Anda di halaman 1dari 14

PENALARAN ISTISHLAHI

Makalah Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah


USHUL FIQH

Dosen Pengampu :
Drs. H. M. Nawawi,M.Ag

Oleh :
Rikhatul Wardah (D91217129)
Rizkiyah Jihan M (D91217130)
Rosa Muthoharoh (D91217131)
Septiana Rahmawati (D91217135)

PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan taufik, hidayah, serta
inayah-Nya sehingga makalah yang berjudul “Penalaran Istilahi” dapat terselesaikan
dengan baik.
Makalah ini akan sulit terselesaikan tanpa adanya peran dari berbagai pihak yang
telah memberikan bantuan dan bimbingan kepada kami, maka dari itu kami
mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Drs. H. Nawawi, M.Ag selaku dosen pengampu yang telah memberikan
bimbingan hingga makalah ini dapat terselesaikan.
2. Kelompok kami yang telah bekerja sama dalam penyelesaian makalah ini.
Semoga atas bimbingan, dukungan dan bantuan dalam makalah ini akan
mendapatkan balasan dari Allah swt. Kami menyadari bahwa penyusunan makalah ini
masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu kritik dan saran yang membangun sangat
penulis harapkan.

Surabaya, 28 November 2019

Penulis

i
Daftar Isi

KATA PENGANTAR............................................................................................. 1

DAFTAR ISI............................................................................................................2

BAB I PENDAHULUAN........................................................................................3

A. Latar Belakang..............................................................................................3

B. Rumusan Masalah......................................................................................... 3

C. Tujuan Pembahasan...................................................................................... 3

BAB II PEMBAHASAN.........................................................................................4

A. Pengertian Mashlahat……………………………………………………….4

B. Macam-Macam Mashlahat...........................................................................6

C. Kedudukan Mashlahat dalam Penalaran Fiqh.......................................... 8

BAB III PENUTUP................................................................................................12

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................ 13

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sumber pokok hukum islam adalah Al-Quran dan sunah Pada masa Rasul,
manakala muncul suatu persoalan hukum, baik yang berhubungan dengan Allah maupun
kemasyarakatan, Allah menurunkan ayat-ayat Al-Quran untuk menjelaskannya. Rasul
sebagai Muballig, menyampaikan penhyampaian penjelasan ini kepada umatnya untuk di
ikuti. Kendati demikian, penjelasan Al-Quran tersebut tidak selamanya tegas dan
terperinci (tafsili), melainkan kebanyakan bersifat garis besar (ijmali), sehingga di
butuhkan lebih lanjut dari Rasul. Sebagai orang yang di beri wewenang menjelaskan di
satu sisi dan menghadapi realitas sosial yang berkembang di sisi lain, Rasul terkadang
harus menggunakan akal yang di sebut dengan ijtihad dalam penerapan hukum Islam.
Memperhatikan jenis-jenis metode penemuan hukum ataupun metode penerapan
hukum dalam ilmu hukum Islam (istinbath al-hukm) dan penerapan hukum (tathbiq
alhukm), dalam hukum Islam sebenarnya tidak jauh berbeda dengan metode penemuan
hukum dan penerapan hukum yang digunakan oleh praktisi hukum umum. Demikian pula
dengan metode yang diberlakukan dalam suatu negara menurut hukum Islam yang telah
dikemukan oleh para Juris Islam (fuqaha‟) dan sangat mendasar metode yang mereka
temukan, seperti pemahaman hukum yang terdapat dalam teks hukum dikaji dengan
metode seperti dengan metode hermeneutika maupun dari segi bahasanya yang disebut
Ushul Fikih.
Di dalam ilmu Ushul Fikih dirumuskan metode memahami hukum Islam dan
memahami dalil-dalil hukum yang mana dengan dalil-dalil tersebut dibangun hukum
Islam yang ketentuan hukum nya sesuai dengan akal sehat (a reasionable assumption).
Imam Syafi‟i contohnya mempunyai jasa dan andil yang besar sebagai pendiri atau guru
arsitek Ushul Fikih dalam kitabnya “Ar Risalah” yang tidak hanya karya pertamanya
membahasa Ushul Fikih, tetapi juga sebagai model bagi ahli-ahli hukum dan para
teorisasi yang muncul kemudian.
B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian Mashlahat?
2. Apa Macam-Macam Mashlahat?
3. Bagaimana Kedudukan Mashlahat dalam Penalaran Fiqh?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui Pengertian Mashlahat
2. Untuk mengetahui Macam-Macam Mashlahat
3. Untuk mengetahui Kedudukan Mashlahat dalam Penalaran Fiqh

3
BAB III
PEMBAHASAN

A. Pengertian Mashlahat
Maslahah, secara etimologi adalah kata tunggal dari al-masalih, yang
searti dengan kata salah, yaitu " mendatangkan kebaikan Terkadang digunakan
juga istilah lain yaitu al-islislah yang berarti " mencari kebaikan " Tak jarang kata
maslahah atau istislah ini disertai dengan kata al-munasib yang berarti "hal-hal
yang cocok, sesuai dan tepat penggunaannya.1
Adapun pengertian maslahah secara terminologi, ada beberapa pendapat
dari para ulama’, antara lain:
a. Imam Ghazali (madzab syafi’i), mengemukakan bahwa : al-maslahah pada
dasarnya adalah mengambil manfaat dan menolak ke-madharat dalam rangka
memelihara tujuan-tujuan syara’. Yang dimaksud Imam Al-Ghazali manfaat
dalam tujuan syara’ yang harus dipelihara terdapat lima bentuk yakni:
memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Dengan demikian yang
dimaksud mafsadah adalah sesuatu yang merusak dari salah satu diantara lima
hal tujuan syara’ yang disebut dengan istilah al-Maqāshi d al-Syari‘ah
menurut al-Syatibi. Imam Ghazali mendefinisikan maslahat sebagai berikut:
“Maslahat pada dasarnya ialah berusaha meraih dan mewujudkan manfaat
atau menolak ke-madharatan”.2
b. Jalaluddin Abdurrahman secara tegas menyebutkan bahwa maslahah dengan
pengertian yang lebih umum dan yang dibutuhkan itu ialah semua apa yang
bermanfaat bagi manusia baik yang bermafaat untuk meraih kebaikan dan
kesenangan maupun bermanfaat untuk menghilangkan kesulitan dan
kesusahan. Serta memelihara maksud hukum syara’ terhadap berbagai
kebaikan yang telah digariskan dan ditetapkan batas-batasnya, bukan
berdasarkan keinginan dan hawa nafsu manusia belaka.3

1
H.M. Hasbi Umar, Nalar Fiqh Kontemporer (Jakarta: Gaung Persada Press, 2007), 112.
2
Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1, (Jakarta: Logos Publishing House, 1996), 114.
3
Romli, Muqaranah Mazahib fil Ushul ,(Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999), 158.

4
c. Al-Kawarizmi, menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan al-maslahah
adalah memelihara tujuan syara’ dengan cara menghindarkan kemafsadahan
dari manusia. Dari pengertian tersebut, beliau memandang maslahah hanya
dari satu sisi, yaitu menghindarkan mafsadat semata, padahal kemaslahatan
mempunyai sisi lain yang justru lebih penting, yaitu meraih manfaat.4
d. Menurut Al-Thufi m a s }l a h }a h merupakan dalil paling kuat yang secara
mendiri dapat dijadikan alasan dalam menentukan hukum syara’.5
Dari beberapa arti ini dapat diambil suatu pemahaman bahwa setiap
sesuatu, apa saja, yang mengandung manfaat di dalamnya baik untuk memperoleh
kemanfaatan, kebaikan, maupun untuk menolak kemudaratan, maka semua itu
disebut dengan maslahah. Dalam konteks kajian ilmu ushul al-fiqh, kata tersebut
menjadi sebuah istilah teknis, yang berarti " berbagai manfaat yang dimaksudkan
Syari' dalam penetapan hukum bagi hamba-hamba-Nya, yang mencakup tujuan
untuk memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta kekayaan, serta
mencegah hal-hal yang dapat mengakibatkan luputnya seseorang dari kelima
kepentingan tersebut.6 Maslahah merupakan salah satu metode analisa yang
dipakai oleh ulama ushul dalam menetapkan hukum (istinbat) yang persoalannya
tidak diatur secara eksplisit dalam al-Qur'an dan al-Hadis Hanya saja metode ini
lebih menekankan pada aspek maslahat secara langsung.
Maslahah mursalah dalam pengertiannya dapat dimaknai dengan sesuatu
yang mutlak. Menurut istilah para ahli ilmu ushul fiqhi ialah suatu kemaslahatan,
di mana syari'ah tidak mensyariatkan suatu hukum untuk merealisir kemaslahatan
itu dan tidak ada dalil yang menunjukkan atas pengakuan dan penolakannya. 7
Maslahah mursalah biasa ditemukan dengan melalui metode islislah, dan ini
menjpakan dasar (sumber) hukum Islam Menurut istilah para fuqaha, islislah
adalah hukum (yang ditetapkan) karena tuntutan maslahat yang tidak didukung
maupun diabaikan oleh dalil khusus, tetapi sesuai dengan maqashid al-Syari'ah al-
Ammali (tujuan umum hukum Islam). Istislah merupakan jalan yang ditempuh
4
Ibid, 368.
5
Ibid, 369.
6
H.M. Hasbi Umar.
7
Abd. Wahab Khallaf, Vm Ushul al-Fiqhi (Jakarta : Majelis ATa li Indonesiyyin li al-Dakwah al-lslamiyah, 1973),
116.

5
hukum Islam untuk menerapkan kaidah-kaidah dan perintah-perintahnya terhadap
berbagai peristiwa baru yang tidak ada nashnya. juga menjadi jalan dalam
menetapkan aturan yang harus ada dalam kehidupan umat manusia, agar sesuai
dengan maqashid al-Syari 'ah al-Ammah, dalam rangka menarik kemaslahatan,
menolak kemafsadatan dan menegakkan kehidupan sempurna mungkin.8
Maslahah mursalah adalah pengertian maslahat secara umum, yaitu yang
dapat menarik manfaat dan menolak mudarat, serta yang direalisasikan oleh syari
at Islam dalam bentuk umum. Nash-nash pokok ajaran Islam telah menetapkan
kewajiban memelihara kemaslahatan dan memperhatikannya ketika mengatur
berbagai aspek kehidupan. Pembuat syara' (Allah swt dan Rasul-Nya) tidak
menentukan bentuk-bentuk dan macam-macam maslahat, sehingga maslahat
seperti ini disebut dengan mursalah, yaitu mutlak tidak terbatas. Apabila sebuah
maslahat didukung oleh nash, seperti menuliskan al-Qur'an supaya tidak hilang,
mengajar membaca dan menulis, atau terdapat nash yang mendukungnya, seperti
kewajiban mengajarkan dan menyebarkan ilmu, perintah mengajarkan segala
kebaikan yang diperintahkan syara' dan larangan mengerjakan segala macam
kemungkaran yang dilarang syara', maka maslahah semacam ini disebut maslahah
mansus (maslahah yang ada nashnya), maslahah jenis ini tidak termasuk maslahah
mursalah Hukum maslahah mansus ditetapkan oleh nash bukan oleh metode
istislah. Istislah merupakan cara atau metode istinbhat yang diperselisihkan para
Imam Mujtahid Di antara mereka, ada yang mengakuinya dan ada pula yang
menolaknya.
B. Macam-Macam Maslahat
Pembagian maslahat demikian secara rinci dikenal sebagai berikut9:
1. Maṣlaḥah Mu’tabarah, yaitu maslahat yang diterima dan diakui
keberadaannya oleh nash, seperti maslahat pernikahan untuk melahirkan
generasi penerus serta larangan mencuri untuk menjaga dan melindungi harta
setiap manusia;
2. Maṣlaḥah Mulghāh, yakni maslahat yang ditolak atau diingkari oleh nash
Alquran atau Sunah, seperti manfaat yang muncul dari minum khamar.
8
Mustafa Ahmad al-Zarqa', Al-lstislah wa al-Masai ih al-Mursalah fi Syari'ah al-lslamiyyah wa Ushul Fiqh,
diterjemahkan oleh Ade Dedi Rohayana, M.Ag. dengan judul Hukum Islam dan Perubahan Sosial (Studi
Komparatif Delapan Mazhab Fiqhi) (Cet I; Jakarta: Riora Cipta, 2000), 33.
9
Farih, Amin, “Reinterpretasi Maṣlaḥah sebagai Metode Istinbāṭ Hukum Islam: Studi Pemikiran Hukum Islam Abū
Isḥāq Ibrāhīm al-Syāṭibī”, Jurnal Al-Ahkam, Vol. 25, No. 1, April 2015, 52-55

6
Sungguhpun diketahui ada kenikmatan maupun manfaat yang didapat dari
minum khamar, namun Alquran menolaknya, bahkan menyatakan mudarat
yang ditimbulkan lebih besar ketimbang manfaatnya (Q.S. al-Baqarah: 219);
3. Maṣlaḥah Mursalah, berupa kemaslahatan yang tidak disinggung secara jelas
(ditolak ataukah diterima), namun secara tersirat didukung atau paling tidak
sejalan dengan prinsip umum yang dikandung oleh nash. Bentuk maslahat
yang terakhir (maṣlaḥah mursalah) inilah yang juga dikenal dengan penalaran
istiṣlāḥiy seperti aturan berlalu lintas dan pentingnya catatan akta nikah
dokumentasi penting lainnya.
Untuk persoalan kontemporer kekinian, galibnya penyelesaian hukumnya
menggunakan penalaran istiṣlāḥiy dengan cara mengembalikan setiap
permasalahan kepada kerangka manfaat-mudarat, maslahat-mafsadat. Dari sini,
sekiranya disederhanakan, maka penalaran istiṣlāḥiy untuk dapat menjadi sebuah
metode penalaran yang sistematis, komprehensif dan praktis yang diharapkan
dapat memenuhi keperluan masa kini, maka setidaknya ia meniscayakan
terpenuhinya syarat-syarat berikut10:

1. Penalaran tersebut bertumpu pada pertimbangan maslahat yang hakiki, bukan


maslahat yang semu, maka diperlukan ketelitian dan kejelian dalam
membedakannya;
2. Maslahat yang terdapat dalam perbuatan itu mesti sejalan dengan maslahat
yang ada di dalam nash (sesuai prinsip syariah);
3. Kesesuaian antara maslahat tersebut dengan langkah-langkah yang mesti
ditempuh dalam penalaran istiṣlāḥiy, mulai dari pengetahuan tentang kategori
kemaslahatan yang menjadi tujuan Allah dalam pensyariatan hukum;
mengidentifikasi perbuatan yang ingin dicari hukum syariatnya dengan
sungguh-sungguh; kemudian menghimpun segala nash yang berkaitan dengan
masalah tersebut untuk kemudian dijadikan sebagai prinsip umum; juga patut
disebut pula sebagai perbandingan dan pertimbangan yang akan memperkaya,
dengan turut meneliti dan mengkaji pendapat para ulama masa silam yang
berkenaan dengan masalah tersebut; memahami dan mempelajari adat dan
tradisi setempat yang sejalan dengan hukum syariat (al-‘ādat syarī’ah
muḥakkamah); mengaitkan dan menggunakan kajian ilmu pengetahuan dan
teknologi modern dengan masalah kontemporer berkenaan untuk
memudahkan pertimbangan maslahat-mudarat; serta memverifikasi dan
menguji ulang temuan hukum sebelum ditetapkan melalui penalaran istiṣlāḥiy;
4. Capaian kesimpulan yang diambil melalui penalaran istiṣlāḥiy mestilah
menemukan atau memberikan pandangan hukum syariat atas suatu perbuatan

10
Abubakar, Al Yasa’, Metode Istislahiah-Pemanfaatan Ilmu Pengetahuan dalam Ushul Fikih (Banda Aceh:
Bandar Pusblishing, 2012), 76-78

7
hukum, atau setidaknya membuat suatu definisi dan konsepsi atas suatu
perbuatan hukum

C. Kedudukan Mashlahat dalam Penalaran Fiqh


Urgensi kemaslahatan terdapat pada semua bentuk hukum, baik hukum-
hukum yang berdasarkan wahyu seperti hukum islam maupun hukum yang bukan
didasarkan pada wahyu, walaupun penekanan dari masing-masing hukum tersebut
berbeda. Perbedaan itu berkaitan dengan hukum islam merupakan keistimewaan
itu adalah :
 Pengaruh kemaslahatan hukum islam tidak tebatas waktu terbatas waktu
didunia, tetapi juga memberi pengaruh pada kehidupan akhirat. Hal ini
disebabkan oleh karena syari’at islam itu sendiri diciptakan untuk
kebahagiaan dunia dan akhirat.
 Kemaslahatan yang dikandung oleh hukum islam, tidak saja berdimensi
materi (maddi) akan tetapi juga immateri (ruhi) terhadap manusia.
 Dalam hukum islam, kemaslahatan agama merupakan dasar bagi
kemaslahatan-kemaslahatan-kemaslahatan yang lain. Hal ini mengandung arti
bahwa apabila terjadi pertentangan antara kemaslahatan yang lain dengan
kemaslahatan agama, maka kemaslahatan agama tidak boleh dikalahkan atau
dikorbankan.
Keterkaitan kemashlahatan dengan dua orientasi, yitu duniawi dan
ukhrawi merupakan sesuatu yang melekat dalam hukum islam. Izzudin Ibn Abd
as-Salam sebagaimana yang dikutip oleh bakri mengatakan bahwa kemashlahatan
itu hilang. Maka rusaklah urusan dunia dan akhirat. Apabila ke mashlahatan
muncul, hancurlah penghuninya. Senada dengan hal tersebut, al-Syatibi
mengatakan bahwa:

Artinya : “Kemashlahatan yang harus diwujudkan dan kemashlahatan yang harus


dihapuskan, menurut syara’ harus diarahkan pada tegaknya kehidupan
dunia dan akhirat”
Penjelasan tersebut diatas menggambarkan kemashlahatan secara
substansial. Permasalahannya yang muncul adalah bagaimana legalitas yang
menunjukkan bahwa sesuatu yang dianggap sebagai sesuatu mashlahah.

8
Kedudukan Maslahah Mursalah Sebagai Sumber Hukum

Penggunaan maslahah mursalah adalah ijtihad yang paling subur untuk


menetapkan hukum yang tak ada nashnya dan jumhur ulama menganggap
maslahah mursalah sebagai hujjah syari’at karena:
1. Semakin tumbuh dan bertambah hajat manusia terhadap kemaslahatannya ,jika
hukum tidak menampung untuk kemaslahatan manusia yang dapat
diterima,berarti kurang sempurnalah syari’at mungkin juga beku.
2. Para shahabat dan tabi’in telah mentapkan hukum berdasarkan
kemaslahatan,seperti abu bakar menyuruh mengumpulkan musyaf al-qur’an
demi kemaslahatan umum.

Diantara ulama yang banyak menggunakan maslahah mursalah ialah imam


malik,dengan alasan,bahwa tuhan mengutus Rasulnya untuk kemaslahatan
manusia,maka kemaslahatan ini jelas dikehendaki syara’,sebagaimana Allah
berfirman:

َ‫ك إِال َرحْ َمةً لِ ْل َعالَ ِمين‬


َ ‫َو َما أَرْ َس ْلنَا‬

“Tidaklah semata-mata aku mengutusmu (muhammad) kecuali untuk kebaikan


seluruh alam”. (QS.  Al-Anbiya 107).

Sedangkan menurut imam ahmad,bahwa maslahah mursalah adalah suatu


jalan menetapkan hukum yang tidak ada nash dan ijma’.
Disamping orang yang menerima kehujjahan maslahah mursalah ada juga ulama
yang menolak untuk dijadikan dasar hukum,seperi imam syafi’i, dengan alasan
bahwa maslahah mursalah disamakan dengan istihsan, selain itu alasannya ialah:
1. Syari’at islam mempunyai tujuan menjaga kemaslahatan manusi dalam
keadaaan terlantar tanpa petunjuk,petunjuk itu harus berdasarkan kepada ibarat
nash,kalau kemaslahatan yang tidak berpedoman kepada i’tibar nash bukanlah
kemaslahatan yang hakiki.

9
2. Kalau menetapkan hukum berdasarkan kepada maslahah mursalah yang
terlepas dari syara’ tentu akan dipengaruhi oleh hawa nafsu, sedangkan hawa
nafsu tak akan mampu memandang kemaslahatan yang hakiki.

Pembinaan hukum yang didasarkan kepada maslahah mursalah berarti


membuka pintu bagi keinginan dan hawa nafsu yang mungkin tidak akan dapat
terkendali.
Jumhur fuqaha’ sepakat bahwa maslahat vdapat diterima dalam fiqih
islam. Dan setiap maslahah wajib di ambil sebagai sumber hukum selama bukan
di latarbelakangi oleh dorongn syahwat dan hawa nafsu yang tidak bertentangan
dengan nash serta maqasid as-syari’. Hanya saja golongan syafi’iyah dan
hanafiyah sangat memperketat ketentuan maslahat. Maslahat harus mengacu pada
‘illat yang jelas batasannya.
Golongan Maliki dan Hanbali berpendapat bahwa sifat munasib yang
merupakan alas an adanya maslahat, meskipun tidak jelas batasannya, patut
menbjadi ‘illat bagi qiyas. Oleh karena itu ia dapat diterima sebagai sumber
hukum sebagaimana halnya diterimanya qiyas berdasarkan sifat munasib, yaitu
hikmah, tanpa memandang apakah ‘illat itu mundhiobittah atau tidak. Karena
begitu dekatnya pengertian sifat munasib dan maslahat mursalahsehingga
sebagian ulama madhab Maliki menganggap bahwa sesungguhnya semuanya
ulama ahli fiqih memakai dalil maslahat, meskipun mereka menanamkannya sifat
munasib, atau memasukkannya kedalam qiyas.

Kehujjahan Maslahah Mursalah.


Golongan maliki sebagai pembawa bendera maslahatul mursalah, sebagaimana
telah disebutkan, mengemukakan tiga alas an sebagai berikut:
1. Praktek oara sahabat yang telah menggunakan maslahatul mursalah adalah sebagai
berikut:

a. Sahabat mengimpulkan al-quran ke dalam beberapa mushaf, padahal hal ini


tidak pernah dilakukan di masa Rasulullah SAW. Alasannya tidak lain kecuali
semata-mata karena maslahat, yaitu menjaga al-Quran dari kepunahan aatu

10
kehilangan kemutawaturannya karena meninggalnya sejumlah besar hafidhdari
generasi sahabat.
b. Khulafa ar-rasyidin menetapkan menanggung ganti rugi kepada para tukang,
bahwa menurut hokum asal kekuasaan mereka di dasarkan atas kepercayaan.
Akan tetapi seandainya mereka tidak di bebani tanggung jawab mengganti ganti
rugi, mereka akan berbuat ceroboh dan tidak memenuhi kewajibannya untuk
menjaga harta benda orang lain yang di bawah tanggung jawabnya.
c. Umar bin Khatab R.A memerintahkan kepada para penguasa (pegawai negeri)
memisahkan antara garta kekayaan pribadi dengan harta yang di peroleh dari
kekuasaannya. Karena Umar melihat bahwa dengan cara itu pegawai dapat
menunaikan tugasnya dengan baik, tercegah dari melakukannya manipulasi atau
melakukan hal yang tidak halal.
d. Umar bin Khatab R.A sengaja menumpahkan susu yang di campuri dengan air,
guna member pelajaran kepada mereka yang berbuat mencampur susu dengan air.
Sikap umar itu tergolong dalam kategori maslahat.
e. Para sahabat menetapkan hukuman mati kepada semua anggota kelompok
(jamaah), lantaran membunuh satu orang jika mereka secara bersama-sama
melakukan pembunuhan tersebut, karena memang kemaslahatan
menghendakinya.
2. Adanya maslahat sesuai dengan maqasid as-syari’ (tujuan-tujuan syari’), artinya
denagan mengambol maslahat berarti sama dengan merealisasikan maqasid as-
Syari’. Sebaliknya mengesampingkan  maslahat berarti mengesampingkan maqasid
as-Syari’. Sedangkan mengesampingkan maqasid as-syari’ adalah batal. Oleh
karena itu, adalah wajib mengginakan dalil maslahat atas dasar bahwa ia adalah
sumber hukum pokok (ashl) yang berdiri sendiri. Sumber hukum ini tidak keluar
dari ushul, bahkan terjadi sinkronisasi anatar maslahat dan maqasid as-syari’
3. Seandainya maslahat tidak di ambil pada setiap kasus yang jelas mengandung
maslahat selama berada dalam konteks maslahat-maslahat syar’iyyah, maka orang-
orang mukallaf akan mengalami kesulitan dan kesempitan.

11
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan:
1. Maslahah mursalah dalam pengertiannya dapat dimaknai dengan sesuatu yang mutlak.
Menurut istilah para ahli ilmu ushul fiqhi ialah suatu kemaslahatan, di mana syari'ah tidak
mensyariatkan suatu hukum untuk merealisir kemaslahatan itu dan tidak ada dalil yang
menunjukkan atas pengakuan dan penolakannya.
2. Macam Mashlahat adalah Maṣlaḥah Mu’tabarah, Maṣlaḥah Mulghāh, Maṣlaḥah Mursalah.
3. Kemaslahatan terdapat pada semua bentuk hukum, baik hukum-hukum yang berdasarkan
wahyu seperti hukum islam maupun hukum yang bukan didasarkan pada wahyu, walaupun
penekanan dari masing-masing hukum tersebut berbeda. Perbedaan itu berkaitan dengan
hukum islam merupakan keistimewaan itu adalah :
 Pengaruh kemaslahatan hukum islam tidak tebatas waktu terbatas waktu didunia, tetapi
juga memberi pengaruh pada kehidupan akhirat. Hal ini disebabkan oleh karena syari’at
islam itu sendiri diciptakan untuk kebahagiaan dunia dan akhirat.
 Kemaslahatan yang dikandung oleh hukum islam, tidak saja berdimensi materi (maddi)
akan tetapi juga immateri (ruhi) terhadap manusia.
 Dalam hukum islam, kemaslahatan agama merupakan dasar bagi kemaslahatan-
kemaslahatan-kemaslahatan yang lain. Hal ini mengandung arti bahwa apabila terjadi
pertentangan antara kemaslahatan yang lain dengan kemaslahatan agama, maka
kemaslahatan agama tidak boleh dikalahkan atau dikorbankan.

12
DAFTAR PUSTAKA

Abubakar, Al Yasa’, Metode Istislahiah-Pemanfaatan Ilmu Pengetahuan dalam Ushul Fikih


(Banda Aceh: Bandar Pusblishing, 2012)
Mustafa Ahmad al-Zarqa', Al-lstislah wa al-Masai ih al-Mursalah fi Syari'ah al-lslamiyyah wa
Ushul Fiqh, diterjemahkan oleh Ade Dedi Rohayana, M.Ag. dengan judul Hukum Islam
dan Perubahan Sosial (Studi Komparatif Delapan Mazhab Fiqhi) (Cet I; Jakarta: Riora
Cipta, 2000)

Farih, Amin, “Reinterpretasi Maṣlaḥah sebagai Metode Istinbāṭ Hukum Islam: Studi Pemikiran
Hukum Islam Abū Isḥāq Ibrāhīm al-Syāṭibī”, Jurnal Al-Ahkam, Vol. 25, No. 1, April 2015
H.M. Hasbi Umar, Nalar Fiqh Kontemporer (Jakarta: Gaung Persada Press, 2007)

Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1, (Jakarta: Logos Publishing House, 1996)

Romli, Muqaranah Mazahib fil Ushul ,(Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999)
Abd. Wahab Khallaf, Vm Ushul al-Fiqhi (Jakarta : Majelis ATa li Indonesiyyin li al-Dakwah al-
lslamiyah, 1973)

13

Anda mungkin juga menyukai