Anda di halaman 1dari 4

Pendidikan yang Mengasingkan

indoprogress.com/2016/08/pendidikan-yang-mengasingkan/

Harian IndoPROGRESS August 25,


2016

KALA itu. Jum’at, 20


Maret 2015. Sebuah
peristiwa yang tidak
biasa menyentak
rutinitas saya.

Saya mahasiswa biasa.


Bukan aktivis, bukan
pula mahasiswa rajin
pemburu nilai
akademis. Rutinitas
keseharian saya hanya
ada di tiga tempat: kos,
kelas, dan Perpus.
Selebihnya, sesekali,
hanya nongkrong di
kafe dengan—
menggunakan istilah keren kami—sahabat-sahabat epistemik.

Hingga tiba pada titimangsa yang tadi, di pagi hari, saya beranjak dari kos menuju
kampus dengan jalan kaki. Hanya untuk menjalankan rutinitas seperti biasa. Hari itu tak
ada yang istimewa. Namun sepertinya waktu yang kita lewati memang tak pernah sama.
Ia akan selalu menghadirkan momen yang berbeda.

Tampak gerombolan ibu-ibu dari desa. Mereka berkumpul di depan Fakultas Kehutanan
—memberi saya kesan yang berbeda dari hari–hari sebelumnya. Ada apa? Saya
bertanya-tanya.

Saya lalu membuka Facebook. Ternyata di medsos sudah ramai dibicarakan bahwa pada
hari itu akan ada demo ibu-ibu dari Rembang. Mereka hendak menuntut salah dua
akademisi—dengan sedikit malu saya menyebutnya—kampus saya, UGM. Kampus besar
nan beken. Sekaligus kampus yang mengklaim dirinya “kampus kerakyatan”!

Dua akademisi tersebut dituntut karena telah memberikan kesaksian di pengadilan


bahwa bebatuan karst di Pegunungan Kendeng layak ditambang. Hasil studi kelayakan
dua akademisi itu dinilai merugikan petani Rembang, sebab memberi lampu hijau
kepada PT. Semen Indonesia untuk melakukan pertambangan. Dengan begitu, petani
Rambang terancam kehilangan lahan.

Manusia dan Angka


1/4
Ini bukan soal apa-apa. Ini soal posisi ilmuwan, kaum terdidik, yang menutup diri untuk
persoalan manusia; persoalan nyata di sekitarnya. Ilmuwan seperti itu adalah produk
sistem pendidikan yang positivistik-mekanistik. Sistem pendidikan yang jauh—atau
sengaja dijauhkan—dari sentuhan nilai-nilai humanistik.

Dalam sejarah ilmu pengetahuan, ada satu babakan yang hanya mengakui matra
tunggal: pengetahuan harus bebas nilai (value-free). Ini kemudian memiliki pengaruh
yang sangat besar dalam perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan. Terbukti, di
abad XX, muncul gerakan intelektual di Jerman yang mengusung spirit “pengetahuan
harus bebas nilai”. Mereka dikenal dengan nama Lingkaran Wina (Vienna Circle).

Asumsi epistemologis mereka adalah bahwa pengetahuan hanya dapat sahih apabila
bisa terukur, teramati, dan terverifikasi. Pengetahuan yang masih membawa asumsi-
asumsi non-epistemik (penilaian moral, religius, budaya, sosial, kemanusiaan, dll.) adalah
bullshit. Pengetahuan jenis itu tidak objektif.

Sistem pendidikan kita sedikit banyak telah menyerap spirit yang sama. Dari bangku
sekolah hingga bangku kuliah, capaian anak didik selalu diukur dengan angka. Parahnya,
ukuran itu sering dianggap sebagai ukuran satu-satunya dan paling absah.

Banyak anak didik yang kemudian menggadaikan kemanusiaannya demi memperoleh


angka mewah. UN tidak jujur, tugas kuliah plagiat, atau belajar semalam hanya untuk
ujian. Padahal, apa yang istimewa dari angka?!

Nilai yang ada dalam satuan angka-angka jelas tidak memadai untuk mengukur sisi
terdalam manusia. Angka hanya mengukur apa yang tampak, yang kasat mata.
Sementara manusia punya arus subjektivitas yang luar biasa dalam dan besar. Sisi
religiusitas, spiritualitas, dan sensibilitas kemanusiaan anak didik, misalnya, sulit
terjangkau oleh angka. Akhirnya, itu semua tak terakumulasi dalam nilai angka yang
sering dipuja-puja.

Ilmuwan seperti dua akademisi di atas lahir dari rahim sistem pendidikan yang begitu
memuja nilai sebuah angka. Sejak di sekolah hingga bangku kuliah, mereka hanya
mengabdi untuk angka; mengingkorporasikan subjektivitas kemanusiaan mereka ke
dalam satuan angka-angka. Mereka lalu menjadi “manusia angka”!

Manusia angka itu kehilangan—meminjam bahasa Karlina Supelli—”daya-daya abstrak-


imajinatif-kreatif”-nya. Yang lebih mengerikan lagi, bila mereka tak punya rasa simpati
dan sensibilitas pada problem-problem nyata manusia. Pada saat itulah, pendidikan bisa
dianggap gagal menjalankan tugas pokonya: mendidik manusia sebagai manusia.

Retakan Epistemik

C.P. Snow (1905-198), seorang ilmuwan sekaligus novelis asal Inggris, menyampaikan
sebuah kuliah terbuka pada tahun 1959 di Universitas Cambridge. Dalam kuliah yang
kemudian diterbitkan dengan judul The Two Cultures itu, C. P. Snow melihat adanya
keretakan epistemik di kalangan intelektual masyarakat Barat.
2/4
Keretakan itu menyebabkan munculnya dua kubudayaan (two cultures) yang saling
berseberangan, yakni bidang sains (sciences) dan bidang humaniora (humanities). Di
antara keduanya terdapat “a gulf of mutual incomprehension“—sebuah jurang pemisah.
Jurang itu sangat berbahaya.

C.P. Snow kemudian menyoroti model pendidikan yang terspesialisasi. Spesialisasi


pendidikan itulah yang membuat jurang pemisah antara bidang sains dan bidang
humaniora. Matematikawan harus melulu memikirkan rumus-rumus. Fisikawan hanya
bergelut dengan teori-teori fisika. Astronom cukup hanya mengamati planet dengan pola
geraknya. Begitu seterusnya. Mereka enggan berdialog dengan kawan-kawan di
seberang sana, orang-orang yang berada di bidang humaniora.

Hal yang sama juga terlihat dalam dunia pendidikan kita. Masing-masing intelektual dari
dua bidang (sains dan humaniora) tampak menunjukkan arogansinya. Ini kemudian
merobohkan bangunan “ide universitas”. Sebuah tatanan ideal yang berupaya
mempertemukan beragam fakultas. Sebab universitas mestinya tidak dipahami hanya
sekadar secara kelembagaan yang memayungi banyak fakultas, tetapi pada tahap yang
lebih abstrak, ia mesti membangun relasi interdisipliner antarkeilmuan yang ada di tiap-
tiap fakultas.

Lalu, bahaya apa yang ditengarai oleh C. P. Snow dari adanya spesialisasi pendidikan itu?
Di bagian akhir kuliahnya, ia menyatakan dengan nada cemas bahwa bahaya dari itu
semua adalah “no society is going to be able to think with wisdom“. Masyarakat tidak dapat
berpikir bijak.

Kasus dua akademisi UGM tadi secara implisit membenarkan apa yang dicemaskan C. P.
Snow. Sebagai ilmuwan dari bidang sains (Fakultas Geografi), mereka berada di bawah
tuntutan objektivitas ilmu di dalam membuat sebuah putusan ilmiah. Segala
pertimbangan non-epistemik mesti disingkirkan supaya putusannya dinilai objektif.

Mungkin saja putusan yang dibuat mereka memang benar-benar ilmiah dan objektif.
Namun, karena mereka sama sekali tidak memperhatikan pertimbangan non-epistemik,
seperti dampak sosial-budaya dan masalah kemanusiaan, maka putusannya justru
membikin petani Rembang menjerit.

Saat itulah pendidikan—alih-alih mendekatkan—justru mengasingkan kaum terdidik dari


lingkungan sosialnya, dari persoalan nyata umat manusia. Kaum terdidik mengabdi
untuk ilmunya, bukan untuk kamaslahatan umat manusia. Saat itulah juga postulat “ilmu
untuk ilmu” keras bergema.

Merawat Imajinasi, Mengasah Emosi

Lantas apa yang bisa membuat pendidikan gayut dengan nilai kemanusiaan; yang dapat
membikin kaum terdidik membuka mata terhadap masalah manusia dalam kehidupan?!

3/4
Suara minor dari Amerika mesti kita dengarkan. Suara itu keluar dari sosok seorang
perempuan, Martha Nussbaum (1947-…). Dalam From Disgust to Humanity (2010), ia
mengajak kita untuk melatih imajinasi. Dengan imajinasi kita dapat membayangkan
keberadaan orang lain; nasib orang lain; dan penderitaan orang lain.

Dengan kemampuan membayangkan itulah sensibilitas kemanusiaan kita dapat terasah.


Ketika terjadi pengucilan terhadap kelompok minoritas, misalnya, kita dapat
membayangkan bagaimana tekanan psikis yang dialami mereka. Dari situlah akan
tercipta rasa simpatik pada mereka; pada sesama manusia. Kita akan turut merasakan
apa yang mereka rasakan.

Pendidikan, bagi Nussbaum, mesti merawat daya imajinatif anak didik dan mengasah
rasa simpatik mereka pada dunia. Pemahaman kognitif anak didik tidaklah cukup tanpa
dilengkapi dengan daya imajinatif-afektif-simpatik. Hanya dengan itu semua, pendidikan
bisa gayut dengan soal kemanusiaan; dan anak didik tidak asing dengan lingkungan
sekitar.

Tapi masalahnya, seberapa besar penghargaan pola pendidikan kita pada kemampuan
imajinatif anak didik? Kecuali mungkin materi sastra dan seni, pendidikan formal justru
memiskinkan imajinasi. Anak-anak seperti terus ditekan daya imajinatifnya. Otak mereka
hanya boleh menerima dan menyerap apa yang disampaikan oleh guru atau dosennya.

Apalagi, terkait dengan pertimbangan pragmatis, generasi masa kini lebih banyak
menggandrungi bidang-bidang praktis, seperti teknik. Lumpuhlah daya imajinatif dan
simpatik mereka. Sebab hidup hanya soal membuat perkara praktis dan nyata. Bahkan,
filsafat yang spekulatif, kini juga mendapat serangan dari gelombang besar saintisme.
Filsafat dituntut untuk menjadi ilmu positif.

Melihat itu semua, mengertilah kita bila Rendra dengan nada keras bertanya: Apakah
gunanya pendidikan/ bila hanya akan membuat seseorang asing/ di tengah kenyataan
persoalannya?// Apakah gunanya pendidikan/ bila hanya mendorong seseorang/ menjadi
layang-layang di ibu kota/ kikuk pulang ke daerahnya?// Apakah gunanya seseorang/ belajar
filsafat, sastra, teknologi, ilmu kedokteran/ atau apa saja/ bila pada akhirnya/ ketika ia
pulang ke daerahnya, lalu berkata: ” Di sini aku merasa asing dan sepi!”//.***

Penulis adalah Pemimpin Redaksi Jurnal Filsafat Cogito Fakultas Filsafat UGM Yogyakarta

4/4

Anda mungkin juga menyukai