Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

“ MASLAHAH DAN SADDU DZARA’I ”

Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Studi Fiqih

Dosen Pengampu: Ahmad Muis, S. Ag, MA

Disusun oleh:

Lilik Wahyudin Amil Da’i_210501110100

PROGRAM STUDI MANAJEMEN

FAKULTAS EKONOMI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA


MALIK IBRAHIM MALANG

2022
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah SWT. karena telah memberikan kesempatan
untuk menyelesaikan makalah ini. Atas rahmat dan hidayah – Nya lah kami dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul “ Maslahah dan Saddu Dzarra’i ” dengan tepat
waktu. Makalah ini disusun guna memenuhi tugas dosen pada mata kuliah Studi Fiqih di
Universitas Islam Negri Maulana Malik Ibrahim Malang.
Kami juga mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Bapak Ahmad Muis, S. Ag,
MA selaku dosen mata kuliah Studi Fiqih karena telah membimbing dan telah membagikan
ilmu, pengetahuan dan wawasan terkait dengan Studi Fiqih. Kami juga mengucapkan terima
kasih kepada semua pihak yang telah membantu proses penyusunan makalah ini.
kami berharap agar makalah ini dapat menambah pengetahuan, wawasan, dan bermanfaat
bagi para
pembaca khususnya umat islam. Kami menyadari tentunya makalah ini masih jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan kami terima demi
kesempurnaan makalah ini. Terima Kasih.

Malang, 10 September 2022

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................................1
DAFTAR ISI...........................................................................................................................2
BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................................3
1.1 LATAR BELAKANG .....................................................................................................3
1.2 RUMUSAN MASALAH .................................................................................................4
1.3 TUJUAN ...........................................................................................................................4
BAB II PEMBAHASAN........................................................................................................4
2.1 MASLAHAH....................................................................................................................4
1. Pengertian...........................................................................................................................4
2. Macam-macam...................................................................................................................5
3. Syarat penerapan...............................................................................................................8
4. Aplikasi dalam Ekonomi...................................................................................................9
2.2 SADDU DZARA’I..........................................................................................................10
1. Pengertian.........................................................................................................................10
2. Kehujjahan ......................................................................................................................11
3. Dalil-dalil pendukung......................................................................................................12
4. Syarat-syarat penerapan.................................................................................................13
5. Aplikasi dalam Ekonomi.................................................................................................16
BAB III PENUTUP..............................................................................................................18
3.1 KESIMPULAN...............................................................................................................18
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................................19

2
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Hukum islam merupakan syariat yang diturunkan oleh Allah SWT untuk
kemaslahatan umat manusia. Hukum islam pada dasanya sebagai kebaikan hidup
individu maupun sosial (Cholili, 2013) Allah SWT mengutus para Rasul sebagai
petunjuk jalan kebaikan dan keburukan untuk umat manusia. seperti yang telah dikutip
oleh Fahlefi pada Asy-Syatibi mengatakan, bahwa apapun yang diajarkan oleh agama
islam semata-mata bertujuan untuk kesejahteraan hidup umat manusia baik di dunia
maupun di akhirat kelak (Fahlefi, 2016).
Awal mula problematika perkembangan hukum Islam berbarengan setelah
wafatnya Nabi Muhammad SAW. Permasalahan hukum islam yang muncul semakin
banyak seiring dengan kemajuan zaman dan perkembangan teknologi dan perubahan
sosial terus muncul seiring dengan dinamika kehidupan manusia pada era saat ini.
Di antara metode penetapan hukum yang dikembangkan para ulama adalah
maslahah mursalah dan saddu dzara’i. Maslahah Mursalah adalah Metode penegakan
hukum yang sangat efektif dalam merespon dan memberikan Solusi, seperti yang
dilakukan oleh nabi Muhammad, sahabat, tabi’in dan para ulama’ (Asriaty, 2015). Yang
kedua yang akan dibahas di makalah ini adalah sadd adz-dzari’ah, sadd adz-dzari’ah
merupakan upaya preventif agar tidak terjadi sesuatu yang menimbulkan dampak
negatif. Metode hukum ini merupakan salah satu bentuk kekayaan khazanah intelektual
Islam yang sepanjang pengetahuan penulis tidak dimiliki oleh agama-agama lain.

1.2 Rumusan masalah

1. Apa pengertian, macam-macam, syarat penerapan, dan aplikasi dalam ekonomi


Maslahah Mursalah
2. Apa pengertian, kehujjahan, dalil-dalil pendukung, syarat-syarat penerapan, dan
aplikasi dalam ekonomi Saddu Dzara’i

1.3 Tujuan

1. Menjelaskan pengertian, macam-macam, syarat penerapan, dan aplikasi dalam


ekonomi Maslahah Mursalah

3
3. Menjelaskan pengertian, kehujjahan, dalil-dalil pendukung, syarat-syarat penerapan,
dan aplikasi dalam ekonomi Saddu Dzara’i

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 MASLAHAH
1. Pengertian
Menurut bahasa, kata maslahah berasal dari Bahasa Arab dan telah dibakukan ke dalam
Bahasa Indonesia menjadi kata maslahat, yang berarti mendatangkan kebaikan atau yang
membawa kemanfaatan (manfa’ah) dan menolak kerusakan (mafsadah) (Kholil, 1995).
Karena pada hakikatnya syari’at diturunkan di dunia ini hanya untuk kemaslahatan manusia
(innama unzilati syari’atu litahqiqi mashalihil anam) (Hadi, 2014). Menurut bahasa aslinya
kata maslahah berasal dari kata salaha, yasluhu, salahan, (‫صلح‬, ‫يصلح‬, ‫( صلحا‬artinya sesuatu
yang baik, patut, dan bermanfaat. Sedang kata mursalah artinya terlepas bebas, tidak terikat
dengan dalil agama (Sirat et al., 2016). (Alqur’an dan al-Hadits) yang membolehkan atau
yang melarangnya.
Al-mursalah adalah isim maf’ul (objek) dari fi’il madhi dalam bentuk tsulasi dengan
tambahan huruf “alif” di pangkalnya yaitu arsala. Secara etimologi artinya terlepas, bebas
(muthliqoh) (Yunus, 1973). Kata terlepas dan bebas bila dikaitkan dengan kata mashlahah.
Maksudnya ialah “terlepas atau bebas dari keterangan yang menunjukkan boleh atau tidak
bolehnya dilakukan”. Maslahah mursalah terdiri dari dua kata yang hubungan keduanya
dalam bentuk sifat-mausuf, atau dalam bentuk khusus yang menunjukkan bahwa ia
merupakan bagian dari al-maslahah (Zulbaidah, 2016).
Menurut Abdul Wahab al-Khallaf Maslahah mursalah ini ialah maslahah yang tidak ada
dalil syara’ datang untuk mengakuinya atau menolaknya (Khallaf dan Fiqh, 2002).
2. Macam - macam
Para ahli usul fikih mengemukakan beberapa pembagian maslahah jika dilihat dari beberapa
segi. Dilihat dari segi kualitas dan kepentingan kemaslahatan itu, para ahli usul fikih
membaginya kepada tiga macam, yaitu:

a. Al-Maslahah adh-Dharuriyyah, yaitu kemaslahatan yang berhubungan dengan kebutuhan


pokok umat manusia di dunia dan di akhirat. Kemaslahatan seperti ini ada lima, yaitu:

1). Memelihara agama

2) Memelihara jiwa

3) Memelihara akal

4) Memelihara keturunan

4
5) Memelihara harta.

Kelima kemaslahatan ini, disebut dengan al-mashalih alkhamsah, atau adh-dharuriyyat al-
khamsah.

Memeluk suatu agama merupakan fitrah dan naluri insani yang tidak bisa diingkari dan
sangat dibutuhkan umat manusia. Untuk kebutuhan tersebut, Allah mensyari’atkan agama
yang wajib dipelihara setiap orang, baik yang berkaitan dengan ‘aqidah, ibadah, maupun
mu’amalah.

Hak hidup juga merupakan hak paling asasi bagi setiap manusia. Dalam kaitan ini, untuk
kemaslahatan, keselamatan jiwa dan kehidupan manusia, Allah menshari’atkan berbagai
hukum yang terkait dengan itu, seperti shari’at qisas, kesempatan mempergunakan hasil
sumber alam untuk dikonsumsi manusia, hukum perkawinan untuk melanjutkan generasi
manusia, dan berbagai hukum lainnya.

Akal merupakan sasaran yang menentukan bagi seseorang dalam menjalani hidup dan
kehidupannya. Oleh sebab itu, Allah menjadikan pemeliharaan akal itu sebagai suatu yang
pokok. Untuk itu, antra lain Allah melarang meminum minuman keras (khamr), karena bisa
merusak akal pikiran dan hidup manusia.

Berketurunan juga merupakan masalah pokok bagi manusia dalam rangka memelihara
kelangsungan manusia di muka bumi ini. Untuk memelihara dan melanjutkan keturunan
tersebut, Allah menshari’atkan nikah dengan segala hak dan kewajiban yang
diakibatkannya.

Terakhir, manusia tidak bisa hidup tanpa harta. Oleh sebab itu, harta merupakan sesuatu
yang daruri (pokok) dalam kehidupan manusia. Untuk mendapatkannya Allah
menshari’atkan berbagai ketentuan dan untuk memelihara harta seseorang Allah
menshari’atkan hukuman pencuri dan perampok.

b. Al-Maslahah al-Hajiyah, yaitu kemaslahatan yang dibutuhkan dalam menyempurnakan


kemaslahatan pokok (mendasar) sebelumnya yang berbentuk keringanan untuk
mempertahankan dan memelihara kebutuhan mendasar manusia. Misalnya, dalam bidang
ibadah diberi keringanan meringkas (qasr) shalat dan berbuka puasa bagi orang yang sedang
musafir; dalam bidang mu’amalah dibolehkan berburu binatang dan memakan makanan
yang baik-baik, dibolehkan melakukan jual beli pesanan (bay’ al salam), kerjasama dalam

5
pertanian (muzara’ah) dan perkebunan (musaqah). Semuanya ini dishari’atkan Allah untuk
mendukung kebutuhan mendasar al-masalih al-khamsah di atas.

c. Al-Maslahah at-Tahsîniyyah, yaitu kemaslahatan yang sifatnya pelengkap berupa


keleluasaan yang dapat melengkapi kemaslahatan sebelumnya. Misalnya, dianjurkan untuk
memakan yang bergizi, berpakaian yang bagus-bagus, melakukan ibadah-ibadah sunat
sebagai amalan tambahan, dan berbagai jenis cara menghilangkan najis dari badan manusia.

Ketiga kemaslahatan ini perlu dibedakan, sehingga seorang muslim dapat menentukan
prioritas dalam mengambil suatu kemaslahatan. Kemaslahatan daruriyyah harus lebih
didahulukan daripada kemaslahatan hajiyyah, dan kemaslahatan hajiyyah lebih didahulukan
dari kemaslahatan tahsiniyyah.

Dilihat dari segi kandungan maslahah, para ulama usul fikih membaginya kepada:

a. Al-Maslahah al-‘Ammah, yaitu kemaslahatan umum yang menyangkut kepentingan


orang banyak. Kemaslahatan umum itu tidak berarti untuk kepentingan semua orang,
tetapi bisa berbentuk kepentingan mayoritas umat atau kebanyakan umat. Misalnya,
para ulama membolehkan membunuh penyebar bid’ah yang dapat merusak ‘akidah
umat, karena menyangkut kepentingan orang banyak.
b. Al-Maslahah al-Khasshah, yaitu kemaslahatan pribadi dan ini sangat jarang sekali,
seperti kemaslahatan yang berkaitan dengan pemutusan hubungan perkawinan
seseorang yang dinyatakan hilang (mafqud). Pentingnya pembagian kedua
kemaslahatan ini berkaitan dengan prioritas mana yang harus didahulukan apabila
antara kemaslahatan umum bertentangan dengan kemaslahatan pribadi. Dalam
pertentangan kedua kemaslahatan ini, Islam mendahulukan kemaslahatan umum
daripada kemaslahatan pribadi.

Dilihat dari segi keberadaan maslahah menurut shara’ terbagi kepada:

a. Al-Maslahah al-Mu’tabarah, (yaitu kemaslahatan yang didukung oleh shara’.


Maksudnya dalil khusus yang menjadi dasar bentuk dan jenis kemaslahatan
tersebut. Misalnya, hukuman atas orang yang meminum keras dalam hadis
Rasulullah Saw dipahami secara berlainan oleh para ulama fikih, disebabkan
perbedaan alat pemukul yang dipergunakan Rasulullah Saw ketika melaksanakan
hukuman bagi orang yang meminum minuman keras.

6
b. Al-Maslahah al-Mulghah, yaitu kemaslahatan yang ditolak oleh shara’, karena
bertentangan dengan ketentuan shara’. Misalnya, shara’ menentukan bahwa orang
yang melakukan hubungan seksual di siang hari bulan Ramadan dikenakan
hukuman dengan memerdekakan budak, atau puasa dua bulan berturut-turut, atau
memberi makan 60 orang fakir miskin (HR. Bukhari dan Muslim).
c. Al-Maslahah al-Mursalah, yaitu kemaslahatan yang keberadaannya tidak didukung
shara’ dan tidak pula dibatalkan/ditolak shara’ melalui dalil yang dirinci.
Kemaslahatan dalam bentuk ini terbagi dua, yaitu:
1) Maslahah al-Gharibah, yaitu kemaslahatan yang aneh, asing, atau kemaslahatan
yang sama sekali tidak ada dukungan dari shara’, baik secara rinci maupun secara
umum.13 Para ulama usul fikih tidak dapat mengemukakan contoh pastinya.
Bahkan Imam asySyatibi mengatakan kemaslahatan seperti ini tidak ditemukan
dalam praktik, sekalipun ada dalam teori.
2). Al-Maslahah Al-Mursalah, yaitu kemaslahatan yang tidak didukung dalil
shara’ atau nash yang rinci, tetapi didukung oleh sekumpulan makna nash (ayat
atau hadis).

3. Syarat penerapan
Maslahah mursalah merupakan salah satu sumber hukum Islam yang kebenarannya masih
terdapat khilafiyah di kalangan ulama (Hadi, 1986). Para ulama sangat berhati-hati
(ikhtiyath) dan memberikan syarat-syarat yang begitu ketat dalam mempergunakan
maslahah mursalah sebagai hujjah, dengan alasan dikhawatirkan akan menjadi pintu masuk
bagi pembentukan hukum syariat menurut hawa nafsu dan keinginan perorangan, bila tidak
ada Batasan batasan yang benar dalam memperggunakannya. Oleh karena itu terdapat
syarat-syarat maslahah mursalah sebagai dasar legislasi hukum Islam yang dikemukakan
oleh ulama, diantaranya adalah:

1. Menurut Abdul Wahab Khallaf


Maslahah mursalah dapat dijadikan sebagai legislasi hukum Islam bila memenuhi
syarat yang diantaranya adalah:
a) Berupa maslahah yang sebenarnya (secara haqiqi) bukan maslahah yang sifatnya
dugaan, tetapi yang berdasarkan penelitian, kehati-hatian dan pembahasan
mendalam serta benar-benar menarik manfa’at dan menolak kerusakan.

7
b) Berupa maslahah yang bersifat umum, bukan untuk kepentingan perorangan,
tetapi untuk orang banyak.
c) Tidak bertentangan dengan hukum yang telah ditetapkan oleh nash (Alqur’an dan
alHadits) serta ijma’ ulama (Khallaf, 2002).
2. Menurut Al-Ghozali Maslahah mursalah dapat dijadikan sebagai landasan hukum
bila:
a) Maslahah mursalah aplikasinya sesuai dengan ketentuan syara’.
b) Maslahah mursalah tidak bertentangan dengan ketentuann nash syara’ (Alqur’an
dan al-Hadits).
c) Maslahah mursalah adalah sebagai tindakan yang dzaruri atau suatu kebutuhan
yang mendesak sebagai kepentingan umum masyarakat (Jamil, 2008).
3. Menurut Jumhurul Ulama
Menurut Jumhurul Ulama bahwa maslahah mursalah dapat sebagai sumber legislasi
hukum Islam bila memenuhi syarat sebagai berikut:
a) Maslahah tersebut haruslah “maslahah yang haqiqi” bukan hanya yang
berdasarkan prasangka merupakan kemaslahatan yang nyata. Artinya bahwa
membina hukum berdasarkan kemaslahatan yang benar-benar dapat membawa
kemanfaatan dan menolak kemadharatan. Akan tetapi kalau hanya sekedar
prasangka adanya kemanfaatan atau prasangka adanya penolakan terhadap
kemazdaratan, maka pembinaan hokum semacam itu adalah berdasarkan wahm
(prasangka) saja dan tidak berdasarkan syari’at yang benar.
b) Kemaslahatan tersebut merupakan kemaslahatan yang umum, bukan
kemaslahatan yang khusus baik untuk perseorangan atau kelompok tertentu,
dikarenakan kemaslahatan tersebut harus bisa dimanfaatkan oleh orang banyak dan
dapat menolak kemudaratan terhadap orang banyak pula.
c) Kemaslahatan tersebut tidak bertentangan dengan kemaslahatan yang terdapat
dalam Alqur’an dan al-Hadits baik secara dzahir atau batin. Oleh karena itu tidak
dianggap suatu kemaslahatan yang kontradiktif dengan nash seperti menyamakan
bagian anak lakilaki dengan perempuan dalam pembagian

4. Aplikasi dalam Ekonomi


1. Terbitnya fatwa-fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI)

8
seperti fatwa tentang keharusan “sertifikat halal” bagi produk makanan, minuman dan
kosmetik. MUI melalui Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-Obatan dan Kosmetik (LP-POM
MUI) berupaya melakukan penelitian terhadap produk makanan, minuman, obat-obatan dan
kosmetik yang diproduksi oleh suatu pabrik untuk dipasarkan. Hal yang seperti ini tidak
pernah ada teks nash yang menyinggungnya secara langsung. Demi kemaslahatan
masyarakat maka fatwa tersebut diterbitkan berasaskan pertimbangan maslahah mursalah
(Kahhar, 2003). Kemudian berkaitan dengan fatwa keharaman bunga bank, juga tidak
disebutkan hukumnya secara jelas dalam alQuran dan al-Hadits. MUI melalui fatwanya
menetapkan bunga bank itu haram untuk mengqiyaskan kepada riba karena menurut mereka
unsur tambahan yang menjadi illat haramnya riba juga terdapat pada bunga bank (Musrofah,
2008)

2. Perbankan syariah

Kehadiran lembaga-lembaga perbankan dan keuangan syari’ah juga didasarkan kepada


maṣlaḥah Ali Sakti (2007: 230). Bank syariah biasanya melakukan transaksi jual beli dengan
pengusaha maupun nasabah, menggunakan skema murabahah, ijarah, istisna dan salam.
Dengan demikian, keberanian otoritas pemerintah dalam mengambil kebijakan dan
mengembangkan lembaga keuangan berbasis syariah di tanah air mengandung nilai
maṣlaḥah yang sangat tinggi.

3. Pendidikan moral pada Pendidikan akuntansi dan keuangan

Prinsip hukum Islam maslahah saat ini dapat digunakan sebagai mekanisme penyaringan
etis untuk diajarkan sebagai bagian dari proses pendidikan akuntansi yang bermoral atau
beretika (Rahmandan Rahim, 2012). Konsep maslahah sosial juga digunakan dalam sistem
keuangan Islam saat ini khususnya dalam hal tanggung jawab sosial (Cebeci, 2012)

2.2 SADDU DZARA’I


1. Pengertian
Kata sadd adz-dzari’ah (‫ )سد الذريعة‬merupakan bentuk frase (idhafah) yang terdiri dari dua
kata, yaitu sadd (‫)س]]] ُّد‬dan
َ adz-dzari’ah (‫)ال َّذ ِر ْي َعة‬. Secara etimologis, kata as-sadd (
‫)ال َّس ُّد‬merupakan kata benda abstrak (mashdar) dari ‫ َس َّد يَ ُس ُّد َس ًّدا‬. Kata as-sadd tersebut berarti
menutup sesuatu yang cacat atau rusak dan menimbun lobang. Sedangkan adz-dzari’ah (
‫ )ال َّذ ِر ْي َعة‬merupakan kata benda (isim) bentuk tunggal yang berarti jalan, sarana (wasilah)dan
َّ adalah adz-dzara’i (‫)الذ َراِئع‬.
sebab terjadinya sesuatu. Bentuk jamak dari adz-dzari’ah (‫)الذ ِر ْي َعة‬ َّ

9
Karena itulah, dalam beberapa kitab usul fikih, seperti Tanqih al-Fushul fi Ulum al-Ushul
karya al-Qarafi, istilah yang digunakan adalah sadd adz-dzara’i.

Pada awalnya, kata adz-adzari’ah dipergunakan untuk unta yang dipergunakan orang Arab
dalam berburu. Si unta dilepaskan oleh sang pemburu agar bisa mendekati binatang liar
yang sedang diburu. Sang pemburu berlindung di samping unta agar tak terlihat oleh
binatang yang diburu. Ketika unta sudah dekat dengan binatang yang diburu, sang pemburu
pun melepaskan panahnya. Karena itulah, menurut Ibn al-A’rabi, kata adz-dzari’ah
kemudian digunakan sebagai metafora terhadap segala sesuatu yang mendekatkan kepada
sesuatu yang lain.

secara Terminologi Menurutal-Qarafi, sadd adz-dzari’ah adalah memotong jalan kerusakan


(mafsadah) sebagai cara untuk menghindari kerusakan tersebut. Meski suatu perbuatan
bebas dari unsur kerusakan (mafsadah), namun jika perbuatan itu merupakan jalan atau
sarana terjadi suatu kerusakan (mafsadah), maka kita harus mencegah perbuatan tersebut.
Dengan ungkapan yang senada, menurut asy-Syaukani (1994:295), adz-dzari’ah adalah
masalah atau perkara yang pada lahirnya dibolehkan namun akan mengantarkan kepada
perbuatan yang dilarang (al-mahzhur). Dalam karyanya al-Muwafat, asy-Syatibi
menyatakan bahwa sadd adz-dzari’ah adalah menolak sesuatu yang boleh (jaiz) agar tidak
mengantarkan kepada sesuatu yang dilarang (mamnu’). Menurut Mukhtar Yahya dan
Fatchurrahman (1986:347), sadd adz-dzari’ah adalah meniadakan atau menutup jalan yang
menuju kepada perbuatan yang terlarang.Sedangkan menurut Ibnu al-Qayyim al-Jauziyyah,
jalan atau perantara tersebut bisa berbentuk sesuatu yang dilarang maupun yang dibolehkan.
Dari beberapa contoh pengertian di atas, tampak bahwa sebagian ulama seperti asy-Syathibi
dan asy-Syaukani mempersempit adz-dzariahsebagai sesuatu yang awalnya diperbolehkan.
Namun al-Qarafi dan Mukhtar Yahya menyebutkan adz-dzari’ah secara umum dan tidak
mempersempitnya hanya sebagai sesuatu yang diperbolehkan. Di samping itu, Ibnu al-
Qayyim juga mengungkapkan adanya adz-dzari’ah yang pada awalnya memang dilarang.
Sedangkan menurut Abdul Hamid (2007:47) sadd adz-dzari’ah adalah menetapkan hukum
larangan atas suatu perbuatan tertentu yang pada dasarnya diperbolehkan maupun dilarang
untuk mencegah terjadinya perbuatan lain yang dilarang. Dari berbagi pandangan di atas,
sadd adz-dzari’ah merupakan tindakan pendahuluan atau preventif untuk mencegah
terjadinya sesuatu yang tidak diinginkan (hal yang lebih buruk)

10
2. Kehujjahan

Kaidah sadd al-żari‟ah telah berlaku sejak zaman Rasulullah SAW lagi. Ini dapat dibuktikan
melalui peristiwa Nabi SAW melarang para Sahabat yang mencaci dan mencela tuhan-tuhan
yang disembah selain Allah SWT. Kajian juga menunjukkan bahwa pada fiqih salaf yaitu
pendapat orang-orang terdahulu dikalangan para sahabat dan tabiin juga telah menggunakan
metode sadd al-dzari‟ah. Hal ini menunjukkan pemikiran mereka juga tidak jumud dan
hanya terpaku pada nash semata-mata. Demikian juga terkadang berlakunya kasus didalam
kehidupan mereka, lalu mereka berijtihad sesuai dengan zaman dan tempat itu. Perkara ini
bukanlah mengabaikan suatu nas tetapi menuntut nas lain yang sifatnya lebih umum untuk
menguatkan kaidah tersebut. Antara masalah-masalah yang diselesaikan dengan kaidah sadd
al-żari‟ah adalah:

Pengumpulan Alquran Setelah kewafatan Rasulullah saw, Saidina Abu Bakar diangkat
sebagai khalifah untuk menguruskan permasalah umat Islam. Sewaktu pemerintahannya
terdapat berbagai peristiwa-peristiwa besar yang berlaku antaranya adalah kemurtadan
sebagian orang Arab. Maka terjadilah peperangan Yamamah pada tahun dua belas hijrah
antara pasukan tentera orang Islam dan kaum murtaddin. Dalam peperangan ini, seramai
tujuh puluh qari dan penghafal Alquran dari para sahabat gugur syahid. Saidina Umar al-
Khatab merasa khawatir diatas musibah yang berlaku, lalu ia mengajukan kepada Abu
Bakar as-Siddiq agar mengumpul dan membukukan Alquran.

Pada awalnya, saidina Abu Bakar merasa ragu dan setelah ia melihat kepada maslahat
dibalik hal tersebut, maka ia mengutuskan Zaid bin Tsabit untuk mengumpulkan Alquran
dalam satu mushaf. Seterusnya, setelah tamatnya zaman pemerintahan Abu Bakar, maka
dilanjutkan pada zaman Usman bin Affan dimana wilayah kekuasaan Islam semakin meluas
dari berbagai daerah dan kota. Di setiap daerah telah popular dengan bacaan sahabat yang
telah mengajarkan mereka. Misalnya, penduduk Syam popular dengan qiraat yang Ubay bin
Kaab, penduduk Kufah terkenal dengan qiraat Abdullah bin Masu‟d dan Abu Musa al-
Asyari.89 Diantara mereka terdapat pebedaan sebutan dan bunyi huruf sehingga bisa
timbulnya pertikaian antara satu sama lain bahkan hampir saling mengkufurkan kerana
perbedaan tersebut.

Khalifah Usman bin Affan melakukan inisiatif untuk membukukan dan mengandakan
Alquran untuk dikirimkan ke berbagai kota, sementara mushaf lain yang ada ketika itu

11
diperintahkan oleh Usman bin Affan untuk segera dibakar. Hal ini dilakukan karena untuk
mencegah dan menutupi jalan atau tirai pertikaian yang akan berlaku diantara umat Islam.
Demikian jelas Sadd Żarai‟ telah diamalkan oleh para sahabat bagi menutup jalan yang
akan mendatangkan kerusakan.

3. Dalil-dalil pendukung

A. Al-qur’an

‫وا ٱهَّلل َ َع ْد ۢ ًوا ِب َغ ْي ِر ِع ْل ٍم ۗ َك ٰ َذلِكَ َزيَّنَّا لِ ُك ِّل ُأ َّم ٍة َع َملَ ُه ْم ثُ َّم ِإلَ ٰى َربِّ ِهم َّم ْر ِج ُع ُه ْم فَيُنَبُِّئ ُهم‬
۟ ‫س ُّب‬
ُ َ‫ُون ٱهَّلل ِ فَي‬ ۟ ‫س ُّب‬
ِ ‫وا ٱلَّ ِذينَ يَ ْدعُونَ ِمن د‬ ُ َ‫َواَل ت‬
َ‫وا يَ ْع َملُون‬ ۟ ُ‫بِ َما َكان‬

Artinya: “Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain
Allah, Karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa
pengetahuan. Demikianlah kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka.
Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu dia memberitakan kepada mereka
apa yang dahulu mereka kerjakan.” (QS. al-An’am: 108).

Pada ayat di atas, mencaci maki tuhan atau sembahan agama lain adalah adz-dzari’ahyang
akan menimbulkan adanya sesuatu mafsadah yang dilarang, yaitu mencaci maki Tuhan.
Sesuai dengan teori psikologi mechanism defense, orang yang Tuhannya dicaci
kemungkinan akan membalas mencaci Tuhan yang diyakini oleh orang sebelumnya
mencaci. Karena itulah, sebelum balasan caci maki itu terjadi, maka larangan mencaci maki
tuhan agama lain merupakan tindakan preventif (sadd adz-dzari’ah).

B. Sunnah

‫سلَّ َم ِإنَّ ِمنْ َأ ْكبَ ِر ا ْل َكبَاِئ ِر َأنْ يَ ْل َعنَ ال َّر ُج ُل‬


َ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو‬ َ ِ‫سو ُل هللا‬ ُ ‫ض َي هللاُ َع ْن ُه َما قَا َل قَا َل َر‬ ِ ‫عَنْ َع ْب ِد هَّللا ِ ْب ِن َع ْم ٍرو َر‬
ُ‫س ُّب ُأ َّمه‬ ُ َ‫س ُّب َأبَاهُ َوي‬ُ َ‫س ُّب ال َّر ُج ُل َأبَا ال َّر ُج ِل فَي‬
ُ َ‫سو َل هللاِ َو َكيْفَ يَ ْل َعنُ ال َّر ُج ُل َوالِ َد ْي ِه قَا َل ي‬ُ ‫َوالِ َد ْي ِه ِقي َل يَا َر‬

Artinya:

Dari Abdullah bin Amr RA, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda: “Termasuk di antara
dosa besar seorang lelaki melaknat kedua orang tuanya.” Beliau kemudian ditanya,
“Bagaimana caranya seorang lelaki melaknat kedua orang tuanya?” Beliau menjawab,

12
“Seorang lelaki mencaci maki ayah orang lain, kemudian orang yang dicaci itu pun
membalas mencaci maki ayah dan ibu tua lelaki tersebut.”

Hadis ini dijadikan oleh Imam Syathibi sebagai salah satu dasar hukum bagi konsep sadd
adz-dzari’ah. Berdasarkan hadits tersebut, menurut tokoh ahli fikih dari Spanyol itu, dugaan
(zhann) bisa digunakan sebagai dasar untuk penetapan hukum dalam konteks sadd adz-
dzari’ah.

C. Kaidah Fiqih

Di antara kaidah fikih yang bisa dijadikan dasar penggunaan sadd adz-dzari’ah adalah:

‫ح‬ َ ‫ب ا ْل َم‬
ِ ِ‫صال‬ ِ ‫س ِد ُمقَ َّد ٌم َعلَى َج ْل‬
ِ ‫د َْر ُء ا ْل َمفَا‬

Artinya: “Menolak keburukan (mafsadah) lebih diutamakan daripada meraih kebaikan


(maslahah).”

Kaidah ini merupakan kaidah asasi yang bisa mencakup masalah-masalah turunan di
bawahnya. Berbagai kaidah lain juga bersandar pada kaidah ini. Karena itulah, sadd
adzdzari’ah pun bisa disandarkan kepadanya. Hal ini juga bisa dipahami, karena dalam sadd
adzdzari’ah terdapat unsur mafsadah yang harus dihindari.

4. Syarat-syarat penerapan

Sadd al-dzarî`ah sebagai salah satu piranti ijtihad memiliki sumbangsih yang sangat besar
dalam perkembangan fikih Islam. Meski demikian, sadd al-dzarî`ah tidak dapat diterapkan
dengan hanya bersandar pada hawa nafsu. Ada standar dan batasan-batasan yang harus
diperhatikan sehingga piranti tersebut tetap sejalan dengan tujuan dasar diturunkannya
hukum syariah. Setidaknya ada lima poin yang dianggap sebagai standar atau syarat
realisasi sadd dzarî`ah, yaitu:

1. Mafsadah yang ditimbulkan jauh lebih besar dibandingkan dengan maslahat yang
didapatkan.

Karena jika tidak, maka akan membawa umat pada kerugian dan kehancuran. Namun jika
mafsadah yang ditimbulkan lebih rendah dari maslahat yang mungkin dihasilkan, maka

13
tidak boleh menggunakan kaidah sadd al-dzarî`ah. Jika mafsadah dan maslahat berada pada
satu tingkatan, maka dzarî`ah dapat ditutup atau dibuka sesuai dengan kebutuhan
masyarakat setempat.

2. Tidak bertentangan dengan maqâshid syariah.

Syariah Islam datang dengan membawa maslahat bagi umat manusia. Jika dikaji lebih
mendalam mengenai tujuan dasar diturunkannya hukum syariat, maka akan diketahui bahwa
segala perintah Allah selalu membawa maslahat bagi umat manusia, sementara semua
larangan-Nya demi menjaga umat manusia agar tidak jatuh pada kerusakan dan kebinasaan.
Penerapan sadd al-dzarî`ah tidak boleh keluar dari tujuan dasar diturunkannya syariah. Jika
tidak, justru akan membawa madharat bagi umat manusia.

3. Tidak bertentangan dengan prinsip dasar dan kaidah umum syariah.

Syariat sebagai hukum Allah memiliki prinsip-prinsip dasar yang bermuara pada maslahat
bagi umat manusia. Prinsip dasar tersebut di antaranya bersifat universal, moderat dan adil.
Syariah Islam akan selalu sesuai dengan ruang waktu. Penerapan sadd al-dzarî`ah harus
selalu mengacu pada prinsip dan kaidah umum ini agar tidak terjadi ketimpangan dalam
masyarakat. Yang dimaksudkan dengan kaidah umum adalah kaidah fiqhiyyah kulliyyah,
yatu konsepsi universal yang dapat dijadikan sebagi acuan untuk mengetahui persoalan yang
bersifat partikular. Dalam hal ini, terdapat lima pokok kaidah, yaitu

a. ‫األمور بمقاصدها‬

b. ‫الضرر ال يزال بضرار األكبر‬

c. ‫العادة محكمة‬

d. ‫اليقين ال يزول بالشك‬

14
e. ‫المشقة تجلب التيسير‬

4. Tidak menggugurkan hak yang telah ditetapkan syariah.

Hak dalam Islam merupakan anugerah Tuhan yang dapat diketahui melalui berbagai sumber
hukum yang mengacu pada nas syariah. Dengan demikian, hak secara syariah hanya dapat
diketahui melalui dalil. Meski demikian, Islam tetap memberikan batasan-batasan tertentu
terhadap individu dalam menggunakan hak yang dimilikinya. Batasan tersebut berkisar
seputar maslahat dan mafsadah yang akan ditimbulkan pada masyarakat sekitar. Tidak
diperkenankan menggunakan hak, jika dapat berakibat pada timbulnya madharat pada orang
lain. Maka, tidak ada hak mutlak dalam Islam. Hak sendiri masih dibagi mejadi tiga; hak
manusia dengan Tuhan, hak manusia dengan sesama manusia dan hak yang mengandung
hak Tuhan dan manusia sekaligus. Hak tersebut harus selalu dijaga sehingga tidak
diperkenankan menerapkan kaidah sadd al-dzarî`ah yang kiranya dapat menggugurkan
berbagai hak di atas.

5. Ketetapan hukum pada sarana tersebut tidak menjurus pada keterbelakangan dan
kemunduran umat.

Efektifitas suatu hukum dalam upaya membangun suatu tatanan masyarakat sangat
berkaitan erat dengan sarana yang digunakan. Suatu sarana dibolehkan jika menjurus pada
tujuan yang dapat membawa mashahat, dan dilarang jika berdampak pada mafsadah. Jika
seorang mujtahid sudah mengetahui secara pasti mengenai maslahat yang akan ditimbulkan,
maka ia sudah dapat memberikan ketetapan hukum pada sarana yang akan digunakan. Jika
suatu perbuatan tidak mengandung nilai maslahat, atau dapat menggugurkan maslahat lain
yang lebih penting atau dapat berakibat pada madharat yang lebih besar, maka seorang
mujtahid harus melarang sarana yang akan digunakan. Secara sederhana, sadd al-dzarî`ah
tidak dapat diterapkan jika berdampak pada kemunduran dan keterbelakangan umat Islam.

5. Aplikasi dalam Ekonomi

A. Larangan kombinasi akad qardh dan ijarah

15
menggabungkan qardh wal ijarah dalam satu akad. contoh tersebut dilarang oleh nash (dalil)
syariah
،َ‫ث بْنُ َأبِي ُأ َسا َمة‬ ِ ‫ فَهُ َو ِربًا ) َر َواهُ اَ ْل َح‬،ً‫ض َج َّر َم ْنفَ َعة‬
ُ ‫ار‬ ٍ ْ‫صلَّى هَّللَا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ( ُكلُّ قَر‬
َ - ِ ‫ال َرسُو ُل هَّللَا‬
َ َ‫ ق‬:‫ال‬
َ َ‫َوع َْن َعلِ ٍّي رضي هللا عنه ق‬
ٌ‫َوِإ ْسنَا ُدهُ َساقِط‬

Artinya: Dari Ali Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah saaw. bersabda: "Setiap hutang yang
menarik manfaat adalah riba." Riwayat Harits Ibnu Abu Usamah dan sanadnya terlalu lemah

Jika kita teliti di dalam peraktiknya di perbankan Syari'ah dalam pembiayaan talangan haji
menggunakan Akad QARDH WAL UJRAH, akad tersebut adalah gabungan daripadadua
bentuk akad yakni akad qardh (pinjaman) dengan akad ijarah (sewa). pengambilanujrah
pada sewa di lakukan oleh LKS secara berbeda-beda, berdasar jumlah talanganyang di
berikan.

di sinilah letak zona syubhat pada pelaksanaannya di perbankan Syari'ah. ada dua
pelanggaran pelaksanaan akad Qardh, yakni:
1. Penggabungan dua akad, dan penggabungan dua akad ini jelas bertentangan
padahadits nabi di atas
2. Pelanggaran fatwa No:29/DSN-MUI/VI/2002, yang di dalamnya di sebutkan bahwa
jumlah ujrah tidak boleh di kaitkan dengan jumlah talangan yang telah di berikan.

B. Larangan mengiklankan miras

Miras sangatlah dilarang dalam agama. Dasar larangan miras: Q.S Al Maidah: 90-91. alasan
nya yaitu Suatu perbuatan yang memang padadasarnya pasti menimbulkan kerusakan
(mafsadah).

C. Larangan bunga yang sedikit, 1-3 %

Sesuai dengan Fatwa MUI No 1 Tahun 2004 secara tegas menyatakan bahwa praktik bunga
dalam perbankan konvensional telah memenuhi kriteria riba an-nasiah, sehingga haram
hukumnya.

D. Menjual senjata kepada kelompok musuh

Hal ini diqiyaskan dari Hadits yang berbunyi:

Dari Abdullah bin Buraidah dari ayahnya, beliau berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“Siapa saja yang menahan anggur ketika panen hingga menjualnya pada orang yang
inginmengolah anggur tersebut menjadi khamar, maka dia berhak masuk neraka di atas
pandangannya.” (HR. Thabrani dalam Al Awsath. Ibnu Hajardalam Bulughul Marom
mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan)

Sama halnya hukum menyewakan rumah pada orang yang akan menggunakan rumah
tersebut untuk maksiat.

16
Adapun para ulama Hanabilah mengatakan, “Seandainya pemilik rumah mengetahuibahwa
orang yang menyewa rumah tersebut akan menggunakan rumah itu untukmaksiat seperti
digunakan untuk menjual khamar dan selainnya, maka pemilik rumahtidak boleh
menyewakannya kepada orang tadi. Sewa tersebut tidak sah. Hukum jualbeli dan sewa
menyewa dalam hal ini adalah sama. ” (Al Ikhtiyarot Al Ilmiyah Li SyaikhilIslam, hal. 108,
Mawqi’ Misykatul Islamiyah.

E. Transaksi jual beli secara kredit (baiy al-ajal)

Transaksi jual beli secara kredit (baiy al-ajal) yang memungkinkan terjadinya riba. Terjadi
perbedaan pendapat di kalangan ulama. Menurut Imam Syafi’i dan Abu Hanifah, jual beli
tersebut dibolehkan karena syarat dan rukun dalam jual beli sudah terpenuhi. Sedangkan
Imam Malik dan Ahmad Ibnu Hambal lebih memperhatikan akibat yang ditimbulakan oleh
praktek jual beli tersebut, yakni menimbulkan riba. Dengan demikian, dzari’ah seperti itu
tidak dibolehkan. Ada tiga alasan yang dikemukakan oleh Imam Malik dan Imam Ahmad
Ibnu Hambal dalam mengemukakan pendapatnya:

a. Dalam jual beli kredit (baiy’al-ajal) perlu diperhatikan tujuan atau akibatnya, yang
membawa kepada perbuatan yang mengandumg unsur riba, meskipun sifatnya sebatas
praduga yang berat (galadah azh-zhann), karena syara’ sendiri banyak sekali menentukan
hukum berdasarkan praduga yang berat, disamping itu perlu sikap hati-hati (ihtiyat). Dengan
demikian, suatu perbuatan yang diduga akan mambawa pada kemafsadatan bisa dijadikan
dasar untuk melarang suatu perbuatan, seperti baiy al-ajal, berdasarkan kaidah fikih
(Tajuddin, 1991, 1:105),

‫ح‬ َ ‫ب ْال َم‬


ِ ِ‫صال‬ ِ ‫َدرْ ُء ْال َمفَا ِس ِد َأوْ لَى ِم ْن َج ْل‬

“Menghilangkan kemudharatan itu lebih didahulukan daripada Mengambil sebuah


kemaslahatan.”

b. Dalam kasus bay al-ajal terdapat dua dasar yang bertentangan, antara sahnya jual beli
karena ada syarat dan rukun, dengan menjaga seseorang dari kemadaratan. Dalam hal ini,
Imam Malik dan Ahmad Ibnu Hambal lebih menguatkan pemeliharaan keselamatan dari
kemadaratan, karena bentuk jual beli tersebut jelas-jelas membawa pada kemafsadatan.

c. Dalam nash banyak sekali larangan terhadap perbuatan-perbuatan yang pada dasarnya
dibolehkan, tetapi karena menjaga dari kemafsadatan sehingga dilarang, seperti hadits yang
diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim bahwa seorang laki-laki tidak boleh bergaul dengan

17
wanita yang bukan muhrim, dan wanita dilarang bepergian lebih dari tiga hari tanpa muhrim
atau mahramnya, dan lain-lain. Perbuatan-perbuatan yang dilarang itu sebenarnya
berdasarkan praduga semata-mata, tetapi Rasulullah SAW. melarangnya,karena perbuatan
itu banyak membawa kepada kemafsadatan

BAB III
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

1. Maslahah mursalah bertujuan untuk merealisasikan dan memelihara kemaslahatan


umat manusia secara maksimal yang merupakan cerminan manifestasi dari konsep
maqashid syariah. Hakikat kemaslahatan merupakan segala bentuk dan kemanfaatan
dunia maupun akhirat. Sesuatu aktifitas ekenomi dapat dikatakan maslahat apabila
memenuhi dua unsur, yaitu kepatuhan syari’ah (halal) dan bermanfaat serta
membawa kebaikan untuk seluruh umat manusia.

18
2. Saddu al-Dzari’ah adalah menghambat segala sesuatu yang menjadi jalan
kerusakan.Objek al-Dzari’ah ditinjau dari segi akibatnya dibagi menjadi empat,
pertama, perbuatan yang akibatnya menimbulkan kerusakan/bahaya.Kedua,
Perbuatan yang jarang menimbulkan kerusakan/bahaya. Ketiga, Perbuatan yang
berdasarkan dugaan yang kuat akan menimbulkan bahaya. Kempat, Perbuatan yang
lebih banyak menimbulkan kerusakan, tetapi belum kuat menimbulkan kerusakan

DAFTAR PUSTAKA

Adinugraha, H. H. (2018). Al-Maslahah Al-Mursalah dalam Penentuan Hukum Islam. Jurnal Ilmiah
Ekonomi Islam, 4(01), 63-75.

Hafizh, M. (2019). academia.edu. Retrieved september 10, 2022, from google:


https://www.academia.edu/43011096/Sadd_Adz_Dzariah_dan_Fath_Adz_Dariah_aplikasin
ya_dalam_ekonomi_islam

Hanif, M. (2021). KEHUJJAHAN SADD AL-ŻARI’AH SEBAGAI DALIL HUKUM ISLAM. Skripsi Mahasiswa
Prodi Perbandingan Mazhab dan Hukum Fakultas Syari'ah dan hukum Universitas Islam Ar-
Raniry Darussalam, 16-59.

Hidayatullah, S. (2018). MASLAHAH MURSALAH MENURUT AL-GHAZALI. al-Mizan, Vol. 2, No. 1,


115-136.

19
Takhim, M. (2019). Saddu al-Dzari’ah dalam Muamalah Islam. AKSES: Jurnal Ekonomi dan Bisnis,
Vol. 14 No.1, 19-25.

Wahyudi. (2013, November 29). almuflihun.com. Retrieved from google:


http://almuflihun.com/syarat-realisasi-kaidah-sadd-al-dzariah/

Ziyadatus Shofiyah, M. L. (2021). IMPLEMENTASI KONSEP MASLAHAH MURSALAH. Al-Mustashfa:


Jurnal Penelitian Hukum Ekonomi Islam, Vol. 6, No. 2, 135-146.

20

Anda mungkin juga menyukai