Anda di halaman 1dari 27

TIRMIDZI-1847

Disusun Oleh:

Bayu Satria Pratama Sastra (88)

Lis Zabak Shahab (90)

M. Naufal Azzaky (89)

Rafli Ahmad Fauzi (90)

Retno Indira Pamungti (90)

MADRASAH ALIYAH NEGRI 2 MATARAM

TAHUN 2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami haturkkan kehadirat rahmat Allah SWT yang telah memberikan taufik
dan hidayahnya kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini guna memenuhi
tugas mata pelajaran Al-Qur’an Hadis, dengan judul “Tirmidzi-1847”.

Kami mengucapkan terimakasih kepada pak guru selaku guru H. Fitrianto Wahudi
H.,S.Hi.,M.Pdi mata pelajaran Al-Qur’an Hadis. Ucapan terimakasih juga kami ucapkan kepada
seluruh anggota yang telah menyusun makalah ini.

Kami menyadari dalam penyusunan malakah ini masih terdapat kekurangan, baik dari
penyusunan maupun tata bahasa penyampaian dalam makalah ini. Oleh dengan itu, kami
mengharapkan kritik dan saran untuk kesempurnaan makalah ini.

Kami berharap semoga makalah yang kami susun ini memberikan manfaat dan juga
membantu pembaca.

Mataram, 9 Februari 2023

i
DAFTAR ISI

COVER
KATA PENGANTAR........................................................................................i
DAFTAR ISI......................................................................................................ii
BAB 1..................................................................................................................1
PENDAHULUAN..............................................................................................1
1.1 LATAR BELAKANG........................................................................1
1.2 RUMUSAN MASALAH....................................................................2
1.3 TUJUAN.............................................................................................2
BAB 2..................................................................................................................3
PEMBAHASAN.................................................................................................3
2.1 Hadist, Khabar, dan Atsar...................................................................3
2.2 Sanad, Matan, dan Rowi.....................................................................4
2.3 Fi’liyah, Taqririyah, dan Hammiyah...................................................7
2.4 Mauquf, Marfu’, dan Maqthu............................................................10
2.5 Kualitas dan Kuantitas......................................................................13
BAB 3................................................................................................................21
PENUTUP........................................................................................................21
3.1 Kesimpulan.......................................................................................21
3.2 Saran .................................................................................................21
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................23

ii
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

َ ُ‫س ْفيَانُ عَنْ َع ْم ِرو ْب ِن ِدينَا ٍر عَنْ َأبِي قَاب‬


‫وس عَنْ َع ْب ِد هَّللا ِ ْب ِن َع ْم ٍرو قَا َل قَا َل‬ ُ ‫َح َّدثَنَا ابْنُ َأبِي ُع َم َر َح َّدثَنَا‬
ِ ‫ار َح ُموا َمنْ فِي اَأْل ْر‬
‫ض يَ ْر َح ْم ُك ْم َمنْ فِي‬ ْ ُ‫سلَّ َم ال َّرا ِح ُمونَ يَ ْر َح ُم ُه ْم ال َّر ْح َمن‬
َ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو‬
َ ِ ‫سو ُل هَّللا‬
ُ ‫َر‬
ُ ‫صلَهُ هَّللا ُ َو َمنْ قَطَ َع َها قَطَ َعهُ هَّللا‬ َ ‫س َما ِء ال َّر ِح ُم ش ُْجنَةٌ ِمنْ ال َّر ْح َم ِن فَ َمنْ َو‬
َ ‫صلَ َها َو‬ َّ ‫ال‬
Artinya:
Telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Umar, telah menceritakan kepada
kami Sufyan dari Amr bin Dinar dari Abu Qabus dari Abdullah bin Amr ia berkata:
Rasulullah ‫ ﷺ‬bersabda“Orang-orang yang mengasihi akan dikasihi oleh Ar Rahman,
berkasih sayanglah kepada siapapun yang ada dibumi, niscaya Yang ada di langit akan
mengasihi kalian. Lafazh Ar Rahim (rahim atau kasih sayang) itu diambil dari lafazh Ar
Rahman, maka barang siapa yang menyambung tali silaturrahmi niscaya Allah akan
menyambungnya (dengan rahmat-Nya) dan barang siapa yang memutus tali silaturrahmi
maka Allah akan memutusnya (dari rahmat-Nya).” (H.R. Tirmidzi).
Dari hadis Tirmidzi 1847, kita bisa belajar tentang konsep kasih sayang sesama
manusia. Terlepas dari suku, bangsa, bahkan agama, Muslim harus mampu menebarkan
kasih sayang kepada sesama manusia. Atas dasar hadist ini pula sikap keras dan bahkan
menghilangkan nyawa manusia adalah sebuah kejahatan yang bertentangan dengan
prinsip Islam. Menafikan kemanusiaan adalah sebuah kebodohan. Menegasikan orang
yang berbeda dan menyebarkan kebencian tentunya bertolak belakang dengan ajaran
Islam. Allah SWT. memerintahkan untuk berbuat baik, mengasih sayangi terhadap
sesama makhluk, mencintai karena Allah SWT. semata berarti mencintai makhluk yang
diridhai untuk dicintai dan dengan cara yang diridhai pula.
Manusia adalah makhluk homososius, yaitu makhluk berteman. Manusia tidak
dapat hidup sendirian ia selalu bersama – sama dengan orang lain. Sulit dibayangkan, jika
ada manusia yang hidup menyendiri tanpa berhubungan dengan manusia lainnya.
Manusia akan dapat berkembang dengan wajar bila mereka hidup dengan orang lain.

1
Manusia dalam hidupnya selalu ketergantungan dan hidup bersama – sama dengan yang
lainnya. Manusia memerlukan bantuan dari orang lain, bahkan mulai dari dalam
kandungan sampai meninggal dunia.
Dalam mempertahankan hidup dan usaha mengejar kehidupan yang lebih baik,
kiranya tidak mungkin hal itu dilakukan sendiri tanpa bekerja sama dengan orang lain.
Kekuatan manusia pada hakekatnya tidak hanya terletak pada kemampuan fisiknya atau
pada kemampuan jiwanya saja,melainkan kekuatan manusia terletak pada
kemampuannya untuk bekerja sama dengan orang lain.
Nilai kasih sayang juga sangatlah penting, karena dengan rasa sayang itu setiap
insan dapat merasakan kebahagiaan yang hakiki. Apabila sifat kasih sayang mulai luntur
dan sifat dendam lebih besar, maka akan menjanjikan kehancuran kepada sesuatu
individu. Kasih sayang merupakan sesuatu paling mendasar, yang harus di terima oleh
setiap manusia, kasih sayang bisa di sebut juga sabagai suatu hak yang harus kita terima,
karena peran kasih sayang secara psikologi sangat berpengaruh terhadap tumbuh
kembangnya seorang individu. Oleh karena itu, kita harus saling mengasihi dengan
sesama.

1.2 RUMUSAN MASALAH


1. Menentukan Hadist, Khabar, dan Atsar
2. Menentukan Sanad, Matan, dan Rowi
3. Menetukan Fi’liyah, Taqririyah, dan Hammiyah
4. Menetukan Mauquf, Marfu’, dan Maqthu
5. Menentukan Kwalitas dan Kwantitas

1.3 TUJUAN
Untuk mengetahui apa itu Hadist, Khabar, dan Atsar; Sanad, Matan, dan Rowi;
Fi’liyah, Taqririyah, dan Hammiyah; Mauquf, Marfu’, dan Maqthu; Kwalitas dan
Kwantitas. Selain itu, untuk mengetahui apakah sesuatu itu termasuk bagian dari apa.

2
BAB 2
PEMBAHASAN

2.1 Hadist, Khabar, dan Atsar


2.1.1 Hadist
Hadits (‫ )الحديث‬secara bahasa berarti Al-Jadiid (‫ )الجديد‬yang artinya adalah
sesuatu yang baru; yakni kebalikan dari Al-Qadiim (‫ )القديم‬yang artinya sesuatu
lama. Sedangkan hadits menurut istilah para ahli hadits adalah:
‫ف‬ ْ ‫ َأ ْو َو‬،‫ َأ ْو تَ ْق ِر ْي ٍر‬،‫ َأ ْو فِ ْع ٍل‬،‫سلَّ َم ِمنْ قَ ْو ٍل‬
ٍ ‫ص‬ َ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو‬ ِ ‫َما ُأ‬
َ ‫ضيْفُ ِإلَى النَّبِ ِّي‬
Adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi
wasallam baik ucapan, perbuatan, persetujuan, maupun sifat.
Dari definisi tersebut dapat kita ketahui bahwa hadits adalah segala
sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW. baik itu ucapan, perbuatan,
persetujuan, sifat fisik, maupun kepribadiannya. Hingga gerak dan diamnya ketika
terbangun maupun tertidur juga disebut sebagai hadits. Maka dari itu pengertian
ini juga mencakup setiap keadaan Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam
menurut para ahli hadits.
2.1.2 Khabar
Khabar (‫ )الخبر‬secara bahasa berarti An-Naba’ (‫ )النبأ‬yang berarti kabar atau
berita. Adapun secara istilah khabar ini semakna dengan hadits sehingga memiliki
definisi yang sama dengan hadits.
Namun, menurut pendapat yang lain menyatakan bahwa khabar ini lebih
umum dari pada hadits. Sehingga definisi khabar adalah segala sesuatu yang
disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW. dan juga kepada selain beliau.
Syaikh Utsaimin mengatakan:
‫سلَّ َم َوِإلَى َغ ْي ِر ِه‬
َ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو‬ ِ ‫ا ْل َخبَ ُر َما ُأ‬
َ ‫ضيْفُ ِإلَى النَّبِ ِّي‬
Khabar adalah segala sesuatu yang disandarkan pada Nabi shallallaahu ‘alaihi
wasallam dan juga disandarkan kepada selainnya.

3
2.1.3 Atsar
Atsar (‫ )األثر‬secara bahasa berarti Baqiyyatu Asy-Syaii’ (‫ )بقية الشيء‬yang
berarti sisa dari sesuatu, atau jejak. Adapun secara istilah, atsar adalah:
‫ص َحابِي َأ ْو التَّابِ ِعي‬ ِ ‫َما ُأ‬
َّ ‫ضيْفُ ِإلَى ال‬
Segala sesuatu yang disandarkan pada sahabat atau tabi’in.
Adakalanya atsar juga didefinisikan dengan segala sesuatu yang
disandarkan kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam. Namun biasanya
penyebutannya disandarkan dengan redaksi “dari Nabi shallallaahu ‘alaihi
wasallam” sehingga penyebutannya seperti ini:
‫سلَّ َم‬ َ ‫َوفِي اَأْلثَ ِر َع ِن النَّبِ ِّي‬
َ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو‬
Dalam sebuah atsar dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam . . .
2.1.4 Kesimpulan
Dapat kita simpulkan bahwa Tirmidzi-1847 adalah Hadist. Kenapa
Timidzi-1847 ada sebuah hadist, karena Tirmidzi-1847 di sandarkan kepada Nabi
Muhammad SAW. Beliau menunjukkan sikap kasih sayang kepada sesama dan
menyuruh kita semua untuk saling menyangi terhadap sesama.
2.2 Sanad, Matan, dan Rowi
2.2.1 Sanad
Sanad menurut bahasa adalah sandaran atau tempat bersandar. Sedangkan
sanad menurut istilah adalah jalan yang menyampaikan kepada jalan hadits.
Contohnya bisa dilihat dalam hadits Imam Bukhari berikut ini. “Telah
memberitakan kepadaku Muhammad bin Al-Mutsanna, ia berkata, "Abdul
Wahhab Ats-Tsaqafy telah mengabarkan kepadaku, ia berkata, "Telah berbicara
kepadaku Ayyub atas pemberitaan Abi Qilabah dari Anas dari Nabi Muhammad
SAW bersabda…”
Hadits tersebut diterima oleh Imam Bukhari melalui sanad pertama
Muhammad bin al-Musanna, sanad kedua Abdul Wahhab Ats-Tsaqafy, sanad
ketiga Ayyub, sanad keempat Abi Qilabah dan seterusnya sampai sanad yang
terakhir Anas ra. Beliau merupakan seorang sahabat yang langsung menerima
hadits dari Nabi Muhammad SAW.

4
Dalam bidang ilmu hadits, sanad dijadikan sebagai neraca untuk
menimbang sahih atau dhaifnya suatu hadits. Jika salah seorang dalam sanad
tersebut ada yang tertuduh fasiq atau dusta, maka hadits tersebut menjadi dhaif
atau lemah.
Dikutip dalam buku "Memahami Ilmu Hadits" oleh Asep Herdi, secara
historis, penggunaan sanad sudah dikenal sejak sebelum datangnya Islam. Akan
tetapi mayoritas penerapan sanad digunakan dalam mengutip hadits-hadits
Nabawi, yaitu segala hal yang disandarkan (idlafah) kepada Nabi SAW.
2.2.2 Matan
"Matan" atau "al-matn" menurut bahasa adalah mairtafa'a min al-ardi atau
tanah yang meninggi, berarti punggung jalan atau tanah yang keras dan tinggi.
Sedangkan secara istilah, matan adalah pengujung sanad, yakni sabda Nabi
Muhammad SAW yang disebutkan setelah sanad. Dengan kata lain, matan adalah
isi dari hadits itu sendiri.
Berkenaan dengan matan atau redaksi hadits, maka ada beberapa yang perlu
dipahami:
 Ujung sanad sebagai sumber redaksi, apakah berujung pada Nabi
Muhammad atau bukan.
 Matan hadits itu sendiri dalam hubungan dengan hadits lain yang lebih
kuat sanadnya (apakah ada yang melemahkan atau menguatkan) dan
selanjutnya dengan ayat dalam Al-Qur'an (apakah ada yang bertolak
belakang).
2.2.3 Rowi
Rawi adalah unsur pokok ketiga dari sebuah hadits. Kata "Rawi" atau "ar-
Rawi" berarti orang yang meriwayatkan atau memberitakan. Rawi adalah sebutan
untuk orang yang meriwayatkan, menyampaikan, serta memindahkan suatu hadits
kepada orang lain yang menjadi rangkaian berikutnya. Seorang rawi juga
mencatatnya dalam suatu kumpulan hadits dan menyebutkan sanadnya.
Antara sanad dan rawi itu merupakan dua istilah yang tidak dapat
dipisahkan. Sanad-sanad hadits pada tiap-tiap tabaqahnya juga disebut rawi.

5
Sehigga yang dimaksud dengan rawi adalah orang yang meriwayatkan, menerima
dan memindahkan hadits.
Dijelaskan dalam buku Peranan Wanita dalam Periwayatan Hadits karya Amal
Qardasy (2002), perawi hadits diklasifikasikan menjadi beberapa tingkatan, yakni:
 Perawi hadits dari tingkatan sahabat: Abu Hurairah, Aisyah, Anas bin
Malik, dan lain-lain.
 Perawi hadits dari tingkatan tabiin: Umayyah bin Abdullah bin Khalid,
Sa’id bin Al-Musayyab, dan lain-lain.
 Perawi hadits dari tingkatan mudawwin: Imam Bukhari, Imam Muslim,
Imam An-Nasa’iy, Imam Ahmad, dan lain-lain.
2.2.4 Kesimpulan
Dapat kita simpulkan bahwa Tirmidzi-1847 memiliki Sanad, Matan, dan Rowi.
Ketiga unsur ini ada pada. Tirmidzi-1847, bagian dari ketiga unsur ini pada
H.R.Tirmidzi sebagai berikut:
 Sanad; Bagian sanad pada Tirmidzi-1847 adalah “Telah menceritakan
kepada kami Ibnu Abu Umar, telah menceritakan kepada kami Sufyan dari
Amr bin Dinar dari Abu Qabus dari Abdullah bin Amr”. Hadits tersebut
diterima oleh Tirmidzi melalui sanad pertama Ibnu Abu Umar, sanad
kedua Sufyan, sanad ketiga Amr bin Dinar, sanad keempat Abu Qabus,
sanad kelima sekaligus sanad terakhir Abdullah bin Amr.
 Matan; Bagian matan pada Tirmidzi-1847 adalah “Orang-orang yang
mengasihi akan dikasihi oleh Ar Rahman, berkasih sayanglah kepada
siapapun yang ada dibumi, niscaya Yang ada di langit akan mengasihi
kalian. Lafazh Ar Rahim (rahim atau kasih sayang) itu diambil dari lafazh
Ar Rahman, maka barang siapa yang menyambung tali silaturrahmi
niscaya Allah akan menyambungnya (dengan rahmat-Nya) dan barang
siapa yang memutus tali silaturrahmi maka Allah akan memutusnya (dari
rahmat-Nya).”. bagian isi hadist tersebutlah matan.
 Rowi; Rowi pada. Tirmidzi adalah Tirmidzi, orang yang meriwayatkan
hadist tersebut.

6
2.3 Fi’liyah, Taqririyah, dan Hammiyah
2.3.1 Fi’liyah
Perbuatan Nabi Muhammad SAW yang menerangkan cara melaksanakan
ibadah. Sunnah Fi'liyah adalah segala perbuatan dan perilaku yang dilihat oleh
para sahabat rasul. Perilaku tersebut yaitu adalah masalah ibadah, muamalah, dan
sebagainya. Ada 3 Bagian yang dapat diteladani dari Sunnah Fi'liyah yaitu
sebagai berikut:
1. Adat kebiasaan Rasul SAW sebagai manusia seperti cara makan, minum,
duduk, berdiri, berpakaian, memelihara jenggot, dan sebagainya.
2. Perbuatan Rasul yang hanya dilakukan oleh Rasul. Hal tersebut mencakup
sholat duha, witir, tahajud, dan berkurban. Perbuatan tersebut hanya
dikhususkan oleh Rasul namun disunnahkan untuk umatnya.
3. Perbuatan Rasul SAW yang berisikan penjelasan hukum, hal tersebut
mencakup tata cara sholat, puasa, cara melakukan jual beli, utang piutang,
dan lain sebagainya. Ada dua bagian terkait hal ini:
 Penjelas yang ada di dalam di Al-Qur'an yang masih memerlukan
penjelasan di Al-Qur'an. Hukum yang dijelaskan oleh Rasul
mengikuti hukum yang dijelaskan di dalam al-Qur'an yaitu wajib,
nadb, dan ibahah.
 Memberi petunjuk kepada umat bahwa hal tersebut dapat
dilakukan. Menurut para ulama perbuatan yang dilakukan Rasul
adalah penjelas hukum untuk umat dan menjadi dalil hukum yang
harus ditaati oleh umat.
2.3.2 Taqririyah
Sunnah taqririyah adalah sunnah yang memuat tentang perbuatan para
sahabat yang telah diikrarkan oleh Rasulullah SAW. Menurut Abu Ubaidah dalam
buku Tafsir Al-Asas, ikrar tersebut dapat berupa sikap diamnya Rasulullah SAW.
Dalam kondisi ini, Rasulullah tidak mengatakan sesuatu, tidak menyuruh dan
tidak pula melarangnya.

7
Menurut jumhur ulama, sikap diam Rasulullah tersebut menunjukkan
bolehnya suatu perbuatan atau perkataan. Sebab, jika tidak boleh, beliau pasti
sudah melarangnya dengan tegas sebagaimana disebutkan dalam jenis hadits lain.
Berbeda dengan hal tersebut, dalam buku Pendidikan Agama Islam, Asep
Rudi Nurjaman memaparkan pendapat lain. Menurutnya, keadaan diamnya Nabi
itu dapat dilakukan pada dua bentuk, yaitu:
1. Nabi mengetahui bahwa perbuatan itu pernah dibenci dan dilarang
olehnya
Dalam hal ini, Nabi telah mengetahui bahwa seseorang selalu
melakukan perbuatan yang pernah dibenci dan dilarang atasnya. Diamnya
Nabi dalam bentuk ini tidaklah menunjukkan bahwa perbuatan tersebut
boleh dilakukannya.
2. Nabi belum pernah melarang perbuatan itu sebelumnya dan tidak
diketahui pula haramnya.
Diamnya Nabi dalam hal ini menunjukkan hukumnya adalah
meniadakan keberatan untuk diperbuat. Karena jika perbuatan itu dilarang,
tetapi Nabi mendiamkannya padahal ia mampu untuk mencegahnya,
berarti Nabi berbuat kesalahan. Sedangkan Nabi bersifat terhindar dari
kesalahan.
Dari penjelasan di atas, hadits bukanlah sesuatu yang diucapkan atau
disampaikan melalui lisan Nabi Muhammad saja. Lebih dari itu, hadits mencakup
seluruh perilaku, perbuatan, dan diamnya Nabi dalam menyikapi kejadian yang
terjadi di masa lalu.
Diamnya Nabi Muhammad SAW bisa dipahami bahwa beliau tidak
melarang dan tidak menyuruh terhadap suatu perilaku atau perbuatan yang
dilakukan para sahabat saat itu. Jika didiamkan artinya adalah hujjah bagi seluruh
umat. Syarat sah taqrir adalah orang yang mengerjakan benar-benar tunduk pada
hukum Islam, bukan kafir atau munafik. contoh hadits taqririyah adalah tentang
tayamum.

8
2.3.3 Hammiyah
Sunnah Hammiyah adalah segala sesuatu yang sudah diniatkan oleh
Rasulullah SAW namun tidak jadi dilaksanakan. Dengan kata lain, segala sesuatu
yang menjadi sunnah setelah menjadi angan Rasulullah SAW meskipun beliau
tidak kesampaian mengerjakannya. "Sunnah hammiyah adalah hadits yang berupa
hasrat Rasulullah SAW yang belum terealisasikan," tulis Hasyim Asyʼari dalam
buku Risalah Aswaja.
Contoh sunnah hammiyah dapat kita temui pada hadits Rasulullah yang
diriwayatkan oleh Ibnu Abbas rahimahullah. Dikisahkan suatu ketika Rasulullah
berpuasa pada hari Asyura dan memerintahkan para sahabat untuk berpuasa,
mereka pun berkata: "Ya Nabi! Hari ini adalah hari yang diagungkan oleh orang-
orang Yahudi dan Nasrani." Nabi Muhammad SAW bersabda: "Tahun yang akan
datang insya Allah aku akan berpuasa pada hari yang kesembilan" (HR. Muslim)
Pada hadits di atas, Rasulullah menyatakan keinginannya untuk berpuasa
pada hari ke-9 bulan Asyura. Namun sayang, beliau belum sempat
merealisasikannya karena ajal datang lebih dulu.
Meski begitu, Imam Syafi'i dan para pengikutnya sepakat bahwa hukum
menjalankan sunnah hammiyah itu sangat dianjurkan. Nilai pahala amalan ini
sama saja seperti sunnah-sunnah lain yang telah dicontohkan oleh Rasulullah.
2.3.4 Kesimpulan
Dapat kita simpulkan bahwa Tirmidzi-1847 adalah fi’liyah karena Nabi
Muhammad SAW sendiri yang melaksanakan dan menerangkan bahwa kita
semua harus saling menyayangi antar sesama.
Nabi Muhammad SAW sendiri selalu meneraperapkan dan menebarkan
kebaikan dan kasih sayang di kehidupan sehari-harinya. Rasulullah menunjukkan
itu kepada umatnya bahkan di momen tersedihnya.
Banyak hal yang bisa kita contoh dan terapkan dalam kehidupan sehari-
hari dari rasullallah tentang kasih sayang sesama dimana kita harus selalu berbuat
dan berucap baik, menyayangi anak kecil, menjaga keharmonisan dengan
tetangga, tak hanya itu kita juga harus meunjukkan kasih sayang ke masyarakat
serta menyayangi seluruh makhluk Allah SWT; termasuk hewan dan tumbuhan.

9
2.4 Mauquf, Marfu’, dan Maqthu
2.4.1 Mauquf
Mauquf Yaitu berita yang disandarkan kepada sahabat baik berupa
perkataan, perbuatan, atau taqrir (disebut juga Atsar). Hukum hadits mauquf pada
prinsipnya tidak dapat dibuat hujjah karena hanya perkataan sahabat, kecuali ada
qorinah yang menunjukan kepada hukum marfu’.
Syaikh Manna Al-Qaththan dalam buku Pengantar Studi Ilmu Hadits
menjelaskan, hadits mauquf didefinisikan sebagai perkataan, perbuatan, atau
taqrir yang hanya disandarkan kepada sahabat Nabi SAW. Hal ini berlaku untuk
hadits dengan sanad bersambung atau tidak.
Selain Al-Qaththan, Farid Adnir dalam diktatnya yang berjudul Ulumul
Hadis menyatakan hal serupa terkait hadits mauquf. Dikatakan mauquf karena
sandarannya terhenti pada thabaqoh (generasi) sahabat. Kata Al-Mauquf berasal
dari kata waqf yang berarti berhenti.
Contoh Hadits Mauquf:
a. Hadits mauquf yang shahih:
Dari Abdullah (bin Mas'ud) semoga Allah SWT meridhainya, dia berkata:
"Sederhana dalam sunnah itu lebih baik daripada bersungguh-sungguh
dalam kebid'ahan." (HR Al Baihaqiy dalam as Sunan al-Kubro).
b. Hadits mauquf yang tidak shahih:
"Telah menceritakan kepada kami Abu Taubah ar-Rabi' bin Naafi' (ia
berkata) telah mengabarkan kepada kami Abu Ishaq yaitu al-Fazaariy dari
Humaid dari al-Hasan dari Jabir bin Abdillah -semoga Allah meridhainya
ia berkata: Kami melakukan sholat tathowwu' (sunnah), kami berdoa saat
berdiri dan duduk, dan kami bertasbih saat ruku' dan sujud." (HR Abu
Dawud).
Hadits ini dinisbatkan sebagai ucapan sahabat Nabi Jabir bin Abdillah.
2.4.2 Marfu’
Marfu’ menurut bahasa merupakan isim maf’ul dari perkataan rafa’a (‫رفع‬
iaitu mengangkat), dan ia sendiri berarti “yang diangkat”. Suatu hadist itu

10
dinamakan marfu’ kerana disandarkannya kepada yang memiliki kedudukan
tinggi, yaitu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Hadits marfu adalah hadits yang khusus disandarkan kepada Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam berupa perkataan, perbuatan atau taqrir beliau; baik
yang menyandarkannya adalah sahabat, tabi’in atau yang lain; baik sanad hadist
itu bersambung atau terputus.
Berdasarkan takrifan di atas, hadith marfu’ itu ada yang sanadnya
bersambung, ada yang terputus. Dalam hadith marfu’ ini tidak dipersoalkan sama
ada ia memiliki sanad dan matan yang baik atau sebaliknya.
Apabila sanadnya bersambung, maka dapat disifat sebagai hadist shahih
atau hadist hasan, berdasarkan darjat kesabitan dan keadilan perawi. Bila
sanadnya terputus, hadist tersebut disifatkan dengn hadist dhaif mengikuti perawi.
Klasifikasi hadits Marfu’ antara lain:
a. Marfu’ Qauly Haqiqi adalah apa-apa yang disandarkan oleh sahabat Nabi
SAW kepada Nabi SAW
b. Marfu’ Qauly Hukmi adalah hadits marfu’ yang penisbatan sahabat
terhadap Nabi SAW tidak tegas, melainkan dengan perantara qorinah yang
lain.
c. Marfu’ Fi’li Haqiqi adalah pemberitahuan sahabat yang dengan tegas
menisbatkannya sebagai perbuatan Rasul SAW.
d. Marfu’ Fi’li Hukmi adalah perbuatan sahabat yang dilakukan dihadapan
Rasul atau dikerjakan di jaman Rasul diwaktu Rosul masih hidup.
e. Marfu’ Taqrir Haqiqy adalah tindakan sahabat dihadapan Rasul dengan
tidak memperoleh reaksi dari Rasul.
f. Marfu’ Taqrir Hukmi adalah apabila pemberitaan sahabat diikuti dengan
kalimat-kalimat Sunnatu Abi Qasyim, Sunnatu nabiyyina, Minas Sunnati
dsb. yang bukan ranah ijtihad para sahabat.
Hadits yang dikatagorikan kepada Marfu’ hukmi:
 Apabila diikuti dengan kata: Yarwihi, rafa’ahu
 Perkataan sahabat: umirna bikadza au nuhinaa ‘an kadza
 Perkataan sahabat: kunaa naf’alu kadza

11
 Sesuatu yang bersumber dari sahabat yang bukan semata-mata
hasil pendapat atau ijtihad beliau sendiri.
2.4.3 Maqthu’
Secara bahasa, maqthu’ artinya terputus. Sedangkan secara istilah,
maqthu’ yaitu hadits yang disandarkan kepada tabi’i baik berupa perkataan atau
perbuatan. Hukum hadits Maqthu’ tudak bisa dijadikan hujjah.
Hadits Maqthu’ bukanlah sebuah dalil. Artinya tidak bisa digunakan
sebagai dalil. Karena hadits maqthu’ ini sama dengan perkataan dan perbuatan
orang Islam pada umumnya. Tidak memiliki nilai khusus. Kecuali bila perawinya
memberikan tambahan keterangan sebagai hadits marfu’, misalnya dengan
memberikan keterangan dengan kata “Yarfa’uhu” ketika menyebut nama perawi
tabi’in, maka statusnya menjadi hadits Marfu’ Mursal.
Hadits Maqthu’ itu tidak sama dengan Hadits Munqathi’. Memang secara
bahasa, maqthu’ dan munqathi’ itu artinya adalah terputus. Perbedaan antara
Maqthu’ dan Munqathi’:
 Maqthu’: Dalam pembahasan sanad berupa ucapan tabi’i (bisa saja
muttasil)
 Munqathi’: Dalam pembahasan sanad tidak muttasil dan kerkaitan dengan
maatan hadits. Menurut sebagian ulama mauquf dan maqthu’ disebut juga
Atsar.
2.4.4 Kesimpulan
Dapat kita simpulkan bahwa Tirmidzi-1847 adalah marfu’, karena
disandarkan kepada yang memiliki kedudukan tinggi, yaitu Nabi Muhammad
SAW berupa perkataan dan perbuatan beliau.
Tirmidzi-1847 berupa marfu’ fi’li haqiqi karena pemberitahuan sahabat
yang dengan tegas menisbatkannya sebagai perbuatan rasul saw. Tirmidzi-1847
berisi tentang kasih sayang kepada sesama. Tentu saja Nabi Muhammad SAW
melakukan perbuatan terbuatan tersebut di kehidupan sehari-harinya.

12
2.5 Kualitas dan Kuantitas
2.5.1 Kualitas
Para ulama ahli hadits membagi hadits dilihat dari segi kualitasnya, menjadi
tiga bagian, yaitu hadits shahih, hadits hasan, dan hadits dhaif.
1. Hadits shahih
Menurut bahasa berarti “sah, benar, sempurna, tiada celanya”.
Secara istilah, beberapa ahli memberikan defenisi antara lain sebagai
berikut:
 Menurut Ibn Al-Shalah, Hadits shahih adalah “hadits yang
sanadnya bersambung (muttasil) melalui periwayatan orang yang
adil dan dhabith dari orang yang adil dan dhabith, sampai akhir
sanad tidak ada kejanggalan dan tidak ber’illat”.
 Menurut Imam Al-Nawawi, hadits shahih adalah “hadits yang
bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh perawi yang adil lagi
dhabith, tidak syaz, dan tidak ber’illat.”
Dari defenisi diatas dapat dipahami bahwa syarat-syarat hadits shahih
adalah sanadnya bersambung, perawinya bersifat adil, perawinya bersifat
dhabith, matannya tidak syaz, dan matannya tidak mengandung ‘illat.
2. Hadits Hasan
dari segi bahasa hasan dari kata al-husnu (‫ )الحسن‬bermakna al-
jamal (‫ )الجم••ال‬yang berarti “keindahan”. Menurut istilah para ulama
memberikan defenisi hadits hasan secara beragam. Namun, yang lebih
kuat sebagaimana yang dikemukan oleh Ibnu hajar Al-Asqolani dalam
An-Nukbah, yaitu:
َ ‫ فَا ِءنْ َخفَّ ال‬.‫ح لِ َذاتِ ِه‬
ُ‫ض ْبط‬ َّ ‫سنَ ِد َغ ْي ُر ُم َعلَّ ٍل َوالَ شَا ٍّذ ه َُو ال‬
ِ ‫ص ِح ْي‬ َّ ‫َّص ُل ال‬ َّ ‫آلحا َد بِنَ ْق ِل َع ْد ِل تَا ُّم ال‬
ِ ‫ض ْب ِط ُمت‬ َ ‫َو َخبَ ُر ْا‬
‫فَ ْل ُحسْنُ لِ َذاتِ ِه‬
khabar ahad yang diriwayatkan oleh orang yang adil, sempurna
kedhabitannya, bersambung sanadnya, tidak ber’illat, dan tidak ada syaz
dinamakan shahih lidztih. Jika kurang sedikit kedhabitannya disebut hasan
Lidztih. Dengan kata lain hadits hasan adalah:
‫ش ُذ ْو ِذ َو ْال ِعلَّ ِه‬
ُّ ‫ض ْبطُهُ َو َخالَّ ِمنَ ال‬
َ ‫سنَ ُدهُ بِنَ ْق ِل ْال َع ْد ِل الّ ِذي قَ َّل‬
َ ‫َّص َل‬
َ ‫ه َُو َما ات‬

13
Hadits hasana adalah hadits yang bersambung sanadnya, diriwayatkan
oleh orang adil, kurang sedikit kedhabitannya, tidak ada keganjilan (syaz)
dan tidak ‘illat.
Kriteria hadits hasan hampir sama dengan hadits shahih.
Perbedaannya hanya terletak pada sisi kedhabitannya. Hadits shahih ke
dhabitannya seluruh perawinya harus zamm (sempurna), sedangkan dalam
hadits hasan, kurang sedikit kedhabitannya jika disbanding dengan hadits
shahih.
Macam-macam Hadits Hasan; Sebagaimana hadits shahih yang
terbagi menjadi dua macam, hadits hasan pun terbagi menjadi dua macam,
yaitu hasan lidzatih dan hasan lighairih.
a. Hadits hasan lidzatih adalah hadits hasan dengan sendirinya,
karena telah memenuhi segala kriteria dan persyaratan yang
ditemukan. Hadits hasan lidzatih sebagaimana defenisi penjelasan
diatas.
b. Sedangkan hadits hasan lighairih ada beberapa pendapat
diantaranya adalah:
 adalah hadits dhaif jika diriwayatkan melalui jalan (sanad)
lain yang sama atau lebih kuat.
 adalah hadits dhaif jika berbilangan jalan sanadnya dan
sebab kedhaifan bukan karena fasik atau dustanya perawi.
Dari dua defenisi diatas dapat dipahami bahwa hadits dhaif bias naik
manjadi hasan lighairih dengan dua syarat yaitu:
a. Harus ditemukan periwayatan sanad lain yang seimbang atau lebih
kuat.
b. Sebab kedhaifan hadits tidak berat seperti dusta dan fasik, tetapi
ringan seperti hafalan kurang atau terputusnya sanad atau tidak
diketahui dengan jelas (majhul) identitas perawi.
Hadits hasan dapat dijadikan hujjah walaupun kualitasnya dibawah
hadits shahih. Semua fuqaha sebagian Muhadditsin dan Ushuliyyin
mengamalkannya kecuali sedikit dari kalangan orang sangat ketat dalam

14
mempersyaratkan penerimaan hadits (musyaddidin). Bahkan sebagian
muhadditsin yang mempermudah dalam persyaratan shahih (mutasahilin)
memasukkan kedalam hadits shahih, seperti Al-Hakim, Ibnu Hibban, dan
Ibnu Khuzaimah.
3. Hadits Dhaif
Hadits Dhaif bagian dari hadits mardud. Dari segi bahasa dhaif (
‫ )الض••عيف‬berarti lemah lawan dari Al-Qawi (‫ )الق••وي‬yang berarti kuat.
Kelemahan hadits dhaif ini karena sanad dan matannya tidak memenuhi
criteria hadits kuat yang diterima sebagian hujjah. Dalam istilah hadits
dhaif adalah:
ُ ْ‫س ِن بِفَ ْق ِد ش َْر ٍط ِمن‬
‫ش ُر ْو ِط ِه‬ َ ‫صفَهُ ا ْل َح‬
ِ ‫ه َُو َما لَ ْم يَ ْج َم ْع‬
Adalah hadits yang tidak menghimpun sifat hadits hasan sebab satu dari
beberapa syarat yang tidak terpenuhi. Atau defenisi lain yang bias
diungkapkan mayoritas ulama:
‫س ِن‬ َ ‫ح َو ْا‬
َ ‫لح‬ َّ ‫صفَهُ ال‬
ِ ‫ص ِح ْي‬ ِ ‫ه َُو َما لَ ْم يَ ْج َم ْع‬
Hadits yang tidak menghimpun sifat hadits shahih dan hasan.
Jika hadits dhaif adalah hadits yang tidak memenuhi sebagain atau
semua persyaratan hadits hasan dan shahih, misalnya sanadnya tidak
bersambung (muttasshil), Para perawinya tidak adil dan tidak dhabith,
terjadi keganjilan baik dalam sanad aau matan (syadz) dan terjadinya cacat
yang tersembunyi (‘Illat) pada sanad atau matan.
Hukum periwayatan hadits dhaif; Hadits dhaif tidak identik dengan
hadits mawdhu’ (hadits palsu). Diantara hadits dhaif terdapat kecacatan
para perawinya yang tidak terlalu parah, seperti daya hapalan yang kurang
kuat tetapi adil dan jujur. Sedangkan hadits mawdhu’ perawinya pendusta.
Maka para ulama memperbolehkan meriwayatkan hadits dhaif sekalipun
tanpa menjelaskan kedhaifannya dengan dua syarat, yaitu :
a. tidak berkaitan dengan akidah seperti sifat-sifat Allah
b. Tidak menjelaskan hokum syara’ yang berkaitan dengan halal dan
haram, tetapi, berkaitan dengan masalah maui’zhah, targhib wa

15
tarhib (hadits-hadits tentang ancaman dan janji), kisah-kisah, dan
lain-lain.
Dalam meriwayatkan hadit dhaif, jika tanpa isnad atau sanad
sebaiknya tidak menggunakan bentuk kata aktif (mabni ma’lum) yang
meyakinkan (jazam) kebenarannya dari Rasulullah, tetapi cukup
menggunakan bentuk pasif (mabni majhul) yang meragukan (tamridh)
َ ‫ ُر ِو‬diriwayatkan, ‫ نُقِ َل‬dipindahkan, ‫ي‬
misalnya : ‫ي‬ َ ‫ فِ ْي ِما يُ ْر ِو‬pada sesuatu yang
diriwayatkan dating. Periwayatan dhaif dilakukan karena berhati-hati
(ikhtiyath).
Sebagai salah satu syarat hadits dhaif yang dapat diamalkan diatas adalah
tidak terlalu dhaif atau tidak terlalu buruk kedhaifannya. Hadits yang
terlalu buruk kedhaifannya tidak dapat diamalkan sekalipun dalam fadhail
al-a’mal. Menurut Ibnu Hajar urutan hadits dhaif yang terburuk adalah
mawdhu’’, matruk, mu’allal, mudraj, maqlub, kemudian mudhatahrib.
2.5.2 Kuantitas
Para ulama hadits berbeda pendapat tentang pembagian hadits ditinjau dari aspek
kuantitas atau jumlah perawi yang menjadi sumber berita. Diantara mereka ada
yang mengelompokkan menjadi tiga bagian, yakni hadits mutawatir, masyhur,
dan ahad. Ada juga yang menbaginya menjadi dua, yakni hadits mutawatir dan
hadits ahad. Ulama golongan pertama, menjadikan hadits masyhur sebagai berdiri
sendiri, tidak termasuk ke dalam hadits ahad, ini dispnsori oleh sebagian ulama
ushul seperti diantaranya, Abu Bakr Al-Jashshash (305-370 H). Sedangkan ulama
golongan kedua diikuti oleh sebagian besar ulama ushul (ushuliyyun) dan ulama
kalam (mutakallimun). Menurut mereka, hadits masyhur bukan merupakan hadits
ynag berdiri sendiri, akan tetapi hanya merupakan bagian hadits ahad. Mereka
membagi hadits ke dalam dua bagian, yaitu hadits mutawatir dan ahad.
1. Hadits Mutawatir
Secara etimologi, kata mutawatir berarti Mutatabi’ (beriringan tanpa
jarak). Dalam terminologi ilmu hadits, ia merupakan haidts yang
diriwayatkan oleh orang banyak, dan berdasarkan logika atau kebiasaan,
mustahil mereka akan sepakat untuk berdusta. Periwayatan seperti itu

16
terus menerus berlangsung, semenjak thabaqat yang pertama sampai
thabaqat yang terakhir.
Dari redaksi lain pengertian mutawatir adalah :
ِ ‫س َأ ْخبَ َر بِ ِه َجمــَا َعةً بَلـ َ ُغ ْوا فِى ْالكـ َ ْث َر ِة َم ْبلَغـًا تُ ِح ْي ُل ْال َعا َدةَ تَ َواطُُؤ ُه ْم عَلـَى ْالكـَـ ِذ‬
‫ب‬ ُ ‫مـَا َكانَ عَنْ َم ْح‬
ٍ ‫س ْو‬
Hadits yang berdasarkan pada panca indra (dilihar atau didengar) yang
diberitakan oleh segolongan orang yang mencapai jumlah banyak yang
mustahil menurut tradisi mereka sepakat berbohong.
Ulama mutaqaddimin berbeda pendapat dengan ulama muta’akhirin
tentang syarat-syarat hadits mutawatir. Ulama mutaqaddimin berpendapat
bahwa hadits mutawatir tidak termasuk dalam pembahasan ilmu isnad al-
hadits, karena ilmu ini membicarakan tentang shahih tidaknya suatu
khabar, diamalkan atau tidak, adil atau tidak perawinya. Sementara dalam
hadits mutawatir masalah tersebut tidak dibicarakan. Jika sudah jelas
statusnya sebagai hadits mutawatir, maka wajib diyakini dan diamalkan.
Hadits mutawatir ada tiga macam, yaitu:
a. Hadits mutawatir Lafzhi, yaitu hadits yang diriwayatkan dengan
lafaz dan makna yang sama, serta kandungan hokum yang sama,
contoh :
‫سلَّ َم َمنْ َك َذ َب َعلَ َّي فـ َ ْليَتَبَ َّوْأ َم ْق َع َدهُ ِمنَ النَّا ِر‬
َ ‫س ْو ُل هللا َعلَ ْي ِه َو‬
ُ ‫قـَا َل َر‬
Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa yang ini sengaja
berdusta atas namaku, maka hendaklah dia siap-siap menduduki
tempatnya di atas api neraka.
Menurut Al-Bazzar, hadits ini diriwayatkan oleh 40 orang sahabat.
Al-Nawawi menyatakan bahwa hadits ini diriwayatkan oleh 200
orang sahabat.
b. Hadits Mutawatir Ma’nawi, yaitu hadits mutawatir yang berasal
dari berbagai hadits yang diriwayatkan dengan lafaz yang berbeda-
beda, tetapi jika disimpulkan, mempunyai makna yang sama tetapi
lafaznya tidak. Contoh hadits yang meriwayatkan bahwa Nabu
Muhammad SAW mengangkat tangannya ketika berdo’a.

17
‫قال ابو مسى م رفع رسول هللا صلى عليه وسلم يديه حتى رؤي بياض ابطه فى شئ من دعائه إال فى‬
)‫اإلستسقاء (رواه البخارى ومسلم‬
Abu Musa Al-Asy’ari berkata bahwa Nabi Muhammad SAW,
tidak pernah mengangkat kedua tangannya dalam berdo’a hingga
nampak putih kedua ketiaknya kecuali saat melakukan do’a dalam
sholat istisqo’ (HR. Bukhori dan Muslim)
c. Hadits Mutawatir ‘Amali, yakni amalan agama (ibadah) yang
dikerjakan oleh Nabi Muhammad SAW, kemudian diikuti oleh
para sahabat, kemudian diikuti lagi oleh Tabi’in, dan seterusnya,
diikuti oleh generasi sampai sekarang. Contoh, hadits-hadits nabi
tentang shalat dan jumlah rakaatnya, shalat id, shalat jenazah dan
sebagainya. Segala amal ibadah yang sudah menjadi ijma’ di
kalangan ulama dikategorikan sebagai hadits mutawatir ‘amali.
Mengingat syarat-syarat hadits mutawatir sangat ketat, terutama hadits
mutawatir lafzhi, maka Ibn Hibban dan Al-Hazimi menyatakan bahwa
hadits mutwatir lafzhi tidak mungkin ada. Pendapat mereka dibantah oleh
Ibn Shalah. Dia menyatakan bahwa hadits mutawatir (termasuk yang
lafzhi) memang ada, hanya jumlahnya sangat terbatas. Menurut Ibn Hajar
Al-Asqolani, Hadits mutawatir jumlahnya banyak, namun untuk
mengetahuinya harus dengan cara menyelidiki riwayat-riwayat hadits serta
kelakuan dan sifat perawi, sehingga dapat diketahui dengan jelas
kemustahilan perawi untuk sepakat berdusta terhadap hadits yang
diriwayatkannya.
2. Hadits Ahad
Kata ahad merupakan bentuk plural dari kata wahid. Kata wahid berarti
“satu” jadi, kara ahad berarti satuan, yakni angka bilangan dari satu
sampai sembilan. Menurut istilah hadits ahad berarti hadits yagn
diriwayatkan oleh orang perorangan, atau dua orang atau lebih akan tetapi
belum cukup syarat untuk dimasukkan kedalam kategori hadits mutawatir.
Artinya, hadits ahad adalah hadits yang jumlah perawinya tidak sampai
pada tingkatan mutawatir.

18
Ulama ahli hadits membagi hadits ahad menjadi dua, yaitu masyhur dan
ghairu masyhur.
a. Hadits Masyhur
Menurut bahasa, masyhur berarti “sesuatu yang sudah tersebar dan
popular”. Sedangkan menurut istilah ada beberapa definisi, antara
lain:
‫ص َحابَ ِه َو ِمنْ بَ ْع ِد ِه ْم‬ َ ‫ص َحابَ ِه َع َد ٌد ال يَ ْبلُ ُغ َح َّد ت‬
َّ ‫َـواتِر َب ْع َد ال‬ َّ ‫ار َواهُ ِمنَ ال‬
َ َ ‫مـ‬
“Hadits yang diriwayatkan dari sahabat tetapi bilangannya tidak
sampai pada tingkatan mutawatir, kemudian baru mutawatir
setelah sahabat dan orang yang setelah mereka.”
Hadits masyhur ada yang berstatus shahih, hasan dan dhaif. Hadits
masyhur yang berstatus shahih adalah yang memenuhi syarat-
syarat hadits shahih baik sanad maupun matannya.
Sedangkan hadits masyhur yang berstatus hasan adalah hadits yang
memenuhi ketentuan-ketentuan hadits hasan, baik mengenai sanad
maupun matannya.
Adapun hadits masyhur yang dhaif adalah hadits yang tidak
memenuhi syarat-syarat hadits shahih dan hasan, baik pada sanad
maupun pada matannya.
b. Hadits Ghairu Masyhur
Ulama ahli hadits membagi hadits ghairu masyhur menjadi dua
yaitu, Aziz dan Gharib.
 Aziz; menurut bahasa berasal dari kata azza-yaizu, artinya
“sedikit atau jarang”. Menurut istilah hadits Aziz adalah hadits
yang perawinya tidak kurang dari dua orang dalam semua
tingkatan sanad.”
Menurut Al-Thahhan menjelaskan bahwa sekalipun dalam
sebagian Thabaqat terdapat perawinya tiga orang atau lebih,
tidak ada masalah, asal dari sekian thabaqat terdapat satu
thabaqat yang jumlah perawinya hanya dua orang. Oleh karena

19
itu, ada ulama yang mengatakan bahwa hadits ‘azaz adalah
hadits yang diriwayatkan oleh dua atau tiga orang perawi.”
Dari pengertian diatas dapat dikatakan bahwa suatu hadits
dapat dikatakan hadits Aziz bukan hanya yang diriwayatkan
dua orang pada setiap tingkatnya, tetapi selagi ada tingkatan
yang diriwayatkan oleh dua rawi.
 Gharib, menurut bahasa berarti “al-munfarid” (menyendiri).
Dalam tradisi ilmu hadits, ia adalah “hadits yang diriwayatkan
oleh seorang perawi yang menyendiri dalam meriwayatkannya,
baik yang menyendiri itu imamnya maupun selainnya”.
Menurut Ibnu Hajar yang dimaksud dengan hadits gharib
adalah “hadits yang dalam sanadnya terdapat seorang yang
menyendiri dalam meriwayatkannya, dimana saja penyendirian
dalam sanad itu terjadi”.
2.5.3 Kesimpulan
Dapat kita simpulkan bahwa Tirmidzi-1847 adalah mutawatir, karena
Tirmidzi-1847 adalah haidts yang diriwayatkan oleh orang banyak, dan
berdasarkan logika atau kebiasaan, dan mustahi untuk mereka semua akan sepakat
untuk berdusta.
Tirmidzi-1847 berupa hadits mutawatir ‘amali karena perilaku kasih
sayang sesama dikerjakan oleh Nabi Muhammad SAW, kemudian diikuti oleh
para sahabat, kemudian diikuti lagi oleh Tabi’in, dan seterusnya, diikuti oleh
generasi sampai sekarang.

20
BAB 3
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Dari analisis kami terhadap Tirmidzi-1847 dapat disimpulkan bahwa:
a. Tirmidzi-1847 adalah Hadist, karena Tirmidzi-1847 di sandarkan kepada Nabi
Muhammad SAW. Beliau menunjukkan sikap kasih sayang kepada sesama dan
menyuruh kita semua untuk saling menyangi terhadap sesama.
b. Tirmidzi-1847 memiliki Sanad, Matan, dan Rowi. Ketiga unsur ini ada pada
Tirmidzi-1847. Sanad berada pada awal hadist tepatnya adalah orang-orang yang di
sebutkan di awal hadist. Matan berada setelah sanad, lebih tepatnya matan adalah isi
hadist tersebut. Dan rowinya adalah Tirmidzi, orang yang meriwayatkan hadist
tersebut.
c. Tirmidzi-1847 adalah fi’liyah karena Nabi Muhammad SAW sendiri yang
melaksanakan dan menerangkan bahwa kita semua harus saling menyayangi antar
sesama. Nabi Muhammad SAW sendiri selalu meneraperapkan dan menebarkan
kebaikan dan kasih sayang di kehidupan sehari-harinya.
d. Tirmidzi-1847 adalah marfu’, karena disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW
berupa perkataan dan perbuatan beliau. Tirmidzi-1847 berupa marfu’ fi’li haqiqi
karena pemberitahuan sahabat yang dengan tegas menisbatkannya sebagai perbuatan
rasul saw.
e. Tirmidzi-1847 adalah mutawatir, tepatnya berupa hadits mutawatir ‘amali karena
perilaku kasih sayang sesama dikerjakan oleh Nabi Muhammad SAW, kemudian
diikuti oleh para sahabat, kemudian diikuti lagi oleh Tabi’in, dan seterusnya, diikuti
oleh generasi sampai sekarang. Dan Tirmidzi-1847 adalah haidts yang diriwayatkan
oleh orang banyak
3.2 Saran
Setelah dilakukan analisis hadits di atas, kami sadar bahwa mungkin ada
kesalahan entah pada penulisan, pemahaman pada hadits, ataupun pada kata-kata yang
kurang tepat. Oleh karena itu, kami sangat berharap saran dan ktitikan yang dapat

21
mengembangkan karya tulis ini agar bisa membangun bagi para pembaca untuk lebih
bersemangat dalam mengkaji hadis.

22
DAFTAR PUSTAKA

Abdillah. 2020. “Menyayangi Sesama”,


https://www.republika.id/posts/12128/menyayangi-sesama#:~:text=Dalam%20sebuah%20hadis
%2C%20Rasulullah%20SAW,(HR%20at%2DTirmidzi), diakses pada 10 Februari 2023.

Risalah muslim. 2023. “HR. Tirmidzi: 1847 – Kasih sayang sesama manusia”,
https://risalahmuslim.id/hadits/tirmidzi-1847/ , diakses pada 10 Februari 2023.

Shafta. 2021. “Pengertian Hadits, Sunnah, Khabar, Atsar, dan Hadits Qudsi”,
https://shafta.sch.id/pengertian-hadits-sunnah-khabar-atsar-dan-hadits-qudsi/ , diakses pada 10
Februari 2023.

Evipracintia. 2013. “Makalah Kasih Sayang”,


http://evipracintia.blogspot.com/2013/04/makalah-kasih-sayang.html , diakses pada 10 Februari
2023.

Lusiana Mustinda. 2020. “Rawi, Sanad dan Matan, Apa Bedanya?”,


https://news.detik.com/berita/d-5206379/rawi-sanad-dan-matan-apa-bedanya , diakses pada 10
Februari 2023.

Tafieldi Nevawan. 2005. “Musthalah Hadits”, karawangan: Bina Ukhuwah.

Kumparan.com. 2020. “Pengertian Sanad, Matan, dan Rawi Hadits beserta Contohnya yang Bisa
Dipahami”, https://kumparan.com/berita-hari-ini/pengertian-sanad-matan-dan-rawi-hadits-
beserta-contohnya-yang-bisa-dipahami-1ynzY2Ynjzj/full , diakses pada 10 Februari 2023.

Rahma Indina Harbani. 2021. “Hadits Mauquf: Pengertian, Jenis, dan Contohnya”,
https://news.detik.com/berita/d-5601067/hadits-mauquf-pengertian-jenis-dan-
contohnya#:~:text=A.%20Apa%20itu%20hadits%20mauquf,dengan%20sanad%20bersambung
%20atau%20tidak , diakses pada 10 Februari 2023.

Risalah muslim. 2022. “Marfu’”, https://risalahmuslim.id/kamus/marfu/#:~:text=Hadits


%20marfu%20adalah%20hadits%20yang,hadith%20itu%20bersambung%20atau%20terputus
diakses pada 10 Februari 2023.

23
Ahda Bina. 2021. “Hadits Maqthu’ Pengertian, Contoh Dan Statusnya”,
https://www.ahdabina.com/hadits-maqthu-pengertian-contoh-dan-statusnya/ , diakses pada 10
Februari 2023.

Nahwushorof. 2022. “Jumlah Fi’liyah: Pengertian, Ciri, dan Contoh Kalimatnya”,


https://www.nahwushorof.id/2022/04/jumlah-filiyah.html , diakses pada 11 Februari 2023.

Kumparan.com. 2021. “Pengertian Hadits Taqririyah Lengkap dengan Contohnya”,


https://kumparan.com/berita-hari-ini/pengertian-hadits-taqririyah-lengkap-dengan-contohnya-
1weaUC2Egsi , diakses pada 11 Februari 2023.

Rahma Harbani. 2022. “Contoh Sunnah Hammiyah dan Penjelasannya Lengkap”,


https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-6321901/contoh-sunnah-hammiyah-dan-penjelasannya-
lengkap, diakses pada 11 Februari 2023.

Meiliza Laveda, Esthi Maharani. 2021. “Teladani Kebaikan dan Kasih Sayang
Rasulullah”, https://ihram.co.id/berita/qukz81335/teladani-kebaikan-dan-kasih-sayang-rasulullah
, diakses pada 11 Februari 2023.

Kurikulum Pendidikan islam. 2022. “Pembagian Hadits Dari Segi Kuantitas Dan Kualitas
Hadits”, https://b3npani.wordpress.com/tugas-kuliah/92-2/ , diakses pada 11 Februari 2023.

Kumparan.com. 2021. “Contoh Sunnah Hammiyah Beserta Sunnah Lain yang Bisa
Dijadikan Pedoman”, https://kumparan.com/berita-hari-ini/contoh-sunnah-hammiyah-beserta-
sunnah-lain-yang-bisa-dijadikan-pedoman-1x8ib68hSoM , diakses pada 11 Februari 2023.

Anatasia Anjani. 2021. “Jika Ada Soal Sebutkan Macam-macam Sunnah, Ini
Jawabannya”, https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-5666416/jika-ada-soal-sebutkan-macam-
macam-sunnah-ini-jawabannya , diakses pada 11 Februari 2023.

24

Anda mungkin juga menyukai