Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH USHUL FIQIH

“Maqasid Syariah (Al Ghazali)”

DOSEN PENGAMPU:

Dra.Murniati Ruslan, M.Pd.I

Muhammad Rahmatullah, S.H.I., M.H

Disusun oleh kelompok 13:

Moh Labib Nur Amin 215120095

Muh Rifaldi Latarang 215120118

Zaenal Andrean 215120120

JURUSAN EKONOMI SYARIAH

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI DATOKARAMA PALU

2022/2023
KATA PENGANTAR

Puji Syukur penulis panjatkan kehadirat Allah swt, yang telah melimpahkan
rahmat, taufik, serta hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah
yang berjudul “Maqasid Al-Syari‟ah (Al-ghazali)” ini dengan baik. Makalah ini
membahas tentang bagaimana pemikiran Al Ghazali dalam memahami tujuan
pensyariatan dalil-dalil syarak.
Makalah ini dibuat guna memenuhi tugas yang diberikan Dosen pengajar
mata kuliah Ushul Fiqh, Universitas Islam Negeri (UIN) Datokarama Palu
Penulis menyadari bahwa penyusunan makalah ini masih jauh dari
sempurna. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati, saran dan kritik yang
membangun perbaikan makalah ini sangat penulis harapkan dari pembaca dalam
hal ini teman-teman sekalian dan dosen pengampu mata kuliyah Ushul Fiqh, guna
memperbaiki dan meningkatkan pembuatan ini serta makalah atau tugas yang
lainnya pada waktu mendatang.
Kiranya yang Maha Kuasa tetap menyertai kita sekalian, dengan harapan
pula agar karya ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkannya.

ii
DAFTAR ISI

SAMPUL ......................................................................................................... i
KATA PENGANTAR .................................................................................... ii
DAFTAR ISI................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1


A. Latar Belakang ................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .............................................................................. 2
C. Tujuan Penulisan................................................................................ 3

BAB II PEMBAHASAN ................................................................................ 4


A. Pemikiran Maqasid syari‟ah Al Ghazali ............................................ 4
B. Maslahat dan Mafsadah Menurut Al Ghazali .............................................. 5

BAB III PENUTUP ........................................................................................ 9


A. Kesimpulan ........................................................................................ 9
B. Saran .................................................................................................. 9

DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Tujuan penetapan hukum atau yang sering dikenal dengan istilah Maqashid
Al-syari‟ah merupakan salah satu konsep penting dalam kajian hukum Islam.
Karena begitu pentingnya Maqashid Al-syari‟ah tersebut, para ahli teori hukum
menjadikan Maqashid Al-syari‟ah sebagai sesuatu yang harus dipahami oleh
mujtahid yang melakukan ijtihad. Adapun inti dari teori Maqashid Al-syari‟ah
adalah untuk mewujudkan kebaikan sekaligus menghindarkan keburukan, atau
menarik manfaat dan menolak madharat. Istilah yang sepadan dengan inti dari
Maqashid Al-syari‟ah tersebut adalah maslahat, karena penetapan hukum dalam
Islam harus bermuara kepada maslahat.1
Bila ditelusuri perkembangan tentang maqashid al-syari‟ah, maka diketahui
bahwa perhatian terhadap Maqashid Al-syari‟ah ini telah ada sejak masa
rasulullah Saw2. Penelaahan terhadap maqashid syari'ah mulai mendapat
perhatian yang intensif setelah Rasulullah Shallallahu „alaihi wa Sallam wafat, di
saat para sahabat dihadapkan kepada berbagai persoalan baru dan perubahan
sosial yang belum pernah terjadi pada masa Rasulullah saw masih hidup.
Perubahan sosial yang dimaksud adalah segala perubahan pada lembaga-lembaga
kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat yang mempengaruhi sistem sosialnya,
termasuk di dalamnya nilai- nilai, sikap-sikap, pola-pola perikelakuan di antara
kelompok-kelompok di dalam masyarakat3. Perubahan sosial seperti ini menuntut
kreatifitas para sahabat untuk memecahkan persoalan- persoalan baru yang akan

1
Ghofar Shidiq, Teori Maqashid Al-Syari'ah Dalam Hukum Islam, Dosen Fakultas Agama
Islam Universitas Islam Sultan Agung, (Sultan Agung Vol XLIV No. 118 Juni – Agustus 2009),
117-118
2
Suansar Khatib, Konsep Maqashid Al-Syari`Ah: Perbandingan Antara Pemikiran Al-
Ghazali Dan Al-Syathibi, (Fakultas Syariah IAIN Bengkulu, Mizani: Wacana Hukum, Ekonomi
dan Keagamaan Volume 5, No. 1, 2018), 47.
3
Ghilman Nursidin, Konstruksi Pemikiran Maqashid Syari‟ah Imam Al-Haramain Al-
Juwaini (Kajian Sosio-Historis), (Program Pascasarjana Institut Agama Islam Negeri (IAIN)
Walisongo Semarang 2012), 3-4.

1
2

muncul akibat perubahan sosial itu.


Perlu diketahui bahwa Allah SWT sebagai syari' (yang menetapkan syari'at)
tidak menciptakan hukum dan aturan begitu saja. Akan tetapi hukum dan aturan
itu diciptakan dengan tujuan dan maksud tertentu. Ibnu Qayyim al-Jauziyah,
sebagaimana dikutip oleh Khairul Umam menyatakan “bahwa tujuan syari'at
adalah kemaslahatan hamba di dunia dan di akhirat. Syari'at semuanya adil,
semuanya berisi rahmat, dan semuanya mengandung hikmah. Setiap masalah
yang menyimpang dari keadilan, rahmat, maslahat, dan hikmah pasti bukan
ketentuan syari'at”.4
Pada perkembangan selanjutnya penelaahan terhadap maqashid syari‟ah
semakin mendapat perhatian dikalangan ulama ushul. Imam Al-Haramain Al-
Juwaini, Abu Al-Ma'ali Abd Al-Malik Ibn Abdullah Ibn Yusuf Al-Juwaini dapat
dikatakan sebagai ulama ushul yang pertama kali meletakkan dasar kajian tentang
maqashid syari‟ah ini. Imam Al-Juwaini mengatakan orang-orang yang tidak
mampu memahami dengan baik tujuan Allah dalam memberikan perintah dan
larangan-Nya, maka ia belum dipandang mampu dalam menetapkan atau
melakukan istinbath hukum-hukum Syari'at. Pemikiran Imam Al-Juwaini ini
selanjutnya dikembangkan oleh Al-Ghazali. Imam al-Ghazali sebagai ulama besar
Islam, memiliki pengaruh terhadap pemikiran Islam modern. Teori-teori yang
dikemukakan dalam karyanya bisa menjadi perspektif baru dalam usaha
merespons permasalahan yang ada.
Berdasarkan pertimbangan di atas, maka pengetahuan tentang teori
Maqashid Al-syari‟ah dalam kajian hukum Islam merupakan suatu keniscayaan.
Makalah singkat ini akan mencoba membahas secara sederhana teori Maqashid
Al-syari‟ah tersebut.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pemikiran Imam Al-Ghazali tentang maqashid syariah?
2. Bagaimana Konsep Maslahat dan Mafsadah menurut Imam al-Ghazali?

4
Khairul Umam, Ushul Fiqih, (Bandung: Pustaka Setia, 2001), 127.
3

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pemikiran Imam Al-Ghazali tentang maqashid syariah
2. Untuk mengetahui Konsep Maslahat dan Mafsadah menurut Imam al-
Ghazali
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pemikiran Maqasid syari’ah Al Ghazali


Imam Al Ghazali menyatakan bahwa maqashid al Syariah dapat diketahui
dari keterangan-keterangan al Quran, as Sunnah, dan al Ijma‟. Imam al Ghazali
ketika membahas tentang maqashid menyinggung; “wa maqshudu al syar‟i min al
khalqi khamsatun wa hiya an yahfadha lahum dinahum wa nafsahum, wa
„aqlahum wa naslahum wa malahum”, tujuan Allah Ta‟ala dalam syariatnya bagi
makhluk adalah untuk menjaga agama mereka, jiwa mereka, akal, keturunan, dan
harta mereka. Apa yang disampaikan al Ghazali ini memang tidak sejelas apa
yang disampaikan ulama-ulama ketika ilmu maqashid syariah sudah mulai
berjalan ke arah menjadi disiplin ilmu yang independen.
Untuk mencapai tujuan syarak yang benar Imam al-Ghazali berpandangan
bahwa hendaklah dengan menjaga maslahat yang lima, namun memelihara
maslahat saja tidaklah cukup untuk mencapai maqasid al-syari„ah, ia mesti diikuti
pula dengan menolak mafsadah. Bagi Imam al-Ghazali setiap perkara yang
menafikan lima asas tujuan syariat tersebut adalah mafsadah. Penetapan maslahat
dan mafsadah harus benar, sehingga tidak terjadi kontradiksi antara maslahat
dengan maslahat atau maslahat dengan mafsadah. Artinya, dibutuhkan tarjih
terhadap sesuatu yang diyakini maslahat atas suatu mafsadah.5
B. Maslahat dan Mafsadah Menurut Al Ghazali
Secara umum, maqasid al-syari„ah adalah tujuan yang hendak dicapai bagi
manusia dari penetapan sebuah hukum syarak terhadap manusia demi tercapainya
kemaslahatan dan terhindarnya kerusakan di dunia dan di akhirat. Tujuan tersebut
terkait dengan pemeliharaan agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Untuk
mencapai maqasid al-syari„ah maka pencapaian maslahat dan penolakan
mafsadah merupakan elemen penting dan haruslah seiring sejalan dan tidak dapat
dipisahkan antara keduanya. Karena mencapai maslahat saja tanpa menolak

5
Akbar Sarif dan Ridzwan Ahmad, Konsep Maslahat dan Mafsadah menurut Imam al-
Ghazali, (University of Malaya, Kuala Lumpur, Vol. 13, No. 2, November 2017), 361.

4
5

mafsadah tidaklah lengkap untuk mencapai maqasid al-syari„ah, sedangkan


menolak mafsadah tanpa mencapai maslahat, maka manusia akan mengalami
kekeliruan karena tidak adanya tujuan yang pasti yang hendak dicapai. Namun
dengan pencapaian maslahat dan penolakan mafsadah yang berjalan seiring akan
tercapailah tujuan dari syarak atau yang kita kenal dengan maqasid al-syari„ah.
Oleh sebab itu, pencapaian tehadap maslahat dan penolakan mafsadah dalam
penentuan sebuah hukum amat diperlukan agar tidak melenceng dari tujuan
syarak yang sebenarnya, sehingga konsep maslahat dan mafsadah masuk dalam
maqasid al-syari„ah.6
Dalam kitab al-Mustasfa min „Ilm al-Usul, Imam al-Ghazali berpendapat
bahwa maslahat ialah suatu pernyataan terhadap pencapaian manfaat dan menolak
mudarat. Untuk mengetahui maslahat dari sesuatu, tidak dapat diketahui hanya
oleh akal manusia, melainkan juga harus dengan bantuan dalil syarak. Pandangan
beliau ini diikuti oleh Imam al-Syatibi dan ulama-ulama setelahnya7. Untuk itu,
ukuran diterimanya maslahat ialah syarak dan bukan akal manusia.8
Maslahat sendiri hakikatnya adalah memelihara tujuan syariat yang terbagi
atas 5 hal: memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, serta harta9. Sebaliknya,
tujuannya bukan atas dasar kehendak manusia. Penekanan ini bukan bermakna
bahwa beliau menafikan manusia, namun karena manusia mempunyai perbedaan
dalam menilai maslahat, maka syarak mesti menjadi ukurannya10. Menurut beliau,
tujuan manusia hendaklah tidak bertentangan dengan tujuan syarak. Dari sini
dapat dipahami bahwa walaupun maslahat berdasarkan kehendak syarak, namun

6
Ibid, 360.
7
Fakhruddin al-Razi, Al-Mahsul fi „Ilm Usul al-Fiqh, Tahkik oleh Taha Jabir Fayyadh al-
„Alwani, Juz 5, (Cet; 2, Beirut: Mu‟assasat al-Risalah, 1416 H/1992 M), 166-174.
8
Al-Syawkani, Irsyad al-Fuhul ila Tahqiq al- Haq min „Ilm al-Usul, Tahkik oleh Abu Hafs
Sami bin al-„Arabi al-Asyra, Juz 2, (Riyadh: Dar al- Fadilah, 1421 H/2000 M), 990.
9
Abu Hamid al-Ghazali, al-Mustasfa min „Ilm al-Usul, Tahkik oleh „Abdullah Mahmud
Muhammad „Umar, (Beirut: Dâr al-Kutub al-„Ilmiyyah, 2008), 275.
10
Wahbah al-Zuhaili, Usul al-Fiqh al-Islami, Juz 2, (Cet; 15, Damascus: Dar al-Fikr, 1428
H/2007 M), 37.
6

pada hakikatnya selaras dengan kehendak manusia.11


Menurut pandangan Imam al-Ghazali maslahat hanya sebagai metode dalam
pengambilan hukum, dan bukannya sebagai dalil atau sumber hukum12. Oleh
sebab itu beliau menjadikan maslahat sebagai dalil yang masih bergantung kepada
dalil lain yang lebih utama, seperti al-Qur‟an, al-Sunnah, dan ijma‟. Jika maslahat
bertentangan dengan nas, maka ia tertolak sama sekali. Dalam hal ini beliau
sangat berhatihati dalam membuka pintu maslahat agar tidak disalahgunakan oleh
kepentingan hawa nafsu manusia. Bahkan di akhir dari pembahasan tentang
maslahat dalam karyanya al-Mustasfa, Imam al-Ghazali menegaskan bahwa
maslahat bukan sumber hukum kelima setelah al-Qur‟an, al-Sunnah, ijmak, dan
qiyas. Jika ada yang menganggap demikian, maka ia telah melakukan kesalahan,
karena dalam pandangan Imam al-Ghazali maslahat kembali kepada penjagaan
maqasid al-syari„ah dan merupakan hujah baginya13. Para ulama sepakat akan hal
ini, kecuali Imam al-Syatibi yang berpandangan bahwa maslahat sebagai sumber
hukum karena ia bersifat kulliy (universal). Imam al-Syatibi menyatakan bahwa
berhukum dengan sesuatu yang bersifat al-kulliy merupakan hukum qat‟i (pasti)
dan para ulama sepakat akan hal ini.14
Menurut Imam Al-Ghazali kemaslahatan inti atau pokok mencakup lima hal
yaitu:
1. Menjaga agama (hifdz ad-Din); illat (alasan) diwajibkannya berperang dan
berjihat jika ditunjukan untuk para musuh atau tujuan senada.
2. Menaga jiwa (hifdz an-Nafs); illat (alasan) diwajibkan hukum qishaash
diantaranya dengan menjaga kemuliaan dan kebebasannya

11
Yusuf Hamid „Alim, al-Maqasid al-„Ammah li al-Syari„ah al-Islamiyah, (Cet; 2, Riyadh:
al-Dar al- „Alamiyah li al-Kutub al- Islami, 2008), 135.
12
Mahdi Faslullah, al-Ijtihad wa al-Mantiq al-Fiqh fi al-Islam, (Beirut: Dar al-Tali‟ah,
T.Th.), 297. Lihat juga Ahmad Munif Suratmaputra, Filsafat Hukum Islam al Ghazali: Maslahah
Mursalah dan Relevansinya dengan Pembaharuan Hukum Islam, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002),
144.
13
Abu Hamid al-Ghazali, al-Mustasfa, 282-283.
14
Lihat penjelasan al-Raysuni tentang pengaruh Imam al-Ghazali dalam pemikiran Imam
al-Syatibi dalam, Ahmad al-Raysuni, Nazariyyah al-Maqasid „ind Imam al-Syatibi, (Cet; 2,
Riyadh: al-Dar al-„Alamiyyah li al-Kutub al-Islami, 1412 H/1992 M), 295-297.
7

3. Menjaga akal (hifdz al-aql); illat (alasan) diharamkan semua benda yang
memabukan atau narkotika dan sejenisnya.
4. Menjga keturunan (hifdz an-Nasl); illat (alasan); diharamkannya zina dan
menuduh orang berbuat zina.
5. Menjaga harta (hifdz al-Mal); illat (alasan); pemotongan tangan untuk para
pencuri, illat diharamkannya riba dan suap menyuap, atau memakan harta
orng lain dengan cara bathil yang lain.15
Secara umum syarat beramal dengan maslahat menurut Imam al-Ghazali
adalah seperti berikut:
1. Maslahat itu hendaklah sesuai dengan maksud dan tujuan syarak.Inilah yang
dijadikan standar penerimaan sesuatu maslahat atau penolakan sesuatu
mafsadah. Jika ia sesuai dengan maksud dan tujuan syarak, maka ia diterima
dan jika ia tidak sesuai dengan tujuan dan kehendak syarak, maka ia
tertolak.
2. Maslahat tidak bertentangan dengan nas syarak. Jika betentangan, maka ia
tertolak.
3. Maslahat tidak bertentangan dengan maslahat atau dengan dalil yang lebih
kuat. Jika terjadi kontradiksi di antara maslahat dan maslahat, atau maslahat
dengan mafsadah, maka Imam Al Ghazali menggunakan mana prediksi
yang lebih benar terhadap sesuatu maslahat.
4. Maslahat dapat diterima jika bersifat daruriyyah, kulliyyah, dan qat‟iyyah,
atau berstatus zann yang mendekati qat‟i.
Secara umum, syarat-syarat di atas diterima oleh para ulama. Namun perlu
ditekankan bahwa maslahat yang bersifat daruriyyah, kulliyyah, dan qat‟iyyah
yang dikemukakan oleh Imam al-Ghazali di atas hanya berlaku ketika orang-
orang kafir menjadikan tawanan Muslim sebagai perisai perang dan bukan dalam
semua keadaan.16

15
Bayu Wibawa, Maqashid Syariah Pemikiran Imam Al-Ghazali,
http://piuii17.blogspot.com/2017/11/maqashid-syariah-pemikiran-imam-al.html
16
Akbar Sarif dan Ridzwan Ahmad, Konsep, 359-360.
8

Adapun mafsadah berarti sesuatu yang rusak atau suatu kemudaratan.


Antonimnya adalah maslahat atau juga kebaikan. Artinya, mafsadah adalah
kemudaratan yang membawa kepada kerusakan. Mafsadah dan maslahat memiliki
kaitan yang erat. Ketika ulama menggunakan konsep maslahat dalam penentuan
suatu hukum, maka konsep mafsadah juga terikut.
Menurut Imam al-Ghazali, mafsadah merupakan sesuatu yang membawa
terhapusnya (sebagian atau keseluruhan) maqasid alsyari„ah yang lima. Dalam
pandangan Imam al-Ghazali ini dikenal dengan mafsadah haqiqiyyah. Mafsadah
haqiqiyyah tidak hanya merusak sebagian atau keseluruhan maqasid al-syari„ah
yang lima itu, namun juga menghapus atau merusak hal-hal yang terkait
dengannya (wasilah), atau dikenal dengan istilah mafsadah majaziyyah. „Izzuddin
Abdussalam mengatakan bahwa mafsadah majaziyyah merupakan sebab
timbulnya mafsadah haqiqiyyah17. Sebagai contoh, zina adalah mafsadah
haqiqiyyah, adapun melihat wanita yang bukan mahram merupakan mafsadah
majaziyyah, karena merupakan perantara terjadinya zina. Jika perantara itu kuat,
maka mafsadahnya semakin kuat dan sebaliknya.
Imam al-Ghazali menegaskan bahwa semua munasabah hukum Islam
tersebut rujukannya, adalah memelihara tujuan-tujuan syara, namun tujuan-tujuan
syara‟ itu berbagi pula kepada beberapa tingkatan di antaranya:
1. Al-Dharurat (kepentingan yang paling urgen atau kebutuhan primer),
merupakan tingkatan yang paling tinggi. Misalnya memelihara atau
menjaga nyawa. Contoh yang paling sesuai dengan masalah ini adalah
pelaksanaan hukum qishas. Begitu juga juga dengan urgenya menjaga akal
dengan diharamkannya minuman khamar, dan sebagainya. Belakangan
konsep ini disebut dengan “al-Dharurat al-Khamsah”.
2. Al-hajat/Al-Hajiyat (hajat atau kepentingan yang diperlakukan atau
kebetulan sekunder), misalnya diberikan hak kuasa kepada wali untuk
memelihara anak gadisnya yang masih belia untuk menjaga dan memelihara

17
„Izzuddin Abdussalam, Qawa„id al-Ahkam fi Masalih al-Anam, (Juz; 1, Cairo: Dar
alSyarq, 1388 H/1968 M), 14.
9

adanya suatu kafa‟ah (keserasian/kecocokan) diantara suami istri dan


terjaganya mahar misil (mahar standar dalam keluarga).
3. Al-Tahsinan/Tahsiniyat (kepentingan yang memperindah dan memperbagus
atau kebutuhan tersier). Kepentingan ini tidak termasuk ke dalam al-
dharurat dan tidak pula al-hajat, tetapi hanya berfungsi sebagai hiasan yang
memperindah saja. Contohnya, saksi hamba sahaya tidak diterima oleh
kasus-kasus yang melibatkan orang mereka, karena perbedaan status
keduanya.18

18
Abu Hamid al-Ghazali, Syifa‟ al-Ghalil fi Bayan al-Syibh wa Mukhil wa Masalik al-
Ta‟lil, Hamad al-Kubaisiy (ed), (Baghdad: al-Irsyad, t.th.), 159.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang telah di bahas sebelumnya maka, maqasid
syari‟ah menurut Al Ghazali adalah tujuan yang akan di capai oleh dalil-dalil
syarak agar terciptanya kemaslahatan bagi umat manusia dan menolak sagala
yang merusaknya (mafsadah). Maslahat disini adalah untuk memelihara tujuan
syarak yang mencakup lima hal yaitu memelihara agama, jiwa, akal, keturuanan
dan harta. Untuk mengetahui maslahat dari sesuatu maka haruslah dengan dalil-
dalil syarak. Oleh karena itu untuk mengetahui ukuran di terimanya suatu
maslahat haruslah berdasarkan dalil-dalil syarak bukan dengan akal manusia.
Sedangkan syarat beramal dengan maslahat menurut Al Ghazali yaitu:
1. Maslahat itu hendaklah sesuai dengan maksud dan tujuan syarak
2. Maslahat tidak bertentangan dengan nas syarak.
3. Maslahat tidak bertentangan dengan maslahat atau dengan dalil yang lebih
kuat.
4. Maslahat dapat diterima jika bersifat daruriyyah, kulliyyah, dan qat‟iyyah,
atau berstatus zann yang mendekati qat‟i. perlu ditekankan bahwa maslahat
yang bersifat daruriyyah, kulliyyah, dan qat‟iyyah yang dikemukakan oleh
Imam al-Ghazali di atas hanya berlaku ketika orang-orang kafir menjadikan
tawanan Muslim sebagai perisai perang dan bukan dalam semua keadaan.
B. Saran
1. Dalam penulisan makalah ini, penulis banyak mengalami hambatan terkait
dengan referensi. Untuk itu penulis sangat berharap beberapa saran referensi
kepada para pembaca agar kedepannya makalah ini dapat menjadi lebih baik
2. Setiap hukum yang di tetapkan oleh Allah SWT pasti mempunyai tujuan
dan maksud. Maka penmakalah menyarankan agar sebagai seorang muslim
kita harus mempelajari hal tersebut agar semakin menambah ketakwaan
kepada Allah SWT.

10
DAFTAR PUSTAKA

„Alim, Yusuf Hamid, al-Maqasid al-„Ammah li al-Syari„ah al-Islamiyah, Cet; 2,


Riyadh: al-Dar al- „Alamiyah li al-Kutub al- Islami, 2008

Abdussalam, „Izzuddin, Qawa„id al-Ahkam fi Masalih al-Anam, Juz; 1, Cairo:


Dar alSyarq, 1388 H/1968 M

Al-Ghazali, Abu Hamid, al-Mustasfa min „Ilm al-Usul, Tahkik oleh „Abdullah
Mahmud Muhammad „Umar, Beirut: Dâr al-Kutub al-„Ilmiyyah, 2008

____Syifa‟ al-Ghalil fi Bayan al-Syibh wa Mukhil wa Masalik al-Ta‟lil, Hamad


al-Kubaisiy ed, Baghdad: al-Irsyad, t.th.

Al-Razi, Fakhruddin, Al-Mahsul fi „Ilm Usul al-Fiqh, Tahkik oleh Taha Jabir
Fayyadh al- „Alwani, Juz 5, Cet; 2, Beirut: Mu‟assasat al-Risalah, 1416
H/1992 M

Al-Syawkani, Irsyad al-Fuhul ila Tahqiq al- Haq min „Ilm al-Usul, Tahkik oleh
Abu Hafs Sami bin al-„Arabi al-Asyra, Juz 2, Riyadh: Dar al- Fadilah,
1421 H/2000 M

Al-Zuhaili, Wahbah, Usul al-Fiqh al-Islami, Juz 2, Cet; 15, Damascus: Dar al-
Fikr, 1428 H/2007 M

Faslullah, Mahdi, al-Ijtihad wa al-Mantiq al-Fiqh fi al-Islam, Beirut: Dar al-


Tali‟ah, T.Th. Lihat juga Ahmad Munif Suratmaputra, Filsafat Hukum
Islam al Ghazali: Maslahah Mursalah dan Relevansinya dengan
Pembaharuan Hukum Islam, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002

Khatib, Suansar, Konsep Maqashid Al-Syari`Ah: Perbandingan Antara Pemikiran


Al-Ghazali Dan Al-Syathibi, Fakultas Syariah IAIN Bengkulu, Mizani:
Wacana Hukum, Ekonomi dan Keagamaan Volume 5, No. 1, 2018

Lihat penjelasan al-Raysuni tentang pengaruh Imam al-Ghazali dalam pemikiran


Imam al-Syatibi dalam, Ahmad al-Raysuni, Nazariyyah al-Maqasid „ind
Imam al-Syatibi, Cet; 2, Riyadh: al-Dar al-„Alamiyyah li al-Kutub al-
Islami, 1412 H/1992 M

Nursidin, Ghilman, Konstruksi Pemikiran Maqashid Syari‟ah Imam Al-Haramain


Al-Juwaini Kajian Sosio-Historis, Program Pascasarjana Institut Agama
Islam Negeri IAIN Walisongo Semarang 2012

Ridzwan Ahmad, dan Akbar Sarif, Konsep Maslahat dan Mafsadah menurut
Imam al-Ghazali, University of Malaya, Kuala Lumpur, Vol. 13, No. 2,
November 2017

Shidiq, Ghofar, Teori Maqashid Al-Syari'ah Dalam Hukum Islam, Dosen Fakultas
Agama Islam Universitas Islam Sultan Agung, Sultan Agung Vol XLIV
No. 118 Juni – Agustus 2009
Umam, Khairul, Ushul Fiqih, Bandung: Pustaka Setia, 2001
Wibawa, Bayu, Maqashid Syariah Pemikiran Imam Al-Ghazali,
http://piuii17.blogspot.com/2017/11/maqashid-syariah-pemikiran-imam-
al.html

Anda mungkin juga menyukai