Anda di halaman 1dari 301

Waliyyan Mursida - 4



Written by Administrator

Sang Guru (seperjalanan)…

Pilihan untuk menjadikan Allah sebagai waliyyan mursida sangat tergantung kepada
afirmasi macam apa yang telah dan yang akan kita benamkan ke dalam otak kita tentang
Allah, dan itupun sama sekali tidak dipermasalahkan Allah. “Tidak…, itu terserah kau saja”,
kata Allah.. Karena Allah memang begitu solider dengan apapun persangkaan kita terhadap
Diri-Nya. “Aku ini sebagaimana persangkaan hamba-Ku kepada-Ku”, tegas Allah. Namun
begitu, semua akibatnya tetaplah kita sendiri yang akan menanggungnya. Sebab semakin
menjauh kita dari Allah, ternyata kita pun akan menjadi semakin rumit pula. Pikiran kita
jadi rumit, konsep dan persepsi kita jadi rumit, laku kita jadi rumit. Ya…, hidup kita jadi
serba rumit di tengah-tengah lautan kesederhanaan, sehingga kita kesulitan sendiri
menjalananinya.

Kalau kerumitan dan kesulitan itu yang kita ambil dan jalani, maka itupun ternyata tidak
berhenti hanya sampai di diri kita sendiri saja. Itu akan kita wariskan pula kepada orang
lain di sekitar kita, paling tidak kepada anak dan keluarga kita. Kalau sudah begini, maka
jadilah kita ini bertindak sebagai seorang penerus rantai kerumitan dan kesulitan umat dari
generasi ke generasi. Padahal Rasulullah telah bersusah payah untuk memutus rantai
kerumitan dari generasi sebelum Beliau menjadi sebuah rantai kesederhanaan. Namun
ternyata tidak banyak generasi penerus Beliau yang bersedia untuk menyambung rantai
kesederhanaan itu untuk dinikmati oleh generasi-generasi berikutnya. Entah kenapa…?.
Mungkinkah itu karena kita memang suka dengan kerumitan…?. Entahlah…”

Kalaupun ada peran manusia lain dalam upaya kita menghadap ALLAH, itu adalah dalam hal
menunjukkan kita tentang arah kesadaran kita agar TEPAT, LURUS, HANIEF, menuju
ALLAH. Beliau hanya menunjukkan kita agar kita tidak tersasar-sasar lagi ke wajah lain
selain Wajah Allah. Itu saja sebenarnya. Jadi fungsinya lebih kepada penunjuk arah saja.
Guru seperjalanan…!. Dan siapa pun serta dimana pun dia berada, bisa saja berperan
menjadi guru seperjalanan ini dengan syarat yang sangat sederhana, yaitu bahwa dia sudah
lebih duluan duduk berduaan dengan Allah.

Guru seperjalanan itu cukup hanya berkata: “Tuh Allah…!”, lalu setelah itu Beliau tinggalkan
kita berduaan saja dengan Allah. Ya…, kita tinggal hanya berduaan saja dengan Allah.
Sehingga kita tinggal berkomunikasi dan berdialog saja lagi dengan Allah. Karena Dia
adalah Sang Waliyyan Mursyida (Sang Pemimpin yang memberi petunjuk), maka kita
tinggal minta diajari saja oleh Dia tentang hal-hal yang tidak kita ketahui. Kita tinggal minta
dibersihkan saja oleh-Nya dari segala dosa dan kekotoran kita. Dan memang disisi Tuhan
inilah rumah kita yang sebenarnya…

Di rumah kita inilah Dia akan mengalirkan semua petunjuk-Nya kepada kita sesuai dengan
kebutuhan kita. Kitapun hanya tinggal menerima petunjuk-Nya saja dengan terheran-
heran…, Aha…, Oooo…, Yes…

Lalu kita tinggal tersenyum saja lagi kepada Sang Waliyyan Mursyida, Allah, dan dengan
sangat mengherankan, seketika itu pula Dia pun membalas senyuman kita. Ah…, ada
kegembiraan yang amat sangat mengalir bersama derasnya aliran air mata kita. Ya…, kita
tersenyum, kita riang dan gembira, tapi anehnya semuanya itu bersamaan pula dengan
turunnya kucuran air mata kita. Setiap kata dan kalimat kita keluar dalam suasana
kegembiraan. Setiap keluar masuknya aliran nafas kita adalah kegembiraan pula. Setiap
pendengaran kita adalah kegembiraan. Setiap penglihatan kita adalah kegembiraan. Semua
adalah kegembiraan. Gembira tapi menagis. Menangis tapi tertawa…Ah…, entah suasana
apa ini namanya…. Entahlah…

Selanjutnya kita tinggal tersenyum pula kepada alam. Kita sapa langit dengan senyuman,
kita sapa bumi dengan senyuman, kita sapa tumbuhan dengan senyuman. Kita sapa teman,
keluarga, anak istri, suami, ibu, dan bapak kita dengan senyuman pula. Kita sapa jantung
kita, paru-paru kita, otak kita, tubuh dengan senyuman pula. Senyuman kepada semua.
Dan tentu saja kepada Guru seperjalanan kita…!. Semuanya kita lakukan dari sisi Tuhan,
dihadapan Tuhan. Tak lupa kita pohonkan pula shalawat dan salam untuk Baginda
Rasulullah Muhammad, beserta keluarga Beliau. Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa ‘ala
ali Muhammad. Sehingga Beliau semua pun tersenyum pula….

Dan Sang Guru pun dengan tersenyum pula, melangkah menuju rumahnya sendiri, rumah
ketiadaan…

Akhirnya tiada lagi yang pantas kita lakukan selain dari memuji Sang Waliyyan Mursyida,
Allah, dengan merendah-rendah…

Subhanallah…, Alhamdulillah…, Laa ilaha illallah…, Allahu Akbar…

Wallahu a’lam

Wass

Deka

Jl. Kabel no 16, Cilegon,

03 Maret 2007
Waliyyan Mursida - 3


Written by Administrator

Nah sekarang mari kita lihat dasar ayat yang dipakai oleh orang-orang yang meyakini
adanya fungsi kemursyidan tersebut di dalam proses berhakikat dan berma’rifat, yaitu:

Penggal-1: “Dan kamu akan melihat matahari ketika terbit, condong dari gua mereka ke sebelah kanan,
dan bila matahari itu terbenam menjauhi mereka ke sebelah kiri sedang mereka berada dalam tempat
yang luas dalam gua itu. Itu adalah sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Allah.

Penggal-2: Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendapat
petunjuk; dan barangsiapa yang disesatkan-Nya, maka kamu tak akan mendapatkan
seorang pemimpinpun yang dapat memberi petunjuk kepadanya. (al Kahfi 18: 17)

Penggal pertama ayat diatas merupakan sebuah ungkapan yang menjelaskan atribut dan
karakter Allah, seperti juga di dalam ayat-ayat lainnya yang bercerita tentang profile Tuhan,
misalnya:

 Allah yang hebat, yang sekaligus mendudukkan kita sebagai substansi yang bodoh,
 Allah yang kaya, yang akan menyadarkan kita bahwa kita adalah yang miskin,
 Allah sang penerang, kita adalah yang gelap, (minazzulamati ilan nur),
 Dia adalah sumber dari segala sumber: sumber hidup, sumber ilmu, sumber
pengetahuan, sumber penerangan (pencerahan), sumber ketenangan, sumber inspirasi,
sumber untuk mendapatkan sesuatu, sumber pembersihan jiwa,
 Dan profile keluarbiasaan Tuhan lainnya yang salah satu tanda-Nya adalah perilaku
matahari.

Cuma saja dalam banyak kajian , ataupun terjemahan yang diberikan terhadap makna
“ayatillah”di atasseringkali terkesan masih ragu-ragu kalau tidak mau dikatakan takut.
Bahwa apapun juga yang diterangkan Allah tentang kehebatan-Nya, semua itu masih saja
menyadarkan kita hanya sebatas tanda-tanda (KEBESARAN dan KEHEBATAN) Allah saja.
Jarang sekali kita dibawa untuk terpaku kagum melihat “Wajah” Allah. Ya…, entah kenapa
sebagian besar kita agak takut untuk mengatakan secara langsung bahwa semuanya itu
adalah TANDA-TANDA ALLAH. Sehingga kita tinggal sujud dan menyungkur saja dihadapan
Allah, bukan dihadapan sifat-Nya, bukan dihadapan kebesaran-Nya, bukan dihadapan
PROFILE-NYA. Entah kenapa ada ketakutan itu…

Penggal kedua dari surat Al Kahfi ayat 17 ini menarik sekali sebenarnya. Disitu disebutkan
bahwa Allah adalah pemegang otoritas untuk memberi hidayah atau petunjuk bagi
umat manusia. Jadi…, barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang
mendapat petunjuk. Karena memang Dialah Sang Pemberi Petunjuk, AL HADI. Akan tetapi
tatkala Allah berkehendak untuk menyesatkan seseorang, maka tidak ada seorang pun
yang akan bisa menggantikan peran dan otoritas Tuhan sebagai WALIYYAN
MURSYIDA (pemimpin yang dapat memberi petunjuk).Tidak seorang pun…!.

Artinya apa…, bahwa PROFILE untuk WALIYYAN MURSYIDA ini mau tidak mau haruslah
melekat kepada ALLAH sendiri. Tidak bisa tidak…!.

Tapi entah kenapa…, sejak berbilang zaman berlalu, peran Allah sebagai Waliyyan
Mursyida ini sudah melenceng jauh. ! Peran Allah itu dengan sengaja telah diganti orang
secara kolektif men jadi peran seorang manusia. Ya…, manusialah kemudian yang dianggap
mampu untuk menggantikan peran Allah sebagai Waliyyan Mursyid, guru mursyid. Berani
benar kita ini memang, sehingga Allah pun lalu menjadikan kita menjadi orang-orang
sangat tergantung kepada orang lain sebagai perantara kita dengan Allah. Kita menjadi
tidak PeDe tatkala kita berhadapan dengan Allah. Kita menyangka bahwa keyakinan kepada
Allah itu sulit untuk kita dapatkan secara sendiri-sendiri.

Padahal dalam menuju Allah itu ternyata TIDAK perlu pakai metoda-metoda yang khusus
dan sulit, atau melalui tafsiran-tafsiran yang rumit. Menghadap Allah tidak perlu seperti
orang yang berada di bisnis multi lever marketing. Kita tidak butuh adanya up
line atau down line. Menghadap Tuhan itu juga tidak perlu seperti kita melamar pekerjaan.
Dalam melamar pekerjaan mungkin kita masih memerlukan rekomendasi dari orang-orang
penting, atau juga ditanya tentang pengalaman kerja kita. Akan tetapi untuk menghadap
Tuhan, kita hanya diminta datang menghadap kepada-Nya, walaupun saat itu kita penuh
dengan kekotoran. Ya…, dengan kekotoran kita, menghadaplah kepada Tuhan. Dalam
menghadap Tuhan, kita tidak perlu adanya avatar-avatar (perantara-perantara, wasilah),
malah kita tidak perlu bersih-bersih diri dulu dari dosa atau kesalahan kita. Menuju Tuhan
itu tidak perlu membawa-bawa pengalaman baik kita selama ini. Menuju Tuhan itu tidak
usah begini dan begitu. Karena Allah itu adalah sumber dari segala sumber, Rabbul
‘Alamin…

Karena Dia adalah Rabbul ‘Alamin, maka:

Tuhan itu bukan hanya Tuhan bagi orang-orang yang beriman saja,

Tuhan itu bukan hanya Tuhan bagi orang-orang yang rajin ke masjid saja,

Tuhan itu bukan hanya Tuhan bagi orang-orang yang baik-baik saja,

Tuhan itu bukan hanya Tuhan bagi orang "beragama Islam" saja,

Akan tetapi:

Tuhan itu adalah juga Tuhan-nya pelacur,

Tuhan itu adalah jug! a Tuhan-nya orang brengsek,

Tuhan itu adalah juga Tuhan-nya orang orang geblek,

Tuhan itu adalah juga Tuhan-nya orang orang bingung,

Tuhan itu adalah juga Tuhan-nya orang orang stres.

Tuhan itu adalah juga Tuhan-nya orang yang tersesat,

Tuhan itu adalah juga Tuhan-nya orang Kristen,


Tuhan itu adalah juga Tuhan-nya orang Hindu,

Tuhan itu adalah juga Tuhan-nya orang Budha,

Tuhan itu adalah juga Tuhan-nya semua manusia…

Jadi wahai orang stress datanglah kepada Tuhan. Hai pelacur..., hai orang geblek..., hai
orang tersesat..., hai orang bingung... datanglah kepada Tuhan. Begitu juga, wahai orang
Kristen, Hindu, Budha, dan wahai semua manusia, datanglah dengan lurus kepada Tuhan
secara sendiri-sendiri…, sebagaimana ! kamu dilahirkan pada awalnya.

“… Dan (katakanlah): "Luruskanlah mukamu di setiap shalat dan sembahlah Allah dengan
mengikhlaskan keta`atanmu kepada-Nya. Sebagaimana Dia telah menciptakan kamu pada
permulaan (demikian pulalah) kamu akan kembali kepadaNya". (Al A’Raaf 29)

Karena dengan konsep sesederhana ini, maka sebenarnya kita tidak perlu lagi minta-minta
tolong kepada orang lain untuk menghadap Allah. Kita tidak perlu lagi peran-peran
perantara sebelum kita bisa menghadap Wajah Allah. Bahkan kita tidak perlu pula
melakukan bersih-bersih hati (tadzkiyatunnaf) terlebih dahulu sebelum menghadap Tuhan.
Walaupun dengan sebelah kaki dan terseok-seok pula, kita datanglah kepada Allah
mengadukan kegelapan hati kita, mengadukan kebrengsekan kita, mengeluhkan
kebingunan kita, agar supaya Allah mencerahkan kita (diberi-Nya Nur), agar kebingungan,
agar kedurhakaan kita DIBALIK oleh Allah seperti Allah membalik ketidakberdayaan Yusuf
menjadi kekuatan yang dahsyat saat menghadapi gejolak nafs (diri) nya ketika Yusuf
sedang berhadapan dengan godaan penuh syahwat Siti Zulaiha. Pertolongan Allah-lah yang
telah melepaskan Yusuf dari cengkraman gejolak syahwat perempuan itu. Karena memang
Allahlah Sang Waliyyan Mursyida.

Jadi…, ketika kita panik, ketika kita stress, kita hanya berucap sederhana lembut (tadarru):
“Ya Allah terangi saya, wahai Tuhan terangi saya, wahai Tuhan terangi saya…”, lalu kita
diam menunggu jiwa atau dada kita diterangi oleh Allah. Sebagai barometernya, dapat kita
ukur dengan apakah ada pencerahan Tuhan itu datang kepada kita, adakah pencerahan itu
merasuk kedalam dada kita. adakah enlightmen yang muncul sehingga kondisi gelap
(zulumat) di dada kita berubah menjadi terang benderang (nur). Karena Dia-lah yang
menurunkan sakinah (ketenangan) ke dalam hati orang mukmin. Kita hanya diam.
Kita yang tidak sakinah datang menghadap kepada SUMBER sakinah sehingga kita dialiri
oleh sakinah itu, mendesir merasuki ruang dada kita, sehingga seketika itu pula kita
menjadi sakinah.

Oleh sebab itu, menghadap Tuhan itu bukanlah sebuah metodologi, bukan sebuah teori
yang sulit, tapi kita cukup dengan: “Tuhan aku ini kotor, Tuhan aku stres, Tuhan aku minta
dicerahkan….!”, seperti Nabi Yusuf menghadap Tuhan saat Beliau di kamar berduaan
dengan Siti Zulaiha. Dan Beliau pun saat itu telah berada pula dalam pengaruh gejolak
seksual yang dahsyat sehingga nyaris saja perzinahan itu terjadi, kalaulah tidak
ada burhan, pencerahan dari Tuhan yang mencegahnya. Pencerahan itu menjadikan
keadaan Nabi Yusuf dibalik dengan seketika (li nashrif) dari suasana TIDAK SADAR menjadi
SADAR akan kekeliruannya.

Lalu masihkah kita mau mengambil seorang manusia menjadi sosok waliyyan mursyida…??.
Aahh…, itu terpulang kepada kita saja sebenarnya…

Bersambung
Deka

Waliyyan Mursida - 2


Written by Administrator

Dengan konsep seperti ini, maka orang yang belum pernah mengakui seseorang yang
dianggap mursyid oleh banyak orang sebagai mursyidnya pula, dia divonis tidak akan
pernah bisa berdekatan dengan Tuhan. Dia akan berada di luar sambungan rantai emas
ruhani sekumpulan orang yang meyakini dirinya adalah orang yang dekat dengan Tuhan.
Artinya kalau orang yang tidak pernah bertemu dengan seorang guru mursyid dan
menyambungkan ruhaninya dengan sang guru mursyid, maka jadilah dia orang yang jauh
dari Tuhan. Amalan dia dianggap tidak akan pernah sampai kepada
tingkatan hakikat, apalagi ma’rifat. Dia, sebagai seorang beragama, dianggap hanyalah
sampai pada tingkatansyariat saja.Untuk orang-orang yang dianggap sebagai guru suci,
avatar, syekh, dan sebagainya, hal yang NYARIS sama juga berlaku. Mereka dianggap
sebagai perantara bagi pengikutnya untuk mengenal dan berhubungan dengan sesuatu
yang dianggap sebagai Tuhan.

Guru suci seringkali dianggap sebagai sosok yang keberadaanya merahmati alam semesta
ini. Tanpa dia, maka Tuhan tidak akan menurunkan rahmat-Nya kepada alam semesta ini.
Beberapa konsep penganut Syi’ah dalam memulyakan, Imam ke 12 mereka, Imam Mahdi
yang diyakini oleh penganutnya sedang Ghaibah Kubra sungguh luar biasa. Makanya
muncul pemulyaan Imam Mahdi yang kadangkala kelihatan sangat berlebihan, misalnya
seperti kutipan berikut:

“Nabi SAW ditanya, … ”… dapat mendapatkan faedah darinya, dan dari cahaya wilayahnya.
Sebagaimana matahari, dimana mereka juga dapat mengambil faedah dari matahari yang
tersembunyi di balik awan”.

“ … Pada masa ghaibah, beliau ada dan hidup di sekitar kita seperti orang kebanyakan.
Namun kita tidak bisa melihatnya. Ia bersama kita, tapi kita lupa kepadanya, dan anugerah
wujud beliau memiliki dampak penuh berkah dan berharga sekali”.

“Berdasarkan riwayat-riwayat yang dinukil dari para imam disebutkan bahwa Imam
merupakan inti alam eksisitensi, poin terpenting alam keberadaan, yang tanpa
keberadaannya langit dan bumi akan hancur. Imam Shaadiq as berkata, ”Jika bumi tak
memiliki seorang imam, niscaya ia akan hancur dan sirna”.

“Diriwayatkan dari Imam Ali Zainal Abidin, ”Dalam naungan wujud kita, Allah tegakkan
langit, dan hanya dengan izin-Nya ia kekal. Dalam naung! an wujud kita, Allah menjaga
bumi dari goncangan dan hilangnya ketenangan para penghuninya. Berkat kita, Allah
menurunkan hujan, menyebarkan rahmat-Nya, dan berkah serta nikmat alam Ia keluarkan,
dan jika pribadi seperti kami tidak ada di muka bumi, pastilah bumi akan menelan
penghuninya”.

“Begitu juga pada masa ghaibah, banyak pribadi-pribadi yang kendati tak terkenal yang
telah dikabulkan berbagai hajatnya, baik material maupun spiritual berkat Imam Mahdi as”.

“Ditambah lagi, wujud Imam sendiri menyebabkan harapan manusia dan motor penggerak
untuk melangkahkan kaki dalam proses penyucian jiwa, dan sebagai persiapan untuk
menyambut kemunculan beliau”.
“Rahasia utama keghaiban Imam adalah untuk menjaga nyawa beliau dari bahaya para
zalim. Hikmah yang lain adalah untuk menguji kekokohan para pengikut beliau dalam
memegang Aqidah dan keyakinan mereka”.

“Imam adalah inti dan jantung dunia wujud. Tanpa keberadaannya, dunia akan hancur dan
sirna. Oleh karena itu, keberadaan imam kendati ghaib adalah lazim dan merupakan
sebuah keharusan. Sebagaimana manusia dapat mengambil manfaat dari matahari yang
bersembunyi di balik awan, begitu juga manusia dapat merasakan anugrah wujud ghaib
beliau. Di samping itu, pada masa ghaib tidak sedikit orang yang memiliki kebutuhan dan
hajat yang terlaksana berkat uluran tangan dari wujud Imam as. Begitu juga wujud Imam
merupakan penyebab tumbuhnya harapan manusia, sekaligus faktor penting dalam
mensupport manusia dalam pembersihan jiwa dan persiapan untuk kemunculan beliau as”.

Nah lhooo…

Padahal didalam Al Qur’an ! diterangkan bahwa: HANYA Allah-lah yang memberikan sakinah
(ketenangan) dan rahmat bagi manusia, bahkan Nabi sendiri pun juga hanya sebagai
penerima sakinah dan rahmat Allah seperti diterangkan dalam beberapa ayat berikut:

Dia-lah yang telah menurunkan ketenangan (sakinah) ke dalam hati orang-orang mu'min…
(Al Fath 4)”.

“… lalu Allah menurunkan ketenangan kepada Rasul-Nya, dan kepada orang-orang mu'min…
(Al Fath 26)”.

Lalu entah dimana WUJUD dan PERAN TUHAN sendiri hendak diletakkan dalam konsep
Imam Mahdi diatas… ???.

Begitu juga dalam agama-agama lain yang meyakini adanya fungsi seorang atau lebih
AVATAR, PERANTARA ketika penganutnya! hendak berhubungan, menyembah,
menghormati Tuhan. Penyebab utamanya adalah karena ketidakmampuan penganutnya
sendiri secara umum untuk meyakini Tuhan ketika mereka akan berhubungan dengan
Tuhan. Hanya orang-orang tertentu sajalah yang mempunyai otoritas untuk
melaksanakannya. Sang Mursyid. Dan Sang Mursyid pemilik otoritas itupun lalu dicari orang
dengan bersusah payah. Apalagi telah ditularkan pula dari mulut kemulut ataupun melalui
tulisan-tulisan bahwa mencari guru mursyid itu sangatlah sulit, beliau beradanya di tempat-
tempat yang terpencil dan susah untuk dijangkau, tidak ada satu orang pun yang bisa
memaksa beliau untuk menerima seseorang sebagai saliknya apabila beliau tidak berkenan
menerimanya (karena konon kabarnya beliau punya mata batin yang tajam), dan
anggapan-anggapan pensucian lainnya.

Begitulah sekelumit kepahaman saya tentang beberapa konsep mengenai mursyid. Wallahu
a’lam.

Bersambung

Deka

WALIYYAN MURSYIDA


Written by Administrator

Ass wr wb.

Yang dirahmati Allah sahabat saya DIAN F, dan Jovanka. Menarik sekali memang kalau kita
membicarakan masalah mursy! id ini. Beragam sekali konsep yang muncul untuk hal yang
sama tapi dengan nama yang berbeda. Ada yang menyebutnya dengan mursyid, guru
mursyid, guru suci, avatar, syekh, perantara dan sebagainya.

Memang diantara penganut agama Islam, berita dalam QS 18:17 yang memuat sebuah
kalimat sederhana, yaitu Waliyyan Mursyida, menjadi salah satu dasar yang utama bagi
mereka untuk mengakui adanya otoritas dan fungsi kemursyidan dalam mereka
meningkatkan pemahaman spiritualitas mereka. Dan konsep ini sudah berumur sangat lama
sekali, nyaris seumur perjalanan Islam sejak pasca meninggalnya Rasulullah.

Mari kita bahas sejenak pengertian umum yang dipakai orang tentang fungsi kemursyidan
ini.

Ada yang menyamakan peran mursyid ini dengan peran seorang dokter. Bahwa,
menurut konsep umum yang dipakai, tubuh manusia ini, terdiri dari 3 bagian yaitu: badan
atau raga, jiwa, dan kemudian ruh atau spirit. Badan dan jiwa kita masing-masing bisa saja
punya masalah, dihinggapi penyakit, atau berada di luar kondisi kerja normalnya. Untuk itu
ada orang-orang yang kemudian meningkatkan pengetahuan dan kesensitivitasan mereka
agar bisa menyelesaikan, mengobati dan melakukan terapi terhadap masalah-masalah yang
dihadapi oleh badan dan jiwa tersebut. Makanya kemudian lahirlah ilmu kedokteran. Untuk
masalah raga, ahli terapinya disebut dengan dokter umum atau dokter spesialist organ
ketubuhan. Dan untuk masalah jiwa, ahli terapinya disebut dengan dokter ahli jiwa,
psikolog, psikiater, dan sebagainya.

Sampai disini masih belum ada masalah yang signifikan untuk dibahas. Semua orang, tidak
tergantung agama dan kepercayaannya, tidak juga ras dan bangsanya, masih bisa
mempelajari dan mendapatkan ilmu tentang raga dan jiwa ini dari orang lain yang telah
mendapatkan pemahaman atau ilmunya terlebih dahulu. Semua orang mendapatkan
kesempatan yang sama sebenarnya. Nah yang mengajarkan ilmu tentang jiwa dan raga ini
disebut dengan sebutan guru, dosen, profesor, dan sebagai. Bahkan pada taraf tertentu
mereka bisa pula mengobati masalah-masalah tentang jiwa dan raga ini, sehingga mereka
disebut sebagai ahli pengobatan jiwa dan raga.

Permasalahan baru mulai menyeruak tatkala orang-orang membicarakan masalah-masalah


yang berhubungan ruhani atau spirit yang sangat berkaitan erat dengan kepercayaan,
agama, atau spiritual seseorang. Disini mulai muncul masalah-masalah antara seorang
manusia dengan Tuhan. Yang namanya spiritual pastilah berhubungan dengan spirit dan
sumber dari spirit tersebut yaitu Tuhan atau sesuatu yang dituhankan dan disakralkan. Dan
ternyata kalau sudah berbicara tentang Tuhan ini, seribu orang akan punya seribu satu
persepsi pula tentang Tuhan.Dari yang sederhana dan menyejukkan sampai kepada yang
sangat rumit-mit-mit dan membuat kening kita berkerut-marut mencernanya. Salah satu
konsep yang membuat banyak orang kesulitan adalah konsep tentang guru mursyid ini.
Ada anggapan orang bahwa untuk masalah spirit atau ruhani ini ada pula ahlinya. Mirip
dengan konsep dokter untuk masalah-masalah raga dan jiwa tadi diatas. Untuk mengobati
masalah ruhani ini ada pula dokter ruhani. Sang dokter ruhani diyakini oleh sebagai orang
yang mampu menyembuhkan segala macam problematika keruhanian umat manusia. Maka
kemudian lahirlah para pakar sipritual dari berbagai aliran, agama, dan kepercayaan. Sepert
yang telah disebutkan tadi, yaitu: mursyid, guru mursyid, guru suci, avatar, syekh…,
beberapa istilah yang berbeda untuk hal yang nyaris sama saja sebenarnya.

Seorang mursyid (guru mursyid) dianggap sebagai sosok istimewa yang mampu membawa
jiwa atau ruh seorang salik mengenal Tuhan. Tanpa peran serta, atau tanpa perkenan dari
sang guru mursyid tersebut, maka kita orang-orang biasa ini dianggap tidak akan bisa
berjumpa dengan Tuhan. Jadi sebagai syarat utama agar kita bisa mengenal Tuhan dengan
baik, maka kita harus minta pertolongan kepada guru mursyid tersebut, kita harus
mengakui kemursyidan sang guru, dan pada tahapan tertentu kita harus pula berbaiat
kepadanya. Berkat dari keistimewaan dan kedekatan sang guru mursyid dengan Tuhan,
maka kita juga akan bisa terbawa atau dikatrol oleh sang guru mursyid untuk dekat pula
dengan Tuhan. Jadi fungsi guru mursyid tersebut adalah ibarat tali atau rantai penghubung
antara kita dengan Tuhan. Tanpa sang guru, kita tidak punya otoritas untuk langsung
berhadapan dengan Tuhan.

Dan sebagai sebuah rantai penghubung, maka biasanya seorang guru mursyid yang
termuda haruslah mempunyai hubungan langsung dengan guru-guru mursyid di atasnya
melalui sebuah tali yang disebut sebagai tali rabitah guru atau tali silsilah guru. Dalam
hal ini guru termuda harus disahkan sambungan keilmuannya deng! an guru-guru
sebelumnya oleh guru yang di atasnya langsung melalui sebuah upacara khusus baik secara
sendirian maupun secara beramai-ramai dihadapan jemaahnya. Sambungan keilmuan dan
sekaligus keruhanian tersebut diyakini orang berangkai-rangkai sampai ke Rasulullah, dan
dari Rasulullah nyambung ke Jibril, dan dari Jibril barulah nyambung dengan Tuhan.

Bersambung

Deka

SIKAP BERKETUHANAN


Written by Administrator

LAA ILAHA ILLALLAH...

Dalam serial artikel ”Mengisi Cangkir”, saya sudah mengupas tentang dimana titik awal Islam itu
baru bisa kita mulai dengan nyaman. Titik itu adalah sebuah Ruangan Maha Besar, yang
didalamnya sudah tidak ada apa-apa lagi yang bisa kita visualkan, bayangkan, dengarkan,
rasakan, dan emosikan. RUANG SPIRITUAL. KEKOSONGAN MAHA BESAR yang meliputi
segala sesuatu. Ya..., Sang Maha Meliputi...

Sang Maha Meliputi semua materi, semua cahaya, semua energi, semua getaran, semua daya,
semua gerak, semua pikiran, semua persepsi, semua kehendak, semua penglihatan, semua
pendengaran, semua rasa, semua waktu, semua jarak, semua dimensi, semua ruang, semua
dunia, semua akhirat, semua syurga, semua neraka, semua wujud, semua malaikat, semua
makhluk, semua sifat, semua baik, semua buruk, semua senang, semua susah, semua
bahagia, semua sedih, semua aksara, semua kata, semua kalimat, semua bunyi, semua hidup,
semua mati, semua nafas, semua apa saja.., bahkan meliputi semua kesadaran...

Ahh..., RUANGAN yang merupakan realitas dari sebuah kalimat sederhana yang membawa
kesadaran kita untuk menafikan segala sesuatu, LAA ILAHA...!. Ruang yang tidak ada apa-apa
lagi disitu yang bisa kita nafikan (tiadakan). KOSONG..., HENING..., ABADI..., AL BATHIN...,
ALIF LAM MIM..., NUN...

Masalahnya adalah, saat kita ingin menyadari kekosongan ini, kita dihadapkan pada banyak
referensi yang tidak mudah untuk dimengerti. Kitadigiring kepada pengetahuan-pengetahuan
yang rumit. Semakin rumit ilmunya, maka itu dikatakan semakin hebat. Makanya untuk
menemukan suasana kekosongan ini saja, kita juga berumit-rumit ria. Haruslah begini, haruslah
begitu, haruslah begiti, haruslah begito, haruslah begita. Akhirnya kita jadi pusing sendiri...

Padahal siapapun juga, siapa saja, sebenarnya punya kesempatan yang sama untuk bisa
menyadari adanya kekosongan abadi ini. Sesuatu yang tidak perlu dicari-cari dan dibayang-
bayangkan. Wong kosong kok dicari dan dibayangkan?. Ya ndak bakalan ketemu. Sebenarnya
kita tinggal DEKONSENTRASI..., KOSONG..., lalu tunjuk saja INI, selesai sudah...

Kalau ada yang masih bingung juga, maka sebuah teknik yang amat sederhana berikut
barangkali bisa dijadikan sebagai alternatif cara yang patut dicoba. Yaitu teknik TIDAK
MENGAKU. Ya..., tidak mengaku...!. Masak itu sulit. Jadilah tidak mengaku pintar, tidak
mengaku hebat, tidak mengaku khusyu, tidak mengaku bisa, tidak mengaku tersiksa, tidak
mengaku sedih, tidak mengaku hidup, tidak mengaku ada, tidak mengaku apa saja...

Lha..., bagaimana mau tidak mengaku kalau selama ini kita diajarkan untuk mengaku-ngaku. Ini
milikku, ini tanganku, ini dadaku, ini hartaku, ini pintarku, ini bisaku, ini seribu
pengakuanku... Dan semua pengakuan kita itu sudah karatan berada didalam ceruk-ceruk
memori otak kita. Anehnya lagi, semakin kita tidak mengaku, malah sebaliknya pengakuan kita
itu semakin pekat muncul didalam pikiran kita. Saat kita mengaku tidak hebat, maka yang
muncul didalam pikiran kita malah kita yang hebat. Saat kita mengaku tidak sombong dan
angkuh, maka yang muncul didalam pikiran kita malah saya sombong dan angkuh. Cobalah
kalau tidak percaya.

So what gitu lho...

Bersambung
Deka
SIKAP BERKETUHANAN - 2

Ya begitulah, kalau kita mencoba untuk tidak mengaku itu dengan pikiran kita. Untuk tidak
mengaku itu, kita masuk kedalam alam memori pikiran kita. Bahwa untuk mengaku tidak hebat
itu caranya begini dan begitu, untuk mengaku tidak sombong itu kita harus begini dan begitu.
Hanya sekedar definisi-definisi saja kesemuanya itu.

Padahal sombong itu adalah rasa. Rasa sombong. Begitu juga dengan rasa-rasa yang lainnya,
seperti rasa hebat, rasa angkuh, rasa bisa, rasa hidup, rasa kaya, rasa ada... Dan jadilah kita
menjalankan rasa itu dalam setiap langkah kehidupan kita. Saat dada kita dilekati oleh rasa
angkuh, maka kita akan menjalankan keseharian kita dengan rasa angkuh itu. Kepada siapa
saja kita akan angkuh. Malah semakin lemah dan rendah orang lain yang ada dihadapan kita,
maka rasa angkuh itu akan semakin kental dan pekat pula munculnya. Dan kita sangat-sangat
terbiasa masuk dan terikat dengan rasa angkuh itu. Kita dililit oleh rasa angkuh itu, seperti lilitan
seekor ’ular anakonda’ yang super besar. Kita terengah-engah seperti kesulitan bernafas.
Semakin dalam kita masuk kedalam ruangan rasa angkuh itu, semakin sesak pula nafas kita.
Malah sesak nafas kita itu akan lebih parah lagi kalau ada orang lain yang ’menggemai’
(menyentuh) rasa angkuh kita itu dengan rasa
angkuh miliknya, yang menurut kita rasa angkuh dia jauh dibawah rasa angkuh kita. Sesak dan
menyiksa sekali.

Sekarang cobalah iqra..., baca, amati rasa kita masing-masing dengan seksama. Saat aku
dipalun oleh rasa angkuh, maka akan muncul rasa angkuhku. Aku di lilit oleh rasa angkuh. Aku
diliputi oleh rasa angkuh, sehingga akupun jadi angkuh. Ooo..., lihatlah..., ada aku dan ada rasa
angkuh. Dan alat untuk menangkap rasa angkuh itu adalah dadaku, bukan mataku, bukan
telingaku, bukan lidahku, bukan pula kulitku. Sedangkan otakku hanyalah alat yang berguna
untuk menyimpan memori rasa marah itu, sehingga rasa marah itu bisa dengan mudah
mengalir kembali kedalam dadaku setiap saat.

Oleh sebab itu untuk memahami rasa itu, janganlah gunakan mata, telinga, lidah, dan kulit kita.
Untuk itu gunakanlah dada kita. Yap..., rasa angkuh dan sombong, rasa mengaku itu tadi,
ternyata letaknya ada di DADA kita.

Ada aku dan ada dadaku. Aku menjadi pengamat atas dadaku. Aku menjadi terpisah dengan
dadaku. Tuh ada dadaku dibawahku. Aku berada diatas dadaku, diatas semua rasa, ”balil
insanu ’ala nafsihi bashirah”,(al Qiyamah 14).
Dan menakjubkan sekali..., begitu kita berhasil menjadi pengamat atas dada kita dengan arif,
kita seperti keluar dari dada kita. Kita seperti berada diatas semua rasa kita. Seketika itu pula
kita akan terbebas pula dari berbagai rasa pengakuan yang tadinya menyergap kita. Sebab aku
ternyata adalah wujud yang tidak pernah mengaku apa-apa, karena aku memang tidak pernah
terikat dengan berbagai bentuk pengakuan. Aku adalah wujud yang melampui semua rasa
pengakuan. Aku adalah wujud yang semurni-murninya wujud, Ar Ruh.

Aku adalah wujud yang tidak terpengaruh oleh rasa senang maupun sedih. Aku adalah diri yang
tidak terikat oleh rasa takut, rasa khawatir ataupun rasa tenang. Aku adalah wujud yang berada
dalam ruang kekosongan dari segala pengakuan. Inilah makna Laa ilaha.. yang sebenarnya....

Akulah Ar Ruh yang sangat dekat dengan Tuhan, Sang Pemilikku. INI...

Kalau sudah begini, kita tinggal selangkah lagi saja untuk menjadi seorang yang bertauhid,
seorang mukmin. Kita tinggal MEMANCAR mengarah ke INI. Lalu panggil Sang INI yang
menyebut Diri-Nya dengan Nama ALLAH..., sudah mukmin deh kita.

Dan setelah itu kita siapkan saja DADA kita untuk menerima berbagai pemahaman dan
pengajaran dari Allah terhadap apa-apa yang tidak kita ketahui. Karena Dia memang adalah
Sang Mengajarkan (Rabbi) kepada manusia apa yang tidak diketahuinya, ’allamal insaana maa
lam ya’lam...’. Masak sih nggak percaya?. Nantinya, barulah setiap pengajaran yang kita terima
itu kita lihat di peta atau referensi yang sudah ada. Kita sudah sampai dimana, ada dimana,
hendak dibawa kearah mana, sedang mengalami apa, sedang merasakan apa, dan
sebagainya.

Bersambung
Deka
SIKAP BERKETUHANAN - 3

Sekarang pintar-pintarnya kita saja untuk mencari referensi yang terbaik diantara referensi-
referensi yang ada. Kita mau pakai peta yang bagaimana untuk meningkatkan kesadaran kita
dari hidup yang hanya sekedar berkutat dengan wujud yang kosong menjadi hidup yang penuh
keheran-heranan melihat pada yang kosong ini ternyata ada keberartian, ada keberadaan.
ADA...

Peta terbaik, diantara peta-peta yang ada, menurut saya adalah Al Qur’an. Ya... Al Qur’an. Peta
yang memuat ilmu tentang segala keberadaan dan keberartian, sekaligus juga ilmu tentang
semua ketidakberadaan dan ketidakberartian. Nah..., bagi yang mau, ikuti sajalah peta itu
dengan telaten.

Setiap membaca sebuah ayat Al Qur’an, misalnya yang menerangkan tentang sebuah
kebaikan, selalulah lihat ke dalam DADA kita sendiri. Lalu amatilah apakah suasana dada kita
itu sama dengan suasana yang disebutkan oleh ayat Al Qur’an tentang kebaikan tersebut.
Karena semua kebaikan pastilah punya suasana yang khas didalam dada kita. Kalau sama,
maka kita namanya sudah menjadi orang yang bersaksi (syahid) terhadap kebenaran ayat
tentang kebaikan tersebut. Artinya dada kita saat itu adalah Al Qur’an itu sendiri. Al Qur’an yang
berjalan dibagian kebaikan.

Begitu juga saat kita membaca sebuah ayat Al Qur’an tentang keburukan, atau paling tidak
tentang serba kebingungan kita tentang selendang Allah, misalnya, maka buru-buru pulalah
lihat DADA kita. Amatilah suasana dada kita. Apakah dada kita juga tengah penuh dengan
suasana keburukan atau serba kebingungan tentang Allah?. Kalau ya, maka namanya dada kita
itu juga sedang sama dengan Al Qur’an, tapi dibagian yang tidak baiknya. Kita telah menjadi Al
Qur’an yang berjalan tapi pada bagian tentang keburukan.

Jadi seperti apapun suasana DADA kita itu (termasuk suasana isi otak kita), pastilah sama
dengan salah satu atau banyak ayat-ayat al Qur’an. Karena Al Qur’an memang adalah
gambaran dari segala kemungkinan suasana dada dan otak seluruh umat manusia dari zaman
ke zaman. Oleh sebab itu setiap kita membaca ayat Al Qur’an, janganlah menganggap bahwa
ayat tersebut adalah untuk orang lain. Jangan...!. Sebab ayat itu adalah untuk diri kita sendiri.
Agar supaya kita menjadi saksi atas kebenaran tentang adanya kebaikan dan keburukan
berikut dengan segala suasananya yang ada.

Kalau sudah bersaksi, maka barulah kita bisa menceritakan tentang apa-apa yang kita
persaksikan itu. Kalau belum bersaksi, tapi kita sudah berani-beraninya bercerita tentang
segala sesuatu yang suasananya belum ada didalam dada kita, maka manfaatnya nyaris tidak
akan ada bagi orang lain yang mendengarkan atau membacanya. Paling hanya sekedar akan
menjadi ilmu semata yang menyesaki otak mereka. Oleh sebab itu Allah memperingatkan kita
bahwa:

”Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu
kerjakan (alami)”. (Ash Shaff 61:3)

Bersambung
Deka
SIKAP BERKETUHANAN - 4

Mari kita lanjutkan...

Al Qur’an menegaskan bahwa ada Allah yang meliputi segala sesuatu. Oleh sebab itu siap-
siaplah untuk menerima kenyataan bahwa pada kekosongan ini ternyata ada SANG ADA, yang
mengaku dengan sangat tegas: ”innani anallah laa ilaha illa ana fa’budni wa aqimish shalaata
lidzikri... Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka
sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku.”, (Thaha 14).

Begitu SANG ADA menanamkan pengertiannya didalam dada kita: ”innani anallah....”, maka
tegaskanlah, isbatkanlah: ILLA ALLAH…, ILLA ANTA…, ILLA ANTA…, ILLA ANTA…, Benar Ya
Allah, Hanya Paduka saja yang ada, hanya Paduka saja yang hak, hanya Paduka saja yang
ada …”. ADA…, ADH DHAHIRU, DZA LIKAL KITAB…

Kalau Sang Ada sudah bernyata didepan kita, ADH DHAHIRU, ADA…, maka barulah panggil
Dia dengan merendah-rendah:”Ya Allah..., Ya Allah..., Ya Allah...”. Artinya, saat kita memanggil
Dia, kita tidak lagi mengarahkan kesadaran kita kepada materi apapun juga yang bisa
divisualkan, dibayangkan, didengarkan, dirasakan, dan diemosikan. Kita semata-mata
menghadapkan seluruh kesadaran kita hanya dan hanya kepada WAJAH ALLAH, Sang Ada...

Ya..., syahadat, sebagai pelajaran pertama saat kita mengaku sebagai seorang yang percaya
(beriman kepada Allah), adalah untuk menyadari dengan UTUH dan PENUH tentang: ”laa ilaha
illaallah”. ALLAH..., Dialah Al Bathinu, KOSONG, Alif Lam Mim..., dan Dia pulalah Adh Dhahiru,
ADA....”. KOSONG Yang ABADI dan sekaligus pula ADA Yang ABADI...

Atau dalam tatanan kalimat yang sangat sederhana adalah: Aku tidak akan pernah mengaku
apapun juga, biarlah Allah saja yang mengaku-ngaku tentang apapun juga. Aku tiada, yang ada
adalah Allah. Kullu man alaiha faanin, wa yabqa wajhu rabbika (Al Rahman 26-27).

Lalu setiap saat SANG ADA akan selalu menuntun kita untuk segera mengaturkan sembah
kepada-Nya. Setiap kita memanggil-Nya: ”ya Allah”, maka Dia akan tuntun kita: ”fa’budni, ya
hamba-Ku, sembahlah Aku..., mengabdilah kepada Aku...”.

Begitu kita panggil Dia: ”Ya Allah...”, mata kita ditundukkan-Nya: ”Wahai mata, merunduklah
kepada-Ku. Rasakanlah seperti apa yang juga dirasakan oleh hamba-hamba-Ku yang saleh
lainnya tentang bagaimana cara seharusnya hamba-Ku menyembah-Ku. Merunduklah...”. Dan
matapun melepaskan bebannya berupa butir-butir bening lembut yang mengalir deras tak
tertahankan. Semakin kita panggil Dia, mata kitapun semakin didudukkan-Nya dalam posisi
persembahan. Lihatlah bagaimana mata kita menyembah Tuhan-Nya dengan caranya sendiri.
Menangis. Biarkan sajalah sang mata menyelesaikan prosesi penyembahannya itu sampai
tuntas. Diam.

Saat kita panggil Allah, kulit kitapun ditundukkan oleh Allah sendiri dalam posisi persembahan
kepada-Nya. ”Wahai kulit..., merunduklah kepada-Ku..., fa’budni...”. Dan setiap inchi kulit
kitapun bergetar halus menyampaikan sembah kepada-Nya. Boleh jadi pada awalnya prosesi
tersungkurnya kulit kita itu dihadapan Allah dengan getaran yang agak kasar. Akan tetapi
biarkan sajalah kulit kita itu menyesesaikan tugasnya sendiri dalam menyembah Allah. Lihatlah
betapa kulit kita bergetar, bulu-bulu halus kita bergetar, tangan kita bergetar, tubuh kita bergetar
saat mereka didudukkan oleh Allah dalam posisi persembahan.

Tidak hanya itu, atom-atom tubuh kitapun didudukkan Allah dalam posisi persembahan kepada-
Nya. Atom-atom tubuh kita itu dibersihkan dan dimandikan oleh Allah dengan Nur dari-Nya:
”fahua ’alaa nuurin mirrabbihi...”, sehingga sang atom itupun seperti berubah menjadi kupu-
kupu yang menari riang menyambut fajar yang sedang merekah bagi sebuah kesempurnaan.
Atom-atom tubuh kita yang tadinya gelap karena bekas-bekas keangkuhan, dosa-dosa, dan
kekotoran kita, dicelup oleh Allah menjadi atom-atom yang penuh oleh liputan cahaya iman,
islam, dan ihsan...

Biarkan sajalah proses itu berlangsung untuk beberapa saat. Karena sebenarnya saat itu kulit
kita dan atom-atom tubuh kita sedang dituntun sendiri oleh Allah untuk menuju posisi
persembahannya yang sebenarnya. Posisi TALINU (rileks, lembut, bergetar halus). Diam.
Bersambung
Deka
SIKAP BERKETUHANAN - 5

Ketika kita terus memanggil Allah dengan lembut, tubuh kitapun akan dituntun sendiri oleh Allah
untuk menyampaikan sembah dan sujudnya kepada Allah. ”wahai tubuh..., warka’uni...,
wasjudni..., waqtarib..., rukuklah kepada-Ku, sujudlah kepada-Ku, marilah mendekat...!”.
Dengan cara mulai dari yang agak keras sampai kepada cara-cara yang sangat santun dan
halus, tubuh kita akan dituntun oleh Allah untuk rukuk dan sujud kepada Allah Sendiri. Karena
memang cara penyembahan tubuh kita kepada Allah adalah dengan cara itu. Rukuk dan sujud.
Ikuti sajalah prosesi penyembahan tubuh kita kepada Allah ini sampai selesai. Diam.

Begitulah, mata kita, kulit kita, tubuh kita, dan bahkan hati (dada, sudur) kita secara telaten
dituntun sendiri oleh Allah untuk menyembah Allah. Dada kita akan direkahkan sendiri oleh
Allah untuk menjadi luas, tenang, damai, dan tentu saja bahagia. Kita hanya menikmati saja
kesemuanya itu dengan rasa terheran-heran. Dan kalau sudah begitu, maka kita tinggal ikuti
saja perintah Allah berikutnya, yaitu ”wa aqimish shalaata lidzikri...”.

Ya..., dirikan sajalah shalat dalam suasana mata, kulit, tubuh, dan dada kita menyembah Allah
dengan caranya sendiri-sendiri. Tidak usah diganggu. Dan kesemuanya itu akan selalu
membawa kita untuk ingat dan sadar bahwa benar Allah adalah Tuhan kita yang maha meliputi
segala sesuatu. Kita tinggal siap-siap saja lagi untuk menerima pencerahan demi pencerahan
yang memang kita butuhkan dalam hidup kita ini, sebagai bekal kita dalam menjalankan tugas
kita sebagai wakil Allah, kurir Allah, duta Allah dialam dunia ini. ...

Jadi selalu begitu: KOSONG (al bathinu, Alif Lam Mim), DEKONSENTRASI, MEMANCAR KE
SINI, lalu siap-siaplah untuk menyadari bahwa pada saat yang sama ada SANG ADA (adh
dhahiru, dzaa likal kitab). KOSONG dan ADA, Al Bathinu dan Adh Dhahiru, ya... SATU. INI...!.
Masak sih hanya sampai ketemu yang KOSONG saja, ya bingunglah jadinya. Kalau kosong,
ya... namanya baru sadar akan Al Bathinu. Sampai ketemu ADA gitu lho..., Adh Dhahiru. INI...

Jika Sang ADA sudah bernyata dalam ketiadaan apapun juga (KOSONG), maka kita tinggal
bersiap-siap saja lagi dituntun oleh ALLAH sendiri untuk mengenal, memahami, dan
menyampaikan berbagai hal yang berkaitan dengan kehidupan kita sendiri. Karena Sang ADA
memang telah meletakkan dalam liputan-Nya paling tidak sembilan puluh sembilan (99) Nama-
Nya yang menunjukkan aktifitas-Nya (Af’al-Nya) dalam menata seluruh alam yang diliputi-Nya.
Dimana ke 99 nama-Nya yang menunjukkan sifat, selendang, aktifitas, atribut-Nya itu tepat
berada dalam liputan-Nya sendiri. Sehingga dengan gagah perkasa Dia berhak bersabda:
”semua sebutan nama itu adalah milik-Ku, oleh sebab itu menghambalah kepada Aku saja...”.

Lalu kita perhambakan saja diri kita kepada Dia. Ya..., kita ikuti saja apapun permintaan-Nya
”seirama” dengan mata kita, telinga kita, kulit kita, dada kita, tubuh kita yang dengan caranya
sendiri-sendiri ikut permintaan Allah pula, yaitu dengan DIAM, TENANG, LEMBUT (TALINU).
Dan Allah kemudian menyatakan bahwa posisi terbaik untuk menghamba kepada-Nya adalah
dengan mendirikan SHALAT.
Karena shalat memang diperuntukkan buat kita agar kita selalu bisa sadar penuh kepada Allah.
Dari awal shalat (takbiratul ihram) sampai dengan salam tidak sehirupan nafaspun kita
terjauhkan dari Allah. Dalam shalat kita selalu diajak untuk memandang Wajah Allah, memuja
Allah, memuji Allah, menyembah Allah, merukui Allah menyujudi Allah, berbicara dengan Allah,
berdoa kepada Allah, dan tentu saja untuk setiap aktifitas kita itu pasti ada respon dari Allah,
karena Dia memang ADA...

”innani anallah laa ilaha illa ana fa’budni wa aqimish shalaata lidzikri... Sesungguhnya Aku ini
adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka meghambalah, mengabdilah kepada
Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku.”, (Thaha 14).

Jadi ”laa ilaha illaallah” itu sebenarnya bukanlah hanya sekedar sebuah bacaan ringan dan
berguman dilidah dan dibibir saja. Tetapi itu adalah sebuah proses yang sangat lembut dan
mengharukan yang membawa kita mampu untuk menjadi saksi atas diri kita yang kehilangan
segala pengakuan kita. Kosong, diam, hening, abadi. Dan dengan seketika itu pula kita akan
menjadi saksi bahwa pada Wujud Keabadian itu ada SANG ADA, yang mengaku namanya
adalah ALLAH. Karena kita bersaksi kepada-Nya, maka Dia pun akan bersaksi pula kepada
kita. Karena Dia memang adalah Sang Maha Bersaksi, Asy Syahiid. Setelah itu kitapun siap-
siap dan bersedia untuk dijadikan-Nya sebagai hambanya, pesuruhnya, abdi-Nya, kurir-Nya
dalam menyampaikan Sifat-Nya dan Af’al-Nya untuk merahmati manusia dan alam
semesta disekitar kita.

Pada waktu-waktu tertentu kita tinggal duduk merendah-rendah, bersimpuh, rukuk, sujud dan
DIAM di depan Wujud-Nya dalam ritual SHALAT sebagai sarana kita untuk minta pertolongan,
minta petunjuk, minta penilaian kepada-Nya atas apa-apa yang akan dan yang sudah kita
kerjakan. Wasta’inu bish shabri wash shalah..., mintalah pertolongan kepada ku dengan SABAR
(DIAM) dan SHALAT...( Al Baqarah 45). Dan pastilah dia akan memberikan jawaban dalam
bentuh ILHAM (alhamaha), berupa solusi, jalan keluar dari segenap masalah kita, dan rezki dari
pintu yang tidak kita sangka-sangka. Akhirnya tidak ada sikap lain yang bisa kita tunjukkan
kecuali sikap syukur kita, yang kemudian dibalas berlipat kali oleh Allah dengan Syukur dari-
Nya. Karena Dia memang adalah Asy Syakuur, Sang Maha Bersyukur. Sehingga akhirnya yang
tersisa pada diri kita hanyalah rasa IMAN yang bertambah dan bertambah kepadanya. Karena
setiap rasa iman kita kepada-Nya akan dibalasnya dengan Iman
dari-Nya. Sebab Dia memang adalah Sang Maha Beriman, Al Mu’min.

Jadi proses laa ilaha illah itu ternyata puncaknya adalah rasa IMAN kepada Allah. Dengan kata
lain, iman inilah puncak ilmu spiritual yang sebenarnya, yang sudah kita lupakan sedemikian
lamanya. Ya..., rasa Iman kepada Allah lah ILMU YANG TERTINGGI yang bisa kita dapatkan
dalam sebuah proses beragama. Sedangkan hal-hal yang lainnya hanyalah merupakan aktifitas
yang menandakan bahwa kita ini hanyalah abdi Allah, hamba Allah, kurir Allah, khalifah Allah
yang diturunkan-Nya kemuka bumi ini untuk berkarya dan berperadaban.

Wass
Deka, 03 Juli 2008
Jl. Kabel 16 Cilegon

Rintihanku


Written by Administrator

From: ibrahim mohd nordin <bob7roy@yahoo. com>


Subject: Berguru Kepada Allah

Assalaamu'alikum Pak Abu Sangkan,

Bapak, aku Ibrahim Mohamad Nordin, salah seorang rakyat Malaysia yang baru sahaja membaca buku karangan
bapak.Walau bagaimanapun aku ingin mendapatkan bantuan Bapak untuk mengatasi masalah aku. Aku lampirkan
masalah ku dalam catatan Rintihan Ku harap bapak dapat membantu.

Wassalam.

Ibrahim Mohamad Nordin

Rintihan Ku …

Assalaamu’alaikum
Pak Abu Sangkan,

Nama saya, Ibrahim bin Mohamad Nordin, berusia 38 tahun, berkahwin dan mempunyai empat orang anak (2
perempuan/2 lelaki). Aku dibesarkan di dalam keluarga melayu, kalau di Malaysia melayu secara automatic
beragama Islam. Aku belajar di sekolah biasa yang bukan sekolah agama. Jadi pendidikan agamaku sangat cetek
sekali. Selepas sekolah aku akan ke madrasah untuk belajar membaca Al Quran, sehingga lah guru ku berpindah
maka pelajaran Al Quran ku terhenti. Sedikit sebanyak bapak mengerti pengetahuan agama ku cetek sekali. Kadang-
kadang teringini hati aku untuk sambung belajar ilmu agama, tetapi rasa malu ku sungguh tebal. Aku mula memaksa
diri ku mencari bahan-bahan melalui bacaan buku-buku berkaitan agama dengan supaya pengetahuan ku tentang
agama Islam lebih mendalam untuk menutup kekurangan pada diri ini.

Mulai dengan buku-buku hukum agama hingga buku-buku mengenai tasauf dan kenal diri, kenal Allah semuanya aku
baca, tapi tiada satu pun yang benar-benar memberi manfaat pada ku. Hari demi hari aku lalui dengan penuh
kekecewaan, solatku terumbang-ambing, kandang aku berdzikir untuk menenangkan hati ku tapi itu hanya
sementara saja, semakin lama aku berdzikir tiada apa yang aku dapat selain penat duduk dan merasa kebas di kaki
dan yang pasti lagi banyak aku berdzikir kepala ku semakin sakit dan terasa berat. Aku bertanya sendiri dimanakah
dzikir ku? Semakin aku gagahi untuk bersolat semakin berat ku rasakan bila aku bangun malam untuk bertahjjud
semakin aku merasa sangat lelah untuk ku laku kan. Dimana silap ku? Semua pertanyaan ini masih tidak terjawab.

Kemudian aku berjinak-jinak dengan teknik meditasi ku harap ia akan memberi sinar kepada ku untuk menghidupkan
tenaga dalam ku yang menurut pikiran ku dapat menghidupkan dan menyucikan batin. Itu semua sementara, lama
kelamaan keadaan gelisah di jiwa terjadi kembali. Aku tidak tahu untuk bagaimana untuk menjadikan diriku seorang
hamba Allah yang sejati. Mahu bercerita dengan keluargaku tiada siapa yang memahami, kalau ada, jawaban yang
diberi menyuruh aku bersolat minta pada ALLAH. Itu yang ku lakukan, tapi semuanya hambar, solat ku menjadi solat
yang tidak tenteram, hati ku melayang, banyak persoalan yang tidak terjawab bermain di fikiran ketika solat, untuk
dikatakan khusyu, jauh sekali, Aku sendiri boleh menilai solat ku. Aku kosong, jiwa ku kosong mencari dan terus
mencari, yang pasti semakin ku cari semakin sukar ku rasakan.

Pak Abu Sangkan, aku bertemu dengan buku “Berguru kepada Allah” pada awal Februari 2008 (kira-kira buku ini
baru ku baca kurang dari 2 minggu saat aku menulis warkah ini. Untuk membacanya di hadapan keluarga ku,
mungkin tidak aku lakukan lebih-lebih lagi tajuknya mungkin asing bagi keluargaku atau mungkin mereka akan
mengatakan pada ku “Yang mudah tidak engkau lakukan, yang ghaib hendak engkau gapai” jadi bacaan aku lakukan
sorok-sorok.

Terus terang aku katakan melihat tajuknya saja hati ku berdetik mengatakan, ini yang aku cari selama ini. Setelah
aku baca hati ku mula seronok seolah-olah macam ada jalan penyelesai kepada masalah ku.
Aku cuba mempraktiskan apa yang bapak tulis, tetapi kelelahan dan kepenatan yang aku rasakan. Berbagai
persoalan yang timbul:-

1. Apakah dosa-dosa ku yang terlalu banyak?


2. Apakah dosaku dengan ibu ku masih belum terampun?
3. Apakah kerana kecetekan pengetahuan agamaku?
4. Apakah kerana aku tidak selalu membaca Al Quran?
5. Apakah solat-solatku sebelum ini tidak di terima?
6. Apakah hanya orang-orang yang mempunyai didikan agama yang sempurna saja bisa?
7. Apakah cara-cara yang aku cuba aku ikuti melalui buku ini tidak berkesan?

Persoalan demi persoalan yang menerjahkah kotak pikiran ku membuatkan aku selalu berpikiran dimanakah turning
point aku untuk berubah aku bingung. Pak Abu Sangkan, bapak berada jauh di Indonesia, saya di Malaysia untuk
belajar terus dari bapak secara empat mata memang sukar. Disini aku berharap bapak dapat membimbing ku
bagaimana caranya untuk aku memasuki kesadaran dzikir dan seterusnya mendapat khusyu dalam solatku seperti
yang bapak ceritakan di dalam buku bapak. Aku benar-benar butuh bantuan dari bapak. Semoga aku juga bisa
mendapat apa yang orang lain perolehi iaitu Berguru kepada Allah.

Wassalam.

Sharing dan Saran Deka

Assalaamu’alaikum wr wb.

Pak Ibrahim yang terhormat. Senang sekali saya membaca rintihan pak Ibrahim ini. Jalan yang tengah Pak Ibrahim
jalani ini sungguh bisa mewakili perjuangan yang sedang dan telah dialami oleh jutaan umat manusia lainnya
diberbagai belahan bumi. Cuma saja jalan keluar yang bisa kita dapatkan sungguh beragam sekali, sehingga kita
seringkali bingung sendiri untuk memilih jalan mana yang terbaik.

Sebelum menjawab pertanyaan Pak Ibrahim ini, perlu kiranya saya menyampaikan bahwa dalam memahami
kehidupan ini sebenarnya hanya ada dua keadaan saja yang akan kita lalui, yaitu Hakekat (memahami yang
sebenarnya), dan Syariat (jalan untuk memahami hakekat itu). Ya sebetulnya hanya ada HAKEKAT dan SYARIAT
saja yang perlu dalam mengharungi perjalanan hidup kita. Selama ini orang masih membaginya menjadi empat
bagian (walaupun boleh-boleh saja), yaitu Syariat, Tarekat, Hakekat, Ma’rifat. Tapi umumnya, dengan pembagian
menjadi empat tahapan seperti itu, kita seringkali merasa sangat sulit untuk menjalankan keempat-empatnya
sekaligus.
Sekarang mari kita lihat dulu ma’na dari Hakekat dan Syariat yang saya maksudkan itu.

HAKEKAT…

Makna Hakekat adalah suatu hal dimana kita paham betul terhadap yang sebenarnya dan seharusnya dari apa-apa
yang kita bicarakan. Kalau kita berbicara tentang hakekat, maka pastilah yang kita bicarakan itu tidak ada
pertentangan sedikitpun tentangnya. Kata yang keluar dari mulut kita paling hanya, O ya…, betul sekali…, yes.
Bahkan kadangkala kita hanya bisa ternganga saja tanpa bisa mengucapkan kata-kata sedikitpun. Hakekat itu, walau
diterangkan dengan cara dan ungkapan yang bagaimana pun juga, kita hanya akan mengangguk membenarkannya.

Al Qur’an adalah sebuah kitab yang berbicara tentang Hakekat. Apapun yang dibicarakan oleh Al Qur’an pastilah ada
realitasnya. Iman itu ada realitasnya, kafir itu adal realitasnya. Begitu juga saat Al Qur’an berbicara tentang taqwa,
fujur, iri, dengki, kasih, sayang, cinta, sedekah, zakat, shalat, puasa, haji, dan sebagainya, maka semua itu ada
realitasnya. Tidak mengertinya kita tentang realitas-realitas yang sedang dibicarakan oleh Al qur’an itu juga adalah
sebuah realitas, yaitu realitas tidak mengerti dan tidak pahamnya kita terhadap apa-apa yang dibicarakan Al Qur’an.
Dan kita dengan sangat lancar bisa pas bercerita tentang suasana ketidakpahaman kita itu. Misalnya: “Kok saya
bingung ya…, saya ndak mengerti…, saya blank…, saya tulalit…”, dan sebagainya.

Makanya saat membaca rintihan Pak Ibrahim ini, saya hanya tinggal membenarkannya saja lagi. Karena Pak Ibrahim
memang tengah berbicara tentang keadaan atau suasana yang ada di dalam dada Pak Ibrahim sendiri pada saat ini.
Pak Ibrahim bisa berbicara dengan sangat detail tentang suasana dada Pak Ibrahim dengan sangat lancar sekali.
Karena memang Pak Ibrahim tengah mengalaminya. Dan suasana itu pastilah sama dengan yang dikatakan oleh Al
Qur’an. Suasana dada Pak Ibrahim itu adalah suasana Qur’ani sekali, tapi pada bagian atau episode yang tidak
enaknya. Suasana rasa yang sedang bingung, merasa berdosa, merasa bodoh, merasa tersiksa, merasa tidak tahu
apa yang harus dilakukan, dan sebagainya. Suasana yang dulu juga pernah saya alami. Sungguh suasana Qur’ani
sekali.

Sedangkan suasana dada yang dialami oleh Rasulullah, Sahabat-sahabat Beliau, maupun wali-wali Allah dan orang-
orang shaleh lainnya juga adalah suasana Qur’ani sekali. Tapi berbeda dengan suasana seperti yang kita alami
seperti diatas. Beliau-beliau berhasil masuk ke dalam suasana dada yang menurut Al Qur’an disebut sebagai
suasana dada orang beriman yang realitasnya adalah munculnya rasa tenang, bahagia, kasih dan sayang, dan
sebagainya.

Andaikan sekali-sekali beliau-beliau itu terperosok masuk ke dalam ruang dada yang tidak enak seperti yang sering
kita alami, Beliau-Beliau itu hanya tinggal kembali dan berlari ke Allah, lalu meringkuk di sisi Allah. Karena tiada lagi
tempat yang lebih baik, lebih enak, dan lebih bahagia selain dari meringkuk di sisi Allah.

Sedangkan kalau kita, saat kita berada dalam suasana dada yang tidak enak itu, kita lebih banyak lari ke alamat-
alamat lain yang seringkali malah menjauhkan kita dari Allah. Kita malah sering lari ke buku-buku, ke orang-orang
yang kita anggap sebagai guru, orang suci, ke aliran-aliran, ke kelompok-kelompok yang katanya bisa menolong kita
keluar dari suasana dada yang tidak enak itu. Makanya yang kita dapatkan malah kebingungan- kebingunan baru
yang tak kalah rumitnya. Habis kita salah alamat tempat kembali sih. Seharusnya saat kita ditimpa berbagai
masalah itu, kita buru-buru berlari ke Allah dan meringkuk disisi-Nya, eee… ini malah kita lari kemana-mana seperti
orang yang ndak tahu arah dan tujuan. Makanya hasilnya juga seperti lari kemana-mana. Kita tambah bingung.

Allah Sebagai Hakekat Alamat Tempat Kembali.


Hakekat alamat tempat kembali yang benar, walau dibaca dan dibahas dengan cara apapun juga pastilah yang
dibahas dan dibaca itu adalah itu-itu juga. Kita tinggal hanya membenarkannya saja lagi, karena kita memang telah
paham tentang itu.

Al Qur’an sendiri membahas dan mendefinisikan Allah dengan berbagai cara. Misalnya.
o ”AKU DEKAT…”, (Al Baqarah 186),
o “Allah LEBIH DEKAT dari URAT LEHER…”, (Al Qaaf 16),
o “KEMANA SAJA menghadap, disana ada wajah Allah…”, (Al Baqarah 115),
o “Allah MELIPUTI orang-orang kafir”, (Al Baqarah 19) ,
o “Tuhanmu MELIPUTI segala manusia”, (Al Israa’ 60),
o “ Dia Meliputi segala sesuatu”, (Al Fushilat 54)
o “Allah Maha MELIPUTI segala sesuatu…”, (An Nissa 126)
o “Dia bersemayam di atas ‘Arsy…”, (Al A’raf 54 / Ar Ra’d 2),
o “Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia…”, (Asy Syura 11),

Walau dibahas dan didefiniskan seperti apapun juga, kalau kita sudah paham akan Wajah Allah, maka kita hanya
tinggal mengiyakannya saja lagi. Kita tidak akan bingung lagi untuk memahaminya. Karena yang sedang dibicarakan
oleh Al Qur’an itu adalah sebuah kebenaran (hakekat yang sebenarnya) semata, “Yaa…, INI..., ALLAH ! ”.

Bersambung

Rintihan Ku - 3

SYARIAT…

Lalu bagaimana dengan syariat ( syari’, jalan) …?.


Yang namanya SYARIAT (JALAN) pastilah BANYAK. Ya ndak apa-apa. Namanya juga jalan. Al Qur’an sendiri
menyatakan bahwa Allah memfasilitasi berbagai macam jalan itu mulai dari sejak Nabi Adam sampai dengan zaman
Rasulullah Muhammad SAW ke kita sekarang ini.

Yang namanya jalan sungguhlah beragam. Ada jalan toll yang serba cepat, ada jalan penuh lobang, onak dan duri,
ada jalan biasa-biasa saja, ada jalan yang harus tersesat-sesat dulu, ada jalan yang tak sampai-sampai ke tujuan
karena tersangkut di alamat semu, dan sebagainya.

Nah setiap jalan itu pastilah punya konsekuensi logisnya masing-masing. Dan yang bisa merasakannya adalah diri
kita masing-masing pula. Sebenarnya apa-apa yang disampaikan oleh Muhammad Rasulullah SAW, adalah
konsekuensi logis dari jalan yang telah Beliau lalui selama hidup Beliau. Karena yang Beliau ceritakan itu adalah
realitas belaka, maka Beliau pun paham tentang berbagai keadaan yang telah, sedang, dan akan dihadapi oleh umat
manusia dari sejak dulu, sekarang, dan yang akan datang.

Apa-apa yang telah diceritakan oleh Al Qur’an, semuanya adalah kebenaran dan kejelasan belaka bagi Beliau.
Sebab semua ayat Al Qur’an, baik itu ayat-ayat yang berupa rangkaian kalimat, sama benar dan jelasnya juga
dengan ayat-ayat yang hanya berupa rangkaian huruf-huruf saja. Ayat yang hanya berupa rangkaian huruf-huruf
seperti “Alif Lam Mim” sekalipun, sebenarnya sama jelasnya dengan ayat yang berupa kata-kata seperti: “Allahu laa
ilaaha illaa huawal hayyul qayyuum…”. Dua-duanya sebenarnya adalah ayat MUHMAKAT.
Cuma sayang sangat banyak pula diantara kita yang terjebak atas pembagian ayat Al Qur’an menjadi Muhkamat
(jelas, nyata) dan Mutasyabihat (yang remang-remang, yang tidak jelas artinya). Padahal pembagian itu sebenarnya
adalah untuk melihat kepahaman kita saja tentang ayat-ayat Al Qur’an yang tengah kita coba baca (IQRAA). Kalau
kita tidak paham, maka namanya ya ayat itu menjadi mutasyabihat bagi kita. Tapi kalau kita bisa paham setiap kita
membaca ayat-ayat Al Qur’an, maka artinya semua ayat Al Qur’an itu telah menjadi muhkamat bagi kita. Tidak ada
lagi ayat-ayat yang mutasyabihat. Masak sih ada ayat Al Qur’an diturunkan oleh Allah yang tidak jelas maknanya.
Jangan-jangan ketidakjelasan makna itu hanya karena kebodohan kita saja sebenarnya. Namun kita tidak usah
khawatir, sebab mutasyabihatnya beberapa ayat Al Qur’an bagi kita juga difasilitasi oleh Al Qur’an dengan baik untuk
terjadi.

Kembali ke masalah syariat. Yang namanya syariat pastilah banyak dan beragam. Tarekat sendiri pun artinya juga
adalah jalan. Jadi tarekat itu boleh disebut sebagai syariat juga.

Nah…, tugas kita itu sebenarnya mudah saja. Yaitu untuk mencari jalan atau syariat yang tidak ada perbedaan
sedikit pun dengan hakekat yang ada. Sebab syariat dan hakekat itu sebenarnya adalah SATU, karena syariat dan
hakekat itu berbicara untuk SATU hal yang sama, yaitu INI, Allah dengan segala atribut kemahaan-Nya, dan tentang
diri kita sendiri beserta alam semesta ini semata-mata adalah kenisbian belaka.

Sekarang, mari kita bahas secara sepintas saja beberapa pertanyaan Pak Ibrahim berikut ini yang intinya adalah
kegalauan pikiran Pak Ibrahim sendiri atas hasil yang Pak Ibrahim capai yang tidak sama dengan apa-apa yang
ditulis oleh ustad Abu Sangkan dalam buku beliau “Berguru Kepada Allah”;

1. Apakah dosa-dosa ku yang terlalu banyak?.


2. Apakah dosaku dengan ibu ku masih belum terampun?
3. Apakah kerana kecetekan pengetahuan agamaku?
4. Apakah kerana aku tidak selalu membaca AlQuran?
5. Apakah solat-solatku sebelum ini tidak di terima?
6. Apakah hanya orang-orang yang mempunyai didikan agama yang sempurna saja bisa?
7. Apakah cara-cara yang aku cuba aku ikuti melalui buku ini tidak berkesan?

Kalau kita perhatikan pertanyaan apakah-apakah dari 1 sampai 7 yang Pak Ibrahim ajukan, semua itu adalah
pertanyaan akibat adanya penilaian yang bernada negatif terhadap diri Pak Ibrahim sendiri. Pertanyaan-pertanya an
itu merupakan pertanyaan GENERIC yang sering kita ajukan sebagai pemaafan diri kita sendiri atas
ketidakberhasilan kita dalam melaksanakan prosesi beragama dengan suasana yang nyaman. Tragisnya lagi, semua
pertanyaan itu muncul sebagai hasil dari pengetahuan agama yang kita dapatkan dari berbagai khotbah dan
pelajaran agama yang sampai kepada kita. Dan ternyata hampir saja semua pengetahuan agama kita itu, selalu
dimulai dengan kalimat menakut-nakuti. Otak kita lebih banyak dikenalkan dengan istilah dosa, neraka, akibat dari
durhakanya kita, akibat dari rendahnya pengetahuan agama kita, akibat dari tidak membaca Al Qur’an dan Al
Hadistnya kita. Semua selalu dimulai dengan kalimat negatif yang menakutkan. Seakan-akan Allah adalah sosok
yang sangat mengerikan sekali.

Akibatnya, setiap kita ingin belajar agama dengan nyaman, maka yang muncul adalah memori kita tentang semua
pengetahuan tentang dosa-dosa itu tadi. Misalnya saat kita ingin menyadari dengan penuh (dzikir) bahwa Allah
adalah Dzat Yang Maha Pengampun, ehh… yang kita ingat malah kesalahan demi kesalahan kita. “Saya salah ini,
saya salah itu, saya salah…”, ingat kita dengan berapi-api. Sehingga akhirnya kita malah lebih menumpuk memori
rasa bersalah didalam otak kita. Dan tentu saja Allahnya gagal kita sadari dengan penuh. Bagaimana bisa sadar ke
Allah kalau yang kita ingat malah kesalahan kita sendiri. Sebab apa saja yang kita ingat, itulah yang akan menguasai
kesadaran kita. Kalau kita ingat ke harta, maka harta itulah yang akan menguasai kita. Kalau rasa ingat kita dibetot
kearah benda ataupun hal-hal yang kita alami, maka benda dan hal-hal itulah yang akan membelenggu kesadaran
kita.

Nah…, kalau kesadaran kita diberhentikan di benda-benda, maka pastilah benda itu akan menghalangi kesadaran
kita terhadap Allah. Karena Allah memang tidak bisa diserupakan dengan benda. Kalau kesadaran kita berhenti
dikesalahan ataupun dikebenaran kita sekalipun, betapa pun kita menyebut dan memanggil nama Allah, maka
kesadaran kita saat itu pastilah berhenti di alam kebendaan dan di alam perasaan kita. Kesadaran kita terbatas
sekali. Dan terbatasnya kesadaran kita oleh benda dan rasa dari Dzat yang tidak terbatas (ALLAH) inilah yang
disebut dengan syirik. Menyakitkan dan menyiksa sekali sebenarnya…, walau banyak pula diantara kita yang tidak
sadar bahwa saat itu kita sebenarnya tengah tersiksa. Tersiksa yang enak…

Lha…, tersiksa kok enak…?.

Ya seorang pencuri itu sebenarnya tersiksa saat dia mencuri itu, tapi enaknya juga ada. Dia bisa ektasis saat dia
berhasil mencuri itu. Ada rasa enak yang mengalir akibat berhasilnya dia mencuri dengan aman. Sehingga dia pun
menjadi ketagihan untuk mencuri dan mencuri lagi. Iblis pun merasa ektasis dalam pembangkangannya kepada
Allah, sehingga dia tidak akan pernah mau minta ampun kepada Allah sampai kapan pun juga.

Kegalauan Pak Ibrahim itu juga adalah akibat dari hasil sekejap latihan yang Pak Ibrahim dapatkan tidak sama
dengan apa-apa yang ditulis di dalam buku “Berguru Kepada Allah”. Buku tersebut menguraikan proses perjalanan
spiritual ustad Abu Sangkan itu seperti mudah dan gampang saja. Akan tetapi tidak banyak yang tahu bahwa buku
tersebut lahir setelah beliau bertahun-tahun jatuh bangun dalam proses belajar beliau dalam suasana
berketuhanan. .

Lalu bagaimana… ?.
Latihlah secara kontinu dan tidak pernah menyerah (jahadu). Dan yang tak kalah pentingnya adalah latihlah paling
tidak sekali saja dengan orang yang telah paham tentang arah alamat tempat kita meletakkan kesadaran kita dengan
penuh, yaitu ke Allah. Sekali saja…, dan setelah itu latihlah sendiri dirumah, berduaan dengan Allah.

Berhubung Pak Ibrahim tinggal di Malaysia, cobalah kontak dengan PAK FAISAL di KEDAH (+60125741666) . Dan
cobalah berlatih sesaat dengan beliau. Pengalaman beliau mirip dengan Pak Ibrahim. Beliau baru saja berlatih
di Malaysia diawal Februari 2008 yang lalu dengan Aa’ Yus Ansari (dari Bandung).

Demikian Pak Ibrahim, yang bisa saya sampaikan.


Wassalam
Deka

LAUTAN KIRA-KIRA


Written by Administrator

Mungkinkah kita ini hidup hanya dalam dunia yang bergerak dari satu kira-kira ke kira-kira
berikutnya…?. Pertanyaan ini tentu saja akan menimbulkan pro dan kontra juga bagi kita
untuk menjawabnya. Bagi kita yang setuju, maka sebuah keberagaman dalam segala hal
akan menjadi sebuah keniscayaan saja jadinya. Akan tetapi bagi kita yang tidak setuju
dengan konsep kira-kira ini, maka akan muncul konflik, paling tidak di dalam diri kita
sendiri, tentang kenapa orang lain berpendapat tidak sama dengan apa-apa yang kita
anggap sebagai sebuah kepastian dan kebenaran.

Nah…, disini kita tidak akan membahas tentang kepastian dan kebenaran sebuah konsep
ataupun pemikiran. Karena sebuah kebenaran dan kepastian itu hanya bisa dilekatkan
pada Yang Maha Benar, Yang Maha Pasti saja. Kita hanya akan membahas tentang
bagaimana hampir semua manusia ini hanya hidup dalam dunia kira-kira. Kemudian untuk
setiap peran kira-kira yang kita jalani itu, akan ada pula akibatnya yang harus kita pikul
bahkan terhadap apa-apa yang kita perkirakan itu.

Kalau kita perhatikan dengan seksama, kira-kira yang masing-masing kita melakukannya
itu begitu luasnya, nyaris tanpa batas, sehingga boleh dikatakan hampir menyerupai lautan
yang sangat luas…, lautan kira-kira. Nggak usah jauh-jauh, kalau kita lihat akhir-akhir ini
dalam milis Dzikrullah, akan kelihatan sekali, bagaimana akhir-akhir ini Mr. Yusa Wredyan
Syah, Mr. Deka, Mr. Iskandar, Mr Jhody A. Prabawa,dan sebagainya, keluar dengan
pemahaman beliau masing-masing sesuai dengan sistem nilai yang ada di otak beliau-
beliau itu.

Mari kita urai satu persatu perkiraan-perkiraan yang kita pakai di dalam hidup kita ini.

KIRA-KIRA BADANI…

Kita hampir selalu mengira bahwa tubuh kita adalah seperti bentuk yang bisa terlihat
seperti di dalam sebuah foto atau terpampang di selembar kaca cermin. Secara selintas kita
dibuat untuk mengira bahwa tubuh kita ada batasnya dan terpisah dengan segala sesuatu
dan keadaan di sekeliling kita. Begitu kita mengamati kulit kita, maka maka kita akan
dibawa untuk menyadari bahwa kita adalah substansi yang batasi oleh jaringan kulit
dengan alam disekitar kita.

Jaringan kulit inilah yang membatasi KESADARAN kita, sehingga kita menjadi sosok yang
begitu sempit. Ketika melihat keluar dari kulit itu, maka kita lalu mengira dan
berkata: “ooo… yang diluar tubuh saya itu bukan saya lagi. Itu adalah tubuh
orang-orang lain yang juga dibatas oleh jaringan kulit masing-masing yang
terpisah dari tubuh saya”. Lalu mulailah kita melakukan pembandingan demi
pembadingan dengan diri-diri yang terpisah dengan diri kita itu. Kita, misalnya, mengatakan
itu perempuan, itu laki-laki, itu diri yang berkulit putih, itu londo, itu orang kulit berwarna
atau gelap. Itu si negro, itu si sawo matang.… Itu si cantik, itu si ganteng, itu si jelek, itu si
buruk rupa…, dan seabrek itu-itu lainnya.
Akan tetapi kalau kita mau mengurai diri kita ini, walau dengan tanpa alat bantupun
sekalipun, maka kita akan bisa mendapatkan kesadaran baru. Coba kita amati dengan
kesadaran bahwa tubuh kita ini sebenarnya hanyalah terdiri dari atom-atom yang saling
berikatan satu sama lain. Begitu kita bisa menyadari bahwa diri kita ini hanyalah kumpulan
atom-atom saja, maka kita sudah tidak bisa lagi membedakan mana yang si negro, mana
yang si bule, mana yang si perempuan, mana yang si laki-laki, mana yang si cantik, mana
yang si jelek, mana yang si presiden, mana yang si rakyat jelata, dan sebagainya. Bentuk
tubuh kita sudah tidak nyaman lagi untuk dilihat. Bentuk tubuh kita hanyalah atom-atom
yang bergerak dengan begitu cepatnya. Jangankan atom itu, kalau kita mencoba untuk
melihat wajah seseorang dari jarang 5 sentimeter saja, maka wajahnya sudah tidak sedap
lagi untuk dilihat.

Saat ini, dunia pengetahuanpun sudah dapat memperlihatkan kepada kita bahwa antara
atom-atom yang ada didalam tubuh kita dengan atom-atom yang ada ditubuh orang lain
terjadi pula saling loncat-loncatan energi satu sama lain. Sehingga orang yang teratur dan
kuat gerakan atom-atom di badannya akan dapat memberikan pengaruh kepada diri orang
lain yang lebih kacau dan lemah pergerakan atom-atomnya.

Kalau kita lanjutkan lagi, bukan hanya untuk menyadari atom-atom di tubuh kita, tapi juga
dengan memperhatikan udara yang kita hisap setiap saat, maka kita akan bisa menyadari
bahwa atom-atom udara yang kita hisap itu juga saling berikatan dengan atom-atom udara
yang dihisap oleh orang lain. Dengan sedikit keheningan saja, maka kesadaran kita akan
bisa berubah, bahwa nafas kita dan nafas orang-orang yang disekitar kita, bahkan dengan
orang-orang dari tempat yang berjauhan sekalipun, ternyata berada dalam satu ikatan
pernafasan. Nafas kita semua ternyata berada dalam sebuah ikatan besar nafas yang
terjadi melalui atom-atom udara yang saling berloncatan satu sama lainnya.

Dengan mencoba menyadari hal ini, maka sedikit banyaknya kita akan bisa merasakan
bahwa ternyata kita sesama manusia ini ternyata pada dasarnya adalah sebuah kesatuan
diri dan nafas dalam sebuah ruangan besar alam semesta. Atom-atom tubuh kita ternyata
saling berinteraksi satu sama lain di dalam ruangan yang sama. Hanya ruangan kosonglah
yang membatasi atom-atom yang membentuk tubuh-tubuh kita ini satu sama lainnnya.
Namun ruang kosong itu punya daya-daya yang bekerja didalamnya untuk menahan agar
atom-atom itu tidak bergerak dalam gerak yang liar tak beraturan.

Para ilmuan juga sudah punya cukup bukti yang meyakinkan tentang adanya daya-daya itu
tadi. Cuma sayang…, pengetahuan tentang daya-daya itu belum serta merta bisa membawa
orang untuk sadar kepada SANG EMPUNYA DAYA ITU. Sehingga belum semua orang yang
bisa lurus untuk menyembah SANG EMPUNYA DAYA ITU. Masih banyak diantara kita yang
tersasar-sasar kepada benda-benda yang notabene hanyalah susunan atom-atom yang
melayang dalam sebuah ruang kosong maha besar yang penuh dengan daya-daya yang
memeganginya dengan telaten. Dan tiada lagi yang bisa kita lakukan, kecuali hanya
menundukkan kesadaran kita kepada Sang Punya Daya, Subhanaka….!!.

Akan tetapi…, begitu kesadaran kita masuk kembali kebatas-batas kulit tubuh kita, maka
kita nyaris secara otomatis berada dalam kesadaran bahwa hanya sebatas liputan kulit
inilah saya. Lalu kesadaran kitapun ikut-ikutan menyempit. Apa-apa yang ada pada diri kita
dan disekitarnya mulai kita kira itu adalah milik kita. Ini makanan saya, ini rumah saya, ini
pakaian saya, ini anak saya, ini istri saya, ini rumah saya, ini orang tua saya, dan
sebagainya. Akibatnya saya mulai terbinding dengan kesemuanya itu. Saya jadi terikat
kuat, terjangkar dengan atribut-atribut saya itu, dan sekaligus akan membuat saya sangat
sibuk untuk membela atribut-atribut saya itu. Yang namanya membela, ya membela…. Kita
bisa melihat dengan mudah bagaimana orang-orang bisa sampai mati-matian membela
atribut-atribut yang mereka bela itu, terutama bagi sang pembela yang membabi buta…!.

KIRA-KIRA IMMATERI…

Bahkan untuk hal-hal yag abstrak sekalipun mulai kita klaim pula sebagai milik kita,
misalnya, pemikiran kita, pemahaman kita, ilmu kita, bahkan juga agama kita. Kita
mengira-ngira lalu mengklaim bahwa agama yang benar adalah agama yang sesuai dengan
pemahaman kita atas teks-teks tertulis ataupun bahasa lisan yang sampai kepada kita.
Makanya umat Kristen sangat-sangat yakin dengan agama mereka, seperti yakinnya kita,
umat Islam ini, terhadap kebenaran agama kita. Ya…, wajar saling klaim seperti itu, kalau
kita hanya berbicara terminologi agama secara tekstual. Bahkan kalau hanya secara bahasa
tertulis ataupun lisan seperti ini, maka akan kelihatan sebuah sebuah fenomena yang
sangat menarik untuk dikaji.

Bayangkan, dalam sebuah agama yang sama saja, pemahaman kita sangat sarat dengan
kira-kira yang sangat beragam sekali. Sungguh mengherankan…!. Padahal yang kita saling
coba untuk pahami itu adalah: ayat kitab suci yang sama, hadits yang sama, bahkan
Tuhan dan Nabi yang sama pula. Akan tetapi kenapa kita bisa berbeda. Bukankan secara
badani kita tadi sudah bisa sedikit banyaknya bisa masuk kepada kesadaran, bahwa tubuh
dan nafas kita dengan atom-atom pembentuknya, ternyata mempunyai interaksi yang
sangat harmonis satu sama lainnya…?.

Mari kita lihat sejenak. Misalnya…, kita terlalu sangat sering mengaku, mengira dan bahkan
berkoar-koar bahwa kita sedang membela seseorang, sebuah TATA NILAI, ataupun
SESUATU yang sangat kita HORMATI dan MULIAKAN. Akan tetapi tanpa kita sadari pula,
pada saat yang sama ternyata kita justru sedang merendahkan, merusak, dan bahkan
menghancurkan CITRA sesuatu yang kita hormati dan muliakan itu. Ya seperti pedang
bermata dua saja nampaknya. Salah-salah pakai, malah akan melukai diri kita sendiri.

Kita mengira bahwa suatu saat kita tengah membela agama Islam, akan tetapi jarang kita
yang bisa menyadari bahwa pada saat yang sama kita sebenarnya malah tengah
menghancurkan citra Islam itu sendiri. Kita sering mengira bahwa kita tengah membela
Rasulullah dan ajaran-ajaran Beliau, akan tetapi kita jarang yang sadar bahwa pada saat
yang sama sebenarnya kita malah bisa saja sedang membuat citra Rasulullah terpuruk.
Bahkan ada pula diantara kita yang mengaku tengah membela Tuhan, tanpa kita mampu
untuk menyadari bahwa sebenarnya kita tengah merendahkan Tuhan itu sendiri. Karena
memang semua yang kita lakukan pada hakekatnya ternyata hanyalah demi untuk
membela EGO kita, membela fikiran kita, membela pemahamankan kita sendiri, membela
kepuasan kita diri kita sendiri.

Akibatnya…, kita hanya bisa terheran-heran saja saat kita melihat hasil dari apa yang kita
kira dan lakukan itu tadi. Karena kita…, tiba-tiba saja citra Islam sudah jatuh ke level yang
sangat menyedihkan sekali. Begitu orang menyebut Islam, maka karakternya seperti
kelompok XYZ lah, yang dianggap angker, keras, dan bahkan seperti teroris lah yang
terbayangkan oleh orang. Karena ulah kita…, tiba-tiba saja citra Rasulullah yang sangat
agung itu sudah kita temukan menjadi terpuruk dimata masyarakat dunia. Karena tingkah
kita…, tiba-tiba saja citra Al Qur’an yang agung ini, sudah jatuh menjadi kitab kuno yang
berisikan hanya ungkapan “katanya-katanya” yang realitasnya dipaksa-paksakan untuk
diikuti oleh orang lain. Karena tingkah polah kita…, tiba-tiba saja Al Hadits yang sangat
kontekstual dan berhasil membangun peradaban dizaman Rasulullah, kemudian berubah
menjadi hanya sekedar kalimat-kalimat yang cocok dipakai di negara Arab sana dan di
zaman lalu pula…!.

Sungguh kasihan sekali Rasulullah…. Beliau dari awal sudah menyatakan bahwa nanti umat
di belakang Beliau akan sering bertengkarnya, sering berselisih pahamnya, sering berpecah
belahnya menjadi puluhan golongan yang salah. Dan Beliau menyatakan bahwa hanya ada
satu golongan benar…!. Eh…, kita malah salah dalam menangkap pesan Beliau yang sangat
indah ini. Kita dengan semangat empat lima malah jadi saling rebutan untuk menyatakan
bahwa diri kitalah golongan yang benar itu dan orang-orang yang lainnya adalah salah.
Sekarang ini bukan lagi umat Islam ini terpecah-pecah menjadi tujuh puluhan golongan
lagi, tapi sudah ribuan bahkan jutaan golongan yang sedang rebutan sebutan benar. Namun
sayangnya, benarnya itu masih pada tatanan benar kira-kira saja. Sesuai dengan pemahan
kita masing-masing saja soalnya.

Padahal kalau kita mau sejenak untuk meningkatkan kesadaran kita seperti diatas, maka
satu golongan yang benar itu boleh jadi adalah golongan yang tidak pernah mau rebutan
untuk dikatakan benar itu. Dia tidak mau menyalahkan orang lain, hanya karena perbedaan
ditingkat pemahaman saja atas hal-hal yang sama kalau dituliskan. Mungkin sekali orang
yang dikatakan oleh Rasulullah sebagai satu golongan yang benar itu adalah golongan yang
mampu menyelami dan berenang dalam setiap perbedaan itu tanpa dia ikut basah dalam
banjirnya perbedaan-perbedaan pemahaman itu. Lihatlah Rasulullah, hampir setiap apa-apa
yang disampaikan oleh sahabat kepada Beliau, selalu sahabat itu dibenarkan oleh Beliau.
Walaupun begitu.., Beliau hampir selalu pula memberikan pemahaman lebih untuk dipakai
oleh sahabat tersebut di masa mendatangnya.

Misalnya, ada sahabat yang sudah merasa dirinya baik datang kepada Beliau, Beliau
membenarkannya, tapi sekaligus juga merontokkan keangkuhan sahabat tersebut, seperti
dengan mengatakan bahwa ada sahabat yang lebih baik dari kamu, yaitu si Fulan, sekarang
saja bunyi telapak kakinya sudah kedengaran dari syurga. Atau kalau datang orang yang
namanya si Fulan mintalah do’a kepadanya. Padahal sahabat yang mengaku sudah baik itu
adalah sahabat Beliau yang sepintas memang sudah kelihatan sangat baik. Begitulah
cerdasnya Beliau dalam merontokkan keangkuhan para sahabat Beliau sehingga sahabat-
sahabat Beliau terkenal sebagai orang-orang yang rendah hati…!.

KIRA-KIRA SPIRITUALITAS…

Untuk lebih membedah tentang betapa kita ini sebenarnya hanya berada dalam lautan kira-
kira saja. Kita kira kita sudah paham, kita kira kita sudah ikut apa yang dikatakan Al
Qur’an, kita kira kita sudah berspiritual, dan sebagainya, maka mari kita lihat sebuah
beberapa proses yang sangat sederhana yang akan membawa kesadaran kita tentang
Tuhan.

Tuhan…, sebuah kata yang sangat sederhana ini saja kalau dijelaskan oleh masing-masing
orang, maka akan menjadi sangat ramainya. Apalagi kalau uraian itu hanya sekedar definisi
dan definisi lagi…. “Nggak nyambung boo…”, kata anak saya. Yang satu menguraikannya
sebagai A yang lain mengurainya B, yang lainnya lagi mengurainya C, D, E. dst. Huuuuh…,
rame sekali. Sampai kapanpun nggak akan pernah nyambung, wong segala definisi-definisi
itu hanyalah berdasarkan SISTEM NILAI apa dan mana yang kita pilih dan yakini untuk kita
pakai saja kok.

Padahal kalau kita mau melakukan hal-hal yang sederhana, semua kita ini, siapapun
orangnya, apapun agama kita, atau bahkan atheis sekalipun kita, maka kita tidak akan bisa
mengelak dari realitas yang sederhana itu. Saking sederhananya yang akan kita bicarakan
ini, tidak banyak umat manusia ini yang mau menjadikannya sebagai pintu masuk untuk
meningkatkan kesadarannya untuk MENYADARI EKSISTENSI TUHAN.

Salah satu caranya sudah saya bahas dalam artikel “Membaca Qalam, Menuai Paham”.
Dimana dengan mengamati nafas kita, ternyata kita bisa meningkatkan kesadaran kita
sampai kita mau tidak mau harus mengucapkan Subhanaka…, Maha Suci Engkau wahai
Tuhanku…

Dengan cara yang lain, tapi masih dengan cara mengamati dada kita. Sedikitbanyaknya kita
bisa pula dibawa untuk memahami, tentang bagaimana cara Allah menarok ayat-ayat-Nya
di dalam dada kita, bagaimana Bahasa Allah yang disusupkan-Nya kedalam dada kita, yang
disebut sebagai ILHAM. Sebagai dalilnya cukup kita ambil dua buah ayat berikut ini:

Sebenarnya, al-Qur'an itu adalah ayat-ayat yang nyata di dalam dada


orang-orang yang diberi ilmu. Dan tidak ada yang mengingkari ayat-
ayat Kami kecuali orang-orang yang zalim. (QS.29:49)
Dan tidak ada bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-
kata dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu ataudi belakang
tabir atau dengan mengutus seorang utusan lalu diwahyukan
kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia
Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana (QS. 42:51)

Dari tulisan-tulisan beberapa orang teman sebelumnya, kita juga sudah tahu bahwa ada
pula diantara kita yang memaknai ayat tersebut yang bermuara tentang adanya jenjang
otoritas dan grading dalam keagamaan kita. Ya boleh-boleh saja sebenarnya kesemuanya
itu. Kalau memang dengan cara seperti itu kita mampu keluar dari kesulitan praktek
keberagamaan kita…, kenapa tidak. Akan tetapi jangan pula kita lalu menjadi sombong
dengan menyalahkan orang lain yang barangkali sedang bisa pula merasakan keindahan
agama dengan cara yang lain pula. Asal saja cara itu tidak bertentangan dengan sistem nilai
yang kita rujuk…, yaitu sistem nilai Islam. Nanti tentang sistem nilai ini akan kita bahas
lebih lanjut…

Lalu bahasa macam apa yang bisa kita terima dari Tuhan, karena Tuhan sendiri
mengatakan bahwa Dia selalu menurunkan ilham kepada kita baik ilham tentang kefujuran
maupun ilham tentang ketaqwaan. Tidak pernah tidak. Lalu bagaimana agar kita bisa
membaca bahasa ILHAM tersebut…?. Sehingga kita bisa PAHAM bahwa ternyata Tuhan
tengah mengilhamkan kefujuran kepada kita, atau ternyata Tuhan sedang mengilhamkan
ketaqwaan kepada kita…!. Atau kalau tidak begitu, apakah dengan sudah wafatnya
Rasulullah, Tuhan lalu juga sudah berhenti berkata-kata dengan kita-kita ini…?. Kasihan
sekali kita ini kalau begitu…, ditinggal membisu oleh Tuhan.

Cuma sebagai sekedar rambu-rambu saja, janganlah kita beranggapan bahwa Tuhan akan
berbicara dengan kita dalam bahasa manusia, seperti bahasa Indonesia yang sering
dipraktekkan oleh sebuah kelompok “Komunitas Syurga” yang baru-baru ini diciduk oleh
aparat. Nggak lah…!.
Untuk uraian yang berikut ini, saya akan mencoba menyajikan sebuah cara lain yang sangat
sederhana untuk memahami ayat tersebut dari sisi yang lain pula.

DUDUK BERSANDINGANKAN Al QUR’AN …

Marilah kita mencoba untuk menyandingkan sebuah ayat Al Qur’an dengan dada kita. Lalu
kita amati dan bandingkan dada kita dengan dengan ayat tersebut. Misalkan saja kita ambil
ayat yang berkenaan dengan ciri-ciri orang munafik…

Kalau kita mulai dengan mendefinisi munafik, maka kita akan keluar dengan definisi-definisi
yang boleh jadi bisa berbeda pula. Biar tidak bias, maka mari kita lihat ciri-ciri munafik
berdasarkan salah satu ayat Al qur’an, yaitu:

Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan


membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka
berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan
manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali. (An
Nisaa’ 142)

Coba kita lihat, betapa kita umat Islam ini sangat sering membaca ayat tersebut diatas.
Akan tetapi selama ini pula, dalam membaca ayat tersebut kita hanya sebatas membacanya
saja. Tapi membacanya kita itu, tidak dengan serta merta bisa meningkatkan kesadaran
kita tentang apakah diri kita ini sedang munafik atau tidak. Kita lebih sering mengarahkan
kesadaran kita kepada kemunafikan orang lain. Kita lebih sering menilai kemunafikan orang
lain, kita lebih sering menasehati orang lain agar tidak munafik. Kita lebih kepada
menggurui orang lain tentang kemunafikan dari pada mengajak orang untuk memahami
kemunafikan-kemunafikan kita masing-masing.

Mari kita amati dada kita…, Ada pesan apa yang sedang ditarok Tuhan di dalam dada
kita…?!.

Ketika azan dilantunkan, kita coba amati, dada kita. Bisa jadi saat itu dada kita dihinggapi
oleh rasa malas (kusala), artinya saat itu juga kehendak agar kita shalat dicabut oleh
Allah. Lalu kita melalai-lalaikan shalat kita itu sampai diakhir waktu. Lain kali, bisa saja kita
bangun di tengah malam, misalnya kita kekamar mandi untuk buang air kecil, akan tetapi
saat itu pula kehendak agar kita mau shalat tahajud di ambil oleh Allah. Dengan berbagai
alasan yang kelihatannya masuk akal pula, kita tidak bisa melaksanakan shalat tahajud.
Alasannya yang saya capeklah, yang saya besok pagi-pagi sekali harus pergi kesuatu
tempatlah, dan berbagai alasan lainnya. Semuanya kelihatan masuk akal sekali.

Taroklah memang kita mau berdiri untuk shalat. Akan tetapi betapa sering kita dihinggapi
oleh rasa malas sejak awal gerakan dan bacaan shalat itu. Kita malas untuk tadarru’, kita
malas untuk tuma'ninah, kita malas untuk berdo’a dalam shalat (kita hanya sekedar komat-
kamit saja), kita malas untuk rukuk menghormat dalam sebuah kerendahan hati, kita malas
tersungkur sujud dalam menyembah Tuhan. Gerakan kita itu kelihatan sekali seperti orang
yang malas. Satu-satunya yang kita tunggu mungkin adalah saat salam, ketika mana kita
bisa keluar dari kesulitan dan keberatan shalat itu. Begitu salam…, kita bisa lega luar
biasa. “Selesai sudah sebuah ritual yang kalau tidak kita kerjakan kita akan ditimpa oleh
siksaan Tuhan”, kita membatin.

Kemudian anggaplah kita memang shalat dengan rajin, tepat waktu pula, dan berjamaah
pula. Akan tetapi betapa sering pula dalam melaksanakan shalat itu keikhlasan kita
dicabut oleh Allah. Kita melakukan semuanya itu dengan RIA. Kita ingin dianggap dan
dinilai orangsebagai seorang yang taqwa, seorang yang beriman, seorang yang sangat
shaleh dan berbagai alasan RIA lainnya. Hatta melakukan shalat dengan alasan ingin
mendapat pahala dan syurga serta takut kepada siksaan Allah juga masih disebut sebagai
sebuah perbuatan shalat yang tidak ikhlas.

Lebih-lebih lagi, selama dalam shalat yang kita lakukan, boleh jadi hanya sekitar lima
sampai sepuluh menit saja, selama berapa lama pula kita bisa ingat dan sadar terus kepada
Allah (IHSAN)…?. Bukankah hanya sedikit sekali kita bisa ihsan itu dalam shalat kita…?.

Nah…, sekarang cobalah perhatikan. Lebih jelas mana ayat Al Qur’an yang menerangkan
tentang munafik yang ada di mush’af Al Qur’an itu dengan ayat munafik yang sedang
ditarok dan berada di dalam dada kita sendiri …?. Nyatanya lebih jelas ayat munafik yang
ada di dalam dada kita. Nyata sekali ayat munafik yang ada didalam dada kita
itu. Subhanallah…, hanya dengan beberapa saat saja kita mengamati dada kita, maka kita
segera akan digiring untuk menjadi seorang penyaksi, sang SYAHID, tentang kebenaran
ayat Al Qur’an.

Dan dengan cara yang sama, dengan menyandingkan dada kita dengan ayat-ayat Al Qur’an
yang lainnya, ditambah pula dengan menyandingkan ayat Al Qur’an dengan dada-dada
orang lain di sekitar kita, dan bahkan menyadingkannya dengan alam semesta dan segala
isinya, maka insyaAllah kita akan dibawa selangkah demi selangkah untuk menjadi seorang
penyaksi yang mau tidak mau akan membenarkan ayat demi ayat dari Al Qur’an. Tidak bisa
tidak…!. Sebab yang namanya munafik, kufur, syirik, benci, marah, iman, taqwa, ikhlash,
ihsan, dan berbagai macam kefujuran maupun ketaqwaan lainnya akan datang silih
berganti menyapa dada kita masing-masing dari waktu kewaktu sepanjang masa, yang
tentunya juga dengan sebuah alasan yang sangat tepat pula.

Makanya sebab musabab turunnya, misalnya, ayat tentang orang munafik tersebut,
adalah ada dulu orang munafiknya saat itu, baru kemudian turun ayatnya. Jadi fungsi
Rasulullah dalam hal ini hanyalah sebagai seorang translator saja dari adanya sebuah
realitas atau keadaan munafiknya seseorang tersebut menjadi bahasa manusia, yaitu
bahasa Arab. Karena Beliau adalah Rasulullah, maka proses translasisuasana orang
munafik tersebut kedalam bahasa Arab dipandu oleh Allah melalui malaikat JIBRIL.

Jangankan Rasulullah, yang memang mempunyai kapasitas kearifan dan kehalusan rasa
yang sangat luar biasa, kita sendiri orang yang biasa-biasa saja, juga
bisa merasakan apakah seseorang, misalnya anak kita, sedang shalat dengan rasa ikhlas
atau dengan rasa malas-malasan.

Lalu kenapa harus Jibril yang harus memandu Beliau dalam proses translasi dari suasana
menjadi bahasa tertulis itu…?. Kenapa tidak Allah sendiri yang berbicara langsung kepada
Beliau kata per kata, kalimat per kalimat…?. Ini merupakan pertanyaan-pertanyaan yang
sudah berumur sejak zaman nabi-nabi sebelum Muhammad SAW.

Jawabannya juga sederhana sekali. Kalau Allah sendiri yang menyampaikannya, maka
bahasa yang dipakai Allah kepada kita semua termasuk kepada Rasul-Rasulnya dahulu
adalah dalam bentuk bahasa QALAM, bahasa ILHAM, bahasa WAHYU, bahasa TABIR,
atau bahasa KUN FAYAKUN (jadilah, maka jadilah), yang merupakan beberapa
ungkapan berbeda untuk satu hal yang sama, yaitu BAHASA TUHAN.
Sekarang marilah kita amati lebih dalam…, bahasa macam apa pula yang disebut dengan
bahasa tabir, bahasa kun fayakun ini. Dan bagaimana pula cara untuk membacanya. Sebab
Tuhan hanya mengisyaratkan cara mambacanya secara singkat dan sederhana, yaitu:
“Bacalah semuanya dengan nama Tuhanmu…, Iqraa bismirabbik…”

MEMBACA TABIR, MENGUAK KUN…

Bahasa tabir adalah sebuah bahasa yang tidak ada kalimat-kalimatnya, tidak ada huruf-
hurufnya, tidak ada suara dan bunyinya. Cukuplah SANG Maha Berbicara hanya
dengan berkehendak saja…, “KUN (jadilah), FAYAKUN (maka jadilah)”.
Misalnya: “Munafiklah kamu, maka lalu ditaroklah kemunafikan itu di dalam dada
kita saat itu juga…”. Ya…, munafik itu langsung tertanam didalam dada kita, tanpa kita
bisa mengelak sedikitpun Sehingga kita hanya bisa terheran-heran saja karenya. Dan
luarbiasanya, kita juga tidak bisa keluar dari kemunafikan itu dengan mudah, kecuali Dia
sendiri nanti yang akan mengambilnya kembali. Semua itu terjadi tanpa perantara sedikit
pun.

Jadi kalau kita mengira bahwa Allah seharusnya berbicara langsung kepada kita melalui
bahasa manusia, berupa kalimat-kalimat, huruf-huruf, bacaan-bacaan dan suara-suara
seperti bahasa Arab yang kita kira, maka nantinya tidak ada bedanya lagi antara Tuhan
dengan makhluknya.Ya…, seperti di filem-filem India atau di sinetron-sinetron
itulah. Padahal Tuhan tidak…, tidak…, dan tidak akan pernah sama dengan makhluknya.
Paling tidak dalam tata nilai Islam, entahlah kalau dalam sistem nilai lain diluar Islam.

Agar kita tidak tersesat, mari kita lihat dulu peta kita, yaitu Al Qur’an. Wajah Tuhan yang
harus kita pandang seperti apa…?.

Ada…, bahwa Wajah Tuhan kita adalah Wajah yang tidak sama dengan wajah-wajah
apapun juga. Dia LAISA KAMISTLIHI SYAI’UN….!.Nah… kewajah INI lah kita harus
menghadap. Sebab untuk bisa mengerti tentang bahasa yang tidak sama dengan bahasa
apapun juga itu, maka mau tidak mau terlebih dahulu haruslah kita bisa pula
menghadapkan wajah kita kepada WAJAH yang tidak sama dengan apapun pula. Kalau
tidak, kalau masih ada wajah lain yang terpampang dihadapan kita, hatta wajah yang kita
kira JIBRIL sekalipun, atau wajah apapun jugalah namanya, maka bahasanya pastilah
bukan bahasa tabir yang unik seperti diatas. Yang kita dapatkan hanyalah tabir yang
berbicara-bicara dengan bahasa kita sendiri.

Jadi agar kita bisa membaca bahasa tabir yang hakiki, maka pertama-tama segala tabir
apapun juga yang ada haruslah terlebih dahulu dinafikan (dihilangkan, diabaikan):

Laa Ilaha…, Laa Ilaha…, Laa Ilaha…!.

Mmm…, bukan itu…,

Aaa…, bukan itu juga…

Nnn…, ndak…, ndak…, ndak itu semua…,

Pergi semuanya…
Setelah semua itu pergi dari hadapan wajah kita, maka yang tinggal hanyalah yang
tidak bisa kita halau lagi dari hadapan wajah kita…

Yang tinggal hanyalah INI…

INI ….

INI Ada Dia…, Huu…, Huu…

Lalu kita teguhkan…

Hanya Yang INI saja bagiku…, yaitu Engkau…!

Lalu kita istbath-kan kepada Sang Dia…, Huu…

Illa Anta…, Illa Anta…, Illa Anta…

Kecuali hanya Engkau…,

Hanya Engkau saja…, Hanya Engkau saja…!.

Tidak yang lain itu…

Hanya Engkau saja…,

Tidak yang itu…, yang itu…, yang itu…. No…!. Tidak…!.

Anta Allah…, Anta Allah…,

Engkaulah Allah…, Engkaulah Allah…!.

Anta Rabbana… Anta Rabbana…,

Engkaulah Tuhanku…, Engkaulah Tuhanku…

Illa Allah…, Illa Allah…, Illa Allah…!.

Kecuali hanya Yang INI, Allah…, Kecuali hanya Yang INI, Allah…, Kecuali hanya
Yang INI, Allah…,

Illa Rabbana…, Illa Rabbana…, Illa Rabbana …!.

Kecuali hanya Yang INI, Tuhanku…, Kecuali hanya Yang INI, Tuhanku…, Kecuali
hanya Yang INI, Tuhanku…,

Lalu dengan setarikan nafas panjang dan penuh dengan semangat yang
menggumpal pekat kita teriakkan di dalam diam kita:

Laa Ilaha…., Illaallah…!.

Kita ulangi lagi beberapa kali dengan rintihan penuh rasa santun:

Laa Ilaha… Illaallah…!. Laa Ilaha Illaallah…!. Laa Ilaha Illaallah…!.

Lalu kita tinggal hanya diam menunggu, WUQUF…. Kita tunggu dengan sabar…, sabar…,
dan sabar. Kita tidak usah terburu-buru. Karena hak untuk memberikan pengertian demi
pengertian itu hanyalah Hak-Nya semata-mata. Hak Dia semata., bukan hak kita. Hak kita
hanya danhanyalah menunggu…, menunggu…, dan menunggu dengan sabar.
Lalu…, suasana yang muncul hanyalah suasana getar-menggetar yang sangat halus sekali,
tapi bukan dalam bentuk getaran-getaran berfrekuensi. Proses yang terjadi dalam saat
penantian, saat wuquf itu, adalah peristiwa respon-merespon yang sangat pekat, tapi
semua itu terjadi bukan dalam bentuk suara-suara, bukan dalam bentuk kata-kata. Saat
itu tidak ada huruf-huruf, tidak ada kalimat-kalimat, tidakada warna-warni, tidak ada
rupa-rupa. Bahkan saat itu tidak ada cahaya-cahaya apapun juga, namun begitu, ketika itu
juga tidak gelap sedikitpun…!.

Selang beberapa lama kemudian…, akan muncul rasa selesai….

Deerrr…, selesai…, putus…!.

Lalu perlahan-lahan kita amati dada kita yang merupakan salah satu tabir, diantara
sejuta tabir yang lainnya, tempat mana DIA akanmenarok bahasa-Nya. Bahasa KUN,
Bahasa TABIR.

Amatilah dada kita itu dan bacalah bahasa itu disana…

Aha…, dadaku kini menjadi lapang…

Aha…, dadaku menjadi sangat tenang dan damai…

Aha…, aku bisa memahami bahwa tadi sebelumnya dadaku itu begitu sempitnya, penuh
dengan rasa ini, ras dengki, dan sebagainya.

Aha…, sekarang saya jadi mengerti tentang apa-apa yang tadinya aku bingung tentangnya.

Aha…, sekarang aku jadi mengerti tentang problem-problem yang tadinya kuanggap bukan
sebagai problem.

Aha…, Aha…, Aha…, dst….!.

Kemudian…, pengamatan selanjutnya bisa saja kita teruskan kepada apa-apa yang ada
disekitar kita. Misalnya, dalam hal ini, saya mencoba untuk memandang kepada Mr. Yusa
Wredyan Syah; Mr. Iskandar; Mr Jhody A. Prabawa, to say the least. Tentu saja saya
memandang beliau-beliau ituhanyamelalui tulisan-tulisan beliau-beliau saja.

Dan…, subhanallah…, ternyata kesemua beliau-beliau itu juga adalah ayat-ayat Tuhan
adanya. Beliau-belaiu adalah tempat Tuhan menarok bahasa-Nya agar saya bisa mengambil
pengertian-pengertian. Begitu jelasnya…!

Aha… saya jadi bisa mengerti Pak Yusa Wredyan Syah

Aha…, saya jadi bisa paham dengan Pak Iskandar, Pak Jhody A. Prabawa….

Dan kemudian sepertinya ada pembatas yang sangat tegas antara suasana yang tadinya
ada dengan suasana yang sekarang muncul. Ada batas yang jelas antara marah dan sabar,
ada batas yang jelas antara benci dan cinta, ada batas yang jelas antara baik dan buruk.
Dan sekarang saya malah jadi begitu menikmati segala perbedaan-perbedaan pemahaman
yang muncul dengan begitu cepatnya. Sungguh menggairahkan sekali.

Namun…, saya juga seperti diingatkan, bahwa dalam mengertinya saya itu, Dia juga sedang
memperingatkan saya dengan tegas: “Wahai hamba-Ku…, dari-Ku lah semua
pengertian-pengertian dan kepahaman-kepahaman itu…!”. Dan tiada lain yang bisa
saya lakukan, kecuali saya tinggal hanya berterima kasih kepada-
Nya. Alhamdulillah…!. Kalau tidak maka di dada saya akan kembali ditarok oleh Allah
dengan rasa sombong yang rasanya sungguh tidak enak.

Dan saya menjadi saksi, kalau di dada kita ini sudah di tarok rasa sombong oleh Allah,
maka sebenarnya yang terjadi adalah Allah sedang menjauhi kita, karena kesombongan kita
itu. Sebab sombong itu benar-benar hanyalah selendang buat Allah saja, bukan buat yang
lain. Dan kalau kita sudah dijauhi oleh Allah, ditendang oleh Allah, maka apa saja rasanya
jadinya tidak enak. Beda pendapat saja jadi tidak enak…!.

MERANGKAI KALIMAT-KALIMAT….

Kalau sudah begini…, maka sebenarnya sudah terserah kita saja. Mau diapakan
pemahaman demi pemahaman yang ditarok Allah kedalam dada kita itu. Apa mau kita
translate “aha…, aha…, aha” tadi itu kedalam bahasa manusia atau tidak. Kalau tidak maka
semua pemahaman itu hanya untuk diri kita sendiri. Betapa sempitnya kalau memang
seperti itu. Hanya mementingkan diri kita sendiri.

Oleh sebab itu, mari kita lihat apa yang dilakukan oleh junjungan kita yaitu, Muhammad
Rasulullah Saw.

Begitu Rasulullah berhasil memandang Allah, yang prosesnya dimulai di GUA HIRA,
dengan arah dan alamat yang tepat seperti yang dituntun oleh JIBRIL, maka sejak itu
pulalah sebenarnya Beliau mulai menjalani destiny Beliau sebagai seorang Nabi, seorang
Rasul. Dengan mandat itu…, Beliau ditugaskan Allah untuk menjadi seorang TRANSLATOR
yang akan menerjemahkan bahasa KUN, Bahasa TABIR menjadi kedalam bentuk bahasa
MAKHLUK. Yaitu bahasa yang ada huruf, ada bunyi, dan ada kalimat-kalimatnya.

Karena Beliau adalah seorang yang UMMI, yang tidak bisa tulis dan baca, maka oleh sebab
itu haruslah ada pula dari unsur makhluk yang akan memandu Beliau dalam menghasilkan
deretan huruf demi huruf, kalimat demi kalimat dalam menterjemahkan bahasa Tuhan itu.
Dan makhluk itu di sebut dengan JIBRIL. Sang JIBRIL lah yang menuntun Rasulullah dalam
melakukan translasi secara lengkap atas bahasa Tabir itu. Sebab kalau tidak, kalau hanya
Rasulullah sendiri yang melakukan terjemahan bahasa KUN FAYAKUN itu kedalam bahasa
Arab, maka Beliau bukan lagi disebut sebagai seorang Rasul Allah yang dibimbing oleh
Allah. Dan akibatnya derajat Beliau akan jatuh menjadi hanya seorang bisa yang berbicara
dengan hawa nafsunya sendiri. Padahal Allah menyatakan bahwa kalau Muhammad itu
berbicara dengan hawa nafsunya, maka Allah akan memutuskan tali jantung Beliau:

Seandainya dia (Muhammad) mengada-adakan sebagian perkataan atas


(nama) Kami, Niscaya benar-benar kami pegang dia pada tangan
kanannya. Kemudian benar-benar Kami potong urat tali jantungnya. (Al
Haaqqah 44-46)

Jadi jelas sekali bedanya antara kita dengan Rasulullah. Seperti berbedanya batu kali
dengan batu mutiara ratna manikam. Makanya hasil yang didapatkan oleh Rasulullah dalam
membaca bahasa KUN FAYAKUN, bahasa QALAM itu juga sangat sempurna sekali. Beliau
berhasil membaca secara UTUH bahasa QALAM itu yang tertuang di dalam kitab segala
kejadian dan sekaligus juga kitab segala kehancuran darisegala apapun juga. Bahkan
Beliau mampu pula membaca tentang KEBERADAAN DZAT KEABADIAN yang ADANYA tanpa
AWAL dan AKHIRNYA tanpa AKHIR secara paripurna pula. Dan akhirnya, dengan secara
UTUH pula KESEMUANYA berhasil Beliau translasikan kedalam bentuk bahasa tertulis, yaitu
bahasa ARAB, bukan dalam bahasa Persia, ataupun bahasa Yunani.

Dan luar biasanya lagi, tidak ada satupun bahasa Qalam itu yang tertinggal, atau tercecer
dari pengertian Beliau. Semuanya berhasil beliau rangkai pula, dengan bantuan JIBRIL,
menjadi sebuah POTRET atau PETA POHON BESAR KEHIDUPAN, yaitu AL QUR’AN. Sungguh
Al Qur’an ini adalah sebuah peta yang sangat sempurna yang bisa kita jadikan sebagai
pedoman kita dalam menjalani kehidupan ini.

Lalu untuk kita sendiri bagaimana…?. Masih perlu pulakah masing-masing kita ini menjadi
seorang translator atas bahasa Kun Fayakun dari Tuhan yang tetap akan menyapa setiap
ciptaannya sepanjang masa itu…?.

Untuk menjawabnya mari kita temukan saran yang diberikan oleh Rasulullah dalam hadits
Beliau yang terkenal:

 Telah kutinggalkan dua perkara, yang kalau kalian mengikuti keduanya, maka kalian
akan selamat. Dua perkara itu adalah Al Qur’an dan Sunnahku…
 Antum a’lamu ‘ala umuriddunyakum, kamu lebih tahu daripada aku tentang
urusan duniamu…!
 ”Sampaikanlah kebenaran itu walau hanya satu ayat”. Satu kalimat dua kalimat saja
sudah cukup sebenarnya. Ya…, sebatas kemampuankitalah.

Kalau begitu sungguh sederhana sekali sebenarnya tugas kita ini. Tidak seberat tugas yang
dipikul oleh Rasulullah.

Sebagai peta yang paripurna, Al Qur’an maupun pada bagian-bagian tertentu dari Al Hadits
telah membuat kita menjadi sudah tidak perlu lagi capek-capek untuk merangkai kalimat-
kalimat untuk menerangkan tentang bahasa KUN, bahasa TABIR, yang berhasil kita pahami.
Kita tinggal merujukkan saja ke ayat-ayat yang ada didalam Al Qur’an. Selesai tugas kita.
Hal ini berlaku terutama untuk hal-hal yang berkaitan dengan tauhid, ibadah, akhlak,
keimanan, ketaqwaan, khusyu’, dan beberapa hal yang lainnya. Begitu juga dalam hal-hal
yang berkaitan dengan kefujuran seperti munafik, kufur, dan sebagainya.

Akan tetapi, begitu kita merasakan sebuah dorongan agar kita bisa sharing bahasa Tabir itu
dengan orang lain, maka begitu kita diberi kepahaman tentang sesuatu, maka tidak ada
salahnya kita mencoba untuk merangkainya, walau dengan terbata-bata sekalipun. Untuk
itu, maka langkah pertama yang harus kita lihat adalah, apakah bahasa-bahasa yang kita
keluarkan itu bertentangan atau tidak dengan peta besar Al Qur’an yang telah berhasil di
gambar oleh Rasulullah dengan begitu lengkap tapi praktis. Jangan kita sandingkan dengan
“katanya-katanya” yang berasal dari banyak sumber yang diluar itu. Kalau bertentangan,
maka pastilah itu bahasa ego kita, bahasa hawa nafsu kita sendiri. Dan buru-buru lah kita
lari ke Allah untuk minta ditunjuki bahasa yang benarnya seperti apa. Kalau tidak, dan
ketidaksesuaian itu tetap kita lanjutkan terus, maka bahasa kita itu akan menjadi bahasa
yang ditentang oleh bahasa peradaban masyarakat.

Kalau bahasa yang akan kita rangkai itu tidak ada pertentangan dengan peta Al Qur’an,
maka tidak ada salahnya kita mencoba untuk menjadi seorang yang hanya sekedar
menyampaikan satu dua ayat yang kita pahami. Diterima atau ditolak orangpun itu sudah
bukan masalah lagi sebenarnya. Toh yang akan membuat orang untuk mengerti atau tidak
dengan apa-apa yang kita sampaikan itu bukanlah hak kita. Sebab untuk memberi hidayah
itu adalah PURE hak dan milik Tuhan. Ya enjoy saja…!.

Sedangkan untuk Bahasa Tabir yang lainnya yang disampaikan-Nya melalui tabir-tabir-Nya
yang yang lain yang bertebaran di muka bumi ini, maka siapapun yang duluan menjadi
paham dan mengerti, maka sudah kewajibannya sendiri untuk membahasakannya menjadi
bahasanya sendiri, untuk dipakai demi kemaslahatannya sendiri maupun orang lain. Kalau
tidak, maka dia akan rugi sendiri. Misalnya saja, Bahasa KUN di tabir petir, telah berhasil
dibaca dan di translasi oleh orang-orang menjadi bahasa lampu listrik, bahasa komputer,
bahasa electric arc furnace (di pabrik baja), dan sebagainya. Kalau tidak, yaa…, kita akan
tetap dirumah bilik berlampukan lilin atau lampu tempel. Dan sebagainya.

Sungguh tabir-tabir tempat Tuhan menarok bahasa-Nya sangatlah tidak terbatas. Kering
tujuh lautan untuk menuliskannya, maka belumlah kita akan berhasil mengurainya walau
hanya sebahagian kecil saja.

Ya selesai sudah sekelumit pembahasan saya tentang lautan kira-kira. Buat sesaat lega
rasanya dada saya. Alhamdulillah…!.

Dan bagi Anda yang membacanya, begitu Anda selesai membacanya, maka seketika itu
juga tulisan saya ini sudah menjadi obsolet. Sudah ketinggalan zaman dan menjadi sejarah
pula. Oleh sebab itu jadikanlah tulisan ini hanya sebagai batu loncatan saja untuk Anda
injak-injak dalam rangka Anda melangkah ketahapan pemahaman selanjutnya. Saya tidak
akan berkecil hati sedikitpun andaikan tulisan saya ini nanti ada yang dipakai sebagai kertas
pembungkus sayur-sayuran.

Teruslah Anda semua menjalankan kesadarannya. Sungguh sangat tak terhingga dan tak
akan pernah berhenti Tuhan dalam mengalirkan kepahaman demi kepahaman kepada
hamba-hambanya yang mau diberinya pengajaran sepanjang masa.

Jl. Kabel no. 16, Cilegon

30 Desember 2005, jam 06.00

Wass

Deka

KAFIR atau DZIKIR, The Ultimate Choices




Written by Administrator
Gelitikan:

1. Yong Jaya <>'; document.write(''); document.write(addy_text40922); document.write('<\/a>'); //-->\n ; wrote:

Subject: RE: [dzikrullah] Tawajjuh

Disatu sisi, Allah itu tak terbayangkan, tak terpikirkan, dan tidak ada yang menyamai…

Disatu sisi, Ada pengakuan manusia telah berjumpa dgn Allah…

Jadi, yang ditemuinya itu siapa..?

Persepsi ” diri ” nya ? atau ...

Si” AKU ” yang berani-beraninya mengklaim, bahwa dirinya telah bertemu/ berjumpa.... dgn Allah..?

Wassalam,

Yong

____________________________________

2. fani.bachsin@sea.ccamatil.com wrote:

Assalammu'alaikum War Wab

Karena Allah itu tak terbayangkan, maka kalau pun ada manusia yg mengaku telah berjumpa dgn Allah maka dia
tidak akan pernah bisa menceritakan pengalaman perjumpaannya tsb karena tidak ada satu pun bahasa di dunia yg
bisa mewakili ...

Wasaalam,

Fani Bachsin

Balasan Gelitikan:

Aha…, Mas Yong Jaya dan Mas Fani rupanya yang mencoba menggelitik kita di milis ini dengan ungkapan-ungkapan
yang sangat jujur dan sangat mendasar sekali. Ungkapan seperti diatas merupakan ungkapan umat manusia
sepanjang zaman. Nabi Ibrahim ‘alaihissalam sendiri yang notabene adalah seorang kekasih Tuhan sampai-sampai
diabadikan di dalam al Qur’an tentang perjalanan Beliau dalam MEMBUKA KESADARAN Beliau tentang Tuhan.
Karena saat itu, kesadaran Beliau barangkali memang belum terbuka tentang Tuhan, walau Beliau tahu dan punya
pengetahuan bahwa ada Tuhan yang berperan pada segala sesuatunya. Maka suasana diri Beliau yang tertutup dari
kesadaran itu namanya Beliau sedang ter-cover, tertutup, terhijab, atau dalam bahasa yang universal disebut
sebagai KAFIR. Ya…, kafir…!.Ndak lebih dan ndak kurang. Akan tetapi kemudian, dalam perjalanan Beliau, akhirnya
KESADARAN Beliau bisa TERBUKA (DZIKIR) juga akan Allah, sehingga dalam perjalanan hidupnya Beliau disebut
juga sebagai SAHABAT ALLAH.
Selama ini mungkin kita sudah sangat kenyang dengan doktrin dalam berbagai agama tentang kata-kata KAFIR ini.
Dimana cap kafir ini sudah berubah menjadi sebuah ungkapan yang sangat MENAKUTKAN, MENJIJIKKAN, dan
MENGERIKAN. Saat cap kafir ini sudah melekat pada diri seseorang, maka sepertinya orang itu sudah kita anggap
sebagai seseorang yang punya kesalahan yang sangat fatal dan derajat yang sangat rendah. Dengan mencap orang
lain kafir, maka sepertinya ada diantara kita yang merasa bahwa darah orang kafir itu HALAL untuk ditumpahkan.
Sehingga dalam sejarah peradaban manusia, kita sudah sangat hafal dengan berbagai peperangan demi
peperangan yang di jalani oleh kakek moyang kita.

Dengan cap kafir terhadap seseorang, maka kebanyakan dari kita akan melihat orang yang di cap kafir itu dengan
pandangan penuh kebencian, penuh kecurigaan, dan bahkan penuh kemarahan. Karena kita takut jangan-jangan
orang yang di cap kafir itu akan membawa kita juga untuk menjadi kafir. Padahal status kafir ini dalam pelajaran-
pelajaran agama apa pun akan diganjar dengan neraka. Sebuah ganjaran yang membuat kita GACAR (mencret)
karena ketakutan.

Padahal kalau kita kupas agak sekupas dua kupas, maka ungkapan KAFIR ini hanyalah sebuah ungkapan dengan
pengertian yang sangat sederhana saja. Bahwa seseorang yang TIDAK MENYADARI akan SESUATU, maka orang
itu dikatakan sedang KAFIR (ter-cover), tertutup kesadarannya terhadap SESUATU tersebut. Hanya sesederhana itu
saja kok pengertian tentang KAFIR. Kitanya saja yang mau-maunya di distorsikan pemahaman kita seperti sekarang
ini, sehingga jadilah kita seperti saat ini. Umat yang hidup penuh dengan konflik yang dipelihara turun-temurun hanya
karena sebuah kata KAFIR. Masalah bagaimana pedih dan kerasnya hukuman Tuhan terhadap orang-orang yang
kafir kepada Allah adalah masalah lain lagi. Begitulah salah satu cara Allah dan Rasulullah memotivasi umat manusia
agar mau ingat dan sadar kepada Allah, yaitu dengan menakut-nakuti umat manusia dengan hukuman yang sangat
pedih dan di neraka pula tempatnya.

Disamping itu, saat saya tidak mampu membuka kesadaran saya terhadap ketuhanan YESUS seperti yang diyakini
oleh umat Nasrani, maka umat Nasrani akan menganggap saya sebagai seorang kafir terhadap Yesus,
ya ndak masalah. Begitu juga saat saya tidak mampu membuka kesadaran saya tentang Allah, maka saat itu saya
akan dilabeli oleh Allah sendiri sebagai seorang yang kafir terhadap Allah. Walaupun ilmu pengetahuan saya tentang
Allah barangkali sudah sangat lengkap, akan tetapi jika pada saat yang sama saya tidak sedikit pun merasakan
IHSAN terhadap Allah, maka boleh jadi saat itu saya sedang kafir kepada Allah. Ya…, karena saat itu saya tidak
sedikit pun sadar akan keberadaan Allah. Ungkapan seperti ini yang kita tidak siap untuk menerimanya.

Untuk membuktikan tentang tidak ihsannya kita ini sangat gampang sekali kok. Saat di keseharian kita, mampu
nggak kita untuk merasa “SUNGKAN” untuk berbuat TIDAK BAIK, atau mampu nggak kita untuk merasakan
“TUNTUNAN” Tuhan atas setiap tindakan kita ke arah yang BAIK-BAIK. Kalau yang ada adalah rasa TIDAK
SUNGKAN kita untuk berbuat tidak baik, dan rasa TIDAK DITUNTUN ke arah yang BAIK, maka saat itu juga kita
bolehlah untuk SANGAT khawatir, jangan-jangan Tuhan memang sedang mencampakkan dan membiarkan kita
(istidraj).

Tapi jangan khawatir. Saat kita digeletakkan oleh Allah ini (dalam posisi istidraj), sebenarnya kita tetap dan tengah
dituntun oleh ALLAH juga. Namun tuntunan Allah itu ke arah yang TIDAK BAIK. Ya…, arahnya saja yang salah.
Betapa tidak. Untuk berbuat jahat dan tidak baik itu sebenarnya kita butuh daya, tenaga, dan keberanian yang
sangat besar. Untuk berbohong saja, misalnya, kita rasanya harus mengeluarkan tenaga ekstra. Apalagi untuk
mencuri, berzina, korupsi, dan berbagai perbuatan tidak baik lainnya. Sungguh semuanya itu butuh daya yang
sangat besar. Apalagi kalau semua perilaku buruk itu melekat pada diri kita sendiri. Wuiih…, dahsyatnya power yang
kita butuhkan.

Makanya dalam keseharian kita, dalam shalat kita, kita selalu minta dituntun Allah ke jalan yang LURUS (Ihdinash
shiraathal mustaqiim). Tapi itulah kita manusia ini, kita hampir sebagian besar tertahan dari tuntunan Tuhan ke arah
yang lurus (baik) ini. Dan anehnya lagi tertahannya kita dari tuntunan Tuhan ke arah yang baik itu karena kita
memang tengah DIBUAT LUPA atau DIJADIKAN TIDAK TAHU oleh ALLAH dalam memanfaatkan SWITCH (tombol)
penentu arah saat kita berada dipersimpangan jalan antara yang baik dan yang buruk itu. Nah…, supaya tidak dibuat
lupa oleh Allah, maka carilah switch itu sampai dapat, dan kita nanti tinggal menikmati tuntunan ke arah yang baik.

Kemudian, dalam pelajaran tentang TUHAN pun, kita selama ini sudah sangat jauh terdistorsi dari suatu pengertian
yang sebenarnya sangat sederhana. Dengan pengetahuan yang sampai ke otak kita, dari berbagai sumber, seakan-
akan kita umat manusia ini sedang sibuk mencari diri sendiri dan juga mencari Tuhan. Dengan pengajaran tersebut,
seakan-akan kita saat ini tengah berada dalam suasana KEHILANGAN DIRI kita sendiri dan KEHILANGAN TUHAN
pula, sehingga harus kita temukan lagi. Maka kemudian lahirlah berbagai konsep tentang usaha umat manusia
dalam mencari dan menemukan dirinya sendiri maupun Tuhan. Dan anehnya, SEMAKIN RUMIT konsep itu, maka
orang umumnya menganggapnya sebagai sebuah konsep yang LEBIH BENAR.

Dalam menghadapi kerumitan konsep itu, umumnya umat manusia terpecah menjadi dua kelompok. Kelompok
pertama adalah orang yang mau tidak mau terpaksa harus menerima kerumitan itu sebagai sebuah sikap hidup.
Karena kalau tidak, maka kelompok ini sangat ketakutan dengan cap kafir dengan ganjaran yang sangat mengerikan
seperti yang sudah dijelaskan di atas : NERAKA. Kelompok kedua adalah gerombolan orang yang bersikap MASA
BODOH terhadap konsep yang rumit-rumit itu, saking rumitnya. Karena dengan tidak memakai konsep yang rumit itu
hidup mereka toh nggak menderita-menderita amat. Enjoy aja kata sebuah iklan…!.

Mungkinkah ada konsep yang SANGAT SEDERHANA agar kita bisa DISADARKAN tentang diri kita dan tentang
Tuhan…?. Sehingga kita tidak sanggup lagi untuk bersikap masa bodoh, seperti tidak sanggupnya kita untuk merasa
terpaksa dalam menjalani konsep demi konsep yang tadinya meletihkan kita.

Berbagai Cover…

Dulu kesadaran saya tertutup, kafir, atau berhenti tentang Tuhan yang sebenarnya dan yang seharusnya. Karena
saat dulu itu konsep (ilmu pengetahuan) yang masuk ke otak saya tentang Tuhan adalah bahwa Tuhan itu
bersemayam di Arsy yang berada di langit ke tujuh (sidratul muntaha)yang entah dimana. Dan untuk bertemu dengan
Tuhan, maka kita harus melewati alam-alam akhirat dulu, karena kita hanya bisa bertemu dengan Tuhan di akhirat.
Dan itu pun ketemunya NANTI. Hanya Muhammad Rasulullah sajalah yang pernah ketemu Tuhan saat Beliau masih
hidup. Dan pertemuan itu adalah disidratul muntaha saat Beliau “Isra’ dan Mi’raj”. Sedangkan buat kita-kita umat
Beliau ini, pertemuan dengan Tuhan itu nantinya adalah di akhirat. Ditambah lagi dengan pemahaman tentang Tuhan
yang beredar umum di tengah-tengah masyarakat, bahwa Tuhan bersemayam yaitu di Arasy-Nya.

Sampai di pemahaman seperti ini sebenarnya tidak ada masalah sama sekali. Karena dalam banyak hadits
Rasulullah memang memberikan wejangan Beliau seperti itu kepada sahabat-sahabat saat itu. Juga dalam Al Qur’an
sendiri dinyatakan bahwa Allah “tsummastawa ‘alal arsy yudabbirul amra”, Dia bersemayam diatas ‘Arsy untuk
mengatur segala urusan”.

Akan tetapi sayangnya tidak jarang diantara kita, kalau tidak mau dikatakan mayoritas umat Islam, yang terjebak
dalam memahami makna bersemayam itu seperti bersemayamnya seorang raja di singasananya. Dan singasana
Tuhan itupun berada di langit ke tujuh, bahwa singasana-Nya ada di Sidratul Muntaha, bahwa Tuhan hanya bisa
ditemui di akhirat dan dan itupun nanti pula, maka secara tidak sadar sebenarnya kita telah mempersepsikan
menghadap Tuhan itu sebagai orang awam berhadapan dengan sosok raja diraja di langit. Sehingga Tuhan seakan-
akan sosok yang sangat jauh dengan kita. Ya…, seperti dewa gitu loh…!. Apalagi dengan adanya hadits yang
menyatakan bahwa Allah turun ke langit dunia di sepertiga malam…, dst.

Makanya, karena mengharap pertemuan dengan Tuhan di akhirat itu, segala ibadah dan amalan saya lakukan
dengan harapan untuk dapat pahala sehingga nanti bisa bertemu dengan Tuhan di akhirat dan dimasukkan-Nya
kedalam syurga-Nya. Enak nggak enak, maka ibadah dan amalan itu harus saya lakukan. Karena kalau tidak
dilakukan, maka Tuhan akan marah kepada saya.

Akibatnya, kita lalu mencari-cari Tuhan dengan otak kita. Lalu tidak sedikit pula orang yang hanya sampai di
kesadaran bahwa tidak mungkin orang bisa bertemu Tuhan di dunia ini. Kalau ada yang mengaku bertemu Tuhan,
maka jangan-jangan itu hanya persepsi dirinya sendiri, atau Si ”AKU” yang berani-beraninya mengklaim, bahwa
dirinya telah bertemu/ berjumpa.... dgn Allah..?. Dan berbagai ungkapan lainnya yang sangat rumit, seakan-akan kita
sengaja memperumit diri sendiri tentang Tuhan. Sehingga lengkap sudah tertutupnya kesadaran kita terhadap
eksistensi Tuhan. Kita jadi seperti terpisah dengan Tuhan. Kita tidak punya lagi kesadaran bahwa saat shalat dan
berdo’a, kita sebenarnya SAAT ITU tengah menghadap dan menyembah Tuhan, berbicara dengan Tuhan, memuja
Tuhan. Ya…, kita tidak bisa lepas dari Allah seperti tidak bisa lepasnya nafas, aliran darah, dan pergerakan alam
semesta ini dari Allah. Dan ternyata, suasana ter-cover terhadap Allah seperti ini sangatlah tidak enak, sehingga
kemudian saya lalu mencoba masuk ke dalam konsep yang lain lagi. Konsep tarekat dan tasawuf.

Selama beberapa tahun kemudian, saya berada dalam dunia tarekat dan tasawuf yang inti ajarannya adalah tentang
bagaimana kita harus MEMBERSIHKAN HATI kita dulu agar hati itu nantinya bisa suci dan bersinar, sehingga hati itu
bisa “melihat Tuhan”. Dan syarat mutlak untuk masuk ke wilayah tarekat ini adalah dengan menerima peran wujud
lain sebagai wasilah kita untuk menyambungkan diri kita dengan Allah. Wasilah itu sambung menyambung dari satu
orang mursyid termuda, lalu guru dari mursyidtersebut berantai ke guru-guru-guru-guru mursyid lainnya sampai ke
Rasulullah dan baru ke Allah. Rantai sambungan itu disebut juga dengan rabithah guru, dan proses menghadapkan
perhatian (wajah) kepada guru mursyid itu disebut juga dengan bertawajjuh. Kalau kita tidak ikut mengikatkan diri
pada mursyid yang berada dalam dalam ‘rantai emas’ mursyid sebuah tarekat tertentu, maka kita akan berada di luar
kelompok tersebut saat kiamat dan di hari akhir nanti dan tidak ditolong pula oleh Rasulullah, karena memang
Rasulullah ditempatkan di dalam rantai emas mursyid tarekat tersebut pada tingkat pamuncak.

Selama kurun waktu bertarekat tersebut, maka berbagai praktek olah diri (tadzkiyatunnafs) yang sangat sulit harus
saya jalani. Wirid dan afirmasi yang berulang-ulang dengan kalimat-kalimat thaiyyibah yang harus dilakukan
sangatlah banyak. Untuk waktunya pun lebih lama wiridannya dari pada shalatnya sendiri. Tapi…, tetap saja bukan
Tuhan yang ketemu. Malah yang muncul adalah sensasi alam demi alam dan fenomena-fenomena yang tadinya
hanya bisa di baca dalam berbagai riwayat atau buku sufi terkenal. Mengasyikkan memang semua itu. Akan tetapi
yang namanya TUNTUNAN Tuhan dan RASA SUNGKAN terhadap Tuhan nggak dapat-dapat juga saya pahami.
Saya seperti asyik sendiri dengan berbagai atribut ketasawufan yang melelahkan itu, sehingga kemudian saya
mencari lagi konsep lain tentang ketuhanan yang lebih sederhana dan bisa diterapkan dalam keseharian.

Kemudian saya lalu masuk ke dalam komunitas PATRAP yang di dalamnya saya diperkenalkan dengan konsep
ketuhanan yang lebih simple. Bahwa Tuhan itu ternyata hanyalah Dzat Yang Sangat Sederhana akan tetapi Serba
Maha. Dzat yang MAHA MELIPUTI segala sesuatu. Walaupun begitu, dalam kenyataannya konsep patrap yang
sangat sederhana ini tidaklah terlalu mudah juga untuk diaplikasikan. Kalau kauro (ilmu pengetahuannya) mungkin
bisa saya terima dengan sangat mudah. Bahkan pelatihan-pelatihannya juga bisa saya ikuti dengan tanpa kesulitan
yang berarti. Tuntunan demi tuntunan dan rasa sungkan demi rasa sungkan, alhamdulillah bisa saya rasakan
realitasnya.

Akan tetapi dalam perjalanannya, ada sesuatu yang saya rasakan sulit untuk saya dapatkan, yaitu untuk masuk
kepada suasana KEARIFAN, suasana KERENDAHAN HATI. Ya…, bagaimana caranya agar saya bisa duduk di
wilayah ini. Ini yang menjadi pertanyaan saya yang cukup panjang juga. Kenapa…??.

Karena di dalam patrap inilah saya mendapatkan sebuah cara berfikir yang sangat revolusioner sekali. Tidak salah
memang kalau dikatakan bahwa virus pemikiran PATRAP ini telah menghancurkan berbagai file masa lalu saya yang
sudah karatan di dalam otak saya selama ini. Ditambah lagi dengan tidak adanya konsep pengkelasan (grading) baik
antara seorang guru dengan murid, maupun diantara sesama komunitas patrap itu sendiri. Egaliter sekali. Sehingga
yang muncul kemudian adalah sebuah karakter baru dimana seorang murid mungkin tidak lagi menghormati guru,
karena memang tidak ada konsep guru dan murid di dalamnya. Dalam bidang pemikiran pun, konsep spiritual,
agama-agama, dan peradaban juga dikupas tuntas sampai “bugil”, sehingga nyaris saja orang patrap meremehkan
pengajian-pengajian agama yang membahas hukum, syariah maupun laku spiritual lainnya.

Ternyata orang yang banyak ilmu, banyak tahu hukum, bahkan banyak pula kesaksian, kalau orang itu tidak bisa
merangkainya dengan sikap RENDAH HATI dan ARIF, sangatlah berbahaya. Ilmu, hukum dan kesaksian itu bisa
menjadi sebuah senjata baru yang sangat hebat untuk memuaskan kepentingan atau dorongan diri sendiri (hawa un
nafs). Sungguh mengerikan sekali.

Lalu dalam sebuah pelatihan bersama Ustadz Abu Sangkan di ruang basement Masjid Baitul Ihsan (BI) seminggu
sebelum bencana Tsunami melanda ACEH, saya dan beberapa orang teman yang lainnya merasakan suasana yang
sangat berbeda yang belum pernah saya dapatkan sejak saya mulai ikutan patrap ini, apalagi pada praktek-praktek
olah diri dan olah jiwa yang sebelumnya. Saya saat itu seperti di tarok di wilayah yang sangat berbeda dengan
sebelum-sebelumnya. Wilayah yang seperti DI RUMAH sendiri. Wilayah yang sepertinya sudah sangat saya kenal
lama sekali, akan tetapi yang sudah terlupakan sedemikian lama pula…!!!. YA…, selama ini wilayah ini seperti
terlupakan, atau lebih tepatnya saya dibuat lupa tentang rumah saya ini oleh Allah sendiri. Wilayah rumah saya
sendirisebenarnya...!.

Dari berbagai suasana tertutupnya kesadaran (KAFIR) terhadap Tuhan yang sungguh beragam penyebabnya, maka
PASTILAH ada CARA untuk membuka TUTUP tersebut. Ya…, semacam SWITCH gitu loh. Karena nggak mungkin
Allah menggeletakkan makhluk ciptaan-Nya dalam berbagai masalah tanpa adanya solusi untuk keluar dari masalah
itu. Sungguh Allah ternyata memang sangatlah sempurna sebagai Sang Grand Designer Tunggal dalam segala hal.
Untuk setiap MASALAH, apapun masalah itu, ternyata Allah juga telah menyiapkan SOLUSINYA pada saat yang
BERSAMAAN. Seperti berpasang-pasangan gitu loh.

Maha Suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh
bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui. (Yaa siin 36)

(Dia) Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu dari jenis kamu sendiri pasangan-pasangan dan dari jenis
binatang ternak pasangan-pasangan (pula), dijadikan-Nya kamu berkembang biak dengan jalan itu. Tidak ada
sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (Asy Syura 11)

Akan tetapi hampir sebagian besar dari kita tertutup pula untuk melihat solusi yang sudah ada itu untuk keluar dari
problematika yang kita hadapi. Kita selalu saja cenderung lebih MUDAH untuk hanya bisa melihat masalah demi
masalah tanpa menemukan solusinya. Kita memang telah jadi umat yang punya segudang masalah dari dulu sekali
sampai sekarang ini, akan tetapi sangat miskin dengan solusi.

Begitu juga dengan suasana kesadaran yang tertutup, tidak sadar, KAFIR, ternyata juga ada pasangannya, yaitu
suasana terbuka, sadar, ingat, DZIKIR. Ya…, untuk keluar dari masalah KEKAFIRAN, maka satu-satunya jalan
adalah dengan dzikir. Jadi dzikir adalah sebuah proses yang bertujuan untuk membuka tutup kesadaran kita
terhadap sesuatu, sehingga sesuatu itu lalu jadi NYATA (ZAHIR) bagi kita.

Sedangkan DZIKRULLAH bermakna sebagai sebuah suasana TERBUKANYA KESADARAN kita terhadap ALLAH.
Ya…, dzikrullah adalah suasana ingat dan sadar yang tertuju hanya kepada Allah. Hanya Allah lah yang ADA,
sedangkan yang lain selain Allah adalah FANA, TIADA. Pengertian seperti ini merupakan makna hakiki dari kalimat
tauhid laa ilaha illallah…!!.

Akan tetapi, kalau kita tidak berhasil mencapai suasana atau wilayah dzikrullah ini, maka hampir secara otomatis
pula kita akan masuk ke wilayah KAFIR, yaitu wilayah dimana yang ada adalah yang SELAIN ALLAH, sedangkan
ALLAH lalu menjadi WUJUD yang hilang, FANA, TIADA. Dan kafir terhadap Allah ini ternyata adalah puncak dari
hilangnya kesadaran seorang manusia yang akibatnya adalah siksa yang sangat pedih bagi manusia itu sendiri.

TUHAN YANG SANGAT SEDERHANA …!

Allah ternyata adalah Dzat yang begitu LUGU dalam memperkenalkan DIRI dan WUJUD-NYA kepada kita umat
manusia ini;

Pada taraf pertama, yang biasa-biasa saja, Dia memperkenalkan DIRI-Nya bahwa: “… (sesungguhnya) Aku
dekat (Al Baqarah 186). Walau hanya sampai pada kesadaran tentang kedekatan Tuhan seperti ini, namanya sudah
ihsan juga. Selanjutnya, Dia memperkenalkan DIRI-Nya bahwa: “…Allah lebih dekat dari urat leher (Al Qaaf 16)”,
inipun ihsan juga namanya. Lalu Dia menimpali lagi: “ … Kemana saja menghadap, disana ada wajah Allah (Al
Baqarah 115)”.

Pada taraf kedua, yang lebih sederhana lagi, Dia memperkenalkan WUJUD-Nya bahwa: “…Allah meliputi orang-
orang kafir (Al Baqarah 19)”. Lagi: “… Sesungguhnya Tuhanmu meliputi segala manusia (Al Israa’ 60)”.

Pada taraf ketiga, yang lebih-lebih sederhana lagi, Dia menyatakan WUJUD-Nya bahwa: “Dia Maha Meliputi
segala sesuatu (Al Fushilat 54)”. Dan lagi: “Allah Maha Meliputi segala sesuatu (An Nissa 126)”.

Pada taraf keempat, yang paling sederhana, agar kita nggak usah capek-capek lagi mikirin DIRI dan WUJUD-Nya,
maka Dia memagari imajinasi liar kita dengan kalimat: “…Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia… (Asy
Syura 11)”.

Dan pada taraf kelima, yang tidak ada lagi taraf setelah itu, maka Wujud Yang Maha Meliputi yang tidak sama
dengan apapun itu, punya “Aku”. Dia bersabda dengan “Aku”-Nya “Innani ana Allahu, laa ilaha illa ana, fa'budni,
wa aqimishshalata lizikrii. Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan selain Aku, maka sembahlah
Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku. (Thaha 14).

Dengan lima taraf kesadaran ihsan kepada Tuhan seperti ini, maka selesai sudah Ilmu tentang Tuhan. Ya…,
dengan beberapa ayat Al Qur’an di atas, ilmu tentangtauhidullah, ilmu ma’rifatullah tamatlah sudah. Akan tetapi
kelima taraf kesadaran ihsan ini haruslah menjadi SATU KESADARAN UTUH pada saat yang sama. Tidak boleh
terpisah-pisah. Dalam setiap aliran nafas, dalam setiap pandangan, dalam setiap pendengaran, maka kita
harus dudukpada kesadaran ihsan seperti ini. DEERRR….!!.

Karena kalau kita coba-coba keluar dari pengertian tentang TUHAN yang sesederhana ini, sesuai dengan
pengungkapan Tuhan itu sendiri, maka yakin deh bahwa kita akan berubah menjadi orang yang RUMIT dalam
berketuhanan. Dan ternyata memang kerumitan itulah yang telah kita warisi dari generasi ke generasi, sehingga kita
lalu menjadi umat manusia yang rumit pula. Sangat rumit malah.

Misalnya, kalau kita hanya berhenti sampai pada taraf kesadaran bahwa Allah dekat, bahkan lebih dekat dari urat
leher kita, maka biasanya kita akan mencari-cari Allah. Allah lalu dicari-cari ke langit yang ketujuh yang entah
dimana. Allah dicari di dalam hati. Atau Allah dicari-cari dengan terlebih dahulu melalui alam-alam yang diberi nama
misalnya alam lahut, alam nasut, alam jabrut, dan sebagainya. Sungguh rumit sekali untuk ketemu dengan Tuhan.
Semakin dicari kedekatan Allah itu, eh… malah Tuhan sepertinya semakin jauh. Jauuuh sekali.

Begitu juga kalau kita berhenti dikesadaran bahwa kemana saja menghadap, disana ada wajah Allah, maka kita
akan dibuat sibuk untuk memposisikan hati, memposisikan wajah, jiwa, ruh kita biar bisa dekat dan menghadap terus
kepada Allah. Kita sibuk mencari posisi terus, dan biasanya posisinya malah nggak tepat-tepat juga. Serba paradoks
memang.

Ada memang diantara kita yang percaya pada ayat Al Qur’an bahwa Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan
Dia. Kita manggut-manggut dan terangguk-anggukmalah sangking hafalnya. Akan tetapi sayangnya kita tidak sampai
kepada kesadaran berketuhanan, sehingga kita benar-benar terpaku hanya pada kesadaran kebendaan. Serba
benda saja yang menarik perhatian kita. Kesadaran kita benar-benar seperti tertutup akan ayat yang menyatakan
bahwa Dia Maha Meliputi segala sesuatu.

Ya…, ratusan tahun kesadaran kita akan liputan Tuhan atas segala sesuatu seperti tertutup. Setiap ketemu ayat ini,
kita selalu saja di giring kepada pengertian bahwa yang meliputi segala sesuatu itu adalah KEKUASAAN-NYA,
PENGETAHUAN-NYA, ILMU-NYA. Sehingga kita sepertinya selalu dibawa terus untuk MENYEMBAH SIFAT TUHAN.
Menyembah sifat, walau sifat itu milik Tuhan sekali pun, adalah salah satu bentuk SYIRIK yang tidak ditolerir sedikit
pun oleh Tuhan. Sebab Tuhan memerintahkan kita untuk menyembah HANYA kepada DZAT-NYA, AKU-NYA.

Nah…, kalau tutup kesadaran kita sudah terbuka atas Wujud Tuhan Yang Maha Meliputi segala sesuatu, dan sadar
pula bahwa Dzat-Nya tidak sama dengan apapun juga, maka kita tinggal bersandar, berpegang, bergantung kepada
Wujud Tuhan itu. INI YANG TERPENTING SEBENARNYA. Bahwa kita berpegang teguh kepada Sang Maha
Meliputi. Sedangkan yang lain-lainnya nanti tinggal mengikuti saja.

Karena apapun nanti atribut yang melekat dan diselendangkan kepada Allah, baik itu SIFAT, KEHENDAK,
PENGETAHUAN, dan PERBUATAN-NYA, maka kesemuanya itu TEPAT berada pada Dzat Yang Maha Meliputi dan
Yang Tidak Sama dengan segala apapun INI. Begitu juga dengan segala ciptaan-Nya, sebutlah apa saja, maka
semua itu pastilah berada dalam liputan Dzat Tuhan juga. Dan kepada Dzat Tuhan itu pulalah kita harus
mengaturkan persembahan, permohonan, penyerahan, penghormatan, dan menghantarkan segala tanda-tanda
kelemahan dan kehambaan kita yang lainnya kita arahkan atau kita kembalikan. Bukan kepada yang lain. Selesai
sudah…!.

Masalah nantinya Dzat Yang Maha Meliputi Segala sesuatu itu mau disebut dengan istilah apa, itu masalah lain lagi.
Umat Islam menyebutnya dengan sebutan ALLAH. Begitu juga, dalam berbagai agama dan kepercayaan. Ada yang
menamakan Dzat itu dengan sebutan Brahman…, Oum…, Yehova, Thian, Manitou, Bapa di Syurga, dan sebagainya.
Karena memang Dzat itu menyebut diri-Nya sendiri sebagai Rabbul ‘Alamin, Tuhan bagi alam semesta berikut
dengan segala isinya. Cuma nanti akan muncul masalah, yaitu: “saat menyebut nama Dzat tadi itu, mampukah
kita sampai kealamat yang sebenarnya, yaitu Sang Maha Meliputi?”. Kalau tidak mampu, maka itu namanya kita
telah menjadi KAFIR terhadap Dzat Yang Maha Meliputi itu. Akibatnya dalam masalah ketuhanan ini kita lalu menjadi
orang yang RUMIT, dan Tuhan pun lalu berubah menjadi Tuhan Yang Rumit.

Dalam ajaran agama Kristen, misalnya, mereka bingung tentang ungkapan Bapa di syurga, sehingga orang tersebut
merasa jauh dengan Bapa yang di syurga itu. Lalu untuk menggampangkan agar mereka bisa keluar dari
kebingungan itu, maka agama tersebut menciptakan sesuatu yang bisa dipersepsikan dengan mudah. Lalu
muncullah konsep Anak Tuhan, atau Tuhan dalam bentuk manusia. Dan atribut seperti ini dilekatkan kepada Yesus
Kristus. Sehingga lalu Yesus disembah dan dimintai pertolongan. Kapanpun pemeluk agama Kristen menyebut nama
Tuhan, atau dalam berbagai kesempatan disebut juga dengan Allah (umat Kristen melafalkannya dengan Alah),
maka arah pikir dari pemeluk agama ini selalu saja dibetot ke arah sosok manusia, yaitu sosok Yesus yang kemudian
divisualkan pula dalam bentuk patung dengan berbagai bentuk dan posisi. Yang paling populer adalah visualisasi
Yesus yang sedang disalib. Hal yang sama juga bisa terjadi pada umat yang beragama apa pun, tak terkecuali umat
Islam. Dimana saat menyebut nama Tuhan, dalam berbagai bahasa, umat-umat beragama itu tidak mampu untuk
menghadapkan wajahnya sampai NTEK(hanief) kepada WAJAH Yang Maha Meliputi segala sesuatu.

MANUSIA, SEDERHANA SAJA …!


Sudah sangat jamak imajinasi di masyarakat umum, bahkan sejak zaman dulukala, bahwa manusia harus mengenal
dirinya sendiri dulu baru setelah itu dia bisa mengenal Tuhannya, man ‘arafa nafsahu faqod arafa robbahu dalam
bahasa Arabnya. Ini sebuah pameo yang banyak beredar di masyarakat. Ada yang menolaknya, dengan alasan
bahwa ungkapan ini bukan hadits dari Rasulullah. Orang yang menolak ini berpendapat bahwa ungkapan ini adalah
bahasa para filsuf yang bergelut di bidang FILSAFAT. Tapi adapula yang menerimanya hanya karena ada bahasa
Arabnya, atau malah ada pula orang yang meyakininya sebagai Al Hadits. Sehingga kemudian banyaklah orang yang
berusaha mencari tahu siapa dirinya ini. Dirinya itu hilang kali ya…, atau tersembunyi entah dimana, sehingga perlu
dicari kembali sampai ketemu.

Dari hasil pencarian itu, maka kemudian lahirlah berbagai konsep tentang diri manusia itu. Ada yang ketemu bahwa
dirinya adalah diri yang penuh dengan nafsu kotor sehingga perlu dibersihkan dulu kekotorannya itu. Bersih-bersih
diri dulu tahapan awalnya. Maka sibuklah orang dengan laku pembersihan diri (tadzkiyatun nafs). Tapi nggak
tahu tuh apa dirinya bisa benar-benar bisa bersih atau tidak.

Ada juga yang ketemu bahwa dadanya kok bergolak terus dengan berbagai rasa amarah, benci, iri, dengki, sedih,
senang, bahagia yang pilin berpilin nggak terduga-duga. Berubahnya rasa tadi itu terjadi seperti acak. Polanya rumit.
Sehingga ada pula kemudian sibuk untuk mengelola dan mengatur hati ini agar hati tersebut berada di satu sisi saja,
yaitu sisi yang bahagia, senang, tidak marah, tidak iri, tidak benci, dan tidak-tidak negatif yang lainnya.

Kemudian dari hasil perjalanan panjang mengolah diri dan hati itu, maka mucullah konsep-konsep mengenai JATI
DIRI, DIRI YANG SEJATI, dan sebagainya. Pada umumnya konsep ini sangat susah untuk dipahami apalagi untuk
dijalani. Sehingga banyaklah orang yang merasa pesimis. Lalu sang pesimis menghindar dengan menyalahkan takdir
Tuhan pula. “Tuhan sudah menakdirkan saya jadi begini…, dst.”

Padahal siapa dan bagaimana diri kita ini yang sebenarnya sudah nggak usah dicari-cari lagi. Nggak usah capek-
capek lagi nyari kesana kemari. Tinggal kita baca satu dua ayat Al Qur’an, dimana Sang Pencipta diri kita ini telah
menerangkannya dengan sangat jelas. Karena Dia lah yang sangat tahu tentang diri kita ini. Setelah itu, kita lalu
minta tolong saja kepada Sang Pencipta kita itu untuk memberikan kita kepahaman, kesadaran atas ayat Al Qur’an
yang menerangkan serba-serbi diri kita itu. Sebab, kalau kita yang mencari-cari diri kita sendiri, maka hasilnya juga
hanyalah kira-kira atau persepsi saja. Masak jeruk bisa makan jeruk...!.

Nah…, Al Qur’an dengan sangat gamblang telah menerangkan bahwa yang disebut sebagai manusia itu hanya
punya dua substansi saja, yaitu NAFS dan RUH. Nggak lebih dan nggak kurang. Sederhana sekali. Sangat
sederhana malah.

Di satu sisi, nafs adalah substansi yang berasal dari saripati tanah yang dibentuk Allah dengan sangat sempurna
berikut dengan segala sifat, dorongan, dan kecenderungannya. Dan di sisi lain, ruh adalah substansi yang berasal
dari Allah, sehingga Allah menyebut ruh itu dengan sangat mesra sebagai Ruh-Ku.

Allah tidak sedikit pun menerangkan bahwa ruh itu adalah ciptaan-Nya. Allah menyebutkan bahwa ruh itu
adalah Ruh-Nya. Bukan ciptaan-Nya. Apalagi penggambaran konyol bahwa ruh itu seperti pocong, huh… lebih-lebih
tidak berdasar lagi. Tidak seperti itu. Nggak tahu dari mana tuh asal muasalnya imajinasi liar tentang ruh seperti itu.
Allah hanya menyatakan bahwa ruh itu adalah mengikuti rahasia dan fitrah Allah. Dan tidaklah kita diberitahu tentang
ruh itu kecuali hanya sedikit. Tapi siapa yang dapatmenakar sedikit menurut Allah itu…?. Nah temukanlah
pengetahuan yang sedikit menurut Allah itu. Namun yakinlah bahwa sedikit menurut Allah itu sungguh sangat-sangat-
sangat banyak sekali untuk ukuran kita. Seperti nggak habis-habisnya begitu…!.

Akan tetapi, kalau kita tidak mau berhenti memahami bahwa diri kita ini hanyalah NAFS dan RUH, artinya kita masih
mau mencari tahu tentang diri kita ini lagi, memangnya mau dicari kemana…?, dan seperti apa lagi maunya diri kita
ini …?. Sudah sangat jelas begitu kok. Kita manusia ini hanyalah terdiri dari NAFS dan Ruh. Titik….!!.

MENGUAK KESADARAN
EKSISTENSIAL…
Sekarang pengetahuan kita tentang TUHAN dan tentang MANUSIA sudah menjadi sangat sederhana. Bahwa pada
dimensi ketuhanan, yang ada hanyalah ALLAH dan ALAM. Sedangkan pada dimensi kemanusian, yang ada
hanyalah Ruh dan NAFS.

ALLAH adalah WUJUD yang meliputi ALAM, dan alam adalah substansi yang diliputi oleh WUJUD ALLAH. Sebutlah
alam apa saja, apakah itu alam semesta, ataupun alam-alam gaib seperti alam akhirat, alam syorga, alam neraka,
alam malaikat, alam jin, alam syetan, alam pikiran, alam khayalan, dsb. Maka semua itu PASTILAH berada dalam
liputan Allah. Karena liputan Allah itu begitu kolosal dan besarnya, maka Allah disebut juga sebagai Sang Maha
Besar. Begitu juga karena ketinggian yang tak terukur pun berada dalam liputan Allah, maka Allah disebut juga
sebagai Sang Maha Tinggi. Artinya adalah bahwa kemana pun kita menghadap, maka yang nyata adalah Wujud
Tuhan yang meliputi segala sesuatu.

Sedangkan untuk mengerti tentang eksistensi Ruh dan NAFS, marilah kita buka kembali peta yang memang telah
disiapkan Sang Pencipta untuk umat manusia, yaitu Al Qur’an. Dalam surat Al Qiyamah ayat 14 Allah berkata:

“Bahkan pada manusia itu diatas dirinya (Nafs) ada yang tahu (Bashirah).
Artinya,sang bashirah inilah yang mampu untuk menjadi saksi atas diri manusia itu sendiri (NAFS). Substansi macam
apakah bashirah ini, sampai-sampai sang bashirah bisa tahu tentang apapun tentang diri manusia..?.

Jawaban pertanyaan ini bisa kita lihat dalam surat As Sajdah ayat 7-9:

“Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan Yang memulai penciptaan manusia dari
tanah. Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari saripati air yang hina (air mani). Kemudian Dia
menyempurnakan dan meniupkan kepadanya Ruh-Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan
dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur”.

Dan dalam surat Al Mujadilah ayat 22:

“…Mereka itulah orang-orang yang Allah telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka
dengan RUH-NYA…”

Ini berarti bahwa Ruh-Nya atau kita ringkas saja menjadi Ruh yang dialirkan kepada Nafs, merupakan substansi
yang selalu mengawal Nafs dari waktu ke waktu. Abadi liputan Ruh atas Nafs itu. Hanya karena liputan Ruh atas
Nafs inilah yang menyebabkan Sang Nafs bisa mengarungi hidup baik itu di alam dunia, maupun di alam akhirat.
Ruh ini pulalah sebenarnya substansi yang hidup, yang kuat, yang bergerak, yang melihat, yang mendengar, yang
tahu. Karena memang Sang Ruh berasal dan mendapat pengajaran dari Yang Maha Hidup, Yang Maha Kuat, Yang
Maha Bergerak, Yang Maha Melihat, Yang Maha Mendengar, Yang Maha Tahu. Sedangkan Sang Nafs hanyalah
semata-mata substansi yang bersandar mengikuti apapun fitrah dari Sang Ruh.

Kalau begitu, substansi yang hakiki pada seorang manusia adalah Ruh itu sendiri. Tepatnya Aku yang hakiki bagi
manusia adalah Sang Ruh ini, Sang Bashirah. Sedangkan Nafs boleh dikatakan hanyalah substansi yang tidak bisa
apa-apa. Substansi yang diam, bodoh, buta, tuli, tidak tahu. Dalam bahasa agamanya sifat dan keadaan seperti ini
disebut sebagai FANA. Ya seperti mayat begitulah, atau seperti orang pingsan, orang koma. Atau yang paling dekat
dengan kita sehari-hari yaitu orang yang sedang TIDUR.

MERANGKAI KESADARAN AWAL…


Sekarang mari kita lanjutkan membenahi kesadaran kita yang selama ini tertutup tentang eksistensi manusia dan
Tuhan. Apa sebenarnya makna yang terkandung dalam ungkapan man ‘arafa nafsahu faqod arafa robbahu di atas
kalau kita memang masih mau memakainya. Mari kita duduk rileks sejenak untuk mengenal diri kita yang hakiki.
Lakukanlah perubahan kesadaran sebagai berikut:

 Pejamkan sajalah mata dengan ringan. Kening nggak usah berkerut-kerut seperti orang yang sedang
berpikir tentang sesuatu. Santai saja.
 Sadari ada kaki kita. Kalau belum bisa sadar cobalah pegang kaki itu. Oooo…, ada kaki saya yang berada
dibawah saya. Diamlah beberapa saat untuk meyakini dan menyadari bahwa saya berbeda dengan kaki saya.
 Lalu sadari ada tangan kita, bahu kita. Kalau belum sadar cobalah pegang atau raba semua itu dengan
lembut sambil membawa serta kesadaran kita ke tempat yang kita sentuh. Oooo…, ada tangan, ada bahu saya
yang berada di bawah saya. Diam pulalah beberapa saat disana untuk meyakini dan menyadari bahwa saya
benar-benar berbeda dengan tangan dan bahu saya.
 Kemudian coba sadar ada dada kita. Amati sajalah dada itu sebatas sadar akan akan keberadaan dada itu
di bawah kita. Jangan masuk ke dalam dada itu. Karena kalau masuk ke sana nanti kita akan dihadang oleh
berbagai fenomena yang terbolak balik, enak dan senang yang silih berganti. Nggak usah kita pedulikan dululah
fenomena-fenomena itu. Gampang itu nanti.
 Kemudian dengan cara yang sama, sadari pulalah keberadaan mata, telinga, kepala dan otak kita. Oooo…,
ternyata kesemuanya itu juga berada di bawah saya…!. Oooo…, saya bersaksi (syahid, syahadah) tentang
ayat: “Bahkan pada manusia itu diatas dirinya (NAFS) ada yang tahu (BASHIRAH)”, adalah benar…!!!
 Ooo…, ternyata memang saya berada di atas semua instrumen saya, yaitu tubuh saya dengan segala tetek
bengeknya yang berasal dari saripati tanah itu. Dan sayalah Sang Bashirah itu.
 Sekarang munculkan afirmasi atau niat, bahwa saya tidak tahu tentang Allah. Saya tidak tahu bagaimana
cara sadar dan ingat kepada Allah (DZIKIRULLAH). Karena yang tahu tentang Allah adalah Allah sendiri. Lagi
pula…, sudah sekian lamanya saya TERTUTUP oleh kecenderungan Nafs (Hawa un Nafs) untuk SADAR dang
INGAT kepada ALLAH. Oleh sebab itu mulai saat ini, saat ini juga, tanamkanlah sebuah afirmasi atau niat yang
kuat bahwa saya punya Tuhan yang Nama-Nya adalah ALLAH.
 Kemudian munculkan sebuah rasa ingin yang sangat kuat (jahadu) agar diajarkan oleh Allah tentang Allah
sendiri.
 Saya lalu mengucapkan langsung (tanpa perantara dan wasilah apapun) kepada Wajah Sang Maha
Meliputi ungkapan persaksian dan shalawat sebagai berikut:
 Lalu panggil-panggillah Nama Sang Maha Meliputi itu dengan teguh:
 Kalau tarikan rohani itu muncul, maka jangan takut, jangan dilawan, dan jangan dipikirkan. Karena kalau
takut, atau dilawan, atau dipikirkan, maka seketika itu juga tarikan itu akan lenyap. Sebenarnya tarikan rohani itu
hanyalah sebuah pergerakan kesadaran kita saja dari kesadaran ketubuhan (Nafs) menuju kesadaran yang
mengatasi Nafs menuju ketidakberhinggaan. Akan tetapi, dalam pergerakan kesadaran demi kesadaran itu kita
seperti DITUNTUN. Jadi bukan karena usaha kita sendiri lagi. Tapi dituntun, ditarik. Nah…, ikuti sajalah tuntunan
itu. Biasanya respon akibat dari adanya tuntunan itu adalah, dada kita berguncang, atau tepatnya diguncangkan
dari dalam, sehingga kita bisa dibuat histeris, menangis dan bahkan tersungkur saking dahsyatnya tarikan
rohani itu.
 Kemudian pada saatnya, respon dengan rasa ditariknya rohani kita itu akan berhenti dan berganti dengan
munculnya rasa tenang, damai, luas yang dalam bahasa Al Qur’an disebut dengan TALINU (lihat Az Zumar 23).
 Dan bacalah, IQRA suasana tenang, damai, dan luas itu, karena disana sungguh sangat tidak terhingga
ilmu pengetahuan maupun solusi dari berbagai persoalan. Di wilayah itu semuanya digeletakkan begitu saja
oleh Allah untuk menunggu manusia-manusia yang mau otaknya dialiri fikiran Tuhan, yang mau dadanya dialiri
oleh kehendak Tuhan. Ya…, manusia yang mau menjadikan dirinya sebagai wakil Tuhan, yang mau
meneruskan tongkat estafet perjuangan Rasulullah. “Sedangkan untuk bekalnya…, semuanya dari-Ku”, kata
Allah menjamin. Kita hanya tinggal memunguti bekal itu sesuai dengan kebutuhan.
 Lalu nikmatilah hasil dari IQRA (membaca) suasana per suasana itu dalam bentuk RASA MENGERTI
(NGEH).
 Nah…, kalau suasana ajar mengajar antara seorang hamba dengan Sang Maha Guru, ALLAH, ini sudah
bisa kita dapatkan, maka tinggal kita nikmati saja pemahaman-pemahaman yang lainnya, misalnya:

Dengan cara yang sangat sederhana seperti ini, ternyata kita bisa tahu tentang makna hakiki dari ungkapan man
‘arafa nafsahu, bahwa pada hahekatnya yang ada hanyalah SAYA dan DIRI SAYA. Ada RUH dan NAFS. Ada
Bashirah yang tahu atas semua instrumen yang terdapat pada Nafs. Saya (Ruh) nyata sekali terpisah dengan diri
saya (Nafs). Akan tetapi, walaupun terpisah saya tetap meliputi seluruh diri saya. Buktinya saya tetap tahu semua
intrumen saya sampai detail. Saya bisa tahu ada instrumen saya yang sakit, yang patah, yang luka, yang tidak baik.
Saya juga tahu saat ada anggota tubuh saya yang hilang. Misalnya, saya tetap tahu kalau tangan kanan saya
diamputasi. Bahkan saya juga tahu segala rasa-rasa yang muncul pada diri saya seperti rasa kecewa, marah, benci,
iri, pelit, medit, tidak khusyu’, tidak ikhlas, tidak sabar, dan rasa-rasa jahat lainnya seperti tahunya saya saat diri saya
dilanda rasa senang, bahagia, cinta, ikhlas, khusyu’, sabar, dan berbagai rasa yang baik lainnya.

Akan tetapi saya dan tubuh saya ternyata tidak bersatu. Ya…, saya dan tubuh saya ternyata tidak bersatu seperti
bersatunya merica, garam, bawang dan kentang dalam sebutir perkedel sehingga membentuk substansi yang lain
sama sekali dari unsur-unsur pembentuknya. Tapi sayalah yang meliputi seluruh tubuh saya. TEGASNYA…,saya
(Ruh) berada di luar dan sekaligus juga di dalam tubuh saya (NAFS).

Janganlah terlalu berlama-lama mengamati instrument kita tadi itu, terutama dada dan otak kita. Karena keduanya
memang punya daya tarik dan kecenderungan (Hawa un Nafs) yang cepat sekali menarik-narik kita untuk tenggelam
ke dalamnya. Kalau tidak percaya cobalah amati otak kita agak lama, maka dengan kecepatan yang pasti, kita akan
ditarik pada file-file yang ada di dalamnya. Cepat sekali kita dibawa dari satu file ke file yang lainnya. Sehingga kalau
kita tidak bisa keluar dari file-file fikiran itu, kita terhenti di satu atau beberapa file fikiran itu, misalnya tiga hari saja,
maka kita akan menjadi orang yang susah tidur, atau sakit kepala, pusing dan sebagainya.

Begitu juga kalau kita terlalu lama mengamati dada kita, apalagi sampai ke detail-detailnya yang berupa lokasi-lokasi
tertentu. Maka dengan cepat kita akan ditarik pula masuk ke dalamnya. Kita akan dibawa melalui berbagai rasa dan
pemandangan yang sebenarnya sangatlah mengasyikkan. Akan tetapi kalau kita tidak tahu arah jalan keluarnya,
maka kita akan disekap oleh rasa itu. Bisa berhari-hari sekapan perasaan itu melilit kita. Bahkan ada yang berbulan-
bulan dan bertahun-tahun. Cobalah kalau tak percaya…!!. Tapi sebelum mencobanya, sebaiknya kita tahu dulu jalan
keluar dari sekapan dan lilitan perasaan itu. Mari kita coba meretas jalan keluar itu.

Begitu kita mampu menyadari bahwa, oooo…, ternyata saya yang hakiki adalah Ruh sedangkan Nafs hanyalah
instrumen saya, maka saya harus mencari cantolan agar saya tidak terombang ambing kesana kemari oleh daya
tarik kecenderungan Nafs tadi seperti yang sering kita alami selama ini. Coba…, sedang shalat saja, yang notabene
saat itu kita tengah memuja Tuhan, ee…, kita masih saja bisa ditarik-tarik untuk menghadap kepada yang lain,
misalnya, problem keseharian kita. Untuk bisa keluar dari tarikan kepada selain Allah itu maka kita haruslah mencari
peta yang benar dan yang mampu mengantar kita untuk mengetahui arah cantolan atau tempat kembali kita yang
sebenarnya. Peta itu adalah Al Qur’an yang kemudian detailnya termuat di berbagai Al Hadits.

Lalu saya sendiri mencoba untuk membolak balik Al Qur’an dan Al Hadits itu dengan penuh rasa keingintahuan saya
untuk mendapatkan jawabannya. Dapat…!. “Innalilahi wa inna ilaihi raji’un, aku ini adalah dari dan milik Allah dan
kepada-Nya aku harus kembali”, kata Tuhan saya memberi tahu saya dengan gamblangnya. Dan saya pun buru-
buru menyerahkan segala sesuatunya kepada-Nya. Deeerrr…!. Maka dengan seketika itu juga saya langsung akan
mengenal Tuhan saya, sehingga ungkapan “faqod arafa robbahu” benar-benar bisa menjadi tempat pemberhentian
saya yang terakhir. Dalam segala hal…!!.

Jadi makna dari ungkapan man ‘arafa nafsahu faqod arafa robbahu itu sebenarnya sederhana sekali,
yaitu “Innalilahi wa inna ilaihi raji’un”. Karena memang saya ternyata hanyalah semata-mata Ruh-Nya. Dari-Nya,
milik-Nya. Sehingga tiada lagi nisbah kepadaku melainkan hanya kepada Dia.

Apa makna dari ungkapan ini…?. Mari kita lanjutkan perjalanan kita untuk membuka kembali kesadaran kita
terhadap Allah setahap demi setahap. Karena kita memang saat ini sedang ter-cover. Akui sajalah bahwa kita ini
memang sedang ter-cover. Jangan malu-malu. Saya juga sedang ter-cover kok…!.

TEMPAT KEMBALI YANG HAKIKI …


Secara fitrah, segala sesuatu selalu punya kecenderungan untuk kembali kepada fitrah asalnya. Saripati tanah
pastilah punya keinginan untuk kembali kepada tanah pula. Siapapun tidak akan bisa menolak bahwa saripati tanah
yang boleh jadi bentuknya berbeda-beda, misalnya, dalam bentuk tubuh manusia, tubuh hewan, dan tanaman, pada
saat yang tepat pastilah akan kembali menjadi tanah. MATI.

Oleh sebab itu untuk kembali membuka kesadaran kita kepada yang tidak sama dengan tanah, yang bukan tanah,
maka janganlah coba-coba untuk membawa-bawatanah itu menghadap kepada yang bukan tanah. Jangan bawa
mata untuk melihat yang bukan tanah. Jangan bawa telinga untuk mendengar yang bukan tanah. Jangan bawa otak
untuk memikirkan yang bukan tanah. Jangan bawa dada untuk merasakan yang bukan tanah. Karena mata, telinga,
otak dan dada itu nanti akan sirna dimakan ulat dan belatung setelah semuanya itu ditanam kembali di dalam tanah,
setelah semua itu tidak berfungsi. MATI.

Tapi jangan pula mata, telinga, otak dan dada itu dimatikan seperti ajaran mematikan dan menutup “hawa songo”
dalam praktek kebatinan tertentu. Hanya lewati saja kesemuanya itu seperti lewatnya angin dan cahaya di udara
terbuka yang tidak ada tumbuhan, tidak ada bangunan, tidak ada gunung yang menghalangi. Tanpa hambatan, tanpa
tekanan. Atau RILEKS dalam bahasa populernya. Seperti rileksnya mata, telinga, otot, otak dan dada seorang bayi.
Nggak susah kok untuk rilkes ini. Sudah rileks….???.

Kalau sudah, maka hampir secara otomatis kita akan mempunyai kesadaran bahwa kita ternyata meliputi seluruh
Nafs atau diri kita. Lalu lupakan sajalah seluruh atribut dan fenomena Nafs itu. Lalu yang tinggal adalah SAYA,
Sang MIN-RUHI, SANG BASHIRAH, SANG AKU DIRI.

Nah…, mari kita lanjutkan tentang bagaimana proses Sang Aku Diri ini luruh ke dalam pelukan Sang Aku Hakiki,
ALLAH:

“Allahumma ‘ala dzikrika”

Ya Allah dzikirkan saya, ingatkan dan sadarkan saya.

Ajarkan saya untuk bisa ingat dan sadar kepada-Mu.

Saya tidak bawa apa-apa selain hanya PENGETAHUAN bahwa Engkau Maha Meliputi Segala Sesuatu dan Engkau
tidak sama dengan segala apapun juga”.

Kalau perlu ulangilah niat untuk ingin di tuntun oleh Allah ini dengan kerendahan hati yang amat sangat (tadarru’).

Bimillahirrahmanirrahim,

Asyhadu anlaa ilaaha illallah,

Wa asyhadu anna muhammadan rasulullah.

Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa’ala ali Muhammad.

Ya Allah…, Ya Rahman…!.
Ulangilah memanggil-manggil Ya Allah, Ya Rahman ini beberapa kali dengan kerendahan hati yang
amat sangat, sampai nantinya muncul tarikan rohani kearah yang Maha Tinggi. Biasanya munculnya
tarikan rohani ini tidaklah terlalu lama setelah kita memanggil-manggil Allah. Paling dalam hitungan
menitan. Kalau dalam waktu 3 menit berselang belum juga muncul tarikan rohani ini, maka jangan
diteruskan. Percuma saja. Karena kalau sudah lebih dari 3 menit tapi nggak ada tarikan rohani juga,
maka yang muncul kemudian adalah fikiran kita. Kita mulai mikirin tentang bagaimana tarikan rohani
itu, bagaimana direspon Tuhan, dan sebagainya. Kalau sudah begini maka istirahatlah sebentar, dan
kemudian mulailah lagi dari awal.

Catatan:

Oleh sebab itu selalulah perkuat rasa mau belajar kepada Allah, berguru kepada Allah. Lalu tanamkan juga niat yang
kuat bahwa saya akan IKUT MAU-NYA ALLAH. Sikap ini merupakan sikap dasar yang harus dimiliki oleh seseorang
yang tidak tahu dan ingin menjadi tahu. Karena memang hanya inilah modal kita yang ada pada kita. Dengan sikap
ini kita dituntun untuk SADAR PENUH kepada Tuhan. Kalau sudah sadar penuh kepada Allah, maka kita dengan
senang hati akan ikut mau-Nya Allah. Dan kalau kita sudah ikut mau-Nya Allah maka kita akan dituntun dari satu
keadaan ke keadaan lain, dari satu suasana ke suasana lain, dari satu pengetahuan ke pengetahuan lain. Bukankah
tuntunan Tuhan ini yang selalu kita pohonkan dalam setiap shalat kita…?. Kita selalu mengeluhkan kepada Allah:
“Iyyaka na’budu wa iyya ka NASTA’IN…?”. Tuntun saya ya Allah…!.

Ø Tuhan itu siapa..?.

Tuhan adalah yang Dzat Yang Maha Dahsyat, Sang Pencipta alam semesta dengan tidak sia-sia, bumi, matahari,
bintang-bintang, tumbuhan, termasuk diri kita. Seluruh ciptaan-Nya bermanfaat, tidak ada yang sia-sia. Malaikat,
bahkan iblis sekalipun akan bermanfaat bagi manusia. Deerrr…!, maka masukilah wilayah KESADARAN akan
kedahsyatan Tuhan itu.

Ø Tuhan Maha Meliputi segala sesuatu.

Kita, tubuh kita juga diliputi Nya. Amati liputan Tuhan itu terhadap jantung, darah, paru-paru, otak, semuanya. Nafas
kita juga diliputi oleh Tuhan. Amati kerja tuhan pada tubuh kita. Ternyata karsa, keinginan, kesibukan Tuhanlah yang
bekerja atas semua yang ada di dalam tubuh kita itu. Seperti juga karsaTuhan terhadap alam
semesta.Deerrr…!. Masukilah wilayah KESADARAN akan kedahsyatan karsa Tuhan itu. Lalu histeris, terpana,
terkapar, adalah sebuah keniscayaan saja.

Ø Sadari akan alam RASA melihat, alam RASA mendengar, alam RASA tahu, masuklah ke wilayah KESADARAN
RASA-RASA itu tadi.

Nanti kita akan dibawa sadar, dituntun sadarbahwa ternyata yang melihat itu bukanlah mata saya, tapi ada rasa
melihat yang mengalir melewati mata itu. Kita akan dibawa untuk sadar bahwa yang mendengar itu ternyata
bukanlah telinga saya, tapi ada rasa mendengar yang mengalir melewati telinga itu. Kita akan disadarkan pula bahwa
yang tahu itu bukanlah otak saya, tapi ada rasa tahu yang mengalir melewati otak saya. Begitu juga dengan rasa
tenang, damai, dan bahagia. Ternyata semuanya itu hanya sekedar rasa yang dialirkan melewati dada saya.
Amatilah semua alam rasa-rasa tadi itu. Karena disitu juga sangat kaya, melimpah ruah, dengan pengajaran dan
tahu. Akan tetapi bagi yang mau masuk ke wilayah kearifan, maka semua pengajaran dan tahu tadi itu hanya akan
dilihat dengan selayang pandang saja. Karena semua itu adalah hijab yang akan menutupi kesadaran kita terhadap
Sang Maha Mengalirkan rasa itu kepada kita.
Ø Masuklah ke dalam kesadaran atas rasa melihat, rasa mendengar, dan rasa tahu itu.

Nanti kita akan dibawa kepada kesadaran baru bahwa semuanya itu ternyata adalah RASA MILIK ALAM. Oleh
sebab itu jangan diaku. Ya…, semua ternyata adalah rasa melihat milik alam, rasa mendengar milik alam, rasa tahu
milik alam. Yang ada adalah rasa alam semesta…!. Tegasnya…, yang ada adalah alam…!.

Ø Jangan mau berhenti di kesadaran alam semesta ini. Masuklah ke dalam kesadaran yang lebih dalam.
Masuklah dengan niat, atau afirmasi bahwa:

ü Alam ini diadakan oleh Allah.

ü Ooo…, kalau begitu yang ada hanyalah alam dan Allah.

ü Alam adalah qodrat dari Allah.

ü Sehingga yang ada adalah qodrat Allah dan Allah.

ü Qodrat Allah kembalikan ke Allah

ü Sehingga yang tinggal, Yang ADA hanyalah ALLAH.

Ø Lalu tegaskanlah:

laa ilaha illallah

Ø Lalu bertasbihlah:

subhanallah

alhamdulillah

laa ilaha illallah

Allahu Akbar.

Laa haula wala quwwata illa billah.

Ø Lalu akan muncul pekikan HU…, HU…, HU…!

Ø Lalu akan muncul rasa patuh dan sujud sebagai seorang hamba kepada Allah.

Ø Lalu………….!,

Ø Lalu………….!.
Nah…, demikianlah sekilas saya mencoba menggambarkan secara verbal sebuah proses yang kalau dialami
langsung akan jauh lebih dahsyat dari hanya sekedar bahasa tertulis seperti ini. Nah silahkanlah masuk sendiri-
sendiri ke dalam suasana dan kesaksian seperti di atas. Maka anda akan menangguk manfaat yang tak terkirakan.

MEMAKAI BAJU KESADARAN…


Begitulah…, kalau kita mau dituntun oleh Allah suasana per suasana, maka tinggal kemudian suasana itu kita pakai
sebagai “baju” kita sehari-hari. Misalnya, saat diri kita ditimpa oleh berbagai masalah yang rumit, kita langsung saja
buru-buru membawa masalah itu kepada Allah. Dan dengan sangat mengherankan kita akan ditarok di atas masalah
itu sehingga kita tinggal memunguti solusi yang cocok untuk menyelesaikan masalah itu. Walau pun nanti hasilnya
tidak sesuai dengan apa yang kita inginkan, itu masalah lain lagi. Nggak usah dicampur adukkan antara hak kita
dengan hak Allah. Percaya sajalah bahwa Allah tahu persis apa-apa yang terbaik buat kita.

Apapun juga…, omongkanlah kepada Allah, berbisiklah kepada Allah. Karena Allah memang adalah satu-satunya
ALAMAT yang sangat jelas untuk tempat kita menyampaikan segala sesuatu. Kalau alamat ini kabur, nggak jelas,
maka itu namanya kita sedang kafir terhadap Allah. Oleh sebab itu sadarkanlah diri kita atas keberadaan alamat
itu. Ini nih…!. INI….!. Hu…, hu… hu…!. Nggak usah dicari jauh-jauh ke langit yang ke tujuh atau ke alam-alam
malakut, alam jabarut, alam lahut, dan alam-alam lainnya. Deerr…!. Lalu duduklah di sini memunguti jawaban Allah
(Makhraja) atas persoalan kita. Kalau sudah begitu, maka kita setidaknya bisa merasakan cipratan rahmat
sebagaimana dirasakan oleh para penyambung tangan Rasulullah. Yaitu para sahabat Rasulullah dan wali-wali
Tuhan. Karena sahabat dan penerus Rasulullah itu artinya adalah orang yang sadar penuh terhadap Tuhan. Sadar
penuh. DZIKRULLAH. Sedangkan si Deka hanyalah wali dari Karima Yuridawati, anak saya.

Sekian. Hanya Allah yang Maha Tahu.

Deka

Cilegon 18 April 2005,

Jalan Kabel no. 16, jam 06:00


ILMU ALAM


Written by Administrator

Yus Deka Putra Sabtu, 28 April 2012 13:34

Dengan sangat majunya pemahaman orang tentang otak sekarang ini, terutama yang berkenaan dengan
gelombang-gelombang otak seperti Alfa, Theta, dan Delta, kita seperti dipertontonkan dengan berbagai fenomena
luar biasa yang bisa kita lakukan yang dulunya mungkin dianggap sihir atau aktifitas yang dibantu oleh jin atau
makhluk halus lainnya.

Dulupun sebenarnya saya pernah merasakan dan memperdalam keadaan gelombang otak alfa dan theta ini ketika
saya masih aktif berlatih dalam sebuah perguruan silat tenaga dalam ternama. Dalam posisi ini, dulu saya bisa
dengan mudah mematahkan besi baja, genteng, buis beton, dan beberapa lapis batangan es dengan sabetan
tangan telanjang. Juga beberapa kali saya bisa menemukan benda-benda dalam keadaan mata tertutup. Adakalanya
juga penyembuhan dari berbagai gejala penyakit sepertinya sangat mudah sekali dilakukan.

Keadaan diatas sebenarnya adalah hal yang sangat-sangat biasa jika kita berhasil mengolah pikiran dan tubuh kita
dengan metoda-metoda tertentu sampai mendapatkan state of mind alfa atau bahkan ke theta. Belasan tahun yang
lalu, saya sangat hafal dengan cerita-cerita Kho Ping Hoo yang berkisah tentang bagaimana seseorang bisa
mendapatkan kesaktian yang sangat hebat setelah dia bertapa dibawah air terjun, atau terdampar sendirian
disebuah gua. Artinya dia berhasil menjadi sakti setelah dia terlebih mengalami berbagai penyiksaan terhadap tubuh
dan pikirannya. Bahkan Sunan Kalijaga dikisahkan berhasil mencapai ma'rifatnya setelah Beliau berendam di sungai
untuk sekian lamanya.

Kenapa harus sampai ke state of mind alfa atau theta?. Karena memang sebenarnya state of mind alfa dan theta ini
adalah gudang ilmu kesaktian kalau kita mau berlama-lama mengolah diri disini. Saya masih ingat sebuah percobaan
sederhana dan singkat untuk kembali memasuki wilayah ini bersama Pak Haji Slamet Oetomo. Suatu saat dulu,
ketika saya dan beberapa orang teman "patrap", sedang berlatih di Bumi Perkemahan Cibubur, dilapangan Rajawali,
Pak Haji Slamet Oetomo berkata kepada kami: "Jangan kalian kira orang ketuhanan itu tidak bisa ilmu apa-apa.
Coba kamu maju kedepan. Minta kepada Allah agar kamu bisa mendapatkan pakertinya Willem Daendels, seorang
Gubernur Jendral Belanda dahulu kala". Eh…, mulai dengan terbata-bata kemudian bertambah lancar, saya seperti
bisa berbahasa Belanda, yang sebenarnya tidak pernah saya ketahui, untuk beberapa lama. Lalu Pak Haji berkata:
"ya sudah…". Dan sayapun bisa berhenti berbahasa Belanda itu dengan sangat mudahnya.

Kemudian Pak Haji memanggil kami berpasang-pasangan dan berkata: "kamu minta kepada Allah agar dipahamkan
pakerti Prabu Siliwangi, dan kamu yang satu lagi minta kepada Allah agar mendapatkan pakerti Gajah Mada. Dan
tidak berapa lama kemudian terjadilah perkelahian yang sangat seru antara kami berdua. Wah seru juga silat yang
keluar malam itu. Untuk menghentikannya Pak Haji hanya cukup berkata: "ya sudah…", dan kamipun segera
berhenti berkelahi dengan sangat mudahnya. Puluhan teman-teman yang lain juga melakukan hal yang sama. Kami
saling menonton pertunjukan silat gratisan malam itu. Seru juga…

Catatan: Sebagai percobaan, setelah itu saya juga pernah melakukannya dengan beberapa orang teman di Cilegon.
Hasilnya juga sangat mengasyikkan.
Nah semua ilmu yang berkenaan dengan hypnotis, hypnoterapi, ilmu bahagia, ilmu sembuh-sembuh, ilmu energi-
energi, ilmu getaran-getaran, ilmu quantum-quantum, dan berbagai ilmu sejenisnya, yang sekarang ini membanjiri
otak orang Indonesia dengan sangat deras, berada dan bermain dalam wilayah state of mind alfa atau theta ini.

Hanya saja setelah itu Beliau dan juga Ustadz Abu Sangkan diberbagai kesempatan berkata:

"Nah…, kalian cukup hanya sekedar tahu saja dengan wilayah ilmu ini, yang salah satu contoh kecilnya adalah yang
kalian lakukan tadi itu. Banyak sekali ilmu-ilmu yang lain diwilayah ini. Namun kalian nggak usah berlama-lama di
wilayah ini. Karena wilayah ini adalah wilayah yang akan membawamu kepada keangkuhan. Ini adalah WILAYAH
PENGAKUAN. Jika engkau berada dalam wilayah ilmu, engkau dengan mudah akan mengaku-ngaku bisa ilmu ini,
bisa ilmu itu. Sebab semua ilmu memang ada dan terpapar luas diwilayah ini. Nanti kamu akan disibukkan sendiri
oleh ilmu-ilmu itu. Engkau akan mencari ilmu yang lebih tinggi dan lebih tinggi lagi. Sebab diatas sebuah ilmu selalu
masih ada ilmu yang lebih tinggi dan hebat. Kamu akan sibuk sekali mencari dan mencari ilmu yang lebih sakti dan
lebih sakti lagi. Suatu saat nanti, ketika kamu telah merasa bisa, pasti ilmu itu akan mendorong kamu untuk
mengajari orang lain. Dan saat kamu mengajari dan melatih orang lain itu, kamu pasti hanya akan membawa ruhani
orang lain kewilayah ilmu-ilmu itu. Pasti itu…".

"Ingat…, saat kalian berda'wah, atau memberikan wejangan, atau mengajar, atau mungkin hanya sekedar menulis
sekalipun, kalian sebenarnya sedang memasukkan alam pikiranmu sendiri kedalam otak seseorang. Nanti alam
pikiranmu itu akan dipakai oleh orang itu dalam kesehariannya. Nantinya, mungkin dia akan mengajarkan pula alam
pikiranmu itu kepada orang lain, atau paling tidak kepada anaknya. Hasil dari alam pikiranmu itu, akan membentuk
cikal bakal sikap yang tertanam di dalam untaian Chromosomnya. Itu pulalah yang akan diturunkannya, melalui air
maninya, kepada anak cucunya kelak. Yang pasti…, alam pikiranmu tadi itu akan beranak pinak menjadi pikiran-
pikiran orang lain yang kamu da'wahi, yang kamu ajari, yang kamu wejangi, atau yang kamu beritahu melalui
tulisanmu. Kalaulah alam pikiranmu itu suatu saat malah menjauhkan orang itu dari Allah, alangkah besarnya
tanggung jawabmu kelak dibelakang hari. Saat dia berkata kepada Allah: "ya Allah…, saya jadi begini karena
diajarkan oleh si fulan itu, saya mohon keadilanmu ya Allah…". Dan sungguh Allah punya cara yang sangat unik dan
hebat untuk menunjukkan keadilan-Nya…".

"Ingat pula…, saat kalian kelak melatih seseorang, sebenarnya kalian sedang mengajak batin, jiwa, atau ruhaninya
untuk bergerak kepada suatu objek pikir tempat dia nantinya menghentikan pikirannya, membawa perasaaannya,
mengantarkan batinnya, meletakkan ruhaninya pula. Tanggung jawabmu sebenarnya sangat berat saat melatih itu.
Sebab engkau sedang bermain-main diruangan batin (ruhani) seseorang. Engkau ajak ruhnya untuk berhenti di
objek pikir ilmu-ilmu. Engkau kuasai ruhnya. Bahkan engkau masukkan pula keinginanmu kedalam ruhaninya.
Artinya saat itu, engkau hentikan perjalanan ruhnya, gerak ruhnya pada ilmu-ilmu yang kamu miliki itu. Padahal
ruhnya sebenarnya ingin pulang kerumahnya, datang kepada pemiliknya, yaitu Allah. Nanti keinginanmu itu akan
dilakukannya seakan-akan itu adalah keinginannya sendiri. Dan kelak, malah dia bisa pula mengajarkannya kepada
orang lain. Nah kamu bisa bayangkan betapa besarnya tanggung jawabmu sekarang???", kata Beliau lirih.

"Ingatlah, kalau dia nanti punya masalah, dia akan mengingat kamu, dia akan mengingat pikiran-pikiranmu, dia akan
mengingat ilmu-ilmu yang kamu pernah perkenalkan kepadanya. Dia bukannya ingat kepada Allah. Tapi dia malah
ingat kepadamu dan kepada ilmumu yang kamu ajarkan kepadanya. Saat itu engkau sebenarnya telah menjadi
alatnya untuk menjadi syirik dihadapan Allah. Kelak… juga pikirannya, tulisannya, jualannya, omongannya, tindak
tanduknya, dan yang dibesar-besarkannya tidak akan jauh-jauh dari pikiran-pikiranmu itu. Yang lebih mengerikan
sebenarnya adalah alamat parkir ruhaninya akan sama dengan alamat dimana ruhanimu berhenti, yaitu di alam ilmu-
ilmu", kata beliau hampir berbisik.
"Sekarang dapatkah kamu renungkan??", andaikan kamu mengajarkan sesuatu kepada seseorang dan kamu tidak
mengenalkan seseorang itu tentang Allah, tentang datang ke Allah, tentang pulang ke Allah, tentang merendah
kepada Allah, itu sama saja artinya dengan kamu menghambat dan menawan ruhnya yang sebenarnya ingin untuk
kembali kepada Allah dengan penuh ridho. Sebab saat itu kamu memang telah menghambat ruhnya untuk kembali
ke Allah dengan dirimu, dengan pikiranmu, dan dengan ilmu-ilmu yang kamu ajarkan kepadanya. Engkau telah
menjadi berhalanya…!. Alangkah berani kamu kalau begitu…", suara Beliau terdengar seperti bergetar dan dari
suatu tempat yang sangat jauh…

Lalu Beliau terdiam untuk beberapa lama, seperti ingin memberi waktu kepada kami untuk mencerna wejangan
Beliau. Tak lama berselang, kamipun serentak meninggalkan alam ilmu-ilmu itu, untuk kemudian menjumpai Sang
Pemilik semua ilmu…!. Ya Allah…, Ya Rahman…, dan kamipun tidak mau mengganggu kesibukan-Nya yang sedang
menata alam semesta dengan segenap Maha Daya-Nya…

Asyhadu anlaa ilaha illallah…, wa asyhadu anna muhammadan rasulullah…

Kami tidak ingin merampas Kehidupan-Nya.


Kami berserah untuk tiada..
Kami berada dalam diam dalam tiada….
Diam…, Diam…, Diam…

Sebagai kelanjutannya, pada tahapan berikutnya, saya ditunjukkan lebih dalam lagi oleh Ustadz Abu Sangkan
tentang sebuah keadaan yang sangat berbeda dengan wilayah ilmu-ilmu itu. Keadaan itu adalah WILAYAH IMAN,
WILAYAH TAQWA, WILAYAH PERJALANAN (SALIK). Walaupun dengan tertatih-tatih dan terseok-seok, saya tetap
mencoba mengamalkannya dengan semangat 45. Hanya saja dalam perjalanan waktu, saya seperti dapat
merasakan dan menjadi saksi bahwa pada wilayah iman dan taqwa ini ada perbedaan yang sangat signifikan yang
didapatkan antara seorang yang hanya sekedar Beribadah (ABID) dengan seorang bersedia menjadi SALIK
(SALIKUN). nyata sekali bedanya. Subhanallah...

Betapa tidak. Lihatlah beberapa muatan ayat Al Qur'an berikut:

• Untuk bisa diajari Allah dengan ilmu-ilmu, sebenarnya kita cukup bertaqwa saja: "wattaqullaha
wayu'allimukumullahu (al baqarah 282)
• Untuk mendapatkan keberuntungan, kita cukup dengan bertaqwa saja (ali imran 130)
• Sebagai bukti kita sudah beriman, cukuplah dengan bertaqwa. (al maidah 112)
• Agar diberi rahmat, kita cukuplah dengan bertaqwa (al an'aam 155)
• Agar mendapatkan berkah dari langit dan bumi, kita cukuplah dengan bertaqwa (al a'raf 96)
• Agar tidak was-was dan bisa melihat kesalahan-kesalahan, kita cukuplah ingat kepada Allah (al a'raaf 201
• Agar mengerti berbagai tanda-tanda (ayat) Allah, kita cukuplah dengan bertakwa. (yunus 6)
• Agar bisa bersama Allah, kita cukuplah dengan bertaqwa dan berbuat kebaikan (an nahl 128)
• Agar bisa menjadi aman, kita cukuplah dengan bertaqwa (Ad dukhaan 51)
• Agar terlindung, kita cukuplah dengan bertaqwa (Al Jaatsiyyah 19)
• Agar mendapatkan jalan keluar dari berbagai masalah, kita cukuplah dengan bertaqwa (ath thalaq 2)
• Agar diberi rezki dari tempat yang tidak disangka-sangka, kita cukuplah dengan bertaqwa (ath thalaq 3)
• Agar dicukupi segala keperluan, kita cukuplah dengan bertaqwa (atha thalaq 3)
• Agar dimudahkan segala urusan, kita cukuplah dengan bertaqwa (ath thalaq 4)
• Agar bisa mendapatkan pelajaran dari al qur'an, kita cukuplah dengan bertaqwa (al haaqqah 48)

Dan kesemuanya itu adalah sebuah PERJALANAN yang Tiada Akhir..., SALIK
Sesederhana itu saja sebenarnya. Kalau sudah begini sederhananya, kita akan mencari-cari cara yang bagaimana
lagikah???. Entahlah kalau memang masih ada...

Hanya saja disini kita memang perlu kemampuan untuk bisa menangkap dan membaca ILHAM yang diturunkan Allah
langsung kedalam Dada kita. Karena memang Petunjuk Allah tentang Taqwa itu datangnya melalui ILHAM dari Allah
sendiri kepada kita. Bukan dari yang lain.

Lalu..
Bagaimana agar bisa menangkap dan membaca ilham itu ?.
Bagaimana membedakan itu benar adalah Ilham dari Allah atau itu malah jalan pikiran yang berasal dari hawa nafsu
kita sendiri?.
Bagimana membedakan bahwa itu ilham dari Allah atau itu adalah was-was dari syaitan?.
Hal-hal beginilah yang seharusnya dilatih dan disempurnakan oleh umat islam sekarang ini.

Monggo jadi Salikun...

Subhanallah…

Wassalam Deka
THE ULTIMATE FRESH MAKER…, APAAN TUH?.


Written by Administrator

Beberapa waktu yang lalu di televisi kita pernah disuguhkan dengan iklan sebuah permen yang diklaim
penjualnya sebagai the fresh maker (si pembuat kesegaran). Sebenarnya the fresh maker itu bisa lebih
dari itu. Masih banyak the fresh makers yang lainnya.

Kali ini saya akan mengungkapkan the fresh maker yang paling ultimate (pamuncak). Apa itu....?

Tapi, mari kita mulai dulu dari yang paling sederhana, yaitu yang artificial (semu-semu) dulu. Misalnya, makan
permen mint, atau permen karet, ataupun memakai deodorant yang dapat memunculkan sensasi yang paling primitif
yaitu fresh dari bau-bauan. Akan tetapi karena yang namanya tubuh manusia dengan segala peralatannya adalah
sumber bau semua, maka fresh yang muncul juga sangat terbatas, hanya sekedar memenuhi kebutuhan hidung
beberapa saat saja. Tapi jangan juga anggap enteng dulu, karena aroma terapi yang tepat juga bisa membuat orang
menjadi ekstasis.

Suatu saat kepala kita hampir mau pecah akibat memikirkan sesuatu masalah, maka boleh jadi sebuah
kegiatan makan angin (rihlah) bisa membuat kita bisa keluar dari masalah yang kita hadapi itu, yang
menggelanduti otak kita, walaupun mungkin hanya sejenak dua jenak. Untuk keluar dari otak ini, orang
bisa juga dengan cara merokok yang dalam, duduk di kursi malas di taman, melihat bunga yang indah,
dan sebagainya. Intinya adalah saat rihlah ini, kita keluar dari permasalahan di otak kita, dan kita beralih
ke sensasi merokok misalnya. Jadi rokok itu yang membuat ketagihan sebenarnya bukanlah candunya,
akan tetapi lebih kepada sensasi yang ditimbulkannya yang bisa membawa kita keluar dari otak kita yang
lagi mumet.

Kalau yang kurang fresh adalah rasa kita. Misalnya dada kita mendidih karena marah, sedih, benci, atau
barangkali rasa cinta yang dalam (birahi kali ya..), maka alat fresh maker bagi rasa yang haru biru ini
umumnya lebih sulit. Biasanya, walau otak (ego) kita dengan file-file yang ada di dalamnya sadar bahwa
suasana "galau rasa" ini adalah tidak benar (sedang ada masalah), tetapi rasa (si super ego) menekan-
nekan terus tak terkendali. Sehingga kita rasanya seperti di tekan (di press) dari atas (ego=otak) yang
tahu ini adalah salah dan harus dihindari maupun dari bawah (rasa=super ego) yang minta pemuasan
terus dan terus. Karena di press atas-bawah tadi maka tidak jarang kita menjadi depresi yang kemudian
melahirkan banyak penyakit turunannya.

Lalu di zaman sekarang ini muncul beberapa teknik laku yang diklaim pemrakteknya sebagai alat yang
bisa menyegarkan galaunya rasa dan fikiran ini. Misalnya praktek meditasi, zikir, olah raga, musik, dsb...,
maka berduyun-duyunlah orang mengikuti meditasi ini dan itu. Hasilnya pun bisa dirasakan. Orang yang
melatih meditasi tertentu beberapa bulan saja, maka dia akan terlihat jauh lebih bisa mengontrol diri dari
orang kebanyakan. Lebih cool katanya.

Atau ada juga yang dengan semangat 45 kita menguber dzikir rame-rame dari suatu tempat ke tempat
lain. Awal-awalnya pesertanya memang bisa merasakan sensasi yang membuat fresh rasa di dadanya.
Banyak orang yang merasa lebih tenang dan segar setelah galau rasanya tumpah menjadi tangisan.
Nikmat sekali rasanya. Sehingga orang kadangkala mau bersusah-susah dari jauh datang demi
mendapatkan setetes dua tetes airmatanya tumpah diayun oleh mendayu-dayunya suara dzikir dan doa
yang dibawakan ustadznya.

Sekali, dua kali, enak memang, kita masih bisa menangis. Dada masih bisa plong. Tapi sampai kali yang ke
sekiannya, mulai ada masalah. Disinilah celakanya otak. Otak ini kalau diberikan masukan yang sama berulang-
ulang, ya nggak sampai lima kali lah, maka mulai muncul rasa bosan kita terhadap yang kita ulang-ulang itu. Otak
tidak lagi mendapatkan sensasi-sensasi yang merangsang keluarnya enzim atau hormon tertentu yang membuat kita
tenang. Kata orang sekarang kita tidak ekstasis lagi dengan kerutinan itu. Akibatnya ya, tangis dan ketenangan itu
mulai hilang dari diri kita. Walaupun irama dan kalimat dzikir dan do’anya sudah dibikin sedemikian mendayu-
dayunya, akan tetapi otak kita hanya merespons singkat: “udah tahu…”. Sehingga kita merasa aneh saja dengan
mimik sang ustadz yang disedih-sedihkan itu. Kita nyaris tak tersentuh lagi. Kita kembali rasanya berada dalam
suasana rasa dan fikiran yang tidak fresh. Dalam istilah agamanya mungkin dikatakan sebagai: “iman saya lagi
nyungsep turun nih...”, yang akhirnya membuat kita bosan berbuat sesuatu, walau untuk beribadah sekali pun,
misalnya shalat, membaca Al Qur’an, dzikir dsb.

Itulah karakteristik otak kita, terutama belahan otak kanan, yang selalu ingin sensasi-sensasi baru setiap
saat. Otak itu ingin ekstasis sehingga dia bisa mengeluarkan hormon endorpin yang membuat kita
merasa fresh, enak, segar, tenang, damai untuk beberapa waktu.

ARTIFICIAL FRESH MAKERS...

Pada tingkat artificial lainnya, ada beberapa fresh maker lagi yang juga mempunyai pengaruh yang cukup
besar yang mampu membuat kita bekerja atau beribadah sambil menikmati sensasi-sensasi rasa yang
muncul. Berikut adalah beberapa contohnya.

Kekuatan Ria…
Adalagi sebuah suasana yang bisa membuat kita fresh, walaupun sebenarnya itu hanya kesegaran
semu. Coba kita ingat-ingat, pernahkan rasa kita berbunga-bunga saat kita melakukan sesuatu pekerjaan
ataupun ibadah karena ingin dipuji orang ?. Awal-awalnya bentuk ria itu memang bisa membuat kita
begitu senang, enak, dan bangga. Ada sebentuk rasa enak dan segar yang mengalir di hati kita yang
membuat kita rela bersusah-susah mengerjakan pekerjaan atau ibadah itu. Akan tetapi kembali lagi kita
akan berhadapan dengan kekurang ajaran otak kita yang mulai bosan saat tidak ada lagi orang yang
memuji dan memperhatikan yang kita lakukan. Sehingga pada suatu titik kita kembali ingin mencari ria-ria
lain yang baru. Atau kalau tidak, maka kita akan melakukan “pekerjaan rutin” itu dengan terpaksa.
Terpaksa karena takut dosa, takut hukuman, atau tenggelam dalam lamunan dapat pahala. Akibatnya
pekerjaan rutin itu tetap kita kerjakan tapi dengan ogah-ogahan, dengan malas-malasan, atau bisa juga
dengan kecepatan yang sangat kilat. Tidak ada penghayatan kata orang bijak. Walaupun begitu kekuatan
ria ini akan melahirkan orang-orang yang hedonis (yang mendambakan kenikmatan pribadi sesaat)

Kekuatan Takut…
Rasa takut ternyata juga punya kekuatan yang sangat dahsyat sebagai motivator kita untuk merasa fresh
dalam berbuat. Misalnya, takut kepada hantu, jin atau yang sejenisnya. Takut hantu ini tidak akan dibahas
disini, karena takut jenis ini adalah takut yang terendah dan sangat primitif. No comment lah… untuk ini.

Ada rasa takut yang dicari-cari orang walau dengan menantang maut sekali pun. Di teve bisa kita lihat
bagaimana orang-orang memelihara dan mencari rasa takut dalam “the worst scenario”, “tantangan”,
“guiness book of the record”, dsb. Semua usaha ini adalah untuk membanjiri aliran darah mereka dengan
adrenalin maupun endorpin yang bisa membuat pelakunya merasa ekstasis, merasa segar, merasa
sangat bahagia, merasa sangat nikmat saat mereka berhasil mencapai “titik aha… ini dia”, merasa nikmat
saat mereka bisa lolos dari lobang maut yang pekat. Pengaruh ini mirip-mirip dengan apa yang dihasilkan
oleh zat ampetamin, morphin, dsb. Mencari kesegaran dengan cara ini juga butuh tantangan-tantangan
baru lainnya agar titik aha berikutnya tercapai. Karena kalau tidak, maka kenikmatan dan kesegarannya
akan berkurang banyak. Nikmatnya tidak dipuncak lagi…

Kekuatan Utopia…
Kekuatan utopia ini bisalah disederhanakan jadi kekuatan harapan (tapi yang nyaris nggak pernah
kesampaian). Disini harapan yang muncul bisa dua macam, yaitu pertama, harapan terhindar dari sebuah
siksa atau hukuman yang sangat keras, misalnya harapan terhindar dari siksa dunia, apalagi dari siksa
neraka, dan kedua, harapan yang menggunung untuk mendapatkan nikmat dunia, apalagi nikmat di
syurga. Artinya kita berharap untuk mendapatkan fresh di dunia dan jugafresh diakhirat. Kekuatan dari
kedua jenis harapan ini sungguh luar biasa dalam memotivasi kita dalam bertindak. Sampai-sampai ada
dari kita yang harus bunuh-bunuhan mempertahankannya.

Banyak dari kita yang begitu terbuai dengan harapan terbebas dari neraka dan harapan masuk ke syurga
ini. Akan tetapi sungguh sedikit dari kita yang bisa memaknainya dengan benar. Selama ini kita hanya
mengira-ngira bahwa kalau kita sudah menjalankan sebuah aturan agama, apalagi yang laku fisiknya
diterangkan oleh hadits, maka kita dengan mudah bisalah menenang-nenangkan hati, bahwa kita ini
insya Allah masuk syurga. Padahal sebuah aturan agama yang dijalankan dengan baik dan benar
“HARUS” ada manfaatnya di dunia ini, ada “jegleger”-nya kata orang Betawi. Pada zaman Rasulullah
dulu, malah agama mampu merubah jaman gelap menjadi jaman yang terang benderang. Dalam istilah
psikologinya adalah bahwa aktivitas agama itu harus menghasilkan ekstasisnya otak (kanan), sehingga
memberikan efek fresh kepada rasa di belahan dada kita. Kalau tidak, maka aktivitas itu hanya aktivitas
senda gurau belaka yang kekuatannya nyaris sama dengan kekuatan ria.

Perilaku utopia ini sungguh banyak beredar dalam masyarakat kita saat ini. Awal puasa kita di bombardir
dengan khayalan tentang taqwa sebagai hasil dari puasa. Habis lebaran kemarin tak habis-habisnya juga
khotib berbicara tentang kembali ke fitrah, kembali suci, kembali seperti bayi. Tapi saat ditanya apaan
tuh…?, maka jawabannya adalah jawaban utopis. Taqwa, fitrah, iman bagi kita seringkali lebih banyak
bermakna hanya sebatas angan-angan saja. Utopis memang kebanyakan kita. Pantas Rasulullah
mensinyalir bahwa suatu saat nanti umat Beliau ketika puasa hanya dapat haus dan lapar saja, saat
shalat hanya dapat capek dan lelahnya saja. Akhirnya kita kadang-kadang ngambek nggak mau
beribadah. Habis rasanya sama saja beribadah dengan tidak. Sama-sama tidak fresh.

Yang paling menyedihkan bahkan menyakitkan lagi adalah bahwa kelompok agama (apapun agama dan pahamnya)
yang berperilaku utopia inilah yang menghancurkan agama itu sendiri. Karena kelompok utopis yang satu akan
mencaci, menghantam, memojokkan, bahkan menghancurkan kelompok utopis lain yang tidak sesuai dengan
keutopiaan mereka. Sejarah panjang umat manusia (baca umat beragama) sudah membuktikan hal ini.

Ciri-ciri karakter utopia ini adalah bahwa kita mempelajari dan memahami agama atau konsep apapun
dengan cara memorisasi dan hafalan saja. Artinya hanya menggunakan aktivitas otak kiri saja. Lalu
dengan hafalan itu kita sudah berani-beraninya mengklaim diri kita sebagai seorang yang religius,
seorang yang beragama. Sehingga kita dengan sangat mudah menghakimi orang lain dengan memori
yang kita punyai itu. Banyak sekali contoh yang ada saat mana kita yang mengaku religius ini ternyata
hanya sang penyebar kebencian antar manusia, bahkan tidak jarang sampai saling berbunuhan. Saat
mana religius kehilangan makna holistiknya (makna spiritualitas dan segala turunannya yang dimotori
oleh aktivitas otak belahan kanan), saat mana religius menjadi kabur oleh domplengan hawa un nafs,
saat mana religius menjadi tidak jelas manfaatnya bagi sesama manusia, maka saat itu sebenarnya
agama sudah tinggal kenangan. Agama sudah berubah menjadi mimpi panjang bagi para pemeluknya.
Kekuatan utopia memang tidak bisa dijadikan sebagai the fresh maker.

Si Kambing Hitam…
Akhirnya saking mati kutunya kita, maka dengan semangat revolusi kita lalu menimpakan tuduhan
kepada iblis sebagai si biang kerok. Iblis lalu jadi kambing hitam yang tertuduh. Padahal si iblis hanya
“ketawa-ketawa” saja menanggapinya sambil nyeletuk: “Biar kau tuduh saya sebagai penyebab kamu
berbuat tidak sesuai dengan hukum-hukum (prinsip) Tuhan, nanti toh saya berlepas diri dari apa-apa
yang kamu lakukan itu. Kamu harus bertanggung jawab sendiri atas apa-apa yang kamu lakukan…”.

“Tambahan lagi kekuatan untuk melakukan baik atau buruk itu kan berkat adanya dorongan dari dirimu
sendiri (hawa un nafs) yang hampir-hampir saja tak terbatas jangkauannya. Saya hanya sebagai
motivator dan penghembus-hembus saja…” ejek si iblis.

Ya…, kekuatan hawa un nafs (dorongan atau kecenderungan diri)…


Kita ini memang dimanja oleh Allah. Dia melengkapi diri kita dengan fasilitas atau kemampuan yang
sangat sempurna. Sifat dari fasilitas dan kemampuan diri ini tidak ada bedanya bagi hampir setiap orang.
Kemampuan diri ini tidak tergantung kepada agama, jenis kelamin, ras, suku bangsa dari diri itu.
Intensitas dan kualitasnya dorongan diri itu akan lebih dipengaruhi oleh dipakai atau tidaknya fasilitas itu
secara optimum. Dalam hal ini motor pengaturnya “untuk sementara” kita sebut saja belahan otak kiri dan
otak kanan. Yang membedakan diri yang satu dengan diri yang lain adalah seberapa jauh manfaat diri ini
bagi dirinya itu sendiri maupun bagi makhluk lainnya. Manfaatnya ini bisa dikelompokkan menjadi dua.
Yaitu manfaat baik dan manfaat buruk. Dalam kesempatan ini masalah baik dan buruk ini tidak akan kami
bahas, karena ini merupakan masalah konsep-konsep tentang benar dan salah yang boleh jadi berbeda
dari orang ke orang. Ruwetlah…

Nah kemampuan otak ini dari dulu sampai sekarang sudah dieksplorasi oleh berbagai manusia hampir tanpa batas.
Dari yang paling bermanfaat sangat negatif maupun yang sangat positif. Instrumen yang dipakai untuk kedua
manfaat ini…ya otak juga. Dari santet, aktivitas paranormal, pengobatan alternatif, dimana jin, iblis dan sejenisnya
hanya sebagai motivator saja (mereka tidak bisa apa-apa), nggak lebih, sampai kepada aktivitas pengamatan alam
semesta dengan segala isinya (intizar) yang telah melahirkan loncatan quantum kemajuan ilmu pengetahuan dan
kualitas hidup manusia di dunia ini.

The ultimate fresh…(kesegaran pamuncak)…

Kesegaran pamuncak adalah sebuah istilah yang saya buat untuk sebuah suasana yang mampu
membawa kita berada dalam suasana atau keadaan ekstasis yang menyebabkan rasa damai, tenang,
bahagia, luas (universal), akan tetapi saat itu kita juga masih berkesadaran (tidak mabuk). Untuk
mencapai suasana ini, kedua belahan otak (kiri-kanan) harus mendapatkan rangsangan yang cukup dan
seimbang agar keduanya berfungsi secara optimum. Otak kiri yang mewakili aktivitas logic harus
dirangsang dengan, hitung-hitungan, baca-bacaan, suara-suara, pengulangan-pengulangan, hafalan-
hafalan, bentuk-bentuk gerakan tubuh yang teratur, dan berbagai aktivitas logic lainnya. Dalam istilah
agama aktivitas logic ini dikenal sebagai: syariat, fikih, dan hukum-hukum agama lainnya.

Disamping itu otak kanan yang mewakili aktivitas holistik dan segala turunannya seperti emotional,
spiritual, seni, dsb., juga harus mendapatkan rangsangan yang setimpal. Otak kanan ini maunya
mengembara tak tentu arah, menclok sana menclok sini tak beraturan. Dalam pengembaraannya, kalau
mendapatkan rangsangan yang belum pernah dia dapatkan sebelumnya, maka saat itulah dia berhenti
merespons untuk sesaat dan merangsang pengeluaran zat endorpin yang memacu munculnya rasa
enak, senang, tenang, dsb. Akan tetapi kemudian, pada taraf tertentu, sensasi itu akan hilang lagi (lihat
fenomena bosan diatas), dan sang otak kanan itu kembali membawa kita mengembara secara holistik tak
tentu rimbanya. Mungkin aktivitas holistik ini “untuk sementara” bisalah dianggap diwakili oleh pelaku
sufism, atau tarekat pada umumnya yang ada.

Nah kesegaran puncak ini hanya dan hanya akan bisa dicapai apabila aktivitas logic dan aktivitas holistik
dari otak kiri dan otak kanan itu bisa dipadukan secara harmonis dalam sebuah aktivitas gerakan cyclic
yang silih berganti. Kalau hanya satu gerak saja, misalnya hanya aktivitas logic saja, maka akan muncul
orang-orang yang hidupnya terkungkung dengan hukum-hukum (baca syariat, fikih) yang terpaksa dia
patuhi walau nyatanya tidak semua hukum itu bisa dia jalankan. Kita kalau masuk ke dalam jenis ini,
maka kita akan sangat kaku dan serba ketakutan untuk berbeda dengan pakem hukum yang kita pegang
dan percayai. Semua orang maunya kita hukumi dengan cara yang sama dengan contoh zaman terbaik
yang kita percayai pernah ada, misalnya zaman Rasulullah dan zaman sahabat-sahabat. Di luar zaman
itu kita anggap salah semua. Akan tetapi karena pakem yang kita pegang ini banyak dilanggar orang di
zaman sekarang ini, maka kerjaan kita kebanyakan ngedumel, menyalah-nyalahkan, dan mencak-
mencak saja kepada orang-orang yang tidak sesuai dengan logic-kita. Kita menjadi utopis. Artinya ya
nggak fresh juga.

Begitu juga jika orang hanya banyak menjalankan aktivitas holistiknya. Artinya yang diasah dan lebih aktif adalah
belahan otak kanannya, maka efek yang muncul biasanya adalah orang yang mudah terbelenggu dengan “rasa yang
dalam”. Tidak jarang penikmat holistik ini bisa mengurung diri di sebuah ruangan sempit dan gelap dalam waktu yang
lama hanya untuk tenggelam dalam suasana olah rasanya, misalnya berdzikir (berwirid ribuan bacaan), shalat
beraka’at-raka’at, atau bermeditasi dengan cakra-cakranya. Biasanya pelaku aktivitas holistik ini juga menganggap
enteng pelaku aktivitas logic yang mereka anggap baru sampai pada taraf syariat, belum pada taraf hakekat apalagi
taraf makrifat. Anggapan begini boleh dibilang sebagai keangkuhan orang spiritual terhadap orang syariat. Tak jarang
mereka ini jatuh menjadi utopis juga. Lagi-lagi yang muncul adalah rasa tidak fresh.

Logic saja sebenarnya tidak ada salahnya. Akan tetapi cuma tidak menghasilkan fresh yang sempurna.
Holistik saja juga sama gagalnya. Lalu aktivitas apalagi yang mampu memadukan keduanya secara
harmonis dalam sebuah aktivitas cyclic ini…??. Ada yang mengatakan bahwa pelaku Taichi, Rei-Khi,
Yoga, dan sejenisnya adalah sebuah contoh yang nyaris sempurna yang mampu menggunakan aktivitas
gerakan cylic ini dalam praktek dan kesehariannya. Mari kita lihat sejenak apa yang mereka lakukan.
Para taichi-ers mampu melakukan gerakan perlahan tetapi dengan penghayatan yang dalam terhadap
“getaran, energi alam semesta” yang mampu mereka rasakan pada saat bergerak itu. Mereka mampu
bertahan di fenomena gerak bergetaran itu dalam waktu yang lama sehingga mereka lalu seperti
melupakan gerak fisik mereka. Artinya mereka memadukan gerak (logic) dengan rasa (holistik) dalam
waktu yang bersamaan. Dalam gerak mereka ada rasa, ada ekstasisnya otak yang muncul.

Akan tetapi taichi ini pun (seperti yang pernah saya rasakan dan diiyakan oleh beberapa sahabat saya
yang master Taichi) ternyata juga tidak mampu membawa kita kepada the ultimate fresh yang
sebenarnya. Masalah bahwa banyak dari pemraktek taichi, rei-khi, yoga yang jauh lebih baik dari orang
yang rajin shalat, puasa, dan berwirid itu adalah hal lain lagi. Tetapi paradigma aneh ini tidak bisa
dikesampingkan begitu saja dan hal ini sudah menjadi pertanyaan panjang saya selama ini.
Tapi alhamdulillah sekarang sudah terjawab.

Apalagi kalau hanya sekedar aktivitas musik, yang walaupun pada taraf tertentu berhasil memadukan
aktivitas logic dan holistik ini, lebih terbatas lagi. Aktivitas cyclic musik ini hanya terjadi pada waktu yang
singkat saja. Paling banter kita bisa jingkrak-jingkrak saat musik itu diputar. Akan tetapi, begitu musiknya
selesai, maka kita akan ditarik kembali menjadi tidak fresh alias bete lagi.

The ultimate fresh maker itu…


Nah…, sekarang mari kita masuk kepada pembahasan tentang aktivitas macam apa gerangan yang akan
mampu menciptakan kesegaran yang terpucak itu, sangthe ultimate fresh maker. Karena kita ini ternyata
memang butuh kesegaran demi kesegaran dalam hidup kita ini. Aktivitas itu, fasilitas itu, tak lain dan tak
bukan adalah sebuah aktivitas dengan gerak tubuh sedemikian sederhananya. Akan tetapi, percaya
nggak percaya, dalam kesederhanaannya itu ternyata tersembunyi sebuah kekuatan Maha Dahsyat yang
sanggup merubah dan menggiring peradaban manusia sesuai dengan citra saat penciptaan sang
manusia itu sendiri. Keberhasilan aktivitas ini sudah terbukti dalam berbilang zaman. Aktivitas itu
adalah…

……….SHALAT KHUSYU’……….!!!

Ooo la laaaa…!!!???. Hanya itu…???. Ya…, hanya dan hanya itu…!!!,

Shalat…, tapi shalatnya harus yang khusyu’. Karena kalau tidak khusyu’, maka kita hanya akan menjadi
si pemimpi tentang kebahagian, kemenangan, kesegaran, dan syurga sepanjang umur kita. Si utopis
yang menyedihkan, huh…!.

Dasar Pijakan Tertinggi (The ultimate guidance)…

Untuk mencapai tingkat fresh yang paling tinggi ini, maka tiada lain tidak dasar pijakan kita juga harus
dari sumber yang paling tinggi (the ultimate source), yaitu:

"Dan mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan shalat. (Wa inna-ha…) Dan
sesungguhnya shalat itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu`,(al Baqarah
45) (orang yang khusyu’ itu, yaitu) orang-orang yang meyakini, menyadari, bahwa mereka
(saat shalat itu sedang)menemui Tuhannya, dan bahwa mereka (saat shalat itu
sedang) kembali kepada-Nya. (Al Baqarah 46)"

Ayat inilah yang menyebabkan Rasulullah tidak perlu menerangkan lagi masalah tentang khusyu’ ini.
Karena khusyu’ itu sudah dijelaskan dengan sangat sederhana tapi punya makna yang sangat dalam
oleh Allah sendiri di dalam Al Qur’an. Al Qur’an menjelaskan Al Qur’an. Jadi sebenarnya kita tidak perlu
banyak berteori lagi tentang khusyu’ ini. Karena teori-teori kita itu akan salah semua.

Akan tetapi dua ayat (yang tidak bisa dipisahkan) ini jugalah yang sudah sangat lama dilupakan oleh
hampir semua umat Islam dalam shalat-nya. Kita semua memang tahu bahwa khusyu itu adalah
saripatinya shalat. Kita tahu itu. Akan tetapi saat mau memahami apa itu khusyu, maka kita malah
mencoba mencarinya kepada sumber-sumber rendah lainnya. Khusyu kita bahas dan definisikan dengan
berbagai kalimat yang hampir-hampir berbeda dari orang ke orang. Kita takut untuk masuk ke ayat 46
yang disitu dengan tegas memuat sebuah keyakinan akan aktivitas rohani, aktivitas kesadaran yang
dilakukan saat itu juga, yang mengalir dari awal sampai akhir shalat, yang tak berhenti sesaat pun,
bahkan akan membekas setelah prosesi shalat itu selesai dilaksanakan. Sebuah aktivitas melampaui
ruang dan waktu. Semua aktivitas kesadaran itu menjadi terlaksana saat sekarang dan akan berlangsung
terus menerus (present continous tense). Aktivitas kesadaran itu bukan untuk masa yang akan datang
(future tense).

Ketakutan kita untuk memahami ayat 46 ini sebagaimana adanya adalah sebuah ketakutan laten yang sudah
berumur sangat panjang. Ketakutan yang berawal dari ketidakmampuan beberapa penganut tekstualitas agama
yang dibantu oleh kekuatan politik (baca orang syariah, fikih) untuk memahami ke dalam ungkapan ekstasis dari para
spiritualis besar dunia. Buya Hamka (alm.) sendiri, yang juga sudah sampai kepada realitas ekstasis ini, mengaku
tidak berani mengungkapkannya kepada khalayak umum. “Saya bisa dibunuh kalau mengungkapkannya”, kata
beliau. Akibat meninggalkan ayat 46 yang sangat esensial ini, umat Islam sekarang nyaris seperti anai-anai yang
berterbangan tidak tahu arah atau seperti buih tipis yang tidak punya kekuatan apa-apa.

Akan tetapi kalau kedua ayat diatas dipadukan dalam sebuah laku shalat, maka yang akan kita dapatkan
juga yang riil-riil saja, yang pasti-pasti saja. Kita akan dialiri realitas AFLAHA (bahagia, tenang,
kemenangan). Sebuah pencapaian kesegaran jasmani dan rohani yang sangat puncak, “the ultimate
fresh reality”.

“Sungguh-sungguh berbahagialah, sungguh-sungguh beruntunglah, sungguh-sungguh


menanglah orang-orang yang beriman, (orang yang beriman, yaitu) orang-orang yang khusyu’
dalam shalatnya, (Al Mu’minuun ayat 1,2).

Subhanallah, kedua ayat ini benar-benar membuat saya miris dan ngeri membacanya. Dengan
kata “alladzina (yaitu)”, Allah kembali mendefinisikan, menjelaskan sendiri makna tentang siapa itu
orang-orang yang beriman. (alladzina, orang yang beriman yaitu) orang-orang yang
khusyu’ dalam shalatnya. Nah…, kalau TIDAK khusyu dalam shalat lalu kita ini jadi golongan
apa…???. Kalau shalat kita tidak khusyu, maka ayat ini dengan tegas dan kejam menggolongkan kita
menjadi orang yang… TIDAK BERIMAN…!!!. Duh Gusti…, kalau ini cap yang Engkau lekatkan kepada
orang yang tidak khusyu’, untuk apa lagi semua hidup dan tindakan yang kami lakukan dalam setiap
tarikan nafas kami ini…??, Akankah semua sia-sia wahai Gusti-ku…??.

Ternyata khusyu’ dalam shalat inilah yang membedakan orang yang beriman dengan yang tidak beriman.
Pantas Rasulullah menyatakan bahwa:

“Shalat adalah tiangnya agama”,

“Yang paling duluan di hisab dari kita adalah shalat kita….”,

Kalau shalat kita baik (khusyu’) maka selesai sudah perhitungan-perhitungan amal kita, yang lain-lain jadi
tidak dihisab lagi. Akan tetapi kalau shalat kita tidak beres (shalat yang lalai), maka habis sudah kita. Kita
akan dimasukkan kedalam prosesi penyiksaan diri seperti yang akan dihadapi oleh orang-orang yang
tidak beriman.

Selanjutnya, aktivitas-aktivitas logic shalat (syariat dan fikih) seperti bentuk gerakan fisik, bacaan,
sequencial (urut-urutan dan pengulangannya), termasuk lama atau lambatnya pelaksanaan shalat ini,
Rasulullah mencontohkannya dengan sangat bervariasi sekali dari waktu ke waktu. Hal ini dibuktikan
dengan begitu banyaknya hadist yang bercerita tentang keragaman ini, yang kemudian menjelma
menjadi berbagai Mahzab Fikih yang kadangkala memperlihatkan perbedaan yang cukup ekstrim disana-
sini. Boleh jadi syariat dan fikih shalat bisa saja tidak abadi, akan tetapi makna holistik shalat akan tetap
satu dan abadi sepanjang masa. Tulisan ini tidak akan membahas masalah-masalah syariat dan fikih dari
shalat. Untuk ini silahkan masing-masing kita mengambil bentuk logic shalat menurut keyakinan kita
masing-masing. Pembahasan tulisan ini akan lebih terfokus kepada usaha-usaha mengupas kedalaman
samudera spiritual shalat sebatas apa yang bisa saya ungkapkan dalam bentuk tulisan.

Makna Shalat…
Kata shalat dalam bahasa Arab merupakan sebuah ungkapan yang mempunyai makna dan cita rasa
yang sangat tinggi sebagai anugerah Allah yang terbesar bagi umat manusia. Shalat, baik bentuk
maupun ucapannya, merupakan pencapaian evolusi tertinggi dari usaha panjang manusia dalam rangka
pencarian kesejatian fitrah dirinya. Banyak sudah usaha manusia untuk menyingkap kepada siapa
sebenarnya (hakikinya) diri ini harus bersandar, harus bermohon, harus berharap, harus kembali, harus
segala-galanya…. Praktek-praktek ibadah dan penyandaran diri penganut agama-agama besar dunia
ataupun hanya sekedar kepercayaan seorang petani kecil sederhana dibalik bukit ketidaktahuannya tak
lain hanyalah bagian sejarah tak terpisahkan dari usaha panjang pencarian manusia akan ujung
penciptaannya. Tapi syukurlah, perjalanan panjang itu sepertinya diakhiri oleh Allah lewat sebuah bentuk
penghambaan dan pemujaan yang sangat sederhana, yaitu shalat. Shalat adalah titik akhir perjalanan itu.
Karena shalat itu sendiri adalah hasil dan oleh-oleh dari ujung perjalan Rasululllah saat bertemu dan
berjumpa dengan Tuhan tatkala beliau di isra’kan dan di-mi’raj-kan oleh Tuhan.

Dalam surat Al Baqarah ayat 45 diatas, Allah secara terus terang dan lugas menyatakan bahwa sabar
dan shalat adalah dua sarana tertinggi manusia untuk minta hidayah, minta pertolongan, minta petunjuk
kepada-Nya. Disini Allah secara tegas menyatakan bahwa shalat semata-mata hanyalah kebutuhan
esensial kita saja. Shalat itu bukanlah sebuah kewajiban manusia untuk menyembah Allah karena
ketakutan kita terhadap siksa-Nya. Dengan shalat, kita dibawa kepada kesadaran bahwa pertolongan
dan petunjuk dari “selain Allah” (baca ciptaan-Nya) dalam bentuk apapun menjadi sangat kecil dan tidak
berarti apa-apa. Bagaimana bisa ciptaan-Nya tersebut memberikan pertolongan kepada kita, bahkan
untuk menolong diri mereka sendiri mereka tidak mampu.

Akan tetapi, ada apa gerangan hambatan-hambatan dalam shalat itu, sehingga Allah dari awal sudah
menyampaikan peringatan dini-Nya, “hati-hati kalian wahai manusia, karena shalat itu adalah suatu
pekerjaan yang sangat sulit (lakabiiratun) untuk dilaksanakan”. Namun sayang sekali bahwa sangat
sedikit kita yang peduli dengan peringatan dini Allah ini. Karena memang kalau dilihat sepintas lalu, apa
susahnya sih shalat itu. Bentuk gerakan-gerakannya, seperti berdiri, rukuk, sujud, dan duduk sudah jelas.
Baca-bacaannya tinggal dihapal dan dibaca, baik dengan dimengerti artinya atau tidak. Oleh sebab itu
sebagian besar kita dengan gampang mengabaikan saja peringatan dini Allah itu, kecuali bagi orang-
orang sadar dan sensitif.

Orang yang sentitif akan selalu bertanya-tanya, saat shalatnya tidak membuahkan hasil yang diharapkan
seperti yang dijelaskan di dalam Al Qur’an. Saat mana dia tidak merasakan bahagia, tidak fresh, tidak
tenang sehabis melaksanakan shalat, walaupun shalatnya sudah berulang-ulang kali, maka saat itu akan
muncul pertanyaan-pertanyaan dan penyesalan di relung hatinya. Kenapa realitas shalat berbeda antara
harapan dengan kenyataan..??. Ada apa gerangan yang salah dalam shalat saya…??. Anasir apa yang
menyebabkan tidak benarnya shalat saya ini…??. Lalu sampai kemana pun orang-orang ini akan
berusaha mencari dan mencari obat agar shalatnya menjadi sebagaimana mestinya.

Carilah Shalat Khusyu’, sebuah sarana untuk mencapai the ultimate fresh maker yang mencengangkan.

Wassalam

DEKA
SAYA TIDAK TAHU ...!


Written by Administrator

Kalimat "saya tidak tahu" yang datang dari P'AHM, seorang rekan patrap, cukup menggelitik
saya. Lalu kalimat itu menjadi bahan perenungan saya sehingga muncullah tulisan berikut ini.
Pertama saya coba melihat kamus bahasa Arab untuk tahu tentang kata INSAN (manusia).
Ternyata kata insan ini berasal dari akar kata NISYAN yang artinya "blank, tidak tahu, lupa".
Lalu saya berkontemplasi tentang nggak tahu itu. Nggak tahu itu apa sih ??.
Kalau kita melakukan langkah mundur (rewind) atas sejarah manusia, maka ternyata manusia
itu bermula dari nggak tahu apa-apa. Nggak tahu mendengar, nggak tahu melihat, nggak tahu
rasa, nggak tahu hidup. Benar-benar nggak tahu apa-apa. Nothing. Jadi dari namanya saja
sebenarnya sudah menunjukkan kenyataan yang hakiki dari manusia itu. Si tidak tahu.
Lalu saya mencoba melihat tanaman, pohon, bumi. Ternyata alam-alam tersebut juga disebut
benda yang tidak tahu apa-apa alias BLANK.
Tapi kenapa orang bisa mengetahui dengan matanya, mengetahui dengan telinganya,
mengetahui dengan hidungnya, mengetahui dengan lidahnya, mengetahui dengan mulutnya,
mengetahui dengan perutnya, mengetahui dengan kutanya?, atau mengetahui dengan
fikirannya, mengetahui dengan hatinya??. Lalu dia berubah menjadi tahu.
Dari manusia itu yang disebut al insan (tidak tahu), nisyan (lupa, blank). Tapi lalu menjadi tahu.
Ini proses apa namanya... gitu?. Terus saya ingat sebuah permainan yang lebih real yaitu
"WAYANG".
"Gatotkaca" ketika masih berada di dalam kotak, namanya al insan (blank). Tidak punya hati,
tidak punya perasaan, tidak punya mendengar, tidak punya melihat, tidak tahu..., tidak tahu...,
tidak tahu..., tidak kuat, tidak punya apa-apa. Blank. Yang ada saat itu hanya SANG DALANG.
Hanya sang dalanglah yang ada, dia "SENDIRIAN". Dia punya pikiran, punya rencana, punya
sikap, punya hidup, punya pendengaran, punya penglihatan.
Si dalang lalu mengambil salah satu wayang dari dalam kotak. Sang wayang diangkat dan
dimainkan, maka si wayang "bisa" bergerak, berbicara, mendengar. Sang wayang lalu punya
"PERAN", dia jadi Gatotkaca, dia jadi Punakawan, dsb. Sebenanya peran itulah yang membuat
si wayang merasa punya kesadaran dan mengaku; akulah Gatotkaca, akulah Bima, akulah
Direktur, dsb. Tapi hati-hatilah dalam peng-akuan ini, salah-salah anda akan disiksa.
Lalu ada istilah Zikr
Ada istilah celupan Allah,
Ada "aliran Tahu"
Ada usaha "memberhentikan" aliran Tahu
Lalu akibatnya .....?
Bersambung
Lalu saya "diingatkan" akan adanya istilah ZIKR yang artinya juga INGAT. Jadi disini ada
perubahan dari "kondisi" BLANK ke kondisi INGAT. Ini menunjukkan ada yang "diisi", ada yang
dilalui, ada yang dilewati dan dialiri. Gunanya dialiri itu untuk mengisi APA??. Setelah saya pikir-
pikir ternyata perubahan atau dialiri itu adalah untuk mengisi SIFAT supaya manusia dari blank
(tidak tahu) menjadi TAHU.
Aliran Tahu itu berguna untuk mengisi sifat agar dia (si manusia) menjadi tahu mendengar, tahu
melihat, tahu kuasa, dan segala macam. Perubahan dari blank menjadi ingat inilah yang disebut
dengan "shibgah Allah" (celupan ALLAH). Dulu saya bingung untuk mengartikan celupan Allah
ini apa.... Tapi melalui kata "saya tidak tahu" ini maka muncul pengertian begini:
" Bahwa celupan Allah itu adalah sebuah perubahan dalam diri manusia (nafs) dari tidak tahu
menjadi tahu, tidak bisa menjadi bisa, tidak melihat menjadi melihat, tidak mendengar menjadi
mendengar, tidak kuat dan tidak kuasa menjadi kuat dan kuasa. Inilah yang namanya
CELUPAN. Dan sebaik-baik celupan adalah celupan Allah "SHIBGAH ALLAH", bukan celupan
syetan, bukan celupan manusia, bukan celupan buku, bahkan bukan celupan fikiran orang lain.
Pokoknya bukan celupan selain celupan Allah?.
Suatu saat Nabi Muhammad saw. hampir lupa kesadaran ini, lalu turun ayat "... bukan engkau
yang membunuh saat engkau membunuh, tapi Allahlah yang membunuh. Bukan engkau yang
melempar saat engkau melempar, tapi Allahlah yang melempar..." (An Anfaal 8:17). Lalu Nabi
menjadi menyadari posisi Beliau kembali. Rasulullah disadarkan kembali posisi beliau yang
sebenarnya, Yaitu posisi manusia itu "HAKIKINYA" hanyalah blank. Beliau melepaskan ke-aku-
an beliau. Dan saat itulah beliau menyerah posisi ke "yang sebenarnya".
Jadi sebenarnya posisi yang perlu kita cari itu adalah bagaimana si manusia mengakui posisi
"sejarah keberadaan dirinya". Perjalanan spiritual (rohani) itu adalah proses kesadaran tingkat
tinggi untuk mencari dan mengerti sejarahnya sendiri bahwa manusia itu ternyata nis-
yan, blank, tidak tahu.
Maka lalu ada ZIKR, sebuah kesadaran ingat, sehingga manusia (blank) menyadari bahwa
dirinya (nafs) "HANYA DIALIRI"....
Dialiri apa ???. Bagaimana kalau tidak dialiri ..???...
Bersambung
Maka lalu ada ZIKR, sebuah kesadaran ingat, sehingga manusia (blank) menyadari bahwa
dirinya (nafs) "HANYA DIALIRI....". Manusia yang blank lalu dialiri RASA TAHU, dialiri RASA
MENDENGAR, dialiri RASA HIDUP, dialiri ..., dialiri ..., unlimited.....
Kalau ada yang TIDAK DIALIRI TAHU itu bagaimana ??.
Ada orang yang tidak dialiri TAHU melalui mata, maka artinya dia menjadi si buta.
Ada orang yang tidak dialiri TAHU memalui telinga, maka orang itu disebut si tuli.
Ada orang yang tidak dialiri TAHU melalui otak, maka jadilah dia si bodoh.
Ada orang yang tidak dialiri TAHU lewat pita suara, maka dia disebut si bisu.
Kalau ada yang TIDAK DIALIRI HIDUP itu bagaimana ??.
Ada orang yang tidak dialiri HIDUP dikaki, atau ditangan, atau di sebagian tubuh, maka dia jadi
si lumpuh.
Ada orang yang tidak dialiri HIDUP di ginjal, maka dia disebut si gagal ginjal.
Ada orang yangtidak dialiri hidup di jantungnya, maka dia disebut si mati.
Jadi manusia itu dikatakan sempurna "jika dan hanya jika" dia dialiri HIDUP, dialiri TAHU, dialiri
CERDAS, dialiri GERAK, dsb. Pengertian inilah yang dimaksud oleh kalimat ".... Ku-tiupkan
RUH-KU...". Jika kurang salah satunya, maka namanya bukan manusia sempurna. Misalnya
ada yang menjadi "si buta hati", karena hatinya sudah tidak bisa menjadi muthmainah (tenang).
KALAU sudah tidak dialiri baru kita sadar bahwa aliran itu bukan MILIK KITA. Kalau ada yang
hilang, misalnya aliran tahu dimata agak terganggu, baru kita minta tolong" "Ya Allah
sehatkanlah mata saya". Kalau sudah begitu baru kita “NGEH” bahwa aliran itu bukan kita yang
punya.
Kalau semua aliran itu sudah terhenti, maka namanya bukan manusia lagi, tapi MAYYIT, si
MAYAT.
Lalu kesadaran yang TERTINGGI itu APA ??. Dan Bagaimana REALITAS-nya ??.
Bagaimana mendapatkan kesadaran tingkat tinggi itu secara REAL ?.
Bagaimana caranya agar kesadaran itu bukan lagi dalam bentuk wacana atau gagasan-
gagasan saja??.
"Kalau Allah mengizinkan, nanti ini bisa menjadi sebuah TOPIK yang menarik juga. Saya sendiri
belum tahu bagaimana mengungkapkannya lewat kalimat-kalimat atau gagasan-gagasan.
Karena ini sudah merupakan sebuah LAKU, sebuah PRAKTEK".
Karena kalau kesadaran itu masih hanya dalam taraf gagasan saja, saya khawatir bahwa kita
akan cepat lupa, karena kita memang pelupa, tidak ingat (al insan). Kalau hanya sebatas
gagasan-gagasan, itu juga banyak di PASAR. Sedangkan kalau kesadaran itu sudah menjadi
sebuah realitas (laku, praktek), maka dia akan tetap bertahan terus dan terbawa saat berdiri,
duduk, tidur, bekerja, menyetir mobil, merencana, atau saat apapun ... (bahkan saat dikamar
mandi sekalipun) ... akan tetap terasa dan tersadari. Karena memang "kondisi" inilah yang
disebut dengan kenyataan IHSAN......!!.
ersambung
Masalahnya adalah: Sungguh sedikit orang yang "mampu" menyadari posisi ke-blank-annya ini.
Artinya apa??. Si manusia mencoba "menghentikan" kesadaran aliran itu hanya di kesadaran di
tubuhnya, difikirannya, diemosinya sendiri. Sehingga yang didapat apa???. SIKSA, TERSIKSA.
Urutan kesalahan penempatan kesadaran itu kira-kira begini:
1. Baru dialiri kesadaran tahu lewat bahasa ketubuhan saja, misalnya lewat panca indera,
lalu dia "berani-beraninya" menghentikan aliran rasa tahu itu diketubuhannya. "Diri saya
lebih cantik dan ganteng dari dia"; Diri saya lebih kaya dari dia"; Bangsa saya lebih ARIA
dari bangsa lain", dsb. Maka akibat dari menghentikan aliran tahu di ketubuhan ini, jika
anda melihat orang lain lebih baik dari persepsi di ketubuhan anda, maka anda menjadi
tidak suka kepada "pembanding" anda, anda menjadi tersiksa oleh lawan banding anda itu.
Akibatnya adalah SIKSA. SIKSA tingkat ketubuhan. Akibat yang terburuk adalah adalah
anda bisa-bisa membunuh orang lain itu, bahkan bisa menyebabkan perang yang dahsyat
seperti yang diciptakan oleh HITLER, HIROHITO, MUSOLINI, dan mungkin sebentar lagi
G.W. BUSH dan konco-konconya.
IBLIS pun ternyata hanya berhenti dialiran rasa tahu ketubuhan ini. Iblis mengaku: "... aku lebih
baik dari Adam, aku diciptakan dari api dan Adam diciptakan dari tanah, jadi ngapain aku harus
sujud kepada Adam, bantah iblis ..". Akibatnya si iblis jadi tersiksa dari semenjak Nabi Adam
dulu sampai nanti hari kiamat, bahkan tidak akan berhenti sampai di alam akhirat.
2. Meningkat sedikit dari ketubuhan menjadi menghentikan aliran tahu di tingkat "FIKIRAN
dan PERSEPSI".
Baru dialiri rasa tahu melalui fikirannya "sedikit saja", lalu mengaku bahwa dialah yang benar.
Baru dialiri rasa tahu melalui persepsi apa yang dibacanya, lalu dia mulai dan beraninya
menyempitkan TAHU itu menjadi miliknya sendiri. Baru dialiri rasa "paham" lewat persepsi
diotaknya yang diajarkan oleh "gurunya", pembimbingnya, lalu dia memberhentikan PAHAM itu
jadi miliknya dan kelompoknya sendiri. Lalu dia akan menyalahkan orang lain, karena orang lain
itu tidak sama dengan aliran tahu (fikiran dan persepsi) yang ada diotaknya. Setiap ada yang
baru dan yang baru itu "kebetulan saat ini" tidak sesuai dengan pola yang ada diotaknya, maka
yang baru itu akan terpelanting dari otaknya. Akibatnya juga sebuah SIKSA. Orang ini akan
selalu tersiksa jika menemukan aliran tahu yang lain yang disampaikan oleh orang lain. Dia
sibuk menyanggah dan menyanggah. Dia akan disiksa lewat fikiran dan persepsinya sendiri.
Manusia yang sudah "agak maju" banyak yang berada dalam penghentian aliran tahu
dikesadaran fikiran dan persepsinya ini. Tapi percayalah disini akibatnya juga akan
TERSIKSA.
Lalu bagaimana TERSIKSA yang 'canggih"....? Sebenarnya dia tersiksa tapi dia tidak
menyadari bahwa dia tersiksa ..???.
Bersambung
TERSIKSA yang 'canggih".itu...
3. Mungkin ada juga yang sudah lebih tinggi dari hanya sekedar menghentikan aliran tahu
di kesadaran tubuh dan fikiran. Ada yang sudah sampai pada tahap menghentikan rasa
tahu yang mengalir itu di penghentian RASA atau EMOSI-nya. Saat dia merasakan suatu
ekstasis dalam beribadah atau berzikir, lalu dia berhenti di rasa ekstasis itu. Saat dia
mendapatkan aliran tahu "rasa cinta" (konon kabarnya RASA CINTA ini adalah pencapaian
tingkat tertinggi dalam beribadah) akibat sebuah praktek ibadahnya, lalu dia berhenti di
rasa cinta itu. Dia perkuat dan dia kembangkan rasa cinta itu. Berkembang memang rasa
cinta itu dari hari ke hari. Akan tetapi akibatnya (kalau kita mencoba menghentikan aliran
tahu itu hanya di RASA CINTA), maka yang muncul ternyata juga SIKSA. Dia tersiksa oleh
rasa cinta itu. Siksa cinta ini sungguh begitu dahsyat. Dikirain kita tidak tersiksa tapi
realitasnya adalah tersiksa. Inilah SIKSA yang canggih.
Pencinta Agung "Rabiah Al Adawiyah" juga tersiksa dengan RASA CINTA ini sehingga hari-
harinya dia lewati dengan tangis, tangis, dan tangis. Waktu-waktunya dia isi dengan
bersenandung, dengan berpuisi yang menghiba-hiba atas ketidakmampuannya mengendalikan
"SERGAPAN" rasa cinta yang begitu dahsyat kepada Penciptanya. Bahkan sampai-sampai dia
tidak mau untuk menikah, karena dia tidak mau kehilangan rasa cinta dia kepada Khaliknya
yang sudah sangat dalam. Sehingga fungsi kekhalifahannya menjadi "terbengkalai".
Rasa cinta itu kalau dikembangkan memang bisa menjadi sangat besar. Tetapi salahnya adalah
sang pencinta mencoba menghentikan cinta itu di tingkat RASA-nya SENDIRI, di tingkat
EMOSI-nya SENDIRI. Padahal instrumen yang dipakainya sama dengan instrumen untuk
mencintai anaknya, istrinya, keluarganya. Bahkan instrumen yang sama juga dipakai untuk
mencintai bunga, tumbuhan, binatang peliharaan sekalipun, menicintai anjingnya misalnya.
Instrumen yang sama juga dipakai untuk membenci, marah, sedih, dsb. Instrumen itu konon
disebut "HATI".
Adakalanya instrumen itu terperangkap dengan rasa cinta kepada ciptaan atau kebendaan, tapi
akibatnya dia sudah sangat tersiksa. Banyak contohnya bagaimana orang bisa tersiksa karena
kekasihnya, istrinya, anaknya, hartanya, binatang peliharaannya. Sehingga dia juga bisa
menangis, terharu, sedih, benci.
Atau ada juga yang terperangkap dengan rasa cinta kepada kebendaan, tapi dia merasakan
ekstasis, nikmat, tenang. Misalnya orang yang terperangkap dengan aliran rasa senang dengan
"mobil kunonya", dia akan sanggup berjam-jam harus berbaring di kolong mobilnya mengutak-
atik ini itu mobil kuno tsb. Ada yang terperangkap dengan ekstasis rasa memancing, main golf,
main perempuan, dsb.
Masalah UTAMA pemberhentian aliran tahu di tingkat RASA ini adalah ......?
Bersambung
Sekarang masalah utamanya adalah mampu jugakah instrument itu (hati) untuk "menampung"
CINTA kepada ZAT YANG MAHA TAK TERBANDINGKAN??. Sedangkan dipakai untuk
mencintai makhluknya saja instrument itu sudah membuat kita demikian tersiksa baik oleh rasa
senang, cinta, suka cita, atau sedih, benci, nelangsa. Lalu instrument itu mau dipakai pula untuk
mencinta YANG TAK TERKIRAKAN. --- MUNGKINKAH..?
Kalau mau coba-coba, silahkan saja. Karena akibatnya juga sebuah siksa yang sangat dahsyat,
tapi anehnya tanpa kita sadari bahwa itulah siksa. Penghentian aliran tahu di kesadaran RASA
ini biasanya memperdaya orang-orang yang menjalani dunia spiritual, tapi tingkatannya masih
pada
taraf spiritual semu (pseudo sufi). Karena spiritualitas asli dan sempurna itu adalah seperti yang
dicontohkan oleh Nabi Muhammad, Nabi Musa, Nabi Isa, dan Nabi-nabi lainnya.
Kalau begitu kesadaran macam apa yang harus dimiliki seorang manusia yang sebenarnya
(hakikinya) dalam menyikapi Shibgah Allah (celupan Allah) itu agar kita menjadi orang yang
TIDAK TERSIKSA, agar kita TIDAK merasa TAKUT, TIDAK merasa KHAWATIR "laa khaufun
'alaihim wa laa hum yah zanuun". Ini juga bisa menjadi topik tersendiri nantinya.
"Duhai ALLAH berikanlah KAMI kesempatan dan kemampuan untuk mengungkapkan ini.
Kemudian TAHU itu APA ???. Samakah TAHU di SINI dengan TAHU di AMERIKA??. Ini juga
bisa menjadi topik yang menarik.
Silahkan direnung-renungkan. Sudahkan anda mendapatkan pengertian-pengertian itu dan
merealisasikannya dalan keseharian anda??.
Jalan apapun yang anda lakukan, sudahkah realisasinya terasa ??. Baik itu lewat "jalan
Muhammad", lewat "jalan Qur'an dan Hadist atau lewat "jalan sendiri". Silahkan saja. Kalau
anda-anda sudah mendapatkan itu semua, maka bersyukurlah anda, berbahagialah anda,
karena anda sudah bisa menjadi SEORANG HAMBA. Hanya seorang HAMBA, tidak lebih. Dan
khabarkanlah itu kepada orang lain, walau satu ayat sekalipun, agar orang lainpun bisa DIALIRI
RASA TAHU itu.
Kalau belum bisa, maka mohonlah hidayah dan bimbingan kepada YANG MAHA TAHU.
Bergurulah kepada DIA. DIA-lah ALLAH..
Terima kasih P'AHM, ternyata ALLAH telah mengajari saya lewat sebuah ungkapan P'AHM
yang sangat sederhana "saya tidak tahu". Semoga P'AHM di beri Rahmat oleh ALLAH.
SELESAI

DEKA
REKONSTRUKSI PEMAHAMAN AS SUNNAH


Written by Administrator

Pendahuluan…
Setelah kita merekonstruksi cara berfikir tentang bagaimana cara kita memandang Al Qur’an, maka
sekarang akan kita lanjutkan pembahasan berikutnya tentang rekonstruksi pemahaman tentang As
Sunnah. Hampir pada sebagian besar umat Islam saat ini, semboyan “…Berdasarkan Al Qur’an dan
sunnah…” dampaknya nyaris seperti semboyan yang sangat beken di zaman P Harto dulu “…
berdasarkan Pancasila dan UUD 45…”, yaitu sama-sama seperti menjual lamunan. Dampaknya ternyata
hanyalah sebatas kepatuhan artificial dan dengan nuansa keterpaksaan pula.

As Sunnah adalah sebuah potret yang memuat, cara bertindak atau perilaku KEPATUHAN,
KETAKLUKKAN, dan KETUNDUKAN seorang manusia istimewa terhadap FITRAH atau KEHENDAK dari
tubuhnya, masyarakatnya, dan zamannya. Manusia istimewa itu adalah Rasulullah Muhammad SAW.
Memang kalau dilihat sikap Beliau dan perbuatan Beliau sekilas mata, seakan-akan Nabi Muhammad
SAW lah yang TAKLUK terhadap kehendak (fitrah) lingkungan dimana Beliau berada. Akan tetapi kalau
diperhatikan dengan jeli dan seksama, maka yang terjadi sebenarnya adalah Muhammad SAW berhasil
“membaca (iqra)” FITRAH umat manusia secara universal, lalu Beliau (dengan dibimbing oleh Allah,
karena Beliau selalu wa’tasimubillah, bergantung kepada Allah) BERHASIL menundukkan kehendak
(fitrah) dari lingkungan Beliau itu.

Bentuk dari ketaklukkan Beliau terhadap kehendak zaman ini secara garis besar bisa dibagi menjadi 2
jenis:

1. TUTUR KATA (Qauliyah) Beliau tatkala “membaca” suasana demi suasana alam semesta dan diri
Beliau sendiri, baik untuk masa lalu sekarang dan yang akan datang.
2. SIKAP, PERILAKU (Fi’liyah) Beliau terhadap keadaan demi keadaan yang Beliau hadapi selama
Beliau menjadi Rasul Allah.
3. KETETAPAN (Taqririyah) Rasulullah atas berbagai perkara.

Dari paling tidak tiga jenis ketaklukkan Nabi Muhammad SAW terhadap lingkungan Beliau ini saja, orang
lalu mencoba untuk membukukannya. Dan usaha membukukannya baru dilakukan orang beberapa ratus
tahun setelah Beliau wafat. Buku tentang UCAPAN dan WEJANGAN Beliau, ataupun KATA-KATA PARA
SAHABAT yang mengungkapkan kesaksian mereka akan SIKAP, PERILAKU, dan KETETAPAN Nabi
Muhammad SAW ini lalu dikenal luas dengan nama Al Hadits.
Tapi percaya atau tidak, kalaulah mau dituliskan semua Al Hadits itu untuk selama rentang masa
kenabian Beliau (sekitar 23 tahun), maka akan terkumpul Al Hadits dalam jumlah jutaan. Ya… jutaan
hadits. Nggak percaya..???. Mari kita kira-kira sejenak.

Andaikan kita dekat Rasulullah, lalu kita amati, kita ikuti, kita catat seluruh kegiatan Beliau menit per
menit hanya dalam SATU HARI saja. Misalnya, tentang bagaimana berbicara Beliau, duduk Beliau, tidur
Beliau, menguap Beliau, melihat Beliau, perilaku Beliau, ketawa Beliau, bercanda Beliau, makan Beliau,
minum Beliau, berbicara dan diam Beliau kepada sahabat-sahabat. Begitu juga tentang bagaimana
ketetapan-ketetapan Beliau. Berapa banyak Al Hadits itu yang akan terkumpul ??.

Nah…, kalau pengamatan itu dilakukan selama hidup Beliau, kira-kira berapa juta hadits yang bisa dan
harus terkumpul…??. Lalu kira-kira berapa bagian pula yang tak bisa kita kumpulkan dan tuliskan karena
keterbatasan akses kita untuk selalu mengamati dan mencatat apapun yang Beliau lakukan…???.
Semua tidak akan jauh dari angka jutaan…..!!!.

Ketaklukan Muhammad SAW…


Pada bagian berikut ini akan digambarkan bagaimana ketaklukkan Nabi Muhammad terhadap FITRAH
(Sunnah).

1. Suatu kali pernah kaum COVERED (terhijab) Quraish berencana untuk membunuh Nabi
Muhammad selagi beliau tidur dimalam hari. Lalu dibuatlah rencana untuk mengepung rumah
Beliau. Berita pengepungan itu ternyata diketahui oleh Nabi Muhammad, silahkan memaknai sendiri
kata “diketahui” (bagaimana Beliau mengetahuinya) sesuai dengan data yang ada di otak masing-
masing. Mengetahui bahwa kaum Quraish dengan jumlah yang besar akan mengepung rumahnya,
beliau TAKLUK terhadap keinginan tubuhnya. Bahwa tubuh Beliau ternyata hanyalah terbuat dari
bahan yang bisa berdarah-darah. Beliau sendirian tidak mungkin mampu berhadapan dengan
sekian puluh orang yang sedang kalap. Karena Beliau hanyalah seorang manusia yang mempunyai
kekuatan terbatas. Mentang-mentang Beliau adalah seorang Rasul Allah, yang dijaga oleh Allah,
Beliau tidak mau gagah-gagahan menantang puluhan orang seperti yang pernah dilakukan oleh
Pasukan Berani Mati pembela GUS DUR beberapa waktu yang lalu. Yang Beliau lakukan adalah
Beliau bersembunyi di dalam gua bersama Abu Bakar. Lalu dalam persembunyian Beliau itulah
Allah menjaganya. Manusiawi dan fitrah sekali suasana saat itu …
2. Saat terjadi perang UHUD. Rasulullah takluk terhadap kehendak alam peperangan. Fitrahnya
adalah bahwa orang yang berada di ketinggian akan punya keuntungan yang sangat besar
dibandingkan dengan orang yang berada di tempat rendah. Maka Beliau memerintahkan kepada
pasukan panahnya untuk menempati posisi di tebing bukit Uhud. Dan ternyata memang saat itu
umat Islam berhasil memukul mundur kaum Quraish dengan meninggalkan pampasan perang.
Karena lupa diri melihat pampasan perang dibawah sana, maka sahabat-sahabat yang berada di
bukit Uhud turun ke bawah untuk meramaikan perebutan harta di bawahnya. Dan kaum Quraish
melihat kekosongan pasukan penyerang diatas bukit itu, lalu mereka ganti yang menduduki bukut
Uhud. Dari atas bukit kaum Quraish menghujani pasukan Rasulullah dengan anak panah, sehingga
Rasulullah sempat terluka, dan puluhan sahabat penghafal Al Qur’an juga syahid disana. Artinya
apa…?. Allah tidak peduli kepada siapa pun yang coba-coba berperilaku tidak sesuai dengan
FITRAH, walau saat itu ada Nabi sekali pun, walau disitu juga banyak sahabat yang hafal Al Qur’an,
akan tetapi apabila fitrah terlanggar, maka saat itu juga Allah tidak mau merubah hukum-hukum
yang telah di tetapkan-Nya untuk dipatuhi oleh siapa pun.
3. Dalam masalah poligami, ketaklukan Nabi terhadap zaman Beliau juga tak kalah indahnya.
Sudah menjadi kebiasaan bangsa Arab ketika itu untuk punya istri lebih dari 15 orang. Budaya
poligami itu sudah sangat mendarah daging bagi bangsa Arab saat itu. Lalu turun ayat Al Qur’an
yang memangkas poligami itu hanya sampai empat saja. Tetapi dari makna ayat poligami itu ada
suatu message yang tidak semua orang yang bisa melihatnya. Message-nya adalah bahwa tujuan
yang akan dicapai nantinya adalah monogami, yaitu satu istri saja. Karena Al Qur’an sudah
memvonis duluan bahwa “kalian wahai kaum laki-laki TIDAK akan pernah bisa berlaku Adil, walau
kalian ingin sekali untuk adil itu…”, padahal syarat poligami itu disebutkan haruslah kalian itu
bersikap adil.

Makanya saat perang Teluk I-II dengan agresi Amerika dan sekondan-sekondannya menyerang Irak,
maka Amerika dengan mudah mengalahkan bangsa Irak. Karena Amerika tinggal menjatuhkan
ribuan ton bom dari tempat ketinggian ke sasaran-sasaran strategis Irak. Duaarrr…, MATI. Begitu
juga saat Alm. Syekh Yasin dari Hamas Palestina dibunuh oleh Isreal, ya lewat serangan dari udara
juga… MATI. Walaupun di Irak banyak (kuburan) wali-wali Tuhan, banyak tempat suci, Tuhan nggak
peduli itu. Bangsa Irak itu akan tetap jadi bulan-bulanan Amerika yang dari hari ke hari selalu
menyesuaikan kemampuannya dengan permintaan zaman, FITRAH….

Keberhasilan Rasulullah merubah sebuah budaya poligami dari punya puluhan istri menjadi hanya empat orang istri
saja sudah merupakan prestasi yang sangat hebat. Kalaulah Nabi langsung diperintahkan untuk menuju monogami,
maka ketika itu akan terjadi kekacauan budaya. Orang akan menjauh dari Nabi, karena yang direkonstruksi Nabi ini
adalah termasuk masalah yang enak-enak bagi kaum lelaki. Begitulah indahnya Al Qur’an. Al Qur’an sampai kapan
pun mengizinkan poligami, bisa dengan dua, tiga, atau empat orang istri. Bahkan ada juga yang mengartikannya
menjadi poligami dengan 4+3+2+1, yaitu sembilan istri seperti yang dilakukan oleh Nabi. Masalah Nabi beristri
sembilan inipun telah jadi bahan pembicaraan dari dulu sampai sekarang. Akan tetapi ya itulah FITRAH NABI.
Sedangkan FITRAH peradaban manusia akan berubah dari budaya poligami menuju kepada monogami saja. Dan
perubahan itu tengah terjadi di seluruh dunia.

Lalu ada yang berpoligami…, ya biarkan saja. Mereka berarti menganggap diri mereka bisa berlaku
adil. Kalau mereka ternyata tidak adil, maka FITRAH lain akan berbicara. Bisa saja rumah tangga
mereka menjadi rumah neraka dunia. Ribut dan cekcok terus…, dan akhirnya suami menderita, istri
menderita, anak menderita. Dan bahkan akhirnya perceraian tidak terhindarkan lagi. Taroklah ada
yang berhasil dengan poligaminya, empat istri dia punyai, tampak luarnya rukun-rukun pula. Akan
tetapi dihadapan masyarakat umum dia akan menjadi barang langka yang aneh, ya jadi tontonan
juga orang juga. “Kok bisa yah…?”,celetuk beberapa orang.

Lalu ada pula yang baru mampu bermonogami..., ya biarkan jugalah mereka begitu. Yang keliru adalah, lagaknya
saja bisa bermonogami, akan tetapi dia sebenarnya masih ngiler melihat wanita lain. Mereka sebenarnya ingin untuk
poligami, akan tetapi apalah daya kantong dan keberanian tidak ada. Kalau sudah begini fitrah lain akan berkata
pula, misalnya saja si suami menjadi sangat tersiksa dengan perilaku ngilernya itu.

Ah…, masalah poligami dan monogami hanyalah masalah sederhana saja yang dibesar-besarkan orang. Ada yang
pakai ngancam bahwa yang tidak poligami berarti tidak ikut sunnah Nabi. Begitu juga yang monogami melecehkan
pelaku poligami dengan label si pengejar kepemuasan nafsu seks. Bisa-bisanya berkesimpulan begitu. Padahal
monogami dan poligami itu dua-duanya sesuai dengan Al Qur’an. Kalau begitu benang merahnya dimana….??.
Kembali ke FITRAH. Dan nantinya Akal lah yang akan menjadi Sang Hakim bagi fitrah yang telah kita pilih. Nanti
tentang Akal Sang Hakim ini akan diulas pada bahasan tersendiri.

Al Hadits sudah Habis…, sedangkan As Sunnah adalah Abadi


Kumpulan kitab-kitab hadits yang sampai kepada kita saat ini telah mengalami sejarah kodifikasi yang
sangat panjang dan ruwet. Disini tidak akan dibahas bagaimana ruwetnya dan siapa-siapa yang terlibat di
dalamnya. Silahkan cari sendiri di buku-buku lain tentang sejarah itu. Banyak sekali. Saya hanya akan
membahasnya dari segi makna atas terpangkasnya jutaan hadits akibat dari pengelompokan hadits oleh
Bukhari Muslim, Abu Daud, Turmidzi, dsb., dan juga hadits dari kelompok Syi’ah.

Sungguh beragam sekali kualitas hadits itu setelah dikotak-kotakkan berdasarkan “periwayatannya”.
Pada tingkatan yang dianggap baik ada yang mutawatir, ada yang shahih, ada yang hasan. Sedangkan
pada tingkatan yang kurang baik ada musalsal, muqati', gharib, mu'an'an, matrub, masyhur, mudarraj,
mu'allaq, dan banyak lagi kelas hadits itu yang telah dibuat oleh “ahlinya”, tentu saja ada yang
dikelompokan sebagai hadits palsu. Dan dari beragamnya pemahaman Al Hadits inilah sebenarnya
masalah LATEN antar sesama umat Islam bertahan dari zaman ke zaman.

Begitu juga…, SEGERA setelah Rasulullah wafat, maka muncullah konflik perebutan kekuasaan
kekhalifahan antara “pengikut dan pendukung” Ali Bin Abi Thalib di satu pihak dengan kelompok sahabat-
sahabat lainnya, misalnya dengan “para pendukung” Abu Bakar Siddiq. Saat itu memang belum dikenal
adanya sistem PEMILU seperti sekarang ini. Dari konflik kekuasaan ini, lahir pulalah ribuan hadits yang
sengaja dipalsukan oleh para pendukung masing-masing kubu yang bertikai. Hadits-hadits palsu itu
apalagi kalau bukan untuk saling menjelekkan lawan politiknya dan saling memuji akan keutamaan dan
kebagusan kelompoknya sendiri. Pertikaian politik dan dampak buruknya terhadap perkembangan (baca
kemunduran) perjalanan peradaban Islam ini akan dibahas dalam sub bab“Mengupas Kulit Bawang
Sejarah”.

Yang menarik adalah…, Rasulullah semasa hidupnya telah menjalankan FITRAH DIRI Beliau sendiri
dengan begitu enak dan bebasnya. Setiap permasalahan Beliau tuntaskan sesuai dengan kondisi bangsa
Arab saat itu. Setiap ada sahabat yang datang kepada Beliau membawa masalah, lalu Beliau selesaikan
masalah tersebut sesuai dengan tingkat kecerdasan, keimanan, kekayaan, keilmuan sahabat tersebut.
Saat Beliau berhadapan dengan sebuah keadaan atau suasana baru, maka Beliau lalu bertindak dan
takluk terhadap keadaan baru itu, akan tetapi dengan ketaklukan yang mengikuti FITRAH. Kalaulah
dibuat sebuah FILM DOKUMENTERtentang menit ke menit dalam hidup Beliau, maka film itu akan
MENGALIR dengan enak, mulus, dan smooth. Film itu akan memuat semua suka, duka, derita, bahagia
Beliau selama memperkenalkan ISLAM, IMAN, IHSAN, kepada bangsa ARAB yang sangat jahiliyah saat
itu. Mengalirnya perbuatan dan perkataan Beliau dengan sangat smooth inilah yang saya namakan
sebagai As Sunnah (sunatullah).Dan ESENSI dari As Sunnah ini akan ABADI sepanjang zaman,
karena semua memang merupakan FITRAH manusia itu sendiri. Dan ESENSI (KONTEKTUAL) dari As
Sunnah sebagai cara-cara Nabi takluk terhadap fitrah Beliau inilah yang ditinggalkan oleh Rasulullah
untuk diikuti oleh umat penerus Beliau di belakang hari, yaitu agar umat di belakang Beliau juga TAKLUK
terhadap fitrah mereka masing-masing.

Yang tak kalah luar biasanya cara Rasulullah dalam memotivasi umat adalah:

 Untuk hal-hal BURUK, sebelum kejadian buruk itu terjadi atau dilakukan oleh para sahabatnya,
Rasulullah seakan-akan menakut-nakuti mereka dengan hukuman yang sangat keras, dengan dosa
yang sangat besar. Akan tetapi tatkala keburukan itu sudah atau terjadi juga, bisa lantaran
kebodohan maupun ketidaktahuan mereka, maka Rasulullah hanya menyuruh umat itu untuk
bertobat, untuk minta ampun, dan berbagai sikap pemaafan lainnya. Kalau tidak sangat terpaksa,
Beliau tidak akan menjatuhkan hukuman bagi yang berbuat buruk itu.
 Sedangkan untuk hal-hal yang BAIK, Rasulullah seakan-akan mengiming-imingi umat dengan
pahala dan ganjaran yang sangat menggiurkan bagi umat untuk melaksanakannya dan hukuman
yang sangat keras bagi umat yang meninggalkannya. Akan tetapi tatkala umat tidak mampu
melaksanakan kebaikan itu, maka Beliau juga menggembirakan umat dengan kata-kata pemaafan
yang sangat arif. Ya…, sudah, Tuhan tidak akan menyusahkan umat di luar kemampuan umat itu
sendiri …

Sungguh Rasulullah itu adalah sebuah buku hidup yang sangat luar biasa.

Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa’ala ali Muhammad…..

MENGUPAS KULIT BAWANG SEJARAH…


Di sini akan di bahas secara gamblang tapi ringan lapis demi lapis kulit bawang sejarah tentang
munculnya kelompok-kelompok dalam perjalanan sejarah Islam yang nantinya akan berdampak pada
kerancuan pemahaman Al Hadits. Mungkin kita selama ini bingung terhadap kenapa begitu banyaknya
aliran dan kelompok-kelompok yang ada dalam ajaran Islam. Selama ini kita terombang ambing dengan
klaim berbagai aliran dan kelompok bahwa HANYA aliran atau kelompok merekalah YANG BENAR..., dan
yang di luar kelompok mereka itu adalah SALAH, kafir, atau sesat. Luar biasanya lagi…, setiap kelompok
itu seperti punya dasar yang sangat kuat dari berbagai Al Hadits.

Kondisi ini benar-benar membuat sebagian besar, sekali lagi hampir sebagian besar umat Islam, tidak
hanya di Indonesia tapi juga hampir di seluruh dunia seperti berada dalam FASE KEBINGUNGAN, FASE
MAMPET, bahkan sudah sampai pada tahap FASE BERJALAN MUNDUR dalam menghadapi gejolak
zaman yang sungguh dahsyat ini. Jadinya umat Islam secara keseluruhan saat ini seperti ditertawakan
orang, dilecehkan orang.

Artikel ini akan mencoba mencari akar penyebab munculnya pertentangan demi pertentangan itu. Setelah
membaca artikel ini pembaca mungkin akan berada dalam fase kebingungan, atau mungkin malah
sebaliknya bisa menjadi insan yang mampu mereposisi sikap diri dalam menghadapi parahnya sentimen
anti kelompok seperti saat ini. It is up to you... . By the way, ini adalah salah satu wujud dari belajar
agama sambil MIKIR.

Nanti kalau anda tahu akar sejarah ini, maka mungkin anda akan tertawa saja melihat proses gilas-
menggilas pemikiran dan perlakuan antar kelompok-kelompok ini. Sampai-sampai tiap kelompok saling
mengklaim bahwa syorga itu hanya milik kelompok mereka saja. Bagi saya, biarin syorga itu mereka
saling klaim sebagai hanya milik kelompok mereka, ambilah tuh semua. Saya sih nanti
cukup kemping saja di pinggir syorga.

Titik Awal Pertikaian Hitam…

Kulit bawang terluar yang patut dikelupasi terlebih dahulu adalah waktu beberapa saat setelah Rasulullah
wafat.

Kala itu, jasad Rasulullah SAW sudah terbujur kaku sekitar dua-tiga hari di rumah Beliau. Abu Bakar,
Umar, Usman, dan sahabat-sahabat lainnya ra., masih sibuk di luar rumah membicarakan siapa yang
akan menggantikan kedudukan Nabi Muhammad SAW sebagai kepala pemerintahan. Perundingan dan
lobi-lobi para pihak masih terlalu alot untuk sebuah keputusan politik yang bisa diterima semua pihak. Di
dalam sana jenazah Rasulullah hanya ditunggui oleh Ali bin Abi Thalib ra. Sudah tiga hari jenazah Beliau
belum dikuburkan juga. Sedangkan Ali ra. tidak diikutsertakan dalam pembicaraan politik tingkat tinggi itu.
Akibatnya timbul ketidakpuasan dari pendukung Ali ra.
Padahal dalam banyak hadits, Rasulullah SAW seakan-akan mengistimewakan Ali ra. Misalnya disebut
sebagai "pintu ilmu", gudang ilmu, yang selalu menggantikan Nabi sebagai imam shalat jika Nabi
berhalangan. Sungguh banyak keutamaan-keutamaan ini diriwayatkan baik oleh kelompok Syiah maupun
Ahlussunnah.

Lalu menurut kelompok Ali, keutamaan-keutamaan itu mengindikasikan bahwa Ali pantas untuk
memegang tampuk pemerintahan pengganti Rasulullah. Karena maksud ini tidak kesampaian, maka
akibatnya pendukung Ali menjadi sakit hati yang berkepanjangan.

Singkat kata, keputusan politik jatuh bahwa Abu Bakar ra ditetapkan sebagai khalifah pertama. Umar ra.
menyambut estafet pemerintahan berikutnya. Masa-masa Abu Bakar dan Umar Bin Khattab ra. tidak
akan dibahas dulu. Saya akan mencoba melihat secara kritis dan singkat kondisi politik saat
pemerintahan Usman Bin Affan ra dan Ali bin Abi Thalib ra.

Saat Usman ra. memerintah terjadilah kondisi dimana beberapa orang keluarga dekat Usman diberikan
kekuasaan di daerah-daerah lain yang berada dalam kekuasaan Khalifah Usman ra. Sejenis KKN dalam
pengangkatan pejabat pemerintahan mulai merebak dan mendapat protes dari kelompok lainnya.
Akibatnya lahir kelompok baru penentang sistem pemerintahan Usman bin Affan ini. Kelompok ini
terkenal dengan istilah kelompok "KHAWAARIJ". Kelompok ini melakukan oposisi yang keras terhadap
pemerintahan Usman.

Seiring dengan itu dari kubu Ali masih tertanam rasa "di-kudeta" atas tampuk kekuasaan yang
seharusnya jatuh ke tangan Ali. Puncaknya adalah terjadinya pembunuhan Usman bin Affan yang
dilakukan oleh anak angkat Ali bin Abi Thalib. Saat itu Usman sedang shalat lho..!!. Seorang sahabat
dibunuh oleh anak angkat sahabatnya sendiri. Sungguh kenyataan
yang sulit bagi kita untuk tidak merasa malu.

Di lain pihak terjadi juga gesekan antara mertua dan menantu yaitu antara Aisyah dengan Ali. Awalnya
adalah saat suatu kali jatuh fitnah kepada Aisyah bahwa beliau berselingkuh. Lalu Rasulullah minta
pendapat kepada Ali. Dengan lantang Ali menyarankan "CERAIKAN". Kata-kata ini didengar langsung
oleh Aisyah dan ini membuat beliau juga memendam bara dendam kepada Ali.

Puncak perseteruan mertua dan menantu ini mencapai puncaknya saat mana onta yang sedang
ditunggangi Aisyah disembelih oleh pendukung Ali. Peristiwa ini melecut peperangan yang dikenal
dengan nama perang Jamal (perang onta).

Kala itu terjadi sejarah perburuan Siti Ai’syah ra. dan rombongannya (diantaranya yang terkenal adalah
Abu Talhah, Zubair, Muawwiyah, Abu Sofyan, dan keluarga Usman) terhadap Ali bin Abi Thalib ra. dan
sahabat-sahabatnya di Irak sana. Kulit terluar ini ditandai dengan terjadinya saling berbunuh-bunuhan
secara besar-besaran antara sesama kaum muslimin sendiri. Nantinya ternyata di negara Irak itu sejak
dari zaman dulu, zaman sahabat-sahabat Rasulullah, bahkan sampai sekarang, sudah menjadi tempat
ajang pembantaian sesama manusia. Sesama umat yang bernabikan Muhammmad SAW, dan
bertuhankan Allah SWT.

Suatu ketika, rombongan Siti Ai’syah, Muawwiyah, Abu Sofyan, keluarga Ustman berbondong-bondong
datang hanya ingin untuk menuntut rasa keadilan Ali bin Abi Thalib atas terbunuhnya Ustman bin Affan
oleh Muhammad ibn Abi Bakr, anak angkat Ali bin Abi Thalib sendiri. Kan keterlaluan itu. Bayangkan…,
sahabat beliau sendiri dibiarkan dibunuh. Dessss…, meninggal.

Singkat kata…, setelah Ustman bin Affan terbunuh, kemudian Ali diangkat menjadi khalifah. Dalam
perjalanan pemerintahan Ali bin Abi Thalib, keluarga Ustman lalu menuntut balas atas terbubuhnya
Ustman beberapa waktu yang lalu. Keinginan yang wajar saja sebenarnya. Secara otomatis keluarga ini
ingin mencari keadilan dong; “Tolong Ali, yang membunuh bapak saya agar di adili”. Setuju kan…?.
Karena memang Ustman dibunuh oleh anak angkatnya Ali bin Abi Thalib. Tapi anehnya oleh Sayyidina
Ali, anak angkat beliau itu diangkat menjadi Gubernur di Mesir. Bukannya di adili, ee… sang pembunuh
Ustman itu malah diangkat menjadi Gubernur.

Nguamuklah keluarga Ustman dan simpatisannya ketika itu. Inilah persoalan utama kenapa keluarga
Muawwiyah dan keluarga Ai’syah marah kepada Ali dan kelompok yang mendukung beliau. Kemarahan
kalangan Muawwiyah dan keluarga Usman yang tidak bisa dibendung inilah nantinya yang akan memicu
terjadinya sebuah pertempuran sengit antara kelompok Ali bin Abi Thalib dengan penentang beliau.Lalu
Ai’syah dan rombongan beliau datang dengan sekian puluh ribu pasukan ke Irak untuk menyerang Ali.

Terjadilah pertempuran yang sangat sengit di Shiffin, atau ada juga orang menyebutnya dengan perang
Jamal (cammel). Duuaar…, perang pun terjadi, darah mengalir menganak sungai. Pasukan Ali tewas
sekitar 5000 orang dan dipihak Ai’syah tewas sekitar 10.000 orang. Kalau dibandingkan skala penduduk
sekarang dengan dulu itu, mati 15.000 orang itu buuaanyaak sekali. Kalau sekarang mungkin
padanannya yang mati itu adalah orang sekotamadya Cilegon di Banten sana. Yang mati itu manusia
semua. Masak kalau itu dianggap fitnah, mereka tidak “telpon-telponan” dulu: “Ali kenapa kamu begitu…”.
Wong namanya dengan mertua, ya… mbok ya dengerin. Masak sih dua-duanya nggak sadar. Kan dua-
duanya bisa mikir; “Ini mau bunuh-bunuhan kita ini”. Dua-duanya bunuh-bunuhan ini..!. Tapi itulah…,
semuanya ngotot. Lalu jedaaaaar… tewas.

Dalam pertempuran yang terjadi antara kedua golongan di Shiffin ini, tentara Ali dapat menumpas
mundur tentara “pembangkang”. Tetapi tangan kanan (kepercayaan) Muawiyah bernama Amr ibn ‘As
dengan cara yang sangat licik menyatakan menyerah dengan mengangkat Al Qur’an di atas kepalanya,
sehingga pertempuran dihentikan oleh Ali. Qurra’ yang dipihak Ali mendesak Ali untuk menerima tawaran
untuk berdamai. Sehingga terbentuklah kesepakatan damai antara kedua belah pihak, sebagai
pengantara diangkat dua orang : ‘Amr ibn al ‘As dari pihak Muawwiyah dan Abu Musa Al Asy ‘ari dari
pihak Ali. Dalam pertemuan mereka, kelicikan Amr ibn al ‘As mengalahkan perasaan Abu Musa. Sejarah
mengatakan antara keduannya bersepakat untuk menjatuhkan kedua pemuka yang bertentangan, Ali dan
Muawwiyah. Namun kenyataannya dalam pengumuman yang dibacakan oleh Abu Musa sebagai orang
yang tertua, hanya Ali yang disepakati untuk dijatuhkan.

Bagaimana pun peristiwa ini merugikan bagi pihak Ali dan menguntungkan Muawwiyah. Padahal Ali
sebagai khalifah yang legal sedangkan Muawwiyah hanyalah sebagai Gubernur.

Dengan adanya arbitrase ini kedudukan Muawwiyah naik menjadi khalifah yang tidak resmi. Sedangkan
Ali tetap mempertahankan kedudukannya sebagai khalifah sehingga ia harus mati terbunuh tahun 661 M
oleh Abdul Rahman Ibn Muljam, dari pihak Ali yang kecewa atas keputusan yang dianggap salah. Ali di
bunuh…, di tikam…, seeeet… tewas. Jadi dulu itu, kalau marah itu dilanjutkan dengan membunuh orang.
Kalau sekarang ya paling teriak-teriak di DPR. Kalau dulu itu malah nyembelih orang. Orang yang dinilai
salah itu di sembelih. Apa ndak memiriskan hati itu…!?. Dengan terbunuhnya Ali bin Abi Thalib ini, maka
Muawwiyah tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk bercokol sebagai penguasa baru.

Persoalan-persoalan yang terjadi di lapangan politik sebagaimana digambarkan di atas inilah yang
akhirnya membawa kepada timbulnya persoalan-persoalan teologi. Timbullah siapa yang kafir dan siapa
yang bukan kafir. Siapa yang salah dan siapa yang benar. Siapa yang melakukan bid’ah dan khurafat.
Kekacauan terjadi sepeninggal Ali. Mereka-mereka saling mengkhianati dan gelap mata. Dan yang
sangat luar biasa adalah, mereka tidak lagi menghargai Rasulullah dengan membunuh cucunya yang
paling dicintainya, Hasan dan Husein, di padang Karbala.

Hasan-Husein (cucu Rasulullah) dipotong kepalanya oleh kelompok Mu’awiyah. Mu’awiyah itu siapa…?.
Beliau dalam hadits adalah termasuk 10 besar sahabat yang masuk syorga. Bingung lagi kan?. Sahabat
yang masuk 10 besar orang yang masuk syorga kok tega membunuh cucu Rasulullah gitu lho. Sang 10
besar masuk syurga kok mau membunuh saudaranya sendiri. Saya yang hanya ndak mau pakai celana
“ngatung” ini saja, saya yang kadang-kadang salaman dengan cewek saja, masih dihakimi orang telah
melakukan ma’siat. Oalah…, cucu Nabi disembeleh pak. Apa itu ndak disebut ma’siat pak…?. Maka
wajarlah kalau pendukung Ali (baca: kaum Syiah) sangat membenci kelompok Muawwiyah, Usman dan
Khawarij.

Lalu…, kecintaan mereka (kaum Syiah) terhadap cucu Rasulullah dan Ahlul Bait mengubah sistem politik
dari bentuk kekhalifahan yang diprakarsai oleh Abu Bakar, menjadi sistem Imamah. Kekacauan politik
semakin meruncing tajam sehingga muncul di sana-sini kelompok-kelompok yang mengatasnamakan
kebenaran untuk kepentingan politiknya. Bahkan pada masa itu dikenal pengarang-pengarang hadits
palsu untuk dijadikan dalil menyesatkan lawannya. Karakter itu masih terasa sampai pada masa
sekarang yang berkembang menjadi saling menyesatkan antara golongan dan aliran.

Inilah awal pertentangan terpanas antara sesama pemeluk agama Islam sendiri. Kemudian pertumpahan
darah itu akan melahirkan saling tuding di antara keduanya. “Ali salah…”, kata kelompok Aisyah. Dan
tudingan itu dibalas pula oleh kelompok Ali: “Ai’syah yang salah…”. Dan sejak saat itulah ditanamkan
oleh para penerus Nabi itu pertentangan demi pertentangan yang nantinya akan melahirkan pertentangan
ALIRAN-ALIRAN dalam Islam.

Nanti sejarah akan bercerita bahwa diantara kelompok-kelompok itu, jika satu kelompok berkuasa maka
kelompok oposannya seringkali "dihabisi". Dan ini terjadi silih berganti. Sampai sekarang pun begitu.
Sebelum Dinasti Fahd memerintah, kelompok Habaib masih bisa hidup di Arab Saudi. Akan tetapi secara
perlahan para Habaib ini tersingkir dari Arab Saudi. Yang paling lawas adalah geliat politik pasca Saddam
Husein di Irak sana dimana
sebentar lagi kita mungkin akan melihat kelompok Syi'ah mendesak kelompok Sunni, atau mungkin
sebaliknya (karena disana sedang terjadi reposisi masing-masing kelompok di bawah bayang-bayang
provokasi dan hasutan Amerika dan koleganya.

Kenapa saya harus membuka sejarah ini…?. Ya…, karena banyak sekali umat Islam saat ini yang tidak
mengetahui kenapa mereka harus saling menyalahkan. Mungkin sudah banyak juga yang mengetahui
sejarah ini, cuma belum bisa memetik pelajaran dari sejarah perjalanan kelam tersebut. Kalau kita belajar
agama tidak dari sejarah ini, kita nggak akan pernah tahu apa persoalan yang sebenarnya, kenapa Syiah
disalahkan, kenapa Mu’tazilah disalahkan, kenapa ini…, kenapa itu… Dan anehnya setiap aliran lain
dibilang KAFIR oleh kelompok lainnya. Jadi puncak penyebab masalahnya adalah dari peperangan di
atas.

MUNCULNYA GOLONGAN-GOLONGAN…
Nah…, pada masa pertumpahan darah di atas, lalu ada kelompok yang tidak setuju dengan pertempuran
tadi itu, dari kelompok Ali sendiri. “Ali terlalu lemah”, kata sebagian pasukan Ali. “Seharusnya Ali tidak
memberikan konsesi-konsesi terhadap Mu’awiyah”. Sebagai anak buah, mereka menuntut. Ini bak
pertanyaan anak buah Gus Dur, “kenapa Gus Dur diam aja di kerjain Amin Rais, kalau begitu saya WALK
OUT saja”. Maka kelompok yang keluar dari kelompok Ali ini kemudian disebut sebagai kelompok
Khawarij (walk out). Jadi dari zaman dulu sudah ada itu yang namanya walk out. Dalam bahasa Arab
namanya Khawarij. Kalau sekarang kasusnya mungkin sama dengan perpecahan internal sebuah partai.
Bagi kelompok yang tidak sejalan lagi dengan kebijakan partai yang ada, akan muncul sekelompok orang
yang membentuk partai lain dengan menambah berembel-embel reformasi di belakang nama partai yang
lama. Misalnya, PPP Reformasi, PDI Perjuangan, dan mungkin sebentar lagi Golkar Reformasi, dan
sebagainya.

Jadi, wajar saja kalau ada anggota kelompok kita yang tidak sejalan dengan kebijakan kelompok itu
sendiri. Andai kata saat itu kita ikut sebagai pelaku sejarah itu, dan kita menjadi khawarij apa ya
salah… ???. Dengan berpikir sebagai manusia biasa saja, jangan sebagai wali, karena wali itu
berpikirnya sangat bening: “kok sama mertua bisa hantam-hantaman begitu lho…”. Ya…, sebagai
manusia, apa kita akan ikut keluar dari kelompok Ali itu. Kalau saya sih rasanya akan keluar. Tapi sama
kelompok Ali, kelompok Khawarij ini lalu dicap KAFIR. Hanya karena Khawarij ini keluar dari barisan Ali.
Maka sejak itu lahir pulalah pengkafiran-pengkafiran yang ditujukan kepada lawan-lawan politik masing-
masing bagi yang sedang berseteru tersebut. Misalnya, Kelompok Ali mengkafirkan Ai’syah dan Khawarij.
Begitupun sebaliknya. Gayungpun bersambut. Maka sejak itu pun istilah kafir lalu berbunyi seperti suara
tokek….!!!.

Lalu ada yang berfikir RASIONAL. Ali mereka anggap tidak salah. Ai’syah juga mereka angap tidak salah.
Tapi dua-duanya itu tidak dianggap kafir oleh kelompok yang berfikir rasional ini, walau saat itu sangat
mudah muncul cap kafir bagi lawan sebuah kelompok lainnya. Karena memang waktu itu sangat mudah
terjadi saling pengkafiran. Namun kelompok berfikir rasional ini hanya menganggap kedua kelompok itu,
Ali di satu pihak dan kelompok Aisyah di pihak lain, hanya telah melakukan suatu kesalahan saja yang
disebut dengan “asyii” (orang yang melakukan kesalahan). Artinya mereka menganggap Ali dan Aisyah
hanya mukmin yang punya salah. Kelompok yang berfikiran seperti ini lalu disebut orang dengan nama
MU’TAZILAH, RASIOANALIS. Artinya kelompok yang menggunakan rasio, menggunakan pertimbangan
yang rasional. Ada juga orang yang menyebutnya dengan “AHLUL ‘ADLI”, kelompok yang adil, atau kalau
sekarang mungkin disebut “partai yang adil”.

Karena tidak berpihak seperti ini, maka oleh kelompok Ali, mereka dianggap KAFIR juga. Kenapa mereka
dianggap kafir oleh kelompok Ali …?. Yaa…, ini karena oleh Mu’tazilah, Ali bin Abi Thalib dianggap punya
kesalahan (maksiat). Padahal oleh kelompok Ali, Ali itu dianggap Imam Suci, yaitu orang yang tidak
pernah punya salah dan mempunyai derajat MAKSUM (terpelihara dari dosa dan maksiat). Maka oleh
pendukung Ali yang bilang bahwa Ali adalah maksum ini, kaum Rasionalis (Mu’tazilah) ini lalu mereka cap
kafir juga.

Padahal kaum Mu’tazilah ini lagi mikir-mikir, bahwa secara rasional saja Ali dan Ai’syah ya salah, karena
mereka saling membunuh orang banyak. Walaupun begitu, Ali maupun Ai’syah tidak anggap kafir oleh
kaum Rasionalis ini. Tapi oleh kelompok Ali yang tetap mengklaim bahwa Ali itu suci, maupun oleh
kelompok Aisyah yang juga menganggap Aisyah itu suci, kelompok Rasionalis ini dianggap kafir pula.
Padahal kalau direnung-renungkan, dari mana tuh rumusnya ada orang yang saling berantam dan dua-
duanya merasa benar, dari mana hitungannya?. Paling tidak ya salah satu salah…?. Ini pendapat orang
yang berpikiran rasional. Tapi yang berpikiran rasional begini tetap dianggap salah dan kafir oleh pihak Ali
maupun pihak Aisyah.

Lalu antara kelompok Ali maupun kelompok Aisyah ini sampai turun temurun saling tidak mau menerima
riwayat hadits dari pihak lawannya. Kelompok Ali tidak mau menerima hadits yang diriwayatkan oleh
Ai’syah. Begitu juga kelompok Ai’syah juga tidak mau menerima hadits yang datangnya dari Ali. Untuk
membuktikannya lihatlah kitab Riyadushshalihin, Bulughul Maram. Dalam kitab-kitab tersebut hampir-
hampir tidak ditemukan hadits yang diriwayatkan oleh Ali Bin Abi Thalib. Begitu juga dalam kitab hadits
yang dikumpulkan oleh pendukung Ali, sangat jarang sekali bisa ditemukan hadits yang diriwayatkan oleh
kelompok Aisyah.

Inilah awal terjadinya perpecahan hadits. Lalu hadits-hadits yang diriwayatkan dari Ali ini dikumpulkan
menjadi hadits kelompok Syiah. Makanya dalam hadits Syiah, misalnya, masih ada kawin muth’ah (kawin
kontrak). “Yuk kita kawin yuk, dua hari lalu udahan”, ini namanya kawin kontrak. Kawin kontrak ini
memang pernah terjadi di zaman Rasulullah, akan tetapi sudah di nasakh (dihapuskan) dikemudian hari.
Nah penghapusan kawin muth’ah ini hadistnya dipegang oleh Ai’syah. Kata Ai’syah, “Oo muth’ah itu
sudah dihapus…!. Kelompok Ali menjawab: “no way…, aku nggak pernah dengar dari Rasulullah..”.
Begitulah…!. Maka kemudian terjadilah keruwetan yang amat sangat tentang riwayat meriwayatkan
hadits ini.

Kelompok Khawarij lalu nggak mau pakai hadits, mereka hanya mau pakai Qur’an saja. Mereka
menganggap ruwet kalau pakai hadits, karena semua nggak bisa dipercaya. Makanya kelompok Khawarij
ini nggak mau shalat. “Pokoknya saya tauhid saja, saya ikut Allah dan Muhammad saja, titik. Saya nggak
mau riwayat-riwayatan hadits….!” Nah ini Khawarij namanya.

Terjadilah perpecahan antara sesama umat Islam sendiri dengan sangat ekstrim. Dari kelompok Aisyah
lalu memunculkan cikal bakal bagi munculnya kelompok-kelompok yang disebut dengan Bani Umayyah,
sedangkan dari kelompok Ali sangat terkenal dengan kelompok Bani Fatimiyah-nya. Dua kelompok besar
ini bertempur tak habis-habisnya dari zaman ke zaman. Saat kelompok Ali yang menang, maka
muncullah kerajaan Bani Fatimiyah. Lalu kelompok Bani Umayyah di kejar-kejar dan dibunuhi oleh
keluarga Bani Fatimiyah ini. Begitu pun sebaliknya. Saat Bani Umayyah yang menang, maka Bani
Fatimiyah pada gilirannya yang dikejar-kejar dan dibunuhi oleh kelompok Bani Umayyah.

Pertempuran turun temurun dua Bani ini lalu telah memunculkan dua golongan besar penganut Islam.
Satu pihak dari Bani Umayyah melahirkan kelompok besar yang sekarang dikenal dengan kelompok
Sunni, Ahlussunah Wal Jamaah. Sedangkan dari pihak Bani Fatimiyah melahirkan kelompok Syiah, atau
kelompok yang mengikuti keimaman Ahlul Bait. Demikianlah terjadi silih berganti peristiwa hantam
menghantam ini. Saat Saddam Husein yang berkuasa di Irak, maka kelompok Syiah di berangus seperti
halnya juga di Arab Saudi sekarang ini.

Pertempuran dan perpecahan Sunni dan Syiah ini tidak berhenti di tanah Arab sana saja. Bahkan sampai
mengalir sampai ke tanah Jawa. Di Jawa perseteruan ini ditandai dengan perselisihan antara Sunan Giri
dan Sunan Kalijogo. Sunan Kalijogo hampir saja berbunuh-bunuhan dengan Sunan Giri, karena Sunan
Kalijogo dianggap mengembangkan Syiah sedangkan Sunan Giri mengembangkan Sunni. Lalu
muncullah Sunan Bonang sebagai penengah diantara keduanya. Perdamaian keduanya ditandai dengan
berdirinya Masjid Demak. Tiang tatal yang diikat-ikat di Masjid Demak adalah perlambang dari proses
perdamaian itu. Tiang Tatal itu seakan bermakna bahwa “wala tafarraku…, jangan bercerai berai”.

Maka setelah perdamaian antara Sunan Kalijogo dan Sunan Giri itu, maka digabunglah aliran Syiah dan
aliran Sunni itu menjadi seperti yang dipraktekkan oleh orang-orang di NU sekarang ini. Makanya Gaya
NU dalam pemerintahaannya adalah meniru Syiah, dimana umat harus patuh kepada mullah, kepada
Gus. Gus itu suci dan turun temurun pula. Akan tetapi fikih yang dipakai adalah dengan menggunakan
fikih Sunni. Ini sejarah…. NU adalah salah satu contoh keberhasilan penyatuan konsep ibadah serta
imamah versi Syiah dengan fikih versi Sunni di bumi Nusantara ini …!!!
Sebenarnya masih banyak lagi varian perpecahan dalam agama Islam sampai saat ini. Tapi intinya
perpecahan ini adalah akibat dari memahami hadits dan ajaran agama lainnya yang kemudian dengan
berhasil dan sukses dibawa menjadi konflik antar golongan. Masing-masing golongan ini menjadi militan
berkat faktor dan unsur-unsur pengikat emosional yang mereka bina dan pertahankan sedemikian rupa.

Apakah semua Sahabat saya sama ratakan dalam artikel ini...???. Ya ndak lah....

Banyak kok Sahabat yang mulia lainnya yang berbicara dan berbuat sesuai dengan Al Qur’an dan
Sunnah Nabi. Yang saya kritisi adalah kekisruhan dan kebingungan umat yang sampai ke kita sekarang
ini yang masih terasa akibat dari kekisruhan sejarah masa lalu perkembangan Islam. Sejak zamannya
sahabat-sahabat juga. Ini yang saya kelupasi ya tentu saja semampu saya saja. Banyak lho kekaguman
saya kepada ajaran-ajaran Ali bin Abi thalib, dan ahlul bait lainnya, maupun sahabat-sahabat besar
lainnya.

Akan tetapi saya sepertinya agak sulit untuk menerima (dan saya juga tidak yakin ini dikatakan oleh
Imam Ali) bahwa "Kami adalah pintu Allah. Jalan Allah hanya akan diketahui atau dikenal melalui
kami..." (Pancaran Cahaya Shalat-Muhsin Qira'ati hal 42) . Fungsi AVATAR seperti inilah yang
menurut saya sangat bertentangan dengan Al Qur’an. Karena misi Al Qur’an adalah untuk membabat
habis, merevolusi perilaku manusia yang BERSANDAR kepada selain Allah.

Saya sangat yakin bahwa ungkapan di atas hanyalah ciptaan orang-orang atau pengikut Ali agar pengikut
Ali punya suatu ALAT PEREKAT di antara mereka. Karena kalau perekatnya adalah Nabi Muhammad
saw, maka semua golongan akan menjadi sama. Akan tetapi karena Rasulullah sudah dipegang lebih
duluan oleh kelompok Aisyah dan sahabat yang kemudian melahirkan golongan SUNNIi, maka Kelompok
Ali lalu membuat perekat lainnya yaitu Ali dan ahlul bait lainnya (yang memang saat itu - mungkin juga
saat ini - sangat tertindas) yang kemudian melahirkan golongan SYI'AH. Dan masing-masing kelompok
ternyata saling menolak hadits dari lawannya.

Nah..., saya tidak mau TERJEBAK oleh pertentangan kedua golongan ini. Lalu dua-duanya saya
kelupasi. Lalu saya perhatikan keduanya dengan tidak mem-binding diri kepada keduanya.
Hasilnya..., lho..., lho..., kedua golongan ini muaranya ternyata Rasulullah juga. Hadits-hadits yang
dipakai dari Rasulullah juga. Lalu saya coba tinggalkan kedua kelompok itu dan saya lihat wejangan demi
wejangan Rasulullah saja. Dan saya sangat terpesona. Ternyata ajaran Rasulullah itu ya ajaran yang
sampai ke golongan Sunni dan ajaran yang sampai ke golongan Syi'ah YANG DIGABUNG menjadi
SATU.

Disinilah saya melihat kualitas Rasulllah yang sangat mengatasi siapa pun. Beliau sangat cerdas,
cemerlang, dan santun dalam membina umat Beliau. Saat ada yang bertanya tentang hukum-hukum,
maka beliau menjawabnya SESUAI dengan kapasitas si penanya. Saat ada yang bertanya tentang
kedalaman spiritualitas, maka Rasulullahpun menjawabnya SESUAI kualitas iman si penanya. Nah
golongan SUNNI sekarang adalah golongan yang paling banyak mendapatkan dan mengumpulkan
wejangan Rasulullah yang bersifat HUKUM-HUKUM sehingga golongan ini lebih terpaku dengan hukum-
hukum yang kemudian berkembang menjadi berbagai pasal FIQIH dan hadits-hadits HUKUM
lainnya. Akan tetapi golongan ini AGAK TERBELAKANG dalam pemahaman tentang HAKIKAT
SPIRITUAL dari aspek HUKUM dan FIQIH yang mereka sangat mahir dan banyak tahu itu.

Sedangkan golongan Syi'ah (terutama kepada Ali Bin Abi Thalib) adalah tempat dimana Rasulullah
BANYAK mewejang tentang kedalaman MAKNA SPIRITUAL dari sebuah perilaku AGAMA. Dan dari
golongan Syi'ah inilah nantinya munculnya akar TASAWUF yang sekarang ini sudah sangat menyebar ke
pelosok-pelosok dunia. Akan tetapi dalam perjalanannya, KEDALAMAN SPIRITUAL ini juga dirusak oleh
beberapa perilaku para SUFI yang seakan-akan tidak perlu lagi dengan HUKUM dan FIQIH. Walaupun
begitu tetap ada segolongan orang yang teguh berpegang kepada ajaran Ali Bin Abi Thalib sampai
kepada JALUR AHLUL BAIT yang lainnya, golongan ini sekarang dikenal sebagai penganut Mahdzab
SYI'AH. Ya monggo-monggo aja...

Jadilah muncul keruwetan baru dalam perkembangan Islam. Walaupun begitu saya punya sikap bahwa:
SEMUA YANG DICIPTAKAN ALLAH (termasuk kondisi umat yang seakan-akan berpecah belah ini)
ADALAH ADA MANFAATNYA. Fir'aun bermanfaat untuk memelihara Musa sejak kecil, dan
menempa Musa saat beliau diangkat Allah menjadi Nabi, sehingga kualitas Nabi Musa benar-benar
ditinggikan oleh Allah. Begitu juga Abu Jahal, Abu Lahab, adalah person yang menempa diri Muhammad
SAW, sehingga beliau berhasil menjadi Rasul yang sangat ditinggikan derajatnya oleh Allah.

Bahkan iblis pun bermanfaat bagi manusia untuk menempa diri manusia menjadi orang-orang
yang mukhlashin (berserah kepada Allah). Karena iblis dengan kesatria sudah memberitahu bahwa si
iblis tidak akan sanggup menggoda orang-orang yang berserah diri kepada Allah. Jadi salah
manusianya sendiri kalau masih bisa digoda oleh iblis, tidak berserah diri sih....

Apalagi kalau hanya sekedar pertentangan dan perpecahan antar kelompok dan agama, ada manfaatnya
juga. Anggap saja tujuannya untuk saling berlomba-lomba mencari kebaikan. Tinggal tiap-tiap golongan
saling mencari metoda penyampaian usungannya agar bisa diterima masyarakat luas. Tinggal nanti kita
lihat siapa yang bermanfaat bagi kemakmuran alam semesta ini. Kalau kita-kita tidak berhasil
menciptakan kemakmuran dan kelestarian di alam semesta ini, yaa paling alam semesta ini akan hancur
dengan sendirinya (sesuai dengan hukum-hukum Allah-sunatullah). Maka jadilah kiamat.

Nah dalam perkembangan golongan-golongan ini ada yang menarik perhatian saya. Begitu aspek hukum
dan fiqih ini dibawa dan disebarkan di negara-negara yang tingkat ilmu pengetahuan tentang
kealamannya sudah sangat maju, misalnya Amerika, Eropa, Jepang, maka umumnya mereka jadi takut
dan ada kecenderungan merekam untuk menolaknya. Bahkan label teroris pun dengan ringan mereka
lekatkan ke golongan yang memegang hukum dan fiqih dengan ketat ini. Sebaliknya kalau hukum dan
fiqih ini dibawa kepada masyarakat yang tingkat ilmu pengetahuan alamnya masih rada-rada terbelakang
seperti Indonesia, sebagian besar negara Arab dan Afrika, maka aspek hukum dan fiqih ini SEPERTINYA
bisa mereka terima. Akan tetapi EFEKNYA lebih banyak kepada membuat ketakutan dan harapan.
Efeknya lebih kepada LOGIKA KEKUATAN (meminjam istilah seorang teman saya).

Bagi masyarakat "maju" di atas akan lain halnya kalau yang diperkenalkan ke mereka adalah HAL /
KONDISI kedalaman SPRITUAL, misalnya seperti yang dibawa oleh pengusung TAREKAT
NAQSABANDI dan tarekat-tarekat besar lainnya, maka penerimaan mereka lebih cepat. Seakan-akan
untuk mengiyakan hadits Nabi, "Sesunggguhnya kekayaan itu bukanlah kekayaan harta, akan tetapi
kekayaan itu adalah kekayaan JIWA". Hadits ini USHLUB-nya adalah untuk orang-orang yang sudah
KAYA dengan harta dan dunia.

Nampaknya untuk bisa memahami hadits dengan baik, kita harus tahu juga masalah ushlub (kondisi dan
arah kelompok yang dituju oleh hadits itu) saat Rasulullah berbicara tentang sesuatu. Kalau tidak
tahu ushlub ini, maka kecenderungan kita adalah untuk menganggap bahwa semua hadits itu adalah
buat kita. Ujung-ujungnya kita bingung sendiri. Kalau begitu boleh dong "membuang" hadits...?

Nah lho....!!!

MASA PEMANGKASAN AS SUNNAH…


Setelah As Sunnah Nabi SAW campur aduk, berantakan, dan banyaknya hadits palsu yang
beredar akibat pertentangan dan peperangan sesama umat Islam di atas, maka kemudian
muncul usaha dari Imam Buchari dan Iman-Iman lain untuk menyaring Sunnah tsb. Artinya
dari JUTAAN SUNNAH, sebagian besar DIBUANG (bayangkan dibuang, dipangkas). Ini tidak
cocok. Ini tidak pas. Ini pembawanya dulu pernah bohong (padahal mungkin saja setelah
itu dia sadar dan tobat). Ini dari lawan politik kita, lalu buang saja.
Masih bagus kalau yang dibuang itu yang PALSU. Sekarang siapa yang bisa menjamin
bahwa yang dibuang itu tidak termasuk yang ASLI dari Rasulullah. ISI-nya bagaimana kalau
tidak seirama dengan Al Qur’an ..? (mudah-mudahan ini nggak ada)?. "Hmm.. nggak apa-
apa, yang penting penyampainya bisa dipercaya kok". Seribu alasan. Sehingga sunnah
dipotong dan tinggal menjadi SEKIAN RIBU HADITS. Dan ini yang kita bela habis-habisan
sekarang. Jadi boleh nggak kita membuang BEBERAPA hadits sekarang ini ??. Wong dulu
juga dibuang-buang kok.
Masalahnya kemudian adalah, tatkala film dokumenter kehidupan Beliau itu dicoba untuk
ditulis dalam bentuk Al Hadits, apalagi setelah dipangkas menjadi hanya sekian ribu hadits
oleh Imam-Imam terkenal seperti Bukhari, Muslim, Turmidzi, Abu Daud, dan mungkin Ali
bin Abi Thalib, sehingga sekarang Al Hadits yang tersisa tidak lebih dari 20.000 Hadits,
dengan berbagai tingkatan lagi, maka saat itu pula umat Islam mulai keteter untuk
mengikutinya. Betapa tidak…, sesuatu yang mengalir dengan indah, lalu di coba untuk
dipenggal di sana-sini menjadi Al Hadits, ya … jadinya ya begini…, As Sunnah itu tidak utuh
lagi.

Andaikan dulu saya punya uang JUTAAN rupiah, kemudian uang saya hilang entah kemana, dan yang
tersisa hanyalah Rp 20.000 saja. Maka saat ditanya orang tentang uang saya itu, maka jawaban saya
adalah : “Uang saya sudah habis, hilang…”. Karena 20.000 rupiah sangatlah tidak berarti apa-apa jika
dibandingkan dengan jutaan rupiah.

Nah…, dari sinilah mulai munculnya problematika umat Islam itu. Dengan semboyan berpegang teguh
kepada Al Qur’an dan Al Sunnah, akan tetapi As Sunnah yang dimaksud itu ternyata hanya sebatas
ribuan tulisan TEKSTUAL Al Hadits, maka umat Islam itu terlihat berjalan seperti orang sempoyongan,
serba kikuk, serba ragu, serba terbatas, serba mandeg dan… seratus serba lainnya (tapi dengan motivasi
yang negatif).

Hal ini tak bedanya dengan melihat FILM KARTUN zaman “baheula”, dimana gerakannya terpatah-patah
dan tidak smooth. Ya lucu jadinya…. Ibaratnya umat Islam sekarang ini adalah seperti orang dari “suku
pedalaman” di tengah-tengah pandangan mata orang-orang kota. Mereka jadi tontonan orang. Lucu
sih…

Al Hadits yang tersisa saat ini juga bak ibarat sebuah Rumah Sempurna (RS) yang terbakar nyaris habis
ludes. Kemudian masyarakat mencoba bergotong royong mengais puing-puing di bekas rumah tersebut.
Tiba-tiba ada yang menemukan 'seujung' karpet merah dipojokan. Tiba-tiba ada juga yang menemukan
patahan daun jendela bekas terbakar. Tiba-tiba ada juga yang lain menemukan bagian kecil ...,
menemukan sebagian ini, itu...dst. Dan kemudian masing-masing penemu itu saling berseru: “Ini asli dari
Rumah Sempurna itu lho…”. Masing-masing mengatakan: “Yang lain itu palsu, karena bagian yang lain
itu ditemukan oleh si A yang terkenal pembohong…”. Dan akhirnya kelompok-kelompok manusia itu sibuk
mengklaim bagian yang dia dapatkan yang berasal dari Rumah Sempurna tadi. Padahal saat masih utuh,
RS itu menjadi tempat yang sangat ideal dan bisa dinikmati oleh semua orang. Orang miskin, orang kaya,
orang rajin beribadah, orang yang pemalas shalat malam sekali pun bisa merasakan manfaat dari Rumah
Sempurna tersebut

Kadaluarsanya TEKSTUAL Al Hadits…


Sebenarnya umat Islam sekarang ini, yang selalu bersemboyan bahwa kita adalah umat yang mengikuti
dan berpegang teguh pada Sunnah Rasulullah SAW, sudah banyak yang meninggalkan Al Hadits, karena
sudah tidak cocok lagi dengan peradaban sekarang, terutama hadits-hadits yang bersifat berhubungan
dengan ciri ketubuhan (fisik) Rasulullah. Beberapa contoh yang ringan-ringan saja akan saya berikan
untuk pembuka wacana, misalnya:

1. Beberapa gelintir umat Islam masih tetap dengan gigih mengiklankan tentang TEKSTUAL Al
Hadits mengenai keutamaan SIWAK. Akan tetapi diantara sekian ratus juta umat Islam, yang masih
tetap setia memakai SIWAK hanyalah dalam hitungan ribuan orang saja, nggak ada artinya lah
jumlah itu. Akan tetapi dengan melihat KONTEKS dari Al Hadits tentang siwak itu, yaitu tentang
keutamaan membersihkan gigi, maka hampir seluruh manusia telah mengamalkan Al Hadits itu
walau dengan berbagai alat bantu yang berbeda dengan siwak. Hadits tentang siwak itu lalu
menjadi hadits yang kadaluarsa dan tinggal sebagai sejarah dan kenangan saja.
2. Hadits tentang pentingnya mengajarkan anak dengan 3 keterampilan : berenang, memanah, dan
berkuda, juga mengalami hal yang sama. Hanya pengajaran berenang lah yang masih sangat
relevan dengan peradaban saat ini, sedangkan pengajaran memanah dan berkuda hanya cocok
untuk kegiatan yang diperlombakan seperti di PON. Karena peradaban memanah dan berkuda
sekarang sudah digantikan dengan peradaban yang memakai senapan dan kendaraan bermotor.
3. Al Hadits untuk memakai baju putih-putih pun tidak selalu bisa diamalkan di sembarangan tempat
dan waktu. Ada yang lucu saat terjadinya konflik di Ambon dulu. Ketika itu ada sekelompok umat
Islam yang datang ke sana dengan atribut pakaian putih-putih lengkap dengan sorban dan topi
hajinya. Saat terjadi pertempuran sporadis, baik di hutan-hutan dan malam hari, maupun di dalam
kota, maka pasukan putih-putih itu dengan mudah ditembaki lawan. Karena siapa pun tahu bahwa
fitrahnya pakaian dalam peperangan adalah dengan memakai pakaian penyamaran (loreng-loreng).
4. Dalam peperangan juga, Nabi dulu berada di garis depan untuk memimpin perang dan memberi
semangat kepada pasukan muslimin. Akan tetapi sekarang ini, panglima perang hanya duduk-
duduk di kantor, atau tidur-tiduran di rumah sambil memberikan perintah lewat radio…!!.
Nggak ngikut contoh Nabi lagi…!
5. Ada juga orang-orang yang sangat getol mencirikan bahwa umat Islam itu AFDALNYA pakai
jubah, sorban, dan berjenggot. Tapi tahukah Anda bahwa Abu Jahal, Abu Lahab dan kafir Quraish
lain pun penampilannya begitu seperti wali-wali dalam film sinetron di negara kita.

Banyak lagilah contoh-tontoh dari perilaku Nabi yang sudah tidak dipakai orang saat ini. Apalagi perilaku
sahabat-sahabat yang demikian beragamnya. Sekarang ini tidak ada satu orang pun yang benar-benar
telah mengikuti sahabat-sahabat Nabi, apalagi untuk mengikuti apa-apa yang dicontohkan Nabi,
mengikuti As Sunnah. Nggak lah…!, Tapi kalau hanya mencoba-coba untuk menyesuaikan diri dengan
berbagai Al Hadits, yaa… sungguh banyak sekali.

Al Qur’an, Al Hadits dan Kitab Ulangan…


Pada kesempatan ini saya akan coba tayangkan sebuah masalah yang kejadiannya adalah abadi, ada
sepanjang masa, yaitu tentang perzinaan.

Dalam ayat Al Qur’an:

"Perempuan yang berzina, dan lelaki yang berzina, maka cambuklah tiap-tiap orang dari
keduanya seratus kali dera..... (An Nuur 2) .
Dalam Hadits Iman Buchari:
"lelaki dan perempuan dewasa (muhsan/berkahwin) apabila berzina maka rejamlah kedua-
duanya sekaligus sebagai balasan dari pada Allah...
Begitu juga dengan hadits yang terkenal tentang pengakuan seorang wanita yang
hamil karena perzinahan, yang oleh Nabi ditunda pelaksanaan hukuman rajamnya
setelah anaknya lepas masa menyusu.
Dalam Kitab Ulangan PL-05 (22: 22 s/d 24):
22. Apabila seseorang kedapatan tidur dengan seorang perempuan yang bersuami, maka
haruslah keduanya dibunuh mati; laki-laki yang telah tidur dengan perempuan itu dan
perempuan itu juga. Demikianlah harus kauhapuskan yang jahat itu dari antara orang
Israel.
23. Apabila ada seorang anak gadis yang masih perawan dan yang sudah bertunangan - jika
seorang laki-laki bertemu dengan dia di kota dan tidur dengan dia,

24. maka haruslah mereka keduanya kamu bawa ke luar ke pintu gerbang kota dan kamu
lempari dengan batu, sehingga mati: gadis itu, karena walaupun di kota, ia tidak berteriak-
teriak, dan laki-laki itu, karena ia telah memperkosa istri sesamanya manusia.
Demikianlah harus kauhapuskan yang jahat itu dari tengah-tengahmu.

Saya cuma bertanya dengan segenap kerendahan hati saya. Hadits di atas apakah
mengikuti Al Quran atau mengikuti Kitab Ulangan ??.

LALU BAGAIMANA…?
Inilah perlunya tahu sejarah. Jadi kita bisa punya sikap dalam berfikir. Sumbernya dulu dibongkar. Anda
mau berbicara tentang hadits-hadits, ya di bongkar dulu sumbernya…, baru jalan…!!!. Kalau nggak, nanti
kita akan disuruh ngikutin hadits menurut pikiran orang yang ngajarin kita itu nantinya.

Rasa-rasanya lengkap sudah kita meneropong dan mengelupasi tentang perkembangan Al Hadits dari
masa ke masa. Mungkin saja kemudian ada yang mulai meragukan Al Hadits seperti yang banyak
muncul di masyarakat sebelumnya, seperti kelompok “Inkarussunnah”. Lalu…???

Kalau kita berhenti disini, maka mungkin orang-orang yang inkarussunnah akan bersorak mengiyakan
bahwa Al Hadits sudah tidak bisa dipakai lagi sekarang. Akan tetapi mari kita lanjutkan kebagian penutup
yang akan memuat alternatif bersikap terhadap kumpulan Al Hadits yang sampai kepada kita saat ini.

SIKAP BERKETUHANAN…
Ternyata Al Sunnah adalah sebuah realitas perjalanan panjang Rasulullah sehari-hari, dari waktu ke
waktu, dalam sikap berketuhanan. Realitas demi realitas ayat-ayat Al Qur’an muncul dengan sangat
mencengangkan yang kemudian Beliau sampaikan kepada sahabat-sahabat Beliau. Dan sahabat-
sahabat pun mampu mencerap realitas itu dengan kualitas sami’na wa atho’na (tanpa reserve). Namun,
sebuah pengajaran juga bisa dipetik saat ini. Bahwa siapa pun yang luput dari sikap berketuhanan, baik
itu tingkatannya adalah sahabat-sahabat Nabi, penerus Nabi berikutnya, sampai ke kita sekarang ini,
maka yang akan kita dapatkan adalah kesengsaraan dan kelemahan belaka bagi kita.

Bersikaplah dengan sikap berketuhanan, maka As Sunnah itu akan muncul dari dalam diri kita sendiri.
Maka berapa pun Al Hadits yang akan sampai kepada kita, kita akan senyum-senyum saja melihat
“muatan budaya duta istimewa Tuhan” di dalamnya. Karena kalau kita tidak mempunyai sikap
berketuhanan, maka As Sunnah lalu bisa terpangkas menjadi Al Hadits milik budaya Allussunnah, Al
Hadits milik budaya Syi’ah, Al Hadits milik budaya golongan dan mahzab-mahzab tertentu. Tidak….,
jangan begitu…!!.

As Sunnah itu TIDAK akan pernah batal, rusak, atau masuk kelompok hadits berkualitas jelek (tidak
shahih) hanya gara-gara penyampainya dulunya diperkirakan suku berbohong, atau perawinya
diragukan. Tidak…!. As Sunnah adalah sebuah muatan universal yang masing-masing kita sudah punya
dan tertanam di dalam dada kita. Hanya kesombongan dan keangkuhan kita saja yang telah berhasil
menutup As Sunnah itu dari perilaku kita sehari-hari.

Sungguh Rasulullah telah mencontohkan bagaimana kita seharusnya bisa takluk terhadap SUNATULLAH
(hukum-hukum Allah) itu, yang dalam istilah agamanya adalah BER-ISLAM. Dan tunduk kepada
sunatullah dengan tanpa reserve telah dilabeli Allah dengan istilah TAWAKKAL. Jadi tawakkal adalah
sebuah suasana dimana seseorang mewakilkan segala-galanya kepada Tuhan dengan mengikuti aturan-
aturan Tuhan yang telah ditetapkan Tuhan. Aturan Tuhan itu, misalnya, bekerjalah, majulah,
berdaganglah, intidzar-lah (jadi pengamatlah), bertebaranlah di bumi, sekolahlah, jadi dokterlah, jadi
sarjanalah, bangunlah peradabanmu, carilah kekayaan, dsb. Karena di semua aturan Tuhan itu ada
sesuatu buat kita. Akan tetapi jangan lupa, mulailah semua itu “dengan dan atas nama Tuhan”, akhirilah
“dengan dan atas nama Tuhan” pula (dzikrullah). Jadi tawakkal itu bukanlah suasana NRIMO, atau
pasrah tanpa kita “DIGERAKKAN” untuk melakukan sesuatu dan menghasilkan sesuatu bagi kita.
Tawakkal itu haruslah MENGHASILKAN sesuatu untuk dirinya sendiri maupun untuk rahmat bagi semua
orang.

"... Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan
(keperluan) nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang dikehendaki) Nya.
Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu". (At Thalaaq 3)

Kalau dalam bahasa sekarang tawakkal itu mungkin bisa disebut dengan “melakukan fungsi-fungsi
sunatullah” yang dimana-mana orang pasti melakukannya walau dengan kadar dan intensitas yang
berbeda dari satu bangsa ke bangsa lainnya. Fungsi keseharian kita saja sebenarnya, misalnya,
ber: a(khlak)-pol(litik)-ek(onomi)-sos(sosial)-bud(aya)-pen(didikan) to say the least.

Nah…, untuk hadits-hadits tentang “apoleksosbudpen” diatas, dalam pelaksanaannya saya akan
melihat dulu USLUB dari hadits itu. Gunanya adalah agar supaya saya tidak terlalu “keberatan beban”
yang tidak sesuai dengan kemampuan saya yang sangat terbatas ini. Dari sekian banyak hadits tentang
hal keseharian tersebut di atas, saya pilih uslubnya yang cocok dengan saya saja. Karena kalau semua
hadits itu saya “kekep” untuk saya sendiri, maka saya akan menjadi orang yang schizoprenia, orang yang
berkepribadian ganda, yaitu walau otak saya bisa mengetahui dan menerima hadits ini dan itu, tapi saya
tidak punya daya apa-apa untuk menerapkannya dengan “enjoy”.

Didalam hadits apoleksosbudpen ini, ada yang uslubnya untuk pengemis, untuk orang kaya, untuk anak-
anak, untuk pemimpin, untuk yang dipimpin, untuk pelajar, untuk guru, untuk pedagang, untuk… berbagai
kalangan dan usia yang berbeda. Walau pun begitu, diantara semua kriteria itu, ada nilai-nilai universal
yang tidak saja bisa diterima oleh segenap umat Islam (tanpa peduli aliran dan sekte apa dia), akan tetapi
juga oleh umat Kristen, Hindu, Budha, Shinto, dan kepercayaan lainnya. Nah nilai-nilai universal itulah
yang saya ambil. Sedangkan tekstual haditsnya hanya saja jadikan sebagai bahan perbandingan
bahwa “ooo… dulu itu begitu yaa..”.

Sedangkan untuk hadits-hadits apoleksusbudpen yang membawa perpecahan, yang sektarian, yang
eksklusif, yang membawa saya taklid dan menyebabkan kejumudan fikiran…, ya saya baca dengan
memberinya tinta merah. Untuk saya jadikan hanya sebagai pengetahuan saja…, “ooo… ada yah hadits
yang begitu…”.
Itu tentang Al Hadits, apalagi kalau hanya terhadap wejangan ulama salaf, non salaf, syi’ah, dan ulama-
ulama zaman sekarang, sikap kritis yang lebih seharusnya mulai kita munculkan, agar umat Islam ini
menjadi umat yang dewasa. Tidak lagi seperti umat kekanak-kanakan yang suka rebutan permen.
Coba…, umat yang mengakunya punya Tuhan yang sama, Nabi yang sama, Eeee… diantara umat itu
lalu saling memaki, atas nama Tuhan lagi, saling menyalahkan, saling mengkafirkan, malah ada yang
saling mendo’akan agar lawannya dilaknat Tuhan. Huh…, tidakkah itu hanya akibat HAWA UN
NAFS (kecenderungan nafs) manusia-manusia itu saja, atau dalam istilah sekarangnya adalah EGO
sang manusia, yang menguasai mereka…???.

Sedangkan tentang Al Hadits, ataupun keterangan sahabat-sahabat dan ulama-ulama lainnya tentang
suasana IMAN, TAQWA, KHUSYU’, IHSAN, SABAR, IKLHAS, dan sebagainya, berikut suasana
lawannya seperti KAFIR, FUJUR, dsb., sikap kita seharusnya lebih khas lagi. Yaitu, tidak ada satu orang
pun yang punya wewenang untuk MENILAI langsung tentang semua itu kecuali HANYA ALLAH, dan
RASULULLAH sewaktu Beliau masih hidup. Selain itu, kalau ada yang mengaku tahu tentang semua itu,
maka itu hanyalah sekedar perkiraan-perkiraan saja. Maka perkiraan saya bisa saja berbeda dengan
perkiraan orang lain. Dan begitulah seterusnya. Perkiraan demi perkiraan itulah yang telah melahirkan
dinamika Islam dari hari ke hari. Perkembangan pengertian tentang Islam ini terjadi melalui opini demi
opini yang ditransfer diantara umat Islam itu sendiri dari zaman ke zaman.

Nah…, untuk itu bungkuslah keseharian kita itu dengan “baju ketuhanan dan sikap berketuhanan”. Dan
pada saatnya kita akan berjalan dengan muatan sunatullah (As Sunnah) di muka bumi ini. Carilah “Baju
Ketuhanan” itu kemana pun dan kepada siapa pun sampai dapat, agar kita bisa pula bersikap dengan
“Sikap Berketuhanan” dengan ENJOY. Mengenai sikap berketuhanan ini insya Allah akan saya coba
uraikan nanti dalam artikel “Mengupas Kulit Bawang Spiritual” (akan mulai diposting setelah seri artikel
Akal Sang Hakim – Mod).

Terakhir…, janganlah “mempertuhankan” Al Hadits, karena Tuhan itu sangatlah pencemburu. Kalau
Tuhan sudah cemburu, maka akibatnya sungguh sangat fatal. Dia langsung mengirim dan menarok
syaitan sebagi teman karib kita. Dan syaitan itulah yang memotivasi kita untuk berbuat yang tidak baik.
Dan kekuatan syaitan itu sungguh tak tertandingi karena mereka juga memakai kekuatan Tuhan untuk
menghasut kita itu….

Alhamdulillah….

Selesai serial artikel tentang Rekostruksi Pemahaman As Sunnah.

DEKA

Cilegon, 6 Januari 2005, jam 07:00…


REKONSTRUKSI BERFIKIR


Written by Administrator

Dalam uraian yang lalu, kita telah bernostalgia sejenak tentang maju mundurnya peradaban Islam akibat
pengkhianatan umat Islam sendiri kepada Tuhan, terutama terhadap fungsi kekhalifahan sang manusia
yang tercerabut dari akar yang seharusnya, yaitu hilangnya kesadaran pada diri sang khalifah untuk
bertindak dengan dan atas nama ALLAH yang telah mengutusnya dengan haq. Pengkhianatan ini
ternyata telah menimbulkan dampak balik yang sungguh merugikan dan merepot sang khalifah itu
sendiri.

Untuk bagian selanjutnya, akan saya uraikan secara sederhana alternatif perbaikan yang mungkin bisa
dijadikan sebagai bahan renungan bagi kita semua, yaitu keberanian dari umat Islam sendiri untuk
melakukan rekonstruksi paradigma berfikir terhadap pokok-pokok ajaran Islam yang telah diwariskan
turun temurun dari generasi ke generasi. Perlunya rekonstruksi paradigma berfikir itu adalah karena
dalam perjalanannya, PEMAHAMAN umat Islam terhadap pokok-pokok ajaran Islam itu ternyata telah
melenceng jauh dari arah yang diamanatkan oleh ajaran Islam itu sendiri. Pemahaman agama sepertinya
tertinggal jauh dengan permintaan dan kebutuhan ZAMAN. Karena memang agama sepertinya dengan
sengaja ingin dihentikan hanya sebatas pemahaman zaman ulama salaf yang sungguh sangat
sederhana kalau tidak mau dikatakan primitif.

Akibatnya maka yang muncul di tengah-tengah umat beragama adalah PARADOKS yang sangat akut.
Saat ini agama nyaris tinggal seperti sebuah buku bacaan berupa NOVEL saja. Kita hanya dibawa
menerawang pada sebuah zaman yang katanya sangat indah semasa Nabi Muhammad SAW, Sahabat,
Tabiin, Tabit Tabiin, dan ulama-lama Salaf tempo dulu. Bahwa pernah hidup dengan harmonis
sekelompok orang dimana mereka senang kepada Allah dan Allah juga senang kepada mereka. Bahwa…
beliau-beliau yang mulia itu hidup berdampingan panji-panji syariat Islam, bahwa…, bahwa…, … indah
sekali. Lalu kita dibuat sibuk dengan NOVEL itu, membicarakannya kata demi kata, bahkan menghafal
kata-katanya entah untuk apa. Akan tetapi begitu kita memalingkan muka kita dari NOVEL itu dan melihat
kepada zaman kita sekarang, maka bayangan di dalam NOVEL itu seakan-akan hilang lenyap, tak
berbekas.
Padahal AGAMA itu memang ADA BARANGNYA, real sekali. Agama itu adalah ibarat kita mendengar
berita di TV. Saat pembawa berita berbicara tentang sebuah keindahan alam, misalnya pantai Anyer,
maka beberapa detik kemudian kita diperlihatkan tentang detail dari pantai Anyer itu secara visual. Dan
secara otomatis pusat perhatian kita lalu beralih dari WAJAH si pembaca berita ataupun dari
SPESIFIKASI pesawat TV-nya kepada REALITAS berita yang dibacakan. Dan bagi yang tertarik tentu
akan datang ke pantai Anyer itu untuk membuktikan keindahan pantai Anyer itu. Apalagi bagi yang sudah
pernah ke pantai Anyer itu, dia hanya akan senyum-senyum saja…. “Terbukti kan… ?”, kata sebuah iklan.
Karena memang agama itu fungsinya adalah sebagai sebuah JENDELA untuk mengamati bahkan
menjadi sebuah PINTU untuk memasuki keindahan perilaku dan budaya manusia (bukan kera).

Sayangnya adalah bahwa arah yang melenceng itu diprakarsai oleh orang-orang yang mengerti atau
pakar (hafal) tentang agama Islam, dan pada level yang sangat mengagumkan juga telah menjalankan
agama itu dengan sungguh bersemangat, misalnya ustadz, ulama, dan para kyai. Akan tetapi dengan
pengertian yang berkembang dan dipakai saat ini, tanpa disadari, umat Islam itu telah membawa dirinya
sendiri kearah kejumudan pemikiran.

Kejumudan pemikiran ini berimbas pula ke dalam sistem pendidikan yang ada di masyarakat kita. Masih
sering saja muncul anggapan, bahwa sistem pendidikan yang berkembang saat ini bukanlah dikatakan
sistem pendidikan yang islami hanya karena di sekolah tersebut tidak diajarkan (atau sedikit sekali)
diajarkan tentang pendidikan agama atau syariat Islam. Sehingga lalu muncullah pemisahan pendidikan
menjadi sekolah agama di satu sisi dan sekolah umum di sisi lain. Universitas agama Islam dan sekolah-
sekolah agama lainnya seperti pesantren dan madrasah-madrasah sepertinya berada di jalur terpisah
dengan lebih memfokuskan perhatian kepada pendidikan agama.

Kemudian ada memang muncul sekolah yang bercirikan agama yang sangat kental, yang biasanya
disebut sebagai “sekolah plus” atau UNGGULAN, yang juga mengajarkan pendidikan “umum” seperti di
sekolah-sekolah negeri umumnya. Akan tetapi sayang bedanya masih terbatas hanya pada tempelan
simbol-simbol agama saja. Misalnya siswanya hanya sekedar lebih banyak hafal Al Qur’an dan Al Hadits,
lebih terlihat rajin shalat, yang lalu dikatakan lebih agamis dibandingkan dengan siswa disekolah umum.

Kejumudan pemikiran ini jugalah nantinya yang membuat para ahli seperti dokter, insinyur, ahli hukum,
ahli akuntansi, ahli gizi, ahli baja, ahli manajemen, dan ahli-ahli lainnya, yang dikategorikan orang saat ini
sebagai AHLI PENGETAHUAN UMUM merasa MINDER hanya karena mereka tidak banyak hafal ayat-
ayat Al Qur’an, Al Hadits dan terminologi keagamaan lainnya. Mereka tidak punya keberanian untuk
menyadari bahwa merekalah sebenarnya orang-orang yang sedang menjalankan Al Qur’an dan Al Hadits
tersebut. Walaupun mereka tidak hafal ayat Al Qur’an dan Al Hadits itu, tetapi mereka sebenarnya
adalah pengamal sejatidari ayat-ayat Al Qur’an itu. Mereka adalah realitas orang-orang yang sedang
mengamati ayat-ayat kauniah seperti yang diperintahkan oleh Al Qur’an. Sehingga mereka bisa
menemukan bahwa Al Qur’an itu “ada barangnya”, bahwa Al Qur’an itu bukanlah sekedar hanya teks
dalam bahasa Arab (kauliyah) yang dihafal-hafal, dilagukan, dibicarakan saja. Bahwa Al Qur’an itu
ternyata adalah laksana sebuah TEROPONG untuk melihat sebuah realitas (kauniah) TUHAN. Barang
siapa yang mau menggunakan teropong itu akan mendapatkan manfaat yang sungguh mencengangkan.

Oleh sebab itu perlu adanya Rekonstruksi Berfikir bagi umat Islam yang meliputi perubahan pandangan
atau paradigma terhadap Al Qur’an, As Sunnah, dan akal …, sehingga diharapkan pada akhirnya bisa
terbentuk karakater manusia baru yang dalam Al Qur’an disebut sebagai karakter orang Islam yang utuh,
yaitu karakter Orang Berakal. Membaca alternatif apa-apa yang harus dirubah ini, tentu saja akan ada
saja pihak-pihak yang kebakaran jenggot dibuatnya. Bahkan belum-belum sudah muncul pula cap pada
saya sebagai orang yang sesat, orang yang sok tahu, dan sebagainya. Ya…, tidak apa-apa. Mari kita urai
satu persatu….!!
Yang saya maksud dengan rekonstruksi berfikir itu adalah sederhana saja, yaitu dengan merubah cara
pandang terhadap Al Qur’an dan As Sunnah yang sudah terkontaminasi sedemikian rupa menjadi cara
pandang yang diingini oleh Al Qur’an dan As Sunnah itu sendiri. Jadi memandang Al Qur’an, As Sunnah,
dan akal dengan Al Qur’an dan Sunnah itu sendiri. Untuk melakukan rekonstruksi itu, maka perlu
dilakukan peruntuhan konstruksi cara berfikir lama yang ada saat ini, lalu dilakukan konstruksi ulang
sehingga menghasilkan bangunan berfikir yang baru. Akan tetapi meruntuhkan paradigma berfikir lama
itu alangkah sulitnya. Sungguh sulit, karena dalam prosesnya perlu menghapus sebagian atau bahkan
mungkin seluruh memori paradigma lama yang telah karatan tersimpan di dalam otak kita selama ini.

Mari kita coba perlahan-lahan saja…

Al Qur'an adalah Teropong Kauniah

Penghargaan dan penghormatan umat Islam terhadap Al Qur’an hampir-hampir saja membuat umat
Islam itu buta terhadap kandungan dan maksud diturunkannya Al Qur’an itu oleh Allah. Yaa…, kesan
yang ada terhadap Al Qur’an yang tersisa sekarang ini hanyalah:

1. Bahwa Al Qur’an itu adalah sebuah kitab yang begitu sucinya sehingga tidak punya otoritas
sedikit pun untuk menafsirkannya dan membahasnya sesuai dengan konteks kezamanan dan
pengetahuannya sendiri. Karena si awam dianggap tidak punya ilmu bahasa Arab, ilmu hadits,
ilmu asbabun nuzul, ilmu…, ilmu…, dan segudang prasyarat lainnya. Sehingga kemudian
muncullah fungsi mirip keavataran (guru suci) dalam agama lain, yang dalam agama Islam disebut
misalnya sebagai MUJTAHID, ULAMA, IMAM, dsb., untuk dapat memahaminya, yaitu adanya
orang-orang yang merasa bahwa hanya dialah yang punya hak untuk menyampaikan kandungan Al
Qur’an. Orang lain tidak punya hak untuk berbicara tentang pemahamannya sendiri terhadap Al
Qur’an.
2. Bahwa ayat-ayat Al Qur’an itu kalau dihafalkan, diwiridkan membacanya secara teratur, maka
Allah akan menurunkan rahmatNya kepada kita, dan malaikat pun akan turun ikut menaungi
halaqah-halaqah yang di dalamnya diperdengarkan bacaan Al Qur’an. Dari dulu itu saja yang
diwejangkan kepada umat Islam dari pengajian ke pengajian. Betul memang dengan membacanya
dengan tartil akan menimbulkan efek ketenangan ke dalam hati si pembaca atau yang
mendengarkannya. Akan tetapi efek tenang itu barulah sebagian sangat kecil dari manfaat Al Qur’an
itu. Dan efek tenang di hati ini sebenarnya hanyalah masalah psikologis biasa saja, sama seperti
mendengarkan musik yang enak di dengar. Kalau tidak percaya coba saja untuk mendengarkan
orang yang membaca Al Qur’an dengan nada yang sumbang, tajwid tidak benar, kecepatan baca
yang tidak teratur, maka saat itu juga yang muncul bukannya efek tenang, malah sebaliknya. Yang
muncul adalah rasa tidak enak, risih, bahkan mungkin marah karena dia membaca ayat Al Qur’an
dengan sembarangan.
3. Keulamaan, kehebatan kualitas keagamaan seseorang seringkali ditandai dengan seberapa
banyak beliau hafal akan Al Qur’an dan Al Hadits. Ulama-ulama besar seringkali digembar-
gemborkan sudah hafal Al Qur’an pada umur dibawah 15 tahun dan hafal juga sekian ribu hadits
pada usia yang relatif muda. Sehingga beliau-beliau itu lalu dianggap sebagai sosok yang berhak
meneruskan perjuangan Rasulullah SAW. Sedangkan khalayak ramai yang sedikit sekali yang bisa
menghafal atau bahkan untuk hanya sekedar membaca Al Qur’an saja lalu menjadi generasi
MINDER, generasi seperti gerombolan yang tidak berketuhanan, yang tidak punya semangat untuk
merubah keadaan. Karena kalau pemikiran khalayak itu berlawanan dengan pemikiran ulama sang
penerus Nabi, maka label sesat dan bahkan kafir akan menempel pada dirinya. Label yang sungguh
menakutkan banyak orang sehingga membuat orang menjadi apatis terhadap agama.
4. Dan yang terpenting adalah adanya paradigma yang keliru tentang istilah MENGAJI yang muncul
ditengah-tengah masyarakat. Selama ini kegiatan mengaji sangat identik dengan sebuah kegiatan
yang dilakukan di dalam masjid, di dalam rumah atau ruangan, yang materinya adalah membahas
kata perkata, kalimat per kalimat tentang sebuah ayat Al Qur’an ataupun Al Hadits. Pembahasannya
itu juga lebih banyak merujuk kepada bahasan yang sudah menjadi sejarah, karena isinya hanyalah
sebuah pemikiran ulama pengarang kitab yang sedang dibahas itu yang hidup beberapa tahun,
puluhan tahun, atau bahkan ratusan tahun yang lalu. Kalau pun ada buku baru, maka esensinya
tidak ada bedanya dengan buku-buku lama itu. Hal ini lalu menyebabkan mandegnya kualitas
pemikiran intelektual Islam dibandingkan dengan kecepatan kebutuhan perubahan ZAMAN.
Padahal Al Qur’an itu mengisyaratkan adanya proses untuk mengkaji Al Qur’an sampai bisa
mendapatkan sesuatu yang memang sudah seharusnya di dapat pada setiap zaman yang dilalui,
bukan hanya sekedar kira-kira.
1. Dimulai dengan KESADARAN BERKETUHANAN yang penuh (saat berdiri, duduk,
maupun saat leyeh-leyeh),
2. Melakukan proses PENGAMATAN terhadap suasana, keadaan, kondisi dan hal yang
berada pada objek ALAM SEMESTA dan DIRI MANUSIA,
3. MENYADARI bahwa objek pengamatan itu ternyata TIDAK SIA-SIA artinya ada hasil, ada
hal dan kondisi baru yang ditemukan dari proses pengamatan itu,
4. Ra’aiturabbi, “Melihat Tuhan” (kembali berada dalam kesadaran berketuhanan) pada
setiap objek dan derivatifnya yang ditemukan.
5. BERDO’A, agar temuan-temuan dalam pengamatan itu tidak menjadi SIKSA, tidak
menciptakan ANGKARA MURKA baru bagi manusia baik dalam skala kecil maupun skala
besar,
6. Dan proses itu BERGULIR TERUS pada objek-objek lain di ALAM SEMESTA dan DIRI
MANUSIA yang sungguh tak terhingga banyaknya.

Dengan hanya memperhatikan empat perilaku pemahaman umat Islam terhadap Al Qur’an ini, maka
dalam kesempatan ini saya akan mencoba memberikan alternatif perubahan dalam memahami makna Al
Qur’an, yaitu saya mengajak umat beragama Islam (bagi yang mau saja) atau pun umat beragama lain
yang belum begitu memahami untuk apa itu Al Qur’an diturunkannya buat umat Islam bahkan untuk umat
manusia secara keseluruhan, yaitu sebagai teropong kauniah.

TEROPONG ITU…
Al Qur’an dengan lebih 6000 ayat-ayatnya adalah sebuah TEROPONG (alat mematut)
yang diwariskan oleh Rasulullah Muhammad SAW bagi seluruh umat manusia untuk
memandang ALAM SEMESTA dan DIRI MANUSIA itu sendiri. Dengan teropong itu si
manusia diajak untuk untuk masuk ke dalam suasana demi suasana (keadaan demi
keadaan) yang terdapat pada alam semesta dan diri manusia itu yang merupakan
tanda-tanda akan keberadaan Allah (ayat-ayat Allah), Tuhan Semesta Alam, sampai
pada akhirnya kita bisa “MELIHAT ALLAH (ra’aitullah)” dalam setiap tanda-tanda-Nya
itu.
Dalam uraian singkat fungsi Al Qur’an diatas, ada beberapa kata kunci yang akan kita bahas lebih dalam,
yaitu: Teropong, Alam Semesta dan Diri Manusia, Suasana (keadaan, hal, kondisi), dan muaranya adalah
“melihat” Allah (ra’aitullah)… !!.
Teropong…
Kalau Al Qur’an itu disebut sebagai TEROPONG, maka fungsinya hanyalah sebagai sebuah ALAT BANTU
MEMANDANG. Al Qur’an menerangkan Al Qur’an sendiri dengan istilah bahwa dirinya adalah hidayah (petunjuk) ,
pembeda, pemberi arah, pemotivasi bagi manusia untuk melihat dan menyikapi segala sesuatu sesuatu yang bisa
dipandang dan dirasakan. Jadi dapat dikatakan bahwa Al Qur’an itu adalah sebagai ALAT BANTU saja sebenarnya.
Namanya alat bantu, ya harus dipakai. Seperti halnya teropong, maka dia akan bisa dipakai oleh siapa saja. Dan
siapa pun yang memakainya, maka dia akan mendapatkan manfaat karenanya.

Kekurangan kita umat Islam selama ini adalah, bahwa kita selama ini terlalu sibuk dengan teropongnya,
kita terlalu sibuk dengan ciri-ciri fisik dan malah sampai ke detail yang sekecil-kecilnya dari teropong itu.
Umat Islam juga sibuk terus menggosok dan melap teropong itu takut ada debu, ada karat, atau ada yang
mengutak-atik keapikannya. Bahkan tidak sedikit pula kita selalu menjajakan “klaim” bahwa ini teropong
yang terbagus yang pernah ada, semua keadaan BISA diamati dengannya, atau ini adalah teropong yang
keasliannya sangat terjamin.

Begitulah, umat Islam itu dengan Al Qur’an seperti anak kecil yang diberi mainan baru, buat sementara si
anak kecil memang akan sibuk dengan mainan itu. Akan tetapi beberapa waktu kemudian, kalau si anak
tidak diberi tahu fungsi dari mainan itu sehingga dia tidak bisa menikmatinya, maka sudah dapat
dipastikan mainan itu akan dibuangnya. Huh…!!!!. Lain halnya kalau si anak diberitahu fungsi alat
tersebut, kemudian apa yang bisa didapat, maka si anak akan asyik menikmati permainannya….
Walaupun nanti akan bosan juga jadinya, itu nggak jadi masalah, karena bosan atau tidak itu hanyalah
masalah ekstasisnya otak terhadap suatu keadaan atau suasana saja.

Dan Al Qur’an menjamin bahwa ekstasisnya otak (yang dalam istilah agama disebut dengan iman) yang
menyebabkan otak mengirim impuls getaran iman ke dada (sudur) dan ke kulit/tubuh (julud) itu selalu
bertambah setiap kita memakai ayat-ayatnya untuk membidik suatu suasana atau keadaan ke suasana
dan keadaan yang lain. Bertambahnya ekstasis otak (iman) itu begitu NYATA dan EMPIRIS. Dalam surat
Al Anfal ayat 2, misalnya, Allah menjamin :

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah
gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-
ayatNya bertambahlahiman mereka (karenanya) dan kepada Tuhanlah mereka bertawakkal
…”

Bagi orang yang berfikir, maka ayat tersebut akan dia jadikan sebagai sebuah teropong untuk
mengamati ciri-ciri orang beriman. Misalnya, kalau saya mengaku beriman lalu “getaran hati” saya sama
sajatatkala saya menyebut nama Allah dengan menyebut piring, gelas, dsb., maka saat itu juga saya
akan buru-buru mempertanyakan (melaporkan) suasana yang muncul itu:

“Duh Gusti… kenapa sensasi otak saya, dada saya, kulit saya saat menyebut nama Mu tidak
sesuai dengan yang tertera di Manual Teropong Iman (Al Qur’an)…? Rasanya kok seperti ada
sebentuk selubung hijab, cover, kafir) yang menyelimuti otak, dada, dan tubuh saya…??”.

Dan sampai kemanapun saya akan berusaha mencari “pengajaran” agar selubung itu bisa terkuak
sampai suasana yang saya jumpai PERSIS sama dengan yang tercantum di manual teropong IMAN itu.
USAHA YANG SAMA juga akan saya lakukan tatkala saya membaca ayat-ayat Quliyah Allah, tapi saya
TIDAK mendapatkan suasana KAUNIYAH nya, iman saya TIDAK berkembang sedikitpun dibuatnya,
MANDEG, sama saja seperti tahun-tahun lalu, atau puluhan tahun yang lalu… !!!.

Objek Teropongan…
Kemudian kemana arah pandangan kita harus tertuju dalam meneropong juga tidak usah kita bawa jauh-
jauh, cukup di dekat kita saja, yaitu ALAM SEMESTA dan DIRI MANUSIA itu sendiri. Ayat (manual)
yang sangat populer yang akan saya jadikan sebagai pedoman meneropong adalah:

Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang
terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat
Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan
tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau
menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.
(ali Imran 190-191),

dan juga dalam ayat:

Dan di bumi itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang yakin, dan
(juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tiada memperhatikan? (adz dzaariyaat 20-21).

Pada empat ayat ini, Allah memberikan arahan-Nya HANYA bagi orang YANG BERFIKIR, orang yang
berakal, bukan buat orang yang jahil, ORANG YANG TER-COVER, orang yang terselubung. Ayat ini
merupakan sebuah teropong yang dipersiapkan oleh Allah Sang Rabbul ‘Alamin untuk dipakai oleh sang
berakal dalam menjalani kesehariannya. Ciri-ciri Sang Berakal ini menurut manual teropong itu
haruslah utuh, yaitu:

Sekarang mari kita kupas perilaku sang berakal ini lebih dalam lagi, dan apa jadinya nanti kalau proses
berfikir ini tidak dilakukan secara utuh …!!

KESADARAN BERKETUHANAN…
KESADARAN AWAL dari sebuah pengamatan atau kegiatan apapun adalah sangat penting, karena
kepada kesadaran awal itulah nantinya hasil dari pengamatan dan kegiatan itu akan dinisbahkan atau
dikembalikan. Kalau kesadaran awal itu adalah berupa kekuasaaan, maka hasil kegiatan yang dilakukan
juga akan dimanfaatkan untuk pemenuhan permintaan kekuasaan itu. Begitu juga kalau kesadaran
awalnya adalah berupa kepentingan uang dan politik, maka segala hasil kegiatan dan pengamatan itu
juga akan dihambakan kepada uang dan politik itu.

Begitu pentingnya kesadaran awal ini, sehingga dalam ayat diatas kita diberi arahan bahwa mulailah
pengamatan itu dengan KESADARAN KETUHANAN, jangan kepada yang lain, sekali-kali jangan kepada
yang lain. Dan kesadaran ketuhanan itu juga tidak main-main, kita diberitahu untuk mempunyai
kesadaran itu setiap saat. Bukan hanya sekedar menyebut “bismillahirrahmanirrahiim, aku memulai
pekerjaan pengamatan ini bersama Allah dan atas nama Allah”, lalu setelah mengucapkan lafaz itu kita
lupa akan kesadaran ketuhanannya. Artinya pada saat itu saya telah lupa kepada Tuhan walau pun baru
beberapa saat yang lalu saya masih menyebut nama-Nya.

Kemudian muncul pertanyaan, andaikan saya tidak bisa memelihara rasa ingat (kesadaran) kepada
Tuhan ini setiap saat apa ada yang keliru..?. Jawabnya, ada dua kemungkinan penyebabnya. Pertama,
saya yang salah secara teknis dalam melakukannya sehingga saya tidak bisa mendapatkan rasa ingat
itu secara permanen. Kedua, bisa juga ayatnya sendiri yang keliru atau paling tidak ayatnya yang terlalu
mengada-ada. Lhaa… bagaimana caranya saya bisa mengamati alam semesta dan diri saya sendiri lalu
pada saat yang sama saya juga punya kesadaran (rasa ingat) kepada Tuhan.

Nah…, sekarang terserah anda masing-masing untuk menilai penyebabnya itu. Kalau anda memilih
penyebabnya ada pada diri anda sendiri, tetapi anda tidak berusaha untuk memperbaiki masalah teknis
untuk mendapatkan ingat kepada Tuhan itu secara permanen, maka anda berarti tidak mengikuti manual
teropong orang berakal. Dan kalau teropongnya tidak dipakai, maka suasana rasa ingat Tuhan pasti juga
tidak akan didapatkan, wong teropongnya tidak dipakai. Akan tetapi kalau realitas rasa ingat permanen itu
tidak berhasil anda dapatkan karena ayatnya yang berlebih-lebihan atau keliru, beranikah anda mencoret
ayat diatas…???. Ayat ini tidak cocok : CORET !! Hah….???!!!

PROSES MENGAMATI…

Proses mengamati hanyalah sebuah proses NETRAL yang sangat sederhana. Saking sederhananya,
maka siapa saja dapat melakukannya. Mengamati itu tidak tergantung sedikit pun kepada agama,
kepercayaan, mahzab, suku bangsa, tinggi rendahnya pendirikan, ataupun jenis kelamin dari sang
pengamat. Semua punya kesempatan dan alat yang sama dalam mengamati sebuah suasana. Dan
HASIL pengamatan itu juga sangat NETRAL sekali. Mau digunakan untuk yang baik dan bermanfaat bagi
umat manusia, atau untuk menghancurkan umat manusia, ya… itu terserah kepada si pemakai hasil
pengamatan itu. Sederhana sekali.

Instrumen manusia yang dipakai untuk mengamati sesuatu itu juga tidak rumit-rumit. Orang bisa
mengamati dengan mata, dengan telinga, dengan kulit. Kalau anggota tubuh itu tidak mampu mengamati,
maka manusia akan berusaha membuat alat bantu. Lalu bermunculanlah berbagai alat bantu yang bisa
dipakai untuk mengamati…, terus begitu seperti tiada henti-hentinya. Ada hasil baru, ada alat bantu baru,
ada benda baru yang berasal dari penggabungan benda-benda lama.Continuous improvement is a reality
to occur.

Ada sedikit kekurangajaran yang dibuat oleh orang-orang yang telah melakukan proses pengamatan ini
di negara “sono”. Kekurangajaran ini ditujukan tentu saja untuk orang-orang yang tidak mau mengamati,
untuk orang-orang yang hanya membebek atas penemuan-penemuan si ahli amat itu, untuk orang-orang
yang maunya hanya membaca dari buku-buku tentang penemuan-penemuan orang dan mereka lalu
terkagum-kagum dengan penemuan itu. Kurang ajarnya adalah, proses mengamati yang sederhana ini
lalu dibuat mentereng dengan istilah-istilah, misalnya, Scientific Approach, Seven Tools, Seven Habits,
PKM, GKM. Ah bisa saja kau itu…, yang kau lakukan kan hanya: “ada benda atau keadaan, lalu kau
amati, kau catat, kau coba cari alternatif benda atau suasana baru, dan kau dapatkan dan nikmati
hasilnya…”, itu saja kok repot-repot.

NALURI …

Kalau diperhati-perhatikan dengan seksama, kegiatan pengamatan itu hanya melibatkan sedikit saja
langkah yang diperlukan. Gunakanlah INDRA yang ada dan pada level tertentu boleh juga dibantu
dengan ALAT BANTU untuk mengamati. Akan tetapi sedikit langkah itu ternyata memberikan hasil yang
variatif sekali diantara bangsa-bangsa yang ada. Dan apa gerangan penyebabnya…?. Menurut
pengamatan saya variasi yang sangat kentara antara hasil pengamatan DUNIA BARAT dengan bangsa-
bangsa TIMUR (minus Jepang, Korea, China, dan beberapa bangsa lainnya tapi tidak termasuk
INDONESIA dan bangsa-bangsa ARAB) adalah dalam hal NALURI MENGAMATI. Ya…, Barat ternyata
telah melatih diri mereka sedemikian rupa sehingga mereka mempunyai naluri mengamati yang sangat
peka.

Ini ibarat pertandingan tinju. Senjata bagi petinju-petinju itu dari dulu sampai kapan pun ya itu-itu saja.
Ada pukulan jab, upper cut, swing, dsb. Ada menangkis, menghindar, maju, dan mundur. Akan tetapi bagi
seorang petinju yang mempunyai naluri bertinju yang hebat, dengan teknik bertinju yang anak kecil pun
tahu itu, bisa membuat mereka menjadi petinju yang disegani oleh musuhnya. Karena dia memang punya
NALURI untuk bertinju.
Kalau diperluas sedikit lagi, di dalam perusahaan pun ilmu yang dipakai dari dulu-dulu sampai masa yang
akan datang pun ternyata hanya itu-itu saja. Yaitu bagaimana cost yang muncul dari setiap operasi
perusahaan diusahakan untuk bisa lebih kecil dari benefit, sehingga perusahaan mendapatkan
keuntungan. Karena perusahaan itu dioperasikan oleh manusia dengan memakai mesin-mesin,
maka orang yang berakal, seperti dimuat dalam ayat di atas, haruslah mempunyai NALURI untuk bisa
mengamati manusia dan mesin-mesin itu. Karena pada manusia dan mesin-mesin itu ada hukum-hukum
yang tidak bisa dilanggar sedikit pun, baik oleh sang manusia maupun oleh mesin-mesin itu. Hukum-
hukum pasti ini dalam istilah agamanya adalah SUNATULLAH, dalam istilah sekulernya disebut dengan
hukum-hukum alam. Misalnya, kalau pabrik sudah tua, maka kalau tidak dibangun pabrik yang baru, atau
dilakukan revamping, maka dalam hirupan sejuta bungkus rokok yang akan datang perusahaan itu PASTI
akan tutup.

Kalau karyawan di sebuah perusahaan sudah tua-tua, karena tidak ada regenerasi, maka pada
perusahaan itu akan muncul gap antar generasi. Contohnya, jika perusahaan itu di manajemeni oleh
generasi berumur diatas 40-an, kalau kemudian dilakukan rekruitmen baru bagi generasi umur 20 s/d 24-
an, maka akan terjadi kesenjangan pola pikir yang akut antara pimpinan dan bawahan. Sang pimpinan
pada umur-umur 40-an lebih itu kalau tidak punya NALURI memimpin, maka umumnya mereka akan
bermain aman, alias tidak punya greget. Sementara karyawan baru yang muda-muda tersebut cenderung
akan mempunyai semangat lebih kental. Maklum masih baru. Lalu yang terjadi…??. Amatilah…!!!.

NALURI…, ahh…, istilah sederhana yang realitasnya sudah hampir punah di negara kita ini. Masihkah
kita punya waktu untuk melatih naluri ini…?, Naluri memimpin, naluri membangun, naluri bersatu, naluri
membahagiakan orang lain, naluri iman, naluri khusyu, naluri sabar, naluri ikhlas, naluri
mengamati… ???. Sebagai pengganti dari naluri yang sedang bersemayam saat ini dalam diri kita yang
cenderung kepada serba perselisihan dan naluri-naluri negatif lainnya…!!!

ALAM PENGAMATAN…

Sebagai objek dalam pengamatan ini, manual teropongnya menyebutkan bahwa yang diamati itu adalah ALAM
SEMESTA dan DIRI MANUSIA. Maka bagi orang yang berakal, pengamatannya sudah pastilah akan tertuju kepada
setiap apapun yang bisa di temukan di Alam ini. Karena alam semesta ini memang diciptakan untuk dimanfaatkan
oleh manusia dengan sebaik-baiknya. Dan kalaulah ditulis hasil-hasil pengamatan itu, maka seandainya air dari tujuh
lautan dijadikan tinta, maka sampai habis air itu dipakai, tidak akan selesai kita menulisnya. Perkembangan ilmu
fisika, kimia, ekonomi, adalah sedikit dari sekian banyak ilmu yang dihasilkan dari proses mengamati suasana di
alam semesta ini.

Diri manusia sebagai objek pengamatan, juga tak kalah menariknya. Berbagai cabang ilmu kedokteran
dan psikologi telah berkembang mengiringi pengamatan terhadap diri manusia itu. Padahal pengamatan
itu kalau diringkas hanya dilakukan pada dua substansi saja, yaitu NAFS (diri, jiwa) dan RUH. Yaaa…,
pada manusia itu ternyata hanya dua substansi itulah yang saling berinteraksi. Pengamatan
terhadap nafs telah melahirkan pengetahuan manusia yang sangat detail terhadap ketubuhan manusia,
mulai dari yang kasat mata seperti jantung, otak, sampai kepada yang berukuran mikro seperti rantai
DNA, biologi molekuler, dsb.

Pengetahuan tentang nafs dengan segala sifat-sifat bawaannya ini juga telah melahirkan ilmu psikologi
baru, yaitu psikologi TRANSPERSONAL. Di dalam kajian psikologi modern, psikologi transpersonal
merupakan kekuatan ke empat dalam aliran psikologi setelah PSIKOANALISA, BEHAVIORISME dan
psikologi HUMANISTIK. Psikologi transpersonal merupakan bentuk perkembangan ilmu psikologi yang
tidak tersentuh oleh analisa para ahli jiwa terdahulu, padahal kajian ini secara langsung banyak
membicarakan wilayah pusat (eksistensi dan aktivitas jiwa), bukan hanya gejala empirisnya saja.
Karl Jung dengan psikologi transpersonalnya telah banyak menyadarkan para rohaniawan untuk
melepaskan teori meditasi konvensional yang selama ini mereka pakai. Dalam konsep Jung ini dikatakan
bahwa: “Sang Aku (diri) mencari dan mengarah (tertuju) kepada sang Aku yang kekal”. Konsep Jung ini
yang paling bisa diterima, karena jiwa memang tidak boleh dibatasi oleh benda-benda. Ruh harus lepas
atau moksa menuju wujud mutlak yang tidak terbatas.

Dasar spiritual agama-agama sebelum Islam yang dibawa para Nabi disebut agama hanif, yaitu agama
lurus yang mendasari arah spiritualnya kepada Zat yang mutlak, tidak boleh menghambat ruhani atau
mengikat jiwa seseorang kepada bentuk materi sebagai alat konsentrasi. Jiwa yang terikat akan berada
di wilayah yang paling rendah. Kondisi ini tidak sesuai dengan fitrahnya yang memiliki kecenderungan
untuk kembali kepada Yang Maha Tak Terbatas, Tak Terjangkau, Tak Terdifinisikan. Dengan mengarahkan
jiwa kepada Zat Yang Maha Tak Terbatas, maka jiwa Anda akan merasakan seperti kembali dan tidak
terkungkung oleh benda-benda yang mengikatnya.

Ah…, demikian banyak dan berkembangnya apa-apa yang bisa kita amati. Dan proses mengamati alam
semesta dan diri manusia inilah senjata maha hebat yang sebenarnya telah diwariskan untuk para ulul
albab, orang yang berfikir, yang koncinya pada awalnya diserahkan kepada umat Islam. Akan tetapi
ternyata konci penyimpanan senjata pamungkas itu telah hilang dari tangan umat Islam. Konci itu telah
jatuh ke tangan umat non Islam. Sedangkan umat Islam dari dulu sampai sekarang masih saja sibuk
dengan masalah-masalah saling KLAIM tentang legalitas agama seperti mahzab, fikih, syariat, hadits.
Akan tetapi mereka seperti DIBUAT LUPA akan maksud dari syariat, agama, fikih, dan hadits itu. Antara
satu golongan dengan golongan yang lain saling sibuk sendiri dengan klaim-klaim kebenaran mereka.
Mereka seperti dibutakan dengan peringatan ayat:

“Manusia itu harus kembali kepada Allah dan bertakwalah kepada Allah, tegakkan shalat dan
janganlah kamu menjadi orang-orang yang (musyrikin) mempersekutukan Allah”(Ar rum 31)

“yaitu dari golongan-golongan, orang-orang yang memecah belah agamamereka, dan


mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan dan
membenarkan apa yang ada pada golongan mereka” . (Ar rum 32)

Sehingga umat Islam sekarang ini seperti umat yang terkena kutukan Tuhan karena secara tidak disadari
(karena memang hati mereka seperti sedang tertutup untuk “melihat” kebenaran) mereka telah menjadi
orang MUYSRIK disamping juga telah menyia-nyiakan konci senjata rahasia yang dahsyat sekali.
Suasana umat Islam sekarang ini tak ubahnya seperti “kerakap tumbuh di batu, hidup segan mati tak
mau”. Sunatullah saja yang terjadi sebenarnya……..!!!!.

Pesan dari ayat diatas sebenarnya sangatlah menakutkan. Musyrik itu ternyata tidak hanya menduakan
atau menyekutukan Tuhan dengan sesuatu apapun, akan tetapi juga setaraf dengan orang yang suka
memecah belah agamanya menjadi golongan-golongan, sekte-sekte, mahdzab-mahdzab, aliran-aliran,
dan masing-masing golongan itu mengklaim bahwa hanya mereka sajalah yang benar, yang lain adalah
salah, atau paling tidak keliru (eh sama saja ya…).

HASIL PENGAMATAN…

Dari proses diatas, yang bisa dilakukan oleh manusia hanyalah sekedar mengamati, mencatat, mem-file,
atau bisa juga sampai dengan mengkombinasikan, menambah, mengurangi komposisi materi yang
diobservasi. Lalu mengamati lagi, mencatat, mem-file, dan kemudian menggunakan hasil pengamatan itu
untuk apa saja. Baik itu digunakan untuk yang bermanfaat bagi umat manusia, maupun untuk yang
merugikan umat manusia itu sendiri. Terserah manusia saja. Begitulah seterusnya sampai akhir zaman
nantinya. Dari proses tanpa henti inilah lahir berbagai cabang ILMU PENGETAHUAN yang merupakan
senjata rahasia paling ampuh yang disiapkan oleh ALLAH bagi manusia untuk MEMENUHI KEHENDAK
DARI ZAMAN yang dilaluinya.

Dan ilmu pengetahuan yang lahir itu sangatlah NETRAL sifatnya. Dia tidak tergantung oleh agama,
kepercayaan, suku, ataupun bangsa dari orang-orang yang menjalankan ilmu pengetahuan itu. Salah
satu sifatnya hanyalah bahwa dia akan meluluhlantakkan orang-orang yang tidak tunduk kepada
kehendak ilmu pengetahuan itu sendiri. Nah…, proses tunduk kepada kehendak zaman dan kehendak
ilmu pengetahuan inilah yang disebut sebagai FITRAH, atau dalam istilah lainnya adalah SUNATULLAH
(hukum-hukum Allah), atau dalam istilah netralnya adalah hukum-hukum alam.

Contohnya adalah saat agama Kristen dengan doktrin gerejanya diawal-awal perkembangan ilmu
pengetahuan mencoba menghalangi fitrah ilmu pengetahuan itu, maka saat itu pulalah muncul
penentangan terhadap doktrin gereja yang kemudian melahirkan gerakan sekularisme. Jadi sekularisme
itu hanyalah sebuah gerak FITRAH ZAMAN dalam menghancurkan penghambat yang menghalangi laju
perjalanannya. Sekularisme ini akan menyelinap kapan saja dan ke dalam agama apa saja tatkala agama
tersebut tidak takluk terhadap fitrah zaman yang dilaluinya. Dia bisa muncul dalam agama Islam, Hindu,
Budha, dsb. Tak tertahankan gerak fitrah itu.

Sekularisme ini akan menjalar ke dalam suatu agama tatkala agama itu sudah tinggal hanya sekedar
pemahaman TEKSTUAL saja bagi umat pemeluknya. Karena fitrah itu sendiri adalah sebuah
KONTEKSTUAL yang sangat selaras dengan kebutuhan zaman tempat dia berada. Dalam agama Islam,
sekularisme ini muncul bak cendawan tumbuh di musim hujan. Sekedar contoh di Indonesia ini, Ulil Absar
Abdallah dengan Islam Liberalnya, dan banyak nama lainnya yang mengusung wacana tentang Islam
kontekstual, seperti Cak Nurcholis Majid, Alwi Shihab, bahkan Gus Dur…..

(Dalam lanjutan serial artikel ini akan saya bahas tentang betapa fitrahnya Rasulullah dalam menyikapi zamannya.
Beliau tunduk dan takluk terhadap kehendak zamannya. Beliau takluk terhadap FITRAH di zamannya. Ketaklukan
Beliau terhadap fitrah inilah sebenarnya makna dari sunnah yang hakiki, bukan pada kalimat-kalimat haditsnya).

Yang menarik untuk dibahas adalah, bahwa dalam menyikapi hasil pengamatan terhadap alam dan diri
manusia itu, ternyata manusia terpecah menjadi beberapa kelompok besar. Pengelompokan ini begitu
nyata….

Kelompok pertama adalah orang yang berhenti di BENDANYA, lalu mereka sadar bahwa: “Oooo…,
ternyata BENDA ini ada manfaatnya yaa…!!!”. Hanya sampai disitu. Walaupun dia berhasil mendapatkan
rahasia demi rahasia baru dari setiap benda yang dia amati, dia hanya akan terhenti di benda tersebut.
Saat dia mencoba mencari arah pengembalian dari hasil pengamatannya itu, dia tidak menemukannya.
Dalam istilah agamanya dia disebut “sedang tersesat” dari arah pengembalian yang seharusnya. Karena
memang arah pengembalian itu sangat tergantung dari KESADARAN AWAL saat dia mulai melakukan
proses ilmu pengetahuan itu.

Kelompok keduaadalah orang yang disamping berhasil menemukan manfaat dari benda yang diamati
itu, dia juga berhasil menyadari akan keberadaan SESUATU yang merupakan tempat bersandar dari
benda itu, sehingga lalu dia mengembalikan (menyampaikan rasa syukurnya) kepada “sesuatu” itu.
Dalam istilah agamanya disebut bahwa dalam melihat benda-benda, maka dia berhasil “melihat” sesuatu
yang hakiki dari benda itu. Dan untuk selanjutnya dia akan mengarahkan kesadarannya kepada yang
hakiki itu, atau disebutkan juga bahwa yang hakiki itulah yang sekarang menjadi OBJEK FIKIRNYA.

Misalnya, tatkala dia memulai pengamatan itu dengan mengingat Tuhan (dzikr), akan tetapi saat
menyebut nama Tuhan itu objek fikirnya kepada Kristus (baik berupa gambar ataupun patung, atau
objek apa saja yang sesuai dengan karakter Kristus), maka saat itu juga tempat pengembalian rasa
syukur atas hasil pengamatannya itu bisa dipastikan adalah kepada Kristus. Dia akan
mengucapkan: “Puji Tuhan…, ternyata BENDA ini ada manfaatnya…!!!. Akan tetapi objek syukurnya saat
itu masih terhenti di karakter ke-Kristus-an. Sehingga Tuhan yang dia maksud itu adalah Sang Kristus.
Lalu dia akan memanfaatkan atau mengeksploitasi hasil pengamatan itu sebesar-besarnya untuk dan
atas nama Kristus. Biasanya ilmu pengetahuan itu juga lalu disandarkan pula untuk membenarkan akan
kebenaran agama Kristen……!!. Duarr…, lahirlah sebuah ilmu, akan tetapi ilmu itu lalu dibingkai dengan
kotak ke-Kristen-an. Begitu pun hal yang sama juga bisa terjadi untuk agama-agama lainnya, sebut saja
Hindu, Budha, Yahudi, dsb.

Karena saya adalah salah satu dari penganut agama Islam, dan sedang merasa tenggelam dalam
kejumudan pemikiran Islam, maka yang agak menarik adalah untuk membahas tentang apa yang terjadi
dalam mayoritas umat beragama Islam selama ini. Jadi saya juga tengah melakukan self-
evaluation terhadap diri saya sendiri. Umat Islam sejak ratusan tahun sepeninggalanahli-ahli tentang
pengamatan ALAM seperti Al Kindi, Rusydi, dan peletak dasar-dasar pengentahuan modern lainnya,
serta ahli-ahli tentang ketuhanan seperti Al Halaj, AL Junaid, Beyazid Al Bustami, An Nafiri, Zun Nun,
Abdul Qadir Jaelani, Al Ghazali, dsb., sudah tidak melakukan apa-apa lagi. Ya…, umat Islam sudah tidak
mendapatkan lagi pencerahan untuk memahami dan melaksanakan MAKSUD HAKIKI dari surat Ali Imran
ayat 190-191 diatas. Umat Islam ternyata telah tersungkur pada kenyataan bahwa kita masuk kepada
kelompok yang tidak melakukan apa-apa lagi ratusan tahun lamanya. Inilah kelompok ketiga….

Kelompok ketiga adalah orang yang tidak melakukan pengamatan apa-apapun di dalam hidupnya.
Yaitu…, dia bukan saja menjadi orang yang tidak berhasil MELIHAT MANFAAT dari BENDA yang
terbentang luas di alam semesta ini, bahkan di dalam dirinya sendiri, akan tetapi dia juga tidak berhasil
memahami ALAMAT untuk memberikan rasa SYUKUR atas manfaat dari benda-benda itu. Umat Islam
TIDAKberhasil pada kesimpulan: “Oooo… benda ini ada manfaatnya ya…!!!”. Dan pada saat yang sama
umat Islam juga TIDAKberhasil mendapatkan ALAMAT YANG JELAS untuk tempat memuja: “TUHAN…,
SubhanaKA…, Maha Suci ENGKAU…!!!!”. Apalagi untuk sampai ke “ALAM DOA”: “…maka peliharalah
kami dari siksa neraka…”,jauh sekali panggang dari api. Sebuah tragik hidup dan kenyataan yang sangat
pahit memang. Kenapa bisa begitu…??. Ini menarik untuk dibahas…!!!

Pada langkah awalnya saja, umat Islam sudah banyak yang ngahuleung, clingak-clinguk nggak karuan.
Yang diperintahkan adalah untuk “mengingat dan menyadari Allah (dzikrullah, ra’aitullah) saat berdiri,
duduk, maupun berbaring, continuously, at the present continuous tense, dengan OBJEK FIKIR sampai
menembus ke alamat yang dituju, SESUATU yang Laisa Kamistlihi Syai’un (yang tidak sama dengan
apapun), yaitu Allah. Tapi yang dilakukan oleh umat Islam adalah kita saling sibuk dengan objek fikir lain
selain Sang Laisa Kamistlihi Syai’un. Ada yang asyik dengan memelihara perselisihan antar
mahzab, seperti mahzab (aliran) Syiah dan Sunni. Kalimat atau kata sederhana saja bisa jadi perdebatan
yang sangat akut diantara keduanya, misalnya kata ra'yu (pendapat pribadi), logika, akal fikiran, mantiq,
dsbnya. Ada yang sibuk atau dibuat sibuk membela segala kemulyaan, keutamaan, dan atribut AHLUL
BAIT ‘alaihissalaamseperti yang dilakukan oleh kaum Syi’ah. Ada yang sibuk dan dibuat sibuk untuk
membahas Al Qur’an dan Al Hadits dari hari ke hari, bahkan untuk jangka puluhan tahun. Ada yang sibuk
dan dibuat sibuk dengan berkomat-kamit, berwirid, berdzikir, menangis, berdo’a, dsb. Semua sibuk
sendiri-sendiri, atau bisa juga secara bergerombol dengan objek fikirnya (atau syariatnya) masing-
masing. Sehingga umat Islam hampir-hampir saja LUPA TOTAL untuk melangkah ke langkah berikutnya,
yaitu untuk mengamati ALAM SEMESTA dan DIRI KITA sendiri untuk menemukan bekal bagi kita dalam
menaklukkan zaman dimana kita hidup.Wong kita sibuk sendiri…!!.

Kita juga seperti lupa akan maqasidus syariah…, maksud dari syariah, yaitu untuk sampai kepada
tahapan REALITAS EMPIRIS untuk mengingat, menyadari, dan melihat Allah (ra’itullah) dalam setiap
langkah dan tindakan kita, baik saat dia berdiri, saat duduk, maupun saat leyeh-leyeh tiduran. Padahal
hampir semuanya, dari mahzab dan aliran apapun, kita sangat-sangat FASIH dalam mengucapkan
kalimat-kalimat penyerahan, pengembalian, dan penghormatanseperti:

“Subhanallah,

Alhamdulillah,

Laa ilaha illallah, Allahu Akbar,

Laa haulaa wala quwaata illa billahil adhiem, inna lillahi wainnaa ilahi raaju’uun”,

Seperti fasihnya kita mengucapkan kalimat-kalimat kefakiran, misalnya: “semuanya milik Allah, harta
saya milik Allah, anak saya milik Allah, pekerjaan saya milik Allah, jabatan saya milik Allah, Ruh saya
milik Allah…”.

Namun sayangnya, karena kita sibuk dengan objek fikir selain Sang Laisa Kamistlihi Syai’un, sehingga
kita melenceng dari ALAMAT yang SEHARUSNYA (HAKIKI), yaitu Allah, maka prosesi penyerahan,
pengembalian, dan penghormatan di atas tidak mampu menimbulkan EKSTASISNYA JIWA kita, sehingga
hasilnya nyaris tanpa menimbulkan kesan yang mendalam dan inherent dalam langkah keseharian kita.
Begitu juga dalam prosesi pengakuan kefakiran, tatkala Sang Pemilik mengambil kembali milik-Nya,
maka tetap saja sulit kita terima dengan RASA IKHLAS. Bagaimana mau ekstasis dan
ikhlas, wong alamatnya atau objek fikirnya masih kepada segala sesuatu atau memori yang ada di otak
masing-masing.

Ada memang gejala ekstasis yang dialami oleh sebagian kita dalam prosesi praktek agama atau
syariatnya gejalanya mirip sekali dengan ekstasisnya jiwa akibat memandang Sang Laisa Kamistlihi
Syai’un. Akan tetapi gejala ekstasisnya jiwa itu lebih disebabkan oleh proses STIMULASI OTAK dengan
memunculkan RASA yang sangat INTENS. Misalnya dengan memelihara dan meningkatkan rasa sedih
yang dalam atas penderitaan dan nestapa maupun penghormatan yang sangat dalam terhadap Ahlul Bait
‘alaihissalaam yang dilakukan oleh penganut mahzab Syi’ah. Atau seperti pada penganut mahzab lainnya
dengan cara memelihara RASA penyesalan yang kental atas dosa-dosa yang telah kita lakukan, rasa
harap yang amat sangat atas NIKMAT Tuhan, dan rasa takut yang sangat kuat atas ayat-ayat yang
menerangkan tentang SIKSA NERAKA, sehingga mereka menangis terisak-isak. Padahal semuanya itu
hanyalah bentuk-bentuk berbeda dari berbagai teknik stimulasi otak yang ada. Sederhana saja
sebenarnya stimulasi otak itu.

Disamping itu, “timing” bagi suasana dzikir (kesadaran ingat) kepada Tuhan itu juga menjadi begitu
dangkal, yaitu cukup kita hanya sekedar mengucap di awal pekerjaan, akan tetapi segera setelah itu kita
tidak ingat (lupa) lagi kepada-Nya. Padahal kita diperintahkan untuk ingat kepada-Nya secara terus
menerus. Apalagi untuk sampai kepada Ra’aiturabbi, Melihat Tuhan, bahkan sampai Bertemu
Tuhan pada setiap OBJEK dan DERIVATIVENYA yang ditemukan di alam semesta ini sudah melenceng
jauh dari waktu sekarang dan berketerusan waktu ke waktu menjadi hanya untuk waktu yang akan
datang, yaitu nanti di akhirat saja.

Lengkap sudah kita umat Islam ini…; sudahlah kita TIDAK mampu memelihara rasa ingat secara terus
menerus kepada Tuhan; ditambah lagi kita tidak sampainya kepada alamat atau objek fikir yang HAKIKI,
karena kita sibuk dengan objek fikir yang bukan Laisa Kamistlihi Syai’un; ditambah lagi kita
tidakmelakukan pengamatan apa-apa terhadap Alam Semesta dan diri kita sendiri yang merupakan
tanda-tanda (ayat-ayat) tentang eksistensi Tuhan; ditambah lagi kita tidak menemukan manfaat apa-apa
dari objek pengamatan itu; ditambah lagi kita tidak menemukan “alamat” yang jelasnya untuk tempat kita
melantunkan penyerahan, pengembalian, dan penghormatan;maka beginilah umat Islam jadinya. Umat
yang menjadi objek cemoohan orang, menjadi umat yang minder, menjadi umat yang dilecehkan orang,
menjadi umat yang sepertinya tidak mampu untuk bersyukur atas nikmat-nikmat Tuhan yang dilimpahkan
kepada kita. Yaa…, kita nampaknya sudah terlalu lama menjadi umat dengan SERIBU TIDAK…!!.

Padahal kita tahu persis bahwa kalau kita TIDAK bersyukur, maka “Inna ‘adzaabii lasyadiid…, azab yang
pedih itu…!!!”. Tahu persis kita tentang itu…!. Bukankah ayat ini mengisyaratkan, tatkala kita tidak
bersyukur dengan pengetahuan dan ilmu kita, di sana ada azab yang sangat pedih. Tatkala kita tidak bisa
bersyukur dengan otak, mata, telinga, tangan, kaki, dan anggota tubuh kita yang lain, di sana juga ada
azab yang sangat pedih. Ya begitulah…, azab itu begitu dekatnya dengan umat Islam yang ternyata lebih
banyak berkhianatnya dari pada patuh (Islam) nya.

Ternyata Tuhan mewariskan Alam Semesta ini BUKANLAH untuk sembarangan orang. Bukan untuk
orang yang tidak tahu posisi dalam “memandang SESUATU YANG HAKIKI” saat awal kegiatan mereka,
bukan untuk orang yang tidak mau mengamati segala ciptaan-Nya, bukan untuk orang yang tidak mampu
menemukan manfaat dari proses pengamatannya itu. Sehingga tidak ada apa-apanya yang membuat dia
takjub dan ektasis. Bukan…, bukan untuk orang-orang dan generasi seperti itu. Akan tetapi Alam
Semesta ini DIA wariskan KHUSUS untuk para ULUL ALBAB yang ciri-ciri dan gambaran karakternya
terpotret dengan TEROPONG Qalam Tuhan dalam surat Ali Imran ayat 190-191 seperti di atas. Karakter
itu harus utuh. Karena kalau ada karakter dan langkah yang kurang, maka itu namanya bukanlah Sang
Ulul Albab.

Kalaulah Rahasia Alam Semesta ini jatuh ke tangan yang bukan Ulul Albab, maka bencanalah yang akan
muncul bagi umat manusia. Untuk Non - Ulul Albab dengan kriteria seperti dalam kelompok pertama dan
kedua di atas, maka tingkah polah Amerika dan konco-konconya adalah contoh real akibat buruknya bagi
umat manusia. Sungguh sangat-sangat berbahaya bagi peradaban manusia. Mereka dengan seenaknya
saja menggunakan rahasia alam semesta itu untuk membunuh dan mengumbar angkara murka bagi
sesama manusia di berbagai belahan dunia, walau dengan alasan yang sangat sepele dan seperti
dibuat-buat sekali pun. Walaupun begitu, mereka tetap saja telah memberikan manfaat bagi
berkembangnya peradaban manusia…!!!!

Sedangkan untuk Non Ulul Albab dengan kriteria seperti dalam kelompok ke tiga di atas, maka tingkah
polah kita umat Islam sejak berbilang zaman yang lalu sampai sekarang, mahzab apapun dia, adalah
contoh nyata yang sungguh sulit untuk dipungkiri. Begitu jumud, picik pikiran, terkotak-kotak, minder, dan
pintarnya hanya ngomong doang…!!!. Ah malaslah ngomonginnya

ULUL ALBAB, KARAKTER SI AHLI EKSTASIS…

Tentang karakter Ulul Albab ini, kita batasi saja pembahasannya tentang suasana ektasisnya jiwa bagi
para sang Ulul Albab tersebut. Karena untuk masalah pengamatannya sendiri terhadap alam semesta
dan diri manusia, kita tinggal mengikuti saja cara-cara yang sudah berkembang saat ini diberbagai
belahan dunia.

Sebelumnya kita telah membahas tentang ekstasisnya jiwa akibat dari permainan stimulasi otak, dimana
permainan otak ini sudah sangat berkembang sampai ke taraf yang menakjubkan. Akan tetapi kalau
hanya sekedar sampai ke suasana penuh stimulus ini, ternyata itu bukanlah suasana HAKIKI yang
diharapkan oleh jiwa manusia. Karena yang muncul ternyata hanyalah ekstasis yang artificial yang tidak
akan bertahan lama. Nah…, sekarang akan kita bahas suasana ekstasisnya jiwa jika dan hanya jika kita
mampu mengantarkan kesadaran kita untuk melakukan penyerahan, pengembalian, penghormatan,
dan pengakuan kefakiran kita langsung tertuju kepada Wujud Sang Laisa Kamistlihi Syai’un,
LURUS…, HANIEF…, TIDAK BERCABANG…!!!. Maka saat itu juga “DIA akan mengajarkan kita apa-apa
yang tidak pernah kita ketahui sebelumnya (al alaq ayat 5)”.
Yaa…, saat itu juga kita diajarkan dan dibawa selangkah demi selangkah oleh Sang Laisa Kamistlihi
Syai’ununtuk memandang, mengerti, dan memahami DIRI-NYA SENDIRI. Dan langkah demi langkah itu
akan memunculkan RASA EKSTASIS demi EKSTASIS dengan intensitas yang terus meningkat,
menggumpal memenuhi ruangan DADA kita.

Huuu…, Huuu…, Huuu…, Hua…!!!,

Dia…, Dia…!!.

Dan saat jiwa mengalami ekstasis sempurna itulah waktu yang paling tepat bagi kita
untuk MEMULAI segala aktifitas yang menjadi tanggung jawab kita. Karena saat itu kita bekerja atas
nama dan bersama TUHAN. Lalu kita tinggal menyiapkan otak kita untuk DIALIRI pengetahuan-Nya,
kita tinggal menyiapkan mata kita untuk dialiri penglihatan-Nya, kita tinggal menyiapkan telinga kita untuk
dialiri pendengaran-Nya, kita tinggal menyiapkan tangan dan kaki kita untuk dipakai oleh-Nya dalam
mengelola, mencipta, merombak, bahkan untuk menghancurkan dan kemudian menciptakan lagi
suasana yang baru sebagai fungsi kekhalifahan kita didunia ini. Sebuah suasana yang sangat
BENING….!!!.

Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak
mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi
kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur. (An Nahal 78)

"…Maka Aku merupakan pendengaran yang ia gunakan, Aku merupakan penglihatan yang ia
gunakan, Aku merupakan tangan yang ia gunakan untuk menyerang, dan Aku merupakan kaki
yang ia gunakan untuk berjalan…” (Hadits Qudsy, HR Bukhari)

"…Maka (yang sebenarnya) bukan kamu yang membunuh mereka, akan tetapi Allahlah yang membunuh mereka,
dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar..." (Al Anfaal 17).

Kalaulah tercapai posisi seperti ini, maka:

 saat mengamati fenomena dan rahasia alam, apapun, kita akan mengamatinya dengan rasa
ekstasis, sehingga gelombang pencerahan dan ilham akan datang kepada kita dengan
menakjubkan,
 saat merencana, kita merencana dengan rasa ekstasis, sehingga ada saja jalan keluar dari
masalah yang kita hadapi muncul dengan mencengangkan,
 saat bekerja, kita akan bekerja dengan jiwa ekstasis, sehingga kita bekerja seperti dengan energi
yang tidak habis-habisnya
 saat memimpin, kita memimpin dengan rasa ekstasis, dan akan diterima pula oleh yang orang-
orang yang kita pimpin dengan rasa ekstasis pula, sehingga antara pemimpin dan yang dipimpin
terjalin sebuah jalinan rohani yang kuat,
 Dan yang terpenting dari semua itu adalah, bahwa saat kita berhasil mengurai rahasia benda-
benda di alam semesta ini menjadi sebuah realitas, maka penemuan itu akan kita gunakan untuk
kemakmuran dan kemaslahatan orang banyak…, dan saat ini akan muncul rasa bahagia, rasa
damai, rasa ekstasis,
 Yaa…, ekstasis demi ekstasis, serba ekstasis, tapi sekaligus ada hasilnya dalam bentuk ilmu
pengetahuan yang sangat penting sebagai senjata pamungkas yang dibutuhkan dalam membangun
peradaban umat manusia dari zaman ke zaman. Inilah rahasia terpenting dari sang ULUL ALBAB…
Dengan cara yang sama seperti diatas, maka kita bisa mengupas dan mengkaji ayat-ayat Al Qur’an yang
lainnya dengan tak kalah gregetnya. Karena ayat Al Qur’an yang sekitar 6666 ayat itu HANYALAH
sebuah POTRET UTUH dalam bentuk bahasa tulisan (QAULIYAH) dari ALAM SEMESTA dan DIRI
MANUSIA (KAUNIAH) yang berada dalam LIPUTAN TUHAN…!!!.

Sungguh…, jumlah 6666 ayat Al Qur’an itu tidak akan punya arti yang signifikan jika kita tidak berhasil
menemukan pasangan atau realitasnya di alam semesta ini dan pada diri kita sendiri. Dan pada ujung-
ujungnya kita PASTI akan menemukan WUJUD yang Maha Meliputi semuanya itu. Tatkala kita
menemukan pada diri kita ada hal atau suasana yang menurut POTRETNYA TIDAK sesuai dengan
karakter Ulul Albab, artinya kita hanya menemukan karakter negatif, karakter orang tertutup (tercover,
kafir), maka kita tinggal minta pertolongan kepada Sang Maha Meliputi agar Dia membalik jiwa kita
(linashrifa) kearah yang sebaliknya, agar dia membimbing kita (nastain, isti’anah) dengan tangan-Nya.
Begitu juga saat kita menemukan adanya karakter kita yang SESUAI dengan POTRET Ulul Albab pada
diri kita, maka kita tinggal bersyukur dan berterima kasih kepada-Nya…, dan pasti DIA akan
menambah, menambah, dan menambah nikmatnya buat kita……….!!!.

Sungguh…, ALLAH ITU ZAT-NYA, DIRI-NYA, WUJUD-NYA, AKU-NYA Maha Meliputi segala sesuatu…,
dari dulu, sekarang, dan yang akan datang…, ABADI liputan-Nya itu.

Huu…, Huuu…, Huuu…, Huu…, Huu…, Huu…, Huu…,

Ilahiii…, Ilahiii…, Ilahiii…, Ilahiii…, Ilahiii…, Ilahiii…, Ilahiii…,

Subhanaka, Subhanaka, Subhanaka, Subhanaka, Subhanaka, Subhanaka, Subhanaka…!!

Laa ilaha illa anta, Laa ilaha illa anta, Laa ilaha illa anta, Laa ilaha illa anta, Laa ilaha illa anta,
Laa ilaha illa anta, Laa ilaha illa anta, Laa ilaha illa anta …!!!

Subhanallah

Alhamdulillah,

Laa ilaha illallah,

Allahu Akbar,

Laa haulaa wala quwaata illa billahil adhiem,

Inna lillahi wainnaa ilahi raaju’uun

Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa’ala ali Muhammad…

Selesai serial artikel tentang Renkostruksi Berfikir.

DEKA

Cilegon, 17 Agustus 2004, jam 21:15…


PENGKHIANAT TUHAN


Written by Administrator

PENDAHULUAN
Sebagai orang yang punya sikap belajar dan berketuhanan, maka dari para patrapist diharapkan muncul
wacana pemikiran yang menyegarkan. Wacana patrapist ini tidak harus sepi, karena sebuah wacana
pada hakekatnya adalah sesuatu yang baru, sesuatu pemikiran yang tidak hanya jadi pengekor pemikiran
masa lalu, akan tetapi juga menggambarkan kebaruan bahkan kemasadatangan ide. Karena pemikiran
masa lalu bukanlah dikatakan sebuah wacana, akan tetapi lebih kepada paparan sejarah saja. Jadi
wacana ini seharusnya diisi dengan pemikiran apa saja yang bisa melepaskan kita dari belenggu
pemikiran masa lalu yang sempit (kejumudan pemikiran) menuju pemikiran yang universal. Kita hidup
saat ini, dengan kondisi saat ini yang sungguh sangat kompleks.

Tugas kita apa...?.

Tugas kita adalah bagaimana agar kita bisa TAKLUK (patuh, tunduk, ISLAM) terhadap SUNNAH
(kehendak hukum-hukum Tuhan, sunatullah) pada zaman kita sekarang ini, sebagaimana takluk dan
patuhnya Rasulullah terhadap kehendak alamiah (sunatullah) di zaman Beliau. Artikel ini akan memuat
secara berseri pengertian-pengertian tentang ISLAM, SUNNAH, AL QURAN, sehingga mudah-mudahan
akan mampu memberikan gambaran UTUH tentang ajaran yang dengan susah payah ditegakkan oleh
Rasulullah, akan tetapi kita ternyata tidak mampu untuk memeliharanya.

Pertama saya ingin menyampaikan sebuah renungan panjang saya tentang Islam dari masa ke masa.
Bahwa yang ada di dunia Islam masa-masa lalu, bahkan juga untuk saat ini, boleh dikatakan belum ada
yang mampu untuk memberikan sebuah gambaran UTUH tentang ISLAM. Karakter macam apa
sebenarnya yang bisa mewakili kata ISLAM itu. Aliran-aliran besar yang ada, sebut saja: Syiah;
Ahlusssunnah; Sufiah; atau gerakan-gerakan pemikiran yang berkembang saat ini seperti: NU,
Muhammadiah, Hizbut Tahrir; Salafi; Tarbiyah; Jamaah Tablikh; LDII; dan puluhan gerakan-gerakan
pemikiran lainnya, masih sangat jauh untuk dikatakan sebagai yang bisa mewakili KARAKTER ISLAMI
yang diinginkan oleh Al Qur'an. Yang muncul dan yang ada saat ini adalah gerakan-gerakan yang
keberadaannya diawali dengan pencomotan ayat Al Qur'an ataupun Al Hadits di sana sini, lalu comotan-
comotan itu dijadikan sebagai landasan untuk membentuk sebuah jamaah. Jadi yang ada hanya sekedar
aliran atau praktek-praktek keagamaan yang DIWARNAI oleh potongan-potongan ayat Al Qur’an dan Al
Hadits.

Jadi Syiah bukanlah manifestasi dari ISLAM KAFFAH, begitu juga Sunni, dan Sufiah, apalagi kalau hanya
sekedar Hizbut Tahrir, Salafi, Tarbiyah, Jamaah Tablikh, LDII, NU, dan Muhammadiah. Atau paling tidak
semua ajaran, aliran, atau sekte itu SECARA SENDIRI-SENDIRI belumlah pantas untuk dikatakan
sebagai manifestasi dari ISLAM secara KAFFAH. Karena Islam itu begitu indah dan sederhana, dan
mendunia, dan merahmati seluruh alam semesta. Akan tetapi semenjak Rasulullah Muhammad SAW
wafat sampai sekarang, belum ada lagi generasi penerus Beliau yang mampu mewujudkan dan
membuktikan kesempurnaan Islam itu secara mendunia.

Di lain sisi, semuanya tahu akan keberadaan ayat yang menerangkan bahwa masuk ke dalam ISLAM itu
harus secara KAFFAH (keseluruhan, totalitas). Akan tetapi sayangnya sampai saat ini diantara aliran-
aliran yang ada itu belum ada yang mampu untuk memberikan gambaran karakter ISLAM KAFFAH itu
secara utuh pula. Akan tetapi saat ditanya tentang bagaimana kaffah itu, maka jawabannya hanya nyaris
berupa gumaman, atau suara galau dengan bunyi tak sedap seperti kita sedang berada dalam sebuah
pasar tradisional. Suara tak sedap itu sebenarnya cukup mengganggu orang-orang yang berada di dalam
pasar itu sendiri, apalagi bagi orang luar yang tersasar berada dalam lingkungan pasar itu. Kios-kios yang
ada saling berlomba untuk menyetel lagu sekeras mungkin dan dengan berbagai irama pula, yang
katanya untuk menarik pengunjung. Sungguh ramai, meriah sekali, namun sayangnya orang yang
seharian berada di dalam pasar itu, bahkan besar di pasar itu, tidak sadar bahwa mereka sebenarnya
sedang saling membuat bising dan ribut. Karena memang mereka sudah bersatu dengan suara bising
dan ribut itu. Karena mereka sendirilah sebenarnya sang pembuat suasana tak nyaman itu.

Akan tetapi bagi orang-orang baru yang suatu saat tersasar ke pasar tradisional itu, mungkin secara tidak
sengaja, maka besok-besoknya mereka tidak akan respek lagi untuk masuk kedalamnya, mereka akan
menceritakan kepada teman-temannya bahwa pasar tradisional di lokasi A sangat hiruk pikuk, ribut, bau,
dan serba tidak teratur. Sehingga lama-lama melalui kabar berantai (media masa), akan muncul penilaian
masyarakat bahwa pasar tradisional itu adalah sebuah tempat yang tidak nyaman untuk dimasuki,
apalagi kalau di dalam pasar itu banyak berkeliaran orang yang suka ngamukan. Akhirnya mereka
meninggalkan pasar tradisional itu dan beralih memasuki pasar yang lebih teratur, misalnya toserba M
atau R.

Karakter seperti di pasar tradisional inilah mungkin yang paling tepat untuk menggambarkan kondisi umat
Islam yang ada pada saat ini...

ALLAH PAMER
Pada awalnya, lewat persaksian dan kesepakatan Manusia dengan Allah, Allah secara khusus telah meminta
komitmen manusia atas “kepemilikan” Allah terhadap si manusia: “Bukankah Aku ini Tuhan-mu??”. Lalu dengan
tergopoh-gopoh dan mantap si manusia menjawabnya: “benar ya Tuhan, saya bersaksi”. Sejak itulah sebenarnya si
manusia siap untuk menyandang predikat DUTA ISTIMEWA Tuhan dan siap pula untuk menjalan tugasnya
sebagai WAKIL TUHAN (khalifah) di tempat yang telah dipersiapkan, yaitu di bumi berikut dengan alam semesta
yang mengitarinya.
Setelah itu Allah pamerkepada Malaikat tentang Duta Istimewa-Nya ini:

“Hai para makaikat, ini lho Duta Istimewa Ku untuk Ku jadikan sebagai WAKIL-KU dalam
memakmurkan, mengelola dunia”.

Dan Allah meminta kepada para malaikat untuk menghormat sujud kepada Sang Duta Istimewa. Dengan
melihat sosok duta ini, pada awalnya malaikat agak ragu dengan kualitas Duta Istimewa ini, jangan-
jangan Sang Duta berkhianat seperti berkhianatnya Duta sebelumnya yang senang bersimbah darah satu
sama lain. Sang Duta terdahulu lebih sering mengumbar bencana ketimbang memakmurkan dan
mengelola lingkungannya. Akan tetapi keraguan malaikat ditepis dengan sentuhan lembut tetapi tegas
kedalam wilayah pengertian malaikat:

“Aku lebih tahu apa-apa yang tidak kamu ketahui…”.

Tiada lain yang dapat dilakukan oleh malaikat selain patuh dan tunduk kepada perintah Tuhan. Malaikat
dengan RELA lalu tunduk dan sujud kepada Adam, Sang Duta Istimewa.

Seiring dengan pengukuhan Adam Sang Duta Istimewa (manusia), untuk menyandang Tugas
kekhalifahan di muka bumi, maka Allah telah melengkapi sang manusia dengan perangkat yang nyaris
sama dengan milik Allah Sang Pengutus itu sendiri. Dengan perangkat yang diberikan itu, sang manusia
bisa mencipta, berkreasi, mengatur, mengolah, menumbuhkan, menghancurkan, mematikan…, segala
sesuatu yang berada dalam objek kekhalifahannya. Disamping itu, perangkat melihat, mendengar,
merasa, dan mengetahui juga difasilitasi Allah kepada Sang Duta Istimewa dengan sangat
mengagumkan dan dengan fungsi yang nyaris tidak terbatas pula. Dengan segala sifat, tindakan, dan
kemampuan yang difasilitasi itu, maka Sang Duta Istimewa mulai secara gradual menciptakan
kebudayaan demi kebudayaan yang berkembang dari tingkat yang sangat sederhana sampai dengan
tingkat yang sangat mengagumkan saat ini, dan bahkan masih akan berlanjut untuk masa-masa yang
akan datang.

Setidak-tidaknya ada sekian puluh sifat-sifat “Sang Presiden” yang bisa di sandang dan dipakai pula oleh
Sang Duta Istimewa. Semua sifat, laku dan pekerti itu sebenarnya hanyalah sebagai mandat yang
diberikan kepada Sang Duta Istimewa, dan untuk sementara pula, untuk mewakili Sang Presiden di
wilayah tempat mana dia dikirim. Setiap saat Sang Duta harus melaporkan, mempertanggung-jawabkan
setiap pemakaian sifat Presiden yang dia lakukan. Setiap saat dia harus lapor diri kepada Presiden atas
apa-apa yang telah dia perbuat, dia lakukan, dia hancurkan, dan sebagainya. Secara regular Sang Duta
harus berterima kasih atas kepercayaan yang telah diberikan oleh Presiden kepadanya. Secara kontinu,
Sang Duta sudah sewajarnya membesarkan nama Presiden yang memberinya kesempatan untuk
mewakili Sang Presiden.

Berbilang zaman kemudian berlalu dengan cepat. Dan dengan cepat pula Sang Duta Istimewa (seluruh
manusia secara kolektif) mulai berkhianatterhadap Sang Presiden yang mengangkatnya. Satu persatu
sifat Sang Presiden mulai “diaku” oleh Sang Duta Istimewa sebagai miliknya sendiri. Sifat-sifat Sang
Presiden yang selalu menjaga dua sifat yang berbeda berada dalam keseimbangan, misalnya panas dan
dingin, baik dan buruk, Im dan Yang, mulai di acak-acak oleh Sang Duta Istimewa. Padahal bagi sang
pemilik sifat itu sendiri, yaitu Presiden, ke 99 sifat itu berada dalam suasana dan kondisi yang sangat-
sangat seimbang. Keseimbangan inilah yang telah membuat alam semesta ini selalu bergerak dan
berkembang dalam keharmonian. Dan dengan nyata kemudian, masa demi masa protes malaikat
terhadap pengutusan duta istimewa dulu itu seperti terbukti dengan sangat meyakinkan. Sang Duta
Istimewa memang berkhianat. Sang Duta Istimewa lalu lebih cocok dipanggil sebagai Sang Pengkhianat
Tuhan, dibandingkan dengan Khalifah Tuhan (duta istimewa Tuhan). Adalah sebuah hal yang logis saja
kalau Sang Pengkhianat lalu di hukum oleh Sang Pengutusnya. Dan siksa dan hukuman itulah yang kini
sedang dialami oleh hampir semua umat manusia, kecuali bagi duta-duta yang tidak berkhianat.

Duta macam apakah yang tidak berkhianat itu….?,

Apa sebenarnya sumber dari pengkhianatan itu…?.

Genderang pengkhianatan duta-duta istimewa Tuhan, yaitu manusia, berlanjut dengan mulus tanpa hambatan.
Tidakkah dengan pengkhianatan ini praduga malaikat terbukti bahwa saat Allah memperkenalkan duta istimewa
pertama-Nya yaitu Adam, nanti Sang Duta ini akan berkhianat dan melenceng dari tugas kekhalifahan menjadi tugas
pengkhianat dan penumpah darah…?.

Gerangan apakah penyebabnya sehingga Sang Duta-Duta Istimewa itu terjerumus ke dalam
jurang pengkhianatan itu…?.

Untuk mencari akar penyebab pengkhianatan itu, maka mari kita bongkar dan
urai point demi point dengan santai saja…!.

SANG PENGKHIANAT TUHAN


Nah dengan segala fasilitas yang sangat sempurna sebagaimana telah diuraikan pada bagian
sebelumnya, maka Sang Duta Istimewa mulai lupa, bahwa semua itu hanyalah amanah yang
dipinjamkan sementara kepada Sang Duta Istimewa. Yang namanya amanah, ya nggak boleh diaku
sebagai miliknya sendiri. Tetapi itulah……!!:

Saat Sang Duta berhasil mencipta dan berkreasi, maka dia dengan angkuh mulai mengaku: “Ini
ciptaan dan kreasiku..”.

Saat Sang Duta berhasil mendapatkan sesuatu, maka dia dengan jumawa mulai mengaku: “Ini
milikku…”.

Saat Sang Duta merasa terganggu, maka dengan garang dia mulai meradang: “Kau melawanku,
maka kau ku hancurkan…”.

Saat Sang Duta betah menikmati kekuasaannya, maka dia mulai berteriak angkuh: “Ini
kekuasaanku… ini kerajaanku…, ini perusahaanku…,

Saat Sang Duta mampu melihat, mendengar dan mengetahui, merasakan segala sesuatu, maka
dengan pongah dia mulai mengaku: “Ini penglihatanku…, ini pendengaranku…, ini
pengetahuanku…, ini perasaanku…,

Lengkap sudah pengakuan itu…, semua diaku sebagai milik dari Sang Duta itu sendiri.

Padahal…!!!! :

Hakikinya penciptaan dan kreatifitas itu adalah proses yang dilakukan oleh Sang Pengutus, Allah,
itu sendiri yang dialirkan-Nya melalui otak Sang Duta Istimewa,

Sebenarnya segala sesuatu itu adalah milik Sang Pengutus itu sendiri yang dialirkan-Nya melalui
otak Sang Duta Istimewa,

Seyogyanya segala kekuasaan, kerajaan, perusahaan adalah milik Sang Pengutus itu sendiri
yang dialirkan-Nya kepada otak dan diri Sang Duta Istimewa,
Sebenar-benarnya segala penglihatan, pendengaran, tahu, dan perasaan adalah kepunyaan
Sang Pengutus yang dialirkan-Nya melalui otak, mata, telinga, dan dada Sang Duta Istimewa.

Sebutlah apa saja yang bisa dinikmati oleh Sang Duta Istimewa…, maka pada hakikatnya semua itu
adalah milik Sang Pengutus, Allah, yang dialirkan-Nya kepada diri (nafs) Sang Duta Istimewa. Jadi Sang
Duta Istimewa hanyalah SEAKAN-AKAN, SEPERTINYA saja memiliki semuanya itu. Karena dia memang
hanyalah sebagai wakil, sebagai wali, sebagai sarana bagi terlaksananya segala kreativitas dan
keramaian yang diciptakan oleh Sang Pengutus bagi setiap ciptaan dan kreasi-Nya.

Karena sebenarnya yang terjadi adalah, bahwa Allah mengalirkan segala sifat dan pengetahuan-Nya ke dalam otak
manusia untuk misalnya, menciptakan pesawat terbang, kapal laut, pabrik baja, dan sebagainya. Allah bermain
sepak bola, golf, dsb., lewat aliran keinginan dan gerak ke dalam otak manusia.

Begitu juga untuk membangun, merangkai, menyusun, bahkan untuk menghancurkan kebudayaan manusia melalui
aliran tahu dan sifat-Nya ke dalam otak manusia itu sendiri. Misalnya, Allah menghancurkan Irak, Afghanistan, Al
Qaeda melalui aliran otak Bush beserta konco-konconya, dan otak Saddam Husein, Hikmatiar, Osama Bin Laden
sendiri. Allah menghancurkan penganut agama Islam pasca Rasulullah melalui otak Ali, Usman, Aisyah, Umaiyyah,
dan sahabat-sahabat lainnya serta umat Islam sendiri dari dulu sampai sekarang. Ungkapan ini sepintas seperti
membingungkan, akan tetapi nanti pada bagian lain akan dibahas lebih detail, bahwa kehancuran umat Islam pasca
Rasulullah adalah karena mereka tidak pernah mau mengikuti maunya Al Qur’an dan Sunnah. Padahal dengan
semangat 45 semboyan umat Islam itu adalah “selalu berpedoman kepada Al Qur’an dan Sunnah” itu sendiri. Nanti
akan saya bahas pada bagian berikutnya tentang sumber kekeliruan pemahaman yang sudah sangat kronis ini.

Mari kita kembali dulu kepada serba serbi Sang Pengkhianat Tuhan…

Setelah duta istimewa (manusia) ini melakukan pengkhianatan kepada Tuhan, dimana Sang Duta sudah
tidak menyadari lagi, bahkan sudah tidak mampu lagi untuk mengembalikan kesadarannya, bahwa apa-
apa yang dia miliki sebenarnya (hakikinya) hanyalah gerak Tuhan, pengetahuan Tuhan, tahu Tuhan, milik
Tuhan, penciptaan Tuhan, maupun penghancuran Tuhan melalui ALIRAN dari-Nya ke dalam otak
manusia untuk membangun peradaban di dunia ini, maka proses sunnah pun berlangsung tanpa bisa
dihentikan lagi. Akibatnya, segala sesuatu tindakan Sang Duta Istimewa lalu cenderung mengarah
kepada pembentukan suasana ketidak-keseimbangan dalam hukum-hukum Tuhan (sunnah) dan sebagai
konsekwensinya dia pasti terkena libasan dahsyat sunnah itu sendiri.

Maka jadilah manusia itu tidak mampu lagi memanfaatkan mandatnya untuk memakai sifat-sifat Tuhan
sebagai duta istimewa untuk mewujudkan kemakmuran dan kemajuan dirinya sendiri. Sifat-sifat dan
tindakan-tindakan Tuhan yang seharusnya bisa membuat keseimbangan antara penciptaan dan
penghancuran, penghukuman dan kasih sayang, memelihara dan merusak, menyempitkan dan
melapangkan, memuliakan dan menghinakan, penyiksa dan pemaaf, pemberi derita dan pemberi
manfaat, dan sebagainya, lalu mengalir melalui otak manusia dalam suasana timpang dan tidak
seimbang lagi.

Saat manusia berkuasa, misalnya, akan tetapi pada saat itu dia berada dalam posisi pengkhianat
kepada Tuhan, maka ketika itu dia akan cenderung hanya bisa menerima aliran sifat dan tindakan Tuhan
melalui otaknya yang mengarah kepada situasi penghancuran, merusak, menyempitkan, menghinakan,
mematikan, penyiksa, pemberi derita dan perilaku negatif lainnya. Sedangkan perilaku dan sifat-sifat
sebaliknya yang positif seperti memelihara, melapangkan, memuliakan, pemaaf, pemberi manfaat
menjadi tenggelam ke dalam hati kecilnya yang terdalam. Hati kecilnya itu hanya bisa megap-megap
seperti kehabisan nafas dan tak mampu berbuat apa-apa untuk membalik keadaan agar bisa menjadi
mengarah kepada kebaikan.
Akibatnya adalah :

Saat dia berkuasa dalam sebuah rumah tangga, maka rumah tangga itu akan menjadi neraka kecil dalam
kehidupannya.

Saat dia berkuasa pada sebuah perusahaan, maka perusahaan itu akan runtuh dan tinggal nama
dalam beberapa waktu lagi.

Saat dia berkuasa pada sebuah negara atau wilayah, maka wilayah itu akan bisa dipastikan
menjadi hancur dan menyedihkan bagi rakyat yang di bawah perintahnya.

KETIDAKPATUHAN KOLEKTIF
Disamping pengkhianatan kepada Tuhan dalam bentuk PENGAKUAN atas kepemilikan Tuhan oleh Sang
Duta Istimewa, masih ada lagi sebuah pengkhianatan lainnya dalam bentuk KETIDAKPATUHAN
KOLEKTIF manusia atas SUNNAH atau hukum-hukum Tuhan (sunnatullah). Pengkhianatan dalam
bentuk ketidakpatuhan kolektif ini lebih disebabkan oleh gagalnya manusia memahami
makna sunnatulah seperti apa adanya dan apa yang seharusnya. Kesalahan pemahahaman manusia ini
lebih disebabkan oleh paradigma berpikir yang keliru dalam mengartikan sunnah yang tercantum dalam
kitab-kitab suci yang diturunkan kepada manusia itu sendiri, sehingga sunnah itu menjadi sempit dan
kadaluarsa dimakan perputaran zaman.

Dalam agama Islam, misalnya, sunnah yang terkumpul dalam bentuk Al Qur’an dan Aal Hadits, telah
dipahami oleh hampir sebagian umat Islam sebagai dua sumber hukum yang sangat tinggi tingkatannya
sebagai pedoman bagi manusia dalam menjalankan fungsi kekhalifahannya di muka bumi ini. Sampai
disini sebenarnya tidak ada yang salah. Akan tetapi dalam pemahaman dan kenyataannya, dari masa ke
masa sunnah itu seperti TUMPUL dan tidak mampu menjawab tantangan peradaban dizamannya.
Bahkan berbilang zaman, pemahaman sunnah itu seperti tidak mampu membangun peradaban yang
katanya “ya’luu walaa yu’laa alaihi” bahwa agama dan peradaban Islam itu tinggi dan tidak ada yang
menandingi ketinggiannya. Slogan manis ini hampir-hampir saja menjadi ungkapan kosong yang tak
terbukti (utopia) dalam kehidupan nyata bagi pemeluknya. Jauhlah panggang dari api…

Kenapa bisa begini…?

Apakah Al Qur’an dan Al Hadits itu sudah tidak sesuai lagi


dengan Sunnatullah….?. Astagfirullahal adhiem…, ini tentu sebuah ungkapan yang mengerikan.

Akan tetapi, kalau tidak begitu kenapa hasilnya seperti tidak ada ….???.

KEMUNGKINAN PENYEBABNYA

Dalam aliran pengertian dan informasi yang masuk ke dalam otak saya, ternyata sumber semuanya itu
adalah karena telah terjadinya kerancuan paradigma berfikir bagi penganut agama Islam terhadap kedua
sumber hukum tadi yaitu Al Qur’an dan Al Hadits yang sudah sedemikian lamanya dan turun temurun
serta diwariskan pula kekeliruan itu dari waktu ke waktu. Artinya telah terjadi ketidakpatuhan kolektif
mayoritas umat Islam terhadap pemahaman dan pelaksanaan sunnah yang mereka agung-agungkan
sendiri itu.

Diantaranya adalah:

1. 1.Pemahaman-pemahaman tentang problematika kekinian peradaban


2. 2.Sejarah Hitam …
3. 3.Kebingungan Spiritual…

Umat selalu mau dibawa dan ditarik kembali menuju peradaban sederhana kalau tidak mau
dikatakan primitif di zaman Rasulullah, sahabat, dan salafus shalihdahulu kala. Kalau tidak ada
contoh dari zaman-zaman Nabi dan salafus shalih tersebut, maka sebuah senjata pamungkas yang
menakutkan kemudian dikeluarkan: “Itu adalah BID’AH, setiap BID’AH adalah sesat, dan setiap
kesesatan imbalannya adalah NAARRRR (NERAKA)”. Cerdas benar orang yang telah memelintir
senjata yang sebenarnya sederhana ini menjadi sebuah senjata pamungkas sehingga
perkembangan umat Islam menjadi mandeg dalam segala hal. Sehingga umat Islam lalu menjadi
bulan-bulanan atas ketakutan mereka sendiri untuk menjalankan kekinian yang sangat jauh berbeda
dengan zamansalafus shalih dulu itu.

Padahal makna Bid’ah yang diganjar dengan neraka itu, kalau masih mau dipakai, hanyalah
sebatas yang berhubungan dengan ritual ibadah seperti shalat, haji, puasa, dan pada taraf tertentu
adalah mengenai harta. Sedangkan untuk membangun sebuah kebudayaan, maka boleh dikatakan
semua asesorisnya adalah baru, BID’AH. Jadi untuk membangun kebudayaan itu, maka boleh
dikatakan semuanya adalah BID’AH, karena nyaris semuanya tidak ada contohnya di zaman Nabi
dan salafush shalih dulu.

Bagaimana mungkin sebuah BUDAYA (dengan segenap asesorisnya) di zaman kosmopolitan seperti
sekarang ini mau ditarik mundur menuju peradaban sederhana di zaman Nabi dan salafush
shalih itu…??. Kalau pun ada yang mengatakan itu bisa, maka hasil yang akan didapatkan adalah
sebuah peradaban yang menjadi tontonan orang banyak karena keanehannya.

Disamping itu, bagaimana mungkin budaya umat Islam yang berasal dari berbagai bangsa dengan
budaya dan peradaban yang berbeda mau dibawa dan ditarik menjadi sebuah budaya berbau ARAB,
misalnya keislaman seseorang masih mau ditandai dengan atribut-atribut seperti memakai gamis,
bersorban, dengan tasbih di tangan, dan siwak menempel di mulutnya pula. Pada aliran-aliran
tertentu malah, seorang ulama, Kyai Haji, ustadz akan merasa belumafdhal kalau dia belum terlihat
seperti figur WALI SONGO dalam sinetron di TV. Padahal dulunya Abu Jahal, Abu Lahab, dan
pembesar-pembesar Quraisy penentang Nabi juga memakai gamis dan bersorban pula. Apa
bedanya kalau begitu, kalau masih terpaku dengan atribut lahiriah belaka..?. Bahkan baju gamis
yang dianggap sebagai ciri khas kelompok-kelompok tertentu di Indonesia ini ternyata di Pakistan
dan Afghanistan sana juga dipakai oleh tukang sampah dan petani-petani untuk ke sawah.

Banyak lagilah kerancuan umat Islam dalam pemahaman kata BID’AH dan perubahan kebudayaan
ini, sehingga terlihat benar bahwa sebagian besar umat Islam lalu menjadi serba salah, serba kikuk,
serba terbata-bata, dan gagap budaya.

Tentang BID’AH ini,ada hal lain yang menarik, yaitu mengenai praktek-praktek yang sangat lazim di
masyarakat Indonesia, yang meliputi fenomenakeparanormalan dengan segala variannya.
Masyarakat awam boleh dikatakan sangat menikmati dan mempercayai sensasi-sensasi mistis di
dunia paranormal ini. TV pun berlomba-lomba menampilkan acara-acara yang bagi penggemarnya
selalu ditunggu-tunggu walaupun ulama dan da’i sampai serak berteriak-teriak di mimbar khotbah
mengatakan bahwa semua itu adalah BID’AH, SYIRIK, HARAM. Cap bid’ah ini juga diberikan
terhadap acara-acara budaya atau kebiasaan masyarakat seperti ziarah kubur, pengobatan alternatif
dengan segenap macamnya (ulama mengkategorikannya sebagai perdukunan), kepercayaan
tentang roh-roh gentayangan, sihir, mantra-mantra, dan praktek-praktek lainnya yang bersinggungan
dengan praktek budaya dan praktek ibadah agama Budha dan Hindu. Walaupun telah
dimasyarakatkan oleh MUI (sebagai wakil formal ulama) bahwa semua itu adalah BID’AH, akan tetapi
tetap saja masyarakat umum secara mayoritas mengakuinya, mempraktekkannya walau kadangkala
dengan malu-malu kucing. Sehingga ada kesan bahwa loyalitas dan kepatuhan masyarakat terhadap
ulama sudah sangat lemah. Ulama berkata apa, umatnya prakteknya lain lagi.

Bahkan ada yang lebih aneh lagi, praktek dzikir ustadz Arifin Ilham, Aa Gym, ustadz Haryono dan beberapa praktek
serupa seperti dalam tasawuf (tarekat) juga ada yang membid’ahkannya, sehingga yang bingung ya…. umat sendiri,
yang akhirnya mereka rancu sendiri…, nggak tahu mana yang benar.

Kenapa sampai begini…?.

Jawabannya sangatlah sederhana, bahwa umumnya masyarakat sudah tidak mampu lagi untuk
merasakan kelezatan cita rasa beragama. Tegasnya agama itu tidak ada rasanya lagi. Yang ada
hanya ketakutan demi ketakutan atas hukuman Tuhan akibat paradigma yang menjadikan agama
hanya sebataskepatuhan terhadap perintah dan larangan Tuhan dan Nabi (yang dalam khotbah-
khotbah dijadikan sebagai definisi TAQWA). Dan juga yang dicari dalam beragama itu pada
umumnya hanyalah sebatas pahala dan syurga, tetapi dimensinya untuk di akhirat nanti. Di dunia
ini…?, ya utopia saja sudah cukuplah. Dan biasanya orang-orang utopia inilah yang lebih banyak
bingungnya, lebih banyak menyalah-nyalahkan orang lain dengan semangat 45 pula.

Akibatnya mana mungkin sebuah bentuk praktek agama yang hasilnya hanya sebatas utopia bisa
menggantikan suatu praktek budaya atau ritual keagamaan yang ada RASA-nya…???. Tidak
mungkinlah…!!!.

Ditingkat rasa inilah sebenarnya para pemraktek ritual mistis keagamaan lebih banyak
berada (kalau tidak mau dikatakan semuanya), seperti dzikir berjamaah, tasawuf, paranormal dan
fenomena sejenisnya. Praktek aliran SYI’AH-pun berada diwilayah ini, yaitu dengan menimbulkan
rasa cinta yang sangat dalam dan pekat terhadap Ahlul Bait, bahkan untuk generasi terkini masuk
juga seorang Khomeini didalamnya. Apalagi pengagungan dan pemujaan berlebihan penganut
Syi’ah ini terhadap Rasulullah, sungguh menakjubkan sekali. Sampai-sampai pernah ada yang
mencoba MEMBANDINGKAN Muhammad SAW dengan Nabi yang lainnya dan kesimpulannya
adalah bahwa Nabi Muhammad is the best among them. Disamping itu, walaupun misalnya penganut
Syi’ah di Indonesia belum pernah bertemu dengan Ahlul Bait ataupun dengan Imam Khomeini ini,
penganutnya bisa menangis histeris walau hanya dengan “mengingat-ngingat” atau membaca
riwayat penderitaan, kegagahan, kegigihan dan pemikiran beliau-beliau itu.

Ada RASA di dalam kecintaan itu…!!!

Ada tangis disitu…!!!

Ada ekstasis disitu…!!!

Sehingga para pencari rasa dalam beragama akan ketagihan untuk mendapatkan dan mendapatkan lagi sensasi
RASA itu. Kalau mereka sudah merasakan RASA itu, maka pengamalnya akan mencarinya kemana pun dan kapan
pun agar rasa itu bisa muncul lagi. Efek ketagihannya hampir sama dengan ketagihan orang terhadap rokok ataupun
narkotik. Dan akibatnya jadilah mereka penganut aliran yang terikat kuat dengan alirannya itu. Dilarang-
larang…?? Woou mereka bisa membunuh orang yang melarangnya itu…!!!.

Fenomena apakah ini…??

Apakah ini salah atau benar…??.

Mari kita bahas sedikit lebih detail.


Rasa, tangis, histeris, dan bahkan bergemuruhnya dada serta bergetarnya tubuh, ternyata barulah
sebatas sensasi FISIK dan EMOSI saja. Untuk mendapatkannya maupun efek serta pengaruh yang
muncul bagi pemrakteknya hampir-hampir tidak ada bedanya sama sekali diantara penganut agama-
agama yang ada. Semua bisa merasakannya, tak terkecuali orang atheis sekali pun. Siapa pun yang
berhasil menahan gejolak badai fikiran di otaknya dan menujukan arah fikirnya hanya kepada suatu
objek saja, maka dengan memberikan sedikit sentuhan irama dan kata-kata yang menghiba-hiba
ataupun yang membahagiakan, maka hampir pasti orang itu akan menangis bahkan bisa sampai
taraf histeris. Emosional saja sebenarnya sifatnya.

Akan tetapi sekarang, baru sampai pada taraf menangis ini sudah diartikan oleh banyak orang
sebagai sebuah PERISTIWA SPIRITUAL. Dan orang sudah bangga dengan itu…!!!

Ooo…., saya sudah bisa menangis dengan melakukan praktek dzikir ini-itu…

Aduh… hati saya menjadi damai setelah dzikir di tempat anu dan saya bisa menangis disitu…!!!.

Selama rasa itu masih ada, maka selama itu pula orang itu akan merasa sangat beragama, sangat merasa bertaqwa,
merasa imannya sedang naik, dan merasa menjadi orang baik.

But…, sssttt… let me tell you a little secret…..

Biasanya orang yang sedang menikmati sensasi rasa ini mukanya kelihatan KUYU, tidak
bersemangat, maunya duduk mojok dan bersunyi-sunyi diri (mirip Rabiah Al Adawiyah, seorang sufi
perempuan yang terkenal dengan kecintaan Beliau kepada Tuhan dan menyebabkan Beliau selalu
mengurung diri d ikamar dan menangis terus dan tidak mau nikah seumur hidup Beliau). Dan
… believe it or not, biasanya setelah itu, tak lama kemudian, rasa itu akan hilang kembali. Akibat rasa
ini kendor atau malah bisa hilang sama sekali, maka orang yang baru sampai di wilayah rasa ini,
akan merasakan imannya seperti sedang turun, ketaqwaannya sedang di uji, sehingga dia akan
kembali mencari rasa itu kemana pun dan kapan pun. Sensasi turun naiknya rasa ini kemudian
dalam istilah agama disebut sebagai terbolak-baliknya hati, atau turun naiknya iman yang lokasi
keberadaannya adalah di dada. Istilah populer untuk lokasi tempat terjadinya proses ini adalah
QALBU (hati).

Makanya lalu muncul istilah-istilah seperti Manajemen Qalbu, pembersihan hati, dan yang sejenisnya. Intinya adalah
bagaimana menjaga dan mengatur agar RASA tadi tidak lagi bolak balik. Akan tetapi disinilah muncul masalahnya,
bagaimana kita akan bisa mengelola dan mengatur sebuah SIFAT (QALBUN) yang memang telah disiapkan sejak
awal oleh Allah untuk terbolak-balik seperti itu, seperti telah disiapkannya sifat panas dan dingin, gelap dan terang,
tetapi tetap selalu berada dalam sebuah harmoni kehidupan…

Salahkah rasa ini…?.

Cukupkah beragama itu hanya sampai pada sebatas pencapaian RASA itu saja…??. Lalu
bagaimana… ?.

Tidak ada yang salah dengan adanya sensasi RASA dalam beragama ini. Karena rasa itu adalah
sesuatu pengalaman yang sangat empiris, sama empirisnya dengan benda-benda NYATA seperti air,
tumbuhan, udara, dan sebagainya. Akan tetapi mungkin hanya sedikit orang yang bisa menyadari
bahwa dalam beragama tidak cukup hanya sebatas pada pencarian RASA. Rasa itu perlu, akan
tetapi pada wilayah rasa ini pulalah tempatnya jebakan yang sangat memabokkan penikmatnya.
Rasa itu adalah sebuah wilayah yang penuh dengan seribu macam jebakan yang sangat
mengganggu. Dengan rasa orang bisa mencintai “suatu objek” tempat mengalirnya rasa cinta itu
mulai dari kadar yang sederhana seperti mencintai benda-benda seni, binatang peliharaan, tumbuh-
tumbuhan hias, sampai dengan kadar yang sangat pekat seperti mencintai anak, istri, suami, atau
pacar.

Bahkan ada juga rasa cinta dengan kadar yang sungguh mengagumkan dan nyaris
tanpa reserve kepada objek cintanya seperti yang diperlihatkan oleh penganut Syi’ah dalam
mencintai Nabi Muhammad, dan Ali Bin Abi Thalib, Hasan, Husein, imam-imam Syi’ah, termasuk
Imam Ghaib Al Mahdi yang dipercayai oleh penganutnya masih exist sampai dunia kiamat kelak
untuk memberikan manfaat dibalik hijab kepada umat manusia seperti ungkapan berikut:

“Imam adalah inti dan jantung dunia wujud. Tanpa keberadaannya, dunia akan hancur dan
sirna. Oleh karena itu, keberadaan imam kendati ghaib adalah lazim dan merupakan sebuah
keharusan. Sebagaimana manusia dapat mengambil manfaat dari matahari yang bersembunyi
di balik awan, begitu juga manusia dapat merasakan anugrah wujud ghaib beliau. Di samping
itu, pada masa ghaib tidak sedikit orang yang memiliki kebutuhan dan hajat yang terlaksana
berkat uluran tangan dari wujud Imam as. Begitu juga wujud Imam merupakan penyebab
tumbuhnya harapan manusia, sekaligus faktor penting dalam mensupport manusia dalam
pembersihan jiwa dan persiapan untuk kemunculan beliau as.”(SAL, Aqidah Syiah, hal
102).

Dengan kadar cinta yang sangat luar biasa seperti ini, maka sudah tidak jelas lagi BEDA ARAH OBJEK RASA CINTA
antara mana yang cinta kepada ALLAH, mana yang kepada Muhammad, mana yang kepada Ahlul Bait, dan mana
yang kepada Imam Ghaib Al Mahdi. Semuanya bersatu berpilin-pilin kusut dalam sebuah laku syariat yang
dipraktekkan oleh penganut aliran syi’ah. Dan hari-hari para pencinta ini akan di isi dan dikendalikan oleh rasa cinta
terhadap objek itu yang bagi orang lain mungkin terlihat aneh dan berlebih-lebihan.

Pada bagian sebelumnya sudah diulas secara singkat tentang ada pula orang, kelompok atau aliran yang mencoba
mengalirkan rasa cintanya hanya kepada ALLAH seperti yang diperlihatkan oleh sufi wanita Rabiah Al Adawiyah.
Dengan rasa cinta yang membara kepada Allah, maka sang sufi hanya asyik masyuk dengan “pendekatannya”
kepada Allah dan di lain pihak meninggalkan fungsi kekhalifahannya untuk membangun dan menjadi rahmat bagi
alam semesta.

Dengan rasa pulalah orang bisa membenci, memusuhi, menyiksa, bahkan sampai membunuh orang
lain, serta menghancurkan sebuah kebudayaan atau bangsa. Saat muncul sebongkah rasa tidak
senang seseorang atau sekelompok orang atau aliran terhadap orang lain karena orang lain itu
menghalangi munculnya rasa enak dan ekstasis pada dirinya melalui sebuah praktek agama atau
kejiwaan, maka saat itu pulalah sebuah power yang sangat dahsyat mulai diciptakan dan siap untuk
dimuntahkan kepada lawannya. Dunia Islam sudah sangat kenyang dengan pengalaman
membanjirnya darah merah akibat penganut aliran-aliran atau sekte-sekte di dalam agama Islam
saling terjebak dengan sensasi RASA ini (nanti pada bagian tersendiri akan ditambah dengan uraian
terjebaknya aliran-aliran ini dalam INTELEKTUALITAS tentang pemahaman Al Qur’an dan Al Hadits).

Awal sejarah hitam ini telah dimulai oleh sahabat-sahabat Nabi tak lama setelah wafatnya Nabi.
Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Ai’syah, dan Mu’awiyah, adalah sedikit nama dari ratusan bahkan
ribuan nama-nama lainnya yang telah menorehkan tinta merah dalam sejarah perjalanan Islam
dengan terciptanya dua aliran utama (mainstream) di dalam Islam yaitu Ahlussunnah (Sunni) di satu
sisi dan Syi’ah di sisi lainnya, yang masing-masing mengklaim bahwa yang MURNI ISLAM itu
HANYALAH kelompok mereka. Masing-masing sisi mencap sisi lawannya sebagai KAFIR. Syi’ah
menganggap penganut Sunni sebagai KAFIR, SESAT, TERLAKNAT, dan darah pembelotnya pun
halal untuk ditumpahkan (lihat … Mengapa saya keluar dari Syiah, hal X, Sayyid Husain Al Musawi).
Dipihak lain, Sunni pun mencetak label KAFIR, SESAT kepada aliran Syi’ah ini dan darahnya halal
untuk ditumpahkan (lihat… Sikap Syi’ah terhadap Al Qur’an, hal 53, Ahmad bin Abdullah Al-Hamdan).

Dan yang sangat mengagumkan lagi, varian dari dua aliran besar inipun bermunculan dengan pesat.
Jumlahnya mungkin sampai ratusan varian yang membuat kebesaran ISLAM, AL QUR’AN,
Muhammad SAW, menjadi hanya sebatas pengertian pihak Sunni saja, atau pihak Syi’ah saja, atau
pengertian dari pihak varian aliran-aliran yang muncul bak cendawan di musim hujan. Karena Islam
itu TELAH menjadi kecil terkotak-kotak dan tersayat-sayat, maka ISLAM itu dengan cepat menjadi
seperti lentera yang kehabisan minyak, dan dengan mudah dikalahkan oleh bangsa-bangsa lainnya.
Islam telah terkapar tak berdaya akibat tingkah penganutnya sendiri.

Aneh bin ajaibnya, “semangat” penorehan tinta darah itu sepertinya mau dipertahankan dan
diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Saat inipun generasi penerus penoreh tinta
merah itu exist bergerak dengan sangat intens, dan tetap akan tetap exist selama tidak adanya niat
diantara mereka untuk melakukan “REKONSTRUKSI BERFIKIR” terhadap ISLAM itu sendiri.

Kalau begitu, adakah JALAN KELUAR (MAKHRAJA) dari dahsyatnya pengaruh JEBAKAN RASA
ini…???. Jawabannya adalah …, ADA….!!!.

Untuk bisa terbebas dari jebakan RASA ini, maka jalan satu-satunya adalah dengan KELUAR dari
WILAYAH RASA itu yang berada di DADA (SUDUR, QALB). Wilayah dada ini adalah sebuah wilayah
yang disebut juga TUNGKU PERAPIAN, TUNGKU PENYIKSAAN, dan sekaligus juga adalah
RUANGAN PEMBEKU buat manusia di dunia ini. Di tungku inilah adanya ruangan panas dan
dingin, ruangan benci dan rindu, ruangan iman dan kufur, yang akan selalu muncul silih berganti
mendera setiap manusia. Kalau tidak mau terjebak dalam ketidaktetapan sifat ini, maka keluarlah dari
sana. Karena kalau hanya sekedar di manajemeni, di bersih-bersihkan, ditekan-tekan, maka yang
akan mucul selalu sebuah sifat yang terbolak-balik, suasana rasa yang turun-naik antara baik dan
buruk. Suasana yang menyiksa diri sendiri

Nah…, perjalanan keluar dari tungku perapian inilah yang disebut dengan peristiwa
SPIRITUALITAS, yaitu sebuah proses PERJALANAN (MI’RAJ) untuk menemukan wilayah DIRI
Universal (Muthmainnah):

“Diri yang tidak terpengaruh lagi oleh gejolak dan prahara tungku perapian. Diri yang
selalu menerima pencerahan. Dan Diri itu lalu…, selalu mengarah kepada sang
Penciptanya”.
Diri dengan ciri seperti inilah yang disebut sebagai diri yang tenang, Diri yang tahu
memanfaatkan tungku perapian itu untuk “memasak” dunia (tanpa dia sendiri ikut terbakar
didalamnya), sehingga peradaban di dunia itu menjadi berkembang dari waktu kewaktu dengan
sangat menakjubkan. Akan tetapi Diri itu sekaligus juga bisa mendinginkan dan membekukan
dunia (tanpa dia ikut membeku di dalamnya).

Ya…, diri yang tenang ini seperti terpisah dari prahara akibat panas dan dingin yang berlebihan dari
proses pembentukan peradaban itu. Sehingga peradaban itu berubah menjadi sebuah hidangan lezat
untuk dinikmati. Sebuah peradaban yang tidak panas dan tidak dingin, peradaban yang bisa mengalir
membelah zaman membawa muatan yang merupakan realitas dari PAHALA atau umpan balik buat
sang DIRI itu di dunia ini, saat ini juga.

Banyak orang yang masih bingung dengan istilah spiritualitas ini. Ada yang menganggapnya hanya
sekedar ucapan dan gerak anggota tubuh saja dalam sebuah praktek ibadah dalam bingkai agama.
Ada juga yang menganggapnya sebagai sebuah peristiwa bertangis-tangisan akibat syahdunya
lantunan do’a dan dzikir yang mendayu-dayu. Bahkan ada yang mengangapnya sebagai hal yang
baru dan tidak ada contohnya di zaman Nabi (BID’AH). Padahal peristiwa spiritualitas ini tanpa
disadari oleh mereka, sebenarnya sedang terjadi pada diri manusia itu sendiri. Spiritualitas itu sedang
mengalir dalam diri manusia tanpa tertahankan sedikitpun, yaitu “proses kejadian manusia” dari
waktu ke waktu.

Manusia pada awalnya tiada, lalu ia diciptakan dari saripati tanah (unsur karbon,
hidrogen, oksigen, nitrogen, dll.) dalam bentuk air mani dan ovum yang dipersatukan,
lalu ada gerak tumbuh di dalam rahim, lalu dilahirkan, lalu tumbuh dari kecil menjadi
besar kemudian tua, lalu mati…!!.
Kalau digambarkan pergerakan itu kira-kira adalah sebagai berikut:

AKU

(punya kehendak)

GERAK TUNGGAL

(yang membawa kehendak : hidup, melihat, mendengar, merasa, tahu)

Ujung Materi

Unsur-Unsur, Partikel, Saripati Tanah

Diri (Nafs)

(punya tubuh, indra, otak)

SHIBGHATULLAH

Hidup

Melihat, Mendengar, Merasa, Berfikir


Tahu
(peran dan maqam tempat kembali)

Diri Yang Tenang ( Nafsul Muthmainnah)

AKU (Allah)

Catatan :

Pemahaman REALITAS GERAK di atas muncul sebagai oleh-oleh 17 Ramadhan 1425 H jam 12:00 s/d 01:30, saat kami
mengadakan pelatihan dengan Pak Haji Slamet Utomo di lapangan Rajawali, Buperta Cibubur.
Disini ada sebuah “PERGERAKAN” yang tidak bisa ditahan oleh siapa pun dan oleh
apapun. GERAK (pada diagram diatas ditulis dengan huruf besar) itu
menggerakkan SUBSTANSI (pada diagram diatas ditulis dengan huruf besar & kecil) apapun yang
selalu hanya bisa ikut tanpa reserve atas apa-apa kemauan Sang Bergerak itu. Ya…, substansi
apapun namanya, maka kalau kita perhatikan dengan hening, maka substansi itu semata-mata nyata
bersandar dan bergantung kepada “Gerak” itu. “Gerak” itu meliputi segala sesuatu. Dan semua
substansi itu bersandar dan bergantung kepada Sang Bergerak secara kekal dan abadi. Pada
tatanan manusia, maka substansi yang bersandar kepada gerak kolosal yang abadi itu disebut juga
sebagai Sang Nafs (diri Manusia).

Allah kemudian menerangkan lebih detail bahwa cikal bakalnya Sang Manusia (sang NAFS) ini
adalah dari saripati tanah yang kemudian dialiri “Gerak” yang di dalamnya sudah terkandung
“muatan” berupa HIDUP, MELIHAT, MENDENGAR, MERASA, TAHU. Muatan gerak itu berguna bagi
sang NAFS sebagai fasilitas atau sarana untuk melakukan perannya sebagai KHALIFAH di muka
bumi. Dalam istilah Al Qur’an mengalirnya GERAK yang bermuatan hidup, melihat, mendengar,
merasa, tahu ini kepada Sang Nafs disebut juga dengan ditiupkan MIN-RUHI (RUH-KU) oleh ALLAH.
Atau disebut juga Sang Nafs telah mengalami celupan Allah (shibghatullah).

Gerak itu dengan telaten, tanpa henti, mengantar Sang Nafs melakukan perannya (amal) sebagai Duta Istimewa
Allah di alam dunia ini. Betapa tidak, untuk sekedar mengangkat tangan saja, Sang Nafs tidak akan bisa jika “Gerak”
itu ngambek mengaliri tangan si manusia itu. Tidak dialiri “Gerak” di tangan itu dalam istilah manusianya disebut
sebagi “si lumpuh tangan”.

“Gerak” itu juga yang akan mengantarkan manusia melakukan peran sebagai Gatotkaca, Bima, Yusdeka, Presiden,
rakyat jelata, petani, dan sejuta peran lainnya. Untuk menyadari “Gerak” ini pada pribadi-pribadi yang diserahi peran
itu, coba perhatikan aktivitas sebuah pasar dari arah ketinggian. Misalnya berdirilah dibalkon ITC MANGGA DUA.
Alihkanlah pandangan ke kerumunan manusia yang berada di lantai dasar balkon itu. Perhatikanlah bagaimana
ratusan nafs seperti bergerak hilir mudik, kiri kanan, dengan teratur, tidak bertubrukan satu dengan yang lainnya.
Walaupun arah gerak itu tidak sama, tetapi tidak terjadi tumbukan antar nafs di lantai dasar itu. Sebenarnya yang
terjadi adalah Sang Nafs hanyalah DIGERAKKAN. Titik !.

Gerak itu juga mengantarkan RASA kepada Sang Nafs tentang apa-apa yang mereka lakukan, mereka lihat, mereka
dengar, dan mereka ketahui. Dengan rasa itulah sang Nafs punya indikator sebagai alat deteksi dini atas peran yang
sedang di jalin oleh sang Nafs dalam rantai kehidupan di dunia ini. Sehingga dengan aliran rasa itu, sang Nafs bisa
melakukan “switching” seperlunya apabila GERAK itu mengalirkan rasa yang tidak enak kedalam dada sang Nafs.
Tapi ada juga sang Nafs yang sudah TIDAK dialiri lagi dengan RASA ENAK oleh Sang GERAK itu. Dalam istilah
agamanya, sang Nafs yang sudah tidak punya indikator rasa ini disebut sebagai si nafs yang rasanya mati, hatinya
mati, hatinya gelap, hatinya keras, dan sebagainya.

Gerak itu juga mengolah denyut jantung, membawa darah melalui pembuluh darah ke seluruh sel tubuh. Gerak itu
juga memasukkan nafas dan mengeluarkan nafas dari paru-paru Sang Nafs. Gerak itu menumbuhkan dan
mengganti sel-sel tubuh Sang Nafs yang sudah rusak agar bisa berfungsi dengan baik. Gerak itu tiada henti dalam
kesibukan menyempurnakan Sang Nafs.

Ya…, Sang Nafs tadi dihantar oleh Sang Gerak Kolosal itu untuk merangkai amal (peran) dan
menenun kehidupan tanpa henti-hentinya sampai Sang Nafs menemukan posisi akhirnya (maqam)
yang akan tidak berubah lagi. POSISI ABADI. Posisi akhir ini seharusnya adalah pada posisi “Diri
yang Universal” (Nafsul Muthmainnah). Karena memang Sang Gerak itu selalu punya
kecenderungan (gharizah) untuk mengantar Sang Nafs mengarah kepada suasana Diri yang
Universal seperti Universalnya suasana GERAK KOLOSAL itu sendiri.
Akan tetapi dalam perjalanan menghantar Sang Nafs menemukan posisi akhirnya (maqam) yang
seharusnya universal, kadangkala GERAK itu sepertiterhenti di tengah jalan. Gerak itu
adakalanya tertahan oleh kuatnya tarikan ketubuhan (hawa un nafs) dan berubah menjadi posisi
yang rendah dan terkotak-kotak. Ada nafs yang hanya sanggup mencapai suasana diri
yang ammarah, ada yang sampai ke wilayah diri yang lawwamah. Semua pencapaian maqam ini
sangat tergantung pada seberapa jauh kita menyadari dan membiarkan Sang Gerak itu membawa
diri kita dari satu suasana ke suasana lain yang lebih universal. Dalam istilah agamanya disebut
sebagai bertambah dan bertambahnya keimanan kita saat kita diperdengarkan dengan ayat-ayat
Tuhan.

Kalaulah Gerak itu hanya bisa menghantar Sang Nafs sampai ke suasana diri ammarah ataupun
diri lawwamah, suasana yang serba tidak menentu, dimana saat di posisi ini Sang Nafs mengaku-
ngaku atas perannya, lalu diri (sang Nafs) itu keburu dipindahkan ke alam akhirat, maka hampir bisa
dipastikan pula bahwa suasana diri yang ammarah ataupun lawwamah itu akan terbawa ke alam
akhirat. Dan suasana tidak menentu itu pun akan dialirkan terus oleh Sang Gerak kepada sang Nafs
yang sudah berpindah alam ke alam akhirat itu. Dalam istilah agamanya Sang Nafs ditarok ditempat
yang penuh siksa (neraka). Dan Gerak itu mengalirkan rasa tersiksa yang tidak menentu tersebut
secara Abadi kepada Sang Nafs. KEKAL, SELAMA-LAMANYA. Hum fiha abada.

Akan tetapi sebaliknya, jika dalam menguntai kehidupan sewaktu di alam dunia Sang Nafs berhasil
mengikuti hantaran Sang Gerak sampai ntek…!!, untuk menemukan posisinya yang HAKIKI, yaitu
posisi Diri Universal (Nafsul Muthmainnah), lalu dalam posisi diri universal itu Sang Nafs dipindahkan
oleh Sang Gerak ke kehidupan alam akhirat, maka sungguh beruntunglah Sang Nafs itu. Karena
pada suasana diri universal itu sudah tidak ada lagi ketakutan dan kekhawatiran. Suasana diri yang
berada di maqam yang tidak ada takut dan khawatir ini disebut dalam istilah agamanya sebagai
suasana SYURGAWI. Ya…, sang Nafs lalu dihantar oleh Sang GERAK meniti hari-harinya yang
abadi untuk merasakan suasana syurgawi. Sang Gerak itu menghantar Sang Nafs dalam
mengarungi suasana yang dia untai semasa sang Nafs hidup di alam dunia menjadi sebuah
kehidupan syurgawi selama-lamanya. ABADI, KEKAL. Hum fiha abada.

Tapi rentang waktu untuk menemukan posisi abadi ini sangatlah terbatas. Proses menenun kehidupan ini hanya
terjadi selama diri (Sang Nafs) yang terbuat dari saripati tanah masih belum sempurna pembentukannya. Selama
saripati tanah itu masih disempurnakan di sana-sini, masih disembuhkan setelah sakit, masih diganti sel-selnya yang
rusak, masih diemplek-emplek oleh Sang Gerak menuju yang lebih sempurna, maka hanya pada saat itulah kita
punya kesempatan untuk merenda kehidupan kita menuju posisi Diri Universal sebagai bekal untuk kehidupan abadi
di akhirat. Karena kalau saripati tanah itu sudah sempurna, sehingga tidak ada lagi yang perlu dipermak, tidak perlu
lagi sel-selnya yang rusak untuk diganti, maka saripati tanah itu sudah tidak diperlukan lagi. Maka Sang Gerak itu
mengambil kembali satu persatu aliran-aliran yang pernah dialirkan Sang Gerak kepada Sang Nafs yang berupa
saripati tanah itu. Sang Gerak itu tidak lagi mengalirkan rasa melihat, rasa mendengar, rasa tahu, dan yang
terakhir rasa hidup kepada saripati tanah itu. Lalu sang Nafs secara kehidupan dunia dikatakan MATI. Dan
kemudian saripati tanah yang tadinya dibentuk dalam bentuk tubuh manusia itu diurai melalui gerak pembusukan,
pelelehan oleh Sang Gerak untuk kembali menjadi unsur-unsur tanah.

Akan tetapi ada sebuah rahasia maha besar yang tersimpan dalam rentang waktu menenun kehidupan selama
hidup di dunia itu. Kita tidak tahu kapan Sang Gerak itu memutuskan bahwa peran saripati tanah itu sudah sempurna
dan lalu sang Gerak itu akan berhenti mengalirkan aliran Melihat, Mendengar, Tahu, dan Hidup kepada saripati tanah
yang sedang merajut peran itu. Kita tidak tahu rahasia itu. Bisa jadi sepuluh tahun lagi, atau bisa juga besok, atau
bahkan beberapa menit lagi peran saripati tanah itu sudah dianggap sempurna oleh Sang Gerak, sehingga saripati
tanah itu lalu dimatikan. Dan dalam ketidaktahuan kita itulah kita harus berpacu dengan waktu untuk merenda hari
agar bisa mencapai posisi Diri yang Universal yang dampaknya akan abadi di kehidupan akhirat nantinya. Sebuah
perjudian hidup yang sangat besar sebenarnya tengah kita jalani tanpa kita sadari.

Akankah kita lalai dalam perjudian hidup yang maha besar itu…??.

Terpulang kepada kita saja sebenarnya.

Seiring dengan diambilnya Melihat, Mendengar, Tahu dan Hidup dari saripati tanah itu oleh sang Gerak, maka sang
Gerak itu lalu menghantar Sang Nafs untuk beralih alam dari alam dunia menuju alam Akhirat. Bersamaan dengan
transformasi kehidupan Sang Nafs itu, maka Sang Gerak itu tetap mengalirkan Melihat, Mendengar, Tahu dan Hidup
itu kepada Sang Nafs yang sudah berubah bentuk menjadi “kupu-kupu akhirat”, sebuah bentuk yang tidak sama
dengan susunan saripati tanah seperti sebelumnya. Dan dalam bentuk “kupu-kupu akhirat” inilah kehidupan yang
sebenarnya baru dimulai untuk sebuah kehidupan ABADI dalam suasana sesuai dengan pencapaian Sang Nafs
selama menenun kehidupan di alam dunia. “Sang kupu-kupu akhirat” ini tak lain dan tak bukan adalah Sang Nafs
juga dalam bentuk lain. Dan Sang Gerak itu tetap mengantarnya secara ABADI pula.

Makna Spiritualitas

Spiritualitas tak lain dan tak bukan adalah adalah sebuah pergerakan kesadaran
(INGAT=DZIKIR) substansi manusia (NAFS = DIRI, JIWA) untuk patuh, tunduk, dan
takluk terhadap KEHENDAK ZAT yang merupakan SUMBER dari sebuah GERAK KOLOSAL yang
membentuk, menghidupkan, mematikan, menggerakkan, dan mencerdaskannya selama waktu yang
telah ditentukan untuknya. Selama dalam proses kreatif, dari awal pembentukan sampai dia mati
kembali, saat dia di-emplek-emplek, dirombak, lalu disempurnakan kembali, dan akhirnya dimatikan,
maka substansi Nafs itu harus disadarkan bahwa dirinya hanyalah bentuk qodrat Tuhan. Jantung
adalah qodrat Tuhan, tubuh adalah qodrat Tuhan, sudur (dada) adalah qodrat Tuhan, otak adalah
qodrat Tuhan. Artinya semua atribut dari Nafs itu hanyalah tempat Tuhan berkreasi, tempat Tuhan
berbuat keramaian, tempat Tuhan menciptakan peradaban bagi kepentingan Nafs itu sendiri.

Dengan munculnya kesadaran ingat (dzikir) pada Nafs (diri, jiwa) bahwa Sang Nafs itu hanyalah
bentuk dari qodrat Tuhan, makasaat itu pulalah Sang Nafs bisa mengikuti sebuah Gerak Universal
yang sangat KOLOSAL dengan tanpa hambatan bisa menemukan jalan kembali kepada Pemiliknya.
Dalam istilah agamanya Gerak Universal yang kolosal itu disebut sebagai Sang MIN-RUHI (ruh-Ku)
atau disebut juga RUH yang cenderung membawa apapun untuk kembali mengarah kepada Sang
Pemiliknya. Ya…, Sang Ruh ini tidak lagi tersangkut oleh “gravitasi sifat dan bawaan” Nafs (hawa un
nafs) atau tarikan alam-alam rendah lainnya seperti jin, syetan, iblis, harta, tahta, dsb. Sang Ruh
akhirnya mampu saling berinteraksi dengan Sang Pemiliknya, yaitu AKU (Allah). Sehingga akibatnya
Sang Nafs ikut menjadi objek yang menerima pencerahan demi pencerahan, karena Sang Nafs itu
sudah tidak punya pengakuan lagi. Hanya tinggal satu Aku yang hakiki yang mengaku-ngaku, yaitu
Aku (Allah).

Proses perjalanan kesadaran (INGAT) untuk TUNDUK, PATUH, dan TAKLUKnya NAFS kepada
kehendak (qodrat) Tuhan, dan proses KEMBALINYA MIN-RUHI kepada Sang Pemiliknya setiap
saatinilah yang disebut dengan peristiwa spiritual yang merupakan FITRAH, atau SUNNAH
(Sunatullah) bagi setiap makhluk ciptaan-Nya tak terkecuali bagi manusia, Sang Duta Istimewa.

Jadi dalam proses spiritual itu ada 3 aktivitas besar yang terjadi berbarengan pada saat yang sama:

a. Proses perjalanan kesadaran bahwa diri manusia, otak manusia hanyalah bentuk qodrat
(kehendak) Tuhan, maka kehendak Tuhan itu lalu menghadap(patuh, takluk, tunduk) kepada
Sunnah Tuhan (Sunnatullah).
b. Proses perjalanan kesadaran bahwa ruh manusia (atau kadang-kadang di sebut juga oleh
Pemiliknya dengan sebutan Aku, Bashirah = Yang Tahu) itu adalah Min-Ruhi (Ruh-Ku), ruh milik
Tuhan, ruh Tuhan, maka lalu ruh itu dengan kehendak Tuhan kembali kepada Tuhan (Innalillahi wa
inna ilaihi rajiuun = Aku adalah milik Tuhan, dan Akupun kepada Tuhanku Kembali )
c. Proses perjalanan rasa ingat Tuhan menghadap kembali kepada Tuhan. Yusdeka tidak bisa
membuat RASA INGAT.
d. 4.Kerancuan sistematika berfikir yang sangat luar biasa juga telah terjadi dalam memahami
Sunnah (Al Qur’an dan Al Hadits).
e. 5.Menjadikan Agama Sebagai Kuda Tunggangan

Qodrat Allah kembali kepada Allah…!!


Min-Ruhi (Ruh milik Allah) kembali kepada Allah …!!.
Rasa ingat Allah kembali kepada Allah …!!
Maka saat itu sirnalah nama-nama
Lenyaplah pandangan dan pendengaran
SirnalahYusdeka
TIADA LAGI PENGAKUAN …!!!.
Sirna…, sirna….
Tiada…, tiada…
Lenyap…, lenyap…
KOSONG…!!!
Yang ada adalah Yang Ada…,
Yang Ada…,
YANG ADA…!!!
Yusdeka fana, tiada,
dan yang ada hanyalah Yang ADA…!!!
Yang ADA adalah AKU yang bening yang lepas dari tarikan grafitasi NAFS dan terhindar
dari pengaruh Alam-alam RENDAH lainnya..
Yang ADA adalah AKU yang bening dan jernih yang selalu mendapatkan NUR dan
BURHAN (pencerahan, enligthment) dari Tuhanku.
AKU…, AKU…, AKU…, AKU…,
INGSUN…, INGSUN…,
SANG HIDUP…,
SANG TAHU…,
SANG MATA KEHIDUPAN…,
Maka apabila AKU telah bernyata:

"…Maka (yang sebenarnya) bukan kamu yang membunuh mereka, akan tetapi Allahlah yang
membunuh mereka, dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah
yang melempar..." (Al Anfaal 17).

"…Maka Aku merupakan pendengaran yang ia gunakan, Aku merupakan penglihatan yang ia
gunakan, Aku merupakan tangan yang ia gunakan untuk menyerang, dan Aku merupakan kaki
yang ia gunakan untuk berjalan…” (Hadits Qudsy, HR Bukhari)

Jadi SPIRITUALITAS adalah sebuah proses PEMBEBASAN AKU dari pengaruh hisapan dan
jebakan gravitasi-gravitasi NAFS (Hawa Un NAFS) yang berupaPikiran dan Rasa. Sehingga Sang
NAFS secara otomatis juga akan terbebas dari tarikan alam-alam rendah (jin, syetan, iblis, dan
NAFS-NAFS lainnya). AKU lalu kembali kepada FITRAH-KU dengan menjadi substansi
yang MERDEKA, yang selalu mengarah, memancar kepada TUHAN-KU sehingga AKU selalu
mendapatkan arahan dan pancaran NUR dari TUHAN-KU setiap saat. Sesuai dengan tugas-KU
sebagai Duta Istimewa, maka AKU lalu menjadi menjadi KUSIR atas NAFS-KU untuk mengelola dan
memakmurkan dunia ini sesuai dengan Sunnah Tuhan-Ku (sunatullah) ... !!!

Kalau tidak sampai mendapatkan AKU yang bening dan merdeka seperti ini, maka posisi itu
namanya adalah diri yang tersekat, tersasar, yang dalam istilah agama disebut
dengan SYIRIK… !!!. Perilaku syirik inilah yang menjadikan manusia itu disebut sebagai
PENGKHIANAT TUHAN. Sang Duta Istimewa yang mbalelo terhadap Tuhan yang mengutusnya.

Kerancuan Dalam memahami Al Qur’an-1:

Secara sistematis Al Qur’an telah menjadi sebuah kitab kosong yang hanya tinggal sebatas dibaca, dihafal, dan
dilombakan. Ada memang upaya dilakukan untuk penafsiran ayat-ayatnya secara kontekstual, akan tetapi
sayang tafsirannya itu masih terkesan ragu-ragu dan malu-malu dan nyaris selalu dibawa mundur dan mundur
ke alam budaya dan pengertian zaman Salafus Shalih sekitar seribu tahunan yang lalu.

Padahal Al Qur’an itu adalah sebuah kunci pembuka sebuah gudang penyimpan senjata pusaka yang sangat ampuh
bagi bekal kehidupan umat manusia. Allah menyatakan di dalam Al Qur’an bahwa ada senjata pusaka di sebuah
gudang penyimpanan rahasia yang diperuntukkan bagi umat Islam sebagai pewaris dan penerima peta wasiat
tempat penyimpanannya. Akan tetapi kunci itu secara tidak sengaja ternyata telah dibuang oleh umat Islam dan telah
beralih tangan kepada umat yang tidak beragama Islam. Sehingga mereka berhasil mendapatkan senjata pusaka
yang ternyata memang sangat ampuh untuk bekal mengelola dunia ini. Bahkan sangat ampuh untuk menghadapi
dan mengalahkan umat Islam itu sendiri.

Hal ini persis seperti kejadian dalam cerita silat Kho Ping Hoo, dimana seorang Pendekar Sakti
meninggalkan pusaka berupa sebuah kitab silat dan Pedang Penakluk Naga. Di akhir hayatnya,
Pendekar itu menyepi mencari jalan Tuhan di dalam sebuah gua tersembunyi sampai matinya. Si
Pendekar masih sempat menuliskan sebuah pesan singkat (peta menuju Gua Rahasia itu) sebelum
nafasnya berhenti:

“Peta ini akan menuntun bagi siapapun yang menemukan peta ini untuk menuju gua tempat
menyimpan kitab dan pedang sebuah ilmu silat yang sangat hebat. Semoga ilmu ini tidak
berpindah tangan kepada orang-orang yang jahat, sebab kalau ilmu ini dipegang oleh orang
jahat, maka dunia persilatan akan mengalami kekacauan dahsyat…”.

ttd.
Pendekar Sakti….

Singkat kata, melalui sebuah peristiwa “kebetulan”, kitab dan pedang pusaka sakti itu duluan jatuh ke tangan
seseorang yang mempunyai karakter jahat dan angkara murka. Tak lama kemudian tersiarlah kabar ke seantero
negeri bahwa seorang pendekar jahat telah turun gunung malang-melintang di dunia persilatan menebar bencana.

Gua itu telah kosong, kitab dan senjata pusakanya telah berpindah ke tangan yang salah. Walaupun
suatu saat nanti ada pendekar baik-baik yang menemukan gua itu, maka dia tidak akan menemukan
apa-apa lagi. Tinggallah dunia persilatan yang mayoritas berisikan orang-orang baik menjadi bulan-
bulanan si pendekar jahat. Sementara itu si pendekar baik hanya termangu menyadari
keterlambatannya.

Untuk dapat mengalahkan ilmu si pendekar jahat yang sakti itu, maka diperlukan pula kitab dan senjata pusaka lain
yang seimbang. Butuh berbilang tahun kemudian untuk munculnya seorang pendekar sakti yang baik sebagai lawan
yang seimbang bagi si pendekar jahat itu. Bahkan mungkin harus berganti generasi dulu baru dunia persilatan untuk
kembali aman dan damai….!!

Hal yang serupa juga terjadi dalam realitas perjalanan agama Islam. Pada awalnya penyebarannya, umat Islam telah
dibekali dengan sebuah peta yang akan membawa penganutnya untuk menemukan sebuah pusaka untuk mengelola
dan memakmurkan dunia. Peta itu adalah Al Qur’an yang telah dengan baik dipakai oleh Rasulullah Muhammad
SAW untuk mendapatkan senjata pusaka yang cocok untuk menghadapi segala problematika hidup di zaman Beliau.
Akan tetapi berbilang zaman kemudian, peta itu telah dipakai dan direalisasikan oleh orang lain, dan mereka berhasil
mendapatkan senjata pusaka yang sangat ampuh. Sedangkan bagi umat Islam, yang tersisa tinggallah peta kosong
yang nyaris tidak bermanfaat apa-apa, selain hanya untuk mendapatkan pahala dalam membaca dan menghafalnya.

Ya…, akibatnya, fungsi Al Qur’an yang tertinggal bagi umat Islam (dengan paradigma berpikir seperti sekarang ini)
boleh dikatakan hanyalah sebatas gudang yang sudah kosong melompong. Isinya telah duluan diambil oleh umat
non muslim. Dengan senjata itu pulalah mereka mengalahkan dan mengebiri umat Islam hampir di seluruh dunia.
Tinggallah umat Islam bisanya hanya sebatas meratapi nasib dan memaki-maki sana-sini. Memaki Amerika, memaki
Yahudi, memaki Barat… !!!.

Walaupun Barat telah menemukan senjata pusaka itu, akan tetapi ternyata Barat tidak mampu memanfaatkan
pusaka itu dengan utuh. Ada jurus-jurus dan amunisi yang tertinggal. Dan yang tertinggal itu ternyata adalah bagian
pamungkas dari rangkaian ilmu dalam pusaka yang telah tercuri itu. Akibatnya Barat gagal memanfaatkan pusaka itu
untuk kemakmuran dunia. Alih-alih memakmurkan dunia, malah Barat terperosok kepada penghancuran dunia
dengan peradaban manusia di dalamnya.

Lengkap sudah sarana untuk penghancuran peradaban manusia itu tersedia saat ini. Di satu pihak umat Islam sudah
tidak punya pusaka apa-apa lagi sebagai bekal untuk membangun peradaban itu. Dipihak lain umat non muslim
(baca Barat) berhasil mendapatkan pusaka itu, akan tetapi sayangnya bagian terpenting dari pusaka itu yang
berfungsi sebagai sebagai langkah penutup atau langkah pamungkas malah mereka tinggalkan. Yaa…, beginilah
dunia jadinya…!!!

Apa bentuk senjata pusaka yang telah dicuri orang itu..??.

Nanti akan saya bahas lebih dalam pada artikel “Rekonstruksi Berfikir” sub bagian “Al Qur'an
Adalah Teropong Kauniah”.

Kerancuan Dalam memahami Al Qur’an-2:

Kerancuan pemahaman Al Qur’an yang lainnya adalah dalam hal memahami DUALITAS yang
terkandung di dalam ayat-ayatnya. Dalam artikel “Menggabung Kutub Dualitas”, saya sudah
singgung secara cukup detail, bahwa di dalam Al Qur’an seperti ada dua kutub sikap yang
sepintas “kelihatannya”saling berlawanan (bertentangan) bagi manusia dalam menjalani kehidupan
ini, yaitu KUTUB RASIONALIS dan KUTUB FATALIS. Kedua kutub ini difasilitasi keberadaannya oleh
Al Qur’an:

Kutub RASIONALIS difasilitasi paling tidak oleh ayat berikut:

"....Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah
keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan
terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada
pelindung bagi mereka selain Dia". (Ar Ra'du 11)

Kutub FATALIS diwakili secara umum oleh ayat berikut:

"...Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan ke
luar. Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang
bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan) nya. Sesungguhnya
Allah melaksanakan urusan (yang dikehendaki) Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan
ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu". (At Thalaaq 2-3)

Nah…, dengan paradigma kerancuan berfikir seperti sekarang ini, jarang sekali umat Islam yang
mampu menggabungkan kedua kutub tersebut menjadi sebuah harmoni dalam kehidupan, seperti
harmoninya panas dan dingin di permukaan bumi yang telah menghasilkan angin, awan, dan hujan.
Umumnya, orang hanya masuk ke dalam sebuah kutub saja dan menafikan kutub yang lainnya.

Misalnya, orang yang hanya berada pada posisi kutub RASIONALIS, maka segala sesuatunya yang
mereka hadapi akan diukur dengan meteran RASIONAL atau TIDAK-nya. Namun sayangnya
meteran yang dipakai untuk mengukur itu seringkali adalah file yang tersimpan di dalam otaknya.
Dan alat masukan datanya juga hanya sebatas pada bacaan, melihat, dan mendengar atas objek
yang sedang diamatinya.

Dalam posisi kutub ini ALLAH seperti berlepas tangan terhadap apa-apa yang akan dicapai oleh
manusia. Dari ayatnya, manusia di fasilitasi untuk mengembangkan diri tanpa batas.

“Kau rubah kehidupanmu sendiri…”

“Kau tentukan masa depanmu sendiri…”

“Aku tidak ikut-ikut untuk merancang masa depanmu…”

Luar biasa sekali fasilitas yang diberikan Tuhan ini, bahkan nyaris bisa membawa orang untuk
bersikap ATHEIS. Dan dengan fasilitas begitu bebasnya, telah lahir berbagai pengetahuan tentang
kealaman seperti fisika, kimia, matematika, biologi, ekonomi dan ilmu-ilmu lainnya. Semuanya ilmu
itu ternyata memang bermanfaat untuk mengantar peradaban manusia meniti zaman.

Akan tetapi, karena mereka hanya mementingkan faktor rasionalitas belaka, tak jarang yang terjadi
adalah munculnya generasi yang pada satu sisi mereka memang mampu menangkap bahasa Tuhan
yang berada pada setiap ciptaan Tuhan, akan tetapi di sisi lain mereka merasakan kekeringan RASA
di dalam JIWA-nya. Akibatnya untuk mencari kekeringan JIWA itu, maka praktek-praktek mengasah
dan menghidupkan rasa itu sangatlah digandrungi mereka. Di Barat sana, yang digandrungi orang
dan berkembang dengan pesat saat ini adalah praktek-praktek tasawuf, meditasi,
psychic, psychology trance personal/transcendental, yang tentu saja dengan OBJEK FIKIR yang
berbeda-beda pula.
Pembimbing kami pernah ajukan pertanyaan kepada seseorang dari Perancis, saat dia datang ke
Indonesia mencari tasawuf: “Kenapa anda ingin masuk ke tasawuf, bukannya mencari Islam atau
Kristen..?. Jawabnya: “Saya nggak mau Islam, saya nggak mau Kristen, karena dua-duanya suka
berantem dan senang gontok-gontokan..”. Duh kasihan sekali agama-agama ini... !!.

Penyebab dari kekeringan jiwa ini kalau ditelusuri dari bunyi ayat Ar Ra’du 11diatas, maka bagi yang
manusia yang arif akan dapat menangkap pokok permasalahannya, yaitu karena sang manusia telah
berkhianat terhadap Tuhan. Manusia yang walaupun kelihatannya mampu sedemikian rupa untuk
mengembangkan peradaban dan pengetahuannya sampai “keujung ilmu”, mereka ternyata
kebanyakan lupa bahwa pada hakikinya (yang sebenarnya) Tuhanlah yang merubah peradaban
manusia. Tuhanlah yang menciptakan ilmu, Tuhanlah yang berkreasi, Tuhanlah yang menata
peradaban manusia itu. Awal ayat diatas menyiratkan: “nanti Ku rubah dan Ku ikuti seperti apa
maumu…”. Ya…, pada hakekatnya Tuhanlah yang berkehendak, yang mengatur peradaban
manusia melalui “aliran tahu, aliran cerdas, aliran kuasa” yang menyusup mengisi sel-sel otak
manusia. Jadi HANYA KELIHATANNYA saja manusia itu bisa, manusia itu tahu, manusia itu kuasa,
dan sebagainya, padahal semua itu adalah fasilitas MILIK ALLAH yang diberikan buat manusia untuk
mengemban amanat sebagai Duta Istimewa Tuhan di dunia ini.

Ya…, masalahnya ternyata hanya sederhana saja. Sang Duta Istimewa telah lupa, lalai, tidak ingat (nisyan)
bahwa semua fasilitas itu harus didudukkan pada tempat yang sebenarnya. Untuk dengan kerelelaan dan
kesadaran penuh MENGEMBALIKANNYA kembali kepada ALLAH.

Ya…, PENGEMBALIAN… !!!!.

(Uraian lebih lengkap tentang sikap pengembalian ini akan saya berikan dalam artikel “Rekonstruksi
Berfikir”.

Pada kutub yang berlawanan, yaitu kutub FATALIS, hal yang sebaliknya terjadi. Pada kutub ini kalau
dilihat secara sepintas seakan-akan sudah islami sekali. Sedikit-sedikit omongan yang keluar dari
mulut kaum fatalis ini adalah taqwa, tawakkal, beriman, syurga, ketinggian derajat Islam, dan
segudang yang baik-baik lainnya. Semua disampaikan dengan sangat FASIH sekali, saking hafalnya.
Atribut Islam lain pun seperti melekat erat dengan kutub ini, misalnya kitab-kitab kuning, kitab Arab
gundul. Konsep-konsep kenegaraan dan kepemimpinan islami pun muncul, walaupun pada tatanan
atau pola yang masih berupa ide-ide lama yang diberikan sedikit sentuhan istilah-istilah terkini. Akan
tetapi pada kenyataannya, “jalan keluar (makhraja) dari setiap permasalahan, begitu juga
pencukupan dari segala kebutuhan” seperti yang dijanjikan Tuhan dalam surat At Thalaaq ayat 2-
3 sepertinya masih jauh panggang dari api kalau tidak mau dikatakan gagal total.

Walaupun nyaris tanpa hasil seperti tadi, namun masih ada hal-hal positif yang bisa diambil sebagai keunggulan para
pengamal kutub fatalis ini. Yaitu ketakutan mereka akan neraka, siksa kubur, dan sekaligus juga harapan mereka
yang sangat besar untuk dapat mencicipi nikmat syurga dan melihat wajah Tuhan langsung nantinya di AKHIRAT,
telah membuat mereka bisa mampu bersikap, berperilaku dan bertindak sesuai dengan karakter atau simbol-simbol
kebaikan, walau dengan hati yang tertatih-tatih. Kerisauan dan pertanyaan panjang akan ketiadaan hasil dalam
wujud materi (pengetahuan dan uang) itu kemudian berhasil mereka redam dengan memakai ayat:

Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang dikehendaki) Nya. Sesungguhnya Allah telah
mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu". (At Thalaaq 2-3).

Sekilas…, bersandar kepada ayat ini kelihatan sangat qur’ani sekali. Allah telah mengatur segala
sesuatunya buat manusia, manusia tinggal bertakwa, bertawakkal, beriman saja, dan hasilnya Allah
yang akan menentukan segala sesuatunya buat si manusia. Akan tetapi dengan hanya bersandar
kepada ayat inilah kemudian yang memuculkan KEJUMUDAN pemikiran di dalam mayoritas umat
Islam. Umat Islam kehilangan RASIONALITASNYA dalam kehidupan beragamanya. Yang muncul
adalah sebuah praktek agama dengan karakter penganutnya berpola fikir doktrinasi. Doktrin…,
doktrin…, dan doktrin…, sehingga melahirkan generasi TAKLID terhadap buah karya ulama-ulama
terdahulu. Dan ulama lalu jadi tersegmentasi menjadi hanya sekedar sekelompok orang yang hafal,
yang fasih dengan ayat-ayat Al Qur’an, Al Hadits, dan istilah-istilah agama lainnya.

Sedangkan mengenai tanda-tanda Tuhan yang bertebaran di alam semesta, di langit dan di bumi,
sang ulama fatalis ini hanya bisa terbengong-bengong tidak tahu apa yang akan diucapkan. Sang
ulama hanya berpuisi tentang alam semesta itu.

Oh langit, ada apakah gerangan yang ada padamu ??.

Oh bumi…, kandungan apa yang ada diperutmu ???.

Oh waktu dhuha, alangkah indahnya kamu…!!!.

Yang ada hanya puisi…, puisi, dan itu dilagukan dengan suara yang sangat mendayu-dayu.

Allah sendiri “bingung” menghadapi orang fatalis seperti ini. Allah berkali-kali mengatakan, bahwa Dia
menciptakan apa-apa yang ada di langit dan di bumi ini untuk dikelola, untuk dimanfaatkan oleh
manusia untuk kemakmuran mereka. Bahkan Allah ingin menciptakan alat transportasi melalui otak
manusia.

Allah ingin menciptakan obat-obatan yang menyembuhkan melalui otak manusia.

Allah ingin menciptakan peradaban demi peradaban melalui otak manusia.

Allah menciptakan pesawat terbang dan kapal laut melalui otak manusia.

Allah menciptakan bom atom melalui otak manusia.

Sama halnya dengan Allah menciptakan oksigen lewat fotosintesis dunia tumbuh-tumbuhan.
Begitulah seterusnya. Allah mencipta “KUN” dan dengan sebuah proses lalu jadilah “FA YAKUN”.

Tapi sang manusia fatalis hanya bisa berperilaku dan bersikap :

Saya cukup bertakwa saja.

Saya cukup bertawakal saja.

Saya cukup berdo’a saja.

Saya cukup sama dengan ulama-ulama dulu kala saja. Biar umat lain yang menciptakan pesawat, obat-obatan, dan
peradaban baru.

Saya cukup zuhud saja.

Saya cukup ikhlas saja.

Saya cukup mencintai Tuhan saja.

Saya tidak perlu dunia ini, saya adalah umat yang mementingkan kehidupan akhirat saya saja, saya hanya ingin
syurga saja ….!!!!.

Duh Gusti …, yakin benar mereka bisa masuk ke syurga…!!!


Lebih jauh lagi…, bahkan Allah menciptakan manusia dengan perantara otak manusia. Allah ciptakan
rasa enak pada manusia saat mereka berhubungan antara suami-istri. Rasa enak itu termemori di
otak mereka, sehingga pada waktu-waktu tertentu memori itu muncul kembali untuk dipuaskan
kembali. Jadi Allah “bingung” melihat kalau ada manusia yang tidak mau untuk menikah. Tapi… eiiiit
tunggu dulu, ternyata dalam usaha membantu Tuhan untuk menciptakan manusia inilah manusia
fatalis dapat tersenyum dengan sumringah. Karena mereka sangat hapal dengan ayat Al Qur’an
bahwa mereka boleh menikahi wanita sampai empat. Sehingga mereka lalu dengan bangga
mengatakan bahwa mereka ikut sunnah Nabi, mereka ikut anjuran Al Qur’an. Ah…, Anda ini…!!

Lengkap sudah fasilitas pengkhianatan duta istimewa Tuhan itu. Sudahlah berpecah dan saling hantam yang dimulai
sejak tumbuhnya cikal bakal peradaban Islam, yaitu dimulai oleh perselisihan mertua dengan menantu (Aisyah
dengan Ali bin Abi Thalib) yang kemudian ini membidani lahirnya perseteruan abadi antara Mahzab Sunni dengan
Mahzab Syi’ah. Kemudian ditambah lagi munculnya pengkristalan kutub RASIONALIS dan FATALIS di zaman
RUSYDI dan GHAZALI. Dimana RUSYDI boleh dikatakan sebagai bidan yang melahirkan kutub RASIONALIS,
sedangkan GHAZALI membidani lahirnya kutub FATALIS. Dimana antar Mahzab besar, dan antar KUTUB diatas
terjadi pertentangan dan penyesatan antara para pihak yang terkristal itu.

Padahal melalui otak kedua orang inilah (RUSYDI dan GHAZALI) Tuhan berkreasi untuk
menempatkan tonggak pergerakan peradaban dunia, terutama pasca pencerahan agung yang
misterinya berhasil dikuak oleh Muhammad SAW. Pada awalnya keduanya adalah pribadi-pribadi
yang lengkap. Keduanya adalah manusia rasionalis dan sekaligus juga fatalis. Keduanya
berkembang sedemikian rupa sehingga pada suatu waktu dimana keduanya mulai dilanda
olehproblema keakuanmasing-masing. Sampai suatu saat Ghazali menghujat Rusydi melalui
bukunya yang terkenal Tahafut al Falasifah (kerancuan atas logika berfikir). Kemudian Rusydi pun
membalasnya dengan tak kalah sengitnya dalam Tahafut al Tahafut (kerancuan atas kerancuan).
Dan daya perseteruan kedua orang ini memancar sampai ke zaman sekarang ini, yang kemudian
bermuara dengan pengharaman ijtihad (kebebasan berfikir rasional atas setiap problematika
kehidupan manusia) di wilayah Islam (timur). Sejak itulah mulai zaman kejumudan pemikiran (fatalis)
dalam perjalanan Islam mulai ditanamkan.

Akibatnya, bangunan Islam yang kokoh yang pernah dibangun dengan susah payah oleh Nabi Muhammad SAW,
kemudian berubah menjadi sebuah bangunan yang di dalamnya menyimpan bara api yang siap menyambar dan
membakar orang-orang yang ada di dalamnya, orang-orang yang kelihatannya saja sama tapi pada kenyataannya
adalah berbeda. Bangunan Islam jadinya seperti sebuah aliran air sungai yang kelihatannya saja tenang, tapi
ketenangan itu sanggup menyapu bersih apa-apa yang ada di atasnya tanpa sisa.

Dalam perjalanannya, karakter Ghazalian (fatalis) ini kemudian menyebar ke belahan bumi bagian
timur. Dengan memanfaatkan DOKTRIN yang ketat terhadap pengikutnya, maka ciri-ciri fatalis ini
kemudian diadopsi dan dipakai oleh kedua mahzab besar (Sunni dan Syiah) dalam mengembangkan
sayap mereka. Jadi pada hakekatnya, Islam yang diwakili oleh peradaban TIMUR itu, tidak lain dan
tidak bukan adalah kelanjutan dari pemikiran-pemikiran fatalis Al Ghazali yang kemudian disesuaikan
dengan karakter dari sub-usungan yang akan dipasarkan oleh penganutnya. Dalam hal ini
penyebaran agama Kristen juga sangat terpengaruh dengan karakter Ghazalian ini. Hal ini
disebabkan karena wilayah Timur memang sangat dekat keberadaannya dengan peradaban yang
lebih tua, yaitu peradaban Hindu, Budha dan Persia. Peradaban tua ini kemudian ikut mewarnai
penyebaran kebudayaan Islam ke arah timur. Walaupun usungannya berbeda, tetap saja ada benang
merah yang bisa ditarik dengan karakter yang sama untuk masing-masing sub usungan itu, yaitu
TAKLID BUTA, TERIKAT KUAT DENGAN DOKTRIN, dan manfaatnya untuk membangun peradaban
dunia pada zamannya nyaris tidak ada.
Di lain pihak, karakter RUSYDIAN (rasionalis) berjaya memunculkan berbagai ilmu pengetahuan dan
filsafat di kota Cordoba, yang saat itu merupakan wilayah yang begitu mencorong dengan peradaban
Islam dan perkembangan teknologinya. Sampai saatnya, kemudian peradaban Islam di Cordoba ini
dihancurkan oleh umat Kristen dalam peperangan demi peperangan. Buku-buku pengetahuan yang
sangat berharga, waktu itu diboyong habis ke pelosok-pelosok Eropa dari Cordoba oleh pasukan
Kristen sebagai pemenang perang. Cordoba lalu tinggal menjadi sejarah. Hebatnya, untuk umat
Islam, yang disisakan hanyalahkitab-kitab sastra Arab, seperti kitab ilmu balaghah, ilmu fiqih,
ilmu nahu sharaf, ilmu tasawuf, ilmu hadits, ilmu tafsir Al Qur’an, dan sebagainya. Umat Islam lalu
sibuk atau disibukkan dengan sastra Arab itu yang kemudian hanya pengetahuan sastra Arab inilah
yang dianggap sebagai Islam, bahkan sampai saat ini sekali pun masih seperti ini. Hasilnya adalah
sebuah bangunan Islam yang cenderung berkarakter FATALIS.

Masyarakat Eropa kemudian mengadopsi kejayaan kaum Rasionalis ini yang ujung-ujungnya adalah
terbukanya kunci-kunci pintu ilmu pengetahuan. Lalu bermunculanlah penemuan-penemuan baru di
bidang teknologi, kedokteran, fisika, kimia, biologi, kedokteran, ekonomi, dan tak terkecuali
kebudayaan. Kunci-kunci ilmu inilah kemudian yang merupakan cikal bakal yang melahirkan dan
membawa peradaban Barat sampai seperti saat sekarang ini. Sebuah peradaban yang berkarakter
RASIONALIS. Tentang kunci-kunci ilmu ini akan saya uraikan lebih dalam pada
artikel “Rekonstruksi Berfikir” sub bab “Al Qur'an Adalah Teropong Kauniah”.

Yang menarik adalah, bahwa kunci-kunci ilmu itu juga ternyata bersinggungan dengan keyakinan gereja yang kalau
dilihat karakter pengajarannya juga bersifat FATALIS. Gereja pada umumnya juga memelihara doktrin-doktrin yang
lebih sering bertentangan dengan rasionalitas berfikir. Saat itu pernah terjadi “pengharaman” ilmu pengetahuan.
Bahkan terjadi juga pembunuhan terhadap ilmuan yang mempunyai pendapat yang bertentangan dengan gereja.
Persinggungan itu mencapai puncaknya tatkala kaum rasionalis memproklamirkan posisi untuk memisahkan diri dari
gereja. Pemisahan posisi gereja (agama Kristen) dari ilmu pengetahuan dan teknologi (rasionalitas) itulah yang
sekarang disebut sebagai gerakan SEKULERISASI. Jadi kaum sekuler itu adalah sekelompok orang yang keluar dari
karakter ajaran gereja yang FATALIS dan DOKTRINASI menuju kepada sebuah gerakan yang mengutamakan
karakter RASIONAL dan KEBEBASAN BERFIKIR dalam menyikapi peradaban. Dan ternyata gerakan sekuler ini
berhasil menancapkan peradaban modern sampai kepada kita saat ini.

Kalau dilihat dengan hati yang jernih, gerakan sekuler ini adalah sebuah pergerakan orang untuk
meninggalkan gereja menuju satu sisi karakter Islam yang dimotori oleh RUSYDI, yaitu
Rasional. Jadi Sekuler itu adalah sebuah gerakan keluar dari gereja untuk kembali kepada
Islam….!!!. Any comments..??.

Dan perkembangan peradaban ISLAM mengarah kemana…????.

Umat Islam dengan modal sastra Arab yang tersisa, kemudian seperti berjalan meniti buih dalam
menghadapi zaman demi zaman. Ratusan tahun kemudian (bahkan sampai saat ini pun) cahaya
Islam seperti padam, atau paling tidak seperti lampu teplok yang kehabisan minyak. Umat Islam lebih
sibuk dengan doktrin-doktrin fatalis yang muncul bak cendawan di musim hujan. Perseteruan Aisyah
dengan Ali bin Abi Thalib dengan doktrin semangat serba akhiratdipelihara dengan gigih oleh
kelompok-kelompok dan aliran-aliran yang terkristal menjadi Sunni disatu sisi dan Syiah di sisi
lainnya. Walaupun sekilas terlihat berbeda, akan tetapi keduanya adalah bentuk yang sangat mirip,
kalau tidak mau dikatakan sama dan sebangun. Yaitu keduanya adalah penerus karakter yang
dibentuk oleh GhazaliI. Fatalis saja sebenarnya kedua aliran ini. Fatalis dengan “objek fikir dan
objek pemujaan” yang berbeda. Ya…, hanya objek “mind binding” nya saja yang
berbeda. Sunni binding dengan objek “Al Qur’an dan As
Sunnah”, sedangkan Syiah binding dengan objek “Al Qur’an dan Ahlul Bait”. Kedua macam
kalimat sakti ini kemudian sama-sama di klaim oleh masing-masing aliran sebagai “pesan
terakhir” Nabi Muhammad SAW sebelum beliau wafat.

Dari perbedaan dasar berpijak ini, kemudian lahirlah pertentangan “politik” antar Fatalis itu sendiri.
Ulasan tentang As Sunnah di satu sisi versus uraian tentang keistimewaan Ahlul Bait di sisi lain
begitu menggelorakan semangat pengusung Sunni dan Syiah ini. Sampai-sampai Al Qur’an sendiri
pun ikut jadi korban. Ya…, Al Qur’an pun lalu ditafsirkan sesuai dengan muatan usungan masing-
masing. Sehingga jadilah agama hanya sebagai kuda tunggangan “politik” mereka. Duh…, kasihan
sekali Rasulullah…. Jerih payah Beliau mengaktualisasikan Al Qur’an selama hidupnya telah diacak-
acak nggak keruan oleh penerus-penerus tongkat estafet kepemimpinan Beliau hanya dalam
berbilang tahun pasca kewafatan Beliau…

Dalam perjalannya, kemudian dari dua aliran mainstream Islam ini telah lahir ratusan varian yang
dinisbatkan kepada pencetusnya, misalnya:

 Mu’tazilah dengan tidak kurang dari 12 aliran berbeda seperti washiliyyah, hudzailiyyah,
bisyriyyah,…, dsb.
 Jabariyyah
 Shifatiyyah
 Khawarij
 Murji’ah,
 Sedangkan Syi’ah sendiri pecah menjadi tidak kurang dari 30 cabang, misalnya Imamiyyah,
Rizamiyyah, Ismailiyyah al waqifah, …, dsb.
 Ahmadiyah,
 Di zaman modern sekarang, terutama di Indonesia, varian aliran ini juga sangatlah ramai. Hah…,
biarin sajalah…

Hampir 1400 tahun kemudian yang tersisa bagi umat Islam maupun masyarakat dunia hanyalah
buah yang disemai semasa pertikaian Ali dan Aisyah berikut dengan pengikut-pengikut dan penerus
Beliau masing-masing itu. Namun sayangnya buah itu sudah berbau tidak enak kalau tidak mau
dikatakan “busuk”. Sedangkan jejak pohon kehidupan yang menyiratkan rahmat bagi alam semesta
yang ditanam oleh Rasulullah dengan susah payah nyaris tidak berbentuk lagi. Akibatnya umat Islam
yang bilangannya di dengung-dengungkan berjumlah milyaran orang itu benar-benar hanyalah
berupa BUIH seperti yang pernah di ungkapkan oleh Rasulullah. Buih yang tidak sanggup memberi
manfaat bahkan untuk dirinya sendiri sekali pun.

Ah…, mana ada penemuan-penemuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang bermanfaat bagi umat manusia yang
terjadi di negara-negara Islam dari dulu sampai sekarang ini. Yang ada hanyalah nostalgia semu tentang
keberhasilan pemikiran kaum Rusydian (Rasionalis) dulu kala dalam meletakkan dasar-dasar pengetahuan modern
yang dengan cerdik sudah diambil alih oleh masyarakat Barat, bahkan oleh Cina sekali pun. Padahal ilmu
pengetahuan sebagai hasil dari pengamatan perilaku alam (sunatullah) tempat manusia hidup ini adalah senjata
pusaka pamungkas yang diperlukan manusia itu sendiri untuk memikul tanggung jawabnya sebagai khalifah, Sang
Wakil Tuhan dalam mengelola dunia. Namun senjata pamungkas itu disia-siakan oleh umat Islam itu sendiri.
Sehingga entah sampai kapan ujungnya, umat Islam tak ubahnya hanya sebagai kerbau dicocok hidungnya
berhadapan dengan pihak Barat.

Namun untuk menghibur diri maka beberapa tahun yang lalu pemikir-pemikir Islam mencetuskan
slogan bahwa abad sekarang adalah Abad Kebangkitan Islam. Abad dimana Islam mulai menggeliat
untuk bangkit merebut kembali “suasana” kejayaan Islam tempo dulu. Tapi itulah…, senjata pusaka
untuk bekal kejayaan itu sudah hilang dari tangan orang-orang Islam, dan beralih tangan kepada
orang-orang yang tidak beragama Islam, tapi anehnya mereka bersikap dan bertindak secara islami.
Sedangkan bagi orang-orang yang beragam Islam, bahkan kunci untuk masuk ke gudang pusaka itu
pun sudah dibuang entah kemana. Memang kita itu ibarat “harapkan burung terbang tinggi, punai
ditangan dilepaskan pula…”. Habislah sudah….

SELESAI

Wassalam

Deka
MOMENTUM KETUHANAN


Written by Administrator

SEKEDAR PEMBUKA…
Pada bagian yang lalu kita telah membahas cukup lengkap mengenai kulit bawang
spiritualitas yang isinya antara lain mengupas fenomena-fenomena spiritualitas yang
banyak beredar dalam masyarakat sampai menemukan spiritualitas hakiki yang bukan lagi
berada dalam tataran “kulit bawang”, kemudian ditambah pula dengan artikel “Antara
Asyik, Nikmat, dan Bahagia”. Spiritualitas hakiki itu ternyata hanyalah sebuah sikap
keseharian kita dihadapan Tuhan yang bisa diringkas sebagai seorang hamba yang bersedia
untuk memakai baju “sikap berketuhanan”, sehingga yang muncul adalah “TUNTUNAN DARI
TUHAN” yang dalam bahasa sehari-harinya disebut juga sebagai ISTI’ANAH, NASTA’IN yang
selalu saja kita mohonkan secara berulang-ulang dalam setiap raka’at shalat kita: “Iyya-
Ka na’budu wa iyya-Ka nasta’in (kepada-Mu wahai Tuhan kami menyembah dan
kepada-Mu wahai Tuhan kami minta pertolongan dan tuntunan)”.

Nah…, pada bagian ini kita akan coba mengupas lebih dalam lagi tentang tuntunan dari
Tuhan ini dengan mengambil beberapa analogi yang muncul dalam keseharian kita yang
kemudian saya istilahkan dengan MOMENTUM KETUHANAN. Dalam membahas
momentum ketuhanan ini marilah sejenak kita mencoba melihat Hukum Tuhan (sunatullah)
yang paling sederhana dalam Ilmu Fisika, yang berhasil diamati (di-intidzar) oleh Newton
sehingga orang yang tercover lalu menamakannya sebagai Hukum Newton, yaitu tentang
perubahan Impuls dan Momentumyang dialami oleh sebuah benda akibat gaya-gaya
yang mengenai benda itu. Dimana apabila pada sebuah benda bekerja impuls gaya, maka
benda itu akan dapat mengalami perubahan momentum pula. Begitu juga sebuah benda
diam akan tetap diam, atau benda yang bergerak beraturan akan tetap bergerak beraturan
jika tidak ada sejumlah gaya lain yang bekerja pada benda tersebut.

Contoh nyata peristiwa gaya-gaya yang bekerja pada sebuah benda ini dalam kehidupan
kita sehari-hari dapat kita amati pada sebuah kendaraan. Mobil, misalnya, yang pada
awalnya diam akan tetap saja diam selamanya jika tidak ada gaya atau daya lain yang
bekerja padanya yang bisa membuat mobil tersebut beranjak dari tempatnya semula. Mobil
itu lembam ditempatnya. Begitu juga, mobil yang sedang berjalan akan tetap berjalan jika
tidak ada tahanan dari arah berlawanan yang datang dari hembusan angin, kasarnya aspal
jalanan, atau injakan pedal rem yang menahan laju mobil tersebut. Agar supaya mobil itu
tetap dapat berjalan dengan kecepatan tertentu, maka perlu daya lain yang ditimbulkan
dari injakan pedal gas yang akan menyebabkan percepatan tertentu pula pada jalannya
mobil tersebut sehingga mobil bisa berjalan pada kecepatan tertentu yang diinginkan.

Kemudian ketika mobil tersebut berjalan kedepan, maka mobil itu dikatakan sedang
bergerak menuju “ketempat yang dituju”. Mobil itu sedangdidorong oleh
sebuah daya atau gerak untuk mencapai arah tertentu yang dituju, misalnya RUMAH
atau KANTOR tempat kita bekerja. Artinya mobil itu tengah menuju kearah tujuan YANG
BENAR. Ketika mobil mengarah ke rumah atau arah yang dituju itu, maka kita bisa
membawa mobil tersebut dengan sikap yang sangat rileks, nyaris tanpa beban sedikitpun.
Stir mobil bisa kita pegang walau hanya dengan memakai satu tangan saja, atau bahkan
bisa juga dengan sentuhan satu jari tangan saja. Sopir pun bisa menyetir mobil tersebut
sambil menikmati sebatang rokok yang menyelip dibibirnya. Santai sekali.

Sebaliknya, saat mobil itu berjalan mundur kebelakang, maka mobil itu artinya tengah
bergerak menjauh dari tempat yang dituju. Taroklah mobil itu memang harus mundur
dulu, karena mobil itu sedang parkir, akan tetapi mundurnya mobil itu tetap dikatakan
orang bahwa mobil itubukan sedang menuju arah tujuan yang sebenarnya. Ya…, mobil
itu sedang dikuasai oleh daya atau gerak untuk menjauh dari tujuan yang seharusnya. Sang
sopirpun akan terlihat agak kerepotan saat mengontrol mobil yang berjalan mundur
tersebut. Sang sopir tidak rileks lagi. Dia harus berkali-kali melihat kiri dan kanan sambil
merasa was-was jangan-jangan mobilnya menabrak tembok atau mobil lainnya. Akan
terasa sekali tidak rileksnya sang sopir ketika memundurkan mobil itu. Kecuali kalau
mobilnya adalah mobil VW Kodok atau VW Kombi yang bagian belakangnya dibalik dan
modifikasi menjadi bagian depan.

Jangankan menyetir mobil ketika mundur, saat kita menyetir mobil dalam sebuah
kemacetan lalu lintas pun sangat terasa sekali capeknya. Apalagi kalau mobilnya itu adalah
mobil manual dan umurnya sudah tua pula. Kaki capek, tangan capek, leher capek untuk
tengak-tengok kiri-kanan. Suasana menyetir di jalanan macet ini akan sangat berbeda
sekali dengan menyetir di jalan bebas hambatan, apalagi yang lengang. Dijalan tol ini orang
bisa menyetir dengan santai, rileks, dan bahkan tak jarang pula sampai tertidur sehingga
menimbulkan kecelakaan lalin.

Nah…, analogi gerak maju atau mundurnya mobil seperti diatas dapat kita pakai untuk
memahami bagaimana sebenarnya Momentum Ketuhanan itu bekerja pada diri kita. Mari
kita mulai mengupasnya secara perlahan-lahan saja.

MOMENTUM AWAL…
Dari DIAM Abadi…

Sebelum ada segala sesuatu…,

Tidak ada rupa tidak ada warna…,

Yang ada adalah Wajah Tunggal Yang Meliputi…,

Kemudian Wajah Itu menarok Momentum Awal.

Melewati sebuah Kehendak yang Tegas:

“Aku ini perbendarahaan tersembunyi,

kemudian Aku ingin dikenal,

Kemudian Aku menciptakan makhluk-Ku,

Dengan Allah-lah mereka mengenal Aku…”. (hadist qudsi)


Dan…, sejak Kehendak ingin dikenal itu ditabuh oleh Sang Wajah Tunggal Maha Meliputi:
“KUN (Jadilah)”, maka Momentum Awal untuk sebuahproses penciptaan Maha Raksasa
segera menggelinding tak tertahankan: “FAYAKUN (maka Jadilah)”. Dan proses
terbentuknya pohon kejadian demi kejadian itu TEPAT berada dalam Liputan Wajah-Nya,
Liputan Dzat-Nya, sehingga secara otomatis dan tepat pula semua itu berada dalam liputan
Sifat-Nya, Kekuasaan-Nya, Kekuatan-Nya, Pengetahuan-Nya. “Adalah dari Aku
kesemuanya itu…!”, kata-Nya dengan Angkuh.

Lalu agar supaya kita tidak lupa akan liputan dan peran Sang Maha Meliputi tersebut atas
semua ciptaan-Nya, maka Dia lalu meninggalkan dua buah catatan kecil di dalam Al Qur’an
yang memang diharapkan akan bisa menjadi peta bagi kita umat manusia ini dalam
menjalani hidup kita. Catatan kecil itu adalah: “…Sesungguhnya Dia Maha Meliputi
segala sesuatu(Al Fushilat 54)”. “…Dan adalah Allah Maha Meliputi segala
sesuatu (An Nissa 126)”.

Lalu segala sesuatunya tumbuh dan bermunculan dari Liputan Wajah Sang Meliputi itu
untuk membentuk Kreasi-kreasi yang tak terbatas dalam bentuk peradaban demi
peradaban lengkap dengan segala pernik-perniknya. Dan kesemuanya itu berlangsung
dalam jangka waktu yang tak henti-hentinya pula. Fajar telah merekah bagi sebuah
kesempurnaan Maha Kreasi dari Sang Maha Kreator Tunggal, ALLAH …!.

Lalu segala sesuatunya itu, sebutlah apapun juga, haruslah tunduk dan patuh, suka
ataupun tidak, rela ataupun tidak, kepada Dzat Yang Maha Meliputi itu. Ya…, segala
sesuatunya itu HARUSLAH TAKLUK untuk digerakkan SEARAH dengan Kehendak Allah, Sang
Maha Kreator. Keharusan takluk segala sesuatu kepada alunan Kehendak Gerak Allah ini
kemudian dalam istilah agamanya disebut dengan “IKUT SUNATULLAH”. Bumi ikut mau-Nya
Allah, Air ikut mau-Nya Allah, Tumbuhan ikut mau-Nya Allah, Jantung ikut mau-Nya Allah,
Nafas ikut mau-Nya Allah, Darah ikut mau-Nya Allah. Ya…, alam semesta ini, semuanya,
termasuk tubuh kita ini ternyata ikut mau-Nya Allah, takluk kepada Allah. Makanya kalau
kita, atau siapa sajalah, ingin coba-coba melawan alam, merusak alam, menghancurkan
alam, merusak jantung, mencemari paru-paru, mengacaukan aliran darah, maka itu sama
saja artinya kita tengah melawan dan menantang Allah. Dan akibatnya pastilah kita akan
dilibas oleh alam dan tubuh kita itu sendiri. Ya…, kita akan dihancurkan oleh alam itu, kita
akan disiksa oleh jantung, kita akan dirongrong oleh paru-paru dan aliran darah kita.
Karena memang alam dan tubuh kita ini bawaannya (fitrahnya) adalah akan selalu persis
sama dengan Fitrah Tuhan. Semua berada dalam kepatuhan mutlak (the ultimate
obedience) atas Kehendak dan Kendali Gerak Tuhan….!!!.

GERAK KEPATUHAN, ASLAMNA…


“Kemudian Dia menuju langit dan langit itu masih merupakan asap, lalu Dia berkata
kepadanya dan kepada bumi: "Datanglah kamu keduanya menurut perintah-Ku dengan suka
hati atau terpaksa". Keduanya menjawab: "Kami datang dengan suka hati". (Fushshilat 11).

Wajah Sang Meliputi itu lalu melepas Sabda dan Kehendak-Nya: “KUN (jadilah)…
langit…!!, KUN (jadilah)… bumi…!!!”. Dan…, guncangan kalimat KUN itu telah
merekahkan biji kehidupan alam semesta ini dengan kekuatan yang maha dahsyat dan tak
terperikan. Lalu…, FAYAKUN (maka jadilah)…!!. Lalu berproseslah gumpalan “ASAP”,
substansi yang TIADA arti dan tiada harganya sama sekali itu, menjadi langit dan bumi.
Karena memang asap itu DATANG MENGHADAP dengan suka cita dan tergopoh-gopoh
untuk kemudian BERSEDIA di mplek-mplek, diatur, disusun, dituntun, digerakkan, bahkan
kalau perlu dihancurkan disana-sini lalu dibangun kembali menjadi bentuk-bentuk yang
lebih sempurna oleh Sang Pemilik KUN. Yaa…, kepatuhan total tanpa reserve segumpal asap
yang BERSEDIA untuk menjadi objek Tuhan, tempat Tuhan menorehkan kreasi-Nya yang
tanpa batas.

“Maka Dia menjadikannya tujuh langit dalam dua masa dan Dia mewahyukan pada tiap-tiap
langit urusannya. Dan Kami hiasi langit yang dekat dengan bintang-bintang yang cemerlang
dan Kami memeliharanya dengan sebaik-baiknya. Demikianlah ketentuan Yang Maha Perkasa
lagi Maha Mengetahui”. (Fushshilat 12).

Lalu sabda itu berlanjut bercabang dan bercabang tanpa henti: “Kun… bintang-bintang…!,
Kun… matahari…!!!, Kun bulan… Kun……!!!”. Lalu FAYAKUN…!. Satu persatu mereka
datang menyerahkan dirinya untuk bersedia dituntun dan diberi peran dengan sangat
tepat oleh Sang Pemilik KUN.

Lalu Sang Pesabda meneruskan sabda-Nya:

“Wahai matahari, wahai bintang-bintang…, KUN…!. Aku-lah Yang Aku ini Sang
Pemberi Cahaya bagi sebuah kegelapan total yang maha panjang. Datanglah kalian
kepada-Ku wahai matahari dan bintang-bintang. Datanglah kepada-Ku untuk Ku-
jadikan kalian semua sebagai KURIR-KU dalam menyampaikan cahaya-Ku bagi
terlaksananya sebuah rangkaian kehidupan yang akan Aku anyam. Janganlah kalian
khawatir. Aku-lah yang akan memberimu cahaya. Cahaya-Ku tidak akan pernah
padam selamanya. Karena memang Aku-lah Sang Nurun ‘alan Nur, Cahaya diatas
cahaya. Tegasnya…, Aku-lah Sumber dari segala cahaya. Tugas kalian wahai
matahari dan bintang-bintang hanyalah untuk menyampaikan Cahaya-Ku kepada
kegelapan, sehingga gelap itu berubah menjadi terang dan benderang. Dari-Ku
cahaya itu. Kalian hanyalah sebatas meneruskan cahaya-Ku saja sekedar yang
dibutuhkan oleh kehidupan makhluk-makhluk-Ku nantinya. Kemudian…, Aku pulalah
yang akan memegang kalian agar kalian tidak bertabrakan satu sama lainnya. Ku-
tentukan garis edar buat kalian semua agar kalian tidak usah bersusah-susah
mengatur-atur diri lagi. Kalian hanya tinggal bersandar saja kepada-Ku, kepada
Gerak-Ku. Selanjutnya Aku-lah yang akan sibuk. Karena memang Aku-lah Sang
Maha Sibuk untuk mengatur segenap ciptaan-Ku. Rela sajalah kalian kepada-Ku…!”.

Lalu mataharipun tersenyum diufuknya, dan dengan sukarela serta sukacita pula,
membiarkan dirinya dialiri oleh gerak milik Tuhan, cahaya milik Tuhan untuk kemudian
meneruskan cahaya dan gerak itu buat menyinari bumi dengan segala isinya bagian
perbagian. Habis gelap terbitlah terang…!.

Lalu Allahpun memegang matahari dan bumi sedemikian rupa sehingga sedikit sekali
kemungkinan bagi satu sisi bumi untuk menjadi gosong, terpanggang oleh teriknya cahaya
sinar matahari yang membakar, dan sedikit pula kemungkinan untuk bumi itu beku serta
gelap total disisi yang lainnya. Cukup matahari sajalah yang gosong membara dialiri oleh
aliran cahaya milik Tuhan. Sedangkan bumi memang tengah bersiap-siap pula menunggu
sabda Tuhan untuk menjalani destiny-nya sendiri. Karena memang Allah tengah
menyiapkan sang bumi untuk menjadi sebuah tempat yang cocok untuk ditempati oleh duta
istimewa-Nya yang akan Dia “pamerkan” kepada para mailaikat-Nya sebentar lagi.
Untuk menyiapkan lahan bagi sang duta istimewa menjalankan tugas menganyam
peradaban yang memang akan di bebankan pula kepada sang duta tersebut, maka sang
bumi haruslah disuburkan-Nya, makanan haruslah di hamparkan-Nya, minuman haruslah
dikucurkan-Nya. Karena Allah memang sudah menjamin bahwa Dia-lah yang akan sibuk
mencukupi segala sesuatu yang akan menjadi bekal bagi sang duta istimewa menjalankan
tugas sucinya.

Lalu sang Wajah Tunggal Yang Maha Meliputi melanjutkan titah Kun-Nya kepada angin agar
segera bersedia pula menyerahkan diri dengan sukarela untuk menjadi kurir-Nya dalam
menebarkan butiran-butiran air kepelosok-pelosok tanah dan bebatuan. Airpun, nggak mau
kalah, dengan sigap sang air datang pula menyerahkan diri kepada Sang Penitah dengan
sukarela untuk menjalankan tugas sebagai kurir-Nya mengantarkan aliran rahmat-Nya bagi
tumbuh dan berkembangnya berbagai tanaman, buah-buahan, sayuran, dan berjenis-jenis
bebungaan….!!.

Demikianlah…, berbilang zaman berlalu. Proses penyempurnaan bumi berlangsung tanpa


henti untuk dijadikan Tuhan sebagai “tanah harapan baru” bagi sang duta istimewa yang
sebentar lagi akan diberikan mandat untuk menjalankan tugasnya. Proses pembentukan
rumah peradaban itu berlangsung dengan sangat presisi sekali. Matahari, bumi, angin, dan
air menjalani destiny-nya dengan sukarela. Semuanya tidak perlu bersusah payah
sedikitpun, karena mereka semata-mata hanya bersandar kepada Gerak dan Daya Kreasi
Tuhan.

“Dan Dialah yang meniupkan angin sebagai pembawa berita gembira sebelum kedatangan
rahmat-Nya (hujan); hingga apabila angin itu telah membawa awan mendung, Kami halau ke
suatu daerah yang tandus, lalu Kami turunkan hujan di daerah itu, maka Kami keluarkan
dengan sebab hujan itu pelbagai macam buah-buahan. Seperti itulah Kami membangkitkan
orang-orang yang telah mati, mudah-mudahan kamu mengambil pelajaran. (Al ‘araf 57)”

“Dan Dialah yang menurunkan air hujan dari langit, lalu kami tumbuhkan dengan air itu segala macam
tumbuh-tumbuhan, maka Kami keluarkan dari tumbuh-tumbuhan itu tanaman yang menghijau, Kami
keluarkan dari tanaman yang menghijau itu butir yang banyak; dan dari mayang kurma mengurai tangkai-
tangkai yang menjulai, dan kebun-kebun anggur, dan (Kami keluarkan pula) zaitun dan delima yang serupa
dan yang tidak serupa. Perhatikanlah buahnya di waktu pohonnya berbuah, dan (perhatikan pulalah)
kematangannya. Sesungguhnya pada yang demikian itu ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-
orang yang beriman. . (Al An’am 99)”

Ya…, air yang destiny-nya adalah untuk menebarkan aliran Rahmat Tuhan di muka bumi,
ternyata benar-benar telah menjalankan tugasnya dengan sangat sempurna. Tetes-tetes air
tersebut mampu membangunkan sebutir benih dari tidur panjangnya untuk menjalani
takdirnya setelah sang benih disapa pula oleh sabda Tuhan-Nya:

“Kun… benih..!!!, datanglah kepada-Ku untuk-Ku jadikan kalian sebagai sarana-Ku


untuk memberi makanan dan oksigen kepada duta istimewaku yang sebentar lagi
akan kusapa pula dengan sabda-Ku. Datanglah dan bersedialah...!!!”.

Lalu sang benih dengan tepat bersandar kepada sabda KUN itu untuk kemudian
FAYAKUN…!. Sang benih digerakkan oleh Gerak Penciptaan Tuhan menjadi batang, menjadi
ranting, menjadi daun, menjadi bunga, menjadi buah dengan sangat tepat bagian
perbagian. Lalu, pada masanya, sang benih yang telah menjulang tinggi menjadi
pepohonan itu kemudian menjadi layu kembali, dan mati. TIADA, FANA. Bahkan disela-sela
perjalanannya, sang benih yang selalu dihantar oleh gerak penciptaan Tuhan menjadi
pepohonan itu masih saja menebarkan aliran rahmat berupa wangi harum dan segarnya
oksigen dan sekaligus menyapu bersih carbon dioxida dari udara disekitarnya. Sehingga
udara disekitar pepohonan itu, bahkan sampai keujung horizon, menjadi sangat ideal pula
untuk nantinya didorong memenuhi paru-paru sang duta istimewa Tuhan yang
keberadaannya tengah dipertanyakan oleh para malaikat.

Dan tak lupa pula sabda Tuhan menghampiri berbagai jenis hewan untuk datang dan patuh
pula menjalani takdirnya. Ada yang terus menerus, tanpa henti, digerakkan untuk mengurai
berbagai makhluk hidup lainnya dan tumbuhan menjadi tanah kembali setelah takdir sang
makhlik hidup dan tumbuhan itu berakhir. Ada yang selalu digerakkan untuk menyerahkan
hidupnya bagi santapan hewan-hewan lainnya. Sibuk sekali. Silih berganti, mati, hidup, dan
tiada. Lalu muncul lagi yang lain untuk kemudian mati kembali.

Sungguh sebuah kesibukan yang amat sangat luar biasa dari Sang Maha Sibuk yang sedang
mengatur dan menggerakkan kesemuanya itu dengan sangat teliti dan akurat dan
berlangsung terus menerus pula, tanpa terhenti sedetikpun. Walaupun tengah diatur dan
digerakkan terus menerus sedemikian rupa, akan tetapi matahari, bintang-bintang, bulan,
dan bumi dengan segala isinya itu tidak pernah mengeluh sedikitpun, tidak pernah merasa
capek, tidak pernah protes sekecil apapun atas peran yang telah mereka sandang sejak
Momentum KUN menyapa mereka. Mereka semuanya memang seperti bersandar saja
kepada Sabda KUN itu yang kemudian memutar sebuah Gerak Raksasa dan Kolosal. Satu
gerak yang tidak bisa dipecah-pecah dan dibagi-bagi sedikitpun yang memegang dan
menggenggam segalanya. Allahu Ahad……!!.

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut
membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu
Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering) -nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran
angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; Sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran
Allah) bagi kaum yang memikirkan. (al Baqarah 164).”

Demikianlah…., sebuah proses penyiapan dan penyempurnaan rumah peradaban di bumi


untuk menyambut sang duta istimewa Tuhan telah berlangsung dengan sangat teliti sekali
dan memakan waktu yang sangat lama pula. Dan…, hasilnya adalah sebuah maha karya
agung yang penuh dengan suasana dan nuansa taman-taman syurgawi. Ada sungai-sungai
yang mengalirkan beragam warna air didalamnya. Ada anak rusa yang berlarian ketakutan
dikejar oleh sekumpulan serigala. Ada angin yang menghantarkan hujan untuk menegur
benih yang tengah tertidur lelap, agar sang benih segera mengeliat dan meniti takdirnya
ditengah senyuman hangat sang mentari. Sang benihpun menyambut tarian angin dan
hembusan hangat nafas sang matahari itu dengan menjulurkan pucuknya menjulang tinggi
menjangkau ujung langit. Tak lupa pula sang benih menyapa penghuni bumi dengan
senyuman dan lambaian warna-warni bunga dan buahnya. Indah dan syurgawi sekali…!.

Begitu juga…, sekali-sekali dalam proses “finishing touch” rumah peradaban itu selalu ada
gerak penciptaan, ada gerak penghancuran, ada gerak penciptaan kembali, dan seterusnya
begitu. Semua diatur secara silih berganti dengan teknik yang sangat kolosal. Cakupan
proses penciptaan dan penghancuran itupun bisa menjangkau area ribuan kilometer persegi
luasnya, dan dampaknya pun sungguh memiriskan pemandangan dan rasa. Tsunami yang
melanda negara-negara di seputar Samudra Hindia diakhir tahun 2004 yang lalu adalah
salah satu contoh dari proses penghancuran itu yang terjadi didepan mata kepala kita .
“Semua itu adalah tanda-tanda bahwa ada Aku diatas kesemuanya itu. Akulah Yang mengatur semuanya…, Aku lah
pemilik kesemuanya itu…, Akulah tempat bersandar segala sesuatu itu…, Akulah yang menciptakan segala sesuatu,
dan Aku pulalah yang akan menghancurkan segala sesuatunya itu…. Adalah dari-Ku segalanya…, Aku…, Aku…!!”,
sabda Sang Wajah Maha Meliputi itu dengan keangkuhan dan kesombongan yang amat sangat…!!!.

YANG KEHERAN-HERANAN DAN BERTANYA…


Ditengah-tengah rutinitas para malaikat memuji, sujud dan bertasbih kepada Sang Wajah
Maha Meliputi…, tiba-tiba mereka dikejutkan oleh sabda KUN yang menyapa sebuah bentuk
aneh yang tengah di emplek-mplek oleh Sang Pemilik Wajah Agung itu. Esensi pembentuk
rupa aneh itu diberitahu-Nya dengan tanpa tedeng aling-aling.

“Wahai Malaikat…, bentuk aneh ini berasal dari saripati tanah yang Ku-susun dengan
sangat sempurna dan Ku-tiupkan pula RUH-KU kepadanya. Inilah duta istimewa-Ku
wahai para malaikat…, namanya adalah ADAM…!!. Maka sujud dan menghormatlah
kalian kepadanya wahai para malaikat-Ku…!!!”.

Demikianlah Allah pamer kepada para malaikat-Nya tentang sang duta istimewa-Nya yang
telah difasilitasi-Nya pula tempat keberadaannya sejak cukup lama. BUMI…!.

Akan tetapi ditengah-tengah keheran-heranannya yang dipicu tidak hanya karena esensi
Adam yang berasal dari tanah, akan tetapi juga karena bentuk seperti ini adalah bentuk
yang suka menumpahkan darah, saling berbunuh-bunuhan satu sama lainnya, para
malaikat sempat melayangkan sebentuk pertanyaan protesnya yang cukup pedas:

“Tidakkah cukup kami saja ya Allah…, yang selalu sujud, bertasbih, dan patuh
kepada-Mu…??”.

Akan tetapi dengan kelembutan yang amat sangat, Allah menyambut keheranan malaikat
itu dengan jawaban yang amat sangat tegas:

“Aku lebih tahu atas apa-apa yang tidak kalian ketahui wahai malaikat-Ku…!. Aku
punya rencana besar untuk duta-istimewa-Ku ini. Dia akan kuangkat sebagai wakil-
Ku untuk menganyam peradaban di atas bumi yang telah kupersiapkan untuknya
dengan sangat baik…!”.

Lalu Allah menyatakan sabda-Nya:

“KUN Adam…!!. Diam sajalah engkau wahai Adam. Jangan takut dan jangan pula
engkau khawatir. Karena Ruh-Ku Ku-liputkan kepadamu…!”.

Lalu Allah pamer kembali kepada pada para malaikat-Nya:

“Lihatlah wahai para malaikat-Ku bahwa duta istimewa-Ku ini, dengan adanya RUH-
KU yang kualirkan kepadanya, maka sang duta-Ku ini lalu bisa hidup, bisa bergerak,
bisa melihat, bisa mendengar, bisa berbicara, bahkan bisa tahu pula nama-nama
yang tidak kalian ketahui..?”.

Lalu Allah menyapa sang duta istimewa-Nya dengan sabda yang sangat lembut: “Alastu bi
rabbikum…, bukankah Aku ini Tuhan-Mu wahai Adam…?”. Dengan masih terheran-heran,
Adam yang baru saja keluar dari celupan Allah lalu menjawab dengan merendah-
rendah: “Bala syahidna…, benar wahai Tuhan-Ku, aku bersaksi bahwa Engkau adalah
Tuhan-Ku…!!!”. Dan sejak saat ini pulalah sebenarnya sebuah momentum awal ketuhanan
telah dilepaskan, sehingga sampai kapanpun sang duta istimewa beserta keturunannya
nanti akan selalu dan selalu diingatkan tentang persaksian awal ini.

Lalu Allah memberikan mandat pertama-Nya kepada Adam, sang duta istimewa-Nya, untuk
menyampaikan aliran tahu yang masuk kedalam otak sang duta istimewa kepada para
malaikat tentang apa-apa yang tidak mereka ketahui:

“Wahai duta-Ku, beritahulah para malaikat itu nama-nama…, pengetahuan-


pengetahuan…!. Karena kepadamu telah kualirkan nama-nama dan pengetahuan itu
melalui otakmu…!. Kabarkanlah kepada mereka, biar mereka bisa menyadari bahwa
Akulah Sang Maha Tahu…!”.

Dengan tubuh bersimbah sinar Cahaya ILAHI, nurun ‘alaa nur, Adam lalu menyebutkan
kepada para malaikat satu persatu aliran nama-nama dan pengetahuan yang dikucurkan
oleh Allah kedalam otak beliau. Sehingga malaikat semakin terheran-heran saja atas
kecerdasan sang duta istimewa tersebut. Dalam keterpukauan sang malaikat itu, dengan
lembut kemudian Sang Wajah Meliputi melanjutkan sabda-Nya:

“Sujudlah kalian wahai malaikat-Ku…!. Sujudlah…, karena pada diri Adam itu ada
tiupan dan liputan RUH-KU…!. Wahai malaikat-Ku, nafikanlah wujud Adam,
fanakanlah wujud Adam, tiadakanlah esensi Adam itu, maka saat itu juga kalian
akan menyadari bahwa yang ada semata-mata hanyalah RUH-KU…!, Maka
sujudlah…!!”.

Lalu seketika itu juga sang malaikat dibukakan oleh Allah tabir (cover) yang menghalangi
pandangannya, sehingga Adam lalu menjadi TIADA. Kini Yang ADA, Yang Wujud tinggal
hanyalah semata-mata liputan dan tiupan RUH-Tuhan. Maka tiada lain yang bisa dilakukan
oleh sang malaikat kecuali hanya sujud dan tersungkur dihadapan Adam.

Akan tetapi lho…, lho…, ternyata ada yang TIDAK SUJUD…!. Siapa dan ada apakah
gerangan, sehingga ada yang tidak sujud, atau tepatnyatidak disujudkan kepada
Adam ...?. Ada rahasia apa dibalik ketidaksujudan “yang tidak sujud” itu..??.

MENGANTAR SANG DUTA ISTIMEWA…


Bumi sudah disiapkan sebagai tempat bagi sang duta istimewa untuk menjalankan tugasnya
dalam menganyam peradaban. Sang duta istimewapun telah dilengkapi dengan segala
fasilitas yang dibutuhkannya dalam menjalankan tugasnya. “Ada RUH-KU yang
memperkuatmu wahai Adam (…wa ayyadahum bi-RUH-him minhu…!(al mujadilah
22))”, Sang Wajah Meliputi menghibur Adam.

Lalu untuk mengantar sang duta istimewa ketempat tugasnya yang baru, yaitu bumi yang
telah dihamparkan dan difasilitasi Allah dengan segala sesuatu yang dibutuhkan sang duta
istimewa dalam menjalankan tugasnya, maka Allah telah menyiapkan sebuah prosesi yang
sangat UNIK pula. Dan didalam prosesi pengangkatan dan pengantaran Adam, sang duta
istimewa, ke muka bumi itu haruslah terkandung “pengajaran dasar” yang sangat amat
berharga bagi Adam sendiri dan keturunannya kelak dalam menjalankan tugasnya. Karena
di tempat tugas barunya itu, Adam akan dihadapkan pada kenyataan, paling tidak, tentang
adanya suasana kepatuhan maupun ketidakpatuhan, suasana baik maupun buruk, dan
suasana dituntun maupun dibiarkan lepas liar tak terkendali.
Semua pasangan kejadian atau suasana itu tak lain dan tak bukan adalah sebagai tanda
akan adanya Allah. “Aku lah Sang Pembuka dada untuk menerima Islam, dan Aku
pulalah Sang Pembuka dada untuk menerima kekafiran…!!, sabda Sang Pemberi
Hidayah dengan sangat tegas.

“Maka apakah orang-orang yang dibukakan Allah hatinya untuk (menerima) Islam lalu ia
mendapat cahaya dari Tuhannya (sama dengan orang yang membatu hatinya)? Maka
kecelakaan yang besarlah bagi mereka yang telah membatu hatinya untuk mengingat Allah.
Mereka itu dalam kesesatan yang nyata. ( Az Zumar 22)”

“Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman, kecuali orang yang dipaksa kafir
padahal hatinya tetap tenang dalam beriman, akan tetapi orang yang melapangkan
(dibukakan) dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab
yang besar. (An Nahal 106)”.

“Barangsiapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya
untuk Islam. Dan barangsiapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi
sempit, seolah-olah ia sedang mendaki ke langit. Begitulah Allah menimpakan siksa kepada orang-orang yang tidak
beriman. (Al An’am 125)”.

Oleh sebab itu di dalam prosesi itu haruslah terkandung suasana kepatuhan dan
ketidakpatuhan itu sekaligus, tentunya lengkap pula dengan segala konsekwensi logisnya.
Sehingga diharapkan dari prosesi pengantaran nenek moyang mereka ini ke tempat
tugasnya, mereka bisa mengambil pelajaran.

Untuk itu Sang Wajah Maha Meliputi menyapa pula ciptaan-Nya yang lain, yaitu iblis,
dengan sabda-Nya: “KUN IBLIS…!. Jalanilah destinykalian sebagai tempat-Ku
menumpahkan kemurkaan dan penyesatan-Ku…!!!”. Lalu Sang Iblis
dibuatkan COVER (tutup) oleh Allah terhadap pandangannya.

Diantara sekian malaikat yang sujud kepada Adam, maka ternyata ada pula yang tidak
sujud. Iblis…!. Ya…, iblis ternyata telah mulai menjalanidestiny-nya sebagai makhluk yang
disesatkan oleh Allah. Setiap dia memandang kepada Adam, maka yang nampak olehnya
hanyalah esensi saripati tanah yang membentuk Adam. Setiap diperintahkan Allah untuk
sujud kepada Adam, maka ketika itu pula pandangannya ter-coveruntuk menyadari bahwa
ada RUH-Tuhan yang meliputi Adam. Iblis ternyata telah dibuat Allah untuk tidak mampu
menafikan wujud Adam yang esensinya hanyalah dari saripati tanah itu. Sehingga secara
otomatis pula si iblis dihalangi oleh wujud Adam itu untuk memandang adanya RUH-Tuhan
yang menguatkan Adam. Iblis telah menjadi, atau tepatnya dijadikan Allah sebagai makhluk
yang KAFIR, TERCOVER.

Apalagi saat si Iblis memadang dirinya yang dari api, maka semakin kuatlah keter-cover-
annya itu. “Masak sih saya harus sujud kepada tanah.. Bukankah aku lebih baik dari Adam,
karena aku terbuat dari api… wahai Tuhan-Ku…?. Saya tidak mau sujud sampai kapanpun
kepada Adam…!!.”, protes si iblis dengan sangat angkuhnya.

Sabda Allah lalu menghampiri Iblis yang sedang dialiri oleh rasa kesombongan, rasa
keakuannya: "Turunlah kamu dari syurga itu; karena kamu tidak sepatutnya
menyombongkan diri di dalamnya, maka keluarlah, sesungguhnya kamu termasuk orang-
orang yang hina (al A’raf 13)". Karena memang syurga adalah wilayah tempat dimana yang
ada hanyalah semata-mata kepatuhan. Maka yang tidak patuh haruslah enyah dari
dalamnya, karena wilayah untuk ketidakpatuhan tempatnya juga sudah disediakan Allah,
yaitu neraka jahanam.

Demikianlah…, sejak Iblis menyuarakan angkuhannya itu, maka lengkap sudah pengajaran
yang dipetik oleh Adam. Sehingga dengan berbekal pengajaran itu mudah-mudahan saja
Adam, sang duta istimewa, bisa menjalankan tugasnya sesuai dengan mandat yang dia
terima dari Allah.

Sementara Adam, sang duta istimewa pembangun peradaban nantinya, tengah bergelimang
dengan suasana syurgawinya, iblis pun berhasil pula mendapatkan mandatnya sebagai duta
untuk menyesatkan Adam dan keturunannya nanti. Iblis mendapatkan mandatnya itu
karena memang dia memintanya langsung kepada Allah. Dan Allah memberinya mandat
untuk menyesatkan umat manusia itu sampai hari kiamat nantinya.

Dalam suasana kegalauan yang amat sangat akibat mandat untuk penyesatan umat
manusia itu, iblis masih sempat menyadari bahwa ternyata ada umat manusia yang tidak
dapat digoda dan disesatkannya. “Saya tidak sanggup menggoda hamba-hambamu yang
Engkau buat ikhlas (muhklashin) ya Allah…”, ungkap sang iblis dengan terus terang dan
tanpa ditutup-tutupi sediki tpun. Karena memang orang-orang yang dibuat ikhlas oleh Allah
itu tempatnya adalah di wilayah kepatuhan, di wilayah KETIADAAN. Sedangkan iblis sudah
bertekad bulat untuk TIDAK masuk ke wilayah kepatuhan itu. Begitu juga iblis tidak akan
pernah bisa melepaskan keangkuhannya, keberadaan akunya. Iblis masih merasa ada. Lalu
kalau begitu, bagaimana dia akan mampu untuk menggoda hamba-hamba Tuhan yang
sudah TIADA, FANA. Apanya yang mau digoda wong hamba Tuhan yang dibuat ikhlas itu
sudah TIADA.

SI PELUPA, SI NISYAN…
Ditengah gemerlapan kehidupan syurgawi, Adam yang telah difasilitasi pula dengan seorang
pasangan hidupnya, mulai disapa oleh Allah agar segera menjalani takdirnya sebagai
khalifah Allah dimuka bumi. Adam haruslah meninggalkan kehidupan syurgawinya untuk
masuk kekehidupan yang memang telah dirancang untuknya sedemikan lamanya.

Lalu dengan sebuah CARA dan PROSES yang SANGAT UNIK, Adam telah dibuat lupa
kepada Allah sehingga dengan segera Allah mengirimkan Iblis kepada Adam sebagai
temannya. Ya…, bertemanlah Adam yang telah dibuat lupa kepada Allah dengan iblis yang
memang telah dibuattidak patuh pula kepada Allah untuk kemudian masing-masingnya
menjalani takdir mereka.

“Barangsiapa yang berpaling dari sadar dan ingat kepada Yang Maha Pemurah, Kami akan
kirimkan baginya syaitan, maka syaitan itulah yang menjadi teman yang selalu menyertainya,
(az zukhruf 36)”.

“Syaitan telah menguasai mereka lalu menjadikan mereka lupa mengingat Allah; mereka itulah
golongan syaitan. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya golongan syaitan itulah golongan yang
merugi. (al Mujadilah 19)”.

“Sesungguhnya syaitan itu telah menyesatkan sebahagian besar di antaramu. Maka apakah
kamu tidak memikirkan? (Yasin 62)”.

“KUN Adam…!. Karena engkau sudah berada pada wilayah yang sama dengan wilayah yang
ditempati oleh iblis, yaitu wilayah ketidakpatuhan, maka saat ini juga keluarlah engkau dari
kehidupan syurgawi ini..!!. Keluarlah…!!!. Destiny-mu telah kusiapkan untukmu dan
arungilah takdirmu itu..!”,sabda Tuhan menyapa Adam dengan sangat tegasnya. Seperti
dalam surat Thahaa 123-126:

Allah berfirman: "Turunlah kamu berdua dari surga bersama-sama, sebagian kamu menjadi
musuh bagi sebagian yang lain. Maka jika datang kepadamu petunjuk daripada-Ku, lalu
barangsiapa yang mengikut petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka.

Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan


yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta".

Berkatalah ia: "Ya Tuhanku, mengapa Engkau menghimpunkan aku dalam keadaan buta,
padahal aku dahulunya adalah seorang yang melihat?"

Allah berfirman: "Demikianlah, telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, maka kamu
melupakannya, dan begitu (pula) pada hari ini kamupun dilupakan".

Maka lalu pandangan Adam ditutup (di-cover) untuk memandang kehidupan syurgawi,
pendengaran Adam ditutup untuk mendengarkan suara syurgawi, dan otak Adam juga
ditutup untuk memahami pengetahuan syurgawi. Dalam istilah Al Qur’an, suasana
ketertutupan ini disebut sebagai keadaan dimana Adam dibukakan auratnya. Ya…, Adam
memulai tugasnya dengan tidak membawa apa-apa. Citra syurgawi sudah terhapus darinya
dan digantikan dengan citra duniawi. Dan untuk menutupi auratnya itu Adam hanya bisa
menggunakan dedaunan disekitarnya. Suasana berbajukan dedaunan ini sepertinya untuk
menyitrakan sebuah kebudayaan dan peradaban yang sangat primitif yang harus diawali
oleh Adam ditempat tugasnya yang baru, hamparan bumi.

Dalam menjalankan mandatnya sebagai khalifah (duta istimewa, kurir, kendaraan) Allah
untuk menganyam peradaban di muka bumi ini, Adam tidak dibiarkan atau ditinggalkan
sendirian oleh Allah. Adam telah dibekali dengan 3 buah instrumen yang sangat hebat,
yaitu otak sebagai tempat untuk mengalirnya ide dan kreasi-kreasi
pengetahuan, dada sebagai tempat untuk mengalirnya segala kehendak dan keinginan,
dansulbi sebagai tempat untuk pengembangbiakan manusia. Ketiga instrumen ini disebut
juga sebagai Rumah Tuhan (Baitullah) yang harus dijaga kesuciannya di setiap saat agar
peradaban yang dibangun itu adalah peradaban yang beradab pula. Sedangkan bahan baku
untuk membangun peradaban itu juga sudah disiapkan Allah dengan sangat lengkap dan
berlimpah ruah.

MASA PEMBELAJARAN…
Demikianlah, Adam dan istrinya mulai mengumpulkan bahan dasar peradaban untuk
dianyamnya sedikit demi sedikit. Allah pun ternyata tidak menggeletakkan Adam begitu
saja. Dengan lancar otak, dada, dan sulbi Adam dialiri oleh Tuhan dengan DAYA-DAYA dari-
Nya. Dada Adam dialiri tanpa henti oleh Kehendak Tuhan untuk menciptakan peradaban
dan keturunan. Otak Adam tanpa henti dialiri oleh kreasi-kreasi, rencana-rencana, dan
pola-pola untuk mewujudkan kehendak dalam membangun peradaban itu. Sulbi Adam pun
dengan tanpa henti dialiri oleh daya-daya dalam mewujudkan kehendak pengembangbiakan
keturunan umat manusia.

Begitulah…, sejak itu Adam dan istrinya berikut dengan keturunannya nantinya akan selalu
berada dalam liputan kesibukan Allah. Sebuah Momentum Ketuhanan telah lepas bergerak
terus dan terus untuk membentuk peradaban manusia melintasi zaman demi zaman. Adam
mulai menjalani hari-harinya untuk merenda ilmu, memintal budaya, meretas keturunan
dengan bersandar kepada kesibukan Tuhan.

Dalam menjalankan tugasnya itu, Adam ternyata masih menyimpan kerinduan yang amat
dalam terhadap suasana kehidupan syurgawi yang pernah Beliau jalani sebelum mandat
sebagai khalifah di muka bumi ini diterima Beliau. Sebuah penyesalan dan sekaligus
kerinduan yang amat sangat dalam. Penyesalan atas pertemanan Beliau dengan Iblis, dan
kerinduan Beliau akan sungai-sungai, buah-buahan, dan harumnya bunga syurgawi yang
suasananya pernah Beliau nikmati pada awal-awal penggemblengan Beliau.

Harapan Beliau seakan terjawab. Beliau dialiri kesadaran (insigth, enlightment, burhan)
tentang sebab musabab keberhasilan malaikat mendapatkan posisi kepatuhan kepada Allah
disatu sisi dan kegagalan iblis untuk masuk kewilayah ketundukan kepada Allah disisi yang
lainnya. Bahwa hanya dengan sebab rahmat dan karunia Allah yang mengalir kedalam
lubuk kesadaran malaikatlah yang menyelamatkan malaikat bisa lepas dari keangkuhan dan
kesombongan kepada Allah ketika itu. Dan hanya dengan sebab aliran daya
kesombongan dan keangkuhan dari Tuhan yang menyentuh Iblis pulalah yang membuat
iblis tersebut tidak mampu untuk meruntuhkan lambaian nikmat pengakuan, keangkuhan
dan kesombongan itu, sehingga kesombongan dan keangkuhan itu pulalah nantinya yang
akan menyebabkan Iblis diusir oleh Allah dari sisi-Nya.

Benar…., malailat dan Iblis nampaknya memang tengah dijadikan oleh Allah sebagai tanda
atau ayat-ayat Allah bagi Adam dan keturunannya kelak untuk memahami tentang adanya
suasana kebaikan, kepatuhan, ketundukan yang diwakili olah malaikat disatu sisi, serta
keburukan, kesombongan, dan keingkaran yang diwakili oleh Iblis disisi yang lainnya.

Ya…, Adam berhasil meretas kilas balik fase-fase dialog keheranan Malaikat dan
keangkuhan Iblis atas proses penciptaan diri Beliau sendiri sebagai bahan untuk bisa keluar
dari penyesalan panjang atas pernahnya Beliau bersama-sama dengan Iblis berada dalam
posisi ketidakpatuhan kepada Allah.

Untuk itu…, Beliau lalu berusaha berada dalam posisi mengharap agar Allah masih mau
menerima dan memaafkan rasa bersalah Beliau yang begitu kental menggumpal didalam
dada Beliau. Moga-moga saja Allah bisa menyambut rasa penyesalan Beliau itu seperti
halnya juga Allah telah berkenan menerima penyesalan Malaikat yang pernah pula hampir
jatuh terpuruk kewilayah ketidakpatuhan kepada Allah. Beliau berusaha mengarahkan
kembali kesadaran Beliau kepada Allah (TAUBAT) dalam bentuk DO’A dan ASA :

“ …Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak
mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-
orang yang merugi". (Al A’raf 23).

“Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, maka Allah menerima
taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang”. (Al Baqarah 37)

“Kami berfirman: "Turunlah kamu semua dari surga itu! Kemudian jika datang petunjuk-Ku
kepadamu, maka barang siapa yang mengikuti petunjuk-Ku, niscaya tidak ada
kekhawatiran atas mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati". (Al Baqarah 38)

“Adapun orang-orang yang kafir dan mendustakan ayat-ayat Kami, mereka itu penghuni
neraka; mereka kekal di dalamnya”. (Al Baqarah 39).
Ternyata rintihan ‘asa’ Adam bak gayung bersambut. “Ujiibu da’wata da’i idza da’aani…”,
Aku akan respons permintaan-permintaanmu itu wahai Adam…, Karena memang Aku lah
Sang Penerima Taubat itu, karena Aku memanglah Sang Maha`Penyayang kepada mu…!”.

Lalu Adam dengan merunduk-runduk dan hati-hati sekali memasuki “RUMAH” yang penuh
dengan petunjuk Tuhan. Dan ternyata di wilayah atau di rumah itu memang tidak ada lagi
kekhawatiran dan tidak ada pula kesedihan hati sedikitpun. Semua sedih dan
khawatir yang sudah mendera Adam begitu lama, seperti sirna disapu habis oleh limpahan
cahaya Tuhan yang memang penuh dengan Rahmat. Adam lalu bermandikan cahaya Tuhan,
sehingga Adam bisa kembali merasakan suasana syurgawi di BUMI ini, ditanah harapan
yang memang telah disiapkan untuk Beliau dan anak cucu Beliau dalam menjalankan tugas
kedutaan Beliau dari dan atas nama Tuhan. Suasana syurgawi baru yang didapatkan oleh
Adam ini dalam istilah Al qur’an dinamakan sebagai suasana “FID DUNYA HASANAH,
SYORGA DUNIA…”, yang padanannya adalah “FIL AKHIRATI HASANAH, SYORGA
AKHIRAT…!. YA… sama-sama syorga saja sebenarnya.

Dan…, dari dalam ‘rumah yang penuh petunjuk itu’, Adam lalu dengan sangat leluasa bisa
memandang keluar ke sekeliling rumah itu yang ternyata penuh dengan ‘pergolakan
suasana”. Sebuah suasana yang tidak menentu yang dalam istilah agamanya disebut juga
dengan suasana tersiksa, suasana di dalam neraka…, tidak hanya di dunia ini, akan tetapi
juga neraka di akhirat.

YANG MENITI SINGASANA…

Dengan demikian lengkap sudah bekal Adam dan keturunan Beliau dalam menjalankan misi
sebagai seorang kurir Allah untuk merenda peradaban umat manusia dari zaman kezaman.

Sebagai bahan bakunya, maka hamparan tumbuhan, hewan dan ratna manikam lainnya
seperti tumpah ruah disuplai tanpa henti-hentinya oleh Tuhan. Semuanya tinggal menunggu
sabda berikutnya…, KUN…, KUN…, KUN…, Jadilah…, Jadilah…, Jadilah…!. FAYAKUN…, maka
jadilah sesuatu itu dalam sebuah proses yang unik pula….!.

Demikian pula…, Adam juga telah dilengkapi dengan alat yang sangat unik untuk
mendeteksi suasana yang muncul selama proses menganyam peradaban itu berlangsung.
Dari detik ke detik, alat itu memberikan sinyal kepada Adam atas setiap gerak langkah,
setiap tarikan nafas, setiap pandangan mata, setiap pendengaran, dan setiap apapun yang
Beliau lakukan. Lalu sinyal itu dirubah menjadi bentuk SUASANA YANG MENYELIMUTI
DADA Adam, suasana syurgawi ataupun suasana neraka, yang memang telah pernah
dirasakan oleh Adam diawal-awal masa pembelajaran Beliau.

Bahkan jalan keluar dari suasana tersiksa (seperti berada diwilayah neraka) menuju
suasana syurgawi (suasana tidak ada kekhawatiran dan kesedihan sedikitpun) itu juga telah
diberi tahu Allah langkah perlangkah. Jalan keluar itu adalah dengan masuk kembali ke
Rumah Allah yang penuh dengan petunjuk dan pengajaran dari dan oleh Allah sendiri.
Rumah tempat persaksian awal kita dihadapan Tuhan: “Alastu bi rabbikum… Bala
syahidna…,”
Sungguh Allah telah memberikan fasilitas yang sangat prima bagi Adam dan keturunannya
nanti dalam meniti singasana sebagai Duta Istimewa Tuhan di muka bumi ini. Fasilitas yang
sungguh sangat sayang kalau disia-siakan dan diterlantarkan begitu saja…!.

IQRAA’ DI RUMAH KUN….!!!.


Di tanah harapan, Adam baru saja keluar dari CELUPAN TUHAN. Dengan mata dan telinga
yang masih terbungkus gelimangan cahaya Tuhan, otak yang masih sebening kaca, dan
dada yang masih selembut embun pagi, Adampun beranjak menjalankan tugasnya. Adam
mulai bisa melihat indahnya tarian kupu-kupu meliuk-liuk disetangkai bunga mawar. Sayup-
sayup telinga Adam mulai pula bisa mendengarkan harmoni nyanyian angin yang sahut
menyahut tanpa henti. Indah sekali ternyata tanah harapan ini yang memang telah
diserahkan Tuhan kepadanya.

Untuk mengiringi langkah Adam memulai destiny-nya, sabda lembut Tuhan secara utuh pun
bergema direlung pengertian Adam:

“KUN…Adam…, kau lihatlah, amatilah bumi dan segala isinya ini…!. Ini semua adalah
untukmu dan keturunanmu kelak. Kau amati pulalah dirimu sendiri. Tuh lihat…,
dirimu butuh pakaian, butuh makanan, butuh rumah, butuh kehangatan, butuh
tempat berlindung, butuh kegembiraan. Cobalah amati juga, bukankah pada
awalnya kau tidak tahu bagaimana caranya untuk memenuhi seluruh kebutuhanmu
itu walaupun bahan dasar untuk itu telah Ku siapkan untukmu berupa bumi dan
segala isinya ini”. Lihatlah semua itu wahai Adam, Amatilah….!. Tapi jangan lupa
wahai Adam…, dari Ku lah penglihatanmu itu. Aku yang memberimu penglihatan.
Dengan penglihatan yang Kuberikan inilah Aku akan memberimu pengajaran
langkah demi langkah.

Kau amatilah pepohonan itu bagaimana dia Ku besarkan, Ku rantingkan, Ku


daunkan, Ku buahkan…, lalu Ku matikan kembali…!. Kau amatilah sungai-sungai itu
bagaimana dia Ku isi dengan air yang melimpah ruah, Ku belokkan pula alirannya
sekehendak-Ku, lalu Ku satukan aliran sungai sungai itu dilautan yang luas sehingga
sungai-sungai itu tidak ada bekasnya lagi dilautan Ku yang luas itu. Kau amati
pulalah binatang-binatang itu, semut itu bagaimana dia membuat sarang,
mengumpulkan makanan, membela diri, dan berkembang biak.

KUN… Adam…, kau dengarkan pulalah bunyi-bunyian seruling alam semesta ini. Ada
lengkingan suara rusa dan serigala yang saling berkejar-kejaran dipadang savana
itu. Ada suara lirih jangkrik menyambut dinginnya tangan-tangan malam. Ada
kicauan burung menyongsong fajar yang merekahkan bebijian dipagi hari.
Semuanya telah Ku atur dalam bentuk musik simphony kehidupan. Dengarlah
semua itu wahai Adam, Dengarlah keindahannya….!. Tapi jangan lupa wahai Adam…,
dari Ku lah pendengaranmu itu. Aku yang memberimu pendengaran. Dengan
pendengaran yang Kuberikan ini pulalah Aku akan mengalirkan segenap ilmu-Ku
kepadamu nada demi nada.

Wahai Adam…, cobalah perhatikan semua ciptaan-Ku itu dengan perlahan, dan
dengarkan pulalah untaian bebunyian yang mengelilingi ciptaan-Ku itu dengan
seksama, karena di segenap ciptaan-Ku itulah pengajaran Ku Kutuliskan dengan
sangat detail. Akan tetapi…, walaupun semua itu adalah untukmu, hati-hatilah wahai
Adam. Janganlah sekali-kali semua ayat-ayat-Ku, tulisan-tulisan-Ku (QALAM) itu
menutupi kesadaranmu terhadap Aku. Tegasnya…, janganlah sampai kau KAFIR
terhadap Ku hanya karena kau begitu terpesona dengan QALAM-KU yang memang
telah Ku tebarkan disetiap ruang dan waktu”.

Lalu Adampun menyandarkan mata dan telinganya kepada sabda KUN itu. Mata Adam dengan sukarela telah
disiapkan untuk bersedia dialiri oleh “rasa melihat”, seperti halnya telinga Adam yang juga rela untuk dialiri oleh “rasa
mendengar” yang telah di anugerahkan Tuhan kepadanya. Ya…, Adam tidak harus capek-capek sedikitpun lagi untuk
“bisa” melihat dan mendengar QALAM Tuhan yang bertebaran dialam semesta ini maupun didalam tubuhnya sendiri.
Karena memang bisanya Adam untuk mendengar dan melihat itu hanya dengan sebab adanya Rahmat dan Karunia
dari Tuhan semata.

“Dari-Ku lah semua pendengaran dan penglihatan itu” tegas sang Maha Melihat dan
Maha Mendengar itu tak mau dibantah sedikitpun.

Kemudian Tuhanpun melanjutkan sabdanya kepada otak Adam yang memang telah dicerahi
sejak dari awal penciptaannya untuk mau pula menjalani destinynya:

“KUN…otak…!, mulai pulalah jalani nasibmu sebagai alat-Ku yang berguna bagi
Adam untuk menyimpan segala pengajaran-Ku kepadanya. Kau wahai otak tenang-
tenang sajalah. Akulah yang akan merendamu. Akulah yang akan mengukirmu. Aku
yang akan menarok pengetahuan itu kepadamu melalui aliran melihat dan
mendengar yang telah Ku alirkan kepada mata dan telinga Adam. Aku yang akan
menulisimu dengan tinta hormon dan enzim tertentu yang Ku alirkan pula
melewatimu. Ya…, Akulah yang akan membentuk anyaman ingatan atas peristiwa-
peristiwa itu yang akan menjadi jalinan ilmu pengetahuan Bagi Adam sebagai
bekalnya untuk menjawab segala problematika kehidupan yang akan dihadapinya
kelak.

Tenang-tenang sajalah engkau wahai otak seperti tenangnya jantung, tenangnya


paru-paru, tenangnya aliran darah, tenangnya ginjal menghadap patuh kepada-Ku.
Tidakkah kau lihat wahai otak, bahwa jantung itu bergerak hanya karena Aku telah
mengalirkan gerak kepadamu yang kemudian engkau teruskan gerak itu ke jantung,
ke paru-paru, ke ginjal, dan kesegenap aliran darah Adam. Tepatnya, engkau tidak
perlu capek-capek sedikitpun untuk menjalankan tugasmu untuk memnyimpan file-
file semua pengetahuan yang Ku alirkan kepada mata dan telinga Adam. Aku yang
akan menganyammu.

Demikianlah…, dengan melalui kombinasi-kombinasi yang sangat tepat dan akurat antara aliran melihat yang
melewati mata Adam dan aliran mendengar yang menyusupi telinga Adam, maka otak Adampun diaktifkan bagian
perbagian untuk kemudian dianyam dengan sangat teliti oleh Sang Maha Pengayam menjadi simpul-simpul
pengetahuan bagi Adam. Ya…, tiba-tiba Adam dialiri pengetahuan tentang hubungan titik-titik kehidupan dialam
semesta ini. Adam dialiri oleh aliran TAHU yang cemerlang yang selalu akan berkembang seiring dengan hirupan
keluar masuk nafasnya. Tahu inilah yang akan dipakai oleh Adam sebagai senjata saktinya dalam menjalankan
fungsinya sebagai Duta Istimewa Tuhan. Benar…, TAHU ini sedang menunggu pemanfaatannya ditangan Adam.

“Namun begitu, sadarilah wahai Adam…, TAHU itu adalah milik-Ku yang Ku alirkan
kepadamu. Kau hanya menerimanya saja dari-Ku kesemuanya itu. Sadarilah itu…”, sapa
Sang Maha ‘ALIM masuk sangat lembut kerelung kesadaran Adam dan langsung
meruntuhkan kesombongan Adam.

Dalam selang hanya hitungan sehirupan nafas, Allah pun menarok sabda-Nya yang penuh
daya dorong yang dahsyat kedalam DADA Adam:

“KUN Adam…!. Diamlah sejenak wahai Adam…, amatilah dadamu, sudurmu itu.
Sekarang didadamu telah kutarok pula Kehendak-Ku. Kau mulailah memintal
pakaianmu, Kau mulailah menanam sayur-sayuran, buah-buahan, dan makananmu.
Kau mulailah membangun rumahmu. Kau mulailah berlayar. Kau mulailah merenda
dan melukis muka bumi ini dengan bekal tahu yang telah kualirkan kepadamu.
Mulailah…!. Aku telah siapkan DAYA dari-Ku agar engkau bisa melaksanakan semua
Kehendak-Ku itu. Karena Aku memang ingin merangkai peradaban umat manusia ini
sebagai tempat-Ku mencurahkan kasih sayang-Ku kepada Alam semesta ini.

Lalu Aku aliri dirimu dengan Daya-daya yang datang dari Ku itu. Dan Daya dari-Ku
itulah yang telah membuatmu bisa BERGERAK. Dengan Daya dari Akulah kakimu
bisa melangkah kegaris tujuanmu. Dengan aliran Daya dari Akulah tanganmu bisa
bergerak. Kau tinggal bersandar saja pada Daya-daya-Ku itu. Dengan Daya dari-Ku
jugalah kau bisa merangkai logika demi logika berdasarkan file pengetahuan yang
telah Ku alirkan kedalam otakmu. Dengan Daya dari-Ku kau lalu seperti bisa
merencana, menyusun hubungan sebab dan akibat atas persoalan-persoalan yang
nantinya kau hadapi”.

“KUN Adam…!. Diamlah sejenak wahai Adam, lihatlah kembali dadamu. Aku telah
simpan pula disana Kehendak-Ku agar kau punya keinginan untuk berkembang biak.
Ku tarok disana rasa sayang dan cintamu kepada Istri-istrimu. Tidak hanya itu,
untuk terlaksananya Kehendak-Ku itu, maka Aku juga telah membekalimu dengan
DAYA dari-Ku yang menyelimuti FARJI mu. Ku lengkapi Farji mu itu dengan aliran
kekuatan dan rasa enak yang akan membuatmu mabok dan akan menggiringmu
untuk selalu memenuhi keinginan-Ku dalam mengembangbiakkan umat manusia
ini”.

“Akan tetapi…, hati-hatilah wahai Adam. Daya itu adalah milik-Ku…!. Janganlah
engkau sekali-kali menjadi sombong dan angkuh atas daya milik-Ku itu” sabda Sang
Pemilik Daya, Sang Maha Kuat, dengan sangat tegas.

“KUN Adam…!, siapkanlah dadamu dengan diam. Aku akan isi pula dadamu dengan
berbagai perasaan. Aku akan tarok didalam dadamu itu rasa cinta, rasa bahagia,
rasa enak, rasa luas, rasa rela, rasa tenang. Dan sekaligus Aku juga akan menarok
didalamnya rasa-rasa lainnya yang berlawanan, seperti rasa takut, rasa rasa benci,
rasa marah, rasa iri, rasa sempit, rasa tersiksa, rasa terpaksa. Segala rasa ini ada
gunanya bagimu. PASTI. Karena rasa-rasa itu tadi adalah sebagai indikator system
peringatan dini (early warning system) atas segala pemenuhan dan pelaksanaan
“Kehendak” yang Ku tarok kedalam dadamu.

Karena…, ingatlah bahwa Aku lah yang memberi petunjuk dan Aku pulalah yang
menyesatkan umat manusia ini. Akulah yang mengilhamkan kedalam dirimu akan
perilaku KEFUJURAN dan Aku pulalah yang mengilhamkan kedalam dirimu akan
perilaku KETAQWAAN. Oleh sebab itu hati-hatilah. Aku memang Maha Berkehendak
dengan cara-Ku sendiri.
Nanti wahai Adam…, setiap kau Ku aliri dengan sebuah kehendak dari-Ku, maka
buru-burulah amati sinyal yang dipancarkan oleh dadamu yang mengiringi
munculnya kehendak Itu. Disitu ada peringatan. Karena sinyal tentang rasa
kefujuran itu sangat jelas rasanya. Sama jelasnya dengan sinyal tentang rasa
ketaqwaan. Jelas sekali..!!. Kedua sinyal yang berlawanan itu tidak akan pernah
bersatu sampai kapanpun. Karena saat kau Ku aliri dengan ilham ketaqwaan dari-
Ku, maka saat itu pula kau sebenarnya tengah Ku singkirkan dari ilham kefujuran.

Akhirnya…, dengan segenap rasa rela, lalu Adam menjalankan tugas kedutaan istimewanya
dengan menyandarkan matanya kepada aliran melihat dari Tuhan, telinganya kepada aliran
mendengar dari Tuhan, otaknya kepada aliran Tahu dari Tuhan, sehingga Adam tidak lagi
direpotkan sedikitpun oleh semua fasilitas fisiknya untuk meramaikan dunia itu.

Tidak hanya itu…, untuk berkehendakpun, Adam tidak usah capek-capek lagi. Kehendak
demi kehendak ditarok oleh Allah kedalam dadanya. Kehendak untuk membangun,
berkarya, berkreasi, menghancurkan, merusak, dan lalu merencana serta membangun lagi.
Kehendak untuk berkembang biakpun mengalir dengan deras ke dalam dada Adam.

Untuk melaksanakan kehendak demi kehendak itupun Adam hanya tinggal bersandar saja
kepada Daya-daya yang telah difasilitasi oleh Tuhan. Bahkan untuk sekedar merasakan
hasil atas terlaksananya kehendak demi kehendak itu, Adam juga hanya bersandar saja
kepada RASA yang ditarok oleh Allah kedalam dadanya.

Sungguh Adam telah menjadi duta istimewa dari Dzat yang Maha Melengkapi segala
sesuatu bagi dutanya. Ternyata Adam menjalankan tugasnya hanya semata-mata dengan
bersandar pada kesibukan Tuhan. Bertengger diatas Daya Momentum Ketuhanan. Karena
memang Adam telah menjadi duta Tuhan yang sebelumnya telah DICELUP (di shibghah)
oleh Tuhan Sendiri.

“ShibghahAllah. Dan siapakah yang lebih baik shibghahnya daripada Allah? Dan hanya
kepada-Nya-lah kami menyembah”, (Al Baqarah 138).
MENJAGA RUMAH KUN…
Demikianlah, generasi demi generasi berlalu. Adam pun berhasil mewariskan tongkat
estafet sebagai Duta Istimewa Tuhan kepada anak keturunannya. Kita pun, masing-masing
sebagai keturunan Adam, tidak dapat menghindar sedikit pun dari destiny kita sebagai
penerus tongkat estafet itu. Suka atau tidak suka, kita memang sudah diwariskan oleh
Adam tanggung jawab untuk menyemai peradaban di muka bumi yang kita pijak dan di
langit yang kita junjung ini.

Tuhan pun, sebagai Dzat Yang Maha Sibuk, telah dan akan selalu MEMFASILITASI segala
sesuatunya yang dibutuhkan sang duta-duta istimewa-Nya itu dalam menjalankan
tugasnya. Umat manusia yang sudah berkembang biak dengan kecepatan yang sangat
mengagumkan ini, dengan TELATEN tetap disapa oleh Tuhan dengan sabda-Nya: “Kun…,
Kun…, Kun…, jadilah…,”, lalu tak tertahankan “Fayakun…, maka jadilah…!”.

DAYA sapaan KUN dari Tuhan itu mengalir melintasi zaman dengan smooth, unstopable,
dan predictable ke Rumah Kun yang berada di dada, di otak, dan difarji anak cucu
Adam. Sehingga DADA umat manusia itu akan selalu penuh dengan berbagai “kehendak”
untuk membangun, menganyam, merangkai, dan merombak peradabannya sendiri. Begitu
juga…, OTAK manusia itu akan selalu PENUH dan RAMAI dengan berbagai rencana, logika,
strategi, teknis, dan pengaturan lainnya agar semua kehendak membangun peradaban
yang telah dialirkan Tuhan kedalam dada umat manusia itu bisa terlaksana. Dan…, FARJI
anak Adam itu juga akan selalu GAGAH PERKASA dalam memenuhi kehendak Tuhan untuk
memancarkan jutaan benih yang akan melahirkan generasi-generasi baru umat manusia
sebagai penerus tongkat estafet duta istimewa Tuhan.

Nah…, tugas kita, sebagai anak cucu Adam, ini sebenarnya sangat sederhana saja, yaitu:

1. Tugas pertama dan utama kita adalah: bagaimana agar kita tetap bisa
menjaga KELEMBUTAN DADA kita setiap saat, sehingga kita bisa memonitor
kehendak Tuhan yang mengalir masuk ke dalamnya. Dada yang lembut pastilah
bisa merasakan dan membedakan bahwa saat ini kita SEDANG didorong oleh Allah
kearah perlaku FUJUR atau kearah perilaku TAQWA…?!.
2. Tugas kedua kita yang tak kalah pentingnya adalah: bagaimana agar kita
bisa menjaga OTAK kita ini untuk tidak dimonopoli oleh file-file pemikiran dan
persepsi yang amburadul, ngeles, ruwet, murahan dan rendahan yang hasilnya
juga pasti akan membawa kita sendiri maupun orang lain kepada keburukan,
keangkaramurkaan, dan kesengsaraan. Boleh memang kita tahu tentang persepsi yang
rumit-rumit maupun yang rendahan sekalipun, akan tetapi jadikanlah kesemuanya itu
hanya sebagai bahan pembanding saja.
3. Tugas kita yang ketiga sebenarnya cukup sederhana saja, akan tapi dalam
kesederhanaan itu terkandung muatan yang sangat menentukan pula atas peran yang
akan kita ambil dalam merangkai peradaban ini. Tugas itu adalah: “untuk menjaga
agar kita TIDAK mengotori FARJI kita dengan perbuatan zina dan perbuatan-
perbuatan maksiat yang sejenisnya”. Karena farji kita ini ternyata
adalah Baitullah, Rumah Tuhan yang SUCI sebagai tempat Tuhan
mengembangbiakkan umat manusia. Jadi kerjaan kita ini hanyalah untuk menjaga
Rumah Allah yang suci ini agar tetap terjaga kesuciannya sepanjang masa. Simple saja
bukan…?.

Indikatornya juga sangat sederhana sekali. Cobalah AMATI dada kita. Saat kita tengah didorong oleh Allah ke arah
perilaku FUJUR, yang sebabnya adalah karena kita berpaling dan melupakan Allah, bisakah saat itu juga kita
merasakan adanya rasa sakit, rasa tersiksa, rasa tidak enak yang mengiringi perilaku kita itu. Meskipun kita berhasil
melakukan perbuatan fujur itu dengan sukses, akan tetapi selalu saja ada muatan rasa negatif yang menggandoli
dada kita. Ya… tetap saja itu namanya siksaan.

Begitupun sebaliknya, saat kita tengah didorong oleh Allah ke arah perilaku TAQWA,
sebagai buah dari kesadaran, kebergantungan kita yang kuat kepada Allah, bisakah saat
itu juga kita menyadari dan merasakan kebahagian, kegembiraan, kesenangan,
ketenangan yang mengalir bersama apa-apa yang kita lakukan itu.

Dengan DADA kita yang hidup dan lembut, tatkala kita mampu mengamati dada kita
yang sedang dialiri oleh rasa tersiksa, karena memang saat itu kita tengah didorong
Allah ke arah perilaku FUJUR, maka kita akan sangat mudah sekali untuk sadar dan
kembali (TAUBAT) menuju ke arah kebaikan. Artinya…, saat kita merasakan bahwa
ketika itu kita tengah dicampakkan oleh Allah, di tendang oleh Allah, diistidraj oleh
Allah, karena berpalingnya kita (YA’SYU) dari Allah, maka saat itu juga kita mampu
untuk buru-buru kembali berlari ke Allah agar supaya Allah mengambil rasa tersiksa itu
untuk kemudian diganti-Nya dengan rasa bahagia, agar Allah mengganti kehendak ke
arah kefujuran yang mengalir ked alam dada kita itu dengan kehendak ke arah
ketaqwaan. Proses kembali seperti ini disebut dengan TAUBAT. Dan…, ternyata kita
TIDAK akan pernah bisa untuk bertaubat kalaulah tidak ada daya dan rahmat dari Allah.

Begitu juga…, dengan dada kita yang lembut dan hidup, kita akan mampu mengamati
dada kita yang sedang dialiri oleh rasa bahagia, tenang, dan damai. Dan seketika itu
juga kita buru-buru kembali ke Allah menghantarkan ungkapan RASA SYUKUR kita
kepada-Nya, sehingga dada kita akan dialiri oleh rasa bahagia yang bertambah dan
bertambah setiap kali kita mengembalikan rasa syukur itu kepada Allah.

Kembalinya kita ke Allah saat kita ditimpa rasa tersiksa akibat musibah maupun saat
diberi rasa bahagia karena nikmat, sebenarnya hanyalah sebuah keniscayaan saja.
Karena kalau tidak, maka kita akan diikat, dikuasai oleh rasa tersiksa, maupun rasa
bahagia itu. Tidak jarang kita mendengar ada orang yang mati gara-gara tersiksa
ataupun gembira. Mati kesedihan atau mati kesenangan.

Nah…, dada yang lembut, hidup, dan luas, inilah modal utama yang harus kita pelihara
setiap saat agar kita selalu BISA MEMILIH PERAN yang akan kita ambil dalam
meramaikan dunia ini. Begitu ada sebuah kehendak yang ditarok kedalam dada kita,
maka baik atau buruknya pelaksanaan atas kehendak itu kita sudah bisa merabanya,
sehingga kita bisa mengambil sikap atas kehendak yang muncul tersebut.

Andaikan kehendak yang ditarok di dada kita itu adalah kehendak untuk berbuat baik,
dan pemenuhan kehendak itu mengarah padaperbuatan TAQWA, maka dada kita yang
sudah lembut tersebut akan dibuat bahagia, sehingga orang yang bekerja dengan
berbahagia akan dialiri oleh DAYA BAHAGIA itu. Kita tidak capek, tidak lelah, tidak
terpaksa sedikitpun dalam melaksanakan kehendak itu. Kita akan bekerja dengan
semangat dan kekuatan penuh. Motivasi kita akan membakar semangat siapapun juga
dalam upaya mewujudkan kehendak itu. Sungguh…!, bisa bersandar pada daya
kebahagiaan itu merupakan salah satu anugerah yang terbesar yang diberikan Tuhan
kepada kita. Dan orang yang berbahagia, tidak mungkinlah dia akan berbuat fujur, atau
tidak baik. Dia akan terpisah dengan perilaku tidak baik itu tanpa membutuhkan tenaga
sedikitpun. Suasana seperti ini disebut juga dalam istilah agamanya dengan suasana di
TUNTUN, di I’ANAH. Suasana pengharapan kita disetiap shalat kita: “Iyyaa ka na’
budu wa iyya ka nasta’in”.

Begitupun sebaliknya…, tatkala sebuah kehendak yang tidak baik tiba-tiba muncul juga
di dalam dada kita yang sudah hidup dan lembut itu, dan pelaksanaan atas kehendak itu
mengarah kepada perbuatan FUJUR, maka seketika itu juga akan muncul rasa tidak
enak yang mengalir ke dalam dada kita. Rasa tidak enak inilah yang kemudian yang
akan menyadarkan kita bahwa saat itu sebenarnya kita tengah didorong oleh Tuhan
menjauh dari-Nya, sehingga kita buru-buru berlari mengarah kembali ke Allah (taubat)
dan berdialog dengan-Nya:

“Ya Allah…, ada apa ini ya Allah kok saya di dorong mengarah kepada kefujuran seperti ini….??,

Apa ada yang keliru pada saya saat ini ya Allah…?.

Tuntunlah saya kembali kearah ketaqwaan ya Allah, dan rahmatilah kehendak yang
muncul di dada saya ini ya Allah…!”.
Lalu kita diam, menunggu respon dan jawaban Allah atas keheran-heranan kita itu.

Karena kita berlari kembali (taubat) kearah Allah Yang Maha Hidup untuk minta
kejelasan dan petunjuk, maka biasanya respon Allah itu adalah berupa ditahannya kita
(DI ISYMAT) dari perbuatan fujur itu, untuk sebaliknya kita di dorong kembali kepada
pemenuhan kehendak tadi dengan cara-cara yang dikategorikan sebagai perbuatan
taqwa. Berpindahnya dorongan dari kefujuran menjadi dorongan kearah ketaqwaan tadi
itu terjadi begitu cepatnya, seketika, yang dalam istilah agamanya disebut sebagai
suasana di beri BURHAN, di CERAHKAN, di RAHMATI. Daya hasil pencerahan ini begitu
besarnya, sehingga kita tinggal bersandar saja kepada daya itu untuk keluar dari
dorongan kefujuran. Dan dengan daya itu jugalah kita bersandar untuk melakukan
perbuatan ketakwaan dengan tanpa bersusah-payah sedikitpun.

Suasana serba di isymat ketika kita menghindari perbuatan buruk maupun


di isti’anah ketika kita melakukan perbuatan baik, TIDAK akan pernah kita rasakan
sedikitpun tatkala dada kita ini KERAS MEMBATU. MATI…!. Kalau sudah begini, maka
sebenarnya saat ini juga kita tengah meniti sebuah tragik hidup yang sangat
menyedihkan. Betapa tidak…, early warning system yang seharusnya sejak awal-awal
memberikan sinyal peringatan dini agar kita tidak terperosok ke jurang
keangkaramurkaan perbuatan fujur, malah tidak berfungsi sama sekali. Macet…!.
Akibatnya…, sungguh mengerikan…!.

Akibat itu misalnya…, ketika ke dalam dada kita yang sudah membatu dan mati itu
ditarok sebuah kehendak, dan untuk pemenuhan kehendak itu kita didorong pula kearah
perbuatan fujur, misalnya perbuatan maksiat, maka tidak sedikitpun kita bisa
menghindar dari pelaksanaan perbuatan fujur itu. Tidak ada rasa malu dan tidak pula
sedikit pun muncul rasa bersalah ketika kita melakukan perbuatan fujur itu. Seperti ada
daya yang sangat kuat yang mendorong kita ketika kita melakukan perbuatan fujur itu,
dan kita seperti bersandar saja kepada daya itu. Malah anehnya lagi ada pula rasa
nikmat yang muncul mengiringi pelaksanaan perbuatan fujur itu. DUAAR…!. Maka
terjadilah perbuatan maksiat itu dengan segala akibatnya yang biasanya sangat
merepotkan sekali. Tersiksa sekali. Dan perbuatan maksiat itu akan kita lakukan lagi…,
lagi…, lagi…, dan lagi…!. Seperti tak henti-hentinya kita di dorong untuk silih berganti
melakukan satu perbuatan maksiat ke perbuatan maksiat lainnya.

Tragik hidup ini akan bertambah buruk lagi tatkala kita tengah di dorong untuk
melakukan perbuatan fujur itu, kita tidak sedikitpun bisa menghindarinya. Walaupun,
misalnya, ada rasa menyesal atau rasa ingin berbalik arah untuk kembali kepada
perbuatan TAQWA, akan tetapi untuk kembali menjadi baik itu alangkah sulitnya, kalau
tidak mau dikatakan tidak bisa. Kita seperti dihalangi Tuhan untuk menjadi baik, karena
memang saat itu kita tengah dituntun untuk menjadi tidak baik. Semua itu terjadi
karena kita didorong Tuhan menjauh dari Tuhan sendiri akibat dari berpalingnya kita
dari Dia. Sehingga dengan daya dorong dari Tuhan itu, kita menjadi lancar sekali dalam
melakukan perilaku ketidakbaikan itu. Lancar tapi bermasalah, karena kita memang
didorong Allah kepada perilaku yang bertentangan dengan FITRAH…!.

Logis sekali sebenarnya hubungan sebab akibat diatas. Karena memang Tuhanlah yang
menarok setiap kehendak ke dalam dada kita, karena memang Dia adalah Sang Maha
Berkehendak. Dan Tuhan pulalah yang memberikan setiap daya kepada kita untuk
mewujudkan kehendak itu. “Laa haula wala quwwata illa billah…, tidak ada daya
dan upaya kecuali hanya dengan sebab adanya DAYA dan KEKUATAN dari Allah”.

Daya dan kekuatan dari Allah itulah yang kemudian mengalir ke dalam OTAK kita untuk
kemudian otak melakukan proses koordinasi yang sangat unik agar kehendak itu bisa
terlaksana. Dengan menyisir kumpulan file pengetahuan yang sudah ada di dalam otak,
kita kemudian mampu menyusun logika-logika, rencana-rencana, cara-cara, metodologi,
gerakan-gerakan, mobilitas, dan berbagai kegiatan lainnya untuk mewujudkan
kehendak tadi menjadi kenyataan. Proses terstruktur seperti ini dalam istilah agamanya
disebut sebagai kegiatan MAKAR.

Tatkala daya-daya itu mendorong kita kearah kefujuran, maka logika yang keluar dari
otak kita juga adalah logika-logika yang mendukung agar perbuatan fujur itu bisa
terlaksana dengan mantap. Alasan-alasan, uraian-uraian, dan dalil-dalil yang muncul
juga sangat meyakinkan sekali dan dengan kualitas seorang pakar pula. Bahkan ayat-
ayat kitab suci pun bisa pas dan cocok pula dilekatkan pada logika-logika tersebut yang
sebenarnya hanyalah alasan untuk NGELES saja. “Ha… ha… ha…, kutipu kau…!”, kata
kita di dalam hati kepada masyarakat yang terkagum-kagum dengan logika-
logika ngeles tersebut.

Sebaliknya…!. Ketika daya itu mendorong kita ke arah perbuatan baik dan taqwa, maka
logika yang lahir pun adalah logika-logika yang cemerlang. Kita seperti bisa melihat
hubungan keterikatan yang sangat indah diantara titik-titik logika, anyaman
pengetahuan, dan kumpulan pengertian yang ada di alam semesta
ini. Subhanallah…, Laa ilaha illa anta…!!.

Dan sebagai alat peringatan dini untuk membedakan perbuatan itu apakah bersifat fujur
atau taqwa, dibutuhkan dada yang hidup dan lembut. Karena dada yang mati dan keras
membatu tidak akan pernah bisa sedikitpun untuk memilah-milah mana sinyal untuk
perbuatan taqwa dan mana yang untuk perbuatan fujur. Dada yang mati akan
menerjemahkan taqwa dan fujur itu dengan cara yang keliru. Perbuatan baik dikiranya
tidak baik, sebaliknya perbuatan buruk ditangkapnya sebagai sinyal perbuatan baik.
Terbalik-balik memang, dan buahnya pun hanyalah munculnya rasa capek, rasa
terpaksa, dan rasa tersiksa yang berkepanjangan…!. Anehnya walaupun kita tahu semua
itu adalah salah, terbalik-balik dan membuat kita capek pula, akan tapi kita tidak
berdaya apa-apa untuk merubahnya…

Isilah otak kita dengan file-file segala pengetahuan yang memenuhi pojok-pojok jagad
raya ini. Kita bebas saja memilih mana-mana yang ingin kita pakai sebagai bekal kita
dalam menjalankan fungsi kekhalifahan kita di muka bumi ini. Amatilah seluk beluk
alam semesta ini. Bacalah angin, gunung, segala tumbuhan, dan binatang berjasad
renik sampai dengan dinosaurus. Telitilah cahaya, unsur-unsur, atom, proton, netron,
dan gaya-gaya yang memegang alam semesta ini. Galilah perut gunung, telusurilah
lembah yang terdalam dan panjatlah puncak dunia yang penuh dengan tebaran ratna
mutu manikam. Tengok pulalah diri kita sendiri, tubuh kita, dada kita, otak kita, jantung
kita, darah kita, jiwa kita yang memang sangat sempurna ini. Ternyata semuanya
adalah ayat-ayat Tuhan, tulisan Tuhan, omongan Tuhan dengan cara yang sangat pasti
dan sangat jelas sekali. Semua tidak ditutup-tutupi Tuhan sedikitpun.
Juga…, saat kita bingung dengan berbagai masalah kesehatan, perekonomian,
kebudayaan, atau masalah peradaban lainnya, maka Tuhan pun akan menjawabnya
dengan jawaban KEKINIAN. Selalu ada jawaban Tuhan buat mengobati kegundahan kita
atas peran peradaban yang sedang kita jalankan. Dan jawaban Tuhan itu PASTI SELALU
BARU, up to date, sesuai zaman, dan selalu lebih baik dari solusi-solusi masa lalu yang
telah Dia beritahukan sebelumnya. Tidak mungkinlah Dzat Abadi, Yang Maha Terdahulu
dan Maha Terakhir, ALLAH, akan memberikan jawaban yang OBSOLET untuk masalah-
masalah yang kita hadapi saat ini dan yang akan datang. Nggak lah…!.

Misalnya, saat kita bingung tentang masalah catat-mencatat ketika kita bermu’amalah
seperti yang diperintahkan Tuhan secara sederhana dalam surat Al Baqarah ayat 282,
yang ternyata semakin rumit saja karena volume dan intensitasnya yang meningkat
sangat luar biasa, maka Tuhan lalu mengalirkan jawaban demi jawabannya ke dalam
otak kita. Jawaban Tuhan itu adalah dalam bentuk pengertian-pengertian yang
kemudian melahirkan ilmu akunting, ilmu hukum, ilmu komputer, ilmu sosial, dan
sebagainya.

Begitu pun dengan masalah-masalah kita yang lainnya, Tuhan akan tetap menjawab
setiap permasalahan kita itu dengan mengalirkan pemahaman demi pemahanan baru ke
dalam otak kita. Sehingga kemudian lahirlah berbagai ilmu pengetahuan. Ilmu
aordinamika, ilmu fisika, ilmu kimia, ilmu biologi, ilmu kedokteran, ilmu perdagangan,
dan ilmu sosial, adalah sedikit saja dari sekian banyak ilmu-ilmu pengetahuan yang
dihamparkan Tuhan yang bebas kita punguti sesuai dengan peran yang akan kita pilih
sebagai bekal kita untuk mewujudkan kehendak demi kehendak yang ditarok Allah ke
dalam dada kita.

Dengan bekal file-file ilmu pengetahuan inilah kita akan menentukan peran seperti apa
yang akan kita jalankan sebagai khalifah Tuhan di muka bumi ini. Kehendak demi
kehendak misalnya untuk berkarya, untuk membangun, untuk bisa memberi manfaat
bagi orang lain, dan berbagai kehendak universal lainnya, baru akan terwujud kalau
ada file tentang cara-cara pelaksanaannya di dalam otak kita.

Untuk memenuhi kehendak pemenuhan kebutuhan sandang dan pangan, misalnya, ada
orang yang file di dalam otaknya berisikan cara-cara berdagang, atau menjadi dokter,
atau menjadi ahli hukum, atau dengan cara-cara buruk lainnya seperti mencuri, korupsi,
merampok, dsb. Nanti… berdasarkan file cara-cara yang ada di dalam otak kita inilah
kita akan didorong oleh Tuhan ketika kita ingin memenuhi kebutuhan hidup kita.

Oleh sebab itu hati-hatilah kita dalam memasukkan file-file cara dan metoda menjalani
kehidupan ini ke dalam otak kita. Karena…, begitu suatu cara kita masukkan ke dalam
otak kita dan kita binding pula kepada cara tersebut, maka saat itu juga kita sebenarnya
tengah memilih peran yang akan kita jalankan dalam kehidupan kita ini. File-
file pengetahuan itulah yang akan menentukan peran peradaban seperti apa akan kita
pilih.

Nah…, siapapun yang berhasil membaca kalimat-kalimat Tuhan, bahasa dan omongan
Tuhan yang digeletakkan Tuhan begitu saja di sembarangan tempat di alam semesta ini,
maka dialah yang yang akan menguasai dunia ini. Dia akan menguasai peradaban.
Sedangkan siapa pun yang LALAI, siapapun yang tidak mau membaca (IQRAA) bahasa
dan omongan Tuhan, walau hanya di sebatang pohon pisang sekali pun, maka dia akan
menjadi penonton saja, atau paling tinggi dia hanya akan menjadi pengekor saja dalam
menyusun peradaban umat manusia ini. Kasihan sekali sebenarnya…!.

Yang tak kalah pentingnya berkenaan dengan file yang harus kita simpan di dalam otak
kita adalah file tentang RASA HATI (SUASANA, HAL, KEADAAN) yang mengalir di dalam
DADA kita dalam merespon suatu aktivitas yang kita lakukan maupun peristiwa-
peristiwa yang menimpa diri kita. Rasa-rasa itu, yang dinamakan orang juga sebagai
suasana emosi seseorang, adalah rasa bahagia, sedih, jijik, takut, marah, dan
terkejut. Inilah yang disebut sebagai enam bentuk emosi dasar umat manusia yang
sangat universal. Siapa pun akan dapat merasakannya tanpa terkecuali.

Ketika kita membantu orang lain, kemudian ada rasa bahagia yang mengalir di dalam
dada kita yang kalau dibahasakan bisa saja disebut sebagai rasa senang, simpati,
empati, cinta, atau apa sajalah istilahnya, maka rasa bahagia itu lalu disimpan
di dalam otak kita untuk kemudian di retrieve dan dialirkan kembali kedalam dada kita
tatkala kita membantu orang yang lainnya lagi.

Hal yang sama juga akan terjadi seperti itu untuk peristiwa emosional yang lainnya.
Ketika kita beraktivitas atau dikenai sebuah aktivitas, lalu ada suasana berupa
rasa sedih yang mengalir ke dalam dada kita yang pada puncaknya bisa saja membuat
kita menangis, maka suasana sedih itu akan disimpan pula di otak untuk dimanfaatkan
di lain waktu. Rasa jijik, takut, marah dan terkejut yang muncul di dada kita yang
ekpresinya sangat jelas di wajah kita, dan puncaknya juga bisa menimbulkan rasa
tangis, juga akan berulang di lain waktu sebagai respon terhadap apa-apa yang kita
lakukan berikut-berikutnya.

Kejadian pengambilan ulang file-file suasana-suasana RASA HATI ini persis sama dengan
proses saat kita makan jeruk nipis yang sangat asam. Cuma alat yang dipakai saja yang
berbeda. Kalau untuk merasakan masalah-masalah emosional alatnya adalah DADA,
maka untuk menyicipi rasa suatu benda alatnya adalah LIDAH. Makanya…, sekali kita
makan jeruk nipis, dan lidah kita dapat merasakan sentuhan rasa asamnya, maka di
lain waktu kita akan bisa memanggil kembali rasa asam itu walau hanya dengan sekedar
melihat orang lain yang memakan atau mengupasnya. Iiiicchh…, ngiler juga !.

Begitulah…, ternyata hidup ini, hanyalah proses dimana kita bergerak dari satu peristiwa
emosional ke peristiwa emosional yang lainnya. Dari senang, lalu beralih ke sedih,
kadang-kadang marah, adakalanya jijik, di lain waktu marah pula, sekali-sekali takut,
dan kembali lagi ke rasa senang. Mengalir silih berganti dan terbolak balik dari waktu
kewaktu. Suasana emosi yang berubah-ubah ini dalam bahasa Arabnya disebut juga
dengan istilah QALB (si bolak balik). Untuk menerangkan sifat saja sebenarnya istilah
QALB (QALBU, HATI dalam bahasa Indonesia) itu. Sedangkan bentuk fisiknya ya…,
seluruh DADA kita itulah, yang dalam bahasa Arabnya disebut dengan SUDUR…!.

Makanya tatkala otak kita hanya dijejali dengan file-file suasana yang sedih-sedih saja
terus menerus, ketika suatu saat kita dihadapkan kepada sebuah permasalahan yang
rumit dan sulit, kita akan lari ke suasana sedih itu kembali, sehingga kita akan kembali
menangis dan meraung-raung tak terkendali.

Sering kita perhatikan di sekeliling kita, misalnya, saat seseorang kehilangan anak yang
dicintainya, mati, maka dia akan menangis hebat dan meronta-ronta tak terkendali.
Bahkan malah ada yang sampai pingsan segala karena tidak kuat menahan
kesedihannya. Dan jika kemudian dia dihadapkan kepada masalah-masalah berat
lainnya, maka dia akan kembali masuk ke ruangan rasa sedih itu yang telah tersimpan
di otaknya dan telah diperkuat pula dari waktu ke waktu setiap kali dia mengalami
permasalahan hidup. Sedih terus. Orang yang terlalu sering berada dalam ruangan sedih
itu, dan dia tidak bisa keluar lagi dari sana, maka adakalanya syaraf-syaraf otaknya
tidak kuat menahan daya rusak rasa kesedihan itu, sehingga dia kemudian
menjadi Gila.

Begitu juga, ketika file suasana emosi puncak yang ada di ruangan otak kita adalah
suasana marah, marah dan marah…. Maka setiap kita dihadapkan kepada permasalahan
hidup, kita akan lari dan lari lagi masuk ke ruangan suasana marah tersebut. Beda
pendapat sedikit saja, marah-marah. Dilihat orang dengan tak sengaja saja, marah-
marah. Beda konsep saja marah-marahan. Dan marah yang berkepanjangan, seperti
halnya juga takut, jijik, dan terkejut berkepanjangan, dan kita tidak berhasil keluar dari
ruangan suasana-suasana itu tadi, maka kita akan disiksa oleh rasa-rasa itu tadi. Bisa-
bisa kita gila pula dibuatnya.

Oleh sebab itu hatilah-hati pulalah kita dalam menyimpan file-file suasana hati itu di
dalam otak kita. Sering-seringlah kita berada di wilayah suasana rasa berbahagia yang
ruangannya adalah sangat luas. Sehingga begitu kita jatuh ke ruangan yang sempit,
yaitu rasa sedih, rasa takut, rasa marah, maka kita akan segera tahu, dan kita lalu
buru-buru untuk mencari tahu tentang bagaimana caranya untuk masuk ke ruangan
bahagia yang begitu luasnya. Dan dari keluasan wilayah bahagia itu, dengan leluasa kita
akan bisa MERAHMATI rasa sedih, rasa takut, rasa marah itu untuk menghasilkan hal-
hal yang bermanfaat.

Proses untuk merahmati suasana-suasana emosional ini disebut juga dengan


proses TADZKIYATUN NAFS, peristiwa Penyucian Diri (Jiwa), yang akan diuraikan
pada bagian lain. Yang intinya adalah bagaimana caranya agar DADA kita bisa berada
dalam suasana lembut, cair, hidup, dan luas yang bukan disebabkan oleh karena
pengaruh benda-benda ataupun alam-alam ciptaan lainnya, ataupun usaha-usaha kita
untuk melembutkannya. Akan tetapi kelembutan dada itu lebih disebabkan oleh karena
semata-mata adanya rahmat dari Tuhan.

Subhannallah…!.

Namun begitu, percayalah, bahwa dalam tugas yang kelihatannya sangat sederhana ini
pulalah umat manusia ini banyak, sangat banyak malah, yang keliru dan terperosok ke
dalam lumpur kemaksiatan. Kita keliru dalam menempatkan Daya Kehendak Suci Tuhan
yang mengalir ke dalam farji kita itu ke alamat yang tidak semestinya, yaitu kepada
yang selain suami atau istri (istri-istri, bagi yang berpoligami) kita.

Sekali kita keliru dalam penempatan daya penciptaan manusia ini, maka file tentang
kekeliruan dan penyelewengan itu akan disimpan pula di dalam otak kita. Dan file ini
secara teratur akan kembali di retrieve pada waktu-waktu dimana daya kehendak Tuhan
untuk menciptakan manusia kembali mengaliri farji kita. Begitu daya itu muncul,
maka file yang ada di otak kita dipanggil. Ada cara seperti apa yang ada di sana untuk
memenuhi kehendak itu. Kalau file yang dominan menyatakan bahwa pemenuhan
dengan cara maksiat jauh lebih menimbulkan sensasi dari pada cara dengan pasangan
kita yang sah, maka seketika itu juga kita akan didorong Tuhan untuk bermaksiat lagi.
Kita seperti punya daya lebih untuk bermaksiat itu. Terus begitu…, sehingga jadilah kita
menjadi ahli maksiat.

Kalau sudah begini, maka kiamat, atau paling tidak prahara, keluarga pastilah akan
segera terjadi. Nggak perlu lama-lama kok untuk terjadinya kehancuran keluarga itu.
Segera…!.

Selesai

Wassalam

Deka

Mengupas Kulit Bawang Spiritualitas




Written by Administrator

PENDAHULUAN…
Artikel ini adalah sebagai jawaban atas pertanyaan Pak Rizki yang telah mengirimi saya sebuah artikel
tentang Reiki Tummo. Kemudian Pak Rizki menanyakan dua hal yaitu:

Pertama, bagaimana pandangan saya terhadap Reiki Tummo, dan

Kedua, apakah dengan dibukakan (attunement) cakra mahkota kita, kita bisa lebih nyambung ke
Alloh?

Dalam pembahasan pertanyaan ini, saya akan mencoba untuk memberikan pandangan saya terhadap
Reiki Tummo ini hanya sebatas melihat filosopi yang mendasari praktek Reiki ini secara umum. Saya
TIDAK akan memberikan pandangan tentang salah atau benarnya Reiki Tummo itu. Saya juga akan
mencoba mengupasnya dengan membandingkannya dengan praktek-praktek sejenis yang ada dalam
masyarakat, baik yang dipraktekkan dalam komunitas umum maupun komunitas yang mengaitkannya
dengan praktek-praktek agama tertentu. Praktek-praktek tersebut sudah sangat umum diistilahkan orang
dengan proses ”Laku Spiritual”.

Nah...., dalam membahas laku spiritual ini, saya akan mencoba menganalogikannya dengan sebuah
proses yang sangat sederhana yaitu proses mengupas kulit bawang. Analogi ini saya pakai karena pada
sekilas pandang, saya seperti melihat ada kesamaan-kesamaan tertentu dalam berbagai proses laku
spiritual itu. Tak ubahnya saat kita melihat kulit bawang. Kulit bawang itu tatkala dikelupasi lapis perlapis,
yang ada ya....kulit-kulit bawang juga. Karena yang akan saya bahas adalah tentang laku spiritual, maka
artikel ini saya namakan ”Mengupas Kulit Bawang Spiritualitas”.

Saya akan membahas lapisan kulit spiritutal itu lapis demi lapis sesuai dengan pengetahuan dan
pengalaman saya. Kalau kita coba kelupasi kulit bawang spiritual itu lapis demi lapis sampai habis, lalu
yang tersisa apa....???.

KULIT OLAH DIRI...


Reiki Tummo adalah sekian banyak dari istilah-istilah dan nama tentang fenomena Reiki yang
berkembang di berbagai penjuru dunia. Pada daerah-daerah lain pun muncul pula nama-nama lain
dengan sedikit variasi disana-sini. Varian dari India disebut dengan Yoga. Varian di Cina disebut dengan
nama yang lebih beragam, misalnya Taichi, Tao, Kung Fu (dengan ditambah kemampuan bela diri).
Varian di Philipina dikenal dengan nama Prana. Di Indonesia malah variannya lebih banyak lagi, misalnya
Tenaga Dalam, Tenaga Sakti, Tenaga Dasar, Energi Murni. Varian Di Amerika dan Eropa dikenal
dengan istilah fenomena "PSYCHIC". Bahkan dalam praktek agama-agama dunia, fenomena ini secara
sepintas terlihat hampir sama. Dalam agama Yahudi ada, dalam agama Nasrani ada, dalam agama Islam
pun sepintas juga terlihat seperti ada (seperti yang dipertontonkan oleh para sufi, ustad-ustad
tertentu). Note: nanti akan kita bahas bagaimana dengan Rasulullah ??...!.

Pada tatanan MANUSIA, apa-apa yang diolah dalam praktek Reiki dan praktek-praktek sejenisnya seperti yang saya
sebutkan di atas, semuanya adalah NYARIS SAMA. Yang diolah adalah NAFS (DIRI) manusia. Diri manusia yang
ukurannya hanya segini-gininya ini, ternyata menyimpan rahasia yang sama dahsyatnya dengan alam semesta raya
ini. Pantas saja dalam agama Islam Allah memberi tahukan dalam surat Al Jaatsiyah ayat 3-4 bahwa:

Sesungguhnya pada langit dan bumi benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah)
untuk orang-orang yang beriman.

Dan pada penciptaan kamu dan pada binatang-binatang yang melata yang bertebaran (di
muka bumi) terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) untuk kaum yang meyakini,

Ayat di atas dengan lantang menggugah manusia, terutama orang yang beriman, agar mau mengamati
dan menyelidiki potensi-potensi dan system apa yang ada pada dirinya sendiri seperti juga kita dimotivasi
untuk mengamati apa-apa yang ada di langit dan di bumi, serta pada binatang yang melata. Dengan
pengamatan itu diharapkan umat manusia menjadi bertambah-tambah keimanannya kepada Allah.

Ya..., pada diri manusia ternyata ada sistem yang kerumitan dan potensi yang ada di dalamnya sungguh
tidak kalah dengan apa yang ada pada alam semesta. Boleh dikatakan diri manusia itu adalah laksana
alam semesta (makro kosmos) dalam ukuran mini (mikro kosmos).

Berbilang zaman berlalu, manusia dari berbagai bangsa dan agama sudah mencoba pencarian yang
panjang tentang siapa dirinya yang sebenarnya, dan tak lupa menggali potensi-potensi apa yang bisa
mucul dari dalam dirinya itu. Dalam perjalanan pengenalan diri itu, terkuaklah misteri demi misteri
keajaiban tubuh kita. Fenomena Cakra, Kundalini, Energi Psikokinetik, hanyalah beberapa saja dari
sekian banyak rahasia-rahasia yang telah dibukakan oleh Allah buat kita. Fenomena Cakra serta
Kundalini beserta segenap turunannya adalah sebuah suasana universal yang bisa dilatih dan
dipraktekkan oleh siapa saja dan agama apa saja. Dan hasilnya sangat tergantung pada seberapa keras
kita berlatih dan seberapa kuat kita bisa memfokuskan arah fikiran kita kepada cakra-cakra yang diyakini
oleh pemrakteknya berada pada titik-titik tubuh yang berada disepanjang tulang belakang manusia, mulai
dari bawah sampai ke ujung kepala (ubun-ubun). Dalam hal ini saya tidak akan membahas dimana cakra-
cakra itu berada dan bagaimana cara pengolahannya sehingga memunculkan potensi-potensi yang
”boleh jadi” melebihi apa-apa yang dimiliki oleh orang yang tidak melatihnya.

Pengolahan cakra-cakra itu sebenarnya adalah sebuah proses sederhana saja, yaitu dengan
mengarahkan fikiran kita pada titik-titik tertentu yang diyakini oleh pemrakteknya sebagai simpul-simpul
energi atau getaran untuk beberapa waktu lamanya. Kalau simpul-simpul itu bisa diaktifkan, maka
manusia ternyata bisa mengolah dan memanfaatkan getaran yang muncul itu untuk berbagai keperluan.
Penggunaan getaran ini sangatlah luas dan beragam sekali. Misalnya, mulai dari tujuan untuk
pengobatan sampai dengan kemampuan untuk memunculkan kekuatan dan kemampuan yang sekilas
kelihatannya seperti sesuatu yang irrasional. Sebutlah apa saja yang pernah dipublikasikan orang
tentang kemampuan irrasional itu, seperti pengalaman tentang adanya tubuh astral, tubuh eterik,
pengalaman keluar dari tubuh (OBE=Out of Body Experience) atau meraga sukma, atau fenomena
tenaga-tenaga tak kasat mata seperti yang digunakan dalam silat, kung fu, aikido, dsb., maka semua itu
hanyalah sebuah konsekwensi logis saja atas berhasilnya sang manusia meningkatkan kesadarannya
dari hanya sekedar getaran (vibrasi) di tingkat ketubuhan menjadi kesadaran getaran ditingkat energi-
energi yang lebih halus.

Kalau tubuh ini kita perhatikan walau dengan mengunakan kesadaran ilmu fisika biasa saja, maka
dengan mudah dapat kita sadari bahwa tubuh kita ini adalah kumpulan atom-atom dari berbagai unsur
yang saling terikat satu sama lainnya. Misalnya atom dari unsur oksigen, hidrogen, nitrogen, dan unsur-
unsur lainnya. Interaksi dari unsur-unsur pembangun tubuh tersebut akan menimbulkan pancaran energi,
baik itu berupa getaran-getaran maupun cahaya-cahaya dengan panjang gelombang dari bisa terlihat
oleh mata sampai dengan yang tidak bisa dilihat dengan mata telanjang.

Nah..., untuk mampu merasakan dan melihat fenomena-fenomena getaran dan cahaya tadi itu seseorang
harus mampu meningkatkan kesadarannya dari sekedar hanya kesadaran tubuh ketingkat kesadaran
getaran-getaran.

Misalnya, untuk melihat sekedar adanya lingkaran cahaya yang berpendar disekitar jari-jari kita, kita
tinggal memandang jari kita dengan tidak fokus kearah jari itu. Fokuskanlah pandangan mata kita
melampaui jari itu. Jangan pandang jari itu. Pandanglah ruangan yang melampaui tangan kita itu
beberapa cm didepan. Tidak berapa lama kita akan melihat pendaran cahaya yang menyelimuti jari kita
tersebut. Tanaman pun, kalau dilihat dengan cara yang sama seperti diatas, akan terlihat juga seperti
diliputi oleh cahaya yang berpendar yang meliputi daun-daunnya. Orang lalu menyebut pendaran cahaya
ini dengan nama AURA. Atau ada juga yang menamakannya dengan tubuh astral, tubuh eterik, dan
sebagainya, yang tentu saja dengan karakter dan getaran yang berbeda pula.

Kemampuan memandang pendaran cahaya ini dapat dilatih dan ditingkatkan untuk dapat memandang
pendaran cahaya dari tubuh manusia secara utuh. Bahkan kemampuan itu dapat pula ditingkatkan untuk
mengetahui tentang berbeda-beda cahaya yang muncul untuk berbagai emosi dan rasa, yang berbeda
pula, bahkan dapat pula digunakan untuk mengetahui mana-mana bagian tubuh yang sehat maupun
yang sakit.

Dulu-dulu (sebelum ikut patrap), di wilayah beladiri, saya juga pernah melatih bagaimana cara untuk
menggunakan kemahiran tentang getaran ini untuk mengenali benda-benda dengan mata tertutup. Dan
juga getaran itu dapat pula digunakan untuk mematahkan benda keras dengan hanya menyentuh beda
tersebut dengan lembut tanpa bertenaga. Benda keras itu patah hanya dengan cara ”membayangkan”
kita sedang mengirimkan kepada benda itu getaran gelombang transversal dan longitudinal secara
bergantian beberapa saat lamanya. Lalu gelombang itu kita bayangkan pula mampu mempengaruhi
posisi atom-atom pada benda keras tersebut ke posisi yang terlemah. Lalu dengan tanpa menggunakan
kekuatan yang besar seperti yang digunakan para kuli panggul barang, maka kita akan sanggup
mematahkan benda itu. Jadi dalam hal ini yang digunakan adalah afirmasi (penegasan) dengan
menggunakan kekuatan fikiran yang terfokus dan keyakinan yang tinggi akan keberhasilan atas apa-apa
yang kita inginkan.

Kemudian di wilayah praktek sebuah tarekat (juga sebelum saya ikut patrap), saya juga pernah
mengalami apa yang disebut orang dengan fenomena OBE (out of body experience) saat saya
melakukan SULUK di penghujung Ramadhan tahun 2000. Ketika itu, dengan mudah rasanya saya bisa
seperti pulang ke rumah, datang ke Mekkah, datang ke kuburan Nabi di Madinah, bahkan pada saat itu
rasanya kening saya ke cium oleh Rasulullah. Mursyid saya ketika itu, begitu saya ceritakan tentang hal
ini, beliau malah balik menciumi kening saya. Saya hanya bisa terheran-heran saja saat itu. Akan tetapi
semua itu ternyata juga hanyalah sensasi-sensasi yang muncul saat kita mampu mengarahan fikiran dan
keinginan kita menuju ke tempat yang kita inginkan, atau berjalan ke tempat-tempat yang ceritanya dan
bayangannya pernah masuk ke dalam otak kita.

Sungguh banyak sekali fenomena yang bisa digali dan diolah tentang kemampuan yang diberikan oleh
ALLAH terhadap NAFS manusia. Tidak terbatas. Karena semua datangnya adalah dari yang punya ilmu
yang Maha TIDAK TERBATAS, yaitu Allah. Jadi..., alangkah angkuh dan jumawanya kitajika ada
diantara kita yang sampai tidak mengakui tentang keberadaan ilmu-ilmu dan fenomena-fenomena ”aneh”
di atas yang hanya setitik kecil saja dari lautan ilmu Tuhan yang tak terhingga banyaknya.

DARI KULIT KE KULIT ...

Untuk reiki, tarekat, dan kemampuan-kemampuan supranatural lain, umumnya terdapat titik kesamaan
yang sangat dekat dalam hal cara pengolahan dan pelatihannya. Yaitu mengolahnya dengan
menggunakan fikiran dan gerakan fisik tertentu terhadap titik-titik yang berada disepanjang tulang
belakang dan sekitarnya, mulai dari ujung ekor sampai ke ubun-ubun. Kosa kata dalam bahasa umumnya
adalah titik-titik CAKRA (baik cakra MAYOR yang berada diwilayah tulang belakang, tembus muka dan
belakang, maupun cakra MINOR yang berada disekitar wilayah tulang belakang) yang punya getaran
tertentu untuk masing-masing titiknya. Pada beberapa praktek tarekat, titik-titik itu dinamakan orang
dengan istilah LATHAIF, akan tetapi titik-titik yang diambil adalah yang berada diwilayah ulu hati (dada,
yang diyakini banyak orang sebagai tempat beradanya HATI atau QALB), bergerak ke atas sampai ke
kening, dan pada tahap akhirnya adalah seluruh tubuh itu sendiri.

Titik-titik OBJEK OLAH PIKIR ini di bersihkan, digetarkan, dan di olah dengan cara mengarahkan fikiran
(berkonsentrasi) kepada titik-titik CAKRA atau LATHAIF tersebut. Proses ini biasanya distimulasi dan
diperkuat dengan menambahkan simbol-simbol, bunyi-bunyian atau suara-suara tertentu dengan
frekuensi yang monoton pula. Pada reiki, simbol objek fikir itu biasanya adalah dalam bentuk garis
melingkar-lingkar dan warna-warni dengan pola tertentu. Setiap pola itu diyakini oleh pemrakteknya
mempunyai vibrasi tertentu pula. Adapula kemudian yang ditambah dengan berbagai teknik penahanan
dan pengeluaran nafas yang diatur sedemikian rupa. Ada juga yang menambahnya dengan gerakkan-
gerakan tubuh, kaki, dan tangan dengan pola tertentu. Dan ada pula yang mengikut sertakan suara-suara
dan irama monoton tertentu dengan durasi yang cukup lama. Pada praktek YOGA ataupun meditasi-
meditasi lainnya, yang dilakukan orang juga sama saja (walau dengan kadar dan teknik yang berbeda-
beda). Semua punya titik objek fikir, simbol-simbol, gerakan-gerakan, dan bentuk-bentuk posisi tubuh
tertentu yang gunanya tak lain adalah sebagai ”SARANA” bagi pemrakteknya untuk mengolah arah
fikirnya.

MAU DIKELUPASI APANYA LAGI ...?.

Di dalam tarekat pun, objek untuk praktek mengolah arah fikir ini nyaris sama saja. Pada salah satu
tarekat, misalnya, titik objek fikir itu mirip sekali, kalau tidak mau dikatakan sama, dengan titik-titik objek
fikir yang dipakai dalam praktek reiki, taichi, dan yoga. Objek fikir di dalam tarekat ini disebut dengan
istilahLATHAIF. Misalnya, ada lathaif Qalbi (yang terletak dekat jantung, 2 jari di bawah susu kiri, 2 jari
lagi ke arah tengah dada), lathaif Roh (yang terletak 2 jari di bawah susu kanan, agak 2 jari lagi ke
tengah dada), lathaif Sirri (yang terletak 2 jari di atas susu kiri, agak 2 jari lagi ke tengah dada), lathaif
Khafi (yang terletak 2 jari di atas susu kanan, agak 2 jari lagi ke tengah dada), lathaif Akhfa (yang
berada di tengah dada), lathaif Nafsun Natiqah (yang berada di antara 2 alis),lathaif Kullu Jasad (yang
berada 2 jari di atas pusar, tembus menuju ubun-ubun, lantas meliputi seluruh tubuh). Dan secara kasat
mata pun, beberapa lokasilathaif ini sama persis dengan posisi-posisi cakra yang ada dalam reiki, yoga,
dan meditasi. Dan ternyata memang masing-masing posisi lathaif atau cakra itu mempunyai sensasi
sendiri-sendiri.

Kemudian dalam riyadah rutin, pemrakteknya menambahkan (dalam istilah tarekatnya


MENGHUNJAMKAN atau MENUSUKKAN) simbol tunggal, yaitu TULISAN HURUF ALLAH (dalam
bahasa Arab) setiap kali kita ”singgah” ke lathaif tertentu. Menusukkan simbol huruf ALLAH itu harus
diulang-ulang dengan jumlah yang berbeda bagi setiap lathaif. Hunjaman kalimat Allah di lathaif-lathaif itu
kemudian diafirmasi (diperkuat) lagi dengan tambahan ucapan Allah atau Laa ilaha illallaah dengan
irama suara yang cepat dan monoton.

SEUNTAI BENANG MERAH...!


Berangkat dari pembahasan di atas, maka sebuah benang merah sepertinya mulai dapat kita tarik,
bahwa pada dasarnya praktek reiki, taichi, yoga, meditasi, dzikir di tarekat atau rumah dzikir tertentu,
latihan tenaga dalam, dan latihan-latihan kesaktian lainnya sedikit banyaknya ada kesamaannya, kalau
tidak mau dikatakan serupa banget. Pada semua itu ada ”sesuatu (titik)” yang dipakai sebagai objek
tempat mengarahkan fikiran, ada simbol-simbol sebagai penambah kemampuan berkonsentrasi, ada
suara-suara monoton yang dipakai, dan ada pula bentuk-bentuk tubuh tertentu yang dipakai selama
proses pengolahan jiwa sang pemrakteknya.

Karena yang diolah dalam reiki, taichi, yoga, meditasi, dan tarekat tertentu adalah tubuh-tubuh (NAFS) juga, maka
hasilnyapun nyaris sama. Misalnya, seseorang yang telah mempraktekkannya beberapa waktu lamanya, maka
hampir semua praktikannya mengalami sensasi dapat merasakan getaran-getaran tertentu. Dan ternyata getaran itu,
dengan teknik pengarahan fikiran tertentu, bisa dipakai untuk berbagai hal. Seperti untuk pengobatan, untuk
kesaktian, untuk melanglang buana di alam-alam penuh getaran, sensasi-sensasi, rupa-rupa dan pandangan-
pandangan tidak kasat mata lainnya.

Lalu semua fenomena itu tadi, kemudian dianggap sebagai fenomena spiritual. Maka jadilah makna spiritual itu
terpangkas dan mengecil. Dan pada tatanan kehidupan praktis ”spiritualis” Hindu, Budha, Islam, pemraktek yoga,
reiki, meditasi, tenaga dalam (kesaktian) menjadi sulit untuk dibedakan antara satu dengan yang lainnya. (Hampir)
SAMA SAJA. Ya..., KULITNYA SAMA SAJA !!!. Bedanya, paling-paling bisa dilihat dalam hal tata cara berpakaian,
berbicara, praktek-praktek ibadah dan simbol-simbol yang dipakai oleh mereka masing-masing.

Ada yang menarik untuk diamati pada tatanan spiritualitas seperti ini, bahwa hampir selalu para
pemrakteknya terlihat lebih lembut, lebih sabar, lebih tenang, dan lebih cool dari orang kebanyakan.
Seringkali pemrakteknya berkata: ”Saya ikut praktek ini... itu...!. Dalam sebulan saja saya bisa
merasakan perubahan yang besar dalam diri saya. Saya menjadi lebih tenang, lebih sabar, lebih damai,
lebih sehat..., dan blaaa..., blaaaa”. Yakin benar para pemrakteknya dalam menceritakan hasil latihannya
itu. Na lho kok sama hasilnya...?. Realitas macam apa ini sebenarnya....???. Kalau dilihat ciri-cirinya di
atas, misalnya, pemrakteknya bisa merasa lebih tenang, damai, luas, bahagia, cool, sehat, tidak banyak
merasakan permasalahan walau pun dia sedang dirundung masalah, maka realitasnya kok sama dengan
suasana yang disebutkan dalam Al Qur’an yaitu suasana JIWA YANG TENANG (NAFSUL
MUTHMAINNAH)....

KULIT NAFSUL MUTHMAINNAH (JIWA, DIRI YANG TENANG)...

Dalam istilah agama Islam, ada sebuah sifat jiwa (diri) yang disebut dengan JIWA YANG TENANG
(Nafsul Muthmainnah). CIRI-CIRI Nafsul Muthmainnah ini hanya sederhana saja, yaitu pada Nafs
ini tiada lagi rasa kekhawatiran dan tiada kesedihan padanya (la khaufun 'alaihim wala hum
yah zanun). Siapa saja dapat merasakannya. Realitas suasana diri yang bersifat universal ini kalau
dibahasakan secara populer adalah, bahwa pada diri itu, otaknya tidak lagi dihantam oleh gelombang
badai fikirannya, dadanya tidak lagi dihantam oleh galaunya perasaannya. Ya..., otak sang diri ini sudah
tidak lagi terkotak-kotak dalam berbagai persepsi yang sangat beragam dari orang ke orang,
dan dada sang diri itu juga sudah tidak bergolak lagi dengan berbagai amukan perasaan baik perasaan
senang maupun perasaan susah.

Ada diantara kita yang bisa sampai pada suasana otak dan dada yang tenang ini saja sebenarnya sudah
sangat bagus sekali. Karena banyak juga diantara kita yang mengaku-ngaku sudah beragama, tapi fikiran
dan dada kita masih dipenuhi oleh badai fikiran dan amukan rasa sehingga kita sibuk sendiri dengan apa-
apa yang kita fikirkan dan rasakan itu.

Karena suasana jiwa yang tenang itu adalah sebuah sunatullah, atau bisa juga disebut sebagai hukum
positif yang diturunkan oleh Sang Pencipta kepada seluruh umat manusia, maka semua manusia juga
akan bisa mendapatkannya. Ya…, SEMUA manusia, tak tergantung pada agama dan suku bangsa, akan
mampu meraih suasana otak dan dada yang tenang itu. Karena manusia ini diciptakan Tuhan memang
beragam, maka cara untuk mendapatkan ketenangan otak dan dada itu juga bisa bermacam-macam.
Boleh dikatakan cara untuk mendapatkan jiwa yang tenang itu akan sama banyaknya dengan jumlah
manusia itu sendiri. Tak terbatas.

Salah satu cara yang dianggap orang dapat menciptakan sensasi rasa tenang itu adalah dengan cara
meyakini, bahkan sampai benar-benar mengalami, apa yang dinamakan oleh pemraktek reiki, taichi,
yoga, dan meditasi lainnya itu dengan proses terbukanya CAKRA MAHKOTA, begitu juga CAKRA DADA.
Proses terbukanya cakra-cakra utama (mayor) ini ternyata memunculkan fenomena-fenomena, dimana
pemrakteknya seperti mampu merasakan dirinya lepas dari sensasi ketubuhannya dan kemudian
berubah menjadi sensasi alam semesta. Terbukanya Cakra Mahkota, diyakini orang bisa menimbulkan
sensasi keluasan otak yang akan membuat otak itu menjadi tenang. Seperti juga halnya sensasi
keluasan dan kelapangan dada yang dipercaya orang dapat muncul dengan telah bersihnya Cakra Dada.

Pasal apakah dengan terbukanya Cakra Mahkota akan mempermudah orang untuk nyambung ke Allah, seperti
pertanyaan Pak Rizki, saya tidak dapat menjawabnya. Karena tentang Allah ini setiap agama bahkan setiap orang
punya persepsi sendiri-sendiri. Tentang Allah ini, setiap orang mempunyai hubungan yang sangat pribadi sekali
dengan-Nya. Sangat pribadi sekali. Hal ini akan saya kupas lebih pada uraian “Kulit Sang Aku Diri”.

Akan tetapi, Cakra Mahkota yang sudah terbuka boleh jadi memang dapat mempercepat hilangnya badai
fikiran di otak kita. Begitu juga dengan terbukanya Cakra Dada yang akan mengurangi amukan berbagai
perasaan. Boleh jadi pula orang yang telah mendapatkan keluasan dan ketenangan fikiran dan dada itu
dapat lebih mudah untuk menjadi manusia universal.

Dari sekian banyak metoda itu, lalu ada beberapa metoda yang menonjol. Ya…, wajar saja !!!. Karena di
atas awan memang masih ada awan. Beberapa metoda yang menonjol itu lalu dipasarkan oleh
pemrakteknya ke penjuru dunia. Dengan berbagai nama. Setiap nama itu mempunyai ciri khasnya
sendiri-sendiri. Siapa tahu ada yang mau nyobain juga. Nah…, metoda-metoda yang sudah kita bahas di
atas tadi adalah beberapa contoh saja diantara metoda-metoda yang ada.

Bahkan dalam agama Islam, selain praktek tarekat di atas, masih banyak metoda-metoda lainnya yang bisa dipakai.
Misalnya puasa, zakat, sedekah, haji, yang tujuannya adalah untuk mengolah diri (tadzkiyatunnafs) agar bisa
menjadi tenang. Shalat pun ternyata tujuannya adalah untuk membawa peshalat kepada suasana jiwa yang tenang
itu, sehingga sang jiwa itu bisa tercegah dari badai fikiran dan rasa, yang dalam istilah agamanya disebut sebagai: “si
peshalat bisa tercegah dari perbuatan yang keji dan mungkar”.

Jadi dalam semua praktek-praktek agama (agama apa saja) maupun praktek pengolahan dan penyucian
diri yang begitu beragamnya itu, pada tatanan DIRI (NAFS) itu sendiri akan mempunyai dampak yang
hampir sama. Semuanya menawarkan cara-cara untuk mencapai ketenangan diri, yang realitasnya
adalah lepasnya sang diri dari jebakan badai fikiran di otaknya dan amukan perasaan di dadanya. Ya…,
semua masih berada di kulit nafsul muthmainnah saja sebenarnya. Jadi barangkali wajar saja kalau ada
yang orang memilih agama tertentu (bahkan sampai ada yang mau bertukar agama) atau memilih
praktek pengolahan diri tertentu karena dia mampu merasakan MANFAAT dari apa-apa yang dia
praktekkan dalam agama atau pengolahan dirinya itu.

Tapi kemudian muncul lagi pertanyaan. Setelah diri itu tenang, lalu diri itu mau diapain…???. Dan buat apa agama ini
sebenarnya…???.

KULIT SANG AKU DIRI…!!


Pada jiwa yang tenang (universal) itu ternyata tetap saja masih “ada yang tahu”, yang sadar, bahwa diri
itu sudah berada dalam wilayah ketenangan, bahwa diri itu sangat luas. Diri itu juga tahu bahwa yang
melihat itu ternyata bukan mata, tetapi diri yang luas itu sendiri. Diri itu juga sadar bahwa yang
mendengar itu ternyata bukan telinga, tetapi diri yang luas itu sendirilah yang mendengar. Jadi pada diri
yang universal ini ada bentuk pengakuan, dimana pengakuan ini ternyata adalah rahmat yang diberikan
oleh Allah buat semua manusia. Ya…, pada diri yang universal itu ada “aku”, yaitu “sang aku diri”. Dan
sang aku diri inilah yang mengaku-ngaku, bahwa aku ini luas tak terbatas, aku ini damai, aku ini melihat,
aku ini mendengar, aku ini tahu. Dan puncak dari pengakuan itu adalah: ”aku ini ada (exist) … !!!!”.

Karena merasa ada (exist), maka sang aku diri itu lalu punya keinginan…!.

Keinginan itu yang sangat dominan diantaranya adalah:

1. Sang aku diri “ingin”meninggalkan realitas ketubuhannya (MOKSA).


2. Sang aku diri “ingin” bertemu dengan Tuhannya...!

Pada keinginan seperti ini, sang aku diri ini merasa bahwa tubuhnya ternyata adalah unsur yang
penuh dengan suasana yang tidak menyenangkan, sehingga sang aku diri ingin lepas dari tarikan
sifat-sifat ketubuhannya. Lalu sang aku diri ini ingin lari dari realitas ketubuhannya menuju, misalnya,
ke syurga. Karena sang aku diri ingin lari ke syurga, maka tidak jarang bayangan syurga itu seperti
benar-benar datang menghampirinya. Padahal gambaran perjalanan ke syurga itu hanyalah sekedar
memori-memori tentang syurga yang telah duluan bersarang di otak sang aku diri itu. Karena
gambaran dan realitas tentang syurga itu hanya Allah dan Rasulnya sajalah yang tahu.

Begitu juga saat sang aku diri "ingin" bertemu dengan para malaikat, para nabi-nabi, dan orang-orang shaleh lainnya,
maka semua wujud yang ingin ditemuinya itu akan datang silih berganti menjambanginya. Dan anehnya kualitas
pertemuan itu kadangkala lebih hebat dan lebih spektakuler dibandingkan dengan cerita-cerita yang pernah ada.

Tak jarang dari pertemuan-pertemuan imajiner itu sang aku diri merasa bahwa dirinya diangkat oleh
malaikat menjadi Nabi baru, menjadi utusan Tuhan yang suci di zamannya. Menjadi orang-orang
yang terpilih. Dan kesemuanya itu seperti benar-benar terjadi, REAL, NYATA. Dan untuk lebih
meyakinkan lagi, maka anehnya sang aku diri itu seperti mempunyai berbagai kelebihan yang
mencengangkan pula.

Lalu sang aku diri itu menjadi sibuk dengan berbagai pandangan-pandangan, kalimat-kalimat, huruf-
huruf, suara-suara, dan pertemuan-pertemuan dengan apa yang diinginkan oleh sang aku diri itu tadi.
Pertemuan yang seperti apapun dengan siapa pun dan sesulit apapun seperti bisa terjadi dengan
mudahnya. Lalu jadilah sang aku diri itu menjadi sangat sibuk….!!!.
Pada tingkat yang lebih rumit, sang aku diri itu ada pula yang "INGIN" bertemu dengan Tuhannya.
Lalu sang aku diri itu berusaha pula melakukan perjalanan MI’RAJ (MOKSA) seperti yang disebutkan
dalam uraian di atas. Akan tetapi ternyata realitas Tuhan tidak akan pernah bisa diketahui dengan
kualitas MI’RAJ seperti itu. Kemana pun sang aku diri itu menghadap, yang ditemukannya tetap saja
suasana luas tak terhingga dan tidak ada apa-apanya. KOSONG. Lalu sang aku diri itu merasa
bahwa hanya dirinyalah yang ada. Hanya aku yang ada….!!!, dan aku diri itu lalu “merasa”
menjadi Aku Yang Hakiki (Allah).

Dengan suasana seperti ini, maka kemudian muncullah pemahaman yang mengarah pada
konsep dua menjadi satu. Adakalanya, sang aku diri merasa BERSATU dengan Sang Aku Hakiki
(Allah). Adakalanya juga sang aku diri itu merasa bahwa Tuhan beremanasi, menjelma kedalam
dirinya. Ya…, “sang aku diri” lalu merasa menjadi “Aku”…!!!, dan mulai ia mengaku : “Aku adalah Dia,
Dia adalah Aku; Aku adalah kebenaran…, Ana Allah…, Maha Suci Aku…, dan berbagai pengakuan
lainnya”.

Dan pengakuan pada wilayah kulit sang aku diri ini, apalagi bagi yang sampai masuk ke dalam suasana
penuh keinginan seperti diatas, ternyata sangatlah menyiksa. Pengakuan di wilayah ini malah bisa
melahirkan keangkuhan baru bagi kita, sebuah keangkuhan spiritual.

KEANGKUHAN SPIRITUAL … !!

Pada tatanan spiritual, tidak jarang muncul keangkuhan bagi pemrakteknya yang biasa disebut orang
sebagai kaum spiritualis. Dalam agama Islam, keangkuhan spiritual ini diwakili, misalnya, oleh kelompok-
kelompok yang berbau tasawuf atau kesufian terhadap kelompok lainnya yang dikelompokkan orang
sebagai kelompok syariat (non spiritualis). Kaum spiritualis umumnya sangat meremehkan kaum syariat
yang mereka anggap sebagai kumpulan orang-orang yang tingkat pemahaman agamanya hanya
terbatas pada penerapan hukum-hukum formal saja. Sehingga adakalanya sang spiritualis itu sangat
meremehkan sekali syariat agama yang ada. Syariat dianggap mereka hanya untuk orang-orang yang
belum mencapai tingkatan pendakian spiritual.

Bahkan sang spiritualis dengan mudahnya melanggar syariat itu sendiri seperti, dia mabuk-mabukan,
suka perempuan lain yang bukan istrinya, dan sebagainya.Karena sang spiritualis sudah merasa bahwa
sang aku dirinya adalah kebenaran itu sendiri. Apapun yang dia lakukan, maka dia menganggap bahwa
hakekatnya semua itu adalah kebenaran. Dalam istilah umumnya suasana spiritualis seperti ini
dinamakan orang dengan wilayah sufi yang sedang HELAF.

Pada taraf tertentu pun, terutama bagi spiritualis yang sudah bisa menjalankan kesadarannya atau
fikirannya “menembus alam-alam imajinasi”, tidak jarang pula mereka malah melecehkan syariat itu
sendiri. Misalnya mereka tidak lagi melakukan shalat. Karena dengan teknik perjalanan rohaninya, sang
spiritualis merasa bahwa dirinya telah shalat di Mekkah, padahal saat itu dia masih berada di daerahnya
sendiri. Dan biasanya sang spiritualis itu sebaliknya malah bisa dzikir (wirid) dalam waktu yang sangat
lama.

Atau bisa juga sang spiritualis tetap menjalankan shalatnya, akan tetapi adakalanya dia dalam shalatnya
itu mengalami apa yang disebutnya sebagai fana,dimana di tengah-tengah shalatnya sang spiritualis
mengalami suasana perjalanan (moksa) menemui Tuhan. Sang spiritualis itu terjatuh ketika shalatnya
dan keadaannya berada dalam suasana seperti pingsan. Keadaan seperti ini yang diyakini oleh
pemrakteknya sebagai fana, dapat berlangsung lama. Dan begitu kesadarannya kembali, maka dianggap
selesai pulalah shalatnya. Dan pemrakteknya meyakini bahwa inilah tingkatan shalat yang paling tinggi.
Dulu, sewaktu menjalani suluk di sebuah tarekat, saya pernah sebentar terjebak dalam suasana seperti
ini. Akan tetapi setelah dikelupasi kulitnya seperti ini, ternyata istilah MI’RAJ dalam pengertian seperti ini
sama persis dengan MOKSA dalam istilah agama lain.

Tidak jarang pula ada spiritualis yang hanya asyik masyuk dengan Tuhannya. Sehingga setiap saat sang
spiritualis dibuat sibuk dengan keasyik-masyukkannya dengan Tuhan itu. Dan biasanya sang aku diri
yang seperti ini bawaannya malas-malasan, tidak mau bekerja, inginnya menyepi terus ke tempat-tempat
sunyi. Sehingga fungsi kekhalifahannya sudah nyaris hilang sama sekali. Dia menjadi sibuk dengan
dirinya sendiri.

MENGAMBIL PELAJARAN…!!
Pada lapisan kulit sang aku diri ini, semua agama dan praktek-praktek riyadah (olah jiwa) boleh jadi
masih berada dalam wilayah yang sama, yaitu wilayah sang aku diri. Dapatlah dikatakan bahwa kulit
terakhir yang tersisa dari usaha mengupas kulit bawang spiritual ini adalah sang aku diri.

Sekarang pertanyaannya adalah:

“Sudahkah spiritual itu berakhir hanya sampai dikulit terakhir ini…??”.

“Apakah spiritual itu berhenti dipengakuan sang aku diri (nafs)… ini ??”.

MELEPAS KULIT TERAKHIR, KETIADAAN, FANA…


Berada dalam jerat pengakuan sang aku diri ini, tanpa disadari, sangatlah menyibukkan dan bahkan
sangat menyiksa, bagi orang yang tinggal di wilayah ini. Padahal kalau orang sudah berada dalam
kesadaran sang aku diri ini, dimana orang tersebut tidak lagi terpengaruh dengan berbagai ragam dan
perbedaan pemikiran, termasuk perbedaan pemahaman keagamaan, maka sebenarnya tinggal
SELANGKAH sajalagi tugas sang aku diri itu. Yaitu PENGEMBALIANkeakuan sang aku diri itu kepada
Sang Aku Yang Sebenarnya, yaitu Aku Allah. Ya…, sang aku diri tinggal tidak mengaku saja.
Runtuhnya pengakuan sang aku diri inilah yang disebut sebagai FANA yang hakiki. Artinya..., dengan
kerendahan hati:

 Sang aku diri tidak lagi mengaku luas. Kembalikan luas itu pada Tuhan, karena hanya
Tuhanlah Yang Maha Luas. Biarlah Yang Maha Luas itu sendiri yang mengaku Luas.
 Sang aku diri tidak lagi mengaku melihat. Kembalikan melihat itu kepada Tuhan, karena hanya
Tuhanlah Yang Maha Melihat. Biarlah Sang Maha melihat itu mengaku bahwa Dialah yang
mengalirkan rasa melihat kepada sang diri (nafs).
 Sang aku diri tidak mengaku mendengar. Kembalikan mendengar itu kepada Tuhan, karena
hanya Tuhanlah Yang Maha Mendengar. Biarlah Sang Maha Mendengar itu mengaku bahwa Dialah
yang mengalirkan rasa mendengar kepada sang diri (nafs).
 Sang aku diri tidak mengaku tahu. Kembalikan tahu itu kepada Tuhan, karena hanya Tuhanlah
Yang Maha Tahu. Biarlah Sang Maha Tahu itu mengaku bahwa Dialah yang mengalirkan rasa tahu
melihat kepada sang diri (nafs).

Proses sang aku diri untuk tidak mengaku-ngaku inilah sebenarnya makna lain dari "laa ilaaha illallah".

Tiada yang luas kecuali Dia Yang Luas.

Tiada yang melihat kecuali Dia Yang Melihat.

Tiada yang mendengar kecuali Dia Yang Mendengar.


Tiada yang tahu kecuali Dia Yang Tahu.

Tiada apa-apa yang ada kecuali Dia Itu Yang Ada.

Posisi TIDAK MENGAKU seperti ini persis sama dengan posisi tumbuh-tumbuhan, posisi gunung-
gunung, posisi matahari dan bintang-bintang, posisi langit dan bumi, posisi alam semesta, posisi
malaikat. Semuanya tunduk dan patuh kepada Kehendak Tuhan. Semua bersikap sebagai hamba yang
selalu RELA, RIDHA menerima kehendak dan kemauan dari Tuhan, dan Tuhan pun rela dan ridha
berhendak dan berkemauan kepada sang Hamba itu…

“… Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun ridha terhadap-Nya. Itulah keberuntungan yang paling besar". (Al
Maidah 119, dan dibeberapa ayat lainnya).

Suasana wilayah SALING RIDHA antara Hamba dengan Tuhannya inilah yang bisa disebut sebagai wilayah FANA
yang hakiki…!!. Dan FANA seperti ini ternyata ADA SUASANANYA, ADA REALITASNYA. Jadi bukan hanya sebatas
kata-kata, kalimat-kalimat dan definisi-definisi dari otak kita.

Disamping itu, proses pengembalian keakuan sang aku diri ini haruslah dilakukan dengan tanpa daya
dan tanpa usaha kita sendiri..., karena tiada daya dan upaya, kecuali hanya daya dan upaya dari
Tuhan. Pengembalian yang hakiki itu hanya dan hanya bisa kalau kita DITUNTUN oleh Allah
sendiri. Karena yang tahu tentang Allah, hanya Allah itu sendiri. Makanya kita selalu berdo'a dalam
shalat kita: "Ya Allah..., tuntun saya...". Dan yang paling penting untuk kita luruskan dalam kita berdo’a
ketika minta dituntun oleh Allah adalah: kita jangan sekali-kali mengarahkan do’a itu kepada benda-
benda, bentuk-bentuk, bayangan-bayangan, dan persepsi-persepsi apapun.

Kalau pengembalian itu masih dengan daya dan usaha dari sang aku diri, maka namanya sang aku diri itu masih
ada, masih eksis. Dan sang aku diri itu akan tersiksa sekali, tatkala do’a kita tidak bersambut, yaaa…, seperti kita-
kita sekarang ini. Sehingga apa saja bisa berubah menjadi siksa. Beda pendapat jadi siksa. Beda agama jadi siksa.
Beda suku jadi siksa.

Begitu juga kalau pengembalian keakuan sang aku diri itu diarahkan kepada benda-benda atau alam-alam, artinya
kita mengarah kepada yang BUKAN pencipta alam semesta sendiri, maka kita akan dibuat sibuk oleh Allah dengan
segala sesuatu yang bersifat kealaman itu.

Sebaliknya saat mana sang aku diri itu "bersedia" dibimbing oleh Allah untuk tidak mengaku, dan posisi
tidak mengaku itu berhasil dia raih, artinya sang aku diri sudah tiada, FANA, maka yang ada tinggal
hanya Yang Ada, Yang WUJUD, yaitu Aku Yang Hakiki (Allah). Aku yang bening dan merdeka, artinya
Aku yang berkehendak dengan sendirinya. Pada posisi seperti ini, sang aku diri benar-benar
hanyalah menjadi seorang HAMBA yang bersedia:

 Otaknya "dipakai" oleh Allah untuk berkreasi dan menciptakan peradaban bagi umat manusia…,
 Dadanya "dipakai" oleh Allah untuk mengalirkan kehendak dan kemauan-Nya,
 Kelaminnya "dipakai" oleh Allah untuk proses pembiakan umat manusia.

Dan...., lalu kita hanya tinggal menjadi SAKSI SAJA atas perbuatan Allah, atas kehendak Allah, atas
kreasi Allah, atas grand design Allah dalam meramaikan dan menata alam ciptaan-Nya ini. Sungguh
tidaklah sia-sia semua ini berada di dalam genggaman Allah. Semua diatur-Nya, semua di tata-Nya,
semua diurus-Nya tanpa henti. Walau kita tidak mau mengakui peran-Nya sekali pun, Dia tidak peduli.
Dia akan Maha Sibuk dengan segala ciptaan-Nya, karena memang segala ciptaan-Nya itu hanya
bergantung kepada-Nya …
Semua yang ada di langit dan di bumi selalu meminta kepada-Nya. Setiap waktu Dia dalam
kesibukan (Ar Rahman 29).

Dan Rasulullah Muhammad SAW, dengan kualitas diri Beliau seperti ini, dimana “sang aku” Beliau, sudah
lenyap, Rasulullah ternyata menghadap kepada Allah dengan tidak membawa apa-apa. Tidak membawa
ilmu, tidak membawa amal, tidak membawa ibadah, tidak membawa tahu, tidak membawa melihat, tidak
membawa mendengar. Beliau semata-mata hanya sebagai HAMBA yang mau menjadi ALAT ALLAH
untuk menjadi RAHMAT bagi alam semesta, rahmat bagi segenap umat manusia. Dan peletakan dasar-
dasar bagi fungsi rahmatan lil a’lamin itu itu berhasil Beliau bangun.

Hanya sayang…, bahwa generasi-generasi penerus Beliau ternyata banyak yang tidak amanah…!.
Sehingga akibatnya sekarang Islam itu seperti dilecehkan oleh dunia. Kasihan Rasulullah….!!!.

Lalu apakah kita juga mau ikut-ikutan menjadi generasi yang tidak amanah itu…?, Lalu apakah kita juga
mau mewariskan ketidakamanahan itu berestafet kepada anak cucu kita…???. Padahal banyak sudah
pelajaran yang muncul dihadapan kita atas tidak amanahnya kita dan generasi-generasi terdahulu itu.
Begitu nyata akibat buruknya…!!. Lalu kenapa akibat buruk itu tidak kita jadikan sebagai bahan pelajaran
buat kita untuk merubahnya kembali menjadi baik…??. Betapa sombongnya kita ini dengan tidak mau
menjadi penyambung tangan Rasulullah, penyambung lidah Rasullah.

ADA YANG TIDAK KULIT BAWANG…, ADA …!!!


Setelah kulit terakhir sang aku diri ini dikelupasi, sehingga sang aku diri itu sudah kehilangan keakuannya, TIADA,
FANA, maka yang tinggal hanya ADA…!, yang tidak sama dengan kulit bawang. Tidak ada kata seperti lagi pada
ADA itu…!. ADA itu TIDAK seperti kulit bawang. Yang lain…, ya… TIADA. Sedangkan ADA itu TIDAK seperti apa-
apa… !!. Tapi ADA…!!!!. ADA…!!!.

Maka akupun berseru kepada Sang ADA itu:

Subhanaka....!!!. Subhanaka…!!!, Subhanaka…!!.

Maha Suci Engkau…!!!. Maha Suci Engkau…!!!. Maha Suci Engkau…!!!.

Dan Sang Ada itu pun menjawab panggilanku:

Subhanii....!!!. Subhanii…!!!, Subhanii…!!.

Maha Suci Aku …!!!. Maha Suci Aku…!!!. Maha Suci Aku…!!!.

Dan akupun menegaskan lagi:

Laa ilaaha illaa anta..!!!, Laa ilaaha illaa anta…!!!. Laa ilaaha illaa anta…!!!.

Tiada Tuhan selain Engkau…, Tiada Tuhan selain Engkau…, Tiada Tuhan selain Engkau…,

Dan Sang Ada itu pun menjawab dengan ketegasan yang amat sangat:

Laa ilaaha illa Ana … !!, Laa ilaaha illa Ana … !!, Laa ilaaha illa Ana … !!

Tiada Tuhan selain Aku…!!!, Tiada Tuhan selain Aku…!!!, Tiada Tuhan Selain Aku…!!!

Lalu aku berlari merunduk-runduk dan mencoba melihat Wajah-Nya:

Laa ilaaha illa Huu … !!, Laa ilaaha illa Huu … !!, Laa ilaaha illa Huu … !!

Tiada Tuhan selain Dia …!!!, Tiada Tuhan selain Dia …!!!, Tiada Tuhan selain Dia …!!!,
Dan Sang Ada itu pun bernyata dihadapanku:

Ana Allah…!!, Ana Allah …!!, Ana Allah …!!,

Aku Tuhan…!!, Aku Allah…!!!. Aku Allah…!!!

Dan akupun menyambutnya dengan kegembiraan:

Huu …!!, Huu …!!, Huu …!!,

Dia…!!, Dia…!!!, Dia…!!!.

Dan Tuhan-ku lalu menyambutku dengan mesra:

Innani Ana…!!, Ana…!!, Ana…!!, Ana…!!,

Ini Aku….!!, Aku….!!, Aku….!!, Aku…………….

Lalu akupun tenggelam dalam pandang memandang dengan Tuhanku …!!!!.

- - - - - - - - !!!, - - - - - - - - - !!!, - - - - - - - - - !!!,

Diam……., Hening…………………………………………….

…………………………………………………………………………

………………………………………………………………….……..

SANG PENANAM BAWANG…

Lalu Tuhanku pun menyusupkan pencerahan-Nya kedalam dadaku:

Sebelum ada apa-apa….,

Yang ada adalah Wajah Tunggal Yang Meliputi,

Waktu itu masih alam AHADIAT, tidak ada rupa tidak ada warna.

Kemudian alam WAHDAT, semua tumbuh dari Yang Tunggal.

Kemudian Allah punya sir (kemauan):

Aku ini perbendarahaan tersembunyi,

kemudian Aku ingin dikenal,

Kemudian Aku menciptakan makhluk-Ku,

Dengan Allah-lah mereka mengenal Aku. (hadits qudsi)

Dari sebuah keheningan dan kesenyapan abadi, Aku lalu “mengalirkan” segala kehendak-Ku untuk
merenda alam semesta, untuk merangkai kehidupan, untuk menganyam kebudayaan umat manusia.
Kemudian Aku bersabda: Kun… Jadilah…!!!, Kun fayakun… maka jadilah…!!!.

Kehendak-Ku itu lalu Aku alirkan kedalam “rumah tempat-Ku berkehendak”, yaitu dada hamba-
hamba-Ku, sehingga seakan-akan hamba-Ku itulah yang punya kehendak untuk membangun
peradabannya sendiri; sehingga seakan-akan hamba-hamba-Ku itu punya kehendak untuk berkembang
biak demi melanjutkan keturunannya. Padahal sebenarnya dari Aku lah semua kehendak dan keinginan
itu.
Lalu Ku alirkan kedalam “rumah tempat-Ku mencipta”, yaitu otak hamba-Ku segenap sarana, fasilitas,
dan kemampuan untuk mewujudkan kehendak-Kudalam membangun peradabannya itu. Aku aliri otak
hamba-hamba-Ku dengan rencana-rencana, dengan rancangan-rancangan, dengan perhitungan-
perhitungan; sehingga seakan-akan hamba-hamba-Ku itu bisa merencana, bisa merancang, bisa
mencipta dengan sendirinya; sehingga hamba-hamba-Ku itu seperti bisa membangun, bisa merombak,
bisa menanam peradabannya sendiri; sehingga hamba-hamba-Ku itu seperti serba bisa ini dan itu…,
serba ramai….!!!. Padahal sebenarnya Aku lah yang membangun semua itu, karena
memang Aku adalah Sang Grand Designer kesemuanya itu.

Lalu Ku alirkan juga kedalam “rumah tempat-Ku mengembang biakan manusia”,


yaitu kelamin hamba-hamba-Ku, segenap sarana, fasilitas, dan kemampuan untuk mewujudkan
kehendak-Ku dalam menjaga keturunan umat manusia. Di rumah pembiakan-Ku itu telah Aku siapkan
rasa enak, Aku siapkan libido, Aku siapkan daya, Aku siapkan juga Rahim. Aku telah siapkan semua,
sehingga seakan-akan manusia itu seperti bisa berbiak dengan sendirinya. Padahal Aku lah Sang
Pembiak itu yang sebenarnya.

Tapi ingatlah wahai hamba-hamba-Ku, Aku ini sangatlah pencemburu. Jadi janganlah kalian wahai
hamba-hamba-Ku sibuk dengan kulit-kulit bawang itu. Karena kalau kau sibuk dengan kulit-kulit bawang
itu, maka kau akan menjadi hamba dari kulit bawang itu, kau akan dibuat sibuk oleh kulit-kulit bawang itu
sehingga kau menjadi lupa kepada-Ku.

Maka…, agar kalian wahai hamba-hamba-Ku tidak sibuk dengan kulit bawang itu, Ku-buatkan rasa perih
dimatamu setiap kali kalian mengupasnya, sehingga kalian tidak sanggup lagi memandangnya berlama-
lama. Lalu Ku-buatkan pula rasa enak saat kalian memakannya, sehingga kalian ingin buru-buru
menggorengnya, dan kemudian menikmatinya. Ya… kalian hanya tinggal menikmati saja RASA kulit
bawang itu…!!!.

Maka nikmat Tuhanmu yang mana lagi yang akan kamu dustakan wahai hamba-hamba-Ku …?.

Maka dengan pengajaran seperti apa lagi kalian bisa mengerti wahai hamba-Ku…??.

Jadi lihatlah…, Aku lah Sang Penanam bawang itu, dan Aku pulalah yang menjadikan bawang itu
mempunyai kulit berlapis-lapis. Semua itu Ku ciptakan untuk kalian, agar kalian wahai hamba-hamba-
Ku bisa memetik pelajaran dari setiap kulit bawang yang ku buat itu, sehingga kau bisa menyadari
keberadaan-Ku. Adalah dari Ku kesemuanya itu. Aku lah sumber dari segala sesuatunya. Aku lah
sumber keberadaan. Karena Aku lah Sang ADA…..!!. Aku lah Allah…..!!!.

Innanii Ana Allah, Laa ilaaha illaa Ana, Fa’budni, wa aqiimishshalata lidzikri ,
Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku dan
dirikanlah shalat untuk mengingat Aku (Thahaa 14).

Maka akupun “datang” merunduk-runduk kepada-Nya, akupun bersimpuh dihadapan-Nya, akupun sujud
dan menyembah kepada-Nya, dan akupun memuja kepada-Nya:

Subhanallah

Alhamdulillah,

Laa ilaha illallah,

Allahu Akbar,

Laa haulaa wala quwaata illa billahil ‘aliyyil ‘adhiem,


Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa’ala ali Muhammad…

SANG SPIRITUALIS SEJATI…


Akhirnya sampailah kita pada bagian akhir dari pembahasan tentang perjalanan mengupas kulit bawang
spiritual ini. Di penghujung kupasan ini, secara jelas dapat dilihat bahwa sang spiritualis sejati itu ternyata
hanyalah manusia-manusia yang berkualitas sebagai HAMBA dihadapan TUHAN. Tidak lebih. Lalu sang
hamba itu dengan sadar, rela dan ridha membiarkan otaknya, dadanya, dan kelaminnya dipakai oleh
Tuhan untuk mewujudkan kehendak-Nya yang suci dalam membangun peradaban manusia itu sendiri
dari zaman ke zaman. Sang Hamba itu tidak membiarkan sedikit pun dorongan-dorongan dari dirinya
sendiri (hawa un nafs) untuk mengotori kesucian dan kemurnian kehendak Tuhan yang dialirkan
kepadanya.

Jadi…, dari sang spiritualis sejati inilah diharapkan lahir ilmu pengetahuan seperti fisika, kimia, biologi,
matematika, ekonomi, perdagangan, industri, kesehatan, hukum, seni, budaya, dan sebagainya. Dan
kesemuanya itu dibingkai dengan kesadaran berketuhanan.

Sang spiritualis sejati itu ternyata adalah seorang insinyur, seorang dokter, seorang ekonom, seorang
ilmuwan, seorang pedagang, seorang seniman, seorang polisi, seorang hakim, seorang presiden,
seorang petani, dan setiap orang yang telah mampu membingkai hari-harinya dengan kesadaran kepada
Tuhan (dzikrullah).

Ringkasnya adalah, bahwa spiritualis sejati itu adalah seorang hamba Tuhan yang bekerja dan dia
sekaligus juga bersedia menjadi alat Tuhan untuk mampu mempekerjakan hamba-hamba Tuhan lainnya.
Spiritualis sejati itu adalah seorang hamba Tuhan yang mampu mengkreasi rizki dan sekaligus dia juga
bersedia menjadi alat Tuhan untuk mengalirkan rizki kepada hamba-hamba Tuhan lainnya. Dan…, segala
macam aktivitasnya itu TIDAK sedikit pun membuat sang spiritualis sejati itu lalai dari mengingat dan
menyadari GERAK TUHAN yang mengalir kepadanya. Seorang berkarakter ULUL ALBAB saja
sebenarnya. Seperti omongan Tuhan berikut ini:

“Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari
mengingati Allah, dan (dari) mendirikan sembahyang, dan (dari) membayarkan zakat. Mereka
takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang”. (An Nuur 37)

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang
terdapat tanda-tanda bagi ULUL ALBAB (orang-orang yang berakal), (yaitu) orang-orang yang
mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka
memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah
Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa
neraka”. (Ali Imran 190-191),

Karena, kalau peradaban ini dibangun oleh manusia yang BUKANberkarakter ULUL ALBAB, maka itu
ternyata sangatlah BERBAHAYA sekali …!!!.

SEKEDAR NASEHAT PENDEK…


Alangkah besar siksa Allah jika "TEMPAT SUCI (RUMAH-NYA)" dimana Allah mengalirkan kehendak-
Nyauntuk berkreasi, menciptakan, dan mengembangbiakkan manusia berikut peradabanyang akan
mengiringi manusia itu dari zaman kezaman kita kotori dengan berbagai tindakan yang negatif (fujur)
akibat dari dorongan diri (HAWA UN NAFS). Oleh karena itu:
 Tatkala sang aku diri mengotori kelaminnya dengan kehendak percabulan yang datang dari
dorongan keinginan sang diri itu sendiri (hawa un nafs), maka berbagai perbuatan cabul pun
akan dialirkan-Nya sambung menyambung kepada diri itu, tak terkendalikan. Dan hal itu pasti
akan membawa rasa tersiksa bagi sang diri itu sendiri.

 Tatkala sang aku diri mengotori dadanya dengan kehendak dan keinginan yang diharamkam
(misalnya dengan memasukkan makanan dan minuman yang haram), maka apa saja juga bisa
menimbulkan keinginan marah, benci, iri, dengki, dan perilaku-perilaku negatif (fujur) lainnya.
Dan semua kefujuran ini juga ternyata adalah siksa demi siksa yang sangat pedih bagi sang diri
itu sendiri.

 Dan tatkala sang aku diri mengotori otaknya dengan fikiran-fikiran negatif dan kotor, maka apa saja
bisa diciptakan oleh sang diri itu untuk merusak peradaban. Dan semua kerusakan peradaban itu
juga ternyata adalah siksa yang memiriskan hati bagi sang diri itu sendiri.

 Memang, semua pengotoran rumah Allah itu buahnya semata-mata adalah SIKSA....!!!. SIKSA
Yang Pedih.

Lalu kenapa kita tidak mau menghormati rumah suci (bait Allah) tempat Allah berkehendak, berkreasi,
mencipta, membiakkan diri manusia, dan berikut menganyam peradaban manusia?.
Sedangkan malaikat sendiri sampai-sampai tersungkur sujud menghormatinya..?

Duh… Gusti…, betapa sombongnya kami ini …,

Ya Allah…, betapa tidak amanahnya kami…,

Ampuni kami semua Ya Allah…,

Tuntun kami semua ya Allah…,

Rahmati kami semua ya Allah…,

Demikian…, wallahua’lam…

Selesai Artikel “MENGUPAS KULIT BAWANG SPIRITUALITAS”

Cilegon, 26 Desember 2004, 08:00

Wassalam

Deka
MENGGABUNG KUTUB DUALISME, BISAKAH ??!!


Written by Administrator

Beberapa waktu lalu, saya dan beberapa rekan pernah membicarakan masalah takdir. Tapi saat
itu pembicaraan juga ditakdirkan untuk tidak tuntas.
Kemudian jarum wacana bergerak sampai ke INUL yang bisa dimuarakan kepada "teknik
melihat" sehingga persoalan si "ujang" bisa terkendali sehingga tidak menjadi penting lagi.
Sayup-sayup dikekinian waktu "Ulil and his gang" tertatih tatih mengusung bendera Liberalisme,
yang sebenarnya bukan barang baru, menghadapi "kemapanan bermasalah" yang sudah
berusia "ribuan tahun", yaitu bendera konservativisme atau sempat juga di cap sebagai
radikalisme/ fundamentalisme. He he he... sebenarnya mereka tidak sadar saja bahwa mereka
sebenarnya sedang dikotak-kotakkan oleh "pemain lain nun jauh di sana yang sungguh
canggih".
Liberalisme
Secara ringkas liberalisme, mencoba untuk melihat bahwa Islam itu merupakan
sebuah spirit dalam kehidupan global, berbangsa, malah sampai ke kemasyarakatan. Mereka
tidak segan-segan mereinterpretasi kemapanan pemahaman keagamaan yang sudah berusia
ribuan tahun. Karena kaum liberalisme ini melihat bahwa kemapanan itu ternyata bermasalah
dan tidak mampu menghadapi kekinian, walau hanya sekedar kekinian sosial budaya. Apalagi
dalam menghadapi kekinian teknologi, politik, globalisasi, modernisasi, dll. Mereka "melihat"
bahwa kemapanan itu sangat bermasalah dan tidak cukup akomodatif. Dan pengusung
liberalisme mencoba meracik obat penyembuhnya dalam bentuk REINTERPRETASI tekstual
keislaman. Tapi disini perlu muncul kekhawatiran bahwa liberalisme mencoba
MENDESAKRALISASI hukum-hukum sehingga mereka menganggap hukum-hukum "masa
lalu" itu sudah tidak relevan lagi untuk saat ini. Kalau begitu pegangan yang mereka sakralkan
saat ini tinggal APA ??.
Konservativisme
Di kutub kemapanan konservativisme, bertengger PERSEPSI bahwa Allah dan Rasulnya tidak
meninggalkan sedikitpun celah dan kealpaan dalam teks Al Qur’an ataupun hadits, sehingga
tekstual Al Qur’an dan hadist itu mereka anggap pasti sanggup mengatasi persoalan-persoalan
kekinian umat. Ada kecenderungan di kelompok ini untuk mengagungkan masa lampau (masa
kenabian) dan berusaha menyeret masa sekarang menuju masa lampau itu. Kelompok ini rindu
nostalgia, sehingga mati-matian mereka mencontoh perilaku "FISIK" Rasulullah dan
sahabatnya dalam keseharian. Dalam beribadahpun kelompok ini sangat memelihara
"ATRIBUT FISIK" agar sesuai dengan contoh Nabi (walau referensinya hanya didapatkan lewat
tulisan-tulisan), sedangkan bidang 'ROHANIAH-nya" kelompok ini sangat keteter dan terkesan
takut-takut, atau malah takut benaran. Karena dalam bidang ibadah ini ada kata sakti BID'AH.
Kata bid'ah ini benar-benar bertuah, sampai-sampai mereka takut ngapa-ngapain tak terkecuali
di bidang-bidang lain, takut neraka soalnya.
Rusydian
Di posisi yang berdekatan dengan dualisme "mahzab" di atas, dalam menghadapi celah
kehidupan ini telah sejak lama muncul juga pemikiran bercorak RASIONALITAS. Semua mau
dirasionalkan, mau diserba-otakkan, digatukkan, DILOGIKAKAN. Pengusung motor rasionalitas
ini adalah kelompok MU'TAZILAH atau kalau dikelompokkan menurut orangnya bisa disebut
kelompok berfikir RUSYDIAN yang diambil dari nama Ibnu Rusydi. Salah satu "sumbangan"
berarti dari kelompok ini pada saat berkuasa adalah lahirnya ilmu pengetahuan baru yang
nantinya ternyata menjadi salah satu cikal bakal revolusi industri di barat sana. Kelompok ini
benar-benar bereksplorasi dengan kemampuan otak mereka. Landasan mereka juga kuat
sekali, salah satunya:
"Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri yang
merubahnya (al ayat)".
Dalam perjalanannya, kelompok Mu'tazilah ini memunculkan nama-nama besar dalam ilmu
pengetahuan, kedokteran, matematik, dsb. Hasil dari rasionalitas inilah yang saat ini dengan
sangat manis dinikmati oleh negara-negara Eropa, Amerika, Cina, Jepang, bahkan Komunis
sekalipun.
Mereka yang rasional ini tidak punya rasa takut atau terhambat sedikitpun dalam berfikir dan
berfikir, karena Allah sendiri sudah melegalisasinya. Artinya kalau HANYA berpatokan dengan
ayat diatas, maka terlihat bahwa Allah menyerahkan secara total kepada kita tentang mau
kemana kita akan membawa diri kita. Allah seakan berkata: "MAU-MAUMULAH, AKU NGGAK
IKUT-IKUT LHO". Mereka ikuti anjuran itu. Ehh.. ternyata betul tuhayat. Mereka aktif sekali
dalam kegiatan penemuan demi penemuan. Bahkan untuk hancur-hancuran pun mereka mau
melaksanakannya. Huh...karepmulah...?.
Mereka bebas saja, liberal. Tapi masih syukur bahwa kelompok Rusdian dulu itu masih punya
dasar ke-TUHAN-an, artinya masih punya landasan yang memang SEHARUSNYA begitu.
Mereka ketemu dari hasil pencarian mereka:
"Rabbana ma khalaqta hadza bathila subhaanaka faqinaa 'adzabannaar, ...Ya
Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau,
maka peliharalah kami dari siksa neraka."
Gazhalian
Di tengah perjalanan ternyata ada yang merasa "dinomorduakan", yaitu kelompok pemikiran
yang bercorak FATALISTIK. Kelompok ini terkaget-kaget dengan pencapaian kaum rasionalis.
Konon kabarnya motor penggerak kelompok ini adalah AL GAZHALI. Karakterisitiknya antara
lain bahwa mereka tidak mampu mengimbangi kecepatan pemikiran rasionalitas. Disamping itu
capaian otak mereka nggak sanggup mencerna meloncatnya pemikiran-pemikiran rasionalitas
melampaui zamannya. Lalu mereka mulai menciptakan barier dan batas-batas yang dibuat
sedemikian rupa sehingga lambat laun "melanyau" (melindas) laju rasionalitas sehingga
rasionalitas menjadi mandeg. Pintu ijtihad ditutup habis. Akhirnya mereka duduk termangu
menunggu "HIDAYAH", petunjuk, pertolongan dari Allah. Alasan mereka juga sangat kuat, salah
satunya:
"...tetapi Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk
kepada siapa yang dikehendaki-Nya... (An Nahl 93)".
Di ayat ini, ALLAH memperlihatkan kekuatan-Nya, bahwa kau itu manusia nggak bisa ngapa-
ngapain. Semua kejadian yang menimpa kamu itukarep-Ku sendiri. Nggak ada sedikitpun
usaha kamu berpengaruh kepada keputusan-Ku.
Ehh..... ayat ini lalu membuat kelompok fatalis ini putus asa, merasa memble. "Ya sudah.....,
mari kita berdo'a saja, mumpung ada landasan ayatnya", mereka membatin. Disamping itu
mereka juga sudah merasa terdesak (iri ??) dengan kemegahan duniawi kelompok rasionalis.
Lalu terjadilah pilin-berpilin, jatuh menjatuhkan, bunuh-bunuhan. Siapa yang berkuasa, maka
dia akan menggusur paksa lawan-lawannya. Tak disadari, karena hati sudah buta, sehingga
ilmu pengetahuan yang sudah cukup baik saat itu dengan melenggang kangkung terbang
kepihak "barat". Cantiknya adalah, pihak barat hanya meninggalkan kitab sastra, kitab bahasa,
kitab apa saja yang bisa membuat orang Islam menjadi JUMUD dan gontok-gontokan. Yang
terjadi terjadilah......
Cilakanya juga, pihak barat HANYA mengambil PENGETAHUANNYA SAJA, sedangkan
landasan hakikinya yaitu TUHAN, tidak mereka bawa sekaligus. Karena mereka memang
sebelumnya sudah mengalami kejadian buruk akibat pertentangan agama (baca gereja)
dengan pengetahuan. Mereka trauma dengan kemandegan pengetahuan gara-gara doktrin
gereja. Sehingga mereka nggak mau mengusung ketuhanan yang merupakan landasan
berpijak atau asal muasal rasionalitas. Dikira oleh mereka kejadian yang sama dengan gereja
dulu akan berulang kembali.
Liberalisme belum teruji. Konservativisme/fundamentalisme membuat umat berjalan mundur
kayak undur-undur (tapi undur-undur walaupun mundur masih mengarah maju ke arah
tujuannya).
"Rasionalitas terpangkas" ala barat juga bermasalah. Fatalistik gaya "pasrahan wong jowo (he
3x maaf kalau ada yang tersinggung)" juga digulung zaman.
Apalagi atuh........ yang bisa diikuti ???.
Lalu apakah berpikir Rusydian, atau Gazhalian itu salah ....?
Lalu posisi yang mengklaim diri sebagai pengusung bendera "pemurnian ajaran Islam" abad-
abad belakangan ini misalnya wahabi, salafi, dan sejenisnya dimana ??
Walisongo itu di posisi mana ???.
Lalu posisi kelompok tasawuf (disini Syiah bisa masuk kelompok ini, itu menurut saya, kalau
nggak setuju boleh saja) yang sudah berusia ribuan tahun dimana?.
Apakah ijtihad dan pemikiran ulama-ulama Islam yang sudah berusia ribuan tahun
masih applicable untuk masa sekarang??.
Maunya Qur'an dan Sunnah itu bagaimana sih...?.
Nanti akan kita lihat..., SEDERHANA amat........
Dari artikel yang lalu sebenarnya kutub pemikiran dan kegiatan keislaman itu bisa
disederhanakan menjadi 2 induk besar. Yaitu kutub aktivitas Liberalisme vs kutub aktivitas
Konservativisme/Fundamentalisme, atau kutub pemikiran Rasionalisme vs kutub pemikiran
Fatalisme.
Sedangkan aktual dilapangan sungguh banyak pecahan masing-masing sisi kutub ini.
Kelompok wahabi, salafi disatu pihak, dan kelompok tasawuf (termasuk syiah) dipihak lain,
sebenarnya berada pada satu sisi yang sama, yaitu fundamentalisme atau fatalisme. Karena
kelompok-kelompok ini begitu kuat menganut pemurnian tradisi dan sedikit punya keberanian
untuk berfikir bebas. Kurun waktu kelompok ini masuk ke Indonesia sebenarnya lebih kemudian
(si bungsu) dari pada kelompok pedagang dan "wali-wali".
Kalau diperhatikan kiprah Wali Songo, maka saya memberanikan diri untuk memasukkan Wali
Songo ini ke kelompok konservatif yang liberalis, karena mereka tidak segan-segan
membaurkan kebudayaan lokal dengan ajaran Islam yang mereka bawa. Mereka menginginkan
perubahan kepercayaan di masyarakat, tapi mereka juga tidak takut-takut bereksperimen untuk
mengawinkan ajaran yang di bawa dengan budaya lokal. Sehingga masyarakat saat itu
"berbondong-bondong" bisa menerima apa yang mereka "pasarkan". Andaikan saat itu Wali
Songo memakai metoda konservativisme murni, saya tidak yakin bahwa penyebaran Islam
akan bisa begitu meluas seperti yang bisa kita rasakan saat ini. Sekarang saja gaya
konservativisme/ fundamentalis ini sudah terseok-seok, bahkan harus tiarap dulu.
Nah baru sekarang, mari kita bahas "sedikit" apakah masing-masing kutub itu salah atau benar.
Ulil and his gang, termasuk Nurcholis Majid, yang mengusung pemikiran Liberal sebenarnya
wajar-wajar saja. Kekecewaannya terhadap ke-jumud-an pemikiran keislaman hampir sama
dengan saya, tapi ada bedanya. Nanti akan kelihatan bedanya. Saya senang
dengan cengegesandia di TV menghadapi "ketegangan" wajah dan suara penentangnya. Cuma
sayang Ulil hanya bermain di logika agar Islam di redefinisi, karena sudah tidak sesuai dengan
kompleksitas di masyarakat yang semakin besar. Kalau hanya main di logika maka dia akan
dihadapi oleh gelombang besar logika yang sudah berusia ribuan tahun lalu. Dan ini sudah dan
sedang terjadi. Abu Sangkan and his gang berada dimana ??. Nanti ketemu.
Dilain sisi kelompok Konservative/Fundamentalis yang mati-matian mempertahankan
prinsipnya. Saya kutip ulang tulisan saya:
" PERSEPSI bahwa Allah dan Rasulnya tidak meninggalkan sedikitpun celah dan
kealpaan dalam teks Al Qur’an ataupun hadis, sehingga tekstual Al Qur’an dan
hadist itu mereka anggap pasti sanggup mengatasi persoalan-persoalan kekinian
umat".
Sebenarnya kutipan itu SUDAH BETUL dan sesuai dengan apa yang saya yakini juga. Bahwa
Allah dan Rasul Nya tidak alpa sedikitpun dalam membuat perangkat agar umatnya tidak
bermasalah dalam kehidupan. Bahwa "kau" manusia bebas saja melakukan apapun, mau
beribadah silahkan, mau durhaka silahkan, mau mandeg silahkan, mau maju silahkan. Mau
rasionalis (kau buatlah apa yang kamu inginkan agar kau merubah nasibmu sendiri) silahkan.
Mau mewakilkan (tawakkal) kepada-Ku silahkan nanti Ku-buatkan jalan keluar masalah-
masalahmu (makhraja). Mau ilmu pengetahuan silahkan eksplorasi sesukamu, mau
jadi kongkow-kongkow saja karepmulah. Apapun kerjamu dan maumu, maka Al Qur’an dan
sunnah akan menjawabnya dan membenarkannya. Karena Al Qur’an adalah adalah kitab
membenarkan yang benar dan menyalahkan yang salah. Sedangkan Al Qur’an maha luas dan
tak terbatas, yaitu ayat-ayat Allah di alam semesta, silahkan kau lihat juga, karena kalau kau
hanya sekedar menghafal 6666 ayat tertulis, maka kau belum patuh sepenuhnya kepada-Ku.
Sedikit (atau banyak ??) kekeliruan kelompok fundamentalis yang ada saat ini adalah bahwa
justru mereka sendiri yang membatasi ILMU Allah sebatas yang tertulis saja. Mereka
membatasi ILMU Allah sebatas apa yang bisa mereka mengerti dan sampai kepada mereka
saja. Cilakanya juga orang hukum (fiqih), mau berbicara teknologi, berbicara manajemen. Kitab
kuning, kitab satra arab mau disandingkan dengan kompleksitas manusia, ya tertatih-tatih.
Apakah Rusdian dan Gazhalian ini bermasalah?, ya tidak bermasalah juga. Yang bermasalah
adalah pelanjut tradisinya. Gazhali mendapatkan dulu Dzauq (rasa) bahagianya beribadah, lalu
terbit bukunya beribu-ribu halaman. Penerus tradisinya bertindak terbalik. Bukunya dulu yang
dilahap, baru meraba-raba dzauq-nya. Ya bingung. Sehingga tidak sedikit pengusungnya yang
terganggu jiwanya. Sedangkan Rusdian yang bercorak rasionalitas seakan-akan mereka
menjadi pemilik fungsi kekhalifahan di muka bumi, tapi karena muaranya seringkali salah, maka
ya nggak benar-benar juga.
Maunya Al Qur’an....itu...
Sebenarnya Al Qur’an sudah mengatakan bahwa kalau mau Allah bisa saja membuat umat itu
menjadi satu, tapi Allah menjadikan umat berkelompok-kelompok supaya mereka saling kenal
dan berkasih sayang. Dualitas tadi sebenarnya hanya ibarat "dua muka koin" saja. Allah
menjadikan berpasangan-pasangan. Jika satu sisi saja maka itu bukan koin namanya. Al
Qur’an itu menginginkan umatnya agar meracik rasionalitas kamu seiring dengan fatalitas
penyerahan diri kamu (tawakkal kamu) kepada Tuhan. Al Qur’an itu menginginkan kamu itu
bebas sebebas bebasnya (liberal) dalam usahamu mewujudkan fungsi kekhalifahanmu,
sekaligus imbangi dengan fundamentalisme ala Bilal dkk. Apapun yang terjadi dia hanya
berkata "Ahad, Ahad, Ahad", dan beliau maju terus. Kalau kau pegang hanya satu sisi saja,
maka sisi lainnya akan memberontak.
Bagaimana memanfaatkan dualitas "mata coin" ini menurut Al Qur’an dan Sunnah ..?

"Menggabung Kutub Dualitas..." saya rasa sudah cukup panjang, tapi ringkas dan ringan, yang
kata seorang rekan saya terlalu berani, bablas angine... He he he …. siapa takut ikut patrap
kalau hanya sekedar dibilang sesat atau pahlawan kesiangan.....
Dalam artikel terdahulu, saya hanya berusaha memotret apa yang ada dan terjadi di
masyarakat dari dulu sampai saat ini, ringan-ringan saja sebenarnya. Karena
yang njlimet adalah jatahnya para pakar lainnya seperti..... ya... patrapis yang lainlah. Maka
tanggapan dari patrapis sendirilah yang akan membuktikan dan mengelompokkan bahwa
"siapa masuk kutub yang mana". He.. he.. he.. silahkan.
Nah sekarang mari kita lihat bagaimana maunya Al Qur’an terhadap keberadaan kutub
dualisme pemikiran maupun aktivitas dari potretan saya sebelumnya.
Mari kita ambil landasan qur'aninya:
Landasan -1, (L-1)
"...Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan ke
luar. Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang
bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan) nya. Sesungguhnya
Allah melaksanakan urusan (yang dikehendaki) Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan
ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu". (At Thalaaq 2-3)
Landasan -1, (L-1)
"Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang
terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah
sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang
penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini
dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka". (Ali Imran 190-
191)
Landasan -2, (L-2)
"....Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah
keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan
terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada
pelindung bagi mereka selain Dia". (Ar Ra'du 11)
Landasan - 3, (L-3)
"Orang-orang itu membuat tipu daya, dan Allah membalas tipu daya mereka itu. Dan Allah
sebaik-baik pembalas tipu daya". (Ali Imran 54)
Landasan -4, (L-4)
"...Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan ke
luar. Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang
bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan) nya. Sesungguhnya
Allah melaksanakan urusan (yang dikehendaki) Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan
ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu". (At Thalaaq 2-3)
Menurut Aliran Tahu yang masuk ke saya, maka paling tidak kepada empat landasan inilah
dualisme kutub di atas bersandar.
Mari kita eksplorasi sedikit saja:
L-1 adalah pole berfikir secara RUSDIAN, artinya memulai dengan logika-logika, tapi di akhir
kalimat ada "rabbana makhalaqta... Subhanaka...... Rusdian berproses: "kau amati, kau
perhatikan, kau respons logika-logika yang ada sampai kau temukan kekuasaan TUHAN atau
ketemu ALLAH. Jadi Rusdian melihat logika alam, logika fitrah, naturalnya, maka ketemu
"rabbana ....", ketemu Tuhan.
L-2 lebih ekstrim lagi, bahwa di dalam memberi kebebasan berfikir dan bertindak kepada
manusia "free will", Allah sampai-sampai "mundur". AKU ingin mundur dari pemikiran mu, AKU
nggak ingin terlibat, AKU gak melok-melok. Disini Allah memberikan kebebasan otak kita untuk
berfikir (liberal), sehingga seolah-olah Tuhan ingin lepas tangan. Ini kan kalau dilihat esensinya
sama dengan berfikir ATHEIS sebenarnya. SAMA..... Jadi Al Qur’an, memfasilitasi orang
menjadi atheis. Allah nggak pernah atau nggak perlu ikut-ikut dalam urusan saya, saya akan
berfikiran salah atau tidak terserah saya. Ini saya yang menentukan, saya mau maju atau
mundur saya sendiri yang menentukan.
TAPI...... kemudian ALLAH baru memperingatkan, memberikan rambu-rambu juga lewat (L-3)
"wama karu wama karallahu wallahu khairul makirin", bahwa "kau bikin training, kau bikin
rencana, kau bikin makar, kau bikin logika-logika, training AKU yang terbaik, rencana AKU yang
terbaik, makar AKU yang akan terlaksana". Inilah indahnya Al Qur’an, selalu ada
keseimbangan. Dalam Al Qur’an inilah fitrah manusia difasilitasi.....
Yang paling jarang dipakai orang adalah L-4: "Barang siapa yang mewakilkan dirinya kepada
ALLAH, maka Allah akan buatkan way out dari permasalahanmu, Allah bikinkan logika-
logikanya". Ayat L-4 ini diawali dengan nggak pakai logika, nggak mikir. Tapi begitu kau
wakilkan dirimu "tawakkal" kepada Allah, maka kubuatkan logika-logika sebagai "makhraja"
jalan keluar dari persoalan-persoalanmu.
Bagaimana praktek dimasyarakat... tentang fasilitas untuk manusia yang telah dibuka Al Qur’an
ini.?
Praktek di masyarakat terlihat bahwa kita banyak ketimpangan dalam menyikapi dua kutub
diatas. Ada orang yang memposisikan dirinya hanya di satu sisi saja. Misalnya ada yang
berkutat dengan logika-logika seperti si Ulil, ada juga sebaliknya nggak mikir apa-apa dan
mencukupkan tulisan-tulisan atau informasi yang masuk ke otaknya saja. Bahkan tidak jarang
ada yang mengusung pemikiran yang sudah out of date sebenarnya.
Kalau hanya berada disatu sisi saja, maka namanya nggak sempurna, tidak KAFFAH. Kalau
begitu apakah salah kalau hanya mengusung satu sisi saja..?. Ya ndak salah juga, cuma
kelirunya adalah kenapa menutup diri untuk menjadi sempurna.
Nah maunya Al Qur’an itu sederhana sekali:
Gunakan lah logika mu sepuasnya sehingga ketemu way out, akan tetapi harus ketemu Tuhan
juga dalam perjalananmu. Atau ketemu Tuhan dulu dan mewakilkan apa saja kepada-Nya, lalu
ketemu juga logika-logika, way out-nya.
Artinya, ya.... rasionalitas dan fatalistik harus berjalan bersama pada diri pribadi-pribadi.
Ya.... Liberalisme dan fundamentalisme harus seiring pada keseharian kita.
Hasilnya...apa?. Ya sama-sama logika, way out, solusi.
Saat anda mengaku dekat dengan Tuhan, maka coba tengok apakah ada muncul logika-logika.
Tapi syaratnya logika itu tidak ABSURD. Kalau absurd maka namanya Gendeng Pamungkas.
Tinggalin saja. Atau saat engkau memainkan logika, maka apakah kau ketemu Tuhan juga....
Makanya kalau kita mempunyai latar belakang yang berbeda, lalu masing-masing KEKEH
dengan egonya sendiri, maka beginilah jadinya. Yang terjadi terjadilah. Pasti pertentangan.
Qadariyah vs Jabariyah. Rasionalitas vs Fundamentalis. Jangankan antar kedua sisi yang
berbeda itu, kelompok yang notabene berada pada sisi yang sama (sama fundamentalsinya)
juga terjadi pertentangan. Misalnya antara Ahlussunah vs Syi'ah. Keduanya saling
mengacungkan telunjuk, saling menyalahkan, saling menyesatkan. Bahkan tidak jarang saling
mengkafirkan. Karena memang tidak ada lagi rasanya kata-kata yang lebih dahsyat dari kata
KAFIR dan SESAT ini. Kalau dua kata ini sudah nggak mempan, maka biasanya muncul
tindakan fisik, "perintah bunuh" misalnya.
Maka mereka yang saling bertentangan itu menguntai hari-hari mereka dengan BERKUAH
DARAH. Bunuh-bunuhanlah sesukamu, seperti yang baru saja terjadi di Paskistan (kalau
benar). Duh kasihan sekali sebenarnya.
Nah menggabung kutub dualisme inilah yang di usung oleh Abu Sangkan. He 10 x... promosi
nih ceritanya. Jika Ulil yang masih asyik dengan logikanya lalu di "ketemukan" dengan ke-
Tuhan-an, spiritualitas, maka berkibarlah dia. Fundamentalis sekaligus liberalis, "top dah".
Amerika di kenalkan kepada Allah, maka selesai sudah keributan dunia. Wong jowo di tarok di
Eropah, maka fitrahlah dia.
Bagaimana caranya Abu Sangkan menggabung dualitas itu ......?
Qadariyah dan Jabariyah atau "sempalan" keduanya secara masing-masing saja sudah
difasilitasi oleh Al Qur’an. Apalagi kalau kedua-duanya disandingkan sekaligus, maka akan lebih
kaffah lagi pemahaman Al Qur’an itu. Akan tetapi menyatukannya ini PASTI SULIT. Karena
perselisihan keduanya sudah berusia ratusan tahun.
Bagaimana menggabung Rusdian lalu Gazhalian?.
Kira-kira begini: Ketika Allah berbicara kepada fikiran kita, kepada apa yang bisa kita fikirkan,
maka habiskan saja fikiran itu seolah-olah Tuhan tidak ikut-ikut sampai kau temukan logika
atau way out-nya. Nah kalau kamu mandeg, nggak ada filenya di otakmu, maka jangan
bingung-bingung."Naikkanlah" ke Allah, kembalikan ke Allah, TAWAKKAL, wakilkan dirimu ke
Allah. Lalu iqra "perhatikan, baca, dengarkan" apakah ada logika-logika baru
atau makhraja yang muncul. Lalu "respons" iqra itu dengan berfikir habis kembali...... Kalau
mandeg lagi..... naikkan lagi......dst.. Prakteknya ya ke Al Hambra....
Kalau tidak muncul, maka sepatutnya anda merasa khawatir atas kualitas tawakkalmu.
Karena Al Qur’an menjamin bahwa way out itu pasti keluar kalau kita tawakkal kepada
Allah. Atau ada kemungkinan lain bahwa ayat Al Qur’an tentang itu yang bohong. PILIH
MANA ???
Akan tetapi kadang-kadang bisa juga prosesnya menjadi terbalik. Gazhalian dulu baru Rusdian.
Ada orang karena proses keterwakilannya kepada Allah sudah sedemikian tinggi, setiap saat
dia menjadi "bayi", maka lalu keluar juga logika atau way out. Kadangkala logika yang muncul
melompat ke depan melampaui kekinian peristiwa. Misalnya begini. Beberapa BULAN sebelum
Gus Dur jadi presiden ada teman kami yang mengatakan: "Gus Dur jadi presiden nggak lama
lagi". Teman-teman yang lain hanya tertawa saja. Karena walau di-gatuk-kan dengan logika
apapun nggak bakal kena kalau orang seperti Gus Dur bisa jadi presiden. Tapi sejarah lalu
membuktikan bahwa saat mana siapa-siapa nggak diterima rakyat jadi presiden, saat mana
Megawati tidak diterima karena alasan gender, saat Amin Rais tidak diterima karena dianggap
tidak matang, saat Habibi tidak diterima juga karena dianggap kroni Soeharto, semua jalan
menjadi buntu dan nyaris "berkuah darah" (he he … saya senang istilah ini). Logika buntu. Akan
tetapi, duuaaar... muncul Gus Dur jadi presiden. Semua bisa menerima dan kebuntuan bisa
dicairkan.
Dalam perjalanan waktu baru keluar logika-logika bahwa Gus Dur ternyata hanya bertugas
sebagai pemimpin "JEDA" saja yang bertugas meredakan ketegangan yang ada. Buktinya
begitu Gus Dur dilengserkan juga, maka semua lalu bisa menerima Megawati jadi presiden
tanpa berdarah-darah amat. Sebelumnya perempuan difatwa haram menjadi presiden. Eh...
akhirnya kan diterima juga. Suka-sukamulah membuat fatwa. Masalah kemudian hari bahwa
Megawati juga hanya bersifat pemimpin "antara", akhirnya juga terbukti, sehingga pasca
Megawati, ternyata dengan mulus muncullah SBY yang tidak terduga sama sekali dalam
percaturan perpolitikan.
Contoh real yang lebih hebat adalah saat Rasulullah diberi tahu dalam Al Qur’an:
"Ghulibaturruum..., sudah dihancurkan Romawi..". Padahal saat itu Romawi masih jaya-
jayanya, tetapi ayat itu mengatakan "sudah terjadi". Duh luar biasa memang Rasulullah itu.
Akan tetapi perlu mendapatkan perhatian bahwa makhraja yang melampaui kekinian peristiwa
itu TIDAK bisa dijadikan generalisasi HUKUM.
Nah untuk sampai kepada tujuan penggabungan dualitas diatas, diperlukan langkah-langkah,
antara lain:
1. Anda harus sudah TIDAK punya hambatan atau halangan dengan perbedaan
pemahaman masalah-masalah fiqih, hukum, syariat. Silahkan jalani apa-apa yang sesuai
dengan yang anda percayai dan sukai. Tapi jangan anda coba-coba "menggiring" orang
lain agar sama dan sebangun dengan anda. Jangan coba-coba menyeragamkan orang. Al
Qur’an sendiri sudah menjamin TIDAK akan bisa. Kalau anda masih punya keinginan
untuak menyeragamkan orang, maka itu namanya "BUANDEEEL....
2. Penghancuran paradigma berfikir yang ada dan sudah karatan karena sudah berusia
ribuan tahun. Dengan membaca tulisan ini secara tidak sadar wacanais sebenarnya
sedang mengalami pencucian otak untuk meninggalkan paradigma lama (paradigma
terkotak-kotak) menjadi paradigma baru (paradigma fitrah, universal). Kalau anda
terpengaruh, tersengat, terkaget-kaget, kalang kabut tapi kehabisan kata-kata
penyanggahan...?, ya salah sendiri kenapa baca tulisan ini, berarti anda memang masih
berada dalam paradigma lama. Ah.. nggak terpengaruh tuh, enjoy saja saya
membacanya...?, maka bersyukurlah anda karena anda sudah berada dalam paradigma
baru itu, anda sudah tidak terkotak-kotak lagi.
3. Kalau masalah hukum, masalah pemahaman syariat yang berbeda-beda sudah tidak
menjadi penghalang lagi, maka baru kau bisa melangkah mengenali Tuhan-mu sedemikian
rupa sehingga anda benar-benar tidak bisa mengelak lagi dari keterikatan "binding"
kepada ALLAH saja. Sudahkan metoda yang anda punya sekarang ini sesuai dengan ilmu
yang ada pada anda kondisi ini bisa tercapai..??. Kalau sudah syukurlah, jadilah anda
rahmat bagi alam semesta dan sesama. Abu Sangkan and his gang juga punya metoda.....
4. "Al Qur’an menginginkan berfikir habislah seperti orang atheis sehingga ketemu logika-
logika , way out yang FITRAH, tapi sekaligus HARUS menemukan TUHAN juga. Kalau
hanya atheis saja, kan mereka TIDAK ketemu Tuhan. Di akhir logika, si atheis, mereka
hanya mengatakan"ma khalaqta hadza bathila, O.... ini ada manfaatnya", mereka sampai
disini saja. Mereka nggak ketemu "rabbana...., Tuhan", dan mereka ndak ketemu
juga "subhanaka..., maha suci Engkau" .
5. Atau kalau engkau mulai hidupmu dengan TAWAKKAL, dekat dengan Tuhan, artinya
sudah ketemu Tuhan duluan, maka kemudian coba lihat keluar nggak logika-logika (tapi
syaratnya HARUS jauh dari ABSURDITAS), diberi nggak way out atas masalah-masalah
anda....Indah memang Al Qur’an itu.
4. Setelah Tuhan ketemu (bukan kira-kira lagi, bukan mengawang-ngawang lagi), lalu
berpegang teguh kepada-Nya (binding), maka selanjutnya TERSERAH ANDA. Jalani
sajalah posisi (maqam) anda sesuai fitrah anda. Kalau fitrahnya bisanya hanya sebagai
OPERATOR, maka janganlah pikirkan fitrahnya DIRUT (ini dalam pengertian yang luas lho,
bukan hanya perusahaan). Jalani saja dengan konsistensi yang tinggi. Tapi jangan lupa
naikkan kesadaran ke yang Maha Luas, be universal. Maka insyaalllah rahmat Tuhan itu
akan datang buat anda. Kalau tidak begitu maka insyaallah siksa Tuhan yang akan anda
rasakan.
Sekali lagi maunya Al Qur’an itu bagaimana:
Sekarang terserah anda, free will.............
HABIS...
Bagaimana fungsi IKHTIAR dalam rasionalis dan fatalis......?
Bagaimana dengan CINA......???
Ntar ini ketemu di topik lain
DEKA
MEMECAH GELOMBANG


Written by Administrator

Setelah artikel “Switch INI” yang cukup menghentakkan kesadaran kita terhadap TUHAN dengan tanpa tedeng aling-
aling, bahwa ALLAH ternyata SANGAT DEKAT, INI, dan DISINI, maka mau tidak mau kita harus pula melangkah
kebagian berikutnya, yaitu bagaimana agar kita bisa memecah gelombang kebingungan umat tentang TUHAN yang
telah dirasakan sejak seribu tahun yang lalu sampai dengan sekarang ini. Dengan harapan agar gelombang
kebingungan yang telah begitu dahsyat melanda umat Islam selama ini bisa dipecah menjadi riak-riak kecil yang
lebih disebabkan hanya oleh ketidakmengertian kolektif kita saja lagi, daripada keadaan sebelumnya yang nyaris
kepada kebuntuan total kita dalam memahami INI, ALLAH.

Gelombang raksasa kebingungan umat ini apalagi kalau bukan akibat dari drama yang dirangkai oleh pendahulu-
pendahulu kita yang katanya ahli tentang kema’rifatan disatu pihak dan ahli tentang anti-kema’rifatan dipihak lainnya.
Penggolongan seperti ini sebenarnya kurang tepat, karena pihak yang anti-kemakrifatan pun sebenarnya mereka
berma’rifat juga. Tapi penggolongan ini hanyalah untuk memudahkan kita saja untuk memandangnya. Karena pada
kenyataannya memang ada dua kutub yang berbeda dalam memahami masalah-masalah ketuhanan ini di dalam
agama Islam.

Pihak pertama, ahli kema’rifatan, diwakili oleh beberapa nama yang sangat kondang, diantaranya adalah: Bayazid Al
Bustami, Zun Nun, Ibnu Arabi, Al Hallaj, Ibnu Al-Faradh, At-Tusturi, Syech Siti Jenar, to say the least. Belum lagi
kalau dimasukkan ahli-ahli ma’rifat yang kemudian dikelompokkan pula sebagai ahli tarekat yang garis pewarisan
ilmunya bisa dibagi menjadi 40-an kelompok, misalnya As Syadzali, Abdul Qadir Al Jailani, Syech Naqsabandi, dan
sebagainya. Sedangkan pihak kedua, yaitu kelompok yang anti dengan kelompok orang-orang kema’rifatan diwakili
oleh sangat banyak orang. Anggap sajalah orang-orang yang dulunya melakukan pemasungan-pemasungang
bahkan pembunuhan terhadap orang-orang yang dianggap masyarakat umum sebagai tonggak pendiri pemahaman
kema’rifatan diatas masuk ke dalam kelompok ini.

Pertentangan antara dua kutub ketuhanan ini disebabkan oleh ungkapan-ungkapan sang ahli-hali ma’rifat itu yang
konon kabarnya aneh-aneh menurut ahli anti-makrifat. Misalnya saja ada ungkapan-ungkapan:

Maha Suci yang menampakkan sifat kemanusiaannya,


Kami rahasiakan sifat ketuhanannya yang cemerlang,
Kemudian Ia menampakkan diri pada mahluknya,
Dalam bentuk orang yang sedang makan dan minum,
Hingga mahluknya dapat menentukannya, seperti
jarak antara kedipan mata dengan kedipan yang lain.
Siapakah dia ? Dialah Rabbu Al-Arbab
yang tergambar dalam seluruh bentuk pada
hamba-Nya, Fulan. (Al Hallaj)

Tidaklah aku shalat kepada selainku,


dan tidaklah shalatku kepada selainku
ketika menunaikan dalam setiap raka'atku.( Ibnu Al-Faradh)

Akulah yang dicintai dan yang mencintai,


tidak ada selainnya.( At-Tusturi)

Dan ungkapan-ungkapan umum lainnya yang lebih angker, yaitu:

Yang ADA adalah AKU, Laa ilaha illa ANA…!.

Yang Maha Suci adalah AKU, Subhani…!.

Akulah Sang Kebenaran Tertinggi, ANA AL HAQ…!.

Akibat dari ungkapan-ungkapan beliau-beliau seperti di atas itu, maka menurut sejarah yang sampai kepada kita,
telah menimbulkan tuduhan-tuduhan yang membahana bahwa Beliau, misalnya Al Hallaj dan Syech Siti Jenar, telah
tersesat. Kesesatan mereka adalah karena pihak penentang Beliau mencoba menyimpulkan ungkapan-ungkapan
mereka tersebut sebagai pengakuan sebagai Tuhan, atau bersatunya mereka dengan Tuhan. Lalu kemudian, lahirlah
berbagai konsep yang coba dilekatkan pula kepada pemahaman-pemahaman yang sejenis dengan itu, misalnya:

HULUL,

AL ITTIHAD,

EMANASI,

WIHDATUL WUJUD,

MANUNGGALING KAWOLU LAN GUSTI (MKG).

Dimana dari beberapa bahan bacaan yang saya dapatkan, sebenarnya semua konsep-konsep seperti ini muaranya
adalah:

Adanya DUA yang (INGIN atau DENGAN SENDIRINYA) menjadi SATU…!!!.

Caranya dua menjadi satu ini, bisa macam-macam, diantaranya yang sangat populer adalah:

Dimana salah satu dari yang dua, biasanya yang satu pertama adalah manusia, ingin bersatu atau merasa bersatu
dengan Satu yang kedua, yaitu Tuhan. Hal ini terjadi karena mereka tidak dapat lagi membedakan mana yang
Tuhan, dan mana yang diri mereka sendiri. Suasana dua menjadi satu ini mirip sekali dengan bersatunya merica dan
jagung menjadi bentuk baru, perkedel jagung. Akan tapi yang merasa bersatu itu tetap hanya persepsi manusianya
itu sendiri.

Suasana seperti ini sangat mudah terjadi pada siapa pun yang berhasil mengolah kesadarannya baik dengan cara
pengolahan alunan gerak nafas, maupun pengolahan aliran fikiran. Beragamakah atau tidak beragamakah
seseorang itu, maka suasana seperti ini lumrah sekali terjadi. Misalnya, seseorang yang mencoba membiarkan
fikirannya melayang sampai ke batas yang tidak ada lagi persepsi yang bisa mewakilinya, biasanya dia akan dapat
mencapai kesadaran bahwa ternyata dirinya sudah tidak ada lagi, yang ada adalah fikiran atau yang mengamati
fikiran itu sendiri. Begitu juga bagi orang yang mahir dalam menyadari pergerakan keluar masuk nafasnya akan
mengalami hal yang sama.

Bahkan pada orang yang sudah sampai pada tahapan kemahiran atau kesadaran seperti ini, Tuhan pun sepertinya
sudah tidak ada lagi. Karena dirinya sendiri sudah menjadi Tuhan itu sendiri. Sehingga ungkapan-ungakapan
“Bersatu dengan Tuhan, Manunggaling Kawulo lan Gusti” dan ungkapan-ungkapan-ungkapan sejenis lainnya
sangatlah jamak kita dengar. Hampir dalam setiap agama dan praktek kebatinan biasa pun ungkapan seperti ini bisa
kita jumpai. Sehingga sampai-sampai seseorang merasa bahwa dia sudah tidak perlu lagi beragama, bersyareat,
dan beribadah. Bagaimana mau beribadah, wong dirinya sendiri sudah merasa menjadi Tuhan. Masak Tuhan
menyembah dirinya sendiri, kata mereka.

Atau…, dua menjadi satu itu bisa pula dengan kesadaran dimana Satu yang utama, yaitu Tuhan, menyusup atau
beremanasi kepada satu yang lainnya. Sehingga manusia yang dianggap kesusupan Tuhan itu dianggap sebagai
Tuhan pula. Konsep ketuhanan Yesus bagi umat Nasrani bisa dimasukan ke dalam kategori ini, sehingga Yesus pun
kemudian dipuja sebagai Tuhan itu sendiri. Hasilnya adalah bahwa seseorang akan menghormati orang lain ataupun
benda-benda yang dianggapnya sebagai kesusupan Tuhan itu sama dengan penghormatannya kepada Tuhan itu
sendiri.

Konsep tentang dua ingin menjadi satu, atau bersatunya dua yang berbeda menjadi satu, atau Yang Satu menyusup
ke yang satu lainnya, ini sudah berumur sangat panjang sekali. Hampir sepanjang umur peradaban manusia sendiri.
Makanya ungkapan-ungkapan berikut ini sangatlah dihindari orang, karena ungkapan ini dianggap orang sebagai
ungkapan spiritualis sesat:

Ana Al Haq (Akulah Kebenaran Tertinggi), atau

Laa ilaha illa Ana (Tiada Tuhan Selain Aku), atau

Subhani (Maha Suci Aku), atau

Aku lah Allah, atau


Yang ada adalah Aku (misalnya Syech Siti Jenar), Allah tidak ada, atau

Yang ada adalah Allah, sedangkan Aku (Syech Siti Jenar) tidak ada, dsb.

Ungkapan-ungkapan seperti ini memang sangat membingungkan dan mengagetkan masyarakat umum yang
jumlahnya jauh lebih banyak dari orang-orang yang dianggap aneh dan sesat oleh kebanyakan orang itu. Sehingga
begitu mendapatkan ungkapan-ungkapan seperti itu baik dalam tulisan ataupun dalam ungkapan dari seseorang,
maka cap sesat ataupun cap pengikut aliran konsep MKG ataupun konsep penyatuan hamba dengan Tuhan lainnya
dengan cepat melekat pada seseorang itu.

Begitu juga saat saya mengungkapkan kalimat-kalimat tersebut di atas dalam artikel “Switch INI”, lalu ada pula yang
sudah mereka-reka dan mulai berancang-ancang untuk melekatkan label yang sama dengan konsep MKG.
Beberapa orang malah mengirimi saya e-mail melalui JAPRI saya yang intinya adalah : inikan MKG…!.

Apalagi ada pula beberapa masukan atau ungkapan yang katanya datang dari orang-orang yang jelas-jelas tidak
mendapatkan tempat di masyarakat umum, misalnya:

Dari tokoh JIL:

> Aku masih ingat omongan tokoh JIL .. suatu pagi aku dicerahkan ..
> aku melihat ALLAH ada dimana-mana .. ALLAH ada di setiap Mahluk ..

> ternyata semua itu adalah ALLAH ..

Dari tokoh Spiritual tertentu:

> Dan omongan tokoh spiritual .. ALLAH itulah unsur yang membentuk

> .. semua yang terdiri dari unsur berarti terkandung ALLAH ..

> ALAM yang terdiri dari semua unsur itulah ALLAH

> .. karena semua bagian dari Alam .. maka semua adalah ALLAH ..

> Karena kita sudah sadar adalah ALLAH , bagian dari Tuhan Yang Maha Esa

> .. Tuhan yang Maha Esa yang tanpa simbol, tanpa nama

> .. tidak lagi perlu perantara untuk berhubungan

> .. tidak perlu lagi agama

> .. tidak perlu lagi syareat ..

Sehingga bertambah-tambahlah kekhawatiran orang, bahwa jangan-jangan arah dari artikel Switch INI … juga sama
dengan Wihdatul Wujud, jangan-jangan ini juga…MKG, dsb.

Ada apa sebenarnya yang terjadi, dan darimana awal munculnya gelombang raksasa yang membuntukan usaha-
usaha pendekatan diri kita dengan Tuhan semesta alam ini, Allah, yang sudah berbilang tahun lamanya …?

Untuk menjawab pertanyaan yang usianya sudah seumur peradaban manusia ini sungguh tidak mudah, terutama
kalau kita hanya sebatas menggunakan file logika-logika yang ada di dalam otak kita. Akan tetapi kalaulah kita mau
beberapa saat berada dalam posisi sebagi seorang “PENG-IQRAA, PENAFAKUR”, maka letak awal permasalahan
dan kerancuannya akan dengan mudah kita kenali. Dan jalan keluarnyapun akan terpampang dengan sangat
jelasnya. Mari kita coba kalau tidak percaya.

Langkah pertama…, marilah kita coba untuk menemukan tentang kira-kira ada nggak ya…, ayat Al Qur’an dan Al
Hadist yang memfasilitasi untuk bisa munculnya konsep-konsep diatas, terutama kalau kita salah-salah dalam
mengambil posisi kesadaran kita dalam memahami maksud dari ayat dan hadist tersebut.

“…dan bukanlah engkau yang membunuh mereka, tetapi Allahlah yang


membunuh mereka. Dan tiadalah engkau yang melempar ketika
engkau melempar, melainkan Allah-lah yang melempar …”, (Al Anfal
17)”.
Coba kita perhatikan dengan seksama ayat diatas secara perlahan sekali. Perlahan sekali. Jangan pakai pikiran, tapi
pakailah “kesadaran atau keimanan”. Dengan berandai-andai, kita masuk ke zaman Rasullah. Ketika kita melihat
Rasulullah menebaskan pedang kepada musuh dalam perang “Uhud” lalu kita bertanya kepada Beliau: “Ya
Rasulullah, siapakah yang membunuh si Fulan tadi ya Rasulullah….??”.

Atau ketika kita melihat Rasulullah melemparkan anak panah Beliau kepada musuh dalam perang “Badar” lalu kita
bertanya kepada Beliau: “Ya Rasulullah, siapakah yang melemparkan anak panah kepada si Fulan tadi ya
Rasulullah…??. Kira-kira jawaban Rasulullah bagaimana ya…???.

Berdasarkan ayat tadi diatas, maka saya sangat-sangat yakin bahwa Rasulullah akan menjawab: “Yang sebenarnya,
Allah lah yang membunuh si Fulan itu. Yang sebenar-benarnya, Allah lah yang melempar panah itu”. Kalau tidak
begini jawaban Beliau, maka berani nggak kita untuk mengatakan bahwa ayat Al Qur’an diatas berarti salah. Lalu
berani nggak kita untuk menghapus saja ayat tersebut diatas…?.

Begitu juga al Hadist:

“…Apabila Aku mencintai hambaku, maka Aku merupakan


pendengarannya yang ia pergunakan untuk mendengar, Aku
merupakan penglihatan yang ia pergunakan untuk melihat, Aku
merupakan tangan yang ia pergunakan untuk menyerang dan Aku
merupakan kaki yang ia pergunakan untuk berjalan. Seandainya ia
memohon kepada-Ku, niscaya Aku akan mengabulkannya, seandainya
ia berlindung kepada-Ku, niscaya Aku akan melindunginya. ( HR
Bukhari)
Andaikan kita bertanya kepada Rasulullah saat Beliau SEDANG mendengarkan dan melihat sesuatu, atau SEDANG
menyerang dan berjalan: “Ya Rasulullah, siapa yang sedang mendengar dan melihat ini sebenarnya ya Rasulullah,
siapa yang sedang menyerang dan berjalan ini sebenarnya ya Rasulullah…?”.

Lalu…, karena Beliau adalah seorang kekasih Allah, seorang yang dicintai Allah, maka kira-kira jawaban Beliau itu
bagaimana ya…?, dan dimana POSISI kesadaran Beliau saat menjawab pertanyaan itu…?.

Per definisi Al Hadist diatas, maka Rasulullah haruslah menjawab, bahwa sebenarnya Allah lah yang sedang
mendengar dan melihat sesuatu itu, bahwa yang sebenarnya Allah lah yang sedang menyerang dan berjalan
tersebut. Kalau tidak begitu, maka berarti Al Hadist tersebut gugur sudah, lalu beranikah kita menghapus Al Hadist
tersebut…?.

Lalu bagaimana pula dengan ayat berikut ini saat kita membacanya, atau menyampaikannya kepada seseorang:

“Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain
Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku.
(Thaha 14)
Bagaimana kira-kira posisi kesadaran Rasulullah ataupun kesadaran kita saat Beliau atau kita harus membacakan
atau menyampaikan ayat 14 surat Thaha ini kepada khalayak ramai. Salah-salah posisinya, malah Rasulullah
ataupun kita sendiri yang sedang mengaku jadi Tuhan, sedang menyeru untuk disembah orang. Astagfirullahal
‘adhiem.

Coba :

… Ana Allah,

laa ilaha illa Ana…,

fa’budni…, lidzikri…,

dimana kesemuanya bermuara kepada Aku, Ana ...!.

Lalu bagaimana pula posisi kesadaran kita saat kita melakukan sesuatu, pada saat kita pula sudah mengetahui ayat-
ayat Al Qur’an berikut: “…Kullu man 'alaihaa faanin, wa yabqa wajhu rabbika ..., (Al-
Rahman:26-27); dan Kullu syai’in haa likun illa wajhahu…, (Al-Qasas: 88.)”.
Inilah, paling tidak, beberapa saja diantara ayat Al Qur’an dan Al Hadist yang perlu kita amati untuk mengurai benang
kusut tentang bagaimana pengertian konsep-konsep MGK diatas kalau dibandingkan dengan konsep FANA menurut
Al Qur’an dan Al Hadist.
Langkah berikutnya adalah, untuk mengamati kira-kira apakah penyebab munculnya gelombang dahsyat yang
menyebabkan kebuntuan umat Islam (khususnya) dalam mendekatkan diri kepada Tuhan. Penyebab yang paling
sederhana bisa digolongkan menjadi tiga bagian saja, yaitu:

Pertama, ketidaksamaan tempat berpijak diantara orang-orang yang berbicara tentang


sebuah suasana atau kesadaran dengan orang-orang yang hanya berbicara tentang
huruf-huruf, kalimat-kalimat dan dalil-dalil.
Kedua, tidak dapatnya kita membedakan mana ungkapan-ungkapan seseorang yang
berupa wejangan dan mana yang berupa ungkapan-ungkapan pengakuannya.
Ketiga, memang ada kemungkinan yang sangat besar pula bahwa posisi kesadaran
orang-orang yang mengungkapkan “kalimat-kalimat berat” seperti diatas masih berada
pada posisi “kesadaran ambang”. Kesadaran yang BELUM LOLOS menjadi sebuah
kesadaran FANA yang diinginkan oleh Al Qur’an.
Nah…, sekarang marilah kita kuliti ketiga penyebab diatas agak sekupas dua kupas, sehingga nantinya kita bisa
mengaambil manfaatnya dalam kehidupan kita. Saya sendiri juga insya Allah sedang belajar dalam hal ini. Mari…!.

Penyebab pertama, yaitu ketidaksamaan tempat berpijak saat memahami sebuah ayat Al Qur’an atau Al Hadits.

Adanya perbedaan demi perbedaan dalam memahami dan menafsirkan sebuah ayat Al Qur’an ataupun Al Hadist
adalah sesuatu yang sangat NISCAYA saja sebenarnya. Makanya di dalam Islam kemudian muncul pula berbagai
kitab tafsir yang mana diantara tafsir yang satu mungkin berbeda sangat signifikan dengan tafsir yang lainnya.

Belum lagi kalau dimasukkan pula pengaruh SUASANA, atau KEADAAN yang mengikuti suatu ayat atau Al Hadist,
maka tafsir dan uraian seseorang yang berhasil mengecap sebuah suasana kejiwaan atas sebuah ayat Al Qur’an
dan Al Hadist tersebut akan membuka lebar pintu bagi sebuah perbedaan bagi orang perorangan, apalagi dengan
orang-orang yang belum mendapatkan suasana demi suasana atas ayat tersebut.

Dan perbedaan-perbedaan seperti ini tidak akan pernah berhenti selama kita masih bernafas. Fitrah saja perbedaan
yang seperti ini. Karena semuanya sangat tergantung kepada seberapa jauh KEPAHAMAN muncul di dalam diri kita
saat kita membaca sebuah ayat. Kepahaman seorang profesor pastilah sangat berbeda dengan kepahaman
seorang anak TK. Padahal tidak semua orang bisa menjadi seorang profesor, dan tidak semua orang pula yang mau
tetap bertahan menjadi seorang anak TK. Tetap ada lebih dan kurangnya.

Kekeliruan umum yang terjadi adalah bahwa saat kita menyampaikan suatu ayat atau al hadist yang dasarnya
hanyalah dari pemahaman kita saja, baik berdasarkan bacaan maupun hasil sekolah atau kuliah kita selama ini, kita
lalu ingin pula agar orang lain itu mau ikut dan setuju dengan pemahaman yang kita sampaikan. Kalau mereka
menolak, tidak setuju, atau berbeda pemahaman dengan kita, maka kita lalu marah-marah kepada orang yang tidak
setuju dan tidak mau ikut dengan pemahaman kita itu. Atau sebaliknya kalau orang lain itu malah manut-manut saja
dengan apa-apa yang kita sampaikan, baik dia mengerti ataupun tidak, maka kita lalu bisa merasa bangga dan
menganggap mereka itu sebagai teman kita, kelompok kita.

Masalahnya pun akan bertambah besar tatkala pemahaman yang kita sampaikan itu hanya sekelas pemahaman
seorang sastrawan dan ahli sejarah saja tentang ayat Al Qur’an dan Al Hadist tersebut. Apalagi kalau muatan yang
disampaikan itu hanyalah muatan pemahaman seorang anak SD terhadap seorang doktor atau profesor. Bakalan
rame..!. Rame sekali dan lucu malah.

Jadi penyebab kebuntuan pemahaman agama yang berdasarkan atas beda tempat berpijak ini sangatlah biasa. Jadi
kita tidak usahlah memperdebatkannya sedikitpun. Kita tinggal tentukan dimana posisi pemahaman kita masing-
masing akan kita tempatkan, lalu kita lengketkan kesadaran kita (binding) dengan posisi itu, dan kemudian kita
nikmati saja senang ataupun susahnya posisi pemahaman kita itu.

Dan pada semua posisi pemahaman itu ada resikonya yang akan kita pikul masing-masing. Enak atau tidak enak…,
harus kita ambil masing-masing kita. Dan selalu saja terbuka pintu atau peluang-peluang untuk mengambil resiko
yang lebih baik ataupun yang lebih jelek. Terbuka sekali...!.

Cuma masalahnya adalah, siapa sih yang mau kecebur untuk mengambil resiko yang jelek, tidak enak, tersiksa dan
resiko-resiko menyakitkan lainnya, sementara di depan kita telah yang menganga lebar pintu-pintu agar kita bisa
mendapatkan resiko enak, nikmat, dan membahagiakan di setiap tarikan nafas kita…??!.

Penyebab kedua, yaitu tidak dapatnya kita membedakan mana ungkapan-ungkapan seseorang yang
berupa wejangan dan mana ungkapan-ungkapan yang berupapengakuannya.

Kadang-kadang, atau terlalu sering malah, kita ini rancu atau tidak dapat membedakan antara mana ungkapan
seseorang yang berupa wejangan atau pengajaran dan mana ungkapan yang berupa pengakuan atau klaim atas
dirinya sendiri. Saat seseorang menyampaikan wejangan atau menyampaikan pengajarannya, tapi malah kita
anggap orang tersebut sedang mengucapkan klaim atau pengakuannya sendiri. Begitu juga sebaliknya, saat dia
menyampaikan klaim atau pengakuan atas kelebihan dirinya sendiri, eee…malah kita anggap dia itu sedang
menyampaikan wejangan ataupun pengajarannya kepada kita.

Kekeliruan-kekeliruan seperti ini bisa fatal akibatnya. Misalnya adalah, dalam sebuah wejangan atau pengajaran, ada
seseorang yang datang terlambat atau ada orang yang tidak memahaminya dan mungkin pula dia munafik yang
ikutan mendengarkan atau membaca wejangan dan afirmasi-afirmasi berikut:

Setelah kita menyadari Sang INI, ALLAH, DISINI, DEKAT, QARIB, lalu kita, tinggal diam saja. Kita
tinggal menunggu Sang INI, Allah, mengajari kita langkah demi langkah tentang hal-hal yang tidak
atau belum kita pahami, mari…:

Biarkanlah Sang INI, ALLAH, MENGAKU kepada kita:

INI adalah AKU…!.

AKU…!. AKU…!. ANA…!, ANA…!

Yang ADA adalah AKU, Laa ilaha illa ANA…!.

Yang Maha Suci adalah AKU, Subhani…!.

Yang Maha Besar adalah AKU, ANA akbaru ‘ala kulli syaiin…!!.

Biarkanlah Sang INI, ALLAH, mengenalkan DIRINYA sendiri selangkah demi selangkah kepada kita:

Ini AKU…!. Ini AKU…!. TUHAN…!.

Saat kalian datang kepada-Ku sejengkal, AKU akan menyambutmu sedepa,

Saat kalian memangil-manggil ku dengan berjalan, AKU akan menyambutmu


sambil berlari.

AKU lebih cepat menyambut panggilan-panggilan dan do’a-do’a mu itu dari yang kau kira.

Nah…, bagi kita yang tidak dapat memahami bahwa ungkapan-ungkapan ini adalah wejangan atau pengajaran guru
pembimbing kita untuk mengajak kita menyadari dan “membaca” pengajaran-pengajaran Tuhan, maka kemudian kita
lalu bereaksi dan keluar dengan kesimpulan kita sendiri: “Laaa…, ini kan Manunggaling Kawolu lan Gusti (MKG)
…, inikan sama dengan HULUL…, inikan ITTIHAD…, dan perkiraan-perkiraan kita lainnya…”.
Tuduhan-tuduhan seperti ini terjadi lebih sering disebabkan oleh karena kita tidak punya file sedikitpun di dalam otak
kita tentang afirmasi-afirmasi seperti diatas. Sehingga kita lalu dengan gagah berani membuat kesimpulan sendiri
sesuai dengan file seadanya yang tersedia di dalam otak kita.

Padahal bagi kita yang sudah paham, maka kita tinggal mengikuti saja afirmasi-afirmasi guru pembimbing kita itu
untuk kemudian masuk dari satu kesadaran ke kesadaran berikutnya. Karena memang saat itu kita tengah diajak
langkah demi langkah untuk menaikkan kesadaran kita kepada Dzat Yang Maha Hidup, Yang Maha Merespons,
maka afirmasi-afirmasi tersebut PASTI akan membawa pengaruh kejiwaan yang sangat besar bagi kita. Dahsyat
sekali malah. Karena saat itu jiwa kita tengah disadarkan terhadap Dzat Yang Memang Maha Dahsyat.

Akan tetapi, kalau tidak ada pengaruhnya atau bekasnya sama sekali pada jiwa kita, pada dada kita, saat kita
menyebut kalimat, misalnya, Allahu Akbar, maka dapat dikatakan pada saat itu jiwa kita tengah mati, dada kita telah
membatu. Itu saja kok keterangan tentang wejangan…. Kok repot …!.

Ungkapan-ungkapan seperti diatas barulah akan menjadi masalah besar saat mana tiba-tiba seseorang berdiri di
hadapan khalayak ramai dan berseru dengan gagah berani, ataupun tiba-tiba menulis:

INI adalah AKU…!.

AKU…!. AKU…!. ANA…!, ANA…!

Yang ADA adalah AKU, Laa ilaha illa ANA…!.

Yang Maha Suci adalah AKU, Subhani…!.

Yang Maha Besar adalah AKU, ANA akbaru ‘ala kulli syaiin…!!.

Tanpa ba-bi-bu, orang tersebut kemudian berseru ataupun menulis:

Ini AKU…!. Ini AKU…!. TUHAN …!.

Saat kalian datang kepada-Ku sejengkal, AKU akan menyambutmu sedepa,

Saat kalian memangil-manggil ku dengan berjalan, AKU akan menyambutmu sambil berlari.

AKU lebih cepat menyambut panggilan-panggilan dan do’a-do’a mu itu dari yang kau kira.

Dalam hal ini, penyebabnya hanya ada dua kemungkinan, yaitu orang ini adalah gila dan ngelindur, atau orang ini
tengah berada dalam suasana “kesadaran ambang”yang memang sangat sering terjadi pada orang-orang yang
mencoba berspiritual tapi dengan objek fikir yang nggak jelas. Hal ini akan dikupas dalam sub-bab penyebab ketiga
berikut dibawah ini.

Penyebab ketiga, orang yang berada dalam posisi “Kesadaran Ambang” dalam berspiritual.

Pada saat kita berada di posisi kesadaran ambang ini dalam berspiritual, kita memang lebih sering melahirkan
ungkapan yang aneh-aneh, mengejutkan, dan bahkan kadangkala tidak terkontrol. Karena dalam proses perjalanan
laku spiritual yang banyak beredar ditengah-tengah masyarakat, orang-orang mencoba memperjalankan
kesadarannya dengan sengaja ataupun tidak kepada sesuatu yang ada di dalam dirinya ataupun yang ada di luar
dirinya sendiri. Bahkan kita bisa pula mencoba membiarkan pikiran kita berkelana sendiri kesana kemari sampai
akhirnya fikiran itu berhenti dengan sendirinya karena memang tidak ada lagi file-file fikiran yang bisa kita dikeluarkan
dari memori fikiran kita.

Proses perubahan kesadaran demi kesadaran ini, dampaknya memang sangat kuat, terutama kepada fisik kita.
Tempo-tempo kita bisa dibawa kepada wilayah kegelapan yang amat sangat dan mencekam. Tidak ada apa-apanya
disitu. Tempo-tempo kita juga bisa terhempas kepada suasana kebingungan yang amat sangat, karena diri kita juga
bisa nggak ada sama sekali. Tempo-tempo kita juga bisa merasakan sedih yang amat sangat, sehinga kita maunya
menangis terus. Tempo-tempo juga kita bisa tidak dapat lagi membedakan mana yang diri kita dan mana yang
Tuhan. Kita seperti orang yang mabok. Yang dalam istilah orang-orang spiritual disebut sebagai suasana EKSTASIS,
atau sedang FANA secara spiritual.

Makanya dalam suasana seperti ini orang bisa saja menjadi patuh sekali dan merasa dekat sekali dengan Tuhan,
sehingga dia malah tidak bisa ngapa-ngapain. Atau malah bisa pula menjadi sangat jauh sekali dengan
Tuhan. Wong dia sendiri sudah merasa bersatu dengan Tuhan, bahkan dia telah merasa menjadi Tuhan itu sendiri.
Sebab yang dia dapatkan adalah sebuah suasana yang nggak ada apa-apanya. Kosong melompong, nggak ada
apa-apanya. Dia lalu menyadari bahwa yang adalah hanyalah dirinya sendiri yang mengamati kesemuanya itu.

Sehingga dia lalu mengaku dan berucap ANA Al HAQ, Laa ilaha illa ANA, Subhani, dsb. Aku semuanya….!.

Kita bisa juga seperti ini…?!. Bisa…!. Bisa sekali malah. Setiap orang bisa berada dalam kesadaran seperti ini.

Lalu kalau begitu buat apa spiritualitas itu sebenarnya. Kalau hanya akan membuat kita sombong seperti ini…??.

Yaaa…, hal seperti inilah yang menyebabkan orang-orang kemudian takut untuk masuk kepada kelompok-kelompok
spiritual yang banyak macamnya di tengah-tengah masyarakat kita ini. Referensinya ya begitulah…, kalau tidak Al
Hallaj, Syech Siti Jenar, atau Ibnu Arabi yang memang telah disamakan dan dicap orang pula sebagai manusia-
manusia sesat, atau dengan paranormal-paranormal yang banyak nggak benarnya juga menurut kepatutan umum.

Padahal kalau kita mau membuka kesadaran sedikit saja, tentang mana bisa kita bisa tahu dan yakin akan suasana
atau posisi kesadaran seseorang pada suatu saat tertentu…, mungkin kita akan bisa berhati besar dalam setiap
perbedaan yang ada. Misalnya siapa yang tahu…, bahwa barangkali saja saat Al Hallaj, Syech Siti Jenar, atau Ibnu
Arabi mengungkapkan kalimat-kalimat diatas sebenarnya beliau-beliau itu tengah mewejang dan memberikan
pengajaran kepada pengikut-pengikut beliau, dan saat mewejang itu kebetulan didengarkan pula oleh orang munafik
yang membenci beliau, sehingga fitnah untuk beliau-beliau itupun muncul dengan dahsyatnya.

Atau siapa pula yang bisa tahu dengan pasti bahwa saat itu beliau-beliau itu memang tengah berada dalam
kesadaran ambang, atau bahkan tidak percaya kepada Tuhan, sehingga ungkapan-ungkapan nyeleneh begitu tidak
bisa beliau tahan untuk tidak keluar dari mulut beliau…???. Siapa yang tahu pasti…???!. Berani benar kita ini
menyalah-nyalahkan orang….!. Kualat nanti baru tahu…, he he he..!.

Sehingga dari ketakutan-ketakutan kita terhadap cerita tertulis atau dongengan dari mulut ke mulut tentang sepak
terjang orang-orang yang dianggap sebagai para spiritualis itu. Akhirnya kita lebih banyak menjalankan agama dan
kepercayaan kita hanya sebatas kepatuhan saja atas larangan dan suruhan yang diwajibkan oleh syariat agama
kepada kita. Walau untuk itu kita harus kehilangan rasa dzauq, atau rasa keindahan dan kenikmatan dalam
beragama itu. Kita memang beragama, tapi menapaki hari-hari kita dengan rohani yang KERING. Kelihatan kok
ketegangan wajah kita dalam beragam itu…!. Nggak bisa ditutup-tutupi dengan senyuman semanis apapun.

Kalau begitu, bagaimana sih konsep FANA yang dihendaki oleh Al Qur’an agar supaya posisi kesadaran kita saat
membaca ayat-ayat Al Qur’an dan al hadist diatas berada pada posisi yang tepat…?.

Sementara referensi kita tentang FANA itu lebih banyak kepada keadaan orang yang asyik masyuk dengan Tuhan,
ekstasis, bahkan pingsan, dan sebagainya, seperti yang dialami oleh para ahli spiritual, tasawuf, tarekat, dan
kebatinan lainnya. Sehingga FANA model begitulah yang dicari-cari orang saat seseorang tersebut mulai perjalanan
spiritualnya.

Saya sendiri juga termasuk didalamnya sekitar 5-6 tahun yang lalu, sebelum ataupun setelah saya mengenal patrap
ini diawal-awal, dalam pencarian spiritual saya. Rame, riuh rendah, srudak sini sruduk sana. Dan akhirnya dengan
cara yang sungguh sangat sederhana, saya kemudian “diletakkan” ALLAH di tempat yang sangat sederhana pula
dalam memahami FANA ini menurut Al Qur’an. Sehingga berspiritual saya pun, alhamdulillah, juga menjadi sangat
sederhana. Dan kesederhanaan itu pulalah yang saya coba sharing-kan dengan teman-teman di dunia maya
Dzikrullah ini.

FANA MENURUT AL QUR’AN…

Pertama-tama, janganlah kita memandang bahwa Al Qur’an itu merupakan sebuah konsep yang sulit, yang
diwariskan Rasulullah buat kita. Tidak mungkinlah Rasulullah meninggalkan beban berat buat kita, yang sulit untuk
kita pahami dan lakukan.

Cobalah kita lihat kembali ayat-ayat Al Qur’an dan Al Hadist dibawah ini. Lalu bukalah kesadaran kita untuk sebuah
pengertian yang sederhana…:

“…dan bukanlah engkau yang membunuh mereka, tetapi Allahlah yang


membunuh mereka. Dan tiadalah engkau yang melempar ketika engkau
melempar, melainkan Allah-lah yang melempar …”, (Al Anfal 17).
“…Apabila Aku mencintai hambaku, maka Aku merupakan
pendengarannya yang ia pergunakan untuk mendengar, Aku
merupakan penglihatan yang ia pergunakan untuk melihat,
Aku merupakan tangan yang ia pergunakan untuk menyerang
dan Aku merupakan kaki yang ia pergunakan untuk berjalan.
Seandainya ia memohon kepada-Ku, niscaya Aku akan
mengabulkannya, seandainya ia berlindung kepada-Ku,
niscaya Aku akan melindunginya. ( HR Bukhari)

“…Kullu man 'alaihaa faanin, wa yabqa wajhu rabbika..., (Al-


Rahman:26-27); dan Kullu syai’in haa likun illa wajhahu…, (Al-
Qasas: 88.)”.
“Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang
hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat
untuk mengingat Aku. (Thaha 14)
Tidakkah ayat-ayat dan hadist tersebut diatas mengisyaratkan agar kita ini tidak menjadi sombong dan
angkuh…?. Dan ketidaksombongan dan ketidakangkuhan itu hanya dan hanya dapat diwujudkan kalau kita tidak
pernah mengakui bahwa semua yang bisa kita lakukan ternyata hanyalah Rahmat Tuhan saja buat kita. Bahwa
melihat kita, mendengar kita, bergerak kita, semuanya adalah Fasilitas Tuhan yang diberikan-Nya buat kita tanpa
batas yang harus kita manfaatkan untuk kemaslahatan umat manusia belaka.

Yaa…, ternyata FANA menurut Al Qur’an hanyalah bagaimana caranya agar kita bisa
memposisikan diri kita sebagai HAMBA TUHAN yang bersandar kepada TUHAN, dan menyadari
pula bahwa kita memakai segala fasilitas TUHAN dalam menjalankan tugas-tugas kita yang juga
dari TUHAN untuk memberikan rahmat pula bagi lingkungan di sekitar kita.

Subhanallah, ternyata FANA menurut Al Qur’an itu, paling tidak sebatas apa yang saya pahami, hanyalah agar kita
mau memposisikan diri kita dengan SENGAJA sebagai HAMBA TUHAN…..!. Dan…, hamba Tuhan hanya akan
Menghadap dan Menyembah LURUS kepada AKU TUHAN, bukan kepada Sifat-Nya, bukan kepada Kekuasaan-Nya,
bukan pula kepada Kekuataan-Nya, apalagi kepada ciptaan-Nya, nggak…, nggak boleh melenceng dari Wajah
Tuhan.

Dan yang tahu wajah Tuhan hanyalah Tuhan Sendiri, maka bermohonlah dengan sengaja agar Tuhan menunjukkan
dan menuntun kita selangkah demi selangkah menghadap LURUS ke Wajah-Nya. Janganlah kita sendiri yang
mencari-carinya. Nanti rumit dan ruwet.

Dan Hamba Tuhan yang paling tepat posisinya di hadapan Tuhan, adalah Muhammad Saw. Begitu juga Isa As, Musa
As, dan Nabi-nabi As yang lainnya. Dan tugas kita hanyalah minta pertolongan kepada Allah agar posisi kita juga
berdekatan (walaupun masih jauh) dengan posisi Beliau-Beliau itu.

Demikianlah uraian saya untuk sedikit mengurai dan memecah gelombang kebuntuan kita tentang kedekatan kita
dengan Tuhan hanya gara-gara ada sejarah Al Hallaj, Ibnu Arabi, Syech Siti Jenar, dan lain-lainnya yang dianggap
sebagian orang menyimpang dari pakem yang diajarkan oleh Rasulullah. Entahlah…!.

Wallahu a’lam

Deka

Jl. Kabel 16, Cilegon,

07 September 2005

JEMBATAN KESEDERHANAAN


Written by Administrator

Sambil menunggu uraian-uraian dari peserta milis tentang topik Ahmadiyah tempo hari
(lihathttp://groups.yahoo.com/group/dzikrullah/message/767), saya ikutan juga menulis
pandangan dan pengamatan saya atas guliran beberapa problematika keberagamaan kita
yang telah saya sampaikan.

Sungguh saat ini di pelosok otak manusia sepertinya tengah berlangsung sebuah
perbenturan yang sangat dahsyat tentang ‘cara berfikir dan cara memandang” atas konsep
agama-agama besar dunia yang dihadapkan kepada pusaran perubahan peradaban yang
memang tak akan pernah bisa dihentikan.

Betapa tidak, jika kita lihat kenyataan yang ada di tengah-tengah masyarakat jika
dibandingkan dengan dalil-dalil tertulis yang sangat-sangat indah, sangatlah bersifat
PARADOKS. Konsep-konsep agama yang dipelajari umat manusia dari waktu ke waktu,
ternyata dengan tidak serta merta bisa membawa umat manusia itu mengalami SAUSANA
BAIK yang diminta oleh konsep agama itu sendiri. Ajaran atau konsep tentang DAMAI,
misalnya…, tidak serta merta pula membuat orang yang mengetahuinya mampu untuk
mewujudkan SUASANA DAMAI itu disekelingnya. Yang muncul kemudian malah
pembicaraan demi pembicaraan, definisi demi definisi tentang Ajaran DAMAI itu.

Kemudian ada sekelompok orang yang berhasil menyusun definisi damai itu lengkap dengan
dalil-dalil kitab suci dan wejangan pada Rasul dan Nabi yang melandasinya.
“COCOK…!!”, kata mereka dengan sangat antusias. Karena memang dalil-dali kitab suci itu
dan sabda para Rasul dan Nabi itu adalah sebuah ajakan untuk masuk ke SUASANA DAMAI
itu. Maka sekelompok orang itupun lalu membuat PAGAR atas damai itu sesuai dengan
definisi yang dia buat itu. Lalu dia BINDING terhadap definisi itu tadi. Lalu dia hidup dalam
keseharian dengan definisi itu tadi. Lalu dia bermasyarakat dengan definisi itu tadi. Karena
begitu kokohnya kelompok ini memegang definisi-definisi agama, maka lalu ada yang
menyebutnya sebagai kelompok FUNDAMENTALIS / KONSERVATIF yang keberadaannya
ada di setiap agama-agama dunia.

Entah memang karena segala sesuatunya di dunia ini memang telah diciptakan Tuhan
secara berpasang-pasangan, maka hampir selalu saja ada kelompok lain yang
memposisikan diri sebagai tandingan kelompok pertama tadi. Kelompok tandingan ini
walaupun dinamakan dengan berbagai istilah, misalnya kelompok LIBERALIS,
SEKULARIS, RASIONALIS, PLURALIS, dan sebagainya, akan tetapi semuanya itu
sebenarnya akan mengerucut pada sebuah keadaan dimana pengusungnya tidak mau lagi
terikat dengan definisi-definisi LAMA yang telah dibuat oleh orang-orang TERDAHULU
terhadap teks-teks kitab suci dan wejangan para Nabi dan Rasul. Mereka ini lalu dengan
semangat 45 membuat definisi BARU tersendiri yang katanya definisi itu akan mampu
menjawab tantangan kemajuan peradaban. Dan kalau dicarikan dalil-dalil agamanya di
dalam kitab suci serta sejarah Nabi dan pengikut-pengikut Nabi, eh… COCOK pula…!. Lalu
mereka para Liberalis dan sejenisnya itu BINDING pula dengan definisi-definisi yang mereka
buat itu. Mereka hidup dan berjuang dengan definisi mereka itu. Mereka membentur sana
sini dengan definisi mereka itu.

Itu baru keadaan dualitas definisi dan pemahaman atas sebuah SUASANA BERAGAMA yang
berada di dalam sebuah agama yang sama, misalnya agama Islam. Dampaknya sudah
demikian dahsyatnya. Apalagi kalau dimasukkan benturan antara konsep agama yang satu
dengan agama yang lain, duh…, dahsyat sekali. Dan…, ZAMAN memang telah kenyang
dengan susasana chaos yang tak henti-hentinya demi rebutan definisi demi definisi agama
itu sendiri. Alih-alih bisa mendapatkan suasana damai, yang seharusnya muncul, malah
yang tercipta adalah kejadian berdarah-darah, suasana yang menyakitkan hati. Suasana
siksa neraka saja sebenarnya.

Maka kalaulah masyarakat tidak takut dengan siksa neraka ataupun cap sesat yang
taruhannya adalah nyawa, mungkin orang sudah berbondong-bondong meninggalkan
sebuah agama untuk mencari alternatif agama atau kepercayaan lainnya. Bahkan tidak
jarang pula orang kemudian ingin lepas dari sebuah agama, misalnya menjadi atheis,
ataupun beragama dengan seenaknya saja.

Padahal didalam agama Islam, Al Qur’an menerangkan bahwa dulu pernah ada SUASANA
atau kejadian dimana orang berbondong-bondong untuk masuk ke Benteng Tuhan dan
mereka menikmati indahnya Bentang Tuhan itu :
“Dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong”. (An
Nashr 2).

Kalau begitu…, mungkinkah suasana manusia yang berbondong-bondong menuju Benteng


Tuhan itu akan bisa terjadi pula di saat ini maupun di masa-masa yang akan datang…?. Jika
tidak bisa, maka sungguh ayat Al Qur’an diatas sudah tinggal menjadi sejarah semata.
Duh…, kasihan Rasulullah…, capek-capek Beliau mengenalkan SUASANA indah sebagai hasil
dari praktek beragama, eh… umat penerus Beliau malah mendefinisikan “suasana indah” itu
menjadi dalil-dalil yang kemudian dengan cepat berubah menjadi sejarah. Tinggal kenangan
saja. Padahal Rasulullah dulu itu mewariskan SUASANA yang ciri-cirinya dengan dengan
gamblang telah dipatrikan di dalam ayat Al Qur’an dan di beberapa Al Hadist.

Sebenarnya, kalaulah orang-orang TAHU rahasia yang sangat sederhana dibalik


kesemuanya itu, maka mereka mau tidak mau akan tersenyum-senyum saja mengamati
dan membaca (IQRAA’) SUASANA benturan demi benturan itu tadi. Dan mereka akan
menjadikannya sebagai bahan PELAJARAN dari Tuhan buat mereka yang tulisannya ada
pada diri dan tingkah laku umat manusia itu sendiri.

ISLAM DAN PERTAPA…


Sekarang marilah kita ulas sedikit tentang SUASANA yang melekat pada pada kata-
kata damai, salam, selamat, yang dalam bahasa arabnya adalah ISLAM. Kata-kata
damai, salam, dan selamat ini kalau didefinisikan, maka setiap agama, aliran atau kelompok
akan bisa mendefisikannya sesuai dengan pakem yang ada pada agamanya, alirannya, dan
kelompoknya masing-masing. Akan tetapi tatkala seseorang bisa masuk dan kecebur ke
dalam SUASANA real-nya, maka pengungkapannya dalam bentuk kata-kata manusia bisa
saja berupa damai,peace, freedom from strife, salamaik, salam, Islam, dsb. Jadi kata-kata
itu lebih hanya pada ungkapan-ungkapan dalam bentuk bahasa manusia saja atas
terjadinya sebuah suasana tenang luar biasa di dalam dada seseorang. Dada siapa saja bisa
dialiri oleh rasa damai itu. Universal sekali rasa damai itu sebenarnya.

Nah…, cobalah kita tengok beberapa referensi saat orang berbicara tentang damai, salam,
selamat yang beredar di tengah-tengah masyarakat, tidak peduli apapun agamanya.

Referensi pertama adalah bahwa salam, damai, itu identik dengan sebuah perilaku yang
akan bertentangan dengan produktifitas dan keuntungan dunia (harta, pamor,
jabatan dan kekuasaan).

Betapa tidak…, saat kita menyebutkan suasana damai itu, maka yang muncul dibenak kita
adalah suasana seseorang yang hidup dengan atribut seperti seorang pertapa, ataupun kiai-
kiai dengan suasana sangat sederhana, pandangan mata tidak bersemangat, yang bahkan
hidup dari belas kasihan orang lain. Ketika orang berbicara ZUHUD, maka referensinya
hampir selalu saja dibawa kepada suasana kehidupan seorang pertapa. Tidak ingin apa-apa,
hanya sibuk dengan dirinya sendiri walaupun kelihatannya dia melayani umat. Apalagi kalau
ditambahkan dengan ketakutan untuk mendapatkan kesenangan dunia hanya karena
mengharapkan hidup di akhirat. Lengkap sudah kita memakai referensi yang keliru tentang
damai, selamat itu.

Ayat berikut inipun seringkali pula dipakai untuk menjauhkan seseorang dari kehidupan
dunia, karena salah persepsi lagi:
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang
diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak,
kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup
di dunia dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga)”. (Ali Imran 14)

Tentang ayat ini, saya pernah mendengarkan ceramah subuh disebuah TV swasta dari
seorang ustadz yang sangat terkenal yang menyatakan bahwa ayat ini adalah salah satu ciri
dari sekian banyak kriteria JAHILIAH MODERN yang ada. Sehingga sang ustadz kemudian
memberikan contoh tentang bagaimana agar kita bisa keluar dari kriteria jahiliah modern
tersebut, yaitu dengan mencontoh kehidupan para salafus shaleh yang wara, zuhud, dsb.
Beberapa hadits dan kisah bagus memang ada menggambarkan betapa WARA, dan ZUHUD
nya kehidupan Rasulullah dan para sahabat Beliau pada zamannya, sehingga kemudian kita
juga dengan semangat 45 ingin berperilaku WARA dan ZUHUD seperti Beliau-beliau itu.
Bagus memang, sangat bagus malah.

Akan tetapi pada prakteknya, dalam memahami kehidupan wara dan zuhud itu, masyarakat
kemudian secara tidak sengaja telah TERGIRING pula kepada opini masyarakat yang
referensinya adalah wara dan zuhud model PERTAPA. Sebuah model yang memandang
dunia ini dengan kurang bersemangat, tidak ada motivasi kita sedikit pun untuk
meramaikan dunia ini dengan berbagai ide dan kreasi kita yang memang sudah menjadi
tugas kita sebagai khalifah Allah, duta istimewa Allah di muka bumi ini.

Referensi pertapa yang seperti inilah yang ditangkap oleh umat Islam dalam memahami
cara berkehidupan wara dan zuhud itu, sehingga akhirnya melahirkan pula orang-orang
yang tidak saja kontra produktif secara ekonomi, akan tetapi juga secara teknologi,
budaya, danperadaban. Cobalah perhatikan opini dunia tentang orang-orang yang taat
beragama, maka umat di seluruh dunia seakan mengerucut untuk sepaham bahwa mereka
itu adalah orang-orang yang hidupnya susah, tidak mau bekerja keras, maunya hanya
“mendiamkan fikiran” yang mereka sebut sebagai FIKIRAN BERHENTI. Ya…, mereka sibuk
dengan bermeditasi dengan objek fikir tertentu, atau mengikuti pengembaraan fikiran
kemana-mana sampai pada suatu saat fikiran itu nggak bisa mengembara lagi. Kalau sudah
begitu, maka mereka lalu berkata, misalnya, “Ana Al Haq”, dsb.

Opini seperti ini tak jarang pula menjangkiti orang-orang yang sebenarnya sudah
berpendidikan sarjana ke atas. Akan tetapi, saat mereka bersinggungan dengan referensi
damai model pertapa begini, maka ilmu dan pengetahuan mereka pun seakan-akan nyaris
tidak berguna lagi. Akibatnya banyak kita lihat orang yang berpendidikan tinggi yang
kemudian berperilaku aneh dan nyentrik karena ingin mendalami agama berikut dengan
praktek-praktek ala pertapa tadi itu. Kalaulah kita berikan perumpamaan, maka
keadaannya hampir seperti berikut ini:

“Taroklah saya adalah sesesorang yang berasal dari sebuah desa dikaki Gunung
Merapi, Sumatera Barat sana. Masa kecil sampai SMA saya jalani di tempat asal saya
itu dengan segala romantikanya. Setamat SMA, saya melanjutkan kuliah di ITB dan
kemudian melanjutkan lagi S2 dan S3 saya di Amerika. Begitu selesai, maka otak
saya telah penuh dengan berbagai pengetahuan dan keterampilan yang akan sangat
berguna bagi saya dalam merangkai kehidupan ini. Misalnya lagi, saya kemudian
bekerja di sebuah pabrik baja. Seluruh pengetahuan saya itu ternyata bisa
bermanfaat di pabrik baja itu maupun bagi orang lain.
Namun…, pada suatu saat ada orang yang mengingatkan saya bahwa saya itu dulu
asalnya adalah dari desa yang sangat indah di kaki gunung Merapi. Di sana
kehidupannya sangat damai, tidak ada perkelahian dan percekcokan sama sekali.
Lalu saya diajak kembali ke desa itu. Cangkul saya berupa ilmu yang telah saya
peroleh dengan susah payah selama pendidikan saya lalu saya tinggalkan. Lalu saya
sibuk bernostalgia, sibuk kembali dengan kehidupan desa saya. Sehingga teman-
teman saya yang tinggal di kota merasa aneh dengan keadaan saya yang kembali ke
desa asal saya itu”.

Perumpamaan ini akan sama saja tatkala kita yang seharusnya menjadi pengelola dunia ini,
karena kita memang adalah duta istimewa Tuhan untuk mengelolanya, kemudian ada yang
mengingatkan kita bahwa tempat kembali yang terbaik adalah ke sisi Allah, karena kita ini
memang adalah dari Allah, milik Allah. Lalu kita dengan tergopoh-gopoh “meninggalkan”
tugas istimewa kita sebagai duta Tuhan ini dan kemudian kita sibuk melakukan proses
kembali kepada Tuhan yang prakteknya mungkin saja dalam bentuk ibadah yang tidak
henti-hentinya, ataupun sibuk mi’raj ke sisi Allah. Akan tetapi mi’raj nya ini mencontoh
proses MOKSA dalam agama Hindu, Budha, ataupun aliran-aliran kebatinan lainnya. Maka
jadilah kita itu meninggalkan kehidupan dunia, karena kita sibuk mi’raj, moksa, dan nggak
kembali lagi ke kehidupan nyata di dunia ini.

Nah kalau ada diantara kita yang memahami agama Islam seperti ini, maka akan sama saja
konsep Islam itu dengan konsep Falun Gong, meditasi, kebatinan, kesaktian, dan agama-
agama lainnya. “Kalau sama begitu, buat apa lagi kita harus capek-capek untuk beragama
dengan satu agama saja…, wong sama saja kok hasilnya ?”, aku mereka. Maka lalu ada
yang sampai kepada kesimpulan bahwa ternyata semua agama adalah benar. Semacam
pluralisme begitulah. Yang dicari juga bahagia-bahagia juga, tenang juga, damai juga,
selamat juga, tidak mencuri juga, tidak korupsi juga. Tapi hanya CARA untuk mendapatkan
hasil saja yang berbeda-beda. Nah lho…!. Mereka lalu mengibaratkan perbedaan-perbedaan
ini dengan kegiatan mendaki sebuah gunung. Gunung itu kalau didaki dari sisi manapun,
akan sama saja hasilnya tatkala kita sampai di puncaknya. Sebuah perumpamaan yang
sangat-sangat logis memang. Akan tetapi benarkah begitu…?. Ini nanti menarik pula untuk
dibahas.

Kemudian, saat kita ingin mendapatkan referensi tentang seperti siapa sih orang orang
yang bisa mewakili Islam itu dari zaman ke zaman?. Maka di TV-TV dan bacaan-bacaan kita
dihadapkan dengan karakter sosok manusia sakti, berjubah, berjenggot panjang, dan
berkelana ke sana kemari menyebarkan kalimat-kalimat Tuhan dan memerangi kebatilan.
Ya…, seperti yang di filem-filem sinetron itulah. Sosok manusia yang atribut fisik dan
pakaiannya seperti orang Arab: berjubah, berjenggot, bersorban, memegang tasbih,
berbicara lancar dan fasih dalam bahasa Arab, dan kewali-walian pula. Ada pula yang pamer
dengan kemampuan mereka mengusir-ngusir jin dan syetan, dengan cara apa sajalah
namanya. Ada juga yang memposisikan dirinya sebagai orang mampu menjalankan dengan
SANGAT KETAT dan MENYELURUH (KAFFAH) ayat-ayat Al Qur’an dan Al Hadist, tapi entah
bagian yang mananya dari sekian ribu ayat Al Qur’an dan Al Hadist yang ada itu yang bisa
dia jalankan. Lalu jadilah referensi dan atribut-atribut itu tadi membawa umat untuk
mengidolakan mereka untuk dijadikan contoh, panutan, ikutan. Apakah memang hanya
seperti atribut-atribut dan referensi seperti inikah Islam itu …?. Ini akan menarik pula untuk
dibahas nantinya.
Dan yang paling mencengangkan lagi, entah ini sengaja diekspos atau tidak, adalah dengan
atribut-atribut seperti diatas itu tadi, orang malah bisa juga ngamukan, bahkan dengan
diiringi oleh lafal dzikir “ALLAHU AKBAR” pula. Orang yang namanya nguaamuk itu, walau
telah diiringi dengan ucapan dzikir pengagungan terhadap kebesaran Tuhan sekalipun, ya
tetap saja kelihatan bengis dan ndak sedap dipandang mata.

Coba…, ramai-ramai sedikit, dengan mengucapkan Allahu Akbar: orang-orang lalu


menginjak-injak foto, gambar, tulisan, bendera; orang-orang mengutuk memaki,
melempar, merusak. Akhirnya ada pula sekelompok orang (orang-orang Islam juga sih)
yang kemudian melecehkan dzikir Allahu Akbar itu, sehingga di sebuah kampus universitas
Islam terkenal mereka mengganti dzikir Allahu Akbar itu dengan ungkapan“(……)
Akbar” yang konotasinya sungguh sangat tidak sedap dan merendahkan dzikir itu sendiri.

Dari berbagai perilaku, tindakan, dan kejadian demi kejadian yang menimpa umat manusia,
khususnya umat Islam, yang kita saksikan di TV dan media masa lainnya dari waktu ke
waktu, terlihat sekali bahwa suasana yang diperlihatkan oleh umat Islam ini mirip sekali
dengan suasana sebuah persimpangan jalan. Cobalah amati, dengan sebuah kesadaran,
suasana yang muncul di sebuah perempatan jalan yang sangat padat dengan berbagai jenis
kendaraan. Tiba-tiba lampu lalu lintas yang selama ini mengatur lancarnya lalu lintas di
perempatan itu MATI. Amatilah…, betapa orang-orang yang terjebak di perempatan itu
seperti rebutan ruangan kosong, serobot sana serobot sini, memaki, menggerundel,
melotot. Tak jarang pula perempatan itu macet total jadinya, sehingga nggak ada satu
kendaraan pun yang bisa bergerak.

Nah…, seperti inilah keadaan umat Islam dewasa ini. MACET TOTAL, LUMPUH, RAMAI, RIUH
RENDAH. Semuanya seperti sedang BEREBUTAN sesuatu dengan semangat 45, tapi nggak
tahu sesuatu yang sedang di perebutkan itu apa. Kadang-kadang kelihatan umat ini seperti
sedang rebutan syurga, kadang seperti rebutan ayat Al Qur’an, kadang seperti rebutan Al
Hadist, kadang seperti rebutan benar, kadang seperti rebutan jadi umat terbaik, eh…
kadang juga seperti rebutan Tuhan. RAMAI SEKALI…

Subhanallah…, saya bersaksi ya Allah bahwa: siapa pun orang yang tidak
bergantung dan berpegang teguh kepada-Mu, Ya Allah, siapa pun yang
tidak masuk ke dalam Benteng-Mu, Ya Allah, siapapun yang tidak
meringkuk di sisi-Mu, walau siapapun itu mengaku telah mengenal-Mu,
telah percaya kepada-Mu, dan telah beribadah kepada-Mu, dan punya ilmu
yang begitu banyak pula tentang-Mu, PASTI akan menuai bukti atas
kebenaran sinyalemen Malaikat terhadap umat manusia ini saat Adam
pertama kali diperkenal kepada mereka. Ternyata pernyataan Malaikat itu
benar ya Allah. Bahwa…, bagi siapapun yang tidak berada disisi-Mu, maka
muaranya adalah pertengkaran, percekcokan, bahkan mengalirkan darah
segar diantara sesama umat manusia. Suasananya riuh rendah dan ramai
dengan suara-suara, opini-opini, dan persepsi-persepsi yang nggak
menentu.

Oleh sebab itu ya Allah…, tuntunlah saya untuk selalu bisa bergantung dan
berpegang teguh kepada-Mu, tuntunlah saya agar saya bisa masuk kedalam
Benteng-Mu dengan tidak salah jalan dan tidak tersasar-sasar, tuntunlah
saya untuk selalu berada dan tunduk di sisi-Mu, sehingga saya hanya
menjadi penyaksi saja nantinya tentang kebenaran jawaban-Mu atas
keragu-raguan Malaikat terhadap penciptaan Adam dulu itu: ”…Inniii a’lamu
maa laa ta’lamun, …Sesungguhnya Aku lebih mengetahui apa-apa yang
tidak kamu ketahui…?!!”.

Sungguh ya Allah…, ternyata semuanya paradoks itu, semua kejadian itu,


semua tragik hidup yang melanda orang-orang yang Engkau jauhkan dari-
Mu itu ternyata adalah semata-mata untuk menjadi BAHAN PENGAJARAN-
MU kepada UMAT MANUSIA SENDIRI yang mau menggunakan AKALNYA.
Bukan bahan pengajaran buat MALAIKAT dan bukan pula buat IBLIS,
karena ternyata Malaikat dan Iblis itu sendiri adalah bahan pengajaran-Mu
kepada umat manusia tentang adanya SUASANA kepatuhan dengan segala
akibatnya dan SUASANA keingkaran dengan segala akibatnya pula. Terima
kasih ya Allah…!”.

ISLAM YANG SANGAT SEDERHANA DAN MUDAH…

Dari suasana yang penuh dengan suara-suara riuh rendah pemikiran, referensi, opini, dan
tingkah laku umat manusia tentang Islam itu tadi, yang kadang sangat membingungkan
kita, sekarang marilah kita masuk ke pemahaman yang sangat sederhana dan mudah
tentang Islam itu. Untuk itu mari kita cari informasi tentang Islam itu melalui referensi
tertinggi tentang Islam yang ada saat ini, yaitu Al Qur’an, dan As Sunnah.

Mari kita lihat Al Qur’an dulu

Umat manusia, terutama yang belum menjadi saksi atas kebenaran Al Qur’an ini, boleh-
boleh saja untuk ragu tentang kebenaran isi Al Qur’an ini. Namanya juga belum menjadi
saksi, ya…, boleh dong ragu. Makanya tugas bagi yang sudah menyaksikan akan kebenaran
Al Qur’an itu sederhana juga, yaitu menyampaikan persaksiannya itu kepada umat manusia
sebatas kapasitasnya sendiri. Bahwa Al Qur’an itu adalah untuk seluruh umat manusia,
bukan hanya khusus untuk umat Islam.

Nah…, kalau diperhatikan dengan sangat sederhana, ayat-ayat Al Qur’an itu pada
puncaknya memberitahukan kita tentang dua hal. Di satu sisi adalah pemberitahuan
kepada kita umat manusia ini tentang “ADANYA DZAT TUNGGAL YANG
NAMANYA ALLAH, DZAT TUNGGAL INIMAHA ( ULTIMATE ) MELIPUTI SEGALA SESUATU,
DAN WUJUDNYA LAISA KAMISTLIHI SYAI’UN (TIDAK SAMA DENGAN APAPUN JUGA).
Dandi sisi yang lainnya adalah untuk membuka kesadaran kita bahwa pada dasarnya
“MANUSIA ITU HANYALAH MAKHLUK CIPTAAN ALLAH YANG TIDAK BISA APA-APA (FANA)”.
Lalu Allah kemudian memberitahukan pula agar kita, manusia yang serba tidak bisa apa-
apa ini, untuk mau berada di PUNCAK KEBERADAAN, yaitu BERGANTUNG, BERPEGANG
TEGUH, dan MEWAKILKAN diri kita kepada ALLAH yang SERBA MAHA itu.

Tujuan dari puncak keberadaan ini juga sangat sederhana sekali, yaitu: “agar kita umat
manusia ini, sebelum beraktivitas dan menjalankan tugas kita masing-masing dalam
meramaikan dunia ini, agar maulah dengan sengaja (berniat) sejenak memundurkan
kesadaran kitabahwa dalam beraktivitas itu, kita semata-mata hanya
memakai fasilitas dari dan milik Tuhan”. Ya..., kita DUDUK dalam kesadaran bahwa kita
menjalankan fungsi sebagai Duta Istimewa Tuhan dengan tidak berbekal apa-apa. Kita
hanya menggunakan fasilitas yang keseluruhannya adalah dari Tuhan juga.

“Yang sebenarnya…, melihat, mendengar, dan tahu itu adalah dari dan milik-Ku,
hidup itu adalah milik-Ku, gerak itu adalah milik-Ku, daya itu adalah milik-Ku.
Semuanya Ku anugerahkan kepadamu agar kamu bisa menjalani kekhalifahanmu
dengan tidak usah capek-capek dimuka bumi ini. Tepatnya…, Ku-tiupkan Ruh-Ku
kepadamu, sehingga dengan RUH-KU ini kamu lalu bisa melihat, mendengar, tahu,
hidup, dan bergerak. Oleh sebab itu, maka bersyukurlah kepada-Ku …!!. Sederhana
dan mudah kok…”, sabda Sang Maha Memiliki segala sesuatu itu dengan sangat
tegas sekali.

Dan…, kalau kita sudah berhasil duduk dengan pas dan tepat pada posisi kesadaran
seperti ini, Deerrr…, bahwa kita hanyalah memakai fasilitas yang kesemuanya adalah dari
dan milik Allah, maka sebagai rasa tanggung jawab dan terima kasih kita atas penggunaan
fasilitas itu, tiada lain yang bisa kita lakukan kecuali hanya BERSYUKUR kepada Allah yang
punya segala fasilitas itu. Dan hasil dari adanya sikap bersyukur ini adalah munculnya di
dalam dada kita rasa ketundukan, ketawadu’an, kebersujudan, kepatuhan, dan tentu saja…
kebahagiaan.Ya…, BAHAGIA, AF LAHA … itu pastilah ditangan…!!. Sederhana dan mudah
sekali sebenarnya muatan Al Qur’an itu.

Akan tetapi untuk sampai kepada pengertian yang sesederhana dan semudah ini, Allah
harus mutar-mutar dulu menerangkan tentang tentang lautan, tentang angin, tentang
bintang-bintang dan matahari, tentang langit, tentang bumi, ya…, tentang alam semesta
inilah. Kadang-kadang Allah mengulang-ngulang keterangan-keterangan yang serupa di
beberapa tempat yang berbeda. Lalu setelah mutar-mutar begitu, barulah kemudian Allah
menutup cerita tentang alam semesta itu:

“Aaaa… kesemuanya itu adalah hasil dari Kehebatan-Ku. Akulah yang menciptakan-
Nya, Akulah yang memeliharanya, Aku jugalah kelak yang akan menghancurkannya
kembali…!. Karena Aku ini memang Sang Maha Hebat, Sang Maha Kuasa, Sang
Maha segalanya…!. Maka janganlah sekali-kali kalian berpaling sedikitpun dari
Wajah-Ku, karena kesemua itu tadi hanyalah tanda-tanda Keberadaan-Ku, Hijab-Ku
…!”.

Artinya apa…?. Agar umat manusia ini bisa menyadari dan melihat Allah, maka Allah dengan
sengaja telah membuat tanda (hijab) atas keberadaan-Nya. Sehingga dengan HIJAB itu
ADANYA ALLAH akan sangat NYATA sekali. Kita ternyata memang harus “melihat” Allah
melalui Hijab-Nya. Akan tetapi betapa banyak kita ini yang hanya berhenti di hijabnya saja,
di tanda-tanda-Nya saja, dan tidak mampu memandang Wajah Tuhan dari balik hijab itu.

Ini ibaratnya adalah, bahwa kita baru bisa menyadari dan melihat adanya GERAKAN ANGIN
tatkala pada angin itu kita beri tanda berupa ASAP. Begitu juga, pada suatu tempat atau
ruangan, kita baru bisa menyadari adanya UTARA dan SELATAN tatkala pada tempat itu kita
beri tanda berupa “MAGNIT KOMPAS”. Akan tetapi kebanyakan manusia hanya berhenti di
melihat dan menyadari adanya asap dan magnit kompas nya saja, dan tidak mampu
menyadari akan adanya angin, akan adanya uUtara dan selatan.

Begitu juga, untuk menyadarkan kita tentang maksud, tujuan dan tugas kita atas
keberadaan kita di muka bumi ini, Allah harus mutar-mutar dulu mengingatkan kita tentang
asal muasal kejadian manusia, tentang contoh-contoh manusia yang telah menjalankan
tugasnya dengan baik dan berhasil maupun orang-orang gagal dengan hasil yang buruk
pula. Allah juga menggambarkan secara sederhana suasana-suasana yang mengikuti
orang-orang yang berhasil dalam menjalankan tugasnya berupa munculnya suasana
nikmat, bahagia, senang, damai, selamat (suasana syurgawi). Begitu juga suasana yang
akan dialami oleh orang-orang yang gagal dalam memikul tanggung jawab kekhalifahannya
seperti munculnya suasana tersiksa, terpaksa, ragu-ragu, gaduh (suasana neraka).

Semua keterangan yang mutar-mutar itu tadi, dan kadang-kadang diulang-ulang pula,
gunanya hanyalah sederhana sekali, yaitu agar kita mau pula mencontoh orang-orang yang
mampu menjalankan tugasnya dengan baik dan berhasil itu. Mereka mampu dan berhasil
menorehkan tinta emas dalam perputaran sejarah peradaban umat manusia. Mereka
menebarkan rahmat bagi umat manusia lainya. Nabi Muhammad SAW adalah satu dari
sekian banyak manusia yang bisa kita jadikan contoh itu.

Sebaliknya adalah, agar kita tidak mengikuti langkah orang-orang yang tersasar-sasar
dalam menjalankan tugasnya, misalnya langkah Fir’uan, Namrud, Abu Lahab, dan
sebagainya. Mereka-mereka inilah yang telah menyebar petaka disetiap kata dan tindakan
mereka. Kalau di zaman modern saat ini, ya…, seperti Hitler, Musolini, Hirohito, Bush, Blair,
Saddam Hussein, Howard itulah to say the least.

Sudahlah begitu, Allah masih memberitahukan lagi cara-cara agar kita bisa dengan mudah
mendapatkan posisi seperti yang ditempati oleh manusia-manusia yang berhasil dalam
menjalankan tugas kekhalifahannya. Ini semua adalah sebagai petunjuk yang nyata agar
supaya umat manusia itu nggak usah capek-capek lagi mencari-cari caranya. Dan puncak
dari ibadah ini ternyata adalah shalat, sekali lagi shalat. Tapi shalat yang khusyu’
…!.

Akan tetapi ternyata kita tidak mudah untuk masuk ke dalam kesederhanaan dan
kemudahan seperti ini dalam memahami Al Qur’an. Bagi sebagian besar kita, apalagi bagi
yang otaknya sudah penuh dengan dalil-dalil, hafalan-hafalan, maka kesederhanaan dan
kemudahan agama itu akan berubah menjadi sesuatu yang sulit, rumit, dan
membingungkan. Akhirnya kita menjadi capek sendiri dengan keruwetan cara berfikir kita
itu.

Lalu bagaimana dengan As Sunnah…?.

Tentang As Sunnah ini, sebenarnya tidak kalah sederhana dan mudahnya dengan
kesederhanaan dan kemudahan muatan Al Qur’an seperti diatas. Karena memang As
Sunnah ini adalah contoh real dari muatan Al Qur’an itu sendiri yang memang telah
sederhana dan kemudian dilaksanakan oleh tangan orang yang sangat sederhana pula
(Sang Ummi), yaitu Muhammad Rasulullah SAW. Mudah sekali beliau menjalankan dan
masuk ke dalam suasana yang islami, damai, dan selamat itu.

Nah…, muatan dari As Sunnah itu pada dasarnya hanyalah untuk memberitahukan kita
contoh-contoh tentang bagaimana cara Muhammad SAW berhasil duduk diwilayah orang-
orang yang BERTAQWA seperti juga dengan Nabi-Nabi sebelumnya, dan bagaimana
berhasilnya Beliau dalam menjawab masalah-masalah umat manusia dengan menghasilkan
solusi-solusinya yang sangat mencengangkan. Jadi kandungan As Sunnah itu sebenarnya
lebih kepada muatan PROBLEM SOLVING nya dari pada muatan PERADABAN dan
KEBUDAYAANNYA.
Kenapa…?. Karena memang setting peradaban di dalam As Sunnah itu adalah peradaban
Bangsa ARAB di tahun enam ratusan yang memang sangat jauh berbeda dengan peradaban
bangsa-bangsa dunia lainnya saat ini. Bahkan jauh berbeda dengan peradaban bangsa Arab
yang ada sekarang ini. Sehingga boleh jadi saat ini kita masih bisa hafal dengan berbagai
hadist yang berkenaan dengan peradaban dan kebudayaan itu, akan tetapi pemakaian atau
pelaksanaannya sudah sangat sedikit sekali di tengah-tengah masyarakat kalau tidak mau
dikatakan punah.

Sedangkan cara-cara problem solving yang dipakai oleh Rasulullah di sepanjang hidup
Beliau, boleh dikatakan akan tetap relevan untuk dipakai sampai saat ini, bahkan untuk
masa-masa yang akan datang sekalipun. Boleh jadi cara-cara problem solving itu akan
mengalami perbaikan disana-sini ketika kita melintas zaman demi zaman. Akan tetapi RUH
atau SPIRIT dari problem solving itu akan tetap abadi. Karena memang masalah-masalah
yang dihadapi oleh umat manusia ini dari dulu sampai ke masa datang, ya… itu-itu juga.
Cuma kualitas, kuantitas, dan intensitasnya saja yang bertambah mengikuti perubahan
peradaban zaman.

Disamping itu…, ada cara-cara problem solving yang akan tetap bertahan, tidak lapuk
dimakan zaman. Yaitu cara-cara agar kita bisa cepat berada di wilayah keberserahan
dihadapan Allah seperti yang diinginkan oleh Al Qur’an, wilayah TAQWA. Cara-cara itu
adalah dengan melalui ibadah-ibadah tertentu seperti shalat, puasa, zakat, haji, dan
sebagainya. Walaupun kemudian dalam pelaksanaannya terjadi pula berbagai beberapa
perbedaan, ya… ndak masalah. Sepanjang perbedaan-perbedaan itu pernah dilakukan oleh
Rasulullah, ya… oke-oke saja sebenarnya.

Dan…, let me tell you a little secret…, bahwa dari sekian banyak ibadah yang telah
dicontohkan oleh Rasulullah, kembali shalat menjadi primadona teratas sebagai cara untuk
membawa kesadaran kita ke wilayah keberserahan diri dihadapan Allah. Do that lah…,
and you will find your indisputable destiny there. Karena memang shalat ini adalah
puncak pencapaian dari evolusi cara-cara beribadah umat manusia dari zaman ke zaman
dalam menyembah Tuhan. Karena ibadah shalat adalah sebuah ibadah yang di dalamnya
ada sisi logik dan sisi holistikyang bergerak silih berganti maupun secara bersamaan
membentuk gerakan cyclic rohani dan jasmani yang sangat sempurna dan luar biasa.

Secara sederhana kesempurnaan gerakan cyclic ini dapat digambarkan sebagai berikut:

Dimensi Logik dari shalat adalah berupa gerakan fisik, bilangan rakaat, dan
bacaan-bacaan yang sudah dicontohkan oleh Rasulullah sebagai hasil dari perjalanan
“isra’ dan mi’raj” Beliau. Pada tatanan dimensi logik ini boleh dikatakan tidak ada
bedanya sama sekali dengan kegiatan-kegiatan olah fisik lainnya. Malah gerakan-
gerakan pada olah raga tertentu boleh jadi punya pengaruh yang lebih baik dari
gerakan-gerakan shalat, terutama jika shalat itu kita lakukan dengan kecepatan
yang sangat cepat.

Sedangkan dimensi Holistik dari shalat adalah saat terjadinya perjalanan ruhani
kita (mi'raj) menuju ALLAH ketika shalat itu kita lakukan. Saat kita memuja
kebesaran Allah, maka kita benar-benar menyampaikan MUATAN pujaan itu kepada
Dzat yang kita sembah, bukan hanya sekedar mengucapkan pujaan itu dibibir saja.
Saat kita meminta dalam do’a, maka kita benar-benar menyampaikan MUATAN do’a
itu kepada Dzat yang kita sembah, bukan hanya sekedar mengucapkan permintaan
itu di bibir saja. Saat kita mengembalikan semua pujian kepada Allah, maka kita
benar-benar mengembalikannya kepada Dzat, bukan hanya sekedar ucapan
pengembalian di bibir saja. Begitu juga saat kita ruku dan sujud, maka kita benar-
benar merendah dan mendekat kepada Tuhan, bukan hanya sekedar bergerak-gerak
seperti bebek sedang minum.

Jadi di dalam saat shalat yang sempurna (khusyu’), akan terkandung kegiatan-
kegiatan dalam dimensi logik dan holistik secara simultan (terus menerus). Ruhani
saya menguasai tubuh saya, menguasai fikiran saya, dan menguasai emosi saya
untuk kemudian ruhani saya berlari menuju ke Tuhan. Dan karena saya berlari
menuju Tuhan Yang Maha Hidup, maka Dia akan memberikan respon-Nya saat
shalat itu juga.

Nah…, sesederhana dan semudah ini sajalah sebenarnya muatan Al Qur’an dan As Sunnah
itu untuk kita pikul dari generasi ke generasi. Karena nggak mungkinlah Rasulullah itu
mewariskan hal-hal yang rumit-rumit dan sulit-sulit buat kita. Nggak lah…!

Sedangkan MUATAN SISA dari sekian banyak ayat-ayat Al Qur’an dan Al Hadist adalah
anjuran agar kita ini, siapa saja tanpa kecuali,setelah mendapatkan ALAMAT bersandar
yang HAKIKI, untuk kemudian saling BERLOMBA-LOMBA menuju KEBAIKAN, FASTABIQUL
KHAIRAT. Maka seyogyanyalah kita umat manusia ini untuk saling berlomba-lomba
mengolah ALAM SEMESTA dan DIRI kita sendiri agar mendapatkan ilmu pengetahuan yang
lebih baik, teknologi yang lebih baik, ekonomi yang lebih baik, dan peradaban yang lebih
baik. Karena kita ini memang diturunkan ke muka bumi untuk menaburkan kebaikan demi
kebaikan kepada sesama umat manusia. Dalam suasana terburu kpun, taburkanlah
kebaikan. Janganlah membuat suasana yang telah buruk itu malah menjadi bertambah
buruk karena adanya kita. Apapun hasilnya, maka ambillah itu sebagai bahan pelajaran
buat kita dalam memperbaiki kualitas diri kita. Dan akhirnya kita tutup siklus perlombaan
menuju kebaikan itu dengan ungkapan SYUKUR ke alamat kita bersandar awal yang
HAKIKI tadi itu, untuk kemudian melanjutkan lagi kepada siklus kebaikan-kebaikan yang
lainnya.

Al Qur’an mengisyaratkan bahwa SUASANA umat yang berlomba-lomba menuju kebaikan


ini, fastabiqul khairat, dengan hasil terbaik pula, pernah diwujudkan oleh umat yang
berkarakter ULUL ALAB. Karakter Sang Duta Istimewa Tuhan sejati, bahwa:

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang
terdapat tanda-tanda bagi ULUL ALBAB (orang-orang yang berakal), (yaitu) orang-orang yang
mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka
memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah
Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa
neraka”, (Ali Imran 190-191)

Jadi kesederhanaan dan kemudahan ajaran Islam ini sungguh sangat jauh berbeda dengan
konsep-konsep pertapaan, meditasi, kesaktian, dan konsep-konsep sulit lainnya. Kalau kita
tidak mampu masuk ke dalam kesederhanaan dan kemudahan Islam ini, maka namanya
kita sedang tercover, tertutup, terhijab dari wilayah yang sangat sederhana dan mudah,
sikap yang sederhana dan mudah, dan perilaku yang sangat sederhana dan mudah. Artinya
ya…, kita akan menjadi orang-orang yang RUMIT di tengah-tengah kesederhanaan dan
kemudahan. Dan tutup kerumitan itu biasanya lebih banyak disebabkan oleh ilmu
pengetahuan kita sendiri. Sebuah tutup yang ternyata memang sangat sulit untuk kita
bongkar dan dudukkan pada tempatnya. Padahal ilmu pengetahuan itu pada hakekatnya
hanyalah sebuah alat dan carauntuk menuju kesederhanaan dan kemudahan dari hal-hal
yang sebelumnya rumit dan sulit. Dan sayangnya kita masih saja mencari-cari alat dan cara
itu kemana-mana, sehingga kita terjebak sendiri dengan berbagai alat dan cara itu.

Ya…, kita saling ribut dengan alat dan cara yang kita cari-cari sendiri itu. Padahal kita hanya
tinggal memakai yang sudah ada saja sebenarnya. Karena alat dan cara-cara untuk menuju
ke kesederhanaan dan kemudahan itu telah diwariskan kepada kita oleh Muhammad SAW
berbilang abad yang lalu. Dan itu masih relevan sampai saat ini dan saat yang akan datang.
Cuma sayang…, kita sebagai umat penerus Beliau saja yang tidak bisa meneruskan tongkat
estafet kesederhanaan dan kemudahan Islam, yang telah Beliau tinggalkan untuk kita,
dengan cantik kepada orang-orang di sekitar kita, apalagi untuk masyarakat dunia.

YANG TERCOVER…!.

Nah sekarang…, sudah gampang sebenarnya untuk menimbang-nimbang dimana posisi kita
masing-masing saat ini berada ketika kita menjalankan tugas kekhalifahan kita di muka
bumi ini. Apakah kita ini termasuk orang-orang yang sedang tercover atau tidak dari
sebuah kesederhanaan dan kemudahan pemahaman tentang hidup dan kehidupan ini.

Misalnya, tatkala kita tidak mampu untuk menyadari KESEDERHANAAN TUHAN yang
tidak sama dengan apapun juga (LAISA KAMISTLIHI SYAI’UN), yang Maha Dekat
(QARIB) dan Maha Meliputi Segala Sesuatu (MUHITH), maka saat itu pulalah kita
sebenarnya sedang tercovertentang Tuhan yang seharusnya. Akibatnya kita akan mencari-
cari Tuhan kemana-mana, mempersepsikan dan menggambarkan Tuhan sesuai dengan
fikiran kita masing-masing.

Ada diantara kita yang sampai pada kesimpulan bahwa Tuhan itu ternyata TIDAK ADA, yang
ADA adalah diri kita sendiri. Nah…, kesimpulan seperti ini dinamakan juga sebagai
kesimpulan seorang atheis. Pengetahuan tentang diri kita sendiri ternyata telah
menghalangi, mengcoverkesadaran kita tentang keberadaan Tuhan.

Ada pula diantara kita, yang karena ketidakberhasilan kita duduk di wilayah kesederhanaan
Tuhan ini, kemudian tersasar-sasar pada kesimpulan bahwa ada anak Tuhan atau bahkan
Tuhan itu sendiri yang bisa digambarkan dan dipersepsikan sama dengan suatu benda atau
makhluk. Lalu sesuatu yang dianggap sebagai anak Tuhan atau Tuhan itu kita sembah, kita
puja, kita tuju sebagai objek fikir dalam beribadah, dan kita mintai pertolongan pula.
Pemeluk agama Kristen, Hindu, Budha, dan agama-agama atau kepercayaan yang lainnya
adalah contoh tentang ketercoveran manusia dalam memahami kesederhanaan Tuhan.

Bahkan umat Islam sendiri juga sangat gampang untuk berada dalam wilayah ketersasaran
umat-umat agama lain seperti diatas. Indikatornya gampang saja untuk memahaminya.
Saat kita shalat, kemana kita hadapkan wajah kita ini. Kalau kita umat Islam ini tidak
mampu untuk menghadapkan wajah kita ke Wajah Tuhan, sehingga arah pikiran kita
menjadi tersasar-sasar kemana-mana, maka saat shalat itu juga sebenarnya kita tengah
menyembah tempat fikiran kita tersasar-sasar itu. Misalnya, saat kita mengatakan Allahu
Akbar…, Allah Maha Besar, akan tetapi saat itu pula fikiran kita tengah tertuju kepada suatu
benda atau permasalahan yang kita hadapi, maka saat itu juga benda atau permasalahan
kita itu sudah menjadi Tuhan kita.
Akibat dari tercovernya kita terhadap ALAMAT tempat bergantung kita yang sebenarnya
sangat sederhana saja, maka kita umat manusia ini secara otomatis akan menjadi terkotak-
kotak. Dan kotak-kotak yang tercipta itu jumlahnya adalah sebanyak fikiran dan persepsi
kita umat manusia ini yang mungkin ada. Karena terkotak-kotak begitu, maka ruangan
yang ada di dalam otak dan dada kita akan menjadi terasa sangat sempit. Sehingga sedikit
saja ruangan yang sudah sempit itu disentuh oleh persepsi lain yang berbeda dengan
persepsi yang sudah ada di dalamnya, maka kita akan menjadi sesak, tertekan, dan
akhirnya ngamukan.

Misalnya, betapa ngototnya kelompok orang-orang yang mengiklankan tentang Liberalisme,


Pluralisme, Sekularisme. Misalnya Ulil and his gangitulah. Mereka dengan gagah perkasa
mengatakan bahwa pemahaman Islam model lama sudah tidak relevan dan tidak bisa
dipakai lagi untuk sekarang ini. Mereka mengusung yang namanya universalitas agama.
Tidak ada keekslusifan satu agama lagi atas agama lainnya untuk masa-masa sekarang
maupun masa yang akan datang. Akan tetapi pada saat yang sama sebenarnya mereka
juga tengah berada dalam kesempitan berfikir yang amat sangat pula. Saat mereka
menyalah-nyalahkan, menghoyak-hoyak, menololkan orang-orang yang tetap berada dalam
kerangka berfikir salafus shaleh dalam memahami agama ini, maka secara otomatis pula
sebenarnya mereka sudah tidak menjadi universal lagi sebagaimana yang mereka
kobarkan-kobarkan selama ini. Pertanyaannya cuma sederhana saja : “Apakah dengan
semboyan liberalisme, pluralisme, sekularime yang ditawarkan model Ulil and his gang itu
sudah merupakan model yang teruji manfaatnya bagi umat manusia…?. Tidakkah usungan
mereka ini malah kemudian menyebabkan mereka terkotak pula di ujung KUTUB
PEMIKIRAN yang berseberangan dengan kotak kutub pemikiran lainnya?”. Kalau masih
terkotak-kotak begini, ya…, namanya masih belum universal-lah…!.

Begitu juga dengan MUI dan kelompok Islam mainstream lainnya. Pertanyaannya menjadi
sangat sederhana sekali. “Apakah memang tidak ada cara-cara lain lagi yang lebih apik
yang berbeda dengan cara-cara frontal masa-masa lalu yang telah berdarah-darah untuk
menyadarkan dan mengenalkan kembali umat Islam maupun masyarakat dunia umumnya
kepada keindahan dan kesempurnaan Islam ini…?”. Katanya Islam itu adalah rahmat bagi
alam semesta. Akan tetapi…, klaim kita bahwa Islam ini adalah ahli damai, ahli selamat, ahli
kebahagian dunia dan akhirat, ahli yang berakal, nampaknya masih sangat jauh panggang
dari api.

Cobalah kita amati dengan seksama cara yang apik tentang bagaimana praktek meditasi
bisa berkembang mendunia. Tanpa kita sadari, sudah berapa banyak umat Islam saat ini
yang ikut mempraktekkan ibadah agama lain berupa MEDITASI. Meditasi yang beredar luas
di seluruh dunia saat ini adalah ritual agama lain yang dengan sangat cerdas telah dirubah
bentuk menjadi sebuah praktek meditasi yang dianggap dan digembar-gomborkan sebagai
laku universal. Tidak terkait dengan agama apapun. Sehingga berbondong-bondonglah
umat manusia mempratekkannya, termasuk umat Islam sendiri. Sehingga jadilah umat
Islam yang seharus mengarahkan kesadarannya ke Allah, kemudian malah mengarahkan
kesadarannya kepada titik, kepada cakra-cakra, kepada benda-benda, atau alamat-alamat
olah fikir lainnya. Tanpa di nyana, kita umat Islam ini memang telah dijauhkan dari
kesadaran kita kepada Allah. Dan saya termasuk di dalamnya beberapa tahun yang
lalu. Astagfirullahal adhiem.
Ketidaksadaran kolektif kepada Tuhan seperti inilah yang banyak menghinggapi umat Islam
saat ini hampir di seluruh dunia. Walaupun kita umat Islam ini sangat-sangat fasih dalam
mengucapkan lafal ALLAH, akan tetapi ucapan itu tidak serta merta bisa membawa kita ke
SUASANA berada di Benteng Allah. Padahal kalau kita sudah berada di dalam Benteng Allah
itu, maka kita akan menikmati suasana yang sangat liberal, sangat universal, sangat plural,
sangat sekular. Tidak ada apa-apanya di sana yang perlu di BINDING, kecuali hanya Wajah-
Nya…, laa ilaha illa Allah…!.

Karena begitu banyaknya kita umat Islam ini yang tidak mampu berada di dalam Benteng
Allah ini, ya…, seperti kita-kita sekarang inilah jadinya. Ramai sekali. Beda paham sedikit
saja kita jadi mencak-mencak dan akhirnya nguuamuk, beda aliran saja kita jadi dongkol
dan akhirnya nguamuk, beda pendapat saja kita jadi kelimpungan dan akhirnya nguamuk,
beda sesembahan pun kita jadi ngamukan juga satu sama lainnya. Nguamuk…, ngamuk
lagi…!.

Dan anehnya lagi, ngamuknya kita itu malah sambil meneriakkan kalimat Allahu Akbar..,
Allah Maha Besar…!. Padahal kalimat Allahu Akbar itu, kalau kita tahu dan mengerti
maknanya yang sebenarnya, maka keadaan akan menjadi lain.

Begini…, ungkapan Allahu Akbar itu kan sebenarnya adalah ungkapan KESAKSIAN kita saja
atas realitas KEMAHABESARAN TUHAN. Wong yang namanya kita sedang bersaksi atas Dzat
Yang Maha Luas, Maha Besar, tentu saja secara otomatis pula otak dan dada kita akan
dibawa menjadi luas dan besar yang tak terhingga. Kesadaran kita akan di
giring mengarah kepada Yang Maha Besar gitu loh. Sehingga dalam keluasan fikiran dan
rasa itu kita kemudian mampu melihat kotak-kotak sempit fikiran orang. Kita seperti berada
di luar kotak-kotak fikiran orang itu, sehingga kita tidak ikut-ikutan ditarik-tarik oleh
kesempitan fikiran orang-orang yang memang sudah sempit begitu.

Dari wilayah keluasan fikiran dan rasa itu, kita seperti mampu untuk menyadari bahwa kita
seperti diluar permasalahan-permasalahan yang ada. Kita seperti menjadi pengamat dan
penyaksi saja atas permasalahan yang bermunculan bak cendawan di musim hujan itu
sambil menggumamkan kesaksian dan do’a kita:

“OOO… ada ya… yang begini, dan ada pula yang begitu…!.

Aaaa…, akibatnya ternyata akan begini ya… kalau kita seperti begitu…!.

Subhanaka…, Maha Suci Engkau Ya Allah.

Tidak sia-sia engkau persaksikan kesemuanya itu kepada saya. Ternyata


kesemuanya itu hanya untuk menjadi bahan pelajaran bagi saya, agar saya nggak
ikut-ikutan begitu…!.

Ya Allah…, ampunilah saya, ampuni jugalah mereka. Kan Engkau Sang Maha
pengampun.

Ya Allah…, hidayahilah saya, hidayahi jugalah mereka. Kan Engkau Sang Maha
Pemberi Hidayah dan sekaligus Sang Maha Penutup Hidayah….”.

Setelah menghantarkan pujaan dan do’a itu, tentu saja yang punya muatan, kita tinggal
menjadi pengamat saja tentang bagaimana cara Allah menyelesaikan masalah-masalah
yang muncul itu dengan sangat mengagumkan. Bagaimana Allah meletakkan Kehendak-Nya
ke dalam dada orang-orang tertentu sesuai dengan kapasitasnya masing-masing agar orang
tersebut bisa meredam suasana sehingga tidak memunculkan keadaan yang lebih buruk.
Atau kadangkala bagaimana Allah menarok Kehendak-Nya dan memberikan daya kepada
orang-orang tertentu untuk menghancurkan kelompok orang lain. Cool dan smooth sekali
rencana-rencana dan kehendak-kehendak Allah itu mengalir dari satu keadaan ke keadaan
lainnya. Hampir-hampir saja kita tidak dapat merasakan perubahan demi perubahannya,
sehingga membuat kita masih sempat pula mengakuinya sebagai rencana-rencana dan
kehendak-kehendak kita. “Kalaulah tidak karena saya…, Itukan rencana saya…, Saya lho
yang punya inisiatif…”, dan berbagai ungkapan kesombongan dan keangkuhan
lainnya…, bisa mengalir begitu FASIH dari mulut kita.

MEMBUKA COVER…

Muatan Al Qur’an dan Al Hadist adalah bagaimana agar kita umat manusia ini mampu
membuka suasana tercover, tertutup, terhijab, KAFIR terhadap Dzat Yang Maha Sederhana,
dan juga terhadap tugas kita di dunia ini yang sangat sederhana dan mudah pula. Karena
memang suasana tercover ini akan tetap dan selalu ada setiap saat.

Kesederhanaan dan kemudahan muatan Islam itu kalau diringkas kira-kira adalah begini:

1. Temukanlah, yaaa… temukanlah DENGAN SENGAJA kesadaran yang sangat


kuat, DZIKIR, BINDING, ANCHORING, TERJANGKAR terhadap SESUATU YANG
SANGAT SEDERHANA sebagai ALAMAT kita untuk BERSANDAR dalam setiap aktivitas
dan tarikan nafas kita. Saking sederhananya alamat tempat kita bersandar itu,
sehingga kita tidak perlu lagi untuk mempersepsikan-Nya seperti apapun juga.
DialahSang Laisa Kamistlihi Syai’un, ALLAH. Dia sangat dekat
(QARIB) dan meliputi segala sesuatu (MUHITH). Jadi nggak perlu dicari kemana-
mana.
2. Dengan tetap menjaga suasana TERJANGKAR ke alamat yang sangat sederhana ini,
berlomba-lombalah kita menemukan, mengolah, dan menebar kebaikan yang melekat
pada setiap ciptaan Tuhan, FASTABIQUL KHAIRAT. Karena memang semua ciptaan
Tuhan ini tidak ada sedikitpun yang sia-sia. Semua bermanfaat. Semua telah
diwariskan Tuhan kepada kita sebagai bahan pelajaran buat kita. Dan kesemuanya itu
kita lakukan dengan menggunakan fasilitas dari Tuhan pula. Fasilitas mendengar,
melihat, mengetahui, hidup, bergerak, yang memang telah diberikan Tuhan kepada
kita secara cuma-cuma pula.
3. Nah…, ketika kita mereguk manfaat demi manfaat yang mengalir tiada hentinya dari
alam semesta dan diri kita ini, kita tinggal tambahmemperkuat saja suasana
TERJANGKAR itu tadi dengan ungkapan SYUKUR. SUBHANAKA…, Maha Suci Engkau
Wahai Tuhan tempat-ku bergantung. Dan suasana BINDING kepada TUHAN itu akan
bertambah dan bertambah dari waktu ke waktu dengan adanya ungkapan syukur kita
itu. Artinya otak kita ini selalu dibawa, diafirmasi, diyakinkan, untuk selalu terbuka,
menganga, siap menerima pengajaran-demi pengajaran. Sehingga hampir secara
otomatis pula kita akan menjadi UNBINDING kepada segala sesuatu, apapun,
fenomena apapun, suasana apapun, kecuali terhadap tempat bergantung kita awal
yang memang sangat sederhana, Allah….!.
4. Dan langkah terakhir…, tinggal kita kirimkan pengharapan kita kepada Tuhan agar
semua manfaat demi manfaat yang telah kita dapatkan itu tidak menjadi sumber siksa
dan angkara murka bagi kita, bagi orang lain, dan bagi alam semesta ini.

Kalau sudah begini…, maka kita tinggal melangkah dengan tenang MENITI JEMBATAN
KESEDERHANAAN…, Shiraath al mustaqim, menuju our ULTIMATE DESTINY, sebagai Hamba
Tuhan, Khalifah Tuhan, Duta Istimewa Tuhan dimuka bumi ini.

Wallahu a’lam…

Wass

Deka
Kabel 16, Cilegon

09 Agustus 2005

INSAN KAMIL


Written by Administrator
Dalam serial artikel TIDAK TAHU saya sudah sampaikan bahwa arti hakiki dari kata INSAN (manusia)
adalah "nis yan, blank, tidak tahu, lupa". Nah sekarang akan saya bahas sedikit tentang istilah INSAN
KAMIL.

Khalayak biasanya mengartikan "insan kamil" sebagai MANUSIA SEMPURNA, MANUSIA PARIPURNA.
Sebagai aktualisasi dan contoh yang pernah ada hidup di permukaan bumi ini adalah sosok Rasulullah
Muhammad Saw. Tapi sayang sosok Nabi yang agung ini hanya dilihat dan diikuti dari segi fisik dan
ketubuhan beliau saja. Artinya Beliau hanya dilihat secara partial saja, padahal kita mau membicarakan
kesempurnaan beliau. Lalu berduyun duyunlah "pakar" Islam dari masa ke masa menulis, menganjurkan,
bahkan menjadi perintah yang hampir mendekati taraf "wajib", kepada umat Islam untuk mengikuti contoh
"perilaku" Nabi sampai kepada yang sekecil-kecilnya. Akan tetapi dari sekian banyak perintah itu
sayangnya "sebagian besar" hanya tertuju kepada mengikuti contoh perilaku FISIK Rasulullah, sehingga
begitu banyaknya kita lihat manusia dengan "atribut fisik" mirip Rasulullah. Tampilan fisik kita bukan saja
mirip dalam segi pakaian dan ciri ketubuhan lainnya, akan tetapi juga mirip dalam ritual dan gerakan-
gerakan bahkan bacaan-bacaan dalam ibadah beliau. Tapi, mudah-mudahan juga banyak dari umat
Islam yang sudah mendapatkan dan merasakan "hakikat (hal yang sebenarnya)" dari ibadah dan perilaku
Nabi ini. Namun banyak juga dari kita baru pada taraf meniru ciri-ciri fisik dan ketubuhan itu, lalu kita
sudah berani mengklaim bahwa "INILAH SAYA...!!, sekelompok orang yang menjalankan syari'at Islam".

Dalam atribut lain yang lebih "tak terlihat", beberapa pakar keislaman juga memperkenalkan masalah "ruhiyah, jiwa,
nafs" yang kemudian juga dicoba disandarkan kepada praktek di masa Rasulullah dan turun-temurun kepada umat
belakangan hari, misalnya:

 Ada yang memelihara derajat "kesambungan" (silsilah) cara atau laku beribadahnya yang
diyakini mereka berasal dari dari jalur Rasulullah turun ke Ali bin Abi Thalib dan lalu diwariskan
kepada mursyid-mursyid tertentu. Dari jalur Ali Bin Abi Thalib ini kemudian berkembang menjadi
puluhan tarekat dengan praktek yang sedikit berbeda disana sini. Hampir 40 aliran tarikat bermuara
kepada jalur Ali Bin Abi Thalib ini, misalnya Qadariyah, Rifa'iyah, Tijaniayah, dan sebagainya
(termasuk dalam kategori ini adalah mahzab atau aliran Syi'ah).
 Ada juga yang kesambungan sisilah ritualnya yang diyakini pemrakteknya berasal dari jalur
Rasulullah turun ke Abu Bakar dan kemudian kepada mursyid-mursyid dalam lingkaran tarekat
tersebut. Untuk jalur Abu Bakar ini hanya ada satu tarikat yaitu Naqsabandi.
 Ada juga yang terpengaruh dengan praktek riyadah yang dilakukan oleh Al Ghazali yang telah
menghasilkan kitab Ihya Ulumuddin yang fenomenal itu. Ulama-ulama terkini, walau kalau dilihat
secara sekilas hanya sebagai pengulangan-pengulangan saja, juga banyak yang mencoba
menyegarkan kembali pemikiran Al Ghazali ini, misalnya Sa'id Hawa, Sayyid Qutb. Pemikiran-
pemikiran mereka cukup bagus menurut saya.
 Tapi ada juga kelompok yang mengusung dan menjalankan pemikiran yang sangat ketat untuk
meniru perilaku fisik dan ketubuhan dan ibadah-ibadah Rasulullah dalam keseharian beliau.
Kelompok ini mulai "barangkali" dari Ibnu Taymiah sampai dengan pecahan-pecahan pemahaman
kelompok terkini seperti Salafi, Ahlusunnah, Wahabi, Hizbut Tahrir, Tarbiyah, Jama’ah Tablikh dan
sebagainya. Walaupun sekilas kelompok ini hanya meniru-niru secara fisik, ketubuhan, dan ibadah-
ibadah Rasulullah, tapi saya sangat yakin bahwa Insya Allah kelompok ini juga tidak kalah dalam hal
ruhiyah seperti Rasulullah.
 Saat Al Qur’an berbicara langit dan alam semesta, maka perhatikanlah langit dan alam semesta
itu dengan sungguh-sungguh, mulai dari memakai mata telanjang sampai dengan memakai teleskop
tercanggih. Silahkan. Sehingga ilmu tentang keangkasaan bisa kita dapatkan seperti yang diperoleh
oleh orang di Amerika sana.
 Saat Al Qur’an mengatakan intizar (meneliti), maka benar-benarlah kita melakukan penelitian itu
seperti ahli-ahli di Barat sana, tentang apa saja. Jadilah ahli kimia, fisika, dokter yang piawai
menangani penyakit. Kalau tidak maka kita akan sangat tergantung kepada pihak lain. Misalnya,
untuk meneliti SARS saja masih harus minta bantuan ahli-ahli di Amerika sana (gimana bisa kita mau
memboikot produk Amerika ya..??!!).
 Saat Al Qur’an berbicara perdagangan dan sekaligus tetap ingat kepada Allah, maka eksplorasi
dan jalankanlah perdagangan itu sama seperti orang Cina berdagang. Akan tetapi Al Qur’an
mengisyaratkan kita untuk mempelajari juga cara ingat kepada Allah sambil berdagang itu. Kalau
orang Cina saat mereka berdagang umumnya juga percaya kepada spirit atau ruh nenek moyang
mereka yang menaungi mereka. Dengan begini saja sudah sangat luar biasa hebatnya orang-orang
Cina itu dalam berdagang, apalagi kalau objek fikirnya adalah Allah. Seharusnya lebih luar biasa lagi.
 Saat Al Qur’an berkata perang, maka siapkanlah peralatan perang seperti si Amerika itu, dimana
dunia saat ini jadi serba takut dan "gacar (mencret)" mendengar nama Amerika. Padahal kalau sudah
kuat, baru kita bisa membuat orang lain jadi takut pula untuk main-main dengan kekuatan Islam.
Secarasunatullah, maka yang kuat akan menang. Akan tetapi tidak tertutup kemungkinan
munculnya sunatullah lain yang berbicara, banyak contohnya, bahwa yang lemah bisa
menghancurkan yang kuat. Masalahnya adalah bisakah kita mengguncang 'arasy Tuhan agar Dia
menurunkan sunatullah lain seperti saat Musa mengalahkan Fir'aun dulu, sama seperti Rasulullah
dan sahabat-sahabat dulu mengalahkan lawan-lawan Beliau yang berjumlah lebih besar..??. waman
yattaqillaha yaj'al lahu makhraja.....
 Saat Al Qur’an berbicara zakat, maka berlomba-lombalah kita agar bisa menjadi kaya, sehingga
zakat kita maupun infaq kita akan menjadi lebih banyak. Karena zakat
ternyata sama pentingnya dengan shalat. Karena keduanya (shalat dan Zakat) ternyata hampir
selalu disandingkan di dalam Al Qur’an. Betapapun rajin dan bagusnya kualitas shalat kita, akan
tetapi kita tetap miskin sehingga tidak bisa bayar zakat, maka kita artinya belum ngikutin mau-Nya
Allah.
 Saat Al Qur’an berbicara catat mencatat dalam perdagangan, maka matangkanlah ilmu akunting
seperti yang dilakukan akuntan-akuntan terkenal. Boleh-boleh saja diberi simbol-simbol Islam, seperti
yang ditekuni oleh Syafi'i Antonio misalnya, tapi jangan hanya sekedar ganti istilah saja.
 Saat Al Qur’an berkata jangan berpecah belah, maka buang tuh semua tetek bengek yang
menimbulkan perpecahan umat. Karena kalau terpecah belah seperti dunia arab dan masyarakat
Islam umumnya saat ini, walaupun dengan alasan yang sepele, maka tunggu saja kita hanya akan
berbentuk seperti buih.
 Saat Al Qur’an surat An Nisaa’ ayat 3 membolehkan beristri 4, atau 3, atau 2, atau 1 saja (kalau
tidak bisa adil). Maka silahkan saja anda coba-coba lakukan poligami itu dengan HANYA
berpedoman pada surat An Nisaa' ayat 3 ini. Akan tetapi kalau anda JUGA memakai landasan surat
An Nisaa' ayat 129 dengan tegas Allah mengatakan "Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku
adil di antara isteri- isteri (mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, ......", maka
silahkan juga anda mikir-mikir dulu untuk poligami itu. Karena bolehnya poligamia adalah untuk laki-
laki yang adil, sedangkan Allah sudahmensinyalir tanpa tedeng aling-aling bahwa kita tidak akan
pernah dapat berlaku adil, walaupun kita ingin sekali untuk menjadi adil. Lalu apakah poligami itu
boleh atau tidak...?. Jawabnya adalah "terserah anda". Sama seperti hukum-hukum lainnya, semua
hanyalah berupa kesepakatan-kesepakan manusia bersama belaka. Ini akan dibahas dalam topik
lain nantinya.
 Saat Al Qur’an berkata ADIL, maka lihatlah adil itu dalam perspektif hukum Tuhan (fitrah,
sunatullah), karena kalau dilihat dalam perspektif manusia, maka dunia ini penuh dengan
ketidakadilan. Akan tetapi kalau dilihat dalam perspektif hukum Tuhan, maka keadilan adalah segala
fasilitas yang disediakan Allah bagi tegaknya keamanan, keseimbangan, baik pada level nasional
maupun dunia. Khalifah Ali bin Abi Thalib pernah berkata:

Namun sayangnya semakin berkembang kelompok-kelompok ini dengan berbagai ragam pemahaman
masing-masing, ternyata TIDAK secara otomatis membuat CITRA Islam menjadi lebih bagus, baik dari
sisi pandang umat Islam sendiri (terutama bagi kebanyakan umat Islam yang tidak mendapatkan
informasi formal keislaman yang cukup) maupun dari sisi pandang pihak non-muslim hampir di seluruh
belahan dunia. Kondisi ini adalah sebuah paradoks yang perlu dicermati oleh umat Islam agar kita bisa
meningkatkan CITRA Islam itu sendiri.

Yang lebih memprihatinkan kita adalah semakin ketat kita meniru "hanya" ciri ketubuhan dan perilaku
"lahiriah" Rasulullah tampaknya semakin menjauhkan umat Islam dari ciri fungsi kekhalifahan umat di
muka bumi ini yaitu sebagai RAHMAT bagi alam semesta. Kita menjadi serba takut, terkungkung, terlena
dengan ciri-ciri yang kita usung itu. Bahkan banyak pula kita yang dininabobokkan oleh iming-iming
pahala, syurga, bidadari, naungan malaikat, dsb. Berbuat sesuatu di luar pakem tidak boleh, itu harus
begini, semua serba terpola ke masa lalu dengan kompleksitas yang sangat sederhana. Sehingga
sekarang dan sejak lama sekalipun, negara-negara dengan penduduk mayoritas Islam dan notabene
sangat kaya hanya sempat menjadi penonton di tanah airnya sendiri.

Akar masalahnya dimana.....?

Menurut saya sih akar masalahnya kembali ke sistem pengajaran dan pembelajaran umat.
Sebenarnya sudah sejak lama, sejak matinya rasionalitas, Al Qur’an hanya diajarkan oleh
AHLI SASTRA ARAB kepada umatnya. Coba perhatikan di diri kita pribadi saja. Yang dipelajari dari Al
Qur’an itu adalah seninya, balagah, tata bahasa, kiraat (seni baca), khat (seni tulis), keindahan bahasa Al
Qur’an, dsb. Coba lihat di pesantren, yang dikupas selalu saja kitab kuning yang kadangkala masalah-
masalahnya sudah kadaluarsa. Dari kecil sampai duduk di universitas itu-itu saja yang diajarkan kepada
kita walau dengan intensitas masalah yang sudah mulai meningkat. Akan tetapi kalau ditanya lebih lanjut
tentang ada apa dilangit, maka kita nggak bisa menjawab. Akhirnya kita hanya berpuisi "oh langit ada
apakah gerangan yang berada dipelukanmu...?".

Selanjutnya Al Qur’an itu hanya dihapal, dilagukan, dan diwiridkan dari menit ke menit karena doktrinnya memang
bahwa membaca Al Qur’an itu akan diberi pahala sekian banyaknya dan dinaungi oleh malaikat pula. Sebuah iming-
iming yang sangat menarik. Akan tetapi alasan-alasan itu lebih kepada absurditas saja sebenarnya. Ada juga yang
mempraktekkan perilaku untuk menjaga bacaan Al Qur’an secara konsisten sehingga selama dalam perjalanan kita,
misalnya diatas bis, kita asyik dengan bacaan Al Qur’annya kita demi tercapainya TARGET bacaan Al Qur’an kita itu.
Coba perhatikan dalam pengajian-pengajian umum. Saat pembukaan yang dimulai dengan pembacaan Al Qur’an,
semua kepala seakan menunduk dengan khusyu'. Tapi objek kekhusyu'annya sendiri entah kemana dan kepada apa.
Setelah bacaan ayat itu, kita kembali cengengesan, seperti tak ada bekasnya. Pura-pura saja sebenarnya.

Selanjutnya Islam diajarkan kepada umat hanya dalam bentuk hukum-hukum. Maka lahirlah ahli-ahli Islam yang
sebenarnya mereka hanyalah ahli dalam hukum (fiqih). Maka kemudian ahli-ahli hukum ini mau menghukumi sesuai
dengan pengetahuan mereka terhadap ilmu-ilmu yang BERKEMBANG DENGAN sangat PESAT, misalnya ilmu
ekonomi, ilmu pengetahuan, ilmu budaya, ilmu politik, ilmu psikologi dan sebagainya. Dimana sebenarnya ilmu-ilmu
itu adalah ilmu netral saja yang akan selalu berkembang sesuai dengan zamannya mengikuti SUNATULLAH.
Akibatnya ilmu-ilmu yang malah sampai-sampai dikategorikan sebagai ilmu keduniaan itu akhirnya menjadi terseok-
seok mengakomodir pengetahuan si hukum Islam dan si ahli sastra Arab yang nyaris tidak berkembang dari dulu
sampai sekarang.
Padahal maunya Al Qur’an itu adalah agar umat manusia mempelajari kandungan Al Qur'an itu se riil
mungkin, misalnya:

inna AlLâh yuqîmud daulatal ‘âdilah wain kânat kâfirah, walâ yuqîmud daulatadz
dzâlimah wain kânat muslimah. Allah akan tetap mendukung negara yang adil
sekalipun kafir, dan tidak mendukung negara yang zalim, sekalipun berislam.

ad-dunyâ tadûm ma‘al ‘adl wal kufr, walâ tadûm ma‘adz dzulm wal Islâm. Dunia
akan bertahan asal adil, meskipun berada dalam kekafiran, dan tidak akan bertahan
salam kezaliman meskipun disertai Islam.

Jadi hukum Tuhan mengenai keadilan itu hanya berupa hukum-hukum yang betul-
betul objektif dansederhana saja sebenarnya.

Sungguh banyak aktualitas Al Qur’an ini yang harus diwujudkan oleh umat Islam ini sebenarnya. Bukan
hanya terpaku kepada tekstual Al Qur’an dan hadist yang lumrah dan umum dipahami selama ini. Wake
up-lah semua.

Hasil memahami Al Qur’an tadi apa.........?

Hasilnya adalah pengetahuan yang akan membuat kita bertasbih dan bersyukur kepada ALLAH.
Sehingga semua praktek Islam itu menjadi RAHMATAN LIL ALAMIN. Gabungan semua keahlian-keahlian
diataslah yang diminta oleh Allah dipunyai oleh sebuah bangsa atau umat sehingga mereka bisa
menjalankan fungsikekhalifahan di dunia ini. Tapi khalifah bukan konsep khilafah menurut konsep Hizbut
Tahrir, NII, dan sejenisnya lho yang saya maksudkan disini (lihat juga nanti artikel tentang kekinian
daulah). Kalau semua sudah dipunyai dan diamalkan, maka baru kita bisa berkoar-koar untuk memboikot
produk Amerika dan konco-konconya. Kalau belum weleh-weleh...... itu namanya cuma ngomong doang.

Jadi AHLI Al Qur'an itu adalah ahli fisika, ahli kimia, dokter, ahli akunting, ahli psikologi, ahli politik, ahli sosial, ahli
budaya, ahli managemen, ahli SDM, ahli perang, dsb. Lalu ahli-ahli ini mewarnai kepiawaiannya dengan "tuntunan
dan bimbingan" ALLAH. Ini sebenarnya yang terpenting. Sehingga dia dengan keahliannya itu tidak berani
menganiaya orang lain, dia hanya ingin menjadi bermanfaat bagi orang lain.

Jadi ahli Al Qur’an itu bukanlah hanya sekedar seorang ahli satra Arab dan ahli fikih, yang dalam istilah
kita sekarang lalu disebut ULAMA. Lalu dengan titel ulama ini dia ingin membatasi dan mengatur gerak
maju ahli-ahli ilmu realitas diatas dengan pengetahuan sastra arab dan fiqihnya. Sudahlah begitu dia
begitu mudah menjatuhkan hukum sesuai dengan pemahaman dia yang sumbernya juga masih berupa
literatur masa lalu. Masih mending kalau literaturnya keluaran tahun-tahun terakhir. Tapi kebanyakannya
walau keluaran terakhir, tetapi usungannya masih sesederhana zaman dahulu kala itu.

Akan tetapi kalau perjalanan ahli-ahli ilmu pengetahuan diatas tidak bertemu atau bermuara dengan
tahap bersyukur kepada Allah, maka yangmuncul ternyata juga PETAKA. Londo Amerika dan Inggris
sekarang adalah contoh aktual petaka itu. Mereka biadab disatu sisi, yaitu sisi kemanusian dan
penghargaan terhadap bangsa lain, walau disisi lain mereka seperti menjadi rahmat bagi bangsa lainnya
juga. Disamping itu contoh lain adalah Emir-Emir Arab yang sangat kaya raya itu, sebenarnya mereka
hanyalah kambing congeknya Amerika saja demi kelanggengan DAULAH mereka sendiri. Kekakayaan
negara emir-emir dan raja-raja arab sana ternyata tidak serta membuat mereka menjadi menjadi bangsa
fenomenal yang mengguncang dunia.

Sebaliknya kalau hanya berdoa, bersyukur, wiridan (zikir...?), berpuisi menghiba terus, tanpa menemukan
kebahagia, kekayaan dan kekuatan apa-apa seperti jamaknya umat Islam saat ini, maka yang muncul
juga hanyalah KEDUNGUAN belaka. Huh saya malas memberi contoh untuk yang satu ini, karena begitu
menyedihkan.

Hal-hal dan problematika diatas baru dilihat dari segi yang paling fundamental dalam keislaman, yaitu
dalam memahami Alqur'an. Kalau diteruskan untuk melihat pemahaman HADIST pada umat Islam, maka
akan lebih menyedihkan lagi. Intinya adalah bahwa semakin banyak kita tahu tentang hadist maka
semakin mudahlah kita menjadi terpecah belah. Dan semakin sulit pula kita untuk memahami mana yang
paling benar diantara semua pemahaman hadist walau textnya sama sekalipun. Karena pada aktualnya
sangat sedikit orang yang sesuai dengan bunyi hadist-hadist tersebut, misalnya hadis tentang bid'ah,
keistimewaan ahlul bait, iming-iming pahala dan syorga, bahkan kedamaian sekalipun. Kalau bagi saya
sih hadist-hadist yang menyulut pertentang itu sudah saya tutup dengan spidol merah untuk kemudian
hanya menjadi kenangan sejarah saya saja, atau paling tidak untuk jadi bahan bacaan sejarah saja .

Begitu juga dalam pengajaran melalui kitab-kitab tua, misalnya riyadus shalihin, buku-buku tasawuf yang
banyak beredar dipasaran, Risalah Qusayriyah, dsb. Semua buku-buku itu memuat begitu banyak hadist
dan bahasan ulama-ulama terdahulu yang indah-indah. Dari pengajian ke pengajian, dari peringatan ini
keperingatan itu, materi yang diberikan nyaris sama dengan materi ratusan tahun yang lalu. Itu- itu saja
yang diulang-ulang. Tapi disitulah......sedihnya, sifatnya hanya teori saja, semua hanya wacana saja.
Prakteknya sungguh tertatih-tatih. Karena sekedar wacana memang sangat jauh beda dengan sebuah
praktek.

Akan tetapi pengetahuan tentang hadist itu lewat bacaan itu tidak mampu membuat orang lalu menjadi
sabar, takwa, khusyu, beriman yang sesungguhnya. Oleh sebab itu sebagai jalan keluarnya saya mohon
pertolongan saja kepada Allah untuk diajarkan-Nya menjadi orang yang sabar, takwa, rendah hati,
khusyu', dan berbagai kondisi kerohanian yang di beritahu oleh Al Qur’an. Begitu Allah mengajarkan HAL
diatas kepada kita, karena DIA memang RABBI (PENGAJAR) 'ALAMIN (alam semesta), maka
insyaallah kita akan senyum-senyum saja mengiyakan bahan bacaan atau pengajian mengenai sabar itu,
takwa itu, tawakal itu, khusyu' itu. Karena ternyata aktualitas itu memang indah sekali.

Jadi menurut analisa saya, selama ini umat Islam belum belajar tentang Al Qur’an dan keislaman yang
sesungguhnya. Kita baru belajar dan diajar tentang seni SASTRA arab, dan hukum-hukum (Fikih) yang
berbau Islam. Cilakanya ini malah sudah berlangsung dari ratusan bahkan ribuan tahun yang lalu. Dan
pelajaran-pelajaran itu sayangnya malah menjauhkan kita dari pengertian INSAN KAMIL yang
sesungguhnya.

Insan Kamil itu apa....?

Menurut pengertian bahasa, insan kamil adalah lupa sempurna, tidak tahu sempurna, blank sempurna.

Untuk pengertian insan "nis yan" (tidak tahu, lupa) dulu sudah saya bawakan kepada pengertian yang
akan membawa kita kekesadaran penelusuran sejarah keberadaan manusia, bahwa pada hakikatnya
manusia itu adalah tidak tahu apa-apa, tidak pintar apa-apa, tidak bergerak apa-apa. Hal ini dalam artikel
"tidak tahu" sudah dikupas tuntas. Tetapi dalam istilah "insan kamil" Allah mensyaratkan sesuatu yang
lebih dari hanya sekedar insan yang lupa, blank, tidak tahu. Allah mensyaratkan agar manusia kembali
kepada kesejatian dirinya seperti saat penciptaan permulaan, setelah itu baru dia KEMBALI (menghadap)
kepada-Nya.

Dalam Al A'raf 29: Katakanlah: "Tuhanku menyuruh menjalankan keadilan". Dan (katakanlah):
"Luruskanlah muka (diri) mu di setiap shalat dan sembahlah Allah dengan mengikhlaskan keta`atanmu
kepada-Nya. Sebagaimana Dia telah menciptakan kamu pada permulaan (demikian pulalah) kamu
akan kembali kepadaNya)".
Rasulullah sendiri dalam atribut insan kamil ini disebut sebagai seorang "ummi". Sayangnya kita selama
ini diajarkan bahwa arti "ummi" ini adalah Rasul yang tidak tahu tulis dan baca. Itu saja. Padahal
pengertiannya lebih dari itu. Ummi itu, Insan Kamil itu adalah suatu keadaan atau suasana dimana
semua pengakuan Nabi telah luruh ketitik NOL. Luruh semua ilmu Beliau, luruh semua keangkuhan
Beliau, luruh semua atribut Beliau menjadi "yang blank sempurna, yang tidak tahu sempurna". Ya…,
seperti kita baru lahir itulah. Seperti Bayi. Kalau sudah begitu, maka YANG ADA hanyalah Yang Maha
Sempurna, Yang Maha Tahu, Yang Maha Cerdas, Yang Maha Bergerak. Dan Dialah Yang membimbing
Rasulullah setiap saat. Sehingga Al Qur’an menyatakan:

Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya), (an Najm 4)

Seandainya dia (Muhammad) mengada-adakan sebagian perkataan atas (nama) Kami, Niscaya benar-benar kami
pegang dia pada tangan kanannya. Kemudian benar-benar Kami potong urat tali jantungnya. Maka sekali-kali tidak
ada seorangpun dari kamu yang dapat menghalangi (Kami), dari pemotongan urat nadi itu. , (Al Haaqqah 44-47)

Kemudian untuk mencapai titik Insam Kamil ini, Allah berfirman dalam Thahaa 12 "Sesungguhnya Aku
inilah Tuhanmu, maka tanggalkanlah kedua terompahmu; sesungguhnya kamu berada di lembah yang
suci, Thuwa".

Tafsiran ayat mengenai "kedua terompahmu ini" sungguh beragam, karena ayat ini termasuk ayat
mutasyabihat. Ada yang mengartikan "kedua terompah" itu dengan menyiksan badan (tubuh) dan jiwa.
Silahkan saja tafsirkan menurut kemampuan kita masing-masing. Akan tetapi menurut saya pribadi,
pengertian kedua terompah diatas adalah segala atribut yang mengganduli dan mengganggu proses
kembalinya kita ke kondisi awal penciptaan, kondisi tidak tahu, kondisi tidak meng-aku, kondisi blank,
kondisi bayi, dalam MENGHADAP (kembali) kepada Tuhan.

Artinya, posisi insan kamil disini adalah memenuhi tanda-tanda sebagai berikut:

Si lupa sempurna menghadap kepada Yang Ingat Sempurna,

Si tidak tahu sempurna menghadap kepada Yang TAHU Sempurna,

Si mati sempurna menghadap kepada Yang Hidup Sempurna,

Si bodoh sempurna menghadap kepada Yang Cerdas Sempurna,

Si blank sempurna menghadap kepada Yang MAHA Sempurna................

Karena sudah tidak ada pengakuan diri yang tersisa, tidak ada pengklaiman ini aku…, ini aku…, maka
denga PASTI Sang Insan Kamil akan DIALIRI oleh Rasa Tahu yang HAKIKI, Rasa Ingat HAKIKI, Rasa
Hidup HAKIKI, Rasa Cerdas yang HAKIKI, dan rasa-rasa HAKIKI lainnya oleh Yang Maha Sempurna itu.
Dia akan menjadi orang yang tidak tahu, tapi tahu, Dia akan mejadi orang yang ummi, tapi cerdas,
Sehingga kalau sudah begitu maka kita akan punya "kesadaran"ikut apa mau-Nya Allah tanpa reserve:

Hadist Qudsi mengusyaratkan posisi ini sebagai (terjemahan bebas):

"......Kalau dia berbicara maka dia berbicara dengan lidah Allah,


kalau dia berjalan maka dia berjalan dengan kaki Allah...."

Dan Al Qur’an mengisyaratkan pula:


"... bukan engkau yang membunuh saat engkau membunuh, tapi Allahlah yang membunuh.
Bukan engkau yang melempar SAAT engkau melempar, tapi Allahlah yang melempar...".

Akan tetapi, tatkala si INSAN (si kopong) mencoba "mengaku" sedikit saja, maka:

 Saat si kosong mengaku pintar, maka dia akan terhijab, akibatnya dia hanya dilewati aliran pintar
sebesar yang dia tahu, sehingga dia akan tersiksa kalau ada orang lain yang mengaku lebih pintar
dari dia.
 Saat si kopong mengaku paling benar sendiri, maka dia akan terhijab, akibatnya dia hanya
dilewati aliran benar sebesar yang dia benar itu, sehingga dia akan tersiksa kalau ada orang lain
yang mengaku lebih benar dari dia.
 Saat si bodoh mengaku tahu, maka dia akan terhijab, akibatnya dia hanya dilewati aliran tahu
sebesar yang dia tahu, sehingga dia akan tersiksa kalau ada orang lain yang mengaku lebih tahu
dari dia.
 Yang sangat dahsyat siksanya adalah saat si "tiada" mengaku "ada" (eksis), maka dia akan
terhijab, lalu dia INGIN bersatu (melebur, wihdatul wujud) dengan YANG ADA. Artinya ada dua entity
yang melebur menjadi satu. Bahkan ada yang sampai mengaku bahwa YANG ADA itu beremanasi
kepada yang "tiada", duh tersiksanya.......... !!!. Padahal wayang ngak mungkin bersatu dengan
sang dalang. Hancur tuh wayang kalau coba-coba untuk itu, seperti hancurnya bukit thursina dan
pingsannya nabi Musa saat Musa hanya sekedar mau "melihat" Yang Ada itu dengan mata dan
persepsinya sendiri. But believe me, bahwa disini juga adalah daerah enak dan nikmat yang luar
biasa......!!!. Yang membuat "seorang pejalan" tersangkut dan terbelenggu, sulit untuk melepaskan
diri.

Oleh karena si insan-insan ini saling mengaku, berusaha "memblok, menahan, mengecilkan" TAHU
Yang Maha Sempurna hanya sebesar dan sepersepsi si manusia itu sendiri, maka insan-insan ini lalu
menjadi saling merusak dan saling tersiksa karena pengakuan-pengakuan mereka itu. Peng-aku-an inilah
sumber kekacauan dan konflik dunia maupun pribadi-pribadi selama ini.

Insan Kamil, memang sebuah realitas (haqqul yakin) idaman.......

Caranya mendapatkannya.......????

Ya praktek......!. Just do it....!. Jangan hanya berteori dan berwacana terus, atau jangan juga merasa
bingung terus......!.

Realitas insan kamil inilah sebenarnya yang selalu kita dengung-dengungkan dalam setiap shalat:

Inni wajjahtu wajhiya lilladzi fatarassamawati wal ardhi hanifammusliman wama ana minal
musyrikin Inna shalati wanusiki wamahyaya wamamati lillahirabbil 'alamin.

Pertama hadapkan dulu fokus dan objek fikir kita kepada "wajah-Nya". Luruskan fokus dan objek fikir itu
hanya kepada wajah-Nya, tidak melenceng (tidak syirik) sedikitpun. Lalu ikrar bahwa shalatku ini,
ibadahku ini, hidupku ini, matiku ini untuk ALLAH. Berserah TOTAL kepada Allah, hilangnya semua peng-
aku-an kita.

Lalu plakkkk......., berserahlah mengikuti "mau-Nya" ALLAH....!!


Maka shalat kita akan menjadi sarana istirahat, sarana menyembah dan dialog dengan-Nya, sarana
"kembali" (mi'raj) kepada-Nya, innalillahi wa inna ilaihi raji'uun, belajar mati. Andaikan saat
itu "nyawa" dicabutpun ya relakan saja.......!!!

Subhanallah....!

DEKA

FASILITAS VIP TANPA HISAB




Written by Administrator

Judul di atas kedengarannya cukup bombastis juga untuk ukuran kita saat ini. Karena selama
ini pengetahuan yang sampai kepada kita adalah tentang sebuah fasilitas konvensional dalam
"perjalanan" keberadaan manusia yang penuh dengan alur penderitaan menuju akhir yang
bahagia (syurga).
Fasilitas konvensional "kembalinya" perjalanan manusia ini dapat diurai secara ringkas
sebagai berikut:
A. A.Proses Konvensional Kembali Yang SALAH:
 Sebelum "matinya", manusia sudah mengalami berbagai SIKSA mulai dari sakit ringan
sampai dengan sakit berat yang mematikan. Akhirnya si manusia MATI. Artinya siksa fisik
sudah tidak dirasakan lagi oleh "diri kita". Misalnya jika saat sudah mati itu kaki kita dicopot,
atau tubuh saya dimakan ulat, maka saat itu saya tidak merasakannya lagi.
 Alam "kubur", alam kubur juga merupakan tempat "siksaan", banyak hadist-hadist yang
menceritakan betapa dahsyatnya siksa kubur ini. Silahkan dilihat
 Alam Mahsyar, disini pun ternyata siksa juga, dst
 Neraka, tempat ini juga merupakan alam siksaan yang maha dahsyat.
Nah siksa-siksa ini adalah untuk orang-orang yang tidak mengetahui posisi tempat
kembalinya ke tempat yang seharusnya.. Dan banyak sekali ayat Al Qur'an yang
menyatakan bahwa SIKSA itu KEKAL. "Hum fiha khaaliduun". Tapi hadist dan cerita-cerita
pengajian mengatakan bahwa siksa itu akan berakhir jika kita berhasil melewati "jembatan
yang lurus, tipis sekali", setelah itu kita akan masuk syorga yang ada diseberangnya.
Padahal Al Qur'an menyatakan itu KEKAL...... Ah bagaimana ini...?. Apa penyebab dari
proses kembali yang salah ini, silahkan lihat kembali di Al Qur'an dan hadist.
A. B.Proses Konvensional Kembali yang Benar.
B. Gugur dijalan Allah
C. Orang yang “kembali kepada Allah” saat ditimpa MUSIBAH (Al Baqarah 156) (yaitu) orang-
orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan, "Innaa lillaahi wa innaa
ilaihi raaji`uun"
D. Orang yang “kembali kepada Allah” saat SHALAT.
E. 1.Fasilitas Syuhada.
F. 2.Fasilitas lewat "Musibah"
G. 3.Fasilitas SHALAT
Dan orang-orang yang beriman serta beramal saleh, mereka itu penghuni surga;
mereka kekal di dalamnya. (Al Baqarah 82, dan banyak lagi yang lain).
Proses ini walaupun benar tapi masih dianggap konvensional, karena proses ini masih
melalui tahapan "alam-alam" yang sarat dengan siksa, akan tetapi untungnya mereka sudah
tidak merasakannya sebagai siksa lagi. Misalnya huru-hara duniawi, alam kubur, alam
mahsyar. Akan tetapi mereka dalam perlindungan Tuhan, TIDAK MERASAKAN siksa itu.
Muaranya adalah SYURGA, sebuah tempat kembali yang KEKAL juga.
FASILITAS KEMBALI VIP
Akan tetapi dalam Al Qur'an ada disediakan Allah fasilitas VIP "jalan kembali". Tetapi kembali itu
menuju TEMPAT kembali yang sebenarnya, yaitu DI SISI TUHAN.
Fasilitas VIP itu adalah (paling tidak) :
Dan janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan
mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezki. Mereka dalam keadaan
gembira disebabkan karunia Allah yang diberikan-Nya kepada mereka, dan mereka
bergirang hati terhadap orang-orang yang masih tinggal di belakang yang belum menyusul
mereka, bahwa tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka
bersedih hati. (Ali Imran 169-170)
Ditambah lagi Ayat 154 Al Baqarah:
Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah, (bahwa
mereka itu) mati; bahkan (sebenarnya) mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya.
Ada yang mau membedah ayat-ayat ini ...?. Silahkan. Masalahnya adalah bagaimana gugur
dijalan Allah itu bisa dibedakan dengan mati konyol, atau mati karena sudah bosan dengan
problematika hidup lalu pura-pura ikut berperang supaya bisa mati.
Dan mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan (mengerjakan) shalat. Dan
sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu`,
(yaitu) orang-orang yang meyakini, bahwa mereka (saat shalat itu) menemui Tuhannya, dan
bahwa mereka (saat shalat itu) kembali kepada-Nya. (Al Baqarah 45-46)
Nah pantas saja wali-wali Allah dulu sering berkata yang membingungkan kita bahwa mereka
tidak ingin syurga dan sekaligus juga tidak kuat masuk neraka. Yang mereka inginkan adalah
"Kembali Kepada Allah". Karena "Aku adalah dari Allah, milik Allah dan akan kembali kepada
Allah".
Kalau tidak kembali kepada Allah maka itu namanya golongan tuli, bisu, dan buta seperti kata Al
Baqarah 18 : “Mereka tuli, bisu dan buta, maka tidaklah mereka akan kembali (laa yarji'un)”.
Lalu bagaimana aktualisasi fasilitas "kembali kepada Allah" itu dalam keseharian kita...? Baik
dalam menghadapi "musibah", maupun saat melaksanakan shalat..????.
Perangkat deteksi dini apa yang kita punyai untuk mendeteksi apakah kita itu berada pada jalur
konvensional yang salah, atau jalur konvensional yang benar, atau malah sudah mulai tertatih-
tatih di jalur VIP ini ???.
Mari kita bahas secara kilat ke tiga fasilitas VIP ini.
Fasilitas VIP tanpa hisab melalui proses "gugur di jalan Allah" mungkin tidak dibahas dulu
disini, karena fasilitas ini adalah sebuah fasilitas yang sangat tergantung kepada niat
(motivasi) kita dalam berjuang di jalan Allah itu. Insya Allah kalau gugurnya hanya dalam
memperjuangkan "simbol keberadaan kelompok", bukan dalam memperjuangkan
"TAUHID", maka saya sih menganggap mereka masih gugur sia-sia saja, atau gugur karena
putus asa. Gugur dalam hal begini sih masih emosional sifatnya, belum spiritual-spiritual
acan. Orang yang selalu memupuk emosionalnya dari waktu, detik, masa, maka suatu saat
akan meledakkan emosi tersebut menjadi tindakan "nekat" demi sang pemicu emosinya itu.
Walaupun kadangkala dalam emosinya itu sipelaku menyebut "Allahu Akbar", tapi karena
posisi atau "arahnya" hanya menurutkan emosi dan "hasutan" tingkat tinggi saja, maka
fasilitas VIP ini sih kayaknya masih jauh panggang dari api.
Akan tetapi jika posisi jalan Allah yang dibela itu betul arahnya, niatnya lurus (hanief), maka
fasilitas VIP tanpa hisab itu insya Allah akan dilalui oleh sang syuhada (sang penyaksi).
Sang syuhada akan KEMBALI KE SISI ALLAH........, tanpa hisab. Insya Allah Palestine,
Ambon, Poso, Afganistan, Uhud, Khandak, dan perang-perang lain untuk menegakkan
ketauhidan telah melahirkan banyak sekali para syuhada ini. Sedangkan Perang Onta dan
sejenisnya telah melahirkan pula sejarah gelap Islam. Dua belah pihak (syiah dan
ahlussunnah) telah berjasa menorehkan sejarah hitam ini. Sayangnya sejarah gelap ini
dipelihara terus oleh pengusungnya yang malah digemborkan akan sepanjang masa. Pintar
sekali memang iblis itu. Si iblis itu masuk lewat kata-kata ulama, lewat orang yang bahkan
rajin menyebut nama Allah (tapi arah ihsannya menerawang). Salahnya sih melawan iblis
dengan ucapan "audzubillahi minasysyaitan nirrajim". Kalau mau lepas dari gangguan iblis,
maka masuklah kedalam "benteng" perlindungan Allah seperti masuknya kita ke dalam
benteng "For de Cock" di Bukittinggi sana. Bukan hanya menyebut "aku berlindung....".
Masuk benteng manusia saja kita sudah merasa aman dari gangguan manusia lainnya.
Apalagi masuk benteng Allah, huh..... subhanallah.......!!.
Fasilitas kedua ini sebenarnya masih lebih real dari fasilitas syuhada di atas. Karena
musibah merupakan peristiwa yang akrab dengan keberadaan manusia. Manusia seperti
tidak dapat bersembunyi dari jangkauan jari-jari musibah ini. Allah menurunkan musibah itu
kepada siapa yang dikehendaki Nya. Bisa musibah dalam bentuk kesenangan, atau bisa
juga dalam bentuk penderitaan. Kunci yang coba diungkapkan Al Qur'an adalah bahwa saat
mendapatkan musibah itu apa yang kita perbuat.
Ayatnya mengatakan "(yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka
mengucapkan, "Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji`uun".Pertanyaannya adalah apakah
prosesi ini hanya sekedar ucapan lisan atau lebih dari itu. Melihat ayatnya yang memuat
pengakuan bahwa "saya adalah milik Allah dan kepada-Nya saya kembali", maka bentuk
musibah ini juga adalah fasilitas VIP yang akan membawa kita "kembali" ke sisi Allah.
Pada artikel yang lain telah saya bahas juga bagaimana orang yang mewakilkan dirinya
kepada Allah akan dibuatkan jalan keluar dari masalah-masalahnya. Kenapa...? Ya....,
karena mereka saat mendapatkan persoalan itu mereka kembali kepada Allah, mi'raj.
Nah kalau tidak kembali kesisi Allah (laa yarji'uun) saat mendapatkan musibah apa yang
bakal kita dapatkan...? Masalah ini akan dibahas dalam artikel berikutnya (Deteksi Dini
Syurga & Neraka).
Fasilitas VIP melalui shalat ini adalah sesuatu yang sangat-sangat dekat dengan keseharian
kita. Betapa kita setiap saat membaca: "Inna shalati wanusuki wamah yaya wamamati
lillahirabbil 'alamin", sebuah kondisi patuh TOTAL kepada ALLAH dan hanya TERTUJU
untuk ALLAH dalam setiap saat dan kondisi. Posisi seorang BAYI saja sebenarnya. Posisi
tumbuh-tumbuhan dan posisi alam semesta terhadap ALLAH sang Khalik. Tapi sayang kita
hanya terlalu sering mengucapkannya saja. Tapi kenyataannya fikiran dan perasaan kita
masih ngelibet berputar-putar. Padahal dalam shalat itu ada realitas bertemu dengan Allah
dan saat itu juga kita kembali kepada-Nya (ilahi rajiun). Kembali kesisi ALLAH. Artinya
apa...? Sebuah realitas praktek atau latihan "KEMATIAN.........." saja sebenarnya. Bukan
hanya sekedar ingat dan mengingat-ingat akan kematian, tidak sebatas ANGAN-ANGAN
saja.
Dalam shalat inilah sebuah ungkapan "Kalau bisa diperlama kenapa harus
dipercepat" ternyata bisa dipakai dengan hasil yang maksimal. Shalat Magrib 45-50 menit
kemudian disambung dengan Isya ternyata memang asyiiiik dan nggak ada kebosanan atau
fikiran liar yang mengganggu.
Ternyata shalat adalah untuk melatih posisi kembali kepada ALLAH, posisi melatih
KEMATIAN, sehingga saat menerima musibah kita bisa dengan cepat kembali kepada-Nya.
Shalat juga akan melatih kita untuk tidak gamang dalam berjuang dijalan Allah, walaupun
tantangannya mati.
Shalat menyiapkan pribadi-pribadi yang siap kembali kepada Allah dan siap untuk tidak
kembali lagi ke dirinya sendiri (MATI).
Duhai... Allah kapan hamba mau dipanggil kesisi-Mu.....?. Hamba siap Ya Allah........
Pantas shalat digambarkan sebagai tiangnya agama....!! Tapi untuk melatih proses kembali
ini harus jelas posisi kemana ARAH atau TUJUAN kita kembalinya itu......! Sudahkan anda
tahu posisi atau tempat kembali itu...?
Kembalilah kepada Sang Ahad, kembalilah kepada Sang "Nyata (dzhahiru)" dan Sang "Gaib
(bathinu)"

Siapkah Anda....?
DETEKSI DINI NERAKA ATAU SIKSA


Written by Administrator

Pernyataan bahwa neraka, siksa atau tidak siksa di akhirat nanti bisa dideteksi dini sejak
sekarang mungkin agak menantang arus mainstreamyang bergerak di masyarakat. Tapi
pernyataan bahwa "Kita masuk neraka atau tidak masuk neraka itu bisa dideteksi sekarang ini"
merupakan sebuah alat kontrol pribadi yang cukup punya pengaruh signifikan bagi manusia.
Jadi masalah masuk neraka atau tidak neraka itu bukan GAMBLING lagi.
Dasarnya apa....? SHALAT....!.
Dengan SHALAT orang SEHARUSNYA sudah bisa mendeteksi bahwa saya akan tersiksa atau
tidak. Jangan itu hanya harapan-harapan saja bahwa semoga saya nanti tidak tersiksa.
Sekarang saja bisa diketahui sebenarnya. Sekarang ini bagaimana..?. Ada masalah sedikit
(relatif) saja sudah gelisah. Itu sudah siksaan sebenarnya. Gelisah itu, atau punya masalah itu
kan kecil hakikatnya. Yang diombang-ambingkan adalah PERASAAN kita, HATI kita. Itu saja
sudah sakit rasanya bahkan bisa mati akibatnya. Tambahan lagi ada yang dengan sengaja
menimbulkan kemarahan dan benci dihatinya. Huh......., barang yang kecil begitu saja sudah
menimbulkan siksa di diri kita atau membuat kita kelimpungan. Padahal Rasulullah
menggambarkan SIKSA akhirat itu lebih dahsyat lagi.
Sesungguhnya wali-wali Allah itu dia tidak merasa khawatir dan tidak merasa takut.
Khawatir itu ada dimana..?. Di DADA.
Musibah itu ada dimana..?. Di HATI.
Sehingga wali-wali Allah itu PULANG, “innalillahi wainna ilaihi raji'un". Jadi wali-wali Allah itu
"kembali ke Allah".
Dia tinggalkan tempat gelisah itu, dia tinggalkan tempat neraka itu, HATI. Mereka pergi ke Allah.
Kenapa...?.
Karena dada, shuduur, hati itu adalah TUNGKU PERAPIAN di dunia ini. TUNGKU
KEGELISAHAN itu ada di dada ini. Tungku itu yang membuat kita gelisah, tersiksa, tertekan,
terombang-ambing. Lihat juga artikel "TIDAK TAHU" tentang tersekat di aliran rasa. Nah
seorang wali atau kekasih Allah ketika dia merasakan pengaruh jelek di tungku itu, maka dia
tinggalkan tungku itu. Karena disitu bukan tempat mereka.
Kalau begitu dimana tempat mereka...?. Innalillahi wainna ilaihi raji'un..., tempat mereka disisi
TUHAN. Mereka berada "dekat" dengan ALLAH.
Pada posisi di sisi Tuhan ini, maka tidak ada rasa gelisah, tidak ada rasa khawatir. Itulah posisi
tempat keberadaan Nabi-Nabi, wali-wali Allah. Keadaan ini paling tidak untuk memberikan
gambaran kepada kita bahwa kita itu masuk neraka atau tidak...... Makanya seorang syuhada
(sang penyaksi) tidak mendapatkan siksa kubur, dia tidak di hisab, sehingga dia lepas langsung
ke sisi Allah.....
Nah, kenapa kita tidak pakai fasilitas VIP ini? Kenapa kita harus pakai fasilitas konvensional?
Anda harus merasakan sakit dulu di tubuh kita, yang merupakan siksa pertama. Kemudian
tubuh ini kita tinggalkan. Kita nggak terasa lagi bahwa tubuh kita dimakan ulat, dimakan anjing,
atau kanker ganas, karena kita sudah tidak berada lagi di tubuh itu. Lalu kita masuk ke alam
kubur, alam barzah. Ketika di alam barzah itu saya nggak tahu lagi bahwa tubuh saya sudah
dimakan ulat, tinggal kerangka, karena saya bukan berada di tubuh itu lagi.
Masalahnya adalah kenapa harus berada di barzah. Di barzah itu ada siksa. Ada neraka.
Harusnya bagaimana....?. Kita tinggalkan barzah itu. Innalillahi wainna ilaihi raji'un. LEPAS
MENUJU ALLAH. Karena saya berasal dari Allah, maka saya kembali kepada Allah. Prinsip
inilah yang dipakai untuk mendeteksi siksa neraka atau tidak. Jangan GAMBLING. Jangan
pakai hitung-hitungan. Waaa…..., saya sudah melakukan ibadah ini, saya sudah wirid ini, saya
sudah binding ke sana sini. Biar saya tersiksa, biar saya gelisah, biar saya tertekan didunia ini,
asal NANTI di akhirat nggak tersiksa. Wooo...., itu MENGKHAYAL namanya. Cirinya itu ada
disini, didunia ini.
Padahal di dunia ini belum ada apa-apanya. Sampai-sampai Rasulullah menggambarkan begitu
dahsyatnya siksa akhirat itu. Di sini saja, di dunia ini saya sudah tidak kuat, apalagi di sana....
Masalah anak, istri, pekerjaan, masa lalu yang gelap dan berdarah-darah saja masih membuat
kita terombang-ambing nggak keruan.
Nah "Latihan tanpa Hisab itu apa.....? SHALAT.
Target atau motivasinya ada.... ? Tanpa hisab, mi'raj. Fasilitasnya ada kok disediakan Allah.
Kontrolnya apa....? Coba lihat dalam satu hari ini, walaupun saya sudah shalat, apakah saya
masih gelisah, tersiksa, ngedumel, atau sudah "la khaufun 'alaihim walaa hum yahzanuun".
Kalau masih gelisah, tersiksa, maka saya berarti masih DEKAT ke NERAKA.
Maka latihlah terus, berusahalah terus untuk menganggalkan alam-alam siksa itu sehingga
HANYA ALLAH yang kita tuju.....
Innalillahi wainna ilahi raji'un.........
KOSONG...... NOL......
DEKA

Bohong Berbuah Bohong




Written by Administrator

Bohong

Sebenarnya, seringkali kita bingung sendiri bahwa kita ini kok sangat mudah sekali berbohong dalam
kehidupan kita. Akan tetapi sayangnya kebingungan kita itu masih pada taraf pertanyaan bingung-
bingungan pula. Ya…, bingung bohongan juga sebenarnya. Selama ini yang kita namakan kebohongan
itu masih terbatas hanya pada perbuatan dan perkataan kita yang berhubungan dengan masalah-
masalah muamalah (hubungan kemanusiaan) sehari-hari saja. Misalnya, kita dengan sangat mudah
berbohong-bohongan dengan teman, dengan keluarga, dengan istri/suami, dengan anak, dengan orang
tua, dengan bawahan, dengan atasan, dengan rakyat, dengan pemimpin, dan sebagainya. Bahkan kita
dengan sama mudahnya mampu pula untuk membohongi diri kita sendiri, sehingga kadangkala kita
bengong saja dibuatnya. “Kok bisa ya tadi saya membohongi diri saya…”, gumam kita setengah nggak
percaya.

Akan tetapi…, kita sangat jarang sekali bisa menyadari bahwa kita ini juga sebenarnya telah terlalu sering
berbohong kepada Allah saat kita melakukan ibadah atau sebuah syariat agama. Tatkala kita tidak
mampu menjadi saksi (syahid) dan sadar (dzikir) atas ungkapan-ungkapan kita, atas gerakan-gerakan
(penghormatan, penyembahan, pemujaan) kita kepada Allah selama kita melakukan ibadah tersebut,
maka sebenarnya saat itu kita tengah berbohong. Nggak bisa tidak.

Gimana kita nggak berbohong namanya, misalnya dalam shalat, coba...

Seyogyanya saat takbiratul ihram, sebelum membaca Allahu Akbar, kita seharusnya terlebih dahulu
benar-benar bersaksi dan sadar bahwa Allah ternyata memang Maha Besar. Makanya kita sampaikan
kesaksian kita itu dengan sadar kepada Allah : "Allahu Akbar…, ooo yaa..., ternyata Engkau memang
Maha Besar, Ya Allah". Kan begitu yang namanya kita bersaksi itu...?. Dan Allah pastilah membalas,
merespon, dan menjawab kesaksian kita saat itu juga. Karena Allah memang sudah menjaminnya:
“Ujiibu da’watad daa’a idza da’aanii…, Aku akan menjawab, merespon, panggilan-pangilan, ungkapan-
ungkapan, do’a-doa hamba-Ku apabila dia memanggil-manggil-Ku, memuja-muja-Ku, berdo’a kepada-
Ku…”, (Al Baqarah 186).

Akan tetapi…, kalau kita nggak menyaksikan kebesaran Allah, padahal saat itu kita tengah mengatakan
Allahu Akbar, itu kan namanya kita saat itu sedang NGELINDUR atau paling tidak tengah BERBOHONG
ketika membaca takbiratul ihram itu. Dan…, akibat dari tidak mampunya kita menyaksikan kebesaran
Allah saat itu, maka yang seketika itu juga kita akan menyaksikan yang selain Wajah-Nya. Otomatis saja
sebenarnya. Begitu selesai mengucapkan Allahu Akbar…, maka seketika itu juga BUBAR semuanya.
Kita seperti ditarik-tarik dan didorong-dorong kesana kemari oleh berbagai file fikiran yang ada di dalam
memori otak kita. Makanya kita cenderung untuk ingin buru-buru untuk menyelesaikan shalat kita. Capek
mengembara kesana kemari soalnya.

Untuk membuktikan bahwa apakah kita ini sedang ngelindur dan berbohong atau tidak saat kita
mengucapkan sesuatu pujaan penghormatan kepada Allah itu gampang saja sebenarnya. Mari kita
bedah masalah ini sedikit dengan mengambil analogi yang sangat dekat dengan kehidupan kita sendiri,
yaitu saat kita berbicara tentang cinta misalnya.

Ketika kita mencintai seseorang, maka untuk mengungkapkan cinta kita kepada orang yang kita cintai itu,
apakah itu cukup kita lakukan dengan caramengucapkan kalimat “I Love You” saja, ataukah seharusnya
kita lakukan dengan cara memberikan cinta itu sendiri kepadanya dan lalu ungkapan I Love Youitu
kemudian mengalir ringan dari mulut kita…?. Bahkan tanpa ungkapan I Love You itu sendiripun, kita dan
sang kekasih yang kita cintai itupun dapat pula saling merasakan bahwa SIKAP dan KESADARAN kita
memang bersesuaian dengan realitas cinta itu sendiri, walau tanpa kata-kata. Dan yang terpenting
sebenarnya adalah bagaimana RESPON, JAWABAN, dari orang yang kita cintai itu atas ungkapan dan
pemberian rasa cinta kita kepadanya. Respon cinta pasti pulalah cinta. Kalau ungkapan cinta kita itu tidak
berbalas, atau malah dibalas dengan benci, maka saat itu pula cinta kita disebut sebagai cinta bertepuk
sebelah tangan. Nggak enak…!.

Hal ini akan sangat berbeda ketika kita bertemu dengan seseorang atau banyak orang dijalanan, lalu kita
mengucapkan “I Love You…, I Love You…, Saya cinta kamu…” kepada mereka. Padahal saat itu rasa
cinta kepada orang tersebut tidak ada di dalam dada kita. Maka suasananya persis sama dengan
ungkapan seekor burung BEO yang pintar berbicara. Misalnya, “selamat pagi bang…, selamat pagi
bang…, selamat pagi bang…”, kata sang burung BEO nyerocos terus walau saat itu hari sedang tengah
hari bolong, bahkan pada tengah malam sekalipun. Begitu juga sapaan dia dengan ucapan ‘ bang” itu dia
tujukan kepada siapapun juga, kepada perempuan, anak-anak, kakek-kakek, nenek-nenek, bahkan
binatang sekalipun dia sapa dengan ungkapan “bang” itu.

Ya…, si burung BEO mengucapkan selamat pagi kepada abangnya itu tanpa dia berada dalam
kesadaran dan kesaksian tentang suasana pagi hari itu dan abangnya itu sendiri. Inikan ngelindur dan
berbohong namanya.

Nah…, saat mulai shalat ketika mengucapkan “Allahu Akbar” saja kita sudah berbohong. Seperti burung
BEO itulah. Belum lagi setelah itu. Misalnya, saat saya baca "Inni wajjahtu
wajhia..., hanief…", kuhadapkan "wajahku kepada Wajah Dia..., lurus… dst", eee..., kita malah
menghadap ke sajadah, kita malah menghadap ke arti bacaan shalat, atau malah kita sedang
menghadap ke masalah-masalah lain yang muncul silih berganti dihadapan kita. Lha…, bohong dan
ngelindur lagi kita kepada-Nya...!.

Belum lagi saat kita mengucapkan do’a: "iyyaKA... na' budu wa iyyaKA nasta'in…". Saat membacanya
kan seharusnya kita langsung tunduk dan tawadhu’ TEPAT ke Wajah-Nya. Bukan kemana-mana lagi.
Makanya dalam kalimat itu ada KA…, Engkau…, Mu…!. Ada “barangnya” gitu lho. Artinya sebelum kita
mengucapkan do’a itu sudah sepantasnya kita bersaksi dan sadar dulu: “Ooo … ya, ke INI saya harus
menyembah, dan ke INI pula saya harus minta pertolongan”.

Lha…, kalau tentang Allah sendiri kita belum tahu, maka saat kita mengucapkan KA… ini, kita harus
mengarahkan kesadaran dan kesaksian kita kemana…?. Makanya KA… kita selama ini, saat kita
menyembah dan minta dituntun itu kadang-kadang adalah pekerjaan kita, adalah masalah-masalah kita
yang sedang in, adalah atribut-atribut kemanusian lainnya, seperti patung, gambar, jabatan, harta benda,
dan lain sebagainya. Pikiran kita liar, lari kemana-mana, selama shalat itu kita lakukan. Maka jadilah kita
ini bohong lagi kepada Allah...!.

Begitu juga…, saat kita mengucapkan "subhanallah, subhanarabiyal a’la, subhanarabbiyal adhim,
dsb". Kita ini kan seharusnya benar-benar telah dan sedang MENYAKSIKAN KEMAHASUCIAN
ALLAH, KETINGGIAN ALLAH dulu, lalu barulah setelah itu kita teguhkan kesaksian kita itu dengan
ungkapan tasbih diatas dan dengan sikap PENYEMBAHAN pula (rukuk dan sujud). Lha wong kita saat itu
belum menyaksikan kemahasucian Allah dan ketinggian Allah, lalu tiba-tiba saja kita bertasbih...!. Lalu
menyembah dan memuja siapa kita saat itu…?. Lhaaaa..., kan berbohong dan ngelindur seperti burung
BEO lagi kita saat itu namanya. Ya nggak, ya nggak…?. Makanya Allah menegor perilaku kita itu dalam
ayat berikut:
“Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah;
mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah… (Al Baqarah 165)

Selanjutnya, saat kita menghantarkan do’a: “Rabbana laKAl hamdu…, Wahai Tuhanku…,
milik-MU mu segala pujaan ini…”. Dan do’a-do’a: “Rabbigfirli, warhamni, wajburni, warfa’ni,
wardzuqni, wahdini, wa’afini, wa’fuanni…, serta do’a-do’a yang lainnya, kita arahkan dan
sampaikan kemana MUATAN do’a itu selama ini…?. Kita sampaikan nggak do’a itu kepada
yang kita anggap MU itu. Dan MU itu membalasnya nggak muatan do’a kita itu dengan
muatan yang lebih dahsyat.

Misalnya, saat kita menyerahkan segala pujaan kepada “MU” itu, maka setelah itu PLONG nggak dada kita ini dari
rasa sesak akibat pengaruh rasa sombong untuk ingin dipuja dan puji orang lain. Lalu adakah pula muncul rasa
diampuni, rasa dikasihi, rasa ditutupi ke’aiban, rasa rasa diangkat kedudukan, rasa dilimpahi ide-ide untuk mengais
rizki, rasa dilimpahi informasi atau pentunjuk, rasa disehatkan, rasa dimaafkan oleh Allah setelah kita mengaturkan
do’a kepada “MU” itu…?. Kalau “MU” ini belum pas, maka muatan balasan dari “MU” itu juga nggak akan ada. Kita
bertepuk sebelah tangan lagi jadinya.

Yang paling dahsyat adalah saat kita harus mengungkapkan kesaksian kita atas Allah dan Muhammad
SAW. "Asyhadualla ilaha illa Allah, wa asyhadu anna Muhammadar Rasulullah". Kan seharusnya kita
benar-benar menyaksikan Allah dulu baru kita ungkapkan kesaksian kita itu. Begitu juga saat kita harus
bersaksi terhadap Rasulullah, bersaksi macam apa yang harus kita lakukan...?. Apakah kita harus
membayangkan wajah Rasulullah, penderitaan Rasulullah, atau bagaimana…?. Salah-salah kita bisa
sama saja dengan orang yang memuja wajah “XYZ” dalam beribadahnya.

Kalau di sebuah sidang pengadilan, yang namanya bersaksi itu, ya kita haruslah mengetahui persis
tentang apa-apa yang akan kita ungkapkan dalam persaksian itu. Lha…, dalam bersyahadah itu, yang
seharusnya saat kita bersyahadat itu kesadaran kita langsung tertuju kepada Allah: Ya Allah benar ya
Allah hanya Engkau alamat saya menyembah, dan benar ya Allah… Muhammmad SAW adalah
Rasulmu, karena apa-apa yang Beliau sampaikan saya buktikan kebenarannya…!, eeee... kesadaran kita
yang muncul saat kita bersyahadat itu malah pikiran liar kesana kemari. Bohong dan ngelindur lagi kita
dalam bersyahadat itu...!

Dalam mengucapkan salam pun begitu. "Assalamu alaikum, warahmatullahi wabarakatuh...!", itu artinya
kan adalah bahwa saat salam itu kita ungkapkan, seharusnya kita menebarkan kepada orang-orang di
sekeliling kita tentang keselamatan, rahmat dan barakah dari Allah yang telah kita dapatkan saat kita
shalat itu. Lha apanya yang akan ditebarkan wong salam kita itu kebanyakan juga KOSONG SAJA,
nggak ada MUATANNYA.

Kan salam itu seharusnya begini: "nih pak, nih dik, nih nak, nih sahabatku ada keselamatan nih, ada
rahmat nih, ada barakah nih dari Allah buat mu ('alaikum, 'alaikum, alaikum, buat semua). Ada muatannya
gitu lho...!. Kalau nggak ya kita berbohong dan ngelindur lagi itu namanya saat kita mengucapkan salam
itu.

Bayangkan…, untuk sebuah perbuatan SHALAT yang kita lakukan dari hari ke hari, waktu ke waktu,
isinya nyaris bohong dan ngelindur melulu. Dari sikap ke sikap, bacaan ke bacaan kita nggak ubahnya
dengan seekor burung BEO. Lha…, gimana kita bisa menjadi baik saat kita menjalani hidup ini....?.

Jangankan suasana yang susah dalam shalat seperti diatas, untuk hal yang sederhana saja kita belum
tentu lebih baik dari seekor burung BEO. Untuk membuktikannya gampang saja kok. Cobalah
bandingkan bagaimana suasana yang melanda dada dan kulit kita saat kita menyebut kata-kata berikut
ini. Membacanya boleh saja ditempat yang sepi dan sendirian, atau dimanapun yang kita sukai:

“Piring, gelas, piring, gelas, sendok…!”.

Kemudian sebut pulalah:

“Allah…, Allah…, Allah…!.

Kalau tidak ada bedanya sedikitpun suasana DADA dan KULIT kita saat membaca kata-kata diatas,
maka bolehlah kita mulai meratapi diri. Karena boleh jadi saat kita membaca itu mungkin nggak ada
bedanya dengan membacanya seekor burung BEO.

Lalu kemudian sebut pulalah:

“Jin, iblis, syetan, gendoruwo, roh gentayangan”

Dan makhluk-makhluk sejenis lainnya….

Kalau saat menyebut nama-nama makhluk jin yang digambarkan (dipersepsikan) orang dengan sangat
menakutkan itu, dada kita lalu gemetar, kulit kita lalu merinding, ada rasa takut yan menegakkan bulu
roma kita…, bahkan ada pula yang sampai keter-keter dan meracau nggak beraturan (yang katanya
tengah kesurupan), dan lain-lain sebagainya, maka berarti saat itu bolehlah kita meratapi diri pula.
Karena berarti nama jin, syetan dan sebagainya itu lebih menimbulkan kesan mendalam di dada dan di
kulit kita dari pada kita nama Allah…!. Astagfirullah hal adhiem…!. Pantas saja kita ini lebih cenderung
untuk berbuat berbohong dari pada berbuat jujur. Karena memang kita lebih terkesan dan terpesona
dengan jin, syetan dan iblis yang memang dari sononya sukanya berbohong melulu.

Akibatnya pada diri kita…???. Sungguh sangat menakjubkan…!. BOHONG BERBUAH BOHONG.

Buah Itu

Begitu terbiasanya kita berbohong dihadapan Allah saat kita shalat, maka kebiasaan itupun, tanpa kita
sadari, lalu terbawa-bawa pula kedalam kehidupan sehari-hari kita. Cobalah kita amati diri kita dan
sekeliling kita agak selirik dua lirik. Nggak usah jauh-jauhlah, ditempat bekerja kita misalnya. Betapa
sering dan bersemangatnya kita selama ini membuat rencana-rencana yang konon
kabarnya adalah untuk kemajuan perusahaan tempat kita bekerja, dan tentu saja untuk
kemakmuran dan kesejahteraan bersama pula. Akan tetapi sayangnya lebih banyak pula
rencana-rencana itu adalah rencana bohong-bohongan belaka.

Mari kita lihat bagaimana proses kita merencana itu selama ini melalui rapat-rapat yang
intensitasnya cukup tinggi:

 Sebelum menghadiri rapat, kita sudah mulai memuat pulau-pulau mulai dari yang
kecil sampai ke yang besar kedalam fikiran kita masing-masing. “Itu kan kerjaan si
anu…. Itu kan bukan tanggungjawab saya…. Yang ini barulah bagian saya. Orang lain
nggak boleh mengutak-utik bagian saya ini. Yang lain boleh jelek asal yang bagian saya
bisa baik”.
 Giliran untuk melaksanakannya barulah kelihatan lagi ngelesnya: “kita terlebih dulu
harus membuat detail rencana ini dengan sangat terperinci dengan melibatkan berbagai
pihak lain yang berkompeten, dan berbagai alasan lainnya”.
 Akhirnya karena otak kita masing-masing masih berpulau-pulau seperti diatas,
ditambah lagi saking rinci dan hebatnya detail rencana yang kita buat, malah jadinya
rencana itu nggak bisa dilaksanakan sama sekali. Para pimpinan…, otaknya dibatasi oleh
pulau-pulau yang berada diotaknya masing-masing. Dikiranya kotak atau posisinya
sebagai pimpinan itu adalah miliknya sendiri. Begitu pula para pasukan dibawah pun
lebih banyak berada pada pulau-pulau pikirannya sendiri dalam pekerjaannya sehari-
hari. Padahal Indonesia ini walau dikatakan sebagai sebuah negara dengan seribu pulau,
namun pulau-pulau itu tetap masih bisa disatukan dengan sebuah nama, INDONESIA.
 Padahal kalau kita berfikir secara sederhana, tidak ada yang tidak bisa dilaksanakan.
Karena masalah-masalah kita ini hanyalah masalah yang berulang dari dulu-dulu walau
dengan kualitas yang berbeda. Syaratnya hanyalah satu, yaitu temukanlah “sesuatu”
yang bisa menyatukan pulau-pulau yang ada disetiap fikiran kita. Dan sesuatu itulah
yang kita binding, kita anchoring, kita sandari saat kita menjalankan fungsi kita masing-
masing.
o Janganlah mengaku bahwa Allah Maha Besar (Allahu Akbar), kalau kita belum
menyaksikan kemahabesaran Allah.
o Janganlah menyatakan IyyaKA, kalau kita belum sadar penuh kepada MU
yang kita tuju.
o Janganlah memuji bahwa Allah Maha Suci (subhanallah), kalau belum
menyaksikan kemahasucian Allah.
o Janganlah kita bersyahadat akan Allah, kalau kita belum bersaksi akan
ketunggalan Allah, keesaan Allah, dan yang selain Allah adalah fana, tiada. Dan
janganlah kita bersyahadat akan kerasulan Muhammad, kalau kita belum menikmati
kebenaran ajaran-ajaran Beliau.
o Janganlah kita mengucapkan salam kepada orang lain, kalau muatan salam,
kebahagian, kesejahteraan itu belum ada pada diri kita.

Begitu juga di tingkat kota, propinsi, dan bahkan negara, nyaris saja rencana-rencana yang
kita buat adalah rencana-rencanaan, rencana bohongan, rapat bohongan, pemeriksaan
bohongan, tindakan bohongan, pelaksanaan bohongan.

Subhanallah…, ternyata bohongnya kita dihadapan Allah tadi, ee... ndak tahunya Allah
malah benar-benar balik mendorong kita untuk berbuat bohong-bohong berikutnya. Ya
seperti kita sekarang inilah. Bangsa kita ini saat ini nampaknya memang tengah dilanda
oleh gelombang kebohongan massal.

Masih Ada Harapan…!

Untuk keluar dari lingkaran kebohongan demi kebohongan diatas, masih adakah jalan yang
terbentang dihadapan kita…?. Jawabannya…, ADA…!. Dan caranya itupun adalah dengan
cara yang sangat sederhana, yaitu jangan BOHONG dihadapan ALLAH. Artinya:

Nah…, harapan untuk menjadi TIDAK BOHONG lagi itu sangat terbuka lebar ketika kita bisa
menjadi PENYAKSI (SYAHID) akan: kemahabesaran Allah, kemahasucian Allah,
kemahaesaan Allah, dan kita menyaksikan pula respon Allah atas apa-apa yang kita
keluhkan kepada-Nya. Inikan IHSAN saja sebenarnya.

Karena nggak mungkinlah orang yang IHSAN, yang menyaksikan dan yang sadar akan
ALLAH mau untuk berbohong, berbohong, dan berbohong lagi …!.

Nah temukanlah posisi IHSAN tersebut…!.


Demikian

Wassalam

Deka

Jl. Kabel 16, Cilegon

05 Oktober 2005

Antara Asyik, Nikmat, dan Bahagia




Written by Administrator
Tak disangka pertanyaan dari Pak Reza yang sangat sederhana telah membawa perserta
milis Dzikrullah ini ke dalam sebuah diskusi tertulis yang sangat hangat. Pertanyaan Beliau
simpel sekali: “berarti manusia paling cerdas itu yang seperti di barat sana dong ya, karena
mereka bisa dengan (mungkin) nikmatnya berzina tanpa perlu dihajar di "neraka" karena
file otak mereka tidak pernah mengatakan berzina itu tidak boleh, "wong suka sama suka
ya monggo aja" begitu kilahnya”. Dan jawaban saya dengan judul “Asyiknya Tak Kenal
Agama” juga telah bergulir ternyata telah mendorong pula orang-orang seperti Bu Julia, Pak
Adam, Pak Muh. Fam, Ibu Lenita, Pak Ibnu Achmad, Pak Bagus Tjondro, Ibu Aquila Mayang,
Pak Kusman, Pak Ruswaldi, Pak Arwansyah, Pak Hary Priyanto, Pak Alim Nawara, Pak
Muhammad Ratif, dan mungkin masih banyak lagi yang tidak dipostingkan oleh Moderator,
untuk mengeluarkan pandangan-pandangan beliau-beliau pula. Ramai memang. Tapi kita
nggak usah terlalu khawatir, karena memang itulah realitas kita manusia ini. Kita berbeda,
lalu ramai, lalu cool dan calm, lalu berbeda lagi, lalu ramai lagi. Begitulah tak henti-
hentinya. Ini semakin meyakinkan saya tentang AKAL SANG HAKIM yang ternyata telah
“mendekati” kebenaran (silahkan simak pula artikel tentang “Kebenaran” yang sedang
menunggu giliran tayang).

Jangankan kalimat negatif seperti “Asyiknya Tak Kenal Agama”, kalimat yang bagus saja,
misalnya, “Jaksa Agung seperti ustadz dikampung maling” telah menyebabkan orang-orang
yang mengakunya terhormat di DPR sana terlibat dalam sebuah “keasyikan bertengkar”
antara satu sama lainnya. Ada apa ini penyebabnya. Mari kita bahas barang tiga-empat
jenak.

Kalau kita melihat seseorang melakukan “sebuah perbuatan yang sama” dengan berulang-
ulang, maka seringkali kita mengistilahkan bahwa orang tersebut sedang asyik dengan
sesuatu itu. Ada yang sedang asyik dengan pacar atau orang yang dicintainya, maka
namanya orang itu sedang berasyik-masyuk. Ada yang sedang asyik berolah raga seperti
tenis, golf, sepak bola, lari, senam, meditasi, taichi, silat, dsb. Ada yang sedang asyik
berkreasi seperti menulis, melukis, memfoto, merencana, dsb. Ada yang sedang asyik
berlaku fujur seperti mencuri, berzina, ngegelex, ngeinex, berjudi, benci, bertengkar dan
marahan, tidak khusyuk, dsb. Ada yang sedang asyik berperilaku taqwa seperti tidak
marah, tidak benci, menebar damai, asyik ke masjid, asyik mengaji, asyik berdzikir, dsb.
Semuanya itu bisa dilakukan oleh seseorang secara terpisah satu persatu ataupun secara
bersamaan dengan berulang-ulang selama waktu tertentu. Kalau tidak berulang, maka
perbuatan itu dinamakan orang hanya sebatas perbuatan “kebetulan” saja.

Ha ha ha…, Otak ini…!!!.

Menurut penelitian para ahli neurologi otak, pengalaman dan pengetahuan yang dialami
dan didapat oleh seseorang, betapa pun kecil dan redupnya, ternyata akan membentuk
anyaman neuron di dalam otak kita. JEJAK (foot print) dari pengalaman dan pengetahuan
itu masuk ke dalam otak melalui berbagai alat indra kita berupa gelombang-gelombang
dengan berbagai frekuensi yang kemudian dikirimkan kebagian-bagian tertentu di dalam
otak berupa energi kimia dan energi listrik. Gempuran berbagai frekuensi gelombang yang
datang ke otak itu kalau mau divisualkan tak obahnya seperti permukaan air danau yang
tenang di tengah hujan lebat. Antara gelombang yang satu dengan yang lainnya saling
tindih menindih membentuk pulau-pulau gelombang yang sangat khas. Ramai sekali.
Di dalam otak, berbagai frekuensi yang masuk lewat alat indera tadi dengan cara yang
sangat menakjubkan kemudian dikirim ke bagian-bagian otak lewat jutaan neuron sesuai
dengan penggunaannya masing-masing. Ada yang masuk ke pusat bahasa, maka dengan
rangsangan di tempat ini kita lalu bisa merangkai beragam kata dan kalimat. Ada yang
masuk ke dalam pusat penglihatan dan pendengaran, maka kita lalu bisa melihat dan
mendengar. Sehingga kita lalu bisa BERPERSEPSI terhadap apa-apa pengetahuan yang kita
dapatkan lewat pusat pengindraan kita itu tadi. Misalnya, persepsi seorang ANAK TK akan
sangat jauh berbeda dan sangat ketinggalan dibandingkan dengan persepsi seorang
PROFESOR. Ya ndak masalah sebenarnya…, kalau antara orang ke orang ada perbedaan
persepsi terhadap sebuah objek terindera yang sama. Wong semua itu hanyalah masalah
perbedaan asupan ke otak kita saja dari waktu ke waktu kok.

Nah…, asupan pengetahuan ke dalam otak kita itu lalu merangsang bagian-bagian otak
tersebut untuk aktif yang ditandai dengan meningkatnya fungsi otak tersebut. Aktifnya
bagian otak tertentu ini dapat di lihat dengan bantuan sebuah alat pencacat gelombang
otak atau melalui teknik scanning tertentu. Semakin sering bagian otak tertentu diaktifkan
atau teraktifkan dengan rangsangan dari luar, maka semakin cerah bagian tersebut
berpendar yang kemudian akan membentuk KAPALAN MEMORI yang terbentuk dari
anyaman NEURON di area tersebut. Kapalan memori di dalam otak ini akan semakin kental
dan kuat tatkala kita dengan sengaja menanamkan suatu keinginan secara berulang-ulang
melalui teknik-teknik AFIRMASI tertentu. Wirid, niat, dan dzikir adalah sedikit dari sekian
banyak teknik afirmasi dalam bingkai agama Islam.

Makanya…, pemahaman pada tingkat INDRAWI ini tidaklah terlalu dapat disalahkan kalau
orang juga berbeda persepsi satu sama lainnya tentang agama-agama yang ada. Karena
semua perbedaan itu penyebabnya tak lebih dari pengaruh kapalan-kapalan memori yang
ada di dalam otak kita dalam merespon suatu permasalahan. Bahkan dalam agama yang
sama saja, untuk sebuah istilah agama, misalnya untuk ayat atau hadist tertentu, sangat
lumrah sekali kalau terjadi beda PERSEPSI antar para penganutnya. Makanya kemudian
lahirlah berbagai pemahaman istilah dan praktek agama yang lalu mengkristal menjadi
bermacam corak FIKIH dan ALIRAN (MAHDZAB). Islam sangat kaya dengan segala macam
corak fikih dan aliran ini yang sebenarnya wajar-wajar saja. Akan tetapi perbedaan itu
menjadi tidak wajar tatkala corak fikih dan aliran yang satu menyalahkan dan
menghancurkan corak fikih dan aliran yang lainnya dengan paksa. Ya…, beginilah kita umat
islam ini sekarang jadinya.

Catatan: Dalam artikel “Akal Sang Hakim” telah saya uraikan bagaimana Akal, atau
Aku, atau Mun-Ruhi, atau Bashirah mengakses kapalan memori di dalam otak ini
sampai terwujudnya sebuah tindakan oleh Sang Diri (Nafs).

Pada tataran universal, pengetahuan-pengetahuan yang dimasukkan ke dalam otak kita


hampir dapat dipastikan akan mengkotak-kotakkan kita manusia ini menjadi berbagai ahli
sesuai dengan file-file pengetahuan yang masuk tersebut. Orang yang di otaknya banyak
pengetahuan tentang kedokteran, maka dia disebut sebagai seorang dokter yang boleh jadi
dia akan sangat terbelakang atau tidak terlalu tahu dengan pengetahuan tentang fisika
nuklir. Sang dokter lalu hari-harinya akan didominasi oleh pengetahuan kedokterannya itu.
Dia akan asyik dengan pasiennya. Dia akan asyik mencari tahu tentang penyakit-penyakit.
Dia akan asyik berjam-jam diruang prakteknya bahkan sampai tengah malam sekali pun
seperti asyiknya seorang peneliti di laboratorium, atau seorang pedagang di pasar.
Begitu dia asyik dengan pekerjaannya itu, maka berbagai hormon akan disekresikan ke
dalam pusat-pusat pengontrol setiap gerakan dan ekspresi tubuh yang ada di dalam otak,
sehingga otak lalu menghantarkan ALIRAN RASA EKSTASIS yang masuk dengan deras ke
dalam dada maupun ke seluruh tubuh kita. Aliran rasa ekstasis ini pun lalu akan
mempengaruhi mimik atau ekspresi wajah seseorang. Makanya dimana pun dan bangsa
apapun manusia ini, maka tanpa kata-kata sekali pun, setiap orang akan tahu bahwa
seseorang tengah berada dalam suasana SEDANG menerima aliran rasa bahagia, sedih,
jijik, takut, marah, terkejut,yang merupakan enam EMOSI dasar yang dimiliki oleh
seorang manusia. Orang yang terlalu mudah dipengaruhi oleh berbagai rasa atau emosi tadi
itu lalu disebut sebagai orang yang EMOSIONAL.

Pergerakan pengalaman dari emosi ke emosi inilah yang memberikan dorongan kepada
setiap orang untuk melakukan sesuatu, karena pada emosi itu ada DAYA yang akan
mempengaruhi otak untuk mengirimkan perintah kepada bagian-bagian yang mengontrol
gerakan otot-otot sesuai dengan fungsinya masing-masing. Setiap perintah itu akan
menimbulkan rasa NIKMAT yang akan membuat seseorang KETAGIHAN untuk melakukan
sebuah perbuatan tertentu. Rasa nikmat yang dirasakan oleh seorang pezina akan sama
saja dengan rasa nikmat yang dirasakan oleh pasangan suami istri. Rasa nikmat yang
dihasilkan oleh seorang pencuri saat dia mendapatkan hasil curiannya akan sama saja
dengan rasa nikmat tatkala orang lain mendapatkan gaji di akhir bulan. Rasa nikmat yang
dirasakan oleh seorang kaya yang mendapatkan mobil Mercedes untuk pertama kalinya
akan sama saja dengan seorang miskin yang mendapatkan uang walau hanya sejuta rupiah
saja. Karena rasa nikmat itu memang adalah anugerah Tuhan bagi semua manusia, tak
terkecuali.

Rasa nikmat yang dirasakan oleh seorang yang ngefans kepada seorang selebriti akan sama
saja dengan rasa nikmat yang dirasakan oleh seseorang lainnya yang ngefans kepada
seorang ustad atau kiai kondang yang terkenal. Hanya dengan sekedar bersalaman dengan
sang selebriti atau ustadz tersebut, maka mereka dapat merasakan aliran nikmat di seluruh
tubuhnya. Dan akibatnya dia akan mengulangi lagi menemui tokoh yang mereka senangi
itu. Jarak, waktu dan biaya sudah tidak menjadi halangan lagi bagi mereka untuk sekedar
merasakan rasa nikmat tersebut. Bahkan tidak jarang masalah hukum dan moral pun
sampai-sampai diterjang habis mereka demi untuk pemuasan rasa nikmat (ekstasis)
tersebut.

Begitu juga, nikmat yang dirasakan seorang pencuri adalah tatkala dia berhasil mencuri
dengan sukses TANPA dipergoki oleh orang lain. Nikmat seorang pezina konon kabarnya
adalah tatkala dia sukses berzina tanpa diketahui oleh pasangannya atau orang lain.
Padahal kalau hanya sekedar nikmat biologisnya saja yang dicari, maka rasanya mungkin
sama saja dengan melakukannya tanpa perzinaan.

Tapi inilah anehnya karakater jaringan lunak yang disebut dengan otak ini. Sekali dua kali
sang otak mendapatkan informasi dan rangsangan yang sama boleh jadi otak tersebut
masih akan mengirimkan rasa nikmat ke bagian-bagian tubuh tertentu, akan tetapi kali
berikutnya informasi dan rangsangan yang intensitasnya SAMA itu mulai tidak direspons lagi
oleh sang otak. Informasi, kegiatan, rangsangan yang masuk berulang-ulang tersebut lama-
lama sudah tidak mampu lagi memberikan efek ekstasis bagi si otak. Otak tidak bereaksi
lagi dengan hebat, yang dalam bahasa umumnya dikenal sebagai RASA BOSAN (BORING).
Ya…, sang otak sudah bosan dengan hal-hal yang sudah tidak mampu lagi memendarkan
neuron yang berada di dalam otak tersebut lebih hebat dari yang sebelumnya.

Makanya rasa bosan seseorang dengan pasangannya kalau dilihat dari kaca mata biologi
neurologi otak tidaklah dapat terlalu disalahkan. Ini sama saja halnya dengan bosannya kita
dalam mendengarkan pengajian atau khotbah juma’at, kuliah, musik, yang materi atau
muatannya itu ke itu saja dari waktu ke waktu. Seorang pendaki gunung, apalagi yang
ekstrim, juga akan kehilangan gairahnya tatkala dia harus mengulang mendaki gunung
yang sama beberapa waktu kemudian.

Makanya jalan keluar dari kebosanan otak ini kadangkala sungguh mengerikan. Seorang
pencuri atau koruptor, baru akan bisa kembali merasakan ekstasisnya tatkala dia berhasil
mencuri atau korupsi dengan kualitas dan kuantitas yang lebih besar dari yang sebelumnya.
Hutan dicuri, tanah dicuri, minyak dicuri, bank dipreteli, rakyat dirampok, dan anehnya
semua itu bisa dilakukan orang dengan bekal aturan-aturan yang sangat logis.

Seorang pezina mungkin baru bisa merasa ekstasis kembali tatkala dia berhasil melakukan
perzinaan-perzinaan berikutnya mungkin malah dengan wanita atau pria yang berbeda.
Tingkah laku begini kan sebenarnya tak lebih dari perilaku seekor ayam saja. Karena yang
dicari pezina tersebut tak lain hanyalah kenikmatan otak yang sangat sesaat saja.

Seorang petualang EKSTRIM baru akan merasa ekstasis kembali tatkala dia berhasil
mengatasi terjalnya puncak gunung, derasnya jeram, dan tantangan alam lainnya yang
lebih dahsyat dari yang sebelumnya. Uang jutaan rupiah pun sudah tidak berarti lagi
baginya hanya demi pemenuhan rasa ekstasis otaknya yang semakin meningkat
persyaratannya.

Akan tetapi kenapa seorang ibu bisa TIDAK PERNAH BOSAN dengan anaknya sendiri…??.

Rasa-rasanya belum pernah ditemukan seorang ibu yang normal bisa bosan dengan
anaknya, walau anaknya tersebut bandelnya bukan main. Ini nanti bisa pula menjadi
sebuah topik yang menarik untuk dibahas. Karena suasana tidak bosan seperti kepada anak
ini ternyata juga bisa diarahkan kepada pasangan (istri atau suami) kita.

Nah…, dalam istilah agamanya, orang-orang yang mengikuti pengaruh dorongan


pemenuhan kebutuhan ekstasisnya otak ini disebut sebagai orang
yang terbelenggu atau terjebak dengan dorongan nafsunya (hawa un nafs). Suasana ini
pulalah yang dirasakan oleh Nabi Yusuf tatkala mengeluhkan dorongan nafs beliau kepada
Tuhan “wama ubarriu nafsii innannafsa laammaratum bissu’…”. Sebuah suasana jiwa yang
ternyata sangat “menyiksa” Yusuf yang notabene adalah seorang Nabi.

Lho…, kenapa ekstasis otak malah bisa menyiksa diri…???. Tidakkah ekstasis otak ini akan
membawa rasa nikmat sehingga orang cenderung untuk mengulang-ulang perilaku FISIK
tertentu…??.

RASA TERSIKSA…

Rasa tersiksa adalah sebuah keadaan yang muncul akibat adanya KONFLIK di dalam otak
kita tentang sesuatu KEJADIAN atau PERBUATAN yang kita lakukan. Boleh jadi sebuah
perbuatan atau kejadian bisa kita lakukan secara berulang-ulang karena ada rasa ekstasis
(nikmat) yang dilepaskan oleh otak ke instrumen tubuh tertentu, akan tetapi di bagian otak
lainnya, boleh jadi pula ada file pengetahuan yang menentang perbuatan tersebut untuk
dilakukan. Dengan kata lain, di satu sisi perbuatan itu mengasyikkan, akan tetapi disisi
lain file pengetahuan kita menolaknya. Dengan dua paradoks ini, otak kemudian
memancarkan gelombang yang saling bertentangan, kacau. Paradoks demi paradoks yang
muncul di otak akan menyebabkan BADAI GELOMBANG OTAK pada seseorang yang
akibatnya akan disebarkan ke seluruh tubuh menuju bagian-bagian yang mampu merespon
gelombang otak tertentu. Karena gelombang itu kacau, maka rasa yang disalurkan ke
anggota perasa juga menjadi kacau. Kacaunya rasa ini kemudian dinamakan orang dengan
TERSIKSA.

Seorang pencuri atau koruptor, walaupun mencuri dan korupsi itu mungkin mengasyikkan
dan memberikan rasa nikmat kepada si pelakunya, apalagi kalau si pelakunya berhasil
mengelabui masyarakat dan perangkat hukum, akan tetapi dia akan tetap merasa tersiksa
tatkala otaknya berisi file bahwa mencuri atau korupsi itu adalah salah, melawan hukum,
hukuman mati, dosa, dan sebagainya. Seorang pezina, kendati perzinaan itu mengasyikkan
dan memberikan rasa nikmat kepada para pelakunya, akan tetapi dia akan tetap merasa
tersiksa ketika perbuatannya itu bertabrakan dengan file di otaknya yang menyatakan
bahwa zina itu adalah haram, melawan hukum agama, di rajam, berdosa, dan sebagainya.

Kalaupun ada orang yang mampu untuk korupsi, mencuri, ataupun berzina TANPA merasa
tersiksa lagi, maka boleh jadi di otak orang tersebut sudah tidak ada lagi file-
file tentang hukum dan moralitas yang nantinya akan membedakan martabat manusia
dengan derajat binatang. Karena yang membedakan manusia dengan binatang hanyalah
dalam hal hukum dan moralitas saja, disamping juga kemampuan berlogika, yang pada
binatang derajatnya sangat-sangat rendah dan primitif, walau tetap ada. Di Afrika sana,
seekor hyena tidak akan punya rasa bersalah sedikitpun tatkala dia mencuri makanan yang
dengan susah payah dilumpuhkan oleh seekor cheetah. Seekor ayam jantan tidak merasa
malu sedikit pun tatkala dia harus kawin dengan seekor ayam betina yang baru saja
dikawini oleh ayam jantan lainnya.

Hanya itu saja kok tentang asyik, nikmat dan siksa itu …!. Nggak usah repot-repot dah.

LALU BAGAIMANA DENGAN RASA BAHAGIA…?

Bahagia itu juga sederhana saja kok. Tatkala perbuatan dan kejadian atas tindakan yang
kita lakukan mampu membuat kita asyik, ditambah lagi dengan munculnya rasa nikmat,
dibarengi pula perbuatan tersebut bersesuaian dengan file-file yang ada di dalam otak
kita, lalu dibingkai pula dengan hukum, moralitas dan logika manusia yang kemudian
diringkas menjadi FITRAH MANUSIA (bukan fitrah binatang), dan ditambah pula dengan
sangat mudahnya muncul rasa bahagia pada diri kita. Dan rasa bahagia itu dengan sangat
jelas terpancar dalam EKSPRESI WAJAH yang sumringah yang bisa dikenal dan ditangkap
nuansanya oleh setiap manusia dari suku, bangsa, dan agama apapun dia. Beginilah kira-
kira kalau kita mau mendefinisikan rasa bahagia. Susah ya kalau dibahasakan …??. Jadi
kalau mau diringkas lagi, maka rasa bahagia itu tak lain hanyalah satu dari sekian banyak
ekspresi emosional yang bisa muncul pada diri seseorang, misalnya sedih, jijik, takut,
marah, dan terkejut.
Akan tetapi tatkala rasa bahagia itu muncul, rona dan ekspresi wajah bahagia itu akan
terpancar dengan jelas di wajah seseorang. Mulai hanya dari sesungging senyuman manis
di bibir sampai dengan tertawa terbahak-bahak adalah bahasa universal manusia sebagai
pertanda bahwa seseorang itu tengah dialiri oleh rasa bahagia. Dan puncak dari rasa
bahagia itu tak jarang pula memunculkan butiran-butiran air bening di sudut mata
seseorang yang dinamakan orang dengan tangis. Ya…, tangis bahagia.

Pengaruh dari rasa bahagia ini adalah munculnya rasa rileks di seluruh tubuh. Otot-otot
seperti tidak berdaya. Akan tetapi kalau diamati agak sejenak lebih dalam, otot-otot
tersebut malah seperti penuh daya. Langkah kaki menjadi ringan. Pekerjaan yang seberat
dan selama apapun akan dapat kita laksanakan dengan daya juang yang mengagumkan.
RINGAN SEKALI seperti tanpa beban sedikit pun. Disamping itu, rasa bahagia itu pun
sepertinya ingin kita tumpahkan kepada lain. Paling tidak kita ingin berbagi rasa bahagia itu
dengan orang-orang yang terdekat dengan kita. Dan mengalirnya rasa bahagia kepada
orang lain saat kita merasakan bahagia inilah yang disebut dengan: “kita menjadi rahmat
bagi orang lain”. Bentuknya bisa beragam, mulai dari rahmat lahir seperti bantuan harta
benda, sampai dengan rahmat batin seperti munculnya rasa empati, simpati, cinta, to say
the least. Bahkan hanya sebentuk sorot mata bahagia saja mampu mengalirkan rasa
bahagia itu dengan deras kepada orang lain dengan dahsyat. Dan sorot mata serta
senyuman yang paling menggetarkan rasa bahagia setiap orang adalah milik seorang ibu
kepada anaknya dan milik seorang bayi kepada semua orang yang memandangnya.

Rasulullah Muhammad SAW malah disebutkan sebagai PRIBADI yang mampu mengalirkan
rahmat bagi seluruh umat manusia melintasi zaman demi zaman. Allahumma shalli ‘ala
Muhammad wa’ala ali Muhammad (ya Allah sampaikan salam sejahtera saya
kepada Muhammad Rasulullah dan keluarga Beliau).

Dengan membedah rasa bahagia seperti diatas, maka sebenarnya tidak terlalu sulit lagi
bagi kita untuk mengupas rasa-rasa yang lainnya. Rasa sedih, misalnya, tetap saja
merupakan sebuah rentetan dari sebuah peristiwa, lalu muncul rasa nikmat, sesuai pula
dengan file di dalam otak, serta mengikuti hukum moralitas dan logika manusia yang
kemudian terpancar menjadi sebuah ekspresi emosional. Ciri-ciri, bentuk dan rona wajah,
serta sorot mata seseorang dalam suasana rasa sedih ini akan sangat mudah kita bedakan
dengan ciri-ciri seseorang yang sedang dalam liputan suasana rasa bahagia. Walau puncak
rasa sedih ini juga bisa memunculkan tangisan, tangis sedih, akan tetapi dengan sangat
mudah kita akan bisa membedakan mana yang tangis sedih dan mana yang tangis bahagia.

Pengaruh rasa sedih ini sangatlah mudah dibedakan dengan rasa bahagia. Seseorang yang
pusat rasa sedihnya di dalam otak terangsang oleh sebuah kejadian atau perbuatan, juga
akan mengirimkan sinyal listrik dan kimia ke bagian-bagian tubuh tertentu sehingga orang
tersebut akan merasakan enak, nikmat. Sikap tubuh rileks juga akan muncul. Akan tetapi
rasa sedih ini kurang mempunyai DAYA untuk mendorong seseorang untuk melakukan
sesuatu perbuatan. Yang muncul malah rasa tidak berdaya sama sekali, rasa tidak mau
melakukan apa-apa. Makanya orang yang dilanda oleh rasa sedih ini maunya menyendiri
dan mengurung diri, bahkan ada yang sampai menyendiri ke gunung-gunung. Anehnya,
rasa sedih ini juga bisa dialirkan kepada orang lain di sekitar kita, sehingga tidak jarang kita
melihat ada orang yang saling bertangis-tangisan karena terimbas kesedihan orang lain.

Begitu juga dengan rasa jijik, takut, marah, dan terkejut, semua itu punya rasa nikmat
sendiri-sendiri akibat tersentuhnya pusat masing-masing emosi tersebut di dalam otak
kita oleh sebuah peristiwa atau perbuatan. Dan ekspresi wajah serta bentuk aksi tubuh
kitapun dengan sangat mudah dapat dibedakan oleh siapa pun untuk masing-masing emosi
yang muncul tersebut di atas. Dan ternyata daya-daya yang muncul untuk setiap emosi itu
jauh lebih besar dari daya yang muncul dalam kondisi normal. Makanya kemudian muncul
cabang ilmu pengetahuan baru yang mampu memanajemeni emosional tersebut, mulai dari
cara-cara menimbulkan emosi itu sampai dengan pemanfaatannya untuk keperluan
tertentu, yang kemudian terkenal dengan istilah “emotional qoutient”, manajemen hati,
manajemen qalbu, manajemen ikhlas, manajemen qur’ani, dan sebagainya. Hanya
sebuah suasana emosional jiwa yang sama tapi dengan selusin nama dan istilah yang
berbeda saja sebenarnya.

EMOTIONAL QUOTIENT…

Beberapa dekade belakangan ini, pengetahuan tentang emosi ini telah berkembang dengan
sangat pesat. Dengan mengamati perilaku dan ekspresi orang-orang yang berbeda dan
suasana rasa yang berbeda pula, maka kemudian lahirlah ilmu untuk mengatur dan
mempengaruhi emosi orang per orang yang terkenal dengan istilah Emotional Quotient.
Ilmu untuk memfasilitasi emosi seseorang saja sebenarnya.

Para ilmuan baik itu neorologi maupun psikologi sudah dapat membongkar rahasia emosi
dengan sangat menakjubkan. Masalah emosional sudah dapat dikupas mereka mulai dari
penyebab awalnya, kemudian hormon-hormon apa yang disekresikan oleh otak, dan
bagian-bagian mana dari otak yang bertanggung jawab, sampai dengan anggota-anggota
tubuh yang mana yang terpengaruh oleh rangsangan emosional tersebut. Bahkan para ahli
tersebut juga sudah tahu bagaimana cara mempengaruhi emosi seseorang agar bisa
dimanfaatkan untuk tujuan tertentu. Karena ternyata pada taraf emosi tertentu orang akan
mampu menghasilkan daya-daya yang dapat dimanfaatkan untuk keperluan tertentu.

Orang dengan kecerdasan fikiran (IQ) yang hebat belum tentu bisa menghasilkan sesuatu
karya yang hebat pula tanpa didorong oleh daya kecerdasan emosional (EQ) yang kuat.
Emosi “marah” yang terkendali akan memberikan daya bagi seseorang untuk membangun,
berkarya, berkreasi. Emosi “senang dan bahagia” akan meringankan langkah seseorang
untuk melakukan sebuah kegiatan dengan rileks dan punya daya tahan yang lama. Emosi
“takut dan jijik” akan mampu menghasilkan daya yang sanggup menahan seseorang dari
mengerjakan sesuatu yang tidak diperbolehkan. Emosi “sedih” akan menghasilkan daya
yang mampu menghilangkan beban yang menghimpit dada seseorang, misalnya akibat
ditinggalkan oleh sesuatu yang dicintainya. Emosi “terkejut” akan menghasilkan daya yang
sanggup membuat orang menjadi aktif dan siap siaga untuk menghadapi segala
kemungkinan.

Dan untuk semua emosi itu tadi ada hormon tertentu yang dikeluarkan atau disekresikan di
otak ke dalam aliran darah kita. Hormon “DOPAMINE”, misalnya, akan sangat melimpah
ruah dalam aliran darah seseorang yang sedang berada dalam suasana rasa senang dan
bahagia. Orang yang sedang jatuh cinta, darahnya akan sangat kaya dengan hormon
“OXYTOCIN”, si hormon cinta. Bagi teman-teman yang ahli tentang hormonal tubuh,
silahkanlah menambah uraian ini biar jadi lebih lengkap.

Nah…, untuk memunculkan efek emosi di atas yang puncaknya boleh jadi bisa
memunculkan tangisan pada seseorang, maka beragam pelatihan kemudian telah
diciptakan orang dengan sangat mengagumkan. Dan kelihatannya, negara kita Indonesia ini
sangatlah kaya dengan ragam pelatihan pembangkit emosi ini. Mulai dari yang hanya
sekedar memainkan imajinasi dengan membayangkan suasana di pantai atau wilayah
pegunungan yang damai, atau irama musik klasik yang turun naik mengaduk-aduk emosi,
sampai dengan eksploitasi kesedihan dengan irama suara dalam do’a dan dzikir yang
menghiba-hiba, atau lengkingan wirid kalimat-kalimat thayyibah yang beralun semakin
cepat dan memunculkan suasana magis. Semakin intens seseorang membawa pikirannya
kepada alunan irama suara dan dzikir ini, maka semakin mudah seseorang untuk menangis.
Karena irama yang dilantunkan memang irama yang sedih.

Dan disinilah letak “tipuan pengertian” yang tidak mudah untuk diketahui orang, karena
hanya dengan melihat bahwa tangis yang muncul adalah dengan membawa-bawa nama
Tuhan, ayat-ayat Tuhan, do’a-do’a, kalimat-kalimat thayyibah, maka orang lalu dengan
mudah menyebutnya sebagai peristiwa spiritual atau Spiritual Quotient.

Benarkah ini peristiwa spiritual…?. Mari kita lanjutkan pengamatan kita.

Andaikan semua pengucapan nama Tuhan, ayat-ayat Tuhan, do’a-do’a dan kalimat-
kalimat thayyibah tadi di atas kita lantunkan dengan iringan irama dangdut atau rock’n roll,
masih mungkinkah kita bisa mendapatkan tangisan seperti sebelumnya…?. Bagi yang tidak
punya halangan pemikiran, marilah kita coba eksperimen ini barang 15 menit. Kapan perlu
lakukanlah dengan berjamaah pula. Dan boleh percaya atau tidak bahwa tidak akan satu
orang pun yang akan menangis dibuatnya. Malah sebaliknya kita akan dibawa kepada
suasana riang gembira yang mungkin diikuti pula oleh hentakan kaki dan goyangan kepala
seperti orang tripping. Karena sungguh sangat sulit sekali seseorang untuk diafirmasi agar
bisa menangis tatkala seseorang tersebut dipengaruhi oleh suara atau irama yang bernada
gembira. Apalagi untuk membawa seseorang agar bisa menangis dalam suasana yang tidak
sedih maupun tidak senang, alangkah sulitnya.

Hal ini barangkali bisa menjadi sebuah pertanda bagi kita bahwa suasana di atas tadi yang
disangka orang sebagai peristiwa spiritual, ternyata masih berada dalam tatatan permainan
emosional saja. Boleh dikatakan suasana itu belum pada tatanan spiritual sebenarnya. Oleh
sebab itu, mungkin label “pseodo spiritualitas” lebih cocok dilekatkan pada peristiwa
emosional yang ditempeli dengan istilah-istilah dan praktek agama tertentu, misalnya dzikir
(wirid), do’a dan pengucapan ayat-ayat kitab suci. Walau pun begitu, pengaruh pseodo
spiritualitasini saja bagi banyak orang ternyata sudah cukup bagus. Dan banyak pula yang
berhenti disini saja. Sungguh sayang sekali.

Disamping itu, sekarang sudah dipahami orang pula, bahwa peristiwa emosional ini juga
bisa dirangsang dengan menambahkan hormon-hormon atau zat-zat additive tertentu ke
dalam aliran darah seseorang. Zat yang paling populer dan dipakai luas dalam masyarakat
untuk mempengaruhi otak agar bisa ekstasis adalah nikotine, alkohol, dan narkotika.
Begitu terkenalnya ketiga zat additive ini, sehingga ada pihak tertentu yang mencoba untuk
menanamkan “icon” kejantanan, keperkasaan, keberanian, bagi orang yang mau
memakainya. Dan banyak pula yang terpedaya untuk memakainya. Padahal pemakaian
ketiga zat additive ini untuk memunculkan peristiwa-peristiwa emosional bisa dikategorikan
sebagai cara yang paling primitif. Karena sudahlah pengaruhnya tidak bisa bertahan lama,
ditambah lagi dengan efek ketagihan dan peningkatan konsumsi dari waktu kewaktu yang
tentu saja akan menguras kantong para pemakainya. Duh kecian deh… !.
SPIRITUALIT QUOTIENT…

Nah…, kalau begitu dimana posisi spiritualitas itu …???

Secara cukup detail saya sudah mengulasnya dalam artikel “Mengupas Kulit Bawang
Spiritualitas”. Akan tetapi secara singkat dapat saya ulas kembali sedikit bahwa spiritualitas
itu adalah sebuah proses perjalanan RUH, BASHIRAH, AKU DIRI menuju ketidakterbatasan,
melampaui file-file apapun yang ada di dalam otak “sang aku diri”. Walaupun menuju ke
tidak terbatasan, akan tetapi kesadaran yang muncul malah tidak ada jauh dan tidak ada
dekat lagi. Jauh dan dekat itu seperti mengalir dalam sebuah “DAYA” lembut tapi pekat
yang MENARIK sang aku diri dengan halus, sehingga sang aku diri tidak mampu lagi untuk
berpaling ke lain wajah kecuali HANYA kepada WAJAH YANG MAHA MELIPUTI. Daya itu
menuntun sang aku diri untuk mengenal Wajah Sang Maha Meliputi Itu.

Lalu Sang Maha Meliputi Itu dengan sangat angkuh berkata:

Dari-Ku lah daya itu, Aku-lah Sang Sumber Daya itu. Tiada daya dan upaya apa pun
yang dapat kau lakukan, kecuali hanya dengan menumpang daya-Ku.
Lalu terserah Aku saja apa yang akan Aku berikan kepadamu, wahai hamba-Ku.
Adakalanya engkau Ku tangiskan, adakalanya kau Ku gembirakan, adakalanya kau Ku
ilmukan, adakalanya kau Ku persaksikan, adakalanya kau Ku buat lupa lalu Aku pula
yang akan mengingatkanmu kembali, wahai hamba-Ku.
Lalu…, lalu…, dan lalu…, Subhanallah, laa haula wala quwwata illa billah…!!!. Laa ilaha
illla anta…!!!.
Lalu sang aku diri HANYA tinggal bergantung saja kepada daya-daya tuntunan yang
dialirkan oleh Tuhan kepadanya. Sang aku diri berada dalam posisi tanpa daya dan tanpa
upaya sedikit pun. Dan pengaruhnya ditatanan ketubuhan pun ternyata menimbulkan
suasana lembut, rileks, fresh, dan tidak ngantuk, ditambah pula dengan pengaruh di
tatanan emosional yang tidak ruwet, tidak ada kekhawatiran maupun ketakutan (laa
khaufun ‘alaihim wala hum yahzanun), yang nyata-nyata sangat membantu kita dalam
keseharian kita, baik itu dalam bekerja, maupun dalam berkarya.

Nah…, temukanlah daya tuntunan itu sampai dapat, bukan hanya sekedar bermain-main
dengan emosi saja yang memang sanggup untuk mengantarkan seseorang ke wilayah atau
suasana bertangis-tangisan. Bukan pula hanya sekedar permainan emosi saja yang seolah-
olah mampu memunculnya rasa tenang dan rasa lepas dari deraan berbagai masalah bagi
kita. Bukan…!. Karena menangis, rasa bahagia, dan rasa terbebas dari berbagai masalah
yang hanya karena permainan emosi saja, walaupun telah ditempeli pula dengan berbagai
label keagamaan, dampaknya tidaklah akan bertahan lama. Karena masalah permainan
emosi ini hanyalah sekedar melakukan stimulasi suara, irama, dan nada dengan frekuensi
tertentu terhadap bagian-bagian otak tertentu pula. Jadi boleh juga dikatakan sebagai
peristiwa emosional yang digagas oleh olah fikiran.

Dan yang namanya otak, kalau distimulasi dengan cara yang sama berulang-ulang dan
dengan intensitas yang tidak berbeda dengan yang sebelumnya, maka otak itu TIDAK akan
merespon lagi. Yang muncul malah RASA BOSAN, yang kemudian disembunyikan orang
dalam istilah agama dengan ungkapan “suasana iman yang sedang turun”. Padahal
yang sebenarnya terjadi hanyalah masalah bosannya otak saja, tidak lebih. Karena memang
daya otak ini sangatlah terbatas.

Sedangkan di sisi lain, ada pula suasana emosional yang dihasilkan oleh peristiwa tuntunan
dari Wajah Yang Maha Meliputi. Wajah itu yang akan menuntun kita kepada peristiwa
emosional yang cocok buat kita pada saat tertentu. Tuntunan itu menjadi tempat
bergantung kita untuk mendapatkan suasana emosional tertentu. Kita seperti DIGERAKKAN
dari satu peristiwa emosional ke peristiwa emosional lainnya. Peristiwa bergantungnya kita
kepada DAYA TUNTUNAN Wajah Yang Maha Meliputi ini diistilahkan Al Qur’an dengan
“wa’tashimu billah, bergantung kepada Allah, dan wa’tashimu bihablillah, bergantung
kepada TALI ALLAH”, yang kemudian dikecilkan orang menjadi TALI (AGAMA) ALLAH, entah
tali agama yang mana.

Karena banyak yang bingung dengan TALI (AGAMA) ALLAH ini, maka kemudian
bermunculanlah filsafat eksistensi manusia yang justru semakin menjauhkan manusia itu
sendiri dari AKAR sejarah keberadaannya, yaitu Tuhan. Karena mereka melihat sumbangsih
agama-agama yang ada untuk membangun peradaban manusia sekarang ini begitu
kecilnya, kalau tidak mau dikatakan tidak ada. Walaupun ada, tapi tipis sekali untuk zaman
yang sedemikian kompleksnya seperti sekarang ini. Sehingga kemudian bermunculanlah
pemikiran-pemikiran yang muaranya adalah untuk MENAFIKAN (MENIADAKAN) TUHAN yang
dengan pasti jadinya malah semakin menguatkan PENG-ISTBAT-AN (menyatakan
keberadaan) AKU DIRI MANUSIA.

Padahal masalahnya hanya sederhana saja, KETIADAAN DAYA TUNTUNAN ILAHI yang
merupakan WUJUD REAL dari TALI ALLAH yang dimaksud oleh ayat di atas. Karena
ketiadaan tunutunan Ilahi, maka yang muncul lalu adalah dorongan dari NAFS (hawa un
nafs) yang ternyata sangat mudah untuk saling tumpang tindih dengan dorongan (ajakan)
dari Iblis yang akibatnya adalah seperti kita-kita sekarang ini dan pelaku sejarah kelam
masa lalu. Mengerikan sekali…!!.

Daya Tuntunan Ilahi…

Ada ungkapan yang sangat terkenal tentang daya tuntunan Ilahi ini dalam sebuah peristiwa
spiritual, yaitu “Ra’aitu Rabbi bi Rabbi, Aku Melihat Allah dengan Allah…!!!. Ya…benar,
Allah mengenalkan diri-Nya sendiri langkah demi langkah kepada kita. Karena yang tahu
Allah adalah Allah sendiri. Betapa pun kita ingin mengenal Allah dengan fikiran kita
sendiri atau kolektif, maka pastilah itu tidak akan bisa. Percaya deh…!.

Dan Allah memperkenalkan Diri-Nya dengan cara yang sangat UNIK. Saat kita mendekat
kepada Allah sejengkal lalu Allah menyambutnya sehasta. Saat kita datang mendekat ke
Allah dengan berjalan lalu Allah menyambutnya dengan berlari. Lebih cepat Dia menyambut
dari usaha yang kita lakukan.

Saat kita datang sejengkal, Allah menyambutnya akan meresponnya dengan pernyataan: “Ana
Allah, Aku Allah…!”.

Saat kita datang kepada Allah dengan sejengkal, maka siap-siap, siap-siaplah menunggu
sambutan dan respons dari Allah. Karena kita memang datang menghadap kepada Sang Maha
Hidup.
Dan Allah lalu menyatakan diri-Nya dengan tegas: “Innani Ana Allah, sesungguhnya Aku
Allah…!!, Laa ilaha illa ana, fa’budni, Tidak ada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku,
SUJUD…!!!, karena memang saat ini ada Aku”.

Maka dengan lembut aku pun lalu disujudkan Tuhan-ku.

Maka dengan bijaksana aku pun lalu dituntun Tuhan-ku dari keadaan ke keadaan lainnya, dari
suasana ke suasana lainnya.

Lalu ku lihat DADA-KU, ndak ada apa-apa disana, tidak rasa apa-apa,

Tapi dadaku itu seperti dibungkus oleh daya yang membawaku dari satu emosi ke emosi lainnya.

Saat aku minta rasa bahagia sejengkal, maka Allah-ku malah memberikan rasa bahagia itu
sehasta, lebih dari bahagia yang aku inginkan, sehingga aku pun ditangiskan dalam bahagia itu.

Saat aku berjalan minta rasa tenang, sabar, dan khusyu’ maka Allah-ku berlari memberikan rasa
tenang, sabar dan khusyu’ itu, lebih dari yang ku inginkan, sehingga aku pun kembali ditangiskan
dalam tenang, sabar dan khusyu’ itu.

Saat aku minta bebanku dilepaskan sejengkal saja, malah Allah-ku melepaskan bebanku itu
sehasta, sehingga dada-ku kembali menjadi tenang.

Saat aku bermohon agar diampuni, walau hanya sejengkal saja, atas dosa-dosaku yang sudah
menggunung, malah Allah-ku mengampuni dosaku itu sehasta, sehingga dadaku menjadi
lapang.

Lalu kulihat OTAK-KU, ndak ada apa-apa juga disana, tidak ada sekat-sekat persepsi ini dan itu,
tidak ada pengkotak-kotakan disitu.

Tapi otakku seperti diliputi oleh daya yang membawaku dari satu pengetahuan kepengetahuan
lainnya.

Saat aku minta sejengkal ilmu, malah Allah-ku memberiku ilmu-Nya berhasta-hasta, sehingga
akupun tinggal menuangkannya kedalam berbagai bentuk, sehingga semua ilmu itu seperti
mengalir memasuki otakku tanpa melelahkan.

Saat otak-ku mandeg dan aku kesulitan menyelesaikan masalahku yang hanya sejengkal saja,
malah Allah-ku menyelesaikan masalahku dengan sehasta, sehingga hasilnya lebih dari yang
kuperkirakan.

Sungguh Allah-ku lebih cepat, lebih care, dan lebih perhatian kepada-ku melebihi dari apa-apa
yang ku-inginkan.

Dan… anehnya, malam ini:

“…akupun seperti ditarik kembali selangkah demi selangkah untuk menjadi saksi atas kebenaran
ayat demi ayat al qur’an...”

“... akupun seperti dibawa kembali sepenggal demi sepenggal untuk menjadi saksi atas
kebijaksanaan Rasulullah dalam As Sunnah…”.

Lalu akupun ditasbihkan, “Subhanallah…”.

Lalu akupun disalawatkan, “Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa’ala ali Muhammad….”
SALING MERANGKAI VALUE…

Nah…, kombinasi file-file pengetahuan dan ekspresi emosional(baik yang didapatkan


dari olah fikiran maupun dari olah spiritual) inilah yang akan menentukan PATTERN (pola)
seseorang dalam mengarungi kehidupan ini dari hari ke hari. Sehingga dengan sangat
mudahnya setiap orang akan mampu melihat perbedaan VALUE (nilai) orang lain hanya dari
mengamati pattern pengetahuan dan emosi dasar yang diperlihatkan seseorang
tersebut dalam setiap tindakannya.

Lalu pattern dan value yang melekat pada diri seseorang itu kemudian akan membentuk
ICON (simbol) yang khas bagi sebuah kombinasi pengetahuan dan emosi tertentu.
Misalnya, ABU SANGKAN adalah ICON bagi sebuah komunitas yang di dalamnya adalah
orang-orang yang gemar menjalankan sebuah trilogi laku, yaitu suka untuk shalat
khusyuk, sekaligus tajam di filsafat (keilmuan), dan berdzikir (di setiap saat) yang
kemudian dikenal dengan komunitas PATRAP.

Kalau kita perhatikan sejarah perkembangan manusia, maka trilogi diatas sangatlah susah
untuk disatukan dalam sebuah LAKU. Orang yangtajam di FILSAFAT biasanya tidak mau
lagi berdzikir dan jarang pula shalat. Karena semuanya sudah mereka kupas dengan sangat
mendalam sehingga mereka menganggap sudah tidak ada apa-apanya lagi yang
perlu disembah dan diingat. Mereka sampai kepada pemahaman bahwa ternyata semua
yang ada ini terjadi begitu saja secara kebetulan dan hanya “in the matter of mind”
manusia saja. Tak lebih.

Dilain pihak orang yang asyik BERDZIKIR tingkat tinggi biasanya tidak mau berfilsafat
(berilmu pengetahuan) serta jarang pula shalat (kalau tidak mau dikatakan tidak pernah).
Karena dengan berdzikir mereka menjadi asyik dengan dzikir itu sendiri sehingga banyak
yang tidak berminat lagi untuk mengembangkan filsafat ilmu pengetahuan. Begitu juga
sang pendzikir tersebut sudah merasa cukup puas dengan hanya berdzikir saja. Toh tujuan
shalat itu hanyalah untuk bisa dzikir kepada Tuhan. Kalau sudah dzikir kepada Tuhan, maka
mereka menganggap sudah tidak perlu lagi untuk mendirikan shalat. Ada yang sampai
begini, banyak malah.

Begitu juga…, orang yang shalat jarang yang berdzikir dan tidak suka pula kepada filsafat.
Karena orang yang shalat hanya untuk pemenuhan kewajiban dan dilaksanakan pada
tataran gerakan-gerakan fisik saja akan sangat kesulitan untuk berdzikir kecuali hanya
sebatas berwirid tertentu saja. Sebab berdzikir itu ternyata sangat jauh berbeda dengan
berwirid. Ketakutan orang yang shalat terhadap filsafat dipicu juga oleh banyaknya orang-
orang filsafat yang tidak shalat lagi. Di media masa dapat dilihat bahwa di beberapa
perguruan tinggi yang mengajarkan ilmu agama Islam, sungguh banyak muncul generasi
yang sudah tidak melakukan shalat lagi, sehingga orang yang shalat tidak mau lagi untuk
mempelajari filsafat. “TAKUT TERSESAT”, kata mereka.

Kalau trilogi shalat, dzikir, dan filsafat (fikir) ini mau di gambarkan, maka akan
membentuk sebuah segitiga PATRAP sebagai berikut:

Yang tak lain hanyalah sebuah usaha tanpa henti (konsisten) saja
dalam pembentukan karakter (character building) manusia yang
mendekati karakter ULUL ALBAB. Ya… sekedar usaha mendekati saja sebenarnya, tak
lebih….!!. Dan usaha ini bukanlah dengan membentuk aliran baru pula sehingga menambah
banyaknya aliran-aliran dalam agama Islam yang sudah sangat banyak ini. Tidak…!.

PENUTUP…

Sebagai kata penutup, saya hanya ingin menyampaikan pesan sederhana saja:

Temukanlah tuntunan ilahi dalam setiap keasyikan kita, dalam rasa nikmat kita, dan
dalam rasa bahagia kita, maka tiada lain yang mampu kita lakukan kecuali hanya
mengungkapkan rasa syukurkepada Allah atas semua peristiwa emosional yang muncul itu.

Janganlah malu-malu untuk berbicara dengan Al Qur’an. Setiap membaca satu ayat, maka
mintalah TUNTUNAN dari Allah agar kita diberikan pemahaman (ngeh) atas ayat tersebut.
Karena setiap ayat itu memang ada muatannya. Janganlah sampai kita termasuk kedalam
orang-orang yang dikeluhkan oleh Rasulullah kepada Allah:

“Berkatalah Rasul: "Ya Tuhanku, sesungguhnya kaumku menjadikan Al Qur'an ini suatu yang
tidak diacuhkan” (Al Furqaan 30)

Padahal Rasulullah digetarkan dengan hebat saat menerima ayat demi ayat Al Qur’an itu.
Padahal Umar ibnu Khattab digetarkan dengan hebat tatkala mendengarkan sepenggal
ayat Al Qur’an yang dibacakan oleh adik perempuan Beliau yang lalu membawa Beliau
untuk memasuki keindahan Islam. Mungkinkah kita yang tidak tergetar sedikit pun tatkala
mendengarkan ayat-ayat Al Qur’an ini lebih baik dari Rasulullah dan Umar ibnu
Khattab…?. Astagfirullah al adhiem, ternyata kita selama ini ternyata membawa-bawa BATU
di dalam DADA kami, sehingga dada kita ini lalu menjadi MATI.

Dan minta jugalah TUNTUNAN dari Allah saat membaca satu Al Hadits ke Al Hadits yang lain
agar Allah menurunkan kepahaman kepada kita akan muatan Sunatullah di dalamnya.
Karena ternyata memang Rasulullah adalah pribadi yang patut untuk jadi teladan kita
semua.

Dan kalau kita umat manusia ini sudah bergantung kepada tuntunan Tuhan seperti yang telah diteladankan oleh
Rasulullah, maka sebenarnya selangkah lagi untuk mewujudkan “kesatuan HATI ummat” yang merupakan bentuk
kekayaan yang sangat mahal nilainya, seperti yang di firmankan oleh Allah:

“dan Yang mempersatukan hati mereka (orang-orang yang beriman). Walaupun kamu
membelanjakan semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat
mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka.
Sesungguhnya Dia Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. (Al Anfaal 63)

Dan tampaknya kesatuan hati umat inilah yang sudah nyaris hilang pada masing-masing
diri kita ini…!!.

Ah…, terserah kita saja sebenarnya….!!!

Wassalam

Jakarta, 08 Maret 2003, jam 22:00.

Rumah Sakit Pondok Indah, kamar 5321.


Deka

ALIF LAAM MIIM




Written by Administrator
Di dalam beberapa surat Al Qur’an, pada permulaan suratnya ada yang dimulai dengan
rangkaian huruf-huruf yang kalau dibaca nyaris tidak ada maknanya yang jelas sama sekali,
misalnya :

‘alif laam miim,

alif lam raa,

alif laam miim shaad,

haa miim, alif laam miim raa,

kaaf haa yaa ‘aiin shaad,

thaa ha, thaa siin miim,

thaa siin, yaa siin,

shaad,

‘aiin siin qaaf, qaaf, nuun,

dan sebagainya, terutama di awal surat-surat panjang di hampir tiga perempat bagian Al
Qur’an.

Nah sikap umat Islam dalam memahami rangkaian huruf-huruf itu sangatlah beragam. Ada
yang memaknainya dengan: “Hanya Allah sajalah yang tahu maknanya dengan pasti”. Ada
pula yang mencoba menafsirkannya dengan cara menggatuk-gatukkannya dengan sebuah
pemahaman yang dianggap sangat rahasia, sehingga hanya orang-orang tertentu sajalah
yang berhak untuk mengetahuinya. Ya boleh-boleh saja sebenarnya untuk itu.

Tapi kali ini saya ingin memberikan sebuah wacana alternatif tentang makna dari huruf-huruf tersebut dengan cara
yang sangat sederhana. Mari kita lihat…!

Dalam memahami Al Qur’an, bagi kita umat Islam yang tidak berbahasa arab, paling tidak
ada dua cara yang bisa kita pakai.

Cara Pertama, adalah dengan kita membaca terjemahannya maupun tafsiran-tafsirannya


yang telah dibuat oleh ulama-ulama terdahulu. Kita akan merasa bangga saat kita punya
segudang buku-buku tafsir dari ulama-ulama terkenal, apalagi kalau ulama itu berasal dari
Timur Tengah. Hati kita berbunga-bunga dengan buku-buku tafsir tersebut, seakan-akan
dengan buku itu kita akan bisa menjadi paham dengan Al Qur’an dan ahli tentang berbagai
ayat-ayatnya.

Dengan pemahaman cara pertama ini, biasanya kita hanya terangguk-angguk saja
menyerap apa-apa yang kita baca. Mengerti tidak mengerti, ada atau tidaknya realitas ayat
tersebut yang kita rasakan, kita tidak terlalu ambil pusing. Apa-apa yang kita baca sebagai
terjemahan dan tafsiran dari ayat Al Qur’an itu kita hafal dan masukkan ke dalam otak kita
sebagai sebuah nilai kebenaran. Kita tidak diperkenankan untuk ragu-ragu sedikitpun
tentang benar atau tidaknya apa-apa yang dikatakan oleh ayat-ayat Al Qur’an ataupun
tafsirnya, apalagi kalau tafsir itu adalah karya ulama yang dianggap sangat terkenal pada
zaman lalu. Pokoknya apa-apa yang kita baca didalam Al Qur’an dan tafsirnya itu kita
anggap adalah benar dan tidak perlu dipertanyakan lagi. TITIK.
Makanya kira terheran-heran saja saat kita ingin memahami ayat-ayat tentang SUASANA,
HAL, atau KEADAAN tentang orang yang beriman, seperti adanya dada yang bergetar saat
dibacakan ayat-ayat Allah, atau adanya tangis dan menyungkur saking dahsyatnya
pengaruh pengucapan nama Allah, ataupun adanya tuntunan demi tuntunan Tuhan dalam
keseharian kita. Kita kesulitan untuk memahaminya, sehingga kita mulai bertanya-tanya
tentang muatan kebenaran yang dibawa oleh ayat tersebut. “Benar nggak sih ayat ini…?”,
kata kita sedikit bertanya-tanya dengan wajah yang malu-malu. Terlebih lagi saat kita tidak
dapat mendapatkan atau merasakan realitas dari ayat-ayat yang kita baca tersebut.
Sehingga akhirnya ayat Al Qur’an tersebut berubah menjadi sebuah ayat dogmatis yang
harus kita terima, enak ataupun tidak enak terpaksa kita telan.

Cara kedua adalah dengan membaca bahasa Tuhan, berupa QALAM, yang dengan bahasa
itulah Tuhan mengajari umat manusia terhadap apa-apa yang tidak diketahuinya. Pada
artikel “Lautan Kira-Kira” dan artikel “Membaca Qalam Menuai Paham”, saya sudah
mengupas sedikit tentang bahasa Qalam ini. Silahkan dilihat kembali. Nah…, dengan cara
kedua inilah sebenarnya kita diminta oleh Allah dalam membaca Al Qur’an.

Untuk kali ini, kita akan melihat bentuk bahasa Qalam ini dalam kehidupan kita sehari-hari.
Bagaimana cara Al Qur’an mengajak kita untuk membacanya. Langkah pertama seperti apa
yang harus kita jalani untuk bisa melahap bahasa Qalam itu dengan sempurna.

Cobalah perhatikan…, diawal surat Al Baqarah, Allah mengawali surat tersebut dengan
kalimat “Alif laam miim”. Sebuah untaian kata yang tidak punya arti apa-apa. Akan tetapi
ternyata kata-kata tersebut mempunyai makna yag sangat fundamental ketika kita ingin
membaca pengajaran Tuhan kepada kita saat ini.

Artinya untuk bisa memahami Al Qur’an, kita tidak diminta oleh Allah untuk membawa ilmu
kita. Kita tidak diminta oleh Allah untuk membawa tafsiran-tafsiran yang telah kita punyai
dan hafal selama ini. Kita cukup menjadikannya sebagai landasan berpijak kita saja, untuk
kemudian kita melangkah ke anak tangga pemahaman berikutnya. Karena kalau kita masih
membawanya, dan kita masih bertahan di anak tangga pertama saja, padahal ketika itu kita
sedang dibukakan kesempatan oleh Allah untuk memahami realitas bahasa Al Qur’an
dikekinian waktu, maka kita akan TERTUTUP dari pemahaman baru tersebut. Sehingga
pemahaman yang akan kita dapatkan tetaplah sebegitu-begitunya saja, nyaris tidak akan
pernah berkembang dan beranjak dari pemahaman sejak dari dahulu kala. Sama saja dari
zaman ke zaman. Seakan-akan Allah telah berhenti untuk memberikan pemahaman baru
kepada kita. Seiring dengan telah dibukukannya Al Qur’an, kita juga mengira bahwa Allah
hanya berkata-kata sebatas apa-apa yang ditulis di dalam Al Qur’an itu saja.

Kita mengira bahwa tafsiran dan pemahaman kita terhadap Al Qur’an itu juga
telah berhenti di hadits-hadits Rasulullah, berhenti ditangan sahabat-sahabat Beliau dan
dilidah para tabi’in, tabit tabi’in. Hanya sebegitu-begitunya sajalah Bahasa Tuhan yang
boleh kita tangkap. Tidak lebih tidak kurang. Makanya setiap ada buku-buku yang katanya
adalah buku baru, yang ditulis saat ini oleh seorang ulama yang terkenal pula, maka isinya
tidak akan lebih dari pengulangan-pengulangan atas pemahaman yang telah ada di zaman-
zaman yang lampau. Kalaulah hal ini hanya untuk masalah-masalah ibadah saja, ya tidak
masalah dan memang haruslah seperti itu. Akan tetapi untuk masalah-masalah yang
berkenaan dengan seluk beluk jiwa dan perilaku manusia serta serba-serbi ilmu
pengetahuan (segala macam ilmu pengetahuan), kita juga maunya mengekor kepada
bahasa-bahasa tertulis zaman lalu itu. Akibatnya kita sangatlah terseok-seok di dua bidang
ini.

Di sekolah-sekolah yang katanya mengajarkan agama kepada murid-muridnya, maka ilmu


yang dibahas selalu saja ilmu yang berkenaan dengan tafsiran-tafsiran kehidupan
berdasarkan kitab-kitab kuno tersebut. Dan muatan dari ilmu itu juga lebih mengarah pada
satu sisi kehidupan saja, yaitu sisi kehidupan akhirat. Seakan-akan kita memang telah
dengan sengaja memisahkan kehidupan akhirat itu dengan kehidupan kita di dunia saat ini.
Sementara dalam do’a-do’a…, kita selalu mengharapkan adanya kehidupan yang baik di
dunia dan kehidupan yang baik di akhirat. Tapi kita telah membunuh kebahagiaan di dunia
itu dengan sengaja. Kita telah menutup telinga, mata, otak, dan dada kita terhadap bahasa
Tuhan tentang kehidupan dunia ini.

Padahal pengajaran Allah, bahasa dan kata-kata Allah akan selalu mengalir disetiap waktu
dan dengan kualitas yang terkini pula, melalui tabir-tabirnya yang sungguh tak terhingga
banyaknya. Ya…, Bahasa Allah tidak akan pernah berhenti mengalir, tidak akan pernah
kuno dan ketinggalan zaman sampai kapanpun. Bahasa Allah adalah sebuah bahasa UP TO
DATE yang selalu berganti baru disetiap detik yang berdenting.

Dan luarbiasanya lagi. Allah akan tetap mengalirkan Bahasa dan Omongan-Nya itu kepada
siapa pun yang mau mendengarkannya dan dimanapun tempatnya. Allah tidak peduli
apakah bahasa-Nya yang berada di tetumbuhan dan di alam semesta akan dimengerti oleh
orang-orang yang beriman kepada-Nya atau tidak. Allah tidak milih-milih dalam
menempatkan Bahasa dan Omongan-Nya itu, tidak harus hanya di Arab, tidak harus hanya
di Indonesia, tidak harus hanya di negara-negara Islam. Tidak. Bahasa Allah akan mengalir
di tabir-tabir-Nya diseluruh pelosok permukaan bumi yang ditujukan-Nya bagi orang-orang
yang mau membacanya, IQRAA…!.

Dan yang akan membedakan berhasil atau tidaknya kita dalam membaca bahasa Tuhan itu
hanyalah dengan melihat masalah manfaatnya saja nantinya. Kalau orang yang beriman
kepada Allah yang membacanya, maka hasilnya pastilah bermanfaat untuk kemakmuran
bagi seluruh umat manusia, dan akan menambah keimanan sang pembacanya kepada
Allah. Akan tetapi kalau yang berhasil membacanya adalah orang yang TIDAK beriman
kepada Allah, maka hasilnya lebih banyak mengarah kepada kemudharatan dan
kesengsaraan umat manusia lainnya. Dan sang pembaca Qalam Tuhan yang tidak didasari
oleh iman kepada Allah itupun tidak akan mampu pula untuk meningkatkan keimanan-Nya
ke arah yang tepat, yaitu Allah.

Sederhana sekali sebenarnya…, bahwa ketika kita membaca ayat-ayat Al Qur’an, maka
sebenarnya saat itu kita tinggal membenarkan saja ayat-ayat yang sedang kita baca itu.
Sebab sebelum kita membaca ayat itu, atau saat membacanya, ataupun setelah
membacanya, kita diberikan kepahaman oleh Allah tentang realitas dari ayat-ayat tersebut.
Dan luar biasanya lagi, realitas dan kepahaman kita terhadap satu ayat yang sama, akan
sangat berbeda dari waktu ke waktu. Allah seperti menuangkan terus pemahaman-
pemahaman dan bukti-bukti baru yang berbeda dengan yang kita dapatkan sebelumnya,
walaupun yang kita baca ayat Al Qur’annya adalah ayat yang itu-itu juga. Ayat yang sama
tapi dengan pemahaman di kekinian waktu.

Demikianlah cara Allah menyusupkan, mengilhamkan, mewahyukan, pemahaman kepada


kita disetiap saat. Seperti juga cara Allah mewahyukan pemahaman kepada lebah, kepada
semut, kepada bumi, kepada matahari atas tugas-tugas yang harus mereka kerjakan. Jadi
wahyu Tuhan itu tidak akan pernah berhenti diturunkan kepada seluruh makhluk-Nya
sampai kapan pun. Karena Allah memang berbicara melalui bahasa wahyu, yang bukan
berupa kata-kata, huruf-huruf, kalimat-kalimat, yang tidak sama dengan bahasa manusia
yang kita lakukan.

Nah…, setiap kita mau mengawali membaca ayat-ayat al Qur’an, kita seperti diingatkan
oleh Allah untuk segera menanggalkan pemahaman dan tafsir-tafsir yang telah kita ketahui
sebelumnya. Alif laam miim. Copot semua dulu, nafikan semua file-file yang ada diotak
kita tentang ayat-ayat yang akan kita baca itu terlebih dahulu. Lalu lihatlah Yang Ada, Laa
ilaha illla Allah. Lalu siapkanlah mata, telinga, dan dada kita untuk menerima curahan dan
aliran pengertian dari Tuhan, dan siapkan pula otak kita untuk merekamnya di setiap saat.
Lalu amatilah lingkungan kita, amatilah di sekitar kita, kepahaman apa yang bisa kita
dapatkan dari sana, dan lalu kita lihat ayat Al Qur’an yang bercerita tentang apa-apa yang
harus kita lakukan terhadap lingkungan kita itu. Dan kita tinggal menjalankan saja anjuran
yang diperintahkan oleh Al Qur’an. Dan seketika itu juga kita akan menjadi seorang
penyaksi atas kebenaran dari ayat-ayat Al Qur’an yang kita baca.

Contohnya…

Saat bencana terjadi, banjir atau tsunami misalnya, Allah sebenarnya saat tengah menarok
bahasa-Nya melalui tabir-tabir-Nya, yaitu padaalam itu sendiri yang sedang
diluluhlantakkankan oleh sebuah kekuatan yang Maha Raksasa, dan pada diri-diri ribuan
manusia yang sedang menderita duka nestapa sebagai objek yang menanggung akibatnya.

Mari kita lihat bagaimana bahasa Allah kepada kita saat terjadinya bencana tsunami di Aceh
di akhir tahun 2004 yang lalu. Di saat umat manusia di Aceh dan sekitarnya tengah terlena
dengan kehidupan sehari-hari mereka, Allah tiba-tiba memperlihatkan
kekuasaannya.BUUMMM…, sebuah gempa dahsyat datang mengguncang wilayah lautan
Aceh.

Bagi orang yang tidak sadar, maka gempa itu akan dianggapnya hanya sebagai sebuah
gejala alam biasa saja. Apalagi dengan teknologi yang ada, gempa itu sudah bisa
diramalkan kedatangannya sebelumnya, maka orang akan menganggapnya sebagai
peristiwa alamiah yang memang sudah sewajarnya saja terjadi. Sehingga banyak diantara
kita, terutama yang tidak merasakan dampak langsung dari tsunami itu, akan bersikap
biasa-biasa saja. Kita tidak care, dan kita tidak sediki tpun berhasil meningkatkan
kesadaran kita kepada Allah. Akibatnya kita juga akan tidak bisa meningkatkan kesadaran
kita terhadap bahasa Tuhan yang sedang ditarok-Nya pada diri masyarakat Aceh yang
sedang menderita. Kepedulian kita terhadap duka nestapa rakyat Aceh nyaris tipis, setipis
kepahaman kita dalam memamami Bahasa Tuhan.

Akan tetapi mari kita lihat bagaimana Al Qur’an mengajak kita dalam bersikap dan
berkesadaran saat kita membaca Bahasa Allah di setiap saat. Al Qur’an menjelaskan
bagaimana seorang ULUL ALBAB bersikap dalam membaca Bahasa Tuhan, yang kali ini
ditarok-Nya di Tabir Gempa:

“BUUMMM…”, sebuah Gempa dahsyat dengan kekuatan sekitar 9 skala R terjadi, maka
kesadaran Sang Ulul Albab akan bergerak saat demi saat, paling tidak seperti berikut ini:

Pertama, Sang Ulul Albab akan menyadari bahwa saat itu ALLAH sedang menarok
Qalam-Nya di celah-celah bebatuan didasar lautan Hindia. Jadi pada langkah
pertama ini, kesadarannya langsung pergi, dan lari ke Allah. Dzikrullah. Bahwa
semua ini terjadi adalah karena Allah yang sedang berkehendak, Allah yang sedang
menarok Bahasanya di tabir Gempa buat dibaca, di IQRAA, oleh seluruh umat
manusia. Begitu jelasnya bahasa Allah itu disabdakan-Nya kepada kita. Kita, dan
siapa pun juga, akan bisa membaca Bahasa Qalam itu. Kita bisa dengan sangat
jelas membedakan suasana sebuah gempa dengan suasana yang bukan gempa.
Jelas sekali beda gempa itu dengan yang bukan gempa. Kita tidak perlu berfikir
apapun tentang gempa itu. Kita tidak usah mencari-cari definisi dulu tentang gempa
itu. Kita tidak usah membuka buku dulu untuk mencari tahu peristiwa macam apa ini
gerangan yang sedang terjadi.

Apapun yang kemudian terjadi, sebagai dampak ikutan dari kejadian gempa itu,
maka semuanya itu tidak lain adalah bahasa Tuhan, yang dengan sangat jelas,
sedang di sampaikan-Nya kepada kita. Bahasa Tuhan itu adalah bahasa-Nya di
tabir tsunami. Ada gelombang air laut yang menyapu daratan Aceh, Srilangka,
Thailand, Afrika, dan sebagainya. Ada rumah, ada sekolah, dan ada bangunan-
bangunan lainnya yang hancur lebur diterjang dahsyatnya gelombang lautan itu.
Apapun yang selama ini diperkirakan orang tidak akan pernah terjadi, terjadilah
pada saat itu. Mayat-mayat berserakan dimana-mana. Ratusan ribu nyawa
melayang. Dan ratusan ribu orang lainnya, bahkankan lebih, kehilangan orang tua,
anak, sanak saudara, dan harta bendanya. Semuanya diperlihatkan Allah melalui
bahasa-Nya yang begitu jelas. Bahasa Bahasa Kun Fayakun, Bahasa Tabir. Semua
orang bisa membacanya dengan jelas. Orang dengan agama apapun akan bisa
membacanya.

Bagi Sang Ulul Albab, segala parahara dan duka nestapa umat manusia itu akan
membuatnya lebih kuat (jahadu) lagi meloncatkan kesadarannya kepada Allah.
Bahwa semua yang terjadi itu adalah bahasa Allah yang tengah menyapa seluruh
umat manusia untuk kemudian dia ambil sebagai pelajaran.

Kedua, Sang Ulul Albab akan sadar bahwa saat gempa itu terjadi, sebenarnya Allah
tengah berbicara kepadanya:

“Ini Aku...,
Aku bertajalli..., Aku bertajalli..., Aku bertajalli...,
Aku Ada...,
Aku Menampakkan Diri-Ku....!.
Kau wahai hamba-Ku…, lihatlah betapa besarnya kekuatan-Ku dan kekuasaan-Ku. Bumi yang tadinya diam,
kemudian Ku guncangkan agar dia menjadi kokoh.

Lihatlah wahai hamba-Ku,


bagaimana Aku membuat tsunami dengan adanya gempa itu,
bagaimana Aku menyapukan gelombang itu ke daratan yang luas,
bagaimana Aku dengan mudahnya mengambil nyawa ratusan ribu umat
manusia dan binatang ternak dengan seketika,
Lihatlah wahai hamba-Ku,
Betapa berkuasanya Aku,
Betapa berkehendaknya Aku,
Aku benar-benar berbuat sesuka hati-Ku,
Karena memang semuanya adalah milik-Ku.
Maka sujudlah kepada-Ku wahai hamba-Ku,
Sembahlah Aku,
Mintalah kepada-Ku,
Agar rahmat-Ku mengalir kepadamu…!.
Ya…, Sang Ulul Albab pastilah "gembira" melihat langsung penampakan Allah itu,
seperti Allah bertajalli kepada Musa, saat Musa memohon agar Allah menampakkan
Diri-Nya. Dan begitu Allah bertajalli, maka Bukit Thursina pun hancur luluh lantak,
sehingga Musa pun pingsan. Semua ternyata FANA (tiada). Bukit Thursina tiada,
Musa tiada, Fana…, fana…!. Hanya Dialah Yang Ada…, Allah…!.

Saat Allah “menampakkan” Diri-Nya, secara dhahir, maka bumi direkahkan, air laut
di gelorakan, ratusan ribu manusia dimatikan. Semuanya menjadi FANA.
Pendengaran..., penglihatan..., hidup mereka lenyap, diambil kembali oleh Sang
Pemiliknya, ALLAH. .

Dan tiada lain…, Sang Ulul Albab pun tersungkur dan bersujud seperti Musa, seraya
menegaskan: “… Maha Suci Engkau, aku bertaubat kepada Engkau dan aku orang
yang pertama-tama beriman". (Al A'raf 143).

Ketiga, Sang Ulul Albab akan terus membaca Qalam Tuhan yang ditarok-Nya di
tabir wilayah pasca bencana. Manusia-manusia yang hidup di sekitar wilayah
bencana alam itu sungguh didera nestapa. Ada yang sudah tidak punya rumah,
pakaian, dan makanan lagi. Ada ribuan anak yang telah menjadi yatim piatu. Ada
yang sakit, ada yang tidak punya sekolah lagi, ada yang sudah tidak bisa apa-apa
lagi. Semua bercampur baur menunggu orang-orang yang mau menjadi kurir Allah,
wakil Allah, kendaraan Allah, khalifah Allah, untuk membangun dan menata
kembali wilayah Aceh dan masyarakatnya yang sudah porak poranda itu.

Keempat (yang terpenting sebenarnya), Sang Ulul Albab, dengan tergopoh-


gopoh, akan melihat dada dan otaknya. Adakah di
dadanya muncul kehendak untuk ikut serta membantu dan bahkan menata
kembali Aceh yang sudah luluh lantak itu…?. Adakah di otaknya lahir ilmu
pengetahuan baru tentang bagaimana caranya agar dampak tsunami dimasa-masa
mendatang bisa dikurangi sekecil mungkiin…?. Ya…, dia akan buru-buru melihat
apakah dadanya dan otaknya dipakai oleh Allah untuk menarok Kehendak-Nya dan
Tahu-Nya untuk mengayam kembali peradaban rakyat Aceh yang lebih baik.

Allah adalah Sang Pemberi Rizki kepada siapapun juga. Dan cara Allah memberi rizki
itu bukanlah dengan cara menjatuhkannya dari langit seperti turunnya air hujan,
akan tetapi Dia akan “memakai” tangan-tangan siapa pun juga yang menyediakan
tangannya dipakai oleh Allah untuk menyampaikan riski dari-Nya. Ya…, Allah akan
memberi makan rakyat Aceh yang saat itu kelaparan melalui tangan-tangan umat
manusia juga. Allah tidak milih-milih untuk memakai tangan siapa pun juga. Allah
tidak hanya memilih tangan orang-orang yang beriman kepada-Nya, akan tetapi
juga tangan-tangan orang-orang yang kafir kepada-Nya. Allah akan mengalirkan
Kehendak-Nya untuk memberi makan rakyat Aceh itu kedalam dada siapa pun mau
membuka DADANYA, dada yang luas.

Dan kita bisa melihat…!, bahwa ribuan bahkan jutaan dada segera dialiri
kehendak untuk memberi bantuan untuk rakyat Aceh yang sedang menderita itu.
Bantuan makanan dan sandang dari berbagai daerah di dalam negeri berdatangan
menjambangi rakyat Aceh. Bahkan tangan-tangan dari berbagai penjuru dunia dan
berbagai agama pun terjulur untuk menyampaikan rizki dari Allah buat masyarakat
Aceh.

Akan tetapi pada saat yang sama juga ada jutaan dada yang diam tak bergeming
saat memandang duka nestapa Aceh tersebut. Dada- dada itu tidak sedikit pun
dialiri kehendak untuk mengalirkan bantuan. Yang namanya tidak dialiri kehendak,
ya…, tidak ada dorong sedikit pun dari dalam dirinya sendiri untuk membantu rakyat
Aceh yang memang sedang menderita. Dada-dada itu seperti dada yang telah mati,
keras dan membatu. Dada itu telah berubah menjadi dada yang gelap gulita karena
hilangnya cahaya Tuhan,Nurun ‘alan Nur, di dalamnya.

Taroklah sekarang, yang dengan tanpa proses berfikir sedikit pun, ada diantara kita
yang dadanya dialiri oleh kehendak untuk membantu penderitaan rakyat Aceh itu.
Kehendak itu seperti mendorong kita untuk, misalnya, mengirimkan segepok uang,
atau sekantong makanan dan sekarung pakaian untuk mereka. Bahkan seperti
berlomba-lomba, banyak pula diantara kita yang datang langsung kesana tak lama
setelah bencana tsunami itu melanyau (menghancurkan) daratan tanah rencong
tersebut.

NIAT…
Namun semua itu tadi kita lakukan atas dasar apa…?. NIATNYA APA ??, untuk istilah
agamanya. Mari kita bedah dada kita ini barang sekejap, dimana hal ini bisa kita
lakukan untuk kegiatan apapun juga.

Untuk saat ini, begitu sebuah bencana terjadi, informasi tentang itu akan mengalir
deras masuk melalui mata dan telinga kita melalui berbagai cara, misalnya,
tayangan TV, surat kabar, radio, telpon, dan sebagainya. Lalu amatilah dada kita.
Ada nggak muncul sebuah dorongan dari dalam diri kita (dada) agar kita turut
meringankan tangan untuk membantu orang-orang yang terkena bencana itu. Kalau
ada, maka saat itu sebenarnya kita patut bersyukur, karena saat itu berarti Allah
masih suka memakai DADA kita sebagai tempat DIA menarok Kehendak-Nya. Ya…,
dada kita masih dipakai-Nya untuk sebagai Rumah-Nya tempat Dia Berkehendak.
Kehendak untuk mengalirkan rezki dari-Nya kepada orang-orang yang sedang
menderita.

Akan tetapi tatkala dada kita tidak sedikit pun dialiri kehendak untuk membantu
orang-orang yang ditimpa bencana itu, maka saat itu sebenarnya kita tengah
berada, atau lebih tepatnya ditarok Allah, dalam sebuah tragik hidup yang sangat
menyedihkan. Bahwa saat itu pada hakekatnya Allah sedang tidak berkenan lagi
untuk memakai dada kita ini sebagai Rumah-Nya untuk menarok Kehendak-Nya.
Allah telah mencampakkan dada kita dari sisi-Nya. Kalau sudah begini, sudah
seharusnya kita mulai merasa khawatir. Karena itulah sebuah isyarat yang
menandakan bahwa dada kita ini mulai mengeras dan membatu. Dada kita tidak
disinari lagi oleh Allah. MATI. Dan Al Qur’an mengisyaratkan bahwa kualitas diri kita
saat itu sebenarnya lebih rendah dari seekor binatang.

Seekor anjing saja, terutama anjing yang sudah terlatih dengan baik untuk
menolong orang, akan berjuang mati-matian untuk menyelamatkan seseorang yang,
misalnya, sedang terjatuh ke sebuah kolam. Anjing tersebut seperti di dorong oleh
sebuah kehendak yang sangat kuat untuk menolong orang yang tenggelam tersebut.

Sekarang taroklah Tuhan masih mau menempatkan Kehendak-Nya di dalam dada


kita. Ada dorongan yang kuat muncul di dalam dada kita agar kita membantu korban
bencana itu. Dan seketika itu juga kita akan lari ke dalam otak kita untuk mencari
alasan (logika) untuk apa kita membantu orang. Ya, saat itu kita akan bisa tahu
dengan persis dengan NIAT apa kita memenuhi dorongan Kehendak Tuhan itu.

Otak kita ini memang penuh berisi file rangkaian memori tentang berbagai ISTILAH
berikut dengan suasana RUANGAN DADA yang terkait dengan istilah-istilah tersebut.
Tentang NIAT, misalnya, di dalam otak kita paling tidak sudah ada memori tentang
istilah RIA dengan berbagai variannya, dan istilah IKHLAS dengan berbagai
turunannya pula. Akan tetapi tahunya kita tentang istilah ikhlas itu tidak dengan
serta merta bisa membawa kita untuk bisa masuk keruangan dada yang ikhlas pula.
Sebaliknya, tanpa perjuangan yang berarti kita malah dengan mudah bisa tercebur
masuk ke dalam ruangan dada yang RIA. Aneh memang.

Setiap orang yang datang untuk membantu penduduk di wilayah bencana itu, akan
TAHU dengan PASTI untuk niat apa dia kesana. Walaupun pekerjaannya sama, yaitu
membantu orang, akan tetapi ruangan dadanya tetap saja berbeda dari orang ke
orang dengan sangat signifikan. Sangat pribadi sekali sifatnya. Hanya kita sendirilah
yang tahu dengan jelas dengan niat apa kita membantu itu.

Ada diantara kita yang datang dengan ruangan dada yang saat itu penuh dengan
suasana ruangan PERPOLITIKAN, maka kunjungan kita itupun akan penuh dengan
logika-logika untung rugi politik pula. Bendera atau simbol-simbol politik yang kita
usung akan berkibar menyertai kita. Tiba-tiba saja, dalam membantu korban
bencana, kita sudah kecemplung kedalam wilayah dada dan otak yang penuh dengan
logika untung rugi. Ada pula kita yang datang kesana dengan ruangan dada JAIM
(Jaga Image). Tiba-tiba saja kita akan berada di wilayah yang penuh dengan logika
untuk menjaga penampilan kita, agar kita dikenal orang, agar kita dihormati orang,
dan sebagainya.

Ada memang diantara kita yang datang dengan mengusung nama Tuhan. Kita
menyatakan bahwa kita kesana adalah atas nama Tuhan, terpanggil oleh misi dari
Tuhan. Bagus memang. Akan tetapi saat kita menyebut nama apa yang kita sebut
sebagai Tuhan itu, di ruangan dada dan otak kita masih penuh dengan berbagai
wajah yang terpersepsikan. Masih ada rupa, masih ada warna, sehingga segala
tindakan kita juga akan penuh dengan logika-logika yang muaranya adalah ke rupa-
rupa dan warna itu. Misalnya, ada orang yang datang dengan dada dan otak penuh
“wajah Yesus Kristus”, maka logika yang muncul ketika membantu itupun akan
diwarnai oleh logika kekristusan. Padahal rakyat di tempat bencana itu ruangan dada
dan otaknya tidak menerima logika kekristusan itu. Sehingga akhirnya, alih-alih
dengan bantuan itu kita bisa memperbaiki suasana, malah yang muncul kemudian
adalah ketegangan dan penderitaan baru.

Dengan cara yang sama, kita akan mengetahui dengan sangat tepat tentang dengan
motivasi apa kita memberi bantuan ketempat bencana itu. Bisa hanya karena malu,
ikut-ikutan, dan tentu saja karena IKHLAS.

Gambar dibawah berikut adalah sebuah bahasa Tuhan yang sangat nyata dihadapan
kita, lalu kehendak macam apa yang ditarok Allah kedalam dada kita saat ini. Lalu
realitas tindakan macam apa pula yang terwujud di dalam otak kita sehingga
anggota tubuh kita tinggal mengikuti saja kehendak tersebut tanpa beban sedikitpun
untuk, setidak tidaknya, kita lakukan di lingkungan sekitar kita …????. Dan saat kita
melakukan semua yang realitas itu tadi, kita sedang menyandarkan kesadaran kita
dengan utuh kepada SIAPA…?, yang dalam istilah agamanya adalah NIAT…!.

MENEMUKAN JAWABAN…

Demikianlah…, dengan memperhatikan dada kita, lingkungan kita, bahkan alam semesta
tanpa batas, maka kita dengan serta merta artinya sudah membaca (Iqraa) Al Qur’an
dengan nyata. Lalu ayat demi ayat Al Qur’an yang tertulis di mushaf itu tinggal hanya
menjadi pembenar saja atas apa-apa yang kita baca tersebut. Lalu biarkanlah ayat-ayat Al
Qur’an itu berbicara kepada siapa pun dengan level pemikiran seperti apapun dan sesuai
pula dengan zaman yang dilaluinya. Alif laam miim…

Selesai

Wassalam
Deka

AKAL SANG HAKIM




Written by Administrator

Setelah saya mencoba membahas secara berkesinambungan terhadap problematika umat Islam dan
manusia dalam kumpulan artikel:

Pengkhianat Tuhan, Rekonstruksi Berfikir, Rekonstruksi Pemahaman As Sunnah, maka pada kali ini saya
akan tutup serial ini dengan artikel pamungkas, yaitu serial Akal Sang Hakim.

Sudah sangat umum pengertian di tengah-tengah masyarakat bahwa tatkala kita berkata tentang AKAL,
maka yang dimaksudkan dengan akal itu langsung saja tertuju kepada instrumen OTAK kita. Saat kita
berkata: “Pikirin dong…, gunakan akal sehat dong…, akalmu kemana, waah akal saya buntu…?”, maka
yang kita maksud umumnya adalah wilayah otak kita sambil telunjuk kita mengarah ke arah otak kita.
Begitu juga saat kita berkata : “Kau gunakan logika berfikir dong…!!”, sama saja…, otak-otak juga yang
dimaksud.

Mari kita bahas mengenai OTAK dan AKAL ini secara lebih detail.

Otak adalah kumpulan sel-sel lunak yang dapat menyimpan data-data yang masuk kedalamnya lewat ke
enam indra kita. Ada data tentang pengamatan dan penelitian yang bisa masuk hanya melalui telinga,
ada pula pencerapan yang hanya bisa masuk lewat mata, lewat lidah, lewat hidung, lewat kulit, dan ada
juga yang lewat dada (berupa rasa). Otak yang tak lebih dari sebesar bola basket ini, ternyata mampu
menyimpan file-file data tersebut dengan cara yang sangat mengagumkan. Data-data yang masuk itu
bisa berupa logika matematika, biologi sosiologi, filsafat, AGAMA, dan segala macam pengetahuan
lainnya, dan ada pula yang berupa gambaran, suasana atau hal tentang suatu keadaan baik secara
secara terpotong-potong maupun secara utuh. Semakin banyak logika-logika dan pengetahuan yang
masuk kedalam otak seseorang, maka orang tersebut dinamakan orang yang berperadaban tinggi.
Begitu juga tatkala otak manusia diisi dengan data yang melimpah ruah, maka orang tersebut dikatakan
sebagai orang yang cerdas. Karena dengan data yang banyak tersedia itu dia akan mempunyai
pertimbangan-pertimbangan yang lebih menyeluruh terhadap permasalahan yang dia hadapi.

Peradaban suku pedalaman BADUY di wilayah Banten dikatakan lebih rendah dari peradaban
masyarakat Jakarta dan sekitarnya. Karena file-file data tentang peradaban baru yang merupakan hasil
dari kemajuan zaman tidak masuk ke dalam otak orang Baduy itu. Selama puluhan bahkan ratusan
tahun, masyarakat Baduy berusaha menutup otak mereka dari menerima file-file baru. Mereka mengisolir
diri di kedalaman hutan belantara. Sehingga mereka tumbuh sebagai sebuah komunitas masyarakat
yang peradabannya tertinggal digilas roda sejarah. Alat komunikasi, transportasi, dan gaya hidup mereka
begitu statis, sehingga mereka kemudian menjadi komunitas yang jadi tontonan orang hanya karena
keprimitifannya.

Peradaban masyarakat Jakarta dikatakan juga lebih rendah dari peradaban masyarakat kota-kota besar
lainnya di dunia, seperti masyarakat Tokyo, New York, dan Paris. Walaupun sekilas terlihat hampir tidak
ada bedanya, akan tetapi selalu saja ada rasa minder dan rendah diri masyarakat Jakarta jika
berhadapan dengan masyarakat berperadaban maju tersebut. Untuk menutupi rasa minder tersebut,
maka masyarakat Jakarta biasanya bertindak melebih-lebihkan aksi (over acting), agar bisa pula
dikatakan orang sebagai masyarakat yang berperadaban tinggi.

Kalau dibandingkan lebih lanjut, peradaban masyarakat modern sekarang dengan masyarakat Indonesia
dia zaman kerajaan MAJAPAHIT dan SRIWIJAYA dulu, maka peradaban kedua kerajaan tersebut sudah
sangat jauh ketinggalan zaman. Yang tertinggal sekarang hanyalah nostalgia indah yang dinikmati orang
lewat acara-acara seremonial, dan juga melalui film-film ber-setting ke zaman kedua kerajaan kuno
tersebut. Tidak lebih.

Kemudian kalau sejarah kita coba tarik mundur ke zaman Rasulullah dan para sahabat Beliau, maka
peradaban saat itu akan jauh lebih tertinggal lagi dari peradaban saat ini. Akan tetapi untuk mengatakan
bahwa peradaban zaman Nabi sangat jauh tertinggal seperti ini, mayoritas masyarakat tidak siap, karena
kebanyakan kita sepertinya selalu saja melakukan “mind setting” sesuai dengan keadaan masyarakat kita
sekarang ini. Di dalam otak Rasulullah SAW dan para Sahabat beliau saat itu tidak ada file tentang
peradaban modern seperti sekarang ini, tidak ada file tentang kedokteran modern, transportasi,
komunikasi, pemerintahan demokrasi, dan berbagai produk peradaban modern lainnya. Sehingga kalau
hanya didasarkan pada data-data yang tersimpan di otak beliau-beliau yang mulia itu, maka boleh
dikatakan peradaban saat itu tidak akan jauh berbeda dengan peradaban masyarakat Baduy di Banten
saat ini. Akan tetapi kenapa dikatakan bahwa Rasulullah dan para sahabat Beliau adalah generasi yang
mempunyai AKAL yang sangat tinggi dan sangat cerdas serta menembus zaman demi zaman…???.

Dengan memperhatikan tentang isi otak yang membentuk peradaban ini, maka sekarang mari kita ajukan
pertanyaan:

 Kalau begitu AKAL itu yang mana, apa, dan siapa….?,


 Tidakkah kita selama ini terlalu sering berucap bahwa AKAL adalah milik manusia yang
TERTINGGI yang membedakan manusia dengan binatang dan makhluk-makhluk lainnya…?. Akal
lah yang menyebabkan malaikat sampai-sampai harus sujud menghormat kepada manusia.
 Kalau dikatakan akal itu adalah yang tertinggi, kenapa ada masyarakat yang dikatakan yang
mempunyai akal dan peradaban yang rendah seperti suku Baduy diatas…?.
 Kalau begitu apakah barangkali ada akal yang tinggi dan ada pula akal yang rendah…???”.

Belum lagi kalau isi otak itu kalau mau ditinjau pula file-file tentang baik dan buruk, maka kita akan
dihadapkan kepada perbedaan yang sangat signifikan antar orang ke orang. Mari kita lihat salah satu
saja, misalnya masalah rokok. Bagi AKAL sekelompok orang, sebut saja “T”, rokok itu dikatakan haram
jadah, buruk sekali. Sehingga bagi kelompok tersebut melihat orang merokok tak ubahnya seperti melihat
orang yang sudah melakukan dosa yang sangat besar, sehingga tidak jarang mereka menjauhkan diri
dari orang yang merokok. Sedangkan bagi sekelompok lainnya, misalnya “N”, rokok bukanlah hal yang
haram, ya…, paling-paling jatuhnya ke makruh. Sehingga sedotan rokok mereka tak ubahnya seperti
sepur tua yang sedang ngos-ngosan, ngepul terus. Kalau begitu akal orang yang mana yang benar?.

Yang lebih tragis lagi adalah kalau sudah masuk kepada logika. Misalnya, menurut logika Syi’ah, Sunni
itu sangatlah rendah, karena pencetus awal Sunni, yaitu Aisyah dan Muawwiyah, telah dengan tega-
teganya mempelopori pembunuhan cucu Rasulullah dan Ali Ra. Sunni ini menurut beberapa literatur yang
saya ketahui, menurut AKAL SEHAT Syi’ah dianggap kafir. Begitu pun sebaliknya. Saling
menyalahkanlah, kalau tidak mau dikatakan saling mengkafirkan. Kok bisa yah akal saling
bertentangan…???. Ini baru masuk pada dua mainstream yang saling mengaku dirinya adalah Islam
yang benar. Belum lagi kalau dimasukkan sub mainstream lainnya, wuih lebih ruwet lagi.

Yang lebih ultra tragis lagi adalah kalau sudah masuk pada hubungan multi agama dan kepercayaan.
Logika akal dari agama-agama yang ada telah menjadikan bumi ini bersimbah darah dari zaman ke
zaman, seperti tak henti-hentinya. Lalu Akal itu dimana….???.

AKAL...

Sering dikatakan bahwa Akal itu adalah anasir yang tertinggi dan selalu benar karena dia berasal dari
Tuhan, yang dititipkan oleh Tuhan kepada manusia. Dan dikatakan lagi bahwa akal itu akan tahu mana
yang baik dan mana yang buruk. Manusia itu juga diagungkan lebih dari makhluk lainnya adalah karena
akalmya. Benarkah…???. Lalu apakah Akal itu sama dengan logika…??. Mari kita kupas….

Aha…, logika berfikir….!!!. Logika berfikir ternyata sangat tergantung pada kesepakatan (IJMAK ZAMANI)
dari orang-orang yang terkait atau sengaja mengaitkan dirinya terhadap SESUATU. Logika berfikir ini
sangat tergantung kepada HIMPUNAN input-input dari masyarakat itu sendiri dan lingkungannya pada
zaman tertentu. Misalnya, kita ambil mulai dari zaman-zaman awal semasa Nabi Adam. Menurut logika
berfikir pada zaman Nabi Adam tersebut, incest (kawin dengan saudara kandung) adalah HALAL.
Bandingkan dengan logika berfikir manusia zaman sekarang, yang tidak bisa sedikitpun menerima logika
berfikir perkawinanincest ini.

Menurut logika berfikir generasi sebelum abad 20, poligami adalah suatu yang niscaya saja. Sehingga
seorang laki-laki dengan banyak istri merupakan simbol kejantanan dan kewibawaan. Akan tetapi
menurut logika berfikir tahun-tahun belakangan ini, poligami sudah menjadi barang aneh dan jadi
tontonan orang, karena dianggap melecehkan wanita. Karena wanita-wanita zaman sekarang sudah
mempunyai logika berfikir yang jauh berbeda dengan generasi ibu dan nenek mereka, sehingga hampir
tidak ada wanita lagi pada zaman sekarang yang mau suaminya berpoligami.

Menurut logika berfikir orang di pedalaman Papua, yang membuat rasa malu mereka hanyalah tatkala
kelaminnya kelihatan, maka menurut AKAL SEHAT mereka, untuk menutup malunya laki-laki di Papua
sana cukup hanya dengan menutup kelaminnya dengan koteka dan bagi perempuannya cukup menutup
wilayah sekitar paha mereka dengan daun-daunan. Cukup itu…!. Akan tetapi menurut logika berfikir
mayoritas orang Jakarta, rasa malu itu tidak cukup hanya ditutupi dengan memakai koteka. Akan tetapi
rasa malu itu harus ditutupi dengan menutup hampir seluruh tubuh dengan pakaian. Makanya tatkala ada
orang yang membuka-buka bagian tubuhnya, misalnya para artis, di Jakarta akan menjadi tontonan aneh
bagi masyarakat sekitarnya.

Begitu juga dalam hal persenjataan, menurut logika berfikir orang di Papua sana, dalam berperang
mereka cukup hanya dengan memakai panah beracun dan senjata tajam lainnya untuk menghadapi
lawannya. Kalau yang mati di kedua belah pihak sudah sama banyak, maka perang dianggap selesai.
Akan tetapi menurut logika berfikir orang Amerika sana, untuk berperang mereka benar-benar
menyiapkan senjata perang yang memiriskan nyali lawan-lawannya. Dan manusia yang terbunuh dalam
perang modern sekarang ini pun tak tanggung-tanggung, ratusan ribu orang bisa meninggal sia-sia
dengan tubuh tercabik-cabik dan hancur luluh. Karena pada orang pedalaman Papua otaknya tidak
punya ruangan bagi logika berfikir perang modern seperti ruangan otak orang Amerika sana. Ya…,
otaknya kosong, nggak ada ruangan apa-apa untuk logika perang modern.

Pada tataran yang lebih real, logika berfikir seorang operator di sebuah fasilitas produksi akan sangat
jauh berbeda dengan logika berfikir seorang Direktur. Karena otak seorang operator tidak memuat
ruangan yang dibutuhkan untuk data-data dan file yang dibutuhkan oleh seorang Direktur. Ruang otak
Direktur mempunyai sapuan jangkauan horizon yang lebih luas dibandingkan horizon seorang operator.

Sekarang mari kita masuk kepada logika beragama…

Mari kita lihat tentang masalah haram dan halal yang akan menentukan diterima atau tidaknya sebuah
praktek keagamaan. Pada penentuan Lebaran saja, logika berfikir orang bisa berbeda-beda. Hampir
semua aliran yang ada dalam Islam setuju bahwa berpuasa pada tanggal 1 Syawal (hari Lebaran
pertama) adalah haram hukumnya. Akan tetapi logika berfikir yang dipakai oleh kelompok NU seringkali
berbeda dengan kelompok Muhammadiyah. Adalah hal yang sangat biasa antara NU dan
Muhammadiyah terjadi perbedaan SATU HARI dalam menentukan hari Lebaran. Saat Muhammadiyah
merayakan Lebaran, adakalanya NU masih berpuasa. Atau sebaliknya. Padahal dalam perbedaan ini ada
masalah HALAL dan HARAM. Lalu dimana makna bahwa AKAL yang sering dikatakan YANG TAHU
tentang mana yang halal dan mana yang haram…???. Lalu kalau ada perbedaan seperti itu, AKAL yang
mana yang benar...?.

Logika berfikir kelompok Syi’ah pun sangat jauh berbeda dengan logika berfikir kelompok Sunni. Padahal
masing-masing mereka saling mengaku bahwa mereka menyembah Tuhan Yang sama yaitu Allah, dan
bernabikan manusia yang sama yaitu Muhammad Rasulullah SAW. Kedua kelompok itu pun sama-sama
mengaku bahwa mereka mengikuti teladan yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad, dan mengikuti
apa-apa yang diperintahkan Tuhan di dalam Al Qur’an. Tapi anehnya adalah bahwa masing-masing
berdo’a kepada Tuhan yang sama untuk kelaknatan kelompok “lawannya”. Ehhh…, bukankah ini hanya
semata-mata luapan ego mereka masing-masing saja…???. Dan dengan ego masing-masing itulah
mereka MENCIPTAKAN TUHAN dan KARAKTER RASULULLAH sesuai dengan KESEPAKATAN
masing-masing kelompok atau aliran itu berdasarkan data-data dan file-file yang tersimpan di otak
mereka.

Yaa…, alangkah leluasanya manusia-manusia selama ini MENCIPTAKAN TUHAN, sehingga manusia-
manusia saling berebut untuk membela Tuhan atau paling tidak mengaku saling membela agama Tuhan.
Padahal Tuhan lah yang MENCIPTAKAN KITA. Padahal Tuhan ataupun agama Tuhan itu tidak perlu
dibela-belain. Begitu juga dengan slogan bahwa kelompok demi kelompok manusia saling mengaku-
ngaku mengikuti karakter Nabi Muhammad SAW mulai dari ciri-ciri fisik Beliau sampai dengan ibadah-
ibadah Beliau yang sering diistilahkan sebagai SUNNAH Beliau. Padahal secara logika berfikir sederhana
saja, ciri-ciri ketubuhan Nabi, misalnya jenggot, rambut, sorban, dan pakaian Beliau tidak akan jauh
berbeda dengan ciri-ciri ketubuhan Abu Lahab dan Abu Jahal. Yaa…, karena ruang otak kita tidak pernah
diisi dengan file-file informasi tentang ciri ketubuhan Abu Lahab dan Abu Jahal itu, makanya kita tidak
bisa “ngeh” (paham). Yakin benar kita bahwa apa-apa yang kita lakukan telah mengikuti apa-apa yang
dicontohkan Nabi…!!, dari mana validasinya…???.

Jangankan tentang masalah logika aliran-aliran agama yang ruwet di atas, mengenai apa yang
dinamakan orang dengan ILMU ALAM pun sebenarnya yang ada adalah logika kesepakatan antar umat
manusia saja. Misalnya, ukuran untuk 1 meter di sepakati orang sama dengan panjang sebuah benda
atau gelombang tertentu yang dijadikan sebagai acuannya. Kalau tidak sepakat, maka dibuat orang pula
ukuran lain untuk ukuran panjang, misalnya inch dan segala turunannya.

Kalau begitu samakah AKAL dengan LOGIKA…???.

Ternyata tidak juga…???. Atau tepatnya TIDAK SAMA. Logika ternyata hanyalah sebuah RELATIVITAS
BERFIKIR antar manusia atau sekelompok orang yang saling sepakat terhadap SESUATU yang mereka
hadapi. Logika ini sangat tergantung kepada ruangan otak kita. Seberapa banyak informasi, data, dan
suasana yang tersimpan di dalamnya. Logika berfikir inilah yang membedakan setiap manusia atau
kelompok manusia dengan yang lainnya. Logika berfikir ini jugalah yang akan membentuk peradaban-
peradaban manusia yang berbeda dari zaman ke zaman. Logika berfikir Syi’ah akan melahirkan
peradaban ala Syi’ah. Kalau ada orang Syi’ah yang keluar dari logika berfikir kesyi’ahan ini, maka mereka
disebut bukan Syi’ah lagi. Begitu juga kelompok Sunni, Salafi, dan sebagainya, kalau mereka keluar dari
logika berfikir Sunni atau kelompok lainnya, maka mereka disebut pula sebagai bukan termasuk ke dalam
kelompok asal mereka lagi.

Logika berfikir aliran-aliran diatas juga sangat bervariasi untuk daerah dan suku bangsa yang berbeda.
Karakter Syi’ah di Iran akan berbeda dengan Syi’ah yang ada di Indonesia, walaupun semangatnya tetap
sama. Begitu juga logika berfikir Sunni di Arab Saudi yang lebih dikenal sebagai Wahabi, sangat jauh
berbeda dengan Sunni ala Indonesia, misalnya Sunni ala NU, Muhammadiyah dsb.

Begitu juga dengan logika berfikir agama-agama yang lainnya. Misalnya, kalau menurut logika berfikir
Kristen, maka akibat ketidakmampuan mereka memahami hakikat Tuhan, mereka lalu menciptakan
karakter baru berupa Anak Tuhan, yaitu Kristus, lengkap dengan atribut kemanusiaan Beliau. Tujuannya
untuk memudahkan mereka dalam mengarahkan objek fikir mereka dalam beribadah. Dengan atribut
seperti ini, lalu Yesus itu sendiri disembah dan dimintakan pertolongan sebagaimana layaknya Tuhan
sendiri. Kalau ada orang Kristen yang keluar dari logika berfikir tentang ketuhanan Yesus ini, maka
mereka dikatakan bukan lagi sebagai seorang yang berlogika kristiani.

Akal Sang Hakim…

Lalu sang AKAL itu seperti apa…?.

AKAL adalah Sang Utusan. Akal ini diturunkan dengan tidak membawa DATA apa-apa. Dia tidak
membawa ilmu, dia tidak bawa pengetahuan apa-apa. Malah dia tidak membawa peradaban apa-apa
dan juga dia tidak punya apa-apa. Dia adalah Sang Hakim. Dialah yang akan menimbang dan
memutuskan segala sesuatunya berdasarkan data-data peradaban yang ada di dalam otak kita.

Aha…, kalau begitu Sang Utusan itu berada Dimana dan Siapa DIA sebenarnya …???. Mari kita cari
hidayah (petunjuk) yang dihamparkan Tuhan di dalam Al Qur’an. Allah memberitahu kita bahwa:

Balil insanu ‘ala nafsihi bashirah

Pada manusia itu, di atas Nafsnya (diri-nya) ada bashirah, amal, yang tahu, yang
mengamatinya, yang menghakiminya. (al Qiyaamah 14)

Ayat di atas memberi tahu kita bahwa KEBERADAAN AKAL Sang Hakim, adalah DIATAS NAFS manusia
(‘ala nafsihi). Jadi akal itu berada di atas TUBUH, di atas LOGIKA FIKIRAN, dan juga di atas LOGIKA
RASA manusia. Karena Sang AKAL itu TAHU dan menjadi SAKSI atas apa-apa yang terjadi maupun
yangdilakukan oleh tubuh saya, atas apa-apa yang tersimpan di dalam otak saya, dan atas apa-apa
yang ada terasadi dalam dada saya. Oleh karena sensasi KETUBUHAN, FIKIRAN, dan RASA ini
dikoordinasikan bahkan di FILE di dalam OTAK manusia, maka kalau diringkas dan dipadatkan dapat
dikatakan bahwa AKAL itu berada di atas OTAK manusia. AKAL bukanlah otak itu sendiri. AKAL jauh
melampau otak kita. AKAL itu MELIPUTI OTAK KITA. Akal itu MENINGGI melampaui segala alam-alam
dan peradaban yang ada. Jelasnya, AKAL adalah YANG TAHU tentang apa peradaban yang ada di
dalam otak kita ini.

Siapa Dia…???.

Untuk mengenal lebih jauh tentang siapa sebenarnya Sang Hakim ini, maka mari kita searching lagi ke
dalam kumpulan hidayah Tuhan, yaitu Al Qur’an:

“(Ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat: "Sesungguhnya Aku akan


menciptakan manusia dari tanah". Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan
Kutiupkan kepadanya RUH-KU; maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud
kepadanya", (Shaad 71-72)”.

“Dan sesungguhnya Kami telah meciptakan manusia (Adam) dari tanah liat kering
(yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk. Maka apabila Aku telah
menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan ke dalamnya RUH-KU, maka tunduklah
kamu kepadanya dengan bersujud” (Al Hijr 28-29).

“… Mereka itulah orang-orang yang Allah telah menanamkan keimanan dalam hati mereka
dan menguatkan mereka dengan RUH-NYA …” (Al Mujadilah 22).

“Dan mereka bertanya kepadamu tentang RUH. Katakanlah: "RUH itu patuh kepada
perintah (amr) Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit” (Al Israa’
85).

Jelaslah sekarang bahwa AKAL adalah Sang Bashirah, Sang Tahu, Sang Bijaksana. Tuhan menyebut
AKAL yang tahu tentang segala sepak terjang NAFS manusia ini dengan sebutan yang sangat mesra, itu
RUH-KU (MIN-RUHI)….!!!. Karena AKAL itu adalah RUH-TUHAN, maka akal itu selalu selaras dengan
Fitrah Tuhan dan selalu pula patuh kepada perintah (amr) Tuhan.

Lalu Sang Akal berikrar: “Aku adalah dari-Nya…., Aku adalah milik-Tuhan…, Aku adalah semurni-murni
RUH yang berasal dari Tuhan. Aku adalah RUH-Nya…, maka dengan kehendak Tuhan pula Aku
mempunyai fitrah (tarikan kecenderungan) untuk selalu ingin kembali kepada Tuhan Ku…, “innalillahi
wa inna ilaihi raji’uun”…!!!.

Ternyata keberadaan Akal, Sang Aku, inilah yang pada awalnya GAGAL disadari oleh Malaikat sehingga
Malaikat sempat mempertanyakan penciptaan manusia (Adam). Malaikat dengan galau bertanya-tanya
kepada Allah:

"… Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat
kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan
memuji Engkau dan mensucikan Engkau?".

Malaikat mengira bahwa cukuplah bagi setiap makhluk Allah itu untuk selalu bertasbih, memuji, dan
mensucikan Tuhan. Cukuplah mereka saja yang ada. Lalu dengan lembut tapi tegas PENGAJARAN Allah
menyusupkan ke dalam pengertian Malaikat:

"…Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui…" .


Terlebih lagikepada Adam itu: “…Kutiupkan RUH-KU…”,Dengan Ruh-Ku itulah Adam Ku bacakan (IQRA)
nama-nama, Ku ajari melihat, Ku ajari mendengar, Ku ajari rahasia langit dan bumi, Ku ajari untuk
mengetahui apa-apa yang kamu lahirkan dan apa-apa yang kamu sembunyikan…”.

"Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama benda ini."

Dan Malaikat pun terdiam, menyimak Adam dengan lancar menyebutkan apa-apa yang telah diajarkan
Tuhan kepadanya. Dengan merunduk-runduk Malaikat pun tidak bisa berkata-kata lagi selain hanya
tunduk sambil memuja Allah. Subhanaka…!!! Lalu dengan tegas Allah berfirman: “SUJUD..., sujudlah
kamu kepada Adam…, karena pada tanah yang Ku bentuk indah itu ada RUH-KU. Akhirnya Malaikat
tersungkur sujud menyembah Sang Aku, Ruh-Ku, yang ditandai dengan ADANYA diri Adam, dengan
cerdas dan berakalnya Adam, dengan hidup dan bergeraknya Adam.

Sujud…, sujud…, sujudlah kalian semua wahai hamba-hamba Ku. Karena disini ada Aku.

“Innani ana Allah laa ilaha illa ana fa’budni wa aqii mishshalata
lidzikri. Sesungguhnya Aku ini Allah, tiada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku, dan
dirikanlah shalat untuk mengingat Aku…!!. (Thaahaa : 14)

Lalu para Malaikat melepaskan keakuannya, sehingga yang ada hanyalah Aku Yang Hakiki…, semua
fana, tiada apa-apa pun yang kekal kecuali hanyalah WAJAH AKU.

Akan tetapi…, ternyata ada yang TIDAK SUJUD. Ada yang tidak patuh mengikuti perintah untuk bersujud
kepada Adam yang padanya ada tiupan RUH-KU.Karakteryang tidak patuh atas perintah ini lalu disebut
Allah dengan panggilan IBLIS. Lalu Allah menyusupkan pertanyaan pedas ke relung pengertian
IBLIS:“Wahai iblis, apakah yang menghalangi kamu sujud kepada yang telah Ku-ciptakan dengan kedua
tangan-Ku. Apakah kamu menyombongkan diri ataukah kamu (merasa) termasuk orang-orang yang
(lebih) tinggi?”. Iblis pun menjawab: "Aku lebih baik daripadanya, karena Engkau ciptakan aku dari api,
sedangkan dia Engkau ciptakan dari tanah".

TERNYATA karakter yang tidak patuh itu, IBLIS, hanya terpaku pada citra bahan dasar penciptaan antara
ketubuhan dia dan ketubuhan Adam. Iblis hanya mampu menyadari bahwa dirinya di citra dari api, dan
Adam di citra dari tanah. Hanya itu, tak lebih dan tak kurang. Iblis benar-benar tidak mampu menyadari
dan “melihat” bahwa pada diri Adam itu ternyata ada MIN-RUHI, ada Aku…!!!. Bahkan pada diri IBLIS itu
sendiri sebenarnya ada Aku, karena Aku meliputi segala sesuatu. Tiada sesuatu apapun yang luput
dari LIPUTAN Aku. Iblis ternyata TIDAK bisa melepaskan keakuan dirinya menjadi Aku Yang Hakiki. Iblis
telah menyempitkan peran Aku hanya sebatas citra ketubuhan (diri) nya sendiri.

Akibatnya sungguh-sungguh fatal:

“Allah berfirman: "Maka keluarlah kamu dari surga; sesungguhnya kamu adalah makhluk-Ku
yang terkutuk, sesungguhnya kutukan-Ku tetap atasmu sampai hari pembalasan…".

Dan oleh karena Iblis sudah bertekad bulat untuk tidak melepaskan keakuan dirinya menuju Aku Yang
Hakiki, maka selama tekad itu pula Iblis akan merasakan siksa yang sangat pedih.

Sampai disini jelaslah, bahwa AKAL bukanlah logika berfikir otak yang merupakan fungsi dari data-data
yang pernah disimpan di dalam otak itu. Akan tetapi AKAL adalah salah satu BUAH dari keberadaan MIN-
RUHI yang akan bertindak sebagai HAKIM atas DIRI (nafs) manusia, disamping untuk memberi hidup,
memberi gerak, dan memberi fungsi-fungsi lainnya. Akal itu tidak terpengaruh dengan tinggi rendahnya
peradaban manusia. Akal juga tidak tergantung dari agama, kepercayaan, mahzab, aliran, sekte apa
yang dianut oleh manusia itu. Akal hanya bergantung, patuh, dan tunduk kepada Tuhan sebagai
pemiliknya.

Sang Hakim In Action ...

Setelah kita bedah apa dan siapa itu AKAL, dan dimana posisinya terhadap otak manusia, maka
sekarang mari kita ikuti bagaimana Sang Akal bertindak sebagai Hakim terhadap diri manusia.

Suatu saat otak manusia dimasuki informasi, bisa melalui mata, bisa pula melalui telinga, misalnya
seperti contoh kita di atas, yaitu masalah hari Lebaran. Ada dua informasi yang masuk ke otak kita,
bahwa lebaran tahun ini jatuh pada dua tanggal yang berbeda. Kelompok “M” dan mayoritas umat Islam
Indonesia sepakat bahwa Lebaran jatuh pada tanggal 28 Januari, misalnya. Sedangkan kelompok “N”
berdasarkan hitungan hisab menetapkan bahwa Lebaran terjadi pada tanggal 27 Januari. Artinya bagi
warga “N” puasa tanggal 27 Januari itu HARAM hukumnya. Akal Sang Hakim TAHU bahwa ada dua
informasi yang berbeda yang masuk ke dalam otak. Kemudian terjadilah pengadilan antara Akal sebagai
Hakim dengan Otak sebagai terdakwa:

Sang Hakim bertanya, “Hei otak, kau punya file apa tentang kelompok-kelompok panutan yang
kamu ikuti”.

Otak menjawab, “Dalam file saya yang ada hanya file tentang “M” ya Tuan Hakim. Karena orang
tua saya membesarkan saya dilingkungan “M”, pendidikan saya di “M” , hukum fiqih yang saya
ketahui adalah fikih dari ulama-ulama “M”.

“Ada informasi lain..?”, tanya Sang Akal.

“Tidak ada ya Tuan Hakim..”, jawab sang otak.

“Benar nih…, tidak ada data tentang fikih “N”…?, tanya Sang Hakim mempertegas.

“Ada sih…, tapi saya sudah kadung menerima pendapat fikih ulama “M” Tuan Hakim..”, tegas
sang otak.

“Tidak ada keraguan lagi…?”, tanya Sang Hakim.

“Benar Tuan Hakim…, Suer deh”, jawab sang otak tegas.

“Kalau begitu…, kau lanjutkan puasamu dan lebaranlah tanggal 28 Januari ...!!!, putus Sang
Hakim.

“Siap Tuan Hakim…!!, jawab sang otak.

Maka jadilah seseorang itu merayakan Lebaran pada tanggal 28 Januari.

Akan tetapi tatkala sang otak yang mempunyai kecenderungan (hawa) coba-coba menabrak putusan
Sang Hakim yang telah tetapkan berdasarkan hukum kesepakatan yang ada di dalam otak kita. Misalnya,
di dalam otak kita informasi yang ada cocok hanya untuk kita mengambil lebaran tanggal 28 Januari,
akan tetapi kita coba-coba untuk berlebaran pada tanggal 27 Januari, maka Sang Hakim langsung turun
tangan:

“Eeee…, katanya kamu kelompok “M”, di otakmu kan adanya file tentang “M”, masak kamu mau
ikutan kelompok “N”, sang Hakim mulai menggangu.
“Tapi saya bingung Tuan Hakim…, masak lebaranya ada 2 hari yang berbeda …??. Saya akan
ambil yang lebih duluan saja. Kan lebih enak”, sang otak mulai mengungkapkan keragu-
raguannya.

“Jangan begitu wahai otak ..!!!. Itu salah…!!!. Kalau begitu puasamu tidak genap 30 hari”, kata
Sang Hakim.

“Nggak apa-apa sekali ini Tuan Hakim…, sekali ini saja…!!!”, Sang otak mulai merayu.

“Eeee…, kan file mu mengatakan bahwa itu dosa…!!”, Sang Hakim mengingatkan lagi, memaksa
lagi, menyiksa lagi, lagi dan lagi…!!!

“Oke deh Tuan Hakim. Saya akan berhari raya tanggal 28 Januari”, akhirnya sang otak menyerah
untuk mengikuti putusan Akal Sang Hakim.

“Yaap…, laksanakan, dan saya tidak akan mengganggu kamu lagi ...!!!”, Sang Akal meyakinkan.

Lalu Sang Akal kembali ke posisi PENGAMAT. AKAL kembali ke posisi Yang Tahu, Yang Mengadili, Yang
Manghakimi atas apa-apa data dan informasi baru maupun kesepakatan-kesepakatan baru yang masuk
ke dalam otak melalui instrumen mata, telinga dan rasa. Begitulah Akal itu dari dulu, sekarang, dan yang
akan datang. Fitrahnya tidak berubah sedikitpun.

Apapun yang dilaksanakan di bawah koordinasi Sang Otak, semata-mata hanyalah untuk mematuhi
kesepakatan apa yang ada di dalamnya. Semua menjadi tanggung jawab sang otak dengan segala
perangkat ikutannya, yang dalam istilah agamanya disebut sebagai NAFS (DIRI, JIWA). Sedangkan
Sang Akal hanyalah berfungsi sebagai Yang Menghakimi, Yang Mengingatkan, Yang Memutuskan apa-
apa yang harus dilakukan oleh sang otak sesuai dengan kesepakatan apa yang tersimpan di dalamnya.
Akal tidak ikut-ikutan. Akal tidak senang maupun tidak susah atas apa-apa yang dijalankan oleh otak.
Akal itu NETRAL. Karena dia berasal dari Yang Maha Netral, yaitu Allah. Setiap saat Sang Akal
mendapatkan pengajaran dari ALLAH, dan FITRAHNYA pasti dan sesuai dengan FITRAH ALLAH.

AKAL Sang Hakim akan mengganggu dan mengganggu tak henti-hentinya atas ketidak konsistenan otak
dalam menjalankan dirinya sendiri, menjalankan file-filekesepakatan yang ada didalam dirinya sendiri.
Sang Hakim mengingatkan terus kepada Nafs agar Sang Nafs itu bertindak, berperilaku, berpendapat,
dan melaksanakan file-file data yang ada di dalam otaknya. Sang Nafs selalu diingatkan dan diganggu
dengan rasa bersalah, rasa ragu-ragu, dan yang paling menyiksa adalah munculnya rasa berdosa,
Yaa…, Akal Sang Hakim akan menghukum kita dengan berbagai rasa yang MENYIKSA atas berani-
beraninya kita menjalankan suatu yang BUKAN merupakan file-file kesepakatan di dalam otak kita.
Dalam bahasa agamanya RASA tersiksa ini disebut sebagai NERAKA. Ya neraka itu ternyata realitasnya
bisa kita rasakan saat ini juga. Tersiksanya kita sekarang ini (barangkali) merupakan tanda-tanda awal
(indikasi) bahwa di akhirat pun kita akan tersiksa dengan lebih dahsyat lagi. He he he…, ini bukan nakut-
nakutin lho….!!.

Sebaliknya, Begitu Sang Nafs menjalankan file-file yang ada di dalam dirinya (otak), maka Akal Sang
Hakim pun memberikan apresiasi kepada Sang Nafs dengan munculnya rasa puas dan lega, sehingga
suatu tindakan itu bisa dijalankan dengan tanpa beban. Dalam bahasa agamanya, suasana nyaman ini
disebut sebagai kita mendapatkan PAHALA. Begitu juga saat mendapatkan rasa nyaman dan bahagia
yang amat sangat, maka insya Allah itu diistilahkan sebagai kita mendapatkan realitas SYURGA. Jadi
syurga itu realitasnya ada saat ini juga. Berbahagialah manusia-manusia yang bisa mendapatkan realitas
syurga ini saat ini juga, karena itu adalah sebuah pertanda awal bahwa insya Allah di alam akhirat nanti
dia juga akan merasakan realitas syurga yang sampai saat ini belum ada yang tahu seperti apa
bayangannya.
Mari kita lihat bagaimana Akal Sang Hakim ini bertindak pada permasalahan lain. Misalnya, nggak usah
jauh-jauh, adalah masalah perseteruan antara Syi’ah dan Sunni yang sudah sangat karatan, sehingga
sangat sulit membersihkannya kalau orang sudah kecemplung ke dalamnya. Termasuk beberapa logika
berfikir lainnya. Begini...!.

Ada sebuah informasi yang mengalir, misalnya tentang

'halalnya' kawin INCEST (kawin dengan saudara kandung) di zaman Nabi Adam.

Ya…, hanya segini saja informasi itu yang mengalir lewat tulisan ini. Tapi akibatnya…

Dueer..., informasi tersebut masuk ke dalam otak orang-orang yang sempat dialiri oleh informasi tersebut
dari mana pun sumbernya dan dimana pun orang itu berada. Informasi itu bisa saja didapatkan saat
membaca artikel ini, atau bisa pula dari hasil membaca di buku lainnya. Sehingga orang-orang tersebut
menjadi tahu. Ada yang tahu atas informasi itu. Yang tahu itu sama dimana-mana. Apakah orang tersebut
berada di gedung atau wilayah yang sama maupun yang berbeda. Ada yang tahu. Apapun aliran atau
mahzabnya, yang tahu itu juga sama. Yang tahu memang hanya ada SATU, yang dalam bahasa
populernya disebut dengan AKAL yang akan MENGHAKIMI informasi yang masuk itu. Karena Akal itu
memang adalah Sang Hakim.

Akal lalu melihat ke dalam otak seseorang, misalnya ke otak Pak “Andi” yang terkenal dengan
pemikiran-pemikiran kesyi’ahannya, dan Sang Akal mulai menyidik:

"Hei Andi..., otakmu isinya apa...??", selidik Sang Hakim.

"Logika Syi'ah Tuan Hakim...", sahut otak Andi dengan mantap.

”Kau percaya pada zaman Adam ada incest..??", tanya Akal dengan tegas.

"Nggak lah Tuan Hakim..., file saya memuat bahwa bagi kalangan mazhab Ahlulbait, kisah para
Nabi dan Rasul memiliki kedudukan yang berbeda dengan kisah orang-orang biasa. Sejarah
hidup para Nabi merupakan mata rantai yang tak terpisahkan dari sebuah konsep ketuhanan
yang utuh. Pemahaman yang benar terhadap konsep ketuhanan (baca : akidah) akan melahirkan
pemahaman yang benar terhadap sejarah hidup para nabi, dan bukan sebaliknya. Karenanya
kisah-kisah melenceng tentang para Nabi (seperti Nabi bermuka masam, Nabi terkena sihir,
incest anak-anak Adam dan lain-lain) yang diyakini oleh kalangan mainstream, bukan semata-
mata kesalahan penulisan sejarah para nabi dan rasul an sich, tetapi disebabkan oleh
kesalahan konsep ketuhanan yang mereka anut", urai otak Andi bersemangat sekali.

"Bagus..., banyak juga isi file-mu, kau tahu yang benarnya bagaimana....??", Sang Hakim
menyelidiki keyakinan otaknya Andi.

"Hanya Allah yang paling tahu atas segala sesuatu... Tuan Hakim", jawab Otak Andi,

“Ya... itu pasti, hanya Allah yang paling tahu segala sesuatu, tapi menurut file-mu bagaimana
proses kelanjutan keturunan anak-anak Adam..?. Katamu kau nggak setuju dengan pendapat
halalnya incest di zaman Nabi Adam..??0," Sang Hakim dengan telaten mengadili otak Andi.

"Siap... Tuan Hakim, menurut saya begini..., dalam kitab yang pernah saya baca atau buku anu,
atau wasiat Imam saya yang mulia, kisah-kisah seperti ini kayaknya adalah kisah-kisah israiliat...
Tuan Hakim", urai otak Andi.

"Kau tahu atas apa yang kau sebutkan itu kejadiannya memang seperti begitu... itu?", tanya
Sang Hakim meyakinkan.
"Hanya Allah yang paling tahu atas segala sesuatu... Tuan Hakim", jawab otak Andi lagi.

"Ku tanya kau tahu nggak kejadian itu, kau yakin kebenaran itu sama dengan yang kau tulis...
itu?", tanya sang Hakim dengan tegas.

"Hanya Allah saja yang paling tahu atas segala sesuatu... Tuan Hakim. Sueerr... Tuan Hakim.
Nggak ada lagi data yang lain dalam file saya. Kalaupun ada..., ya data itu nggak saya
pakai, wong itu nggak sreg dengan rangkaian logika berfikir di dalam file saya...", jawab otak
Andi lagi.

"Jadi kau tetap pada jalur berfikir seperti yang kau tulis...???, Sang Hakim hampir sampai pada
vonis terakhirnya.

"Tetap Tuan Hakim...!. Kalau nggak percaya belahlah kepala ku, nanti Tuan Hakim pasti
menemukan bahwa aku kosong dari file lainnya...", jawab otak Andi pasti.

"Bagus...!!, Kalau begitu tetaplah kau di jalur berfikir seperti ini. Artinya kau tetap Syi'ah....
Bagus..!!!", Sang Hakim lalu mengetokkan palu atas keputusan otak Andi tentang tidak
mungkinnya terjadi perkawinan Incest di Zaman Nabi ADAM.

Lalu Sang Akal kembali ke posisi PENGAMAT. Sang Akal lalu mengamati otak Pak “Abdi”, yang selama
ini juga diketahui sebagai seorang syi’ah yang tak kalah hebatnya.

"Hei Abdi..., menurut file otakmu ada nggak kawin incest di zaman Nabi Adam...?", selidik Sang
Hakim,

"Tuan Hakim..., file saya sama dengan file yang ada di otak Pak Andi, wong saya satu guru, satu
jalur, satu mahdzab. Cuma file saya ada tambahannya sedikit yaitu: jodoh putra-putra Nabi Adam
as. yakni Jehana, Nazla dan Naima berwujud manusia, bukan makhluk lain, walaupun tidak
berasal dari bumi. Dan juga menurut file saya tentang: Darimana kira2 ide cerita tulang rusuk tsb
ya? Sama seperti cerita perkawinan incest, cerita tulang rusuk ini juga bisa didapatkan dalam
Bibel...!!!", jawab otak Abdi menambahkan sedikit demi sedikit.

"Bagus...!. Jadi file kau sama dan sejenis dengan file otaknya Andi..??", Sang Hakim
mengajukan pertanyaan terakhir...

"Benar Tuan Hakim..., Suueer...", jawab otak Abdi pasti.

"Oke..., kau benar-benar kembarannya Andi, bagus..bagus..!!". Sang Hakim lalu memukulkan
palu keputusannya....

Lalu Sang Akal kembali ke posisi PENGAMAT. Sang Akal lalu mengamati otak Pak DIDI yang selama ini
terkenal dengan kekentalannya dalam memelihara risalah Ahlussunnah. Dan terjadi pulalah persidangan
sebagai berikut:

"Hei DIDI..., menurut file otakmu ada nggak kawin incest di zaman Nabi Adam...?. Menurut
temanmu Andi begini..., dan Abdi begitu...?", selidik Sang Hakim sambil menyodorkan informasi
diatas yang secara tak sengaja masuk ke dalam otak Pak Didi lewat sebuah diskusi via internet.

"Saya mau nanggapi saja dulu ya Tuan Hakim .... Menurut file saya uraian Pak Andi dan Pak
Abdi di atas itu kok kelihatan lucu ya Tuan Hakim. Menurut file saya: kuda dan zebra yang
wujudnya sama saja, tidak akan bisa menghasilkan keturunan kalau dikawinkan. Begitu juga
harimau, macan kumbang, singa, cheetah belum pernah saya file untuk bisa dikawinkan satu
sama lainnya, meskipun wujudnya sama. Saya lihat jawaban Pak Abdi itu sangat tidak masuk
akal... ya Tuan Hakim. Masak Adam jodohnya adalah makhluk yang bukan berasal dari bumi.
Jodoh Adam itu jin barangkali ya Tuan Hakim..?", sanggah otak Didi dengan agak sedikit renyah.

"Ada lagi yang ingin kau tanggapi...??", tanya Sang Akal dengan telaten.

"Ada Tuan Hakim..., saya mau kasih komentar kepada teman-teman saya yang berminat untuk
kawin lagi bahwa itu tuh orang Syiah membuka lowongan untuk kawin dengan perawan dari jin.
Syaratnya gampang, asal jin itu bisa berwujud manusia. Oala…, ada manusia keturunan jin, lalu
ada manusia keturunan bidadari. Ada-ada saja... ya Tuan Hakim", jawab otak Didi sambil
merasakan kelucuan.

"Ada lagi file mu wahai Didi...??", tanya Sang Akal dengan sangat sabar.
"Ada Tuan Hakim..., saya jadi ingat sayup-sayup saja tentang sebuah cerita yang memuat
seorang keturunan Adam yang diberi nama “Ataqah” yang di dalam cerita itu sengaja dimatikan.
Alasan dimatikannya tokoh Ataqah itu menurut saya adalah karena pengarang cerita tersebut
kesulitan menemukan suaminya dari kalangan jin atau bidadara. Kesulitan kedua adalah jika pun
ada tokoh hero yang akan mengawini Ataqah maka keturunannya adalah bukan disebut bani
Adam, tetapi bani 'Hero' (karena susah untuk membuktikan keberadaannya). Sehingga si Ataqah
dimatikan saja biar nggak ruwet-ruwet. Menurut saya alasan istri anak-anak nabi Adam tidak
diciptakan dari lumpur seperti dalam cerita itu adalah karena pengarang cerita itu bermaksud
untuk menunjukkan keunggulan rasnya sebagai keturunan dari ibu bidadari. Sedangkan yang
lain adalah dari keturunan bangsa jin (sudah umum diketahui bangsa jin banyak yang kafir). Dan
untuk urusan berbohong dan berdusta (taqiyah) ini, orang Syiah nomor wahid. Jangan-jangan
cerita Pak Abdi diatas juga dalam rangka taqiyah... ini”. Balas otaknya Pak Didi nyerocos
mengeluarkan informasi dari dalamnya dengan agak tersendat-sendat dan rada-rada nggak
nyambung.

"Bagus…, bagus...!!. Ada lagi file andai-andaimu... wahai Didi?, Sang Hakim terus mendesak.

Kemudian terjadilah tanya jawab diatas tak henti-hentinya antara Akal Sang Hakim dengan otak
Pak Didi tentang informasi baru yang coba-coba masuk ke dalam otak Didi itu. Terus begitu...!!!,
sampai saatnya nanti Sang Hakim mengetokkan palu keputusannya sesuai dengan file terakhir
yang ada di dalam otak Pak Didi. Semakin banyak file dan dalil-dalil yang ada di dalam otak Pak
Didi ini, maka semakin lama pula pengadilan atas informasi baru itu masuk tadi antara Akal
sebagai Sang Hakim di satu sisi dan otak Pak Didi sebagai wujud yang akan dihakimi di sisi
lainnya.

Lalu Sang Akal kembali ke posisi PENGAMAT. Sang Akal lalu mengamati Otak Bimbi, mengamati Otak
Gardu, mengamati Otak ABC, mengamati Otak Deka, Otak siapa saja….!!!. Lalu Sang Akal menjatuhkan
keputusannya berdasarkan file-file kesepakatan pribadi maupun kolektif, untuk dijalankan oleh masing-
masing pemilik otak itu. Kalau otak itu coba-coba pindah haluan ke file lain yang belum bisa
mengalahkan file yang ada di dalamnya, maka saat itulah otak-otak itu akan menjadi sibuk membantah,
menangkis, bersilat kata sana-sini. Sibuk-sibuk lagi…..!!!.

Untuk selanjutnya mari kita coba amati bagaimana AKAL SANG HAKIM mengadili otak manusia-manusia
dari zaman ke zaman…

Yang tetap paling menarik untuk dicermati adalah bagaimana AKAL menghakimi logika berfikir otak-otak
manusia diberbagai belahan dunia. AKAL mempunyai KEKUATAN MEMAKSA agar diri sang manusia
bertindak dan berperilaku sesuai dengan file-file logika berfikir yang ada di dalam otak manusia itu
sendiri. Dalam setiap peradaban, agama, maupun kesepakatan bersama antar manusia, pasti ada
kesepakatan bersama bahwa mencuri, merampok, berdusta, tidak adil, menganiaya orang, adalah
perbuatan-perbuatan yang dikategorikan sebagai perbuatan negatif dan tercela. Siapa pun pasti setuju.
Lalu kalau ada yang melakukan perilaku negatif itu pastilah akan diadili oleh AKAL. AKAL akan
mengganggu terus atas apa-apa yang kita lakukan yang tidak sesuai dengan logika kesepakatan
bersama tadi.

Misalnya lagi, tentang perseteruan antara kelompok-kelompok agama. Konon kabarnya ada aliran di
dalam Syi’ah sendiri yang meyakini bahwa shalat diatas tanah atau bebatuan yang ada tanah Karbala di
bawahnya adalah lebih afdal, karena di atas tanah Karbala itulah syahidnya cucu Rasulullah, Hasan dan
Husein ra. Karena darah beliau berdua telah tumpah sebagai martir bagi kelompok Syi’ah. Ada logika
berfikir yang setuju dengan ini, misalnya di Irak dan di Iran sana (walau tidak semua). Akan tetapi logika
berfikir ini salah kalau dilihat dari kacamata, misalnya, Wahabi di Arab Saudi sana.

Mungkin belum banyak yang tahu juga bahwa pada zaman abad pertengahan, saat ajaran-ajaran sufi
dengan gencar tersebar ke seluruh penjuru dunia, untuk memudahkan mendapatkan ekstasis dan
mi’rajnya jiwa, terbang menuju tak berhingga, maka tidak jarang para kaum sufi itu mengisap HASYIS
(sebangsa opium) dulu. Hasyis memberikan efek pelereman fikiran, sehingga memudahkan kaum sufi
untuk larut dalam dzikir mereka. Itulah sebabnya di di wilayah-wilayah yang ajaran sufinya sangat kental
sering didapati ganja, opium, misalnya di wilayah Aceh dan Afghanistan. Akan tetapi dalam logika berfikir
peradaban sekarang, hasyis, ganja, opium ini dianggap sebagai zat yang sangat terlarang.

Belum lagi kalau kita masuk kewilayah FIKIH. Logika berfikir fikih yang satu bisa bertolak belakang
dengan logika fikih yang lainnya, padahal yang akan dihukumi adalah sesuatu yang menentukan diterima
atau tidaknya sebuah perilaku ibadah, misalnya : yang akan membatalkan shalat atau membatalkan
agama. Dari perbedaan logika berfikir wilayah fikih ini, maka lahirlah fikih paling tidak ala Imam Syafi’i,
Imam Hambali, Imam Hanafi, Imam Maliki. Belum lagi kalau ditambahkan menurut logika berfikir ala
Imam Syi’ah. Karena pada saat-saat awal Islam masuk ke Indonesia dibawa oleh orang-orang yang
menganut fikih Imam Syafi’i, maka jadilah orang Indonesia bermahdzab Syafi’i. Lalu ada juga yang tidak
cocok dengan ini, karena mereka menganggap ada yang lebih baik, maka mereka memilih mahzab yang
lainnya.

Demikianlah terus … !!!. Perkembangan peradaban manusia memang punya kecenderungan untuk
menjadi LIAR. Tidak itu saja, untuk berketuhanan saja manusia-manusia cenderung menjadi liar. Yang
bukan Tuhan saja dihormati sebagaimana layaknya penghormatan kepada Tuhan. Dalam berpolitik,
dalam berbudaya pun kita cenderung menjadi liar. Sungguh Tuhan sangat penyayang kepada kita. Dia
masih memberikan petunjuk-Nya melalui Al Qur’an agar semua tidak menjadi liar. Maka ikutilah Al
Qur’an. Hanya dengan mengikuti Al Qur’an lah kita akan berperilaku sama dengan perilaku (Sunnah)
Rasulullah SAW.

Demikian.

Selesai Artikel Akal Sang Hakim untuk milis Dzikrullah & PatrapNet

Wassalam

Deka
Beginikah Khusyu


Written by Administrator

From: "Slamet Bagyo" s_bagyo@telkom. net


Subject: Tanya

Assalamu ‘alaikum Wb. Wb.

Bapak Abu Sangkan yang terhormat,

Dua bulan yang lalu saya dipinjami teman saya buku Bapak “Berguru Kepada Allah”, saya baca isinya sangat
menarik, sebuah penjelasan yang lebih mendetail dari tulisan-tulisan Bapak sebelumnya yang terbit di majalah
Hidayah.

Namun sebulan yang lalu saya membeli buku Bapak “Pelatihan Sholat Khusuk dan Berguru pada Allah”. Kemudian
buku tersebut saya baca (Pelatihan Sholat Khusuk) kira-kira 3/4 buku tersebut selesai saya baca, adzan maghrib
berkumandang. Agak terlambat kedatangan saya sehingga terpaksa menjadi makmum masbuq dengan ketinggalan
1 rakaat.

Rakaat pertama dan kedua mengikuti imam seperti biasa, pada rakaat ketiga saya harus menyempurnakan yang
tertinggal. Pada rakaat inilah saya mencoba untuk sholat seperti yang Bapak anjurkan : rilex, tidak terburu-buru
sekehendak hati karena tidak terikat dengan jamaah. Sebisa mungkin dalam sholat pikiran hanya tertuju kepada
Allah. Yang terjadi daerah hidung dan mata menjadi panas dan sontak saya menangis hingga terbata-bata (jawa:
ngguguk), saya tahan tangis ini dengan menutup mulut dengan tangan kiri karena saya malu dengan jamaah yang
lain.

Sebuah pengalaman yang belum pernah terjadi sepanjang hidup saya.

Mulai saat itu setiap sholat muncul kerinduan akan suasana tersebut hingga mengakibatkan sholat saya lebih lama,
biasanya 4 rakaat lima menit menjadi 10 menit. Semenjak saat itu sering dalam sholat air mata ini keluar, sudah 3
kali dalam berdoa saya menangis terbata-bata seperti kejadian yang pertama.

Ada pertanyaan yang masih mengganjal di hati saya Bapak Abu Sangkan….

1. Apakah sering keluarnya air mata saya dalam sholat ini adalah sapaan ilahi atau tangis (akting) seperti para artis
dalam bermain film?.

Jawab: jawabnya singkat saja. Sudah direspon oleh Allah malah bapak Slamet itu tidak
mensyukurinya. Nanti kalau tidak direspon Allah lagi baru bapak akan kelabakan kembali.
Mau toh tidak direspon Allah…?. Capekkan kalau tidak direspon Allah saat kita beribadah
dan keseharian kita..?.

2. Saya tidak tahu apakah model yang saya pergunakan ini gaya konsentrasi ataukah dekonsentrasi ?..

Jawab: Pak Slamet tidak perlu memikirkan apakah itu konsentrasi atau dekonsentrasi. Sadari sajalah bahwa Allah
sangat dekat, Dia Meliputi segala sesuatu. Lalu biarkanlah Dia memahamkan kita tentang Dia sendiri tahap demi
tahap.

3. Jika roh keluar dari tubuh menuju ke Allah mengapa kita tidak mati?

Jawab: Bacalah artikel saya: “Tanya tentang Pengalaman


Pelatihan 21 Jan 2007
4. Lalu apakah bedanya orang mati dengan orang sholat khusuk? Bukankah ruh ini sama-
sama keluar?

Jawab: Shalat adalah latihan mati. Sama juga halnya dengan tidur. Tapi dalam shalat kita melatih mati tapi tetap
dalam kondisi kesadaran penuh. Sedangkan dalam tidur biasanya kita melatih mati, tapi dalam keadaan tidak sadar.
Akan tetapi kalau kita sudah melatih tidur, terutama diawal-awal tidur kita bisa mempertahankan kesadaran kita
kepada Allah, nati kalau dalam tidur itu kita bermimpi, dan kita sudah melatih diri untuk mati dalam keadaan sadar
(seperti dalam shalat), maka nanti dalam tidur yang bermimi itu kita bisa sadar bahwa kita saat itu tengah bermimpi.
Cobalah.

Bagaimana caranya dalam sholat agar suara-suara diluar sholat tidak terdengar? Selama ini
walaupun dalam sholat saya menitikkan air mata namun apabila istri saya menutup pintu
saya masih merasa kaget/ terganggu.
Jawab: Dalam shalat kita akan tetap mendengar keadaan sekeliling kita. Akan tetapi kalau
objek fikir kita sudah benar tepat Ke Allah, tidak musyrik lagi, tidak ada lagi objek fikir
selain Allah, … Haniefan musliman wamaa ana minal musyrikin, maka nanti Pak Slamet
akan terheran-heran sendiri bahwa kita seperti terpisah dengan hiruk pikuknya sekeliling
kita. Latihlah, insyaallah bisa.

Demikian dulu pak surat saya ini mudah-mudahan saya segera mendapat balasan.

Salam sejahtera untuk keluarga dan Bapak Slamet Oetomo.

Wassalamu ‘alaikum Wr. Wb.

Tegal, 9 Maret 2007

Slamet Bagyo di Tegal

Salam Kembali buat Bapak dan keluarga

Wass

Deka on behalf of Abu Sangkan

Bagi orang yang sudah selesai




Written by Administrator

Barang siapa yang ingin melakukan AMAL SHALEH, maka syarat WAJIBNYA adalah...

Dia Sudah Tidak Lagi:


Bertanya, berbicara, berdiskusi, apalagi bertengkar tentang siapa dirinya.
Bertanya, berbicara, berdiskusi, apalagi bertengkar tentang dari mana asalnya.
Bertanya, berbicara, berdiskusi, apalagi bertengkar tentang buat apa dia ada.
Bertanya, berbicara, berdiskusi, apalagi bertengkar tentang apa tugasnya.
Bertanya, berbicara, berdiskusi, apalagi bertengkar tentang kemana dia akan kembali.

Dengan begitu, namanya dia sudah SELESAI dengan dirinya sendiri.

Kalau dia belum SELESAI dengan dirinya sendiri, bagaimana bisa dia SELESAI dengan YANG LAIN?. Dan
bagaimana bisa pula dia melakukan AMAL SHALEH?. IMPOSSIBLE...!. Karena dia akan MENJADI sibuk dengan
dirinya sendiri untuk selamanya.

Kalau dia sudah SELESAI dengan dirinya,

Lalu Dia Sudah Tidak Lagi:


Bertanya, berbicara, berdiskusi, apalagi bertengkar tentang siapa ALLAH.
Bertanya, berbicara, berdiskusi, apalagi bertengkar tentang dimana ALLAH.
Bertanya, berbicara, berdiskusi, apalagi bertengkar tentang Zat ALLAH.
Bertanya, berbicara, berdiskusi, apalagi bertengkar tentang Wujud ALLAH.
Bertanya, berbicara, berdiskusi, apalagi bertengkar tentang Sifat ALLAH.
Bertanya, berbicara, berdiskusi, apalagi bertengkar tentang nama-nama ALLAH.
Bertanya, berbicara, berdiskusi, apalagi bertengkar tentang Laa Ilaha Illallah.

Dengan begitu, namanya dia sudah SELESAI dengan Allah.

Kalau dia belum SELESAI dengan ALLAH, bagaimana bisa dia SELESAI dengan Tuhan-Tuhan YANG LAIN Selain
ALLAH?. Dan bagaimana bisa pula dia melakukan AMAL SHALEH?. IMPOSSIBLE...!. Karena dia akan MENJADI
sibuk dengan Tuhan-Tuhan YANG LAIN Selain ALLAH itu untuk selamanya.

Kalau dia sudah SELESAI dengan ALLAH,

Lalu Dia Sudah Tidak Lagi:


Bertanya, berbicara, berdiskusi, apalagi bertengkar tentang Muhammad Rasulullah.
Bertanya, berbicara, berdiskusi, apalagi bertengkar tentang tugas Beliau.
Bertanya, berbicara, berdiskusi, apalagi bertengkar tentang akhlak Beliau.
Bertanya, berbicara, berdiskusi, apalagi bertengkar tentang syariat Beliau.

Dengan begitu, namanya dia sudah SELESAI dengan Rasulullah.

Kalau dia belum SELESAI dengan Rasulullah, bagaimana bisa dia SELESAI dengan orang-orang YANG LAIN Selain
Rasulullah?. Dan bagaimana bisa pula dia melakukan AMAL SHALEH?. IMPOSSIBLE...!. Karena dia akan MENJADI
sibuk dengan orang-orang YANG LAIN Selain Rasulullah selamanya.

Agar BISA SELESAI dengan diri sendiri, dan BISA pula SELESAI dengan Allah dan Rasulullah, maka lakukanlah
ibadah-ibadah: Shalat, Zakat, Puasa, dan Haji (bagi yang mampu). Karena semua ibadah itu tadi merupakan fasilitas
dan pintu pembuka agar seseorang bisa selalu INGAT (DZIKIR) dan bisa pula berhadapan-hadapan dengan ALLAH.
Karena Rasulullah pun melakukan hal yang sama untuk membetulkan positioning Beliau dihadapan Allah.

Kalau sudah SELESAI dengan Allah dan Rasulullah, maka namanya dia SUDAH BERSYAHADAT kepada Allah dan
Rasulullah. Artinya dia saat ini juga SUDAH BERSAKSI; Sudah Melihat; Sudah Beriman; Sudah Yakin kepada Allah
dan Rasulullah.

Lalu Dia Sudah Tidak Lagi:


Bertanya, berbicara, berdiskusi, apalagi bertengkar tentang Al Qur'an.
Bertanya, berbicara, berdiskusi, apalagi bertengkar tentang Al Hadist.

Dengan begitu, namanya dia sudah SELESAI dengan Al Qur'an dan Al Hadist. Dia tinggal hanya membacanya
berulangkali untuk mengkalibrasi apa-apa yang telah dan yang akan dia lakukan didalam hidupnya.
Karena Al Qur'an hanyalah kitab dimana Allah bercerita tentang Allah SENDIRI dan segala Kemahahebatan-Nya
terhadap semua ciptaan-Nya (termasuk terhadap Malaikat dan Iblis).

Sementara Al Hadist adalah kitab yang berisikan "sebagian" Akhlak Rasulullah ditengah-tengah para Sahabat Beliau
dalam mencontohkan posisi Beliau sebagai seorang Hamba Allah.

NAMUN, barang siapapun yang sudah SELESAI dengan semua itu diatas, dan dia juga sudah melakukan semua
ibadah-ibadah itu dengan benar sesuai yang dicontohkan Rasulullah, maka sebenarnya saat itu dia masih BELUM
ada apa-apanya. Dia masih BELUM dianggap apa-apa oleh Allah. Saat itu seseorang itu baru berada pada posisi
segerombolan orang di garis START. Posisi orang yang siap untuk berlari dan saling mendahului untuk berlomba-
lomba melakukan AMAL SHALEH. Posisi orang-orang yang belum berhak mereguk perjumpaan dengan Allah. Lho...,
kok begitu?.

Ya..., karena orang yang berhak dan bisa BERJUMPA dan MEJUMPAI Allah hanya dan hanya orang yang membawa
AMAL SHALEH nya kehadapan Allah.

"...Barangsiapa mengharap PERJUMPAAN dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan AMAL YANG
SALEH..." (Al Kahfi 110).

Saat seseorang ingin menjumpai Allah, maka Allah akan bertanya: "Kau membawa amal shaleh apa untuk datang
kepada-Ku kali ini wahai hamba-Ku?".

Saat seseorang tidak bisa menunjukkan Amal Shalehnya ketika dia menghadap Allah, maka Allah akan berpaling:
"Menjauhlah kau dari Ku, karena kau bukanlah Hamba-Ku". Kalau sudah begini sungguh sangat memiriskan sekali
akibatnya. Astagfirullah...

Akan tetapi, ketika seseorang datang merendah-rendah kepada Allah sambil berkata, "Ya Allah, hari ini hamba
menghadap Paduka hanya dengan membawa amal shaleh yang sangat kecil dan remeh, yaitu hamba tadi telah
menyingkirkan sepotong DURI dari jalanan yang sering dilalui orang...".

Dengan lembut, Allahpun berkata kepada para malaikat dan kepada para iblis: "Lihatlah wahai malaikat dan iblis.
Dialah hamba-Ku, dialah hamba-Ku yang memelihara orang lain agar tidak celaka, dialah Abdul Muhaimin (hamba-
Ku yang Memelihara). Itulah Amal Shaleh yang tidak bisa kalian lakukan. Dan itu pulalah yang menyebabkan Aku
memerintahkan kalian untuk sujud menghormatinya. Karena dia adalah Abdul Muhaimin, Ruh-Ku".

Adakalanya seseorang datang sambil merintih: "Ya Allah, sebelum datang menghadap, tadi hamba membacakan Al
Fatihah dan berharap agar Paduka berkenan menyampaikannya kepada Ibunda hamba, dan sudilah Paduka
memberkati, merahmati, mengampuni Beliau, hanya do'a kecil itu yang hamba bawa ketika hamba ingin berjumpa
dengan Paduka". Atau yang lebih dahsyat adalah, kalau dia langsung duduk menyungkur dihadapan ibunya untuk
minta maaf dan ridho ibunya, lalu dia laporkan itu kepada Allah: "Ya Allah hamba datang menghadap Paduka setelah
tadi hamba minta maaf dan ridho dari ibunda hamba. Karena maaf dan ridho Paduka kepada hamba adalah hanya
dengan sebab adanya maaf dan ridho ibu hamba kepada hamba, Ridha Allah fii ridha walidayn. Sungguh syurga
Paduka untuk hamba ada ditelapak kaki ibu hamba".

Dengan lembut, Allah berkata kepada malaikat dan iblis: "Lihatlah oleh kalian. Dialah hamba-Ku, dialah Abdul Rahim
(hamba-Ku yang berkelimpahan dengan Kasih dan Sayang-Ku), karena, dengan maaf dan ridha dari ibunya itu, Aku
telah masukkan dia kembali kedalam suasana Rahim ibunya. Akulah yang menciptakan dia di dalam rahim ibunya.
Rhido-Ku dan ridho ibunyalah yang menyebabkan dia bisa lahir kebumi ini. Kalau saja ibunya tidak ridho dulu, maka
Aku juga tidak bisa berbuat apa-apa. Mungkin dia tidak akan lahir kedunia ini". Dan sekarang sujudlah kalian
kepadanya untuk menghormat. Karena dia adalah Abdul Rahim, Ruh-Ku".

Dilain kesempatan seseorang datang untuk berjumpa dengan Allah dengan merayu-rayu: "Ya Allah, kali ini hamba
datang menghadap setelah tadi terlebih dahulu hamba menunaikan perintah Paduka untuk memberikan 10.000
rupiah kepada seorang bapak tua yang sedang bersandar disebuah pohon. Orang tua itu kelihatan letih. Mungkin dia
telah berjalan sekian lama membawa seperangkat peralatan "sol sepatunya" mencari-cari kalau-kalau ada seseorang
yang ingin memperbaiki sepatunya yang robek. Saat hamba melihatnya, hamba lihat dada hamba Paduka aliri
dengan sebuah kehendak dan sekaligus daya untuk menyampaikan sedikit rezki kepadanya. Dengan tersenyum dan
mengucapkan salam, lalu hamba tunaikan perintah paduka itu, walau hanya 10.000 rupiah saja".

Dengan tegas lalu Allah kembali berkata kepada malaikat dan iblis: "Lihatlah oleh kalian. Dialah hamba-Ku. Dialah
Abdul Razak, hamba-Ku yang bersedia menolong-Ku memberikan rezki kepada si Fulan. Nanti si Fulan itu, ketika dia
makan siang disebuah warung nasi seharga 5000 rupiah sepiring, dia akan memberikan tambahan 2000 rupiah
sebagai hadiah kepada si ibu tua penjaga warung nasi itu. Sebab tadi pagi cucu si nenek tua itu, yang masih duduk
di bangku taman kanak-kanak, merengek-rengek kepada neneknya minta dibelikan dua potong roti. Karena dia ingin
memberikan roti yang sepotong lagi kepada seorang temannya yang tidak pernah membawa bekal roti kesekolah.
Karena temannya itu memang anak dari seorang bapak yang kurang mampu. Kemaren anak itu, ketika melihat cucu
si nenek makan sepotong roti, dia ingin pula mencicipi sepotong roti seperti itu. Aku tahu itu, sehingga Aku alirkan
kehendak itu kedalam dada hamba-Ku si Abdul Razak itu. Dan dia memenuhi perintah-Ku itu. Lihatlah begitulah
cara-Ku memberi rezki dan sekaligus kebahagian kepada seorang anak kecil yang memimpikan bisa makan
sepotong roti besok pagi. Itulah yang kalian tidak bisa lakukan, sehingga aku memerintahkan kalian untuk segera
sujud menghormat kepada hambaku itu. Karena dia adalah Abdul Razak, Ruh-Ku".

Dengan bekal amal-amal shaleh kecil seperti itu, Allahpun berkenan menyambut kedatangan seseorang hamba-Nya
itu dihadapan-Nya. Allahpun berkenan menaikkan derajat hambanya itu ketingkat yang lebih tinggi dari yang
sebelumnya. Proses perpindahan derajat itu akan sangat terasa sekali. Ada sebuah tarikan halus, sangat halus
sekali malah, yang membawa ruhani si hamba naik membubung tinggi menuju ASSSIRR UL ASRARR. Rahasia
diatas Rahasia yang hanya Allah dan hambanya itu saja yang mengetahuinya. Wilayah yang tidak bisa dimasuki oleh
orang lain. Wilayah sangat rahasia. Dan setiap orang ternyata punya wilayah Rahasia diatas Rahasia itu, yang untuk
memasukinya sungguh tergantung dari AMAL SHALEH apa yang dia bawa saat dia datang menghadap Allah untuk
berjumpa dengan-Nya.

Kalau sudah begini, maka kualitas suasana dan keadaan SHALAT si hamba itu akan berlipat ganda dari kualitas
yang sebelumnya. Shalat yang betul-betul ada rasa menghadap dan kumunikatifnya. Shalat yang dialogis antara
Allah dengan hamba-Nya. Kecukacitaan si hamba juga seketika akan meningkat ke level yang belum pernah dia
alami sebelumnya. Dan itulah yang menyebabkan IMAN si hamba kepada Allah akan meningkat pula dengan sangat
drastis.

Itu pulalah yang menyebabkan malaikat mau tidak mau kembali tersungkur bersujud dan menghormat kepada si
hamba Allah, Abdullah. Dan iblispun kembali pula bersaksi atas ayat Allah bahwa dia tidak bisa berkutik apa-apa saat
berhadapan dengan hamba Allah yang Mukhlasin...

Sesaat sebelum lebaran kemaren, sebelum aku datang menghadap Allah, dengan terlebih dahulu bershalawat
kepada Rasulullah dan keluarga Beliau, kusampaikan sebaik kalimat pendek kepada Ustad Abu Sangkan: "Pak
Abu..., saya mohon maaf dan ridhonya. Wassalam Yusdeka, Pupun & Ima". Dan Beliau juga menjawabnya dengan
sangat singkat: "Insyaa Allah sama-sama. Semoga rahasia sirr menjadi pembuka kita dalam rahasia Allah". Aku
sampaikan hal yang sama kepada Bapak Haji Slamet Utomo, kepada Ibuku H. Arni Burhan, kepada Bapakku H.
Bustami Thaib, kepada ibu mertuaku H. Suwarsih, dan tak lupa sebait do'a pendek kepada almarhum Ayahku Ali
Syarkawi, almarhum Bapak mertuaku H. Eman Sulaeman, almarhum Kakekku H. Burhan St. Bandaro Putiah, dan
almarhumah Nenekku H. Dayana (yang sangat menyayangiku sampai Beliau meninggal tahun 2002 dalam umur
lebih dari 80 tahun). Kemudian kupeluk istriku Pupun Agusrini dan anakku Karima sambil berbisik: "maafkan dan
ridhoi papa ya..., Papa sudah memaafkan dan meridhoi kalian terlebih dahulu...".

Labbaik Allahumma labbaik..., Ya Allah..., hamba datang dengan bekal ucapan maaf dan permintaan ridho dari
orang-orang yang sangat hamba hormati dan cintai....

Dan akhirnya akupun meninggalkan ramadhan tahun ini dengan sebungkah Rahasia diatas Rahasia, Assirr ul Asrarr,
antara aku dan Allahku ketingkat yang belum pernah kualami sebelumnya.

Ya Allah..., terima kasih...


Subhanallah...
Alhamdulillah...
Allahu Akbar...

Wassalam
Deka, 26 September 2010
Jalan Kabel No 16, Cilegon, Banten.

Bagi orang yang sudah selesai




Written by Administrator

Barang siapa yang ingin melakukan AMAL SHALEH, maka syarat WAJIBNYA adalah...

Dia Sudah Tidak Lagi:


Bertanya, berbicara, berdiskusi, apalagi bertengkar tentang siapa dirinya.
Bertanya, berbicara, berdiskusi, apalagi bertengkar tentang dari mana asalnya.
Bertanya, berbicara, berdiskusi, apalagi bertengkar tentang buat apa dia ada.
Bertanya, berbicara, berdiskusi, apalagi bertengkar tentang apa tugasnya.
Bertanya, berbicara, berdiskusi, apalagi bertengkar tentang kemana dia akan kembali.

Dengan begitu, namanya dia sudah SELESAI dengan dirinya sendiri.

Kalau dia belum SELESAI dengan dirinya sendiri, bagaimana bisa dia SELESAI dengan YANG LAIN?. Dan
bagaimana bisa pula dia melakukan AMAL SHALEH?. IMPOSSIBLE...!. Karena dia akan MENJADI sibuk dengan
dirinya sendiri untuk selamanya.
Kalau dia sudah SELESAI dengan dirinya,

Lalu Dia Sudah Tidak Lagi:


Bertanya, berbicara, berdiskusi, apalagi bertengkar tentang siapa ALLAH.
Bertanya, berbicara, berdiskusi, apalagi bertengkar tentang dimana ALLAH.
Bertanya, berbicara, berdiskusi, apalagi bertengkar tentang Zat ALLAH.
Bertanya, berbicara, berdiskusi, apalagi bertengkar tentang Wujud ALLAH.
Bertanya, berbicara, berdiskusi, apalagi bertengkar tentang Sifat ALLAH.
Bertanya, berbicara, berdiskusi, apalagi bertengkar tentang nama-nama ALLAH.
Bertanya, berbicara, berdiskusi, apalagi bertengkar tentang Laa Ilaha Illallah.

Dengan begitu, namanya dia sudah SELESAI dengan Allah.

Kalau dia belum SELESAI dengan ALLAH, bagaimana bisa dia SELESAI dengan Tuhan-Tuhan YANG LAIN Selain
ALLAH?. Dan bagaimana bisa pula dia melakukan AMAL SHALEH?. IMPOSSIBLE...!. Karena dia akan MENJADI
sibuk dengan Tuhan-Tuhan YANG LAIN Selain ALLAH itu untuk selamanya.

Kalau dia sudah SELESAI dengan ALLAH,

Lalu Dia Sudah Tidak Lagi:


Bertanya, berbicara, berdiskusi, apalagi bertengkar tentang Muhammad Rasulullah.
Bertanya, berbicara, berdiskusi, apalagi bertengkar tentang tugas Beliau.
Bertanya, berbicara, berdiskusi, apalagi bertengkar tentang akhlak Beliau.
Bertanya, berbicara, berdiskusi, apalagi bertengkar tentang syariat Beliau.

Dengan begitu, namanya dia sudah SELESAI dengan Rasulullah.

Kalau dia belum SELESAI dengan Rasulullah, bagaimana bisa dia SELESAI dengan orang-orang YANG LAIN Selain
Rasulullah?. Dan bagaimana bisa pula dia melakukan AMAL SHALEH?. IMPOSSIBLE...!. Karena dia akan MENJADI
sibuk dengan orang-orang YANG LAIN Selain Rasulullah selamanya.

Agar BISA SELESAI dengan diri sendiri, dan BISA pula SELESAI dengan Allah dan Rasulullah, maka lakukanlah
ibadah-ibadah: Shalat, Zakat, Puasa, dan Haji (bagi yang mampu). Karena semua ibadah itu tadi merupakan fasilitas
dan pintu pembuka agar seseorang bisa selalu INGAT (DZIKIR) dan bisa pula berhadapan-hadapan dengan ALLAH.
Karena Rasulullah pun melakukan hal yang sama untuk membetulkan positioning Beliau dihadapan Allah.

Kalau sudah SELESAI dengan Allah dan Rasulullah, maka namanya dia SUDAH BERSYAHADAT kepada Allah dan
Rasulullah. Artinya dia saat ini juga SUDAH BERSAKSI; Sudah Melihat; Sudah Beriman; Sudah Yakin kepada Allah
dan Rasulullah.

Lalu Dia Sudah Tidak Lagi:


Bertanya, berbicara, berdiskusi, apalagi bertengkar tentang Al Qur'an.
Bertanya, berbicara, berdiskusi, apalagi bertengkar tentang Al Hadist.

Dengan begitu, namanya dia sudah SELESAI dengan Al Qur'an dan Al Hadist. Dia tinggal hanya membacanya
berulangkali untuk mengkalibrasi apa-apa yang telah dan yang akan dia lakukan didalam hidupnya.
Karena Al Qur'an hanyalah kitab dimana Allah bercerita tentang Allah SENDIRI dan segala Kemahahebatan-Nya
terhadap semua ciptaan-Nya (termasuk terhadap Malaikat dan Iblis).

Sementara Al Hadist adalah kitab yang berisikan "sebagian" Akhlak Rasulullah ditengah-tengah para Sahabat Beliau
dalam mencontohkan posisi Beliau sebagai seorang Hamba Allah.

NAMUN, barang siapapun yang sudah SELESAI dengan semua itu diatas, dan dia juga sudah melakukan semua
ibadah-ibadah itu dengan benar sesuai yang dicontohkan Rasulullah, maka sebenarnya saat itu dia masih BELUM
ada apa-apanya. Dia masih BELUM dianggap apa-apa oleh Allah. Saat itu seseorang itu baru berada pada posisi
segerombolan orang di garis START. Posisi orang yang siap untuk berlari dan saling mendahului untuk berlomba-
lomba melakukan AMAL SHALEH. Posisi orang-orang yang belum berhak mereguk perjumpaan dengan Allah. Lho...,
kok begitu?.

Ya..., karena orang yang berhak dan bisa BERJUMPA dan MEJUMPAI Allah hanya dan hanya orang yang membawa
AMAL SHALEH nya kehadapan Allah.

"...Barangsiapa mengharap PERJUMPAAN dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan AMAL YANG
SALEH..." (Al Kahfi 110).

Saat seseorang ingin menjumpai Allah, maka Allah akan bertanya: "Kau membawa amal shaleh apa untuk datang
kepada-Ku kali ini wahai hamba-Ku?".

Saat seseorang tidak bisa menunjukkan Amal Shalehnya ketika dia menghadap Allah, maka Allah akan berpaling:
"Menjauhlah kau dari Ku, karena kau bukanlah Hamba-Ku". Kalau sudah begini sungguh sangat memiriskan sekali
akibatnya. Astagfirullah...

Akan tetapi, ketika seseorang datang merendah-rendah kepada Allah sambil berkata, "Ya Allah, hari ini hamba
menghadap Paduka hanya dengan membawa amal shaleh yang sangat kecil dan remeh, yaitu hamba tadi telah
menyingkirkan sepotong DURI dari jalanan yang sering dilalui orang...".

Dengan lembut, Allahpun berkata kepada para malaikat dan kepada para iblis: "Lihatlah wahai malaikat dan iblis.
Dialah hamba-Ku, dialah hamba-Ku yang memelihara orang lain agar tidak celaka, dialah Abdul Muhaimin (hamba-
Ku yang Memelihara). Itulah Amal Shaleh yang tidak bisa kalian lakukan. Dan itu pulalah yang menyebabkan Aku
memerintahkan kalian untuk sujud menghormatinya. Karena dia adalah Abdul Muhaimin, Ruh-Ku".

Adakalanya seseorang datang sambil merintih: "Ya Allah, sebelum datang menghadap, tadi hamba membacakan Al
Fatihah dan berharap agar Paduka berkenan menyampaikannya kepada Ibunda hamba, dan sudilah Paduka
memberkati, merahmati, mengampuni Beliau, hanya do'a kecil itu yang hamba bawa ketika hamba ingin berjumpa
dengan Paduka". Atau yang lebih dahsyat adalah, kalau dia langsung duduk menyungkur dihadapan ibunya untuk
minta maaf dan ridho ibunya, lalu dia laporkan itu kepada Allah: "Ya Allah hamba datang menghadap Paduka setelah
tadi hamba minta maaf dan ridho dari ibunda hamba. Karena maaf dan ridho Paduka kepada hamba adalah hanya
dengan sebab adanya maaf dan ridho ibu hamba kepada hamba, Ridha Allah fii ridha walidayn. Sungguh syurga
Paduka untuk hamba ada ditelapak kaki ibu hamba".

Dengan lembut, Allah berkata kepada malaikat dan iblis: "Lihatlah oleh kalian. Dialah hamba-Ku, dialah Abdul Rahim
(hamba-Ku yang berkelimpahan dengan Kasih dan Sayang-Ku), karena, dengan maaf dan ridha dari ibunya itu, Aku
telah masukkan dia kembali kedalam suasana Rahim ibunya. Akulah yang menciptakan dia di dalam rahim ibunya.
Rhido-Ku dan ridho ibunyalah yang menyebabkan dia bisa lahir kebumi ini. Kalau saja ibunya tidak ridho dulu, maka
Aku juga tidak bisa berbuat apa-apa. Mungkin dia tidak akan lahir kedunia ini". Dan sekarang sujudlah kalian
kepadanya untuk menghormat. Karena dia adalah Abdul Rahim, Ruh-Ku".

Dilain kesempatan seseorang datang untuk berjumpa dengan Allah dengan merayu-rayu: "Ya Allah, kali ini hamba
datang menghadap setelah tadi terlebih dahulu hamba menunaikan perintah Paduka untuk memberikan 10.000
rupiah kepada seorang bapak tua yang sedang bersandar disebuah pohon. Orang tua itu kelihatan letih. Mungkin dia
telah berjalan sekian lama membawa seperangkat peralatan "sol sepatunya" mencari-cari kalau-kalau ada seseorang
yang ingin memperbaiki sepatunya yang robek. Saat hamba melihatnya, hamba lihat dada hamba Paduka aliri
dengan sebuah kehendak dan sekaligus daya untuk menyampaikan sedikit rezki kepadanya. Dengan tersenyum dan
mengucapkan salam, lalu hamba tunaikan perintah paduka itu, walau hanya 10.000 rupiah saja".

Dengan tegas lalu Allah kembali berkata kepada malaikat dan iblis: "Lihatlah oleh kalian. Dialah hamba-Ku. Dialah
Abdul Razak, hamba-Ku yang bersedia menolong-Ku memberikan rezki kepada si Fulan. Nanti si Fulan itu, ketika dia
makan siang disebuah warung nasi seharga 5000 rupiah sepiring, dia akan memberikan tambahan 2000 rupiah
sebagai hadiah kepada si ibu tua penjaga warung nasi itu. Sebab tadi pagi cucu si nenek tua itu, yang masih duduk
di bangku taman kanak-kanak, merengek-rengek kepada neneknya minta dibelikan dua potong roti. Karena dia ingin
memberikan roti yang sepotong lagi kepada seorang temannya yang tidak pernah membawa bekal roti kesekolah.
Karena temannya itu memang anak dari seorang bapak yang kurang mampu. Kemaren anak itu, ketika melihat cucu
si nenek makan sepotong roti, dia ingin pula mencicipi sepotong roti seperti itu. Aku tahu itu, sehingga Aku alirkan
kehendak itu kedalam dada hamba-Ku si Abdul Razak itu. Dan dia memenuhi perintah-Ku itu. Lihatlah begitulah
cara-Ku memberi rezki dan sekaligus kebahagian kepada seorang anak kecil yang memimpikan bisa makan
sepotong roti besok pagi. Itulah yang kalian tidak bisa lakukan, sehingga aku memerintahkan kalian untuk segera
sujud menghormat kepada hambaku itu. Karena dia adalah Abdul Razak, Ruh-Ku".

Dengan bekal amal-amal shaleh kecil seperti itu, Allahpun berkenan menyambut kedatangan seseorang hamba-Nya
itu dihadapan-Nya. Allahpun berkenan menaikkan derajat hambanya itu ketingkat yang lebih tinggi dari yang
sebelumnya. Proses perpindahan derajat itu akan sangat terasa sekali. Ada sebuah tarikan halus, sangat halus
sekali malah, yang membawa ruhani si hamba naik membubung tinggi menuju ASSSIRR UL ASRARR. Rahasia
diatas Rahasia yang hanya Allah dan hambanya itu saja yang mengetahuinya. Wilayah yang tidak bisa dimasuki oleh
orang lain. Wilayah sangat rahasia. Dan setiap orang ternyata punya wilayah Rahasia diatas Rahasia itu, yang untuk
memasukinya sungguh tergantung dari AMAL SHALEH apa yang dia bawa saat dia datang menghadap Allah untuk
berjumpa dengan-Nya.

Kalau sudah begini, maka kualitas suasana dan keadaan SHALAT si hamba itu akan berlipat ganda dari kualitas
yang sebelumnya. Shalat yang betul-betul ada rasa menghadap dan kumunikatifnya. Shalat yang dialogis antara
Allah dengan hamba-Nya. Kecukacitaan si hamba juga seketika akan meningkat ke level yang belum pernah dia
alami sebelumnya. Dan itulah yang menyebabkan IMAN si hamba kepada Allah akan meningkat pula dengan sangat
drastis.

Itu pulalah yang menyebabkan malaikat mau tidak mau kembali tersungkur bersujud dan menghormat kepada si
hamba Allah, Abdullah. Dan iblispun kembali pula bersaksi atas ayat Allah bahwa dia tidak bisa berkutik apa-apa saat
berhadapan dengan hamba Allah yang Mukhlasin...

Sesaat sebelum lebaran kemaren, sebelum aku datang menghadap Allah, dengan terlebih dahulu bershalawat
kepada Rasulullah dan keluarga Beliau, kusampaikan sebaik kalimat pendek kepada Ustad Abu Sangkan: "Pak
Abu..., saya mohon maaf dan ridhonya. Wassalam Yusdeka, Pupun & Ima". Dan Beliau juga menjawabnya dengan
sangat singkat: "Insyaa Allah sama-sama. Semoga rahasia sirr menjadi pembuka kita dalam rahasia Allah". Aku
sampaikan hal yang sama kepada Bapak Haji Slamet Utomo, kepada Ibuku H. Arni Burhan, kepada Bapakku H.
Bustami Thaib, kepada ibu mertuaku H. Suwarsih, dan tak lupa sebait do'a pendek kepada almarhum Ayahku Ali
Syarkawi, almarhum Bapak mertuaku H. Eman Sulaeman, almarhum Kakekku H. Burhan St. Bandaro Putiah, dan
almarhumah Nenekku H. Dayana (yang sangat menyayangiku sampai Beliau meninggal tahun 2002 dalam umur
lebih dari 80 tahun). Kemudian kupeluk istriku Pupun Agusrini dan anakku Karima sambil berbisik: "maafkan dan
ridhoi papa ya..., Papa sudah memaafkan dan meridhoi kalian terlebih dahulu...".

Labbaik Allahumma labbaik..., Ya Allah..., hamba datang dengan bekal ucapan maaf dan permintaan ridho dari
orang-orang yang sangat hamba hormati dan cintai....

Dan akhirnya akupun meninggalkan ramadhan tahun ini dengan sebungkah Rahasia diatas Rahasia, Assirr ul Asrarr,
antara aku dan Allahku ketingkat yang belum pernah kualami sebelumnya.

Ya Allah..., terima kasih...


Subhanallah...
Alhamdulillah...
Allahu Akbar...

Wassalam
Deka, 26 September 2010
Jalan Kabel No 16, Cilegon, Banten.

AFIRMASI DAN LOGIKA BERFIKIR - 7




Written by Administrator

Buah Yang mengherankan…

Yang sangat menarik dari afirmasi ini adalah bahwa apa-apa yang kita lakukan sangatlah
terikat erat dengan afirmasi kita itu. Bahwa ternyata afirmasi-afirmasi yang kita benamkan
ke dalam otak kita sepanjang waktu itu, akan sangat-sangat mempengaruhi aktifitas,
perilaku, perbuatan, dan logika berfikir kita sepanjang waktu.

Seseorang yang sering mengafirmasi dirinya bahwa dirinya adalah


seorang ustad atau ulama penerus dan pewaris Nabi, maka dari waktu kewaktu, dari hari
kehari, setiap saatlah, kalau dia sedang berhadapan dengan orang lain, dia akan
mengungkapkan ungkapan-ungkapan seperti ungkapan Nabi. Dia akan berda’wah, dia akan
mengingatkan orang, dia akan melarang orang untuk melakukan ini dan itu, dia akan
menyuruh orang untuk melakukan ini dan itu. Walaupun kadangkala dia tidak melakukan
apa-apa yang dia sampaikan kepada orang-orang itu, tapi akibat dia telah mengafirmasi
dirinya bahwa dirinya adalah penerus Nabi dihadapan orang-orang banyak, dia telah belajar
agama , dia telah dilabeli sebagai seorang ustad, maka dia akan tetap bersikap sebagai
agen pengajak orang lain kearah kebenaran. Dia akan bersikap seakan-akan dialah orang
yang paling tahu tentang syurga dan neraka, tentang baik dan buruk, tentang hidup dan
mati, dan tentang Tuhan tentunya. Paling nanti saat dia sendirian, dia akan bertanya-tanya
sendiri, tadi itu saya sebenarnya hanya ngomong doang, dan inipun sudah diantisapasi
oleh Allah: bahwa sebenarnya Allah sangat murka kepada orang-orang yang mengatakan
apa-apa yang tidak dia lakukan dan dia tidak paham pula makna hakiki tentang apa-apa
yang dia ucapkan itu.

Orang yang terbiasa mengafirmasi dirinya sebagai seorang yang pluralis, maka
omongannya disetiap saat juga akan tidak jauh-jauh dari pluraslisme itu. Dia akan bela
plurasime, dia akan kampanye tentang pluralisme, dia akan olah dan kembangkan berbagai
logika berfikir dari sudut pandang seorang pluralis.

Seseorang yang sudah mengafirmasi dirinya bahwa dirinya adalah sebagai seorang
pendeta, seorang gembala, seorang bante, seorang romo, maka hari-harinya, saat dia
berhadapan dengan orang banyak, akan disibukkan pula oleh status afirmasi tentang status
dirinya itu. Dia akan berkhotbah kesana kemari, dia akan sibuk menggembalakan orang lain
yang dianggapnya hanyalah sebagai domba-domba yang perlu digembalakannya agar tidak
tersesat.

Orang yang sudah terbiasa mengafirmasi dirinya sebagai orang yang biasa-biasa saja
ditengah-tengah masyarakat, maka dia juga akan bertindak biasa-biasa saja. Begitu juga
orang yang sudah mengafirmasi dirinya sebagai seorang spiritualis, atau sebagai seorang
pedzikir ulung, atau sebagai seorang yang bisa mengelola hati, atau sebagai seorang yang
mumpuni dibidang spiritual dan emosional maka diapun akan disibukan pula oleh logika
berfikirnya masing-masing.

Seseorang yang membenamkan afirmasi ke dalam otaknya bahwa dia adalah sebagai
seorang pemburu jin, seorang pemburu hantu, sebagai seorang penyembuh, sebagai orang
yang tahu dan mumpuni dibidang hal-hal yang gaib, maka hari-harinya akan diisi pula
dengan dinia-dunia yang katanya adalah dunia yang penuh kegaiban.

Akhirnya memang kesemuanya itu terserah kita saja, terpulang kepada kita. Mau kita
afirmasi apa diri kita ini dengan berbagai pilihan yang ada, it’s up to us… Toh nanti kita
sendiri pula yang akan menikmati ataupun merasakan hasil baik dan buruknya. Sebab
Hanya hasilnya nanti itu tidak akan jauh-jauh dari rasa bahagia disatu sisi dan sengsara
disisi yang lain, yang dalam istilah agamanya disebut sebagai syurga atau neraka.

Lalu kita disibukkan oleh apa…???,

Untuk menjawabnya, tengoklah diri kita masing-masing…, afirmasi macam apa yang telah
dan akan kita benamkan ke dalam otak kita…

Demikian kupasan kita kali ini tentang AFIRMASI…, semoga bermanfaat. Lain kali kita
sambung lagi dengan topik yang lain…

Lhaa…, ini kehendak untuk mengafirmasi diri ini datangnya dari mana ya…?, ada yang
tahu…?

Wassalam

Deka

Jl. Kabel no 16, Cilegon, Banten


AFIRMASI DAN LOGIKA BERFIKIR - 6


Written by Administrator

Keberhasilan Afirmasi…
Sebuah afirmasi dikatakan berhasil tatkala dengan afirmasi itu memunculkan KEINGINAN
atau KEHENDAK di dalam DADA kita untuk melakukan sebuah peran atau aktivitas sesuai
dengan maksud afirmasi tersebut. Kehendak itu seperti mempunyai DAYA yang begitu besar
agar kita segera bergerak, berfikir, ataupun berkarya, sehingga halangan sebesar apapun
rasanya bisa kita terjang dan lalui dengan mudah. Rasa sakit pun akan bisa sampai tidak
terasa sedikitpun.

Mari kita lihat beberapa contoh berikut ini…

Seringkali kita lihat di acara TV sekelompok orang dari aliran Syiah yang mengafirmasi
dirinya untuk merasakan penderitaan cucu Rasulullah, Al Husein, yang dibunuh oleh lawan
politik Beliau (Mua’wiyah). Untuk itu orang-orang yang sangat memulyakan Al Husein
tersebut, pada peringatan hari Asyura (10 Muharram), melakukan ritual memukuli tubuh
mereka dengan rantai besi yang berat dan kadang-kadang tajam pula. Walau darah
bercucuran dipunggung mereka, tapi mereka malah merasa bahagia, ekstasis. Sebab
mereka bertahun-tahun diafirmasi bahwa dengan melukai tubuh tersebut mereka seperti
ikut merasakan pedihnya penderitaan Al Husein. Dari kecil sampai tua, ritualnya begitu
terus selama bertahun-tahun, sehingga kalau dilarang-larang oleh orang lain, maka mereka
akan melawan mati-matian. Perang pun akan mudah tersulut kalau sebuah ritual yang
menimbulkan rasa ekstasis bagi pelakunya dilarang-larang oleh orang lain yang tidak setuju
dengan ritual tersebut.

Acara yang nyaris serupa juga sering dilakukan oleh umat Kristen untuk merasakan
penderitaan Yesus (Nabi Isa dalam agama Islam) yang konon kabarnya di paku di tiang
salib oleh lawan-lawan politik Beliau. Dengan afirmasi yang kuat, di Philipina misalnya, ada
pula ritual mencontoh keadaan tersalibnya Yesus tersebut. Walaupun tangan dan kaki
mereka berdarah dipaku ke tiang salib, tapi mereka seperti tidak merasakannya. Dengan
afirmasi, mereka seperti berada diatas RASA SAKIT, sehingga derita sekeras apapun yang
menimpa mereka, mereka seperti sudah tidak merasakannya lagi.

Ritual dalam aliran agama Hindu tertentu pun sangat sering seperti ini. Menyakiti tubuh.
Ada ritual rutin (mungkin) setahun sekali dimana penganut aliran tersebut berpawai sambil
menancapkan pedang ataupun berbagai macam besi runci ng ketubuh mereka. Walau tubuh
mereka bolong-bolong ditembus besi runcing, tapi mereka seperti tidak merasakan
kesakitan sedikit pun. Bahkan setetes darah pun tidak keluar dari bekas tusukan pedang
itu. Mirip seperti debus dan kuda lumping itulah kalau di Indonesia.

Saat ini, model-model peradaban yang mencontoh ritual seperti diatas juga marak
ditengah-tengah masyarakat, yaitu Piercing. Kita sering melihat anak-anak muda maupun
generasi tua yang tubuhnya ditindik disana sini, dibolongi disana sini. Misalnya di bibir, di
lidah, di hidung, di telinga, di pusar, di payudara, dan bahkan juga di wilayah yang sangat
pribadi sekali pun, ditusuk dan ditempeli dengan berbagai bahan dari metal.

Kalau kita melihat ritual pada aliran tertentu dalam agama Hindu seperti tersebut diatas dan
juga teknik-teknik Piercing, maka ritual Asyura yang dilakukan oleh penganut aliran Syiah
sepertinya sudah ketinggalan dalam hal “teknologi afirmasi”.

Menurut pemahaman saya sendiri, ada teknologi afirmasi pamuncak yang telah diwariskan
oleh Rasulullah Muhammad SAW untuk seluruh umat manusia. Hasil dari teknik afirmasi
warisan Nabi Muhammad itu adalah sebuah suasana “laa khaufun ‘alaihim walaa hum
yahzanuun…,suasana tidak ada rasa khawatir, tidak ada rasa sedih”. Suasana DIATAS
SEMUA RASA, yang posisinya berada di AL A’RAAF (tempat tertinggi). Sebuah alamat yang
posisinya adalah diatas Syurga dan Neraka. Rasulullah saat berada di AL A’RAAF ini bisa
melihat dan memahami Realitas dari kehidupan Syurga dan Neraka (yang disebut juga
sebagai alam Akhirat) dengan begitu gamblangnya.

Afirmasi yang diwariskan oleh Beliau itu sederhana sekali, sangat sederhana sekali malah,
namun begitu Dahsyatnya, sungguh…., yaitu:

! ALLAH…, lalu ….. Derrr… !.


Adapun afirmasi-afirmasi yang lainnya, seperti: Laa ilaha illallah, Subhanallah,
Alhamdulillah, Allahu Akbar, Laa haulawala quwwata illa billah, Inna lillahi wa
inna ilahi raji’un, dan sebagainya…, pastilah akan membawa kita kepada ALLAH. Lalu
biarkan sajalah kita dituntun-Nya selangkah demi selangkah menuju kepahaman dan
kesaksian (SYAHID) terhadap Diri-Nya Sendiri… Semuanya itu pastilah akan membawa dan
menuntun kesadaran kita menuju KESAKSIAN kepada-Nya. Kalau sudah bersaksi, maka
barulah kita pantas mengucapkan kesaksian kitalangsung ke WAJAH-NYA:
“Asyhadu an laa ilaha illallah, benar…, saya bersaksi bahwa Engkau adalah Allah,
sedangkan apapun yang lainnya yang berada dalam liputan Wajah-Mu, tidaklah begitu
penting lagi bagi saya…. Wa asyhadu anna muhammadan rasulullah, dan benar ya
Allah bahwa ternyata apa yang diajarkan oleh Muhammad tentang Engkau terbukti bagi
saya kebenarannya, maka dengan ini saya akui bahwa Beliau adalah Rasul-Mu, utusan-Mu.
Lalu ajaran-ajaran dan afirmasi-afirmasi yang lain dari apa yang Beliau wariskan sudah
tidak begitu penting lagi bagi saya…”.

Akan tetapi, kalau afirmas! i-afirmasi yang sekian banyak itu itu tidak menuntun dan
menggiring ki ta kepada ALLAH, Sang Laisa kamistlihi Syai’un, maka afirmasi itu bisalah
disebut sekedar afirmasi angguk-angguk dan geleng-geleng seperti kata sebuah
lagu. “Ngguk angguk angguk, leng geleng geleng, ngis tangis tangis…”.

Sebab banyak pula orang yang memakai kata ALLAH ini sebagai kalimat afirmasinya, akan
tetapi dia tidak sampai, terhalang, tercover, kafir, untuk sampai “duduk bersanding dan
pandang memandang dengan ALLAH”. Dia memang tetap memanggil Allah, akan tapi dia
hanya sampai ke posisi bersanding dan saling berpandangan dengan patung. Dia memang
memanggil Tuhan, tapi dia malah bersanding dan saling memandang dengan benda,
dengan cahaya, dengan tangisan, dengan alam, dengan jin, dengan syetan, dengan harta,
dengan ilmu, dengan paham, dengan aliran-aliran, dengan persepsi, dan sebagainya.
Semuanya itu seperti silih berganti melambai-lambaikan tangannya kepada kita agar kita
mengikuti mereka, agar kita datang kepada mereka, agar kita mau menjadi budak mereka.

Padahal kalau kita sudah ada kepercayaan (Iman) kepada Allah, maka semua lambaian itu
tadi tinggal kita tolak… LAA ILAHA…, tolak semua, abaikan semua. Lalu saling bersanding
dan saling memandanglah dengan WUJUD Yang tidak bisa ditolak lagi. Di tolak bagaimana
pun juga Dia sudah tidak bisa ditolak lagi. Kalau sudah tidak ada lagi yang bisa kita tolak.
Hanya tinggal Wujud Abadi…, maka teguhkanlah: ILLA ALLAH…, kecuali hanya Engkau saja
lagi Yang ADA. ALLAH…!. Kalau sudah begini barulah kita pantas untuk memanggil Wujud
ABADI tersebut dengan sebutan ALLAH, tanpa kita tersasar-sasar lagi kearah yang salah.

Kita tinggal memanggil:

ALLAH…, lalu ….. Derrr… !.


Lalu kita amati dengan seluruh kekaguman kita bagaimana Dia Maha Sibuk, Maha Aktif
mengatur segala sesuatu. Kita amati bagaimana Dia mengalirkan berbagai kehendak-Nya
ke dalam dada setiap manusia sehingga manusia itu seakan-akan punya kehendak dan
daya untuk melakukan sesuatu, untuk berkarya. Kita pandang bagaimana Dia mengalirkan
berbagai macam ilmu ke dalam otak kita, ke dalam otot kita, ke dalam kulit kita. Bahkan
kita amati pula bagaimana Dia mengalirkan Rasa Iman ke dalam tubuh kita, ke dalam kulit
kita, ke dalam dada kita, ke dalam aliran darah kita, sehingga semuanya itu nanti bisa
bersaksi bahwa memang kita adalah orang yang tidak hanya beriman kepada ALLAH, akan
tapi juga telah BERSAKSI (SYAHID) kepada ALLAH. Subhanallah…

Bersambung

Deka
AFIRMASI DAN LOGIKA BERFIKIR - 5


Written by Administrator

Sekarang marilah kita tengok hubungkan antara keputusan-keputusan yang kita ambil
dengan afirmasi-afirmasi yang kita lakukan terhadap otak kita. …

Salah satu cara untuk menambah dan memperbanyak file keadaan atau suasana yang
ada di dalam otak kita adalah dengan cara kita berulang-ulang kali mengucapkan sebuah
kata, sebuah kalimat, atau ungkapan-ungkapan yang kita yakini
kebenarannya, Afirmasi…!.

Kalau kita lihat, afirmasi itu juga merupakan sebuah proses yang menarik:

 Ada ungkapan afirmasi itu hanya sekedar penegasan atau pernyataan kita tentang
sesuatu.
 Ada yang berupa konfirmasi, atau pengesahan kita atas sesuatu.
 Ada yang hanya sekedar deklarasi, proklamasi, pengumuman atas sesuatu yang
kita percayai.
 Ada afirmasi yang kita ucapkan setelah melalui verifikasi (pembuktian) atas apa
yang kita ungkapkan itu…
 Ada pula afirmasi itu kita ungkapkan karena kita telah menyaksikan (witness,
testmony, evident) atas sesuatu yang sangat luarbiasa, sehingga akhirnya sesuatu itu
mendominasi objek fikir kita dalam keadaan apapun juga. Dan…, afirmasi yang telah
melewat proses pembuktian ini, kemudian kita bersaksi pula atas apa yang kita
ungkapkan dalam kalimat afirmativ itu, maka pengaruhnya akan sangat kuat sekali.
Kita akan dikuasai oleh apa-apa yang kita afirmasikan itu. Setiap ada masalah maka
kita akan masuk ke dalam ruangan suasana yang kita afirmasikan itu.

Dalam prakteknya, afirmasi ini bisa dalam bentuk pengajian, pelatihan, membaca buku
pengalaman orang lain, dimanaaktivitas itu kita lakukan berulangkali. Atau bahkan hanya
dengan sekedar mendengarkan dan melihat sesuatu dengan tidak sengaja juga bisa
menjadi bentuk sebuah afirmasi bagi kita.

Sebuah afirmasi akan memberikan hasil yang sangat baik tatkala kita bisa menyusun:

 kata afirmasi yang menimbulkan semangat.

 tujuan jelas,

 target terarah,

 rentang waktu terukur,

 reward and punishment jelas,

Misalnya: dalam bidang olah raga kita INGIN menjadi seorang juara dalam waktu satu
tahun. Kalau gagal maka kita akan terpuruk untuk selamanya karena ada generasi baru
yang siap menggantikan kita. Sebaliknya, kalau berhasil maka kita bisa bertahan untuk
sukses dalam kurun waktu beberapa tahun lagi. Kalau kondisinya sudah begini, maka kita
tinggal buat sebuah kalimat atau gambaran yang akan menjadikan kita ter-anchor,
terbinding dengan keinginan kita tadi. Bisa jadi kalimatnya hanya sepatah: YESSSS…, atau
hanya sekedar mengepalkantangan, atau sekedar hirupan nafas yang dalam dan panjang
untuk sesaat.Kalau sudah begini, hampir dapat dipastikan afirmasi itu akan meningkatkan
adrenalin kita yang pada akhir-akhirnya akan menimbulkan semangat kita untuk
berlatih. Tiger Woods, seorang pegolf nomor wahid dunia, punya cara yang khas untuk
afirmasi ini, sehingga di bisa bertahan sebagai pamuncak olah raga golf dalam waktu yang
cukup panjang.

Nah…, untuk proses afirmasi itu, setiap orang baik yang berlatar keagamaan atau tidak,
akan mempunyai kesempatan yang sama untuk melakukan afirmasi ini dengan
menggunakan berbagai kalimat, bentuk, rupa, warna, dan sebagainya. Sedangkan objek
fikir untuk afirmasi ini umumnya bagi seseorang adalah berupa HARTA, TAHTA,
WANITA (bagi seorang pria) atau PRIA (bagi seorang wanita), dan yang tertinggi
adalah TUHAN.

Mari kita bahas objek fikir Afirmasi ini sedikit agak detail.

Misalnya, ada orang yang bisa memakai uang (yang bisa mewakili berbagai macam harta
benda) sebagai alat afirmasinya dalam bekerja, sehingga begitu dia mendapatkan uang
yang lebih dari yang dia inginkan, maka otaknya langsung mengeluarkan enzim
kesenangan. Dia menjadi ekstasis. Dan secaca otomatis pula, memorinya terhadap
dominasi peran uang dalam hidupnya akan bertambah pula di dalam otaknya. Dia akan
merasa bahwa kebahagiaan baru bisa dia dapatkan kalau dia sudah memperolah uang yang
berlimpah ruah… Biasanya kalau afirmasinya adalah dalam bentuk uang atau kebendaan ini,
nyaris saja orang bisa bekerja, berkarya dan berkreasi dengan tanpa batas. Hasilnya pun
seperti mencengangkan kita. Ada energi yang sangat hebat yang mengalir melewati otak
dan dada kita agar kita terus mencari dan mencari harta tersebut.

Akan tetapi, pada suatu saat nanti, kita akan berada pada titik BOSAN. Dimana harta yang
berlimpah ruah itu sudah tidak mampu lagi membuat otak kita menjadi ekstasis. Walaupun
kita tetap rakus dengan uang, akan tetapi kita mulai merindukan kembali kemasa-masa
sulit, kembali ke rumah gubuk, kembali kealam luas, kembali kemenu makanan yang
sangat sederhana, dan kemudian kita akan bergerak kepada kebutuhan yang bukan materi
lagi. Misalnya kepada aktualisasi diri, dan sebagainya. Berbagai teori manajemen bolehlah
dibuka untuk hal ini. Banyak sekali teori tentang ini. Silahkan lihat dan baca sendiri …

Tahta dan wanita (pria) juga bisa menjadi alat motivasi kita dalam kegiatan keseharian kita.
Dan pada dasarnya prinsip-prinsip dan pengaruhnya sama saja dengan afirmasi dengan
memakai uang seperti diatas. Jadi dalam tingkat alam atau kebendaan, siapa saja akan
sama hasilnya kalau dia mampu menjadikan alam atau benda itu sebagai alat baginya
dalam mengafirmasi dirinya. Syaratnya sederhana saja dan hasilnya juga nyaris sama saja.
Kalau kita bisa berkali-kali membenamkan ke dalam otak kita sebuah kata-kata afirmasi
yang terpola rapih dan menimbulkan semangat, tujuan jelas, target terarah, rentang waktu
terukur, reward and punishment jelas, maka hampir dapat dipastikan bahwa afirmasi itu
akan terlaksana dengan baik dan dalam rentang waktu yang tidak banyak melesetnya dari
rencana kita. Cobalah…, sebab tanpa sadar kita yang sekarang ini sebenarnya adalah
produk afirmasi kita di zaman lampau.

Yang lebih menarik sebenarnya untuk dibahas adalah afirmasi dengan memakai objek fikir
yang abstrak. Misalnya kita bisa mengafirmasi diri kita untuk menjadi baik dan bahkan lebih
baik lagi dengan mengulang-ulang membaca, mengingat, membahas, dan mengurai ayat-
ayat Al Qur’an atau hadist-hadist Nabi yang berkenaan dengan kedahsyatan huru-hara Hari
Kiamat. Kita benamkan terus ke dalam otak kita tentang betapa dahsyatnya hari kiamat itu
kelak. Kita kupas betapa tanda-tandanya sudah sangat banyak muncul saat ini. Akhirnya
kita ketakutan sendiri bahwa jangan-jangan kiamat itu sudahsangat dekatkejadiannya.
Karena takut itu, lalu kita memaksa-maksakan diri kita untuk beribadah dengan semangat
empat lima, untuk berbuat dan beramal dengan baik. Dalam keseharian pun omongan kita
akan menjadi seperti orang yang paling tahu tentang masalah hari kiamat itu. Kita menjadi
si AHLI tentang HARI KIAMAT. Kita sibuk melihat tanda-tanda kiamat yang katanya sudah
sangat dekat. Kita sibuk berkampanye agar orang-orang menyiapkan diri untuk menghadapi
DAJJAL. Kita siap-siap untuk berperang dengan DAJJAL. Kita juga sibuk menunggu turunnya
IMAM MAHDI dan ISA AL MASIH yang konon kabarnya adalah sosok-sosok yang akan
menjadi pimpinan umat Islam dalam menghadapi DAJJAL kelak. Dalam masa penantian ini,
banyak pula umat Islam yang menjadi utopia, pemimpi di siang hari, apa-apa yang sudah
terpegang ditangan malah sengaja dibuang. Bak kata pepatah, harapkan burung terbang
tinggi, punai ditangan malah dilepaskan. Sehingga pada akhirnya kita umat Islam ini
kembali tertinggal dalam membangun peradaban di zaman kita sendiri, sementara orang-
orang BARAT yang kita anggap sebagai cikal bakal pasukan DAJJAL itu malah bisa
membangun peradaban dunia dengan kecepatan, kuantitas, dan kualitas yang sangat
mencengangkan.
Itu baru sebuah contoh saja. Padahal seluruh ajaran agama baik itu agama Islam, Kristen,
Hindu, Budha, dan sebagainya adalah kumpulan dari berbagai afirmasi yang akan
mempengaruhi hidup penganutnya sepanjang masa. Semakin kuat afirmasi itu ditanamkan
ke dalam otak seseorang, maka semakin sulit pula orang tersebut untuk merubah
kepercayaan yang dia pegang atas kebenaran ajaran-ajaran agama yang dianutnya. Apalagi
kalau dalam praktek keagamaan yang dijalankan seseorang tersebut melibatkan pula
berbagai macam keajaiban, miracle, atau mu’jizat. Misalnya, saat seseorang sudah capek
berobat kemana-mana untuk menyembuhkan penyakit yang dia derita, maka dengan
sebuah afirmasi yang kuat, orang tersebut lalu sembuh, maka saat itu pula kepercayaan
orang tersebut atas kebenaran ajaran agama yang dia anut itu akan bertambah dengan
kuat pula. Kita kenal kalimat-kalimat seperti berikut: Ini berkat Tuhan. Ini dari Tuhan. Ini
adalah atas karunia Tuhan. Ini atas kasih Tuhan Yesus (kata umat Kristen), dan
sebagainya.

Kalau sudah begini, maka hanya rahmat Tuhan sajalah yang akan mampu mengarahkan
kita mengantarkan rasa terima kasihnya ke alamat yang tepat. Banyak memang alamat
yang bisa kita pakai sebagai alamat itu. Tapi hanya ada SATU alamat yang meliputi semua
alamat-alamat yang banyak itu. Yaitu alamat Yang Maha Meliputi segala sesuatu. Kepada
Tuhan Yang Hakiki, yang tiada lagi Tuhan selain Dia. Untuk alamat itu Allah sudah
mengisyaratkannya dalam ayat berikut ini:

Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah, mereka mencintainya
sebagaimana me! reka mencintai Allah. Adapun orang-orang beriman sangat besar cintanya kepada Allah… (Al
Baqarah, 2:165)

Mereka menjadikan orang-orang alim, dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah,
dan juga mereka mempertuhankan Al Masih putra Maryam, padahal mereka hanyalah
disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa, tidak ada Tuhan selain Dia. Maha Suci Allah
dari apa yang mereka persekutukan. (At Taubah, 9:31)

Bersambung

Deka
AFIRMASI DAN LOGIKA BERFIKIR - 4


Written by Administrator

Nah untuk kesepakatan ini, carilah alasan yang cocok dengan masing-masing kita. Ada
sunatullahnya masing-masing. Alasan yang paling banyak dipakai orang untuk berpoligami
adalah karena masalah keturunan. Keluarga yang tidak punya keturunan, dan wanitanya
sudah tidak bisa lagi hamil dan memberikan keturunan, maka sang suami bisa membuat
kesepakatan dengan istrinya agar dia bisa beristri lagi. Kalau sepakat, maka poligami
adalah sebuah hal yang niscaya saja sebenarnya. Masalah istri tua akan sakit hati, atau
merasa tersiksa dengan adanya madunya tersebut, itu sudah masalah lain lagi. Kalau tidak
sepakat, maka ada lagi sunatullahnya, misalnya, akan sering terjadi pertengkaran diantara
suami istri itu, atau rumah tangganya menjadi dingin, atau bahkan bisa juga terjadi
perceraian. Kalau sudah begini, maka akan ada pihak yang menderita (istri) dan ada pihak
yang beruntung (suami).

Kalau pihak lelakinya yang tidak bisa memberikan keturunan, maka jalan keluar satu-
satunya yang umum kalau tidak mau meneruskan hubungan pernikahan itu adalah melalui
perceraian. Sang istri direlakan oleh sang suami untu menikah lagi.

Namun sangat banyak pula terdapat keluarga-keluarga yang walaupun mereka tidak
diberikan keturunan, namun mereka tetap SEPAKAT untuk bermonogami. Ya silahkan
saja…!. Selama ada kesepakatan antara suami dan istri tersebut, dan masing-masing
berkomitment dengan kesepakatan itu, maka kebahagiaan juga adalah hal yang niscaya
saja bagi mereka.

Hal-hal lain yang bisa disepakati pula adalah masalah ketidakseimbangan LIBIDO antara
suami dan istri. Ada suami yang libodonya sangat tinggi sementara libido istrinya hanya
biasa-biasa saja. Kalau yang begini, maka harus ada kesepakatan-kesepakatan yang
diambil oleh keduanya. Apakah kesepakatan itu ! untuk membolehkan suaminya
berpoligami, atau kesepakatan untuk tetap bermonogami dan membiarkan sang suami
berada dalam kesulitan mengendalikan libidonya, atau kesepakatan terakhir adalah untuk
bercerai dan membiarkan suaminya mengawini wanita lain (karena dia tidak sanggup untuk
dimadu).

Kondisi tidak mampunya seorang istri memberi keturunan (mandul) atau masalah libido
suami yang berlebihan tersebut adalah bentuk sunatullah yang salah satu jalan
penyelesaiaan bisa melalui poligami. Jadi poligami itu hanyalah salah satu jalan keluar saja,
dan bukan jalan keluar satu-satunya.

Nah…, diluar itu, mandul dan libido berlebihan, dasar-dasar poligami yang terjadi lebih
banyak disebabkan oleh tidak kuatnya seorang lelaki menghadapi godaan dari seorang
wanita. Jadi masalah DORONGAN HAWA NAFSU saja sebenarnya penyebabnya. Biasanya
prosesnya diawali dengan pertemuan-pertemuan yang rutin antara seorang suami dengan
wanita lain. Bagi suami yang punya nama dimasyarakat, pertemuan itu biasanya juga
dilakukan secara sembunyi-sembunyi baik di dalam maupun di luar negeri. Konon kabarnya,
seorang yang cukup punya nama di negara ini, sebelum berpoligami dia pernah bertemu
dengan istri barunya tersebut beberapa kali di Singapore.

Poligami dengan dasar tidak kuatnya seorang suami menahan kuatnya dorongan hawa
nafsu tersebut, biasanya akan berujung pada nikah yang dinamakan NIKAH SIRRI, nikah
yang katanya sah secara agama. Kalau begini, tidak ada kesepakatan awal yang diambil
oleh seorang suami dengan istrinya untuk dia bisa berpoligami. Akhirnya, seiring dengan
waktu, sang suami akhirnya melakukan PEMAKSAAN kepada istrinya agar istrinya tersebut
mau untuk dimadu. Walau pada awalnya seorang istri akan kaget dan sakit hati
mendengarnya, namun pada akhirnya banyak pula istri yang setuju. Tidak ada jalan lain
lagi soalnya. Apalagi kalau ditambahkan pula dengan pertimbangan kepentingan anak-anak
dari hasil perkawinan mereka. Mau tak mau sang istri akan menerimanya. Dan sebagai
penghibur hati biasanya sang istri akan lari ke dalam istilah-istilah agama. Misalnya, agar
saya bisa menjadi sabar, agar suami tidak menjadi penghalang saya dalam mencintai
Tuhan, dan sebagainya.

Dengan logika berfikir seperti diatas, maka saya sendiri berpendapat bahwa masalah
poligami ini bukanlah masalah halal atau haram, bukan masalah ikut sunnah Rasul atau
tidak, bukan masalah boleh atau tidak, bukan masalah kafir atau tidak. Tapi poligami itu
adalah salah satu alternatif jalan keluar dari sunatullah yang dihadapi oleh sebuah keluarga,
atau bisa juga menjadi sebuah cermin ketidakberdayaan seorang suami menghadapi
dorongan hawa nafsunya terhadap daya tarik wanita idaman lain. Dan yang tahu alasan-
alasan itu adalah kita sendiri-sendiri…, sebab pada diri kita ini masing-masing ada yang
tahu (bashirah).
! Dan kita sendiri jugalah yang tahu atas ada atau tidaknya rasa keangku han saat kita
melakukan poligami tersebut. Bahwa kita ini sudah merasa bisa adil sehingga kita merasa
bisa pula untuk berpoligami. Lihatlah alasan-alasan yang biasanya diungkapkan oleh orang
yang berpoligami itu:

 “Poligami itu berat, tidak sembarang orang yang bisa dan boleh menjalankannya”.
Dan…, secara tersirat sebenarnya dia tengah berkata bahwa hanya dia sajalah yang
bisa berpoligami itu, karena dia merasa lebih hebat dari orang lain.
 “Poligami itu adalah sunah Rasul, bagi yang tidak berpoligami, maka dia tidak
menjalankan sunah Rasul”. Dan secara tersirat dia juga tengah berandai-andai bahwa
dia lebih baik dari orang yang bermonogami.
 Bahkan ada pula yang mengatakan bahwa orang yang tidak berpoligami itu sama
dengan kafir…

Dan ungkapan-ungkapan diatas akan dibalas pula oleh orang yang tidak suka poligami
dengan ungkapan yang tak kalah serunya. Sehingga akhirnya kita bermuara pada sebuah
ungkapan yang selalu dilantunkan oleh iblis terhadap umat manusia: Ana khairu minhu…,
saya lebih baik dari dia…”,lalu tahu-tahu kita sudah terjatuh saja menjadi saudara iblis.
Tersiksa sekali tentunya…!

Bersambung

Deka

AFIRMASI DAN LOGIKA BERFIKIR - 3




Written by Administrator

Namun, apapun pilihan yang kita ambil, maka ALAM (SUNATULLAH) di zaman kitalah yang
akan menilainya. Disamping itu tiap-tiap diri kita ini punya sunatullahnya masing-masing
pula. Kalau pilihan kita sesuai dengan sunatullah kita apalagi dengan sunatullah alam di
sekitar kita, maka kita akan santai dan melenggang saja dalam menjalani hidup kita. Akan
tetapi tatkala pilihan yang kita ambil tidak selaras dengan sunatullah kita dan sunatullah di
zaman kita, maka kita akan terseok-seok. Kita akan capek untuk JAIM (jaga image) dalam
setiap tindakan kita. Senyum kita JAIM. Omongan kita JAIM dan pembelaan diri semata.

Percayalah…, bahwa kita sebenarnya tahu persis tentang apakah kita itu sedang mengalami
kesulitan, atau sedang jaim, atau sedang mendapatkan kemudahan dalam menjalani hidup
kita ini. Kita TAHU PERSIS itu. Ya…, ada yang tahu terhadap apapun yang menimpa diri
kita… Itulah BASHIRAH, Sang diri kita yang sejati.

“Bahkan pada manusia itu diatas dirinya (NAFS) ada yang tahu (BASHIRAH). (Al Qiyamah,
ayat 14)

Nah…, dalam hal poligami ini, silahkan saja kita masing-masing berlogika dengan pilihan kita itu. Misalnya, ada yang
logikanya lebih mengarah kepada segi seksologi, atau sosiologi, atau budaya, atau ekonomi, dan lain-lain
sebagainya. Silahkan saja. Dan alasan-alasan seksologi seperti: lebih baik berpoligami dari pada TTM, atau lebih
baik dari pada zina, dan sejenisnya adalah alasan yang paling rendah dan dangkal sebenarnya. Alasan hewani.

Kalau kita lanjutkan untuk meneliti ayat 129 surat An Nisaa’ diatas, maka kita seperti
disadarkan oleh Allah tentang sifat dasar seluruh umat manusia, bahwa tidak ada satu pun
diantara kita ini yang akan bisa bersikap ADIL, walau kita ingin sekali untuk bersikap ADIL
itu. Disini Allah tidak menjelaskan apakah adil itu dari segi materi atau dari segi rasa cinta
dan kasih sayang. Tidak ada penjelasannya. Tapi banyak ulama yang memelintir ayat ini
sehingga adil itu hanyalah sebatas hal-hal yang bersifat lahiriah saja seperti pakaian, harta,
tempat, dan giliran. Mungkin mereka sadar juga bahwa adil tentang cinta memang tidak
akan pernah ada selamanya dalam diri seorang manusia. Padahal ayat diatas menegaskan
bahwa ADIL yang dimaksud Allah itu adalah ADIL yang UTUH…, PENUH. Dan itu memang
tidak akan pernah ada pada diri umat manusia. Karena ADIL itu memang semata-mata
adalah Selendang Allah, Sang AL ADLU…

Artinya apa…?.

Bahwa ternyata Al Qur’an dengan sangat manis dan halus sekali mengajari kita tentang
sebuah proses revolusi budaya dan peradabanyang sangat hebat di bidang perkawinan
umat manusia. Dahsyat sekali proses perubahan budaya perkawinan itu digiring oleh Al
Qur’an. Dari poligami dengan puluhan wanita di zaman sebelum Nabi Muhammad SAW, lalu
dikurangi oleh Nabi dengan mencontohkan berpoligami dengan sembilan istri. Delapan
diantara istri Beliau itu dinikahi Beliau setelah Beliau menjalani monogami dengan Bunda
Khadijah selama lebih kurang 26 tahun.

Dalam hal poligami Rasulullah ini, sejarah mencatat bahwa logika berfikir Rasulullah saat
melakukan poligami itu sungguh sangat pas dengan keadaan masyarakat saat itu. Misalnya,
Beliau menikahi janda-janda tua yang umumnya suaminya mati saat perang membela
Islam, atau untuk mengembangkan Islam, dan sebagainya.

Kemudian Al Qur’an merevolusi budaya dan peradaban umat manusia lagi tentang poligami ini. Bahwa kalau
seorang laki-laki itu bisa ADIL, maka nikah itu maksimum boleh dengan empat wanita sekaligus, atau tiga, atau dua.
Dan kalau tidak sanggup untuk ADIL, maka nikahilah satu orang wanita saja. Akan tetapi dalam waktu yang
bersamaan, Allah juga menegaskan dengan amat sangat, bahwa seorang laki-laki TIDAK akan pernah bisa adil,
walau sang lelaki ingin sekali untuk adil itu.

Sungguh luar biasa sekali, bahwa sebenarnya Al Qur’an tengah membawa umat manusia untuk merevolusi budaya
perkawinannya dari budaya POLIGAMI menjadi budaya MONOGAMI. Indah sekali cara Al Qur’an menggiring kita
untuk mau berbudaya MONOGAMI ini.

Nah…, bagi orang yang ingin berpoligami, setela! h mendengarkan ketegasan Allah diatas,
maka semuanya jadi terserah kepada kita masing-masing saja lagi. Apa kita mau
mendengarkan atau tidak terhadap sinyalemen kuat Allah tadi tentang tidak bisa adilnya
umat manusia ini. Ya…, itu terpulang kepada keputusan kita sendiri saja. Allah tetap
membuka ruangan bagi siapa pun juga untuk berpoligami. Masing-masing keputusan itu
sudah ada akibat-akibatnya sendiri yang mengikutinya. Cuma rasa-rasanya kalau kita tidak
ikut petunjuk Allah, kok kita ini sombong amat ya….

Oleh sebab itu, untuk dasar-dasar berpoligami ini dari sisi KEADILAN sebenarnya sudah
ditutup oleh Allah. Tapi dengan logika berfikir manusia, ada saja orang yang membukanya.
Bahwa adil itu hanyalah adil dalam hal harta, dan giliran. Bukan dalam hal cinta. Huh…
Dan kalau ada yang masih ngotot untuk berpoligami, dan sunatullahnya sendiri saat itu
tidak mendukung dia untuk berpoligami, maka alam sendiri akan menentangnya. Orang
yang tidak selaras dengan alam, maka dia akan kecapekan sendiri, paling tidak
untuk JAIM (jaga image), atau bahkan PAMER.

Kalau begitu ! sunatullah poligami itu adakah…?. Ada…

Contohnya adalah sunatullah Rasullullah dalam berpoligami. Dasar poligami Beliau bersih
dari pengaruh dan dorongan HAWA NAFSU Beliau. Posisi Beliau berada di puncak, yaitu
posisi NOL sehingga:

“…dan bukanlah engkau yang membunuh mereka, tetapi Allahlah yang membunuh mereka. Dan tiadalah engkau
yang melempar ketika engkau melempar, melainkan Allah-lah yang melempar …”, (Al Anfal 17)”.

“…Apabila Aku mencintai hambaku, maka Aku merupakan pendengarannya yang ia


pergunakan untuk mendengar, Aku merupakan penglihatan yang ia pergunakan untuk
melihat, Aku merupakan tangan yang ia pergunakan untuk menyerang dan Aku merupakan
kaki yang ia pergunakan untuk berjalan. Seandainya ia memohon kepada-Ku, niscaya Aku
akan mengabulkannya, seandainya ia berlindung kepada-Ku, niscaya Aku akan
melindunginya. ( HR Bukhari)

Pada posisi seperti ini, Beliau hanya tunduk, Wuquf, menunggu perintah dan tuntunan Allah.
Beliau hanya menunggu dengan kerinduan.“Tugas hamba ini apalagi ya Allah…?”, rintih
Beliau dengan penuh harap, rindu, dan gembira.

Sehingga jadilah poligami yang dilakukan Beliau menjadi sebuah proses yang memberikan
kemashlahatan bagi wanita-wanita yang Beliau nikahi serta untuk memudahkan Islam
berkembang saat itu. Umumnya Beliau menikahi janda-janda yang jauh lebih tua dari istri
Beliau Aisyah. Sungguh sebuah posisi yang sangat sulit untuk diikuti orang-orang saat ini.

Sedangkan dasar-dasar yang lainnya hanyalah dua saja. Pertama, KESEPAKATAN antara
suami istri yang akan menjalankan poligami itu, atau kedua PEMAKSAAN sepihak seorang
suami terhadap istrinya agar mau dimadu. Ya…, pilih kesepakatan atau pemaksaan… itu
saja…

Bersambung

DEKA
AFIRMASI DAN LOGIKA BERFIKIR - 2


Written by Administrator

Memang ada orang yang berkata bahwa kita ini harus berfikir dengan logika yang jernih.
Bahkan ada pula yang menambahkan bahwa logika yang jernih ini akan semakin mengkilat
tatkala dibarengi pula dengan hati nurani yang bening. Akan tetapi kalau diperhatikan
dengan seksama, istilah-istilah yang mentereng tadi itu (logika yang jernih dan hati nurani
yang bening), larinya tetap saja ke file-file pengetahuan yang ada di dalam otak kita. Tak
lebih. Logika berfikir dari hati nurani yang jernih itu tetap saja tergantung kepada file
pengetahuan yang masuk atau kita masukkan ke dalam otak kita. Buktinya, siapa
yang tidak percaya bahwa hati nurani seorang bayi adalah hati nurani yang paling
bersih???. Tentunya tidak ada. Hati nurani seoran bayi sangatlah bersih. Akan tetapi
lihatlah bagaimana sederhananya logika berfikir seorang bayi, PASRAH. Dia hanya
PASRAH. Otak sang bayi adalah ibarat kertas putih yang siap untuk ditulisi dengan
berbagai masukan. Lalu beragam isi otaknyalah yang akan menentukan warna dari logika
berfikirnya selama hidupnya nantinya.

Misalnya dalam pergumulan logika berfikir kehidupan beragama, maka ada puluhan alternatif logika berfikir yang bisa
kita masukkan ke dalam otak kita. Kalau mau berpedoman kepada sejarah awal perkembangan Islam (pasca
kehidupan NABI), maka ada pilihan berupa logika berfikir SUNNI atau SYI’AH berikut dengan segala turunannya
yang juga tak kalah banyaknya. Kalau mau merujuk ke zaman berikutnya, zaman Al Ghazali dan Rusydi, maka
tersedia pilihan logika berfikir RASIONALIS atau FATALIS. Berikutnya ada pula logika berfikir yang dibingkai oleh
pakem-pakem SUFISTIK atau yang serba SYARI’AT.
Belakangan inipun tersedia pula logika berfikir, yang katanya modern, yang cenderung
mengajak manusia mengembangkan pandangan hidup saintifik yang diwarnai oleh paham
yang katanya sekularisme, rasionalisme, pluraslisme, kapitalisme, humanisme liberalisme,
empirisisme, cara befikir dikhotomis, desakralisasi, pragamatisme dan penafian kebenaran
agama.

Bahkan pilihan terlawas yang tersedia disebut dengan logika berfikir Postmodernisme yang
telah bergeser kepada paham-paham baru (yang katanya) berupa: nihilisme, relativisme,
pluralisme dan persamaan (equality). Namun ia dapat dikatakan sebagai kelanjutan
modernisme karena masih mempertahankan paham liberalisme, rasionalisme dan
pluralismenya.

Lihatlah betapa rumit dan beragamnya alternatif logika berfikir yang tersedia yang bisa kita pilih. Dan nantinya
pilihan-pilihan yang kita ambil itulah yang akan mewarnai hidup kita sehari-hari.

Dalam beragama, misalnya, ada orang ! yang otaknya dominan berisi file ilmu agama yang (katanya) bercorak
ekstrim, maka logika berfikir dan bertindaknya juga akan menjadi ekstrim dalam pandangan orang-orang di
sekitarnya yang (katanya) sedang memilih logika berfikir bercorak moderat. Begitulah, untuk pembenaran bagi logika
berfikirnya itupun akan keluar berbagai alasan yang terlihat benar dan masuk akal bagi orang-orang yang
mempunyai file ilmu pengetahuan yang sama, atau paling tidak bagi orang-orang yang sudah memposisikan dirinya
untuk BINDING kepada suatu logika berfikir agama tersebut.

Biasanya bagi orang-orang punya file pengetahuan agama yang banyak, maka alasan yang
paling pamuncak yang diambil orang untuk pembenaran perilakunya adalah karena hal itu
sudah taqdir Tuhan. Yaa…, sabda dan perintah Tuhan lagi yang kita jadikan sebagai konci
pamungkas untuk membenarkan apa-apa yang kita lakukan dan juga untuk menolak apa-
apa yang difikirkan oleh orang lain yang berbeda dengan file pikiran kita. Oleh sebab itu,
hati-hatilah dengan orang-orang yang tahu banyak tentang hukum, tentang syariat, tentang
tafsir, tentang ilmu, karena orang tersebut akan siap-siap pula menjalankan hukum,
syariat, tafsir, dan ilmu tersebut dengan alasan yang tepatbagi dirinya maupun
kelompoknya, akan tetapi kadangkala dalam pelaksanaannya mempunyai makna hakiki
yang sangat dangkal.

Berbagai jawaban pembenaran itu misalnya: Ini hukum Tuhan, ini sudah taqdir Tuhan, ini
dibolehkan syariat agama, tidak ada larangannya kok, ini dicontohkan oleh Rasulullah dulu.
Dan berbagai alasan hebat lainnya…

Duh…, yakin benar kita bahwa kita bisa paham dengan makna hakiki dari hukum Tuhan itu,
yakin benar kita bahwa kita bisa mengerti suasana DADA Rasulullah saat Beliau
menjalankan hukum-hukum tadi itu. Mungkin tidak banyak kita yang paham bahwa setiap
hukum syariat agama dan contoh-contoh dari Rasulullah itu ada sunatullahnya,
ada fitrahnya, untuk setiap zaman yang berbeda. Dan yang akan menang atau dominan
pengaruhnya adalah syariat atau hukum agama yang sesuai dengan sunatullah di
zamannya.

Mari kita lihat agak sejenak masalah ayat-ayat poligami ini dari kacamata sunatullah,
fitrah…

Kita lihat dulu dasar hukum yang sangat populer dirujuk oleh orang-orang yang berperang
kata tentang poligami ini:
Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim
(bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi:
dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka
(kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah
lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (An Nisaa’ 3)

Dan kamu se! kali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri- isteri
(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu
terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-
katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan),
maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (An Nisaa’ 129)

Dari dua ayat yang sederhana ini seharusnya kita juga bisa berfikir tak kalah sederhananya.
Bahwa wajar saja sebenarnya kalau ada yang setuju dengan poligami ini dan ada pula yang
tidak setuju. Dua-duanya sangat-sangat terwakili oleh ayat 3 surat An Nisaa’ ini. Oleh sebab
itu sebenarnya tidak perlu ada yang marah-marah satu sama lainnya. Siapapun yang setuju
poligami ini nggak usah marah-marah kepada yang tidak setuju. Begitu pula sebaliknya,
siapapun yang tidak setuju poligami ini nggak usahlah maksa-maksa orang lain untuk
berpoligami pula seperti dirinya. Poligami ini logika berfikir kita saja kok. Dan logika berfikir
itu haruslah selaras dengan zamannya. Sebab kalau tidak maka “alam” di zaman itu sendiri
yang akan menolaknya.

Banyak orang mengira bahwa poligami ini adalah suatu perilaku yang disyariatkan oleh
agama Islam. Padahal kalau dicerna ayat diatas sampai mendapatkan kepahaman, masalah
poligami ini nggak ada hubungannya sedikit pun dengan syariat agama. Poligami itu sudah
ada sejak dulu kala, dan akan tetap ada sampai kapan pun. Jadi ayat-ayat diatas hanyalah
bentuk-bentuk jalan keluar tentang masalah hubungan laki-laki dan perempuan yang
mungkin terjadi yang penyelesaiannya difasilitasi oleh Al Qur’an. Pilihan manapun yang kita
ambil, maka itu akan tetap saja sesuai dengan Al Qur’an.

Jadi orang yang tidak setuju dengan poligami itu tidak berarti bahwa dia sedang menentang
syariat agama. Tidak. Akan tetapi saat itu dia tengah mengambil alternatif lain yang
tersedia, yaitu untuk tidak berpoligami. Begitu juga sebaliknya, bahwa orang yang tengah
menjalankan poligami itu tidak serta merta dia dianggap telah menjalankan syariat agama
dengan baik. Dia cuma tengah mengambil alterlnatif lain yang difasilitasi Al Qur’an. Jadi
tentang poligami ini, bagi yang menentangnya tidak perlulah marah, kecewa, dan benci
kepada yang mendukung poligami. Dan bagi yang melakukannya tidak perlu pulalah
menjadi sumringah yang berlebihan, mengumbar hujatan kepada orang-orang yang
menentangnya. Ini masalah pilihan saja kok…

Bersambung

Deka
AFIRMASI DAN LOGIKA BERFIKIR


Written by Administrator

Kali ini saya kan membahas tentang masalah afirmasi yang ditanyakan oleh salah seorang anggota milis dzikrulah
yang sama-sama kita cintai ini. Saya akan coba ulas melalui sebuah proses yang terjadi di dalam otak kita yang akan
membentuk logika berfikir kita masing-masing.

Pertama, dalam tulisan-tulisan saya yang terdahulu, saya sudah sampaikan bahwa otak kita
ini memang sangat luar biasa sekali. Otak akan merespon sebuah kata, misalnya kata
kerja, sama baiknya dengan kita melakukan kerja itu sendiri. Begitu kita baru BERNIAT
saja untuk melakukan suatu pekerjaan, sebenarnya otak kita sudah merekamnya sebagai
sebuah pekerjaan itu sendiri. Makanya Rasulullah mewanti-wanti, bahwa sering-seringlah
kita memikirkan yang baik-baik, meniatkan yang baik-baik, Karena kalau kita sudah berniat
baik, maka itu sudah dicatat pahalanya sebagai sebuah perbuatan yang baik.

Sebaliknya Rasulullah masih menghibur kita bahwa kalau kita berniat buruk, maka dosanya
belumlah dicatat sampai perbuatan buruk itu kita lakukan. Sebenarnya, ungkapan
Rasulullah tentang berniat buruk ini sebenarnya hanya untuk menghibur kita saja. Sebab
NIAT BAIK atau NIAT BURUK, sebenarnya dua-duanya sudah dicatat (direkam) oleh otak
kita dalam bentuk memori bahwa kita sudah melakukan perbuatan baik atau buruk itu,
walau intensitas rekaman itu belum sebesar kalau kita melakukan perbuatan baik atau
buruk itu secara nyata.
Setiap kata, perbuatan, penglihatan, pendengaran, dan rasa yang kita alami sehari-hari,
akan masuk ke dalam otak melalui system syaraf kita dalam bentuk pesan impuls listrik
lemah dan rangsangan pesan kimia yang kemudian setiap pesan itu membentuk jaringan-
jaringan memori. Pesan-pesan yang masuk itu dengan kecepatan yang mencengangkan
akan mencari file memori yang sama untuk kemudian memori tersebut akan diperkuat dan
dipertegas intensitasnya dari yang sebelumnya. Bahkan file memori berbagai kombinasi
baru juga bisa dihasilkan dengan mudah. Kalau belum ada filenya, maka akan terbentuklah
di dalam otak kita file baru tentang hal itu. Seterusnya begitu, nyaris tanpa batas. Makanya
otak kita ini tidak akan pernah penuh dengan berbagai memori yang masuk ke dalamnya
seumur hidup kita.

Nah…, nanti setiap kita menghadapi sebuah masalah dalam hidup kita, maka secara otomatis kita akan mencari
tempat lari atau jalan keluar dari masalah itu. Langkah pertama yang terjadi adalah, kita akan lari ke dalam file
memori yang ada di dalam otak kita. Kita, walaupun tanpa sadar, akan mencari: ada file solusi apa di dalam otak kita,
ada file ruang apa di dalam otak kita, ada file suasana apa yang ada di dalam otak kita. Proses pencarian file memori
di dalam otak kita inilah yang disebut dengan PROSES BERFIKIR.

Tapi sayang sekali…, bahwa selama ini orang menganggap bahwa yang berfikir itu
adalah otak itu sendiri. Kebanyakan orang menganggap bahwa otak kita itu bekerja dengan
sendirinya. Tidak banyak orang yang bisa menyadari bahwa sebenarnya “ada substansi
yang bukan otak” yang sedang beraktivitas menyusur memori demi memori yang ada di
dalam otak itu. Tentang substansi yang bukan otak ini, lain kali sajalah kita bahas, atau
kalau penasaran cobalah lihat uraian saya dalam buku “Membuka Ruang Spiritual”.

Kembali kepada proses berfikir…!.

Cara kita berfikir, cara kita menghadapi masalah, cara kita bertutur kata, cara kita bersikap,
cara kita berkesim! pulan, cara kita berakhlak, cara kita beradab, cara kita bertindak,
sangat-sangat dipengaruhi oleh file macam apa yang ada di dalam otak kita masing-
masing. Setiap kita tidak akan pernah bisa keluar dari file memori yang ada di dalam otak
kita. Begitu kita keluar dari file memori di otak kita itu, maka kita akan kesulitan, kita akan
ketakutan, kita akan blingsatan, kita akan malu, bahkan kita bisa merasa sangat berdosa,
yang akhirnya kita akan merasa TERSIKSA sendiri.

Misalnya, file memori yang ada di otak orang Papua yang masih hidup di gunung-gunung
dan belum bersentuhan dengan file-file kehidupan modern kota Jakarta, maka koteka bagi
laki-laki dan bertelanjang dada bagi pe! rempuan dianggap mereka biasa-biasa saja. Akan
tetapi ba gi orang yang hidup dan besar di Jakarta, artinya sudah punya file memori tentang
peradaban Jakarta, maka tidak akan ada satupun laki-laki yang mau pakai koteka dan
perempuan yang bertelanjang dada yang berkeliaran di jalanan atau tempat-tempat umum.

Perbedaan cara berfikir yang paling gress yang bisa kita lihat adalah saat bangsa Indonesia
menentukan kapan jatuhnya Hari Raya Idul Fitri, 1 Syawal 1427 H. Dengan dalil yang sama,
alam yang sama, bulan yang sama, matahari yang sama, tapi dengan pemahaman yang
berbeda (artinya file yang dominan di dalam otak pelaku-pelakunya berbeda dengan sangat
signifikan), maka jadilah hari Raya itu menjadi DUA hari yang berbeda pula. Bahkan ada
pula kelompok orang yang lebarannya sesudah hari yang dua itu.

Dan perbedaan cara berfikir yang super gress saat ini adalah ! masalah berpoligaminya
seorang da’i kondang dari kota Bandung. Orang-orang heboh, ada yang menghujat, ada
yang simpati, ada yang mencibir, ada yang senyum-senyum untuk siap-siap menyusul
langkah sang da’i kondang tersebut, ada juga yang malah jadi tersenyum sumringah
dengan ulah sang da’i kondang tersebut karena memperoleh teman seperbuatan sekelas
ikan paus.

Tentang poligami ini, ada orang yang setuju, ada yang menolak, dan ada pula yang biasa-
biasa saja menyikapinya. Bahkan dampak dari berpoligaminya sang da’i kondang tersebut,
konon, sampai-sampai mengguncang pula ruang istana Presiden RI. Sehingga ada usaha-
usaha pemerintah untuk memasung perilaku poligami ini, baik bagi PNS mau! pun
masyarakat umum dan orang-orang terkenal, dengan hukum negara yang cukup berat. Dan
tentu saja usaha-usaha pemerintah ini akan mendapatkan tantangan yang sangat keras
pula dari pihak-pihak yang mendukung poligami ini, atau paling tidak bagi kelompok yang
beranggapan bahwa masalah poligami ini tidak perlu diatur-atur oleh pemerintah. Ramai
dah jadinya…

Perbedaan sikap kita ini lebih disebabkan oleh file macam apa yang ada di dalam otak kita
masing-masing saat berbicara tentang poligami itu. Kalau dicari dasar hukumnya, ya
landasannya masih itu-itu juga dari zaman dulu sampai sekarang. Tapi lihatlah fenomena
betapa dari orang ke orang bisa punya sikap yang berbeda untuk sebuah ayat yang sama
dan contoh yang sama pula dari Rasulullah. Fenomena ini sebenarnya adalah masalah
antara kita dengan otak kita sendiri. Bahwa kita akan ikut saja apa-apa! file memori yang
DOMINAN yang ada di dalam otak kita. Oleh sebab itu semakin banyak
file pengetahuan yang ada di dalam otak kita, atau semakin
banyak ruangan tentang keadaan atausuasana yang kita simpan di dalam otak kita,
maka akan semakin banyak pula alternatif berfikir yang akan kita punyai untuk
menyelesaikan masalah-masalah kehidupan kita. Dan anehnya lagi, alasan-alasan
pembenaran atas apa-apa yang kita lakukan pun mengalir dengan sangat meyakinkan
sekali. Ada saja alasannya. Berbagai alasan tadi itu disebut juga sebagai LOGIKA BERFIKIR.

Bersambung - Deka

Kesaksian Yusdeka


Written by Administrator

Kerohanian ataupun spiritualitas merupakan area yang sudah saya geluti cukup lama. Mungkin sejak masih kuliah di
tahun ke-2 di ITB saya sudah mulai pencarian kerohanaian ini. Latihan Mujahid Da'wah (LMD), mentoring-mentoring
keislaman di Mesjid Salman ITB, sampai ke beladiri tenaga dalam pada sebuah perguruan silat ternamapun mulai
saya ikuti hari demi hari. Setelah saya bekerja, saya juga memasuki dunia halaqah dengan telaten. Tapi dari waktu
ke waktu kok saya malah tumbuh menjadi seorang yang terlalu angkuh dengan segala keilmuan yang ada pada saya
?. Saya merasa sudah baik sekali sebagai seorang pemeluk Islam. Shalat wajib dan sunat-sunatnya hampir tak
pernah absen. Puasa-puasa sunah bolehlah saya lakukan walaupun tidak terlalu telaten. Membaca al qur'an dengan
qira'ah yang cukup lumayan juga saya sangat getol melakukannya, paling lama sebulan sekali saya bisa
mengkhatamkannya. Rasanya semua bekal itu cukuplah untuk menjadi bekal saya untuk bisa disebut sebagai orang
yang shaleh dan jadi panutan sebagai seorang kepala keluarga. Dengan bekal pengetahuan dan bacaan-bacaan
yang saya lahap dengan rakus, memvonis orang lain salah adalah sangat mudah bagi saya. Seakan-akan yang
benar itu hanya saya dan orang-orang yang sepikiran dengan saya.

Akan tetapi perjalanan waktu membawa saya mulai merasakan adanya kekeringan pada sisi kerohanian saya.
Semua praktek ibadah di atas seperti tidak menimbulkan bekas sedikitpun dalam perilaku saya. Saya tumbuh
menjadi seorang bapak yang pantang untuk dibantah. Saya adalah sosok yang merasa paling benar dan harus
dipatuhi oleh istri dan anak saya. Mereka sampai takut membuat saya marah. Karena kalau sudah marah, maka
akibatnya luar biasa, dahsyat. Belum lagi sifat-sifat buruk lainnya yang kalau dipikir-pikir tidak akan mungkin
dilakukan oleh seorang yang rajin beribadah. Puncak kekalutan saya adalah saat saya diberi cobaan saat anak saya
yang kedua diambil oleh Allah. Cobaan ini singkat kata membawa saya untuk melakukan UMRAH RAMADHAN
sebulan penuh di Mekah dan Medinah. Untuk sesaat memang gejolak jiwa saya bisa seperti terkendali. Namun tetap
saja ada yang belum bisa saya temukan dalam perjalan hidup saya ini. Ada saja kekeringan disisi-sisi rohani saya
yang padahal selalu diisi dengan pengajian-pengajian di sebuah halaqah dua kali seminggu.

Saking inginnya saya membasahi kekeringan rohani itu, lalu saya terdampar memasuki dunia sebuah tarekat sebut
saja tarekat N. Saya pernah ikut praktek "suluk" yang sangat berat dan menyengsarakan diri selama 15 hari disuatu
akhir bulan ramadhan pada sebuah tempat dikaki gunung Merapi, Sumatera Barat. Dalam suluk itulah saya mulai
kenal dengan dzikir di lathaif-lathif dan juga merasakan pengaruhnya yang hebat terhadap rasa di dada saya, dan
fenomena-fenomena yang muncul di ketubuhan maupun pikiran saya. Kemudian praktek tarekat ini ternyata
membuat saya terlalu sibuk dengan amalan-amalan dan wirid-wirid yang harus saya lakukan setiap hari. Kalau wirid-
wiridnya tidak dilakukan, maka sebuah rasa bersalah akan mendera saya dengan sangat kuat. Belum lagi pengaruh
fenomena-pengaruh "penampakan" yang kadangkala sangat mengganggu pikiran dan rasa saya. Semua itu
menjadikan saya sibuk sendiri. Saya capek sendiri. Sampai muncul vonis saya bahwa agama itu kok sulit sekali
yah..?. Padahal Allah berfirman bahwa agama itu sangat mudah, Allah tidak akan membebani hambanya dengan
beban yang tidak mampu untuk dilaksanakan.

Namun sewaktu saya melaksanakan haji bersama istri saya tahun 2000 yang lalu, salah satu do'a saya di Arafah
adalah: "Ya Allah, saya hanya ingin mengenalmu Ya Allah, saya ingin hanya menjadi saksi atas kebenaran aya-ayat
Alqur'an yang Engkau Turunkan, Ya Allah kenalkan saya dengan orang yang bisa membawa saya untuk mengenal-
Mu, Ya Allah….".
Do'a itu seakan terijabah diawal tahun 2001. Saat itu Anak buah saya (alm), memberikan saya artikel-artikel Abu
Sangkan dari internet. Lalu diikuti dengan undangan ceramah Ust Abu Sangkan di Mesjid dekat rumah saya.
Awalnya saya memperkirakan bahwa artikel-artikel tersebut ditulis oleh seorang yang paling tidak sudah berusia
diatas 50 tahun dengan baju dan gaya seperti pemeran wali dalam film wali songo. Atau paling tidak sepert Aa' Gym
sekarang lah. Namun saya benar-benar kecele. Abu Sangkan itu kok masih muda amat, dan pakaian beliau kok
kasual sekali dengan jeans dan tas pinggang bertengger di pinggangnya. Sehingga pada awal pertemuan pertama
itu saya agak menyepelekan beliau. Akan tetapi begitu ceramah dimulai, maka detik demi detik terasa merangkak
begitu cepat. Tak terasa ceramah 2 jam seperti cuma berjalan 30 menit. Mata masih melotot, eh ceramahnya sudah
beliau akhiri, membuat penasaran memang.
Sejak ceramah awal itulah sebenarnya sebuah milestone baru mulai ditancapkan dalam kehidupan saya. Ceramah
demi ceramah, praktek ke praktek saya lalui bersama beliau. Setiap malam Juma'at (sampai sekarangpun),
walaupun jauh dari Cilegon, saya mesti sempat datang ke rumah beliau untuk mendengarkan wejangan beliau dan
sekaligus praktek bersama sepuluhan teman-teman saya yang lain. Dari kegiatan mingguan dan kegiatan-kegiatan
lainnya itulah saya bisa mengumpulkan sekitar 90 kaset ceramah beliau masing-masing berdurasi C-90.

Nah pengaruhnya apa…?. Kan ini yang penting.


Minggu-minggu pertama saya begitu mudah untuk menangis, padahal waktu anak saya meninggalpun saya tidak
bisa menangis. Tetapi dengan hanya memanggil-manggil nama Allah, tidak sampai satu menit membuat saya seperti
ditangiskan, dihisteriskan. Tapi tangis dan histeris itu bukan karena sedih, atau karena takut siksa, atau karena ingat
dosa dan kesalahan-kesalahan selama ini. Tapi sebuah tangis dan histeria yang muncul dari dalam yang tidak
mampu untuk saya lawan. Proses berikutnya adalah terjungkal-jungkal, lalu dada seperti dibongkar dengan paksa
dan isinya diaduk-aduk. Kemudian muncul rasa hening dan damai yang sangat tenang menyelimuti pikiran dan rasa
saya. Rasa hening dan damai ini seperti mengikuti saya terus, tak lepas-lepas dalam beberapa waktu, tapi beberapa
waktu kemudian menghilang lagi. Namun ketidak stabilan ini tidak bertahan lama. Latihan demi latihan yang rutin
saya lakukan membuat "hal dan kondisi" hening itu bisa saya pertahankan hampir di setiap saat dan menjadi suatu
yang inheren dalam keseharian saya.

Pengaruh yang terjadi hampir secara otomatis adalah, bahwa rasa pemarah, benci, iri, tidak khusyu', gelisah, dan
sebagainya yang dulu sangat mudah bangkit, sekarang malah menjadi meredup dengan sendirinya. Memudar tanpa
saya capek-capek lagi untuk menghilangkannya. Sebagai gantinya muncul sifat kebalikannya. Rasa damai, tidak
ingin marah, tidak ingin benci dan iri, tidak mudah gelisah. Shalat satu jampun terasa tidak melelahkan. Semua
berubah begitu natural dan nyaris tanpa mengeluarkan tenaga sedikitpun. Energi ditempat kerja sayapun seperti
muncul seperti tak habis-habisnya. Masalah-masalah yang muncul seperti selalu ada saja jalan penyelesaiannya.

Pengalaman terakhir saya adalah yang paling menyesakkan dada, yaitu dalam sebuah latihan baru-baru ini, saya
"ingin" coba-coba berhenti di rasa dan pikiran saya. Dan saya jadi terjebak disana. Saya tidak bisa keluar dari rasa
dan pikiran itu. Sakit sekali, ingin rasanya saya mati saja. Dalam pengajaran inilah saya dengan tidak sengaja
(mungkin) menjadi seorang saksi bagi kisah Al Hallaj, saat mana - menurut sejarah - beliau sangat ingin mengalami
kematian agar bisa lepas kembali menuju Allah. Ingin kematian karena nikmat dan sengsara silih berganti yang
menyesakkan dada. Ingin kematian karena ingin melepaskan semua sengsara dan nikmat itu. Padahal saya
mencoba bertahan di rasa dan pikiran itu tak lebih dari satu jam. Pantas saja dada kita ini dinamakan sebagai
"tungku perapian, tungku penyiksaan" bagi manusia di dunia ini. Dahsyat sekali siksa disana. Disinilah terletaknya
neraka dunia sekaligus juga syurga dunia. Akan tetapi, alhamdulillah, dengan kembali berpedoman kepada PETA
(alqur'an) yang selalu saya latih selama ini dengan Abu Sangkan, kembali kepada Allah, maka semua fenomena
tungku penyiksaan itu bisa hilang dengan sendirinya. Benar…, ternyata hanya dengan sebab mengingat Allahlah hati
kita menjadi tenteram. Bukan dengan sibuk mengurus "hati" terus, mengurus pikiran, dan mengurus wacana-wacana
yang kadangkala berasal dari peradaban masa lalu.

Akhirnya hanya satu kata, Subhanallah………


Shalat khusyu’ itu mudah dan sangaaat nikmat


Written by Administrator

Shalat shubuhku kali ini ternyata berjalan 1 jam tanpa merasa lelah! Dan sepanjang shalat aku menangis. Saya
yakin, yakin sekali, Anda juga akan merasakannya. Seperti juga telah dirasakan banyak orang yang mengikuti
petunjuk sederhana ini.

Kemarin saya ke Gramedia untuk mencari buku-buku kata-kata mutiara dan buku Marwah Daud yang berjudul
HMMD. Buku-buku kata mutiara sudah didapatkan, buku HMMD nya tidak ada. Sambil melihat-lihat buku best seller,
mata saya menangkap judul yang tengah saya cari. Pelatihan Shalat Khusyu’. Buku relatif tipis dengan harga
lumayan mahal, 50 ribu. Gambarnya orang sedang sholat di tepi danau, dengan nuansa sampul putih dan biru air.
Ada cetakan emas tulisan “Best Seller” di sampulnya. Penulisnya Abu Sangkan, nama yang rasanya pernah dengar,
entah dimana. Mungkin karena kata Sangkan Paraning Dumadi (Yang Dianggap -Sumber- Datangnya Kejadian),
adalah sebutan bagi Allah dalam masyarakat Jawa. Ternyata nama Abu Sangkan karena dia punya anak dinamai
Sangkan paraning Wisesa (sumber datangnya kebijaksanaan -mungkin begitu).

Buku itu saya baca sehabis Isya’ hingga larut malam. Selesai jam 11 malam. kalimat pertama yang mengesankan
saya adalah komentar Marwah Daud, yang meyakini bahwa karunia terbesar dalam hidup ini bukanlah kakayaan dan
jabatan, tapi adalah diberi karunia shalat yang khusyu’. Dia yakini ini berdasar surat Qur’an Surat Al Mukminun 1-
2, “Telah beruntunglah orang-orang mukmin, yaitu mereka yang khusyu’ dalam sholatnya.”

Silahkan baca sendiri isi dan tipsnya, tulisan ini bukan tentang itu, tapi tentang pengalaman saya ketika shalat subuh
tadi pagi.

Setiap Ramadhan saya merasa ketinggalan kereta. Demikian pula dengan kereta I’tikaf 10 hari terakhir. Lagi-lagi
luput, tiba-tiba sudah malam ke 22. Maka saya niatkan untuk tahajud dengan menerapkan metode sederhana sholat
khusyu’.

Gagal. Saya bangun dengan malas sehingga sahur selesai saat masuk imsak. Ketika ambil wudlu, ternyata sudah
masuk subuh. Akhirnya saya mencoba menerapkannya pada sholat sunnah sebelum saya ke masjid (baru hari ini
pingin ke masjid, biasanya malas). Niat saya shalat sunnah di rumah, lalu segera ke masjid.

Gagal juga! Shalat sunnah saya terlalu lama sehingga (sambil masih shalat) terdengar masjid sudah memulai
shubuhnya. Ya sudah saya lanjutkan terus sunnah saya. Pelan-pelan. Sambil sangat rileks, seperti tips dalam buku
itu. Subhanallah! Shalat sunnah ini begitu enaknya, hingga lama seperti seakan shalat wajib. Shalatnya terganggu
ketika ponsel berbunyi karena ada SMS masuk. Bunyi terus-menerus mengingatkan saya bahwa ada message yang
belum dibaca. Duh, kesal rasanya hati harus mempercepat shalat hanya untuk mematikan handphone.

Lalu saya mulai shalat shubuh. Dengan sedikit kurang yakin bahwa akan mendapat kenikmatan seperti shalat
sunnah tadi. Saya menyantaikan diri. Rileks. Satu prinsip utama dalam kiat buku itu adalah, jangan ‘mencari’ khusyu’,
cukup siapkan diri untuk ‘menerima’ khusyu’ itu, karena khusyu’ bukan kita ciptakan tapi ‘diberi langsung’ oleh Allah
sebagai hadiah nikmat kita menemuiNya. Tips yang sangat sederhana, tapi ini bagi saya adalah lompatan
paradigma!

Maka saya bersikap rileks. Kepala hingga pinggang dikendorkan, jatuh laksana kain basah yang dipegang ujungnya
dari atas. Berat badan mengumpul di kaki yang kemudian serasa keluar akarnya, mengakar ke bumi. Berdiri santai,
senyaman kita berdiri. Abu Sangkan menggambarkan laksana pohon cemara, meluruh atasnya, kokoh akarnya
sehingga luwes tertiup angin namun tak roboh.

Bersikap rileks menyiapkan diri kita untuk siap ‘menerima’ karunia khusyu’, karena khusyu’ itu diberi bukan
kita ciptakan.

Lalu saya mulai bertakbir, Allahu Akbar. Dan selanjutnya saya baca dengan pelan-pelan. Karena bacaan shubuh
harus diucapkan agak keras, maka saya rendahkan suara saya. Pelan sesuai tips buku itu, rendah suara karena
-jujur- saya agak malu kalau suara saya terdengar istri saya yang sedang tiduran. Rasanya seperti baru belajar
sholat lagi. Saya berdiri lama, banyak berhenti kalau memang sedang tidak ingin baca. Saya meresapi kesendirian
dan berusaha menangkap kehadiran Tuhan yang sesungguhnya amat dekat dengan kita, namun kita tumpul untuk
merasakannya. Saya sedang menemuiNya sekarang. Saya, ruh saya tepatnya. Badan fisik ini hanyalah alat yang
mengantar ruh ini berjumpa kembali dengan yang dicintainya, ialah Allah yang meniupkan ruh ini dahulu ke dalam
badan fisik.

Break sebentar. Pernah sholat di belakang imam yang ‘ngebut’ sholatnya? Saya pernah, dan jujur saya kesal. Baru
mau selesai Al Fatihah, eh dia sudah ruku’. Saya mau ruku’ eh dia sudah berdiri I’tidal. Dan seterusnya. Saya kesal
karena irama kecepatan sholat kami berbeda. Dia - menurut saya- terlalu cepat.

Ternyata demikian halnya dengan sholat kita sendiri. Ketika kita sholat, selain badan fisik kita ini sholat pula ruh kita.
Ruh inilah yang benar-benar ingin sholat -kembali menemui Tuhannya- sementara badan fisik ini sarana kita
mengantarnya dengan gerakan dan bacaan. Ruh kita ini sesungguhnya ingin sholat dengan tenang, santai,
tuma’ninah. Sayangnya badan kita ‘ngebut’, jadilah ruh kita itu jengkel sejengkel-jengkelnya karena selalu
ketinggalan gerakan badan. Maka tips sederhana dari buku itu adalah jika ruku’, tunggu, tunggu hingga ruh ikut
mantap dalam ruku’ itu. Saat I’tidal, tunggu, tunggu hingga ruh mu ikut mantap I’tidal. Demikian pula saat sujud,
duduk antara dua sujud, juga duduk tasyahud. Tunggu, tunggu hingg ruh mu ikut sujud, ikut duduk, ikut tasyahud.

Berikan kesempatan ruh kita -sebut saja “aku” yang sejati- untuk mengambil sikap sholatnya. Dia agak
lamban, namun sholat ini utamanya untuk ‘aku” kita itu, bukan untuk badan fisik kita.

Maka saya shalat dengan sangat pelan. Santai. kalau sedang malas baca, saya diam saja. menikmati kepasrahan
saya hadir menemui Tuhan. Saya baca bacaan sholat dengan pelan. Saya mencoba berdialog, dan itulah memang
esensi sholat.

Esensi sholat adalah doa, berdialog dengan Allah secara langsung.

Kita sebenarnya diberi kesempatan untuk mengadu. Kita adukan semua persoalan kita kepada Allah. Kita adukan
semua kebingungan kita, pekerjaan, rizki, kesehatan, cinta, dan semua apapun. Kita mengadu, dan kita pasrah
menunggu dijawab. Dan pasti Allah menjawabnya langsung. Ruh bisa merasakannya, namun kalau dia dipaksa
tertinggal-tinggal oleh gerakan badan, maka dia tidak sempat menikmati pertemuan dengan Allah itu.

Saat ruku’ saya ruku’ lama, sambil menarik regang kaki dan punggung saya. Nikmati saja seperti menikmati
peregangan bila senam. Saat sujud, saya tumpukan kepala sebagai tumpuan utama. Nikmat rasanya ‘terpijat’ dahi ini
oleh gerak sujud. Saat ruh telah ikut sujud, saya baca dengan penghayatan, “Subhana robbiyal a’laa wa bi hamdih”
(Maha Suci Engkau yang Maha Tinggi dan Maha Terpuji). Rasanya nikmat sekali sujud lama.

Lalu, lalu saya duduk setelah sujud. Saya baca sepotong-sepotong bacaannya, sesuai tips buku itu. Robbighfirlii (Ya
Tuhan ampunilah aku). Lalu saya diam. Tiba-tiba keluar sendiri air mata, saya menangis karena menyadari betapa
dalam makna kalimat pengaduan ini. Kita minta secara langsung untuk dimaafkan . Ruh kita meminta secara
langsung, dan Allah menjawabnya. Saya menangis. Ruh saya, kita yang sejati, menangis. War hamnii (dan
sayangilah aku), air mata itupun tumpah. Wajburnii. Diam. War fa’nii. Diam. Saya tak terlalu yakin arti yang saya
baca. Tapi saya makin menangis. Warzuqnii (beri rizki padaku -Ya Allah), air mata saya tumpah, betul-betul saya tiba-
tiba sadar bahwa selama ini saya mengejar-ngejar rizki tapi tidak serius mengakui itu dariNya, lalu saat ini saya
sedang memintanya langsung! Wahdinii (tunjukilah aku -karena aku sedang bingung dan tak tahu). Diam, saya
menangis. Wa’aafinii (dan sehatkan aku -aku yang sedang sakit pilek). Wa’fuannii (dan maafkan aku- yang banyak
dosa ini). Saya duduk lama sekali. Sambil mengusap air mata yang bercucuran.

Shalat shubuh dua rakaat ini panjang. Ditutup dengan tasyahud yang menggetarkan. Apalagi ketika membaca
“Assalaamu’alainaa wa ‘alaa ibaadillahisshoolihiin” (keselamatan mohon dikaruniakan kepada kami -para ruh yang
sedang menemuiMu- dan atas ruh-ruh ahli-ahli ibadah yang sholih). Saya menangis terus-menerus, sehingga
berulang kali mengusap lendir yang keluar dari hidung.

Setelah shalat, sesuai dengan tips buku itu, saya mulai berdoa dengan meratap. Saya ucapkan hanya, “Ya Allah…
Ya Allah… Ya Allah…”, sambil mengangkat tangan setinggi wajah seperti seorang pengemis yang meminta-minta.
Berkali-kali, hingga hati saya siap berdoa. Saya ingat buku Al Ghazali dulu saya baca, sekitar 15 tahun lalu, yang
berjudul Rahasia Shalat. Salah satu poin yang saya ingat adalah, kalau kita ingin dekat Allah maka kita harus
sungguh-sungguh memanggilnya laksana seorang anak kecil yang ketakutan karena ada ular atau bahya, lalu
memanggil-manggil ayahnya, “Ayah… Ayah… Ayah…”, maka ayahnya pasti datang dengan seruan itu dan
melindungi anak tersebut. Demikianlah kalau kita ingin bebas dari maksiat, kata Al Ghazali, maka kita harus panggil
dengan betul-betul ketakutan akan maksiat tersebut, kita panggil pelindung kita dengan sungguh-sungguh seakan
anak kecil memanggil-manggil ayahnya, maka akan dilindungi kita dari maksiat tersebut.

Lalu saya berdoa, dengan masih terus menangis. Saya merasa mengadu dan masih mengadu di depan Tuhan
secara langsung. Saya mengikhlaskan apapun jawaban dari doa saya tersebut.

Saya bahagia bisa merasakan sholat seperti itu. Tidak akan tergantikan dengan uang dan kemewahan dunia lainnya.

Sungguh pengalaman yang menakjubkan. Cerita berhalaman-halaman tidak akan mampu melukiskan hal itu.
Silahkan coba sendiri, rasakan sendiri, menagislah mengadu kepada Allah sendiri. Saya cuman mau berbagi cerita,
dengan kekahwatiran saya kehilangan rasa yang sama di sholat berikutnya (insya Allah mudah-mudahan tidak akan
hilang).

Problem yang sekarang muncul, tampaknya akan sulit lagi saya menikmati sholat kilat, di belakang imam yang irama
sholatnya lebih cepat dari saya. Apakah saya perlu sholat sendiri dulu beberapa waktu ini?

Buku itu berjudul Pelatihan Shalat Khusyu’ : Shalat sebagai meditasi tertinggi dalam Islam. Abu Sangkan,
Penerbit Baitul Ihsan (masjidnya Bank Indonesia), cetakan kelima Mei 2005 (cetakan pertamanya Agustus 2004).
Websitenya : www.dzikrullah.com
Kesaksian-kesaksian


Written by Administrator

Assalamu'alaikum wr. wb.


Alhamdulillah berkat keinginan yang kuat diantara rekan-rekan anggota milis, yang disertai niat
hanya karena Allah swt. untuk mengadakan acara 'kopi darat' dzikrullah, maka pada tanggal
14/15 Oktober telah berhasil terselenggara. Walaupun tidak semua bisa hadir karena suatu alasan,
serta dengan segala kesedehanaan prasarana yang kami miliki & sajian yang kami hidangkan,
namun yang kami tangkap terasa semuanya tertutup oleh suasana yang begitu menyentuh kalbu
& membasahi rasa dahaga akan pencarian & kerinduan akan kecintaan kepada Sang Khaliq.
Ada rasa kedekatan kepada Allah. Dan ternyata untuk menghadap Allah kita tidak perlu
menunggu hingga kita 'dipaksa' menghadap .... Hal ini tercermin dari ungkapan tentang kesan-
kesan yang telah peserta alami setelah mengikuti acara tersebut, seperti yang kami
sajikandibawah ini.
Insya Allah, rekan-rekan saya tersebut berkata jujur.
Silahkan disimak apa yang telah mereka alami, mudah-mudahan ada manfaat yang bisa
diambil ....
Wassalamu'alaikum wr. wb.
Moderator
1. Yusuf Ahmadi : \n masyusuf@...
Kesan-kesan :
Setelah mengiktui Dzikir ini, saya sadar bahwa Allah adalah tujuan utama. Awalnya saya hanya
bisa merasakan merinding seluruh badan saya, dingin seluruh badan, tetapi habis itu menangis
sejadi-jadinya. Benar-benar saya enggak kuat menahan tangis, .... Setelah itu badan terasa
enteng, plong, dan tenang rasanya ......
2. Tri Budianto soekarno : \n tbs@...
Kesan-kesan :
Saya memiliki cara untuk menuju Allah, dari hasil mendengarkan dan diskusi dengan Abu
Sangkan . tekad dan kemauan saya Untuk itu menjadi lebih besar dan ada rasa yakin yang lebih
besar darisebelumnya.
Saran-saran :
mohon acara ini, termasuk diskusi dengan pak sangkan diagendakan lagi. Saya sih usul diadakan
pengajian lagi, Jum'at malam (malam Sabtu) depan, karena malam Minggunya untuk gelombang
2. Bagaimana? Mudah-mudahan Pak Abu Sangkan nggak keberatan. Siapa koordinator?
3. Hendro cahyono \n rid-tea@...
Kesan-kesan :
Sewaktu melakukan patrap, agak susah masuk..terakhir ada perasaan- perasaan dan dorongan
kebelakang ..tapi terputus lagi dan ada perasaan hening (tenang)Sebenarnya dari tulisan2 Pak
Sangkan, saya sudah bisa merasakan sesuatu sehingga bisa meresap dihati dan ingin sekali untuk
mewujudkanya. Tetapi kalau ditanya tentang proses tadi, rasanya saya merasa paling susah
terhubung dibanding dengan rekan2 lain, dan saya merasa bahwa diri ini masih terhijab dan
lapisannya masih tebal,tentang hal ini saya utarakan kepada Pak Ustadz, tetapi beliau bilang
kalau tidak demikian. Terus terang saya masih mengingikannya mungkin dari materi2 yang
dikirim belum sepenuhnya saya pahami, makanya saya masih lagi mencobanya sendiri dan
sambil memahami "AKU" yang sebenarnya (pada bab Patrap ) yang mungkin ini kuncinya. Saya
setuju dengan Mas Verri sekiranya bisa ketemu rutin, sebab bagaimanapun ini adalah permulaan
yang ada tahapannya.
Saran-saran:
berharap ada secara kontinyu dan bimbingan sampai makrifat
4. Verri Djaja priayana \n verri-dj@...
Kesan-kesan:
Luar biasa, ada alam lain diluar yang kita rasakan dengan panca indra kita. Ane pikir ane punya
hati udah ketutup, pasalnye ane bekerja tiap hari pakai logika... Hati ini nggak pernah dibuka ....
untuk pertama mencoba juga sulit (sangking lamanya nggak dibuka, engselnya jadi karatan kali,
ya?). Setelah dibuka plong lah rasanya, luar biasa....
Saya sangat setuju dengan saran Pak ustadz, kalau memang tertarik untuk mengkaji lagi,
alangkah baiknya dibuat kelompok baru sehingga kajiannya runtut ... (berkesinam-bungan).
Bagaimana kawan-kawan, mau nggak kalau kita bikin kelompok baru... setelah jadi, baru kita
usulkan ke P'Ustadz...?
5. Widiyanto Pramono \n widiyanto@...
Kesan-kesan :
Menarik untuk dilanjutkan ... kadang merasa ada getaran pada tubuh sangat kuat dan tidak
terkendali. Terima kasih semoga dibalas AllahSwt.
Sebelum ketemu Pak Sangkan saya berpikir sekarang nggak bisa menangis karena sudah
kebanyakan dosa, ... ternyata bukan. Jalan yang beliau ajarkan sangat sederhana dan praktis.
Saya pernah baca-baca buku sekitar tentang hakikat makrifat, tapabrata, telepati, tokoh-tokoh
sufi. Mengenai tokoh-tokoh sufi, yang khusu'nya luar biasa, saya kira cuma mereka saja yang
bisa mengalami. Tapi sekarang saya punya harapan untuk bisa meniru mereka. Apa yang Pak
Sangkan katakan berisi ringkasan, apa yang pernah saya baca, ... tetapi kalau nggak ikutan
berlatih patrap, mungkin saya nggak ngerti apa maksudnya.
Saran-saran :
semoga bisa disebar luaskan
Pengalaman Ibu Fiva


Written by Administrator

Berguru kepada Allah, kenal Abu Sangkan


Ini cerita pribadi sebetulnya, sebelum terlalu jauh dan lupa lagi. Aku tulis cerita singkat
bagaimana proses saya mengikuti metoda Abu Sangkan agar dapat shalat yang khusyu’…. Insya
Allah.
Suamiku suka mendatangkan ustadz-ustadzah ke kantornya untuk ceramah singkat 1 jam pas jam
makan siang untuk mengisi rohani sejenak… salah satu orang yang dipanggil itu adalah Abu
Sangkan… singkat cerita… aku semakin curiga karena setiap malam suamiku mencoba untuk
latihan atau patrap yang sama sekali aneh menurutku. Mau ngadep Allah kok ngotot. Belum
tentu benar apa yang diajarkannya.
Kemudian suatu saat, suamiku memanggil beliau ke rumah karena banyak teman-temannya yang
ingin patrap di rumah dan juga aku ingin tahu seperti apa dia. Sebelumnya aku sempat juga
menanyakan cara ajarannya ke guru-guruku di pengajian sekolahku. Menurut mereka asal tidak
menambah atau mengurangi apa-apa yang wajib, suatu metoda boleh-boleh saja.
Saat diadakan di rumahku, maklum rumahku kecil, aku kosongkan rumah tengah agar kami bisa
santai duduk di karpet. Mulailah acara itu. Kesan pertama aku lihat pak Abu Sangkan ini masih
muda, baik, tapi koq nggak pake peci dan baju muslim, jauh dari seorang ustadz, lebih mirip
teman kantor yang main ke rumah saja.
Pada saat ceramah aman-aman saja. Seperti biasanya orang berceramah, tapi… saat dilakukan
praktek patrap, aku sulit untuk berkonsentrasi. Selain rumah kami berdekatan dengan tetangga,
ada salah satu jamaah yang mulai memanggil-manggil nama Allah dengan keras dan kencang.
Aku mulai bingung, takut didengar oleh tetangga. Untung salah satu jamaah yang ikut adalah
Pak RT, jadi sedikit aman. Dalam hatiku, jangan-jangan itu orang teriak karena kesurupan…
iieeek… takut.
Dan hari pun usai. Ternyata benar. Ada tetanggaku yang persis di depan rumah dan beragama
lain, ketakutan. Dia bertanya : “Pada ngapain tadi siang, koq ada yang teriak-teriak ?”.
Disangkanya lagi ada pengobatan alternatif, karena tetanggaku itu tahu kalau aku ingin segera
mempunyai keturunan dan sedang ada praktek di rumahku. Walah… Dengan penjelasanku
seadanya, untung dia memaklumi saja. Padahal aku sendiri juga bingung.
Suamiku Belajar Patrap (Ihsan)
Mulailah malam-malam yang penuh dengan kebingungan. Kalau suamiku mau patrap, aku jadi
marah-marah. Aku takut dia masuk aliran tertentu, dan sulit aku menerimanya, sampai-sampai
pernah berantem mulut. Aku bilang, kalo benar cara shalat yang diajarkan, masak jadi
mendingan shalat sendiri-sendiri dari pada berjamaah. Soalnya kalau dia lagi shalat, aku tidak
tahan menunggu rakaat berikutnya…. Lamaaaa sekali. Sampai-sampai aku melamun ke sana
kemari. Akhirnya aku yang nggak khusyu’… dan capek.
Ternyata suamiku pinter juga. Kami shalat jamaah magrib dan Isya seperti biasanya… lalu
nonton tv sembari tiduran… dan akupun tertidur. Naaahh… saat aku tidur itulah dia pergi ke
tengah ruangan, lampu dimatikan… dan mulai latihan. Lama-lama ketahuan aku juga. Dan aku
bilang: “Ok kamu latihan tapi aku nungguin”. Takut nanti dia kesurupan.
Sekali waktu, aku di ruang komputer yang bersebelahan dengan ruang tamu. Dia mau patrap, aku
bilang: “Ok”, lalu aku sibuk di komputer. Tiba-tiba dari ruang tamu terdengar suara orang
ngorok. Aku panggil suamiku tapi tidak menyahut. Aku jadi deg-degan, Aku matikan komputer
dan lari ke ruang tamu. Di situ aku lihat suamiku badanya terguncang dan mengeluarkan suara
orang ngorok… Aduh apakah ini sakratul maut. Aku berdoa di belakangnya, jangan sampai
mengganggu dia, takut kaget malah jadi parah. Aku berdoa terus: “Ya Allah, kalau cara ini
engkau berikan agar kami dapat dekat dengan-Mu, tolong mudahkan. Tapi jika cara ini Engkau
tidak ridhoi, maka jauhkan kami dari Abu Sangkan dan tolonglah kami”. Aku pun menangis
sesegukan. Suamiku terganggu dan kaget melihat aku sudah di belakangnya dan menangis. Kami
pun berpelukan… ternyata dia pun bingung.
Besoknya dia ternyata menanyakan hal tersebut ke Abu Sangkan. Dan setiap ada peristiwa yang
aneh dia selalu menanyakan ke Abu Sangkan… Paling cerewet kali suamiku berkonsultasi
dengannya. Aku masih belum setuju untuk diteruskan cara shalat khusyu seperti itu. “Biasa-biasa
ajalah… kenapa sih”, aku bilang. “Lha yang itu juga biasa aja”, suamiku bilang. Aku nggak bisa
terima. Tapi dengan cara ini memang aku lihat ada perkembangan yang drastis. Biasanya dia
suka malas doa kalau habis shalat. Ini bisa lamaaa sekali bersimpuh di sajadah. Malah aku sudah
tidur duluan setelah shalat jamaah yang dia atur agak tidak lama shalatnya sehingga kami masih
bisa berjamaah. Beberapa kali dia mencoba agar aku mengikuti dia… tapi aku memang belum
bisa. Dan akhirnya kami marah-marah… Ya sudah, balikin aja semua ke Allah, kalau memang ini
benar, minta petunjuk dari Dia, dan akupun tidak berani untuk melarang dia karena aku tahu dia
ingin memperbaiki ibadahnya. Dosa bagiku untuk melarangnya. Aku tahu dan lihat perubahan
cara dia shalat dari hari ke hari dan saat dia shalat sunnat. Aku suka nyuri pandang melihat dia
dengan shalatnya yang khusyuk. Aku pun luluh dan berdoa kepada Allah agar kami berdua diberi
petunjuk…
Suamiku Mencoba Mempengaruhi Aku
Suamiku mencoba agar aku bisa. Kali ini di tempat kawannya yang telah lebih dulu ikut latihan
(mencoba sendiri tanpa Abu Sangkan). Caranya lain lagi. Diawali hanya dengan ceramah
singkat, lalu langsung pelatihan dengan cara seprti di-drill, Kali ini kamu harus memanggil Allah
agak keras (jahar). Wah… caranya nggak kena untukku.
Suatu hari kami rekreasi ke Jogja dan Semarang. Tiap malam habis shalat jamaah kami berdua
mencoba untuk patrap… tapi aku tetap tidak bisa. Dia memang gigih mencoba terus sampai-
sampai aku bilang, “Wah patrap privat nih… sampai liburan juga dimanfaatkan”.
Suatu saat aku sedang sedih dan uring-uringan yang tidak karuan. Kucoba baca Al-Qur’an,
dengerin ceramah… malah sampae jalan-jalan ke mall dengan teman-temanku, hatiku masih
resah dan bete. Aku pikir ini mau datang bulan kali.
Malam harinya aku bilang masalahku ke suamiku, setelah shalat jamaah. Dia bilang: “Ayo
dicoba, kalo nggak bisa ya udah”. Dia jagain aku kalau-kalau aku jatuh. Mulailah aku dengan
latihan itu. Dan ternyata bisa dan aku terjatuh. Aku menangis lama dan bersimpuh di sajadah.
Lalu perasaan galau itupun lenyap. Tenang sekali hatiku. Suamiku senang, tapiiii… aku masih
tidak percaya. Lha aku memang lagi galau, jadi pantas lah aku nyambung ke Allah, karena aku
lagi susah.
Sekali waktu pernah juga di kantor suamiku, tapi kali ini temannya yang ingin belajar setelah
mendengar ceramah Abu Sangkan. Suamiku mencoba mempraktekkan di ruangannya dengan
temannya karena temannya itu penasaran bagaimana pelatiahnnya. Temannya mencoba dengan
bantuan suamiku. Aku tertegun di kamar itu, temannya dengan khusyuk mengikuti langkah-
langkah suamiku dan dia berhasil. Sampai aku berpikir, aku aja kali yang nggak percaya dengan
suamiku.
Pelatihan di Cibubur
Masih penasaran suamiku menyarankan untuk ikut pelatihan di Cibubur selama 2 hari 2 malam.
Wah… gimana menghindarinya ? Aku males, lalu aku bilang: “Kalo aku nggakmens ya aku ikut,
tapi kalo lagi mens nggak usah ya. Kan sayang nggak bisa ikut shalat”. Aku tahu saai itu
seharusnya aku datang bulan. Tapi ternyata meleset. Mens-ku lebih cepat dari biasanya. Ada lagi
cerita dari tetanggaku kalau di Cibubur itu sering ada yang kena kesurupan… iiiiiiek…. Aku
takut, tapi dia menenangkan, “Kan kita ke sana bukan untuk kemah saja, tapi mendekatkan diri
pada Allah”. Ya sudah. Hitung-hitung liburan lah, aku pikir. Aku masih merujuk lagi, kalau aku
tidak nyaman di sana malamnya kita pulang aja. Aku bialng, “soalnya kan dekat Cibubur ke
Bekasi”. “Ok”, dia bilang. “Bener lho ya”, aku tegaskan lagi.
Sampai di Cibubur, acara baru mulai. Tadinya dia mau tinggalkan aku di ruang ceramah dan dia
pergi ke lapangan. Aku tidak mau, karena memang di sana tidak ada yang aku kenal.
Pada saat pelatihan, aku bisa nyambung ketika sujud. Dan akupun menangis. Mungkin minta
tolong sama Tuhan… ya Allah lancarkanlah, dan jauhkanlah jika ini semua salah…
Hari sudah larut malam, suamiku menyarankan aku tidur di kamar temannya saja. Memang kami
tidak memesan kamar karena dengan pertimbangan toh malamnya kami pulang. Aku di kamar
sendirian dengan orang-orang yang tidak aku kenal, perempuan semua dan anak-anak. Suamiku
ternyata tidur di aula, di lantai karpet. Aku masih uring-uringan ingin pulang, tapi capek. Ya
sudah, akhirnya tertidur di masing-masing tempat.
Pagi-pagi sekali kami berdua shalat tahajud jam 4 pagi. Tapi koq yang lain masih tidur semua.
Akupun bingung… ini pada latihan shalat khusyu tapi tahajud koq ditinggalkan ? (Belakangan
kami tahu bahwa mereka baru selesai latihan di lapangan jam 2 pagi). Saat subuh barulah kami
berjamaah dan ceramah daaan…
Pada saat latihan ini, aku terkejut lagi. Semua konsentrasi, lalu mulailah ada yang teriak-teriak,
menangis, menggapai-gapai. Aku tidak bisa konsentrasi dan akupun mengintip ke sekelilingku.
Apa lagi ini, aku pikir. Aku terus berdoa kepada Allah. Aku takut tapi aku tidak berteriak. Apa
artinya aku tidak tahu. Ya sudah semua itu urusan Allah. Wallahu a’lam tapi di dalam hatiku
akupun semakin penasaran dan pasrah pada Allah.
Siangnya dimulai lagi dengan ceramah dan masing-masing melatih agar dapat shalat khusyuk,
Kali ini diajarkan oleh asistennya. Baru kali ini aku merasakan tanganku bergerak sendiri
memohon kepada Allah, dan hatiku tenang tentram mengingat-Nya… akupun mengikuti saja.
Di tengah lapangan kami diminta untuk pasrah dan konsentrasi. Kami tiba-tiba seperti dibawa
arus, akupun terduduk karena takut dan akhirnya jatuh di rumput dan mulai berguling. Aku sadar
dan aku biarkan diriku apa maunya sembari terus membaca doa… lalu aku pun bangkit
terduduk… Kulihat di sekelilingku… kecil sekali diriku, seperti setinggi rumput-rumput itu,
malah lebih kecil lagi. Di saat itulah aku sadar. Untuk mencapainya memang diperlukan suatu
proses dan kita harus pasrah pada Allah,… tergantung Allah apakah mau dipercepat atau tidak,
yang penting berusaha dan berdoa selalu… Saat itu aku merasa betapa sombongnya diri ini, …
hina, tidak ada apa-apanya… siapa yang bisa menolong aku … selain Allah. Orang-orang
banyak di sekelilingku, tapi mana ada yang peduli. Masing-masing sibuk dengan dirinya.
Akupun mulai menangis dan berterima kasih pada Allah. dengan cara apapun Dia masih
memperhatikan aku. Ya Allah, aku hanya hamba-Mu yang hina, Engkaulah Yang Maha
Menentukan… Allahu Akbar. Perasaanku sulit untuk diungkapkan. Yang jelas aku sadar, Allah
itu ada di mana saja, saat senang, saat sedih, saat susah. Dia lebih dekat dari urat leher kita. Aku
tidak kehilangan perasaan dekat seperti saat ini… Subhanallah…
Pulang dari sana, suamiku menanyakan kalau aku mau pulang atau tidur di sana semalam lagi,
toh besok pagi juga sudah pulang… Masih dengan gengsiku, “Boleh asal kamu tidak tidur di
lantai, nanti masuk angin”. Dia tidur di kamar Abu Sangkan dan Pak Haji. Malamnya dia SMS
sebelum tidur, “Masih mau pulang ?”.
Pagi harinya, kami berdua tetap shalat tahajud. Dan subuh berjamaah dengan yang lainnya. Ada
sesuatu yang lain di hatiku, tetapi aku berusaha senormal mungkin… sholat subuhku lebih berarti
dan nikmaaat sekali… seolah-olah Allah ada di hadapanku.
Setelah Cibubur
Sehari setelah dari Cibubur, aku pergi ke Bandung, sedangkan suamiku harus ke Serang. Saat
kami di Stasiun Gambir, kami masing-masing shalat Subuh… Aneh, di tempat yang ramai dan
hiruk pikuk itu, aku bisa konsentrasi dan shalatku rasanya khusyuuuuuuu’ sekali tidak ada yang
mengganggu… Selesai shalat ternyata suamiku pun mengalami hal yang sama… seperti sedang
di Arab saja… di depan Ka’bah… Alhamdulillah, dia pun melepaskan aku pergi dengan tenang
dan pasrah, aku hanya bisa tersenyum…
Alhamdulillah sampai saat ini, kami bisa menikmati shalat jamaah yang lamaaa sekali… dan
biasanya setelah Shubuh jam 5 kami suka lihat ceramah pagi di TV,… sampai jam 5.30. Ternyata
akhir-akhir ini… kami tidak sempat lagi, karena setiap mau lihat tv sehabis shalat, acara ceramah
di tv sudah selesai… tidak terasa bisa selama itu bertafakur di atas sajadah. Memang ada saat-
saat di mana kita merasa kosong dan hampa shalatnya, tapi rasanya baru kali ini ada perasaan
seperti itu… Dulu lewat saja shalat kami tanpa dianalisa nyambung atau tidaknya… Dan
memang segala sesuatu itu harus ditekuni, dipelajari, dan diamalkan… Ya Allah Yang Maha
Pandai membolak-balikkan hati, tetapkanlah hati ini dalam iman kepada MU… Amin.
Kesaksian bp. Cahya Saputra


Written by Administrator

Assalamu'alaikum wr wb,

Syukur alhamdulillah Saya panjatkan kepada Tuhan yang tiada Tuhan selain Allah, yang karena anugerah-Nya saya
diperkenankan mengenal patrap/dzikir. Patrap/dzikir dalam bentuk yang nyata, bukan cuma sekedar hasil olah
pikiran.

Saya adalah orang rasional, yang dengan kemampuan rasio berusaha mengenal Tuhan Saya. Saya bukan keluaran
suatu lembaga keislaman, baik itu madrasah mau pun pesantren. Saya hanyalah keluaran sekolah umum yang
minim akan pengetahuan agama. Bahkan saya pun berasal dari keluarga aliran penghayat kepercayaan kepada
Tuhan Yang Maha Esa. Saya ini juga termasuk golongan orang-orang yang sulit belajar kepada orang lain, sehingga
saya lebih banyak belajar sendiri, melalui bacaan, atau mendengarkan ceramah di media massa. Hanya karena
ketelatenan para sahabat lah, maka saya bisa mengenal patrap ini. Semoga mereka senantiasa mendapat rahmat-
Nya.

Pertama kali saya mengenal ustadz Abu Sangkan di Depok, sewaktu para sahabat mengajak melihat usaha
perikanan air tawar milik ustadz Abu Sangkan. Lalu dilanjutkan di rumah beliau di daerah Bekasi, namun masih
dalam rangka silaturahmi saja. Baru ketika saya pindah ke Tuban, saya pun mengundang ustadz Abu Sangkan untuk
memberikan ceramah tentang Islam. Secara logika, saya memahami dan membenarkan apa yang disampaikan oleh
ustadz Abu Sangkan, namun ketika ikut patrap, saya ndak bisa masuk. Bahkan ketika bapak Haji Slamet Oetomo,
Mas Pi'i dan bapak Syukur ke Tuban, dan saya patrapan bersama, saya tetap belum bisa. Padahal pak Haji sudah
berupaya membantu dengan menepuk dada dan punggung saya.

Saya tidak pernah punya keinginan untuk berhenti patrap, karena patrap adalah dzikir yang sebenarnya, saya faham
walaupun saya tidak bisa, namun saya tetap menggali patrap dengan banyak mendengarkan nasehat ustadz Abu
Sangkan.

Sampai suatu ketika, saya, pak Budiono dan ustadz Abu Sangkan pergi ke Banyuwangi dengan maksud untuk
digembleng langsung oleh pak Haji. Pada waktu itu, patrap dilakukan di pantai Banyuwangi, dimana saya masih
tertambat pada pikiran-pikiran saya. Sedangkan teman saya bisa patrap dengan sukses bahkan ketika patrap,
tubuhnya nempel ke pak Haji. Sepulang dari Banyuwangi, Saya pun berusaha untuk menghidupkan patrap secara
rutin di Tuban, yakni setiap malam Jum'at, hingga saat ini. Pernah dalam patrap, pak Budiono sampai tiga kali
mencabut sesuatu dari dada saya, sesuatu yang menurut beliau seperti pokok pohon besar yang masih berakar.
Meskipun demikian, setiap patrap, saya selalu mual dan pusing dan ini bisa berlangsung berhari-hari, karena saya
tidak suka muntah-muntah. Kondisi seperti ini, tetap belum menggoyahkan saya untuk berhenti patrap. Bahkan
ketika saya dinas ke Jakarta, saya pun digembleng ustadz Abu Sangkan di Cijantung, yang lantainya beton, sampai
kaki saya lecet-lecet, mual dan pusing-pusing. Hingga saya bertanya dalam hati, kapan saya bisa patrap? Kapan
saya berhenti mual dan pusing-pusing ketika patrap?

Suatu ketika ada kegiatan sanlat di Puncak, dan baru kali itu saya tergerak untuk ikut. Ternyata saya bisa mengikuti
patrap dengan enak, bahkan pada malam terakhir seperti ada kekuatan yang memaksa saya untuk menikah dengan
seseorang, yang sebelum patrap Saya antarkan untuk membeli makanan yang dia inginkan. Saya tolak kekuatan itu
bukan karena saya tidak suka, tapi karena saya merasa bukan orang yang cocok untuk dia, namun saya tidak
mampu, akhirnya saya menyerah kepada Allah, kalau itu kehendak-Nya, aku menerima. Ternyata tiga bulan
kemudian Saya menikah.

Saya pun tetap menekuni patrap, namun kesadaran saya tetap masih menguasai saya, sehingga kalau patrap masih
terombang-ambing, kadang bisa, kadang tidak. Kalau patrap dengan ustadz Abu Sangkan atau pak Haji memang
enak, gampang melakukannya, namun patrap mestinya bisa dijalani sendiri dimana pun kita berada. Ini yang selalu
mengganggu pikiran saya, oleh karena itu semua nasehat ustadz, pak Haji saya terus renungkan, saya terus
berusaha memahami sambil tetap melakukan patrap di setiap tempat dan keadaan.

Dari seluruh nasehat dan melalui proses perenungan tersebut, akhirnya terkumpul pemahaman bahwa aku bukanlah
tubuh ini, karena tubuh ini tak bergeming ketika aku diumpat orang. Aku juga bukan hati ini, karena perasaan
tertinggal ketika aku tidur. Aku juga yang sadar, karena ada orang yang hilang kesadarannya. Bahkan ketika aku
masih bayi aku tidak memiliki kesadaran. Jadi tubuhku adalah alatku, hatiku adalah alatku, kesadaranku adalah
alatku, maka aku tak mau mengaku-aku bahwa mereka adalah aku. Aku tolak itu, karena aku ingin mengenal aku
yang sebenarnya, aku yang sejati. Dengan aku yang sejati inilah aku kembali, aku serahkan semuanya kepada
Tuhan, kepada Allah. Ketika aku serahkan semuanya hingga pada suatu keadaan, aku tak bisa bergerak, aku
terbaring, mataku terbuka namun yang ada adalah yang hidup, yang berkehendak, yang satu, yang ketika semuanya
belum ada.

Saya bisa saja mengaku telah bertemu Tuhan, namun saat ini saya merasa belum saatnya, saya yakin bahwa Tuhan
akan memperkenalkan dirinya setahap demi setahap, melalui nama-Nya lewat orang lain, melalui sifat-sifat-Nya yang
bisa kita rasakan, yang bisa kita nikmati, yang bisa kita sadari. Saya yakin kalau saya tekun dan bersungguh-
sungguh, maka Tuhan akan memperkenalkan Diri kepadaku, seperti dalam kisah Musa as, seperti Ibrahim as, atau
bahkan seperti Nabi Muhammad saw. Saya tidak tahu kapan waktu itu akan tiba, namun saya tetap patrap sampai
saya harus pulang dengan senyuman bahagia.

Semoga pak Haji, ustadz Abu Sangkan dan para sahabat saya yang telah mendorong saya mengenal patrap dan
para sahabat saya orang-orang patrap juga saya dan keluarga kita semua senantiasa memperoleh rahmat Allah,
sehingga bisa kembali dengan ridha dan diridhai-Nya. Salam dan shalawat saya sampaikan untuk Rasulullah saw.
Alhamdulillahirabbil'alamin.

Wassalam,

Anda mungkin juga menyukai