.html

Anda mungkin juga menyukai