Anda di halaman 1dari 18

RANGKUMAN BUKU ETIKA JAMAAH

Nur Ahmad, Media Insani Press : 2005

Kaum Muslimin haruslah berjama’ah. Jama’ah yang dimaksud adalah sekumpulan


kaum Muslimin yang berjuang memiliki agenda kerja dan tujuan sama, memiliki
manhaj yang benar yang sesuai dengan Al-Qur’an dan Sunnah. Jama’ah tersebut tidak
hanya bermanfaat hanya untuk kader-kadernya tetapi harus bisa menjadi ruuhun
jadiidun tasrii fii jasadil ummah atau jiwa baru yang mengalir di tubuh umat/ bisa
diterima dan menjadi milik umat.
Dalam Jama’ah hendaknya ada etika jama’ah yang mengangkat tinggi nilai
keberagaman, menjunjung tinggi kesatuan, membuang jauh sifat tercela, arogansi dan
fanatisme golongan. Etika jama’ah ini berpilar pada iman dan akhlaq.

Mobil penggerak dakwah yang dibutuhkan oleh semua aktivis dakwah adalah
sebuah kendaraan yang besar dan tangguh. Kendaraan ini adalah jamaah, yang akan
mengantarkan umat ini kepada tujuan besar wihdatul ummah. Era sekarang adalah era
“menggigit akar pohon(Islam)”. Sebagaimana yang telah diberitahukan oleh Nabi
SAW kepada Hudzaifah ibnul Yamin :
“…lalu apa yang baginda perintahkan kepadaku sekiranya aku menemui
keadaan itu? Beliau bersabda, ‘Hendaklah kalian komit dengan Jamaatul Muslimin
dan Imam mereka’. Aku bertanya, ‘jika mereka tidak memiliki jamaah dan imam?’
Beliau bersabda, ‘Tinggalkanlah firqoh-firqoh (pemecah belah agama) itu semuanya,
sekalipun kamu harus menggigit akar pohon.” (HR. Bukhori)
Jawabannya :
“Aku wasiatkan kepada kalian (agar mengikuti) para sahabatku kemudian
generasi berikutnya….kalian harus berjamaah. Waspadalah terhadap perpecahan
karena sesungguhnya setan bersama orang yang sendirian, dan dia (setan) akan
lebih jauh dari dua orang. Barangsiapa menginginkan bau wangi surge maka
hendaklah komit dengan jamaah.” (HR. Tirmidzi)
Demikian kaum muslimin tidak boleh sendirian, mereka harus membentuk
komunitas. Yaitu komunitas yang tidak ekstrim terhadap salah satu madzhab serta
mencela ataupun meninggalkan madzhab lain. Di bawah bendera kepemimpinan itulah
merka bekerja. Ketaatan mereka mendahului argument mereka, tsiqoh (percaya)
mereka mendahului prasangka mereka. Ketulusan jamaah tersebut tercermin dari sikap
inklusifitasnya yang terletak pada pemahaman mengenai Islam dan jamaah.
Kemanfaatan jamaah itu tidak hanya terhadap kader-kadernya saja tetapi
mengakses keluar menjadi “ruhun jadiidun tasri fii jasadil ummah” / jiwa baru yang
mengalir ke tubuh ummat. Sehingga menjadikan anggotanya menjadi jiwa baru
ditengah kehidupan umat manusia.
Kelurusan jamaah juga dapat dirasakan dari para kader dakwah yang memiliki
nilai-nilai kepemimpinan, bukannya melahirkan manusia-manusia yang ambisius
kepemimpinan. Sebaik-baiknya kader yang dilahirkan adalah yang memiliki daya
pengaruh kuat, bukan mudah terpengaruh. Juga bukan orang yang suka “ngaji” serta
asyik dengan hobi “ngaji” tersebut hingga larut dalah “kenikmatan”nya, namun kader

1
yang hidup di tengah ummat. Karena jamaah minal muslimin adalah bagian integral
dari umat, bekerja dan bergerak bersama umat dan hasil perjuangannya untuk umat.
Karena jamaah ini bukan jamaah kader tapi jamaah umat. Jamaah yang diterima dan
menjadi milik umat. Namun segala kemuliaan itu akan luntur manakala mereka
meninggalkan aspek besar/ mengenyampingkan yang disebut “etika jamaah”.
Meninggalkan etika ini berarti meninggalkan islam.
Iman dan akhlak adalah dua pilar utama dalam menegakan etika jamaah. Iman
yang sempurna dan akhlak yang mulia, kedua pilar ini merupakan dua sisi dalam satu
mata uang. Orang yang kehilangan akhlaknya akan kehilangan imannya dan
kesempurnaan akhlak akan menyempurnakan iman.
Masyarakat madani merupakan masyarakat etnis, yaitu masyarakat yang
menjunjung tinggi nilai-nilai etika/adab, masyarakat yang memiliki “tepo seliro”
(menjunjung tinggi nilai keagamaan). Syariat islam tidaklah semata-mata hanya fiqhul
ahkam, namun ada fiqhud da’wah yang todak boleh dilupakan. Sebab in dakwah adalah
mengajak manusia dari kejahiliyahan menuju cahaya islam. Oleh karena itu, jamaah
harus tetap dalam “pembinaan” terhadap etika bagi kadernya agar tercapai :
1. Kader/aktifis yang memiliki nurani yang tetap terjaga. Al-Quran mengistilahkan ini
dengan furqon (pembeda)
2. Kader/aktifis memiliki sensitivitas hati. Merasakan danmerespon dengan benar.
Mana yang haq dan bathil.
3. Kader/aktifis memiliki benteng ma’nawiyah (moral) yang kokoh. Berperilaku
dengan akhlak islami.
Mencampakan etika dalam dakwah bagi sebuah jamaah ibarat memberi
penyakit campak/cacar pada organ tubuh manusia. Hal itu memang menarik perhatian
banyak orang namun siapa yang akan suka dan siapa yang akan mendekat? Manusia
ramai membicarakannya bukan untuk memenuhi seruan tapi takut tertular olehnya,
mengusir penyakitnya bahkan orangnya.

BAB 1 Norma Jamaah Dakwah

Mengikuti manhaj pertengahan. Manhaj pertengahan merupakan cerminan


umat islam yang mengedepankan sikap tawazun (keseimbangan) dan keadilan. Syaikh
Yusuf Qardhawi berpendapat bahwa pertengahan merupakan pusat orbit yang
merupakan tempat kembali bagi pihak-pihak yang telah jauh menyimpang ke kiri dan
ke kanan. Ali bin Abi Thalib berkata, “Hendaklah kalian berpegang pada sikap
pertengahan. Dengan sikap ini orang yang tertinggal harus menyusul dan orang-orang
yang berlebihan harus kembali mundur.”
Jamaah dakwah yang Syumul bukan Darwisy. Jamaah darwisy yaitu jamaah
yang wawasan ibadahnya dibatasi dalam lingkup yang sempit. Menekankan aspek
ritual saja seperti, shalat, puasa dan dzikir saja.
Meninggalkan ‘ashobiyah. Syaikh Yusuf Qardhawi berpendapat bahwa fanatik
adalah sikap gembira atas kesalahan-kesalahan kelompok lain, disamping mengecam
kesalahan-kesalahan tersebut dan menabuh genderang atasnya. Tapi pada waktu yang
sama ia menutup mata dari kesalahan-kesalahan jamaahnya. Ashabiyah hizbiyah

2
(fanatisme partai) juga jelas membatalkan iman dan islam. Karena pada dasarnya
seorang muslim ber-intima’ (komitmen) bukan pada golongan/partai atau apapun
bentuknya itu tapi pada ummatnya. Seharusnya ta’ashub itu kepada kebenaran , kepada
hukum syar’i bukan kepada tandzim dan para tokohnya, da’wah itu lil islam bukan lit
tandzim. Intima’ (komitmen) terhadap Islam harus didahulukan.
Jamaah pembangun ukhuwah islamiyah. Ukhuwah bukanlah eratnya jabat
tangan dan senyum manis disuasana meriah bukan pula untaian kata indah kala gundah.
Ukhuwah menuntut interaksi seluruh unsur kemanusiaan : hati, akal dan jasad. Hasan
al Banna berkata, “Ukhuwah adalah terikatnya hati dan ruhani dengan ikatan aqidah.
Aqidah adalah sekuat-kuat dan semulia-mulianya ikatan. Ukhuwah adalah saudaranya
iman sedangkan perpecahan adalah saudaranya kekufuran. Kekuatan pertama adalah
kekuatan persatuan. Tidak ada persatuan tanpa cinta kasih.”
Ukhuwah menuntut interaksi seluruh unsur kemanusiaan yaitu hati, akal dan
jasad. Ketiganya dituntut untuk terlibat membersamai ke dalam bentuk-bentuk
ukhuwah.
Tingkatan ukhuwah yang paling rendah adalah berlapang dada terhadap saudaranya,
sedangkan tingkatan ukhuwah yang paling tinggi adalah itsar.
Tahap-tahap membangun ukhuwah :
- Ta’aruf (saling mengenal)
- Ta’aluf (saling menjalin ikatan hati)
- Tafahum (saling memahami)
- Takaful (saling memberi pertolongan)
· Cinta dan kasih sayang sebagai landasan
Kekuatan atas dasar cinta lebih dahsyat ketimbang kekuatan atas dasar struktur
Bukan jamaah takfir karena Juru da’wah bukanlah pemvonis. M. Rosyid Ridho
berkata “bekerjasamalah dalam hal-hal yang disepakati dan toleransilah dalam hal yang
diperselisihkan”.
· Jama’ah perindu surga
Tuntutan dan Konsekuensi
a. Faham merupakan tuntutan untuk akal, Maksud dari faham adalah tidak lagi
cenderung kepada ideologi lain, menghargai prinsip-prinsip jama’ah serta tugas-tugas
untuk menyampaikan fikroh-fikroh Islam.
b. Ikhlas, merupakan tuntutan untuk hati. Maksud dari ikhlas adalah hati tidak
tergoyah dengan iming-iming duniawi.
c. Wala’ (Loyalitas), merupakan tuntutan untuk amal. Tuntutan wala’ adalah agar
aktivitasnya jelas dan tampak secara lahiriyah sehingga menjadi teladan dan harapan
umat.

Ketiga diatas merupakan tuntutan dalam dimensi keutuhan manusia. Faham


adalah tuntutan akal. Ikhlas adalah tuntutan hati. Dan wala’ adalah tuntutan amal.
Bekerja dalam jamaah akan meminta keutuhan sebagai manusia tersebut untuk
dipersembahakan pada Islam. Tidak ada yang tersisa.

Adapun konsekuensi berjamaah;

3
a. Fina’ (melebur), melebur bersama dakwah dan dakwah pun melebur bersamanya.
Tak ada lagi aktivitasnya selain terbingkai dalam dakwah untuk dirinya dan orang
lain. Tidak lagi ragu, duduk-duduk, mencari keuntungan duniawi. Waktu, harta, cita-
cita bahkan jiwanya tercurah mengalir untuk jihad di jalan Allah. Kegembiraan dan
kegelisahannya menyatu dalam problematika dakwah. Keseriusan dan santainya tak
lepas dari jalan dakwah. Profesi dan potensi senantiasa mengiringi jalan dakwah.
b. Tadlhiyyah (pengorbanan), tercabutnya seluruh potensi dan kekayaan ke dalam
jamaah. Potensinya untuk mengembangkan dakwah dengan segala keuntungannya,
kekayaan materi dan jiwanya terimplementasi ke dalam perjalanan pertumbuhan
dakwah. Karena menjadi aktifis dakwah berarti menjuall dirinya kepada Tuhannya
dan kehidupannya sudah terjual habis diborong oleh-Nya.

BAB II Antara Pemimpin dan Anggota

Mendengar dan taat


Mendengar didahulukan sebelum taat. Sebab orang yang tidak mendengar tidak
diwajibkan untuk taat. Tidak dibenarkan melakukan ketaatan berdasarkan issue,
apalagi menyangkut strategi, sikap serta citra jamaah. Setelah klarifikasi dan
menemukan kejelasan serta penjelasan maka barulah ketaatan dilaksanakan.
Tak akan muncul ketaatan sebelum adanya tsiqah (kepercayaan). Tsiqah
tidaklah lahir karena dituntut pemimpinya. Tapi datang seiring dengan perasaan dan
pandangan seorang anggota jamaah atas kapasitas serta kearifan pemimpinnya.
Konsekuensi taat dapat kita tinjau dari kisah nabi Ibrahim dan Ismail. Juga
kisah nabi Nuh. Dimana ketaatan dilakukan dengan cepat tanggap. Tanpa ragu. Penuh
keyakinan. Seperti kata Hasan al Banna, “ Taat adalah menunaikan perintah dengan
serta merta, baik dalam keadaan sulit maupun mudah, saat bersemangat maupun
malas.” Kita harus taat pada pemimpin di saat susah maupun senang, bahkan saat
pemimpin terkesan kurang mempedulikan kita, kita harus tetap taat. Kecuali jika
memang pemimpin itu terlihat kekafirannya dan kita menemukan dalilnya dari Firman
Allah, maka kita boleh tidak taat kepada pemimpin. Namun perlu diperhatikan seorang
kader dakwah bahwa dalam menjalankan perintah harus dengan perhitungan yang
matang, tepat dan teliti.

Syura
Syura adalah syariat Islam tapi tidak bersifat mengikat (pimpinan). Sebab,
tujuan syura ialah untuk mendapatkan berbagai pandangan umat dan mencari
kemaslahatan yang mungkin hanya diketahui sebagian orang atau untuk memperoleh
kerelaan jiwa mereka.
Syura adalah jalan yang disyariatkan Allah untuk membuat dan mengambil
keputusan-keputusan pada setiap tingkatan. Syura berarti diskusi, menggodok berbagai
pandangan dalam urusan public atau persoalan yang berkaitan dengan kepentingan
bangsa dan Negara. Karena itu Islam memposisikan musyawarah pada tempat yang
agung. Al Quran juga mengabadikan syura sebagai salah satu surahnya. Al Quran

4
memandang sikap komitmen dan hukum terhadap syura sebagai salah satu kepribadian
Islam dan termasuk sifat mukmin sejati. QS. Asy-syuura:37-38. Al-Baqarah:233
Umar bin Khatab berkata, “Tidak ada kebaikan dalam suatu urusan yang
dilaksanakan tanpa musyawarah.” Al Fachrurazy juga mendukung dengan
pendapat bahwa syura hukumnya wajib, sebab ada perintah. Dan perintah menunjukan
makna wajib. Al-Bukhari mencatat, “Aku tidak melihat orang yang paling banyak
bermusyawarah dengan para sahabatnya kecuali Rasulullah SAW.”

Dr. Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buthi


Syuro harus tunduk kepada hukum Al-Qur’an, Sunnah dan ijma’. Syuro disyari’atkan
hanya untuk mendapat pandangan, bukan voting suara.
Hussain bin Muhammad bin Ali Jabir
Dalam Islam tidak ada syuro menyangkut masalah yang ada nashnya dan tidak ada
artinya pendapat mayoritas di hadapan nash.
Syaikh Jum’ah Amin Abdul Aziz
· Pemimpin tidak boleh mengikuti pendapatnya sendiri, dengan berdalih ia memiliki
pandangan ynag lebih luas.
· Memang dalam kesempatan tertentu ada musyawarah tertutup dan rahasia yang
dilakukan oleh para qiyadah jama’ah, hal ini tak mengapa. Namuntidak boleh ada
pertemuan oposisi di luar jama’ah.

BAB III Bekal Ikhtilaf


Berjamaah berarti penyeragaman atas segala hal. Namun justru dalam jamaah
itu akan terdapat keberagaman warna yang tersusun dan terbingkai dalam keutuhan
sebuah himpunan. Pada perjalanannya akan banyak sekali haling rintang, maka dalam
tantangannya himpunan jamaah itu dibekali kesabaran, ketaatan serta meninggalkan
kebiasaan berbantah-bantahan. QS. Al-Anfaal:46
Ikhtilaf ada dua.
Pertama, perselihan kontadiktif yang bermaksud pembangakangan.
Kedua, perbedaan cara pandang dan pikiran.
Perlu dipahami bahwa perpecahan umat bukanlah suatu keladziman. Perbedaan
pandangan dalam jamaah tidak dibenarkan dengan perpecahan, saling menyingkirkan,
fitnah atau adu domba. QS. Ali-Imran:105, Ar-Ruum:31-32. Dan ingatlah bahwa
persatuan umat adalah kewajiban dalam Islam.
Menurut Imam As-Subki ikhtilaf ada 3 :
1. Perbedaan dalam prinsip ketuhanan (Al-Ushulul Ilahiyah), merupakan ikhtilaf yang
masuk kategori bid’ah dan sesat.
2. Ikhtilaf dalam pendapat dan biang peperangan, hukumnya haram karena menyia-
nyiakan kepentingan umat.
3. Ikhtilaf dalam furu’iyah, bersepakat dalam masalah ini lebih utama daripada
berselisih.

5
Sebenarnya jika Allah berkehendak, Allah akan menurunkan AlQur’an dengan ayat-
ayat yang semuanya muhkamat, namun mengapa ada ayat yang mutasyabihat? Supaya
bisa menjadi pendorong akal untuk melakukan ijtihad.
· Sebab-sebab ikhtilaf

Sebab-sebab ikhtilaf
A. Ikhtilaf yang disebabkan karena faktor akhlaq
1. Kagum dengan pendapat sendiri
2. Suudzdzon terhadap yang lain dan menuduh tanpa bukti
3. Egois dan ittiba’ul hawaa
4. Bersikukuh dalam rangka ambisi kepemimpinan
5. Fanatisme golongan/madzhab/orang
6. Fanatisme negeri/partai/jama’ah/pemimpin/suku
B. Ikhtilaf karena faktor pemikiran
1. Karena perbedaan sudut pandang
2. Perbedaan penilaian terhadap ilmu pengetahuan tertentu seperti ilmu kalam, ilmu
tasawuf dll, ada yang menolak dan ada yang fanatik
3. Perbedaan penilaian terhadap sebagian peristiwa sejarah dan tokohnya
Landasan pemikiran dalam ikhtilaf :
1. Perbedaan dalam masalah furu’ adalah suatu kemestian bahkan merupakan rahmat
2. Mengikuti manhaj pertengahan
3. Mengutamakan muhkamat daripada mutasyabihat
4. Menelaah perbedaan pendapat para ulama
5. Tidak memastikan dan menolak dalam masalah ijtihadiyah
6. Membatasi pengertian dan istilah (ex:iman, kafir dsb)
7. Ihtimam (perhatian) terhadap problematika besar yang dihadapi umat
8. Bekerja sama dalam masalah yang disepakati
9. Toleransi dalam masalah yang diperselisihkan
10. Menahan diri dari orang yang berikrar Laa Ilaaha illallah
Landasan Moral :
1. Ikhlas
2. Meninggalkan fanatisme
3. Husnudzdzon terhadap yang lain
4. Tidak menyakiti
5. Hindari Jidal, dan masih banyak lagi.
· Faidah Ikhtilaf :
1. Memberikan banyak tsaqofah (wawasan ilmu pengetahuan)
2. Melatih daya nalar
3. Memberi banyak alternatif solusi bagi seseorang yang menhadapi sebuah fenomena
tertentu

6
BAB IV Kenampakan loyalitas
a. Konfirmatif terhadap pemimpin/struktur
b. Pemahaman terhadap intruksi. Tidak mesti seseorang yang menerima intruksi
kemudian dengan serta merta menjalankannya tanpa mempelajari maksud dan tujuan.
Ketahuilah dengan ilmu dan ilmu akan mengantarkan pada faham. Pemahaman
mendalam terhadap perintah akan melahirkan ketenangan dan penuuh perhitungan.
Ketidakpahaman akan menimbulkan indisipliner. Disiplin sendiri lahir dari sebuah
kefahaman dan dengan disiplin akan mendatangkan hasil yang optimal.
c. Sabar dalam mengemban amanah. Bersabar bukan hanya etika dalam berjamaah,
tapi juga prinsip dalam dakwah. Syaikh Jum’ah Amin Abdul Aziz dalam fiqih
da’wahnya menyampaikan perihal sabar sebagai berikut
a. Menahan diri dari mengeluh
b. Menahan lisan dari perkataan kotor dan adu domba
c. Menahan anggota badan dari perbuatan dzolim

d. Vitalitas dan dinamis, Perangi kedhaliman dengan mengurangi tingkat


kedhalimannya. Hal ini diperlukan agar seorang aktifis dakwah mampu menghadapi
rintangan tanpa harus menghindari
e. Memberikan nasihat

BAB V Amal Jama’i


Amal jama’I bukanlah konsep tanpa alasan atau latah. Bukan konsep mengada-
adakan sesuatu yang baru dalam agama. Bukan pula mengadopsi produk barat. Amal
jama’I merupaka sebuah kemestian sebuh jamaah. Ia adalah konsep seni mengelola
manusia sehingga menghasilkan karya sesuai tuntutan.
Jama’ah harus memiliki karakter :
· Berdiri atas pemahaman agama yang benar
· Wala’ kepada Allah, Rasul dan orang-orang beriman
· Punya qiyadah robbaniyah
· Membentuk generasi robbani
· Universal, mencakup seluruh sisi kehidupan
· Jama’ah alamiyah (internasional

Amal jama’i tak lain merupakan fitrah kauniyah. Tidaklah cukup kashalihan,
kezuhudan, akhlak baik seseorang untuk membangun peradaban. Tumbuhnya
peradaban bukan karena keberadaan pribadi-pribadi yang memiliki sifat tersebut. tapi
kepribadian mulia yang terbingkai dalam system mesin yang bekerja dan berkhidmat.
Yang menjadi penentu adalah adanya harakah jamaiyah dan keshalihan yang massif.
Sehingga menjadi arus yang kuat untuk menghalau kejahiliyahan. Harakah jamaah itu
harus melebur ditengah umat. Yakhtalitun walakin yatamayyazun, berbaur namun tetap
spesifi, tetap terjaga kepribadian Islamnya. Muta-akhorghairuh muta-akhirin,
mempengaruhi bukan dipengaruhi. Juga kebutuhan manusia dan perintah syariat.

7
Kaidah Ushul Fiqh
1. Maa laa yatimmul waajin illa bihi, fahuwa waajib. Jika tak terlaksana perkara yang
wajib itu sehinggga ada perkara lain yang membawa ia terlaksana, maka perkara lain
itu juga menjadi wajib.
2. Al hukmu bil wasiilah, hukmun bil maqaasid. Hukum bagi wasilah adalah hukum
bagi maksud/tujuan.
3. Al hariimu lahu hukmun maa huwa hariimun lahu. Suatu perkara yang menjadi
penjaga terhadap suatu hal itu hukumnya adalah sama denga yang dijaga.

Bekerja untuk menegakkan islam adalah sebuah kewajiban yang tidak bisa ditawar
lagi. Namun, islam tidak akan tegak jika tidak ada upaya kaum muslimin untuk
berjamaah. Sebab tak ada islam tanpa jamaah. Umar bin Khatab berkata, ‘Wahai
masyarakat Arab,bumi adalah bumi. Tidak ada islam kecuali dengan jamaah, tidak ada
jamaah kecuali dengan kepemimpinan, dan tidak ada kepemimpinan kecuali dengan
ketaatan.’
Bentuk amal jama’i :
A. Media pengikat persaudaraan (usroh). Untuk menyatukannya diperlukan rukun
ukhuwah yaitu ta’aruf, tafahum dan takaful.
Usroh harus mampu memenuhi kebutuhan anggota, meliputi kebutuhan siraman
ruhani, kebutuhan pendalaman fikroh dan kebutuhan ilmu-ilmu da’wah.
Tugas usroh adalah mentarbiyah kader untuk merealisir cita-cita tegaknya Islam,
upaya yang diperankan usroh adalah menciptakan opini umum Islami (ra’yul ‘aam Al-
Islami).
Tugas usroh secara umum :
- Mempersiapkan pemimpin robbani yang dapat membimbing umat ke arah perubahan.
- Melahirkan generasi robbani (jail robbani).
B. Struktur yang rapi (tandzim)

Produk dakwah dalam amal jama’i:


a. Lahirnya seorang muslim yang senantiasa memperbaiki diri sehingga menjadi
muslim yang memenuhi 10 muwashofat.
b. Terbentuknya keluarga muslim sebagai sebuah miniatur masyarakat Islam.
c. Lahirnya kader-kader dai yang aktif dan masif.
d. Pembebasan tanah air dari kekuasaan asing.
e. Berperan dalam reformasi pemerintahan sehingga menjadi pemerintahan yang
islami, adil dan khidmat dalam melayani untuk kemaslahatan rakyat.
f. Usaha mempersiapkan aset negeri untuk kemaslahatan kaum muslimin dan seluruh
warganya.
g. Penegakan kepemimpinan dunia dengan penyebaran dakwah islami ke seluruh
negeri.

Hasan al Banna yang mencita-citakan akan kesatuan gerakan dakwah tersebut dengan
kalimat beliau dalam muktamar ke enam. Jika pada muktamar kelima berorientasi ke
dalam maka pada muktamar ke enam beliau berorientasi ke luar. “Allah SWT telah

8
menunjuki kita khitthah yang ideal, disaat kita mencari kebenaran di dalam uslub yang
lunak, yang menenangkan hati dan menentramkan pikiran. Kita yakin seyakin-
yakinnya bahwa nanti akan datang suatu hari dimana semua gelar-gelar formal,
sebutan, perbedaan bentuk dan hambatan pandangan akan hilang. Sehingga terciptalah
kesatuan operasional yang seluruh barisan tentara Muhammad terhimpun di dalamnya.
Tidak ada lagi polarisasi dan pengkotak-kotakan atas umat, semua menjadi Muslimin
yang bersaudara.” QS. Al-Maidah:56, Ar-Ruum:32, Ali-Imran:103

Demikian jelas ayat-ayat Allah berbicara tentang kesatuan umat. Menganggap bahwa
umat Islam—gerakan Islam—tidak akan bersatu adalah anggapan yang sangat bathil.
Bermakna melecehkan kekuatan dan kemuliaan Al-Quran. Dan gerakan yang tidak
punya kemauan untuk kea rah sana adalah gerakan bathil, setidaknya gerakan yang
belum mendapat hidayah Allah SWT.
Beberapa nilai lebih dari amal jama’i :
- Tampak keseriusan amal
- Adanya pembagian amal dan kewajiban
- Pembatasan wewenang
- Pengaturan mekanisme hubungan interpersonal
- Terbebas dari perebutan kepemimpinan
- Terpancarnya ketaatan dalam diri kader da’wah
Bahaya yang mengancam amal jama’i bisa dari faktor internal dan faktor eksternal.
Faktor internal misalnya : kepemimpinan yang tidak qualified, lemahnya tarbiyah,
keputusan yang kontroversial, su’ul fahmi bil manhaj, jidal, penugasan yang tidak
merata dll. Sedangkan faktor eksternal diantaranya adalah adanya fitnah, tersusupi
musuh, tekanan gerakan agitasi, tekanan lingkungan, keluarga dan sahabat.
Amal Jama’i Kulli (Makro)
Hendaknya da’wah tidak hanya dirasakan oleh para harakiyyuun (aktivis-aktivis
da’wah) tapi juga bisa dirasakan oleh seluruh umat manusia sehingga Islam bisa
menjadi rohmatan lil ‘alamin, untuk itu diperlukan koordinasi dan persatuan dari
berbagai macam gerakan da’wah.

BAB VI
Wa’yul Amni wa Siyasi (Kesadaran akan Keamanan dan Politik)
QS. An-Nisa’:71, 102. Jawaban Rasulullah SAW pada seorang tua yang dijumpainya
menjelang perang Badar, “Dari mana kalian?” Beliau menjawab, “Dari Air.” Dalam
kisah ashabul Ukhdud, Rahib Bani Israil berkata pada pemuda shalih, “Jika engkau
mendapatkan ujian(tertangkap), jangan engkau tunjukan namaku.” (Dalilul Falihien
1:155)
Sikap jujur, husnudzan, kearifan dalam berjamaah tidaklah cukup untuk menjaga
kemaslahatan dakwahnya. Tanpa dibekali dengan wa’yul amni wa siyasi, sebuah
kejujuran dan berbaik sangka kadang justru mendatangkan mudharat.

9
Da’wah memang pada prinsipnya terbuka, namun ada kalanya kita harus menggunakan
metode sirriyyatudda’wah. Pembenaran terhadap da’wah sirriyyah jika diperhitungkan
kemungkinan timbulnya fitnah karena munculnya perkara yang umat belum akrab,
sementara untuk menyalurkan/menyatakan melalui lembaga belum mungkin. Sikap
jujur dan husnudzdzon tidak cukup untuk menjaga kemaslahatan da’wah tanpa dibekali
wa’yul amni was siyasi, terkadang justru kejujuran mendatangkan mudhorot karena
musuh memanfaatkan kejujuran objek sasarannya untuk memporak-porandakan
struktur di dalamnya.

Pandangan universal mencakup tsaqafah asiyasah (wawasan politik), nilai-nilai,


orientasi politik akan mendidik para anggota jamaah untuk mengerti situasi dan kondisi
serta problematika umat untuk kemudian mampu memberikan solusi, mengambil
keputusan ataupun menentukan sikap.

Cita-cita dakwah bukanlah sejauh umur para pelakunya, namun dakwah merupakan
kerja sinergis berkesinambungan antar generasi ke generasi berikutnya. Tidak boleh
ada keterputusan gerak langkahnya. Karena dakwah bukan hanya penyelamatan para
penyerunya saja, namun yang paling penting adalah menyelamatkan risalah dakwah
agar tetap eksis berkesinambungan. Jika dakwah ini mati, maka risalah Islam pun akan
terhenti dan bencana pun tidak akan terhindarkan lagi.
Beberapa pembenaran terhadap prinsip sirriyyah :
- Ketika permulaan da’wah
- Ketika diperhitungkan kemungkinan timbulnya fitnah karena munculnya perkara
yang masyarakat belum akrab.
- Ketika memulai pembentukan jama’ah
- Ketika memperbincangkan penataan jama’ah da’wah
- Ketika tidak dimungkinkan menyalurkan melalui wajihah

BAB VII Saatnya Berpolitik


Jika dakwah tak mampu masuk kancah hukum dan politik maka akan mandul di bawah
hukum serta menjadi bahan permainan politik. Jika politik sudah menjadi panglima,
maka rusaklah agama. QS. Ali-Imran:110, Al-Maidah:51

Dengan meyakini syumuliyatul islam, bahwa ajaran islam adalah lengkap, integral dan
keprehensif, maka sebagaimana yang dinyatakan oleh Syaikh Yusuf Qardhawi bahwa,
“Islam yang benar seperti yang disyariatkan Allah, tidak akan menjadi seperti itu
kecuali dia berwawasan politik. Jika engkau melepaskan Islam dari urusan politik,
berarti engkau menjadikan agama lain bisa agama Budha, Nashrani atau lainnya.”
Siyasah dalam Dakwah, merupakan bagian dari tahapan aplikasi dakwah ketika
menyelesaikan masalah umat yang bersifat global, strategis dan sinergis.
Dakwah dalam Siyasah. Berarti komitmen moral dan etika dalam politik sehingga
menempatkan dakwah tetap sebagai panglimanya.

10
Dengan masuknya dakwah ke orbit siyasah akan terpampang lahan dakwah yang
sangat luas dan semakin berat dan menuntut perencanaan dan pengelolaan yang tidak
mudah. Menggunakan paradigm skala pioritas akan jelas arah sasaran dakwah yaitu
lembaga dan rakyat/masyarakat pada pioritas utama.

BAB VIII Peran Muslimah di marhalah siyasah


Keterlibatan muslimah dalam kepartaian dapat dimengerti selama partai tersebut
tetap menjadi da’wah sebagai panglimanya. Peran mereka didasarkan pada maslahat
yang riil dan kebutuhan yang mendesak dengan memperhatikan beberapa hal sebagai
berikut :
1. Terjaganya fitrah dan tugas asasi sebagai Muslimah dalam rumah tangga demi
terwujudnya keluarga sakinah.

dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah
laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat
dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak
menghilangkan dosa dari kamu, Hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-
bersihnya. (Al-Ahzab :33)

Menurut Yusuf Qhardawi ayat ini bukanlah larangan untuk keluar rumah bagi seluruh
Muslimah, karena beberapa hal :
a. Ayat ini khusus untuk keluarga Nabi
b. Meskipun sudah ada ayat ini, Aisyah tetap keluar rumah dan ikut bergabung dalam
perang Jamal sebagai reaksi untuk memenuhi kewajiban agama
c. Kondisi mengharuskan wanita berperan dalam bidang kehidupan seperti sekolah,
perguruan tinggi, bidan dan sebagainya dengan beberapa syarat yang harus dipenuhi.
d. Peran wanita sekuler dalam pemilu dan ambisi mereka dalam kepemimpinan,
pemegang kendali peranan wanita secara umum mengharuskan Muslimah yang komit
untuk terjun dalam Pemilu.
e. Menahan wanita dalam rumah tidak dikenal kecuali dalam jangka waktu tertentu,
sebagai hukuman atas kekejian mereka. Allah Berfirman :
dan (terhadap) Para wanita yang mengerjakan perbuatan keji , hendaklah ada
empat orang saksi diantara kamu (yang menyaksikannya). kemudian apabila
mereka telah memberi persaksian, Maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu)
dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan
lain kepadanya. (An-Nisa’ : 15)
f. Menjaga adab Islami, seperti Ghadhdhul Bashor, berpakaian syar’i, iltizam dengan
adab komunikasi khususnya ikhwan-akhwat, menghiasi diri dengan sifat malu,
menghindari khalwat dan melakukan pertemuan sebatas kebutuhan.

11
BAB IX (Berpartisipasi)
Pilihan terhadap musyarakah bukanlah sebuah target kemenangan, tapi sebagai
perantara bagi kemaslahatan dakwah islamiyah yang lebih luas.

Peran dakwah
a. Menyampaikan
b. Menyadarkan
c. Mengarahkan
d. Membimbing
e. Melindungi

Musyarokah adalah bergabung dengan beberapa elemen yang memiliki


kesamaan visi, berserikat dengan elemen-elemen terkuat (berpengaruh), berpartisipasi
dengan institusi legal formal terkuat (negara).
Manfaat musyarokah :
1. Mendapatkan payung da’wah. Gunanya untuk melindungi keberlangsungan da’wah
dari tekanan, pengkerdilan dan pukulan oleh pihak yang merasa terancam dengan
pertumbuhan da’wah. Rasulullah dalam perjalanan da’wahnya mencari perlindungan
dengan beberapa jalan diantaranya hijrah ke Habasyah, memanfaatkan undang-undang
jahiliyah yang menghargai perlindungan pihak yang kuat kepada pihak yang lemah.
Beliau memanfaatkan perlindungan Abu Thalib dari intimidasi musyrikin quraisy.
2. Penyebaran kader. Dengan memanfaatkan jaringan yang tersedia memungkinkan
kader da’wah menyebar ke seluruh wilayah jaringan tersebut dan dapat bekerja dengan
aman dan nyaman.
3. Adanya daya ekspansi.
4. Adanya dinamika da’wah.
5. Memanfaatkan potensi internal dan eksternal.
6. Pengalaman pengelolaan da’wah untuk kepentingan umat.
7. Memperkuat dukungan terhadap da’wah.

BAB X Tidak Berambisi Meraih Kepemimpinan


Nabi pernah bersabda : “Demi Allah, aku tidak akan mengangkat pejabat karena
memintanya atau berambisi dengan jabatan itu.” (H.R Bukhari dan Muslim)

Sabda Nabi kepada Abdurrahman bin Samrah : “Yaa Abdurrahman, janganlah engkau
meminta kepemimpinan sebab apabila engkau diberi tentang suatu masalah engkau
akan terasa dibebani dan bila tidak diberinya tentang suatu masalah maka hal itu akan
menolongmu.” (H.R Bukhari)

Nasihat Dr. Sayyid Muhammad Nuh


Ambisi meraih kedudukan dalam istilah Dr. Sayyid Muhammad Nuh disebut
At tatholi’u ila ash shadaarah wa thalabu arriyaadah yang berarti kehendak seseorang

12
untuk mencari segalanya lebih tinggi atau lebih utama dari orang lain. Shadarah atau
riyaadah berarti keinginan hati untuk menjadi pemimpin secara terang-terangan dan
berlomba untuk mendapatkannya.
Menurut Beliau hal ini merupakan penyakit yang dapat menimpa aktivis da’wah,
mengapa disebut penyakit? Karena ada 3 kemungkinan :
1. Terdorong untuk menggapai keni’matan psikologis, yaitu kemungkinan akan adanya
hasrat untuk lepas dari ikatan dan aturan orang lain.
2. Terdorong untuk meraih keni’matan materialis.
3. Kemungkinan dirinya sedang lalai.
Kepemimpinan bukanlah posisi untuk dijadikan ambisi apalagi sesuatu yang
diperebutkan. Konsekuensi seseorang menjadi pemimpin adalah rela mengorbankan
segala sesuatu yang menjadi kesenangannya.
Nasihat Imam Al-Ghazali
Perlu diketahui bahwa hati yang dikuasai oleh cinta kedudukan maka cita-citanya akan
terbatas pada pertimbangan makhluq dan selalu mengharap pamrih.
Karakter Seorang Pemimpin
Sistem demokrasi sangat tergantung kepada siapa ‘para pemainnya’. Jika karakter
mereka sudah terbingkai dengan nilai-nilai Islam serta ada mekanisme kontrol nilai
Islam untuk itu, maka ada harapan baik di perjalanannya. Jika tidak, maka demokrasi
akan mengundang machia’vellian, politik menghalalkan segala cara.
Ada i’tibar (pelajaran) dari Nabi Yusuf yaitu ketika ia menghendaki jabatan
sebagaimana dalam surat Yusuf : 55 yang artinya :
berkata Yusuf: "Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir); Sesungguhnya aku
adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan".
Namun kondisi yang berlaku di masyarakat Mesir saat itu berbeda dengan komunitas
sebuah jama’ah. Yusuf berani mengajukan diri karena beliau melihat Negara Mesir
harus diselamatkan sementara Allah telah memberinya kemampuan dan pemahaman
untuk mengadakan perubahan di Mesir.
Demikianlah seharusnnya gerak hati seorang da’i untuk senantiasa melihat peluang-
peluang strategis untuk memulai suatu perubahan.
Karakter yang harus ada dalam diri pemimpin :
1. ‘Azizun ‘alaihi maa ‘anittum (berat terasa olehnya penderitaanmu)
Pemimpin harus bisa merasakan penderitaan umat.
2. Hariishun ‘alaikum (sangat menginginkan –keimanan dan keselamatan- bagimu)
3. Raufur rahiim (kasih sayang dan lemah lembut)
Ambisi terhadap kedudukan yang digerakkan menuju perubahan umat agar lebih dekat
lagi dengan keridhaanNya merupakan obsessivitas seorang da’i yang dibenarkan. Jika
dalam jama’ah ada yang berambisi meraih kedudukan maka harus memperhatikan hal-
hal berikut :
- Apakah kulturnya mendukung untuk itu sehingga tidak menimbulkan fitnah
- Apakah dirinya merupakan sosok yang menjadi pilihan umat ataukah sebaliknya
- Apakah sudah membangun komunikasi dan konsultasi dengan jama’ah

13
BAB XI Masalah Senior Dan Yunior
Shahabat adalah orang yang hidup sezaman dengan Rasulullah SAW, bertemu
dengannya, serta beragama Islam, pernah berada dalam majelisnya walaupun seketika
dan meninggal dalam keadaan Islam.
Ibnu Said dalam kitabnya yang berjudul “Ath Thabaqat Al-Kubra” membagi sahabat
dalam 5 peringkat yaitu
1. Sahabat yang mengikuti perang Badar dari kalangan Muhajirin
2. Sahabat yang mengikuti perang Badar dari kalangan Anshar
3. Yang memeluk Islam dari kalangan Muhajirin
4. Yang memeluk Islam dari kalangan Anshar
5. Yang memeluk Islam sebelum dan sesudah Fathu Makkah dst.
Sedangkan Al-Hakim An-Naisaburi dalam kitabnya “Ma’rifah Ulumul Hadits”
membagi sahabat menjadi 12 peringkat :
1. Kaum yang telah memeluk Islam di Makkah
2. Sahabat-sahabat Daarun Nadwah
3. Mereka yang hijrah ke Habasyah
4. Mereka yang menyertai perjanjian Aqabah pertama
5. Mereka yang menyertai perjanjian Aqabah kedua
6. Orang pertama dari kalangan Muhajirin yang sampai kepada Rasulullah di Quba’
sebelum mereka memasuki Madinah
7. Mereka yang mengikuti perang Badar
8. Mereka yang berhijrah di antara perang Badar dan Hudaibiyah
9. Mereka yang menyertai perjanjian Ridwan
10. Orang yang berhijrah di antara perjanjian Hudaibiyah dan Fathu Makkah
11. Orang yang masuk Islam semasa Fathu Makkah
12. Bayi dan anak-anak yang pernah melihat Rasulullah pada saat Fathu Makkah, semasa
Haji Wada’ dsb.
Orang-orang yang telah masuk Islam terlebih dahulu seperti Khadijah, Abu Bakar, Ali
bin Abi Thalib dsb mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap perkembangan
da’wah Islam di kemudian hari di kalangan bangsa Arab. Hal ini menegaskan bahwa
orang-orang yang terlebih dahulu berperan, ataupun merasakan suatu peristiwa
memiliki keutamaan tersendiri dalam kapasitas mereka. Namun demikian antara yang
dahulu dan sekarang tetap terangkum dalam satu kesatuan dan saling tolong menolong.
Berkenaan dengan kultur jama’ah sekarang sudah tentu di dalamnya ada unsur
pendahulu dan kader yang datang kemudian, ada senior dan ada yunior. Ada
sekelompok orang yang menjadi kader perintis dan melakukan pembinaan serta
kaderisasi. Mereka melakukannya terlebih dahulu hingga suatu saat lahir generasi
penerus da’wah. Para pendahulu tersebut berharap agar generasi mendatangnya
menjadi lebih baik, sebab jika tidak berarti proses kaderisasi yang dilakukan para
pendahulu dinyatakan gagal. Generasi baru harus mampu mengemban amanah da’wah
dan berperan menjadi kader pemimpin, memiliki wadzifah tandzimiyah (amanah
struktural) dan kemungkinan menjadi qiyadah bagi jama’ahnya.

14
Sebenarnya dalam sebuah jama’ah tidak membeda-bedakan antara senior-yunior.
Adanya perbedaan tersebut hanya dipakai saat diperlukan seperti untuk urusan yang
sifatnya administratif seperti pendataan atau dalam peran-peran taujih dsb. Sebab para
senior pasti memiliki pengalaman yang tidak dimiliki oleh generasi baru. Dengan
demikian barokah ilmu akan mengalir ke semua elemen da’wah.

BAB XII Asas Kepatutan


Kepatutan Seorang Pemimpin
Kepatutan seorang pemimpin adalah penjagaan sikap dan perilaku yang terekspresikan
dalam lisan, tulisan, tindakan maupun penampilan untuk menjaga ‘izzah dan
kehormatannya demi menjaga citra jama’ah.
Kepatutan dalam Bersikap
Seorang pemimpin haruslah hati-hati dan memperhatikan gerak langkahnya dalam
bersikap agar tidak menorehkan noda buruk pada jama’ah yang dipimpinnya.
Pemimpin haruslah bersikap arif dan bijaksana ketika mendapat saran dan kritik dari
anggota jama’ah, masyarakat umum, bahkan lawan sekalipun. Jika kritik itu
menyinggung perasaan maka pemimpin harus tetap bisa bersikap dingin agar ‘izzah
jama’ah bisa terjaga. Karena terkadang lawan memang sengaja memancing kemarahan
pemimpin supaya terjebak hingga menyeret kemarahan kader dan anggotanya untuk
berikutnya menjadi target bulan-bulanan musuh-musuh da’wah.
Patutkah Jama’ah mengeluarkan kutukan?
Jama’ah yang aktif berda’wah akan menerima tribulasi dari lawan-lawannya. Hal ini
telah dialami oleh Rasulullah sejak awal da’wah beliau. Para musuh Nabi mengejek,
menertawakan, menyebut beliau sebagai tukang sihir dan pendusta, dianggap sebagai
orang gila dsb. Para sahabatpun demikian, mereka diolok-olok, disiksa dan ditindas.
Jika gerakan-gerakan kontra da’wah sudah demikian, telah melampaui batas kewajaran
maka mereka patut mendapat perlawanan ataupun pelajaran yang sepatutnya pula
sesuai dengan batas kemampuan kita.
Rasulullah SAW pernah melakukan do’a kutukan kepada seorang penentang da’wah
yang ekstrim dan bengis yaitu Utbah bin Abu Lahab. Rasulullah pernah berdo’a “Ya
Allah, buatlah dia dilahap seekor anjing dari ciptaan-Mu”. Dan suatu ketika doa
Rasulullah dikabulkan oleh Allah, Utbah diterkam oleh seekor singa dan akhirnya
meninggal.
Ketika gerakan orang yang memusuhi kaum Muslimin menindas melampaui kadar
batas dan harus dihentikan sementara para da’i tidak memiliki kekuatan untuk
melakukan perubahan maka statement kecaman harus segera dikeluarkan baik itu
secara pribadi maupun melalui lembaga (jama’ah). Hal ini diperlukan agar terang dan
jelas mana yang haq dan mana yang batil, bahkan juga untuk memberi nilai
(judgement) buruk terhadap sebuah kedzoliman. Dengan demikian manusia akan dapat
memilih dan memilah. Jika hal tersebut tidak dilakukan maka kedzoliman akan terus
eksis bahkan sangat mungkin akan mendapat dukungan dari masyarakat luas.

15
Poligami
Ta’adud atau poligami merupakan bagian dari syari’ah Islam, sunnah para Nabi dan
Rasul. Syari’ah Islam membatasinya sampai empat. Ta’adud memiliki banyak hikmah,
di antaranya merupakan salah satu solusi bagi penyelesaian problematika rumah tangga
dan sosial.
Syarat Ta’adud :
1. Mampu (Istitho’ah), mampu memberi nafkah lahir dan batin. Rasulullah SAW
bersabda,
“Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kalian mampu menikah maka menikahlah,
karena dengannya lebih dapat menundukkan pandangan dan menjaga kesucian
kemaluan. Barang siapa belum mampu maka hendaknya ia berpuasa karena puasa itu
penangkal (syahwat)”. (H.R Bukhari dan Muslim)
2. Adil
Maksud adil disini adalah adil dalam memberi nafkah lahir dan adil dalam pembagian
malam serta adil dalam bersikap.
Etika poligami
1. Meluruskan niat
Pernikahan seorang kader da’wah harus memperhatikan kemaslahatan da’wahnya
karena pernikahan merupakan salah satu sarana da’wah yang sangat efektif untuk
membina generasi yang sholih.
2. Bermusyawarah dengan ‘keluarga da’wah’
“ dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan
shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan
mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka.” (Asy-
Syura : 38)
3. Bermusyawarah dengan keluarga
4. Memberikan keteladanan

BAB XIII Aspek Ketimpangan Sikap Dan Perilaku


Ketimpangan yang dimaksud di sini adalah sikap yang tidak seimbang, hanya
cenderung pada hal-hal yang disukai. Akibatnya mengganggu objek kerja da’wah
maupun interaksinya dengan jama’ah, bahkan dapat menghambat serta menggagalkan
kinerja yang sudah dirancang.
Bentuk-bentuk ketimpangan sikap dan perilaku :
1. Aktivis da’wah yang berpenampilan kumuh
Juru da’wah ibarat penjual yang menawarkan dagangan. Jika cara menyajikan dan
penyajinya mampu menampilkan secara profesional maka dapat menyedot pembeli
atau paling tidak ada kesan positif yang didapat.
Mengambil pelajaran dari hadits riwayat Muslim tentang kedatangan Jibril kepada
Nabi untuk mengajarkan para sahabat tentang agama, dimana saat itu Jibril datang
dengan rapi dan berpenampilan baik, maka semestinya aktivis da’wah dalam
menyampaikan pesan-pesan Islam pun harus demikian, memperhatikan tata krama dan
penampilannya.

16
2. Aktivis da’wah yang pelupa
Penyebab lupa adalah kurangnya ihtimam (perhatian) terhadap perkara yang
dihadapinya. Manusia memang punya sifat salah dan lupa. Namun akan sulit ditolerir
jika lupa tersebut berdampak kepada umat dan mengundang banyak kritik. Sehingga
sifatnya bukan lagi lupa tetapi lalai karena banyak pihak yang terdzolimi.
3. Kecenderungan yang mengabaikan aspek lain
Contoh fenomena : seseorang menghabiskan waktunya di da’wah kampus, namun tidak
mempersiapkan tahapan da’wah ke depannya pasca da’wah kampus yaitu da’wah di
jenjang pernikahan misalnya. Padahal ketika sudah menikah nanti banyak aspek
da’wah yang harus ditangani, yaitu berbakti kepada suami. Tetangga dan masyarakat
di sekitarnya juga merupakan lahan da’wah.
Fenomena lainnya : keseriusan yang menghilangkan keramahan, kesibukan yang
mengabaikan kerapian diri, ketekunan dalam tugas da’wah yang mengabaikan
ma’isyah, memilih-milih tugas dan mengabaikan amanah dsb.
4. Aktivis da’wah yang tempramental
Tempramental (infi’aliyah) adalah perasaan yang mudah sekali tergugah sebagai reaksi
atas suatu masalah yang menimpanya.
5. Aktivis da’wah yang angkuh dan bersikap keras
6. Semangat di tingkat teknis dengan meninggalkan substansi
Para da’i ibarat petani yang menabur benih di ladangnya. Para petani semestinya
menjaga dan merawat benih tersebut dengan penuh kesabaran. Ketergesa-gesaan justru
akan membuat tanaman tersebut mati sebelum waktunya. Begitu pula da’wah, menebar
da’wah tidak boleh diiringi dengan janji-janji muluk yang akhirnya berujung pada
ketertipuan. Janji-janji muluk tentang kemenangan Islam atas umat lain menjadi tidak
pada tempatnya jika tak diiringi dengan metode-metode pencapaian yang tadarruj.
Sebab syari’at Islam bukanlah barang yang bisa dikredit, artinya bersenang-senang
sekarang dan bersusah-susah kemudian. Ingin menegakkan syari’at Islam bukan
dengan gembar-gembor untuk segera memberlakukan syari’at dan khilafah Islamiyah
sebagai solusi karena hal ini justru menyalahi sunnatullah. Harus ada langkah-langkah
tarbiyah yang jelas dan tertata.
7. Munculnya sikap like dan dislike
8. Ketimpangan dalam Ibadah
Contoh sikap-sikap juz’iyah :
- Golongan orang yang menguasai ilmu syariah dan ‘aqliyah (filsafat). Mereka
menekuni bidang tersebut namun masih saja bermaksiat dan tidak mengamalkan
berbagai ketaatan.
- Orang yang menguasai ilmu dan amal, senantiasa melakukan ketaatan dzahir tetapi
mengabaikan aspek hati dari sifat tercela seperti sombong, riya’ dsb.
- Sikap yang mengabaikan berbagai yang fardhu dan malah sibuk dengan berbagai
nafilah dan keutamaan hingga melampaui batas.
- Rajin berpuasa namun tidak manjaga hati dari rasa dengki, tak menjaga lisan dari
menggunjing dsb.
- Rajin ber-amar ma’ruf nahi mungkar namun melupakan dirinya sendiri.
9. Ambisi popularitas

17
Perkara yang dicela dalam amal Islami adalah mencari popularitas. Namun jika
popularitas itu muncul dan mengalir sendirinya secara alamiyah maka tidaklah
mengapa. Popularitas yang demikian justru dibenarkan karena ketenaran dalam
kebaikan akan menjadi keteladanan bagi orang banyak.

18

Anda mungkin juga menyukai