Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH USUL FIQH

MASLAHAH MURSALAH

Tugas ini Disusun untuk Memenuhi tugas usul fiqh

DISUSUN OLEH :

PAUNIA OKTOVIA: 1910201162


LOKAL : PAI 4A

DOSEN PENGAMPU
HJ SYAMSYARINA. LC, MA

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) KERINCI


FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
2020 / 2021

i
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji syukur atas kehadirat Allah SWT, atas berkah dan limpahan rahmat-nya
kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul”macam macam
sholat sunah

Penulis menyadari bahwa penyusunan makalah ini tidak lepas dari bimbungan bapak HJ
SYAMSYARINA. LC, MA yang telah memberikan saran, waktu, bimbingan, semangat,
pengatetahuan, dan nasehat yang sangat bermanfaat kepada penulis. Penulis menyadari sepenuh
nya bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna di karenakan keterbatasan pengalaman dan
pengetahuan yang di miliki oleh si penulis oleh karna itu penulis mengharapkan saran, dan
masukan yang membangun dari berbagai pihak. Semoga makalah ini bermanfaat bagi penulis,
pembaca dan penelitian selanjutnya. Akhir kata dengan segala ketulusan dan kerendahan hati,
penulis mohon maaf apabila ada kesalahan dan kelemahan dalam makalah ini.
Terima kasih

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATAPENGANTAR…………………………………………………………………………...ii

BAB I………………………………………………………………………………………….…iii

PENDAHULUAN……………………………………………………………………………….iii

A. Latar belakang……………………………………………………………………...…….....iv

B. Rumusan masalah…………..…………………………………………………………..…..iv

C. Tujuan……………...………………………………………………………………………..v

BAB II ……………………………………………………………………………………………1

PEMBAHASAN…………………………………………………………………………………1

A. Defenisi maslahah mursalah………...……………………………………………...…1


B. Kehujahan ……... ……………………............…………….…………..……………..2
C. Syarat syarat maslahah mursalah ………..……….……………………..………...…..3
D. Macam macam maslahah mursalah………………………………………………..….4
E. Pertentangan antara maslahah mursalah dengan nash……………….………………..5

BAB III……………………………………………………………………..……………..………6

PENUTUP……………………………...…………………………………..……………………..6

A. Kesimpulan………………………………………………………...…………………..……6

B. Saran……………..…………………………………………………..……………………...6

DAFTAR PUSTAKA…….………………………………………………………………….......7

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A.      LATAR BELAKANG MASALAH


Seluruh hukum yang ditetapkan Allah SWT. atas hamba-Nya dalam bentuk perintah atau
larangan adalah mengandung maslahat. Tidak ada hukum syara’ yang sepi dari maslahat. Seluruh
perintah Allah bagi manusia untuk melakukannya mengandung manfaat untuk dirinya baik
secara langsung maupun tidak. Manfaat itu ada yang dapat dirasakannya pada waktu itu juga dan
ada yang dirasakan sesudahnya. Contohnya Allah menyuruh sholat yang mengandung banyak
manfaat, antara lain bagi ketenangan rohani dan jasmani.
 Begitu pula dengan semua larangan Allah untuk dijauhi manusia. Di balik larangan itu
terkandung kemaslahatan, yaitu terhindarnya manusia dari kebinasaan atau kerusakan.
Contohnya larangan meminum minuman keras yang akan menghindarkan seseorang dari mabuk
yang dapat merusak tubuh, jiwa (mental), dan akal.
Semua ulama sependapat dengan adanya kemaslahatan dalam hukum yang ditetapkan
Allah. Namun mereka berbeda pendapat tentang “apakah karena untuk mewujudkan maslahat itu
Allah menetapkan hukum syara’?”. Atau dengan kata lain, “apakah maslahat itu yang
mendorong Allah menetapkan hukum, atau karena ada sebab lain?”.
Terlepas dari beda pendapat tersebut, yang jelas bahwa dalam setiap perbuatan yang
mengandung kebaikan dalam pandangan manusia, maka biasanya untuk perbuatan itu terdapat
hukum syara’ dalam bentuk perintah. Sebaliknya, pada setiap perbuatan yang dirasakan manusia
mengandung kerusakan, maka biasanya untuk perbuatan itu ada hukum syara’ dalam bentuk
larangan. Setiap hukum syara’ selalu sejalan dengan akal manusia, dan akal manusia selalu
sejalan dengan hukum syara’.
B.     RUMUSAN MASALAH
Dari uraian latar belakang masalah yang ada di atas, maka  kami ajukan beberapa rumusan
masalah. Adapun rumusan masalahnya adalah sebagai berikut:
1.      Apa pengertian Maslahah Mursalah?
2.      Bagaimana kehujjahan maslahah mursalah?
3.      Apa syarat-syarat Maslahah Mursalah?
4.      Apa saja macam-macam Maslahah Mursalah?

iv
5.      Bagaimana pertentangan antara Maslahah Mursalah dan Nash?
C.    TUJUAN PENULISAN
Dari uraian latar belakang masalah di atas, dalam penyusunan makalah ini penulis
kemukakan beberapa tujuan, yaitu:
1.      Mengetahui pengertian Maslahah Mursalah.
2.      Mengetahui kehujjahan Maslahah Mursalah.
3.      Mengetahui syarat-syarat Maslahah Mursalah.
4.      Mengetahui macam-macam Maslahah Mursalah.
5.      Mengetahui pertentangan antara Maslahah Mursalah dan Nash

v
BAB II
PEMBAHASAN

A.      PENGERTIAN MASLAHAH MURSALAH


Maslahah mursalah menurut lughot terdiri atas dua kata, yaitu maslahah dan mursalah.
Kata maslahah berasal dari kata kerja bahasa Arab ‫يصلح – صلح‬  menjadi atau  yang berarti sesuatu
yang mendatangkan kebaikan. Sedangkan kata mursalah berasal dari kata kerja yang ditafsirkan
sehingga menjadi isim maf’ul, yaitu: Menjadi yang berarti diutus, dikirim atau dipakai
(dipergunakan). Perpaduan dua kata menjadi “Maslahah mursalah” yang berarti prinsip
kemaslahatan (kebaikan) yang dipergunakan menetapkan suatu hukum Islam. Juga dapat berarti,
suatu perbuatan yang mengandung nilai baik (bermanfaat).
Menurut istilah ulama ushul ada bermacam-macam ta’rif yang diberikan di antaranya:
1.         Imam Ar-Razi mena’rifkan sebagai berikut:
‫ع ْال َح ِك ْي ُم لِ ِعبَا ِد ِه فِى ِح ْف ِظ ِد ْينِ ِه ْم َونُفَوْ ِس ِه ْم َو ُعقُوْ لِ ِه ْم َونَس ْْل ِه ْم َواَ ْم َوالِ ِه ْمز‬ َ َ‫ارةٌ ع َِن ْال َم ْنفَ َع ِة الَّتِ ْي ق‬
ِ ‫ص َدهَا ال ّش‬
ُ ‫ار‬ َ َ‫بِاَنَّهَا ِعب‬
“ Maslahah ialah, perbuatan yang bermanfaat yang telah diperintahkan oleh Masyrri’ (Allah)
kepada hamba-Nya tentang pemeliharaan agamanya, jiwanya, akalnya, keturunannya, dan harta
bendanya “.
2.         Imam Al-Ghazali mena’rifkan sebagai berikut:
ِ ‫ارةٌ فِى ااْل َصْ ِل ع َْن َج ْل‬
َ ‫ب َم ْنفَ َع ٍة اَوْ َد ْف ِع َم‬
‫ض َّر ٍة‬ ْ ‫اَ َّم‬
َ َ‫اال َمصْ لَ َحةُ فَ ِه َي ِعب‬
“Maslahah pada dasarnya ialah meraih manfaat dan menolak madharat”.
3.         Menurut Muhammad Hasbi As-Siddiqi, maslahah ialah:
‫ع بِ َد ْف ِع ْال ُمفَا ِسلِ ِم ع َِن ْالخَ ْلقِز‬ ِ ‫ْال ُم َحافَظَةُ َعلَى َم ْقصُوْ ِد ال َّش‬
ِ ‫ار‬
“Memelihara tujuan syara’ dengan jalan menolak segala sesuatu yang merusakkan makhluk”. 1
Ketiga ta’rif di atas mempunyai tujuan yang sama yaitu, maslahah memelihara tercapainya
tujuan-tujuan syara’ yaitu menolak madarat dan meraih maslahah.2
Secara mutlak maslahah mursalah diartikan oleh ahli ushul fiqih sebagai suatu kemaslahatan
yang secara hukum tidak disyariatkan oleh syari, serta tidak ada dalil yang menerangkan atau
membatalkan. Maslahah ini disebut mutlak, karena tidak terikat oleh dalil yang mengakuinya
atau dalil yang membatalkan.3

1 Khoirul Umam, dkk, Ushul Fiqih 1, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), hlm. 135-136
2 Ibid, hlm. 137
3 Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqih, (Semarang: Karya Toha Putra, 1994), hlm. 139

1
B.       KEHUJJAHAN MASLAHAH MURSALAH
Sebagai hujjah, maslahah mursalah diperselisihkan para ulama. Dalam masalah ini ulama
terbagi menjadi tiga kelompok, yaitu:
1)   Menurut jumhur ulama maslahah mursalah tidak dapat dijadikan dalil/hujjah. Mereka
mengemukakan beberapa argument, yaitu:
a. Allah telah mensyariatkan untuk para hamba hukum-hukum yang memenuhi tuntutan
kemaslahatan mereka. Ia tidak melupakan dan tidak meninggalkan satu kemaslahatan pun,
tanpa mengundangnya. Berpedoman pada maslahah mursalah berarti menganggap Allah
meninggalkan sebagian kemaslahatan hamba-Nya, dan ini bertentangan dengan nash
b.   Maslahah mursalah itu berada di antara maslahah mu’tabarah dan maslahah mulghoh, di
mana menyamakannya dengan maslahah mu’tabarah belum tentu sesuai dari pada
menyamakannya dengan maslahah mulghoh, karenanya tidak pantas dijadikan hujjah.   
c. Berhujjah dengan maslahah mursalah dapat mendorong orang-orang tidak berilmu untuk
membuat hukum berdasarkan hawa nafsu dan membela kepentingan penguasa.
2)   Menurut Imam Malik maslahah mursalah adalah dalil hukum syara’. Pendapat ini juga diikuti
oleh Imam Haramain. Mereka mengemukakan argument sebagai berikut:
a. Nash-nash syara’ menetapkan bahwa syari’at itu diundangkan kemaslahatan manusia,
karenanya berhujjah dengan maslahah mursalah sejalan dengan karakter syara’ dan
prinsip-prinsip yang mendasarinya serta tujuan pensyariatannya.
b. Kemaslahatan manusia serta sarana mencapai kemaslahatan itu berubah karena
perbedaan pendapat tempat, keadaan dan zaman. Jika hanya berpegang pada kemaslahatn
yang ditetapkan berdasarkan nash saja, maka berarti mempersempit sesuatu yang Allah
telah lapangkan dan mengabaikan  banyak kemaslahatan manusia, dan tidak sesuai
dengan prinsip-prinsip umat syariat.
c. Para mujtahid dari kalangan sahabat dan generasi sesudahnya banyak melakukan ijtihad
berdasarkan masalahah dan tidak ditentang oleh seorang pun dari mereka. Karenanya ia
merupakan ijma’.
3)   Menurut al-Ghazali, maslahah mursalah yang dpat dijadikan dalil hanya maslahah dharuriyah.
Sedang maslahah hajiyah dan maslahah tahsiniyah tidak dapat dijadikan dalil.4

4 Suwarjin, Ushul Fiqh, (Yogyakarta: Teras, 2012), hlm. 140

2
C.         SYARAT-SYARAT MASLAHAH MURSALAH
Golongan yang mengakui kehujjahan maslahah mursalah dalam pembentukan hukum
(Islam) telah mensyaratkan sejumlah syarat tertentu yang harus dipenuhi, sehingga maslahah
tidak bercampur dengan hawa nafsu, tujuan, keinginan yang merusakkan manusia dan agama.
Sehingga seseorang tidak menjadikan keinginannya sebagai ilhamnya dan menjadikan
syahwatnya sebagai syariatnya.
        Syarat- syarat itu adalah sebagai berikut:
1)      Maslahah itu harus hakikat, bukan dugaan. Ahlul hilli wal aqli dan mereka yang mempunyai
disiplin ilmu tertentu memandang bahwa pembentukan hukum itu harus didasarkan pada
maslahah hakikiyah yang dapat menarik manfaat untuk manusia dan dapat menolak bahaya dari
mereka. Maka maslahah-maslahah yang bersifat dugaan, sebagaimana yang dipandang sebagian
syari’at, tidaklah diperlukan, seperti dalih maslahah yang dikatakan dalam soal larangan bagi
suami untuk menalak isterinya, dan memberikan hak talak tersebut terhadap hakim saja dalam
semua keadaan. Seungguhnya pembentukan hukum semacam ini menurut hal itu dapat
mengakibatkan rusaknya rumah tangga dan masyarakat, hubungan suami dengan isterinya
ditegakkan di atas suatu dasar paksaan undang-undang, tetapi bukan atas dasar keikhlasan, kasih
sayang, dan cinta-mencintai.
2)      Maslahah harus bersifat umum dan menyeluruh, tidak khusus untuk orang tertentu dan tidak
khusus untuk beberapa orang dalam jumlah sedikit. Imam Ghazali memberi contoh tentang
maslahah yang bersifat menyeluruh ini dengan suatu contoh: orang kafir tentang telah
membentengi diri dengan sejumlah orang dari kaum muslimin. Apabila kaum muslimin dilarang
mereka demi memelihara kehidupan orang Islam yang membentengi mereka, maka orang kafir
akan menang., dan mereka akan memusnahkan kaum muslimin seluruhnya. Dan apabila kaum
muslimin memerangi orang orang Islam yang membentengi orang kafir maka tertolaklah bahaya
ini dari seluruh orang Islam yang membentengi orang kafir tersebut. demi memlihara
kemaslahatan kaum muslimin seluruhnya dengan cara melawan atau memusnahkan musuh-
musuh mereka.
3)      Maslahah itu harus sejalan dengan tujuan hukum-hukum yang dituju oleh Syar’i. Maslahah
tersebut harus dari jenis maslahah yang telah didatangkan oleh Syar’i. Seandainya tidak ada dalil
tertentu yang mengakuinya, maka maslahah tersebut tidak sejalan dengan apa yang telah dituju
oleh Islam. Bahkan tidak dapat disebut maslahah.

3
4)      Maslahah itu bukan maslahah yang tidak benar, di mana nash yang sudah ada tidak
membenarkannya, dan tidak menganggap salah.5

D.      MACAM-MACAM MASLAHAH MURSLAH


Dari segi pandangan syara’ terhadapnya, maslahah dibagi menjadi tiga, yaitu:
1. Maslahah mu’tabarah, yaitu kemaslahatan yang didukung oleh syari’ (Allah) dan
dijadikan dasar dalam penetapan hukum.
2. Maslahah Mulghah yaitu kemaslahatan yang ditolak oleh Syari’ (Allah) dan syari’
menetapkan kemaslahatan lain selain itu.
3. Maslahah mursalah yaitu kemaslahatan yang belum diakomodir dalam nash dan ijma’
serta tidak ditemukan nash atau ijma’ yang melarang atau memerintahkan mengambilnya.
Maslahah mursalah disebut juga istishlah, Munasib mursal mala’im, isti’dlal mursal dan
istidlal. Berdasarkan tingkatannya maslahah dapat dibagi kedalam tiga tingkatan, yaitu:
a. Maslahah dharuriyah, yaitu segala hal yang menjadi sendi eksistensi kehidupan manusia,
harus ada demi kemaslahatan mereka. Pengabaian terhadap maslahah dharuriyah dapat
berakibat pada terganggunya kehidupan dunia, hilangnya kenikmatan dan turunnya azab di
akhirat.
b. Maslahah hajiyah, yaitu segala sesuatu yang sangat dihajatkan oleh manusia untuk
menghilangkan kesulitan dan menolak segala halangan. Pengabaian terhadap maslahah
hajiyah tidak menimbulkan ancaman bagi keberlangsungan hidup manusia, tetapi akan
menimbulkan kesulitan dan kesempitan.
c. Maslahah tahsiniyah, yaitu tindakan atau sifat-sifat yang pada prinsipnya berhubungan
dengan makarimul ahlak serta memlihara keutamaan dalam bidang ibadah, adat, dan
muamalat.
Ketiga maslahah di atas merupakan titik tolak penerapan prinsip maslahah mursalah. Sebab,
sudah jelas bahwa setiap pensyaria’atan hukum Islam seslalu mengandung unsur kemaslahatan
bagi manusia.6

5 Op. Cit, hlm. 137-138


6 Alaidin Koto, Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 122

4
E.     PERTENTANGAN MASLAHAH MURSALAH DAN NASH
Yang dimaksud tentang pertentangan anatara maslahah dengan nash adalah pertentangan
antara kemaslahatan dengan nash yang zhanni, baik dari segi wurud (periwayatan)nya, maupun
dari segi dalalah (makana yang dikandung)nya. Jika kemaslahatan tersebut bertentangan dengan
nash yang qath’i, baik dari segi wurud, maupun dalalahnya, maka tidak dapat dipandang sebagai
pertentangan. Sebab, pertentangan hanya terjadi antara dua dalil yang berada dalam tingkatan
yang sama. Jika kemaslahatan bertentangan dengan nash qath’i, secara otomatis nash yang harus
diikuti. Sebab, dalam kasusu seperti ini, sejatinya tidak ada pertentangan, sebab nash lebih tinggi
derajatnya dibanding kemaslahatan. Dalam hal ini, nash membatalkan. Demikian juga, jika
terjadi pertentangan antara nash Al-Qur’an dengan qiyas, maka qiyas harus tunjuk kepada nash,
bukan sebaliknya.
Dalam menyikapi isu pertentangan antara maslahah dan nash, ulama terbagi kedalam tiga
kelompok, yaitu:
1. Kelompok yang mendahulukan dari pada maslahah. Mereka memandang bahwa hukum
itu hanya dapat diambil dari nash, ijma’, atau qiyas. Jika suatu maslahah bertentangan
dengan nash, maka maslahah harus diabaikan demi nash.
2. Kelompok yang mendahulukan maslahah daripada nash. Mereka adalah kelompok
Malikiyah dan Hanfiyah. Mereka meninggalkan hadits ahad jika bertentangan dengan
maslahah. Di antara pengikut mereka ada yang berlebihan dalam mengutamakan
maslahah, yaitu Najm al-Din al-Thufi. Jika ada nash yang qath’i sekalipun, apabila
bertentangan dengan maslahah, nash yang qath’i tersebut harus tunduk pada
kemaslahatan. Pendapat al-Thufi tentang kemaslahatan akan dibicarakan setelah ini.
3. Menurut al-Ghazali dan al-Amidi kemaslahatan dapat didahulukan dari pada nash
apabila betul-betul dalam keadaan darurat.

5
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
      Maslahah mursalah diartikan oleh ahli ushul fiqih sebagai suatu kemaslahatan yang secara
hukum tidak disyariatkan oleh syari, serta tidak ada dalil yang menerangkan atau membatalkan.
        Sebagai hujjah, maslahah mursalah diperselisihkan para ulama. Dalam masalah ini ulama
terbagi menjadi tiga kelompok, yaitu:
1. Menurut jumhur ulama maslahah mursalah tidak dapat dijadikan dalil/hujjah.
2. Menurut Imam Malik maslahah mursalah adalah dalil hukum syara’. Pendapat ini juga
diikuti oleh Imam Haramain.
3. Menurut al-Ghazali, maslahah mursalah yang dpat dijadikan dalil hanya maslahah
dharuriyah. Sedang maslahah hajiyah dan maslahah tahsiniyah tidak dapat dijadikan dalil.
Syarat- syarat maslahah mursalah yaitu: Maslahah itu harus hakikat, bukan dugaan,
Maslahah harus bersifat umum dan menyeluruh, tidak khusus untuk orang tertentu dan tidak
khusus untuk beberapa orang dalam jumlah sedikit, Maslahah itu harus sejalan dengan tujuan
hukum-hukum yang dituju oleh Syar’i, Maslahah itu bukan maslahah yang tidak benar.
      Berdasarkan tingkatannya maslahah dapat dibagi kedalam tiga tingkatan, yaitu: Maslahah
dharuriyah, Maslahah hajiyah, Maslahah tahsiniyah.
      Dalam menyikapi isu pertentangan antara maslahah dan nash, ulama terbagi kedalam tiga
kelompok yaitu: 1) Kelompok yang mendahulukan dari pada maslahah, 2) Kelompok yang
mendahulukan maslahah daripada nash, 3) Menurut al-Ghazali dan al-Amidi kemaslahatan dapat
didahulukan dari pada nash apabila betul-betul dalam keadaan darurat.

6
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqih, Semarang: Karya Toha Putra, 1994
Alaidin Koto, Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004
Khoirul Umam, dkk, Ushul Fiqih 1, Bandung: Pustaka Setia, 2000
Suwarjin, Ushul Fiqh, Yogyakarta: Teras, 2012

Anda mungkin juga menyukai