Anda di halaman 1dari 24

USHUL FIQH

MUSLAHAH MURSALAH

Dosen Pengampu: Amru Syahputra, M.HI

Disusun Oleh:

Yogi Rananta Liardo

Pinkan Azhara

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM SYEKH H. ABDUL HALIM HASAN


AL-ISHLAHIYAH BINJAI

2022/2023

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, atas segala limpahan
rahmat, taufik, hidayah dan inayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan
penyusunan makalah yang berjudul “Maslahah Mursalah” dengan hadirnya makalah
ini dapat memberikan informasi bagi para pembaca tentan.
Maksud penulis membuat makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata
kuliah Ushul Fiqh yang diamanatkan oleh Pak Amru Syahputra. Makalah ini kami
buat berdasarkan buku penunjang yang dimiliki dan untuk mempermudahnya kami
juga menyertai berhubungan dengan kemajuan kedepan. Penulis menyadari bahwa
dalam penyusunan makalah ini banyak sekali kekurangannya baik dalam cara
penulisan maupun dalam perihal isi materi.
Oleh karena itu kami mengundang pembaca untuk memberi kritik dan saran
yang bersifat membangun untuk kemajuan ilmu pengetahuan ini. Mudah-mudahan
makalah ini dapat bermanfaat, khususnya bagi penulis yang membuat dan umumnya
bagi yang membaca makalah ini. Aamiin

Binjai, November 2022

Penulis

2
DAFTAR ISI
COVER.........................................................................................................................1
KATA PENGANTAR ................................................................................................2
DAFTAR ISI .............................................................................................................. 3
BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................... 4
A. Latar Belakang Masalah ................................................................................. 4
B.Rumusan Masalah .......................................................................................... 4
C.Tujuan ............................................................................................................ 4
BAB II PEMBAHASAN .......................................................................................... 5
A.Pengertian Maslahah Mursalah ....................................................................... 5
B.Macam-Macam Maslahah Mursalah ............................................................... 6
C.Syarat-Syarat Maslahah Mursalah .................................................................. 13
D. Kehujjahan Maslahah Mursalah .................................................................... 15
E. Pendapat Ulama Tentang Mashlahat sebagai Dasar Hukum..........................17

BAB III PENUTUP ................................................................................................. 22


A. Kesimpulan ...........................................................................................................22
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 23

3
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang Masalah


Islam merupakan agama Rahmatan lil ‘alamin yang dianugrahkan kepada
seluruh umat manusia. Seiring dengan perkembangan zaman, dalam situasi dan
kondisi yang berubah-ubah tentu akan menimbulkan berbagai pertanyaan mengenai
permasalahan-permasalahan yang timbul di masyarakat, mulai dari masalah pribadi,
keluarga, ekonomi, hukum, dan lain-lain. Disinilah agama Islam terbukti sebagai
agama yang mampu menjawab segala permasalahan dan sesuai dengan
perkembangan zaman. Para ulama mengeluarkan fatwa-fatwa yang bertujuan untuk
menjawab permasalahan-permalahan tersebut, mewujudkan kemaslahatan dan
mencegah atau menolak berbagai kerusakan bagi umat manusia dengan
menyesuaikan pada tujuan syari’at atau disebut dengan maslahah mursalah.
Dalam makalah ini pemakalah akan memaparkan mengenai maslahah
mursalah yang akan membuka wawasan kita mengenai kajian ushul fiqih.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian maslahah mursalah?
2. Apa saja macam-macam maslahah mursalah?
3. Apa saja syarat-syarat maslahah mursalah?
4. Bagaimana kehujjahan maslahah mursalah?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian maslahah mursalah
2. Untuk mengetahui macam-macam maslahah mursalah
3. Untuk mengetahui syarat-syarat maslahah mursalah
4. Untuk mengetahui kehujjahan maslahah mursalah

4
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Maslahah Mursalah
Mashlahah mursalah tediri dari dua kata, yaitu mashlahah dan mursalah.Kata
“maslahat” yang sudah “mengindonesia” berasal dari bahasa Arab (mashlahah)
dengan jama’nya mashalih1 yang secara etimologi berarti : manfaat, faedah, bagus,
baik, kebaikan, guna atau kegunaan. Mashlahah merupakan bentuk mashdar dari fi’il
shalaha2,ia merupakan lawan dari kata mafsadat yang berarti kerusakan dan
kebinasaan.

Sebelum kata mashlahah menjadi suatu istilah yang digunakan dalam


membicarakan hukum Islam, orang tidak memerlukan penafsiran atau pengertian
khusus, karena pada ghalibnya orang Arab sudah mengerti kata mashlahat ini dipakai
dalam rangkaian kalimat. Sementara itu para sahabat Nabi saw yang mempergunakan
kata mashlahat ini tidak mempersoalkan definisinya.3

Menurut Muhammad Hasbi As-Siddiqi, maslahah ialah:


“Memelihara tujuan syara’ dengan jalan menolak segala sesuatu yang merusakkan
makhluk.” (lihat: Hasbi As-Siddiqi, Pengantar Hukum Islam, Juz I, halaman 236)

Menurut Imam Ar-Razi maslahah adalah sebagai berikut:


“Maslahah adalah perbuatan yang bermanfaat yang telah diperintahkan oleh
musyarri’ (Allah) kepada hambaNya tentang pemeliharaan agamanya, jiwanya,
akalnya, keturunannya, dan harta bendanya.”(Lihat: Al Mahsul oleh Ar-Razi, juz II,
halaman 434).

1
Ibn Mandzur al-Afriqiy, Lisan al-‘Arab, Juz VIII, Beirut : Dar al-Sadr, 1972, hal. 348
2
Dalam Kamus Bahasa Indonesia maknanya adalah sesuatu yang mendatangkan kebaikan W.J.S.
Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia.Jakarta, 1976, hal. 635
3
Mustafa Zaid, Maslahat fi al-Tasyri’ al-Islamiy, Dar al-Fikr al-‘Arabiy, Mesir, 1964, hal. 19

5
Sedangkan menurut Imam Al-Ghazali:
“Maslahah pada dasarnya ialah meraih manfaat dan menolak madarat.” (lihat: Al-
Mustafa oleh Imam Al-Ghazali, Juz I, halaman 39).4
Adapun definisi lain mengenai maslahah mursalah, yaitu Menurut bahasa,
maslahan berarti manfaat dan kebaikan, sedang mursalah berarrti lepas. Menurut
istilah, masalahah mursalah ialah kemaslahatan yang tidak di tetapkan oleh syara’
dalam penetapan hukum dan tidak ada dalil yang menyuruh mengambil atau
menolaknya.
Maslahah Mursalah itu yang mutlak, karena ia tidak terikat oleh dalil yang
mengakuinya atau dalil yang membatalkannya. Misalnya kemaslahatan yang
karenanya para sahabat mensyariatkan pengadaan penjara, pencetakan mata uang,
penetapan tanah pertanian di tangan pemiliknya dan memungut pajak terhadap tanah
itu, atau lainnya yang termasuk kemaslahatan yang dituntut oleh berbagai kebutuhan
atau berbagai kebaikan namun belum disyariatkan hukumnya dan tidak ada bukti
syara’ yang menunjukkan terhadap pengakuan atau pembatalannya.5

B. Macam-Macam Maslahah Mursalah


Untuk memelihara mashlahat secara komprehensif dan proposional, maka para
ahli ushul fiqh mengemukakan beberapa pembagian mashlahah, dilihat dari beberapa
segi tinjauan.Pertama, tinjauan dari segi prioritas penggunaannya; Kedua, tinjauan
dari segi cakupan/kandungannya,;Ketiga, tinjauan dari segi dapat berubah atau
tidaknya.,; dan Keempat, tinjauan dari segi keberadaan mashlahah menurut syara’.6

4
Zen Amiruddin, Ushul Fiqih, (Yogyakarta: Teras, 2009), hlm. 177.
5
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Semarang: Dina Utama, 1994), hlm. 116.
6
Najm al Din al Tufi (675-716 H / 1276 – 1326 M, ahli ushul fiqh Hanbali), tidak membagi
mashlahah sebagaimana yang dikemukakan para ahli ushul fiqh di atas.Menurutnya, mashlahah
merupakan dalil yang bersifat mandiri dan menempati posisi yang kuat dalam menetapkan hukum
syara’, baik mashlahah itu mendapat dukungan dari syara’ maupun tidak. Lihat Mushtafa Zaid,
Nazhariyyah al-Mashlahah fi al-Fiqh alIslamiy wa Najm al-Din al-Thufi, dalam Nasrun Harun, Ushul
Fiqh, Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1997hal 119

6
1. Dilihat dari segi segi prioritas penggunaannya, mashlahat di bagi menjadi
kepada tiga macam, yaitu :
1. Mashlahah al-Dharuriyah, yaitu kemashlahatan yang berhubungan dengan
kebutuhan pokok umat manusia di dunia dan akhirat. Kemashlahatan seperti ini
ada lima, yaitu ; (1) memelihara agama, (2) memelihara jiwa, (3) memelihara
akal, (4) memelihara keturunan dan, (5) memelihara harta. Kelima kemaslahatan
ini, disebut dengan al-mashalih al-khamsah.

2. Mashlahah al-Hajiyah, yaitu kemaslahatan yang dibutuhkan dalam


menyempurnakan kemashlahatan pokok (mendasar) sebelumnya yang berbentuk
keringanan untuk mempertahankan dan memelihara kebutuhan mendasar manusia
atau dengan kata lain mashlahat yang dibutuhkan oleh orang dalam mengatasi
berbagai kesulitan yang dihadapinya.7 Misalnya, dalam bidang ibadah diberi
keringanan berbuka puasa bagi orang yang sedang musafir; dalam bidang
mu’amalah dibolehkan berburu binatang dan memakan makanan yang baik-baik.

3. Mashlahah al-Tahsiniyah, yaitu kemashlahatan yang sifatnya pelengkap berupa


keleluasaan yang dapat melengkapai kemashlahatan sebelumnya. Misalnya
dianjurkan untuk memakan yang bergizi, berpakaian yang bagus-bagus,
melakukan ibadah-ibadah sunah sebagai amalan tambahan, dan berbagai cara
menghilangkan najis dari badan manusia.8

7
Muhammad Adib Shalih, Mashadir Tasyri’ al-Islamiy wa Manhaj al-Istinbath,
Damaskus :Mathba’at al-Ta’awuniyat, 1968, hal. 469
8
Nasrun Harun, Ushul...., hal 115-116

7
Ketiga kemashlahatan ini perlu dibedakan, sehingga seorang muslim dapat
menentukan prioritas dalam mengambil suatu kemashlahatan. Kemashlahatan al-
dharuriyah harus lebih didahulukan daripada kemashlahatan hajiyah, dan
kemashlahatan hajiyah lebih didahulukan dari kemashlahatan tahsiniyah.

2. Dilihat dari segi kandungan mashlahah, para ulama ushul fiqh membaginya
kepada :

1. Mashlahah al-‘Ammah , yaitu kemashlahatan umum yang menyangkut kepentingan


orang banyak. Kemashlahatan itu tidak berarti untuk kepentingan semua orang, tetapi
bisa berbentuk kepentingan mayoritas umat atau kebanyakan umat.Misalnya para
ulama membolehkan membunuh penyebar bid’ah yang dapat merusak ‘aqidah umat,
karena menyangkut kepentingan orang banyak.

2. Mashlahah al-Khashah, yaitu kemashlahaatan pribadi dan ini sangat jarang sekali,
seperti kelashlahatan yang berkaitaan dengan pemutusan hubungan perkawinan
seseorang yang dinyatakan hilang (maqfud).

Pentingnya pembagian kedua kemashlahatan ini berkaitan dengan prioritas


mana yang harus didahulukan apabila antara kemashlahatan umum bertentangan
dengan kemashlahatan pribadi.Dalam pertentangan kedua kemashlahatan ini, Islam
mendahulukan kemashlahatan umum daripada kemashlahatan peribadi.

3. Dilihat dari segi berubah atau tidaknya mashlahah, menurut


Muhammad Mushthafa Al-Syalabi9, ada dua bentuk, yaitu ;

1. Mashlahah al-Tsabitah, yaitu kemashlahatan yang bersifat tetap, tidak berubah


sampai akhir zaman. Misalnya, berbagai kewajiban ibadah, seperti shalat, puasa,
zakat dan haji.

9
Muhammad Mushthafa al-Syalabi, Ta’lil al-Ahkam, Mesir : Dar al-Nahdhah al-‘Arabiyah, hal. 281-

8
2. Mashlahah al-Mutaghayyirah, yaitu kemashlahatan yang berubah-ubah sesuai
dengan perubahan tempat, waktu, dan subjek hukum. Kemashlahataan seperti ini
berkaitan dengan permasalahan mu’amalah dan adat kebiasaan, seperti dalam
masalah makanan yang berbeda-beda antara satu daerah dengan daerah lainnya.

Perlunya pembagian ini, menurut Muhammad Mushthafa al-Syalabi, untuk


memberikan batasan kemashlahatan mana yang bisa berubah dan yang tidak.

4. Dari segi pandangan syara’ maslahah di bagi menjadi 3 yaitu10 :

1. Maslahah Mu’tabarah, yaitu kemaslahatan yang didukung oleh syari’ dan dijadikan
dasar dalam penetapan hukum. Misalnya kewajiban puasa pada bulan ramadhan.
Mengandung kemaslahatan bagi manusia, yaitu untuk mendidik manusia agar
sehat secara jasmani maupun rohani. Kemaslahatan ini melekat langsung pada
kewajiban puasa ramadhan dan tidak dapat dibatalkan oleh siapapun. Demikian
juga kemaslahatan yang melekat pada kewajiban zakat, yaitu untuk mendidik jiwa
muzakki agar tebebas dari sifat kikir dan kecintaan yang berlebihan pada harta,
dan untuk menjamin kehidupan orang miskin. Kemaslahatan ini tidak dapat
dibatalkan, sebab jika dibatalkan akan menyebabkan hilangnya urgensi dan
relevansi dari pensyariatan zakat.
2. Maslahah Mulghoh, yaitu kemaslahatan yang ditolak oleh syari’ dan syari’
menetapkan kemaslahatan lain selain itu. Misalnya adalah kemaslahatan
perempuan menjadi imam bagi laki-laki yang bertentangan dengan kemaslahatan
yang di tetapkan oleh syar’i yaitu pelarangan perempuan menjadi imam bagi laki-
laki. Demikian juga kemaslahatan yang diperoleh oleh seorang pencuri, ditolak
oleh syar’i dengan mengharamkan pencurian, demi melindungi kemaslahatan yang
lebih besar, yaitu kemaslahatan rasa aman bagi masyarakat.

10
Suwarjin, Ushul Fiqh, (Yogyakarta: Teras, 2012), hlm. 141-142.

9
3. Maslahah Mursalah, yaitu kamaslahatan yang belum tertulis dalam nash dan ijma’,
serta tidak ditemukan nash atau ijma’ yang melarang atau memerintahkan
mengambilnya. Kemaslahatan ini dilepaskan oleh syari’ dan diserahkan kepada
manusia untuk mengambil atau tidak mengambilnya. Jika kemaslahatan itu
diambil oleh manusia, maka akan mendatangkan kebaikan bagi mereka, jika tidak
diambil juga tidak akan mendatangkan dosa. Misalnya, pencatatan perkawinan,
penjatuhan talak di pengadilan, kewajiban memiliki SIM bagi pengendara
kendaraan bermotor, dan lain-lain.
Sedangkan ulama’ ushul membagi maslahah kepada tiga bagian, yaitu11:
1. Maslahah Dharuriyah, yaitu segala hal yang menjadi sendi eksistensi kehidupan
manusia, harus ada demi kemaslahatan mereka. Bila sendi itu tidak ada atau tidak
terpelihara secara baik kehidupan manusia akan kacau, kemaslahatannya tidak
terwujud, baik di dunia maupun di akhirat. Perkara-perkara ini dapat dikembalikan
kepada lima perkara yang merupakan perkara pokok yang harus dilindungi, yaitu
agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.
a. Melindungi kemaslahatan agama.
Agama islam merupakan agama Allah karena itu perlu dipelihara dari hal-hal
yang merusak, baik dari segi ibadahnya atau akidahnya serta lain-lain yang
membawa kerusakannya.12 Yang dimaksud melindungi agama di sini adalah
Allah memerintahkan kaum muslim agar menegakkan syiar-syiar Islam,
seperti shalat, puasa, zakat, haji, memerangi (jihad) orang yang menghambat
dakwah Islam dan lain sebagainya.
b. Melindungi jiwa
Diantara syari’at yang diwajibkan untuk melindungi jiwa adalah kewajiban
untuk berusaha memperoleh makanan, minuman dan pakaian untuk
mempertahankan hidupnya. Dalam melindungi jiwa ini juga diperlukan

11
Alaiddin Koto, Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004), hlm. 122.
12
Yusran Asmuni, Dirasah Islamiyah II; Pengantar studi sejarah kebudayaan Islam dan pemikiran,
(Jakarta: PT. RajaGrafindo persada, 1996), hlm. 41

10
hukum yang mengikat, misalnya hukum qisash atau mendiyat orang yang
berbuat pidana agar manusia tidak sewenang-wenang membunuh manusia.
c. Melindungi akal
Manusia merupakan sebaik-baik bentuk makhluk Allah yang diberikan akal.
Oleh karena itu harus dijaga. Diantara syari’at yang diwajibkan untuk
melindungi akal adalah kewajiban untuk meninggalkan minum khamr dan
segala sesuatu yang memabukkan. Begitu juga menyiksa orang yang
meminumnya. Kaum muslimin disyariatkan agar selalu menggunakan akalnya
untuk memikirkan diri dan ciptaan Tuhannya, menuntut ilmu yang bermanfaat
dan lain sebagainya.
d. Melindungi keturunan
Dalam memelihara keturunan Islam, diantara syari’at yang diwajibkan untuk
memelihara keturunan adalah kewajiban untuk menghindarkan diri dari
berbuat zina. begitu juga hukuman yang dikenakan kepada pelaku zina, laki-
laki atau perempuan.
e. Melindungi harta
Diantara syari’at yang diwajibkan untuk memelihara harta adalah kewajiban
untuk menjauhi pencurian. Begitu juga pemotongan tangan pencuri laki-laki
atau perempuan. Dan juga larangan berbuat riba serta keharusan bagi orang
yang mencuri untuk mengganti harta yang telah dilenyapkannya.
2. Maslahah Hajjiyah
Maslahah Hajjiyah adalah:
ُ َّ‫ك ااْل ُصُوْ ِل ْالخَ ْم َس ِة بَلْ تَت ََحق‬
‫ق‬ َ ‫ت الَّتِي اَل تَتَ َوقَّفُ َعلَ ْيهَا تِ ْل‬ َ َ‫صالِ ُح ْال َحا ِجيَّةُ فَ ِه َي ِعب‬
َ َّ‫ارةٌ ع َِن ااْل َ ْع َما ِل َو الت‬
ِ ‫صرُّ فَا‬ َ ‫اَ ّما َ ْال َم‬
ِ ‫ِّق َو ْال َح َر‬
‫ج‬ ِ ‫ضي‬َّ ‫صيَانَةً َم َع ال‬ ِ ‫بِ ُدوْ نِهَا َو ٰل ِك ْن‬.
“Semua bentuk perbuatan dan tindakan yang tidak terkait dengan dasar yang lain
(yang ada pada maslahah dharuriyah) yang dibutuhkan oleh masyarakat tetap juga
terwujud, tetapi dapat terhindarkan kesulitan dan menghilangkan kesempitan”13

13
Chaerul Umam, dkk, Ushul Fiqih I, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2000), hlm. 138

11
Dalam sumber lain menyebutkan bahwa Maslahah Hajjiyah adalah segala
sesuatu yang sangat dihajatkan oleh manusia untuk menghilangkan kesulitan dan
menolak segala halangan.14
Hajjiyah ini tidak rusak dan terancam jika tidak dipenuhi tetapi hanya
menimbulkan kepicikan dan kesempitan, dan hajjiyah ini berlaku dalam lapangan
ibadah, adat, muamalat dan bidang jinayat.
Dalam hal ibadah, islam memberikan rukhshah/keringanan bila seorang
mukallaf mengalami kesulitan dalam menjalankan suatu kewajiban ibadahnya.
Misalnya diperbolehkan seseorang tidak berpuasa dalam bulan ramadhan ketika
sedang sakit atau sedang dalam perjalanan jauh. Begitu pula diperbolehkannya
seseorang mengqashar shalat bila ia sedang dalam bepergian jauh.
Dalam hal adat, dibolehkan berburu, memakan dan memakai yang baik-baik
dan yang indah-indah.
Dalam hal muamalat, dibolehkan jual beli pesanan dan jual beli secara salam,
dibolehkan seorang suami menalak isterinya apabila rumah tangga mereka benar-
benar tidak mendapat ketentraman lagi.
Dalam hal uqubat/jinayat, Islam menetapkan kewajiban membayar denda
(bukan qisash) bagi orang yang membunuh secara tidak sengaja, menawarkan hak
pengampunan bagi orang tua korban pembunuhan terhadap orang yang membunuh
anaknya, dan lain sebagainya.15
3. Maslahah Tahsiniyah
Maslahah tahsiniyah adalah:
ِ ‫اسنُ ْال َعادَا‬
‫ت‬ ِ ‫َض ْيهَا ْال ُمرُوْ َءةُ َو َم َك‬
ِ ‫ار ُم ااْل َ ْخاَل‬
ِ ‫ق َو َم َح‬ َ ‫اَ َّما ْال َم‬.
ِ ‫صالِ ُح التَّحْ ِس ْينِيَّةُ فَ ِه َي ِعبَا َرةٌ َع ِن ااْل ُ ُموْ ِر الَّتِ ْي تَ ْقت‬
“Mempergunakan semua yang layak dan pantas yang dibenarkan oleh adat
kebiasaan yang baik dan dicakup oleh bagian mahasinul akhlak”16

14
Suwarjin, Ushul Fiqh, (Yogyakarta: Teras, 2012), hlm. 143.
15
Chaerul Umam, dkk, Ushul Fiqih I, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2000), hlm. 139.
16
Ibid, hlm. 139

12
Dalam sumber lain menyebutkan bahwa Maslahah tahsiniyah adalah tindakan
atau sifat-sifat yang pada prinsipnya berhubungan dengan makarimul akhlak serta
memelihara keutamaan dalam bidang ibadah, adat dan muamalah.17
Lapangan ibadah misalnya kewajiban bersuci dari najis, menutup aurat, memakai
pakaian yang baik-baik ketika akan shalat, mendekatkan diri kepada Allah melalui
amalan-amalan sunnah seperti shalat sunnah, puasa sunnah, bersedekah, dan lain-lain.
Dalam lapangan adat, misalnya bersikap sopan santun ketika makan dan minum,
dan dalam pergaulan sehari-hari, memilih makanan-makanan yang baik-baik dari
yang tidak baik.
Dalam lapangan muamalah, misalnya larangan menjual barang-barang yang
bernajis, tidak memberikan sesuatu kepada orang lain melebihi kebutuhannya.
Imam Abu Zahrah menambahkan bahwa termasuk dalam lapangan tahsiniyah
adalah melarang wanita-wanita muslimat keluar ke jalan-jalan umum memakai
pakaian yang seronok atau perhiasan-perhiasan yang mencolok mata. Sebab hal ini
bisa menimbulkan fitnah dikalangan masyarakat banyak yang pada gilirannya akan
terjadi hal-hal yang tidak diinginkan oleh keluarga, terutama oleh agama.
Selanjutnya dikatakan bahwa adanya larangan tersebut bagi wanita sebenarnya
merupakan kemuliaan baginya untuk menjaga kehormatan dirinya agar tetap bisa
menjadi wanita yang baik dan menjadi kebanggaan keluarga dan agama di masa
mendatang.18
C. Syarat-Syarat Maslahah Mursalah
Maslahah mursalah dapat dijadikan sebagai dalil dengan syarat19 :
1. Maslahah tersebut harus maslahah yang hakiki, bukan sekedar maslahah yang
diduga atau di asumsikan. Yang dimaksudkan dengan persyaratan ini ialah
untuk membuktikan bahwa pembentukan hukum pada suatu kasus
mendatangkan kemanfaatan dan menolak bahaya. Adapun sekedar dugaan

17
Suwarjin, Ushul Fiqh, (Yogyakarta: Teras, 2012), hlm. 143.
18
Chaerul Umam, dkk, Ushul Fiqih I, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2000), hlm. 140.
19
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Semarang: Dina Utama, 1994), hlm. 119-121

13
bahwa pembentukan suatu hukum menarik suatu manfaat tanpa
mempertimbangkannya dengan bahaya yang datang, maka ini adalah
berdasarkan atas kemaslahatan yang bersifat dugaan. Misalnya larangan bagi
suami untuk menalak isterinya dan memberikan hak talak tersebut kepada
hakim saja dalam semua keadaan. Sesungguhnya pembentukan hukum
semacam ini menurut kami tidak mengandung terhadap maslahah. Bahkan hal
itu dapat mengakibatkan rusaknya rumah tangga dan masyarakat, hubungan
suami dengan isterinya ditegakkan di atas suatu dasar paksaan undang-
undang, tetapi bukan atas dasar keikhlasan.
2. Kemaslahatan tersebut harus kemaslahatan umum, bukan kemaslahatan
pribadi atau kemaslahaan khusus. Maksudnya ialah untuk membuktikan
bahwa pembentukan hukum pada suatu kasus adalah mendatangkan manfaat
bagi mayoritas umat manusia atau menolak bahaya dari mereka., bukan untuk
kemaslahatan individu dan sejumlah perorangan yang merupakan minoritas
dari mereka.
Oleh karena itu fatwa Imam Yahya bin Yahya al-Laitsi al-Maliki,
seorang fiqh Andalusia dan murid Imam Malik bin Anas adalah salah. Beliau
memberikan fatwa kepada raja Andalusia yang berbuka puasa dengan sengaja
pada siang hari bulan Ramadhan bahwa tidak ada kafarat baginya kecuali
puasa dua bulan berturut-turut. Beliau mendasarkan fatwanya bahwa kafarat
adalah mencegah orang yang berbuat dosa dan menahannya sehingga ia tidak
kembali kepada perbuatan dosa serupa., dan tidak ada yang dapat menahan
sang raja ini dari hal itu kecuali puasa dua bulan. Adapun memerdekakan
budak, maka hal ini terlalu mudah baginya. Fatwa ini didasarkan pada
kemaslahatan, tetapi hanya khusus kepada raja, bukan bersifat umum. Karena
sudah jelas bahwa kafarat bagi orang yang berbuka puasa pada siang hari
bulan ramadhan dengan sengaja adalah memerdekakan seorang budak,
kemudian barangsiapa yang tidak mendapatkannya maka ia berpuasa selama
dua bulan berturut-turut, selanjutnya jika tidak sanggup maka ia memberikan

14
makanan kepada enam puluh orang miskin, tanpa membedakan antara seorang
raja atau fakir miskin yang berbuka puasa pada siang hari bulan ramadhan
dengan sengaja. Jadi kemaslahatan ini dibatalkan.
3. Kemaslahatan tersebut sesuai dengan maqashid al syari’ah dan tidak
bertentangan dengan dalil-dalil syara’.Oleh karena itu tidak sah mengakui
kemaslahatan yang menuntut persamaan antara laki-laki dan perempuan
dalam hal pembagian warisan, karena hal itu bertentangan dengan nash
alqur’an.
D. Kehujjahan Maslahah Mursalah
Dalam kehujjahan maslahah mursalah terdapat perbedaan pendapat di
kalangan ulama ushul20 diantaranya:
1. Maslahah mursalah tidak dapat menjadi hujjah atau dalil menurut ulama-ulama
syafi’iyah, ulama-ulama hanafiyyah dan sebagian ulama Malikiyah, dengan
alasan21:
a. Bahwa dengan nash-nash dan qiyas yang dibenarkan, syariat senantiasa
memperlihatkan kemaslahatan umat manusia. Tak ada satupun kemaslahatan
manusia yang tidak diperhatikan oleh syari’at melalui petunjuknya.
b. Pembinaan hukum islam yang semata-mata didasarkan kepada maslahat
berarti membuka pintu bagi keinginan hawa nafsu.
2. Menurut Al Ghazali, maslahah mursalah yang dapat dijadikan dalil hanya
maslahah dharuriyah. Sedangkan maslahah hajjiyah dan maslahah tahsiniyah tidak
dapat dijadikan dalil.
3. Menurut Imam Malik maslahah mursalah adalah dalil hukum syara’. Pendapat ini
juga diikuti oleh Imam haromain. Mereka mengemukakan argumen sebagai
berikut:

20
Chaerul Umam, dkk, Ushul Fiqih I, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2000), hlm. 141-142
21
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Semarang: Dina Utama, 1994), hlm. 116.

15
a. Nash-nash syara’ menetapkan bahwa syari’at itu diundangkan untuk
merealisasikan kemaslahatan manusia, karenanya berhujjah dengan maslahah
mursalah sejalan dengan karakter syara’ dan prinsip-prinsip yang
mendasarinya serta tujuan pensyariatannya.
b. Kemaslahatan manusia serta sarana mencapai kemaslahatan itu berubah karena
perbedaan tempat dan keadaan. Jika hanya berpegang pada kemaslahatan yang
ditetapkan berdasarkan nash saja, maka berarti mempersempit sesuatu yang
Allah telah lapangkan dan mengabaikan banyak kemaslahatan bagi manusia,
dan ini tidak sesuai dengan prinsip-prinsip umum syariat.
c. Para mujtahid dari kalangan sahabat dan generasi sesudahnya banyak
melakukan ijtihad berdasarkan maslahah dan tidak ditentang oleh seorang pun
dari mereka. Karenanya ini merupakan ijma’.22
Ibnu Al Qayyim berkata: “Diantara kaum muslimin ada sekelompok orang
yang berlebih-lebihan dalam memelihara maslahah mursalah, sehingga mereka
menjadikan syari’at serba terbatas, yang tidak mampu melaksanakan kemaslahatan
hamba yang membutuhkan kepada lainnya. Mereka telah menutup dirinya untuk
menempuh berbagai jalan yang benar berupa jalan kebenaran dan jalan keadilan. Dan
diantara mereka ada pula orang-orang yang melampaui batas, sehingga mereka
memperbolehkan sesuatu yang menafi’kan syari’at Allah dan mereka memunculkan
kejahatan yang panjang dan kerusakan yang luas”.23

E. Pendapat Ulama Tentang Mashlahat sebagai Dasar Hukum

1. Golongan yang mendukung mashlahat.

22
Suwarjin, Ushul Fiqh, (Yogyakarta: Teras, 2012), hlm. 139.
23
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Semarang: Dina Utama, 1994), hlm. 122.

16
Imam Malik24 berpendapat bahwa mashlahat perlu dihargai selama cukup
syarat-syaratnya, karena dia dapat mewujudkan maksud-maksud syara’; Malik
menganggap mashlahat ini sebagai dalil independen, tidak berdasarkan pada yang
lainnya sekalipun ada dalil syara’ yang mengakui ataupun tidak ada dalil yang
mengakui atau menolaknya.

Problematika kehidupan ini terus terjadi dan berkembang, sementara nash


terbatas jumlahnya. Oleh sebab itu, tentulah syari’at mengizinkan manusia untuk
berupaya mengetahui (melakukan ijtihad) hukum-hukum yang dapat menghasilkan
mashlahat bagi kehidupan manusia.

Qiyas sebagai metode analogi yaitu mengkomparatifkan suatu peristiwa (maqis)


kepada peristiwa yang telah ada ketentuan hukumnya (maqis ‘alaih) yang telah
dinashkan oleh syara’. Menetapkan hukum dengan cara analogi berarti mewujudkan
suatu mashlahat yang telah diakui oleh syara’, tetapi banyak peristiwa-peristiwa baru
muncul yang akan dianalogikan kepada peristiwa-peristiwa masa lalu, ternyata
hukumnya tidak ada sama sekali dan sulit dicari. Di sinilah letaknya peranan
mashlahat sebagai dasar hukum, dengan syarat mashlahat yang akan ditempuh itu
mashlahat hakiki yang apabila dilaksanakan akan mendatangkan manfaat atau
menghilangkan mafsadat itu sendiri tidak dibatalkan oleh syara’.Demikian pendapat
imam Malik.

Golongan Imam Ahmad ibn Hanbal, pendapat mereka tentang mashlalat ini tidaklah
jauh berbeda dari pendirian golongan Maliki, meskipun sebagian mereka menolak
mashlahat sebagai dasar hukum.25 Namun bila mengikuti fatwa-fatwa ulama yang
menjadikan mashlahat sebagai dasar hukum. Demikian juga ibn Qayyim,
sebagaimana dikutip oleh Azyumardi Azra mengatakan bahwa pedoman dan prinsip
dasar syari’at adalah kebaikan dan kemashlahatan manusia di dalam kehidupannya di

24
Muhammad ‘Abd al-Gani al-Bajiqani, Al-Madkhal ila Ushul al-Fiqh al-Maliki, Beirut-Libanon : Dar
Lubnan Littiba’ wa al-Nasyr, Cet I, 1968, hal. 133
25
‘Abdullah ibn ‘Abd al-Muhsin al-Turki, Ushul Imam Ahmad ibn Hanbal, Mathba’ah Jami’ah ‘Ain
al-Syams, cet I, 1974, hal. 424.

17
dunia dan di akhirat; syari’at itu adil seluruhnya dan merupakan hikmat seluruhnya,
mashlahat seluruhnya dan mengandung hikmat seluruhnya, maka setiap mashlahat
yang beralih dari keadilan kepada kezaliman, dari rahmat kepada laknat, dari
mashlahat kepada mafsadat, dari yang mengandung hikmat kepada sia-sia bukanlah
termasuk syari’at meskipun dengan interpretasi bagaimanapun juga.26
Al-Tufi dan para pengikutnya mendukung penuh sarana mashlahat ini. Mereka
mengatakan bahwa mashlahat (kepentingan umum) itu hendaklah diutamakan dari
keterangan-keterangan syari’at, walaupun syari’at itu berasal dari nash al-Qur’an dan
hadits.

Jika mashlahat kontradiksi dengan nash hendaklah diutamakan mashlahat


betapapun kuatnya nash tersebut, karena menurut mereka mashlahat itu merupakan
tujuan yang dimaksud Tuhan, sedangkan dalil itu tidak lebih dari alat untuk mencapai
tujuan itu, maka tujuan itu harus lebih dipentingkan dari alat.

Mustafa Zaid menggambarkan di dalam kitabnya bahwa dia menetapkan nash


dan ijma’ itu keduanya dalil yang kuat, terkadang keduanya sejalan dengan mashlahat
dan terkadang terjadi kontradiksi, jika terjadi kontradiksi antara mashlahat dengan
nash maka harus didahulukan mashlalat atas nash dan ijma’ dengan jalan takhsish dan
bayan.

Teori mashlalat al-Tufi ini didasarkan pada hadits Nabi yang diriwayatkan oleh
Ibn Majah dan Dar al-Quthni dari Malik ibn Sinan al-Khudri, Rasulullah SAW, telah
bersabda bahwa seseorang tidak boleh berbuat mudharat dan tidak boleh dimudharati
orang lain.27

Hadits tersebut tercantum di dalam kitab “Matan Arba’in al -Nawawiyyah”


nomor 32, dimana hadits ini telah dikomentari oleh al-Tufi secara panjang lebar yang

26
Azyumardi Azra (ed.), Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2005), hal. 230.
27
Zainuddin al-Hanbali, Jami’ al-‘Ulum wa al-Hukm fi al-Syarh Khamsin Hadisa min Jawami’ al-
Kalim, Beirut-Libanon : Dar al-Fikr, t.t. hal. 365.

18
kesimpulannya bahwa hadits ini khusus menolak mudharat yang berarti harus
menjaga kemashlahatan.

2. Golongan yang menolak mashlahat.

Golongan Syafi’I menyerang pendapat golongan Maliki dengan tuduhan bahwa


mereka mengakui mashlahat sebagai dasar hukum yang berarti telah membuka pintu
tasyri’, yaitu membukakan peluang kepada manusia untuk membuat hukum.Padahal
kompetensi tasyri’ ini hanyalah hak Allah dan Rasul-Nya, tindakan seperti ini
lantaran dia sangat mencela orang yang menggunakan istihsan sebagai dasar hukum,
sedangkan istihsan yang tidak ditunjuki oleh syara’, sehingga dia mengatakan,
“barang siapa yang beristihsan berarti dia telah membuat syari’at”.28
Selanjutnya dia berkata : menetapkan sesuatu dengan berdasarkan istihsan berati
menyatakan bahwasannya Tuhan telah meninggalkan sebagian kemashlahatan
makhluk-Nya.

Oleh karenanya Tuhan tidak menetapkan suatu hukum yang dapat mewujudkan
dan memelihara kemashlatan mereka.Hal ini berarti bertentangan dengan firman
Tuhan, “apakah manusia mengira bahwa mereka dibiarkan begitu saja”.

Mereka mengatakan bahwa apabila kita berpegang kepada mashlahat berati


mereka menganggap agama ini masih dalam keadaan kekurangan, hal ini kontradiksi
dengan firman Allah “…Pada hari ini telah Ku sempurnakan untukmu agamamu dan
telah Ku cukupkan nikmat-Ku kepadamu dan telah Ku-ridhai Islam menjadi agama
bagimu..” (QS. Al-Maidah : 3).

28
Al-Ghazali, Al-Mustashfa Min....,hal. 247
Istihsan secara terminologi adalah dalil yang kontradiksi dengan qiyas jali yang didahului
oleh praduga sebelum diadakan penelitian mendalam, tetapi setelah diadakan penelitian pada
peristiwa hukum baru

19
Kemudian, apabila hukum-hukum itu didasarkan kepada mashlahat maka akan
didapatkan hukum yang berbeda karena perbedaan situasi dan kondisi suatu daerah
tertentu.

Demikian bantahan Syafi’i.

3. Golongan moderat.

Golongan Imam Hanafi mempunyai pendapat netral (jalan tengah) di antara


pendapat golongan Maliki dan Syafi’i.Mereka memakai metode tersendiri, yaitu
istihsan.34 Sarana ini sebenarnya merupakan penerapan secara tidak langsung terhadap
mashlahat, sebagaimana ditegaskan oleh ‘Abd al-Wahhab Khallaf, yaitu :

Mereka menggunakan Istihsan. Salah satu jenis istihsan yang diakui ialah
istihsan berdasarkan pada ‘urf, dharurah dan mashlahat. Hal ini menunjukkan bahwa
mengakui mashlahat sebagai dasar hukum.Tidak mungkin jika mereka mengakui
adanya istihsan kemudian menolak berlakunya mashlahat/ istishlah.

Hanya saja mereka tidak mengakui prinsip-prinsip mashlahat ini secara


terangterangan, kendatipun sebagian fatwa-fatwa mereka membatasi interpretasi nash
berdasarkan mashlahat.

Bertolak dari tiga pendapat golongan tersebut di atas dapat ditegaskan sikap dan
pendirian mereka masing-masing, bahwa sebenarnya semua Imam Mazhab menerima
mashlahat sebagai dasar hukum, hanya karena mereka berbeda faham jika mashlahat
itu dikaitkan dengan nash syara’.

Golongan pertama mengatakan bahwa mashlahat dunia ini tercakup di dalam


mashlahat yang direstui oleh syara’, meskipun ada atau tidak ada dalil yang menyuru h
memperhatikan atau menolaknya.Hal itu dapat dipastikan karena Tuhan sendiri telah
menjanjikan-Nya dan senantiasa mencurahkan rahat kepada hamba-hamba-Nya dan
sekalipun menghilangkan kesulitan-kesulitan mereka. Mereka mengatakan andaikata

20
hukum Tuhan itu tidak mengandung mashlahat tentulah perbuatan itu termasuk
perbuatan sia-sia, padahal Tuhan terlepas dari perbuatan sia-sia ini (QS. Al-Anbiya :
16).

Golongan kedua berpendirian bahwa mashlahat yang diterima sebagai dasar


hukum itu hanyalah mashlahat yang didukung oleh suatu dalil.Mashlahat yang diakui
oleh dalil tersebut haruslah dipandang sebagai ‘illat atau tujuan hukum.Jadi golongan
ini menyamakan mashlahat dengan qiyas.Akan tetapi ‘illat itu hanya merupakan suatu
hikmat menetapkan hukum.Sebab Tuhan tidak mesti bertanggung jawab tetapi
manusialah yang bertanggung jawab di hadapan Tuhan.

Sedangkan golongan ketiga alur pendiriannya hampir sama dengan golongan


kedua, yaitu tidak mengakui secara teoritis. Namun perlu ditambahkan di sini, ada
pendapat yang mengatakan nash haruslah difahami menurut zhahirnya tidak boleh
dikait-kaitkan dengan mashlahat, apakah mengandung mashlahat atau tidak, tidak
boleh dicari ‘illatnya untuk kemudian dijadikan ‘illat qiyas. Demikian pendapat
golongan zahiri.

Dengan demikian, dapat diketahui bahwa jumhur ulama ushul pada dasarnya
setuju dengan pemakaian mashlahat dalam praktek meskipun secara teoritis masih
terdapat perbedaan

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan.

21
1. Masalahah mursalah ialah kemaslahatan yang tidak di tetapkan oleh syara’
dalam penetapan hukum dan tidak ada dalil yang menyuruh mengambil atau
menolaknya
2. Dari segi pandangan syara’ maslahah di bagi menjadi 3, yaitu maslahah
mu’tabarah, maslahah mulghoh dan maslahah mursalah.. Ulama’ ushul fiqh
membagi maslahah menjadi 3, yaitu maslahah dharuriyah, maslahah hajjiyah
dan maslahah tahsiniyah.
3. Maslahah mursalah dapat dijadikan sebagai dalil dengan syarat:
a. Maslahah tersebut harus maslahah yang hakiki, bukan sekedar maslahah
yang diduga atau di asumsikan.
b. Kemaslahatan tersebut harus kemaslahatan umum, bukan kemaslahatan
pribadi atau kemaslahaan khusus
c. Kemaslahatan tersebut sesuai dengan maqashid al syari’ah dan tidak
bertentangan dengan dalil-dalil syara’
4. Dalam kehujjahan maslahah mursalah terdapat perbedaan pendapat di kalangan
ulama ushul:
a. Maslahah mursalah tidak dapat menjadi hujjah atau dalil menurut ulama-
ulama Syafi’iyah, ulama-ulama Hanafiyyah dan sebagian ulama Malikiyah
b. Menurut Al Ghazali, maslahah mursalah yang dapat dijadikan dalil hanya
maslahah dharuriyah.
c. Maslahah mursalah dapat menjadi dalil atau hujjah menurut Imam Malik.

22
DAFTAR PUSTAKA

Amiruddin, Zen. 2009. Ushul Fiqih. Yogyakarta: Teras.

Umam, Chaerul, dkk. 2000. Ushul Fiqih I. Bandung: CV. Pustaka Setia.

Ibn Mandzur al-Afriqiy, Lisan al-‘Arab, Juz VIII, Beirut : Dar al-Sadr, 1972

Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia.Jakarta, 1976

Mustafa Zaid, Maslahat fi al-Tasyri’ al-Islamiy, Dar al-Fikr al-‘Arabiy, Mesir, 1964

Zen Amiruddin, Ushul Fiqih, (Yogyakarta: Teras, 2009)

Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Semarang: Dina Utama, 1994)

Najm al Din al Tufi (675-716 H / 1276 – 1326 M, ahli ushul fiqh Hanbali),

Nazhariyyah al-Mashlahah fi al-Fiqh alIslamiy wa Najm al-Din al-Thufi, dalam


Nasrun Harun, Ushul Fiqh, Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1997

Muhammad Adib Shalih, Mashadir Tasyri’ al-Islamiy wa Manhaj al-Istinbath,


Damaskus :Mathba’at al-Ta’awuniyat, 1968

Muhammad Mushthafa al-Syalabi, Ta’lil al-Ahkam, Mesir : Dar al-Nahdhah


al-‘Arabiyah,

Alaiddin Koto, Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004)

23
Yusran Asmuni, Dirasah Islamiyah II; Pengantar studi sejarah kebudayaan Islam
dan pemikiran, (Jakarta: PT. RajaGrafindo persada, 1996)

Chaerul Umam, dkk, Ushul Fiqih I, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2000)

Suwarjin, Ushul Fiqh, (Yogyakarta: Teras, 2012)

Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Semarang: Dina Utama, 1994)

Muhammad ‘Abd al-Gani al-Bajiqani, Al-Madkhal ila Ushul al-Fiqh al-Maliki,


Beirut-Libanon : Dar Lubnan Littiba’ wa al-Nasyr, Cet I, 1968

Abdullah ibn ‘Abd al-Muhsin al-Turki, Ushul Imam Ahmad ibn Hanbal, Mathba’ah
Jami’ah ‘Ain
al-Syams, cet I, 1974

Azyumardi Azra (ed.), Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2005)

Zainuddin al-Hanbali, Jami’ al-‘Ulum wa al-Hukm fi al-Syarh Khamsin Hadisa min


Jawami’ al-
Kalim, Beirut-Libanon : Dar al-Fikr, t.t.

Al-Ghazali, Al-Mustashfa

24

Anda mungkin juga menyukai