Oleh : Tiorivaldi
Bulan Ramadhan adalah bulan paling dinanti bagi umat muslim. Karena pada bulan ini
lah umat muslim dapat mendapatkan optimalisasi amalan-amalan kebaikan yang tidak
diperoleh dari sebelas bulan yang lainnya. Umat muslim diwajibkan berpuasa pada
bulan Ramadhan ini sebagaimana firman-Nya :
�Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan
atas orang-orang sebelum kalian agar kamu bertakwa� (QS. Al Baqarah: 183)
Yang dimaksud dengan diwajibkan atas kamu berpuasa adalah puasa bulan Ramadhan
sebagaimana hal tersebut akan dilanjutkan sampai ayat 185.
Jika yang diatas tadi kita masih membicarakan tentang bulan Ramadhan dalam
korelasinya dengan hubungan vertikal up-down antara Allah subhanahu wa ta'ala
kepada makhluk ciptaan-Nya (manusia). Maka yang akan menjadi pembahasan lebih dalam
yang akan kita paparkan pada kali ini adalah korelasinya dengan hubungan horizantal
antar manusia.
Puasa disebut sebagai transformasi sosial dikarenakan pada bulan Ramadhan manusia
dapat mengalami perubahan sikap, perilaku, sifat yang sangat signifikan. Dimana,
mereka yang dahulu sebelum di bulan Ramadhan bisa bersikap tercela, cemooh dan
sikap buruk lainnya. Bisa bertransformasi menjadi bersikap lembut, ramah
dikarenakan ada kekhawatiran akan membatalkan puasa yang sedang ia jalani,
menggunjing pun menjadi hal yang banyak terbungkam di bulan Ramadahan. Itu
merupakan suatu perkembangan yang cukup mapan, mengingat Islam adalah salam
(damai). Maka dengan partisipasi bulan Ramadhan dapat menjadi suatu argumentasi
tentang perdamaian yang transparansi (nyata dan jelas) tanpa hanya membawa nilai
ghaib semata. Amien Rais pernah memberikan istilah "Tauhid Sosial" untuk wacana-
wacana ilmu sosial yang bersifat transenden. Dalam artian, Tauhid yang kita bawa
dari hubungan vertikal tadi, lalu di implementasikan dalam hubungan horizontal.
Makanya, Allah azza wa jalla bahkan dalam firman-Nya pada surat Al-Ma'un
menyebutkan seseorang yang rajin beribadah akan dikatakan sebagai pendusta agama
(maka celakah golongan yang shalat!) karena tidak memikirkan lingkungan sosial nya
(menindas anak yatim dan tidak bersedia memelihara hidup golongan peminta-minta)
dan enggan untuk memberikan sumbangsih.
Di sisi lain Puasa juga menjadi ajang kapitalisasi pasar. Kita bisa melihat dengan
jelas tanpa menggunakan analisa yang tajam dan matang untuk menemukan kapitalisasi
yang terjadi saat ini. Pada bulan Ramadhan, pasar menemukan momentumnya untuk ikut
menyemarakkan bulan yang suci ini. Kita bisa melihat lagu-lagu nasionalisme,
romatisme, idealisme yang semula biasanya menjadi asupan kehidupan sehari-hari akan
berubah menjadi lagu-lagu shalawat dan islami. Lagu-lagu via vallen, dewa 19,
Superman is Dead dan lain sebagainya secara tahu bulat di goreng dadakan akan
berganti dengan lagu-lagu opick, haddad alwi, maher zain dan lain sebagainya.
Televisi yang biasanya menayangkan film-film percintaan akan secara tanpa diminta
berubah menjadi kajian dan ceramah, minimal film-film hijrah sebelum sahur akan
bermunculan. Media berita dan surat kabar yang biasanya berisi nilai politis dan
tragedi yang bahkan beberapa kali sering memojokkan satu sama lainnya akan ikut
mengalami perubahan dengan hadirnya berita mudik, traveler daerah islami dan lain
sebagainya. Produk perekonomian pun tak ketinggalan untuk memasifkan momentum ini,
mulai lah ditawarkan gamis, peci, sorban, sarung yang menjadi barang utama yang
selalu hadir di setiap bulan Ramadhan. Saya tak tahu apakah semua hal tersebut
bernilai positif maupun negatif, yang jelas dan pasti segala hal pasti ada axios
(nilai) baik dan buruk nya. Tergantung bagaimana kita cerdas dan moderat dalam
mengambil suatu tindakan.
Muhammad Ainun Nadjib atau biasa dikenal Emha Ainun Nadjib atau Cak Nun menilai
puasa dalam beberapa macam. Puasa duniawi hanyalah untuk kepentingan pribadi,
akhiroti hanya mencari syurgawi, puasa sejati yaitu puasa mencari ilahi. Lantas,
Sejauh manakah spektrum puasanya masyarakat indonesia, ridho ilahiyah atau nimbrung
duniawiyah atau lebih tinggi dari itu sampai dengan puasa mencari ilahi ?
Jika dalam puasa akhiroti, seseorang hanya terfokus dalam memperbanyak amalan-
amalan ibadah mahdhah di dalamnya. Yang dulunya membaca Al-Qur'an satu bulan satu
juz berubah menjadi satu hari satu juz. Yang dulunya jarang melaksanakan qiyamul
lail menjadi produktif dalam melaksanakan qiyamul lail. Itu adalah suatu
perkembangan yang baik, tetapi harus ditakar dengan kehidupan sosial-humaniora
sehingga terjalin puasa mencari ilahi (ada duniawi dan akhiroti di dalamnya)
Teguh imami menyatakan dalam tulisannya (Puasa dan Transformasi Sosial) "di
Indonesia secara umum masih memahami puasa sebagai ritus kebudayaan". Kita bisa
melihat hal tersebut dengan mulai massif nya mencari takjil, pasar malah semakin
ramai dikunjungi oleh manusia, gaya konsumtif lebih marak kembali dan tidak
dilupakan juga gaya hedonisme ala bulan Ramadhan tetap ditampakkan dalam bingkai
yang di tata rapi. Perjalanan para kapitalis bukannya terhambat malah menjadi momen
yang ditunggu-tunggu bagi mereka. Apalagi jika sudah mendekati hari raya Idul
Fitri, itu adalah klimaks dari goresan tinta kebahagiaan kapitalis. Jalan raya akan
dipenuhi dengan orang-orang yang hendak bertemu sapa dengan keluarga yang ditinggal
jauh disana.
Mari kita transformasikan diri kita dalam satu bulan penuh ini dengan semaksimal
mungkin.
Marhaban yaa Ramadhan