Disusun Oleh :
Kelompok 9
AKUNTANSI SYARIAH
TA. 2022/2023
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa
pertolongan-Nya tentunya kami tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah
ini dengan baik. Shalawat serta salam semoga terlimpah curahkan kepada baginda
tercinta kita yaitu Nabi Muhammad SAW yang kita nantikan syafa'atnya di akhirat
nanti.
Penulis tentu menyadari makalah yang kami susun ini masih jauh dari kata
sempurnah dan masih banyak terdapat kesalahan dan kekurangan di dalamnya.
Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran bagi pembaca guna
penyempurnaan makalah ini.
Kelompok 9
i
DAFTAR ISI
ii
BAB I
PENDAHULUAN
2
BAB II
PEMBAHASAN
علَى ش َِري َع ٍة ِمنَ ْاْل َ ْم ِر فَات َّ ِب ْع َها َو ََل تَت َّ ِب ْع أَ ْه َوا َء الَّذِينَ ََل َ ث ُ َّم َج َع ْلن
َ َاك
َيَ ْعلَ ُمون
Artinya: kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan)
dari urusan (agama itu), Maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa
nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.( Q:S, 45 : 18)
صى ِب ِه نُو ًحا َوالَّذِي أَ ْو َح ْينَا ِإلَي َْك َو َما َّ ِين َما َوِ ِمنَ الد ع لَ ُك ْم
َ ش ََر
سى ۖ أَ ْن أَقِي ُموا الدِينَ َو ََل تَتَفَ َّرقُوا َ سى َو ِعي َ يم َو ُمو
َ ِإب َْرا ِه ص ْينَا بِ ِه
َّ َو
ِفي ِه
Artinya: Dia telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah
diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan
apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa Yaitu:
Tegakkanlah agam dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. (Q:S, 42: 13)
Dari dua ayat diatas bisa disimpulkan bahwa Syariat sama dengan Agama,
namun dalam perkembangan sekarang terjadi Reduksi muatan arti Syari’at.
Aqidah misalnya, tidak masuk dalam pengertian Syariat, Syeh Muhammad
Syaltout misalnya sebagaimana yang dikutip oleh Asafri Jaya Bakri dalam
bukunya Konsep Maqashid Syari’ah menurut al-Syatibi mengatakan bahwa
Syari’at adalah: Aturan-aturan yang diciptakan oleh Allah SWT untuk dipedomani
3
oleh manusia dalam mengatur hubungan dengan tuhan, dengan manusia baik
sesama Muslim maupun non Muslim, alam dan seluruh kehidupan.
4
2.2 Biografi Singkat Imam Al-Ghazali
Dari segi kebahasaan, kata maqashid syariah terdiri dari dua penggalan kata
yaitu maqashid (qashada) yang berarti menuju, bertujuan, berkeinginan atau
5
berkesengajaan. Sedangkan syariah (syara’i) adalah sesuatu yang disyariatkan
Allah Swt kepada hambanya, diantaranya berupa aturan-aturan hukum. Atau dapat
diartikan maqashid syariah adalah tujuan Allah Swt menetapkan hukum terhadap
hambanya, yang dalam penerapan hukum tersebut bertujuan untuk memberikan
kemaslahatan kepada umat manusia.
6
Al-Gazali menyebutkan macam-macam maslahat dilihat dari segi
dibenarkan dan tidaknya oleh dalil syarak terbagi menjadi 3 macam, yaitu:
1. Maslahat yang dibenarkan oleh syarak, dapat
dijadikan hujjah dan kesimpulannya kembali kepada qiyas, yaitu
mengambil hukum dari jiwa/semangat nas dan ijma’. Contoh:
menghukumi bahwa setiap minuman dan makanan yang memabukkan
adalah haram diqiyaskan kepada khamar.
2. Maslahat yang dibatalkan oleh syarak. Contoh: pendapat sebagian ulama
kepada salah seorang raja ketika melakukan hubungan suami istri di siang
hari Ramadhan, hendaklah berpuasa dua bulan berturut-turut. Ketika
pendapat itu disanggah, mengapa ia tidak memerintahkan Raja itu untuk
memerdekakan budak, padahal ia kaya, ulama itu berkata, kalau raja itu
saya suruh memerdekakan hamba sahaya, sangatlah mudah baginya, dan ia
dengan ringan akan memerdekakan hamba sahaya untuk memenuhi
kebutuhan syahwatnya. Oleh karena itu, maslahatnya, ia wajib berpuasa
dua bulan berturut-turut, agar ia jera. Ini adalah pendapat yang batal dan
menyalahi nas dengan maslahat. Membuka pintu ini akan merobah semua
ketentuan-ketentuan hukum Islam dan nas-nasnya disebabkan perubahan
kondisi dan situasi.
3. Maslahat yang tidak dibenarkan dan tidak pula dibatalkan oleh syarak.
7
Berdasarkan persyaratan operasional yang dibuat oleh Imam al-Ghazali di atas
terlihat bahwa Imam al-Ghazali tidak memandang maslahah-mursalah sebagai
dalil yang berdiri sendiri, terlepas dari al-Qur’an, as-Sunnah dan ijma’. Imam al-
Ghazali memandang maslahah-mursalah hanya sebagai sebuah
metode istinbath (menggali/ penemuan) hukum, bukan sebagai dalil atau sumber
hukum Islam.
8
fikih-annya diselesaikan. Ibn Lubb adalah fakih yang terkenal di Andalusia
dengan tingkat ikhtiyâr, atau keputusan melalui pilihan dalam fatwa. Sejarah
pendidikan al-Syatibi banyak diwarnai oleh sarjana-sarjana terkemuka di Granada
dan para diplomat yang mengunjungi Granada. Di antara sarjana tersebut yang
perlu disebutkan adalah Abu Abd Allah al-Maqqari yang datang ke Granada pada
tahun 757 H/ 1356 M karena diutus oleh Sultan Banu Marin sebagai diplomat.
Interaksi intelektualitasnya dengan Maqqari diawali dengan diskursus Razisme
dalam ushul fikih Maliki. Maqqari juga orang yang mempengaruhinya dalam
tasawuf.
Dua guru al-Syatibi yang memperkenalkannya kepada filsafat, ilmu kalam
dan ilmu-ilmu lain yang dikenal dalam klasifikasi ilmu pengetahuan Islam yakni
ilmu pengetahuan tradisional, al-Ulûm al-Naqliyyah adalah Abu Ali Mansur al-
Zawawi dan al-Sharif al-Tilimsani (W 771 H/ 1369M). Abu Ali Mansur al-
Zawawi datang ke Granada pada tahun 753 H/ 1352 M. Namun, karena sering
berdebat dengan ahli-ahli hukum di Granada, akhirnya pada tahun 765 H/1363 M,
ia dideportasi dari Andalusia. AlSharif al-Tilimsani adalah ilmuwan yang kritis
terhadap faham Razi.
Berikut adalah daftar karya al-Syatibi yang dapat dilacak dalam beberapa
literature klasik. Karyanya itu mencakup dua bidang: sastra Arab dan
jurisprudensi. Syarḥ Jalīl alâ al-Khulasa fī al-Naḥw, Unwân al-Ittifâq fi„Ilm al-
Isytiqâq, Kitâb Uṣûl al-Naḥw, Al-Ifâdât wa al-Irsyâdât/ Insya’ât, Kitâb al-Majlis.
Kitâb al-I„tisam, AlMuwâfaqaât, Fatâwâ.
9
berisi hukum-hukum. Sedangkan makna dari guna memastikan maslahat hamba-
Nya adalah bahwa apa yang yang disyariatkan Tuhan tidak lain untuk maslahat
hamba-Nya di dunia dan akhirat.
Al-Syatibi tidak menjelaskan definisi maqashid syariah dalam bukunya, ia
langsung menjelaskan detil isi maqashid syariah dari pembagiannnya. Syatibi
membagi maqashid menjadi dua, qashdu al-syari’ (tujuan Tuhan) dan qashdu al-
mukallaf (tujuan mukallaf). Kemudian ia membagi qashdu syari’ menjadi empat
macam, sebagai berikut:
a. Qashdu al-syari’ fi wadh’i al-syari’ah;
Tujuan Allah dalam menetapkan hukum adalah untuk kemashlahâtan
hamba di dunia dan akhirat. Syathibi menjelaskan lebih lanjut bahwa
beban-beban hukum sesungguhnya untuk menjaga maqâshid (tujuan)
hukum dalam diri makhluk. Maqâshid ini hanya ada tiga yaitu dlarûriyât,
hâjiyat, tahsîniyât. Darûriyât harus ada untuk menjaga kemashlahâtan
dunia dan akhirat. Jika hal ini tidak ada maka akan terjadi kerusakan di
dunia dan akhirat. Kadar kerusakan yang ditimbulkan adalah sejauh mana
dlarûriyât tersebut hilang. Maqâshid al- dlarûriyât ini ada lima yaitu:
menjaga Agama, menjaga jiwa, menjaga keturunan, menjaga harta,
menjaga akal. Maqâshid al-hâjiyat adalah untuk menghilangkan kesusahan
dari kehidupan mukallaf. Sedangkan Maqâshid tahsîniyât adalah untuk
menyempurnakan kedua Maqâshid sebelumnya, yang meliputi
kesempurnaan adat kebiasaan, dan akhlak yang mulia.
b. Qashdu al-syari’ fi wadh’i al-syari’ah li al-ifham;
Ada dua poin penting yang dikemukakan oleh Shathibi dalam hal ini, yaitu
(a) Untuk memahami hukum dan tujuan-tujuannya, seseorang harus
memahami bahasa Arab karena al-Qur‟an diturunkan dengan
menggunakan bahasa Arab. (b) Orang Arab lebih bisa memahami
mashlahât ketimbang orang non Arab.
c. Qashdu al-syari’ fi wadh’i al-syari’ah li al-taklif bi muqtadhaha;
Dalam qashdu al-syari’ fi wadh’i al-syari’ah li al-taklif bi muqtadhaha,
Syatibi menulis dua belas masalah mengenainya, masalah tersebut dapat
dipersingkat menjadi dua masalah. Pertama, al-taklif bima la yuthaqu,
10
pembebanan diluar kemampuan hamba dan kedua, al-taklif bima fihi
masyaqqah pembebanan yang mana di dalamnya terdapat kesulitan. Dalam
masalah pertama, Syatibi menjelaskan bahwa Allah memberlakukan
syariat pada hamba-Nya yang mampu, jika hamba tersebut tidak mampu
menanggungnya, Allah tidak akan membebankan syariat terhadap hamba-
Nya. Kedua, Allah akan meringankan beban bagi hamba-Nya jika dalam
taklif terdapat kesulitan. Contohnya seperti rukhsah sholat jama‟ bagi
musafir.
d. Qashdu al-syari’ fi dukhuli al-mukallaf tahta ahkami al-syari’ah.
Berarti maksud tuhan menugaskan hamba-Nya untuk melaksanakan
syariat. Syatibi membahas hal ini ke dalam dua puluh masalah. Menurut
Raisuni, pembahasan utama terletak pada masalah kedelapan hingga enam
belas. Syatibi menjelaskan bahwa Allah tidak memberlakukan pengeculian
bagi hamba-Nya dalam masalah taklif. Semua umat Islam memiliki
tanggungan untuk melaksanakan syariat Islam, meskipun tinggal di waktu,
tempat dan kondisi yang berbeda.
11
pemimpin dan kau bertanggung jawab atas rakyatnya”. Setiap orang memiliki
rakyat, paling tidak rakyat seseorang adalah dirinya sendiri, maka ia bertanggung
jawab atas dirinya.
Ketiga, man ibtagha fi al-takalifi ma lam tusyra’ lahu, fa ‘amilahu bathilun
barang siapa yang mengerjakan sesuatu yang tidak disyariatkan maka itu termasuk
batil. Jika seseorang mengerjakan apa yang tidak disyariatkan Allah ia akan
berdosa, namun jika hal itu masih sesuai dengan qashdu Allah maka hukumnya
boleh. Untuk mengetahui bagaimana mengetahui qashdu Allah dapat dilihat
dalam masalah kedelapan. Syatibi menjelaskan jika seseorang melakukan apa
yang tidak disyariatkan, maka hendaknya ia melakukan tiga hal berikut;
meniatkan amal itu sesuai tujuan Allah yang ia pahami dan niatnya tidak keluar
dari ibadah pada Allah semata. Kemudian, berniat bahwa apa yang dikerjakan
sesuai dengan qashdu Allah. Langkah terakhir adalah berniat semata-mata hanya
untuk mengerjakan perintah Allah.
12
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Maqashid Syariah adalah tujuan Allah Swt menetapkan hukum terhadap
hambanya, yang dalam penerapan hukum tersebut bertujuan untuk memberikan
kemaslahatan kepada umat manusia.
Menurut Al-Ghazali maslahat makna asalnya merupakan maslahah dalam
hukum Islam adalah setiap hal yang dimaksudkan untuk memelihara tujuan
syariat yang pada intinya terangkum dalam al-mabaadi’ al-khamsyah yaitu
perlindungan terhadap agama (hifzd al-din), jiwa (hifzd al-nafs) akal (hifzd –‘aql),
keturunan (hifdz al-nasl), dan harta (hifzd al-maal).
3.2 Saran
Dari beberapa referensi yang kami dapat, kami mendapatkan materi yang
telah terurai diatas, sehingga tersusunlah makalah ini. Namun kami yakin apa
yang telah teruraikan diatas pasti masih jauh dari kata sempurna, oleh karena itu
masukan dan saran dari pembaca sangat kami perlukan guna untuk memperbaiki
makalah selanjutnya.
13
DAFTAR PUSTAKA
14