0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
75 tayangan23 halaman
Gerakan sosial Muhammadiyah berawal dari pemahaman KH. Ahmad Dahlan terhadap surat Al-Ma'un yang menekankan pentingnya membantu anak yatim dan orang miskin secara nyata. KH. Dahlan mewujudkannya dengan memberikan makanan, pendidikan, dan tempat tinggal kepada mereka. Semangat ini kemudian menjadi dasar berdirinya berbagai lembaga sosial Muhammadiyah seperti panti asuhan, rumah sakit, dan program pemberdayaan
Gerakan sosial Muhammadiyah berawal dari pemahaman KH. Ahmad Dahlan terhadap surat Al-Ma'un yang menekankan pentingnya membantu anak yatim dan orang miskin secara nyata. KH. Dahlan mewujudkannya dengan memberikan makanan, pendidikan, dan tempat tinggal kepada mereka. Semangat ini kemudian menjadi dasar berdirinya berbagai lembaga sosial Muhammadiyah seperti panti asuhan, rumah sakit, dan program pemberdayaan
Gerakan sosial Muhammadiyah berawal dari pemahaman KH. Ahmad Dahlan terhadap surat Al-Ma'un yang menekankan pentingnya membantu anak yatim dan orang miskin secara nyata. KH. Dahlan mewujudkannya dengan memberikan makanan, pendidikan, dan tempat tinggal kepada mereka. Semangat ini kemudian menjadi dasar berdirinya berbagai lembaga sosial Muhammadiyah seperti panti asuhan, rumah sakit, dan program pemberdayaan
Gerakan sosial Muhammadiyah dilatar belakangi oleh
pemahaman KHA. Dahlan terhadap QS. Al-Ma’un. Ada cerita yang cukup populer di kalangan warga Muhammadiyah mengenai KH Ahmad Dahlan dan para muridnya. Diceritakan bahwa KH. Ahmad Dahlan selalu saja mengulang-ulang pelajaran surat al-Ma’un dalam jangka waktu yang lama. Bahkan hingga tidak pernah beranjak kepada ayat berikutnya, meskipun murid-muridnya sudah mulai bosan. Karena jenuh, salah seorang muridnya, KH. Syuja’ -yang masih muda waktu itu-, bertanya mengapa Kyai Dahlan tidak beranjak ke pelajaran berikutnya. Kyai Dahlan pun balik bertanya, “Apakah kamu benar-benar memahami surat ini?”. KH. Syuja’ menjawab bahwa ia dan kawan-kawannya sudah memahami benar-benar arti surat tersebut dan bahkan telah menghafalnya di luar kepala. Kemudian Kyai Dahlan bertanya kembali, “Apakah kamu sudah mengamalkannya?”. Dijawab oleh KH. Syuja’, “Bukankah kami membaca surat ini berulang kali sewaktu salat?” Kyai Dahlan lalu menjelaskan maksud mengamalkan surat al-Ma’un bukanlah sekedar menghafal atau membacanya semata, namun lebih dari itu semua. Yaitu mempraktekkan al-Ma’un dalam bentuk amalan nyata. “Oleh karena itu’, lanjut Kyai Dahlan, “setiap orang harus keliling kota mencari anak-anak yatim, bawa mereka pulang ke rumah, berikan sabun untuk mandi, pakaian yang pantas, makan dan minum, serta berikan mereka tempat tinggal yang layak. Untuk itu pelajaran ini kita tutup, dan laksanakan apa yang telah saya perintahkan kepada kalian.” Sayyid Quth (dalam Tafsir fi Zhilalil Qur’an Vol. 24) menjelaskan bahwa surat pendek ini mampu memecahkan hakikat besar yang mendominasi pengertian iman dan kufur secara total. Boleh jadi definisi iman dan kufur di sini sangat berbeda bila dibandingkan definisi tradisional. Karena kufur (mendustakan agama) di sini diartikan sebagai menghardik anak yatim dan atau menyakitinya (Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin, ayat 2-3). Logika kufur muncul karena seharusnya saat iman seorang sudah mantap di hati niscaya anak-anak yatim dan orang miskin tentu tidak akan diterlantarkan. Pada dasarnya, Allah tidak hanya menghendaki pernyataan-pernyataan dari manusia. Tetapi menghendaki pernyataan itu disertai dengan amalan- amalan sebagai pembuktiannya. Kalau tidak, pernyataan tersebut tidak lebih hanya debu yang tidak ada bobotnya di sisi Allah. Karena itu, Islam bukanlah agama simbol dan lambang semata. Iman akan tidak berwujud bila tidak direfleksikan ke dalam gerakan amal shaleh. Jadi, Al-Ma'un adalah inspirasi intelektual yang kritis- emansipatoris. Teologi Kritis Al-Ma'un ingin menghidupkan kembali semangat agama yang membebaskan dan mencerahkan, dalam realitas sosial secara nyata. Teologi Al-Ma'un berarti advokasi; pembelaan atas hak- hak masyarakat yang terlupakan oleh negara. Peran-peran ini perlu diampu semua elemen, tidak hanya Muhammadiyah, yang memang independen dari negara, bebas dari relasi-kuasa yang diciptakan negara. Gerakan Peduli Kepada Fakir Miskin dan Anak Yatim
Gerakan peduli kepada fakir miskin dan anak yatim yang
dilakukan oleh Kyai Dahlan pada masa-masa awal, sebagai terjemahan dari teologi al-Ma’un di atas, yaitu dalam bentuk tiga pilar kerja, yaitu: Healing (pelayanan kesehatan), Schooling (pendidikan), dan Feeding (pelayanan sosial). Gerakan untuk memperbaiki kehidupan sosial umat didahulukan oleh kiyai Dahlan, sedangkan penyadaran terhadap penyimpangan ajaran agama seperti tahayul, bid’ah dan kurafat mengikuti gerakan tersebut. Usaha kiyai Dahlan tersebut menggambarkan apa yang disebut oleh Moeslim Abdurrahman sebagai usaha mempertautkan (bahkan mengkonfrontasikan) hubungan antara iman dengan realitas sosial. Inilah yang dimaksud dengan Islam transformatif. Islam transformatif yang merupakan jiwa kiyai Dahlan merupakan sikap teologis, yakni menghimpun kekuatan simbolik yang dimiliki setiap orang Islam yang meyakini bahwa tujuan risalah al-Islamiyah pada intinya adalah bagaimana membawa ide agama dalam pergaulan hidup secara kolektif untuk menegakkan tatanan sosial yang adil, sebagai cita- cita ketakwaan. Kiyai Dahlan merupakan sample yang paling tepat untuk merujuk bentuk gerakan Islam transformatif- kontekstual untuk membangun peradapan Islam di Indonesia. Bertolak pengamalan inilah kemudian Muhammadiyah berkembang dan menugaskan Majelis Pertolongan Kesengsaraan Oemoem (MPKO) yang kemudian berkembang menjadi Majelis Pembina Kesejahteraan Ummat (PKU) dan saat ini bernama Majeis Pelayanan Sosial dan Majelis Pelayanan Kesehatan. Bentuk & Model Gerakan Sosial-Kemanusiaan Muhammadiyah Bentuk & model gerakan sosial-kemanusiaan Muhammadiyah sampai saat ini dapat kita lihat dengan banyaknya amal usaha- amal usaha yang berhasil dibangun, seperti : Sekolah & Perguruan Tinggi; Rumah sakit; Panti asuhan; Rumah jompo; Pembentukan Amil Zakat, dan Gerakan pemberdayaan masyarakat. Pada saat ini gerakan yang dirintis oleh Muhammadiyah telah menjadi budaya di ummat Islam di Indonesia (tidak terbatas dalam lingkungan Muhammadiyah saja), antara lain pengumpulan zakat fitrah maupun zakat mal oleh amil yang kemudian dibagikan kepada yang berhak; pendirian Panti Asuhan-Panti Asuhan di lingkungan ummat Islam dan sebagainya. Pembinaan kaum dhu‘afa yang selama ini telah dilaksanakan oleh Muhammadiyah perlu ditingkatkan dan diintensifkan yang ditujukan kepada prinsip “memberi kail, bukan memberi ikan” terhadap individu dan atau kelompok masyarakat dengan mengusahakan faktor-faktor produksi yang terdiri dari: Lahan Modal Manajemen Teknologi Revitalisasi Gerakan Sosial Muhammadiyah Pada dasarnya agama berperan sebagai pedoman hidup manusia, yang akan mengantarkannya ke jalan keselamatan, di dunia dan di akherat. Karena itu agama merupakan suatu sistem yang total meliputi seluruh sektor kehidupan manusia. Karena itu pula agama akan senantiasa mempertautkan dirinya dengan semua persoalan kemanusiaan yang dihadapi manusia. Dengan demikian, setiap tantangan masalah kemanusiaan yang selalu dihadapi manusia, adalah juga merupakan tantangan bagi agama untuk menghadapinya. Maka, menjadi tugas Muhammadiyah untuk merealisasikan misi agama-agama itu. Warga Persyarikatan wajib menerjemahkan nilai- nilai ajaran agama yang bersifat blue print ke dalam sikap perilaku nyata yang mencerminkan secara utuh ajaran Islam. Untuk ini ada beberapa hal yang dapat dilakukan Muhammadiyah, baik secara kelembagaan maupun secara individu, yaitu: Pertama, menegaskan kembali kepada masyarakat bahwa keberislaman yang sempurna adalah perpaduan antara ideologi dan orientasi praktis, antara iman dan kesejahteraan, (doa dan tindakan). Kedua, kembalikan Muhammadiyah kepada spirit dasar organisasi ini didirikan, yakni kesejahteraan umum menjadi tolok ukur bagi sikap dan perilaku umat. Ketiga, dua program tersebut harus dipayungi kemauan Muhammadiyah untuk menggali watak Islam sebagai agama pembebasan Revitalisasi yang perlu mendapat perhatian Muhammadiyah ke depan dalam gerakan sosialnya dalam rangka mengejawantahkan teologi al-Ma‘un di era kapitalisme global, adalah :
Pertama, definisi orang miskin itu tak boleh dibatasi pada
mereka yang miskin secara ekonomi. Orang miskin adalah mereka yang mengalami marjinalisasi sosial, seperti petani, pemulung, dan pelacur, dan sebagainya. Kedua, bagaimana menerapkan teologi al-Ma‘un bagi orang-orang miskin kontemporer itu? Caranya tentu tak bisa dilakukan dengan memberi mereka uang, tapi melawan sebab-sebab yang membuat mereka miskin, seperti kapitalisme global dan budaya kemiskinan (culture of poverty). Which of the strategies we’ve covered would you like to try in your own classes? Summarize the most important points in today’s lecture.