Anda di halaman 1dari 4

A.

Latar Belakang

Krisis moneter yang telah meruntuhkan relasi sosial ekonomi memaksa


masyarakat indonesia untuk saling berebut lapangan kerja yang tidak lagi mampu
memenuhi kebutuan kesejahteraan hidup.Sudah tentu bahwa tuntutan hidup sejahtera
merupakan tuntutan universal bagi seluruh manusia karena menyangkut kebutuhan
biologis untuk menyambung hidup berupa makan,minum,berteduh,dan
berpakaian.Karena itulah,ketika kebutuhan dan kesempatan menadapatkan tuntunan
kebutuhan hidup tidak berimbang,maka yang muncul di tengah masyarakat adalah
konflik sosial akibat persaingan dan frustasi yang mengarah pada agresi.

Persaingan memperebutkan lapangan kerja pada akhirnya memilih dua


golongan besar di dalam masyarakat ,yaitu masyarakat berijazah formal dan berijazah
non-formal atau lebih identik dengan masyarakat berijazah dan tidak berijazah.Dari
sini,kalangan pesantren mendapatkan tantangan besar karena sangat minim bisa
memperoleh lapangan kerja di dalam sektor industri modern karena bekal dan
kemampuan yang di miliki hanya terbatas pada pemahaman dogma agama dengan
sedikit bekal kemampuan praktis lapangan kerja.

Semula pesantren di kenal sebagai lembaga pendidikan islam yang di


pergunakan sebagai tempat untuk menyebarkan agama islam dan mendalami ajaran
ajarannya,yang tumbuh di masyarakat dengan sistem asrama,sekaligus bersifat
independen dalam segala hal.Sejarah juga membuktikan bahwa pesantren dengan
tradisi-tradisi warisan budaya lokal mampu bertahan dari segala deraan
zaman.Setidaknya pesantren dapat bertahan dengan kokoh dalam kepungan sistem
pendidikan aristokratis di era penjajahan sehingga memunculkan sistem pendidikan
rakyat yang murah dan demokratis.Maka menjadi kesepakatan umum bahwa pesantren
juga merupakan pusat perubahan di bidang pendidikan,politik budaya,sosial,keagamaan.

Melalui peran yang di sepakati itu ,pesantren sangat jarang hadir dalam
pembahasan peningkatan ekonomi,bahkan pesantren seolah menjadi beban ekonomi
tersendiri terutama menyangkut hubungan antara penyediaan lapangan kerja dengan
tenaga kerja santri.Hal demikian dapat di tunjukkan pada masa sekarang,ketika
tantangan di era modern dan gelombang globalisasi yang menerjang semua sektor
kehidupan semakin akut,minat masyarakat untuk masuk ke dunia pesantren mengalami
penurunan ,termasuk juga lembaga pendidikan formal di bawah pengelolaan
pesantren.Atas dasar itu,pesantren mesti tetap konsisten menjaga nilai-nilai dan jati
dirinya terhadap khazanahkeilmuan yang dimiliki dalam kontekstualisasi dengan
peradaban modern.

Dalam konteks ekonomi, pesantren harus mampu berbicara banyak tentang


konsep-konsepnya yang cenderung bersifat mu’amalah untuk menjadi konsep aplikasi
yang bersifat iqtishadiyyah (ekonomi).Kedudukan semacam ini membawa akibat untuk
memanfaatkan sebesar-besarnya potensi pesantren yang begitu besar.Di zaman
perkembangang awal islam,di era kerajaan islam Indonesia,di masa perjuangan
melawan koloanialisme,sampai pada fase revolusi kemerdekaan,pesantren sangat jelas
menunjukkan sebagai agen perubahan sosial berdasarkan tantangan zamannya.

Berdasarkan teori boeke sebagaimana di kutip M.Dawam Rahardjo mengenai


‘’masyarakat ganda’’(dual society) yang berlaku dalam kehidupan ekonomi dinegara-
negara berkembang semacam Indonesia,masyarakat akan berkembang menuju arah taraf
sektor modern dan sektor tradisional.Dalam kenyataannya ,kalangan pesantren yang
nampaknya mendominasi di sektor tradisional karena terdorong nilai-nilai
kepasrahan,keikhlasan,dan tiadanya inovasi pemikiran untuk merubah keadaan dalam
sektor ekonomi karena berkembangnya anggapan bahwa bergelut disektor ekonomi
akan menjauhkan diri dari ketakwaan.

Untuk sekadar membuka memori awal perkembangan islam di tanah


kelahirannya,timur tengah,perlu di pahami bahwa alam,fikiran,dan media penyebaran
islam adalah identik dengan dunia perdagangan atau aspek transaksi ekonomi
lainnya.muhammad bin abdullah merupakan pengusaha arab yang telah berdagang di
negara negara sekitar mekkah , kota kelahiran sekaligus juga menjadi kota pusat
perniagaan . bukti pesatnya arus perdagangan dimasa pra-kenabian Muhammad salah
satunya ditunjukkan dengan pernah singgahnya beliau bersama rombongan pamannya ,
abu tholib, menuju syam , suriah, sampai bertemu dengan pendeta buhaira yang
mengabarkan awal pertanda kenabian. Pada masa dewasa, muhammad juga menjadi
eksportir dari barang dagangan milik konglomerat wanita bersama khadijah binti
kuwailid .

Aspek perdagangan juga merambah pada islam di asia tenggara . sekor


perdagangan telah memunculkan islam sebagai agama yang dominan di asia tenggara
dan merupakan contoh yang sangat baik tentang sebuah penyebaran agama secara
besar-besaran sejak zaman pramodern sampai masa neomodern saat ini . kasus
perluasan dominansi islam di nusantara misalnya,snagat berbeda dengan penyebaran
agama lain dimanapun karena islam di nusantara berkembang secara alami dan
damai,sangat berbeda dengan nasrani di filipina yang muncul bersamaan dengan adanya
kolonialisasi eropa. Para pedagang muslim asing yang datang ke asia tenggara memper
kenalkan islam beserta sendi- sendi ajarannya secara praktis melalui perdagangan yang
jujur dan mengedapankan nilai – nilai kemanusian.

Kemunculan serta penyebaran islam yang sangat mempengaruhi oleh sektor


perekonomian, seharusnya memberikan motifasi dalam kuri kulum pesantren yang
cenderung memberi penekanannya dalam bidang fikih yang sudah jadi untuk memberi
penekanan pada norma-norma praktis ekonomi.pelajaran fikih hampir di ajarkan di
seluruh pesantren,maka fikih mu’amalah akan selalu di jumpai dari setiap jenjang kelas
dan tiap-tiap kitab fikih yang di kajinya.artinya,kalau sejak lama insan pondok pesatren
telah mempelajari fikih mu’amalah,maka sebenarnya tradisi penggalian ilmu ekonomi
islam itu sudah sejak dulu eksis.sayangnya,pengembangan aplikasi fikih mu’amalah
justru di kesampingkan dari pada fikih ibadah.

Eksistensi ilmu teoretis fikih mu’amalah ala pondok pesantren seharusnya


down to erth (membumi)untuk menyelesaikan problema-problema transaksi yang bersih
dan syar’i di lapangan.namun,insanpondok pesantren yang pakar sekalipun tentang fikih
mu’amalah justru tidak kuasa ketika konsep teoretisnya di ambil oleh kalangan luar
pesantren dan ‘’dijual’’dengan label ekonomi islam.perbankan konvesional
misalny,sebelum adanya sistem perbankan syariah,ia seakan tak bisa dihindari oleh
kebanyakan umat islam,termasuk para santri yang sejatinya pakar tentang teori fikih
mu’amalah tersebut,namun karena khazanah pesantren yang cukup tinggi tersebut di
jual oleh orang luar pesantren dan laku keras,kalangan pesantren mengalami
keterkejutan padahal secara tidak langsung telah teraplikasi dalam sistem ekonomi
pesantren.

Karena itulah, harus di telusuri makna makna ekonomi untuk konsep-konsep


mu’amalah agar kalangan pesantren mampu memberikan solusi praktis atas problem
sosial yang berkembang di masyarakat. Pemaknaan atas islam, tauhid, sabar, zuhud,
qona’ah, isthita’ah, nasib dan term-term lain perlu disentesiskan dengan norma-norma
mu’amalah. secara umum ajaran mu’amalah di landasi sebuah keyakinan bahwa harta di
cari hanya sebagai sarana untuk menopang hidup , bukan tujuan dari hidup itu
sendiri.Akhirnya, pembahasan kitab salaf tentang aktifitas manusia dalam bidang
ekonomi , bukan mengenai cara seseorang untuk dapat meraih keuntungan sebanyak-
banyaknya, tetapi sebagai usaha dilakukan sejujur-jujurnya agar tidak merugikan orang
lain.

Selain tidak merugikan , manusia juga harus memberi manfaat bagi


manusia lain terutama dengan kekayaan atau pencarian karena kebutuhan materi akan
berdampak langsung pada kebutuhan yang lain. Maka tidak cukup,jika seseorang hanya
berperilaku dan bermoral baik secara pribadi , tetapi tidak melakukan transformasi
terhadap struktur sosial yang menindas manusia lain untuk memperoleh kebutuhan
hidup. Untuk itulah jika mu’amalah lebih berkonsentrasi pada ranah hukumnya, maka
iqtishadiah bereorentasi pada sistem dan mekanisme kerja dalam struktur tertentu.

Problem keberagamaan diatas lebih mendesak bagi kalangan pesantren


jika berusaha jujur memahami bahwa masyarakat islam pada umumnya
miskin.Kalaupun kaya juga sangat sedikit karena relasi prestasi kerja yang dimunculkan
, tetapi karena paraktik di luar jalur agama terlaksanakan.fenomena ini menunjukan
konsekunsi dari teologi kepasrahan. Disinilah agama di tuntut kepekaannya untuk
mengajarkan problem solving melalui jalur penelusuran makna ekonomi untuk gerakan
sosial(social movement) dan dapat di sosialisasikan melalui sistem pendidikan yang
ada.karena agama sebenarnya menghadirkan kesejahteraan universal,rahmatan lil
alamin.

Islam,sebagai agama universal yang oleh pemeluknya di anggap sebagai


jalan hidup, di tuntut untuk menghadirkan solusi atas ketimpangan-ketimpangan nasib
kemanusiaan. Untuk itu pulalah elite agama harus mengembangkan paradigma
keseimbangan antara ajaran dunia dan akhirat.dalam persepektif ini,islam harus mampu
memberi celah keluar dari kebuntuan kasus kemiskinan yang masih tinggi dan
kebodohan atas dogma agama.Realita ini memaksa elite agama untuk menjabarkan
islam dan konsep empirik sekaligus mudah di pahami,dengan term emansipatoris atau
pembebasan. Di sinilah pendidikan islam berwawasan emansipatoris atau praksis
pembebasan juga menemukan momentumnya sebagai gerakan
pembebasan,perubahan,dan pemberdayaan ekonomi yang di dalamnya menyangkut
reinterpretasi spirit islam sebagai agama dagang.

Anda mungkin juga menyukai