Anda di halaman 1dari 68

AL HIKAM

Jangan Menunda Ibadahmu


“Allah membatasi waktu-waktu tertentu dalam ibadah, agar anda tidak terhalang oleh penundaan
ibadah, dan Allah Swt juga meluaskan waktu ibadah, agar ada sesorang memiliki pilihan
(mengerjakannnya).”

Diantara perilaku nafsu kita adalah menunda-nunda kebaikan, amaliyah, taat dan ibadah,
sementara pada saat yang sama seseorang lebih senang berandai-andai dengan imajinasinya.

Allah Swt membuat batasan-batasan waktu dalam sholat lima waktu misalnya, agar kita tidak
punya kesempatan pembiaran nafsu kita untuk menunda ibadah. Namun Allah Swt juga
membuat keleluasan agar kita lebih ringan beribadah. Waktu-waktu sholat yang panjang seperti
Isya’ waktunya sampai subuh, adalah cara Allah Swt menyayangi hamba-hambaNya, agar
suasana ubudiyah-nya benar-benar nikmat nan indah.

Disebutkan, Allah Swt berfirman pada hambaNya, “Bukankah Aku telah mengeluarkan dirimu
dari tiada menjadi ada? Lalu Aku limpahi berbagai anugerah dan kemurahan: Aku jadikan
cahaya pada matamu agar kamu bisa menemukan bukti kekuasaanKu dan agungnya ayat-ayatKu.
Dan Aku jadikan cahaya pada matahatimu agar kamu memahami tugas-tugas dariKu, lalu kamu
bisa menjaga taat padaKu agar jauh dari ancaman siksaKu, lalu kamu berharap pahalaKu,
kemudian Aku janjikan pahala dibalik taat. Aku pun mengancammu jika kamu kontra denganKu.
Lalu Aku beri tugas amal menurut kemampuanmu, Aku beri keleluasaan waktu-waktunya hal-
hal yang mendesak. Seandainya kamu meng-qodho’ di akhir usiamu, hal-hal yang Aku wajibkan
padamu sejak awal usiamu, tentu Aku pun menerimanya. Lalu apa yang menghalangimu untuk
melaksanakan perintahKu? Dan tidak ada alasan uzur bagimu, kecuali tipudaya dan kesesatan.”

Rabi’ bin Haitsam suka mengang-ulang membaca ayat di bawah ini, lalu menangis tersedu-sedu:
“Apakah orang-orang yang melakukan tindakan-tindakan keburukan menyangka bahwa mereka
akan Kami jadikan seperti orang-orang yang beriman dan beramal saleh…”

Dan ia berteriak kencang, “Aku tidak tahu wahai diriku, dimana posisimu dari dua golongan
itu…!”

Ayat ini disebut sebagai “tempat tangisan pada ahli ibadah.”

Nafsu itu hanya mencari untung. Ia pun selau menanyakan apa untungnya beribadah. Karena itu
nafsu harus ditekan dan dikendalikan, agar memilik kepatuhan. Nafsu ingin terus liar dan liberal.
Karenanya, harus dididik dengan ketat, dan begitu nafsu mengalami ketentraman dirinya, akan
berubah menjadi semangat kebajikan.
Betapa berharganya sang waktu yang diberikan oleh Allah Swt kepada kita. Setiap detik, waktu
berlalu tanpa kembali, dan itu sering kita biarkan kosong dang nestapa. Waktu seperti pedang,
jika tidak kita gunakan, ia akan memangkas kita setiap waktu.

Setiap waktu haruslah bersamaNya, karena Dia adalah sumber kebajikan nyata. Tanpa Dia Swt,
kita akan terlempar oleh cepatnya waktu dalam lorong gelap nafsu kita.

– Syeikh Ibnu Ath-Thaillah As-Sakandari

Pilihlah Yang Memberatkan Hatimu


“Apabila ada dua perkara yang serupa, maka pandanglah yang paling memberatkan nafsu, lalu
ikuti yang paling memberatkan itu. Sebab tidak ada yang memberatkan nafsu kecuali pasti
benar.”

– Syeikh Ibnu Ath-Thaillah As-Sakandari

Manusia seringkali menghadapi dilemma, ketika berhadapan dengan dua masalah yang sulit
untuk diputuskan, karena dua-duanya benar, dua-duanya wajib, dua-duanya tidak baik, atau dua-
duanya boleh dilakukan. Bukan perkara antara wajib dan haram, antara sunnah dan makruh,
antara boleh dan tidak boleh.

Dalam hal-hal yang serupa ini, perkara mana yang harus anda ambil?

Maka kita akan mengambil keputusan yang paling memberatkan nafsu kita. Sebab, mengambil
hal yang meringankan nafsu kita, jika yang kita putuskan adalah dua perkara yang nilainya sama,
sulit terlepas dari penympangan. Tetapi, jika kita memutuskan yang memberatkan beban nafsu
kita, kebenaran akan memihak kita.

Dalam perjalanan para penempuh Jalan Ilahi, seringkali dihadapkan masalah-masalah seperti itu.
Kiat paling sederhana dan mapan, adalah memilih yang bukan pilihan selera nafsu kita. Karena
sesuatu yang benar sekalipun, jika kita berangkat dari niat yang tidak ikhlas, niat menuruti selera
nafsu, praktek kebenaran itu menjadi tidak benar. Contohnya orang berdakwah itu benar, apalagi
yang disampaikan kebenaran. Namun menjadi tidak benar bila ketika berdakwah dasarnya adalah
hawa nafsu; seperti popularitas, materi, pencarian legitimasi atau pujian-pujian.

Memilih yang bukan selera nafsu kita, berarti memilih selera Allah Swt, memprioritaskan Allah
Swt, mencari wilayah yang diridhoiNya.

Kata hati paling dalam adalah muatan kebenaran. Maka Rasulullah Saw, bersabda, “Mintalah
fatwa pada hatimu, walau yang lain menfatwaimu, walau yang lain menfatwaimu, walau yang
lain menfatwaimu…”

Kata hati adalah ungkapan sejati, yang bisa menepis selera nafsu kita.
Nah, tanda-tanda kita mengikuti selera nafsu seperti yang diungkapkan oleh Ibnu Athaillah as-
Sakandary:

“Diantara tanda-tanda mengikuti selera hawa nafsu adalah bergegas dalam ibadah sunnah,
namun malas menegakkan ibadah-ibadah wajib.”

Kebiasaan spiritual yang buruk seseorang tergesa-gesa meraih hal-hal yang ajaib dibalik ibadah,
ingin segera diberi karomah, ingin segera dibuka hatinya, ingin ditampakan fenomena-fenoma
hebat, dan sebagainya. Semua itu akibat dari nafsu tersembunyi di balik ibadah, khususnya
ketika menjalankan hal-hal sunnah.

Sedangkan ketika menjalankan ibadah wajib, hanya dinilai sebagai kewajiban yang harus
digugurkan, manakala sudah selesai. Atau sekadar menjalankan kewajiban. Padahal Allah Swt,
mewajibkan suatu amal ibadah tertentu, semata saking agung, mulia dan besarnya nilai ibadah
tersebut.

Malu Meminta Kepada Allah


“Terkadang sang ‘arif merasa malu jika mengajukan kebutuhannya kepada Tuhannya,
semata karena merasa cukup dengan kehendakNya. Bagaimana tidak malu, jika ia harus
mengungkapkan kebutuhannya pada sesama makhluk?”

Menyampaikan hajat-hajatnya kepada Allah Swt, bagi si Arif sesungguhnya sebagai bentuk
‘ubudiyah, bukan sebagai permintaan atau penyodoran masalah. Sebab kehendak Allah Swt tetap
mendahului permintaan dan doanya. Sehingga mereka lebih memasrahkan diri pada
kehendakNya dibanding permintaan kebutuhannya.

Tentu jika mereka malu mengungkapkan kebutuhan hidupnya, ia pasti lebih malu jika
mengungkapkan kebutuhannya pada sesama makhluk.

Inilah cara mereka menjaga adab, dan sebagai sang arif ia terus menjaga rasa fakirnya kepada
Allah Swt, bukan pada sesame, karena Allah-lah Yang Maha Kaya dan Maha Terpuji.

Syeikh Abu Ali Ad-Daqqaq ra mengatakan, “Tanda-tanda ma’rifat adalah anda tidak meminta
kebutuhan anda, baik kebutuhan dalam jumlah kecil maupun besar, kecuali semua itu dari Allah
Swt, sebagaimana Nabi Musa as, rindu untuk melihat Allah Swt, ia berdoa, “Ya Tuhan
tampakkanlah diriMu padaku, aku akan melihatmu.” (Al-A’raf 143), dan suatu ketika ia sangat
butuh roti, lalu dia berkata, “Ya Tuhan, sesungguhnya diriku sangat memerlukan kebaikan yang
Engkau turunkan kepadaku.” (Al-Qashah: 24)

Sang arif lebih sibuk untuk dzikir kepadaNya dibanding memintaNya, sebagaimana dinyatakan
oleh Allah Swt dalam hadits Qudsy. Namun, ketika para arif berdoa dan meminta, hanya semata
sebagai wujud kehambaannya, bahwa ia harus menjaga kefakiran, rasa hina dina, ketakberdayaan
dan ketakpampuan di hadapanNya.
Dalam konteks inilah Syeikh Abul Hasan asy-Syadzily ra, mengatakan, “Aku tak mampu
memberi manfaat untuk diriku sendiri, bagaimana aku tidak putus asa mencari manfaat orang
lain bagi diriku? Aku hanya berharap kepada Allah Swt untuk memberi manfaat pada selain
diriku, bagaimana aku tidak berharap kepadaNya untuk manfaat diriku? Inilah kimia dan remuk
redam, yang siapa pun meraihnya ia meraih kekayaan yang tiada lagi rasa butuh setelah itu,
kemuliaan yang tiada lagi rasahina menyertainya, dan infak baginya yang tiada henti. Inilah
kimia bagi mereka yang faham dengan Allah Ta’ala.”

Tentu saja, mereka yang faham Allah, akan cukup bersama Allah sehingga dia kayaraya jiwanya,
ia mulia bersama Allah karena kebergantungan pada kemuliaanNya.

Syeikh Abul Hasan Asy-Syadzily ra, mengisahkan, “Suatu hari ada orang yang menemaniku,
dan ia sangat membebaniku. Lalu suatu hari aku membuatnya mudah, sehingga ia jadi gamang.
Kukatakan padanya:

“Hai ananda, apa kebutuhanmu dan kenapa kamu menemaniku?”

“Wahai Tuan, ada yang mengatakan padaku kalau Anda sangat pandai dalam bidang Ilmu
Kimia. Aku ingin belajar padamu soal itu,” kata orang ini.

“Kamu benar, dan benar pula kawanmu yang bicara padamu itu. Tapi janganlah, kau terima…”
kataku.

“Tidak, aku akan menerimanya…”

Lalu kukatakan padanya, “Aku melihat makhluk ini ada dua kelompok. Kelompok pertama
adalah para musuh, dan kedua adalah kekasih-kekasih. Ketika aku melihat para musuh, aku
akhirnya tahu bahwa mereka tidak mampu mencedarai diriku, yang Allah Swt memang tidak
menimpakan padaku. Lalu aku putuskan pandanganku pada mereka. Kemudian aku memandang
orang-orang tercinta, nyatanya mereka pun tidak ada yang mampu memberi manfaat padaku,
dimana Allah Swt memang tidak memberi manfaat padaku. Lalu aku pun memutuskan
pandanganku pada mereka, dan aku hanya bergantung pada Allah Swt.”

Tiba-tiba ada kata membisik padaku, “Kamu tidak akan sampai pada hakikat perkara ini, sampai
kamu memutuskan harapanmu dari Kami, —sebagaimana kamu memutuskan dari selain Kami,
agar orang lain itu memberimu,— kecuali apa yang telah Kami takdirkan padamu di zaman
Azali.”

Maka dalam kesempatan tertentu beliau juga berkata, ketika ditanya mengenai Kimia,
“Keluarkanlah makhluk dari hatimu, dan putuslah harapanmu pada hal-hal yang bukan
bagianmu.”

Syeikh Abul Hasan Asy-Syadzily ra menegaskan, “Standar pemahaman hamba pada Tuhannya,
bukan terletak pada banyaknya amal, bukan pula pada langgengnya wirid, namun standarnya
adalah sejauh mana ia memahami nur-Nya, dan kefahamannya akan sikap merasa cukup pada
Tuhannya, dan semangat hatinya padaNya, kemerdekaannya dari belenggu tamak, lalu berhias
dengan hiasan wara’. Karena dengan itu semua amal-amal jadi bagus dan perilaku batin jadi
bersih, sebagaimana firmanNya, “Kami jadikan apa yang ada di muka bumi sebagai hiasan
baginya, agar Kami menguji, siapa diantara mereka yang terbaik amalnya.” (Al-Kahfi: 71)

Merahasiakan Pengalaman Ilahiyah


“Rahasiakan Allah dalam hatimu, sebagaimana engkau merahasiakan cacat-cacatmu.” – Syeikh
Abdul Jalil Mustaqim Qs

Ibnu Athaillah mengatakan, “Orang yang belum sampai dan orang yang sudah sampai, tidak lain
kecuali hanya sebagai derajat dalam memanifestasikan hakikat melalui ketidakmampuan dirinya.
Siapa yang sampai ke suatu maqom, ia akan tak berdaya untuk sampai ke

maqom itu, maka sesungguhnya ia telah sampai (wushul pada maqom tersebut).” Namun harus
ditegaskan, yang dimaksud dengan “Tidak mampu” yaitu, manakala muncul setelah ia fana’
secara hakiki, bukan “tak mampu” secara metaforal (majazy), karena orang yang bodoh itu,
ketidakmampuannya juga tampak secara nyata, namun orang yang ‘arif ketidakmampuannya
muncul secara Jalaly-Rahmany (maksudnya ketidakberdayaannya muncul akibat memandang
Sifat Keagungan dan RahmaniyahNya). Berbeda jika ia tidak mampu memang karena
kebodohannya.

Maka bisa ditampakkan, bahwa:

Orang bodoh ketika bergerak dan terjadi, ia terjerembab dalam kepentingan selera dirinya,
sedangkan orang ‘arif tidak bergerak kecuali untuk memenuhi hak kewajibannya.
Orang bodoh selalu berkhayal, orang ‘arif selalu meraih kefahaman.
Orang bodoh selalu mencari ilmu, orang ‘arif selalu mencari Sang Empunya Ilmu.
Orang bodoh mengikuti gambaran yang tampak secara lahiriyah. Orang ‘arif memejamkan mata
lahiriyahnya dan yang tampak pandangan ruihani maknawinya.

Para murid dalam perjalanan ruhaninya, diharuskan menyimpan rahasia ilmu, amal, hal, dan
hasrat luhurnya. Jika ia mempublikasi pengalaman ruhaninya, membuat keikhlasannya semakin
minim. Apalagi jika ia mengungkapkan keikhlasannya, itu menunjukkan betapa sedikitnya sikap
benar bersama Tuhannya.

Banyak para penempuh bangga dengan pengalaman ruhaninya, lalu ia mandeg dalam kepuasan
dirinya, dan ketakjubannya.
Banyak para penempuh yang mengungkapkan kedalaman batinnya, lalu ia kehilangan
keikhlasannya.
Banyak para penempuh yang gembira dengan capaian hakikatnya, padahal ia baru tahap proses
awal perjalanannya.

Karena itu, benarlah ungkapan Syeikh Abdul Jalil Mustaqim Qs, “Rahasiakan Allah dalam
hatimu, sebagaimana engkau merahasiakan cacat-cacatmu.”
Pengalaman Ilahiyah, biarlah menjadi rahasia diri anda, dan biar Allah Swt saja yang Tahu.
Karena pengalaman itu datangnya memang dari Allah Swt, bukan dari dirimu, bukan dari amal
dan maqommu.

Ibnu Atahaillah selanjutnya menegaskan:


“Janganlah engkau mengulurkan tanganmu untuk mengambil sesuatu dari makhluk, kecuali anda
melihat bahwa sang pemberi adalah Tuhanmu. Jika anda mampu di posisi demikian, ambillah
menurut batas keserasian (standar) ilmu.”

Inilah etika sang penempuh, ketika menerima dan meminta tolong pada sesama, perihal soal
harta benda. Sang penempuh (murid) mesti melihat bahwa sang pemberi adalah Allah Swt,
bukan makhluk. Itu pun sebatas kewajaran yang dibutuhkan seketika itu, menurut standar
pengetahuan agama.

Para sufi melarang meraih harta berlebih, apalagi disertai sikap rakus dan ambisi, penuh dengan
cinta duniawi. Karena itu semua bisa melahirkan cobaan.

Kisah berikut bisa jadi renungan kita. Ketika seorang Sufi sedang mengundang jamuan makan
para sahabatnya.

Pelayan acara itu terkejut dengan perilaku para undangan pesta gurunya itu. Setidaknya sang
pelayan mengamati ada tiga golongan tamu yang datang dengan gaya dan etika berbeda-beda.

Kelompok pertama, dipersilakan makan oleh tuan rumah, tapi tak kunjung makan juga, padahal
makanan yang disiapkan adalah kesukaan mereka, apalagi mereka kelihatan haus dan lapar.
Beberapa menit kemudian, tuan rumah menyilakan kembali pada tamu-tamu itu, saat itulah
mereka mulai mengambil hidangan makanan.
Kelompok kedua, tamu-tamu yang datang langsung dipersilakan makan oleh tuan rumah. Dan
seketika itu pula langsung disantap makanan yang ada di hadapannya.
Kelompok ketiga, tamu yang datang belum dipersilakan oleh tuan rumah sudah langsung
mengambil makanan itu.

Tentu pelayan penasaran. Akhirnya ia bertanya pada gurunya, atas perilaku para undangan
tamunya itu. “Tanyakan saja pada mereka, kenapa mereka begitu?” kata sang guru.

Sang pelayan menanyakan kepada mereka, alasan apa yang membuat mereka berbeda-beda
dalam merespon hidangan tuan rumah alias gurunya itu.

Kelompok pertama menjawab, “Kami memang sangat lapar dan dahaga, dan sangat bernafsu
untuk segera melahap makanan kesukaan kami. Ketika tuan rumah menyilakan nafsu kami
semakin bertambah, namun kami terikat aturan adab untuk tidak mengambil makanan karena
dorongan nafsu. Saat itu selera nafsu kami tiba-tiba sirna, dan guru anda tahu, kami sudah tidak
berselera pada makanan hidangannya. Justru saat itulah guru anda menyilakan yang kedua
kalinya, dan kami pun makan hidangannya.
Sang pelayan melanjutkan, pertanyaan pada kelompok kedua. Mereka menjawab, “Kami ini
adalah tamu, dan posisi kami seperti mayit, jadi ketika tuan rumah menyilakan makan, kami
harus makan, suka maupun tidak.”

Si pelayan semakin penasaran, lalu ia bertanya pada kelompok ketiga yang langsung menyantap
makanan, tanpa dipersilakan lebih dulu. “Orang yang mengenal Allah (‘arif) melakukan
semauNya.”

Si pelayan terpana mendapat jawaban ketiga kelompok undangan itu, sementara sang guru atau
tuan rumah senyum-senyum saja.

Ini semua hanyalah ilustrasi mengenai adab dari para penempuh maupun sang arif, yang erat
hubungannya dengan soal mengambil atau mengulurkan tangan pada harta, makanan atau apa
pun dari makhluk.

Yang Tersembunyi Di Balik Semesta


Syeikh Ibnu ‘Athaillah As-Sakandary"Allah swt. Maha Mengetahui sesungguhnya dirimu tidak
sabar untuk menyaksikanNya, maka Allah swt mempersaksikan padamu apa yang tampak
dariNya."
Anda semua memang tidak sabar untuk segera memandang Allah Ta’ala, dan

Allah swt, Maha Tahu itu semua, lalu Dia menampakkan ciptaanNya padamu. Anda bisa
memandang yang tersembunyi di balik ciptaanNya, maka di sanalah ada aktivitas Illahi, Asma’
dan SifatNya, lalu anda bisa memandangNya dengan Mata Hati. Namun mata kepala terbatas
pada ciptaanNya belaka. Itulah yang disebut dengan memandang dibalik hijab. Suatu karomah
kemuliaan bagimu sekaligus sebagai pertolonganNya padamu, dimana anda tidak terhijab
dariNya di dunia ini.

Dalam hikmah-hikmah terdahulu Ibnu Athaillah As-Sakandary, bahkan mengurai panjang lebar
mengenai tidak adanya alasan, seseorang untuk menegaskan bahwa Allah itu terhijab oleh segala
sesuatu, karena Allah swt menyertai segala sesuatu, Ada sebelum segala sesuatu ada, bersama
segala sesuatu, dan segala sesuatu menuju kepadaNya, kembali kepadaNya, hanya bagiNya. Dia
adalah Satu-satunya, dan Dia adalah Yang Maha Dekat dibanding segalanya.

Karena itu beliau juga melanjutkan:


"Ketika Allah swt, Mengetahui adanya kebosanan darimu, maka Allah swt, memberikan ragam
warna taat kepadamu. Dan Allah swt, Maha Tahu adanya ambisi dalam dirimu, maka Allah swt
membatasinya bagimu dalam sebagian waktu, agar hasratmu adalah menegakkan sholat, bukan
wujudnya sholat. Karena tidak setiap orang yang sholat itu adalah penegak sholat."

Manusia itu punya sifat pembosan, rasa berat, rasa sembrono, dan sekaligus punya ambisi.
Namun semua itu merupakan tanda akan kelemahan manusia. Oleh sebab itu Allah swt,
memberikan ragam dan macam ibadah, dengan waktu yang berbeda, bentuk ibadah yang berbeda
pula, agar setiap perpindahan dari satu macam ibadah ke ragam lainnya, tetap bernilai ubudiyah
kepada Allah swt.
Namun manusia punya ambisi berlebihan. Karena itu pula Allah memberikan batas-batas waktu
agar nikmat Allah swt, terus berlangsung. Dua nikmat dalam peragaman ibadah dan pembatasan
waktu ibadah, adalah wujud Kasih SayangNya kepadamu.

Bosan dan ambisi adalah dua sifat yang berbahaya bagi hamba Allah Ta’ala, karena jika
dibiarkan akan memanjakan hawa nafsu dan semakin menjauhkan dari Allah swt.

Dengan demikian orientasi para hamba bukan pada wujud ibadahnya, wujud sholatnya, tetapi
pada penegakan sholatnya. Tidak semua orang sholat benar-benar menjadi "penegak sholat".
Muqimus-sholat berarti menegakkan melalui pemeliharaan lahir batin, hanya Lillahi Ta’ala.
Tidak ada bayangan, gambaran, atau imajinasi, bahkan pikiran kemana-mana, selain hanya Allah
Ta’ala saja. Itulah sang penegak sholat.

Ragam Dzikir
Ibnu Athaillah As Sakandary
Dzikir itu bermacam-macam. Sedangkan Yang Didzikir hanyalah Satu, dan tidak terbatas. Ahli
dzikir adalah kekasih-kekasih Allah. Maka dari segi kedisiplinan terbagi menjadi tiga:
Dzikir Jaly

Dzikir Khafy
Dzikir HaqiqiDzikir Jaly (bersuara), dilakukan oleh para pemula, yaitu Dzikir Lisan yang
mengapresiasikan syukur, puhjian, pebngagungan nikmat serta menjaga janji dan kebajikannya,
dengan lipatan sepuluh kali hingga tujuh puluh.Dzikir Batin Khafy (tersembunyi) bagi kaum
wali, yaitu dzikir

dengan rahasia qalbu tanpa sedikit pun berhenti. Disamping terus menerus baqa' dalam
musyahadah melalui musyahadah kehadiran jiwa dan kebajikannya, dengan lipatan tujuh puluh
hingga tujuh ratus kali.
Dzikir Haqiqi yang kamil (sempurna) bagi Ahlun-Nihayah (mereka yang sudah sampai di
hadapan Allah swt,) yaitu Dzikirnya Ruh melalui Penyaksian Allah swt, terhadap si hamba. Ia
terbebaskan dari penyaksian atas dzikirnya melalui baqa'nya Allah swt, dengan symbol, hikmah
dan kebajikannya mulai dari tujuh ratus kali lipat sampai tiada hingga. Karena dalam
musyahadah itu terjadi fana', tiada kelezatan di sana.

Ruh di sini merupakan wilayah Dzikir Dzat, dan Qalbu adalah wilayah Dzikir Sifat, sedangkan
Lisan adalah wilayah Dzikir kebiasaan umum. Mananakala Dzikir Ruh benar, akan menyemai
Qalbu, dan Qalbu hanya mengingat Kharisma Dzat, di dalamnya ada isyarat perwujudan hakikat
melalui fana'. Di dalamnya ada rasa memancar melalui rasa dekatNya.

Begitu juga, bila Dzikir Qalbu benar, lisan terdiam, hilang dari ucapannya, dan itul;ah Dzikir
terhadap panji-panji dan kenikmatan sebagai pengaruh dari Sifat. Di dalamnya ada isyarat
tarikanpada sesuatu tersisa di bawah fana' dan rasa pelipatgandaan qabul dan pengungkapan-
pengungkapan.

Manakala qalbu alpa dari dzikir lisan baru menerima dzikir sebagaimana biasa.
Masing-masing setiap ragam dzikir ini ada ancamannya.
Ancaman bagi Dzikir Ruh adalah melihat rahasia qalbunya. Dan ancaman Dzikir Qalbu adalah
melihat adanya nafsu dibaliknya. Sedangkan ancaman Dzikir Nafsu adalah mengungkapkan
sebab akibat. Ancaman bagi Dzikir Lisan adalah alpa dan senjang, maka sang penyair
mengatakan :

Dialah Allah maka ingatlah Dia


Bertasbihlah dengan memujiNya
Tak layaklah tasbih melainkan karena keagunganNya
Keagungan bagiNya sebenar-benar total para pemuji
Kenapa masih ada
Pengandaian bila dzikir-dzikir hambaNya diterima?
Manakala lautan memancar, dan samudera melimpah
Berlipat-lipat jumlahnya
Maka penakar lautan akan kembali pada ketakhinggaan
Jika semua pohon-pohon jadi pena menulis pujian padaNya
Akan habislah pohon-pohon itu, bahkan jika dilipatkan
Takkan mampu menghitungnya.
Dia ternama dengan Sang Maha Puji
Sedang makhlukNya menyucikan sepanjang hidup
Bagi kebesaranNya.

Perilaku manusia dalam berdzikir terbagi tiga:

 Khalayak umum yang mengambil faedah dzikir.


 Khalayak khusus yang bermujahadah
 Khalayak lebih khusus yang mendapat limpahan hidayah.
 Dzikir untuk khalayak umum, adalah bagi pemula demi penyucian. Dzikir untuk
khalayak khusus sebagai pertengahan, untuk menuai takdir. Dan dzikir untuk kalangan
lebih khusus sebagai pangkalnya, untuk waspada memandangNya.
 Dzikir khalayak umum antara penafian dan penetapan (Nafi dan Itsbat)
 Dzikir khalayak khusus adalah penetapan dalam penetapan (Itsbat fi Itsbat)
 Dzikir kalangan lebih khusus Allah bersama Allah, sebagai penetapan Istbat (Itsbatul
Istbat), tanpa memandang hamparan luas dan tanpa menoleh selain Allah Ta'ala.
 Dzikir bagi orang yang takut karena takut atas ancamanNya.
 Dzikir bagi orang yang berharap, karena inginkan janjiNya.
 Dzikir bagi penunggal padaNya dengan Tauhidnya
 Dzikir bagi pecinta, karena musyahadah padaNya.
 Dzikir kaum 'arifin, adalah DzikirNya pada mereka, bukan dzikir mereka dan bukan bagi
mereka.
 Kaum airifin berdzikir kepada Allah swt, sebagai pemuliaan dan pengagungan.
 Ulama berdzikir kepada Allah swt, sebagai penyucian dan pengagungan.
 Ahli ibadah berdzikir kepada Allah swt, sebagai rasa takut dan berharap pencinta
berdzikir penuh remuk redam.
 Penunggal berdzikir pada Allah swt dengan penuh penghormatan dan pengagungan.
 Khalayak umum berdzikir kepada Allah swt, karena kebiasaan belaka.

[pagebreak] Hamba senantiasa patuh, dan setiap dzikir ada yang Diingat, sedangkan orang yang
dipaksa tidak ada toleransi.

Tata cara Dzikir ada tiga perilaku :


1. Dzikir Bidayah (permulaan) untuk kehidupan dan kesadaran jiwa.
2. Dzikir Sedang untuk penyucian dan pembersihan.
3. Dzikir Nihayah (pangkal akhir) untuk wushul dan ma'rifat.
Dzikir bagi upaya menghidupkan dan menyadarkan jiwa, setelah seseorang terlibat dosa, dzikir
dilakukan dengan syarat-syaratnya, hendaknya memperbanyak dzikir :
"Wahai Yang Maha Hidup dan Memelihara Kehidupan, tiada Tuhan selain Engkau."

Dzikir bagi pembersihan dan penyucian jiwa, setelah mengamai pengotoran dosa, disertai syarat-
syarat dzikir, hendaknya memperbanyak :
"Cukuplah bagiku Allah Yang Maha Hidup nan Maha Mememlihara Kehidupan."

Ada tiga martabat dzikir :


Pertama, dzikir alpa dan balasannya adalah terlempar, tertolak dan terlaknat.
Kedua, dzikir hadirnya hati, balasannya adalah kedekatan, tambahnya anugerah dan keutamaan
anugerah.
Ketiga, dzikir tenggelam dalam cinta dan musyahadah serta wushul. Sebagaimana dikatakan
dalam syair :

Kapan pun aku mengingatMu, melainkan risau dan gelisahku


Pikiranku, dzikirku, batinku ketika mengingatMu,
Seakan Malaikat Raqib Kau utus membisik padaku
Waspadalah, celaka kamu, dzikirlah!
Jadikan pandanganmu pada pertemuanmu denganNya
Sebagai pengingat bagimu.

Ingatlah, Allah telah memberi panji-panji kesaksianNya padamu


Sambunglah semua dari maknaNya bagi maknamu
Berharaplah dengan dengan menyebut kebeningan dari segala yang rumit
Kasihanilah kehambaanmu yang hina dengan hatimu
Siapa tahu hati menjagamu

Dzikir itu sendiri senantiasa dipenuhi oleh tiga hal :

 Dzikir Lisan dengan mengetuk Pintu Allah swt, merupakan pengapus dosa dan
peningkatan derajat.
 Dzikir Qalbu, melalui izin Allah swt untuk berdialog dengan Allah swt, merupakan
kebajikan luhur dan taqarrub.
 Dzikir Ruh, adalah dialog dengan Allah swt, Sang Maha Diraja, merupakan manifestasi
kehadiran jiwa dan musyahadah.
Dzikir Lisan dan Qalbu yang disertai kealpaan adalah kebiasaan dzikir yang kosong dari
tambahan anugerah.
Dzikir Lisan dan Qalbu yang disertai kesadaran hadir, adalah dzikir ibadah yang dikhususkan
untuk mencerap sariguna.
Dzikir dengan Lisan yang kelu dan qalbu yang penuh adalah ketersingkapan Ilahi dan
musyahadah, dan tak ada yang tahu kadar ukurannya kecuali Allah swt.
Diriwayatkan dalam hadits : "Siapa yang pada wal penempuhannya memperbanyak membaca
"Qul Huwallaahu Ahad" Allah memancarkan NurNya pada qalbunya dan menguatkan tauhidnya.

Dalam riwayat al-Bazzar dari Anas bin Malik, dari Nabi saw. Beliau bersabda :
"Siapa yang membaca surat "Qul Huwallahu Ahad" seratus kali maka ia telah membeli dirinya
dengan surat tersebut dari Allah Ta'ala, dan ada suara berkumandang dari sisi Allah Ta'ala di
langit-langitNya dan di bumiNya, "Wahai, ingatlah, sesungguhnya si Fulan adalah orang yang
dimerdekakan Allah, maka barang siapa yang sebelumnya merasa punya pelayan hendaknya ia
mengambil dari Allah swt .

Diriwayatkan pula: "Siapa yang memperbanyak Istighfar, Allah meramaikan hatinya, dan
memperbanyak rizkinya, serta mengampuni dosanya, dan memberi rizki tiada terhitung. Allah
memberikan jalan keluar di setiap kesulitannya, diberi fasilitas dunia sedangkan ia lagi bangkrut.
Segala sesuatu mengandung siksaan, adapun siksaan bagi orang arif adalah alpa dari hadirnya
hati dalam dzikir."[pagebreak]

Dalam hadits sahih disebutkan:


"Segala sesuatu ada alat pengkilap. Sedangkan yang mengkilapkan hati adalah dzikir. Dzikir
paling utama adalah Laa Ilaaha Illalloh".
Unsur yang bisa mencemerlangkan qalbu, memutihkan dan menerangkan adalah dzikir itu
sendiri, sekaligus gerbang bagi fikiran.
Majlis tertinggi dan paling mulia adalah duduk disertai kontemplasi (renungan, tafakkur) di
medan Tauhid. Tawakkal sebagai aktifitas qalbu dan tauhid adalah wacananya.

Pintu dzikir itu tafakkur,


Pintu pemikiran adalah kesadaran.
Sedang pintu kesadaran zuhud.
Pintu zuhud adalah menerima pemberian Allah Ta'ala (qona'ah)
Pintu Qonaah adalah mencari akhirat.
Pintu akhirat itu adalah taqwa.
Pintu Taqwa ada di dunia.
Pintu dunia adalah hawa nafsu,.
Pintu hawa nafsu adalah ambisi.
Pintu ambisi adalah berangan-angan.
Angan-angan merupakan penyakit yang akut tak bias disembuhkan.
Asal angan-angan adalah cinta dunia.
Pintu cinta dunia adalah kealpaan.
Kealpaan adalah bungkus bagi batin qalbu yang beranak pinak di sana.

Tauhid merupakan pembelah, di mana tak satu pun bisa mengancam dan membahayakannya.
Sebagaimana dinkatakan :
"Dengan Nama Allah, tak ada satu pun di bumi dan juga tidak di langit yang membahayakan,
bersama NamaNya. Dan Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui."

Tauhid paling agung, esensi, qalbu dan mutiaranya adalah Tauhidnya Ismul Mufrad (Allah) ini,
menunggalkan dan mengenalNya.
Sebagian kaum 'arifin ditanya mengenai Ismul A'dzom, lalu menjawab, "Hendaknya anda
mengucapkan: Allah!", dan anda tidak ada di sana.
Sesungguhnya orang yang berkata "Allah", masih ada sisa makhluk di hatinya, sungguh tak akan
menemukan hakikat, karena adanya hasrat kemakhlukan.

Siapa pun yang mengucapkan "Allah" secara tekstual (huruf) belaka, sesungguhnya secara
hakikat dzikir dan ucapannya tidak diterima. Karena ia telah keluar (mengekspresikan) dari
unsur, huruf, pemahaman, yang dirasakan, simbol, khayalan dan imajinasi. Namun Allah swt,
ridlo kepada kita dengan hal demikian, bahkan memberi pahala, karena memang tidak ada jalan
lain dalam berdzikir, mentauhidkan, dari segi ucapan maupun perilaku ruhani kecuali dengan
menyebut Ismul Mufrad tersebut menurut kapasitas manusia dari ucapan dan pengertiannya.

Sedangkan dasar bagi kalangan khusus yang beri keistemewaan dan inayah Allah swt dari kaum
'arifin maupun Ulama ahli tamkin (Ulama Billah) Allah tidak meridloi berdzikir dengan model di
atas. Sebagaimana firmanNya :
"Dan tak ada yang dari Kami melainkan baginya adalah maqom yang dimaklumi."

Sungguh indah apa yang difirmankan. Dan mengingatkan melalui taufiqNya pada si hamba,
memberikan keistemewaan pada hambaNya. Maka nyatalah Asmaul Husna melalui ucapannya
dan dzikir pada Allah melalui dzikir menyebut salah satu AsmaNya.
Maka, seperti firmanNya "Kun", jadilah seluruh ciptaan semesta, dan meliputi seluruh maujud.

Siapa yang mengucapkan "Allah" dengan benar bersama Allah, bukan disebabkan oleh suatu
faktor tertentu, namun muncul dari pengetahuan yang tegak bersamaNya, penuh dengan ma'rifat
dan pengagungan padaNya, disertai penghormatan yang sempurna dan penyucian sejati,
memandang anugerah, maka ia benar-benar mengagungkan Allah Ta'ala, benar-benar berdzikir
dan mengagungkanNya dan mengenal kekuasaanNya.

Sebab, mengingat Allah dan mentauhidkanNya adalah RidloNya terhadap mereka bersamaNya,
sebagaimana layakNya Dia Yang Maha Suci.

Ma'rifat itu melihat, bukan mengetahui. Melihat nyata, bukan informasi. Menyaksikan, bukan
mensifati. Terbuka, bukan hijab. Mereka bukan mereka dan mereka tidak bersama mereka dan
tidak bagi mereka. Sebagaimana firmanNya :
"Nabi Isa tidak lain hanyalah seorang hamba yang Kami berikan nikmat kepadanya." (Az-
Zukhruf: 59)
"Dan jika Aku mencintainya, maka Akulah Pendengaran baginya, Mata dan tangan dan Kaki
baginya."

Bagiamana jalan menuju padaNya, sedang ia disucikan


Dari aktivitas keseluruhan dan bagi-bagi tugas?
Demi fana wujud mereka, karena WujudNya
Disucikan dari inti dan pecahan-pecahannya?
Tak satu pun menyerupaiNya, bahkan mana dan bagaimana
Setiap pertanyaan tentang batas akan lewat
Dan diantara keajaiban-keajaiban bahwa
WujudNya di atas segalanya dan sirnanya pangkal penghabisan.

Perilaku Manusia Dalam Dzikir Tauhid


Ibnu Athaillah As Sakandary
Manusia terbagi menjadi tiga kelompok dalam bertauhid dan berdzikir :
Kelompok pertama, adalah kalangan umum, yaitu kalangan pemula. Maka tauhidnya adalah
bersifat lisan (oratif) belaka, baik dalam ungkapan, wacana, akidahnya,

dan keikhlasan, melalui Cahaya Syahadat Tauhid, " Laa Ilaaha Illallah Muhamadur
Rasululullah". Ini diklasifikasikan tahap Islam. Kelompok kedua, kalangan Khusus Menengah,
yaitu Tauhid Qalbu, baik dalam apresiasi, kinerja qalbu maupun akidah, serta keikhlasannya.
Inilah disebut tahap Iman. Khususul Khusus, yaitu Tauhidnya akal, baik melalui pandangan
nyata, yaqin dan penyaksian (musyahadah) kepadaNya. Inilah Tahap Ihsan.Maqomat Dzikir
Dzikir mempunyai tiga tahap (maqomat) :

1. Dzikir melalui Lisan : Yaitu dzikir bagi umumnya makhluk.


2. Dzikir melalui Qalbu : Yaitu dzikir bagi kalangan khusus dari orang beriman.
3. Dzikir melalui Ruh: Yaitu dzikir bagai kalangan lebih khusus, yakni dzikirnya kaum
'arifin melalui fana'nya atas dzikirnya sendiri dan lebih menyaksikan pada Yang Maha
Didzikiri serta anugerahnya apada mereka.

Perilaku Dzikir "Allah"


Bagi pendzikir Ismul Mufrad "Allah" ada tiga kondisi ruhani:
Pertama: Kondisi remuk redam dan fana'.
Kedua: Kondisi hidup dan baqo'.
Ketiga: Kondisi nikmat dan ridlo.

Kondisi pertama: Remuk redam dan fana'Yaitu dzikir orang yang membatasi pada dzikir
"Allah" saja, bukan Asma-asma lain, yang secara khusus dilakukan pada awal mula
penempuhan. Ismul Mufrod tersebut dijadikan sebagai munajatnya, lalu mengokohkan
manifestasi "Haa' di dalamnya ketika berdzikir.

Siapa yang mendawamkan (melanggengkannya) maka nuansa lahiriyahnya terfana'kan dan


batinnya terhanguskan. Secara lahiriyah ia seperti orang gila, akalnya terhanguskan dan remuk
redam, tak satu pun diterima oleh orang. Manusia menghindarinya bahkan ia pun menghindar
dari manusia, demi kokohnya remuk redam dirinya sebagai pakaian lahiriahnya. Rahasia Asma
"Allah" inilah yang hanya disebut. Bila menyebutkan sifat Uluhiyah, maka tak satu pun manusia
mampu menyifatinya. Ia tidak menetapi suatu tempat, yang bisa berhubungan dengan jiwa
seseorang, walau di tengah khalayak publik, sebagaimana firman Allah swt :
"Tidak ada lagi pertalian nasab diantara mereka di hari itu dan tidak ada pula saling bertanya."
(Al-Mu'minun: 101)

Sedangkan kondisi batinnya seperti mayat yang fana, karena dzat dan sifatnya diam belaka.
Diam pula dari segala kecondongan dirinya maupun kebiasaan sehari-harinya, disamping
anggota tubuhnya lunglai, hatinya yang tunduk dan khusyu'.

Sebagaimana firmanNya :
"Sesungguhnya Kami akan menurunkan kepadamu perkataan yang berat." (Al-Muzammil: 5)
"Dan kamu lihat bumi ini kering, dan apabila telah Kami turunkan air di atasnya, hiduplah bumi
itu dan suburlah, dan menumbuhkan berbagai macam tumbuh-tumjbuhan yang indah." (Al-Hajj :
5)

Kondisi kedua: Dari kondisi hidup dan abadi (baqo'), yaitu manakala orang yang berdzikir
dengan Ismul Mufrod "Allah" tadi mencapai hakikatnya, kokoh dan melunakkan dirinya, maka
simbol-simbilnya dan sifat-sifatnya terhanguskan.
Allah meniupkan Ruh Ridlo setelah "kematian ikhtiar dan hasrat kehendaknya". Ia telah fana'
dari hasrat kebiasaan diri dan syahwatnya, dan telah keluar dari sifat-sifat tercelanya, lalu
berpindah (transformasi) dari kondisi remuk redam nan fana' menuju kondisi hidup dan baqo'.
Kondisi tersebut menimbulkan nuansa kharismatik dan kehebatan dalam semesta, dimana
segalanya takut, mengagungkan dan metrasa hina dihadapan hamba itu bahkan semesta meraih
berkah kehadirannya.

Kondisi ketiga: Kondisi Nikmat dan Ridlo, maka bagi orang yang mendzikirkan "Allah" pada
kondisi ini senantiasa mengagungkan apa pun perintah Allah swt, jiwanya dipenuhi rasa kasih
sayang terhadap sesame makhluk Allah Ta'ala, tidak lagi sembunyi-sembunyi dalam mengajak
manusia menuju agama Allah swt. Dari jiwanya terhampar luas bersama Allah swt, hanya bagi
Allah swt.

Rahmat Allah swt meliputi keleluasaannya, dan tak satu pun makhluk mempengaruhinya,
bahkan atak ada sesuatu yang tersisa kecuali melalui jalan izin Allah swt. Ia telah berpindah dari
kondisi ruhani hidup dan baqo', menuju kondisi nikmat dan ridlo, hidup dengan kehidupan yang
penuh limpahan nikmat selamanya, mulia, segar dan penuh ridloNya. Tak sedikit pun ada
kekeruhan maupun perubahan. Selamat, lurus dan mandiri dalam kondisi ruhaninya, aman dan
tenteram.
Sebegitu kokohnya, ia bagaikan hujan deras yang menyirami kegersangan makhluk, dimana pun
ia berada, maka tumbuhlah dan suburlah jiwa-jiwa makhluk karenanya. Hingga ia raih
kenikmatan dan ridlo bersama Allah Ta'ala, dan Allah pun meridloinya. Allah swt berfirman :
"Kemudian Kami bangkitkan dalam kehidupan makhluk (berbentuk) lain, maka Maha Berkah
Allah sebagai Sebagus-bagus Pencipta" (Al-Mu'minun: 14)[pagebreak]

Suatu hari seorang Sufi sedang berada di tengah majlisnya Asy-Syibly, tiba-tiba berteriak,
"Allah!"
Asy-Syibly menimpali, "Apa-apaan ini! Kalau kamu memang jujur, maka kamu masyhur (di
langit), jika kamu dusta, kamu benar-benar hancur!".
Seorang lelaki juga berteriak di hadapan Abul Qasim al-Junayd ra, dan Al-Junayd berkomentar,
"Saudaraku Bila yang anda sebut itu menyaksikanmu dan anda pun hadir bersamaNya, berarti
engkau telah mengoyak tirai dan kehormatan, dan mendapatkan kecemburuan aroma pecinta
yang diberikan. Namun jika anda mengingatNya, sedangkan anda ghaib dariNya, maka
menyebut yang ghaib (tidak hadir) berarti menggunjing. Padahal menggunjing itu haram."
Dikisahkan dari Abul Hasan ats-Tasury ra, ketika beliau berada di rumahnya selama tujuh hari
tidak makan dan tidak minum serta tidak tidur, ia tetap terus menerus menyebut Allah…Allah…

Kisah ini disampaikan kepada Al-Junayd atas tingkah lakunya itu.


"Apakah dia menjaga kewajiban waktunya?" Tanya al-Junayd.
"Dia tetap sholat tetap pada waktunya."
"Alhamdulillah, Allah yang menjagaNya, dan tidak memberikan jalan kepada syetan padanya."
Kata al-Junayd.
Kemudian al-Junayd berkata kepada para santri-santrinya, "Ayo kalian semua berdiri dan
mendatanginya, mungkin kita bias memberi manfaat padanya atau sebaliknya kita mengambil
faedah darinya."

Ketika al-Junayd masuk di hadapannya, al-Junayd berkata, "Wahai Abul Hasan, apakah
ucapanmu Allah..Allah..itu bersama Allah (Billah) atau bersama dirimu sendiri? Bila engkau
mengucapkan bersama Allah, maka bukan andalah yang mengucapkannya. Karena Dialah yang
berkalam melalui lisan hambaNya. Sang Pendzikir adalah diriNya bersama DiriNya. Namun bila
yang menyebut tadi adalah dirimu bersama dirimu, sedangkan anda juga bersama dirimu sendiri,
maka apalah artinya remuk redam."
"Engkaulah sebaik-baik sang pendidik wahai Ustadz," kata Ats-Tsaury. Dan rasa gelisah remuk
redamnya tiba-tiba hilang.

Dan aku remuk redam bersamamu karena mengenangmu


Dan benar atas kebaikan yang melimpah dengan kenangnanmu
Dan fana bersasmamu penuh keasyikan.
Siapa yang tak pernah merindu pada cinta
Asmara yang mengalahkan akalnya
Demi umurku sungguh ia celaka.
Tak ada dzikir melainkan tenggelam sirna dengan dzikirnya dari merasa berdzikir
Hanya kepada Yang Diingatlah yang terkenang
Dalam fana dan pertemuan
Siapa yang masih ada akalnya, ia tak akan pernah berdzikir
Siapa yang hilang dari dzikir, maka benarlah ia telah membubung kepadaNya

Dzikir itu sendiri merupakan pembersihan dari kealpaan dan kelupaan, melalui pelanggengan
hadirnya qalbu dan keikhlasan dzikir lisan, disertai memandangNya, dariNya. Sang Tuanlah
yang mengalurkan ucapan dzikir melalui lisan hambaNya.
Dikatakan, Dzikir adalah keluar dari medan kealpaan menuju padang musyahadah (penyaksian
kepadaNya).

Hakikat dzikir adalah mengkonsentrasikan Yang didzikir, dengan sirrnya si pendzikir dari
dzikirnya, dan fananya si pendzikir dalam musayahadah dan kehadiran jiwa, sehingga ia tidak
terhilangkan dirinya melalui musyahadah kepadaNya di dalam musyahadahnya. Maka si
pendzikir menyaksikan Allah bersama Allah, sehingga Allahlah Yang Berdzikir dan Yang
Didzikir.

Maka dari segi kemudahan dariNya untuk si hamba, dan keleluasaan untuk berdzikir melalui
lisannya, maka Dialah Yang Berdzikir kepadahambaNya, lalu segala yang disebutnya adalah
dariNya.
Dari segi intuisi awal yang dating dariNya, maka Dialah Yang Berdzikir pada DiriNya melalui
lisan hambaNya. Sebagaimana riwayat hadits shahih disebutkan, bahwa Allah Ta'ala berfirman:
"Akulah pendengaran yang dengannya ia mendengar, dan Akulah penghlihatan yang dengannya
ia melihat, dan Akulah lisannya yang dengannya ia bicara."
Dalam riwayat lain juga disebutkan, "Maka Akulah pendengaran, penglihatan, lisan, tangan dan
penguat baginya."

Keutamaan Dzikir "Allahu Akbar"


Ibnu Athaillah As Sakandary
Begitu pula "Allahu akbar", yang di dalamnya ada lima perspektif :
Pertama: Dalam "Allahu Akbar" ada penyebutan Allah Ta'ala pada diriNya Sendiri,
pentauhidan, pengagungan dan penghormatan atas

keagunganNya, yang lebih agung dan lebih besar dibanding penyebutan makhlukNya yang
lemah, sangat butuh, dan pentauhidan makhluk kepadaNya. Karena Allah swt-lah Yang Maha
Mencukupi dan Maha Terpuji.
Kedua: Dzikir dengan Nama tersebut lebih agung dibanding dzikir dengan Asma'-asma'Nya
yang lain.
Ketiga: Bahwa Dzikirnya Allah Ta'ala pada hambaNya di zaman Azali sebelum hambaNya ada,
adalah Dzikir teragung dan terbesar, yang menyebabkan dzikirnya hamba saat ini.

Dzikirnya Allah Ta'ala tersebut lebih dahulu, lebih sempurta, lebih luhur, lebih tinggi, lebih
mulia dan lebih terhormat. Dan Allah Ta'ala berfirman : "Niscaya Dzikirnya Allah itu lebih
besar."
Keempat: Sebenarnya mengingat Allah swt, di dalam sholat lebih utama dan lebih besar
dibanding mengingatNya di luar sholat. Menyaksikan (musyahadah) pada Allah Ta'ala (Yang
Diingat) di dalam sholat lebih agung dan lebih sempurna serta lebih besar ketimbang sholatnya.
Kelima: Bahwa mengingat Allah atas berbagai nikmat yang agung dan anugerah mulia, serta
doronganNya kepadamu melalui ajakanNya kepadamu agar taat kepadaNya, adalah nikmat
paling besar dibanding dzikir anda kepadaNya, dengan mengingat nikmat-nikmat itu, karena
anda semua tidak akan pernah mampu mensyukuri nikmatNya.
Karena itu Nabi Muhammad saw, bersabda: "Aku tidak mampu memuji padaMu, Engkau,
sebagaimana Engkau memujiMu atas DiriMu."
Artinya, "aku tidak mampu," padahal beliau adalah makhluk paling tahu, paling mulia, dan
paling tinggi derajatnya dan paling utama. Justru Nabi saw, menampakkan kelemahannya,
padahal beliau adalah paling tahu dan paling ma'rifat - semoga sholawat dan salam Allah
melimpah padanya dan keluarganya -.
Setelah kita mentauhidkan Allah swt, yang dinilai lebih agung ketimbang sholat, sehingga sholat
menjadi rukun islam yang kedua. Dalam sabda Rasulullah saw:
"Islam ditegakkan atas lima: Hendaknya menunggalkan Allah dan menegakkan sholat… dst".
Takbiratul Ihram dijadikan sebagai pembukanya, Allahu Akbar.
Allah tidak menjadikan salah satu Asma-asma'Nya yang lain, untuk Takbirotul Ihrom, kecuali
hanya Allahu Akbar. Karena Nabi saw, melarangnya , demikian juga untuk Lafadz Adzan, tetap
menggunakan Takbir tersebut, begitu pun setiap takbir dalam gerakan sholat. Jadi Nama agung
tersebut lebih utama dibanding Nama-nama lainnya, lebih dekat bagi munajat-munajat, bukan
hanya dalam sholat atau lainnya.
Dalam hadits disebutkan:
"Aku berada pada dugaan hambaKu apabila hamba berdzikir padaKu. Maka apabila ia berdzikir
kepadaKu dalam jiwanya, Aku mengingatnya dalam JiwaKu. Dan jika ia berdzikir padaKu
dengan kesendirianNya, maka Aku pun mengingat dengan KemahasendirianKu. Dan jika ia
berdzikir di tengah padang (keramaian) maka Aku pun mengingatnya di keramaian lebih baik
darinya."
Allah swt. Berfirman:"Dzikirlah kepadaKu maka Aku berdzikir kepadamu."

Hal yang menunjukkan keutamaan dzikir dibanding sholat dari esensi ayat tersebut, yaitu firman
Allah swt:
"Sesungguhnya sholat itu mencegah keburukan dan kemungkaran."
Yang walau demikian merupakan dzikir teragung, namun Dzikir "Allah" itu lebih besar daripada
sholat dan dibanding setiap ibadah Abu Darda' meriwayatkan dari Nabi saw, beliau bersabda :
"Ingatlah, maukah aku beri kabar kalian tentang amal terbaikmu dan lebih luhur dalam
derajatmu, lebih bersih di hadapan Sang Rajamu, dan lebih baik bagimu ketimbang memberikan
emas dan perak, dan lebih baik ketimbang kalian bertemu musuhmu lalu bertempur di mana
kalian memukul leher mereka dan mereka pun membalas memukul lehermu?" Mereka
menjawab, "Ya, kami mau.." Rasulullah saw, bersabda, "Dzikrullah."

Juga dalam hadits yang diriwayatkan Mu'adz bin Jabal :


"Tak ada amal manusia mana pun yang lebih menyelamatkan baginya dari azdab Allah,
disbanding dzikrullah."

Makna Dzikrullah bagi hambaNya adalah bahwa yang berdzikir kepadaNya itu disertai Tauhid,
maka Allah mengingatnya dengan syurga dan pahala. Lalu Allah swt berfirman :
"Maka Allah memberikan balasan kepada mereka atas apa yang mereka katakana, yaitu syurga
yang mengalir sungai-sungai di bawahnya."

Dengan dzikir melalui Ismul Mufrad, yaitu "Allah", dan berdoa dengan ikhlas kepadaNya, Allah
swt berfirman :
"Dan apabila hambaKu bertanya kepadaKu tentang Aku, maka sesungguhnya Aku Maha
Dekat…"
Siapa yang berdzikir dengan rasa syukurnya, Allah memberikan tambahan ni'mat berlimpah :
"Bila kalian bersyukur maka Aku bakal menambah (ni'matKu) kepadamu…"
Tak satu pun hamba Allah yang berdzikir melainkan Allah mengingat mereka sebagai imbalan
padanya. Bila sang hamba adalah seorang 'arif (orang yang ma'rifat) berdzikir dengan
kema'rifatannya, maka Allah swt, mengingatnya melalui penyingkapan hijab untuk
musyahadahnya sang 'arif.

Bila yang berdzikir adalah mukmin dengan imannya, Allah swt, mengingatnya dengan rahmat
dan ridloNya.

Bila yang berdzikir adalah orang yang taubat dengan pertaubatannya, Allah swt, mengingatnya
dengan penerimaan dan ampunanNya.
Bila yang berdzikir adalah ahli maksiat yang mengakui kesalahannya, maka Allah swt,
mengingatnya dengan tutup dan pengampunanNya.
Jika yang berdzikir adalah sang penyimpang dengan penyimpangan dan kealpaannya, maka
Allah swt mengingatnya dengan adzab dan laknatNya.

Bila yang berdzikir adalah si kafir dengan kekufurannya, maka Allah swt, mengingatnya dengan
azab dan siksaNya.
Siapa yang bertahlil padaNya, Allah swt, menyegerakan DiriNya padanya
Siapa yang bertasbih, Allah swt, membagusinya
Siapa yang memujiNya Allah swt, mengukuhkannya.
Siapa yang mohon ampun padaNya, Allah swt mengampuninya.
Siapa yang kembali kepadaNya, Allah swt, menerimanya.

Kondisi sang hamba itu berputar pada empat hal :


Pertama: Ketika dalam keadaan taat, maka Allah swt, mengingatkannya dengan menampakkan
anugerah dalam taufiqNya di dalam taat itu.
Kedua: Ketika si hamba maksiat, Allah swt mengingatkannya melalui tutup dan taubat.
Ketiga: Ketika dalam keadaan meraih nikmat, Allah swt mengingatkannya melalui syukur
kepadaNya.
Keempat: Ketika dalam cobaan, Allah mengingatkannya melalui sabar.

Karena itu dalam Dzikrullah ada lima anugerah :


1. Adanya Ridlo Allah swt.
2. Adanya kelembutan qalbu.
3. Bertambahnya kebaikan.
4. Terjaga datri godaan syetan.
5. Terhalang dari tindak maksiat.

Siapa pun yang berdzikir, Allah pasti mengingat mereka.

 Tak ada kema'rifatan bagi kaum a'rifin, melainkan karena pengenalan Allah swt kepada
mereka.
 Dan tak seorang pun dari kalangan Muwahhidun (hamba yang manunggal) melainkan
karena ilmunya Allah kepada mereka.
 Tak seorang pun orang yang taat kepadaNya, kecuali karena taufiqNya kepada mereka.
 Tak ada rasa cinta sang pecinta kepadaNya, kecuali karena anugerah khusus CintaNya
kepada mereka.
 Tak seorang pun yang kontra kepada Allah swt, kecuali karena kehinaan yang ditimpakan
Allah swt, kepada mereka.
 Setiap nikmat dariNya adalah pemberian. Dan setiap cobaan dariNya adalah ketentuan.
Sedangkan setiap rahasia tersembunyi yang mendahului, akan muncul secara nyata di
kemudian hari.

Perlu diketahui bahwa kalimat tauhid merupakan sesuatu antara penafiaan dan penetapan.
Awalnya adalah "Laa Ilaaha", yang merupakan penafian, pembebasan, pengingkaran,
penentangan, dan akhinya adalah "Illallah", sebagai kebangkitan, pengukuhan, iman, tahid,
ma'rifat, Islam, syahadat dan cahaya-cahaya.

"Laa" adalah menafikan semua sifat Uluhiyah dari segala hal yang tak berhak menyandangnya
dan tidak wajib padanya. Sedangkan "Illallah" merupakan pengukuhan Sifat Uluhiyah bagi yang
berhak dan wajib secara hakikat.

Secara maknawi terpadu dalam firman Allah swt :


"Siapa yang kufur pada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka benar-bvenar telah memegang
teguh tali yang kuat."

"Laa Ilaaha Illallah", untuk umum berarti demi penyucian terhapad pemahaman mereka,.dari
kejumbuhan khayalan imajiner mereka, untuk suatu penetapan atas Kemaha-Esaan, sekalgus
menafikan dualitsme.
Sedangkan bagi kalangan khusus sebagai penguat agama mereka, menambah cahaya harapan
melalui penetapan Dzat dan Sifat, menyucikan dari perubahan sifat-sifat baru dan membuang
ancaman bahayanya.

Untuk kalangan lebih khusus, justru sebagai sikap tanzih (penyucian) terhadap perasaan mampu
berdzikir, mampu memandang anugerah serta fadhal dan mampu berssyukur, atas upaya
syukurnya.

Di Balik Sholat
"Sholat itu tempat munajat dan sumber pencerahan, di mana medan-medan rahasiaNya meluas
di dalamnya, dan pencahayaan jiwa memancar di dalamnya." Sholat itu adalah munajat para
hamba kepada Allah swt.

Dalam sholat itulah sifat-sifat IndahNya tampak bagi para hamba, dan bagaimana Allah swt
menjaga dan memelihara alam semesta. Sang hamba meraih limpahan ma’rifat dan ilmu-ilmu
Ilahiyah.

Sholat itu pula menjadi tempat percintaan hamba pada Allah swt dengan menghadapkan dirinya
kepadaNya secara total, lahir dan batin, hingga meraih limpahan pencerahan cahaya yang luar
biasa. Menurut kadar penerimaan hamba kepada Tuhannya, maka sejauh itu pula Allah swt
menerima kehadiran hambaNya.
Dalam sholat pula, rahasia-rahasia meluas, berupa pengetahuan dan ma’rifat yang dahsyat,
kemudian cahayanya memancar luas dari buah munajat sang hamba.

Wacana hikmah inilah yang meneguhkan, bahwa yang dituntut oleh Allah swt, adalah
menegakkan sholat, bukan wujudnya sholat.
Selanjutnya beliau berkata:
“Allah Maha Tahu akan lemahnya kekuatan anda, maka Allah swt menimimalisir jumlahnya
sholat. Dan Allah swt, Maha Tahu betapa dirimu sangat butuh pada karuniaNya, maka Allah
swt, memperbanyak anugerahNya (dibalik sholat).”

Jumlah sholat yang semula 50 kali, diminimalisir oleh Allah swt, hanya dengan lima kali,
namun, karena seorang hamba berhasrat pada pahala dan anugerahNya, maka lima kali sholat itu
sama dengan lima puluh kali.

Kesiapan Menerima Pancaran Anugerah


“Orang yang alpa adalah orang yang memandang apa yang bakal dikerjakan nanti, dan orang
yang berakal sehat adalah orang yang memandang apa yang bakal diberlakukan padanya oleh
Allah swt.”

Orang yang senantiasa membuat angan-angan apa yang akan dikerjakan, apa yang akan
dilakukan, sesungguhnya tergolong orang alpa. Kenapa demikian? Karena ia lupa bahwa Allah
swt, lah yang sedang memberlakukan semua itu. Ketika anda sedang menunggu atau merenung
apa yang bakal dilakukan, apakah itu soal dunia atau soal agama, pada saat yang sama,
dimanakah peran Allah tiba-tiba hilang begitu saja?

Kenapa dmeikian? Karena orang tersebut pasti sangat bergantung dan mengandalkan amal
usahanya, maka ia senantiasa tidak akan meraih kesempurnaan selamanya.

Sedangkan orang yang berakal sehat, akan meninggalkan semua itu, mengembalikan pada
kepasrahan dan kerelaan dirinya kepada Allah atas apa yang dikehendakiNya. Ia tidak berbuat
pada waktunya kecuali atas perintahNya.

Abu Ayyub as-Sikhtiyani ra mengatakan, “Bila tak ada yang kau kehendaki maka kembalikan
apa adanya.”

Umar bin Abdul aziz ra, mengatakan, “Di pagi hari, tak ada kegembraan bagiku kecuali pada
tempat-tempat takdirNya.”

Syeikh abu Madyan ra mengatakan, “Berhasratlah untuk menjadi pasrah total, siapa tahu Allah
melihatmu lalu Allah merahmatimu.”

Abdul Wahid bin Zaid mengatakan, “Ridlo itu adalah Pintu Allah paling agung dan tempat
istirahatnya ahli ibadah serta syurga dunia.”

Guruku ra, manakala aku masuk di hadapannya selalu menyanyikan syair ini, dan syair ini
dipeuntukkan kaum ‘arifin:

Ikutilah desau ketentuanNya


Ikutilah pusarannya kemana berputar.
Pasrahkan padanyadengan total
Berjalanlah kemana ia bergerak.

Jika mengikuti penekatan al-Hikam, betapa banyaknya orang yang alpa di abad ini. Semua
mereka lakukan tanpa rasa yaqin kepada Allah Ta’ala, tetapi mereka melakukan aktivitas agama
dan dunia semata karena kecemasan dirinya. Rasa cfemas adalah akibat dari ketergantungannya
atas perbuatannya sendiri. Bukan pada Allah Rabbul ‘Izzah.

Oleh sebab itu Al-Hikam melanjutkan:


“Sesungguhnya para hamba dan kaum zuhud itu merasa cemas dan gentar dari segala hal, semata
karena hilangnya mereka dari Allah Ta’ala dalam segala hal. Apabila mereka menyaksikan Allah
dalam segala hal, sedikit pun mereka tak pernah gentar.”

Kecemasan muncul akibat fenomena yang terjadi dan yang bakal terjadi. Namun dipandangnya
semua itu dari segi wujudnya fenomena kehidupan, kenyataan, realitas, dan benda-benda serta
makhluk yang dihadapi. Kecemasan akan sirna manakala seseorang bisa memandang Allah
dibalik segala hal yang ada.

Abul Abbas al-Hadhramy mengatakan, “Bukan disebut sebagai lelaki sejati, orang yang tidak
berani memasuki kegelapan, juga bukan yang memasuki kegelapan dengan kegelapan. Tetapi
lelaki sejati adalah yang memasuki kegelapan dengan cahaya.”

Beliau juga mengatakan, “Bukan disebut lelaki sejati orang yang tahu bagaimana pisah dari
dunia, lalu ia meninggalkan dunia. Tetapi lelaki sejati adalah orang yang mengetahui bagaimana
menahan dunia, lalu ia sukses menahannya.”

Wirid Lebih Utama Ketimbang Pahalanya


Syeikh Ibnu ‘Athaillah As-Sakandary
Tidak ada yang meremehkan konsistensi wirid (ketaatan di setiap waktu) kecuali orang yang
sangat bodoh, karena warid ( pahala wirid) itu akan di dapat di negeri
akhirat, sedangkan taat atau wirid itu akan lenyap bersama lenyapnya dunia ini.

Sedangkan yang lebih utama untuk diprioritaskan adalah yang wujudnya tidak bisa diabaikan.
Wirid adalah HakNya yang harus anda laksanakan. Sedangkan warid adalah sesuatu yang anda
cari dariNya. Mana yang lebih utama antara sesuatu yang dituntut oleh Allah padamu, dibanding
apa yang anda tuntut dari Allah?
Mayoritas ummat ini lebih banyak berburu pahala dan janjinya Allah swt. Dalam segala gerak
gerik ibadahnya. Padahal yang lebih utama adalah ibadah dan kepatuhannya itu sendiri. Sebab
kepatuhan dan ubudiyah yang dituntut oleh Allah swt, dan menjadi HakNya, itu lebih utama
dibanding hak kita yang besok hanya akan bisa kita raih di akhirat.
Sebab kesempatan melaksanakan HakNya saat ini dibatasi oleh waktu dunia, dan akan habis
ketika usia seseorang itu selesai. Karena itu semampang di dunia, ibadah, amal, wirid harus
diperbanyak sebanyak-banyaknya. Soal pahala dan balasan di akhirat itu bukan urusan kita.
Manusia tidak berhak mengurus dan menentukan pahalanya. Semua itu adalah haknya Allah swt.
Yang telah dijanjikan kepada kita, karena merasa menginginkannya.
Ibnu Athaillah lalu menegaskan, mana lebih utama tuntutan anda apa tuntutan Allah?
Disinilah lalu berlaku pandangan:
1. Taat itu lebih utama dibanding pahalanya.
2. Doa itu lebih utama dibanding ijabahnya.
3. Istiqomah itu lebih utama dibanding karomahnya.
4. Berjuang itu lebih utama dibanding suksesnya.
5. Sholat dua rekaat itu lebih utama ketimbang syurga seisinya.
6. Bertobat itu lebih utama ketimbang ampunan.
7. Berikhtiar itu lebih utama ketimbang hasilnya.
8. Bersabar itu lebih utama ketimbang hilangnya cobaan.
9. Dzikrullah itu lebih utama dibanding ketentraman hati.
10. Wirid itu lebih utama ketimbang warid.
11. dan seterusnya.

Para sufi sering mengingatkan kita, “Carilah Istiqomah dan jangan anda menjadi pemburu
karomah. Sebab nafsumu menginginkan karomah sedangkan Tuhanmu menuntutmu istiqomah.
Jelas bahwa Hak Tuhanmu lebih baik dibanding hak nafsumu.”

Abu Syulaiman ad-Darany menegaskan, “Seandainya aku disuruh memilih antara sholat dua
rekaat dan masuk syurga firdaus, sungguh aku memilih sholat dua rekaat. Karena dalam dua
rekaat itu ada Hak Tuhanku, sedangkan dalam syurga firdaus hanya ada hak diriku.”

Karomah Bukan Derajat Luhur


“Tidak setiap orang yang memiliki keistemewaan itu sempurna kebersihan batin dan
keikhlasannya.”
Saat ini publik ummat sering menilai derajat luhur
seseorang dari kehebatan-kehebatan ilmu dan karomahnya. Syeikh Abu Yazid al-Bisthamy
pernah didatangi muridnya, yang melaporkan karomah dan kehebatan seseorang.

“Dia bisa menyelam di lautan dalam waktu cukup lama…”


“Saya lebih kagum pada paus di lautan…”
“Dia bisa terbang…!” kata muridnya.
“Saya lebih heran, burung kecil terbang seharian…karena kondisinya memang demikian,”
jawabnya.
“Lhah, dia ini bisa sekejap ke Mekkah…”
“Saya lebih heran pada Iblis sekejap bisa mengelilingi dunia…Namun dilaknat oleh Allah.”
Suatu ketika orang yang diceritakan itu datang ke masjid, tiba-tiba ia meludah ke arah kiblat.

“Bagaimana ia menjaga adab dengan Allah dalam hakikat, sedangkan adab syariatnya saja tidak
dijaga..” kata beliau.
Banyak orang yang mendalami ilmu pentetahuan, mampu membaca dan mengenal dalil, kitab-
kitab, bahkan memiliki keistemewaan, tetapi banyak pula diantara mereka tidak bersih hatinya,
tidak ikhlas dalam ubudiyahnya.

Begitu pula ketika karomah dan tanda-tanda yang hebat itu disodorkan pada Sahl bin Abdullah
at-Tustary, ra, beliau balik bertanya, “Apa itu tanda-tanda? Apa itu karomah? Itu semua akan
sirna dengan waktunya. Bagiku orang yang diberi pertolongan Allah swt untuk merubah dari
perilakunya yang tercela menjadi perilaku yang terpuji, lebih utama dibanding orang yang punya
karomah seperti itu.”
Sebagian Sufi mengatakan, “Yang mengagumkan bukannya orang yang memasukkan tangan ke
kantong sakunya, lalu menafkahkan apa saja dari kantong itu. Yang mengagumkan adalah orang
yang memasukkan tangannya ke kantong sakunya karena merasa ada sesuatu yang disimpan di
sana. Begitu ia masukkan tangannya ke sakunya, sesuatu itu tidak ada, namun dirinya tidak
berubah (terkejut) sama sekali.”
Jadi karomah itu sesungguhnya hanyalah cara Allah memberikan pelajaran kepada yang diberi
karomah agar perjalanan ruhaninya tidak berhenti, sehingga semakin menajak, semakin naik,
bukan untuk menunjukkan keistemewaanya.

Yang istimewaan adalah Istiqomah. Karena itu para Sufi menegaskan, “Jangan mencari
karomah, tetapi carilah Istiqomah.” Sebab istiqomah itu lebih hebat dibanding seribu karomah.
Dan memang, hakikat kartomah adalah Istiqomah itu sendiri.
Bahkan Imam Al-Junayd

al-Baghdady pernah mengi-ngatkan, betapa banyak para Wali yang terpleset derajatnya hanya
karena karomah.
Syeikh Abdul Jalil Mustaqim pernah mengatakan, ketika anda diludahi seseorang dan anda sama
sekali tidak marah, itulah karomah, yang lebih hebat dibanding karomah yang lainnya.

Ketika dalam sebuah perkumpulan Thariqat Sufi, tiba-tiba ada seseorang datang, dan langsung
membicarakan kehebatan ilmu ini dan itu, karomah si ini dan si itu. Lalu seseorang diantara
mereka menegur,
“Mas, kalau di sini, ilmu-ilmu seperti yang anda sampaikan tadi hanya dinilai sampah. Jadi
percuma sampean bicara sampah di sini…”

Ada seseorang disebut-sebut sebagai Wali:


“Wah dia itu wali, bisa baca pikiran orang, dan kejadian-kejadian yang pernah kita lakukan
walau pun sudah bertahun-tahun lamanya…”
“Lhah, orang yang punya khadam Jin juga bisa diberi informasi oleh Jinnya tentang kejadian
yang lalu maupun yang akan datang… Jadi hati-hati…”

“Beliau itu keturunan seorang Ulama besar..”


“Tidak ada jaminan nasab itu, nasibnya luhur di hadapan Allah…”
Dan panjang sekali kajian soal karomah dan kewalian ini, yang butuh ratusan halaman. Tetapi
kesimpulannya, seseorang jangan sampai mengagumi kehebatan lalu mengklaim bahwa
kehebatan itu menunjukkan derajat di depan Allah. Tidak tentu sama sekali.
Kenapa Kau Tuntut Tuhanmu?
"Janganlah kau tuntut Tuhanmu karena tertundanya keinginanmu, tetapi tuntutlah dirimu
sendiri karena engkau telah menunda adabmu kepada Allah.”
Betapa banyak orang menuntut Allah, karena
selama ini ia merasa telah berbuat banyak, telah melakukan ibadah, telah berdoa dan berjuang
habis-habisan.

Tuntutan demikian karena seseorang merasa telah berbuat, dan merasa perlu ganti rugi dari Allah
Ta’ala. Padahal meminta ganti rugi atas amal perbuatan kita, adalah wujud ketidak ikhlasan kita
dalam melakukan perbuatan itu. Manusia yang ikhlas pasti tidak ingin ganti rugi, upah, pahala
dan sebagainya. Manusia yang ikhlas hanya menginginkan Allah yang dicinta. Pada saat yang
sama jika masih menuntut keinginan agar disegerakan, itu pertanda seseorang tidak memiliki
adab dengan Allah Ta’ala.

Sudah sewajarnya jika kita menuntut diri kita sendiri, karena Allah tidak pernah mengkhianati
janjiNya, tidak pernah mendzalimi hambaNya, dan semua janjinya tidak pernah meleset. Kita
sendiri yang tidak tahu diri sehingga, kita mulai intervensi soal waktu, tempat dan wujud yang
kita inginkan. Padahal itu semua adalah Pekerjaan Allah dan urusanNya.

Orang yang terus menerus menuntut dirinya sendiri untuk Tuhannya, apalagi menuntut adab
dirinya agar serasi dengan Allah Ta’ala, adalah kelaziman dan keniscayaan. Disamping
seseorang telah menjalankan ubudiyah atau kehambaan, maka si hamba menuruti perilaku adab
di hadapanNya, bahwa salah satu adabn prinsipalnya adalah dirinya semata untuk Allah Ta’ala.

Karena itu Ibnu Athaillah melanjutkan:


“ Ketika Allah menjadikanmu sangat sibuk dengan upaya menjalankan perintah-perintahNya dan
Dia memberikan rezeki, rasa pasrah total atas Karsa-paksaNya, maka sesungguhnya saat itulah
betapa agung anugerahNya kepadamu.”

Anugerah paling agung adalah rezeki rasa pasrah total atas takdirNya yang pedih, sementara
anda terus menerus menjalankan perintah-perintahNya dengan konsisten, tanpa tergoyahkan.
Wahb ra, mengatakan, “Aku pernah membaca di sebagian Kitab-kitab Allah terdahulu, dimana
Allah Ta’ala berfirman:
“Hai hambaKu, taatlah kepadaKu atas apa yang Aku perintahkan kepadamu, dan jangan ajari
Aku bagaimana Aku berbuat baik kepadamu.

Aku senantiasa memuliakan orang yang memuliakan Aku, dan menghina orang yang menghina
perintahKu. Aku tak pernah memandang hak hamba, sehingga hamba memandang
(memperhatikan) hakKu.”

Syeikh Abu Muhammad bin Abdul Aziz al-Mahdawi ra, mengatakan, “Siapa pun yang dalam
doanya tidak menyerahkan dan merelakan pilihannya kepada Allah Ta’ala, maka si hamba tadi
terkena Istidroj dan tertipu. Berarti ia tergolong orang yang disebut dengan kata-kata,
“Laksanakan hajatnya, karena Aku sangat tidak suka mendengarkan suaranya.”. Namun jika ia
menyerahkan pilihannya pada Allah Ta’ala, hakikatnya ia telah diijabahi walau pun belum
diberi. Amal kebaikan itu dinilai di akhirnya…”

Gara-Gara Nafsu
"Tidak dikhawatirkan padamu manakala Jalan yang ada padamu begitu membingungkan. Tetapi
yang dikawatirkan manakala hawa nafsu mengalahkan dirimu”.
Kenapa demikian? Menurut Syeikh Ahmad al-Hadhrawih ra, “Kebenaran itu sudah jelas, Jalan
juga sudah lempang, dan pendakwah telah memperdengarkan, apalagi yang
masih membuat bingung, kecuali orang yang buta matahatinya?

Bahkan Abu Utsman menegaskan, “Semua makhluk Allah sesungguhnya berada di maqom
syukur, namun mereka menduga bahwa dirinya ada di maqom sabar.”

Mengapa? Sebenarnya cobaan itu merupakan nikmat dariNya, karena dengan cobaan itu sang
hamba kembali pada aturan kehambaannya, hingga ia mengenal siapa dirinya, dan dengan
demikian ia mengenal Tuhannya.

Betapa banyak orang yang memanipulasi kebenaran, agama, dan bahkan dunia hakikat untuk
kepentingan hawa nafsunya, atau bahkan ketika seseorang meraih derajat luhur malah terjebak
dalam ghurur (tipudaya) nafsunya.

Nafsu ingin selalu dipandang publik, dipuji orang, disanjung, dianut, diikuti, ditakuti, dan
dikagumi. Dan hasrat demikian semakin menjauhkan dirinya dari Allah, karena terdegradasi dari
derajat taqarrub kepada Allah Ta’ala.

Maha Suci Allah yang menutupi rahasia keistemewaan (hambaNya) dengan tampilnya sifat-sifat
manusiawi. Dan Dia Jelas dengan agungnya sifat RububiyahNya di dalam manifestasi sifat-sifat
‘Ubudiyahnya (hamba).

Rahasia keistimewaan adalah ma’rifat dan kewalian. Sedangkan sifat-sifat manusiawi itu adalah
wujud kehambaannya, berupa sifat fakir, hina, lemah, dan tak berdaya di hadapan Allah Ta’ala,
sebagai wujud atas pandangannya terhadap Sifat Maha CukupNya, Maha MuliaNya, Maha
KuatNya dan Maha KuasaNya, yang tersembunyi dalam batin hamba.

Maka dengan munculnya sifat manusiawi itulah tertututp rahasia keistemewaannya, sehingga
sifat ma’rifat dan kewaliannya tidak bisa terlihat, karena yang ada hanyalah Sifat Keagungan
Rububiyah yang memancar pada sifat-sifat kehambaan itu.

Karena itu, perwujudan keistimewaanya maujud dalam sifat Ubudiyah, dan perwujudan hakikat
ubudiyah adalah meninggalkan segala hal selain Allah Ta’ala.

Masihkah Anda Menuntut Allah ?


Syeikh Ibnu ‘Athaillah As-Sakandary
“Sepanjang anda menuntut balasan atas amal anda, maka anda pun dituntut agar benar dalam
amaliyah itu sendiri. Maka cukuplah bagi orang yang masih ragu atas

balasan Allah, bahwa ia dapatkan keselamatan dari siksa.”

Apabila Allah swt, hendak menampakkan anugerah keutamaanNya padamu, maka Allah
menciptakan amal bagimu, dan mengaitkan amal itu kepadamu.

Yakni, Allah menciptkana kemampuan untukmu untuk beramal dan beribadah dan memberikan
pertolongan agar dirimu menuju kepadaNya, bahkan mengembalikan amaliyah itu kepadamu.
Allah swt, menciptakan ta’at, dan mengaitkan taat itu kepada kita, memberi pahala kepada kita,
padahal seseungguhnya itu tidak layak bagi kita.

Anugerah luar biasa, bagaimana sampai Allah swt, memberikan anugerah itu, seakan-akan itu
amal baik dan taat kita, padahal itu semua ciptaan Allah Ta’ala pada kita, bukan ciptaan kita,
bukan kreasi dan ikhtiar kita.

Disinilah Ibnu Athaillah as-Sakandary mengingatkan:


“Tak habis-habisnya engkau mencaci dirimu, manakala semua itu dikembalikan padamu. Dan
tidak habis-habisnya pujianmu manakala Allah swt, itu menampakkan kemurahanNya
kepadamu.”

Sebab, diri kita, ditinjau dari eksistensi kita yang asli, tak lebih dari wujud kekurangan, wujud
keragu-raguan, wujud kehinaan dan wujud kefakiran. Sedangkan jika dipandang dari segi
anugerahNya keada kita, maka segalanya adalah wujud kebajikan dan keutamaan.

Begitu pula kelak di akhirat, manakala yang muncul adalah diri kita, maka kita berada dalam
timbangan KeadilanNya, lalu menjadi wajar kalau KeadilanNya yang tampak, justru kita semua
masuk neraka, apa pun amal dan ibadah yang kita lakukan. Karena dosa itu, sebesar apa pun
sesungguhnya bukan menjadi penyebab seseorang masuk neraka. Manusia masuk neraka karena
keadilanNya. Dan jika KeadilanNya yang tampil, maka seluruh kebaikan kita tak berartri, karena
sesungguhnya buila ditimbang dengan KeadilanNya, amal perbuatan kita, ternyata bukan dari
diri kita, bukan produksi dan ciptaan kita, namun ciptaan Allah swt, kehendakNya dan
KuasaNya.

Sebaliknya bila yang dimunculkan adalah Anugerah dan RahmatNya, maka seluruh amal kita
yang tampak adalah enugerah Ilahi semua, dan disanalah tiket ke syurga, karena anugerah dan
rahmatNya pastilah menyertai perjalanan kita menuju Allah swt. Segala apa pun yang disadari
karena bersamaNya, anugerah dan rahmatNya, akan menjadi mudah. Dan sebaliknya apa pun
mudahnya kalau kita hanya bersama diri kita, mengandalkan diri dan amal perbuatan kita,
pastilah gagal dan mengamali kesulitan luar biasa.

Allah Menampakan Anugrahnya


Syeikh Ibnu ‘Athaillah As-Sakandary
'Apabila Allah swt, hendak menampakkan anugerah keutamaanNya padamu, maka Allah
menciptakan amal bagimu, dan mengaitkan amal itu kepadamu."
Yakni, Allah menciptkan kemampuan

untukmu untuk beramal dan beribadah dan memberikan pertolongan agar dirimu menuju
kepadaNya, bahkan mengembalikan amaliyah itu kepadamu. Allah swt, menciptakan ta’at, dan
mengaitkan taat itu kepada kita, memberi pahala kepada kita, padahal seseungguhnya itu tidak
layak bagi kita.

Anugerah luar biasa, bagaimana sampai Allah swt, memberikan anugerah itu, seakan-akan itu
amal baik dan taat kita, padahal itu semua ciptaan Allah Ta’ala pada kita, bukan ciptaan kita,
bukan kreasi dan ikhtiar kita.
Di sinilah Ibnu Athaillah as-Sakandary mengingatkan:
“Tak habis-habisnya engkau mencaci dirimu, manakala semua itu dikembalikan padamu. Dan
tidak habis-habisnya pujianmu manakala Allah swt, itu menampakkan kemurahanNya
kepadamu.”

Sebab, diri kita, ditinjau dari eksistensi kita yang asli, tak lebih dari wujud kekurangan, wujud
keragu-raguan, wujud kehinaan dan wujud kefakiran. Sedangkan jika dipandang dari segi
anugerahNya keada kita, maka segalanya adalah wujud kebajikan dan keutamaan.

Begitu pula kelak di akhirat, manakala yang muncul adalah diri kita, maka kita berada dalam
timbangan KeadilanNya, lalu menjadi wajar kalau KeadilanNya yang tampak, justru kita semua
masuk neraka, apa pun amal dan ibadah yang kita lakukan. Karena dosa itu, sebesar apa pun
sesungguhnya bukan menjadi penyebab seseorang masuk neraka. Manusia masuk neraka karena
keadilanNya. Dan jika KeadilanNya yang tampil, maka seluruh kebaikan kita tak berarti, karena
sesungguhnya bila ditimbang dengan KeadilanNya, amal perbuatan kita, ternyata bukan dari diri
kita, bukan produksi dan ciptaan kita, namun ciptaan Allah swt, kehendakNya dan KuasaNya.

Sebaliknya bila yang dimunculkan adalah Anugerah dan RahmatNya, maka seluruh amal kita
yang tampak adalah enugerah Ilahi semua, dan di sanalah tiket ke syurga, karena anugerah dan
rahmatNya pastilah menyertai perjalanan kita menuju Allah swt. Segala apa pun yang disadari
karena bersamaNya, anugerah dan rahmatNya, akan menjadi mudah. Dan sebaliknya apa pun
mudahnya kalau kita hanya bersama diri kita, mengandalkan diri dan amal perbuatan kita,
pastilah gagal dan mengamali kesulitan luar biasa.

Perwujudan Kehambaan (‘Ubudiyah)


Jadilah dirimu bergantung pada Sifat-sifat Rububiyah, dan jadilah dirimu mewujudkan
sifat-sifat 'ubudiyah"
Kebergantungan terhadap Sifat-sifat Rububiyahnya Allah swt, merupakan perwujudan
kehambaan ('ubudiyah), sehingga sang hamba merasakan fana’nya diri dalam perwujudan
kehambaannya. Sifat-sifat Rububiyah yang dijadikan gantungan hamba itu
adalah: Sifat Maha Cukup nan Kaya; Sifat Maha Mulia; Sifat Maha Kuasa dan Maha Kuat. Maka
dengan Sifat-sifat Rububiyah tersebut, muncullah respon 'Ubidyah atau kehambaannya, yang
menjadi kebalikan dari Sifat Rububiyah. Yaitu, sifat faqir, sebagai respon terhadap Maha
Cukupnya Allah, sifat hina-dina, sebagai respon hamba terhadap Sifat Maha MuliaNya, dan sifat
tak mampu hamba sebagai respon sifat Maha KuasaNya, serta sifat lemah hamba merupakan
respon agar bergantung pada Maha KuatNya.

Dalam proses interaksi antara Ubudiyah dan Rububiyah tersebut, seorang hamba kadang-kadang
mengalami dua situasi yang berbeda. Terkadang yang muncul adalah Sifat Maha Kaya dan Maha
Cukupnya Allah dalam pandangan hamba, terkadang yang muncul adalah sifat fakirnya si hamba
kepada Allah swt.
Apabila yang muncul adalah sifat fakirnya si hamba kepada Allah swt, maka sang hamba
haruslah kembali untuk berselaras dengan adab

Pertama: Posisi dalam keleluasaan dan dan kemuliaan.


Kedua: Posisi adab dan pengagungan.

Rasulullah saw, pernah memberikan seribu sho' untuk menujukkan betapa Allah Maha Cukup
nan Kaya, di satu sisi pun beliau mengikat batu di perutnya untuk menunjukkan sifat butuhnya
kepada Allah swt. Pada kondisi pertama beliau menunjukkan betapa butuhnya manusia kepada
Allah swt, dan kedua, untuk mendidik ummatnya.

Sepanjang manusia tidak memiliki rasa fakir, hina, tak berdaya, dan lemah, lalu dirinya merasa
cukup, mulia, hebat, kuasa dan kuat, maka ia telah terhijab dari Sifat rububiyahnya Allah swt.
Dan orang tersebut akan terlempar dari sifat kehambaanya, kemudian jadilah ego dan
kesombongannya menguat.

Iblis dan Firaun adalah representasi "keakuan" paling fenomenal yang muncul kekuatannya dari
kegelapan. Sifat "keakuan" yang sering dieksplorasi untuk pendidikan manusia modern,
pendidikan yang menggiring manusia agar muncul dan eksistensial, sehingga lahir kekuatan-
kekuatan adidaya manusia. Dan ketika kekuatan itu benar-benar muncul jadilah dirinya sebagai
neo-Iblisian dan Firaunan.

Jangan Pakai Jubah Ilahi


Syeikh Ibnu 'Athaillah As-Sakandary
"Allah mencegahmu untuk mengaku-aku hal-hal yang tidak layak bagi para makhluk. Apakah
Allah membolehkan padamu untuk mengaku-aku sifatNya sedangkan Dia adalah Rabbul
'Alamin?"

Syeikh Zarruq ra menegaskan: Tampilnya Sifat Allah padamu, dan penghiasan Sifat itu padamu
bersamaNya adalah kesempurnaan yang layak bagimu, sehingga anda menjadi kaya bersama
Allah,

mulia bersama Allah, kuasa bersama Allah, kuat bersama Allah swt, hingga anda menjadi
"Bismillah" dengan Nama Allah dari dirimu berselaras dengan "Kun' dari Allah, sehingga anda
tidak berkehendak sedikit pun melainkan terjadi. Anda tidak butuh pada sesuatu dan tidak terhina
oleh sesuatu dan tidak karena sesuatu. Anda tidak lemah karena sesuatu dan tidak berdaya karena
sesuatu, bahkan anda mampu atas segala sesuatu bersama Tuhanmu, merasa cukup dengan Allah
jauh dari cukup terhadap segalanya, mulia bersama Allah swt, dalam segalanya, kuat bersama
Allah di sisi segalanya, sehingga anda pun tidak punya peluang sedikit pun untuk mengaku-aku
(mengklaim) semuanya itu.

Justru semuanya itu untuk menguatkan diri anda agar kembali pada sifat asli anda, dan bangkit
bersamaNya. Sifat anda itu adalah fakir, hina, tak berdaya dan lemah. Karena yang tampak pada
diri anda hanyalah telanjang simbolis, dan yang simbolis itu secara hakiki tidak ada. Maka
sesudah niscaya, anda harus terus menerus merasa hina dan butuh kepada Allah swt dalam segala
upaya dan perilaku anda. Fahamilah semua itu.

Dalam pencegahan Allah swt, di atas, ada sesuatu yang terjadi secara syar'y, secara harga diri,
dan hikmah. Maka diharamkan bagi seseorang untuk mengklaim milik orang lain, karena itu
secara harga diri dan jiwa, sangat tidak layak, sehingga menimbulkan kecemburuan luar biasa.

Rasulullah saw, bersabda:


"Tak ada yang lebih cemburu ketimbang Allah."

Kecemburuan itu dalam HakNya menimbulkan pencegahan, berupa hak atas sifatNya. Dalam
hadits Qudsi disebutkan:
"Allah swt, berfirman: Kebesaran itu adalah pakaianKu dan Kesombongan itu adalah BajuKu,
siapa yang melepas dariKu atas keduanya, maka Aku lempar ia ke neraka…"

Karena dua sifat itu adalah Sifat khusus bagi Allah Ta'ala. Jika ada yang memakainya, berarti
seperti merampas pakaian orang lain.

Hal-hal yang Luar Biasa


Bagaimana hal-hal biasa bisa ditundukkan padamu? Sedangkan anda tidak pernah menundukkan
kebiasaan nafsumu?"
Ada ha-hal luar biasa yang biasanya muncul pada para Sufi yang kelak disebut sebagai karomah.
Tentu hal yang luar biasa

itu tidak akan pernah muncul selama manusia tidak pernah menundukkan dirinya sendiri, dan
karenanya hal-hal biasa juga tak pernah tertundukkan.

Hal yang luar biasa itu justru terletak pada keberanian seseorang untuk mengeluarkan dirinya
dari dirinya, sebagaimana pandangan para Sufi, "Hakikatmu adalah keluarmu dari dirimu."
Maksudnya kita bisa mengeluarkan hasrat nafsu kita dari diri kita.
Hikmah Ibnu Athaillah ini menyembunyikan rahasia, bahwa hakikat Karomah itu justru pada
Istiqomah, dimana istiqomah tersebut tidak bisa diraih sepanjang manusia masih senang dan
terkukung oleh kesenangan dan kebiasaan nafsunya.
Karena nafsu adalah hijab, dan wujud nafsu itu adalah rasa "aku" dalam diri kita sendiri.
Seorang Sufi ditanya, "Bagaimana anda sampai mencapai tahap luhur ini?"
"Aku bertauhid dengan tauhid paling utama, dan aku berbakti sebagaimana baktinya budak, serta
aku taat kepada Allah swt atas perintahNya, apa yang dilarangNya. Maka setiap aku memohon,
Dia selalu memberinya."

Dalam suatu Isyarat, Allah swt, berfirman: "HambaKu, Akulah yang berkata pada sesuatu Kun
Fayakuun". Maka taatlah kepadaKu, maka engkau pun berkata pada sesuatu "Jadilah! Maka
bakal terjadi!".
Dalam hadits shahih, Allah swt berfirman, "Tak ada orang yang mendekat kepadaKu
sebagaimana dekatnya orang yang menunaikan apa yang Aku fardhukan kepada mereka, dan
senantiasa hambaKu berdekat padaKu dengan ibadah-ibadah sunnah, sampai Aku mencintainya.
Maka bila Aku mencintainya, jadilah Aku sebagai Pendengaran baginya, menjadi Mata, Tangan
dan Penguat baginya. Maka bila ia meminta padaKu, Aku pasti memberinya, dan bila ia meminta
perlindungan padaKu, Aku pasti melindunginya…."

Menembus batas kebiasaan diri seorang hamba, berarti haruslah punya keberanian untuk
menyadari kefanaannya dalam kehidupan sehari-hari.
Karena itu, doktrin, "Aku bisa, aku mampu, aku hebat, aku kuat, aku berdaya…dsb…" Apalagi
disertai dengan kata-kata, "Dariku, denganku, untukku, demiku, bagiku, bersandar aku…dsb,"
justru semakin mempertebal lapisan hijab demi hijab antara hamba dengan Allah swt.
Orang yang meraih karomah, pasti sirna dari keakuannya. Orang yang mendapatkan hal-hal luar
biasa, justru fana' seluruh egonya. Dan sebaliknya jika kesirnaan aku dan egonya tidak terjadi,
maka hal-hal yang luar biasa tidak lebih dari Istidroj yang melemparkan dirinya dari Allah
Ta'ala.

Yang Penting Justru Adab


"Yang terpenting bukannya tercapainya apa yang engkau cari, tetapi yang penting adalah
engkau dilimpahi rizki adab yang baik"

Dalam ajaran thariqat Sufi, adalah yang terpenting bukannya tercapainya apa yang engkau cari,
tetapi yang penting adalah engkau dilimpahi rizki adab

yang baik terwujudnya apa yang diinginkan (sukses), tetapi lebih penting dari itu semua kita
dikaruniai adab yang bagus. Baik adab dengan Allah, adab dengan Rasulullah saw, adab dengan
para Syeikh, para Ulama, adab dengan sahabat, keluarga, anak dan isteri, dan adan dengan
sesama makhluk Allah Ta'ala.

Apa yang ada di sisi Allah swt, tidak bisa diraih dengan berbagai upaya sebab akibat, namun kita
harus mewujudkan adab yang baik di hadapanNya, karena dengan adab itulah ubudiyah akan
terwujud. Allah swt, berfirman: "Agar Allah menguji mereka, manakah diantara mereka yang
terbaik amalnya." (Al-Kahfi: 7), Allah tidak menyebutkan bahwa yang terbaik itu adalah yang
terbanyak suksesnya, juga bukan yang terbaik adalah raihan besarnya.

Rasulullah saw, bersabda: "Taqwalah kepada Allah dimana pun engkau berada, dan ikutilah
keburukan itu dengan kebajikan, sehingga keburukan terhapus. Dan bergaullah dengan sesama
manusia dengan akhlak yang baik." (Hr. Imam Ahmad, dan At-Tirmidzy).

Seluruh proses adab itu adalah menuju keserasian dengan sifat-sifatNya, dan inilah yang
disebutkan selanjutnya oleh Ibnu Athaillah:
"Tak ada yang lebih penting untuk anda cari disbanding rasa terdesak, dan tidak ada yang lebih
mempercepat anugerah padamu ketimbang rasa hina dan rasa faqir padaNya."

Sikap terdesak, hina, fakir, itulah yang membuat anda terus kembali kepada Allah swt tanpa
sedikit pun faktor yang menyebabkan rasa tersebut muncul. Dan sebaik-baik waktu tentu saja,
sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Atyhaillah dalam Al-Hikam pula adalah waktu dimana anda
menyaksikan sifat butuh anda kepada Allah, dan dikembalikan pada wujud hinamu di
hadapanNya.
Para sufi sering bersyair:

Adab sang hamba adalah rasa hinanya


Sang hamba tak pernah meninggalkan adab
Sang hamba jika sempurna rasa hinanya
Sang hamba meraih cinta dan kedekatannya.

Hajat manusia bertingkat-tingkat, Ada hajat dunianya, ada hajat akhiratnya, ada hajat meraih
anugerahNya, ada hajat hanya kepada Allah swt, saja.
Tentu hajat tertinggi adalah menuju dan wushul kepada Allah Ta'ala, dan itu semua harus diraih
dengan rasa butuh yang sangat, rasa hina dan fakir. Kepada Allah ta'ala.
Pernah dikatakan kepada Abu Yazid, "Pekerjaanmu senantiasa dipenuhi dengan rasa bakti, bila
engkau menghendakiKu maka engkau harus datang dengan rasa hina dan butuh."

Diantara makna berguna dari rasa butuh itu adalah:


1) Rasa berpaling dari makhluk Allah Ta'ala secara total,
2) Menghadap Allah dengan total pula,
3) Sang hamba berhenti di batasNya tanpa membuat pengakuan sedikit pun.

Tiga hal yang merupakan jumlah kebajikan dan kesempurnaan.

Di Balik Proses Wushul


"Seandainya saja anda tidak sampai (wushul) padaNya, kecuali harus melalui sirnanya
keburukan-keburukan anda, dan terhapusnya klaim-klaim anda, maka anda pasti tidak akan
pernah sampai kepadaNya selama-lamanya.

Namun, apabila Allah Ta'ala hendak mewushulkan dirimu padaNya, maka Allah menutupi
sifatmu dengan SifatNya, dan menirai karaktermu dengan KarakterNya. Maka Wushul anda
kepadaNya, adalah karena dari Dia kepadamu, bukan dari dirimu kepadaNya."
Wushul kepada Allah adalah mengenal Allah dan segala hal dirinya berada dalam liputan Ilahi.
Namun bila Allah hendak mewushulkan anda, Allah Ta'ala menutupi dan menirai sifat-sifat
anda, dengan Sifat-sifat Allah Ta'ala, dengan jalan Allah menfanakan anda dan mentajalikan
Baqo' Nya, dan semua itu tidak akan terjadi manakala tidak ada kematian nafsu, pengkasan ego
kepala, dan penyerahan ruh, dan menyerahkan segala hal yang bersifat duniawi.

Namun tidak satu pun bisa sempurna, tak satu pun mampu menmbersihkan dirinya secara total,
bahkan seorang hamba tidak akan bisa membuang klaim-klaim alam ruhaninya, kecuali melalui
pertolongan Allah Azza wa Jalla. Dan seluruh proses penfanaan itu adalah bukan perbuatan
hamba atau upaya si hamba. Syeikh Abul Hasan Asy-Syadzily menegaskan, "Seorang wali tidak
akan sampai kepada Allah Ta'ala manakala dalam dirinya masih ada syahwat, atau masih ada
keinginan mengatur dan keinginan berupaya." Seseorang tidak bisa sampai kepada Allah Ta'ala
dengan "aku"nya, dengan "diri"nya.

Semua karena fadhal dan rahmatnya Allah swt. Karena itu kita harus terus menerus bergantung
dengan Allah swt, bergantung dengan Sifat-sifatNya dengan meleburkan diri, sirna dan fana
kepadaNya, namun semua itu akan gagal manakala tidak mendapatkan pertolongan dari Allah
Ta'ala. Maka, di masyarakat kita, banyak orang mengaku wushul, banyak orang merasa telah
ma'rifat, banyak orang merasa telah sampai kepada Allah Ta'ala, padahal jangankan bisa sampai
kepada Allah, untuk membuang klaim dirinya bisa begini dan begitu saja, manusia tidak mampu.
Allah Ta'ala lah yang bisa menenggelamkan kefakiran anda dalam Maha CukupNya, menghapus
kelemahan anda dalam Maha KuatNya, ketakberdayaan anda dalam Maha KuasaNya, rasa hina
anda dalam Maha MulyaNya. Semua karena Allah Ta'ala jua. Bukan karena diri anda, amal anda,
perjuangan anda, ikhtiar anda. Bukan itu semua.

Siapakah Sahabat Sejati?


Syeikh Ibnu ‘Athaillah As-Sakandary.
“Tak ada sahabat sejatimu kecuali dia yang paling tahu aibmu, dan tidak ada (sahabat seperti itu)
kecuali Tuhanmu Yang Maha Pemurah. Sebaik-baik sahabatmu adalah yang menuntutmu, tetapi

sama sekali tuntutan itu tidak ada kepentingannya darimu untuk-nya.”

Tak ada yang lebih tahu aib kita secara detil dan rinci melainkan Allah swt, karena Dia-lah yang
tak pernah meninggalkan anda ketika anda dalam kondisi hina dan tidak menolak anda ketika
anda dalam kondisi sangat kurang, bahkan senantiasa mengasihi anda dalam situasi apa pun.

Pada saat begitu Dia memerintahkan anda dan melarang anda, namun anda maksiat pada-Nya,
namun Dia tidak meninggalkan anda, bahkan dengan rasa belas kasih-Nya Dia memanggilmu
untuk datang kepada-Nya di saat anda alpa.
Namun jika yang tahu aib anda secara detil itu adalah makhluk, maka para makhluk pun justru
meninggalkan anda dan melempari anda atas perbuatan anda selama ini. Namun Allah Swt
dengan segala cinta dan kasih sayang-Nya senantiasa malah menjaga anda. Namun yang
menyadari itu sangat sedikit.

Allah Swt tidak pernah meminta imbal balik kita dibalik perlindungan, perintah, tuntutan dan
larangan-Nya. Sedangkan pergaulan dan persahabatan dengan makhluk penuh dengan tuntutan
dan kepentingan. Maka sahabat sejati sesungguhnya yang menyadarkan kepentingan yang
kembali pada diri kita, hal-hal yang berguna maupun hal-hal mana yang berbahaya.

Namun rasa yaqin yang rendah dan lemah membuat anda terhijab dari semua itu. Karena itu Ibnu
Athaillah melanjutkan:
“Seandainya cahaya yaqin memancar, pasti anda melihat akhirat lebih dekat padamu dibanding
anda menempuhnya. Dan sungguh anda memandang keindahan dunia tak lebih dari reruntuhan
fana yang tampak padanya.”

Dunia hanyalah khayal dalam wujudnya, apabila anda benar-benar tercerahi oleh cahaya yaqin.
Ahmad bin Ashim al-Anthaky ra menegaskan, “Yaqin adalah nur yang dijadikan Allah swt
dalam hati hamba-Nya, hingga ia melihat perkara akhiratnya dan cahaya itu membakar semua
hijab antara Dia dan dirinya, sampai akhirat tampak begitu jelas dalam perspektifnya.”

Suatu hari Rasulullah Saw, bertanya kepada Haritsah ra, “Apa kabarmu pagi ini wahai
Haritsah?”
“Saya dalam kondisi beriman yang benar,” jawab Haritsah.
Rasulullah saw, bersabda, “Setiap kebenaran ada hakikatnya, lalu apa hakikat imanmu?”
“Seakan-akan saya berada di Arasy Tuhanku benar-benar ditegakkan dan saya melihat ahli
syurga sedang menikmati nikmat-nikmat-Nya di syurga dan ahli neraka sedang saling minta
pertolongan,” kata Haritsah.

Rasulullah saw, bersabda, “Kamu sedang mengenal maka teguhlah. Seorang hamba yang
qalbunya dicerahi cahaya oleh Allah….” (Al-Hadits).
Rasulullah saw, pernah bersabda, “Bila cahaya masuk dalam hati, maka hati akan lapang…”
Rasul saw, ditanya, “Wahai Rasulullah apakah ada tanda untuk mengenal itu?”
Beliau menjawab, “Merasa kosong di negeri tipudaya dan kembali pada negeri keabadian, serta
mempersiapkan bekal mati sebelum waktunya tiba…”

Kenapa Amalan di Terima ?


“Kalau bukan karena indahnya tutupnya Allah swt, maka tak satu pun amal diterima.”Kenapa
demikian? Sebab nafsu manusia senantiasa kontra dengan kebajikan, oleh sebab itu jika
mempekerjakan nafsu, haruslah dikekang dari sifat atau karakter aslinya.

Dalam firmanNya: “Siapa yang yang menjaga nafsunya, maka mereka itulah orang-orang yang
menang dan bahagia.”(Al-Hasyr 9)
Nafsu, ketika masuk dalam kinerja amaliah, sedangkan nafsu itu dasarnya adalah cacat, maka
yang terproduksi nafsu dalam beramal senantiasa cacat pula. Kalau toh dinilai sempurna, nafsu
masih terus meminta imbal balik, dan menginginkan tujuan tertentu, sedangkan amal itu
inginnya malah ikhlas. Jadi seandainya sebuah amal diterima semata-mata bukan karena amal
ansikh, tetapi karena karunia Allah Ta’ala pada hambaNya, bukan karena amalnya.

Abu Abdullah al-Qurasyi ra mengatakan, “Seandainya Allah menuntu ikhlas, maka semua amal
mereka sirna. Bila amal mereka sirna, rasa butuhnya kepada Allah Ta’ala semakin bertambah,
lalu mereka pun melakukan pembebasan dari segala hal selain Allah swt, apakah berupa
kepentingan mereka atau sesuatu yang diinginkan mereka.”

Oleh sebab itu Ibnu Athaillah melanjutkan:


“Anda lebih butuh belas kasihan Allah swt, ketika anda sedang melakukian taat, dibanding rasa
butuh belas kasihNya ketika anda melakukan maksiat.” Kebanyakan manusia memohon belas
kasihan kepada Allah Ta’ala justru ketika ia menghadapi maksiat, dan merasa aman ketika bisa
melakukan taat ubudiyah. Padahal justru yang lebih dibutuhkan manusia adalah Belas Kasih
Allah ketika sedang taat. Karena ketika sedang taat, para hamba sangat rawan “taat nafsu”,
akhirnya seseorang terjebak dalam ghurur, atau tipudaya dibalik amaliyahnya sendiri.

Rasulullah saw, bersabda:


“Allah Ta’ala menurunkan wahyu kepada salah seorang Nabi dari para NabiNya: “Katakanlah
kepada hamba-hambaKu yang tergolong shiddiqun, jangan sampai mereka tertimpa tipudaya.
Sebab Aku, bila menegakkan keadilanKu dan kepastian hukumKu kepada mereka, Aku akan
menyiksa mereka, tanpa sedikit pun aku menzalimi mereka. Dan katakanlah kepada hambaKu
yang ahli dosa, janganlah mereka berputus asa, sebab tak ada dosa besar bagiKu manakala Aku
mengampuninya.”

Bahkan Abu Yazid al-bisthami ra mengatakan: “Taubat dari maksiat bisa sekali selesai, tetapi
taubat karena taat bisa seribu kali pertaubatan.”
Mengapa kita harus lebih waspada munculnya dosa dibalik taat? Karena nafsu dibalik maksiat
itu jelas arahnya, namun nafsu dibalik taat sangat lembut dan tersembunyi.
Diantara nafsu dibalik taat yang menimbulkan dosa dan hijab antara lain:
1. Mengandalkan amal ibadahnya, lupa kepada Sang Pencipta amal.
2. Bangga atas prestasi amalnya, lupa bahwa yang menggerakkan amal itu bukan dirinya, tetapi
Allah swt.
3. Selalu mengungkit ganti rugi, dan banyak tuntutan dibalik amalnya.
4. Mencari keistemewaan amal, hikmah dibalik amal, lupa pada tujuan amalnya.
5. Merasa lebih baik dan lebih hebat dibanding orang yang belum melakukan amaliyah seperti
dirinya.
6. Seseorang akan kehilangan kehambaannya, karena merasa paling banyak amalnya.
7. Iblis La’natullah terjebak dalam tipudayanya sendiri, karena merasa paling hebat amal
ibadahnya.
8. Menjadi sombong, karena ia berbeda dengan umunya orang.
9. Yang diinginkan adalah karomah-karomah amal.
10. Ketika amalnya diotolak ia merasa amalnya diterima.
Jebakan Imajinasi Semu
“Tak satupun wujud yang bisa menutupi Allah, karena sesungguhnya tidak satu pun yang
menyertaiNya. Bahwa sesungguhnya anda tertutup dari Allah disebabkan oleh imajinasi
(seakan) ada wujud yang menyertaiNya.”

“Tak satupun wujud yang bisa menutupi Allah, karena sesungguhnya tidak satu pun yang
menyertaiNya. Bahwa sesungguhnya anda tertutup dari Allah disebabkan oleh imajinasi
(seakan) ada wujud yang menyertaiNya.”
Adanya imajinasi wujud selain Allah membuat anda lebih sibuk dengan wujud semu itu, berupa
dunia seisinya dengan segala masalahnya, secara tidak langsung maupun langsung, anda telah
terjebak seakan-akan wujud semu itu yang mengancam dan memberi manfaat bagi kehidupan
anda, sehingga anda pun terhijab dari Allah azza wa-Jalla.
Padahal wujud itu hakikatnya tidak ada, yang berhak punya sifat Wujud hanyalah Allah swt.
Dalam kitab Lathaiful Minan, karya lain Ibnu Athaillah digambarkan, “ketika melihat wujud
semesta ini, anda melihat adanya bayangan dengan mata kepala. Padahal bayangan itu
sesungguhnya tidak ada jika ditinjau dari struktur wujud itu sendiri, tetapi juga tidak bisa disebut
tidak ada, jika dilihat dari struktur ketiadaan.
Dengan demikian bayangan semesta itu tidak bisa menghapus yang empunya bayang. Karena
sesuatu itu menyerupai padanannya dan terkumpul dalam bentuknya. Begitu pula yang
menyaksikan sifat bayangan alam tidak bisa menghalangi Allah swt, sebagaimana bayangan
pohon di siang hari tidak menghalangi lajunya kapal untuk berjalan.
Dari sinilah jelas bahwa tirai atau tutup itu bukan sebagai wujud yang menghadang antara diri
anda dengan Allah Ta’ala. Apabila hijab itu memiliki sifat wujud antara diri anda dengan Allah
Ta’ala, pastilah wujud tadi lebih dekat dibanding Allah Ta’ala, padahal tak satu pun yang lebih
dekat padamu dibanding Allah Ta’ala. Maka hakikat hijab itu sesungguhnya kembali pada
imajinasi tentang adanya hijab itu sendiri.”
Beliau melanjutkan, bahwa dengan memandang SifatNya, segala makhluk akan terliputinya:
“Apabila Sifat-sifatNya tampak, maka seluruh semesta ini akan tersirnakan. Kalaulah bukan
tampakNya dibalik semesta ciptaanNya, mata hati tak pernah bisa memandangnya.”

Dapat disebutkan, tidak ada ketetapan pada makhluk dengan munculnya efek dari Allah Ta’ala.
“Sungguh mengherankan, bagaimana bisa wujud menjadi tampak dalam ketiadaan? Atau
bagaimana bisa ada sesuatu yang baru bersanding dengan Dzat yang punya sifat Maha Dahulu?”,
begitu disebut oleh Ibnu Athaillah pada hikmah-hikmah terdahulu.
Kalaulah bukan karena pengaruh Sifat-sifatNya yang diyakini dengan ilmu dan dikhususnya
dengan IrodahNya dan dimunculkan melalui KuasaNya, maka tak ada yang tampak sama sekali,
baik oleh mata kepala maupun mata hati. Yang Dzohir berarti adalah sifat-sifatNya. Bila
memandang pada yang lain dari Sifat itu, akan terjebak pada imajinasi-imajinasi yang dibatasi
rupa, tanpa kembali ke hakikatnya yang bisa menghapus imajinasi semu tadi. (Syeikh Ibnu
‘Athaillah As-Sakandary)

Memandang Yang Tersembunyi


“Allah Ta’ala menampakkan pada segalanya, karena Dia adalah Maha Batin. Dan Dia meliputi
segalanya, karena Dia adalah Maha Dzohir (Maha Nyata Jelas).”

Tidak bisa wushul (sampai) mengenalNya kecuali melalui yang tampak dariNya, karena yang
tampak itu menunjukkan atas DiriNya. Namun segala sesuatu menjadi sirna jika Dia Tampak,
karena WujudNya mengapus segalanya dan ketidak bebasan atas AdaNya.

Maka, hikmah dibalik tampaknya sang makhluk, adalah wujud pengenalan ma’rifat padaNya,
selain meraih kema’rifatan karena sirnanya sang makhluk. Maka Maha Sucilah Yang Maha
Tampak dan Maha Batin nan Maha Mengetahui.

Karena itu beliau melanjutkan:


“Allah memperkenankan dirimu untuk memandang segala yang tersembunyi dibalik semesta
makhluk. Dan Allah swt tidak mengizinkan anda untuk memandang atau berhenti pada wujud
dzatnya makhluk. Dalam Al-Qur’an dikatakan, “Katakan, Lihatlah apa yang tersembunyi dibalik
langit….,(Yunus 101) “

dan Allah swt tidak berfirman, “Lihatlah langit…!”. Maka Allah swt, akan membuka pintu
kefahaman padamu. Allah tidak berfirman, “Lihatlah langit!” agar anda tidak terjebak pada
wujud benda-benda.”

Ibnu Athaillah menggunakan kata “memperkenankan”, untuk menunjukkan bahwa memandang


dan mencari bukti petunjuk dibalik langit itu tidak wajib hukumnya.

Karena itu ada seorang Syeikh diberi informasi oleh muridnya, bahwa “Ada orang yang
mendapatkan bukti akan Ke-esaan Allah swt dengan seribu dalil.” Maka Syeikh itu menjawab,
“Hai anakku, jika ia mengenal Allah swt, sama sekali ia tidak akan mencari bukti.”

Kata-kata syeikh itu akhirnya sampai pada sang cendekiawan yang punya seribu dalil, lalu
berkata, “Benar gurumu! Karena mereka menyaksikan dengan nyata, sedangkan kami
menyaksikan dibalik tirai.”

Ada seorang murid bertanya kepada gurunya, “Hai Ustadz, dimanakah Allah?”
Sang guru menjawab, “Hai! Kamu bisa dihanguskan Allah! Apakah kamu ini mencariNya
dengan mata-kepala atas “dimana”?”

Orang yang menikmati keindahan semesta, menurut para sufi dilarang. Yang diperkenankan
adalah memandang yang tersembunyi dibalik semesta langit dan bumi. Karena jika memandang
isi langit dan bumi, seseorang bisa terjebak pada wujud bendanya, bukan yang ada dibalik benda.

Lalu apa yang ada dibalik benda-benda semesta ini? Yang ada hanyalah Asma’, Af’al dan
SifatNya. Sehingga seseorang akan terus menerus musyahadah dan mengingatNya (berdzikir).
(Syeikh Ibnu ‘Athaillah As-Sakandary)
Menyikapi Pujian Makhluk
Syeikh Ibnu ‘Athaillah As-Sakandary : “Semesta ciptaan ini ada karena ketetapan dariNya, dan
terhapus oleh Kemaha-Esaan DzatNya.”

Syeikh Zarruq mengatakan, “Bila anda memandang makhluk dari dimensi penetapan oleh Allah
Ta’ala pada mereka, maka anda melihat makhluk sebagai wujud.

Namun bila anda melihat mereka dari segi bahwa mereka adalah makhluk yang sangat butuh,
sangat kurang dan tidak merdeka, maka anda telah memandang mereka sebagai wujud ketiadaan.

Dalam kitabnya At-Tanwir, Ibnu Athaillah menegaskan, “Ulasan yang rinci dalam konteks ini
adalah, bahwa makhluk itu memang ada, dan dari segi yang tersembunyi dibalik makhluk
menimbulkan musyahadah kepadaNya. Kemudian Allah swt menetapkan makhluk dari sisi yang
ditetapkanNya melalui hikmah-hikmahNya, dan hikmah-hikmah itu tidak bersandar pada
pengetahuan anda.”

Inilah fakta yang dimaksudkan sekaligus intisari ma’rifat dalam menjaga kenyataan dunia sebab
akibat. Dan hanya pada Allah segala Taufiq.

Ini berarti, akan mengarahkan kita pada etika atau adab memandang makhluk, bahwa apa pun,
harus dikembalikan kepada Allah Ta’ala.

Dan ketika memandang diri kita, pasti yang tampak adalah wujud serba cacat, kurang dan penuh
cela.
Sehingga Ibnu Athaillah melanjutkan:
“Manusia memuji anda karena asumsi dugaan yang ada pada diri anda. Maka bersikaplah
mencaci diri sendiri, karena anda tahu siapa diri anda sebenarnya.”

Manusia sangat senang dipuja dan dipuji. Ini sangat berbahaya. Karena itu jika anda dipuji,
malah sebaliknya anda harus mencaci diri sendiri, karena dalam diri anda tak lebih dari wujud
cacat serba kurang dan buruk. Jadi memang tidak layak untuk dipuji dengan berbagai alasan apa
pun.

Disamping itu pujian bisa membuat orang riya’, takjub diri dan lupa diri. Inilah yang mengancam
eksistensi jiwa kita. Apalagi jika anda melihat hati anda sendiri, betapa amal-amal anda sangat
buruk dan cacat.

Lalu mana yang layak untuk dipuji? Sampai Rasulullah saw, menegaskan, “Orang beriman
ketika dipuji, ia malah meragukan keimanan yang ada dalam hatinya.” Maknanya, ia malah
mencaci kondisi ruhaninya sendiri yang tak pantas dengan pujian. Karena itu:
“Sebodoh-bodoh manusia adalah orang yang membiarkan rasa yakinnya diselaraskan menurut
asumsi publik manusia.”

Kalau manusia berakal sehat ia lebih percaya pada penglihatan dirinya pada dirinya yang penuh
dengan cacat dan dosa. Tapi kalau mengikuti asumsi banyak orang, yang hanya memandang
lahiriyahnya belaka, seakan-akan diri kita ini shaleh,ahli amal yang bagus, ahli ibadah, padahal
tak lebih dari suatu kebusukan belaka.

Disinilah Ibnnu Athaillah mengarahkan:


“Bila terucap pujian padamu dan anda tahu bahwa diri anda bukan layaknya dipuji, maka pujilah
yang berhak layak Dipuji (Allah swt).”

Semua pujian apa pun bentuknya jika itu terucap pada anda, maka segeralah anda
mengembalikan pujian itu pada Allah Ta’ala. Karena Dialah yang layak dipuji.

Dalam hal ini, Syeikh Zarugq membagi tiga kategori manusia dalam soal pujian:

Manusia yang merasa dirinya berhak dipuji dan dipuja, maka orang ini akan hancur.

Manusia yang merasa dirinya tak layak dipuji, namun ia tidak melihat kebajikan Allah Ta’ala
padanya sehingga ia hanya sibuk mencela dirinya belaka. Kalangan ini lebih baik, karena ia
selamat dari penyakit pujian.

Orang yang melihat dirinya seperti pengantin yang mendapat sambutan dengan pestanya. Namun
sang pengantin malah menutupi dengan cadarnya ketika berhadapan dengan mereka, karena
malu atas segala kekurangannya saat itu.

Disinilah Sayyidina Ali KW ketika mendengar pujian padanya, bermunajat: “Ya Allah jadikan
diriku ini baik sebagaimana dugaan mereka padaku. Dan janganlah Engkau siksa kami karena
apa yang mereka katakana kepadaku. Ampunilah kami atas ketidaktahuan mereka pada diriku.”

Di luar tiga kelompok di atas adalah kalangan ahli hakikat, dimana mereka tidak peduli dengan
penerimaan maupun penolakan public, karena konsentrasinya hanya pada Allah swt, semata.

Respon Psikologis Terhadap Pujian


Syeikh Ibnu ‘Athaillah As-Sakandary

"Orang-orang zuhud ketika dipuji, mereka sedih, karena melihat pujian itu datangnya dari
makhluk. Sedangkan orang-orang yang ’arif billah ketika dipuji mereka bersukacita, sebab
pujian itu hakikatnya dari Allah Sang Maha Diraja."

Para a’rifun menyaksikan perbuatan makhluk itu dari segi wujud pemberlakukan Allah Swt.
pada mereka. Karena itulah sang arif senantiasa melihat makhluk sebagai “pena”-nya Allah
Ta’ala. Maka bila mereka dipuji, mereka bersukacita karena yang dipandang adalah pujian Allah
bukan pujian makhluk, lalu semakin bertambah kuat kebahagiaannya pada Tuhannya, tenteram
kepadaNya dan tetap lari dari segala hal selain Dia.

Selain sang arif memandang pujian datang dari makhluk itu sendiri, lalu ia menerima dan
menolak merutut persepktif kemakhlukan. Pujian bila muncul, ia senang dan bila yang muncul
cacian ia sedih, maka disitulah pujian menjadi bentuk penyembelihan atas dirinya. Bila ia
tergolong orang yang zuhud, ia membenci pujian itu dan lebih senang dicaci. Karena sang zahid
masih juga emmandang itu dari makghluk, dank arena kezuhudannya, ia takut jika pujian
meracuni hatinya. Hal ini tentu berbeda dengan sang arif.
Bagi orang yang zuhud berlaku sabda Nabi Saw.,
“Taburkan debu kemuka para pemuji”
“Pujian itu adalah bentuk penyembelihan (yang mematikan).”

Beliau juga memperingatkan orang yang memuji,


“Kalian memenggal leher sahabatmu?”

Bagi sang arif pujian dari makhluk tidak pernah dilihat dari makhluk, tetapi dari Allah Azza wa-
Jalla, sebagaimana hadits Nabi Saw., “Bila Allah mencintai seorang hamba maka Jibril
diundang, dan berfirman, “Aku mencintai si Fulan.” Lalu Jibril pun mencintai si Fulan itu, lantas
Jibril mengumumkan kepada ahli langit, “Sesungguhnya Allah mencintai si Fulan!”. Ahli langit
pun mencintai si Fulan itu, baru kemudian penghuni bumi menerima.”

Ibnu Athaillah as-Sakandary ra lalu meneruskan:


“Manakala anda dihamparkan anugerah pemberian, anda sebutkan bahwa anda sedang diberi.
Jika anda terhalang dari pemberian anda sebutkan sebagai kegagalan. Itu menunjukkan betapa
kekanak-kanakannya diri anda, dan anda belum benar dalam menjalankan ubudiyah anda.”

Hikmah di atas masih berkait denganm deretan perilaku murid ketika merespon pemberian,
sukses, gagal Dan pujian serta cacian.
Bila seseorang masih menilai pemberian itu Dari segi wujud nyata pemberian dan kegagalan
dinilai dari segi tidak tercapainya tujuan, menunjukkan bahwa kehambaannya pada Allah sangat
minim.
Padahal semua itu sama-sama pemberian dari Allah. Ada yang diberi dalam vbentuk sukses, ada
yang diberi dalam bentuk gagal. Ada yang berbentuk pujian ada pula yang cacian.

Abu Utsman al-Hiiry menegaskan, “Seseorang belum disebut sempurna manakala empat hal ini
belum sama di hatinya: Dalam soal kegagagalan, dalam soal pemberian/sukses, soal kemuliaan
dan soal hinaan.”

Banyak orang yang mengukur pemberian dan anugerah dari bentuk nyata benda, materi, nama
besar, popularitas, dan massa pendukung. Seakan-akan jika ia meraih semua itu, ia telah
mendapatkan restu dari Allah Swt. Sebaliknya yang gagal, kalah, tak meraih kesuksesan materi
dianggap tidak meraih ridhoNya. Inilah salah kaprah yang berkembang di kalangan ummat yang
harus diluruskan.

Dosa-dosamu Jangan Memutus Istiqomahmu


Syeikh Ibnu ‘Athaillah As-Sakandary

"Manakala anda terjerumus dalam dosa, janganlah kenyataan itu membuatmu putus asa dalam
meraih

Istiqomahmu dengan Tuhanmu. Kadang-kadang, – siapa tahu – itulah akhir dosa yang
ditakdirkan oleh Allah padamu.”

Jadikan keterjerumusan itu sebagai pintu taubat dan inabah demi beharap kepada Allah Ta’ala,
sekaligus sebagai pintu khauf (rasa takut) kepadaNya. Sebab putus asa terhadap rahmat Allah itu
bentuk tipudaya yang gelap, bahkan syetan harus berputus asa karena tidak mampu memperdayai
anda dibalik tindakan dosa itu.

Imam Al-Ghazaly ra, menegaskan, “Sebagaimana dosa merebut anda, dan kembali kepada dosa
sebagai aktivitas anda, maka jadikanlah taubat dan kembali kepadaNya sebagai aktivitas. Karena
orang yang beristighfar tidak akan mengulang-ulang dosanya, walau ia mengulang tujuhpuluh
kali setiap harinya.”
Kita bisa mengambil pelajaran dari Fir’aun, yang dosanya benar-benar memuncak dan paling
besar, toh Allah Ta’ala masih memerintahkan kepada Nabi Musa as dan Nabi Harun as,
“Katakan padanya dengan kata-kata yang lembut, siapa tahu ia bisa tersadarkan atau ia memiliki
rasa gentar dan takut (Kepada Allah Swt).” (Thaha 44)

Betapa banyak orang yang kembali bertobat dan menjadi Istiqomah gara-gara perbuatan
dosanya, dan sebaliknya betapa banyak orang yang akhirnya malah maksiat gara-gara ibadahnya,
dimana ia bangga dengan prestasi amal ibadah, lalu takjub pada diri sendiri, kemudian riya’ dan
takabur.

Optimisme pada rahmat dan anugerah Allah Ta’ala harus menjadi titik utama ke depan. Karena
bila manusia bertaubat dengan taubatan Nasuha, malah seluruh dosanya diampuni.

Tetapi jangan sampai manusia meremehkan perbuatan dosa dengan beralibi, “Allah Maha
Ampun, atau ampunan Allah lebih besar dibanding dosanya, atau apa artinya dosaku kalau
dibanding rahmat Allah….” dst. Yang menggiring seseorang terbelit dosa terus menerus.
Pandangan Ibnu Athaillah untuk mengingatkan kita agar kita tidak putus asa pada RahmatNya,
bahkan dalam kondisi terpuruk oleh dosa sekali pun.

Allah Swt, justru menghampiri kepada para pendosa agar kembali kepadaNya, karena dibalik
“kembali” itu ada “cinta” yang begitu agung dariNya. Cinta itu sangat luhur dan besar nilainya
disbanding apa pun. “Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang taubat.” Begitu
ditegaskan dalam Al-Qur’an.
Bahkan di awal kitab Al-Hikam ini disebutkan, “Tanda-tanda manusia bergantung dan
mengandalkan amalnya, adalah kehilangan harapan (terhadap rahmat Allah) ketika berbuat
dosa.”
Rasa kehilangan akan harapan ampunan dan rahmat adalah bentuk pesimisme yang berbahaya,
karena pada saat yang sama seseorang tidak menggantungkan diri pada Sang Pencipta Amal,
malah menggantungkan pada amal itu sendiri yang diklaim sebagai perbuatannya.

Padahal amal baik tidak menjamin seseorang masuk syurga, dan amal buruk tidak otomatis
seseorang pasti masuk neraka. Masuk neraka itu semata karena keadilan Allah, dan masuk
syurga karena rahmat dan ridhoNya.

Bila anda meraih rahmat dan ridhoNya, maka taat dan kepatuhan anda sebagai tanda memang
anda ditakdirkan masuk syurga. Sedangkan bagi mereka yang mendapat keadilan Allah Swt,
(na’udzubillahi min dzaalik) seseorang ditandai dengan berbuat maksiat dan menuruti nafsunya
belaka di dunia.

Pintu Harapan dan Kesedihan


“Apabila anda ingin Allah swt membuka pintu harapan padamu, maka lihatlah apa yang
dianugerahkan dariNya kepadamu. Dan apabila anda ingin Allah membuka pintu kesedihan
padamu, maka lihatlah apa yang engkau lakukan bagiNya.”

Harapan dan kesedihan, adalah dua hal yang terus berdampingan. Karena adanya harapanlah,
seseorang mulai optimis dan terbuka masa depannya. Khususnya masa depan dengan Sang
Pencipta.

Namun, sepanjang yang disebut harapan, semata juga karena dibuka oleh Allah swt, berupa
kepatuhan dan ketaatan kita. Apa pun yang dari Allah swt, senantiasa membuka harapan kita,
karena seluruh ketaatan kita, kebajikan kita, semuanya dari Allah, bukan dari diri kita.

Namun juga sebaliknya, bila kita mengingat apa yang ada pada kita berupa kontra dengan Allah
Swt, kemaksiatan dan dosa-dosa kita, pastilah kita akan sedih dan duka. Bahkan kalau toh kita
menengok masa lalu kita, kita tetap saja sedih, karena apa yang kita berikan kepadaNya, tak ada
apa-apanya, apalagi jika dibanding yang yang datang dari Allah swt kepada kita.
Oleh sebab itu beliau melanjutkan:

“Kadang-kadang Allah memberikan makna guna kepadamu dalam kelamnya Qobdh


(Genggaman Ilahi yang mencekam), yang tidak anda dapatkan maknanya ketika anda dalam
suasana kelapangan siang hari (seperti siang yang terang).”

Betapa seringnya kita raih hikmah-hikmah yang menghantar kita untuk taqarrub kepadanya
dibalik cobaan yang mencekam, yang kita tidak dapatkan ketika kita diberi kelapangan dada,
kemudahan dan kesehatan dan murahnya rizki anda.

Disinilah para ‘arifun lebih memilih meraih Qabdhnya Allah dibanding suasana lapang dan
mudah dariNya. Sebab betapa seringnya orang tergelincir karena kemudahan dan kelapangan.
Sedangkan ketika diberi cobaan, hatinya remuk redam dalam sikap ubudiyah kepadaNya, penuh
rasa hina dina, fakir, tak berdaya dan lemah.
Terbitnya Cahaya-cahaya
“Tempat terbitnya cahaya-cahaya adalah qalbu-qalbu dan rahasia qalbu”
Kenapa demikian? Karena sumbernya adalah pemahaman atau pengetahuan. Pemahaman itu ada
pada qalbu, sedangkan munculnya pengetahuan adalah dari rahasia qalbu atau rahasia batin
(asrar).

Dalam kitabnya, Syeikh Abul abbas al-Hadhramy menegaskan, “Pemahaman nuur itu menurut
limpahan anugerah yang memancar di qalbu dan menurut kadar cahaya dalam batinnya qalbu.“
Beliau juga mengatakan, “Cahaya itu beragam dan berbeda-beda: Ada cahaya watak diri, ada
cahaya akal, ada cahaya ruh, ada cahaya qalbu dan ada cahaya titik hitam dalam qalbu
(suwaidaa’ul qalb), ada pula cahaya rahasia batin (sirr), dan cahaya dalam rahasia batin (sirr)
itulah yang paling agung dan paling sempurna.

Setiap cahaya dari semua cahaya itu ada yang disebut dengan cahaya penakwilan (cahaya
kecerdasan), ada cahaya pelimpahan anugerah (cahaya tanziil), ada cahaya transformatif (cahaya
menuju yang lebih terang) dan cahaya perpindahan (cahaya tanqil).
Setiap tahap (maqam ruhani) ada penjelasan yang tak terjangkau oleh batin kita apalagi
membuat batasan garis, “Dan tidak ada yang tahu pasukan-pasukan Tuhanmu kecuali Dia”.

Beliau melanjutkan:
“Ada cahaya yang dititipkan dalam qalbu, cahaya itu melimpah datang dari khazanah ghaib
tersembunyi.”
Syeikh Zarruq dalam syarah Al-Hikam ini mengatakan, “Cahaya yang dititipkan dalam qalbu itu
adalah yang tercetak dalam batin qalbu yang melimpah dari cahaya Musyahadah di Hari
Perjanjian Azali :
“Bukankah Aku Tuhanmu? Mereka menjawab, “Benar (Engkaulah Tuhanku)”. (Al-A’raaf: 7)

Cahaya itulah yang diibaratkan sebagai cahaya mata kita ketika mata memandang. Namun
datangnya cahaya itu setelah adanya cahaya Ilham yang memancar dari khazanah rahasia
tersembunyi (khazainul ghuyub)….”.
Beliau melanjutkan:

“Ada cahaya yang tersingkap padamu melalui ciptaan-ciptaannya, dan ada cahaya yang
tersingkap padamu melalui Sifat-sifatNya.”
Dua model cahaya yang tersingkap, dan keduanya bersifat batin semua. Bila muncul cahaya
yang tersingkap dari perspektif ciptaan-ciptaanNya, maka anda akan melihat cahaya itu dengan
suatu efek bahwa ciptaan-ciptaan itu hanyalah sesuatu yang serba kurang dan sirna di dunia ini.
Tak ada yang abadi, kekal dan sempurna.

Dari sanalah seseorang menjadi penuh harap dan rasa takut, lalu mencari selamat dan pahala
karena anda tahu sebenarnya dunia itu seperti apa. Pada saat yang sama anda tahu akhirat dan
kekekalannya dan apa yang disediakan Allah Ta’ala pada orang yang patuh dan taat padaNya
dan apa yang diancamkan pada orang yang maksiat padaNya.
Sebagian para Sufi menegaskan, “Apabila iman ada di luar qalbu, yakni pada al-Fuad, maka
orang beriman mencintai Allah dengan cinta yang setengah-tengah saja, bila iman sudah
merasuk ke dalam qalbu yaitu masuk pada titik hitamnya, ia akan mencintai Allah dengan cinta
yang sangat kuat.”
Namun hati-hati, cahaya itu bisa menjadi hijab, sebagaimana ciptaan ini bisa jadi hijab. Lalu
Ibnu Athaillah as-Sakandary menegaskan:
“Kadang qalbu tercengang (berhenti) oleh pesona cahaya, sebagaimana nafsu terhijab oleh alam
kasat mata.”

Kadang memang demikian, karena itu harus hati-hati, jangan sampai cahaya Allah Swt, justru
menjadi tirai antara anda dengan Allah Swt, karena indahnya pesona ruhani, membuat anda alpa
dan kehilangan pada Sang Pemberi Cahaya.

Model orang yang terpesona oleh cahaya dan terhenti ini ada tiga faktor:
Sangat senang dan suka cita dengan cahaya, asyik maksyuk dengan fenomena cahaya.
Menenggelamkan diri pada indahnya cahaya batin dan tidak menjenguk apa yang ada dibalik
atau sesudahnya (Allah Sang Maha Pencahaya)
Memandang cahaya itu sebagai tahap final dari perjalanan ruhaninya.

Karena itu Ibnul Jalla’, ra, menegaskan, “Siapa yang hasratnya terhenti pada selain Allah Swt, ia
kehilangan Allah Swt. Karena Allah Swt Maha Besar, dan jauh untuk disertai yang lainNya.
Karena itu, disebutkan oleh Syeikh Ahmad ar-Rifa’y, bahwa kaum ‘arifin bisa terkena istidroj
bila terhenti pada kema’rifatannya, bukan pada Sang Ma’ruf (Allah Yang dimakrifati).
Dengan begitu:
Ketika anda berdzikir, jangan terhenti pada indah dan nikmatnya dzikir, lalu lupa pada Yang
anda Ingat (Allah Swt),
Ketika anda beristiqomah jangan terpaku pada karomahnya, alpa pada Dia yang mencintai
Istiqomah anda.
Ketika anda berdoa, gembira pada wujud ijabahNYa, lupa pada agung takdir munajat anda
kepadaNya.

Beliau Ibnu Athaillah as-Sakandary menyebutkan hikmah dibalik ditutupnya rahasia-rahasia


para wali dari umumnya manusia, dan tidak muncul di tengah publik.
“Allah Swt menutupi cahaya-cahaya rahasia batin dengan alam lahiriyah, dalam rangka
memuliakannya agar tidak tergelar di dalam wujud nyata (tampak). Sekaligus terhindarkan dari
bahasa popularitas.”
Betapa mulianya cahaya-cahaya para ‘arifun dan para auliya’ itu, hingga Allah harus
merahasiakannya, dibalik tampilan biasa, manusiawi dan alamiah belaka. Ibarat bintang di langit
semakin tinggi semakin tidak tampak dan tidak bisa dipandang.
Bahkan orang-orang kafir pun terkecoh, ketika memandang para Nabi as. Ketika mereka
mengatakan, “Ini tak lebih dari manusia seperti kalian, yang makan seperti makanan kalian dan
minum seperti minuman kalian. “ (Al-Mu’minun 33), “Mereka mengatakan, Rasul macam apa
ini yang makan makanan dan jalan di pasar-pasar?” (Al-Furqon: 7)

Karena itu mengenal wali, menurut Syeikh Abul Abbas Al-Mursy, lebih sulit disbanding
mengenal Allah Swt. Karena Allah Ta’ala sangat jelas dengan keparipurnaan dan keindahanNya,
sedangkan para wali, bagaimana anda tahu, mereka makan seperti anda, dan minum seperti
minuman anda.”
Lalu Ibnu Athaillah menegaskan, “Bila Allah hendak mengenalkan anda pada seorang wali dari
wali-waliNya, maka wujud manusiawinya disingkap pada anda, lalu dipersaksikan wujud
keistemewaannya.”

Bukti Kewalian
Maha Suci Allah Dzat yang tidak menjadikan bukti atas para waliNya, kecuali bukti itu
mengarah padanya (karakteristiknya), dan Allah swt tidak menyambungkan pada mereka

(mengenalkan pada mereka) kecuali pada orang yang dikehendaki untuk sambung kepadaNya.

Ibnu Athaillah as-Sakandary dalam memasuki ungkapan hikmah ini diawali dengan tasbih
kepada Allah Swt, semata karena tiga faktor:
Merasakan keagungan dan kebesaran perkaraNya,
Mengingatkan bahwa para wali Allah itu disucikan melalui penyucianNya.

Isyarat tidak adanya kesamaan indikator dari ungkapan rasa dan tujuan ucapan, sebagaimana
Allah Swt tidak dikenal kecuali dari yang tampak dari tindakanNya, begitu juga wali tidak
dikenal kecuali dari sifat-sifatnya yang tampak, juga mengenal wali itu tidak bisa digambarkan
kecuali setelah mengenal Allah Swt, yaitu futuh dari Allah Swt.

Dalam kitab at-Tanswir, Ibnu Athaillah menegaskan, “Dan hal demikian, dikarenakan iman itu
disebabkan oleh keterbukaan dari Allah Swt, sehingga tidak akan ada iman kecuali karena
dibuka oleh Allah Swt.”
Wali itu sendiri menurut Syeikh Zarruq r.a. dikenal melalui tiga karakter:
Memprioritaskan Allah Swt.
Berpaling (hatinya) dari makhluk.
Disiplin terhadap Sunnah dengan benar.

Abu Ali al-Jurjany mengatakan, “Sang wali senantiasa fana’ dalam ruhaninya, Baqa’ dalam
musyahadah kepada Allah Swt, dan Allah Swt memberikan limpahan pengaturan, sehingga
cahaya-cahaya kewaliannya melimpah padanya. Kemudian ia tidak memiliki kabar dari dirinya,
dan tidak memiliki tempat berteguh kecuali hanya pada Allah Swt. Dan dalam Isyarah dari Allah
Swt, bahwa Auliya’ Aku sebut sebagai Auliya’ karena mereka mereka hanya (cinta) kepadaKu,
bukan pada yang lain (makhluk) “
Simpulnya sang wali itu senantiasa mendapatkan limpahan ruhani dari Allah Swt, sehingga tak
pernah sekalipun meninggalkan Allah Swt untuk selain Allah Swt., lahir maupun batin. Allah
Swt, melimpahkan kewalian dan tak pernah menanjak pada yang lainNya, dan karena itulah yang
terpenting mereka ini senantiasa dijaga oleh Allah Swt, dan bersambung dengan Allah Swt
menurut kadar dan bagian masing-masing.

Siapa pun tidak akan sampai mengenal para wali itu, sepanjang ia tidak wuquf (perteguh) pada
perintah dan menjauhi larangannya, berkait dengan hasrat dan ruhaninya, karena itu –tidak
diragukan lagi– merupakan kunci wushul pada Allah Swt.
Dalam sebuah riwayat dijelaskan, “Bersamalah kalian dengan Allah Swt, bila kalian tidak bisa
bersamaNya, bersamalah dengan orang yang bersama Allah Swt, karena ia menyambungkan
dirimu denganNya.”
Syeikh Abul Hasan asy-Syadzily r.a. mengatakan, “Bergabunglah (bergurulah) pada orang yang
apabila ia menyebut senantiasa ia mengingat Allah, sesungguhnya Allah Swt mencukupinya
ketika ia hadir, dan menjadi Penggantinya ketika ia tidak ada. Ungkapannya adalah cahaya bagi
hati, dan penyaksiannya merupakan kunci-kunci rahasiaNya.”

Adab Bagi Yang Tersingkapkan Alam Ghaib


"Kadang-kadang Allah Swt memperlihatkan padamu alam Malakutnya yang ghaib, dan (namun)
Allah Swt menutup dirimu dari melihat rahasia-rahasia hambaNya."

Diantara kasih sayang Allah Swt pada hamba-hambaNya, terkadang, Allah Swt membuka
rahasia-rahasia alam malakut pada si hamba itu, berupa rahasia ilmu pengetahuan dan detail
kema’rifatan, sampai nyata betul, bahkan anda pun meraih apa yang tak bisa dibayangkan oleh
mata, tak pernah terdengar telinga dan tak pernah muncul dalam intuisi sekali pun.

Namun pada saat yang sama, Allah Swt, justru menutup rahasia-rahasia yang ada pada hamba-
hambaNya, karena rahmat dan cintaNya kepadaMu agar kalian tidak terpedaya oleh pandangan
meneliti rahasia para makhlukNya dan hamba-hambaNya. Allah Swt sedang memberikan
pelajaran mulia kepadamu dengan cara menghindarkan dirimu memandang rahasia makhluk lain.
Dan jika seseorang diperlihatkan rahasia makhluk Allah Swt, maka harus ada adab dan akhlaq
yang dijalani. Sebagaimana ungkapan berikut ini:

“Barang siapa yang dibukakan Allah Swt rahasia-rahasia hambaNya, namun orang itu tidak
berakhlak dengan Rahmat Ilahiyah, maka wujud penglihatan rahasia itu justru akan menjadi
fitnah (cobaan) bagi dirinya sendiri, dan menjadi faktor yang menyebabkan terjadinya cobaan
bencana baginya.”

Banyak orang yang dibukakan oleh Allah Swt, tentang rahasia-rahasia hambaNya, namun betapa
orang itu malah mendapat cobaan yang serius, hanya karena ia sendiri tidak menerapkan Akhlaq
Rahmat Ilahiyah. Diantara cobaan yang muncul adalah tragedi ruhaninya sendiri berupa
kesombongan, kekaguman pada diri sendiri, dan memanfaatkan nya untuk kepentingan
duniawinya.

Padahal rahasia Allah itu ditampakkan padanya, agar ia menjalankan fungsi Rahmatan
Lil’alamin melalui akhlak Rahmat Ilahiyahnya, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Athaillah as-
Sakandary.

Orang yang berakhlak dengan Rahmat Ilahiyah adalah orang yang memiliki keluasan kasih
sayang terhadap hamba-hamba Allah Ta’ala, dan manusia merasakan hamparan kasih sayangnya
dan perilaku akhlaknya. Ia telah menjadi bapak bagi mereka. Inilah yang diteladankan Nabi Saw,
dalam Al-Qur’an, “Dan ia penuh kasih sayang kepada kaum beriman.” (Q.s. Al-Ahzaab:43)

Sang Nabi Saw, memaafkan orang-orang yang berbuat salah dan dosa, menyayangi dan
mengasihi orang miskin, dan menjabat tangan orang-orang yang bodoh serta berbuat baik pada
orang-orang yang berbuat buruk.

Sebab sebagaimana dikatakan oleh Ummul Mu’minin, ra, “Akhlaknya adalah Al-Qur’an”, dan
beliau membaca ayat, “Ambillah maaf, dan perintahlah dengan baik, dan berpalinglah dari
orang-orang yang bodoh.” (Q.s. Al-A’raaf:7).

Orang yang berakhlak demikian, berarti ketersingkapannnya merupakan kemuliaan baginya dan
rahmat bagi hamba-hambaNya.

Jika tidak, maka ia akan teruji oleh fitnah dalam dirinya seketika dan di akhirat kelak: Pertama,
ia merasa lebih hebat dan lebih bersih dibanding yang lain dengan kelebihan-kelebihannya.
Kedua, ia telah mempersempit rahmat dan kasih sayang Allah pada hamba-hambaNya.
Ketiga, ia telah menyakiti hamba-hamba Allah dengan membuka rahasia-rahasia kelemahannya,
dan inilah awal bencana.
Maka penyair Sufi mengatakan:
Tebarlah kasih sayang, wahai anakku
Pada semuanya, dan lihatlah
Pada mereka dengan mata kinasih yang lembut
Hormati yang tua, kasihi yang muda
Jagalah hak akhlak pada setiap makhluk.

Riya'
Syeikh Ibnu ‘Athaillah As-Sakandary

Syeikh Ibnu Ajibah al-Hasany dalam syarah Al-Hikam mengatakan, bahwa riya’ itu bermakna
sebagai pencarian posisi di tengah publik, melalui amalnya yang saleh. Apakah amal itu terlihat
jelas atau tersembunyi.

Bahkan riya’ itu sering merasuki amal-amal yang tersembunyi, ketika tak seorang pun
memandang anda. Dan ini sangat sulit, karena lebih rumit dibanding lubang semut.

Sebagian kaum ‘arifin menegaskan, “Aku berusaha membuang riya’ dalam hatiku dalam setiap
rekayasa, dari berbagai arah, hingga saya meraih dari sisi lain yang tak pernah kuduga.”

Sebagian mengatakan, “Diantara riya’ paling besar adalah apabila seseorang memandang
pemberian, penggagalan, bahaya dan manfaat itu datangnya dari makhluk.”

Salah satu Sufi menegaskan, Riya’ terbagi tiga. Semuanya merupakan penyakit agama.

Yang pertama, adalah penyakit terbesar, yaitu beramal atau beribadah demi pandangan makhluk,
jika tidak ada mereka, ia tidak melakukannya.

Kedua, melakukan amaliyah untuk pujian, walaupun orang lain tidak tahu.
Ketiga, melakukan amaliah untuk Allah Azza wa-Jalla, dan berharap amalnya itu bisa meraih
pahala dan menghilangkan siksa. Walaupun kategori yang ketiga ini dianggap bagus, namun
menurut kalangan ‘Arifin tergolong riya’, walaupun menurut awam publik dikategorikan ikhlas.

Orang yang selamat lahir batinnya dari riya’ justru tidak punya kepentingan duniawi maupun
ukhrowi, semata karena Allah Swt.

Tanda-tanda jika anda tergolong riya’, ada tiga hal:


Sangat bersemangat ketika banyak orang, dan malas ketika tidak ada orang.
Amal itu terasa mantap ketika dilihat orang lain, dan ia meremehkan jika yang memandang
hanya Allah Swt.
Dalam hatinya ada rasa dihargai oleh orang lain, dan dibantu kebutuhannya oleh orang lain. Bila
haknya tidak dipenuhi oleh seseorang ia menjauhinya dan mengingkarinya. Kemudian terjadi
pemisahan jarak antara kehormatan dirinya dan penghormatan pada orang lain, hina dirinya
dengan penghinaan terhadap orang lain.
Bila menghadapi orang yang lemah akalnya, ia mengancam, agar siksa Allah segera turun pada
mereka. Allah tidak akan menolongnya jika tidak minta tolong melalui dirinya dan mengikuti
pengaruhnya.

Jika ada seorang sufi memiliki tiga tanda di atas, ketahuilah bahwa ia tergolong orang yang riya’.

Dalam riwayat dari Sayyidina Ali KW, bahwa Allah Swt berfirman kepada para Sufi (fuqoro’) di
hari qiyamat nanti, “Bukankah kalian sudah menguruskan diri? Bukankah kalian sudah bergegas
dengan ucapan salam? Bukankah kalian telah dipenuhi kebutuhan kalian (di dunia)?”

Dan semua itu diakibatkan oleh riya’.

Sehingga dalam hadits disebutkan, “Kalian tidak mendapatkan lagi pahala. Karena pahala (upah)
kalian sudah ditunaikan (di dunia).”

Ini bermakna, bahwa orang beribadah hanya mencari kepentingan duniawi.

Meraih Berkah Kemuliaan


Syeikh Ibnu ‘Athaillah As-Sakandary
“Rasa senangmu agar makhluk lain melihat keistimewaanmu, menunjukkan bahwa ubidiyahmu
tidak benar.”

Bila seseorang memiliki keistemewaan dari Allah Swt, berupa ilmu yang bermanfaat, amal saleh
yang banyak, atau pengalaman ruhani yang hebat, lalu ia secara diam-diam ingin diketahui
keistemewaannya, maka dipastikan ubudiyah orang tersebut tidak benar.

Salah satu Sufi menegaskan, “Siapa yang senang jika amalnya dilihat manusia, maka ia adalah
orang yang riya’, dan siapa yang senang jika pengalaman ruhaninya diketahui orang, maka ia
adalah pendusta.”
Kondisi ini berlaku bagi para penempuh, namun untuk para ahli ma’rifat yang telah meraih
hakikat dan musyahadah, maka tidak apa-apa jika ia tunjukkan amaliyahnya, menampakkan
kebaikan ruhaninya, agar syukurnya benar-benar termanifestasi dan bias diteladani yang lain.

Namun bagi para penempuh ia akan mudah kagum pada diri sendiri, dan merasa cukup serta
berakhir dengan takabur. Para pemula harus mewujudkan kefanaannya, hatinya lari dari
pandangan makhluk menuju pandanganNya, menyembunyikan amal dan ihwal ruhaninya.
Namun bila kefanaannya sempurna dan baqo’nya termaujud dalam hakikatnya, ia senantiasa
bersama Allah Swt, maka biula Allah menghendaki untuk menampakkan ia tampakkan, jika
Allah menghendaki menyembunyikan, ia sembunyikan. Ia sama sekali tidak berkait dengan soal
tampak dan tersembunyi. Semua berkait dengan perintahNya belaka.

Ibnu Athaillah as-Sakandary meneruskan:


“Sembunyikan pandangan makhluk kepadamu dengan melihat pandangan Allah padamu, dan
hilangkan penerimaan makhluk padamu, dengan melihat penerimaan Allah swt padamu.”

Maksudnya, jangan menginginkan pujian, diterima dan dihormati oleh manusia atas apa yang
ada dalam diri anda, namun lebih konsentrasi kesenangan agar anda lebih diterima oleh Allah
Swt.

Bagaimana pandangan makhluk kepadamu bisa merusak hatimu dengan Allah Swt, oleh karena
itu rindumu dan rasa sukamu jangan pernah ada kecuali hanya demi pandangan Allah Swt
padamu.

Apalagi jika anda berfikir agar citra anda naik di hadapan publik, nama anda agar dikenal,
kemampuan anda disegani, ilmu anda dijadikan rujukan, amal anda dinilai besar, justru akan
meracuni hatimu. Datangnya public dihadapanmu sebelum anda meraih kesempurnaan, akan
melahirkan dampak psikologis yang membayakan hatimu, mulai dari rasa bangga, merasa lebih,
terhormat, dan prestisius lain yang bisa merobek keutuhan hatimu kepada Allah Swt.

Sebagian sufi mengatakan, “Orang yang benar adalah yang tidak peduli, jikalau keluar nilai
lebih dari yang muncul dari hati para makhluk terhadap kebaikan hatinya, juga tidak suka jika
ada seberat atom amalnya dilihat manusia, tidak benci jika amal buruknya dilihat orang lain,
karena kebenciannya itu menunjukkan bahwa ia ingin punya nilai lebih di hadapan makhluk.
Jelas itu bukan tergolongkan keikhlasan orang yang benar.”

Ma’rifat, Fana’ dan Cinta


“Siapa yang mengenal Allah Swt ia menyaksikanNya dalam segala hal. Dan siapa yang fana’
padaNya, ia sirna dari segalanya, dan siapa yang mencintaiNya tak akan pernah memprioritaskan
selain Dia.”

Sang arif senantiasa memandang segalanya ada di sisiNya dan bagiNya, lalu ia tidak melihat
yang lain kecuali Dia. Bagaimana ia melihat yang lain, --pasti mustahil-– ketika ia sedang
melihatNya?
Sebuah syair menyebutkan:
Sejak daku mengenal Tuhan
Aku tak melihat yang lain
Begitu jua yang lain tak tampak
Sejak aku berpadu denganNya
Tak ada ketakutan pada diriku
Hari ini, sungguh aku telah sampai

Syeikh Zarrug menegaskan, ma’rifat adalah mewujudkan kema’rifatannya sesuai dengan


keagungan yang dima’rifati (Allah Swt). Sehingga perwujudan hakikat itu, membuat seakan-
akan menjadi sifat baginya, tidak bergerak dan tidak berpindah. Gerak-geriknya tidak berjalan
kecuali menurut aturannya. Maka pada saat itulah hatinya tegak setiap waktu dan dalam kondisi
apa pun. Maka menyaksikan Allah azza wa-Jalla mengarahkan pada rasa fana’ di dalamnya,
secara total kembali padaNya.

Disnilah Ibnu Athaillah as-Sakandary melanjutkan, “Siapa yang fana’ padaNya, ia sirna dari
segalanya,” maka fana’ itu sendiri adalah menyaksikan Allah Swt, tanpa unsur makhluk, dimana
hukum tindakan dalam sifat tidak masuk, karena sifat tindakan hanyalah efek belaka. Sehingga
tak ada berita tentang tindakan jika dipandang dari segi Dia. Sifat disandarkan pada yang disifati,
dan tidak lain kecuali Dia Satu-satuNya. Itulah kenyataan sirna dari segalanya bersamaNya,
karena segalanya kembali padaNya.

Bila ma’rifat menimbulkan fana’. Dan kefanaan berdampak kesirnaan, maka kesirnaan itu
menuntut adanya wujud prioritas. Maka cintalah yang menumbuhkan prioritas itu.

Kenapa? Karena hakikat cinta adalah teraihnya keindahan Sang Kekasih melalui kecintaan
qalbu, hingga dalam situasi apa pun tak ada yang tersisa.Itulah yang kemudian disebutkan,
bahwa cinta adalah memprioritaskan di Keabadian Kekasih.

Ma’rifat, Fana’ dan Cinta adalah tiga tonggak kewalian. Sang wali senantiasa ma’rifat kepada
Allah Swt, senantiasa fana’ padaNya dan mencintaiNya. Siapa yang tidak memiliki kategori ini
semua, maka ia tidak mendapatkan bagian dalam kewalian. Semoga Allah menjadikan kita
golongan mereka. Amin. Demikian penjelasan Syeikh Zarruq dalam Syarah Al-Hikam.

Mehamami Hijab dan Sifat DekatNya


Syeikh Ibnu ‘Athaillah As-Sakandary
“Sebenarnya, Allah Swt tertirai darimu semata-mata karena sangat Maha DekatNya padamu.”

Dalam syarahnya terhadap Al-Hikam, Syeikh Zarruq menegaskan, bahwa dekatnya Allah Swt itu
tidak dipahami sebagai dekatnya suatu benda dengan benda lain, atau dekatnya jarak, atau
dekatnya sesuatu yang dikaitkan dengan yang lain. Karena dekat semacam itu mustahil bagi
Allah Swt.

Yang dimaksud dengan dekatNya adalah kedekatan meliputiNya melalui sifat Ilmu, Qudrat dan
IradatNya, selayaknya keMahaBesaran dan keMahaIndahanNya. Dan sudah nyata bahwa Qudrat
dan IradatNya meliputi wujudnya hamba dan IlmuNya meliputi seluruh waktu dan gerak gerik
hambaNya. Yang menggerakkan aktivitas dan mewujudkan makhluk adalah Dia, karena itu
Dialah yang Maha Dekat kepada makhliuk dibanding adanya makhluk itu sendiri.

Sedangkan hijab (tirai) bagi makhluk muncul karena wujud makhluk atau karena makhluk itu
diwujudkan. Ketika semakin kuat eksistensi wujud makhluk dan semakin luas ekspresi
aktivitasnya, maka semakin kuat pula hijab mereka, disebabkan kesibukan mereka tersebut.
Itulah realitas manifestasi kedekatan yang meliputi. Sedangkan kuatnya sifat Dekat membuat
makhluk terhijab dari dekat dan yang mendekat. Dalam al-Qur’an disebutkan, “Dan Kami lebih
dekat padanya dibanding kalian, tetapi kalian tidak melihatnya.” (Al-Waqi’ah 85)

Maka Syeikh Abul Abbas Al-Mursy bermunajat: “Wahai Yang Maha Dekat, Engkaulah Yang
Dekat, sedangkan akulah yang jauh. Kedekatanmu padaku membuat aku putus asa pada selain
DiriMu, sedangkan jauhku padaMu, mengembalikan aku untuk terus mencari anugerah dariMu.
Maka limpahkanlah anugerahMu padaku sehingga hasratku terhapus oleh kehendakMu, Wahai
Yang Maha Kuat nan Maha Mulia.”

Ibnu Athaillah as-Sakandary melanjutkan:


“Allah Swt tertutup karena dahsyatnya kejelasanNya, dan Dia tersembunyi dari pandangan mata
karena agungnya cahayaNya.”

Kejelasan Allah Swt tampak dalam tindakanNya, itulah yang membuat para makhluk tertutup
melihatNya langsung. Kejelasan itu disebabkan pancaran Nur SifatNya yang tampak pada
seluruh semesta makhluk, yang dinunia ini hanya bisa dilihat secara maknawi (spiritual). Kadar
ruhani maknawi seseorang sangat erat kaitannya dengan aktivasi penglihatannya di akhirat kelak,
menurut Sunnatullah Swt. Sangat kuatnya wujud kejelasanNya, membuat terhalangnya untuk
memandangNya.

Sebagaimana mata kelelawar ketika tersorot oleh cahaya matahari, semakin dekat cahaya itu
semakin buta matanya – “Dan bagi Allah adalah contoh yang luhur“ –

Inilah para Sufi menegaskan, “Orang yang memandang – dalam bertauhid – seperti orang yang
memandang matahari, ketika pandangannya semakin bertambah kuat ia semakin buta.”

Maka Sayyidina Abu Bakr ash-Shiddiq ra, mengatakan, “Maha Suci Dzat yang tidak menjadikan
jalan bagi makhluk untuk mengenalNya, kecuali jalan itu adalah ketakberdayaan untuk
mengenalNya.”

Etika Berdo'a
Syeikh Ibnu ‘Athaillah As-Sakandary
“Janganlah pencarianmu (doa-doamu) sebagai sebab untuk diberi sesuatu dari Allah Swt, maka
pemahamanmu kepadaNya menjadi sempit. Hendaknya pencarianmu (doa-doamu) semata untuk
menampakkan wujud kehambaan dan menegakkan Hak-hak KetuhananNya.”
Pencarian merupakan arah yang menjadi sebab terwujudnya kehendak yang harus ada.
Pencarian, usaha, doa, ikhtiar merupakan rangkaian sebab-sebab menuju apa yang ingin diraih.
Termasuk disini adalah berdo’a

Umumnya orang berdoa agar terwujud apa yang diinginkan. Berikhtiar agar tercapai apa yang
dicita-citakan. Padahal dimaksud Allah Swt memerintahkan kita berdoa dan berupaya, semata-
mata agar eksistensi kehambaan kita yang serta fakir, serba hina, serba tak berdaya dan lemah
muncul terus menerus di hadapanNya. Bukan, agar kita bisa mewujudkan apa yang kita
kehendaki, karena hal demikian bisa memaksa Allah Swt menuruti kehendak kita.

Pemahaman yang sempit tentang Allah Swt, akan terus menerus berkutat pada sikap seakan-akan
Allah-lah yang mengikuti selera kita, bukan kehendak kita ini akibat kehendakNya, perwujudan
yang ada karena kehendakNya, bukan disebabkan oleh kemauan kita.

Ketika manusia berdoa seluruh kehinaan dirinya, kebutuhan dirinya dan kelemahannya serta
ketakberdayaannya muncul. Itulah hikmah utama dibalik berdoa. Ketika kita berikhtiar, pada saat
yang sama kita menyadari betapa tak berdayanya kita. Sebab kalau kita berdaya, pasti tidak perlu
lagi ikhtiar dan berjuang.

Di sisi lain, kita dituntut untuk terus menerus menegakkan Hak-hak KetuhananNya, bahwa Allah
berhak disembah, berhak dimohoni pertolongan, berhak dijadikan andalan dan gantungan,
tempat penyerahan diri, berhak dipuji dan dipatuhi, berhak dengan segala sifat Rububiyahnya
yang Maha Mencukupi, Maha Mulia, Maha Kuasa dan Maha Kuat. Semua harus terus tegak di
hadapan kita. Dan itu semua bisa terjadi manakala kehambaan kita hadir.

Ironi-ironi dalam ikhtiar dan doa kita sering terjadi. Kita lebih memposisikan sebagai “tuhan”,
dengan banyak memerintah Tuhan agar menuruti kehendak kita, kemauan kita, proyeksi-
proyeksi kita. Diam-diam kita menciptakan tuhan dan berhala dalam jiwa kita, agar dipatuhi oleh
Allah Sang Pencipta. Inilah piciknya iman kita kepadaNya, yang sering memaksaNya sesuai
dengan pilihan-pilihan kita, bukan pilihanNya.

Karena itu hakikatnya, menjalankan perintah doa itu lebih utama dibanding terwujudnya doa kita
(ijabah). Ikhtiar kita hakikatnya lebih utama daripada hasil yang kita inginkan. Perjuangan kita
hakikatnya lebih utama dibanding kemangan dan kesuksesannya. Ibadah lebih utama dibading
balasan-balasanNya. Karena taat, doa, ikhtiar itu menjalankan perintahNya. Sedangkan balasan,
ijabah, sukses, kemenangan, bukan urusan manusia dan tidak diperintah olehNya.

Banyak orang berdoa, beribadah, berikhtiar, tetapi bertambah stress dan gelisah. Itu semua
disebabkan oleh niat dan cara pandangnya kepada Allah Swt yang sempit. Sehingga, bukan
qalbunya yang menghadap Allah Swt, tetapi nafsunya.

Syeikh Abul Hasan asy-Syadzily, ra berkata: “Janganlah bagian yang membuatmu senang ketika
berdoa, adalah hajat-hajatmu terpenuhi, bukan kesenangan bermunajat kepada Tuhanmu. Hal
demikian bisa menyebabkan anda termasuk orang yang terhijab.”
Bahwa kita ditakdirkan bisa bermunajat kepadaNya, seharusnya menjadi puncak kebahagiaan
kita. Bukan pada tercapainya hajat kebutuhan kita. Kenapa kita bisa terhijab? Karena kita
kehilangan Allah Swt, ketika berdoa, karena yang trampak adalah kebutuhan dan hajat kita,
bukan Allah Tempat bermunajat kita.

Makna dan Hakikat Do'a


“Bagaimana mungkin permintaanmu yang baru datang belakangan akan bisa mengubah
anugerahNya yang terdahulu?”

Inilah ketegasan tauhid kita untuk memahami hubungan antara doa dan takdir. Banyak para
hamba Allah Swt yang merasa ada kontradiksi yang mempengaruhi batin mereka, gara-gara
belum tuntasnya antara ikhtiar, doa dan takdir. Dengan sejumlah pertanyaan, apakah takdir itu
bisa diubah dengan doa dan usaha? Kalau bisa berarti Allah Swt tergantung pada hambaNya.
Kalau tidak bisa apakah makna dibalik perintah doa dan ikhtiar itu?

Dalam bahasa Sufistik, soal ikhtiar, doa dan takdir dilihat dari dimensi hakikatnya. Bahwa secara
hakikat, upaya dan doa itu tidak akan menjadi sebab terwujudnya takdir, dan tidak akan
mengubah takdir. Mengapa demikian? Karena takdir Allah Swt, dengan semua ketentuanNya
telah mendahului ikhtiar dan doa kita. Bagaimana mungkin, sesuatu yang baru (berupaya upaya
dan doa kita) bisa mengubah sesuatu yang mendahului (ketentuan Allah Swt)?

Jadi cara memahami hakikat doa dan ikhtiar adalah:

Doa dan ikhtiar itu sesungguhnya juga takdir.

Bila Allah Swt hendak memberi anugerah seseorang, maka si hamba juga ditakdirkan dan diberi
kemampuan untuk berdoa dan berikhtiar.

Doa dan ikhtiar hanyalah tanda-tanda takdir itu sendiri.

Allah memerintahkan kita berupaya dan berdoa agar kita memahami bahwa kita sangat terbatas
dan tak berdaya, sehingga doa dan upaya adalah bentuk kesiapan kehambaan belaka agar kita
siap menyongsong takdirNya.

Aturan syariat mengharuskan kita berikhtiar dan berdoa, karena syariat adalah aturan bagi
keterbatasan manusia, dengan bahasa dan tugas manusiawi (taklifi), maka seseorang akan berdoa
dan beriktiar dengan penuh kepasrahan dan kerelaan pada ketentuan dan pilihan terbaikNya.
Bukannya berdoa untuk memaksaNya mengubah takdirNya.

Maka Ibnu Athaillah menegaskan dengan ucapan beliau:“Maha Besar (jauh) bila hukum
AzaliNya harus disandarkan pada sebab akibat yang baru.”

Allah Swt adalah sebab segalanya. Dan segalanya bergantung semua kepada Allah Swt. Allah
Swt tidak pernah menjadi akibat; seperti akibat kita berdoa Allah menuruti apa yang kita mau,
akibat kita berusaha Allah mengubah takdirNya. Jauh dan Maha Suci dari hal-hal seperti itu.
Berdoa kita lakukan semata untuk ‘ubudiyah, manifestasi kehambaan kita akan terwujud ketika
kita berdoa. Sebab dengan berdoa manusia merasa hina dina, merasa butuh, merasa tak berdaya
dan merasa lemah di hadapanNya. Dan itulah hakikat ubudiyah dibalik doa, agar kita tetap
menjaga rasa hina, rasa fakir, rasa tak berdaya dan rasa lemah. Karena dengan nuansa seperti itu
kita akan cukup bersama Allah, mulia bersamaNya, mampu bersamaNya, kuat bersamaNya.
Wallahu A’lam.

Rahasia Anugerah
Syeikh Ibnu ‘Athaillah As-Sakandary
“Allah swt mengetahui bahwa para hamba itu berhasrat kepada munculnya rahasia pertolongan,
maka Allah Swt, berfirman: “Allah mengkhususkan RahmatNya kepada orang yang
dikehendakiNya.” (Al-Baqarah: 105) Dan Dia Tahu, bila mereka dibiarkan (mengetahui
rahasianya), maka mereka akan meninggalkan amal itu, karena mengandalkan pada ketentuan
Azali. Maka Allah Swt, berfirman ”Sesungguhnya rahmat Allah itu teramat dekat dengan orang-
orang yang berbuat kebajikan.” (Al-A’raf: 56)

PARA hamba Allah swt sangat berhasrat mengetahui bagaimana masa depannya, apakah ia
dalam kondisi bahagia atau celaka, sehingga para hamba itu ingin tahu rahasia Pertolongan Allah
Swt. Lalu mereka berdoa, melakukan berbagai amaliah.

Para keinginan para hamba itu, menurut Syteikh Zarruq, didasari oleh tiga hal:

Ingin mengenal segala sesuatu sampai ke akar-akarnya, yang merupakan naluriyah jiwanya.
Ingin mengenal faktor-faktor penyebab yang menghantar pada keinginannya.
Di dalam nafsunya ada klaim-klaim yang kuat, yang mendorong dirinya untuk mengenal faktor
sesuai yang kehendaki.

Disinilah Allah Swt, mengembalikan bahwa segalanya itu atas kehendakNya, bukan kehendak
kita. KehendakNya tidak ada yang bisa memaksaNya. Dialah Sang Penimbul, Pemula dan
Pembangkit segalanya. TindakanNya tidak dilatarbelakangi oleh faktor tertentu, sedangkan
semua faktor penyebab yang ada ini adalah ciptaanNya pula.

Allah Swt juga Mengetahui, jika hambaNya dibiarkan mengetahui rahasia pertolonganNya,
dipastikan mereka malah meninggalkan amaliyahnya, karena bersandar saja pada ketentuan
Azali.

Mereka akan mengatakan, “Bila di zaman azali ada ketentuan bahwa saya ahli syurga, untuk apa
saya beribadah, berdo’a dan berusaha?”
Maka Allah Swt pun berfirman, “Sesungguhnya rahmat Allah itu teramat dekat dengan orang-
orang yang berbuat kebajikan.”
Amaliyah yang sholeh hanyalah pertanda akan adanya ‘Inayah, walau pun tidak menjadi sebab
wajib yang menentukan ‘Inayah itu harus demikian.
Ibnu Athaillah menegaskan berikutnya:
“Segala sesuatu tergantung KehendakNya, bukan KehendakNya bergantung pada segala
sesuatu.”

Segala yang ada ini muncul karena kehendak AzaliNya. Doa, amal ibadah, dan usaha tidak
memiliki pengaruh apa pun, pada munculnya kehendak para hamba. Semua bergantung pada
hukum Azali.

Lalu aturan kehambaan kita, adalah aturan harus dilakukan, yaitu berusaha, beramal ibadah, taat
dan patuh dan senantiasa butuh kepada Allah Swt, sebagai perwujudan kepatuhan hamba
kepadaNya.

Al-Wasithy mengatakan, sesungguhnya Allah Swt tidak mendekati si fakir karena kefakirannya,
juga tidak menjauhi si kayak arena kekayaannya. Seluruh makhluk ini tidak memiliki pengaruh,
baik sukses maupun gagal, bahkan seandainya dunia adan akhirat anda serahkan sepenuhnya
kepada Allah, anda tetap tidak akan sampai kepada Allah Swt, dengan dunia dan akhirat anda.
Allah mendekatkan mereka kepadaNya, bukan karena sebab atau faktor tertentu, dan Allah
mejauhkan mereka dariNya, juga bukan karena faktor-faktor tertentu. Allah Swt, berfirman:
“Siapa yang tidak diberi cahaya oleh Allah baginya, maka ia tidak akan meraih cahaya itu.”

Namun, bila Allah Swt, menghendaki hambaNya untuk meraih anugerahNya, maka si hamba
pun ditakdirkan untuk berikhtiar, patuh dan beramal sholeh serta ibadah yang benar, tetapi
seluruh tindakan hamba itu tidak menjadi penyebab yang mengharuskan turunnya anugerah,
namun amal ibadah dan kepatuhan itulah anugerah yang sesungguhnya.

Pesta Para Penempuh Jalan Sufi


Syeikh Ibnu ‘Athaillah As-Sakandary
”Datangnya kebutuhan yang mendesak, merupakan pestaraya para penempuh.”

AL-FAAQOH, adalah kebutuhan yang sangat mendesak, merupakan sifat substansial hamba.
Karena itu disebutkan oleh Ibnu Ath-Thaillah sebaik-baik waktu adalah waktu dimana anda
melihat wujud sifat butuh anda yang sangat mendesak itu. Sehingga anda melihat diri anda serba
salah dan serba gagal. Karena dengan rasa butuh yang mendesak itulah anda memutuskan dari
yang lain, dan mengembalikan diri anda kepada Allah azza wa-Jalla. Itulah sampai disebut
sebagai pestanya para penempuh dan Ahlullah.

Kenapa disebut sebagai pesta? Karena ia menikmati buah dari Musyahadah kepadaNya. Dalam
sebuah syair sufi disebutkan:

Esok hari raya, apa yang kau pakai?


Kukatakan, ”Hidangan seteguk cintaNya Fakir dan sabar adalah pakaianku Di bawahnya ada
qalbu yang memandang Rasa butuh yang mendesak, Sungguh hari raya dan pertemuan Pakaian
yang paling halus ketika engkau bertemu Sang kekasih di hari saling berziarah
Pada baju yang saling terpakai Tahun-tahun begitu lamban bagiku Bila engkau pergi wahai
harapanku Sedang pesta raya tiba jika dirimu Selalu tampak di cermin dan mendengarku.

Ibnu Athaillah melanjutkan:


”Terkadang anda meraih anugerah yang bertambah ketika dalam rasa butuh yang mendesak,
yang tidak anda jumpai ketika anda puasa dan sholat.”

Terkadang seseorang meraih anugerah luar biasa, berupa pengetahuan, ma’rifat dan hakikat,
justru ketika berada dalam kondisi sangat terdesak kebutuhannya, sebab ketika itulah sifat
ubudiyahnya muncul, sementara sifat klaim lewat-lewat pengakuan-pengakuannya mulai
menjauh. Nafsu, dalam situasi sangat butuh itulah begitu dekat dengan Allah Azza wa-Jalla dan
jauh dari kesombongannya.

Terkadang di bali sholat dan puasa sering muncul klaim dan pengakuan akan amalnya, dan
pengakuan itu bisa merusak pahalanya, disebabkan wujud riya’ dibalik klaim tadi. Namun rasa
butuh yang sangat mendesak membuat nafsu harus luluh di hadapan Tuhannya, ia ingin lebih
menjauhi hal-hal yang tak berguna. Bahkan dalam kitab Lathaiful Minan, Ibnu Athaillah
mengatakan:

”Dalam bencana dan situasi yang serba butuh ada rahasia kasih sayang yang tidak bisa
dimengerti kecuali oleh orang yang memiliki mata hati. Tidakkah anda tahu, bahwa bencana itu
mematikan hawa nafsu, meredakan dan mengeluarkan dari tuntutan seleranya, dan dibalik
bencana itu ada rasa hina dina yang muncul, sedangkan pada rasa hina itulah pertolongan tiba.

”Sungguh, Allah benar-benar menolongmu di saat perang Badar, sedangkan saat itu kalian
dalam keadaan hina dina.” (Ali Imran: 123)

”Rasa butuh itulah hamparan-hamparan bagi anugerah-anugerahNya.”

Abu Yazid al-Bizthamy Qs, mengatakan, “Kekayaan rahasia kami dipenuhi dengan khidmah,
bila anda menginginkan, maka anda harus berikap hina dina dan penuh rasa butuh kepadaNya.”

Syeikh Abdul Qadir al-Jilany menambahkan, “Aku mendatangi semua pintu Allah Azza wa-
Jalla, dan yang kudapati penuh sesak, namun ketika aku datangi Pintu hina dina dan rasa butuh,
rasanya begitu sunyi. Ketika aku masuki memalui pintu tersebut, tiba-tiba aku sudah berada di
paling depan mendahului kaum sufi dan aku tinggalkan mereka yang berdesak-desak memasuki
pintu-pintuNya yang lain.”

Namun rasa butuh yang mendesak itu, tidak ada gunanya bagi pelakunya, kecuali dengan
mewujudkan sikap kehambaan (ubudiyah). Dan hal tersebut berada dalam empat perkara:

Ridha pada realita, tanpa kontra dan menentang.


Menegakkan hak-hak ubudiyah itu melalui ibadah dan yang lainnya.
Lari dari tuntutan nafsu dan klaim-klaimnya, bahkan dari klaim manusia lainnya, dengan
semangat penuh hanya bagi Allah Tra’ala.

Menghadap pada Allah Ta’ala dengan bersimpuh hati kepadaNya dan mewujudkan apa yang ada
pada diri anda berupa rasa butuh dan sangat fakir kepadaNya.

Inilah yang tersirat dibalik ayat, berupa munajat Nabi Musa as, : ”Ya Tuhanku, sesungguhnya
aku sangat membutuhkan suatu kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku.” (Al-Qashash, 24).

Kadang Tidak Meminta Kadang Berdoa


“Terkadang Adab mengarahkan mereka untuk tidak meminta, semata karena mengandalkan pada
bagian yang sudah ditentukan, dan lebih menyibukkan dzikir kepada Allah Swt dibanding
memohon kepadaNya.”

DALAM Al-Qur’an ditegaskan, “Dia yang menciptaku maka Dialah yang memberi hidayah
kepadaku.” (QS. Asyu’ara’: 78). Ketika Nabi Ibrahim as, berada di tempat pelemparan, beliau
hanya berkata, “Cukuplah bagiku dibanding permintaanku, adalah pengetahuanNya tentangf
kondisiku.” Beliau tidak sama sekali memohon dan mengajukan sesuatu, namun merasa lebih
cukup dengan IlmuNya.

Ibnu Athaillah menggunakan kata “terkadang”, karena pada umumnya kaum arifin dan mereka
yang fana’ lebih banyak diam dan lebih menerima jalannya takdir, sehingga sedikit sekali
mereka memohon. Bagi mereka tidak ada kepentingan terhadap dirinya, karena tidak ada selain
Allah sebagai tempat tujuan. Dalam hadits Qudsi disebutkan: “Siapa yang lebih sibuk berdzikir
kepadaKu dibanding meminta kepadaKu, justru Aku beri ia lebih utama dibanding yang
Kuberikan kepada orang-orang yang meminta.”

Al-Wasityh menegaskan, “Apa yang berlaku di zaman Azali bagimu, lebih utama dibanding
melawan zaman, yakni mencari pemenuhan keinginan.”

Al-Qusyairy mengatakan, “Bila dalam hatinya ada isyarat untuk berdoa, ia akan berdoa.
Sebagaimana jika ia temukan upaya atau hamparan untuk doa, maka berdoa itu lebih utama.
Sebaliknya bila hatinya berada dalam cekaman, justru diam itu lebih utama”.

Sebab Allah lebih tahu atas apa yang tersembunyi dalam berbagai persoalan kita. Maka Ibnu
Athaillah melanjutkan:

“Sesungguhnya yang diingatkan itu adalah orang yang memiliki sifat alpa, dan yang digugah itu
adalah orang yang memiliki sifat lalai.”

Terkadang orang berdoa, seakan-akan mengingatkan kepada Allah Swt, agar peduli padanya,
agar ingat atas nasibnya, deritanya. Padahal Allah Swt tak pernah lalai, tak pernah lupa dan tak
pernah alpa. Dalam Al-Qur’an disebutkan “Allah tidak pernah lupa atas apa yang kalian
lakukan.” Dan firmanNya, “Bukankah Allah lebih Maha Mencukupi hambaNya?”
Allah Swt tidak butuh untuk diingatkan atau digugah. Karena itu siapa yang merasa mengatur
hal-hal yang sudah diatur oleh Allah Ta’ala, justru orang tersebut tergolong orang yang lalai.
Siapa yang sempurna yakinnya kepada Allah, ia merasa cukup dengan aturan kehendakNya,
puas dengan IlmuNya dibanding tuntutan dirinya. Rela dengan pengaturanNya dibanding
rencana dan rekayasanya. Orang yang sempurna itulah sebagaimana jejak Nabi Ibrahim as,
tersebut.

Oleh sebab itu, kalau mereka berdoa, tidak lebih sebagai wujud kehambaan (ubudiyah) demi
membuktikan rasa butuhnya yang harus dipertahankan selama-lamanya dihadapanNya. Karena
rasa butuh itulah wujud pesta raya bagi para penempuh jalan menuju kepadaNya. Dengan
munculnya rasa butuh, kepentingan nafsu jadi sirna, lebih senang dengan munculnya hati yang
hadir di hadapanNya.

Pesta Para Penempuh Jalan Sufi


Syeikh Ibnu ‘Athaillah As-Sakandary
”Datangnya kebutuhan yang mendesak, merupakan pestaraya para penempuh.”

AL-FAAQOH, adalah kebutuhan yang sangat mendesak, merupakan sifat substansial hamba.
Karena itu disebutkan oleh Ibnu Ath-Thaillah sebaik-baik waktu adalah waktu dimana anda
melihat wujud sifat butuh anda yang sangat mendesak itu. Sehingga anda melihat diri anda serba
salah dan serba gagal. Karena dengan rasa butuh yang mendesak itulah anda memutuskan dari
yang lain, dan mengembalikan diri anda kepada Allah azza wa-Jalla. Itulah sampai disebut
sebagai pestanya para penempuh dan Ahlullah.

Kenapa disebut sebagai pesta? Karena ia menikmati buah dari Musyahadah kepadaNya. Dalam
sebuah syair sufi disebutkan:

Esok hari raya, apa yang kau pakai?


Kukatakan, ”Hidangan seteguk cintaNya Fakir dan sabar adalah pakaianku Di bawahnya ada
qalbu yang memandang Rasa butuh yang mendesak, Sungguh hari raya dan pertemuan Pakaian
yang paling halus ketika engkau bertemu Sang kekasih di hari saling berziarah
Pada baju yang saling terpakai Tahun-tahun begitu lamban bagiku Bila engkau pergi wahai
harapanku Sedang pesta raya tiba jika dirimu Selalu tampak di cermin dan mendengarku.

Ibnu Athaillah melanjutkan:


”Terkadang anda meraih anugerah yang bertambah ketika dalam rasa butuh yang mendesak,
yang tidak anda jumpai ketika anda puasa dan sholat.”

Terkadang seseorang meraih anugerah luar biasa, berupa pengetahuan, ma’rifat dan hakikat,
justru ketika berada dalam kondisi sangat terdesak kebutuhannya, sebab ketika itulah sifat
ubudiyahnya muncul, sementara sifat klaim lewat-lewat pengakuan-pengakuannya mulai
menjauh. Nafsu, dalam situasi sangat butuh itulah begitu dekat dengan Allah Azza wa-Jalla dan
jauh dari kesombongannya.
Terkadang di bali sholat dan puasa sering muncul klaim dan pengakuan akan amalnya, dan
pengakuan itu bisa merusak pahalanya, disebabkan wujud riya’ dibalik klaim tadi. Namun rasa
butuh yang sangat mendesak membuat nafsu harus luluh di hadapan Tuhannya, ia ingin lebih
menjauhi hal-hal yang tak berguna. Bahkan dalam kitab Lathaiful Minan, Ibnu Athaillah
mengatakan:

”Dalam bencana dan situasi yang serba butuh ada rahasia kasih sayang yang tidak bisa
dimengerti kecuali oleh orang yang memiliki mata hati. Tidakkah anda tahu, bahwa bencana itu
mematikan hawa nafsu, meredakan dan mengeluarkan dari tuntutan seleranya, dan dibalik
bencana itu ada rasa hina dina yang muncul, sedangkan pada rasa hina itulah pertolongan tiba.

”Sungguh, Allah benar-benar menolongmu di saat perang Badar, sedangkan saat itu kalian
dalam keadaan hina dina.” (Ali Imran: 123)

”Rasa butuh itulah hamparan-hamparan bagi anugerah-anugerahNya.”

Abu Yazid al-Bizthamy Qs, mengatakan, “Kekayaan rahasia kami dipenuhi dengan khidmah,
bila anda menginginkan, maka anda harus berikap hina dina dan penuh rasa butuh kepadaNya.”

Syeikh Abdul Qadir al-Jilany menambahkan, “Aku mendatangi semua pintu Allah Azza wa-
Jalla, dan yang kudapati penuh sesak, namun ketika aku datangi Pintu hina dina dan rasa butuh,
rasanya begitu sunyi. Ketika aku masuki memalui pintu tersebut, tiba-tiba aku sudah berada di
paling depan mendahului kaum sufi dan aku tinggalkan mereka yang berdesak-desak memasuki
pintu-pintuNya yang lain.”

Namun rasa butuh yang mendesak itu, tidak ada gunanya bagi pelakunya, kecuali dengan
mewujudkan sikap kehambaan (ubudiyah). Dan hal tersebut berada dalam empat perkara:

Ridha pada realita, tanpa kontra dan menentang.


Menegakkan hak-hak ubudiyah itu melalui ibadah dan yang lainnya.
Lari dari tuntutan nafsu dan klaim-klaimnya, bahkan dari klaim manusia lainnya, dengan
semangat penuh hanya bagi Allah Tra’ala.

Menghadap pada Allah Ta’ala dengan bersimpuh hati kepadaNya dan mewujudkan apa yang ada
pada diri anda berupa rasa butuh dan sangat fakir kepadaNya.

Inilah yang tersirat dibalik ayat, berupa munajat Nabi Musa as, : ”Ya Tuhanku, sesungguhnya
aku sangat membutuhkan suatu kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku.” (Al-Qashash, 24).

Interaksi Ubudiyah Dan Rububiyah


Syeikh Ibnu ‘Athaillah As-Sakandary
”Bila anda ingin dilimpahi anugerah-anugerah, maka benarkanlah kefakiranmu dan rasa
butuhmu di hadapanNya. ”Sesungguhnya sedekah-sedekah itu hanya bagi orang-orang yang
fakir.” (At-Taubah 60)

APA yang dimaksud dengan meluruskan dan membenarkan kefakiran dan rasa butuh itu?
Maknanya adalah menguatkan keduanya dalam dirimu, hingga sampai pada tingkat rasa yang
kuat dalam seluruh waktu dan keadaan. Jika belum bisa, anda harus meyakini bahwa dua sifat
tersebut akajn selalu ada dalam eksistensi anda, karena secara esensial sifat fakir dan butuh itu
selalu ada padamu.

Menurut Syeikh Zarruq hal ini harus diwujudkan dengan:

Megukur bahwa diri anda sesungguhnya tiada.


Mewujudkan hal itu secara rinci dalam kondisi anda.
Bahwa dalam gerak atau diam, tetap saja ketiadaan anda menjadi bukti.

Selebihnya siapa yang benar kefakirannya maka ia berhak mendepatkan sedekah dari Allah Azza
wa-Jalla berupa anugerah-anugerahNya.

Syeikh Abul Hasan asy-Sayadzily ra, mengatakan, ”Cara membenarkan kehambaan kita adalah
melazimkan kefakiran, ketakberdayaan, hina dina dan rasa lemah, hanya bagi Allah Ta’ala. Dan
sebal;iknya adalah Sifat Ketuhanan, dan anda tidak berhak memakainya. Karena itu tetaplah
berpijak pada sifat kehambaan anda, dan bergantung pada sifat KetuhananNya.

Katakan dari hamparan rasa lemah yang hakiki, ”Wahai Yang Maha Kuat, kepada siapa lagi bagi
si lemah ini selain bergantung padaMu?”
Dan dari hamparan kefakiran yang hakiki, katakan, ”Wahai Yang Maha Kaya, kepada siapa lagi
bagi si fakir ini selain bergantung kepadaMu?”
Dan dari hamparan rasa tak berdaya yang hakiki, katakan, ”Wahai Yang Maha Kuasa kepada
siapa lagi bagi si tak berdaya ini, kalau tidak bergantung kepadaMu?”
Dari hamparan hinda dina yang hakiki, katakan, ”Wahai Yang Maha Mulia, kepada siapa lagi
bergantung bagi si hina ioni, kecuali kepadaMu?”
Maka anda akan meraih Ijabah sepanjang tanganmu menengadah, dan mohonlah pertolongan
kepada Allah dan bersabarlah, sesungguhnya Allah swt menyertai orang-orang yang sabar.”

Selanjutnya Ibnu Athaillah menegaskan: ”Wujudkan sifatmu, engkau akan dilimpahi dengan
sifat-sifatNya, dan wujudkanlah melalui rasa hina dinamu engkau dilimpahi KemuliaanNya,
wujudkan rasa tak berdayamu engkau dilimpahi dengan Kemampuan dariNya, wujudkan dengan
rasa lemahmu engkau dilimpahi daya dan kekuatanNya.”

Manusia sebagai hamba, harus terus menerus memelihara dan mewujudkankan kehambaannya.
Sifat fakir, hina, tak berdaya dan lemah harus terus menerus diwujudkan, dan itulah sebagai
hamparan bagi limpahan anugerah melalui Sifat-sifat RububiyahNya kepada kita.
Sehingga kita bisa mulia bersama Allah, Kaya bersamaNya, Mampu bersamaNya, Kuat
bersamaNya, bukan bersama dirimu, karena kalau bersama dirimu yang muncul adalah bentuk
kesombongan dan kecongkakan.

Keakuan anda harus dilipat dan seluruh sifat kehambaan adalah bentuk peleburan ego kita.
Egoisme dan keakuan itulah penghalang kehambaan, sehingga menghalangi pula ketergantungan
kita pada Sifat KetuhananNya.

Tujuan Karomah Adalah Istiqomah


Terkadang karomah diberikan kepada orang yang belum
sempurna kemandirian istiqomahnya.”
Banyak peristiwa luar biasa muncul pada diri seseorang, lalu
seseorang atau orang lain mengklaimnya itu adalah karomah.
Dan lebih dari itu, jika seseorang muncul keistemewaannya,
dianggap telah

sempurna perjalanan istiqomahnya.

Apa sebenarnya karomah itu? Apa pula istiqomah?

Karomah adalah peristiwa luar biasa yang dimunculkan oleh


Allah swt pada seorang hambaNya, tanpa menghilangkan keistiqomahannya. Munculnya tidak
didahului oleh sebab akibat (semacam amalan-amalan tertentu, dll) atau persiapan dari sang
hamba tadi.

Allah Swt menampakkannya karena ada sesuatu yang istemewa dari hambanya yang ahli tha’at
kepadaNya baik ia masih dalam awal penempuhan atau sudah sampai di akhir perjalanan
istiqomahnya.

Karomah itu hanya untuk menunjukkan kelebihan seseorang dari Allah Ta’ala, bukan
menunjukkan keparipuraan istiqomahnya. Karomah tidak menunjukkan seseorang meraih
maqom yang tinggi, kecuali jika orang tersebut memang sudah sempurna istiqomahnya.

Ukurannya adalah seseorang benar-benar serasi dalam mengikuti jejak kebenaran Ilahi lahir dan
batin menurut cara yang dibenarkan, tanpa motif tertentu. Berarti pula ia terus menerus bertaubat
tanpa berpoaling ke dosa, melakukan amaliyah tanpa sela, dan ikhlas tanpa berpaling dariNya,
serta yaqin tanpa keraguan, tawakkal tanpa beban, dan hanya berdisiplin terus menerus dalam
meraih wushul padaNya. Itulah karomah yang hakiki.

Syeikh Abul Hasan Asy-Syadzily Qs, mengatakan, “Ada dua karomah yang bepadu dan saling
meliputi: (1) Karomah Iman, dengan bertambahnya rasa yaqin dan musyahadah secara jelas. (2)
Karomah amal, dengan mengikuti jejak Sang Nabi saw, menghindari klaim-klaim dan
pengingkaran. Siapa yang dianugerahi dua hal itu, lalu masih mengalihkan perhatiannya pada
yang lain, ia adalah hamba yang berlebihan (kemoncolen, red) nan pendusta. Dirinya tertimpa
tipu daya, dan punya kesalahan dalam ilmu maupun amal yang benar. Sebagaimana orang yang
menghormati ketika melihat sang raja, disertai kerelaan jiwa, tiba-tiba ia berhasrat untuk
mengalihkan perhatiannya pada cara mengendarai kendaraan dan melepaskan kerelaan hatinya.”

Beliau mengatakan pula:


”Sebuah karomah yang tidak disertai oleh ridho kepada Allah Swt, maka pemilik karomah itu
tertipudaya, atau kurang akal, atau hancur berkeping-keping.”

Karena itu, kita jangan sering tertipu daya oleh karomah yang tidak disertai istiqomah yang
hakiki. Banyak khalayak menilai keistemewaan dan keluhuran derajat seseorang dari
keistemewaannya. Apalagi jika keistemewaannya itu direkayasa melalui industri media massa,
atau kepentingan-kepentingan publikasi, jelas adalah bentuk tipudaya sampah yang
membusukkan.

Masyarakat kita sering terjebak oleh keistemewaan yang tampak fenomenal, lalu diklaim sebagai
karomah. Padahal tujuan Allah memberikan karomah itu agar seseorang bisa istiqomah. Oleh
karena itu istiqomah, ditegaskan oleh para Sufi lebih utama dibanding beribu karomah. Karena
hakikat karomah adalah istiqomah itu sendiri.

Sukses Ruhani
Ibnu Ath-thailah Ass-Sakandari
”Diantara tanda-tanda peneguhan Allah Azza wa-Jalla kepadamu dalam suatu hal, adalah
peneguhanNya padamu di dalamnya disertai keberhasilan.”

Dalam soal ibadah kita butuh kemantapan dan peneguhan yang kokoh. Namun peneguhan itu
tetap datang dari Allah Azza wa-Jalla, dan karena itu kita perlu mengenal apakah posisi kita
sedang diberi keteguhan oleh Allah Azza wa-Jalla dalam suatu hal, khususnya ibadah, atau
amaliyah lainnya?

Tanda-tanda peneguhan itulah yang perlu kita cermati. Diantaranya adalah keberhasilan anda
dalam membuahkan konsistensi terhadap suatu perkara tersebut. Buah dari keteguhan dalam
menempuh Jalan Allah adalah akhlak dan adab yang mulia.

Syeikh Abul Hasan Asy-Syadzily ra, mengatakan, “Faidahnya karomah itu adalah pengenalan
rasa yaqin dari Allah Swt. melalui Ilmu, Qudrat dan IradatNya serta Sifat-sifat AzaliNya yang
terpadu, tidak sama sekali terpisah, dan perkara yang tidak sama sekali terpisah. Seakan-akan
satu sifat yang tunggal yang berdiri dengan Dzat Yang Satu, yang menjadi sama antara orang
yang mengenal Allah Swt. melalui NurNya, atau mengenal Allah Swt. melalui TindakanNya.”

 Buah dari karomah adalah Istiqomah dan yaqin.


 Buah dari syukur adalah bertambahnya nikmat, buah dari nikmat adalah bertambah
syukurnya.
 Buah dari sabar adalah ridho,
 Buah dari memandang anugerahNya adalah amal ibadah.
 Buah dari kesadaran dosa adalah taubat, dan taubat sesungguhnya buah dari
ampunanNya.
 Buah dari ma’rifat adalah terus memandangNya (musyahadah).
 Sedangkan buah musyahadah adalah tidak memandang kecuali hanya padaNya. Ia fana’,
lalu ma’rifat, lalu mahabbah, lalu berbuah untuk Baqa’ Billah Rahmatan lil’Alamin.
 Amaliyah mu’min sejati selalu membuahkan tiga hal: Amaliyah Islam, membuahkan
ibadah lahiriyah syar’iyyah, termaujud dalam taubat, taqwa dan istiqomahnya.
 Amaliyah Iman, membuahkan ubudiyah bathiniyah, penataan batin dan periasan akhlaq
batin yang indah, dan termaujud dalam sikap batin yang benar, ikhlas dan ketenangan.
 Amaliyah Ihsan, membuahkan ‘abudah rahasia batin, dalam maujud muroqobah,
musyahadah dan ma’rifatnya.

Antara Cahaya dan Wacana


”Siapapun yang mengungkapkan hamparan kebajikan dari dirinya, maka rasa buruk pada dirinya
di hadapan Tuhannya akan membungkamnya. Dan siapa yang mengungkapkan hamparan
kebajikan"

Allah Swt kepadanya, maka keburukan yang dilakukan tidak membuatnya terbungkam.”

Maksudnya, siapa yang memasuki hadirat Allah Swt, lalu masih memandang dirinya sendiri,
ketika akan mengungkapkan apa yang berlaku padanya pada khalayak, berupa karomah-karomah
dan yang lainnya, maka akan muncul panggilan dari alam hakikat: ”Hai! Anda menyebutkan
sejumlah karomah-karomah? Sedangkan anda tidak menyebutkan kehinaan anda?”.

Lalu orang ini akan berhenti, bahkan ia lari dari alam yang ia pandang, berganti gelisah dan
tercekam, berganti dengan ketersembunyian yang senyap, menutup diri, dan inilah kondisi yang
dialami oleh kaum yang berada di maqom zuhud, maqom ahli ibadah dan ahli wirid. Karena ia
belum meraih kema’rifatan yang hakiki, sehingga masih muncul keakuan dan ego.

Sedangkan orang yang memandang hamparan kebajikan itu dari Allah swt, mengamalkan apa
yang telah dilimpahkan padanya, kembali kepadaNya, dan segala hal yang dianugerahkan
olehNya, maka itulah saatnya ia mengungkapkan melalui bahasa lisannya, menjelaskan apa yang
dari Tuhannya. Ia tidak tercekam dan segan ketika mengungkapkan, tidak peduli apakah ia dipuji
maupun dihina. Bahkan ia tidak melihat dirinya, ia hanya memandang pengetahuan dari Allah
azza wa-Jalla yang tampak jelas di depan matanya. Demikian doijelaskan oleh Syeikh Zarruq
dalam syarah Al-Hikam.

Pengungkapan wacana kebenaran bisa dengan ungkapan haki8kat, namun belum tentu hakikat
itu dialami oleh yang mengungkapkan. Itulah kondisi dalam diri para Ulama, para pemula dan
penempuh. Namun ia tetap bisa memberikan makna faedah dan pengetahuan. Walau[pun ia
sendiri belum sampai pada hakikat itu.
Namun ada yang telah sampai ke wilayah hakikat dan kemandirian ruhani, itulah kondisi kaum
ahli ma’rifat yang telah meraih keparipurnaan, dan ia mampu memberikan kekuatan pengaruh
dalam jiwa ummat.

Inilah yang dikatakan oleh Ibnu Athaillah as-Sakandary selanjutnya:

”Cahaya para ahli hakikat telah mendahului ucapan-ucapannya, maka sejauhmana pencerahan
yang diterima, sejauh itu pula ungkapan muncul”

Hikmah-hikmah yang muncul dari ahli hakikat kartena telah didahului oleh limpahan Cahaya
dari Allah swt, bukan sebaliknya, yang dilakukan oleh para Ulama, beraksioma, berlogika baru
menjurus pada pencarian cahaya.

Kaum ’arifinh senantiasa merasukkan cahaya itu pada para pendengar hikmahnya, karena apa
yang berada dalam qalbu, akan menyambung dengan qalbu-qalbu pendengarnya.

Bila hubungan dari hati ke hati yang disampaikan oleh ahli hakikat tidak sampai pada hati
seseorang, maka hati orang itu pasti sedang tergelapkan, tersesatkan, seperti hati orang-orang
kafir dan munafiq, ketika disampaikan cahaya hakikat mereka menolak, bahkan menentangnya.
Hingga digambarkanb mereka ini sampai menutup telinganya dengan jari-jarinya ketika ada
kilatan-kilatan cahaya dari Allah Swt. Mereka menutup telinga hatinya.

Jari-jari dari tangan-tangan nafsunya bergerak untuk menutup diri dari hakikat-hakikat Ilahiyah.
Bisa karena gengsi dan harga diri, bisa karena takabur dan ta’jub pada diri sendiri, bisa karena
takut jika hakikat kebenaran itu merasuki hatinya, ia akan kehilangan kekuasaan, nama besar dan
simbol-simbolnya. Dan bahkan ia menutup telinga hatinya karena iri dan dengki. Na’udzubillah
min Dzaalik.

Tanda-tanda Kalam Yang Diizinkan Allah Swt


”Setiap wacana yang terucap, maka padanya ada pakaian qalbu, yang muncul dari qalbu
itu.”
Inilah tanda-tanda wacana yang didahului oleh pencerahan cahaya, sehingga memiliki pengaruh
dalam qalbu dan menggetarkan ruh, dan membangunkan rindu rahasia ruh.

Sehingga jika kalam itu didengar oleh orang yang alpa, ia langsung sadar. Ketika di dengar oleh
orang yang maksiat, ia langsung berhenti. Ketika didengar oleh orang yang ahli ibadah, semakin
bangkit semangatnya dan rindunya membumbung. Bahkan ketika didengar oleh orang yang
sedang berjalan, sirna kelelahannya. Sedangkan ketika di sengar oleh orang yang sudah wushul,
ia semakin kokoh kondisi ruhaninya.

Sebagian kaum arif menegaskan, ”Siapa yang qalbunya dilimpahi ruhani, maka kalamnya penuh
makna yang memancar dari hatinya memenuhi atmosfirnya yang begitu luas. Tetapi sebaliknya,
siapa yang bicaranya penuh dengan kepentingan nafsu, ucapannya hanyalah ucapan bibir belaka,
dan ia pun tidak bicara kecuali hanya dal;am nuansa empirik (lahiriyah inderawiyah), sama
sekali tidak ada kedalaman maknanya. Karena itu siapa yang yang hatinya terhijab dunia, ia tidak
mendengar dan tidak bisa didengar.”

Menurut Syeikh Ibnu Ajibah al-Hasany dalam syarah al-Hikam, manusia itu ada yang pandai
bicara tetapi bodoh hatinya; tandanya adalah lebih memprioritaskan bicara dunia dibanding
akhirat, atau bicara yang bersifat lahiriyah dibanding maknawiyah. Anda harus waspada dengan
model orang seperti ini, karena hatinya mati, dan semua ucapannya tak lebih dari mayat dan
bangkai.

Nabi Saw., bersabda, ”Dunia adalah bangkai, pemburunya hanyalah anjing-anjing.”

Syeikh Zarruq ra, mengatakan, manusia dibagi tiga dalam konteks ini: Orang yang bicara yang
didengar; orang yang bicara yang tertolak; orang yang bicara terpadu; yaitu yang petunjuk dan
wacananya memberi sariguna manfaat.

Pakaian qalbu yang memancarkan wacana adalah simpul dari Izin Allah Swt. Jika tidak ada
IzinNya, maka tidak ada pakaian qalbunya, seperti yang ditegaskan oleh Ibnu Athaillah
berikutnya:

“Siapa yang diizinkan (oleh Allah Swt.) untuk mengungkapkan wacana, maka ucapannya
difahami oleh telinga-hati orang lain, dan petunjukkanya begitu jelas di hati mereka.”

Tanda-tanda kalam seseorang yang mendapatkan izin dari Allah Swt., maka kalamnya diterima
dan difahami oleh qalbu. Begitulah Kalam para Nabi –semoga salam melimpah pada mereka–
tak seorang pun mengingkari dari segi substansinya, namun mereka ada yang mengingkari
esensinya, dengan kontra terhadap para Nabi.

Karena itu orang-orang musyrik dan kaum munafik terus menentangnya dengan berbagai kalimat
seperti: Inilah sihir yang nyata! Sihir yang berpengaruh! Sihir yang berjalan! dsb.

Syeikh Abul Abbas al-Mursy ra, mengatakan, ”Sang wali senantiasa dipenuhi pengetahuan, di
hadapannya ada hakikat-hakikat yang disaksikan, sehingga ketika mengungkapkan kalam,
seakan seperti langsung dari izin Allah Azza wa-Jalla padanya.”

Sebaliknya tanda kalam yang tidak mendapatkan izin, seperti yang dikatakan oleh Ibnu Athaillah
as-Sakandary:

”Kadang-kadang hakikat-hakikat itu tampak, namun redup cahayanya, karena itu menunjukkan
padamu bahwa hakikat itu tidak diizinkan untuk ditampakkan.”

Hakikat itu muncul dari ilham yang berkait dengan perkara kema’rifatan dari dalam hati, dan ada
gambaran dalam jiwa serta wacana yang keluar. Jika cahayanya sempurna maka akan tampak
dalam batin dan lahir. Sedangkan ungkapan itu muncul dari cahayanya, yang mempersaksikan
pada yang meraih hakikat untuk mewujudkan hakikat itu. Itulah kalam yang diizinkan untuk
diungkapkan, dilapisi cahaya dan petunjuk matahati.
Jika tidak demikian, maka yang tampak hanyalah kegelapan, seakan seperti matahari yang terbit
namun muncul dengan gerhanaya, sungguh tak bisa dilihat cahaya dan mataharinya.

Syeikh Abul Abbas al-Mursy ra, mengatakan, ”Kalam yang diizinkan akan mengeluarkan
kemanisan hati, keindahan dan pakaian elok. Sedangkan kalam yang tidak diizinkan untuk
keluar, adalah kalam yang tertedupkan cahayanya, hingga dua orang yang sedang bicara yang
bicara dengan benar terhadap satu hal, yang satu menerima yang satu menolak.”

Fungsi Wacana Para Sufi


“Wacana mereka kadang karena limpahan anugerah hakikat, atau karena untuk memberi
petunjuk bagi para penempuh. Yang pertama, adalah perilaku jiwa para penempuh, dan yang
kedua adalah kondisi

jiwa orang yang meraih kemandirian dan hakikat.”

Hakikat-hakikat yang tiba pada sang penempuh (salik) haruslah dirahasiakan, karena
dikawatirkan hakikat itu bertebaran, sebab hakikat itu rahasia Allah Azza wa-Jalla. Hakikat itu
turun pada penempuh semata hanya untuk mewujudkan kekokohan ruhaninya (dalam pendidikan
Ilahiyah), bukan untuk disebarkan. Hal demikian agar si murid dan salik benar-benar lepas dari
perubahan-perubahan yang membuat hatinya ruwet.

Dalam syarah Al-Hikam, Syeikh Zarruq menegaskan, bahwa hal demikian, disebabkan sang
murid masih terus menempuh berbagai ahwal (perilaku ruhani), dan ia memang belum meraih
kekokohan sehingga memang tidak layak untuk menjadi panutan. Ia masih harus sibuk dengan
dirinya, dengan hatinya, dengan pendidikan jiwanya, agar tetap tawajjuh (konsentrasi
menghadap padaNya), sehingga belum bisa memberikan arahan pada yang lainnya.

Sedangkan bagi mereka yang sudah kokoh hakikatnya, justru bisa mengendalikan hakikat dan
kondisi ruhaninya, sudah tuntas pendidikan jiwanya, sehingga ia bisa memberikan arahan dan
petunjuk pada yang lainnya. Bisa bernilai sunnah ketika memberi petunjuk, dan bisa bernilai
wajib. Tidak wajib, kecuali karena adanya perintah dariNya.

Mereka yang sudah Mutamakkin (Mandiri Hakikatnya) dalam kema’rifatan tentu tidak pernah
terpengaruh oleh berbagai peristiwa, semata karena kemandirikan hakikat dalam hati, ruh dan
sirr-nya. Lalu dalam proses memberikan arahan petunjuk hendaknya ia menjaga wacana atau
ungkapan menurut hak dirinya atau sebagai pihak yang bicara, serta menjaga hak umumnya ahli
thariqah dan yang lain menurut kapasitasnya.

Hak dirinya, adalah ia tidak mengungkapkannya kecuali atas apa yang telah kokoh hakikatnya
pada dirinya.

Sedangkan hak sebagai penyampai, ia menyampaikannya menurut kadar situasi kondisi jiwa,
rasa, pemahaman, dan pengetahuannya, tanpa harus membuat uraian melebar atau menyempit,
agar benar-benar bermanfaat. Karena bisa saja uraian yang melebar atau menyempit malah sia-
sia.
Untuk haknya bagi yang lain, hendaknya ia mengungkapkan menurut kapasitas kemampuan
publik menerimanya, jangan sampai hal-hal spesifik disampaikan ke publik yang membuat salah
faham yang menimbulkan kontradiktif.

Selanjutnya Ibnu Athaillah as-Sakandary menegaskan:

“Wacana-wacana itu adalah konsumsi bagi kebutuhan keluarga para penyimak, jadi tidak ada
bagimu melainkan anda sendiri telah menjadi pengkonsumsi.”

Para penyimak hakikat ibarat para pengkonsumsi, yang menjadi keluarga orang yang
menyampaikannya. Wacana itu adalah konsumsi mereka, agar makna-makna menguatkan
jiwanya, sebagaimana konsumsi itu menguatkan badannya.

Karena itu bagi penyampai wacana hakikat, haruslah mengenal karakteristik yang berbeda-beda
dari keluarganya, tentu mengharuskannya untuk menjaga, mendidik, sehingga hatinya mereka
kenyang dan akal mereka sehat, jauh dari bahaya baik saat ini maupun masa depan. Karena itu
wacana tidak boleh berbelit-belit dan sangat sulit difahami.

Orang yang bicara dan menyampaikan wacana hakikat haruslah ia sendiri telah
mengkonsumsinya, jangan sampai ia belum pernah merasakannya lalu memberikan pada yang
lainnya.

Yang disampaikan tentu yang juga layak untuk anda konsumsi, jangan sampai menyampaikan
konsumsi yang sesungguhnya bagi anda sendiri masih asing.

Jangan sampai menyampaikannya kecuali yang pernah anda simak dan berpengaruh dalam
hatimu, bukan yang berpengaruh pada orang lain.

Inilah yang disampaikan oleh Ibnu Athaillah as-Sakandary dalam kitab Lathaiful Minan:

Bahwa mengikuti sang guru, adalah guru yang menujukkanmu pada Allah Swt, dan
mempersaksikanmu apa yang dititipkan berupa keistemewaan di hadapanNya.

Syeikhmu bukanlah orang yang anda mendegarkan darinya, tetapi syeikhmu adalah orang yang
anda meraih anugerah darinya.
Syeikhmu bukanlah yang menghadirkan wacana padamu, tetapi syeikhmu adalah yang yang
mencerahkan batinmu.
Syeikhmu bukanlah yang mengajakmu ke pintuNya, tetapi syeikhmu adalah yang membukakan
hijab antara dirimu dengan Dirinya.
Syeikhmu bukanlah yang menjelaskan melalui ucapannya padamu, tetapi syeikhmu adalah yang
kondisi ruhaninya membangkitkan jiwamu.
Syeikhmu adalah yang mengeluarkan dirimu dari penjara hawa nafsu dan memasukkan dirimu di
hadapan Sang Maula (Tuhan).
Syeikhmu yang senantiasa menggosok cermin hatimu sehingga menjadi jelas pantulan cahaya
Tuhanmu.
Syeikhmu yang membangkitkanmu menuju Allah lalu engkau bangkit padaNya, dan berjalan
bersamamu hingga sampai kepadaNya. Dan terus membimbing langkahmu sampai engkau
berada di hadapanNya, maka cemerlanglah dirimu di HadiratNya, dan sang Syeikh mengatakan,
“Inilah dirimu dan Tuhanmu.”

Syeikh Abu Madyan ra, mengatakan:


Syaikh, adalah yang menghadirkan dirimu di hadapanNya dan bagaimana mengagungkanNya.
Syeikh adalah yang membersihkan akhlak dan adabmu melalui jalan-jalannya, dan mencerahkan
batinmu melalui pencerahannya.
Syeikh adalah yang memadukanmu saat ia hadir, dan menjagamu saat ia pergi.

Sudah Wushul, Belum ?


“Terkadang, ada seseorang mengambil berkah kemuliaan dengan mengungkapkan tahapan
ruhani (maqam), juga ada juga orang yang sudah wushul , mengungkapkan tentang maqam itu.
Hal demikian sulit dibedakan, kecuali oleh orang yang memiliki matahati yang terang.”

Ini menunjukkan bahwa tidak setiap orang yang mampu mengungkapkan maqam-maqam dunia
sufi itu, berarti ia telah meraih maqam tersebut, atau telah wushul pada Allah Swt (orang yang
dibukakan ma’rifatullah) atau telah meraih hakikat. Belum tentu. Namun ia hanya mengambil
berkah kemuliaan maqam itu, dengan cara mengungkapkannya.

Namun memang ada juga yang mengungkapkan wacana maqomat itu, memang karena ia sendiri
telah wushul pada Allah Swt. Untuk mengetahuinya, sangat sulit, karena serupa. Kecuali orang
yang memiliki matahati yang terang, yang bisa membedakannya.

Namun tanda-tanda orang yang mengungkapkan maqam tersebut, jika belum meraih wushul,
menurut Syeikh Zarruq ra, ada tiga:

1. Ketika mengungkapkan maqomat itu tampak semangat dengan rasa gembira.


2. Ketika menyatakannya tampak sempit maknanya, yang sesungguhnya begitu luas.
3. Ia tampak mencari-cari faktor lain untuk meraih maqomat itu.

Oleh sebab itu, bagi para pemula (salik), seharusnya ia menahan diri untuk mengungkapkan
maqamat tertentu, karena bisa berbahaya bagi dirinya sendiri.

Karena itu Ibnu Athaillah melanjutkan:

“Bagi sang salik (penempuh) tidak seyogyanya mengungkapkan anugerah-anugerah ruhaninya


(warid), sebab hal demikian membuat amal hatinya semakin sempit, dan bisa menghalangi
kebenaran kebersamanya dengan Allah Swt.”

Seorang murid (penempuh) seharusnya merahasiakan ilmu, amal, dan kondisi ruhaninya ketika
meraih anugerah, sebab ketika mengungkapkannya malah jadi membuat ikhlasnya berkurang,
sementara ketika menyatakan pengalaman ruhaninya, menujukkan betapa ia belum benar
bersama Tuhannya.
Banyak dampak negatif ketika seseorang mengungkapkan pengalaman batinnya kepada orang
lain, kecuali dalam rangka untuk pendidikan dirinya, agar ia tidak terjebak dalam khayalannya
sendiri. Diantara dampak itu antara lain:

 Seseorang bisa bangga dengan anugerah batinnya, yang bisa menimbulkan takjub dan
riya’.
 Ia malah terjebak untuk mengandalkan amal ruhaninya, bukan mengandalkan Allah Swt.
 Ia akan terjerumus ghurur (tipudaya) karena merasa dirinya telah sampai pada tujuan
hakikat, padahal baru sampai gerbangnya.
 Ia menjadi takabur, karena merasa lebih hebat dibanding yang lain.
 Perjalanan ruhaninya mandheg (terhenti) dan akhirnya jadi pengkhayal dan pelamun

Anda mungkin juga menyukai