Anda di halaman 1dari 4

TUGAS AL-ISLAM DAN KEMUHAMMADIYAHAN

“TEOLOGI AL-MA’UN”

OLEH :
DINDA SASKIA CHAIRUNISA (201610330311047)

MUTHAWASITTIN A
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
TEOLOGI AL-MA’UN

Teologi Al-Ma’un adalah sebuah istilah yang dikembangkan oleh seorang Antroplog
sekaligus Aktivis Muhammadiyah, Dr. Muslim Abdurrahman. Dalam beberapa referensi disebut-
disebut bahwa teologi Al-Ma’un diinspirasikan oleh K.H. Ahmad Dahlan pendiri
Muhammadiyah. Teologi utama yang mendasari berdiri dan berkembangnya Muhammadiyah
adalah teologi al-Ma‘un. Teologi yang didasarkan pada Al-Qur’an (107:1-7) ini seringkali
diterjemahkan dalam tiga pilar kerja, yaitu: healing (pelayanan
kesehatan), schooling (pendidikan), dan feeding (pelayanan sosial). Teologi ini pulalah yang
membuat organisasi ini mampu bertahan hingga 100 tahun dengan memiliki ribuan sekolah,
rumah sakit, panti asuhan, dan layanan kesejahteraan sosial yang lain. Berawal dari kajian-kajian
tafsir dilakukan K.H. Ahmad Dahlan dihadapan murid-muridnya,, beliau secara berulang-ulang
membaca surah Al-Ma’un. Tujuannya adalah agar murid-muridnya bisa menangkap substansi
dari surah tersebut. Materi utama yang diajarkan KH Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah,
kepada murid-muridnya pada dekade awal abad ke-20 adalah pemahaman Surat al-Ma‘un. Pada
intinya, surat ini mengajarkan bahwa ibadah ritual itu tidak ada artinya jika pelakunya tidak
melakukan amal sosial. Surat ini bahkan menyebut mereka yang mengabaikan anak yatim dan
tak berusaha mengentaskan masyarakat dari kemiskinan sebagai ‘pendusta agama’. Hasil dari
pembacaan K.H. Ahmad Dahlan terhadap surah ini menghasilkan tumbuh dan berkembangnya
panti-panti asuhan Muhammadiyah, Rumah Sakit dan lembaga-lembaga zakat.

Sebagian pakar menyebut bahwa surah Al-Ma’un adalah atu konsep dalam studi
kesejahteraan disebut “social security” atau jaminan sosial Islam. Konsep yang berkembang di
Barat ini sebenarnya memiliki akar yang sangat kuat di dalam Islam. Sayangnya, Negara-negara
muslim atau mayoritas yang penduduknya muslim, implementasi jaminan sosial masih sangat
ketinggalan. Benar kita membayar zakat, berinfaq dan bersadaqah, namun semuanya kita
lakukan dalam bentuk kedermawanan. Belum menjelma menjadi sebuah aksi yang terencana,
sistematis, komprehensif, dan syumuliyah (universal). Wajar saja jika dampak sosialnya dalam
makna pemberdayaan kurang begitu terlihat.

Melalui ayat ini ada beberapa instruksi moral yang dapat kita gali dan selanutnya
dirumuskan dalam konsep-konsep yang praksis. Pertama, jika ayat ini sejak awal menggempur
orang-orang yang beragama dan mencapnya sebagai pendusta agama. Itu disebabkan fenomena
Makkah pada saat itu sangat memprihatinkan. Para penulis ahbab al-muzul menjelaskan bahwa
ayat ini turun karena perilaku orang-orang yang memelihara anak yatim masa itu sudah sangat
keterlaluan. Ada sahabat yang bernama Al-Ash bin Wail as-sahmi, Al-walid ibn Al-Mughirah
dan Abu Jahal. Ketiganya diberi amanah untuk menjaga anak yatim dan hartanya., namun ketika
anak yatim itu dengan telanjang meminta hartanya, ketiganya tidak memberikannya. Bahkan ada
riwayat yang menyebutkan surah al-ma’un berkaitan dengan Abu Sofyan yang suka membuat
pesta dengan menyembelih unta, namun pada saat anak yatim meminta sedikit dari daging onta
itu, Abu Sofyan bukan saja menghardik tetapi juga memukulnya. Surah Al-ma’un mengkritik
apa yang dilakukan para pendusta agama ini.
Kedua, Ayat ini cukup gambling bahwa beragama itu harus kaffah dalam makna
totalitas,, Kaffah bukan dalam arti melaksanakan fikih Islam dalam kehidupan sosial, politik,
ekonomi dan budaya. Kaffah adalah mengintegrasikan konsep dengan dunia praksis, Simbolik
dengan substansi. Belum disebut beragama seseorang yang melaksanakan sholat namun tidak
peduli dengan orang miskin. Beragama bukan saja menunjukkan perilaku baik kepada Allah
tetapi lebih dari itu harus mengkonkritkan bentuk keberpihakan dan aksi nyata buat orang-orang
yang kurang beruntung, fakir miskin, anak yatim, anak jalanan, orang lemah dan dilemahkan.
Bahkan ibadah mahdah atau kesalehan individu tidak bernilai jika tidak dibarengi dengan
kesalehan sosial.

Ketiga, surat ini bukan hanya menyuruh kita menyapu kepala anak yatim lalu mebaca
sholatwat pada sata kita bertemu mereka. Kemudian member sedikit uang untuk beli bon-bon,
Sejumlah buku tulis dan pensil, jika ada baju-baju bekas yang tidak lagi dipakai oleh anak-anak
kita tidak juga dengan mengundang mereka menitipkan sebungkus nasi yang serba terbatasi
isinya. Surah ini mendorong kita untuk merumuskan konsep jaminan sosial Islam yang utuh dan
komprehensif. Konsep jaminan sosial Islam bukan sebatas kariatif atau hanya menyelesaikan
kasus bagaimana orang yang tidak punya makan lalu diberi santunan untuk bisa makan. Konsep
jaminan sosial Islam adalah konsep pemberdayaan masyarakat untuk bisa bertumbuh dan
berkembang juga sekaligus membangun sebuah sistem sosial yang adil.

Pertanyaan dasar yang perlu dikemukakan sekarang, di era global kapitalisme, adalah
apakah pemaknaan teologi al-Ma‘un seperti yang dilakukan oleh Kiai Dahlan 100 tahun yang
lalu itu masih efektif dan manjur, terutama untuk 100 tahun akan datang? Orang menjadi miskin
itu kebanyakan bukan karena mereka malas bekerja. Banyak sekali orang miskin yang justru
bekerja banting tulang 24 jam sehari. Mereka menjadi miskin karena hidup di dalam sistem yang
menciptakan kemiskinan dan mendukung penindasan terhadap orang miskin. Cara-cara
tradisional dalam pengentasan kemiskinan, terutama yang bersifat karikatif, terlihat tak berdaya
dan kedodoran menghadapi sistem kapitalisme global dan pemiskinan struktural oleh negara
terhadap rakyatnya.

Satu contoh, Dompet Dhuafa (DD) menciptakan program Masyarakat Mandiri (MM) di
lebih dari 10 desa. Ratusan juta atau bahkan milyaran rupiah telah dikeluarkan untuk melakukan
pembinaan selama bertahun-tahun. Namun sepertinya upaya itu hilang begitu saja atau tak
tampak hasilnya. Muhammadiyah juga melakukan program pemberdayaan masyarakat miskin di
beberapa tempat, namun upaya itu sangat mudah bubar tergilas oleh kapitalisme global. Kondisi
inilah yang menyebabkan salah satu tokoh Muhammadiyah, almarhum Moeslim Abdurrahman,
menawarkan pemaknaan dan penerapan baru dari teologi al-Ma‘un.

Definisi orang miskin itu tak boleh dibatasi pada mereka yang miskin secara ekonomi.
Orang miskin adalah mereka yang mengalami marjinalisasi sosial, seperti petani, pemulung, dan
pelacur, dan mereka yang mengalami subordinasi sosial seperti kelompok agama minoritas
(Ahmadiyah, Syiah, dan sebagainya). Kedua, bagaimana menerapkan teologi al-Ma‘un bagi
orang-orang miskin kontemporer itu? Caranya tentu tak bisa dilakukan dengan member mereka
uang, tapi melawan sebab-sebab yang membuat mereka miskin, seperti kapitalisme global dan
budaya kemiskinan (culture of poverty).

Jelas bahwa Surah Al-Ma’un bukanlah surat yang sederhana. Sesuai dengan makna Al-
Ma’un sendiri, surah ini membawa misi bagaimana setiap manusia harus memiliki al-ma’un
(barang-barang berharga) untuk menopang kehidupannya agar dapat hidup layak dan
bermartabat. Tentu kerja besar ini tidak sederhana. Untuk itulah diperlukan satu kerjasama yang
melibatkan semua pihak yang memangku kepentingan. Dan jika Muhammadiyah ingin bertahan
atau berkembang pada 100 tahun yang akan datang, maka selain mempertahankan upaya-upaya
penerjemahan teologi al-Ma‘un dalam tiga pilar di atas (schooling, healing, dan feeding),
organisasi ini perlu juga mengadopsi sistem baru untuk mengejawantahkan teologi al-Ma‘un di
era kapitalisme global.

Sumber :

1. Menghidupkan Kembali Teologi Al-Ma’un karya Azhari Akmal Tarigan


2. Kajian Atas Teologi Muhammadiyah oleh Sokhi Huda
3. http://www.muhammadiyah.or.id/

Anda mungkin juga menyukai