1. Hubungan antara Muhammadiyah dan Surah Al – Ma’un
Dalam penafsiran KH. Ahmad Dahlan, Surat Al-Ma’un di atas, secara substansial mengandung beberapa pesan penting: Pertama, orang yang cuek terhadap kaum dhu’afa’, tergolong si pendusta agama (baca: Islam); Kedua, ibadah shalat yang berkategori ibadah mahdhah (langsung dengan Allah) memiliki dimensi sosial yang tidak diragukan. Lebih menukik lagi, tak ada faedah shalat, bila tak dibarengi ibadah sosial atau kolektif (ghairu mahdhah); Ketiga, melakukan amal shaleh sedikit pun tak boleh ria. Misalnya: ingin mencari nama atau popularitas, dan sifat–sifat ujub lain yang bisa membuat amal shaleh jadi sumbing. Keempat, segelintir anak-manusia yang terjerembab dalam mental attitude egoisme dan egosentrisme (ananiyah) sehingga enggan mengulurkan pertolongan pada kaum dhu’fa’ wa al-mustadh’afin, (kaum lemah dan dilemahkan). KH. Ahmad Dahlan, dengan segenggam motivasi dan obsesi sengaja mengajarkan Surat Al–Ma’un tersebut pada jama’ahnya secara berulang-ulang. Dalam penafsiran KH. Ahmad Dahlan, Surat Al-Ma’un di atas, secara substansial mengandung beberapa pesan penting. Pertama, orang yang cuek terhadap kaum dhu’afa’, tergolong si pendusta agama (baca: Islam); Kedua, ibadah shalat yang berkategori ibadah mahdhah (langsung dengan Allah) memiliki dimensi sosial yang tidak diragukan. Lebih menukik lagi, tak ada faedah shalat, bila tak dibarengi ibadah sosial atau kolektif (ghairu mahdhah); Ketiga, melakukan amal shaleh sedikit pun tak boleh ria. Misalnya: ingin mencari nama atau popularitas, dan sifat–sifat ujub lain yang bisa membuat amal shaleh jadi sumbing. Keempat, segelintir anak-manusia yang terjerembab dalam mental attitude egoisme dan egosentrisme (ananiyah) sehingga enggan mengulurkan pertolongan pada kaum dhu’fa’ wa al-mustadh’afin, (kaum lemah dan dilemahkan). KH. Ahmad Dahlan, dengan segenggam motivasi dan obsesi sengaja mengajarkan Surat Al–Ma’un tersebut pada jama’ahnya secara berulang-ulang. Dalam memupuk kepedulian sosial umat, Ahmad Dahlan, tidak terperangkap teori-teori muluk—yang kadang amat melangit. Tetapi, ia bahkan rela berkorban moril dan material demi mempraktikkan sensibilitas dan cita-cita sosial Islam. Yaitu tercapainya sebuah masyarakat egaliter yang peduli kaum dhu’afa’ (ekonomi lemah). Bila dikerucutkan, paling tidak cita-cita sosial Ahmad Dahlan berkisar pada empat persoalan esensial. Yaitu ukhuwah, hurriyah, musawwah dan ‘ada-lah (persaudaraan, kemerdekaan, persamaan dan keadilan). Semangat Surat Al-Ma’un yang diinternalisasikan pada jama’ah wa al-jam’iyyah (kelompok kecil terorganisir), tercatat sebagai salah satu asbabul wurud atau latar belakang KH. Ahmad Dahlan membidani kelahiran Muhammadiyah, pada 8 Zulhijjah 1330 H/18 November 1912 M. Bertujuan: “Menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam, sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya” (unggul, bernas dan berkualitas/khaira ummah). Menggeliat dalam qalbu Ahmad Dahlan menamakan gerakan ini Muhammadiyah dengan secercah harapan (ber-tafa’ul) kiranya umat Islam mau dan mampu meneladani etika dan estetika perjuangan, moralitas dan integritas (akhlaqul karimah) yang bergayut kukuh pada diri Nabi Muhammad Saw (Q.S. Al Ahzab : 21). Niat lain yang bertengger di jiwa Dahlan agar semua pemuka, pimpinan (sejak Pusat hingga Ranting), anggota dan simpatisan Muhammadiyah satu ketika benar-benar punya sense of belonging and sense of responsibility (rasa memiliki & bertanggungjawab) terhadap Islam dalam skop orientasi maksimal, substansial, esensial plus universal (rahmatan lil ‘alamin). Bukannya memperalat Islam dan Muhammadiyah untuk meraup tujuan-tujuan materialis, hedonis dan pragmatis seperti yang jadi fenomena menggalaukan belakangan ini. 2. Istilah Teologi, Fiqih Surah Al – Ma’un Surah al-Ma’un hanyalah salah satu diantara surah-surah Makkiyah. Surah ini mengategorikan sebagai pendusta terhadap agama mereka yang ti dak peduli atas nasib anak yatim dan orang miskin. Surat al-Maun merupakan surat ke 17 yang terdiri atas 7 ayat dan termasuk golongan surat-surat Makkiyah. Surat al-Maun diturunkan sesudah surat al-Taakatsur yakni surat ke 16 dan sebelum surat al-Kafirun yakni surat ke 18. Secara etimologi, al-Maun berarti banyak harta, berguna dan bermanfaat, kebaikan dan ketaatan, dan zakat. Menurut Muhammad Asad kata “al-Ma’un” berdasarkan tafsir klasik dapat dipahami sebagai hal-hal kecil yang diperlukan orang dalam penggunaan sehari-hari, perbuatan kebaikan berupa pemberian bantuan kepada sesama manusia dalam hal-hal kecil. Dalam maknanya yang lebih luas, kata al-Maun berarti “bantuan” atau “pertolongan” dalam setiap ,kesulitan. Surat ini berdasarkan Asbabun Nuzulnya sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Mudzir berkenaan dengan orang-orang munafik yang memamerkan shalat kepada orang yang beriman. Mereka melakukan shalat dengan riya’ dan meninggalkan apabila tidak ada yang melihatnya, serta menolak memberikan bantuan kepada orang miskin dan anak yatim. Surat al-Maun berisi empat hal pokok, yakni : a. Perintah berbuat kebaikan kepada sesama manusia. Terutama kepada anak-anak yatim dan fakir miskin yang merupakan kelompok orang-orang yang tertindas (mustadh’afin); b. Jangan lupa atau lalai mendirikan shalat; c. Jangan riya’ (pamer) dalam beribadah; d. Jangan kikir (pelit) untuk beramal dan berbagi dengan sesama. Keempat hal pokok ini merupakan sifat orang-orang kafir Quraisy dan orang- orang munafik. Dimana mereka cenderung bermegah-megahan dan berfoya-foya dengan harta benda, lupa dengan ibadah karena sibuk mencari harta semata, suka memamerkan kebaikan kepada orang lain atau tidak ikhlas dalam beribadah, dan tidak mau berbagi dengan fakir miskin. Itulah kenapa kaum muslimin diperintahkan menjauhi keempat perbuatan tidak baik tersebut. Pelanggaran terhadap keempat larangan tersebut disebut sebagai pendusta agama dan menutup hati kita atas kebenaran dan ketundukan semata karena Allah padahal sebelumnya telah menyatakan iman dan berserah diri sepenuhnya kepada Allah. Ahmad Dahlan telah menangkap isyarat Al – Qur’an itu sehingga kajian tafsirnya perlu diulang-ulang sampai para muridnya mengetahui betul tentang apa tujuan pengulangan itu. Sekelumit suasana beragama di kampung Kauman, Yogyakarta, pada awal 1920- an. Fenomena serupa dapat ditemukan di mana-mana di seluruh dunia Islam ketika itu. Agama itu tidak lebih dari seremoni dan ritual dalam format ibadah dalam makna yang sangat sempit. Adapun perlunya pembelaan kepada mereka yang tertindas dan terpinggirkan tidak dipandang sebagai bagian yang menyatu dengan keberagamaan seorang Muslim. Jika demikian halnya, tidaklah mengherankan benar mengapa ada umat Islam, seperti Tan Malaka, Haji Misbach, dan Alimin, menjadi Marxis atau bahkan komunis karena di dalamnya di temukan doktrin-doktrin radikal revolusioner tentang pembebasan manusia dari ketertindasan itu. Harapan untuk Majelis Tarjih Muhammadiyah berhasil dalam menyusun sebuah risalah yang lebih radikal dibandingkan dengan Teologi Pembebasan yang telah lama dikembangkan teolog Katolik di Amerika Latin. Dengan cara ini umat Islam Indonesia akan menyadari dirinya sebagai pendusta jika anak yatim dan orang miskin dibiarkan berkeliaran seperti yang kita saksikan di mana-mana sekarang ini, baik di kota maupun di kawasan pedesaan. Apa yang telah ditangani Muhammadiyah bersama dengan banyak gerakan lain dan Kementerian Sosial dengan panti-panti sosialnya sama sekali belum mampu mengatasi masalah sosial yang akut dan berat ini. Islam adalah agama yang pro-orang miskin, tetapi sekaligus anti kemiskinan, karena kemiskinan itu harus bersifat sementara.
3. Institute Alma’un 4. Asal-usul Alma’un di Muhammadiyah
5. Implementasi Surah Al – Ma’un dalam Kehidupan Ber-Muhammadiyah
Dalam konteks muhammadiyah, surat almaun memiliki arti yang sangat penting sebab menjadi landasan dasar dan spirit bagi lahirnya gerakan dakwah muhammadiyah dengan berbagai amal sosialnya berupa rumah sakit, panti asuhan, panti jompo lembaga pendidikan dan lainnya. Teologi almaun dalam payung teologi islam yang digagas dan dikembangkan oleh KH. Ahmad Dahlan, pendiri muhammadiyah dipandang oleh warga muhammadiyah dan dinilai oleh sebagai peneliti,seperti deliar noer dan Achmad Jainuri,berhasil membawa warga gerakan modern ini gigih dan bersemangat untuk membebaskan mustad’afin dari ketertindasannya. Wujud konkret dari gerakan mereka adalah pendirian beberapa panti asuhan ,rumah sakit dan lembaga pendidikan.dengan demikian pada dataran konsep teologi mustad’afin sesungguhnya merupakan istilah baru,bukan konsep baru,yang dikembangkan dari sumbernya,yakni teologi al-maun sebagai identitas yang diambil dari spirit QS al maun. Teologi almaun memberikan kesadaran kepada umat islam, terutama warga muhammadiyah,bahwa ibadah ritual kepada allah itu tidak ada artinya bila ternyata kita tidak bisa merefleksikan dalam wujud kesadaran kemanusia an, seperti menolong fakir miskin dan anak yatim.hanya saja,teologi ini tak bisa menghalangi umat islam dari berasyik dalam ibadah ritual.baru dengan fikih TBC, seperti larangan untuk menciptakan ritual-ritual baru, maka umat islam mengalihkan minat ibadah ritualnya ke aksi sosial.hukum selamatan adalah contoh lain bagaimana fikih TBC mampu mengubah bantuan sosial karikatif dalam selamatan menuju bantuan yang lebih konkret kepada orang-orang yang membutuhkan. Pemikiran KH. Ahmad Dahlan tentang taujid Al-maun bagi muhammadiyah ibarat senjata untuk mengabdikan diri kepada bangsa indonesia.karena Tauhid Al-maun merupakan gerakan sosial kemasyarakatan yang berorientasi pada niali-nilai kemanusiaan. Muhammadiyah berpandangan bahwa gerakan kemanusiaan merupakan kiprah dalam kehidupan bangsa dan negara dan salah satu perwujudan dari misi dan fungsi melaksanakan dakwah amar makruf nahi mungkar sebagaimana telah menjadi panggilan sejarahnya sejak zaman pergerakan hingga masa awal dan setelah kemerdekaan indonesia. Peran dalam kehidupan bangsa dan negara tersebut diwujudkan dalam langkah-langkah strategi dan taktis sesuai kepribadian, keyakinan dan cita- cita hidup, serta khittah perjuangannya sebagai acuan gerakan sebagai wujud komitmen dan tanggung jawab dalam mewujudkan baldatun thoyyibatun wa rabbun ghafur. Gerakan praksis almaun dalam wacana kontemporer terutama yang menyangkut ranah metodologi gerakan dapat dikaitkan pula dengan “ teologi transformatif “ yakni pandangan keagamaan ( islam) yang berbasis pada tauhid dan melakukan praksis pembebasan dan pemberdayaan manusia. Muhammadiyah merujuk gerakan transformatif tersebut dengan pandangan islam yang berkemajuan. Dalam bagian “ pertanyaan pikiran muhammadiyah abad kedua”( 2010) dinyatakan bahwa “ secara ideologi islam yang berkemajuan untuk pencerahan merupakan bentuk tranformasi Al maun untuk menghadirkan dakwah dan tajdid secara actual dalam pergaulatan hidup keumatan,kebangsaan dan kemanusiaan secara universal. Transformasi islam bercorak kemajuan dan pencerahaan itu merupakan wujud dari iktihar meneguhkan dan memperluas pandangan keagamaan yang bersumber Alqur’an dan As-sunah dengan mengembangkan ijtihad ditengah tantangan kehidupan modern abad ke 21 yang sangat kompleks “ dalam pandangan islam yang bersifat transformative itu ajaran islam tidak hanya sekadar mengadung seperangkat ritual ibadah dan hablun min allah ( hubungan dengan allah) semata, tetapi justru peduli dan terlibat dalam memecahkan masalah- masalah konkret yang dihadapi manusia hablun min annaas. Inilah “ teologi amal” yang bercorak praksis, yang menghadirkan islam sebagai agama amaliah yang membawa pada pencerahan yaitu membebaskan, memberdayakan dan memajukan kehidupan khususnya kaum duafa dan mustad’afin.
6. Metode KH.Ahmad Dahlan Memahami Al – Qur’an
17 Kelompok Ayat Al Qur’an dalam Penafsiran KH Ahmad Dahlan: 17 kelompok ayat Al-Qur’an yang menjadi pokok wejangan dan pelajaran dari pendiri Persyarikatan Muhammadiyah adalah sebagai berikut; (1) Membersihkan diri sendiri, Al- Jâtsiyah ayat 23; (2) Menggempur hawa nafsu mencintai harta benda, al-Fajr ayat 17-23; (3) Orang yang mendustakan agama, al-Mâ’ûn ayat 1-7; (4) Apakah artinya agama itu, al-Rûm ayat 30; (5) Islam dan sosialisme, al-Tawbah ayat 34-35; (6) Surat al-‘Ashr ayat 1-3; (7) Iman/kepercayaan,al-‘Ankabût ayat 1-3; (8) Amal sholeh, al-Kahf ayat 110 dan al-Zumar ayat 2[3]; (9) Wa tawâshaw bil haqq, Yûnus ayat 108, al-Kahf ayat 29, Muhammad ayat 3, al-An’âm ayat 116, al-Furqân ayat 44, al-Anbiyâ’ ayat 24, Yûnus ayat 32, al-Shaff ayat 9, al-Baqarah ayat 147, al-Anfâl ayat 8, al-Isrâ’ ayat 81 dan al- Mu’minûn ayat 70; (10) Wa tawâshaw bish-shabri; (11) Jihad, Âli ‘Imrân ayat 142; (12) Wa anâ minal muslimîn, al-An’âm ayat 162-163; (13) Al-Birru, Âli ‘Imrân ayat 92; (14) Surat al-Qâri’ah ayat 6-11; (15) Surat al-Shaff ayat 2-3; (16) Menjaga diri, al-Tahrîm ayat 6; dan terakhir (17) Apakah belum waktunya, surat al-Hadîd ayat 16. Metode KH. Ahmad Dahlan Dalam memahamai Al-Qur’an adalah menggunakan metode Al TajdId. Al Tajdid adalah.At-Tajdid menurut bahasa, maknanya berkisar pada menghidupkan, membangkitkan dan mengembalikan. Makna-makna ini memberikan gambaran tentang tiga unsur yaitu keberadaan sesuatu kemudian hancur atau hilang kemudian dihidupkan dan dikembalikan.Kata "Tajdid" diambil dari bahasa Arab yang berkata dasar "Jaddada-Yujaddidu-Tajdiidan" yang artinya memperbarui. Kata ini kemudian dijadikan jargon dalam gerakan pembaruan Islam agar terlepas dari Bid'ah, Takhayyul dan Khurafat. Gerakan ini diilhami dari Muhammad bin Abdul Wahab di Arab Saudi dan Pemikiran Al-Afghani yang dibuang di Mesir. Gerakan ini kemudian menjadi ruh dalam beberapa Organisasi seperti Sarekat Islam, Muhammadiyyah dan Al- Irsyad juga Persatuan Islam di Jawa. Gerakan ini pula pernah menjadi ruh perjuangan Tuanku Imam Bonjol dalam menggerakkan kaum Paderi. Gerakan ini kemudian mengalami Kanter dari Akademisi Jawa Kejawen yang kemudian menggabungkan diri dalam Budhi Oetomo dan Ulama Jawa yang bergabung dalam Nahdhatul Ulama. Meski gerakan ini kini sudah mulai melemah, namun semangatnya kini terus diwariskan pada generasi berikutnya hingga muncullah Jaringan Islam Liberal yang memiliki visi Tajdid ini meski kemudian ditentang oleh para Tokoh ummat Islam yang aktif dalam Organisasi yang dulunya mengusung ruh Tajdid. Materi utama yang diajarkan KH Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, kepada murid-muridnya pada dekade awal abad ke-20 adalah pemahaman Surat al- Ma‘un. Pada intinya, surat ini mengajarkan bahwa ibadah ritual itu tidak ada artinya jika pelakunya tidak melakukan amal sosial. Surat ini bahkan menyebut mereka yang mengabaikan anak yatim dan tak berusaha mengentaskan masyarakat dari kemiskinan sebagai ‘pendusta agama’. Berhari-hari Ahmad Dahlan mengajarkan materi ini ke murid-muridnya. Sampai- sampai sebagian dari mereka merasa bosan dan mempertanyakan mengapa Kiai Dahlan mengulang-ulang pelajaran dan tidak segera pindah ke materi lain.