Anda di halaman 1dari 69

MAKALAH

Sumber Hukum (Mukhtalaf Fith):Mashlahah


Mursalah, Istishab, Syar’u Man Qoblana, Qaul
Shahabi
Disusun untuk memenuhi Tugas Kelompok Mata KuIiah Ushul Fiqih
Dosen pengampu: Mohamad Irsyad, Lc., M.E.

Disusun Oleh :

1. Reda Dwi Rostamalillah (225221206)


2. Yaenuri Amalia (225221207)
3. Elsa Putri Maulida (225221209)
4. Rayhan Najib Ahmad (225221218)
5. Shelvina Eka Dewi (225221226)
6. Ema Fitriyani (225221229)

PRODI AKUTANSI
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN MAS SAID
SURAKARTA
2023

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami haturkan kehadirat Allah Swt. yang telah


melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami bisa
menyelesaikan karya ilmiah tentang "Sumber Hukum (Mukhtalaf
Fith): Maslahah Mursalah. Istishab Syar’u Man Qoblana, Qaul
Shohabi".

Tidak lupa juga kami mengucapkan terima kasih kepada semua


pihak yang telah turut memberikan kontribusi dalam penyusunan
karya ilmiah ini. Tentunya, tidak akan bisa maksimal jika tidak
mendapat dukungan dari berbagai pihak.

Sebagai penyusun, kami menyadari bahwa masih terdapat


kekurangan, baik dari penyusunan maupun tata bahasa penyampaian
dalam karya ilmiah ini. Oleh karena itu, kami dengan rendah hati
menerima saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki
karya ilmiah ini. Kami berharap semoga karya ilmiah yang kami susun
ini memberikan manfaat dan juga inspirasi untuk pembaca.

Surakarta, 08 April
2023

2
DAFTAR ISI

COVER.................................................................................................1
KATA PEGANTAR.............................................................................2
DAFTAR ISI.........................................................................................3
BAB I....................................................................................................4
PENDAHULUAN.................................................................................4
A. Latar Belakang.................................................................................4
B. Rumusan Masalah............................................................................6
C. Tujuan Rumusan Masalah................................................................6
BAB II...................................................................................................7
PEMBAHASAN...................................................................................7
A. Mashlahah Mursalah........................................................................7
B. Istishab...........................................................................................24
C. Syar’u Man Qoblana......................................................................34
D. Qaul Shahabi..................................................................................41
BAB III................................................................................................57
PENUTUP...........................................................................................57
KESIMPULAN...................................................................................57
SARAN...............................................................................................58
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................59

3
BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Kehadiran agama Islam yang dibawa Nabi Muhammad Saw


diyakini dapat menjamin terwujudnya kehidupan manusia yang
sejahtera lahir dan batin. Petunjuk- petunjuk agama mengenai
berbagai kehidupan manusia, sebagaimana terdapat di dalam sumber
ajarannya, Alquran dan Hadis, tampak amat ideal dan agung.

Sumber ajaran islam adalah segala sesuatu yang melahirkan


atau menimbulkan aturan yang mempunyai kekuatan yang bersifat
mengikat yang apabila dilanggar akan menimbulkan sanksi yang tegas
dan nyata (Sudarsono, 1992:1). Dengan demikian sumber ajaran islam
ialah segala sesuatu yang dijadikan dasar, acuan, atau pedoman

syariat islam.

Ajaran Islam adalah pengembangan agama Islam. Agama Islam


bersumber dari Al-Quran yang memuat wahyu Allah dan al-Hadis
yang memuat Sunnah Rasulullah. Komponen utama agama Islam atau
unsur utama ajaran agama Islam (akidah, syariah dan akhlak)
dikembangkan dengan ro'yu atau akal pikiran manusia yang
memenuhi syarat untuk mengembangkannya.

Mempelajari agama Islam merupakan fardhu 'ain, yakni


kewajiban pribadi setiap muslim dan muslimah, sedang mengkaji

4
ajaran Islam terutama yang dikembangkan oleh akal pikiran manusia,
diwajibkan kepada masyarakat atau kelompok masyarakat.

Allah telah menetapkan sumber ajaran Islam yang wajib diikuti


oleh setiap muslim. Ketetapan Allah itu terdapat dalam Surat An-Nisa
(4) ayat 59 yang artinya:" Hai orang-orang yang beriman, taatilah
(kehendak) Allah, taatilah (kehendak) Rasul-Nya, dan (kehendak) ulil
amri di antara kamu ...". Menurut ayat tersebut setiap mukmin wajib
mengikuti kehendak Allah, kehendak Rasul dan kehendak 'penguasa
atau ulil amri (kalangan) mereka sendiri. Kehendak Allah kini terekam
dalam Al-Quran, kehendak Rasul terhimpun sekarang dalam al Hadis,
kehendak 'penguasa (ulil amri) termasuk dalam kitab-kitab hasil karya
orang yang memenuhi syarat karena mempunyai "kekuasaan" berupa
ilmu pengetahuan.Hukum Islam menjawab perubahan sosial. Hal ini
secara nyata menghendaki ijtihad yang proporsional dan profesional.
Sehingga hukum Islam tetap dinamis, responsif, tidak ketinggalan
jaman, dan adaptif. Sekali lagi, bahwa aktivitas ijtihad harus
senantiasa digalakkan. Jargon Islam ṣaliḥ li kulli zaman wa makan
bisa nyata terwujud dan tidak hanya menjadi pepatah kosong tanpa
makna. Ijtihad dilakukan dengan tetap mengacu kepada sumber-
sumbernya. Adapun sumber hukum Islam dalam kajian ushul fikk
terbagi menjadi dua gradasi, muttafaq ‘alayh dan mukhtalaf fīh.
Sumber yang muttafaq ‘alayh terdiri dari AlQur’an, Hadis, Ijma’, dan
Qiyas, sedangkan yang dipersilihkan penggunaannya yaitu istiḥsan,
istiṣlaḥ, istiṣḥab, ‘urf, sad- adzariah, syar'uman qablana, qaul shoḥabi,
maslahah mursalah

Makalah ini berusaha untuk memberikan gambaran teori dari


mashlahah mursalah, istiṣḥab, syar'uman qablana, qaul shoḥabi
5
sehingga bisa memberikan gambaran yang jelas mengenai maksud
dari kata-kata yang menjadi bagian dari Teori-teori hukum Islam
tersebut.

B. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan Maslahah Mursalah.


2. Apa yang dimaksud dengan Istishab.
3. Apa yang dimaksud dengan Syar'u Man Qablana
4. Apa yang dimaksud dengan Qaul Shoḥabi

C. Tujuan Rumusan Masalah

1. Mengetahui penjelasan Maslahah Mursalah.


2. Mengetahui penjelasan Istishab.
3. Mengetahui Penjelasan Syar'u Man Qablana.
4. Mengetahui Penjelasan Qaul Shoḥabi.

6
BAB II
PEMBAHASAN

A. Mashlahah Mursalah
1. Pengertian Mashlahah Mursalah Menurut Bahasa
Dari segi bahasa, kata maslahah adalah seperti lafazh al-
manfaat, baik artinya ataupun wajan-nya (timbangan kata), yaitu
kalimat mashdar yang sama artinya dengan kalimat ash-Shalah,
seperti halnya lafuzh al-manfaat sama artinya dengan al-naf 'u. Bisa
juga dikatakan bahwa al-mashlahah itu merupakan bentuk tunggal
(mufrad) dari kata al-mashalih. Pengarang Kamus Lisan Arab
menjelaskan dua arti, yaitu mashlahah yang berarti shalah dan
mashlahah yang berarti bentuk tunggal dari mashalih. Semuanya
mengandung arti adanya manfaat baik secara asal maupun melalui
suatu proses, seperti menghasilkan kenikmatan dan faedah, ataupun
pencegahan dan penjagaan, seperti menjauhi kemadaratan dan
penyakit. Semua itu bisa dikatakan mashlahah.
Manfaat yang dimaksud oleh pembuat hukum syara' (Allah)
adalah sifat menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan hartanya
untuk mencapai ketertiban nyata antara Pencipta dan makhluk-Nya.
Manfaat itu adalah kenikmatan atau sesuatu yang akan
mengantarkan kepada kenikmatan. Dengan kata lain, tahshil al-ibqa.
Maksud tahsil adalah penghimpunan kenikmatan secara langsung,
sedangkan yang dimaksud dengan ibqa adalah penjagaan terhadap
af kenikmatan tersebut dengan cara menjaganya dari kemadaratan
dan sebab- sebabnya.

7
Dengan demikian, Maslahah Mursalah adalah suatu
kemasalahatan yang tidak mempunyai dasar dalil, tetapi juga tidak
ada pembatalnya. Jika terdapat suatu kejadian yang tidak ada
ketentuan syari'at dan tidak ada illat yang keluar dari syara' yang
menentukan kejelasan hukum kejadian tersebut, kemudian
ditemukan sesuatu yang sesuai dengan hukum syara', yakni suatu
ketentuan yang berdasarkan pemeliharaan kemadaratan atau untuk
menyatakan suatu manfaat, maka kejadian tersebut dinamakan
Mashlahah Mursalah. Tujuan utama Maslahah Mursalah adalah
kemaslahatan; yakni memelihara dari kemadaratan dan menjaga
kemanfaatannya. Sedangkan alasan dikatakan al-mursalah, karena
syara memutlakkannya bahwa di dalamnya tidak terdapat kaidah
syara' yang menjadi penguatnya ataupun pembatalnya.1

2 .Pengertian dan Peristilahan Mashlahah Mursalah


Menurut para ahli ulama ushul, sebagian ulama memnggunakan
istilah maslahah mursalah itu dengan kata munasib mursal ada pula
yang menggunakan istihlah dan ada pula yang menggunakan istilah
istidlal mursal. Istilah-istilah tersebut walaupun tampak sama
memiliki satu tujuan, masing-masing mempunyai tinjuan yang
berbeda-beda. Setiap hukum yang didirikan atas dasar mashlahat
dapat ditinjau dari tiga segi yaitu:
a. Melihat mashlahah yang terdapat pada kasus yang
dipersoallkan. Misalnya pembuatan akte nikah sebagai
pelengkap administrasi akad nikah di masa sekarang.
Akte

1
Prof. Dr. H. Juhaya S. Praja, Ilmu Ushul Fiqih, 2015, CV PUSTAKA SETIA, h. 117
8
nikah tersebut memiliki kemaslahatan. Akan tetapi,
kemaslahatan tersebut tidak di dasarkan pada dalil yang
menunjukkan pentingnya pembuatan akte nikah tersebut.
Kemaslahatan ditinjau dari sisi ini disebut maslahah
mursalah (maslahah yang terlepas dari dalil khusus),
tetapi sejalan dengan petunjuk-petunjuk umum syari’at
islam.
b. Melihat sifat yang sesuai dengan tujuan syara (al-washf
al- munasib) yang mengharuskan adanya suatu ketentuan
hukum agar tercipta suatu kemaslahatan. Misalnya surat
akte nikah tersebut mengandung sifat yang sesuai dengan
tujuan syara, antara lain untuk menjaga status keturunan.
Akan tetapi, sifat kesesuaian ini disebut munsib mursalah
(kesesuaian dengan tujuan syara yang terlepas dari dalil
syara yang khusus).
c. Melihat proses penetapan hukum terhadap suatu
maslahah yang ditunjukkan oleh dalil khusus. Dalam hal
ini adalah penetapan suatu kasus bahwa hal ini diakui sah
oleh slah satu bagian tujuan syara proses seperti ini
disebut istishlah (menggali dan menetapkan suatu
maslahah).

Apabila hukum itu ditinjau dari segi yang pertama, maka dipaka
istilah Mashlahah Mursalah. Istilah ini yang paling terkenal. Bila
ditinjau dari segi yang kedua, dipakai istilah munasib mursal.
Istilah tersebut digunakan oleh Ibnu Hajib dan Baidawi (Al-Qadhi
Al- Baidhaw :135). Untuk segi yang ketiga dipakai istilah istishlah,
yang dipaka Al-Ghazali dalam kitab Al-Mustasyfa (Al-Ghazali :

9
311),

10
atau dipakai istilah Istidal mursal, seperti yang dipakai Al-Syatibi
dalam kitab Muwafaqat (Al-Muwafaqat, Juz 1:39).

Walaupun para ulama berbeda-beda dalam memandang


Mashlahah Mursalah, hakikatnya adalah satu, yaitu setiap manfaat
yang di dalamnya terdapat tujuan syara' secara umum, namun tidak
at dalil yang secara khusus menerima atau menolaknya. Di bawah
akan dibahas beberapa pandangan para ulama tentang hakikat dan
terdapat di pengertian Mashlahah Mursalah.

Menurut Abu Nur Zuhair, Mashlahah Mursalah adalah suatu


sifat yang sesuai dengan hukum, tetapi belum tentu diakui atau
tidaknya oleh syara'. (Muhammad Abu Nur Zuhair, IV: 185)

Abu Zahrah mendefinisikannya dengan suatu maslahah yang


sesuai dengan maksud-maksud pembuat hukum (Allah) secara
umum, tetapi tidak ada dasar yang secara khusus menjadi bukti
diakui atau tidaknya. Abu Zahrah: 221)

Al-Ghazali menyatakan, setiap maslahah yang kembali kepada


pemeliharaan maksud syara' yang diketahui dari Al-Quran, As-
Sunah dan lima, tetapi tidak dipandang dari ketiga dasar tersebut
secara khusus dan tidak juga melalui metode qiyas, maka dipakai
al- maslahah al- mursalah. Jika memakai qiyas, harus ada dalil asal
(magis alaih). Cara mengetahui maslahah yang sesuai dengan
tujuan itu adalah dari beberapa dalil yang tidak terbatas, baik dari
Al- Quran, sunah, qarinah-qarinah maupun dari isyarat-isyarat.
Oleh sebab itu, cara penggalian maslahah seperti itu disebut al-
maslahah al-mursalah (Al-Ghazali 310). Artinya, terlepas dari-
dalil secara

11
khusus, tetapi termasuk pada petunjuk umum dari beberapa dalil
syara'.

Asy-Syatibi, salah seorang ulama madzhab Maliki mengatakan


bahwa Mashlahah Mursalah adalah setiap prinsip syara yang tidak
disertai bukti nash khusus, namun sesuai dengan tindakan syara'
sen maknanya diambil dari dalil-dalil syara". Maka prinsip tersebut
adalah sah sebagai dasar hukum dan dapat dijadikan rujukan
sepanjang ia telah menjadi prinsip dan digunakan syara' yang qathi.

Setelah dikemukakan beberapa pengertian mashlahah menurut


beberapa ulama ushul, dapat ditarik kesimpulan bahwa hakikat al-
ahkannya, maslahah dalam syari'at Islam adalah setiap manfa'at
yang tidak yang dimiliki didasarkan pada nash khusus yang
menunjukkan mu'tabar (diakui) atau bermanfaat tidaknya manfa'at
itu.

Penjelasan definisi-definisi di atas, juga menunjukkan bahwa


tidak semua yang mengandung unsur manfaat bisa dikatakan
maslahah mursalah, jika tidak temasuk pada maqashid asy-syari'ah.

Kita juga tidak bisa mengatakan bahwa Mashlahah Mursalah


adalah segala sesuatu yang dilakukan oleh seorang Imam dalam
kekuasaannya, seperti keputusan seorang imam untuk
memerdekakan hamba sahaya, membunuhnya, dan membebaninya
tebusan dengan harta. Kebijakan-kebijakan tersebut telah
tercantum dalam nash Al-Quran dan As-Sunah.

Tidak juga dikatakan Mashlahah Mursalah bila ada dua


kemaslahatan yang saling bertentangan dan masing-masing

12
mempunyai penguat atau pembatal. Hal tersebut tidak masuk
dalam kategori jauh dari penguat dan pembatal. Selain itu, juga
tidak termasuk Mashlahah Mursalah segala kemaslahatan yang
bertentangan dengan mash atau qiyas yang sahih, baik
pertentangannya secara umum maupun mutlaq. Karena semua
pertentangan terhadap keduanya terdapat penguat untuk
membatalkannya, maka tidak sah untuk dikatakan mursal.

Namun demikian, Mashlahah Mursalah itu jangan dipahami


tidak memiliki dalil untuk dijadikan sandarannya atau jauh dari
dalil- dalil pembatalnya. Tapi harus dipahami bahwa al-maslahah
al- mursalah berdasarkan pada dalil yang terdapat pada syara',
namun tidak dikhususkan terhadap mashiahan mursaiah ini. Bisa
dikatakan melalui metode yang jauh, seperti penjagaan terhadap
roh, akal dan keturunan.

Di antara contoh yang dapat dikatakan mashlahah mursalah


adalah kemaslahatan daulah Islam dalam penjagaan harta
penduduk oleh tentara ketika membutuhkannya, atau ketika adanya
musuh, juga ketika tidak sedikitpun harta yang dimiliki oleh negara
karena dibelanjakan untuk hal-hal yang kurang bermanfaat.
Kemaslahatan seperti itu tidak ada penguatnya dan tidak pula ada
dalil yang membatalkannya, namun termasuk salah satu dari
maksud ketentuan syariat, yakni menjaga agama.2

2
Prof. Dr. H. Juhaya S. Praja, Ilmu Ushul Fiqih, 2015, CV PUSTAKA SETIA, h. 118-121

13
3. Objek Mashlahah Mursalah

Dengan memperhatikan beberapa penjelasan di atas dapat diketahui


bahwa lapangan Mashlahah Mursalah selain yang berlandaskan pada
hukum syara' secara umum, juga harus diperhatikan adat dan hu-
bungan antara satu manusia dengan yang lain. Lapangan tersebut
meru- pakan pilihan utama untuk mencapai kemaslahatan. Dengan
demikian. segi ibadah tidak termasuk dalam lapangan tersebut.

Yang dimaksud segi peribadatan adalah segala sesuatu yang tidak


memberi kesempatan kepda akal untuk mencari kemaslahatan juznya
dari setiap hukum yang ada di dalamnya. Di antaranya, ketentuan
syari'at tentang ukuran had kifarat, ketentuan waris, ketentuan jumlah
bulan dal iddah wanita yang ditinggal mati suaminya atau yang
diceraikan. Dan segala sesuatu yang telah ditetapkan ukurannya dan
disyariatkan ber dasarkan kemaslahatan yang berasal dari syara' itu
sendiri.

Secara ringkas, dapat dikatakan bahwa Mashlahah Mursalah itu


difokuskan terhadap lapangan yang tidak terdapat dalam nask, baik
dalam Al-Quran maupun As-Sunah yang menjelaskan hukum-hukum
yang ada penguatnya melalui suatu i’tibar. Juga difokuskan pada hal-
hal yang tidak didapatkan adanya ijma' atau qiyas yang berhubungan
dengan kejadian tetersebut .

4. Posisi Para Ulama dalam Mashlahah Mursalah

a. Penerimaan Imam Malik dan Pandangan Para Ulama


Sebagaimana telah dijelaskan bahwa masalah istishlah
merupakan permasalahan yang menjadi bahan perdebatan di

14
kalangan para ulama. Berdasarkan pendapat yang lebih kuat,
dinyatakan bahwa tidak sah mengambil masalah yang
menggunakan Mashlahah Mursalah karena tidak ada dalil yang
mengisyaratkannya.
Di antara para ulama, tidak ada seorang pun yang menyangkal
pendapat di atas, kecuali Imam Malik. Di bawah ini akan
diterangkan pendapat beberapa orang ulama dalam kitab Ushul
tentang Mashlahah Mursalah:
1. Al-Amidi berkata dalam kitab Al-Ihkam, IV: 140, "Para
ulama dari golongan Syafi'i, Hanafi dan lain-lain telah
sepakat untuk tidak berpegang kepada istishlah, kecuali
Imam Malik, dan dia pun tidak sependapat dengan para
pengikutnya. Para ulama tersebut sepakat untuk tidak
memakai istishlah dalam setiap kemaslahahan. kecuali
dalam kemaslahatan yang penting dan khusus secara
qath Mereka tidak menggunakannya dalam
kemaslahatan yang tidak penting, tidak berlaku umum,
serta tidak kuat.
2. Menurut Ibnu Hajib, sesuatu yang tidak ada dalilnya itu
disebut mursal. Akan tetapi kalau gharib atau ada
pembatalnya maka dalil itu tertolak secara sepakat.
Adapun bila dalilnya sesuai, maka imam Al-Ghazali
memakainya, dia menerimanya dari Asy-Syafi'i dan
Malik. Namun, yang lebih utama adalah menolaknya.
3. Imam Asy-Syatibi berkata dalam kitab Al-Istifham, II :
111-112 Pendapat tentang adanya maslahah mursalah
itu

15
telah diperdebatkan di kalangan para ulama, yang dapat
dibagi dalam empat pendapat:
a) Al-Qadhi dan beberapa ahli menolaknya dan
menganggap- nya sebagai sesuatu yang tidak ada
dasarnya.
b) Imam Malik menganggapnya ada dan
memakainya secara mutlak.
c) Imam Asy-Syafi'i dan para pembesar golongan
Hanafiyah memakai Mashlahah Mursalah dalam
permasalahan yang tidak dijumpai dasar
hukumnya yang sahih. Namun mereka
mensyaratkan dasar hukum yang mendekati
hukum yang sahih. Hal itu senada dengan
pendapat Al-Juwaini.
d) Imam Al-Ghazali berpendapat bahwa bila
kecocokannya itu ada dalam tahap tahsin atau
tajayyun (perbaikan), tidaklah dipakai sampai ada
dalil yang lebih jelas. Adapun bila ber- ada pada
martabat penting boleh memakainya, tetapi harus
memenuhi beberapa syarat. Dia pun berkata,
jangan sampai para mujtahid menjauhi untuk
melaksanakannya. Namun pendapatnya berbeda-
beda tentang derajat pertengahan: yakni martabat
kebutuhan. Dalam kitab Al-Mustasyfa, dia
menolaknya, namun dalam kitab Syafa'u al-
Ghalil, dia menerimanya (Al-Mustasyfa, 1:141)

16
Dengan melihat beberapa pendapat ulama di atas
jelaslah bahwa hanya Imam Malik yang menerima
istishlah secara mutlak.3

b. Posisi Imam Abu Hanifah terhadap Maslahah Mursalah


Abdul Wahaf Khalaf berkata dalam kitab Mashadiru At-Tasyri
Al-Islamy hal 89: "Pendapat yang mashyur yang tertulis dalam
berbagai kitab adalah Abu Hanifah tidak memakai istishlah dan
tidak menganggap- nya sebagai dalil syara'. Hal itu didasarkan
pada berbagai tinjauan:
1. Para ahli fiqih Irak dalam muqaddimahnya berkata bahwa
hukum syara' itu mengandung maksud kemaslahatan,
sehingga perlu mencari berbagai alasan untuk mencapai
kemaslahatan tersebut. Mereka menggunakan akal dan
roh nush sehingga banyak sekali membuat takwil-takwil
yang sesuai dengan akal mereka dengan maksud untuk
mencari kemaslahatan. Pendapat yang lebih jauh lagi
bahwa para pemimpin fiqih Iraq tidak menggunakan
istishlah seperti Ibrahim An-Nakha'i, dia tidak
menggunakan istishlah tetapi senantiasa berhujjah untuk
kemaslahatan. Mereka termasuk ya mendahulukan qiyas
dan menjaga kemaslahatan.
2. Mereka hanya memakai istihsan dan tidak menggunakan
istishlak dan menganggap bahwa istishlah itu bagian dari
istihsan yang bersandarkan pada adat, kepentingan, dan
kemaslahatan. Namun bila mereka dikatakan berhujjah

3
Prof. Dr. H. Juhaya S. Praja, Ilmu Ushul Fiqih, 2015, CV PUSTAKA SETIA, h. 122-123

17
dengan istishlah, mereka tida mengakuinya dan hanya
menganggap bahwa mereka telah berdali dengan istihsan
dan 'urf yang
Berdasarkan hal tersebut dapat diketahui bahwa para
ulama telah mengeluarkan berbagai istinbath hukum
dengan cara istishlah yang sama artinya dengan istihsan
menurut Imam Abu Hanifah.

Adapun penggunaan "urf khususnya di kalangan Hanafiyyah


lebih luas dibanding istishlah terhadap hal-hal yang tidak ada
nash-nya. Hal itu tentunya bebas bagi tiap-tiap daerah dalam
kehidupannya dengan maksud untuk mencapai kemaslahatan
hidup mereka. Tak heran kalau banyak hukum yang didasarkan
pada 'urf menurut Hanafiyah sebenarnya sama dengan istishlah
menurut ulama lalainnya.

5. Syarat-syarat berlakunya maslahah

Ulama yang menerima maslahah sebagai sumber hukum, lebih-lebih


Imam Malik sebagai imam yang populer paling banyak
mempergunakannya, menentukan beberapa syarat yang harus dipenuhi
dalam menerangkannya.

Zakaria Al-Farisi dalam kitabnya masadindak Islamiyah memberikan


syarat-syarat lain sebagai ke lengkapan syarat di atas, antara lain:

1) Hendaknya kemaslahatan itu bersifat haki; bukan bersifat


imajinatif dalam arti apabila orang yang berkesempatan
dan yang memusatkan per hatian pada itu yakin bahwa
membina hukum berdasarkan kemaslahatan tersebut akan

18
dapar menarik manfaat dan menolak madarat bagi umat
manusia Berbeda halnya apabila hanya sebagian saja
yakin akan adanya kemaslahatan itu, misal nya tentang
kemaslahatan dari larangan talak oleh suami dan
kemudian hak itu diserahkan secara mutlak kepada hakim
semata. Yang demikian bukanlah kemaslahatan hakiki
melainkan kemaslahatan imajinatif yang hanya akan
meng hancurkan kehidupan keluarga dan masyarakat.
2) Kemaslahatan itu hendaknya bersifat universal dan tidak
parsial Sebagai contoh ialah apa yang dikemukakan oleh
Al-Ghazali yaitu: Kalau dalam suatu pertempuran
melawan orang kafir mereka membentengi diri dan
membuat pertahanan melalui beberapa orang muslim
yang tertawan. sedang orang kafir tersebut dikhawatirkan
akan melancarkan a agresi dan dapat menghancurkan
kaum muslimin mayoritas maka penyerangan terhadap
mereka harus dilakukan, meskipun akan mengakibatkan
kematian beberapa orang muslim yang sebenarnya harus
dilindungi keselamatan jiwanya. Hal ini berdasarkan
pertimbangan ke pentingan umum dengan tetap
mementingkan Suatu kemenangan dan ketahanan.
3) Hendaknya kemaslahatan itu bukan kemaslahatan yang
mulgha (aboriset, concellod) yang jelas ditolak oleh nas.
Sebagai contoh dari kemaslahatan yang ngha ini adalah
fatwa Imam Yahya bin al Yaisy, salah seorang murid
Imam Malik dan ulama fiqih Andalusia pada salah
seorang

19
rajanya pada waktu itu. Difatwakannya bahwa bagi raja
apabila ia ber- buka puasa dengan sengaja pada bulan
Ramadan la tidak boleh tidak harus memenuhi kafarat
ber- puasa dan dua bulan berturut-turut. Dia berfatwa
tanpa memberikan pemilihan (tahkyur) antara me-
merdekakan budak atau berpuasa sebagaimana dipegangi
oleh Imam Malik dan tidak pula dengan memerdekakan
budak an sich sebagaimana di- pegangi oleh ulama-ulama
yang lain karena dia menganggap bahwa kemaslahatan
akan dapat dicapai hanya dengan itu. Dan menurut dia,
maksud kafarat tidak hanya memberikan pelajaran
kepada orang yang melakukan pelanggaran agar ia tidak
mau lagi mengulangi perbuatannya. Dan khusus bagi
seorang raja maksud ini dapat dicapai hanya dengan
mengharuskan dia memenuhi kafarat berupa puasa yang
memberatkan, sedang me merdekakan budak baginya
tidak mempunyai pengaruh apa-apa karena tidak
memberatkan. Namun demikian pendapat ini oleh
kebanyakan ulama dinilainya sebagai fatwa yang
berlandaslan kepada pertimbangan kemaslahatan yang
mulgha karena nas Al-Qur’an menunjuk kepada kafaran
itu tidak mengatakan deskriminasi antara raja dan
lainnya.4

4
Dr. H. Saifudin Zuhri, M.A, Ushul Fiqih Akal Sebagai Sumber Hukum Islam, 2011, PUSTAKA
PELAJAR, h. 101-103
20
6. Pembagian Maslahah

Ulama Usul membagi maslahah kepada tiga bagian yaitu

1. Maslahah "dar ul-mafasid dan maslahah ini sering disebut


dengan maslahah daruriaat. Yang dimaksud dengan daruriaat
adalah segala Sesuatu yang eesensial sifatnya yang merupakan
kebutuhan primer bagi manusia dan mau tidak mau harus
dilakukan usaha pemenuhannya jika memang dalam kehidupan
tidak diinginkan timbul berbagai bencana dan kesusahan serta
hal-hal yang dapat membuat kehidupan menjadi fatal.

Dalam rangka perwujudan kemaslahatan ini haruslah dipelihara


lima macam perkara yang dikenal dengan "al-Magisidul
Khamsah atau Ad Darlinatul Khamsah" Yaitu:

a) Agama, untuk maksud in Islam antara lan mensyariatkan


jihad untuk mempertahankan aqidah Islamiyah,
mewajibkan memerangi tang yang mencoba mengganggu
omat Islam dalam menjalankan kewajiban agama dan
menghukum orang yang murtad dari Islam dan lain
sebagainya.
b) Jiwa untuk maksud ini Islam antara lain men syari'atkan
pemenuhan kebutuhan biologis manusia berupa sandang
pangan dan papan. begitu pula: hukum qisas atau divat
bagi orang yang melakukan kesewenang-wenangan
terhadap keselamatan jiwa orang lain dan lain
ssebagainya.

21
c) Akal, untuk maksud in Islam antara lain mensyariatkan
larangan minum-minuman keras dan segala sesuatu yang
dapat menisik akal, dan menjatuhkan hukuman bagi
setiap orang yang melangganya dan lain sebagai nya.
d) Keturunan, untuk maksud in Islam mensa ratkan larangan
perzinaan menuduh zna terhadap perempuan muhsonat,
dan menjatuhkan pidana bagi setiap orang yang
melakukannya.
e) Harta, untuk maksud ini Islam mensyari'a kan larangan
mencuri dan menjatuhka pidana potong tangan bagi
setiap orang yang melakukannya, begitu pula larangan rib
bagi setiap orang yang membuat rusak atas hilangnya
barang orang lain dan lain sesesebagainya.
2. Maslahah "Jalbul masalih" dan sering disebut pula dengan
hajiyaat," yang dimaksud dengan hajiyaat ini adalah segala
sesuatu yang sifatnya merupakan kebutuhan sekunder bagi
manusia yang seharusnya dilakukan usaha pemenuhannya jika
dalam kehidupannya tidak diinginkan timbul berbagai kesulitan,
kepicikan dan kemaksiatan Status dan urgensi kemaslahatan ini
ada pada tingkatan di bawah daruriat di atas. Untuk perwujudan
kemaslahatan ini antara lain Islam mensyari'atkan hukum-
hukum keringanan dalam berbagai lapangan, misalnya
menggasar dan menjama' salat dalam perjalanan, tayamum di
waktu tidak ada air, membeli barang dengan cara pesanan
dengan cara memberikan identitasnya. Menghilangkan
kesulitan, kepicikan dan ke masaqatan hidup memang termasuk
sebagian dari dasar-

22
dasar pembinaan hukum Islam yang selamanya harus
diperhatikan. Allah berfirman pada (QS. Al-Maidah: 6).
3. Tahsiniyaat juga sering disebut dengan "at tatami yat yang
dimaksud tahsiniyat adalah segala sesuatu yang merupakan
kebutuhan komplemen- ter bagi manusia yang sebaiknya
dilakukan usaha pemulihannya jika diinginkan suatu
kesempurna- an dan kelengkapan dalam kehidupan Status dan
urgensi kemaslahatan ini ada pada tingkatan di bawah hajiyaat.
Untuk mencapai ini Islam mensyari'atkan ke tentuan etis
hubungan horisontal dalam masyaraka pranata-pranata dan
berbagai tingkah laku yang baik dan terpuji menurut pandangan
akal yang sehat. Allah berfirman pada (QS al-A’raf: 32).5

7. Dasar Hukum

Para ulama yang menjadikan maslahat sebagai salah satu dalil syar
menyatakan bahwa dasar hukum maslahat mursalah, ialah:

1. Persoalan yang dihadapi manusia selalu tumbuh dan


berkembang demikian pula kepentingan dan keperluan
hidupnya, kenyataa menunjukkan bahwa banyak hal-hal atau
persoalan yang tidal terjadi pada masa Rasulullah Saw.
Kemudian timbul dan terjadi pada masa-masa sesudahnya,
bahkan ada yang terjadi tidak lama setelah Rasulullah Saw
meninggal dunia. Seandainya tidak ada dalil yang dapat
memecahkan hal-hal yang demikian berarti akan

5
Dr. H. Saifudin Zuhri, M.A, Ushul Fiqih Akal Sebagai Sumber Hukum Islam, 2011, PUSTAKA
PELAJAR, h. 104-107
23
sempitlah kehidupan manusia, Dalil itu ialah dalil yang dapat
menetapka mana yang merupakan kemaslahatan manusia dan
mana yang tidak sesuai dengan dasar-dasar umum dari agama
Islam. Jika hal itu telah ada, maka dapat direalisasi
kemaslahatan manusia pada setiap masa. keadaan dan tempat.
2. Sebenarnya para sahabat, tabi'in, tabi'it tabi'in dan para ulama
yang datang sesudahnya telah melaksanakannya, sehingga
mereka dapat segera menetapkan hukum sesuai dengan
kemaslahatan kaum muslimin pada masa itu. Khalifah Umar
telah menetapkan talak yang dijatuhkan tiga kali sekaligus jatuh
tiga, padahal pada masa Rasulullah Saw. hanya jatuh satu,
Khalifah Utsman telah memerintahkan penulisan Al-Qur'an
dalam satu mushaf dan Khalifah Ali pun telah menghukum
bakar hidup golongan Syi'ah Radidhah yang memberontak,
kemudian diikuti oleh para ulama yang datang sesudahnya.6

6
Dr. H. Ahmad Sanusi, M.A., Ushul Fiqh, 2015, PT RAJA GRAFINDO PERSADA, h. 80-81

24
B. Istishab

1.. Pengertian Istishab

Istishab berasal dari kata istishaba dalam istif’al yang berarti


istimrar al-shahabah (sahabat) yang artinya dalam lughawi yaitu selalu
menyertai atau menemani7. Secara bahasa, istiṣḥab dimaknai dengan
dimaknai dengan membandingkan sesatu kemudian mendekatkannya.
Dengan demikian, berdasarkan makna bahasa tersebut, dipahami
bahwa istiṣḥab yaitu mendekatkan suatu peristiwa dengan hukum
tertentu dengan peristiwa lainnya, sehingga keduanya dinilai sama
status hukumnya. Istiṣḥab secara istilah dimaknai secara berbeda-beda
oleh para tokoh sebagai berikut. Al-Ghazali memaknai istiṣḥab dengan
“Tetap berpegang teguh dengan dalil akal atau dalil syar’i, bukan
karena tidak mengetahui adanya dalil, melainkan karena mengetahui
tidak adanya dalil yang mengubahnya setelah berusaha keras
mencari.”

Sedangkan menurut ‘Abd al-‘Aziz al Bukhari, istiṣḥab adalah


“Menyatakan tetap adanya sesuatu pada masa kedua karena sesuatu
tersebut memang ada pada masa partama.” Ibn al Qayyim al-
Jauziyyah mengatakan bahwa istiṣḥab sebagai “Menetapkan
keberadaan sesuatu yang sudah ada sebelumnya dan meniadakan
keberadaan sesuatu yang memang tidak ada sebelumnya”. Sementara
menurut ‘Abd al-Wahhab Khallaf, Istiṣḥāb adalah “Menetapkan suatu
hukum yang telah ada dalilnya sejak dahulu sampai sekarang sampai
dengan adanya dalil lain yang mengubahnya”. Sedangkan al-
Shawkani mendefinisikan istiṣḥab

7
Imron Rosyadi, Muhammad Muinudinnillah Basri, Usul Fikih Hukum Ekonomi Syariah,
25
Muhammadiyah
University Press, 2020 hal 99

26
sebagai “Tetapnya sesuatu selama belum ada dalil lain yang
mengubahnya.” Senada dengan itu definisi diberikan oleh ‘Ali ‘Abd
al- Kafi al Subki sebagai “Menetapkan hukum atas masalah hukum
yang kedua berdasarkan hukum yang pertama karena setelah
dilakukan kajian yang komprehensif tidak ditemukan dalil yang
mengubah-nya.

Menurut Ibnu al-Qayyim al-Jauziyah, merupakan tokoh Ushul


Fiqh Hanbali yaitu: menetapkan berlakunya suatu hukum yang telah
ada atau meniadakan sesuatu yang memang tidak ada sampai ada yang
mengubah kedudukanya atau menjadikan hukum yang telah di
tetapkan pada masa lampau yang sudah kekal menurut keadaannya
sampai terdapat argumentasi (dalil) yang menunjukkan perubahannya.
“Mengukuhkan/menetapkan apa yang pernah di tetapkan dan
meniadakan apa yang sebelumnya tidak ada.”

Berdasarkan beberapa definisi di atas, dapat dipahami bahwa


prinsip istiṣḥab adalah memberlakukan hukum lama selama belum ada
hal lain yang mengubahnya. Sehingga pola istiṣḥab bukan
menciptakan hukum baru, melainkan memertahankan dan
melestarikan hukum lama. Terdapat tiga unsur pokok dalam
penerapan istiṣḥab, yaitu segi waktu, ketetapan hukum, dan dalil
hukum Dari sisi waktu, istiṣḥab menghendaki keterhubungan tiga
waktu, masa lalu, masa sekarang, dan masa yang akan datang. Hukum
pada masa sekarang dan yang akan datang akan tetap langgeng selama
hukum pada masa lalu tidak ada apapun yang mengubahnya. Oleh
karenanya, ketiga waktu tersebut saling berkait. Sisi ketetapan hukum
menghendaki dua hal, menetapkan (ithbat) dan melarang (nafy).

27
Sementara sisi dalil hukum, berkaitan dengan sisi waktu
sebagaimana disebut di atas. Dalil hukum pada masa lampau akan
tetap dilestarikan pada masa sekarang dan akan datang manakala tidak
ada yang mengubahnya. Pengetahuan tentang dalil menjadi hal penting
bagi aplikasi istiṣḥab. Istiṣḥab, dalam hal ini mengacu pada definisi-
definisi di atas, menurut Aḥmad Muḥammad Musarawah mempunyai
tiga rukun (sesuatu yang wajib ada), sebagai berikut:

1) Yakin, yaitu keyakinan terhadap keberadaan hukum yang telah ada

2) Ragu, yaitu ragu terhadap berlakunya hukum tersebut pada masalah


yang ada.

3) Adanya keterkaitan antara apa yang diyakini dengan apa yang


diragukan.

Hal ini agak berbeda dengan pendapat Muḥammad Taqi al-Ḥakim yang
menyatakan bahwa istiṣḥab mempunyai tujuh rukun yaitu:

1) Yakin terhadap realitas hukum,


2) Adanya keraguan sebagai bandingan atas sifat yakin,
3) Adanya kesatuan keterikatan antara realitas yang diyakini dengan
realitas yang diragukan,
4) Keraguan dan keyakinan tersebut memang benar ada (faktual),
5) Adanya kesatuan masalah antara yang diyakini dengan yang
diragukan, baik dari sisi tema, obyek, maupun tingkatan
permasalahan,

28
6) Adanya pertaitan waktu antara hal yang diyakini dengan yang
diragukan, dan
7) Keyakinan tersebut lebih dahulu ada sebelum keraguan.

Adapun syarat-syarat istiṣḥab yang harus ada agar dapat digunakan


sebagai dalil,

yaitu:

1) Pengguna istiṣḥab telah mengerahkan seluruh kemampuannya


untuk mencari bukti yang mengubah hukum yang semula ada.
2) Setelah mengerahkan seluruh kemampuannya, pengguna
istiṣḥab tidak menemukan bukti yang mengubah hukum yang
telah ada.
3) Hukum lama yang dijadikan sebagai pijakan istiṣḥāb benar
adanya, baik dari dalil shar‘i ataupun dari dalil akal. Artinya,
bukan hanya sekedar dugaan.
4) Hukum lama yang dijadikan sebagai pijakan istiṣḥab bersifat
mutlaq (umum). Artinya, dalil lama tersebut tidak menunjukkan
keberlakuan dirinya secara terusmenerus, tidak pula
menujukkan ketidakberlakuannya sampai batas waktu tertentu.
Jika demikian halnya maka itu tidak disebut menggunakan
istiṣḥab, melainkan mengunakan dalil tersebut.
5) Tidak terjadi kontradiktif antara istiṣḥab dengan nash yang ada.
Bila terjadi kontradiktif antara keduanya, maka yang
didahulukan adalah apa yang tertera pada nash, karena nash
memiliki kekuatan hukum yang lebih tinggi dibandingkan
dengan istiṣḥab.

29
2. Macam-Macam Istiṣḥab

Pembagian istiṣḥab ini didasarkan pada pembagian yang


dilakukan oleh Abu Zahrah dan al-Sarakhsi sebagai berikut:

1) Istiṣḥab al-Ibāḥah al-Ashliyyah

Istiṣḥāb yang didasarkan pada hukum asal suatu yaitu mubah. Hal
ini didasarkan pada Surah Al-Baqarah Ayat 29 “Dialah yang
menjadikan segala yang ada di muka bumi ini untuk kalian”. Al-
Ṭabari memaknai ayat tersebut bahwa segala sesuatu yang ada di
bumi ini diciptakan oleh Allah SWT. Untuk manusia agar
digunakan demi kebaikan dan kemaslahatan mereka. Pernyataan
segala yang ada di bumi diperuntukkan bagi kebaikan manusia
dimaknai ‘Abd al- Wahhab Khallaf bahwa segala yang ada dibumi
boleh untuk dimanfaatkan. Kata al-Ashya’ dimaknai lebih kepada
urusan muamalah. Sehingga dalam hal yang bersifat muamalah
segala hal boleh dilakukan sampai ada dalil yang menghendaki
ketidakbolehannya. Dapat dipahami pula bahwa dalam bidang
muamalah, hukum Islam lebih bersifat fleksibel dan lentur. Ijtihad
terbuka lebar dalam ranah ini. Berbeda dengan ranah ibadah yang
pada asalnya adalah haram dilakukan sampai ada petunjuk untuk
melakukannya. Dalam bidang ibadah tidak ada inovasi, melainkan
tunduk dan patuh.

Contoh: pohon yang ada di hutan merupakan milik


bersama dan setiap orang berhak untuk menebang dan
memanfaatkan pohon dan buahnya, kecuali jika terdapat bukti
bahwa hutan itu merupakan milik seseorang. Sesuai

30
‫وى‬²˜ ‫ت‬ ‫يْل ٍ ء ْرع ضج ِم ْي ًعا‬ ‫يم خَل تٍٍۗ ق كه ْم ك ِ ِلِّف‬ ‫هس عَّل‬ ‫لي م‬
‫ُث َّماس‬ ‫ْش‬ ‫ا‬ ‫و َول َو ِب َّما‬ ‫ْب َوا ِذس‬
‫س‬ ‫ِْا َلل س َم‬ firman Allah
‫ّٰوىهن‬
‫ۤا ِءف‬

“Dialah yang menjadikan segala yang ada di muka bumi ini untuk
kalian.” (Q.S. al-Baqarah: 29).8

Pada ayat diatas dapat diartikan bahwa mencari rezeki adalah hak
setiap orang selama halal dan tidak ada dalil yang menunjukkan
bahwa hukumnya haram.

2) Istiṣḥab al-Bara`ah al-Ashliyyah

Istiṣḥab al-bara’ah al-aṣliyyah atau diistilahkan Ibn al-Qayyim


dengan bara’ah al-‘adam al-aṣliyah adalah seperti terbebasnya
manusia dari tuntutan syara’. Sampai ada petunjuk yang
menghendaki dilakukannya perintah tersebut. Hal ini sebagaimana
anak kecil yang tidak terkenan pembebanan apapun sampai ia
baligh. Baligh merupakan dalil terjadinya pembebanan sehingga
manusia baligh disebut dengan mukallaf. Istiṣḥab jenis kedua ini
pada prinsipnya menghendaki bahwa setiap orang pada dasarnya
terbebas dari segala jenis beban dan tanggungan apapun. Dalam
bidang ekonomi misalnya, setiap orang terbebas dari utang,
sampai ada dalil yang menunjukkan bahwa ia berutang. Oleh
karena itu, jika seseorang ditagih utang, maka pada dasarnya ia
berhak menolak sampai ada bukti bahwa penagih membawa bukti
bahwa ia berutang.

31
8
Akhmad Haries, Maisyarah Rahmi, Ushul Fikih: Kajian Komprehensif Teori, Sumber Hukum Dan
Metode Istinbath Hukum, Bening Media Publishing, 2021 hal 124

32
3) Istishab an-nasbsbi Istishab Maqlub (pembalikan) / Istishab Al-
Hukmi

Penentuan status hukum pada masa lalu yang bentuk


sebelumnya merupakan penetapan untuk masa kedua karena pada
masa pertama tidak sesuai dengan dalil yang spesifik9.

Contoh: adanya seseorang yang dihadapkan pertanyaan,


apakah Muhammad kemarin berada di tempat ini? Karena kemarin
ia benar- benar melihat Muhammad disini. Maka ia menjawab,
benar ia berada disini kemarin.10

4) Istishab Al-Washfi Al-Tsatibi

Penetapan hukum atas tetapnya sifat yang ada sebelumnya.


Misalnya air suci tetap dihukumi sebagai air suci, selama tidak ada
bukti bahwa ia telah berubah menjadi najis. Begitu pula tetap
dianggap hidup seseorang yang hilang, sampai ada bukti bahwa
orang hilang tersebut telah meninggal. Contoh lainnya adalah
tidak batalnya wudhu seseorang disebabkan keraguan yang
muncul, apakah sudah batal ataukah belum. Pada yang kelima ini
muncul kaidah bahwa keyakinan tidak bisa dikalahkan oleh
keraguan.

9
Moh. Mufid, Ushul Fiqh Ekonomi dan Keuangan Kontemporer, Kencana, 2018 hal 102
10
Efendi Sugianto, Istishab Sebagai Dalil Syar,I dan Perbedaan Ulama Tentang kedudukannya,
Studia Vol.
5, No. 1 (2020) hal 6
33
Dalam hal ini pula, al-Syafi’i mengeluarkan kaidah bahwa suatu
hukum yang ditetapkan berdasarkan keyakinan tidak akan luntur
kecuali telah muncul keyakinan baru yang mengubahnya. Arak
yang semula secara meyakinkan dihukumi haram manakala telah
berubah menjadi cuka maka menjadi halal. Berubah menjadi cuka
adalah keyakinan baru yang mengubah keyakinan lama tentang
keharaman arak.

3. Perbedaan Pendapat Istishab Sebagai Sumber Hukum

Terdapat 3 perbedaan pendapat para ulama ushul fiqh mengenai


istishab sebagai sumber hukum :

a. Istishab merupakan dalil / hujjah sebagai penetapan hukum.


Seperti yang terdapat dalam

1) QS. Al-An'am Ayat 145


ُ ‫ُ حا اَ ْو‬
‫ْ م ْيَتةً اَ ْو مسف‬ َّ ‫ُم ˜ ˚ه ِا‬ ‫طاع‬ ‫َّ ر ع‬ ‫ما˜ ُا ي‬ ‫ل ˜َل ا‬
‫َد ًما ْو‬ ‫ون‬ ‫˜َل اَن ط‬ ‫ٍم َّي‬ ‫لى‬² ‫ًما‬ ‫ْوح ي َلي‬ ‫ِجد‬
‫ك‬ ‫مح‬
‫عا ٍد ر َّبك‬ َ ‫ض َ اغ‬ ‫سًقا ْي ِ ّٰ َف َمن ا‬ ‫ِ اَّن ˚ه س‬ ‫لَح َم ِ ز‬
‫َف ِان‬ ‫َل‬ ‫ط ر‬ ‫ٖۚه‬, ‫ُا هل ِر لَغ لال‬ ‫رج َا ْو‬ ‫ْي ٍر‬
‫و‬ ‫َّر غ‬ ‫خ ْن‬
‫ْي‬
‫غفُ ْو ٌر رح ْيم‬

“Katakanlah, “Tidak kudapati di dalam apa yang diwahyukan


kepadaku, sesuatu yang diharamkan memakannya bagi yang ingin
memakannya, kecuali daging hewan yang mati (bangkai), darah
yang mengalir, daging babi –karena semua itu kotor – atau hewan
yang disembelih bukan atas (nama) Allah. Tetapi barangsiapa
34
terpaksa bukan karena menginginkan dan tidak melebihi (batas
darurat) maka sungguh, Tuhanmu Maha Pengampun, Maha
Penyayang.” Pada ayat

35
tersebut menunjukkan bahwa segala sesuatu hukumnya boleh
sebelum ada dalil yang mengharamkannya.11

2) Sabda Rasullullah SAW :

Dalil ‘aqli

M“Sesungguhnya syetan mendatangi salah seorang dari kalian


(dalam shalatnya) lalu mengatakan: „Engkau telah berhadats!
Engkau telah berhadats!‟ Maka (jika demikian), janganlah ia
meninggalkan shalatnya hingga ia mendengarkan suara atau
mencium bau.” (HR. Ahmad).

Pada hadist diatas Rasulullah memerintahkan kepada umatnya


untuk selalu mengerjakan shalat dalam keadaan suci sebelum
mendapatkan bukti bahwa wudhu kita batal seperti, mendengar
suara dan mencium bau yang merupakan hakikat istishab.

3) Ijma’

Jika seseorang ragu dirinya sudaah bersuci maka shalat yang


dilakukan tidak sah kecuali jika ia ragu jika wudhunya batal atau
tidak maka hukumnya kembali pada keadaan bahwa ia telah bersuci
dan belum membatalkan wudhunya.

4) Menggunakan logika.

b. Istishab tidak dapat dijadikan sebagai hujjah dalam segi hukum. Para
ulama hanafiyah menambahkan dalil sebagai penguat pendapat mereka,
diantaranya yaitu:

11
Umar Muhaimin, Metode Istidladan Istishab (Formulasi Metodelogi Ijtihad), Vol 8, No 2 hal 341

36
1) Penggunaan istishab diartikan dengan melakukan sesuatu
tanpa dalil yang menyertainya artinya istishab merupakan
sesuatu yang batil karenasesuatu yang tidak disertai dalil
hukumnya batil.
2) Istishab dapat menyebabkan pertentangan antar dalil
karena jika seseorang dapat menetapkan hukum atas
istishab, maka orang lain juga dapat menetapkan hukum
atas istishab juga dan hal ini merupakan babatil
c. Istishab merupakan hujjah yang tidak dapat untuk menetapkan
hukum baru.
Dalam ketiga pendapat para ulama tersebut terlihat jelas bila pendapat
pertama lebih kuat

37
C. Syar'u Man Qoblana
1. Pengertian Syar'u Man Qoblana
Syar'u Man Qablana adalah syariat atau ajaran-ajaran para nabi
12
sebelum diutusnya Rasuullah SAW. Syariat-syariat mereka
secara prinsipil adalah satu Allah SWT berfirman:
"Dia telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah
diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan
kepadamu dan apa yang telah Kamiwasiatkan kepada Ibrahim,
Musadan Isa Yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu
berpecah belah tentangnya. Aamt berat bagi orang-orang musyrik
agama yang kamu seru mereka kepadan ya Allah men arik kepada
agama itu o rang yang dikehendaki- Nya dan memberi petunjuk
kepada (agama)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya). (QS.Asy-
Syura: 13)."
Untuk lebih jelas selanjutnya perlu diungkapkan apa yang
dimaksud dengan syar'un man qablana, dapat ditemukan definisinya
sebagaimana dikemukakan oleh Abd al-Karim Zaidan sebagai
“Hukum-hukum yang disyariatkan Allah Swt bagi umat-umat
terdahulu yang diturunkan syariat tersebut kepada para nabi dan
rasul_nya untuk disampaikan kepada umatnya”. 13
Dengan demikian syar'un man qablana berarti syariat yang Allah
turunkan kepada Nabi dan rasul, sebelum nabi Muhammad SAW
sejak Adam AS hingga Isa AS sebagai syariat yang dipraktekan oleh
umat- umat terdahulu.14

12
Satria Effendi, Ushul Fiqh Jakarta Kencana Prenada Media Group, 2005), Hal 162-163, Cet
DJPG
13
Abd al-Karim Zaidan, al-Wajȋz Fȋ Ushȗ al-Fiqh, (Beirut: Muasasah al-Risâsalah,2015), h. 247.
14
Masduki(2009) syariat di hadapan nabi muhammad (syar'u man qablana) sebagai bukti hukum
sara'
38
2. Macam-macam Syariat Terdahulu
Al-Quran dan Hadis juga mengisahkan hukum-hukum Syar'i yang
diyariatkan Allah kepada umat terdahulu sebelum kita. Ada hukum-
hukum syar'i yang disampaikan kepada umat Nabi Muhammad SAW
yang telahdisampaikan juga kepada umat dahulu kala. Syariat-syariat
terdahulu ada kalanya tidak berbeda dari apa yang disyariatkan kepada
15
kita berupa peraturan-peraturanyang wajib kita pahami. Mengenai
syariat terdahulu dalam hubungannya dengan syariat umat
Muhammad SAW, maka syariat sebelum kita dibagi dua;
1. Syariat yang telah dihapuskan oleh syari'at kita
Jika Al-Quran atupun hadis telah menerangkan tentang syariat umat
terdahulu dan dijelaskan pula bahwa syariat itu telah dihapus, maka
tidak boleh dijalankan.
2. Syariat yang tidak dihapuskan, bagian ini dibagi menjadi dua;
a.Syariat yang ditetapkan oleh syariat kita, bagian ini tanpa
diperselisihkan dan harus kita amalkan karena bagian ini
termasuk syariat kita
b. Syariat yang tidak ditetapkan syariat kita, bagian ini dibagi dua:
1). Syariat yang diceritakan kepada kita, baik melaui al-Qur'an
atau Hadis Nabi tetapi tidak tegas diwajibkan atas kita
sebagaimana diwajibkan atas umat sebelum kita seperti yang
disebut dalam al-Qur'an "kami wajibkan atas mereka (bani
Israil) dalam kitab taurat, bahwa jiwa dibalas dengan jiwa,
mata

15
Abdul Wahab Khallaf. Ilmu Ushul Fiqih akarta Rine ka Cip to, 1990) Hal 109, Cet.
39
dengan mata, hidung dengan hidung telinga dengan telinga,
gigi dengan gigi dan luka-luka sebagai qisas. (QS.al-Maidah
45)

2). Syariat yang tidak disebut-sebut sama sekali. Bagian ini


tanpa diperselisihkan lagi untuk tidak boleh menjalankannya.
Bagian ini tidak kita ketahui kecuali dengan jalan berturut-turut
melalui pengamatan sejaaah dan tidak dapat menerimanya dari
ahli kitab sendiri, sebab mereka telah mengubah isi kitab
mereka. (QS.an Nisa': 41 dan al-Maidah:R13)
Para ulama ushul fiqh sepakat bahwa syariat para nabi
terdahulu terdahulu yang tidak tercantum dalam Al-Quran dan
Sunnah Rasulullah tidak berlaku lagi bagi umat islam. Pandangan
ini berargumentasi bahwa kedatangan syariat islam telah
mengakhiri berlakunya syariat-syariat terdahulu. Demikian pula,
para ulama Ushul Fiqh sepakat bahwa syariat terdahulu yang
dicantumkan dalam Al-Quran adalah berlaku bagi umat Islam bila
mana ada ketegasan bahwa syariat itu berlaku bagi umat Nabi
Muhammad SAW. Namun, keberlakuannya itu bukan karena
kedudukannya sebagai syariat sebelum Islam tetapi karena
ditetapkan oleh Al-Quran.16

3. Kehujjahan Syar`u Man Qablana


Para ulama berbeda pendapat mengenai apakah syariat sebelum
kita itu menjadi dalil dalam menetapkan hukum bagi umat Nabi
Muhammad. Kaidah Syar`u Man Qablana ini dimasukkan Al-Ghazali

16
Satria Effendi, Ushul Fiqh (Jakarta Kencana Prenada Media Group, 2005), Hal 163, Cel. DJPG

4
ke dalam empat kaidah yang tidak disepakati oleh para ulama
Ushul.Pendapat mereka dapat dikelompokkan sebagai berikut:
1. Jumhur ulama Hanafiyah dan Hanabilah dan sebagian Syafi’iyah
dan Malikiyah serta ulama kalam Asy’ariyah dan Mu’tazilah
berpendapat bahwa hukum-hukum syara’ sebelum kita dalam
bentuk yang ketiga tersebut di atas tidak berlaku untuk kita (umat
Nabi Muhammad) selama tidak dijelaskan pemberlakuannya
untuk umat Nabi Muhammad. Alasannya adalah bahwa syariat
sebelum kita itu berlaku secara umum. Lain halnya syariat yang
dibawa Nabi Muhammad sebagai Rasul terakhir yang berlaku
secara umum dan menasakh syariat sebelumnya.
2. Sebagian sahabat Abu Hanifah, sebagian ulama Malikiyah,
sebagian sahabat Imam Syafi’i dan Imam Ahmad dalam salah
satu riwayat mengatakan bahwa hukum-hukum yang disebutkan
dalam Alquran atau Sunah Nabi meskipun tidak diarahkan untuk
umat Nabi Muhammad selama tidak ada penjelasan tentang
17
nasakhnya, maka berlaku pula untuk umat Nabi Muhammad.
Sehubungan dengan pendapat tersebut, ulama Hanafiyah
memberlakukan hukum qishash yang seimbang sebagaimana
tersebut dalam surat Al-Maidah: 45 bagi umat Islam, meskipun
ayat tersebut diarahkan kepada orang Yahudi. Berdasarkan
pendapat ini orang muslim yang membunuh kafir dzimmi dikenai
qishash sebagaimana orang kafir dzimmi membunuh orang
Islam. Sedangkan kalangan ulama Syafi’iyah yang tidak
memberlakukan syariat umat Yahudi itu untuk umat Islam
memahami ayat tersebut bahwa tidak perlu ada

17
Yazid, I. (2017). Analisis Teori Syar’u Man Qablana. Al-Mashlahah Jurnal Hukum Islam dan
Pranata Sosial, 2(04). hal. 376
4
keseimbangan dalam pelaksanaan qishash antara mushlim dan
non-muslim sebagaimana yang diberlakukan terhadap orang
Yahudi. Oleh karena itu, bila orang muslim membunuh kafir
dzimmi, maka tidak diberlakukan hukum qishash. Tetapi bila
kafir dzimmi yang membunuh orang Islam, maka diberlakukan
qishash. Sebenarnya perbedaan pendapat dalam soal qishash itu
tidak semata disebabkan oleh perbedaan
pendapat dalam hal pemberlakuan syariat sebelum
kita tersebut, tetapi ada beberapa faktor (pertimbangan) lainnya.
Meskipun dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat, namun
yang berpendapat bahwa syariat sebelum kita itu dapat
menjadi syariat bagi kita adalah bukan karena ia adalah
syariat sebelum kita tetapi karena ia terdapat dalam Alquran
dan Sunah Nabi yang harus dijadikan pedoman.
Demikian, kedudukannya sebagai salah satu sumber hukum
Islam tidak berdiri sendiri.18
Nabi Muhammad Saw. sampai usia 40 tahun belum menerima
risalah dari Allah . untuk diberlakukan bagi umatnya. Selama
masa menjelang menerima risalah itu, apakah beliau beramal
mengikuti syariat agama sebelumnya atau tidak? Dalam hal ini
ulama ushul berbeda pendapat, yaitu;
a. Sebagian ulama, termasuk Abu Husein al-Bashri,
berpendapat bahwa Nabi Muhammad tidak pernah mengikuti
syariat manapun dari syariat nabi-nabi sebelumnya ketika
beliau belum menerima wahyu. Alasannya karena sekiranya
Nabi Muhammad beramal dengan salah satu syariat yang
dibawa

4
18
Ibid. Hal 377

4
Nabi dan Rasul sebelumnya tentu akan ada penukilan dari
beliau dan akan dikenal luas (populer) tentang beramalnya
dengan syariat itu, serta Nabi Muhammad sendiri akan
bergabung dan berbaur dengan sesama umat yang
menjalankan syariat tersebut.
b. Pendapat ini dikuatkan oleh Sidi Nazar Bakry yang mengutip
para Jumhur Mutakalimin dan sebagian ulama Malikiyah
mengatakan bahwa Nabi sebelum diutus menjadi Rasul tidak
terikat dengan peraturan/syari’at sebelum Islam, karena jika
Nabi Saw. terikat dengan syari’at sebelum Islam, maka akan
ada dalil yang menunjukkannya.19
Menurut para ulama Mu'tazilah, Syi'ah, sebagian
kalangan syafi'iyah dan salah satu pendapat Ahmad bin
Hambal bahwa syariat sebelum Islam yang disebut dalam Al-
Quran tidak menjadi syariat bagi umat Nabi Muhammad
SAW kecuali ada ketegasan untuk itu.20Diantara alasan
mereka ialah: Firman Allah SWT;
"Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Quran dengan
membawa kebenaran, membenarkan apa yang
sebelumnya, Yaitu Kitab-Kitab (yang diturunkan
sebelumnya) dan hatu ujian21 terhadap Kitab-Kitab yang
lain itu, Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa

19
Sidi Nazar Bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh, cet. 4 (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2003), hal.
239.
20
Satria Effendi, Ushul Fiqh,(Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2005), Hal 166, Cet. III
21
Maksudnya: Al Quran adalah ukuran untuk menentukan benar tidaknya ayat-ayat yang
diturunkan dal
Kitab-Kitab sebelumnya

4
yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti
hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran
yang telah datang kepadamu. untuk tiap-tiap umat
diantara kamu22 Kami berikan aturan dan jalan yang
terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu
dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak
menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, Maka
berlomba-lombalah berbuat kebajikan hanya kepada
Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-
Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu
(QS. Al-Maidah: 48)

Selain dalil diatas, mereka juga berargumen dengan riwayat


mengenai percakapan Rasulullah dengan Mu'az bin Jabal ketika
hendak diutus untuk menjadi hakim di Yaman. Menurut mereka
bahwa dalam hadis ini tidak terdapat petunjuk Rasulullah SAW
untuk merujuk kepada syariat-syariat nabi terdahulu.23
Abdul wahhab Khallaf dalam bukunya Ilmu Ushul Fiqh
menjelaskan bahwa yang terkuat dari dua pendapat tersebut adalah
pendapa yang pertama diatas. Alasannya bahwa syariat Islam hanya
membatalkan hukum yang kebetulan berbeda dengan syariat Islam.
Oleh karena itu, segala hukum-hukum para Nabi terdahulu yang
disebut dalam Al-Quran tampa ada ketegasan bahwa hukum itu
telah dihapus, maka hukum itu berlaku umat Nabi Muhammad
SAW. Disamping itu, disebutnya hukum-hukum itu dalam al-
Quran yang

4
22
Maksudnya: umat Nabi Muhammad saw, dan umat-umat yang sebelumnya
23
Sarria Effendi. Ushul Fiqh (Jakarta: Kencana Premada Media Group, 2005), Hal 168, Cet. III

4
merupakan petunjuk bagi umat Islam menunjukkan berlakunya bagi
umat Muhammad SAW.24

D. Qaul Shahaby
1.Definisi Qaul Shahaby

Kata Qaul merupakan bentuk masdar dari “qala - yaqulu - qaulan”


yang berarti perkataan atau pendapat. Sedangkan Shahaby adalah
orang yang bersahabat dengan Rasulullah saw. dan beragama Islam.
25
Menurut pendapat, sahabat adalah seseorang yang bertemu dengan
Rasulullah dan beriman kepadanya serta mengikuti dan hidup
bersamanya dalam waktu yang panjang, dijadikan rujukan oleh
generasi berikutnya dan mempunyai hubungan khusus dengan
26
Rasulullah, sehingga secara adat mereka dinamakan sahabat.
Berikut beberapa definisi Sahabat menurut beberapa ulama:

Menurut Ulama Hadis : “Orang yang berkumpul dengan Nabi


Muhammad saw. dan masuk islam serta mati dalam keadaan
27
beriman” Definisi yang dinyatakan oleh Ulama Hadis ini
mengindikasikan bahwa setidaknya ada tiga batasan dalam
pemaknaan Madzhab as- Shahabi.

1. Para sahabat yang semasa dan berkumpul dengan Rasulullah saw.


2. Hanya sahabat yang beragama Islam.
3. sahabat yang wafat dalam keadaan masih beriman.

24
Ibid. Hal 168
25
Abdul Wahhab Khallaf, ‘Ilmu Ushul al-Fiqh, h. 706.
26
Nasrun Haroen, Ushul Fiqh I, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001) h. 155.
27
Musthafa Sa’id al-Khinni, Asar al-Ikhtilaf Fi al-Qawa’id al Ushuliyah Fi Ikhtilaf al-Fuqaha’, h. 530.

4
Menurut Ulama Ushuliy (ahli Ushul al-Fiqh) :“Orang-orang yang
bertemu dan beriman kepada Nabi Muhammad saw. serta hidup
bersamanya dalam waktu yang cukup lama sehingga dengan demikian
mereka disebut Shahaby secara ‘urf”28
Menurut Wahbah al-Zuhail : “Shahaby menurut jumhur Ushulliy
adalah orang yang bertemu dengan Rasulullah dalam waktu yang
cukup lama serta meyakini kerisalahannya. Sedangkan menurut
jumhur ulama Hadis, Shahaby adalah orang islam yang bertemu
dengan Rasulullah dan mati dalam keadaan islam baik lama atau tidak
masa persahabatannya.”29

2. Pandangan Alquran tentang Qaul Shahabi


Pada surat Ali Imran ayat 110 disebutkan:“Kamu sekalian adalah
ummat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada
yang makruf dan mencegah kepada yang mungkar”. Ayat ini turun
sebagai khitab bagi para sahabat. Terkait dengan Qaul Shahabi, pujian
Allah terhadap para sahabat ini secara tidak langsung menyatakan
bahwa para sahabat Nabi itu merupakan sebaik umat, dan sudah
selayaknya perbuatan, perkatan mereka diikuti.
Surat al-Taubah ayat 100: “Orang-orang yang terdahulu lagi yang
pertama (masuk islam) diantara orang-orang Muhajirin dan Anshar
dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah Swt ridha
kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah Swt dan Allah Swt
menyediakan bagi mereka surga surga yang mengalir sungai-sungai
dibawahnya, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah

28
Chairul Umam, Ushul Fiqh, h. 180.
29
Zakariya al-Anshory, Ghoyatu al-Wushul, (Semarang: Maktabah Thoha Putra Semarang), h.
104.

4
kemenangan yang besar”. Ayat ini merupakan pernyataan pujian dari
30
Allah Swt . Bagi para sahabat Rasulullah saw lantaran merekalah
orang-orang yang pertama kali masuk Islam. 3 golongan yang
mendapat pujian dari Allah Swt.
1. Para sahabat yang lebih dahulu masuk Islam dari kalangan
Muhajirin, yaitu sahabat yang berhijrah bersama Rasulullah dan
rela meninggalkan rumah-rumah mereka serta daerah mereka.
2. Para sahabat yang lebih dahulu masuk Islam dari kaum Anshar,
yaitu para sahabat yang menolong Rasulullah dari kaum kafir.
3. Orang-orang yang mengikuti jalan para sahabat, yaitu orang
yang beriman pada Allah dan Rasul-Nya serta berhijrah dari
agama lain ke agama Islam untuk mencari ridla Allah Swt.
Dengan demikian, dapat diketahui bahwa makna al-Shahaby
tidak hanya terfokus pada sahabat Muhajirin saja akan tetapi
juga para kaum Anshar. 31
Makna dari kata al-Shahaby bisa lebih melebar lagi kalau merujuk
pada pernyataan al-Sya’by. Beliau mengatakan bahwa kata al-Sabiqun
itu juga mencakup pada orangorang yang mati syahid dalam perang
Bai’ah al-Ridhwan atau biasa dikenal dengan perang Hudaibiyah. Dari
keterangan-keterangan yang telah disebutkan di atas, menunjukkan
bahwa dalam Alquran telah menjelaskan tentang Qaul Shahabi
walaupun masih bersifat universal. Alquran juga tidak menjelaskan
secara qhat’i, baik perintah maupun larangan secara langsung untuk
mengikuti Qaul Shahabi. Dari ini, wajar sekali kalau berdampak pada

30
Syekh al-Thabari, Jami’ al-Bayan fi Ta’wili al-Qur’an, Maktabat al-Syamilah, h. 101
31
Abu Muhammad Hasan al-Baghawy, Ma’alim al-Tanzil, Maktabat al-Syamilah, h. 203.

4
perbedaan pendapat di kalangan para ulama tentang kehujjahan Qaul
Shahabi.

3.Pandangan Hadis tentang Qaul Shahabi


Hadis yang diriwayatkan Syu’bah : “Dari Syu’bah, dari ‘Abdul
Malik, bin ‘Umir, dari Robi’ bin Haris dari Hudzaifah, ia berkata:
Rasulullah Saw. bersabda: “Ikutilah dua orang sesudahku, yaitu Abu
Bakar dan Umar”. Dalam Mawaqi’ al-Islam terdapat penjelasan
tentang hadis ini, berikut redaksinya: “Yang dimaksud dengan Qaul
Shahabi bukanlah jejak (Sunnah) Khulafa ar-Rasyidin melainkan
jejak-jejak mereka yang sesuai dengan Rasulullah Saw. seperti
berjuang memerangi musuh-musuh dan menguatkan panji-panji
agama dan lain sebagainya. Hadis yang telah diriwayatkan oleh
Syu’bah tersebut mengandung beberapa makna, yaitu:

1. Yang dimaksud mengikuti disini bukan berarti apa-apa yang keluar


dari para sahabat itu merupakan sunnah. Akan tetapi yang dimaksud
bahwa Rasulullah Saw. memerintah kita mengikuti para sahabat
dari aspek berjihad melawan musuh-musuh Islam dan
mengukuhkan syari’at-syari’at Islam.
32
2. Hadis ini mencakup pada kesemua Khulafa al-Rasyidin, dalam
artian tidak hanya khusus pada dua sahabat saja (Sayyidina Abu
Bakar dan Sayyidina Umar). Hadis yang disahihkan al-Turmudzi
menjelaskan: “wajib bagi kalian untuk mengikuti sunnahku dan
sunnah Khulafar al-Rasyidin yang datang sesudahku”. Hadis di atas

32
Diantara Khlafa’ur yaitu Rasydin Syadina Abu Bakar al-Shiddiq, Sayidina Umar bin Khattab,
Sayidina Utsman bin Affan dan Sayidina ‘Aly

5
menunjukkan kehujjahan Qaul Shahabi hanya tertentu pada
pendapat empat orang dari Khulafa al-Rasyidin saja.
Sedangkan dari sahabat yang lain tidak dapat dijadikan hujjah.
Adapun hadis yang diriwayatkan Abu Daud menjelaskan: “Para
Sahabatku bagaikan bintang-bintang, siapa pun di antara mereka yang
33
kalian ikuti, maka kalian akan mendapatkan petunjuk”. Dari hadis
riwayat Abu Daud ini, memberikan pemahaman bahwa semua sahabat
Rasulullah dapat dijadikan petunjuk tanpa terkecuali. Dengan
demikian, umat Islam bisa mengikuti pendapat semua sahabat dan
tidak hanya tertentu pada sahabat Khulafa al-Rasyidun maupun
sahabat lalainnya.

4. Pandangan ulama mengenai Qaul Shahabi

Dalam beberapa literatur ditemukan sejumlah pernyataan Imam


Abu Hanifah sebagaimana redaksi berikut: “Imam Abu Hanifah
menyatakan bahwa beliau mengambil perkataan sahabat dan
mendahulukannya daripada qiyas. Berbeda dengan sebagian sahabat
Abu Hanifah ada yang berargumen lebih mendahulukan nalar
daripada Madzhab alShahabi dalam sebagian hukum-hukum furu’.

Dan argumen sahabat tersebut diperoleh dari Abu Hanifah sendiri,


Dasar yang digunakan Abu Hanifah adalah pernyataan beliau sendiri
yaitu: “Apabila aku tidak menjumpai di kitab Allah (Alquran) dan
sunnah Rasulullah (Hadis), maka aku mengambil pendapat para
sahabat dengan mengambil pendapat seorang sahabat yang aku
kehendaki dan aku mengabaikan pendapat seorang sahabat yang aklu
kehendaki serta

33
Musykil al-Atsar li al-Thahawi, Maktabat al Syamil

5
aku tidak pernah berpaling dari perkataan para sahabat ke perkataan
yang lain”. Dalam hal ini, Abu Hanifah tidak menentukan satu
pendapat saja dari pendapat para sahabat sebagai hujjah, beliau bebas
mengambil pendapat yang dikehendaki tetapi tidak memperbolehkan
menentang pendapat mereka secara keseluruhan.

Beliau juga tidak memberi kesempatan untuk qiyas dalam suatu


masalah selama masih ada fatwa sahabat, bahkan beliau sendiri
mengambil pendapat dari sahabat itu. Pernyataan Abu Hanifah ini
seakan-akan mengatakan bahwa seluruh pendapat Imam Abu Hanifah
diperoleh dari Qaul Shahabi ketika beliau tidak menemukannya dalam
Alquran dan sunah. Sedangkan sebagian sahabat beliau ada juga yang
mendahulukan nalar dari pada qiyas di sebagian hukum-hukum furu’.
Selanjutnya, dalam menanggapi Madzhab alShahabi pada dasarnya di
leteratur-literatur kitab klasik tidak ada teks yang pasti dari Imam
Malik sendiri.

Di kalangan para Ulama Malikiyah sendiri terdapat dua argumen


tentang kehujjahan Qaul Shahabi. Menurut Muhammad Abu Zahrah,
kebanyakan hukum-hukum yang telah termaktub dalam kitab al-
Muwattha’ didasarkan atas fatwa para sahabat 34. Dalam perbedaan dua
argumen ini, Abdurrahman bin Abdullah al-Sya’lani yang merupakan
Ulama Malikiyah telah menjelaskannya sebagaimana redaksi berikut:
“Terdapat dua pendapat ulama yang berbeda dalam menceritakan
Mazhab Imam Malik tentang kehujjahan Madzhab as-Shahabi.

34
Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, (Beirut: Dar alFikr, 1995), h. 216

5
1. Madzhab al-Shahabi tidak bisa dijadikan hujjah. Abdul Wahhab
berpendapat bahwa inilah yang benarbenar dikehendaki oleh
Mazhab Imam Malik. Karena beliau pernah menegaskan atas
kewajiban berijtihad dan mengikuti hasil nalar yang benar. Dan
Abdul Wahhab berkata, di kalangan Sahabat Malikiy tidak
terdapat komentar tentang benar dan salahnya pendapat pertama
ini.
2. Mazhab alShahabi bisa dijadikan hujjah. Tentang pendapat
yang kedua ini, para Ushuli golongan Malikiyah dan lainnya
hampir mengatakan bahwa keterangan ini dari Imam Malik
sendiri. Secara zahir sesungguhnya pendapat ini diambil dari
kitab Muwattha’: bahwa Imam Malik kebanyakan
35
menyandarkan hukum-hukum terhadap Mazhab al-Shahabi.
Dan Ibnu Qayyim juga berpendapat bahwa dengan
menggunakannya Imam Malik terhadap Mazhab al-Shahabi
dalam kitab Muwattha’, ini merupakan bukti kehujjahan
Mazhab al-Shahabi”.
Dari uraian redaksi ini menunjukkan bahwa walaupun tidak ada
teks langsung dari Imam Malik tentang kehujjahan Qaul Shahabi,
namun mayoritas Ulama Ushul al-Fiqh Malikiyah menyatakan Qaul
Shahabi sebagai hujjah syar’iyyah. Argumen ini berpegang pada kitab
Muwattha’ yang kebanyakan hukumnya memang bersandar pada Qaul
Shahabi. Sedangkan Abdul Wahhab Khallaf yang notabenenya
merupakan ulama Hanafiyah menyatakan bahwa Qaul Shahabi
bukanlah hujjah dengan argumen, Imam Malik menyatakan bahwa
kita

5
35
Abdur-Rahman bin Abdullah as-Sya‘lany, Ushul Fiqh alImam Malik, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th),
h.1113-111

5
diwajibkan berijtihad dan sebagaimana diketahui bahwa Qaul Shahabi
itu tidak mutlak benar, adakalanya salah ada kalanya benar.

Dalam hal ini dirasa tidak mungkin memperhitungkan Qaul


Shahabi sebagai hujjah syar’iyyah. Mengenai kehujjahan Qaul
Shahabi ini, Imam Syafi’i berpendapat sebagai berikut: Imam Syafi’i
dalam kitab al-Risalah berpendapat: Suatu ketika kami menjumpai
para ulama mengambil pendapat seorang sahabat, sementara pada
waktu yang lain mereka meninggalkannya. Mereka berbeda pemdapat
terhadap sebagian pendapat yang diambil dari para sahabat. Kemudian
seorang teman belajarnya bertanya: Bagaimana sikap anda terhadap
hali ini?. Dia menjawab jika kami tidak menemukan dasar-dasar
hukum dari Alquran, sunah, Ijma dan sesamanya, maka kami
mengikuti pendapat salah seorang sahabat.”

Redaksi diatas memberi pengertian bahwa, Imam Syafi’i dalam kitab


Risalah-nya yang diriwayatkan oleh ar-Rabi’ menyatakan kehujjahan
Qaul Shahabi sebagai salah satu dalil syar’i. Hal ini terbukti dengan
perkataan beliau yaitu: “jika kami tidak menemukan dasar-dasar
hukum dari Alquran, sunah, Ijma dan sesamanya, maka kami
mengikuti pendapat salah seorang sahabat”. Pendapat Imam Syafi’i di
atas, juga diperkuat pernyataanya dalam kitab al-Umm. Beliau
menjelaskan: “Imam Syafi’i dalam kitab al-Umm berkata : Jika kami
tidak menjumpai dasar-dasar hukum dalam Alquran dan sunah, maka
kami kembali kepada pendapat para sahabat atau salah seorang dari
mereka. Kemudian jika kami harus bertaqlid, maka kami lebih senang
mengikuti pendapat Abu Bakar, Umar atau Utsman. Karena jika kami
tidak menjumpai dalalah dalam perbedaan yang menunjukkan kepada
yang
5
lebih dekat kepada Alquran dan sunah, niscaya kami mengikuti
pendapat yang mempunyai dalalah”. 36

Hal ini juga menjelaskan bahwa Imam al Syafi’i mengambil


pendapat sahabat apabila tidak terdapat keterangan mengenai hukum
tertentu dalam Alquran dan sunah. Akan tetapi, pendapat Imam Syafi’i
mengenai Qaul Shahabi tersebut lebih mendahulukan pendapat
Sayyidina Abu Bakar, Umar dan Utsman. Namun, pada hakekatnya
Imam Syafi’i menerima kehujjahan Qaul Shahabi sebagai dalil syar’i.
Dengan demikian, keterangan diatas menunjukkan, bahwa dalam
menetapkan hukum, pertama Imam Syafi’i mengambil dasar dari
Alquran dan sunah, kemudian pendapat yang telah disepakati oleh
para sahabat. Setelah itu, pendapat-pendapat yang diperselisihkan
tersebut tidak mempunyai hubungan yang kuat dengan Alquran dan
sunah, maka dia mengikuti apa yang dikerjakan oleh Khulafa ar-
Rasyidin, karena pendapat mereka telah mahsyur dan pada umumnya
sangat teliti.

Meskipun diatas telah dijelaskan, bahwa Imam Syafi’i menerima


pendapat sahabat, akan tetapi dalam sebagian kitab ushul fiqh
dijelaskan, bahwa ada ulama yang beranggapan dalam qaul jadidnya
Imam Syafi’i tidak mau mengambil pendapat sahabat 37. Akan tetapi,
penyataan tersebut ditolak. artinya dalam qaul jadid pun (al-Risalah
dan al-Umm) beliau menerima pendapat sahabat. Hal ini sesuai
dengan penjelasan yang terdapat dalam kitab Ushul Fiqh (Prof.
muhammad abu Zahro) sebagai berikut: “Pendapat Imam Syafi’i
dalam kitab al-Risalah dan al-Umm yang diriwayatkan oleh ar-Rabi’
ibn Sulaiman yang telah

5
36
Muhammad Idris al-Syafi’i, al-’Umm, (Beirut: Dar alFikr, 1999), h 247
37
hairul Umam, Ushul Fiqh, h.183

5
kami paparkan, bahwa dalam qaul jadid secara qath’i Imam Syafi’i
mengambil pendapat-pendapat para sahabat yang telah disepakati. Jika
pendapat-pendapat mereka masih diperselisihkan, Imam Syafi’i
mengambil pendapat sahabat yang paling mendekati Alquran dan
sunah”. 38

Dari redaksi diatas dapat dipahami bahwa, ucapan Imam Syafi’i


dalam kitab al-Risalah dan al-Umm menunjukkan secara Qath’i (pasti)
mengambil pendapat-pendapat para sahabat yang telah disepakati. Jika
pendapat-pendapat para sahabat masih diperselisihkan, beliau
mengambil pendapat sahabat yang paling mendekati dengan Alquran
dan sunah. Dalam literatur Ushul Fiqh, terdapat bebebrapa keterangan
yang secara jelas mengungkapkan Imam Ahmad ibn Hanbal
mengambil pendapat sahabat (Qaul Shahabi). “Sesungguhnya Qaul
Shahabi adalah hujjah syar’iyyah yang didahulukan dari pada qiyas.
Ini merupakan pendapat imam-imam madzhab hanafiyah. Dan
pendapat ini juga telah dinukil dari Imam Malik dan Imam Syafi’yyah
dalam qaul qodim-nya serta Imam Hambali diriwayat lainnya.” Dalam
redaksi lain, juga termaktub pendapat Imam ibn Hambal: “Imam Ibnu
Hambal mengunggulkan pendapat ilmu qoyyim dalam kitab “I’laam
al- Muwaqq’in”: “Sesengguhnya Ibnu al-Qoyyim mengambil Qaul
Shahabi dan ini merupakan perkaran yang telah tetap dari Ibnu
Qoyyim”. 39

Dari kedua redaksi diatas sangat jelas bahwa Imam Ahamad ibn
Hambal juga mengambil Madzhab al-Shahabi sebagai hujjah. Menurut

38
Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, (Beirut: Dar al Fikr, 1995), h. 216
39
Wahbah Al-Zuhaili, Uhsul al-Fiqh al-Islami, h. 153

5
Ibn al-Qayyim menjelaskan bahwa pendapat para sahabat lebih
mendekati Alquran dan sunah dibanding pendapat para ulama yang
hidup sesudah mereka Dengan argument bahwa para sahabat lebih
mengetahui isi kandungan Alquran dan sunah dari pada pendapat
ulama sesudahnya. 40

Sedangkan Muhammad Abu Zahrah berpendapat bahwa Qaul


Shahabi bisa dijadikan dalil syar’i dengan alasan: Para sahabat adalah
orang yang lebih dekat kepada Rasulullah saw. dibanding orang lain.
Dengan demikian, mereka lebih mengetahui tujuan-tujuan syara’,
lantaran mereka menyaksikan langsung tempat dan waktu turunnya
Alquran, mempunyai keikhlasan dan penalaran yang tinggi, ketaatan
yang mutlak kepada petunjuk-petunjuk nabi serta mengetahui situasi-
situasi dimana nas-nas Alquran diturunkan. Oleh sebab itu, fatwa-
fatwa mereka lebih layak untuk diikuti.

Pendapat-pendapat yang dikemukakan para sahabat sangat


mungkin sebagai bagian dari sunnah Nabi dengan alasan sering
menyebutkan hukum-hukum yang dijelaskan oleh Rasulullah saw.
dengan kemungkinan tersebut, disamping pendapat mereka selalu
didasarkan pada penalaran maka pandangan mereka lebih berhak
untuk diikuti, karena pandangan tersebut kemungknan besar berasal
dari nash serta situasi sesuai dengan daya nalar (rasional). Jika
pendapat para sahabat didasarkan pada qiyas, sedangkan para ulama
yang hidup sesudah mereka juga menetapkan hukum berdasarkan
qiyas yang

40
Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, h. 213.

5
berbeda dengan pendapat sahabat, maka untuk lebih berhati-hati yang
kita ikuti adalah pendapat para sahabat.

Di samping itu, jika sebagian sahabat mempunyai suatu pendapat


sementara sahabat yang lain juga mempuyai pendapat yang berbeda
dengan pendapat sahabat pertama, maka jika pendapat sahabat yang
berbeda-beda tersebut dihindari semua, berarti kita menghindari
pendapat para sahabat secara keseluruhan. Pemikiran ini adalah
pemikiran rancu yang tidak dapat diterima. Dari beberapa pandangan
ulama di atas, sudah bisa dipastikan bahwa Qaul Shahabi dapat
dijadikan hujjah sebagai dalil syar’i, karena Qaul Shahabi tersebut
tidak lepas dari beberapa kemungkinan yaitu:

1. Fatwa tersebut mereka dengar langsung dari Rasulullah saw.


2. Fatwa tersebut mereka dengar dari sahabat yang mendengarkan
fatwa dari Rasulullah.
3. Fatwa tersebut mereka pahami dari ayat-ayat suci Alquran yang
tidak jelas.
4. Fatwa tersebut telah mereka sepakati, akan tetapi hanya
disampaikan oleh seorang mufti.
5. Fatwa tersebut merupakan pendapat sahabat secara pribadi, lantaran
mereka menguasai bahasa arab secara sempurna, sehingga mereka
mengetahui dalalah lafazh terhadap sesuatu yang tidak kita ketahui.
Atau karena mereka mengetahui latar belakang suatu khitab
Alquran dan sunah atau karena mereka lebih menguasai
permasalahan- permasalahan yang berkembang sepanjang
pantauan mereka

6
41
terhadap Rasulullah saw. baik perbuatan dan tingkah laku,
ucapann, tujuan dan menyaksikan turunnya wahyu serta ta’wil dan
tafsirnya secara kongkrit. Dengan demikian, mereka mempunyai
pemahaman terhadap alquran dan sunah yang lebih mendalam
dibanding yang kita pahami. Fatwa-fatwa sahabat yang didasarkan
atas kemungkinan yang lima ini dapat dijadikan sebagai hujjah.
6. Mungkin fatwa tersebut berasal dari pemahaman sahabat sendiri
yang tidak beasal dari hadis Rasulullah saw. dan ternyata
pemahaman tersebut salah. Fatwa sahabat yang bersumber dari
kemungkinan ini tidak dapat dijadikan hujjah. Tapi kemungkinan di
atas dapat dipastikan lebih banyak terjadi dibanding satu
kemungkinan ini. Oleh sebab itu, fatwa sahabat mempunyai
kedudukan zhanni yang lebih mendekati kebenaran. Yang dituntut
dalam fatwa sahabat, hanyalah sampai pada tingkat zhanni yang
kuat yang harus diamalkan.
Para ulama yang berpandangan kehujjahan Qaul Shahabi
sebagai dalil syar’i terbatas hanya sahabat-sahabat tertentu saja.
Beberapa pendapat mereka adalah sebagai berikut:

1. Pendapat sahabat yang berdaya hujjah hanyalah bila lahir dari


Sayyidina Abu Bakar alShiddiq dan Sayyidina Umar ibn Khattab.
2. Pendapat empat orang sahabat dari Khulafa al-Rasyidin menjadi
hujjah dan tidak dari sahabat lainnya.
3. Pendapat salah seorang Khulafa al-Rasyidin selain Ali menjadi
hujjah. Pendapat ini dinukilkan dari as-Syafi’i. Tidak
dimasukkannya Ali dalam kelompok sahabat ini bukan karena

41
Ibnu al-Qayyim al-Jauziyah. I’lam al-Muwaqqi’in, (Dar alFikr, 2000), Jilid I, h. 24

6
kurang dari segi kualitasnya dibandingkan pendahulunya, tetapi
karena setelah menjadi Khalifah ia memindahkan kedudukannya ke
Kuffah dan waktu itu para sahabat yang biasa menjadi nara sumber
bagi Khalifah dalam forum musyawarah pada masa sebelum Ali
sudah tidak ada lagi.
4. Pendapat dari para sahabat yang mendapat keistimewaan
pribadi dari Nabi menjadi hujjah dalm bidangnya masing-masing,
seperti Zaid ibn Tsabit dalam bidang faraid (hukum waris), Mu’az
ibn Jabal dalam bidang hukum di luar fara’id, dan Ali Ibn Abi
Thallib dalam masalah peradilan.42
Di kalangan ulama yang menerima kehujjahan Qaul Shahabi secara
mutlak sebagaimana Hadis riwayat Abu Daud di atas, Muncul
perbedaan dalam menempatkan pendapat sahabat apabila berhadapan
dengan qiyas:

1. Ulama yang berpendapat bahwa Qaul Shahabi menjadi hujjah


dan berada di atas qiyas. Sehingga kalau terjadi pembenturan
antara keduanya, maka yang harus didahulukan adalah Qaul
Shahabi atas qiyas. Berdasarkan pendapat ini bila ada dua
pendapat sahabat yang berbeda dalam satu masalah, maka
penyelesaiannya adalah sebagaimana penyelesaian dua dalil
yang bertentangan yaitu melalui tarjih (mencari dalil yang lebih
kuat).43
2. Ulama yang berpendapat bahwa Qaul Shahabi menjadi hujjah
namun kedudukannya dibawah qiyas dan bila terjadi

42
Amir Syarifuddin. Ushul al-Fiqh, h. 384.
43
Muhammad Salam Madkur, al-Madkh li al-Fiqh al Islami h. 83

6
pembenturan diantara keduanya, maka harus didahulukan qiyas
atas Qaul Shahabi.
Beberapa Contoh Qaul Shahabi :

1. Fatwa Abu Bakar ra. saat memerangi pembangkang zakat.


Beliau mengatakan “Demi Allah, sungguh saya perangi orang
yang membedakan antara salat dan zakat, karena zakat adalah
hak harta. Demi Allah, apabilamereka menghalangiku dengan
sebenarnya (zakat) yang mana mereka dulu memberikan kepada
Rasulullah, maka sungguh akan aku perangi yang menghalangi
tersebut”
2. Pengumpulan dan pencatatan Alquran oleh Abu Bakar atas usul
Umar bin Khattab setelah beberapa penghafal Alquran banyak
yang syahid di medan perang
3. Ketika Umar bin Khattab membahas tentang orang yang
terbunuh dan pembunuhan itu dilakukan lebih dari satu orang,
maka semua pelaku pembunuhan itu dikenai qishash.
4. Talak tiga yang diucapkan sekaligus pada satu waktu, dianggap
sebagai talak yang tidak mungkin rujuk. Garis hukum ini
ditentukan oleh Sahabat Umar berdasarkan kpentingan para
wanita, karena di zamannya banyak pria yang dengan mudah
mengucapkan talak tiga sekaligus kepada istrinya untuk dapat
bercerai dan kawin lagi dengan wanita lain. Tujuannya adalah
untuk melindungi kaum wanita dari penyalahgunaan hak talak
yang beradad ditangan pria.
5. Penambahan jumlah rakaat salat tarawih oleh Umar bin Khattab
dan dilakuan secara berjamaah pada bulan Ramadhan

6
6. Di masa pemerintahan Umar bin Khattab, terjadi kelaparan
pada masyarakat di semenanjung Arab. Dalam keadaan
masyarakat ditimpa oleh bahaya kelaparan karena paceklik,
ancaman hukuman potong tangan terhadap pencuri tidak
dilaksanakan oleh Umar, ini berdasarkan pertimbangan keadaan
darurat dan kemaslahatan masyarakat.
7. Penambahan adzan shalat jum’at dan penyebaran Alquran yang
ber-Mushaf Utsmani pada masa khalifah Utsman bin Affan 44
8. Pendapat Ali bin Abi Thalib dan Zaid bin Tsabit tentang kakek
tidak mendapatkan harta warisan sebagaimana ayah
9. Fatwa siti Aisyah yang menjelaskan batas maksimal kehamilan
seorang perempuan selama dua tahun, ia mengungkapkan “
Anak tidak berada dalam perut ibunya lebih dari dua tahun”
10.Fatwa Anas bin Malik yang menerangkan tentang masa
minimal seorang wanita haid selama tiga hari.45

44
Fauzi, Sejarah hukum Islam ( Jakarta, Prenadamedia Group. 2018) h. 35
45
Firdaus, Ushul Fiqh, Metode Mengkaji dan Memahami Hukum Islam Secara Komprehensif
(Depok. PT RajaGrafindo Persada. 2017) h. 140

6
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Dari segi bahasa, kata al-maslahah adalah seperti lafazh al-


manfaat, baik artinya ataupun wajan-nya (timbangan kata), yaitu
kalimat mashdar yang sama artinya dengan kalimat ash-Shalah, seperti
halnya lafuzh al-manfaat sama artinya dengan al-naf ‘u. Pengarang
Kamus Lisan Al- Arab menjelaskan dua arti, yaitu al-mashlahah yang
berarti al-shalah dan al-mashlahah yang berarti bentuk tunggal dari al-
mashalih.

Istishab berasal dari kata istishaba dalam istif’al yang berarti


istimrar al-shahabah (sahabat) yang artinya dalam lughawi yaitu selalu
menyertai atau menemani. Secara bahasa, istiṣḥab dimaknai dengan
dimaknai dengan membandingkan sesatu kemudian mendekatkannya.
prinsip istiṣḥab adalah memberlakukan hukum lama selama belum ada
hal lain yang mengubahnya. Macam-Macam Istiṣḥab yaitu Istiṣḥab al-
Ibāḥah al-Ashliyyah, Istiṣḥab al-Bara`ah al-Ashliyyah, Istishab an-
nasbsbi Istishab Maqlub (pembalikan) / Istishab Al-Hukmi, dan
Istishab Al-Washfi Al-Tsatibi.

Syar'u Man Qablana adalah syariat atau ajaran-ajaran para nabi


sebelum diutusnya Rasuullah SAW. Syar'un man qablana berarti
syariat yang Allah turunkan kepada Nabi dan rasul, sebelum nabi
Muhammad SAW sejak Adam AS hingga Isa AS sebagai syariat yang
dipraktekan oleh umat-umat terdahulu. Macam-macam Syariat
Terdahulu yaitu

6
Syariat yang telah dihapuskan oleh syari'at kita dan Syariat yang tidak
dihapuskan.

Qaul Shohabi adalah orang yang bersahabat dengan Rasulullah


saw. dan beragama Islam. Menurut pendapat, sahabat adalah
seseorang yang bertemu dengan Rasulullah dan beriman kepadanya
serta mengikuti dan hidup bersamanya dalam waktu yang Panjang.

B. SARAN

Setelah pembahasan makalah ini, diharapkan mahasiswa pada


khususnya dan umat Islam pada umumnya dapat memahami Sumber
Hukum, sehingga dapat mengenal sumber hukum serta dapat
mengamalkannya dengan ibadah dan pelaksanaan dalam kehidupan
sehari-hari. Dalam pembuatan makalah ini tentu saja jauh dari kata
sempurna, maka dari itu kami menerima kritik dan saran yang
diberikan oleh pembaca.

6
DAFTAR PUSTAKA

Abd al-Karim Zaidan,(2015), al-Wajȋz Fȋ Ushȗ al-Fiqh,Beirut:


Muasasah al-Risâsalah,2.

Abdul Wahab Khallaf,(1990),Ilmu Ushul Fiqih, Jakarta Rineka Cipta.

Akhmad Haries, Maisyarah Rahmi, Ushul Fikih: Kajian


Komprehensif Teori, Sumber Hukum Dan Metode Istinbath Hukum,
Bening Media Publishing, 2021

Ayat Qur'an yang menjelaskan tentang Al-Qur’an membenarkan kitab


sebelumnya berada pada surat sebagai
berikut,https://www.laduni.id/alquran/tema/Al-Quran-membenarkan-
kitab-sebelumnya.html ,Diakses pada tanggal 7 April 2023.

Baghawi, Hasan Muhammad al-. Ma’alimu at-Tanzil, Maktabah al-


Syamilah.

Busyron, Amaly Ibnu Busyron, Maktabah al-Syamilah.

Dr. H. Ahmad Sanusi, M. (2015). USHUL FIQH. Depok: PT RAJA


GRAFINDO PERSADA.

Dr. H. Saifudin Zuhri, M. (2011). USHUL FIQIH Akal Sebagai Sumber


Hukum Islam. Yogyakarta: Pustaka pelajar.

Efendi Sugianto, Istishab Sebagai Dalil Syar,I dan Perbedaan Ulama


Tentang kedudukannya, Studia Vol. 5, No. 1 ,2020

Fathu Rozi Hasrul,(2011),Syar'u Man Qablana, Mazhab Sahabat Dan


Sadd As-Zari'ah,https://id.scribd.com/doc/82266764/Syar-u-Man-

6
Qablana-Mazhab-Sahabat-dan-Sadd-as-Zari-ah-PDF, Diakses Pada
tanggal 6 April 2023.

Fauzi, Sejarah hukum Islam, Jakarta: Prenadamedia

Firdaus, Ushul Fiqh, Metode Mengkaji dan Memahami Hukum Islam


Secara Komprehensif, Depok. PT Raja Grafindo Persada, 2017.

Group. 2018.

Imron Rosyadi, Muhammad Muinudinnillah Basri, Usul Fikih Hukum


Ekonomi Syariah, Muhammadiyah University Press, 2020

Jauziyah, Ibn al-Qayyim al-. I’lam al-Muwaqqi’in, Beirut: Dar al-Fikr,


2000.

Masduki,(2009),syariat di hadapan nabi muhammad (syar'u man


qablana) sebagai bukti hukum sara'.

Moh. Mufid, Ushul Fiqh Ekonomi dan Keuangan Kontemporer,


Kencana, 2018

Prof. Dr. H. Rachmat Syafe'i, M. (2015). ILMU USHUL FIQIH.


Bandung: CV PUSTAKA SETIA.

Satria Effendi,(2005), Ushul Fiqh,Jakarta Kencana Prenada Media


Group.

Sidi Nazar Bakry, (2003),Fiqh dan Ushul Fiqh, cet. 4,Jakarta,PT Raja
Grafindo Persada.

Syafi’i, Muhammad ibn Idris al-. al-’Umm, Beirut: Dar al-Fikr, 1994.

Syarifuddin, Amir. Ilmu Ushul Fiqh, Yoyakarta: LKiS, 2001.

6
Umam, Chairul. Ushul Fiqh, Jakarta: Gema Insani Pres, 2005.

Umar Muhaimin, Metode Istlidladan Istihab (Formulasi Metodelogi


Ijtihad), Vol 8, No 2

Yazid, I. (2017). Analisis Teori Syar’u Man Qablana. Al-Mashlahah


Jurnal Hukum Islam dan Pranata Sosial, 2(04).

Zahrah, Muhammad Abu. Ushul al-Fiqh, Beirut: Dar al-Fikr, 1995.

Anda mungkin juga menyukai