A. Pendahuluan
Sebagaimana kita ketahui, bahwa pada dasarnya hukum Islam itu hanya bersumber
dari Al Qur’an dan Hadits. Namun setelah Islam berkembang, maka timbullah berbagai
macam istilah-istilah dalam penggalian hukum Islam yang dimunculkan oleh para mujtahid,
sehingga dikenallah istilah sebagai hukum primer dan hukum sekunder. Hukum primer yaitu
hukum-hukum yang telah disepakati oleh jumhur ulama yaitu Al Qur’an, Hadits, Ijma’, dan
Qiyas. Hukum sekunder yaitu hukum-hukum yang masih diperselisihkan pemakaianya
dalam menetapkan hukum Islam oleh para ulama seperti Istihsan, Mashlahah Mursalah, Urf
dll.
Salah satu dari sumber hukum sekunder dalam Islam akan dibahas secara lebih detail,
yaitu Mashlahah Mursalah. Secara umum Mashlahah Mursalah adalah hukum yang
ditetapkan karena tuntutan maslahat yang tidak didukung maupun diabaikan oleh dalil
khusus, akan tetapi masih sesuai dengan Maqasid al-Syari’ah al-‘Ammah (tujuan umum
hukum Islam).
1
B. Pengertian Mashlahah Mursalah
1. Pengertian secara bahasa
Secara etimologis “Maslahah Mursalah” terdiri atas dua suku kata yaitu
maslahah dan mursalah. Maslahah berasal dari kata صلحyang secara etimologis
berarti manfaat, faedah, bagus, baik, patut, layak, dan sesuai. 1 Mashlahah merupakan
bentuk mashdar dengan arti kata shalāh ( )صالحyaitu manfaat atau terlepas
dari padanya kerusakan. Pengertian mashlahah dalam bahasa Arab berarti perbuatan-
perbuatan yang mendorong kepada kebaikan manusia.2
Dalam arti yang umum adalah segala sesuatu yang bermanfaat bagi
manusia, baik dalam arti menarik atau menghasilkan seperti menghasilkan
keuntungan atau ketenangan; atau dalam arti menolak atau menghindarkan seperti
menolak kemudharatan atau kerusakan. Jadi, setiap yang mengandung manfaat
patut disebut maslahah.
Sedangkan kata al-Mursalah adalah isim maf’ul (objek) dari fi’il madhi (kata
dasar) dalam bentuk tsulasi (kata dasar yang tiga huruf) yaitu رسل dengan
penambahan “alif” di pangkalnya, sehingga menjadi ارسل, yang berarti “terlepas”
atau “bebas” (dari kata muthlaqah). Kata al-Mursalah disini bila dihubungkan dengan
kata mashlahah berarti kemaslahatan yang terlepas/bebas dari keterangan yang
menunjukkan boleh atau tidaknya dilakukan.5
1
Rusli Hasbi, Atsar al-Qawa’id al-Ushuliyyah fi al-Ahkam asy-Syar’iyyah, (Ciputat: UIN Press, 2015), hlm. 246
2
Asmawi, Perbandingan Ushul Fiqh, ( Jakarta: AMZAH, 2011), hlm. 127
3
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1996), hlm.
634
4
Ibnu al-Manzur, Lisan al-Arab, (Beirut: Dar al-Fikr, 1972), hlm. 348
5
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2009), Jilid 2, hlm. 354
2
2. Pengertian Secara Istilah
Pengertian mashalihul mursalah secara istilah terdapat beberapa rumusan definisi
diantaranya sebagai berikut:
نص معنّي
ّ مامل يشهد له من الشرع بالبطالن وال باالعتبار
Apa-apa (mashlahah) yang tidak ada bukti baginya dari syara’ dalam bentuk
nash tertentu yang membatalkannya dan tidak ada yang memperhatikannya.
nya.
خاص
ّ هي املصاحل املالئمة ملق صد الشارع االسالمى وال يشهد هلا اصل
باالعتبار او بااللغاء
Mashlahah yang selaras dengan tujuan syari’at Islam dan tidak ada petunjuk
tertentu yang membuktikan tentang pengakuannya atau penolakannya.
d. Abd Al-Wahhab Al-Khallaf memberikan rumusan sebagai berikut:
6
Imam Al-Ghazali, Al-Mustashfa min ‘Ilmi al-Usul, (Beirut: Muassasah Risalah, 1997), hlm. 414
7
Muhammad bin Ali Al-Syaukani, Irsyad al-Fuhul, (Mekkah: Dar at-Ta’awun, 1973), hlm. 242
8
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, (Kairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, t.t), hlm. 221
3
Mashlahah mursalah ialah mashlahat yang tidak ada dalil syara’ datang untuk
mengakuinya atau menolaknya.9
املصلحة هي املنفعة الىت قصدها الشارع احلكيم لعباده من حفظ دينهم ونفوسهم
املصلحة املرسلة مصلحة تدخل حتت أصل شرعي مأخذ من استقراء النصوص الشرعية
Mashlahah Mursalah adalah mashlahah yang tercakup dalam dalil syara’ yang
diambil atau dipahami lewat penelitian dari berbagai nash syara.11
g. Menurut Badran Abu Al-‘Aini Badran:
Mashlahah Mursalah adalah yang tidak diketahui dari syariat adanya dalil yang
membenarkan atau membatalkan.12
Dari beberapa rumusan definisi di atas, dapat ditarik kesimpulan tentang hakikat dari
Mashlahah Mursalah tersebut, sebagai berikut:
9
Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Al-Fiqh, (Kuwait: Darul Qalam, 1983), Cet Ke-3, hlm. 84
10
Said Ramadhan Al-Buthi, Dwabit Al-Mashlahah Fii Al-Syari’ah Al-Islamiyah, (Beirut: Muassah Al-Risalah,
1990), Cet. Ke-3, hlm. 27
11
Husein Hamid Hassan Nazhariyat, Al-Mashlahah Fi Al-Fiqh Al-Islamiy, (Kairo: Daar Al-Nahdhat Al-
Arabiyah, 1971), hlm. 71
12
Badran Abu Al-‘aini Badran , Ushul Al-Fiqh Al-Islami, (Iskandariah: Muassasah Syababal Jami’ah, tth.), hlm.
209
4
a. Ia adalah sesuatu yang baik menurut akal dengan pertimbangan dapat mewujudkan
kebaikan atau menghindarkan keburukan bagi manusia.
b. Apa yang baik menurut akal itu, juga selaras dan sejalan dengan tujuan syara’ dalam
menetapkan hukum.
c. Apa yang baik menurut akal dan selaras pula dengan tujuan syara’ tersebut, tidak ada
petunjuk syara’ secara khusus yang menolaknya, juga tidak ada petunjuk syara’ yang
mengakuinya.13
Adapun syarat-syarat khusus untuk dapat berijtihad dengan menggunakan Mashlahah
Mursalah adalah sebagai berikut:
a. Mashlahah Mursalah itu adalah mashlahah yang hakiki dan bersifat umum, dalam arti
dapat diterima oleh akal sehat bahwa ia betul-betul mendatangkan manfa’at bagi
manusia dan menghindarkan mudharat dari manusia secara utuh.
b. Yang dinilai akal sehat sebagai suatu mashlahah yang hakiki betul-betul telah sejalan
dengan maksud dan tujuan syara’ dalam menetapkan setiap hukum, yaitu mewujudkan
kemashlahatan bagi umat manusia.
c. Yang dinilai akal sehat sebagai suatu mashlahah yang hakiki dan telah sejalan dengan
tujuan syara’ dalam menetapkan hukum itu tidak berbenturan dengan dalil syara’ yang
telah ada, baik dalam bentuk nash Al Qur’an dan Sunnah, maupun ijma’ ulama
terdahulu.
d. Mashlahah Mursalah itu diamalkan dalam kondisi yang memerlukan, yang seandainya
masalahnya tidak diselesaikan dengan cara ini, maka umat akan berada dalam
kesempitan hidup, dengan arti harus ditempuh untuk menghindarkan umat dari
kesulitan.14
C. Macam-Macam Mashlahah
Sebagaimana telah dijelaskan bahwa Mashlahah dalam artian syara’ bukan hanya
didasarkan pada pertimbangan akal dalam menilai baik buruknya sesuatu, bukan pula
karena dapat mendatangkan kenikmatan dan menghindarkan kerusakan. Akan tetapi lebih
jauh dari itu, yaitu bahwa apa yang dianggap baik oleh akal juga harus sejalan dengan
tujuan syara’ dalam menetapkann hukum, yaitu memelihara lima prinsip pokok kehidupan
(agama, jiwa, akal, keturunan dan harta).15
13
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, hlm. 356
14
Zakariya Al-Bari, Mashadir al-Ahkam al-Islamiyah, (Kairo: tt), hlm. 135-136
15
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, hlm.348
5
1. Dari segi kekuatannya sebagai hujjah dalam menetapkan hukum, mashlahah terbagi
menjadi tiga macam, yaitu mashlahah dharuriyah, mashlahah hajiyah, dan
mashlahah tahsiniyah.16
a. Mashlahah Dharuriyah ( )المصلحة الضروريةadalah kemashlahatan yang keberadaannya
6
menyatakan porsi hak kewarisan laki-laki harus sama besar dan setara dengan
porsi hak kewarisan perempuan dengan mengacu pada dasar pemikiran kesetaraan
gender. Dasar pemikiran tersebut memang bermuatan mashlahah, tetapi
dinamakan al-mashlahah al-mulghah.18
c. Al-mashlahah al-mursalah, yakni mashlahah yang tidak diakui secara eksplisit
oleh syara’ dan tidak pula ditolak dan dianggap bathil oleh syara’, tetapi masih
sejalan secara substantif dengan kaidah-kaidah hukum yang universal. Sebagai
contoh, kebijakan hukum perpajakan yang ditetapkan oleh pemerintah. Kebijakan
tersebut tidak diakui secara eksplisit oleh syara’dan tidak pula ditolak dan
dianggap palsu oleh syara’. Akan tetapi, kebijakan demikian justru sejalan secara
substantif dengan kaidah hukum yang universal. Dengan demikian kebijakan
tersebut mempunyai landasan syar’iyyah.
Untuk menjaga kemurnian metode maslahah mursalah sebagai landasan hukum Islam,
maka harus mempunyai dua dimensi penting, yaitu:
1. Harus tunduk dan sesuai dengan apa yang terkandung dalam nash (Al Qur’an dan Al
Hadits) baik secara tekstual atau kontekstual.
2. Harus mempertimbangkan adanya kebutuhan manusia yang selalu berkembang sesuai
zamannya.
Kedua sisi ini harus menjadi pertimbangan yang secara cermat dalam pembentukan
hukum Islam, karena bila dua sisi di atas tidak berlaku secara seimbang, maka dalam hasil
istinbath hukumnya akan menjadi sangat kaku disatu sisi dan terlalu mengikuti hawa nafsu
disisi lain. Sehingga dalam hal ini perlu adanya syarat dan standar yang benar dalam
menggunakan maslahah mursalah baik secara metodologi atau aplikasinya.
Adapun syarat Maslahah Mursalah sebagai dasar legislasi hukum Islam diantaranya
adalah:
1. Menurut Syatibi:
18
Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islamiy, hlm. 452
7
Mashlahah Mursalah dapat dijadikan sebagai landasan hukum apabila:19
a. Kemaslahatan sesuai dengan prinsip-prinsip apa yang ada dalam ketentuan syari’ yang
secara ushul dan furu’nya tidak bertentangan dengan nash.
b. Kemaslahatan hanya dapat dikhususkan dan diaplikasikan dalam bidang-bidang sosial
(mu’amalah) di mana dalam bidang ini menerima terhadap rasionalitas dibandingkan
dengan bidang ibadah. Karena dalam mu’amalah tidak diatur secara rinci dalam nash.
c. Hasil maslahah merupakan pemeliharaan terhadap aspek-aspek Daruriyyah, Hajjiyah,
dan Tahsiniyyah. Metode maslahah adalah sebagai langkah untuk menghilangkan
kesulitan dalam berbagai aspek kehidupan, terutama dalam masalah-masalah sosial
kemasyarakatan.
Sesuai firman Allah SWT:
َٱجتَبَ ٰى ُكمۡ َو َم__ا َج َع_ َل َعلَ ۡي ُكمۡ فِي ٱل_دِّي ِن ِم ۡن َح_ َر ۚ ٖج ِّملَّة
ۡ ق ِجهَ__ا ِدۦۚ ِه هُ_ َو َّ _وا فِي ٱهَّلل ِ َح ْ َو ٰ َج ِه ُد
َّۡس_و ُل َش_ ِهيدًا َعلَ ۡي ُكم َ _ين ِمن قَ ۡب_ ُل َوفِي ٰهَ_ َذا لِيَ ُك
ُ _ون ٱلر َ َأبِي ُكمۡ ِإ ۡب ٰ َر ِهي ۚ َم هُ َو َس َّم ٰى ُك ُم ۡٱل ُم ۡس_لِ ِم
ْ ص_ ُم
وا بِٱهَّلل ِ هُ_ َو ْ _ُٱلص_لَ ٰوةَ َو َءات
ۡ _وا ٱل َّز َك_ ٰ_وةَ َو
ِ َٱعت ْ اس فَ_َأقِي ُم
َّ وا ِ ۚ َّ_وا ُش_هَ َدٓا َء َعلَى ٱلن ْ _َُوتَ ُكون
٧٨ صي ُر ِ ََّم ۡولَ ٰى ُكمۡۖ فَنِ ۡع َم ۡٱل َم ۡولَ ٰى َونِ ۡع َم ٱلن
Artinya: Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-
benarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam
agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai
kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu, dan (begitu pula) dalam (Al Quran) ini,
supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas
segenap manusia, maka dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berpeganglah kamu
pada tali Allah. Dia adalah Pelindungmu, maka Dialah sebaik-baik Pelindung dan sebaik-
baik Penolong.20
19
Asy-Syatibi, Al I’tisom, (Beirut: Daar Al Fikr, 1991), hlm. 115
20
Q.S. Al Hajj Ayat 78
8
Maslahah Mursalah dapat dijadikan sebagai legislasi hukum Islam bila memenuhi
syarat yang diantaranya adalah:21
a. Berupa maslahah yang sebenarnya (secara haqiqi) bukan maslahah yang sifatnya
dugaan, tetapi yang berdasarkan penelitian, kehati-hatian dan pembahasan mendalam
serta benar-benar menarik manfa’at dan menolak kerusakan.
b. Berupa maslahah yang bersifat umum, bukan untuk kepentingan perorangan, tetapi
untuk orang banyak.
c. Tidak bertentangan dengan hukum yang telah ditetapkan oleh nash (Al-Qur’an dan
Al-Hadits) serta ijma’ ulama.
Menurut Jumhurul Ulama bahwa Maslahah Mursalah dapat sebagai sumber legislasi
hukum Islam bila memenuhi syarat sebagai berikut:22
a. Maslahah tersebut haruslah “maslahah yang haqiqi” bukan hanya yang berdasarkan
prasangka merupakan kemaslahatan yang nyata. Artinya bahwa membina hukum
berdasarkan kemaslahatan yang benar-benar dapat membawa kemanfaatan dan
menolak kemazdaratan. Akan tetapi kalau hanya sekedar prasangka adanya
kemanfaatan atau prasangka adanya penolakan terhadap kemazdaratan, maka
pembinaan hokum semacam itu adalah berdasarkan wahm (prasangka) saja dan tidak
berdasarkan syari’at yang benar.
b. Kemaslahatan tersebut merupakan kemaslahatan yang umum, bukan kemaslahatan
yang khusus baik untuk perseorangan atau kelompok tertentu, dikarenakan
kemaslahatan tersebut harus bisa dimanfaatkan oleh orang banyak dan dapat menolak
kemudaratan terhadap orang banyak pula.
c. Kemaslahatan tersebut tidak bertentangan dengan kemaslahatan yang terdapat dalm
al-Qur’an dan al-Hadits baik secara zdahir atau batin. Oleh karena itu tidak dianggap
suatu kemaslahatan yang kontradiktif dengan nash seperti menyamakan bagian anak
laki-laki dengan perempuan dalam pembagian waris, walau penyamaan pembagian
tersebut berdalil kesamaan dalam pembagian.
9
memenuhi syarat sebagai tersebut di atas, dan ditambahkan maslahah tersebut merupakan
kemaslahatan yang nyata, tidak sebatas kemaslahatan yang sifatnya masih prasangka, yang
sekiranya dapat menarik suatu kemanfaatan dan menolak kemudaratan. Dan maslahah
tersebut mengandung kemanfa’atan secara umum dengan mempunyai akses secara
menyeluruh dan tidak melenceng dari tujuan-tujuan yang dikandung dalam Al Qur’an dan Al
Hadits.
10
Khalifah pertama. Memerangi orang yang tidak membayar zakat, pencetakan mata
uang, dan keputusan tidak memberi hak zakat kepada muallaf pada jaman Umar
ibn Khattab. Penyatuan cara baca (qira’at) Qur’an dan pemberlakuan adzan dua
kali jaman Ustman ibn Affan.23
d. Suatu maslahah bila telah nyata kemaslahatannya dan telah sejalan dengan maksud
pembuat hukum (syari’), maka menggunakan maslahah tersebut berarti telah
memenuhi tujuan syar’i, meskipun tidak ada dalil khusus yang mendukungnya.
e. Bila dalam keadaan tertentu untuk menetapkan hukum tidak boleh menggunakan
metoda maslahah mursalah, maka akan menempatkan umat dalam kesulitan.
Padahal Allah sendiri menghendaki kemudahan dan menjauhkan kesulitan untuk
hamba-Nya sebagaimana al-baqarah ayat 185. Nabi pun menghendaki umatnya
menempuh cara yang lebih mudah dalam kehidupannya.
f. Tujuan pokok penetapan hukum islam adalah untuk mewujudkan kemaslahatan
bagi umat manusia. Kemaslahatan manusia akan selalu berubah dan bertambah
sesuai dengan kemajuan zaman. Dalam kondisi semacam ini akan banyak timbul
masalah baru yang hukumnya belum ditegaskan oleh Al Qur’an dan Sunnah. Jika
masalah baru tersebut hanya ditempuh melalui metode Qiyas maka akan terjadi
banyak masalah baru yang tidak dapat diselesaikan oleh hukum Islam. Hal ini akan
menjadi persoalan yang serius dan hukum Islam akan ketinggalan zaman. Untuk
mengatasi hal tersebut dapat ditempuh lewat metode ijtihad yang lain, diantaranya
adalah istishlah.24
23
Zakariya Al-Bari, Mashadir al-Ahkam al-Islamiyah, hlm. 129-130
24
Asmawi, Perbandingan Ushul Fiqh, hlm. 105
11
b. Beramal dengan maslahah yang tidak mendapat pengakuan nash akan membawa
kepada pengamalan hukum yang berlandaskan sekehendak hati dan menurut hawa
nafsu, cara seperti ini tidaklah lazim dalam prinsip-prinsip islami. Keberatan al-
Ghazali menggunakan Istihsan dan Maslahah Mursalah karena ia tidak ingin
melaksanakan hukum secara seenaknya (talazzuz) dan beliau menetapkan syarat
yang berat dalam menetapkan suatu hukum.
c. Penggunaan maslahah dalam berijtihad tanpa berpegang pada nash akan
memunculkan sikap bebas dalam menetapkan hukum sehingga dapat
mengakibatkan seseorang teraniaya atas nama hukum. Hal ini tentu saja menyalahi
prinsip “tidak boleh merusak, juga tidak ada yang dirusak”.25
d. Hukum Islam telah lengkap dan sempurna. Menjadikan mashlahah mursalah
sebagai hujjah dalam menetapkan hukum Islam berarti secara tak langsung tidak
mengakui karakter kelengkapan dan kesempurnaan hukum Islam itu. Demikian
pula memandang mashlahah mursalah sebagai hujjah akan membawa dampak bagi
terjadinya perbedaan hukum Islam disebabkan perbedaan kondisi dan situasi. Hal
ini menafikan universalitas, keluasan dan keluwesan hukum Islam.26
Jika melihat permasalahan umat yang semakin kompleks, teori Mashlahah Mursalah
bisa dijadikan untuk menetapkan hujjah dari istinbat hukum karena pada dasarnya Allah SWT
telah menciptakan segala hal di dunia ini tidak sia-sia sehingga tidak ada manfaat yang tidak
bisa diperoleh darinya, sebagaimana firman Allah SWT:
12
disebutkan bahwa diamalkannya maslahat oleh mayoritas ulama adalah karena adanya
dukungan syariat, meskipun tidak disebutkan secara langsung.
Pokok dan prinsip kemashlahatan itu sudah digariskan dalam teks syari’at dengan
lengkap dan telah berakhir sejak wafat Nabi Mihammad Saw. Alat dan cara untuk
memperoleh kemashlahatan itu berkembang dan beraneka ragam, seirama dengan
perkembangan sejarah dan peradaban manusia itu sendiri.
Kemashlahatan hidup manusia yang ada hubunganya dengan situasi dan kondisi di
zaman Nabi, langsung mendapat pengakuan dan pengesahan teks syari’at kalau itu
dibenarkan dan dibatalkan kalau tidak dibenarkannya. Mashlahat yang dibatalkan berarti
tidak dianggap sebagai mashlahat oleh syari’at.
Objek atau ruang lingkup penerapan Mashlahah Mursalah menurut ulama yang
menggunakanya itu menetapkan batas wilayah dan penggunaanya, yaitu hanya untuk masalah
diluar wilayah ibadah seperti mu’amalah dan adat. Dalam masalah ibadah, mashlahah tidak
digunakan secara keseluruhan. Karena mashlahah itu didasarkan pada pertimbangan akal
tentang baik buruknya suatu masalah, sedangkan akal tidak dapat melakukan hal itu untuk
masalah ibadah.28
Contoh penggunaan Mashlahah Mursalah yaitu ketika sahabat Utsman bin Affan
mengumpulkan Al Qur’an kedalam mushaf, padahal di waktu zaman Rashulullah Saw.
Alasan yang mendorong mereka yaitu tidak lain hanyalah semata-mata mashlahat, yaitu
menjaga Al Qur’an dari kepunahan atau kehilangan kemutawatiranya karena meninggalnya
sejumlah besar hafidz dari generasi sahabat.29
28
Amir Syarifudin, Ushul Fiqh, (Jakarta: kencana prenada Media Group, 2008), Cet Ke-4, hlm. 340
29
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008), Cet Ke-2, hlm. 427
13
Selain itu coba perhatikan produk-produk hukum ulama-ulama saat ini, maka akan
didapatkan bahwa produk-produk hukum tersebut banyak dilandasi pertimbangan mashlahah
mursalah, seperti fatwa-fatwa MUI, mengenai “sertifikat halal” bagi produk makanan,
minuman, dan kosmetik. Hal yang seperti ini tidak pernah ada teks nash yang
menyinggungnya secara langsung, namun dilihat dari ruh syari’at sangatlah baik sekali dan
hal ini merupakan langkah positif dalam melindungi umat manusia dari makanan, minuman,
dan obat-obatan serta kosmetik yang tidak halal untuk dikomsumsi.
G. Kesimpulan
14
Maslahah mursalah adalah suatu perbuatan yang mengandung nilai baik (manfaat)
dan memelihara tercapainya tujuan-tujuan syara’ yaitu menolak mudarat dan meraih
maslahah.
Objek maslahah mursalah hanya boleh pada urusan adat dan muamalat saja, tidak
pada wilayah ibadat, karena wilayah ini telah di jelaskan secara jelas dalam Alquran dan
Hadis Nabi.
DAFTAR PUSTAKA
15
Abu Zahrah, Muhammad. Ushul Fiqh, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008).
Abu Zahrah, Muhammad. Ushul Fiqh, (Kairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, t.t).
Al-Bari, Zakariya. Mashadir al-Ahkam al-Islamiyah, (Kairo: tt).
Al-Buthi, Said Ramadhan. Dwabit Al-Mashlahah Fii Al-Syari’ah Al-Islamiyah, (Beirut:
Muassah Al-Risalah, 1990).
Al-Ghazali, Imam. Al-Mustashfa min ‘Ilmi al-Usul, (Beirut: Muassasah Risalah, 1997).
al-Manzur, Ibnu. Lisan al-Arab, (Beirut: Dar al-Fikr, 1972).
al-Zuhaili, Wahbah. Ushul al-Fiqh al-Islamiy, Juz 2, (Beirut: Dar al-Fikr, 1990).
Asmawi. Perbandingan Ushul Fiqh, ( Jakarta: AMZAH, 2011).
As-Syaukani, Muhammad bin Ali. Irsyad al-Fuhul, (Mekkah: Dar at-Ta’awun, 1973).
Asy-Syatibi. Al I’tisom, (Beirut: Daar Al Fikr, 1991).
Badran, Badran Abu Al-‘aini. Ushul Al-Fiqh Al-Islami, (Iskandariah: Muassasah Syababal
Jami’ah, tth.).
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka, 1996).
Hasbi, Rusli. Atsar al-Qawa’id al-Ushuliyyah fi al-Ahkam asy-Syar’iyyah, (Ciputat: UIN
Press, 2015).
Jamil, Mukhsin. Kemaslahatan dan Pembaharuan Hukum Islam, (Semarang: Walisongo
Press, 2008).
Khalaf, Abdul Wahab. Ilmu Ushul Al-Fiqh, (Kuwait: Darul Qalam, 1983).
Nazhariyat, Husein Hamid Hassan. Al-Mashlahah Fi Al-Fiqh Al-Islamiy, (Kairo: Daar Al-
Nahdhat Al-Arabiyah, 1971).
Syarifuddin, Amir. Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2009).
Syarifudin, Amir. Ushul Fiqh, (Jakarta: kencana prenada Media Group, 2008).
16