Anda di halaman 1dari 17

MAQASHID SYARIAH DALAM EKONOMI ISLAM

Al-GHAZALI : LOGIKA MAQASHID, Al-SYATIBI : KONSEP


MAQASHID SYARIAH
Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Filsafat Ekonomi Islam

Dosen Pengampu : Dr. Pani Akhiruddin Siregar, MA

Disusun Oleh :

Kelompok 9

Annisa Zahara Lubis 0502192142


Indah Sari Nasution 0502193257
Yulij Nur’aini 0502192125

AKUNTANSI SYARIAH

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA

TA. 2022/2023
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa
pertolongan-Nya tentunya kami tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah
ini dengan baik. Shalawat serta salam semoga terlimpah curahkan kepada baginda
tercinta kita yaitu Nabi Muhammad SAW yang kita nantikan syafa'atnya di akhirat
nanti.

Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat


sehat-Nya baik itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis mampu
menyelesaikan pembuatan makalah sebagai tugas dari mata kuliah Filsafat
Ekonomi Islam dengan judul "Maqashid Syariah Dalam Ekonomi Islam: Al-
Ghazali: Logika Maqashid, Al-Syatibi: Konsep Maqashid Syariah".

Penulis tentu menyadari makalah yang kami susun ini masih jauh dari kata
sempurnah dan masih banyak terdapat kesalahan dan kekurangan di dalamnya.
Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran bagi pembaca guna
penyempurnaan makalah ini.

Medan, 04 November 2022

Kelompok 9

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...............................................................................................1


DAFTAR ISI ..............................................................................................................2
BAB I .........................................................................................................................1
PENDAHULUAN .....................................................................................................1
1.1 Latar Belakang.............................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah .......................................................................................1
1.3 Tujuan Penulisan .........................................................................................2
BAB II ........................................................................................................................3
PEMBAHASAN ........................................................................................................3
2.1 Pengertian dari Maqashid Syariah ...............................................................3
2.2 Biografi Singkat Imam Al-Ghazali .............................................................5
2.3 Logika Maqashid Syariah Menurut Perspektif Imam Al-Ghazali ...............5
2.4 Biografi Singkat Al-Syatibi .........................................................................8
2.5 Konsep Maqashid Syariah Menurut Perspektif Al-Syatibi .........................9
BAB III ....................................................................................................................13
PENUTUP ................................................................................................................13
3.1 Kesimpulan ................................................................................................13
3.2 Saran ..........................................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA ..............................................................................................14

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Dalam ilmu ushul fiqih, kita sering mendengar terminologi maqashid al-
Shari’ah, yakni tujuan umum diberlakukannya syari’at bagi umat manusia. menurut
Wahbah Al-Zuhaili, Maqashid al-Shari’ah berarti nilai-nilai dan sasaran syara’
yang tersirat dalam segenap atau bagian terbesar dari hukumhukumnya. Nilai-nilai
dan sasaran-sasaran itu dipandang sebagai tujuan dan rahasia syariah yang
ditetapkan oleh al-Shari’ dalam setiap ketentuan hukum.

Maqashid syariah dalam pengertian umum (dasar) adalah tujuan-tujuan


syariah. Tujuan-tujuan syariah tersebut adalah untuk mewujudkan kemaslahatan
manusia di dunia dan di akhirat. Menurut Al-Ghazali, Kemaslahatan manusia
diwujudkan dengan memelihara lima kebutuhan pokok yaitu agama, jiwa, akal,
keturunan dan harta.

Sedangkan Syathibi dalam meletakkan dasar-dasar bangunan maqâshid


syarî’ah dengan membagi tiga bagian utama yaitu: Pertama, masalah ta’lil, dan al-
mashâlih wa al-mafâsid. Kedua, terkait dengan cara untuk mengetahui maqâshid
dengan enam cara yaitu tujuan syarî’ah harus sesuai dengan bahasa arab, perintah
dan larangan syarî’ah dipahami sebagai ta’lîl dan dahiriyah teks, maqâsyid al-
ashliyah wa al-maqâshid al-tabi’iyyah, sukût al-syâri’, al-istiqra’, mencari petunjuk
para sahabat Nabi. Sedangkan bangunan yang ketiga merupakan operasionalisasi
ijtihad al-maqâsyid dengan empat syarat teks-teks dan hukum tergantung pada
tujuannya, mengumpulkan antara kulliyât al-ammah dan dalil-dalil khusus,
mendatangkan kemashlahâtan dan mencegah kerusakan secara mutlak dan
mempertimbangkan akibat suatu hukum.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa Pengertian dari maqashid syariah?


2. Bagaimana biografi Imam Al-ghazali?
3. Bagaimana logika maqashid syariah menurut Imam Al-Ghazali?
4. Bagaimana biografi Imam Al-Syatibi?
5. Bagaimana konsep maqashid syariah menurut Al-Syatibi?
1
1.3 Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui pengertian dari maqashid syariah


2. Untuk mengetahui biografi Imam Al-ghazali
3. Untuk mengetahui logika maqashid syariah menurut Imam Al-Ghazali
4. Untuk mengetahui biografi Imam Al-Syatibi
5. Untuk mengetahui konsep maqashid syariah menurut Al-Syatibi

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian dari Maqashid Syariah

Secara bahasa Maqashid Syari’ah terdiri dari dua kata


yaitu Maqashid dan Syari’ah. Maqashid berarti kesengajaan atau tujuan,
Maqashid merupakan bentuk jama’ dari maqsud yang berasal dari suku kata
Qashada yang berarti menghendaki atau memaksudkan, Maqashid berarti hal-hal
yang dikehendaki dan dimaksudkan. Sedangkan Syari’ah secara bahasa
berarti ‫ المواضع تحدر الي الماء‬artinya Jalan menuju sumber air, jalan menuju sumber
air dapat juga diartikan berjalan menuju sumber kehidupan.

Didalam Alqur’an Allah Swt menyebutkan beberapa kata Syari’ah


diantaranya sebagai mana yang terdapat dalam surat al-Jassiyah dan al-Syura:

‫علَى ش َِري َع ٍة ِمنَ ْاْل َ ْم ِر فَات َّ ِب ْع َها َو ََل تَت َّ ِب ْع أَ ْه َوا َء الَّذِينَ ََل‬ َ ‫ث ُ َّم َج َع ْلن‬
َ ‫َاك‬
َ‫يَ ْعلَ ُمون‬
Artinya: kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan)
dari urusan (agama itu), Maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa
nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.( Q:S, 45 : 18)

‫صى ِب ِه نُو ًحا َوالَّذِي أَ ْو َح ْينَا ِإلَي َْك َو َما‬ َّ ‫ِين َما َو‬ِ ‫ِمنَ الد‬ ‫ع لَ ُك ْم‬
َ ‫ش ََر‬
‫سى ۖ أَ ْن أَقِي ُموا الدِينَ َو ََل تَتَفَ َّرقُوا‬ َ ‫سى َو ِعي‬ َ ‫يم َو ُمو‬
َ ‫ِإب َْرا ِه‬ ‫ص ْينَا بِ ِه‬
َّ ‫َو‬
‫ِفي ِه‬
Artinya: Dia telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah
diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan
apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa Yaitu:
Tegakkanlah agam dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. (Q:S, 42: 13)

Dari dua ayat diatas bisa disimpulkan bahwa Syariat sama dengan Agama,
namun dalam perkembangan sekarang terjadi Reduksi muatan arti Syari’at.
Aqidah misalnya, tidak masuk dalam pengertian Syariat, Syeh Muhammad
Syaltout misalnya sebagaimana yang dikutip oleh Asafri Jaya Bakri dalam
bukunya Konsep Maqashid Syari’ah menurut al-Syatibi mengatakan bahwa
Syari’at adalah: Aturan-aturan yang diciptakan oleh Allah SWT untuk dipedomani

3
oleh manusia dalam mengatur hubungan dengan tuhan, dengan manusia baik
sesama Muslim maupun non Muslim, alam dan seluruh kehidupan.

Selain itu Maqashid syariah adalah tujuan-tujuan syariat dan rahasia-


rahasia yang dimaksudkan oleh allah dalam setiap hukum dari keseluruan
hukumnya. Inti dari tujuan syariah adalah merealisasikan kemaslahatan bagi
manusia dan menghilangkan kemudorotan, sedangkan mabadi (pokok dasar)
yakni memperhatikan nilai-nilai dasar islam. Seperti keadilan persamaan, dan
kemerdekaan.

4
2.2 Biografi Singkat Imam Al-Ghazali

Imam Al-Ghazali bernama lengkap Abu Hamid Muhammad bin Muhammad


bin Muhammad bin Ahmad al-Ghazali at-Thusi al-syafi’i, yang dikenal juga
dengan Hujjatul Islam al-Imam al-Jalil Zaid ad-Din (argumentator Islam). Lahir
pada tahun 450 H di Desa Ghazalah, di pinggir kota Thus, bagian Timur laut
negara Iran.

Al-Ghazali menyelesaikan pendidikanya di tanah kelahiran, ia belajar ilmu


al-Qur’an dan dasar ilmu keagamaan lainya kepada ayahnya, kemudian al-Ghazali
belajar fiqh kepada Ahmad ibnu Muhammad al-Razakny at-Thusu di Thus dan
tasawuf dari Yusuf an-Nassaj, kemudian hingga 470 H. Al-Ghazali, belajar ilmu-
ilmu dasar lain, termasuk bahasa Persia dan Arab pada Nasr al-Ismail di Jurjin.
Pada usia 20 tahun ia telah menguasai beberapa ilmu dasar dan dua bahasa pokok
yang lazim dipergunakan oleh masyarakat ilmiah ketika itu.

Pada tahun 473 H, Al-Ghazali pergi ke Naisaibur untuk melanjutkan


pendidikan pada Madrasah Nizamiyah, ketika itu dipimpin dan dikelola langsung
oleh Abu al-Ma’ali Abdul Malik bin Abdullah al-Juwayni (478 H). Dari Madrasah
Nizamiyah al-Ghazali mempelajari fiqh dan ushul fiqh, mantiq (logika) dan ilmu
kalam dari aliran Asy’ariyah dan selainya yang berkembang saat itu. Pada tahun
484 pasca wafatnya al-Juwayni, Al-Ghazali diangkat menjadi guru besar di
Madrasah Nizamiyah.

Dalam proses pendidikanya di Naisaibur, Al-Ghazali dijuluki Bhar


Mu’riq (lautan yang menghanyutkan) karena penguasanya kepada ilmu-ilmu yang
didapatkanya, temasuk ilmu logika. Sehingga secara tegas dia mampu
memberikan sanggahan kepada para penentangnya. Al-Ghazali dikenal juga
sebagai filosof, sufi-faqih dan ushuli. Dalam bidang ilmu kalam Al-Ghazali
menganut paham asy’ariyah, sedangkan dalam hukum Islam ia bermazhab Syafi’i.

2.3 Logika Maqashid Syariah Menurut Perspektif Imam Al-Ghazali

Dari segi kebahasaan, kata maqashid syariah terdiri dari dua penggalan kata
yaitu maqashid (qashada) yang berarti menuju, bertujuan, berkeinginan atau

5
berkesengajaan. Sedangkan syariah (syara’i) adalah sesuatu yang disyariatkan
Allah Swt kepada hambanya, diantaranya berupa aturan-aturan hukum. Atau dapat
diartikan maqashid syariah adalah tujuan Allah Swt menetapkan hukum terhadap
hambanya, yang dalam penerapan hukum tersebut bertujuan untuk memberikan
kemaslahatan kepada umat manusia.

Menurut Al-Ghazali maslahat makna asalnya merupakan maslahah dalam


hukum Islam adalah setiap hal yang dimaksudkan untuk memelihara tujuan
syariat yang pada intinya terangkum dalam al-mabaadi’ al-khamsyah yaitu
perlindungan terhadap agama (hifzd al-din), jiwa (hifzd al-nafs) akal (hifzd –‘aql),
keturunan (hifdz al-nasl), dan harta (hifzd al-maal).

1. Menjaga agama (hifdz ad-Din); illat (alasan) diwajibkannya berperang dan


berjihat jika ditunjukan untuk para musuh atau tujuan senada.
2. Menjaga jiwa (hifdz an-Nafs); illat (alasan) diwajibkan hukum qishaash
diantaranya dengan menjaga kemuliaan dan kebebasannya
3. Menjaga akal (hifdz al-aql); illat (alasan) diharamkan semua benda yang
memabukan atau narkotika dan sejenisnya.
4. Menjaga keturunan (hifdz an-Nasl); illat (alasan); diharamkannya zina dan
menuduh orang berbuat zina.
5. Menjaga harta (hifdz al-Mal); illat (alasan); pemotongan tangan untuk para
pencuri, illat diharamkannya riba dan suap menyuap, atau memakan harta
orng lain dengan cara bathil yang lain.

Selain itu maslahat menurut al-Ghâzalî adalah memelihara agama, jiwa,


akal, keturunan dan harta. Kelima macam maslahat di atas bagi al-Ghâzalî berada
pada skala prioritas dan urutan yang berbeda jika dilihat dari sisi tujuannya, yaitu
peringkat primer, sekunder dan tersier. Dari keterangan ini jelaslah bahwa teori
maqâshid al-syarî‘ah sudah mulai tampak bentuknya. Pemikir dan ahli teori
hukum Islam berikutnya yang secara khusus membahas maqâshid al-syarî‘ah
adalah Izz al-Dîn ibn Abd. al-Salam dari kalangan Syâfî’iyah. Ia lebih banyak
menekankan dan mengelaborasi konsep maslahat secara hakiki dalam bentuk
menolak mafsadat dan menarik manfaat.

6
Al-Gazali menyebutkan macam-macam maslahat dilihat dari segi
dibenarkan dan tidaknya oleh dalil syarak terbagi menjadi 3 macam, yaitu:
1. Maslahat yang dibenarkan oleh syarak, dapat
dijadikan hujjah dan kesimpulannya kembali kepada qiyas, yaitu
mengambil hukum dari jiwa/semangat nas dan ijma’. Contoh:
menghukumi bahwa setiap minuman dan makanan yang memabukkan
adalah haram diqiyaskan kepada khamar.
2. Maslahat yang dibatalkan oleh syarak. Contoh: pendapat sebagian ulama
kepada salah seorang raja ketika melakukan hubungan suami istri di siang
hari Ramadhan, hendaklah berpuasa dua bulan berturut-turut. Ketika
pendapat itu disanggah, mengapa ia tidak memerintahkan Raja itu untuk
memerdekakan budak, padahal ia kaya, ulama itu berkata, kalau raja itu
saya suruh memerdekakan hamba sahaya, sangatlah mudah baginya, dan ia
dengan ringan akan memerdekakan hamba sahaya untuk memenuhi
kebutuhan syahwatnya. Oleh karena itu, maslahatnya, ia wajib berpuasa
dua bulan berturut-turut, agar ia jera. Ini adalah pendapat yang batal dan
menyalahi nas dengan maslahat. Membuka pintu ini akan merobah semua
ketentuan-ketentuan hukum Islam dan nas-nasnya disebabkan perubahan
kondisi dan situasi.
3. Maslahat yang tidak dibenarkan dan tidak pula dibatalkan oleh syarak.

Ketiga hal tersebut di atas dijadi-kan landasan oleh imam al-


Ghazali dalam membuat batasan operasional maslalah-mursalah untuk dapat
diterima sebagai dasar dalam penetapan hukum Islam:

1. Maslahat tersebut harus sejalan dengan tujuan penetapan hukum Islam


yaitu memelihara agama, jiwa, akal, harta dan keturunan atau kehormatan.
2. Maslahat tersebut tidak boleh ber-tentangan dengan al-Qur’an, al-Sunnah
dan ijma’.
3. Maslahat tersebut menempati level daruriyah (primer)
atau hajiyah (sekunder) yang setingkat dengan daruriyah.
4. Kemaslahatannya harus berstatus qat’i atau zanny yang mendekati qat’i.
5. Dalam kasus-kasus tertentu diperlu-kan persyaratan, harus
bersifat qat’iyah, daruriyah,dan kulliyah.

7
Berdasarkan persyaratan operasional yang dibuat oleh Imam al-Ghazali di atas
terlihat bahwa Imam al-Ghazali tidak memandang maslahah-mursalah sebagai
dalil yang berdiri sendiri, terlepas dari al-Qur’an, as-Sunnah dan ijma’. Imam al-
Ghazali memandang maslahah-mursalah hanya sebagai sebuah
metode istinbath (menggali/ penemuan) hukum, bukan sebagai dalil atau sumber
hukum Islam.

Sedangkan ruang lingkup operasional maslahah-mursalah tidak di-sebutkan


oleh Imam al-Ghazali secara tegas, namun berdasarkan hasil penelitian yang
dilakukan oleh Ahmad Munif Suratma Putra terhadap contoh-contoh
kasus maslahah mursalah yang di-kemukakan oleh Imam al-Ghazali dalam buku-
bukunya (al-Mankhul, Asas al-Qiyas, Shifa al-Galil, al-Mustafa) dapat
disimpulkan bahwa Imam al-Ghazali membatasi ruang lingkup
operasional maslahah-mursalah yaitu hanya di bidang muamalah saja.

2.4 Biografi Singkat Al-Syatibi

Al-Syatibi adalah filosof hukum Islam dari Spanyol yang bermazhab


Maliki. Nama lengkapnya, Abu Ishaq Ibrahim bin Musa bin Muhammad al-
Lakhmi al-Syatibi. Tempat dan tanggal lahirnya tidak diketahui secara pasti,
namun nama al-Syatibi sering dihubungkan dengan nama sebuah tempat di
Spanyol bagian timur, yaitu Sativa atau Syatiba (Arab), yang asumsinya al-Syatibi
lahir atau paling tidak pernah tinggal di sana. Dia meninggal pada hari Selasa
tanggal 8 sya‟ban tahun 790H atau 1388 M dan dimakamkan di Granada.
Ia mengawali pendidikannya dengan belajar tata bahasa dan sastra Arab
kepada Abu Abd Allah Muhammad bin Ali al-Fakhar, seorang pakar tata bahasa
di Andalusia. Pengalaman tinggal bersama gurunya sampai dengan tahun 754 H/
1353 M dan tentang pelajaran-pelajaran yang didapatnya terrekam dalam kitab
yang disusunya yang berjudul al-Ifâdât wa al-Irsyâ dât atau Insyâ‟at. Dari
kitabnya ini dapat dilihat bahwa al-Syatibi mengusai ilmu bahasa dan sastra
dengan cukup qualified. Guru bahasanya yang kedua adalah Abu al-Qasim al-
Syarif al-Sabti (760 H/ 1358 M), ketua hakim di Granada.
Mulai belajar fikih pada tahun 754 H/ 1353 M, al-Syatibi berguru kepada
Abu Sa‟adah Ibn Lubb yang kepada orang inilah hampir seluruh pendidikan ke-

8
fikih-annya diselesaikan. Ibn Lubb adalah fakih yang terkenal di Andalusia
dengan tingkat ikhtiyâr, atau keputusan melalui pilihan dalam fatwa. Sejarah
pendidikan al-Syatibi banyak diwarnai oleh sarjana-sarjana terkemuka di Granada
dan para diplomat yang mengunjungi Granada. Di antara sarjana tersebut yang
perlu disebutkan adalah Abu Abd Allah al-Maqqari yang datang ke Granada pada
tahun 757 H/ 1356 M karena diutus oleh Sultan Banu Marin sebagai diplomat.
Interaksi intelektualitasnya dengan Maqqari diawali dengan diskursus Razisme
dalam ushul fikih Maliki. Maqqari juga orang yang mempengaruhinya dalam
tasawuf.
Dua guru al-Syatibi yang memperkenalkannya kepada filsafat, ilmu kalam
dan ilmu-ilmu lain yang dikenal dalam klasifikasi ilmu pengetahuan Islam yakni
ilmu pengetahuan tradisional, al-Ulûm al-Naqliyyah adalah Abu Ali Mansur al-
Zawawi dan al-Sharif al-Tilimsani (W 771 H/ 1369M). Abu Ali Mansur al-
Zawawi datang ke Granada pada tahun 753 H/ 1352 M. Namun, karena sering
berdebat dengan ahli-ahli hukum di Granada, akhirnya pada tahun 765 H/1363 M,
ia dideportasi dari Andalusia. AlSharif al-Tilimsani adalah ilmuwan yang kritis
terhadap faham Razi.
Berikut adalah daftar karya al-Syatibi yang dapat dilacak dalam beberapa
literature klasik. Karyanya itu mencakup dua bidang: sastra Arab dan
jurisprudensi. Syarḥ Jalīl alâ al-Khulasa fī al-Naḥw, Unwân al-Ittifâq fi„Ilm al-
Isytiqâq, Kitâb Uṣûl al-Naḥw, Al-Ifâdât wa al-Irsyâdât/ Insya’ât, Kitâb al-Majlis.
Kitâb al-I„tisam, AlMuwâfaqaât, Fatâwâ.

2.5 Konsep Maqashid Syariah Menurut Perspektif Al-Syatibi

Secara terminologi, maqashid berarti makna-makna dan hikmah-hikmah


dan sejenisnya yang dikehendaki Tuhan dalam tiap syariat baik umum maupun
khusus, guna memastikan maslahat hamba-Nya. Maksud dari ‘makna’ di sini
adalah sebab, maksud dan sifat. ‘Hikmah’ berarti sifat, sifat syariat Islam yaitu
mendapatkan mahlahah. Dikehendaki tuhan dalam tiap syariat‟ dimaksudkan
bahwa tuhan menginginkan dalam syariat-Nya. Arti dari ‘baik umum dan khusus’
adalah mencakup syariat umum yang berisi tentang dalil-dalil syariah dan khusus

9
berisi hukum-hukum. Sedangkan makna dari guna memastikan maslahat hamba-
Nya adalah bahwa apa yang yang disyariatkan Tuhan tidak lain untuk maslahat
hamba-Nya di dunia dan akhirat.
Al-Syatibi tidak menjelaskan definisi maqashid syariah dalam bukunya, ia
langsung menjelaskan detil isi maqashid syariah dari pembagiannnya. Syatibi
membagi maqashid menjadi dua, qashdu al-syari’ (tujuan Tuhan) dan qashdu al-
mukallaf (tujuan mukallaf). Kemudian ia membagi qashdu syari’ menjadi empat
macam, sebagai berikut:
a. Qashdu al-syari’ fi wadh’i al-syari’ah;
Tujuan Allah dalam menetapkan hukum adalah untuk kemashlahâtan
hamba di dunia dan akhirat. Syathibi menjelaskan lebih lanjut bahwa
beban-beban hukum sesungguhnya untuk menjaga maqâshid (tujuan)
hukum dalam diri makhluk. Maqâshid ini hanya ada tiga yaitu dlarûriyât,
hâjiyat, tahsîniyât. Darûriyât harus ada untuk menjaga kemashlahâtan
dunia dan akhirat. Jika hal ini tidak ada maka akan terjadi kerusakan di
dunia dan akhirat. Kadar kerusakan yang ditimbulkan adalah sejauh mana
dlarûriyât tersebut hilang. Maqâshid al- dlarûriyât ini ada lima yaitu:
menjaga Agama, menjaga jiwa, menjaga keturunan, menjaga harta,
menjaga akal. Maqâshid al-hâjiyat adalah untuk menghilangkan kesusahan
dari kehidupan mukallaf. Sedangkan Maqâshid tahsîniyât adalah untuk
menyempurnakan kedua Maqâshid sebelumnya, yang meliputi
kesempurnaan adat kebiasaan, dan akhlak yang mulia.
b. Qashdu al-syari’ fi wadh’i al-syari’ah li al-ifham;
Ada dua poin penting yang dikemukakan oleh Shathibi dalam hal ini, yaitu
(a) Untuk memahami hukum dan tujuan-tujuannya, seseorang harus
memahami bahasa Arab karena al-Qur‟an diturunkan dengan
menggunakan bahasa Arab. (b) Orang Arab lebih bisa memahami
mashlahât ketimbang orang non Arab.
c. Qashdu al-syari’ fi wadh’i al-syari’ah li al-taklif bi muqtadhaha;
Dalam qashdu al-syari’ fi wadh’i al-syari’ah li al-taklif bi muqtadhaha,
Syatibi menulis dua belas masalah mengenainya, masalah tersebut dapat
dipersingkat menjadi dua masalah. Pertama, al-taklif bima la yuthaqu,

10
pembebanan diluar kemampuan hamba dan kedua, al-taklif bima fihi
masyaqqah pembebanan yang mana di dalamnya terdapat kesulitan. Dalam
masalah pertama, Syatibi menjelaskan bahwa Allah memberlakukan
syariat pada hamba-Nya yang mampu, jika hamba tersebut tidak mampu
menanggungnya, Allah tidak akan membebankan syariat terhadap hamba-
Nya. Kedua, Allah akan meringankan beban bagi hamba-Nya jika dalam
taklif terdapat kesulitan. Contohnya seperti rukhsah sholat jama‟ bagi
musafir.
d. Qashdu al-syari’ fi dukhuli al-mukallaf tahta ahkami al-syari’ah.
Berarti maksud tuhan menugaskan hamba-Nya untuk melaksanakan
syariat. Syatibi membahas hal ini ke dalam dua puluh masalah. Menurut
Raisuni, pembahasan utama terletak pada masalah kedelapan hingga enam
belas. Syatibi menjelaskan bahwa Allah tidak memberlakukan pengeculian
bagi hamba-Nya dalam masalah taklif. Semua umat Islam memiliki
tanggungan untuk melaksanakan syariat Islam, meskipun tinggal di waktu,
tempat dan kondisi yang berbeda.

Setelah dijelaskan hal-hal yang berkenaan dengan qashdu al-syari’, bagian


ini akan menjelaskan mengenai qashdu al-mukallaf atau tujuan mukallaf. Syatibi
menjelaskan dua belas masalah yang terkandung dalam qashdu al-mukallaf.
Dalam bagian ini akan dijelaskan tiga dari pada keseluruhan. Masalah pertama,
anna al-a’mal bi al-niyyat sesungguhnya amal bergantung pada niat. Segala
qashdu atau maksud amal mukallaf tergantung pada niatnya. Jika niatnya benar
maka amalannya menjadi benar, namun jika berniat batil maka amal tersebut batil
juga. Tidak hanya itu ibadah dan riya‟-nya seseorang dalam beramal dinilai dari
niatnya. Dalam masalah ini, bayi, orang gila, dan tidak sadarkan diri tidak
dimasukkan karena mereka tidak bisa berniat dalam amal-amalnya.

Kedua, qashdu al-mukallaf fi al-amal muwafiqan li qashdi al-syari’ fi al-


tasyri’ maksud atau tujuan mukallaf harus sama dengan tujuan Allah. Jika Allah
menghendaki tujuan suatu syariat adalah maslahat hamba-Nya secara umum,
maka mukallaf harus memiliki tujuan yang sama. Contohnya dalam penjagaan
maslahah, seseorang harus menjaga maslahah dirinya sendiri yang termasuk
dalam maslahah dharuriyyah. Sebagaimana hadits Rasulullah: “Kau adalah

11
pemimpin dan kau bertanggung jawab atas rakyatnya”. Setiap orang memiliki
rakyat, paling tidak rakyat seseorang adalah dirinya sendiri, maka ia bertanggung
jawab atas dirinya.
Ketiga, man ibtagha fi al-takalifi ma lam tusyra’ lahu, fa ‘amilahu bathilun
barang siapa yang mengerjakan sesuatu yang tidak disyariatkan maka itu termasuk
batil. Jika seseorang mengerjakan apa yang tidak disyariatkan Allah ia akan
berdosa, namun jika hal itu masih sesuai dengan qashdu Allah maka hukumnya
boleh. Untuk mengetahui bagaimana mengetahui qashdu Allah dapat dilihat
dalam masalah kedelapan. Syatibi menjelaskan jika seseorang melakukan apa
yang tidak disyariatkan, maka hendaknya ia melakukan tiga hal berikut;
meniatkan amal itu sesuai tujuan Allah yang ia pahami dan niatnya tidak keluar
dari ibadah pada Allah semata. Kemudian, berniat bahwa apa yang dikerjakan
sesuai dengan qashdu Allah. Langkah terakhir adalah berniat semata-mata hanya
untuk mengerjakan perintah Allah.

12
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Maqashid Syariah adalah tujuan Allah Swt menetapkan hukum terhadap
hambanya, yang dalam penerapan hukum tersebut bertujuan untuk memberikan
kemaslahatan kepada umat manusia.
Menurut Al-Ghazali maslahat makna asalnya merupakan maslahah dalam
hukum Islam adalah setiap hal yang dimaksudkan untuk memelihara tujuan
syariat yang pada intinya terangkum dalam al-mabaadi’ al-khamsyah yaitu
perlindungan terhadap agama (hifzd al-din), jiwa (hifzd al-nafs) akal (hifzd –‘aql),
keturunan (hifdz al-nasl), dan harta (hifzd al-maal).

Al-Syatibi tidak menjelaskan definisi maqashid syariah dalam bukunya, ia


langsung menjelaskan detil isi maqashid syariah dari pembagiannnya. Syatibi
membagi maqashid menjadi dua, qashdu al-syari’ (tujuan Tuhan) dan qashdu al-
mukallaf (tujuan mukallaf). Kemudian ia membagi qashdu syari’ menjadi empat
macam, sebagai berikut: Qashdu al-syari’ fi wadh’i al-syari’ah, Qashdu al-syari’ fi
wadh’i al-syari’ah li al-ifham, Qashdu al-syari’ fi wadh’i al-syari’ah li al-taklif bi
muqtadhaha, dan Qashdu al-syari’ fi dukhuli al-mukallaf tahta ahkami al-syari’ah.

3.2 Saran
Dari beberapa referensi yang kami dapat, kami mendapatkan materi yang
telah terurai diatas, sehingga tersusunlah makalah ini. Namun kami yakin apa
yang telah teruraikan diatas pasti masih jauh dari kata sempurna, oleh karena itu
masukan dan saran dari pembaca sangat kami perlukan guna untuk memperbaiki
makalah selanjutnya.

13
DAFTAR PUSTAKA

Nabila Zatadini, S. (2019). KONSEP MAQASHID SYARIAH MENURUT AL-


SYATIBI DAN KONTRIBUSINYA DALAM KEBIJAKAN FISKAL. Jurnal
Masharif al-Syariah: Jurnal Ekonomi dan Perbankan Syariah/Vol. 4, No. 1.
Rohman, F. (2017). MAQASID AL-SYARI‘AH DALAM PERSPEKTIF AL-SYATIBI.
ISTI’DAL; Jurnal Studi Hukum Islam, Vol. 4 No. 2 Juli-Desember.
Setiyanto, D. A. (2019). MAQASID AS-SYARIAH DALAM PANDANGAN AL-
GAZZALI (450-505 H/1058-1111 H). Ijtihad Jurnal Hukum Islam dan Pranata
Sosial.
Toriquddin, M. (2014). TEORI MAQÂSHID SYARÎ’AH PERSPEKTIF. de Jure, Jurnal
Syariah dan Hukum, Volume 6 Nomor 1, Juni , hlm. 33-47.
http://piuii17.blogspot.com/2017/11/maqashid-syariah-pemikiran-imam-
al.html?m=1

14

Anda mungkin juga menyukai