“Lawan Monopoli Tanah & Kebijakan Anti Rakyat Rezim Jokowi-Ma’aruf”
Hari Tani Nasional diperingati setiap tanggal 24 September yang merupakan bentuk apresiasi terhadap semua jasa yang dilakukan pada petani Indonesia sekaligus sebagai momentum bagi para petani untuk menagih janji pemerintah dalam mendorong kemajuan sektor pertanian dan kesejahteraan petani. Peringatan hari tani sejatinya beriringan dengan dibuatnya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) tahun 1960, yang menjadi dasar amanat untuk mewujudkan kemajuan sektor pertanian dan kemakmuran rakyat melalui reforma agraria. Dalam programnya reforma agraria diajalankan dengan penataan, penguasaan, dan penggunaan sumber- sumber agraria agar lebih adil dan merata demi kepentingan rakyat. Namun kenyataannya pada saat ini, sudahkah amanat reforma agraria tersebut dijalankan sebagaimana mestinya? Indonesia dengan kekayaan alam yang berlimpah dan posisi yang strategis dijuluki sebagai negara agraris. Dengan kondisi yang demikian, sudah seharusnya Indonesia mampu mandiri dalam memenuhi kebutuhan pangan nasional dan manjamin kesejahteraan para petani. Namun pada kenyataanya, setelah 61 tahun sejak dikeluarkannya aturan UUPA, kondisi kedaulatan pangan dan nasib para petani semakin memprihatinkan. Terjadi ketimpagan atas penguasaan lahan yang banyak dikuasi oleh perusahaan - perusahaan besar baik dari sektor pertanian maupun non pertanian menyebabkan para petani kekurangan bahkan kehilangan lahan garapan. Kondisi ini akan semakin memburuk seiring dengan maraknya konflik agraria yang terjadi. Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika mengungkapkan total 241 kasus konflik agraria terjadi sepanjang tahun 2020. Total tersebut terjadi di 359 daerah di Indonesia dengan korban terdampak sebanyak 135.332 kepala keluarga. “ Konflik agraria tertinggi terjadi pada sektor perkebunan yaitu sebanyak 122 kasus. Jumlah ini naik 28 persen dibandingkan tahun 2019 yaitu sebanyak 27 kasus,” Kata Dewi dalam acara diskusi virtual peluncuran laporan kasus konflik agararia 2020 di Jakarta, Rabu (06/01/2021). Selanjutnya, tertinggi kedua konflik agraria terjadi pada sektor kehutanan yaitu sebanyak 41 kasus. Angka ini bahkan meroket 100 persen dari tahun 2019 yang berjumlah 20 kasus. Konflik agraria lainnya terjadi di sektor Infrastruktur sebanyak 30 kasus, properti 20 kasus, pertambangan 12 kasus, fasilitas militer 11 kasus, pesisir kelautan 3 kasus, dan agribisnis 2 kasus. Dengan semakin maraknya konflik agraria yang terjadi menyebabkan kesejahteraan petani dan kedaulatan pangan nasional terganggu. hal ini menjadi bukti bahwasanya pemerintah tidak peduli terhadap petani yag menjadi korban konflik agraria, padahal petani seharusnya mendapat perlindungan dan pemberdayaan sebagiamana tercantum dalam UU perlindungan dan pemberdayaan petani No. 19 tahun 2013 demi terwujudnya kesejahteraan petani dan kedulatan pangan yang termakhtub dalam UU Pangan No. 18 Tahun 2012. Persoalan agraria adalah persoalan yang penting yang kemudian menjadi akar keadaan dengan situasi semakin terjadinya ketimpangan penguasaan tanah yang ada dan semakin banyak konflik-konflik yang eskalasinya luar biasa. Hingga kemudian banyak korban jiwa dan sebagainya karena soal tanah adalah soal hidup dan mati karena perjuangan mendapatkan tanah maupun mempertahankan tanah adalah tentang sumber kehidupan ataupun sumber kelanjutan yakni makanan yang bersumber dari lahan pangan yaitu tanah. Ada dua kepentingan orang hidup yaitu mendapatkan makanan dan mempertahankan keturunan. Dalam mendapatkan makanan sebagai rakyat tani menjadikan soal tanah ini adalah soal kehidupan batiniah dan kebutuhan materiel. Bung Karno pernah menyatakan bahwa siapa menguasai lahan dia menguasai makanan. Dan satu lagi yang menjadi martabat atau harga diri seseorang diantaranya adalah bagaimana dia dicirikan dari kepemilikan atau akses terhadap keberadaan tanah. Termasuk juga pada kolonisasi belanda terhadap Indonesia yang ingin menguasai tanah. Reforma agraria adalah sebagai penguasaan struktur penataan kembali atau perombakan kembali susunan atas keberadaan-keberadaan kepemilikan tanah yang saat ini dikatakan tidak adil dalam rangka berkeadilan untuk kepentingan petani tak bertanah termasuk juga masyarakat adat. Yang harus ditunjang juga dengan langkah lanjutan yang perlu dilakukan semisal dengan memberikan pengkreditan, permodalan terhadap petani, penyuluhan pertanian kepada petani, dan juga sarana produksi pertanian juga infrastruktur pertanian agar redistribusi terhadap petani dan meningkatkan kesejahteraan petani melalui skema-skema program tersebut. Tujuan besarnya reforma agraria adalah terwujudnya kesejahteraan keadilan dan tujuan lainnya adalah terselesaikannya konflik-konflik agraria, semakin terkuranginya masalah sosial termasuk juga lingkungan hidup. Di Indonesia pada awal era revolusi 1945 kepemimpinan bung Karno secara serius telah mendorong Reforma Agraria dilaksanakan. Ditandai dengan redistribusikannya beberapa tanah warisan kolonial ketika itu di jawa kemudian sudah dibuat peta jalan untuk melaksanakan reforma agraria sejati ialah melalui kepanitiaan-kepanitiaan perumusan dan penyusunan naskah reforna agraria yaitu Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960. Membaca kembali sejarah tentang politik yang terjadi ketika bung karno lengser Undang-undang tersebut masih ada tetapi diganti degan Undang-undang Sektoral yang mencakup didalamnya baik kehutanan, tanah, perkebunan, juga pesisir lautan memasukkan UU No 5 Tahun 1960 dalam keluarannya, tetapi sebenarnya jauh dari apa yang menjadi cita-cita UUPA.Yang terjadi di Orde Baru yang ada adalah corak kapitalisasi, kapitalis agraria. Jadi tanah agraria itu sebagai komoditi di masa yang menjadi tongga sejarah dengan terciptanya beberapa uu itu. Sejak saat itu semakin jauh harapan keadilan bagi rakyat melalui apa yg dinamakan dengan bagaimana bumi dan kekayaan alan itu digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Jadi pengambilan lahan secara sepihak, karpet merah terhadap investasi, yang secara poltik kemudian tabu juga ditabukan ketika orang berbicara tentang reforma agraria. Ketika itu stikmatisasi terhadap orang-orang yang akan berjuang tatkala tanahnya diambil justru dituduh komunis dan ini sering terjadi. Dalam perjalanan bangsa Indonesia Tahun 2001 menjadi perhatian kembali isu program reforma agraria yang ditandai dengan lahirnya Tap MPR Nomor 9 Tahun 2001 tentang Reforna Agraria dan pengelolaan sumber daya alam yang memberi mandat kepada pemerintah untuk menjalankan reforma agraria. Namun dalam perjalanannya tertatih-tatih juga ada kebijakan Perpres tingkat 2003 saat itu, tetapi masih jauh dari terwujudnya reforma agraria termasuk ketika itu ada beberapa kebijakan melalui BPN yang masih tidak mampu menjawab persoalan-persoalan baik secara substansitatif reforma agraria juga penguraian konflik-konflik agraria yang ada. Saat ini sedang menertibkan Perpres tentang reforma agraria tatapi bagi para pegiat-pegiat sosial melihat bahwa persoalan agraria ini hanya dipahami sebagai persoalan sertifikasi, persoalan secarik kertas, yang tidak melandasi pemahaman yg sesungguahnya akar persoalan terjadinya ketimpangan tersebut. Legalisasi hanyalah sebagai daya dukung setelah berbagai persoalan yang ada lalu dituntaskan dari berbagai sektor baik perkebunan, kehutanan, tambang, pertanian, pesisir dan sebagainya. Setelah diselesaikan ketimpangan struktur penguasaan tanah kemudian diperkuat dengan legalisasi yaitu sertifikasi. Penguasaan tanah yang luar biasa oleh berbagai korporasi yang masih terus terlembagakan dengan kata lain terpelihara. Dilain sisi program-program pemberian sertifikasi terhadap areaarea tanah rakyat yang non konflik atau aman yang akan di hawatirkan terjadi persoalan social yang cukup sulit. Karena dengan keberadaan sertifikat tanah yang ada sementara progran insentif lainnya tidak ditunjang akan memeberi ruang untuk menjual atau diajukan di bank yang kemudian menjadi beralih kepemilikan lalu rakyat tidak mampu membayar perkreditan terhadap tanah tersebut. Dengan kemungkinan dianggap persoalan yang akan muncul dikemudian hari karena persoalan yang paling mendasar kaitan dengan program perubahan struktur melalui reforma agraria tidak dilaksanakan dengan baik oleh pemerintah. Jika berdasarkan keberadaan reforma agraria di berbagai negara itu berjalan karena ada kemuan politik dari negara, kemauan yang setengah hati, terkesan untuk melaksanakan reforma agraria melalui berbagai instruman tetapi senyatanya jauh. Elit politik dan elit bisnis seharusnya terpisah. Keberadaan program reforma agraria ini juga harus didukung oleh kekuatan militer yang ada termasuk juga polisi karena negara yang memimpin kekuatan ini. Berbanding terbalik yang saat ini di Indonesia polisi termasuk juga miiter yang berada di garda terdepan untuk menangkap bahkan memukuli rakyat yang mempertahankan dan memperjuangkan tanah-tanah mereka yang digusur. Oleh karena itu dalam mewujudkan perubahan reforma agraria ada dua sisi hal pertama adalah atas dasar kebaikan pemerintah, kedua adalah berdasarkan inisiatif-inisiatif rakyat yang harus didukung dengan syarat-syarat dimana oraganisasi rakyat harus kuat, perjuangannya harus masif dan juga dengan keberanian yang luar biasa. Potensi-potensi koflik di negara Indonesia kian subur sehingga untuk memenangkan kasus agraria ini terbilang cukup sulit. Ada beberpa alasan mengapa peyelesaian konflik agrararia ini terbilang sulit yaitu sebagai berikut : 1. Dari sisi hukum tata negara konflik agraria bisa saja terjadi karena maladministrasi dalam proses pemberian konssi tanah, ijin lokasi, ijin usaha, perkebunan ataupun HGU. Dari beberapa kasus banyaknya penyalagunaan wewenang, pnyimpangan prosedur dan pengabaian kewajiban- kewajiban hukum yng seausnya menyrtai para pemegang/penerima ijin atau hak tersebut. 2. Masalah konflik agraria terkait perkebunan yang telah dilaporkan KPA tersebut disebabkan oleh beberapa faktor: (1) Pelepasan kawasan hutan untuk keperluan perkebunan di atas tanah- tanah milik masyarakat adat, garapan petani atau desa; (2) Terbitnya izin lokasi dan/atau Hak Guna Usaha (HGU) di atas areal-areal masyarakat (termasuk areal transmigrasi) yang mengakibatkan penggusuran lahan garapan dan pemukiman warga; (3) Perpanjangan HGU di atas tanah-tanah yang telah diterlantarkan lama oleh pemilik konsesi dan sudah digarap oleh masyarakat secara produktif, bahkan sudah menjadi desa/kampung; (4) Penggarapan masyarakat di atas tanahtanah, dimana masih berlaku HGU perkebunan namun tidak dikelola dengan baik oleh perusahaan (tanah terlantar); (5) Belum diakuinya penggarapan masyarakat di atas tanah-tanah yang diterlantarkan pihak perkebunan; (6) Perusahaan perkebunan mengelola atau mengklaim tanah yang berada di luar peta HGU perusahaan, dan kenyataannya tanah tersebut merupakan tanah garapan masyarakat; (7) Tumpang tindih sertifikat HGU perkebunan dengan sertifikat milik masyarakat; (8) Belum dibayarnya ganti kerugian kepada masyarakat dalam proses pembebasan lahan untuk perkebunan; (9) Belum diberikannya lahan plasma yang dijanjikan kepada masyarakat; dan (10) Ketidakadilan bagi hasil kemitraan perkebunan yang diterima oleh masyarakat. Konflik di bidang agraria yaitu sebagai berikut : a. Sektor perkebunan b. Sektor infrastruktur c. Sektor properti d. Sektor pertambangan e. Sektor kehutanan f. Sektor fasilitas militer g. Sektor pesisir dan pulau-pulau kecil h. Sektor pertanian Capaian minim reforma agraria yang dituntut masyarakat selama lima tahun terkahir, salah satunya dipengaruhi oleh regulasi yang terkait dengan reforma agraria dan penyelesaian konflik agraria di kehutanan tersebut. PERPRES 88 Terdapat 4 skema penyelesaian konflik dalam perpres ini, yaitu pelepasan kawasan hutan, tukar- menukar kawasan hutan, hak kelola perhutanan sosial dan resettlement. Kelemahan Perpres 88 adalah: (1) Tidak bekerja di kawasan hutan yang memiliki hutan kurang dari 30% (Jawa, Bali dan Lampung); (2) Mengecualikan kawasan hutan yang telah berstatus penetapan/pengukuhan; (3) Mengecualikan pelepasan kawasan hutan yang berstatus kawasan hutan lindung dan konservasi; (4) Tidak bekerja di wilayah transmigrasi, yang berada dalam konsesi hutan swasta/BUMN yang Menuju Penyelesaian Konflik Agrari belum dilepaskan; (5) Inver PTKH hanya bisa diajukan sekali untuk setiap lokasi; (6) Proses dan prosedural berbelit serta memakan waktu lama. PERPRES 86 Peraturan Presiden tentang Reforma Agraria dinantikan cukup lama oleh gerakan reforma agraria. Ini mengingat di masa SBY, rencana draft PP Reforma Agraria mangkrak di Istana hingga berakhirnya periode 10 tahun SBY. Baru pada September 2018, presiden mengesahkan Perpres 86/2018 tentang Reforma Agraria. Dalam Perpres ini, dimandatkan bahwa tujuan utama reforma agraria adalah memperbaiki ketimpangan penguasaan tanah, menyelesaikan konflik agraria, menciptakan kemakmuran rakyat dan mencapai kedaulatan pangan di lokasilokasi dimana RA dijalankan. Reforma Agraria Dalam pengartian bagaimana reforma agraria yang sejati. Refoma adalah pengaturan kembali tentang suatu hal. Dalam teori klasik modern yang menjelaskan tentang sebuah kondisi masyarakat yang dinamis. Yang diidentifikasikan oleh jord simel tentang bagaimana kedinamisan interaksi masyarakat yang mengkrucut pada sebuah analisis tentang manusia itu mengeluarkan yang dinamakan human cration. Jord simel mengkrucut pada Karl Mark yang berkaitan tentang pertentangan kelas. Yang mengkrucut pada sebuah isilah yang sebut kecerdasan atau kepemahaman. Sejati adalah sebuah keindahan, yang bersifat hakiki, indah, yang hingga akhirnya perjuangan tentang konflik agraria dapat terselesaikan. Persoalan agraria tidak selesai ketika Indonesia merdeka karena akhirnya disitu juga point pertama diselenggarakannya konflik agraria berikutnya. Terdapat teori Patron Klayen, Patron adalah pemilik lahan yang begitu besar atau dalam istilah saat ini adalah mafia tanah, sedangkan klayen adalah buruh tani, buruh lapangan, dan pekerja. Saat Indonesia merdeka teori ini masih berlanjut, namun Indonesia memiliki aturan lebih baik dari peraturan Kolonial Belanda. Pada tahun 1970 ada sebuah UU Kolonial Belanda yaitu Domein Verklaring yg menjelaskan bahwa orang indonesia harus menunjukkan tanah dan bisa membuktikan bahwa itu adalah tanah mereka. Dalam pembuktian hak kepemilikan tanah yang tidak sejalan dengan kondisi yang saat itu adalah tanah jajahan. Jika dikaitkan ketika ada konflik agraria semisal dengan PT. atau pengusaha yang pihaknya meminta dokumen tanah, namun analisis yang dipakai oleh PT. atau pengusaha yang sampai saat ini seakan masyarakat harus membuktikan itu adalah tanah mereka dengan dokumen yang pada zaman-zaman tertentu tidak dapat memiliki dokumen tersebut. Untuk penyelesaian persoalannya secara klasik pada zaman dahulu dikenal konflik agraria perwujudannya adalah benturan fisik. Sehingga terjadinya pembunuhan, penganiayaan dan sebagainya. Tidak demikian dengan hari ini karena telah banyak studi-studi kajian dan keilmuan. Bidang kajian, bidang keilmuan, yang diselesaikan pada ranah kebijakan yang dapat dianalisis melalui analisis dampak sosial dan lingkungan. Dalam pendekatan penyelesaiannya Indonesia berdiri pada dua peraturan yaitu litigasi dan non litigasi, litigasi yang membawa konflik agraria kepada meja persidangan pada peraturan yang demokratis dan pancasilais juga bisa dengan musyawarah dan mufakat. Bagaimana upaya pemerintah untuk menjaga kedaulatan pangan nasional di tengah kondisi petani yang tertindas? Dalam rancangan RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional) terdapat rencana pembangunan food estate atau kawasan sentra produksi pangan (KSPP). Food Estate merupakan konsep pengembangan produksi pangan yang dilakukan secara terintegrasi dan terdiri atas pertanian, perkebunan, bahkan peternakan di lahan yang luas. Program ini diproyeksikan sebagai terobosan untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional. Dalam upaya mewujudkan kedaulatan pangan nasional, program food estate bukanlah hal baru melainkan telah beberapa kali dilaksanakan. Bagaimana rekam jejak Food Estate di masa lalu? Di masa lalu kebijakan pengembangan food estate telah dilaksanakan dengan beberapa program dan upaya, namun hasilnya menemui kegagalan. • Pengembangan Lahan Gambut (1995-1999) Pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, program food estate pengembangan lahan gambut (PLG) mengalami kegagalan sehingga diberhentikan di masa kepemimpinan Habibi. Proyek food estate ini menjadi sebuah bencana besar karena mengakibatkan kebakaran lahan gambut skala besar dan tidak menghasilkan beras. • Proyek MIFEE (2010) Pada masa pemerintahan Presiden SBY, program food estate diwacanakan melalui program Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE). Program ini dianggap gagal karena pada pelaksanaannya banyak terjadi kerusakan lingkungan. Hal ini dikarenakan 50 persen lahan yang digunakan merupakan kawasan hutan, sehingga menyebabkan tingginya tingkat deforestasi, hilangnya keanekaragaman hayati, bahkan terjadi konflik sosial. • Proyek DeKaFE (2011-2018) Pada tahun 2011 pemerintah pusat mengeluarkan program Delta Kayan Food Estate (DeKaFE) untuk mewujudkan ketahanan pangan. Namun hasilnya tidak optimal karena selama dijalankan proyek ini tidak mendapatkan peningkatan hasil yang signifikan. Hal ini terjadi karena peningkatan produksi hanya difokuskan pada tanaman padi saja padahal tingkat kecocokan antara lahan dan tanaman belum teruji, selain itu juga disebabkan karena kurangnya infrastruktur yang memadai. Dengan adanya pengalaman kegagalan proyek food estate di masa lalu, pemerintah harusnya lebih selektif dan berhati-hati dalam menyelenggarakan proyek serupa di masa sekarang. Bagaimana rencana kebijakan food estate di masa sekarang? Di masa sekarang kebijakan food estate direncanakan dibangun di berbagai provinsi seperti Kalimantan Tengah, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Nusa Tenggara Timur, hingga Papua. Kebijakan food estate diatur dalam Peraturan Menteri LHK No. P.24/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2020 tentang penyediaan kawasan hutan untuk pembangunan food estate (Permen LHK 24/2020). Dalam rilisnya, KLHK menjamin bahwa pembangunan food estate akan mempertimbangkan aspek berkelanjutan dan menjaga kelestarian lingkungan. Namun, melihat pengalaman program MIFEE dimana terdapat kesamaan rencana wilayah yakni kawasan hutan, bukan tidak mungkin kegagalan akan kembali diraih karena kelestarian lingkungan dan ekosistem keanekaragaman hayati akan kembali terganggu. Dengan demikian dapat diartikan bahwasanya jaminan KLHK mengenai aspek berkelanjutan dan kelestarian lingkungan hanya sebatas janji manis semata. Lebih lanjut, Permen LHK 24/2020 yang ditetapkan sebagai dasar pembangunan food estate di kawasan hutan ini bertentangan dengan beberapa Undang-undang Kehutanan (UU 41/1999) dan PP Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan (PP 6/2007 jo. PP 3/2008). Di dalam UU tersebut terdapat batasan tegas mengenai pemanfaatan kawasan lindung baik untuk pemanfaatan kawasan, pemanfaatan hasil hutan bukan kayu, dan larangan untuk kegiatan yang menimbulkan kerusakan seriu serta mengakibatkan hilangnya fungsi hutan lindung. Dari ketentuan-ketentuan tersebut, tidak bisa dipenuhi oleh Permen LHK 24/2020 bahkan sangat jelas bertentangan sehingga berpotensi menghasilkan ketidakpastian hukum. Apabila aturan penggunaan kawasan hutan lindung menjadi kawasan food estate benar terjadi, maka hal ini akan meningkatkan laju deforestasi yang justru bertolak belakang dengan kebijakan yang sudah diterapkan sebagai komitmen pencegahan terjadinya krisis iklim. Krisis iklim menyebabkan terjadinya perubahan iklim yang berubah-ubah sehingga akan berdampak buruk bagi sector pertanian karena berpotensi memicu terjadinya kekeringan, banjir, serangan hama, serta menyulitkan petani dalam memprediksi usim tanam dan panen. Secara sosial, pembukaan kawasan food estate memiliki dampak terhadap masyarakat. Sebagai contoh, rencana pembukaan kawasan hutan di Papua sebagai kawasan food estate mendapat pertentangan dari masyarakat, hal ini kemudian berpotensi besar akan terjadi konflik agraria kembali. Sebagaimana telah dijelaskan bahwasanya setiap konflik agraria terjadi maka petani maupun mayarakat sekitar selalu menjadi korban baik secara represifitas maupun terdampak kesejahteraan hidup dan kerusakan kondisi lingkungannya. Dalam hal penguntungan, proyek food estate kemungkinan besar hanya akan menguntungan pengusaha besar, masyarakat biasa hanya akan menjadi penonton dengan lahan garapan seadanya tanpa adanya perhatian dari pemerintah terkait ketersediaan subsidi benih, pupuk, bahkan penjualan hasil panen yang tergolong murah. Karena pada kenyataanya kebijakan- kebijakan yang dilaksanakan oleh pemerintah kebanyakan hanya menuhankan kepentingan investasi dibanding kepentingan petani dan masyarakat. Implementasi dari kebijakan food estate sebagaimana yang ditetapkan dalam Permen LHK24/2020 ini tidak lepas dari catatan evaluasi mengenai dampak yang terjadi. Berkaca pada rekam jejak kebijakan serupa yang pernah dilaksanakan, maka seharusnya pengambilan keputusan untuk menjalankan kebijakan tersebut haruslah berdasarkan bukti dan analisis kajian mendalam agar tercipta kepastian hukum dan kepastian ilmiah yang mendasari. Jikalau hal ini dilanggar atau tidak dilaksanakan maka kebijakan yang diambil akan berpotensi merugikan masyarakat, lingkungan hidup, dan kebijakan itu sendiri. POIN TUNTUTAN 1. Mendesak Pemerintah RI untuk melanjutkan moratorium perluasan sawit dan hentikan pemberian izin baru tambang dan HTI 2. Tuntaskan konflik agraria dan hentikan kriminalisasi serta bebaskan kaum tani yang di tangkap. 3. Sah kan rancangan undang-undang mengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat. 4. Cabut Omnibus Law Cipta Kerja 5. Hentikan mega proyek food estate di Kalbar dan Kalteng 6. Berikan bantuan saprotan & saprodi yang berkelanjutan dan adil, serta edukasi SDM 7. Naikkan upah buruh kebun skala besar & turunkan target kerja yang tinggi 8. Berikan kredit yang mudah di akses dan rendah bunganya (dibawah 6%) 9. Pemerintah harus tegaskan harga beli terendah di tingkat petani untuk komoditas pertanian 10. Berikan jaminan kesehatan yang murah untuk rakyat.