Disusun Oleh :
PRODI AKUTANSI
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN MAS SAID
SURAKARTA
2023
1
KATA PENGANTAR
Surakarta, 08 April
2023
2
DAFTAR ISI
COVER.................................................................................................1
KATA PEGANTAR.............................................................................2
DAFTAR ISI.........................................................................................3
BAB I....................................................................................................4
PENDAHULUAN.................................................................................4
A. Latar Belakang.................................................................................4
B. Rumusan Masalah............................................................................6
C. Tujuan Rumusan Masalah................................................................6
BAB II...................................................................................................7
PEMBAHASAN...................................................................................7
A. Mashlahah Mursalah........................................................................7
B. Istishab...........................................................................................24
C. Syar’u Man Qoblana......................................................................34
D. Qaul Shahabi..................................................................................41
BAB III................................................................................................57
PENUTUP...........................................................................................57
KESIMPULAN...................................................................................57
SARAN...............................................................................................58
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................59
3
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
syariat islam.
4
ajaran Islam terutama yang dikembangkan oleh akal pikiran manusia,
diwajibkan kepada masyarakat atau kelompok masyarakat.
B. Rumusan Masalah
6
BAB II
PEMBAHASAN
A. Mashlahah Mursalah
1. Pengertian Mashlahah Mursalah Menurut Bahasa
Dari segi bahasa, kata maslahah adalah seperti lafazh al-
manfaat, baik artinya ataupun wajan-nya (timbangan kata), yaitu
kalimat mashdar yang sama artinya dengan kalimat ash-Shalah,
seperti halnya lafuzh al-manfaat sama artinya dengan al-naf 'u. Bisa
juga dikatakan bahwa al-mashlahah itu merupakan bentuk tunggal
(mufrad) dari kata al-mashalih. Pengarang Kamus Lisan Arab
menjelaskan dua arti, yaitu mashlahah yang berarti shalah dan
mashlahah yang berarti bentuk tunggal dari mashalih. Semuanya
mengandung arti adanya manfaat baik secara asal maupun melalui
suatu proses, seperti menghasilkan kenikmatan dan faedah, ataupun
pencegahan dan penjagaan, seperti menjauhi kemadaratan dan
penyakit. Semua itu bisa dikatakan mashlahah.
Manfaat yang dimaksud oleh pembuat hukum syara' (Allah)
adalah sifat menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan hartanya
untuk mencapai ketertiban nyata antara Pencipta dan makhluk-Nya.
Manfaat itu adalah kenikmatan atau sesuatu yang akan
mengantarkan kepada kenikmatan. Dengan kata lain, tahshil al-ibqa.
Maksud tahsil adalah penghimpunan kenikmatan secara langsung,
sedangkan yang dimaksud dengan ibqa adalah penjagaan terhadap
af kenikmatan tersebut dengan cara menjaganya dari kemadaratan
dan sebab- sebabnya.
7
Dengan demikian, Maslahah Mursalah adalah suatu
kemasalahatan yang tidak mempunyai dasar dalil, tetapi juga tidak
ada pembatalnya. Jika terdapat suatu kejadian yang tidak ada
ketentuan syari'at dan tidak ada illat yang keluar dari syara' yang
menentukan kejelasan hukum kejadian tersebut, kemudian
ditemukan sesuatu yang sesuai dengan hukum syara', yakni suatu
ketentuan yang berdasarkan pemeliharaan kemadaratan atau untuk
menyatakan suatu manfaat, maka kejadian tersebut dinamakan
Mashlahah Mursalah. Tujuan utama Maslahah Mursalah adalah
kemaslahatan; yakni memelihara dari kemadaratan dan menjaga
kemanfaatannya. Sedangkan alasan dikatakan al-mursalah, karena
syara memutlakkannya bahwa di dalamnya tidak terdapat kaidah
syara' yang menjadi penguatnya ataupun pembatalnya.1
1
Prof. Dr. H. Juhaya S. Praja, Ilmu Ushul Fiqih, 2015, CV PUSTAKA SETIA, h. 117
8
nikah tersebut memiliki kemaslahatan. Akan tetapi,
kemaslahatan tersebut tidak di dasarkan pada dalil yang
menunjukkan pentingnya pembuatan akte nikah tersebut.
Kemaslahatan ditinjau dari sisi ini disebut maslahah
mursalah (maslahah yang terlepas dari dalil khusus),
tetapi sejalan dengan petunjuk-petunjuk umum syari’at
islam.
b. Melihat sifat yang sesuai dengan tujuan syara (al-washf
al- munasib) yang mengharuskan adanya suatu ketentuan
hukum agar tercipta suatu kemaslahatan. Misalnya surat
akte nikah tersebut mengandung sifat yang sesuai dengan
tujuan syara, antara lain untuk menjaga status keturunan.
Akan tetapi, sifat kesesuaian ini disebut munsib mursalah
(kesesuaian dengan tujuan syara yang terlepas dari dalil
syara yang khusus).
c. Melihat proses penetapan hukum terhadap suatu
maslahah yang ditunjukkan oleh dalil khusus. Dalam hal
ini adalah penetapan suatu kasus bahwa hal ini diakui sah
oleh slah satu bagian tujuan syara proses seperti ini
disebut istishlah (menggali dan menetapkan suatu
maslahah).
Apabila hukum itu ditinjau dari segi yang pertama, maka dipaka
istilah Mashlahah Mursalah. Istilah ini yang paling terkenal. Bila
ditinjau dari segi yang kedua, dipakai istilah munasib mursal.
Istilah tersebut digunakan oleh Ibnu Hajib dan Baidawi (Al-Qadhi
Al- Baidhaw :135). Untuk segi yang ketiga dipakai istilah istishlah,
yang dipaka Al-Ghazali dalam kitab Al-Mustasyfa (Al-Ghazali :
9
311),
10
atau dipakai istilah Istidal mursal, seperti yang dipakai Al-Syatibi
dalam kitab Muwafaqat (Al-Muwafaqat, Juz 1:39).
11
khusus, tetapi termasuk pada petunjuk umum dari beberapa dalil
syara'.
12
mempunyai penguat atau pembatal. Hal tersebut tidak masuk
dalam kategori jauh dari penguat dan pembatal. Selain itu, juga
tidak termasuk Mashlahah Mursalah segala kemaslahatan yang
bertentangan dengan mash atau qiyas yang sahih, baik
pertentangannya secara umum maupun mutlaq. Karena semua
pertentangan terhadap keduanya terdapat penguat untuk
membatalkannya, maka tidak sah untuk dikatakan mursal.
2
Prof. Dr. H. Juhaya S. Praja, Ilmu Ushul Fiqih, 2015, CV PUSTAKA SETIA, h. 118-121
13
3. Objek Mashlahah Mursalah
14
kalangan para ulama. Berdasarkan pendapat yang lebih kuat,
dinyatakan bahwa tidak sah mengambil masalah yang
menggunakan Mashlahah Mursalah karena tidak ada dalil yang
mengisyaratkannya.
Di antara para ulama, tidak ada seorang pun yang menyangkal
pendapat di atas, kecuali Imam Malik. Di bawah ini akan
diterangkan pendapat beberapa orang ulama dalam kitab Ushul
tentang Mashlahah Mursalah:
1. Al-Amidi berkata dalam kitab Al-Ihkam, IV: 140, "Para
ulama dari golongan Syafi'i, Hanafi dan lain-lain telah
sepakat untuk tidak berpegang kepada istishlah, kecuali
Imam Malik, dan dia pun tidak sependapat dengan para
pengikutnya. Para ulama tersebut sepakat untuk tidak
memakai istishlah dalam setiap kemaslahahan. kecuali
dalam kemaslahatan yang penting dan khusus secara
qath Mereka tidak menggunakannya dalam
kemaslahatan yang tidak penting, tidak berlaku umum,
serta tidak kuat.
2. Menurut Ibnu Hajib, sesuatu yang tidak ada dalilnya itu
disebut mursal. Akan tetapi kalau gharib atau ada
pembatalnya maka dalil itu tertolak secara sepakat.
Adapun bila dalilnya sesuai, maka imam Al-Ghazali
memakainya, dia menerimanya dari Asy-Syafi'i dan
Malik. Namun, yang lebih utama adalah menolaknya.
3. Imam Asy-Syatibi berkata dalam kitab Al-Istifham, II :
111-112 Pendapat tentang adanya maslahah mursalah
itu
15
telah diperdebatkan di kalangan para ulama, yang dapat
dibagi dalam empat pendapat:
a) Al-Qadhi dan beberapa ahli menolaknya dan
menganggap- nya sebagai sesuatu yang tidak ada
dasarnya.
b) Imam Malik menganggapnya ada dan
memakainya secara mutlak.
c) Imam Asy-Syafi'i dan para pembesar golongan
Hanafiyah memakai Mashlahah Mursalah dalam
permasalahan yang tidak dijumpai dasar
hukumnya yang sahih. Namun mereka
mensyaratkan dasar hukum yang mendekati
hukum yang sahih. Hal itu senada dengan
pendapat Al-Juwaini.
d) Imam Al-Ghazali berpendapat bahwa bila
kecocokannya itu ada dalam tahap tahsin atau
tajayyun (perbaikan), tidaklah dipakai sampai ada
dalil yang lebih jelas. Adapun bila ber- ada pada
martabat penting boleh memakainya, tetapi harus
memenuhi beberapa syarat. Dia pun berkata,
jangan sampai para mujtahid menjauhi untuk
melaksanakannya. Namun pendapatnya berbeda-
beda tentang derajat pertengahan: yakni martabat
kebutuhan. Dalam kitab Al-Mustasyfa, dia
menolaknya, namun dalam kitab Syafa'u al-
Ghalil, dia menerimanya (Al-Mustasyfa, 1:141)
16
Dengan melihat beberapa pendapat ulama di atas
jelaslah bahwa hanya Imam Malik yang menerima
istishlah secara mutlak.3
3
Prof. Dr. H. Juhaya S. Praja, Ilmu Ushul Fiqih, 2015, CV PUSTAKA SETIA, h. 122-123
17
dengan istishlah, mereka tida mengakuinya dan hanya
menganggap bahwa mereka telah berdali dengan istihsan
dan 'urf yang
Berdasarkan hal tersebut dapat diketahui bahwa para
ulama telah mengeluarkan berbagai istinbath hukum
dengan cara istishlah yang sama artinya dengan istihsan
menurut Imam Abu Hanifah.
18
dapar menarik manfaat dan menolak madarat bagi umat
manusia Berbeda halnya apabila hanya sebagian saja
yakin akan adanya kemaslahatan itu, misal nya tentang
kemaslahatan dari larangan talak oleh suami dan
kemudian hak itu diserahkan secara mutlak kepada hakim
semata. Yang demikian bukanlah kemaslahatan hakiki
melainkan kemaslahatan imajinatif yang hanya akan
meng hancurkan kehidupan keluarga dan masyarakat.
2) Kemaslahatan itu hendaknya bersifat universal dan tidak
parsial Sebagai contoh ialah apa yang dikemukakan oleh
Al-Ghazali yaitu: Kalau dalam suatu pertempuran
melawan orang kafir mereka membentengi diri dan
membuat pertahanan melalui beberapa orang muslim
yang tertawan. sedang orang kafir tersebut dikhawatirkan
akan melancarkan a agresi dan dapat menghancurkan
kaum muslimin mayoritas maka penyerangan terhadap
mereka harus dilakukan, meskipun akan mengakibatkan
kematian beberapa orang muslim yang sebenarnya harus
dilindungi keselamatan jiwanya. Hal ini berdasarkan
pertimbangan ke pentingan umum dengan tetap
mementingkan Suatu kemenangan dan ketahanan.
3) Hendaknya kemaslahatan itu bukan kemaslahatan yang
mulgha (aboriset, concellod) yang jelas ditolak oleh nas.
Sebagai contoh dari kemaslahatan yang ngha ini adalah
fatwa Imam Yahya bin al Yaisy, salah seorang murid
Imam Malik dan ulama fiqih Andalusia pada salah
seorang
19
rajanya pada waktu itu. Difatwakannya bahwa bagi raja
apabila ia ber- buka puasa dengan sengaja pada bulan
Ramadan la tidak boleh tidak harus memenuhi kafarat
ber- puasa dan dua bulan berturut-turut. Dia berfatwa
tanpa memberikan pemilihan (tahkyur) antara me-
merdekakan budak atau berpuasa sebagaimana dipegangi
oleh Imam Malik dan tidak pula dengan memerdekakan
budak an sich sebagaimana di- pegangi oleh ulama-ulama
yang lain karena dia menganggap bahwa kemaslahatan
akan dapat dicapai hanya dengan itu. Dan menurut dia,
maksud kafarat tidak hanya memberikan pelajaran
kepada orang yang melakukan pelanggaran agar ia tidak
mau lagi mengulangi perbuatannya. Dan khusus bagi
seorang raja maksud ini dapat dicapai hanya dengan
mengharuskan dia memenuhi kafarat berupa puasa yang
memberatkan, sedang me merdekakan budak baginya
tidak mempunyai pengaruh apa-apa karena tidak
memberatkan. Namun demikian pendapat ini oleh
kebanyakan ulama dinilainya sebagai fatwa yang
berlandaslan kepada pertimbangan kemaslahatan yang
mulgha karena nas Al-Qur’an menunjuk kepada kafaran
itu tidak mengatakan deskriminasi antara raja dan
lainnya.4
4
Dr. H. Saifudin Zuhri, M.A, Ushul Fiqih Akal Sebagai Sumber Hukum Islam, 2011, PUSTAKA
PELAJAR, h. 101-103
20
6. Pembagian Maslahah
21
c) Akal, untuk maksud in Islam antara lain mensyariatkan
larangan minum-minuman keras dan segala sesuatu yang
dapat menisik akal, dan menjatuhkan hukuman bagi
setiap orang yang melangganya dan lain sebagai nya.
d) Keturunan, untuk maksud in Islam mensa ratkan larangan
perzinaan menuduh zna terhadap perempuan muhsonat,
dan menjatuhkan pidana bagi setiap orang yang
melakukannya.
e) Harta, untuk maksud ini Islam mensyari'a kan larangan
mencuri dan menjatuhka pidana potong tangan bagi
setiap orang yang melakukannya, begitu pula larangan rib
bagi setiap orang yang membuat rusak atas hilangnya
barang orang lain dan lain sesesebagainya.
2. Maslahah "Jalbul masalih" dan sering disebut pula dengan
hajiyaat," yang dimaksud dengan hajiyaat ini adalah segala
sesuatu yang sifatnya merupakan kebutuhan sekunder bagi
manusia yang seharusnya dilakukan usaha pemenuhannya jika
dalam kehidupannya tidak diinginkan timbul berbagai kesulitan,
kepicikan dan kemaksiatan Status dan urgensi kemaslahatan ini
ada pada tingkatan di bawah daruriat di atas. Untuk perwujudan
kemaslahatan ini antara lain Islam mensyari'atkan hukum-
hukum keringanan dalam berbagai lapangan, misalnya
menggasar dan menjama' salat dalam perjalanan, tayamum di
waktu tidak ada air, membeli barang dengan cara pesanan
dengan cara memberikan identitasnya. Menghilangkan
kesulitan, kepicikan dan ke masaqatan hidup memang termasuk
sebagian dari dasar-
22
dasar pembinaan hukum Islam yang selamanya harus
diperhatikan. Allah berfirman pada (QS. Al-Maidah: 6).
3. Tahsiniyaat juga sering disebut dengan "at tatami yat yang
dimaksud tahsiniyat adalah segala sesuatu yang merupakan
kebutuhan komplemen- ter bagi manusia yang sebaiknya
dilakukan usaha pemulihannya jika diinginkan suatu
kesempurna- an dan kelengkapan dalam kehidupan Status dan
urgensi kemaslahatan ini ada pada tingkatan di bawah hajiyaat.
Untuk mencapai ini Islam mensyari'atkan ke tentuan etis
hubungan horisontal dalam masyaraka pranata-pranata dan
berbagai tingkah laku yang baik dan terpuji menurut pandangan
akal yang sehat. Allah berfirman pada (QS al-A’raf: 32).5
7. Dasar Hukum
Para ulama yang menjadikan maslahat sebagai salah satu dalil syar
menyatakan bahwa dasar hukum maslahat mursalah, ialah:
5
Dr. H. Saifudin Zuhri, M.A, Ushul Fiqih Akal Sebagai Sumber Hukum Islam, 2011, PUSTAKA
PELAJAR, h. 104-107
23
sempitlah kehidupan manusia, Dalil itu ialah dalil yang dapat
menetapka mana yang merupakan kemaslahatan manusia dan
mana yang tidak sesuai dengan dasar-dasar umum dari agama
Islam. Jika hal itu telah ada, maka dapat direalisasi
kemaslahatan manusia pada setiap masa. keadaan dan tempat.
2. Sebenarnya para sahabat, tabi'in, tabi'it tabi'in dan para ulama
yang datang sesudahnya telah melaksanakannya, sehingga
mereka dapat segera menetapkan hukum sesuai dengan
kemaslahatan kaum muslimin pada masa itu. Khalifah Umar
telah menetapkan talak yang dijatuhkan tiga kali sekaligus jatuh
tiga, padahal pada masa Rasulullah Saw. hanya jatuh satu,
Khalifah Utsman telah memerintahkan penulisan Al-Qur'an
dalam satu mushaf dan Khalifah Ali pun telah menghukum
bakar hidup golongan Syi'ah Radidhah yang memberontak,
kemudian diikuti oleh para ulama yang datang sesudahnya.6
6
Dr. H. Ahmad Sanusi, M.A., Ushul Fiqh, 2015, PT RAJA GRAFINDO PERSADA, h. 80-81
24
B. Istishab
7
Imron Rosyadi, Muhammad Muinudinnillah Basri, Usul Fikih Hukum Ekonomi Syariah,
25
Muhammadiyah
University Press, 2020 hal 99
26
sebagai “Tetapnya sesuatu selama belum ada dalil lain yang
mengubahnya.” Senada dengan itu definisi diberikan oleh ‘Ali ‘Abd
al- Kafi al Subki sebagai “Menetapkan hukum atas masalah hukum
yang kedua berdasarkan hukum yang pertama karena setelah
dilakukan kajian yang komprehensif tidak ditemukan dalil yang
mengubah-nya.
27
Sementara sisi dalil hukum, berkaitan dengan sisi waktu
sebagaimana disebut di atas. Dalil hukum pada masa lampau akan
tetap dilestarikan pada masa sekarang dan akan datang manakala tidak
ada yang mengubahnya. Pengetahuan tentang dalil menjadi hal penting
bagi aplikasi istiṣḥab. Istiṣḥab, dalam hal ini mengacu pada definisi-
definisi di atas, menurut Aḥmad Muḥammad Musarawah mempunyai
tiga rukun (sesuatu yang wajib ada), sebagai berikut:
Hal ini agak berbeda dengan pendapat Muḥammad Taqi al-Ḥakim yang
menyatakan bahwa istiṣḥab mempunyai tujuh rukun yaitu:
28
6) Adanya pertaitan waktu antara hal yang diyakini dengan yang
diragukan, dan
7) Keyakinan tersebut lebih dahulu ada sebelum keraguan.
yaitu:
29
2. Macam-Macam Istiṣḥab
Istiṣḥāb yang didasarkan pada hukum asal suatu yaitu mubah. Hal
ini didasarkan pada Surah Al-Baqarah Ayat 29 “Dialah yang
menjadikan segala yang ada di muka bumi ini untuk kalian”. Al-
Ṭabari memaknai ayat tersebut bahwa segala sesuatu yang ada di
bumi ini diciptakan oleh Allah SWT. Untuk manusia agar
digunakan demi kebaikan dan kemaslahatan mereka. Pernyataan
segala yang ada di bumi diperuntukkan bagi kebaikan manusia
dimaknai ‘Abd al- Wahhab Khallaf bahwa segala yang ada dibumi
boleh untuk dimanfaatkan. Kata al-Ashya’ dimaknai lebih kepada
urusan muamalah. Sehingga dalam hal yang bersifat muamalah
segala hal boleh dilakukan sampai ada dalil yang menghendaki
ketidakbolehannya. Dapat dipahami pula bahwa dalam bidang
muamalah, hukum Islam lebih bersifat fleksibel dan lentur. Ijtihad
terbuka lebar dalam ranah ini. Berbeda dengan ranah ibadah yang
pada asalnya adalah haram dilakukan sampai ada petunjuk untuk
melakukannya. Dalam bidang ibadah tidak ada inovasi, melainkan
tunduk dan patuh.
30
وى²˜ ت يْل ٍ ء ْرع ضج ِم ْي ًعا يم خَل تٍٍۗ ق كه ْم ك ِ ِلِّف هس عَّل لي م
ُث َّماس ْش ا و َول َو ِب َّما ْب َوا ِذس
س ِْا َلل س َم firman Allah
ّٰوىهن
ۤا ِءف
“Dialah yang menjadikan segala yang ada di muka bumi ini untuk
kalian.” (Q.S. al-Baqarah: 29).8
Pada ayat diatas dapat diartikan bahwa mencari rezeki adalah hak
setiap orang selama halal dan tidak ada dalil yang menunjukkan
bahwa hukumnya haram.
31
8
Akhmad Haries, Maisyarah Rahmi, Ushul Fikih: Kajian Komprehensif Teori, Sumber Hukum Dan
Metode Istinbath Hukum, Bening Media Publishing, 2021 hal 124
32
3) Istishab an-nasbsbi Istishab Maqlub (pembalikan) / Istishab Al-
Hukmi
9
Moh. Mufid, Ushul Fiqh Ekonomi dan Keuangan Kontemporer, Kencana, 2018 hal 102
10
Efendi Sugianto, Istishab Sebagai Dalil Syar,I dan Perbedaan Ulama Tentang kedudukannya,
Studia Vol.
5, No. 1 (2020) hal 6
33
Dalam hal ini pula, al-Syafi’i mengeluarkan kaidah bahwa suatu
hukum yang ditetapkan berdasarkan keyakinan tidak akan luntur
kecuali telah muncul keyakinan baru yang mengubahnya. Arak
yang semula secara meyakinkan dihukumi haram manakala telah
berubah menjadi cuka maka menjadi halal. Berubah menjadi cuka
adalah keyakinan baru yang mengubah keyakinan lama tentang
keharaman arak.
35
tersebut menunjukkan bahwa segala sesuatu hukumnya boleh
sebelum ada dalil yang mengharamkannya.11
Dalil ‘aqli
3) Ijma’
4) Menggunakan logika.
b. Istishab tidak dapat dijadikan sebagai hujjah dalam segi hukum. Para
ulama hanafiyah menambahkan dalil sebagai penguat pendapat mereka,
diantaranya yaitu:
11
Umar Muhaimin, Metode Istidladan Istishab (Formulasi Metodelogi Ijtihad), Vol 8, No 2 hal 341
36
1) Penggunaan istishab diartikan dengan melakukan sesuatu
tanpa dalil yang menyertainya artinya istishab merupakan
sesuatu yang batil karenasesuatu yang tidak disertai dalil
hukumnya batil.
2) Istishab dapat menyebabkan pertentangan antar dalil
karena jika seseorang dapat menetapkan hukum atas
istishab, maka orang lain juga dapat menetapkan hukum
atas istishab juga dan hal ini merupakan babatil
c. Istishab merupakan hujjah yang tidak dapat untuk menetapkan
hukum baru.
Dalam ketiga pendapat para ulama tersebut terlihat jelas bila pendapat
pertama lebih kuat
37
C. Syar'u Man Qoblana
1. Pengertian Syar'u Man Qoblana
Syar'u Man Qablana adalah syariat atau ajaran-ajaran para nabi
12
sebelum diutusnya Rasuullah SAW. Syariat-syariat mereka
secara prinsipil adalah satu Allah SWT berfirman:
"Dia telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah
diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan
kepadamu dan apa yang telah Kamiwasiatkan kepada Ibrahim,
Musadan Isa Yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu
berpecah belah tentangnya. Aamt berat bagi orang-orang musyrik
agama yang kamu seru mereka kepadan ya Allah men arik kepada
agama itu o rang yang dikehendaki- Nya dan memberi petunjuk
kepada (agama)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya). (QS.Asy-
Syura: 13)."
Untuk lebih jelas selanjutnya perlu diungkapkan apa yang
dimaksud dengan syar'un man qablana, dapat ditemukan definisinya
sebagaimana dikemukakan oleh Abd al-Karim Zaidan sebagai
“Hukum-hukum yang disyariatkan Allah Swt bagi umat-umat
terdahulu yang diturunkan syariat tersebut kepada para nabi dan
rasul_nya untuk disampaikan kepada umatnya”. 13
Dengan demikian syar'un man qablana berarti syariat yang Allah
turunkan kepada Nabi dan rasul, sebelum nabi Muhammad SAW
sejak Adam AS hingga Isa AS sebagai syariat yang dipraktekan oleh
umat- umat terdahulu.14
12
Satria Effendi, Ushul Fiqh Jakarta Kencana Prenada Media Group, 2005), Hal 162-163, Cet
DJPG
13
Abd al-Karim Zaidan, al-Wajȋz Fȋ Ushȗ al-Fiqh, (Beirut: Muasasah al-Risâsalah,2015), h. 247.
14
Masduki(2009) syariat di hadapan nabi muhammad (syar'u man qablana) sebagai bukti hukum
sara'
38
2. Macam-macam Syariat Terdahulu
Al-Quran dan Hadis juga mengisahkan hukum-hukum Syar'i yang
diyariatkan Allah kepada umat terdahulu sebelum kita. Ada hukum-
hukum syar'i yang disampaikan kepada umat Nabi Muhammad SAW
yang telahdisampaikan juga kepada umat dahulu kala. Syariat-syariat
terdahulu ada kalanya tidak berbeda dari apa yang disyariatkan kepada
15
kita berupa peraturan-peraturanyang wajib kita pahami. Mengenai
syariat terdahulu dalam hubungannya dengan syariat umat
Muhammad SAW, maka syariat sebelum kita dibagi dua;
1. Syariat yang telah dihapuskan oleh syari'at kita
Jika Al-Quran atupun hadis telah menerangkan tentang syariat umat
terdahulu dan dijelaskan pula bahwa syariat itu telah dihapus, maka
tidak boleh dijalankan.
2. Syariat yang tidak dihapuskan, bagian ini dibagi menjadi dua;
a.Syariat yang ditetapkan oleh syariat kita, bagian ini tanpa
diperselisihkan dan harus kita amalkan karena bagian ini
termasuk syariat kita
b. Syariat yang tidak ditetapkan syariat kita, bagian ini dibagi dua:
1). Syariat yang diceritakan kepada kita, baik melaui al-Qur'an
atau Hadis Nabi tetapi tidak tegas diwajibkan atas kita
sebagaimana diwajibkan atas umat sebelum kita seperti yang
disebut dalam al-Qur'an "kami wajibkan atas mereka (bani
Israil) dalam kitab taurat, bahwa jiwa dibalas dengan jiwa,
mata
15
Abdul Wahab Khallaf. Ilmu Ushul Fiqih akarta Rine ka Cip to, 1990) Hal 109, Cet.
39
dengan mata, hidung dengan hidung telinga dengan telinga,
gigi dengan gigi dan luka-luka sebagai qisas. (QS.al-Maidah
45)
16
Satria Effendi, Ushul Fiqh (Jakarta Kencana Prenada Media Group, 2005), Hal 163, Cel. DJPG
4
ke dalam empat kaidah yang tidak disepakati oleh para ulama
Ushul.Pendapat mereka dapat dikelompokkan sebagai berikut:
1. Jumhur ulama Hanafiyah dan Hanabilah dan sebagian Syafi’iyah
dan Malikiyah serta ulama kalam Asy’ariyah dan Mu’tazilah
berpendapat bahwa hukum-hukum syara’ sebelum kita dalam
bentuk yang ketiga tersebut di atas tidak berlaku untuk kita (umat
Nabi Muhammad) selama tidak dijelaskan pemberlakuannya
untuk umat Nabi Muhammad. Alasannya adalah bahwa syariat
sebelum kita itu berlaku secara umum. Lain halnya syariat yang
dibawa Nabi Muhammad sebagai Rasul terakhir yang berlaku
secara umum dan menasakh syariat sebelumnya.
2. Sebagian sahabat Abu Hanifah, sebagian ulama Malikiyah,
sebagian sahabat Imam Syafi’i dan Imam Ahmad dalam salah
satu riwayat mengatakan bahwa hukum-hukum yang disebutkan
dalam Alquran atau Sunah Nabi meskipun tidak diarahkan untuk
umat Nabi Muhammad selama tidak ada penjelasan tentang
17
nasakhnya, maka berlaku pula untuk umat Nabi Muhammad.
Sehubungan dengan pendapat tersebut, ulama Hanafiyah
memberlakukan hukum qishash yang seimbang sebagaimana
tersebut dalam surat Al-Maidah: 45 bagi umat Islam, meskipun
ayat tersebut diarahkan kepada orang Yahudi. Berdasarkan
pendapat ini orang muslim yang membunuh kafir dzimmi dikenai
qishash sebagaimana orang kafir dzimmi membunuh orang
Islam. Sedangkan kalangan ulama Syafi’iyah yang tidak
memberlakukan syariat umat Yahudi itu untuk umat Islam
memahami ayat tersebut bahwa tidak perlu ada
17
Yazid, I. (2017). Analisis Teori Syar’u Man Qablana. Al-Mashlahah Jurnal Hukum Islam dan
Pranata Sosial, 2(04). hal. 376
4
keseimbangan dalam pelaksanaan qishash antara mushlim dan
non-muslim sebagaimana yang diberlakukan terhadap orang
Yahudi. Oleh karena itu, bila orang muslim membunuh kafir
dzimmi, maka tidak diberlakukan hukum qishash. Tetapi bila
kafir dzimmi yang membunuh orang Islam, maka diberlakukan
qishash. Sebenarnya perbedaan pendapat dalam soal qishash itu
tidak semata disebabkan oleh perbedaan
pendapat dalam hal pemberlakuan syariat sebelum
kita tersebut, tetapi ada beberapa faktor (pertimbangan) lainnya.
Meskipun dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat, namun
yang berpendapat bahwa syariat sebelum kita itu dapat
menjadi syariat bagi kita adalah bukan karena ia adalah
syariat sebelum kita tetapi karena ia terdapat dalam Alquran
dan Sunah Nabi yang harus dijadikan pedoman.
Demikian, kedudukannya sebagai salah satu sumber hukum
Islam tidak berdiri sendiri.18
Nabi Muhammad Saw. sampai usia 40 tahun belum menerima
risalah dari Allah . untuk diberlakukan bagi umatnya. Selama
masa menjelang menerima risalah itu, apakah beliau beramal
mengikuti syariat agama sebelumnya atau tidak? Dalam hal ini
ulama ushul berbeda pendapat, yaitu;
a. Sebagian ulama, termasuk Abu Husein al-Bashri,
berpendapat bahwa Nabi Muhammad tidak pernah mengikuti
syariat manapun dari syariat nabi-nabi sebelumnya ketika
beliau belum menerima wahyu. Alasannya karena sekiranya
Nabi Muhammad beramal dengan salah satu syariat yang
dibawa
4
18
Ibid. Hal 377
4
Nabi dan Rasul sebelumnya tentu akan ada penukilan dari
beliau dan akan dikenal luas (populer) tentang beramalnya
dengan syariat itu, serta Nabi Muhammad sendiri akan
bergabung dan berbaur dengan sesama umat yang
menjalankan syariat tersebut.
b. Pendapat ini dikuatkan oleh Sidi Nazar Bakry yang mengutip
para Jumhur Mutakalimin dan sebagian ulama Malikiyah
mengatakan bahwa Nabi sebelum diutus menjadi Rasul tidak
terikat dengan peraturan/syari’at sebelum Islam, karena jika
Nabi Saw. terikat dengan syari’at sebelum Islam, maka akan
ada dalil yang menunjukkannya.19
Menurut para ulama Mu'tazilah, Syi'ah, sebagian
kalangan syafi'iyah dan salah satu pendapat Ahmad bin
Hambal bahwa syariat sebelum Islam yang disebut dalam Al-
Quran tidak menjadi syariat bagi umat Nabi Muhammad
SAW kecuali ada ketegasan untuk itu.20Diantara alasan
mereka ialah: Firman Allah SWT;
"Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Quran dengan
membawa kebenaran, membenarkan apa yang
sebelumnya, Yaitu Kitab-Kitab (yang diturunkan
sebelumnya) dan hatu ujian21 terhadap Kitab-Kitab yang
lain itu, Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa
19
Sidi Nazar Bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh, cet. 4 (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2003), hal.
239.
20
Satria Effendi, Ushul Fiqh,(Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2005), Hal 166, Cet. III
21
Maksudnya: Al Quran adalah ukuran untuk menentukan benar tidaknya ayat-ayat yang
diturunkan dal
Kitab-Kitab sebelumnya
4
yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti
hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran
yang telah datang kepadamu. untuk tiap-tiap umat
diantara kamu22 Kami berikan aturan dan jalan yang
terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu
dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak
menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, Maka
berlomba-lombalah berbuat kebajikan hanya kepada
Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-
Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu
(QS. Al-Maidah: 48)
4
22
Maksudnya: umat Nabi Muhammad saw, dan umat-umat yang sebelumnya
23
Sarria Effendi. Ushul Fiqh (Jakarta: Kencana Premada Media Group, 2005), Hal 168, Cet. III
4
merupakan petunjuk bagi umat Islam menunjukkan berlakunya bagi
umat Muhammad SAW.24
D. Qaul Shahaby
1.Definisi Qaul Shahaby
24
Ibid. Hal 168
25
Abdul Wahhab Khallaf, ‘Ilmu Ushul al-Fiqh, h. 706.
26
Nasrun Haroen, Ushul Fiqh I, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001) h. 155.
27
Musthafa Sa’id al-Khinni, Asar al-Ikhtilaf Fi al-Qawa’id al Ushuliyah Fi Ikhtilaf al-Fuqaha’, h. 530.
4
Menurut Ulama Ushuliy (ahli Ushul al-Fiqh) :“Orang-orang yang
bertemu dan beriman kepada Nabi Muhammad saw. serta hidup
bersamanya dalam waktu yang cukup lama sehingga dengan demikian
mereka disebut Shahaby secara ‘urf”28
Menurut Wahbah al-Zuhail : “Shahaby menurut jumhur Ushulliy
adalah orang yang bertemu dengan Rasulullah dalam waktu yang
cukup lama serta meyakini kerisalahannya. Sedangkan menurut
jumhur ulama Hadis, Shahaby adalah orang islam yang bertemu
dengan Rasulullah dan mati dalam keadaan islam baik lama atau tidak
masa persahabatannya.”29
28
Chairul Umam, Ushul Fiqh, h. 180.
29
Zakariya al-Anshory, Ghoyatu al-Wushul, (Semarang: Maktabah Thoha Putra Semarang), h.
104.
4
kemenangan yang besar”. Ayat ini merupakan pernyataan pujian dari
30
Allah Swt . Bagi para sahabat Rasulullah saw lantaran merekalah
orang-orang yang pertama kali masuk Islam. 3 golongan yang
mendapat pujian dari Allah Swt.
1. Para sahabat yang lebih dahulu masuk Islam dari kalangan
Muhajirin, yaitu sahabat yang berhijrah bersama Rasulullah dan
rela meninggalkan rumah-rumah mereka serta daerah mereka.
2. Para sahabat yang lebih dahulu masuk Islam dari kaum Anshar,
yaitu para sahabat yang menolong Rasulullah dari kaum kafir.
3. Orang-orang yang mengikuti jalan para sahabat, yaitu orang
yang beriman pada Allah dan Rasul-Nya serta berhijrah dari
agama lain ke agama Islam untuk mencari ridla Allah Swt.
Dengan demikian, dapat diketahui bahwa makna al-Shahaby
tidak hanya terfokus pada sahabat Muhajirin saja akan tetapi
juga para kaum Anshar. 31
Makna dari kata al-Shahaby bisa lebih melebar lagi kalau merujuk
pada pernyataan al-Sya’by. Beliau mengatakan bahwa kata al-Sabiqun
itu juga mencakup pada orangorang yang mati syahid dalam perang
Bai’ah al-Ridhwan atau biasa dikenal dengan perang Hudaibiyah. Dari
keterangan-keterangan yang telah disebutkan di atas, menunjukkan
bahwa dalam Alquran telah menjelaskan tentang Qaul Shahabi
walaupun masih bersifat universal. Alquran juga tidak menjelaskan
secara qhat’i, baik perintah maupun larangan secara langsung untuk
mengikuti Qaul Shahabi. Dari ini, wajar sekali kalau berdampak pada
30
Syekh al-Thabari, Jami’ al-Bayan fi Ta’wili al-Qur’an, Maktabat al-Syamilah, h. 101
31
Abu Muhammad Hasan al-Baghawy, Ma’alim al-Tanzil, Maktabat al-Syamilah, h. 203.
4
perbedaan pendapat di kalangan para ulama tentang kehujjahan Qaul
Shahabi.
32
Diantara Khlafa’ur yaitu Rasydin Syadina Abu Bakar al-Shiddiq, Sayidina Umar bin Khattab,
Sayidina Utsman bin Affan dan Sayidina ‘Aly
5
menunjukkan kehujjahan Qaul Shahabi hanya tertentu pada
pendapat empat orang dari Khulafa al-Rasyidin saja.
Sedangkan dari sahabat yang lain tidak dapat dijadikan hujjah.
Adapun hadis yang diriwayatkan Abu Daud menjelaskan: “Para
Sahabatku bagaikan bintang-bintang, siapa pun di antara mereka yang
33
kalian ikuti, maka kalian akan mendapatkan petunjuk”. Dari hadis
riwayat Abu Daud ini, memberikan pemahaman bahwa semua sahabat
Rasulullah dapat dijadikan petunjuk tanpa terkecuali. Dengan
demikian, umat Islam bisa mengikuti pendapat semua sahabat dan
tidak hanya tertentu pada sahabat Khulafa al-Rasyidun maupun
sahabat lalainnya.
33
Musykil al-Atsar li al-Thahawi, Maktabat al Syamil
5
aku tidak pernah berpaling dari perkataan para sahabat ke perkataan
yang lain”. Dalam hal ini, Abu Hanifah tidak menentukan satu
pendapat saja dari pendapat para sahabat sebagai hujjah, beliau bebas
mengambil pendapat yang dikehendaki tetapi tidak memperbolehkan
menentang pendapat mereka secara keseluruhan.
34
Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, (Beirut: Dar alFikr, 1995), h. 216
5
1. Madzhab al-Shahabi tidak bisa dijadikan hujjah. Abdul Wahhab
berpendapat bahwa inilah yang benarbenar dikehendaki oleh
Mazhab Imam Malik. Karena beliau pernah menegaskan atas
kewajiban berijtihad dan mengikuti hasil nalar yang benar. Dan
Abdul Wahhab berkata, di kalangan Sahabat Malikiy tidak
terdapat komentar tentang benar dan salahnya pendapat pertama
ini.
2. Mazhab alShahabi bisa dijadikan hujjah. Tentang pendapat
yang kedua ini, para Ushuli golongan Malikiyah dan lainnya
hampir mengatakan bahwa keterangan ini dari Imam Malik
sendiri. Secara zahir sesungguhnya pendapat ini diambil dari
kitab Muwattha’: bahwa Imam Malik kebanyakan
35
menyandarkan hukum-hukum terhadap Mazhab al-Shahabi.
Dan Ibnu Qayyim juga berpendapat bahwa dengan
menggunakannya Imam Malik terhadap Mazhab al-Shahabi
dalam kitab Muwattha’, ini merupakan bukti kehujjahan
Mazhab al-Shahabi”.
Dari uraian redaksi ini menunjukkan bahwa walaupun tidak ada
teks langsung dari Imam Malik tentang kehujjahan Qaul Shahabi,
namun mayoritas Ulama Ushul al-Fiqh Malikiyah menyatakan Qaul
Shahabi sebagai hujjah syar’iyyah. Argumen ini berpegang pada kitab
Muwattha’ yang kebanyakan hukumnya memang bersandar pada Qaul
Shahabi. Sedangkan Abdul Wahhab Khallaf yang notabenenya
merupakan ulama Hanafiyah menyatakan bahwa Qaul Shahabi
bukanlah hujjah dengan argumen, Imam Malik menyatakan bahwa
kita
5
35
Abdur-Rahman bin Abdullah as-Sya‘lany, Ushul Fiqh alImam Malik, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th),
h.1113-111
5
diwajibkan berijtihad dan sebagaimana diketahui bahwa Qaul Shahabi
itu tidak mutlak benar, adakalanya salah ada kalanya benar.
5
36
Muhammad Idris al-Syafi’i, al-’Umm, (Beirut: Dar alFikr, 1999), h 247
37
hairul Umam, Ushul Fiqh, h.183
5
kami paparkan, bahwa dalam qaul jadid secara qath’i Imam Syafi’i
mengambil pendapat-pendapat para sahabat yang telah disepakati. Jika
pendapat-pendapat mereka masih diperselisihkan, Imam Syafi’i
mengambil pendapat sahabat yang paling mendekati Alquran dan
sunah”. 38
Dari kedua redaksi diatas sangat jelas bahwa Imam Ahamad ibn
Hambal juga mengambil Madzhab al-Shahabi sebagai hujjah. Menurut
38
Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, (Beirut: Dar al Fikr, 1995), h. 216
39
Wahbah Al-Zuhaili, Uhsul al-Fiqh al-Islami, h. 153
5
Ibn al-Qayyim menjelaskan bahwa pendapat para sahabat lebih
mendekati Alquran dan sunah dibanding pendapat para ulama yang
hidup sesudah mereka Dengan argument bahwa para sahabat lebih
mengetahui isi kandungan Alquran dan sunah dari pada pendapat
ulama sesudahnya. 40
40
Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, h. 213.
5
berbeda dengan pendapat sahabat, maka untuk lebih berhati-hati yang
kita ikuti adalah pendapat para sahabat.
6
41
terhadap Rasulullah saw. baik perbuatan dan tingkah laku,
ucapann, tujuan dan menyaksikan turunnya wahyu serta ta’wil dan
tafsirnya secara kongkrit. Dengan demikian, mereka mempunyai
pemahaman terhadap alquran dan sunah yang lebih mendalam
dibanding yang kita pahami. Fatwa-fatwa sahabat yang didasarkan
atas kemungkinan yang lima ini dapat dijadikan sebagai hujjah.
6. Mungkin fatwa tersebut berasal dari pemahaman sahabat sendiri
yang tidak beasal dari hadis Rasulullah saw. dan ternyata
pemahaman tersebut salah. Fatwa sahabat yang bersumber dari
kemungkinan ini tidak dapat dijadikan hujjah. Tapi kemungkinan di
atas dapat dipastikan lebih banyak terjadi dibanding satu
kemungkinan ini. Oleh sebab itu, fatwa sahabat mempunyai
kedudukan zhanni yang lebih mendekati kebenaran. Yang dituntut
dalam fatwa sahabat, hanyalah sampai pada tingkat zhanni yang
kuat yang harus diamalkan.
Para ulama yang berpandangan kehujjahan Qaul Shahabi
sebagai dalil syar’i terbatas hanya sahabat-sahabat tertentu saja.
Beberapa pendapat mereka adalah sebagai berikut:
41
Ibnu al-Qayyim al-Jauziyah. I’lam al-Muwaqqi’in, (Dar alFikr, 2000), Jilid I, h. 24
6
kurang dari segi kualitasnya dibandingkan pendahulunya, tetapi
karena setelah menjadi Khalifah ia memindahkan kedudukannya ke
Kuffah dan waktu itu para sahabat yang biasa menjadi nara sumber
bagi Khalifah dalam forum musyawarah pada masa sebelum Ali
sudah tidak ada lagi.
4. Pendapat dari para sahabat yang mendapat keistimewaan
pribadi dari Nabi menjadi hujjah dalm bidangnya masing-masing,
seperti Zaid ibn Tsabit dalam bidang faraid (hukum waris), Mu’az
ibn Jabal dalam bidang hukum di luar fara’id, dan Ali Ibn Abi
Thallib dalam masalah peradilan.42
Di kalangan ulama yang menerima kehujjahan Qaul Shahabi secara
mutlak sebagaimana Hadis riwayat Abu Daud di atas, Muncul
perbedaan dalam menempatkan pendapat sahabat apabila berhadapan
dengan qiyas:
42
Amir Syarifuddin. Ushul al-Fiqh, h. 384.
43
Muhammad Salam Madkur, al-Madkh li al-Fiqh al Islami h. 83
6
pembenturan diantara keduanya, maka harus didahulukan qiyas
atas Qaul Shahabi.
Beberapa Contoh Qaul Shahabi :
6
6. Di masa pemerintahan Umar bin Khattab, terjadi kelaparan
pada masyarakat di semenanjung Arab. Dalam keadaan
masyarakat ditimpa oleh bahaya kelaparan karena paceklik,
ancaman hukuman potong tangan terhadap pencuri tidak
dilaksanakan oleh Umar, ini berdasarkan pertimbangan keadaan
darurat dan kemaslahatan masyarakat.
7. Penambahan adzan shalat jum’at dan penyebaran Alquran yang
ber-Mushaf Utsmani pada masa khalifah Utsman bin Affan 44
8. Pendapat Ali bin Abi Thalib dan Zaid bin Tsabit tentang kakek
tidak mendapatkan harta warisan sebagaimana ayah
9. Fatwa siti Aisyah yang menjelaskan batas maksimal kehamilan
seorang perempuan selama dua tahun, ia mengungkapkan “
Anak tidak berada dalam perut ibunya lebih dari dua tahun”
10.Fatwa Anas bin Malik yang menerangkan tentang masa
minimal seorang wanita haid selama tiga hari.45
44
Fauzi, Sejarah hukum Islam ( Jakarta, Prenadamedia Group. 2018) h. 35
45
Firdaus, Ushul Fiqh, Metode Mengkaji dan Memahami Hukum Islam Secara Komprehensif
(Depok. PT RajaGrafindo Persada. 2017) h. 140
6
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
6
Syariat yang telah dihapuskan oleh syari'at kita dan Syariat yang tidak
dihapuskan.
B. SARAN
6
DAFTAR PUSTAKA
6
Qablana-Mazhab-Sahabat-dan-Sadd-as-Zari-ah-PDF, Diakses Pada
tanggal 6 April 2023.
Group. 2018.
Sidi Nazar Bakry, (2003),Fiqh dan Ushul Fiqh, cet. 4,Jakarta,PT Raja
Grafindo Persada.
Syafi’i, Muhammad ibn Idris al-. al-’Umm, Beirut: Dar al-Fikr, 1994.
6
Umam, Chairul. Ushul Fiqh, Jakarta: Gema Insani Pres, 2005.