Anda di halaman 1dari 26

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikumwarahmatullahiwabarakatuh.

Alhamdulillahirabbil‘alamin, Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah


SubhanahuWata’ala yang telah memberikan nikmat kesehatan, kesempatan, rahmat
dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyusun dan menyelesaikan makalah yang
berjudul SUMBER HUKUM ISLAM dengan tepatwaktu. Shalawat serta salam tak
lupa kami haturkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad Sallallahu Alaihi
Wasalam yang telah menerangi kita dari kegelapan menuju alamt erang benderang
seperti sekarang. Kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu dalam penyusunan makalah ini, terutama kepada Dosen Pengampu mata
kuliah Pendidikan Agama Islam yaitu Bapak Rusdiansyah As,S.Pd.I.,M.Pd.I.yang
telah member materi ini sehingga kami dapat memahami dan mempelajari materi
yang akan kita bahas dalam mata kuliah ini. Tak luput juga kami pahami betapa
pentingnya sumber bacaan yang telah membantu dalam memberikan informasi
yang telah menjadi bahan dalam makalahini. Kami menya dari bahwa masih
banyak kekurangan dan kesalahan dalam penyusunan dan penulisan makalah ini,
baik dari segi EYD, kosa kata, tata bahasa, etika maupun isi.Oleh karena itu, kami
sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari para pembaca untuk
kami jadikan bahan evaluasi. Demikian makalah ini dibuat, semoga bermanfaat dan
dapat diterima sebagai ide atau gagasan untuk menambah wawasan ilmu agama
Islam.

Banjarmasin, September 2018

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................... i

DAFTAR ISI ................................................................................................... 2

BAB I PENDAHULUAN .............................................................................. 3

A. Latar belakang ..................................................................................... 3


B. Rumusan Masalah ............................................................................... 4
C. Tujuan ................................................................................................. 4

BAB II PEMBAHASAN ............................................................................... 5

A. Pengertian sumber hokum islam ......................................................... 5


B. Sumber-sumber hukum islam ............................................................. 8
Al-Quran ............................................................................................. 8
Al-Hadist ............................................................................................. 12
Ar-Ra’yu ............................................................................................. 15

Bab III PENUTUP ........................................................................................ 22

A. Kesimpulan .......................................................................................... 22
B. Saran ..................................................................................................... 22

Daftar pustaka ............................................................................................... 23

2
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Jika kita berbicara tentang hukum, yang terlintas dalam fikiran kita adalah
peraturan-peraturan atau seperangkat norma yang mengatur tingkah laku manusia
dalam suatu masyarakat, yang dibuat atau ditegakkan oleh penguasa atau manusia
itu sendiri seperti hukum adat, hukum pidana dan sebagainya.
Berbeda dengan sistem hukum yang lain, hukum islam tidak hanya hasil
pemikiran yang dipengaruhi oleh kebudayaan manusia disuatu tempat pada suatu
massa tetapi dasarnya ditetapkan oleh allah yang melalui wahyunya yang terdapat
dalam Al-Qur’an dan dijelaskan oleh nabi Muhammad sebagai rasulnya melalui
sunah beliau yang terhimpun dalam kitab hadist. Dasar inilah yang membedakan
hukum islam secara fundamental dengan hukum yang lain.
Adapun konsepsi hukum islam, dasar dan kerangka hukumnya ditetapkan
oleh Allah. Hukum tersebut tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan
manusia lainnya dan benda dalam masyarakat, dan hubungan manusia dengan
benda serta alam sekitarnya.
Sumber hukum adalah segala sesuatu yang melahirkan atau menimbulkan
aturan yang mempunyai kekuatan yang bersifat mengikut yaitu peraturan yang
apabila dilanggar akan menimbulkan sangsi tegas.
Al-Qur’an dan As-sunnah merupakan sumber hukum islam, sebagaimana
para ulama juga bersepakat bahwa Al-Qur’an dan As-sunnah merupakan sumber
hukum islam. Oleh karena itu penting kiranya kita umat muslim untuk
mempelajari sumber hukum islam ini yang nantinya akan berbuah tindakan
bukannya pengetahuan.

3
B. Rumusan Masalah
1. Apa itu pengertian sumber hukum Islam?
2. Apa saja macam-macam sumber hukum Islam?
3. Apa yang dimaksud Al-Qur’an, Al-Hadits dan Ar-ra’yu?
4. Apa saja metode Ar-ra’yu dan pengertian setiap metodenya?
5. Apa saja kedudukan sumber hukum Islam?

C. Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk menyelesaikan tugas mata
kuliah mengenai sumber hukum islam, sekaligus untuk memperluas wawasan
penyusun serta pembaca khususnya mengenai sumber-sumber hukum islam.
Semoga dengan diselesaikannya makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca
untuk menambah pengetahuan agar bisa diamalkan dalam kehidupan sehari-hari,
serta menambah semangat umat muslim untuk selalu mengeksplorasi serta
meningkatkan ilmu agama.

4
BAB II

PEMBAHASAN

A.PENGERTIAN SUMBER HUKUM ISLAM

Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia ( poerwadarminta, 1976:976)


sumber adalah asal sesuatu. Sumber hukum islam adalah asal (tempat
pengambilan) hukum Islam. Kadang-kadang disebut dalil hukum islam atau
pokokhukumislam atau dasar hukum islam( M. Tolchah Mansoer, 1980, 24;
Mukhtar Yahya, 1979:21).

Menurut riwayat, pada suatu ketika Nabi Muhammad mengirimkan seorang


sahabatnya ke Yaman (dari Madinah) untuk menjadi gubernur di sana. Sebelum
berangkat, Nabi Muhammad mengunjungi sahabatnya yang bernama Mu’az bin
Jabal itu, dengan menanyakan sumber hukum yang akan dipergukannya kelak
untuk memecahkan berbagai masalah dan atau sengketa yang dijumpai di daerah
baru itu. Pertanyaan itu dijawab oleh Mu’az dengan mengatakan bahwa dia akan
menggunakan al-Qur’an. Jawaban tersebut disusul oleh Nabi dengan pertanyaan:
jika tidak terdapat petunjuk khusus (mengenai suatu masalah) dalam al-Qur’an
bagaimana ? Mu’az menjawab : saya akan mencarinya dalam sennah Nabi. Nabi
bertanya lagi: kalau engkau tidak menemukan petunjuk pemecahannya dalam
sunnah Nabi, bagaimana ? Mu;az menjawab : Jika demikian, saya akan berusaha
sendiri mencari sumber pemecahannya dengan menggunakan ra’yu atau akal
saya dan akan mengikuti pendapay saya it. Nabi sangat senang atas jawaban
Mu’az tersebut dan berkata: Aku bersyukur kepada Allah yang telah menurunkan
utusan Rasul-Nya (H.M. Rasjidi, 1980:456).

Dari hadis Mu’az bin Jabal tersebut di atas, dapatlah di simpulkan bahwa (a)
sumber hukum Islam ada tiga, yaitu (1) al-Qur’an,(2) as-Sunnah, dan (3) akal
pikiran manusia yang memenuhi syarat untuk berijtihad. Akal pikiran ini, dalam
perpustakaan hukum Islam, disebut juga dengan istilah ar-ra’yu atau pendapat

5
orang atau pendapat orang-orang yang memenuhi syarat untuk menentukan nialai
norma (kaidah) pengukuran tingkah-laku manusia dalam segala hidup dan
kehidupan. Selain itu, dari hadis Mu’az bin Jabal itu pula kita dapat
menyimpulkan (b) beberapa hal yaitu (1) al-Qur’an bukanlah kitab hukum yang
memuat kaidah-kaidah hukum secara lengkap terperinci. Ia umumnya hanya
memuat kaidah-kaidah hukum fundamental yang harus dikaji dengan teliti dan
dikembangkan oleh pemikiran manusia yang memenuhi syarat untuk diterapkan
dalam masyarakat, (2) Sunnah Nabi Muhammad dalah al-Hadits pun, sepanjang
yang mengenai soal muamalah yaitu soal hubungan antara manusaia dengan
manusia lain dalam masyarakat, pada umumnya, hanya mengandung kaidah
kaidah umum yang harus dirinci oleh orang yang memenuhi syarat untuk dapat
diterapkan pada atau dalam kasus-kasus tertentu, (3) Hukum Islam yang terdapat
dalam al-Qur’an dan as-Sunnah atau al- Hadits itu perlu dikaji, dirinci lebih lanjut,
(4) Hakim (atau penguasa ) tidak boleh menolak untuk menyelesaikan sengketa
yang disampaikan kepadanya dengan berijtihad, melalui berbagai jalan ( metode),
cara atau upaya.

Muhammad Idris as-Syafi’I (767-820 M) yang terkenal dengan panggilan


kehormatan Iman Syafi’i, setelah labih dari se abad Nabi Muhammad wafat,
dalam priode pembinaan, pengembangan dan pembukuan hikum islam
dipermukaan Khalifah Abbasiyah (750-1258), atas permintaan Abdurrahman bin
Mahdi, menyusun sesuatu teori tentang sumber- sumber hukum Islam dalam
sebuah buku yang bernama Kitab al-Risala fi Usulnal Fiqh. Menurut pendapat
Syafi’I dalam buku tersebut, dalam buku tersebut, sumber hukum Islam ada empat
yaitu (1) al-Qur’an, (2) as Sunnah atau al- Hadits, (3) al- Ijma. Dan (4) al-Qiyas.
Pendapat as-Syafi’I ini didasarkan pada al-Qur’an surat an- Nisa (4) ayat 59:

‫الر سُ و َل َو أ ُو لِ ي‬َّ ‫ط ي ع ُوا‬ ِ َ ‫َّللا َ َو أ‬ ِ َ ‫ي َا أ َي ُّ َه ا ال َّ ِذ ي َن آ َم ن ُوا أ‬


َّ ‫ط ي ع ُوا‬
َّ ‫ي ٍء ف َ ُر د ُّو ه ُ إ ِ ل َ ى‬
ِ ‫َّللا‬ ‫ع ت ُ أم ف ِ ي شَ أ‬ ‫أاْل َ أم ِر ِم نأ كُ أم ۖ ف َإ ِ أن ت َن َازَ أ‬

6
َ ِ‫اَّلل ِ َو الأ ي َ أو ِم أاْل ِخ ِر ۚ َٰذ َ ل‬
‫ك‬ َّ ِ ‫الر سُ و ِل إ ِ أن كُ نأ ت ُ أم ت ُ أؤ ِم ن ُو َن ب‬َّ ‫َو‬
‫يل‬ ً ‫َخ يأ ٌر َو أ َ أح سَ ُن ت َأ أ ِو‬

Artinya:

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri
di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-
benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama
(bagimu) dan lebih baik akibatnya”.

. Perkataan “taatilah Allah (dan) taatilah Rasul” dalam ayat tersebut menujuk
pada al-Qur’an dan as-Sunnah atau al-Hadist sebagai sumber hukum Islam.
Perkataan “dan (taatilah) orang-orang yang memegang kekuasan diantara kamu,”
menunjuk kepada al-Ijma sebagai sumber hukum. Sedangkan kata-kata “jika
kamu berbeda pendapat mengenai sesuatu, kembalikanlah kepada Allah dan Rasul
“ menunjuk kepada al-qiyas sebagai sumber hukum Islam ( Hasbi Ahs-
Shiddieqy,1953:50). Pendapat Syafi’i itu juga dimasukkannya untuk menautkan
pendapat Abu Hanifah yang menguatamakan akal pikiran atau ar-ra’yu, setelah al-
Qur’an, sebagai sumber hukum Islam dengan pendapat Malik bin Anas yang
mengutamakan.as-Sunnah atau al-Hadits setelah al-Qur’an , sebagai sumber
hukum. Perbedaan pendapat antara para pendiri mazhab ini, mengenai peringkat
sumber hukum setelah al-Qur’an disebabkan karena faktor lingkungan,
tersedianya nara sumber mengenai hadis dan tempat mereka berijtihad.

Ke-empat sumber hukum islam yang dsebutkan oleh Syafi’i ini disepakati oleh
para ahli hukum (mazhab) yang lain. Karena itu, syafi’i dianggap sebagai arsitek
agung, pembangunan (teori) ilmu pengetahuan hukum islam.

7
Istidal yang disebut juga sebagai sumber hukum islam dalam mazhab syafi’i ,
tidak disepakati oleh mazhap lain. Sama halnya dengan istihsan, istihsan dan ‘urf
yang dipergunakan oleh mazhab Hanafi serta al- masalih al – mursalah (akan
dijelaskan dibawah) yang dikemukakan oleh mazhab Maliki. Baik yang menyebut
tiga berdasarkan al-Qur’an surat 4:59 dan hadits Mu’az bin Jabal, maupun yang
yang merincinya menjadi empat berdasarkan ayat al-Qur’an yang sama dan
perumusan Syafi’i itu, sama-sama berpendapat bahwa sumber utama dan terutama
adalah al-Qur’an dan as-Sunnah atau al-Hadits. Sumber tambahan dan sumber
pengembangan hukum islam yang lain, pada hakikatnya juga sama , karena apa
yang disebut Syafi’i sebagai al-Ijma’ dan al-Qiyas itu sesungguhnya adalah jalan
atau metode atau cara lain yang dipergunakan oleh akal pikiran manusia, baik
sendirii-sendiri melakukan analogi (qiyas) maupun secara menemukan kaidah
hukum untuk diterapkan pada satu kasus tertentu.

B. SUMBER-SUMBER HUKUM ISLAM

Dari uraian yang telah disebutkan di atas dapat disimpulkan bahwa


sumber-sumber hukum Islam adalah

(1) Al-Qur’an
(2) As-Sunnah (Al-Hadits)
(3) Akal pikiran (ra’yu) manusia yang memenuhi syarat untuk berijtihad
karena pengetahuan dan pengalamannya, dengan mempergunakan
berbagai jalan (metode) atau cara, di antaranya:
(a) Ijmak
(b) Qiyas
(c) Istidlal
(d) Al-Masalih Al-Mursalah
(e) Istihsan
(f) Istishab
(g) ‘Urf

8
1. Al-Qur’an
Al-Qur’an adalah sumber hukum Islam pertama dan utama. Secara harfiah,
Al-Qur’an berasal dari bahasa Arab yaitu qara-a, yaqra-u, qur’aanan yang
artinya bacaan atau yang dibaca. Sedangkan secara maknawi, Al-Qur’an adalah
Kalam Allah SWT yang merupakan mukjizat yang diturunkan (diwahyukan)
kepada Nabi Muhammad SAW, yang ditulis di mushaf dan disampaikan secara
mutawatir, serta membacanya adalah ibadah.
Allah SWT menurunkan Al-Qur’an kepada Nabi Muhammad SAW
melalui perantara malaikat Jibril secara berangsur-angsur selama 22 tahun 2
bulan 22 hari, mula-mula di Mekkah kemudian di Madinah untuk menjadi
pedoman atau petunjuk bagi umat manusia dalam hidup dan kehidupannya agar
mencapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Al-Qur’an yang menjadi sumber
nilai dan norma umat Islam itu terbagi dalam 30 juz, 114 surah, 6236 ayat,
74.499 kata atau 325.345 huruf. Tentang jumlah ayat ada perbedaan pendapat
antara ahli ilmu Al-Qur’an. Ada ahli yang memandang 3 ayat tertentu sebagai
satu ayat, ada pula yang memandang 2 ayat tertentu sebagai satu ayat, karena
masalah koma dan titik yang diletakkan di antara ayat-ayat itu. Namun
demikian, jumlah kata dan suku kata yang mereka hitung adalah sama. Al-
Qur’an tidak disusun secara kronologis. Lima ayat pertama yang diturunkan di
gua Hira pada malam 17 Ramadhan atau pada malam Nuzulul Qur’an ketika
Nabi Muhammad SAW berusia 40-41 tahun, sekarang terletak disurah Al-‘Alaq
(96): 1-5. Ayat terakhir yang diturunkan di padang Arafah ketika Nabi
Muhammad SAW berusia 63 tahun pada tanggal 9 Dzulhijjah tahun ke-10
Hijrah, kini terletak di surah Al-Maidah (5):3.
Al-Qur’an bersifat universal. Universal dalam arti cakupan sasarannya
seluruh umat manusia tanpa dibatasi ras, suku, bangsa dan wilayah , serta
golongan atau srata social tertentu. Universal dalam arti masa berlakunya
sepanjang masa dan zaman tanpa dibatasi waktu sejak Nabi Muhammad SAW
sampai akhir zaman.
Oleh sebab itu, keluasan dan kelengkapan ajarannya, menjadikan Al-
Qur’an sebagai satu-satunya pedoman kehidupan yang dapat membawa manusia

9
pada keselamatan dan kebahagiaan lahir-batin, dunia akhirat. Dalam Al-Qur’an
terdapat petunjuk yang jelas dan nyata, bagaimana manusia harus hidup dan
menghadapi berbagai masalah kehidupan ini tanpa mengorbankan nilai-nilai
kemanusiaannya yang telah dianugerahkan Allah SWT kepadanya. Hal ini
sesuai dengan firman Allah SWT:

َ‫ي أ َ ْق َو ُم َويُبَ ِش ُر ْال ُمؤْ ِمنِينَ الَّذِين‬


َ ‫ِإ َّن َٰ َه َذا ْالقُ ْرآنَ يَ ْهدِي ِللَّتِي ِه‬
َ‫َي ْع َملُون‬

ً ِ‫ت أَ َّن لَ ُه ْم أ َ ْج ًرا َكب‬


‫يرا‬ ِ ‫صا ِل َحا‬
َّ ‫ال‬
Artinya:“Sesungguhnya Al-Qur’an ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang
lebih lurus dan memberi kabar gembira kepada orang-orang mukmin yang
mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka adalah pahala yang besar”. (Q.S.
Al-Isra (17): 9).

Karena fungsinya sebagai pedoman hidup, implikasinya Al-Qur’an adalah


dasar dan sumber hukum yang utama dan pertama. Ia adalah sumber dari segala
sumber hukum Islam. Ini artinya, segenap perilaku dan persoalan harus berdasar
pada Al-Qur’an. Begitu pula dalam penyelesaian masalah. Apabila dasar hukum
dan tata aturannya terdapat dalam Al-Qur’an, harus diselesaikan dulu sesuai
petunjuk Al-Qur’an. Bila terpaksa harus menggunakan sumber-sumber lain,
seperti hadis dan ijtihad, karena Al-Qur’an tidak mengungkapkannya secara
eksplisit, maka penggunaan sumber-sumber hukum itu pun tidak boleh
bertentangan apalagi menyalahi apa yang disyaratkan Al-Qur’an. Firman Allah
SWT:

10
‫ّللاُ ۚ َو ََل‬ َ ‫اس ِب َما أ َ َر‬
َّ ‫اك‬ ِ ‫اب ِب ْال َح‬
ِ َّ‫ق ِلتَ ْح ُك َم َبيْنَ الن‬ َ َ‫ِإنَّا أَ ْنزَ ْلنَا إِلَي َْك ْال ِكت‬
‫تَ ُك ْن‬

ِ ‫ِل ْلخَائِنِينَ خ‬
‫َصي ًم‬
Artinya:“Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan
membawa kebenaran, supaya kamu menghukumi antara manusia dengan apa
yang telah Allah wahyukan kepadamu. Dan janganlah kamu menjadi orang
penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang
berkhianat”.(Q.S. An-Nisa (4): 105).

Apabila terdapat perbedaan pendapat atau perselisihan mengenai hukum


suatu masalah, maka kembalikan kepada Al-Qur’an dan Hadits, sebagaimana
firman Allah:

‫سو ِل إِ ْن ُك ْنت ُ ْم‬ ُ ‫الر‬ ِ َّ ‫ش ْيءٍ فَ ُردُّوهُ ِإلَى‬


َّ ‫ّللا َو‬ َ ‫فَإِ ْن تَنَازَ ْعت ُ ْم فِي‬.....
‫يل‬ َ ‫اَّلل َو ْال َي ْو ِم ْاْل ِخ ِر ۚ َٰ َذ ِل َك َخي ٌْر َوأ َ ْح‬
ً ‫س ُن تَأ ْ ِو‬ ِ َّ ‫تُؤْ ِمنُونَ ِب‬
Artinya:“.....Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul-Nya (hadits), jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan Hari Kemudian. Yang Demikian itu lebih
utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”. (Q.S. An-Nisa (4):59).

Hukum-hukum Islam yang tercantum dalam Al-Qur’an pada umumnya


global dan umum, tidak detail dan tidak terperinci. Penjelasan dan detail atau
rinciannya dapat ditemukan pada hadits. Apabila hadits masih memerlukan
penjelasan, lihatlah keterangan para sahabat atau ulama-ulama terdahulu (salaf),
karena mereka lebih mengetahuinya. Atau, ulama-ulama khalaf dan mereka yang
memiliki wawasan dan pemahaman yang memadai tentang Islam.
Apabila dikaji secara mendalam, Al-Qur’an mengandung tiga komponen
dasar hukum, sebagaimana berikut ini:

11
1. Hukum I’tiqadiah, yakni hukum yang mengatur hubungan rohaniah
manusia dengan Allah SWT dan hal-hal yang berkaitan dengan
aqidah/keimanan. Hukum ini tercermin dalam Rukun Iman. Ilmu yang
mempelajarinya disebut Ilmu Tauhid, Ilmu Ushuluddin, atau Ilmu
Kalam.
2. Hukum Amaliah, yakni hukum yang mengatur secara lahiriah
hubungan manusia dengan Allah SWT, antara manusia dengan sesama
manusia, serta manusia, serta manusia dengan lingkungan sekitar.
Hukum amaliah ini tercermin dalam Rukun Islam dan disebut hukum
syara/syariat. Adapun ilmu yang mempelajarinya disebut Ilmu Fiqih.
3. Hukum Khuluqiah, yakni hukum yang berkaitan dengan perilaku
moral manusia dalam kehidupan, baik sebagai makhluk individual atau
makhluk sosial. Hukum ini tercermin dalam konsep Ihsan. Adapun
ilmu yang mempelajarinya disebut Ilmu Akhlaq atau Tasawuf.

Khusus hukum syara dapat dibagi menjadi 2 kelompok, yakni:


1. Hukum ibadah, yaitu hukum yang mengatur hubungan manusia
dengan Allah SWT, misalnya shalat, puasa, zakat, haji, dan
Qurban.
2. Hukum Muamalah, yaitu hukum yang mengatur manusia dengan
sesama manusia dan alam sekitarnya. Termasuk ke dalam hukum
muamalah adalah sebagai berikut:
 Hukum munakahat (pernikahan).
 Hukum faraid (waris).
 Hukum jinayat (pidana).
 Hukum hudud (hukuman).
 Hukum jual beli dan perjanjian.
 Hukum Al-Khilafah (tata negara/kepemerintahan).
 Hukum makanan dan penyembelihan.
 Hukum aqdiyah (pengadilan).
 Hukum jihad (peperangan).

12
 Hukum dauliyah (antarbangsa).
2. Al-Hadits
1) Pengertian Hadis
Secara etimologi, hadis mempunyai beberapa arti yang baru
(hadiid(un)), yang dekat (qariib(un)), dan warta/berita (khair(un)).
Sedangkan hadis secara terminologi adalah :
Segala ucapan Nabi SAW., segala perbuatan serta keadaan atau perilaku
beliau.

Sedangkan hadis menurut Muhadditsim adalah segala apa yang


disandarkan keada Nabi Muhammad SAW., baik itu hadis marfu’ (yang
disandarkan kepada nabi). Hadis mauquf( yang disandarkan kepada
sahabat). Ataupun hadis maqthu’ (yang disandarka kepada tabi’in).
Menurut Ushuliyyin. Hadis adalah segala sesuatu yang didasarkan
kepada Nabi SAW., selain Al-qur’an al-karim, baik berupa
perkataan,perbuatan, maupun takrir Nabi SAW. Yang bersangkut-paut
dengan hukum syara’.
Menurut Fuqaha, hadis adalah segala sesuatu yang ditetapkan Nabi
SAW. Yang tidak ada kaitannya dengan masalah-masalah fardu atau
wajib.

2) Macam-Macam Hadist Nabi SAW

1. Hadis Qauliyah, yaitu hadist yang didasarkan atas segenap perkataan dan
ucapan Nabi SAW.
Contohnya :

ِ ‫ِإنَّ َما اْأل َ ْع َمالِ ِبالنِيَّا‬


ِ‫ت‬
“Segala amalan itu mengikuti niat.” (H.R. Al Bukhary dan Muslim)

13
2. Hadist Fi’liyah, yaitu hadist yang didasarkan atas segenap perlakuan dan
perbuatan Nabi SAW.
Contohnya :

ِ‫ص ِل ْي‬ ِْ ِ‫صلُّ ْوا َك َما َرأَيْتم ْون‬


َ ‫يا‬ َ
“Sholatlah kamu sebagaimana kamu melihat saya sholat.” (H.R. Al
Bukhary dan Muslim dari Malik Ibnu Huwairis)
3. Hadist Taqririyah, yaitu hadist yang disandarkan pada persetujuan Nabi
SAW atas apa yang dilakukan para sahabatnya. Nabi membiarkan
penafsiran dan perbatan yang dilakukan sahabatnya atas suatu hukum
Allah dan Rasul-Nya. Diamnya Rasul menandakan kesetujuannya.
4. Hadist Hammiyah, yaitu yang berupa hasrat dan keinginan Rasul untuk
melakukan sesuatu tetapi belum sempat dilaksanakannya.

Para ulama Islam sepakat bahwa hadis adalah sumber hukum islam
kedua setelah Alquran. Siapa yang tidak mengakuinya atau mengingkarinya,
ia termasuk kafir. Golongan yang seperti ini disebut ingkar sunah dan
dinyatakan murtad. Firman Allah SWT :

‫َّ ُ َ َ َ ْ َ َ َ ه‬
َ‫اَّلل‬ ‫م ْن ُي ِط ِع الرسول فقد أطاع‬...
َ

Artinya : “ Barangsiapa yang mentaati Rasul, sesungguhnya ia telah mentaati


Allah.” (Q.S. An-Nissa’, 4:80)

Pada ayat yang lain, Allah berfirman:

َ ‫سو ُل فَ ُخذُوهُ َو َما نَ َها ُك ْم‬


ۚ ‫ع ْنهُ فَا ْنتَ ُهوا‬ َّ ‫و َما آتَا ُك ُم‬..
ُ ‫الر‬ َ
Artinya :“Apa yang diperintahkan Rasul kepadamu, makaambillah (kerjakan).
Apa yang dilarangya atasmu maka jauhilah.” (Q.S. Al-Hasyr, (59:7)

14
Fungsi hadis terhadap Alquran adalah:

 Mempertegas atau memperkuat hukum-hukum yang telah disebutkn


di dalam Alquran (Bayan wat-Tarqiq atau at-Ta’kid), misalnya,
keharusan berwudu ketika akan melaksanakan salat yang tercantum
dalam Surat Al-Maaidah ayat 6 diperkuat oleh hadis yang berbunyi:
“Tidak diterima salat seseorang yang berhadas sebelum wudu.”
(H.R. Bukhari)
 Menjelaskan, Menafsirkan, dan merinci ayat-ayat Alquran yang
masih umum dan samar (Bayan wat-Tafsir). Misalnya, dalam hal
salat. Alquran menegaskan wajibnya salat itu dilakukan syarat salat,
rukun, dan sunagnya. Itu semua diterangkan dalam hadis Nabi.
Begitu pula Zakat fitrah siapa yang wajib melakukannya, rukun dan
sunahnya, serta pelaksanaannya tidak dijelaskan secara detail dalam
Alquran. Itu semua hanya dapat ditemukan dalam hadis Nabi.
 Mewujudkan suatu hukum atau ajaran yang tidak tercantum di
dalam Alquran (Bayan wat-Tasyri). Namun, secara prinsip tidak
bertentangan dengan kandungan Alquran. Misalnya, masalah
menggosok gigi (siwak) yang disunahkan oleh Nabi Muhammad
SAW. Hal itu tidak terungkap secara eksplisit dan detail dalam
Alquran. Alquran hanya menegaskan masalah kebersihan secara
umum.

1. Ditinjau dari segi kuantatis ada 2 yaitu:

a. Bagian pertama adalah hadis mutawatir. Hadis mutawatir adalah hadis


yang diriwayatkan oleh sejumlah orang pada setiap tingkat sanad-nya,
yang menurut tradisi mustahil mereka bersepakat untuk berdusta, dan
karena itu diyakini bahwa hadis mutawatir betul-betul bersumber dari
Nabi SAW.

15
Para ulama sepakat bahwa hadis mutawatir merupakan sumber hukum
Islam kedua setelah Alquran, dan karenanya wajib diamalkan dalam
seluruh aspek, termasuk dalam bidang akidah.
Hadis mutawatir terbagi menjadi 2 macam ;pertama, mutawatir
lafdzi, kedua, mutawatir ma’na.
1. Mutawatir lafzi yaitu hadis mutawatir yang diriwayatkan oleh
rawi yang bayak dan mencapai syarat-syarat mutawatir
dengan redaksi dan makna hadis yang sama antara satu dan
yang lain.
2. Mutawatir ma’na yaitu hadis yang mempunyai tingkat derajat
mutawatir namun susunan redaksinya berbeda antara yang
diriwayatkan satu rawi dengan rawi yang lain, namun isi
kandungannya sama.

Menurut pendapat para ulama ahli hadis, bahwa tidak boleh ada keraguan
sedikit pun dalam memakai hadis mutawatir. Hadis mutawatir harus
diyakini dan dipercayai dengan sepenuh hati. Hal ini sama halnya dengan
pengetahuan kita tentang adanya udara, angin, api, air dan jiwa, yang tanpa
membutuhkan penelitian ulang kita sudah percaya akan keberadaannya,
jadi, dengan kata lain bahwa hukum hadis mutawatir adalah bersifat qar’i
(pasti)

b. Bagian kedua adalah hadis ahad. Hadis ahad adalah hadis yang tidak
memenuhi (mencapai) syarat-syarat mutawatir. Yang termasuk ke dalam
hadis ahad adalah :
1. Hadis Masyhur adalah hadis yang diriwayatkan oleh tiga rawi atau
lebih, tetapi belum mencapai derajat mutawatir.
2. Hadis Aziz adalah hadis yang diriwayatkan oleh dua orang rawi
pada satu tabaqat-nya (generasi), sekalipun setelah itu
diriwayatkan oleh sejumlah rawi.
3. Hadis Garib adalah hadis yang didalamnya sanad-nya hanya satu
orang rawi, di mana pun sanad itu terjadi.

16
Menurut Imam Syafi’i (150-204 H) hadis ahad dapat dijadikan hujah
(alasan hukum) apabila pe-rawi-nya memiliki empat syarat, yakni:
berakal, sehat, memiliki ingatan dan hafalan yang sempurna serta
menyampaikan hafalan itu kapan saja, mendengar langsung dari Nabi
SAW, dan tidak menyalahi pendapat para ulama hadis.

2. Di Tinjau dari segi kualitasnya

Terbagi menjadi 3 macam,yaitu

1. Hadist sahih adalah yang memenuhi persyaratan:


Sanad-nya bersambung,para periwayatnya bersifat adil,jujur,berakhlak
baik,tidak fasik,kuat ingatannya, dan kandungan hadist tidak janggal.
Hadist sahih diklarifikasikan mrnjadi dua, yaitu Sahih li Zatihi dan sahih li
gairihi.
Hukum hadist sahih adalah wajib, dan merupakan salah satu sumber
hukum syariat, sehingga tidak ada alasan untuk mengingakarinya.
2. Hadist Hasan, berasal dari kata al-husnayang berarti al-jamalu, yang
artinya kecantikan dan keindahan. Definisi yang lebih detailnya
dikemukakan oleh kebanyakan ulama hadist, yaitu:
“Hadist yang dinukil oleh seorang yang adil tetapi tidak begitu kuat
ingatannya,bersambung sanadnya,dan tidak terdapat cacat serta
kejanggalan pada matannya
Hukum memakai hadist hasan sama dengan hadist sahih.
3. Hadist Da’if, definisnya adalag:
“Hadist yang tidak memenuhi syarat diterimanya suatu hadist
dikarenakan hilangnya salah satu syarat dari beberapa syarat yang ada”

17
Dapat diartikan jika salah saru syarat dari beberapa syarat diterimanya
suatu hadist tidak ada,maka hadist tersebut di klarifikasikan ke dalam
hadist da’if.
Para ulama ada perbeadaan pendapat mengenai masalah hukum
menggunakan hasit da’if. Mayoritas ulama membolehkan mengambil
hadist da’if sebagai hujjah,apabila terbatas pada masalah fada’ilul ‘amal.

Selain macam-macam hadist tersebut,adapula namanya hadist


maudu(hadist palsu). Hadist ini merupakan sesuatu yang disandarkan
pada Nabi SAW,padahal sebenarnya,Bukan merupakan
perkataan,perbuatan, dan takrir Nabi SAW. Hadist maudu ini tidak boleh
diamalkan.
Salah saru contohnya:
“Sesungguhnya kapal Nabi Nuh bertawaf tujuh kali keliling ka’bah dan
sholat di makam Ibrahim dua rakaat”.

3. Akal Pikiran (al-Ra’yu atau ijtihad)


Sumber hukum Islam ketiga adalah akal pikiran manusia yang
memenuhi syarat untuk berusaha,berikhtiar dengan seluruh kemampuan
yang ada padanya memahami kaidah-kaidah hukum yang fundamental yang
terdapat dalah Al-Quran,kaidah-kaidah hukum yang bersifat umum yang
terdapat dalam hadist Nabi dan merumuskannya menjadi garis-garis hukum
yang dapat diterapkan pada suatu kasus tertentu.
Secara harfiah ra’yu berarti pendapat dan pertimbangan.
Sedangkan ijtihad berasal dari bahasa arab dari kata jahadaartinya
bersugguh-sungguh atau mencurahkan segala daya dalam berusaha(Othman
Ishak,1980:1). Dalam hubungannya dengan hukum, ijtihad adalah usaha
atau ikhtiar yang sungguh-sungguh dengan mempergunakan segenap
kemampuan yang ada.

Metode-metode berijtihad :

18
A. Ijma’
Ijma’ adalah persetujuan atau kesesuaian pendapat para ahli
mengenai suatu masalah pada suatu tempat di suatu masa. Persetujuan itu
diperoleh dengan suatu cara ditempat yang sama. Namun, kini sukar dicari
suatu cara dan sarana yang dapat dipergunakan utuk memperoleh
persetujuan seluruh ahli mengenai suatu masalah pada suatu ketika di
tempat yang berbeda. Ini sebabnya karena luasnya bagian dunia yang
didiami umat Islam, beragamnya sejarah, budaya dan lingkungannya.
Ijmak Hakiki hanya mungkin terjadi pada masa kedua Khulafur Rasyidin
(Abu Bakar dan Umar) dan sebagian-sebagian masa pemberontakan
khalifah yang ketiga (Usman). Sekarang ijmak hanya berarti persetujuan
atau kesesuaian pendapat suatu tempat mengenai tafsiran ayat-
ayat(hukum) tertentu dalam Al-Qur’an surat An-Nisa (4) ayat 3, dengan
syarat-syarat tertentu, selain dari kewajiban berlaku adil yang disebut
dalam ayat tersebut dituangkan dalam UU perkawinan.
B. Qiyas
Qiyas adalah menyamakan hukum suatu hal yang tidak terdapat
ketentuannya di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah atau Al-Hadis dengan
hal (lain) yang hukumnya disebut dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasul
(yang terdapat dalam kitab-kitab hadis) karena persamaan Illat (penyebab
atau alasan) nya. Qiyas adalah ukuran, yang dipergunakan oleh akal budi
untuk membanding suatu hal dengan hal lain. (H.M.Rasjidi, 1980:457).
Sebagai contoh dapat dikemukakan larangan meminum Khamar (sejenis
minuman yang memabukkan yang dibuat dari buah –buahan) yang
terdapat dalam Al-Qur’an surat Al-Maidah (5) ayat 90. Yang
menyebabkan minuman itu dilarang adalah illatnya yakni memabukkan.
Sebab minuman yang memabukkan, dari apapun ia dibuat, hukumnya
sama dengan khamar yaitu dilarang untuk diminum. Untuk menghindari
akibat buruk tersebut meminum minuman yang memabukkan itu, maka
dengan Qiyas pula ditetapkan semua minuman memabukkan (mibuk),
apapun namanya, dilarang diminum dan diperjualbelikan untuk umum.

19
C. Istidal
Istidal adalah menarik kesimpulan dari dua hal yang berlainan.
Misalnya menarik kesimpulan dari adat-istiadat dan hukum agama yang
diwahyukan sebelum Islam. Adat yang telah lazim di masyarakat dan
tidak bertentangan dengan hukum Islam (gono-gini atau harta bersama)
dan hukum agama yang diwahyukan sebelum Islam tetapi tidak
dihapuskan oleh syariat Islam, dapat ditarik garis hukumnya untuk
dijadikan hukum Islam. (A Sidik, 1982 :225)

D. Al-Masalih Al-Mursalah
Masalih Al Mursalah atau disebut juga maslahat mursalah adalah
cara menentukan hukum suatu hal yang tidak terdapat ketentuannya baik
di dalam Al-Qur’an maupun dalam kitab-kitab hadis, berdasarkan
pertimbangan kemaslahatan masyarakat atau kepentingan umum. Sebagai
contoh dapat dikemukakan pembenaran pemungutan pajak penghasilan
kemaslahatan atau kepentingan masyarakat dalam rangka pemerataan
pendapatan atau pengumpulan dana yang diperlukan untuk memelihara
kepentingan umum, yang sama sekali tidak disinggung di dalam Al-
Qur’an dan Sunnah Rasul (yang terdapat dalam kitab-kitab hadis). (A.
Azhar Basyir, 1983:3)

E. Istihsan
Istihsān adalah cara menentukan hukum dengan jalan menyimpang
dari ketentuan yang sudah ada demi keadilan dan kepentingan sosial.
Istihsān merupakan metode yang unik dalam mempergunakan akal pikiran
dalam mengesampingkan anologi yang ketat dan bersifat lahiriah demi
kepentingan masyarakat dan keadilan. Di dalam praktik, seorang ahli
hukum seringkali terpaksa melepaskan diri dari aturan yang mengikat
karena pertimbangan – pertimbangan tertentu yang lebih berat dan lebih

20
perlu diperhatikan. Istihsān adalah suatu cara untuk mengambil keputusan
yang tepat menurut suatu keadaan ( Ahmad Hasan, 1984:136). Misalnya,
hukum islam melindungi dan menjamin hak milik seseorang. Hak milik
seseorang hanya dapat dicabut kalau disetujui oleh pemiliknya. Dalam
keadaan tertentu, untuk kepentingan umum yang mendesak, penguasa
dapat mencabut hak milik seseorang dengan paksa, dengan ganti-kerugian
tertentu kecuali kalau ganti-rugi itu tidak memungkinkan. Contohnya
adalah pencabutan hak milik seorang atas tanah untuk pelebaran jalan,
pembuatan irigasi untuk mengairi sawah – sawah dalam rangka
meningkatkan kesejahteraan sosial (A. Azhar Basyir, 1983 : 3-4).

F. Istishab

Istisab adalah menetapkan hukum suatu hal menurut keadaan yang


terjadi sebelumnya, sampai ada dalil yang mengubahnya. Atau dengan
kata lain dapat dikatakan istisab adalah melangsungkan berlakunya hukum
yang telah ada karena belum ada ketentuan lain yang membatalkannya.
Contohnya :
a. A (pria) mengawini B (wanita) secara sah. A kemudian meninggalkan
istrinya tanpa proses perceraian. C (pria) melamar B yang menurut
kenyataannya tidak mampunyai suami. Walaupun B menerima lamaran
itu, perkawinan antara C dan B tidak dapat dilangsungkan karna setatus B
adalah (masih) istri A. Selama tidak dapat dibuktikan bahwa B telah
diceraikan oleh A selama itu pula setatus hukum B adalah istri A.
b. A mengadakan perjanjian utang-piutang dengan B. Menurut A utangnya
telah dibayar kembali, tanpa menunjukan suatu bukti atau saksi. Dalam
kasus seperti berdasarkan istisab dapat diterapkan bahwa A masih belum
bayar utangnya dan perjanjian itu masih tetap berlaku selama belum ada
bukti yang menyatakan bahwa perjanjian utang piutang tersebut telah
berakhir. (Mukhtar Yahya, 1979:121, A. Azhar Basyir, 1983:4).

21
G. ‘Urf
1. Pengertian
Secara etimologi Kata ‘Urf berarti “sesuatu yang dipandang baik dan
diterima oleh akal sehat”. Sedangkan secara terminologi seperti yang
dikemukakan oleh Abdul-Karim Zaidan,istilahn ‘urf berarti sesuatu
yang tidak asing lagi bagi satu masyarakat karena telah menjadi
kebiasaan dan menyatu dengan kehidupan baik berupa perbuatan
maupun perkataan.
2. Macam-macam ‘urf

Para ulama ushulfiqih membagi ‘urf menjadi 3 macam

1).Dari segi objek

a. al-‘urfal-lafzi : kebiasaan masyarakat dalam mempergunakan lafal


atau ungkapan tertentu dalam mengungkapkan sesuatu, sehingga makna
ungkapan itulah yang dipahami dan terlintas dalam pikiran masyarakat. .
Misalnya,ungkapan daging yang berarti daging sapi; padahal kata daging
mencakup seluruh daging yang ada.

b. al-‘urfal-amali : kebiasaan masyarakat yang berkaitan dengan


perbuatan biasa atau mu’amalahkeperdaan.Adapun misalnya dalam
mu’amalah salah satu contohnya adalah melakukan akad(tanda pengingat).

2). Dari segi cakupannya

a. al-‘urfal-‘am : kebiasaan tertentu yang berlaku secara luas di seluruh


masyarakat dan di seluruh daerah. Misalnya dalam jual beli mobil, seluruh
alat yang diperlukan untuk memperbaiki mobil seperti kunci, tang,
dongkrak, dan ban serep termasuk dalam harga jual, tanpa akad sendiri dan
biaya tambahan

22
b. al-‘urfal-khash : kebiasaan yang berlaku didaerah dan di masyarakat
tertentu. Contohnya tradisi suku Batak adalah tidak bolehnya menikah
laki-laki dan perempuan yang semarga, dikarenakan mereka menganggap
antara laki-laki dan perempuan itu masih mempunyai pertalian darah

3). Dari segi keabshannya

a. al-‘urfal-shahih : kebiasaan yang berlaku di tengah-tengah masyarakat


yang tidak bertentangan dengan nash ( ayat atau hadits), tidak
menghilangkan kemaslahatan mereka, dan tidak pula membawa mudharat
kepada mereka. Contohnya seperti tradisi masyarakat Aceh dan Indonesia
umumnya, menggunakan kain sarung dan kopiah/peci untuk shalat.
Ataupun tradisi masyarakat membuat kue-kue ketika hari raya Islam,
membawa kado atau hadiah pada acara walimatul ‘ursy (pesta
pernikahan), dan lain-lain.

b. al-‘urfal-fasid : kebiasaan yang bertentangan dengan dalil-dalil


syara’dan kaidah-kaidah dasar yang ada dalam syara’. Contohnya seperti
tradisi masyarakat yang menyajikan sesajen di kuburan atau di tempat-
tempat angker lainnya. Hal tersebut merupakan kemusyrikan dan sangat
bertentangan dengan dalil syara’, kebiasaan yang seperti inilah yang harus
diberantas dan tidak dapat dijadikan panutan.

3. Kedudukan dan kehujjahannya

Mengenai kehujjahan ‘urf, terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama


ushulfiqih, yang menyebabkan timbulnya dua golongan dari mereka:

23
1). Golongan hanfiyah dan Malikiyah berpendapat bahwa uruf adalah
hujjah untuk menetapkan hukum.

Alasan mereka ialah firman ALLAH SWT QS, Al-A’raf:199

ۡ ‫ُخذ ِۡٱل َع ۡف َو َو ۡأ ُم ۡر ِب ۡٱلعُ ۡرفِ َوأَ ۡع ِر‬


١٩٩‫ض َعنِ ۡٱل َٰ َج ِه ِلي‬
Artinya : “Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang orang mengerjakan
yang ma’ruf serta berpalinglah daripada orang orang yang bodoh”.

Dan ucapan sahabat Rasulullah saw., Abdullah bin Mas’ud berkata:

َ ‫س ٌن للاِ ِع أندَ فَ ُه َو َح‬


‫سنًا ال ُم أس ِل ُم أونَ َرآهُ فَ َما‬ َ ‫َما َو َح‬
َ‫س أيئًا َرآهال ُم أس ِل ُم أون‬
َ ‫س أي ٌء للاِ ِع أندَ فَ ُه َو‬
َ
“Sesuatu yang dinilai baik oleh kaum muslimin adalah baik di sisi Allah,
dan sesuatu yang dinilai buruk oleh kaum muslimin adalah buruk di sisi
Allah.”

2). Golongan Syafi’iyyah dan Hanbaliyah, keduanya tidak menganggap ‘urf itu
sebagai hujjah atau dalil hukum syar’i.

24
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari uraian tersebut di atas dapatlah disimpulkan bahwa sumber-
sumber hukum Islam ada 3,
(1) Al-Qur’an merupakan sumber utama dan terutama, memuat kaidah-
kaidah fundamental baik mengenai ibadah maupun mengenai
muamalah.
(2) Al-Hadits merupakan sumber hukum kedua, memuat kaidah-kaidah
umum dan penjelasan terinci terutama mengenai ibadah.
(3) Akal pikiran atau ra’yu yang dilaksanakan melalui ijtihad sebagai
sumber pengembangan.Dengan mempergunakan berbagai metode
penentuan garis-garis hukum untuk diterapkan pada kasus tertentu,
sumber hukum Islam yang ketiga ini sangat diperlukan dalam bidang
muamalah untuk menampung pertumbuhan dan perkembangan
masyarakat yang senantiasa berubah dari masa ke masa.

Secara umum, hukum Islam berorientasi pada perlindungan


terhadap agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Artinya hukum Islam
bertujuan pada pemeliharaan agama, menjamin, menjaga dan memelihara
kehidupan dan jiwa, memelihara kemurnian akal sehat dan menjaga
ketertiban keturunan manusia serta menjaga hak milik harta kekayaan
untuk kemaslahatan hidup umat manusia.

B. Saran
Kajian tentang makalah Sumber Hukum Islam ini akan
memberikan pengetahuan dan wawasan. Hal ini sangat penting agar para
pendidik dapat memahami dan pada gilirannya kelak terhadap dinamika
pendidikan itu sendiri. Demikian makalah ini dibuat mohon maaf jika
masih terdapat kekurangan.Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita
semua dalam memperdalam ilmu agama Islam.

25
DAFTAR PUSTAKA

Ali,Muhammad Daud: Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum
Islam di Indonesia.Edisi Keenam (Jakarta:PT RajaGrafindo Persada,1998).

Kemenag.2014.Al-Qur’an Hadits Madrasah Aliyah Kelas X Kurikulum


2013.Jakarta: Kementerian Agama.

Syamsuri.2004. Pendidikan Agama Islam SMA untuk Kelas X Kurikulum


2004.Jakarta: Erlangga.

26

Anda mungkin juga menyukai