Anda di halaman 1dari 16

MASHLAHAH MURSALAH SEBAGAI DALIL HUKUM ISLAM

A. Pendahuluan

Allah menurunkan agama islam kepada umat-Nya disertai dengan aturan-aturan


hukum. Aturan-aturan atau hukum tersebut dibuat oleh Allah agar manusia selamat hidup di
dunia sampai akhirat kelak. Agama Islam beserta aturan-aturan (hukum) yang dibuat oleh
Allah tersebut merupakan wahyu, diturunkan kepada para Nabi dan Rasul-Nya melalui
perantaraan Malaikat Jibril. Sedangkan Nabi dan Rasul terakhir adalah Muhammad Saw.

Wahyu yang diturunkan oleh Allah tersebut, adakalanya untuk menyelesaikan


persoalan hukum yang sedang dihadapi oleh umat islam kala itu, namun apabila Allah tidak
menurunkan wahyu kepada Nabi atau Rasul untuk menyelesaikan persoalan hukum (tertentu)
yang sedang dihadapi oleh umat islam dikala itu, maka Nabi melakukan ijitihad, menggali
hukumnya (istinbath), kemudian hasil ijitihad Nabi tersebut disebut dengan Al-Sunnah
(Qauliyah, Fi’liyah dan Taqriyah). Dengan demikian terlihat bahwa, sumber hukum Islam
semasa Nabi Muhammad SAW hidup, hanya dua yaitu, Al Qur’an dan Al Sunnah Nabi
sebagai empirisasi dari Wahyu Allah.

Sebagaimana kita ketahui, bahwa pada dasarnya hukum Islam itu hanya bersumber
dari Al Qur’an dan Hadits. Namun setelah Islam berkembang, maka timbullah berbagai
macam istilah-istilah dalam penggalian hukum Islam yang dimunculkan oleh para mujtahid,
sehingga dikenallah istilah sebagai hukum primer dan hukum sekunder. Hukum primer yaitu
hukum-hukum yang telah disepakati oleh jumhur ulama yaitu Al Qur’an, Hadits, Ijma’, dan
Qiyas. Hukum sekunder yaitu hukum-hukum yang masih diperselisihkan pemakaianya
dalam menetapkan hukum Islam oleh para ulama seperti Istihsan, Mashlahah Mursalah, Urf
dll.

Salah satu dari sumber hukum sekunder dalam Islam akan dibahas secara lebih detail,
yaitu Mashlahah Mursalah. Secara umum Mashlahah Mursalah adalah hukum yang
ditetapkan karena tuntutan maslahat yang tidak didukung maupun diabaikan oleh dalil
khusus, akan tetapi masih sesuai dengan Maqasid al-Syari’ah al-‘Ammah (tujuan umum
hukum Islam).

1
B. Pengertian Mashlahah Mursalah
1.        Pengertian secara bahasa
Secara etimologis “Maslahah Mursalah” terdiri atas dua suku kata yaitu
maslahah dan mursalah. Maslahah berasal dari kata ‫ صلح‬yang secara etimologis
berarti manfaat, faedah, bagus, baik, patut, layak, dan sesuai. 1 Mashlahah merupakan
bentuk mashdar dengan arti kata shalāh (‫ )صالح‬yaitu manfaat atau terlepas
dari padanya kerusakan. Pengertian mashlahah dalam bahasa Arab berarti perbuatan-
perbuatan yang mendorong kepada kebaikan manusia.2

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa maslahat artinya


sesuatu yang mendatangkan kebaikan, faedah, atau guna. Sedangkan kata
“kemaslahatan” berarti kegunaan, kebaikan, manfaat, atau kepentingan.3 Dalam Kamus
Lisan al-Arab disebutkan bahwa al-mashlahah berarti kebaikan, dan ia merupakan
bentuk tunggal dari kata mashalih. Makna as-Shalah (kebaikan) merupakan kebalikan
dari kata al-fasad (kerusakan). Jadi, makna al-istishlah ialah mencari maslahat atau
mendapatkan kebaikan.4

Dalam arti yang umum adalah segala sesuatu yang bermanfaat bagi
manusia, baik dalam arti menarik atau menghasilkan seperti menghasilkan
keuntungan atau ketenangan; atau dalam arti menolak atau menghindarkan seperti
menolak kemudharatan atau kerusakan. Jadi, setiap yang mengandung manfaat
patut disebut maslahah.

Sedangkan kata al-Mursalah adalah isim maf’ul (objek) dari fi’il madhi (kata
dasar) dalam bentuk tsulasi (kata dasar yang tiga huruf) yaitu ‫رسل‬ dengan
penambahan “alif” di pangkalnya, sehingga menjadi ‫ارسل‬, yang berarti “terlepas”
atau “bebas” (dari kata muthlaqah). Kata al-Mursalah disini bila dihubungkan dengan
kata mashlahah berarti kemaslahatan yang terlepas/bebas dari keterangan yang
menunjukkan boleh atau tidaknya dilakukan.5

1
Rusli Hasbi, Atsar al-Qawa’id al-Ushuliyyah fi al-Ahkam asy-Syar’iyyah, (Ciputat: UIN Press, 2015), hlm. 246
2
Asmawi, Perbandingan Ushul Fiqh, ( Jakarta: AMZAH, 2011), hlm. 127
3
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1996), hlm.
634
4
Ibnu al-Manzur, Lisan al-Arab, (Beirut: Dar al-Fikr, 1972), hlm. 348
5
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2009), Jilid 2, hlm. 354

2
2.      Pengertian Secara Istilah
Pengertian mashalihul mursalah secara istilah terdapat beberapa rumusan definisi
diantaranya sebagai berikut:

a. Menurut Al-Ghazali dalam kitab Al-Mustasyfa merumuskan Mashlahah Mursalah


sebagai berikut:6

‫نص معنّي‬
ّ ‫مامل يشهد له من الشرع بالبطالن وال باالعتبار‬

Apa-apa (mashlahah) yang tidak ada bukti baginya dari syara’ dalam bentuk
nash tertentu yang membatalkannya dan tidak ada yang memperhatikannya.

b. Menurut Al-Syaukani dalam kitab Irsyad al-Fuhul memberikan definisi sebagai


berikut:7

‫املناسب الذى ال يعلم أن الشارع الغاه او اعتربه‬

Mashlahah yang tidak diketahui apakah syar’i menolaknya atau


memperhitungkan-

nya.

c. Muhammad Abu Zahrah memberikan definisi sebagai berikut:8

‫خاص‬
ّ ‫هي املصاحل املالئمة ملق صد الشارع االسالمى وال يشهد هلا اصل‬
‫باالعتبار او بااللغاء‬
Mashlahah yang selaras dengan tujuan syari’at Islam dan tidak ada petunjuk
tertentu yang membuktikan tentang pengakuannya atau penolakannya.
d. Abd Al-Wahhab Al-Khallaf memberikan rumusan sebagai berikut:

‫اهنا مصلحة مل يرد عن الشارع دليل العتبارها او اللغاءها‬

6
Imam Al-Ghazali, Al-Mustashfa min ‘Ilmi al-Usul, (Beirut: Muassasah Risalah, 1997), hlm. 414
7
Muhammad bin Ali Al-Syaukani, Irsyad al-Fuhul, (Mekkah: Dar at-Ta’awun, 1973), hlm. 242
8
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, (Kairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, t.t), hlm. 221

3
Mashlahah mursalah ialah mashlahat yang tidak ada dalil syara’ datang untuk
mengakuinya atau menolaknya.9

e. Menurut Said Ramadhan Al-Buthi:

‫املصلحة هي املنفعة الىت قصدها الشارع احلكيم لعباده من حفظ دينهم ونفوسهم‬

.‫وعقوهلم وتسلهم وامواهلم طبق ترتيب فيما بينها‬

Al-Mashlahah adalah manfaat yang ditetapkan syar’i untuk para hambanya


yang meliputi pemeliharaan agama, diri, akal, keturunan dan harta mereka
sesuai dengan ukuran tertentu diantaranya.10
f. Menurut Husein Hamid Hasan:

‫املصلحة املرسلة مصلحة تدخل حتت أصل شرعي مأخذ من استقراء النصوص الشرعية‬

Mashlahah Mursalah adalah mashlahah yang tercakup dalam dalil syara’ yang
diambil atau dipahami lewat penelitian dari berbagai nash syara.11
g. Menurut Badran Abu Al-‘Aini Badran:

.‫املصلحة املرسلة هي مل يعلم من الشارع دليل باإلعتبار والبا لبطالن‬

Mashlahah Mursalah adalah yang tidak diketahui dari syariat adanya dalil yang
membenarkan atau membatalkan.12

Dari beberapa rumusan definisi di atas, dapat ditarik kesimpulan tentang hakikat dari
Mashlahah Mursalah tersebut, sebagai berikut:

9
Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Al-Fiqh, (Kuwait: Darul Qalam, 1983), Cet Ke-3, hlm. 84
10
Said Ramadhan Al-Buthi, Dwabit Al-Mashlahah Fii Al-Syari’ah Al-Islamiyah, (Beirut: Muassah Al-Risalah,
1990), Cet. Ke-3, hlm. 27
11
Husein Hamid Hassan Nazhariyat, Al-Mashlahah Fi Al-Fiqh Al-Islamiy, (Kairo: Daar Al-Nahdhat Al-
Arabiyah, 1971), hlm. 71
12
Badran Abu Al-‘aini Badran , Ushul Al-Fiqh Al-Islami, (Iskandariah: Muassasah Syababal Jami’ah, tth.), hlm.
209

4
a. Ia adalah sesuatu yang baik menurut akal dengan pertimbangan dapat mewujudkan
kebaikan atau menghindarkan keburukan bagi manusia.
b. Apa yang baik menurut akal itu, juga selaras dan sejalan dengan tujuan syara’ dalam
menetapkan hukum.
c. Apa yang baik menurut akal dan selaras pula dengan tujuan syara’ tersebut, tidak ada
petunjuk syara’ secara khusus yang menolaknya, juga tidak ada petunjuk syara’ yang
mengakuinya.13
Adapun syarat-syarat khusus untuk dapat berijtihad dengan menggunakan Mashlahah
Mursalah adalah sebagai berikut:
a. Mashlahah Mursalah itu adalah mashlahah yang hakiki dan bersifat umum, dalam arti
dapat diterima oleh akal sehat bahwa ia betul-betul mendatangkan manfa’at bagi
manusia dan menghindarkan mudharat dari manusia secara utuh.
b. Yang dinilai akal sehat sebagai suatu mashlahah yang hakiki betul-betul telah sejalan
dengan maksud dan tujuan syara’ dalam menetapkan setiap hukum, yaitu mewujudkan
kemashlahatan bagi umat manusia.
c. Yang dinilai akal sehat sebagai suatu mashlahah yang hakiki dan telah sejalan dengan
tujuan syara’ dalam menetapkan hukum itu tidak berbenturan dengan dalil syara’ yang
telah ada, baik dalam bentuk nash Al Qur’an dan Sunnah, maupun ijma’ ulama
terdahulu.
d. Mashlahah Mursalah itu diamalkan dalam kondisi yang memerlukan, yang seandainya
masalahnya tidak diselesaikan dengan cara ini, maka umat akan berada dalam
kesempitan hidup, dengan arti harus ditempuh untuk menghindarkan umat dari
kesulitan.14

C. Macam-Macam Mashlahah
Sebagaimana telah dijelaskan bahwa Mashlahah dalam artian syara’ bukan hanya
didasarkan pada pertimbangan akal dalam menilai baik buruknya sesuatu, bukan pula
karena dapat mendatangkan kenikmatan dan menghindarkan kerusakan. Akan tetapi lebih
jauh dari itu, yaitu bahwa apa yang dianggap baik oleh akal juga harus sejalan dengan
tujuan syara’ dalam menetapkann hukum, yaitu memelihara lima prinsip pokok kehidupan
(agama, jiwa, akal, keturunan dan harta).15

13
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, hlm. 356
14
Zakariya Al-Bari, Mashadir al-Ahkam al-Islamiyah, (Kairo: tt), hlm. 135-136
15
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, hlm.348

5
1. Dari segi kekuatannya sebagai hujjah dalam menetapkan hukum, mashlahah terbagi
menjadi tiga macam, yaitu mashlahah dharuriyah, mashlahah hajiyah, dan
mashlahah tahsiniyah.16
a. Mashlahah Dharuriyah (‫ )المصلحة الضرورية‬adalah kemashlahatan yang keberadaannya

sangat dibutuhkan oleh kehidupan manusia, artinya kehidupan manusia tidak


punya arti apa-apa bila satu saja dari prinsip yang lima itu tidak ada. Segala usaha
yang secara langsung menjamin atau menuju pada keberadaan lima prinsip
tersebut adalah baik atau mashlahah dalam tingkat dharuri. Karena itu Allah
memerintahkan manusia melakukan usaha bagi pemenuhan kebutuhan pokok
tersebut.
b. Mashlahah hajiyah (‫ )المصلحة الحاجية‬adalah kemashlahatan yang tingkat kebutuhan
hidup manusia kepadanya tidak berada pada tingkat dharuri. Bentuk
kemashlahatannya tidak secara langsung bagi pemenuhan kebutuhan pokok yang
lima (dharuri), tetapi secara tidak langsung menuju ke arah sana seperti dalam hal
yang memberi kemudahan bagi pemenuhan kebutuhan hidup manusia. Contoh
mashlahah hajiyah yaitu diantaranya menuntut ilmu agama untuk tegaknya agama,
makan untuk kelangsungan hidup, melakukan jual beli untuk mendapatkan harta,
dan lain sebagainya.
c. Mashlahah tahsiniyah (‫ )المصلحة التحسينية‬adalah mashlahah yang kebutuhan hidup
manusia kepadanya tidak sampai pada tingkat dharuri, juga tidak sampai pada
tingkat hajiyah. Namun, kebutuhan tersebut perlu dipenuhi dalam rangka memberi
kesempurnaan dan keindahan bagi hidup manusia. Mashlahah dalam bentuk
tahsiniyah juga berkaitan dengan lima kebutuhan pokok manusia.
2. Dari segi pengakuan syara’ atasnya, mashlahah oleh ulama ushul fiqh dikategorikan
menjadi tiga macam pula, yaitu al-mashlahah al-mu’tabarah, al-mashlahah al-
mulghah, dan al-mashlahah al-mursalah.17
a. Al-mashlahah al-mu’tabarah adalah mashlahah yang diakui secara eksplisit oleh
syara’ dan ditunjukkan oleh dalil yang spesifik. Disepakati oleh para ulama bahwa
jenis al-mashlahah ini merupakan hujjah syar’iyyah yang valid dan otentik
manifestasi organik dari jenis mashlahah ini adalah aplikasi qiyas.
b. Al-mashlahah al-mulghah, yakni mashlahah yang tidak diakui oleh syara’, bahkan
ditolak dan dianggap bathil oleh syara’. Sebagai contoh opini hukum yang
16
Zakariya Al-Bari, Mashadir al-Ahkam al-Islamiyah, hlm. 124
17
Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islamiy, (Beirut: Dar al-Fikr, 1990), Juz 2, hlm. 452

6
menyatakan porsi hak kewarisan laki-laki harus sama besar dan setara dengan
porsi hak kewarisan perempuan dengan mengacu pada dasar pemikiran kesetaraan
gender. Dasar pemikiran tersebut memang bermuatan mashlahah, tetapi
dinamakan al-mashlahah al-mulghah.18
c. Al-mashlahah al-mursalah, yakni mashlahah yang tidak diakui secara eksplisit
oleh syara’ dan tidak pula ditolak dan dianggap bathil oleh syara’, tetapi masih
sejalan secara substantif dengan kaidah-kaidah hukum yang universal. Sebagai
contoh, kebijakan hukum perpajakan yang ditetapkan oleh pemerintah. Kebijakan
tersebut tidak diakui secara eksplisit oleh syara’dan tidak pula ditolak dan
dianggap palsu oleh syara’. Akan tetapi, kebijakan demikian justru sejalan secara
substantif dengan kaidah hukum yang universal. Dengan demikian kebijakan
tersebut mempunyai landasan syar’iyyah.

D. Syarat-Syarat Mashlahah Mursalah

Untuk menjaga kemurnian metode maslahah mursalah sebagai landasan hukum Islam,
maka harus mempunyai dua dimensi penting, yaitu:

1. Harus tunduk dan sesuai dengan apa yang terkandung dalam nash (Al Qur’an dan Al
Hadits) baik secara tekstual atau kontekstual.
2. Harus mempertimbangkan adanya kebutuhan manusia yang selalu berkembang sesuai
zamannya.

Kedua sisi ini harus menjadi pertimbangan yang secara cermat dalam pembentukan
hukum Islam, karena bila dua sisi di atas tidak berlaku secara seimbang, maka dalam hasil
istinbath hukumnya akan menjadi sangat kaku disatu sisi dan terlalu mengikuti hawa nafsu
disisi lain. Sehingga dalam hal ini perlu adanya syarat dan standar yang benar dalam
menggunakan maslahah mursalah baik secara metodologi atau aplikasinya.

Adapun syarat Maslahah Mursalah sebagai dasar legislasi hukum Islam diantaranya
adalah:

1. Menurut Syatibi:

18
Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islamiy, hlm. 452

7
Mashlahah Mursalah dapat dijadikan sebagai landasan hukum apabila:19

a. Kemaslahatan sesuai dengan prinsip-prinsip apa yang ada dalam ketentuan syari’ yang
secara ushul dan furu’nya tidak bertentangan dengan nash.
b. Kemaslahatan hanya dapat dikhususkan dan diaplikasikan dalam bidang-bidang sosial
(mu’amalah) di mana dalam bidang ini menerima terhadap rasionalitas dibandingkan
dengan bidang ibadah. Karena dalam mu’amalah tidak diatur secara rinci dalam nash.
c. Hasil maslahah merupakan pemeliharaan terhadap aspek-aspek Daruriyyah, Hajjiyah,
dan Tahsiniyyah. Metode maslahah adalah sebagai langkah untuk menghilangkan
kesulitan dalam berbagai aspek kehidupan, terutama dalam masalah-masalah sosial
kemasyarakatan.
Sesuai firman Allah SWT:

َ‫ٱجتَبَ ٰى ُكمۡ َو َم__ا َج َع_ َل َعلَ ۡي ُكمۡ فِي ٱل_دِّي ِن ِم ۡن َح_ َر ۚ ٖج ِّملَّة‬
ۡ ‫ق ِجهَ__ا ِدۦۚ ِه هُ_ َو‬ َّ _‫وا فِي ٱهَّلل ِ َح‬ ْ ‫َو ٰ َج ِه ُد‬
ۡ‫َّس_و ُل َش_ ِهيدًا َعلَ ۡي ُكم‬ َ _‫ين ِمن قَ ۡب_ ُل َوفِي ٰهَ_ َذا لِيَ ُك‬
ُ ‫_ون ٱلر‬ َ ‫َأبِي ُكمۡ ِإ ۡب ٰ َر ِهي ۚ َم هُ َو َس َّم ٰى ُك ُم ۡٱل ُم ۡس_لِ ِم‬
ْ ‫ص_ ُم‬
‫وا بِٱهَّلل ِ هُ_ َو‬ ْ _ُ‫ٱلص_لَ ٰوةَ َو َءات‬
ۡ ‫_وا ٱل َّز َك_ ٰ_وةَ َو‬
ِ َ‫ٱعت‬ ْ ‫اس فَ_َأقِي ُم‬
َّ ‫وا‬ ِ ۚ َّ‫_وا ُش_هَ َدٓا َء َعلَى ٱلن‬ ْ _ُ‫َوتَ ُكون‬
٧٨ ‫صي ُر‬ ِ َّ‫َم ۡولَ ٰى ُكمۡۖ فَنِ ۡع َم ۡٱل َم ۡولَ ٰى َونِ ۡع َم ٱلن‬
Artinya: Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-
benarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam
agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai
kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu, dan (begitu pula) dalam (Al Quran) ini,
supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas
segenap manusia, maka dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berpeganglah kamu
pada tali Allah. Dia adalah Pelindungmu, maka Dialah sebaik-baik Pelindung dan sebaik-
baik Penolong.20

2. Menurut Abdul Wahab Khalaf

19
Asy-Syatibi, Al I’tisom, (Beirut: Daar Al Fikr, 1991), hlm. 115
20
Q.S. Al Hajj Ayat 78

8
Maslahah Mursalah dapat dijadikan sebagai legislasi hukum Islam bila memenuhi
syarat yang diantaranya adalah:21

a. Berupa maslahah yang sebenarnya (secara haqiqi) bukan maslahah yang sifatnya
dugaan, tetapi yang berdasarkan penelitian, kehati-hatian dan pembahasan mendalam
serta benar-benar menarik manfa’at dan menolak kerusakan.
b. Berupa maslahah yang bersifat umum, bukan untuk kepentingan perorangan, tetapi
untuk orang banyak.
c. Tidak bertentangan dengan hukum yang telah ditetapkan oleh nash (Al-Qur’an dan
Al-Hadits) serta ijma’ ulama.

3. Menurut Jumhurul Ulama

Menurut Jumhurul Ulama bahwa Maslahah Mursalah dapat sebagai sumber legislasi
hukum Islam bila memenuhi syarat sebagai berikut:22

a. Maslahah tersebut haruslah “maslahah yang haqiqi” bukan hanya yang berdasarkan
prasangka merupakan kemaslahatan yang nyata. Artinya bahwa membina hukum
berdasarkan kemaslahatan yang benar-benar dapat membawa kemanfaatan dan
menolak kemazdaratan. Akan tetapi kalau hanya sekedar prasangka adanya
kemanfaatan atau prasangka adanya penolakan terhadap kemazdaratan, maka
pembinaan hokum semacam itu adalah berdasarkan wahm (prasangka) saja dan tidak
berdasarkan syari’at yang benar.
b. Kemaslahatan tersebut merupakan kemaslahatan yang umum, bukan kemaslahatan
yang khusus baik untuk perseorangan atau kelompok tertentu, dikarenakan
kemaslahatan tersebut harus bisa dimanfaatkan oleh orang banyak dan dapat menolak
kemudaratan terhadap orang banyak pula.
c. Kemaslahatan tersebut tidak bertentangan dengan kemaslahatan yang terdapat dalm
al-Qur’an dan al-Hadits baik secara zdahir atau batin. Oleh karena itu tidak dianggap
suatu kemaslahatan yang kontradiktif dengan nash seperti menyamakan bagian anak
laki-laki dengan perempuan dalam pembagian waris, walau penyamaan pembagian
tersebut berdalil kesamaan dalam pembagian.

Penjelasan diatas dapat disimpulan bahwasanya Mashlahah Mursalah dapat dijadikan


sebagai landasan hukum serta dapat diaplikasikan dalam tindakan sehari-hari bila telah
21
Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Al-Fiqh, Cet Ke-3, hlm. 94
22
Mukhsin Jamil, Kemaslahatan dan Pembaharuan Hukum Islam, (Semarang: Walisongo Press, 2008), hlm. 24

9
memenuhi syarat sebagai tersebut di atas, dan ditambahkan maslahah tersebut merupakan
kemaslahatan yang nyata, tidak sebatas kemaslahatan yang sifatnya masih prasangka, yang
sekiranya dapat menarik suatu kemanfaatan dan menolak kemudaratan. Dan maslahah
tersebut mengandung kemanfa’atan secara umum dengan mempunyai akses secara
menyeluruh dan tidak melenceng dari tujuan-tujuan yang dikandung dalam Al Qur’an dan Al
Hadits.

E. Kedudukan Mashlahah Mursalah


Dalam penggunaan Mashlahah Mursalah sebagai dalil hukum Islam, para Ulama berbeda
pendapat terkait hal tersebut:
1. Kalangan Ulama Malikiyah dan Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa Mashlahah
Mursalah merupakan hujjah syar’iyyah dan dalil hukum Islam. Beberapa argumen
yang dikemukan sebagai berikut:
a. Adanya perintah Al-Qur’an dalam QS. An-Nisa. 59 agar mengembalikan persoalan
yang diperselisihkan kepada Al Qur’an dan Sunnah, dengan wajh al-istidlal bahwa
perselisihan itu terjadi karena ia merupakan masalah baru yang tidak ditemukan
dalilnya dalam Al Qur’an dan Sunnah. Untuk memecahkan masalah semacam itu,
selain dapat ditempuh melalui metode Qiyas, tentu juga dapat ditempuh lewat
metode lain seperti istishlah. Sebab, tidak semua kasus semacam itu dapat
diselesaikan melalui metode Qiyas. Dengan demikian, ayat tersebut secara tidak
langsung juga memerintahkan mujtahid untuk mengembalikan persoalan baru yang
dihadapi kepada Al Qur’an dan Sunnah dengan mengacu pada Mashlahah yang
selalu ditegakkan oleh Al Qur’an dan Sunnah. Cara ini dapat ditempuh melalui
metode istishlah, yakni menjadikan Mashlahah Mursalah sebagai bahan
pertimbangan penetapan hukum Islam.
b. Adanya Takrir (pengakuan) Nabi atas penjelasan Muaz ibn Jabal yang akal
menggunakan ijtihad bi al-ra’yi bila tidak menemukan ayat Qur’an dan Sunnah
untuk menyelesaikan sebuah kasus hukum. Penggunaan ijtihad ini mengacu pada
penggunaan daya nalar atau suatu yang dianggap maslahah. Nabi sendiri waktu itu
tidak membebaninya untuk mencari dukungan nash.
c. Adanya amaliyah dan praktek di jaman sahabat yang walaupun saat itu belum ada
istilah Maslahah Mursalah, tetapi merupakan suatu keadaan yang sudah diterima
bersama tanpa saling menyalahkan. Seperti, pengangkatan Abu Bakar sebagai

10
Khalifah pertama. Memerangi orang yang tidak membayar zakat, pencetakan mata
uang, dan keputusan tidak memberi hak zakat kepada muallaf pada jaman Umar
ibn Khattab. Penyatuan cara baca (qira’at) Qur’an dan pemberlakuan adzan dua
kali jaman Ustman ibn Affan.23
d. Suatu maslahah bila telah nyata kemaslahatannya dan telah sejalan dengan maksud
pembuat hukum (syari’), maka menggunakan maslahah tersebut berarti telah
memenuhi tujuan syar’i, meskipun tidak ada dalil khusus yang mendukungnya.
e. Bila dalam keadaan tertentu untuk menetapkan hukum tidak boleh menggunakan
metoda maslahah mursalah, maka akan menempatkan umat dalam kesulitan.
Padahal Allah sendiri menghendaki kemudahan dan menjauhkan kesulitan untuk
hamba-Nya sebagaimana al-baqarah ayat 185. Nabi pun menghendaki umatnya
menempuh cara yang lebih mudah dalam kehidupannya.
f. Tujuan pokok penetapan hukum islam adalah untuk mewujudkan kemaslahatan
bagi umat manusia. Kemaslahatan manusia akan selalu berubah dan bertambah
sesuai dengan kemajuan zaman. Dalam kondisi semacam ini akan banyak timbul
masalah baru yang hukumnya belum ditegaskan oleh Al Qur’an dan Sunnah. Jika
masalah baru tersebut hanya ditempuh melalui metode Qiyas maka akan terjadi
banyak masalah baru yang tidak dapat diselesaikan oleh hukum Islam. Hal ini akan
menjadi persoalan yang serius dan hukum Islam akan ketinggalan zaman. Untuk
mengatasi hal tersebut dapat ditempuh lewat metode ijtihad yang lain, diantaranya
adalah istishlah.24

2. Kalangan Ulama Syafi’iyyah dan Ulama Hanabillah berpandangan bahwa Mashlahah


Mursalah tidak dapat dijadikan hujjah syar’iyyah dan dalil hukum Islam. Beberapa
argumen yang dikemukakan sebagai berikut:
a. Mashlahah ada yang dibenarkan oleh syara’ atau hukum Islam, ada yang ditolak
dan ada yang diperselisihkan atau tidak ditolak dan tidak pula dibenarkan.
Mashlahah mursalah termasuk kategori mashlahah yang diperselisihkan.
Memandang mashlahah mursalah sebagai hujjah berarti mendasarkan penetapan
hukum Islam terhadap sesuatu yang meragukan dan mengambil satu diantara dua
kemungkinan tanpa disertai dalil yang mendukung.

23
Zakariya Al-Bari, Mashadir al-Ahkam al-Islamiyah, hlm. 129-130
24
Asmawi, Perbandingan Ushul Fiqh, hlm. 105

11
b. Beramal dengan maslahah yang tidak mendapat pengakuan nash akan membawa
kepada pengamalan hukum yang berlandaskan sekehendak hati dan menurut hawa
nafsu, cara seperti ini tidaklah lazim dalam prinsip-prinsip islami. Keberatan al-
Ghazali menggunakan Istihsan dan Maslahah Mursalah karena ia tidak ingin
melaksanakan hukum secara seenaknya (talazzuz) dan beliau menetapkan syarat
yang berat dalam menetapkan suatu hukum.
c. Penggunaan maslahah dalam berijtihad tanpa berpegang pada nash akan
memunculkan sikap bebas dalam menetapkan hukum sehingga dapat
mengakibatkan seseorang teraniaya atas nama hukum. Hal ini tentu saja menyalahi
prinsip “tidak boleh merusak, juga tidak ada yang dirusak”.25
d. Hukum Islam telah lengkap dan sempurna. Menjadikan mashlahah mursalah
sebagai hujjah dalam menetapkan hukum Islam berarti secara tak langsung tidak
mengakui karakter kelengkapan dan kesempurnaan hukum Islam itu. Demikian
pula memandang mashlahah mursalah sebagai hujjah akan membawa dampak bagi
terjadinya perbedaan hukum Islam disebabkan perbedaan kondisi dan situasi. Hal
ini menafikan universalitas, keluasan dan keluwesan hukum Islam.26

Jika melihat permasalahan umat yang semakin kompleks, teori Mashlahah Mursalah
bisa dijadikan untuk menetapkan hujjah dari istinbat hukum karena pada dasarnya Allah SWT
telah menciptakan segala hal di dunia ini tidak sia-sia sehingga tidak ada manfaat yang tidak
bisa diperoleh darinya, sebagaimana firman Allah SWT:

ِ ‫ٱلس___ ٰ َم ٰ َو‬ ۡ ٗ ‫ُون ٱهَّلل َ قِ ٰيَ ٗم___ ا َوقُع‬


َ ‫ُ___ودا َو َعلَ ٰى ُجنُ___وبِ ِهمۡ َويَتَفَ َّكر‬ َ ‫___ذ ُكر‬ ۡ َ‫ين ي‬
َ ‫ٱلَّ ِذ‬
‫ت‬ َّ ‫ق‬ِ ___‫ُون فِي َخل‬
١٩١ ‫ار‬ِ َّ‫اب ٱلن‬ َ ‫ك فَقِنَا َع َذ‬ َ ‫ض َربَّنَا َما َخلَ ۡق‬
َ َ‫ت ٰهَ َذا ٰبَ ِطاٗل س ُۡب ٰ َحن‬ ِ ‫َوٱَأۡل ۡر‬
Artinya: (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau
dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya
berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci
Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.27

Adanya perbedaan mengenai penggunaan Maslahah Mursalah sebagai metode ijtihad


adalah karena tidak adanya dalil yang secara spesifik menyatakan diterimanya maslahat itu
oleh Syari’ baik secara langsung maupun tidak langsung, karena sebagaimana telah
25
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, hlm. 362
26
Asmawi, Perbandingan Ushul Fiqh, hlm. 106
27
Q.S. Ali Imran Ayat 191

12
disebutkan bahwa diamalkannya maslahat oleh mayoritas ulama adalah karena adanya
dukungan syariat, meskipun tidak disebutkan secara langsung.

Walaupun terdapat perbedaan pendapat diantara para ulama terkait Mashlahah


Mursalah dan kaidah fiqhiyyah, akan tetapi pada hakikatnya adalah satu, yaitu setiap manfaat
yang di dalamnya terdapat tujuan syara’ secara umum, namun tidak terdapat dalil yang secara
khusus menerima atau menolaknya.

F. Objek Mashlahah Mursalah

Tidak seorangpun yang menyangkal bahwa syari’at Islam dimaksudkan untuk


kemashlahatan umat manusia. Syari’at itu membawa manusia kepada kebaikan dan
kebahagiaan serta mencegah kejahatan dan menolak kebinasaan.

Pokok dan prinsip kemashlahatan itu sudah digariskan dalam teks syari’at dengan
lengkap dan telah berakhir sejak wafat Nabi Mihammad Saw. Alat dan cara untuk
memperoleh kemashlahatan itu berkembang dan beraneka ragam, seirama dengan
perkembangan sejarah dan peradaban manusia itu sendiri.

Kemashlahatan hidup manusia yang ada hubunganya dengan situasi dan kondisi di
zaman Nabi, langsung mendapat pengakuan dan pengesahan teks syari’at kalau itu
dibenarkan dan dibatalkan kalau tidak dibenarkannya. Mashlahat yang dibatalkan berarti
tidak dianggap sebagai mashlahat oleh syari’at.

Objek atau ruang lingkup penerapan Mashlahah Mursalah menurut ulama yang
menggunakanya itu menetapkan batas wilayah dan penggunaanya, yaitu hanya untuk masalah
diluar wilayah ibadah seperti mu’amalah dan adat. Dalam masalah ibadah, mashlahah tidak
digunakan secara keseluruhan. Karena mashlahah itu didasarkan pada pertimbangan akal
tentang baik buruknya suatu masalah, sedangkan akal tidak dapat melakukan hal itu untuk
masalah ibadah.28

Contoh penggunaan Mashlahah Mursalah yaitu ketika sahabat Utsman bin Affan
mengumpulkan Al Qur’an kedalam mushaf, padahal di waktu zaman Rashulullah Saw.
Alasan yang mendorong mereka yaitu tidak lain hanyalah semata-mata mashlahat, yaitu
menjaga Al Qur’an dari kepunahan atau kehilangan kemutawatiranya karena meninggalnya
sejumlah besar hafidz dari generasi sahabat.29
28
Amir Syarifudin, Ushul Fiqh, (Jakarta: kencana prenada Media Group, 2008), Cet Ke-4, hlm. 340
29
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008), Cet Ke-2, hlm. 427

13
Selain itu coba perhatikan produk-produk hukum ulama-ulama saat ini, maka akan
didapatkan bahwa produk-produk hukum tersebut banyak dilandasi pertimbangan mashlahah
mursalah, seperti fatwa-fatwa MUI, mengenai “sertifikat halal” bagi produk makanan,
minuman, dan kosmetik. Hal yang seperti ini tidak pernah ada teks nash yang
menyinggungnya secara langsung, namun dilihat dari ruh syari’at sangatlah baik sekali dan
hal ini merupakan langkah positif dalam melindungi umat manusia dari makanan, minuman,
dan obat-obatan serta kosmetik yang tidak halal untuk dikomsumsi.

G. Kesimpulan

14
Maslahah mursalah adalah suatu perbuatan yang mengandung nilai baik (manfaat)
dan memelihara tercapainya tujuan-tujuan syara’ yaitu menolak mudarat dan meraih
maslahah.

Objek maslahah mursalah hanya boleh pada urusan adat dan muamalat saja, tidak
pada wilayah ibadat, karena wilayah ini telah di jelaskan secara jelas dalam Alquran dan
Hadis Nabi.

Adanya perbedaan mengenai penggunaan maslahah mursalah sebagai metode ijtihad


adalah karena tidak adanya dalil yang secara spesifik menyatakan diterimanya maslahat itu
oleh Syari’ baik secara langsung maupun tidak langsung,

Walaupun terdapat perbedaan pendapat diantara para ulama terkait Mashlahah


Mursalah dan kaidah fiqhiyyah, akan tetapi pada hakikatnya adalah satu, yaitu setiap manfaat
yang di dalamnya terdapat tujuan syara’ secara umum, namun tidak terdapat dalil yang secara
khusus menerima atau menolaknya.

DAFTAR PUSTAKA

15
Abu Zahrah, Muhammad. Ushul Fiqh, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008).
Abu Zahrah, Muhammad. Ushul Fiqh, (Kairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, t.t).
Al-Bari, Zakariya. Mashadir al-Ahkam al-Islamiyah, (Kairo: tt).
Al-Buthi, Said Ramadhan. Dwabit Al-Mashlahah Fii Al-Syari’ah Al-Islamiyah, (Beirut:
Muassah Al-Risalah, 1990).
Al-Ghazali, Imam. Al-Mustashfa min ‘Ilmi al-Usul, (Beirut: Muassasah Risalah, 1997).
al-Manzur, Ibnu. Lisan al-Arab, (Beirut: Dar al-Fikr, 1972).
al-Zuhaili, Wahbah. Ushul al-Fiqh al-Islamiy, Juz 2, (Beirut: Dar al-Fikr, 1990).
Asmawi. Perbandingan Ushul Fiqh, ( Jakarta: AMZAH, 2011).
As-Syaukani, Muhammad bin Ali. Irsyad al-Fuhul, (Mekkah: Dar at-Ta’awun, 1973).
Asy-Syatibi. Al I’tisom, (Beirut: Daar Al Fikr, 1991).
Badran, Badran Abu Al-‘aini. Ushul Al-Fiqh Al-Islami, (Iskandariah: Muassasah Syababal
Jami’ah, tth.).
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka, 1996).
Hasbi, Rusli. Atsar al-Qawa’id al-Ushuliyyah fi al-Ahkam asy-Syar’iyyah, (Ciputat: UIN
Press, 2015).
Jamil, Mukhsin. Kemaslahatan dan Pembaharuan Hukum Islam, (Semarang: Walisongo
Press, 2008).
Khalaf, Abdul Wahab. Ilmu Ushul Al-Fiqh, (Kuwait: Darul Qalam, 1983).
Nazhariyat, Husein Hamid Hassan. Al-Mashlahah Fi Al-Fiqh Al-Islamiy, (Kairo: Daar Al-
Nahdhat Al-Arabiyah, 1971).
Syarifuddin, Amir. Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2009).
Syarifudin, Amir. Ushul Fiqh, (Jakarta: kencana prenada Media Group, 2008).

16

Anda mungkin juga menyukai