Anda di halaman 1dari 8

HARI TANI 2021

“Lawan Monopoli Tanah & Kebijakan Anti Rakyat Rezim Jokowi-Ma’aruf”


Hari Tani Nasional diperingati setiap tanggal 24 September yang merupakan bentuk
apresiasi terhadap semua jasa yang dilakukan pada petani Indonesia sekaligus sebagai
momentum bagi para petani untuk menagih janji pemerintah dalam mendorong kemajuan sektor
pertanian dan kesejahteraan petani. Peringatan hari tani sejatinya beriringan dengan dibuatnya
Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) tahun 1960, yang menjadi dasar amanat untuk
mewujudkan kemajuan sektor pertanian dan kemakmuran rakyat melalui reforma agraria. Dalam
programnya reforma agraria diajalankan dengan penataan, penguasaan, dan penggunaan sumber-
sumber agraria agar lebih adil dan merata demi kepentingan rakyat.
Namun kenyataannya pada saat ini, sudahkah amanat reforma agraria tersebut dijalankan
sebagaimana mestinya?
Indonesia dengan kekayaan alam yang berlimpah dan posisi yang strategis dijuluki
sebagai negara agraris. Dengan kondisi yang demikian, sudah seharusnya Indonesia mampu
mandiri dalam memenuhi kebutuhan pangan nasional dan manjamin kesejahteraan para petani.
Namun pada kenyataanya, setelah 61 tahun sejak dikeluarkannya aturan UUPA, kondisi
kedaulatan pangan dan nasib para petani semakin memprihatinkan. Terjadi ketimpagan atas
penguasaan lahan yang banyak dikuasi oleh perusahaan - perusahaan besar baik dari sektor
pertanian maupun non pertanian menyebabkan para petani kekurangan bahkan kehilangan lahan
garapan. Kondisi ini akan semakin memburuk seiring dengan maraknya konflik agraria yang
terjadi.
Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika mengungkapkan total 241 kasus
konflik agraria terjadi sepanjang tahun 2020. Total tersebut terjadi di 359 daerah di Indonesia
dengan korban terdampak sebanyak 135.332 kepala keluarga. “ Konflik agraria
tertinggi terjadi pada sektor perkebunan yaitu sebanyak 122 kasus. Jumlah ini naik 28 persen
dibandingkan tahun 2019 yaitu sebanyak 27 kasus,” Kata Dewi dalam acara diskusi virtual
peluncuran laporan kasus konflik agararia 2020 di Jakarta, Rabu (06/01/2021).
Selanjutnya, tertinggi kedua konflik agraria terjadi pada sektor kehutanan yaitu sebanyak 41
kasus. Angka ini bahkan meroket 100 persen dari tahun 2019 yang berjumlah 20 kasus. Konflik
agraria lainnya terjadi di sektor Infrastruktur sebanyak 30 kasus, properti 20 kasus,
pertambangan 12 kasus, fasilitas militer 11 kasus, pesisir kelautan 3 kasus, dan agribisnis 2
kasus.
Dengan semakin maraknya konflik agraria yang terjadi menyebabkan kesejahteraan petani dan
kedaulatan pangan nasional terganggu. hal ini menjadi bukti bahwasanya pemerintah tidak peduli
terhadap petani yag menjadi korban konflik agraria, padahal petani seharusnya mendapat
perlindungan dan pemberdayaan sebagiamana tercantum dalam UU perlindungan dan
pemberdayaan petani No. 19 tahun 2013 demi terwujudnya kesejahteraan petani dan kedulatan
pangan yang termakhtub dalam UU Pangan No. 18 Tahun 2012. Persoalan agraria adalah
persoalan yang penting yang kemudian menjadi akar keadaan dengan situasi semakin terjadinya
ketimpangan penguasaan tanah yang ada dan semakin banyak konflik-konflik yang eskalasinya
luar biasa. Hingga kemudian banyak korban jiwa dan sebagainya karena soal tanah adalah soal
hidup dan mati karena perjuangan mendapatkan tanah maupun mempertahankan tanah adalah
tentang sumber kehidupan ataupun sumber kelanjutan yakni makanan yang bersumber dari lahan
pangan yaitu tanah.
Ada dua kepentingan orang hidup yaitu mendapatkan makanan dan mempertahankan keturunan.
Dalam mendapatkan makanan sebagai rakyat tani menjadikan soal tanah ini adalah soal
kehidupan batiniah dan kebutuhan materiel. Bung Karno pernah menyatakan bahwa siapa
menguasai lahan dia menguasai makanan. Dan satu lagi yang menjadi martabat atau harga diri
seseorang diantaranya adalah bagaimana dia dicirikan dari kepemilikan atau akses terhadap
keberadaan tanah. Termasuk juga pada kolonisasi belanda terhadap Indonesia
yang ingin menguasai tanah. Reforma agraria adalah sebagai penguasaan struktur penataan
kembali atau perombakan kembali susunan atas keberadaan-keberadaan kepemilikan tanah yang
saat ini dikatakan tidak adil dalam rangka berkeadilan untuk kepentingan petani tak bertanah
termasuk juga masyarakat adat. Yang harus ditunjang juga dengan langkah lanjutan yang perlu
dilakukan semisal dengan memberikan pengkreditan, permodalan terhadap petani, penyuluhan
pertanian kepada petani, dan juga sarana produksi pertanian juga infrastruktur pertanian agar
redistribusi terhadap petani dan meningkatkan kesejahteraan petani melalui skema-skema
program tersebut. Tujuan besarnya reforma agraria adalah terwujudnya kesejahteraan keadilan
dan tujuan lainnya adalah terselesaikannya konflik-konflik agraria, semakin terkuranginya
masalah sosial termasuk juga lingkungan hidup.
Di Indonesia pada awal era revolusi 1945 kepemimpinan bung Karno secara serius telah
mendorong Reforma Agraria dilaksanakan. Ditandai dengan redistribusikannya beberapa tanah
warisan kolonial ketika itu di jawa kemudian sudah dibuat peta jalan untuk melaksanakan
reforma agraria sejati ialah melalui kepanitiaan-kepanitiaan perumusan dan penyusunan naskah
reforna agraria yaitu Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960. Membaca kembali sejarah tentang
politik yang terjadi ketika bung karno lengser Undang-undang tersebut masih ada tetapi diganti
degan Undang-undang Sektoral yang mencakup didalamnya baik kehutanan, tanah, perkebunan,
juga pesisir lautan memasukkan UU No 5 Tahun 1960 dalam keluarannya, tetapi sebenarnya
jauh dari apa yang menjadi cita-cita UUPA.Yang terjadi di Orde Baru yang ada adalah corak
kapitalisasi, kapitalis agraria. Jadi tanah agraria itu sebagai komoditi di masa yang menjadi
tongga sejarah dengan terciptanya beberapa uu itu. Sejak saat itu semakin jauh harapan keadilan
bagi rakyat melalui apa yg dinamakan dengan bagaimana bumi dan kekayaan alan itu digunakan
untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Jadi pengambilan lahan secara sepihak, karpet
merah terhadap investasi, yang secara poltik kemudian tabu juga ditabukan ketika orang
berbicara tentang reforma agraria. Ketika itu stikmatisasi terhadap orang-orang yang akan
berjuang tatkala tanahnya diambil justru dituduh komunis dan ini sering terjadi.
Dalam perjalanan bangsa Indonesia Tahun 2001 menjadi perhatian kembali isu program reforma
agraria yang ditandai dengan lahirnya Tap MPR Nomor 9 Tahun 2001 tentang Reforna Agraria
dan pengelolaan sumber daya alam yang memberi mandat kepada pemerintah untuk menjalankan
reforma agraria. Namun dalam perjalanannya tertatih-tatih juga ada kebijakan Perpres tingkat
2003 saat itu, tetapi masih jauh dari terwujudnya reforma agraria termasuk ketika itu ada
beberapa kebijakan melalui BPN yang masih tidak mampu menjawab persoalan-persoalan baik
secara substansitatif reforma agraria juga penguraian konflik-konflik agraria yang ada. Saat ini
sedang menertibkan Perpres tentang reforma agraria tatapi bagi para pegiat-pegiat sosial melihat
bahwa persoalan agraria ini hanya dipahami sebagai persoalan sertifikasi, persoalan secarik
kertas, yang tidak melandasi pemahaman yg sesungguahnya akar persoalan terjadinya
ketimpangan tersebut. Legalisasi hanyalah sebagai daya dukung setelah berbagai persoalan yang
ada lalu dituntaskan dari berbagai sektor baik perkebunan, kehutanan, tambang, pertanian, pesisir
dan sebagainya. Setelah diselesaikan ketimpangan struktur penguasaan tanah kemudian
diperkuat dengan legalisasi yaitu sertifikasi.
Penguasaan tanah yang luar biasa oleh berbagai korporasi yang masih terus terlembagakan
dengan kata lain terpelihara. Dilain sisi program-program pemberian sertifikasi terhadap areaarea
tanah rakyat yang non konflik atau aman yang akan di hawatirkan terjadi persoalan social yang
cukup sulit. Karena dengan keberadaan sertifikat tanah yang ada sementara progran insentif
lainnya tidak ditunjang akan memeberi ruang untuk menjual atau diajukan di bank yang
kemudian menjadi beralih kepemilikan lalu rakyat tidak mampu membayar perkreditan terhadap
tanah tersebut. Dengan kemungkinan dianggap persoalan yang akan muncul dikemudian hari
karena persoalan yang paling mendasar kaitan dengan program perubahan struktur melalui
reforma agraria tidak dilaksanakan dengan baik oleh pemerintah.
Jika berdasarkan keberadaan reforma agraria di berbagai negara itu berjalan karena ada kemuan
politik dari negara, kemauan yang setengah hati, terkesan untuk melaksanakan reforma agraria
melalui berbagai instruman tetapi senyatanya jauh. Elit politik dan elit bisnis seharusnya
terpisah. Keberadaan program reforma agraria ini juga harus didukung oleh kekuatan militer
yang ada termasuk juga polisi karena negara yang memimpin kekuatan ini. Berbanding terbalik
yang saat ini di Indonesia polisi termasuk juga miiter yang berada di garda terdepan untuk
menangkap bahkan memukuli rakyat yang mempertahankan dan memperjuangkan tanah-tanah
mereka yang digusur. Oleh karena itu dalam mewujudkan perubahan reforma agraria ada dua sisi
hal pertama adalah atas dasar kebaikan pemerintah, kedua adalah berdasarkan inisiatif-inisiatif
rakyat yang harus didukung dengan syarat-syarat dimana oraganisasi rakyat harus kuat,
perjuangannya harus masif dan juga dengan keberanian yang luar biasa.
Potensi-potensi koflik di negara Indonesia kian subur sehingga untuk memenangkan kasus
agraria ini terbilang cukup sulit. Ada beberpa alasan mengapa peyelesaian konflik agrararia ini
terbilang sulit yaitu sebagai berikut :
1. Dari sisi hukum tata negara konflik agraria bisa saja terjadi karena maladministrasi dalam
proses pemberian konssi tanah, ijin lokasi, ijin usaha, perkebunan ataupun HGU. Dari beberapa
kasus banyaknya penyalagunaan wewenang, pnyimpangan prosedur dan pengabaian kewajiban-
kewajiban hukum yng seausnya menyrtai para pemegang/penerima ijin atau hak tersebut.
2. Masalah konflik agraria terkait perkebunan yang telah dilaporkan KPA tersebut disebabkan
oleh beberapa faktor: (1) Pelepasan kawasan hutan untuk keperluan perkebunan di atas tanah-
tanah milik masyarakat adat, garapan petani atau desa; (2) Terbitnya izin lokasi dan/atau Hak
Guna Usaha (HGU) di atas areal-areal masyarakat (termasuk areal transmigrasi) yang
mengakibatkan penggusuran lahan garapan dan pemukiman warga; (3) Perpanjangan HGU di
atas tanah-tanah yang telah diterlantarkan lama oleh pemilik konsesi dan sudah digarap oleh
masyarakat secara produktif, bahkan
sudah menjadi desa/kampung; (4) Penggarapan masyarakat di atas tanahtanah, dimana masih
berlaku HGU perkebunan namun tidak dikelola dengan baik oleh perusahaan (tanah terlantar);
(5) Belum diakuinya penggarapan masyarakat di atas tanah-tanah yang diterlantarkan pihak
perkebunan; (6) Perusahaan perkebunan mengelola atau mengklaim tanah yang berada di luar
peta HGU perusahaan, dan kenyataannya tanah tersebut merupakan tanah garapan masyarakat;
(7) Tumpang tindih sertifikat HGU perkebunan dengan sertifikat milik masyarakat; (8) Belum
dibayarnya ganti kerugian kepada masyarakat dalam proses pembebasan lahan untuk
perkebunan; (9) Belum diberikannya lahan plasma yang dijanjikan kepada masyarakat; dan (10)
Ketidakadilan bagi hasil kemitraan perkebunan yang diterima oleh masyarakat.
Konflik di bidang agraria yaitu sebagai berikut :
a. Sektor perkebunan
b. Sektor infrastruktur
c. Sektor properti
d. Sektor pertambangan
e. Sektor kehutanan
f. Sektor fasilitas militer
g. Sektor pesisir dan pulau-pulau kecil
h. Sektor pertanian
Capaian minim reforma agraria yang dituntut masyarakat selama lima tahun terkahir, salah
satunya dipengaruhi oleh regulasi yang terkait dengan reforma agraria dan penyelesaian konflik
agraria di kehutanan tersebut.
PERPRES 88
Terdapat 4 skema penyelesaian konflik dalam perpres ini, yaitu pelepasan kawasan hutan, tukar-
menukar kawasan hutan, hak kelola perhutanan sosial dan resettlement. Kelemahan Perpres 88
adalah: (1) Tidak bekerja di kawasan hutan yang memiliki hutan kurang dari 30% (Jawa, Bali
dan Lampung); (2) Mengecualikan kawasan hutan yang telah berstatus penetapan/pengukuhan;
(3) Mengecualikan pelepasan kawasan hutan yang berstatus kawasan hutan lindung dan
konservasi; (4) Tidak bekerja di wilayah transmigrasi, yang berada dalam konsesi hutan
swasta/BUMN yang Menuju Penyelesaian Konflik Agrari belum dilepaskan; (5) Inver PTKH
hanya bisa diajukan sekali untuk setiap lokasi; (6) Proses dan prosedural berbelit serta memakan
waktu lama.
PERPRES 86
Peraturan Presiden tentang Reforma Agraria dinantikan cukup lama oleh gerakan reforma
agraria. Ini mengingat di masa SBY, rencana draft PP Reforma Agraria mangkrak di Istana
hingga berakhirnya periode 10 tahun SBY. Baru pada September 2018, presiden mengesahkan
Perpres 86/2018 tentang Reforma Agraria. Dalam Perpres ini, dimandatkan bahwa tujuan utama
reforma agraria adalah memperbaiki ketimpangan penguasaan tanah, menyelesaikan konflik
agraria, menciptakan kemakmuran rakyat dan mencapai kedaulatan pangan di lokasilokasi
dimana RA dijalankan.
Reforma Agraria
Dalam pengartian bagaimana reforma agraria yang sejati. Refoma adalah pengaturan kembali
tentang suatu hal. Dalam teori klasik modern yang menjelaskan tentang sebuah kondisi
masyarakat yang dinamis. Yang diidentifikasikan oleh jord simel tentang
bagaimana kedinamisan interaksi masyarakat yang mengkrucut pada sebuah analisis tentang
manusia itu mengeluarkan yang dinamakan human cration. Jord simel mengkrucut pada Karl
Mark yang berkaitan tentang pertentangan kelas. Yang mengkrucut pada sebuah isilah yang
sebut kecerdasan atau kepemahaman. Sejati adalah sebuah keindahan, yang bersifat hakiki,
indah, yang hingga akhirnya perjuangan tentang konflik agraria dapat terselesaikan.
Persoalan agraria tidak selesai ketika Indonesia merdeka karena akhirnya disitu juga point
pertama diselenggarakannya konflik agraria berikutnya. Terdapat teori Patron Klayen, Patron
adalah pemilik lahan yang begitu besar atau dalam istilah saat ini adalah mafia tanah, sedangkan
klayen adalah buruh tani, buruh lapangan, dan pekerja. Saat Indonesia merdeka teori ini masih
berlanjut, namun Indonesia memiliki aturan lebih baik dari peraturan Kolonial Belanda. Pada
tahun 1970 ada sebuah UU Kolonial Belanda yaitu Domein Verklaring yg menjelaskan bahwa
orang indonesia harus menunjukkan tanah dan bisa membuktikan bahwa itu adalah tanah
mereka. Dalam pembuktian hak kepemilikan tanah yang tidak sejalan dengan kondisi yang saat
itu adalah tanah jajahan. Jika dikaitkan ketika ada konflik agraria semisal dengan PT. atau
pengusaha yang pihaknya meminta dokumen tanah, namun analisis yang dipakai oleh PT. atau
pengusaha yang sampai saat ini seakan masyarakat harus membuktikan itu adalah tanah mereka
dengan dokumen yang pada zaman-zaman tertentu tidak dapat memiliki dokumen tersebut.
Untuk penyelesaian persoalannya secara klasik pada zaman dahulu dikenal konflik agraria
perwujudannya adalah benturan fisik. Sehingga terjadinya pembunuhan, penganiayaan dan
sebagainya. Tidak demikian dengan hari ini karena telah banyak studi-studi kajian dan keilmuan.
Bidang kajian, bidang keilmuan, yang diselesaikan pada ranah kebijakan yang dapat dianalisis
melalui analisis dampak sosial dan lingkungan. Dalam pendekatan penyelesaiannya Indonesia
berdiri pada dua peraturan yaitu litigasi dan non
litigasi, litigasi yang membawa konflik agraria kepada meja persidangan pada peraturan yang
demokratis dan pancasilais juga bisa dengan musyawarah dan mufakat.
Bagaimana upaya pemerintah untuk menjaga kedaulatan pangan nasional di tengah kondisi
petani yang tertindas?
Dalam rancangan RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional) terdapat rencana
pembangunan food estate atau kawasan sentra produksi pangan (KSPP). Food Estate merupakan
konsep pengembangan produksi pangan yang dilakukan secara terintegrasi dan terdiri atas
pertanian, perkebunan, bahkan peternakan di lahan yang luas. Program ini diproyeksikan sebagai
terobosan untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional. Dalam upaya mewujudkan kedaulatan
pangan nasional, program food estate bukanlah hal baru melainkan telah beberapa kali
dilaksanakan.
Bagaimana rekam jejak Food Estate di masa lalu?
Di masa lalu kebijakan pengembangan food estate telah dilaksanakan dengan beberapa program
dan upaya, namun hasilnya menemui kegagalan.
• Pengembangan Lahan Gambut (1995-1999)
Pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, program food estate pengembangan lahan gambut
(PLG) mengalami kegagalan sehingga diberhentikan di masa kepemimpinan Habibi. Proyek
food estate ini menjadi sebuah bencana besar karena mengakibatkan kebakaran lahan gambut
skala besar dan tidak menghasilkan beras.
• Proyek MIFEE (2010)
Pada masa pemerintahan Presiden SBY, program food estate diwacanakan melalui program
Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE). Program ini dianggap gagal karena pada
pelaksanaannya banyak terjadi kerusakan lingkungan. Hal ini dikarenakan 50 persen
lahan yang digunakan merupakan kawasan hutan, sehingga menyebabkan tingginya tingkat
deforestasi, hilangnya keanekaragaman hayati, bahkan terjadi konflik sosial.
• Proyek DeKaFE (2011-2018)
Pada tahun 2011 pemerintah pusat mengeluarkan program Delta Kayan Food Estate (DeKaFE)
untuk mewujudkan ketahanan pangan. Namun hasilnya tidak optimal karena selama dijalankan
proyek ini tidak mendapatkan peningkatan hasil yang signifikan. Hal ini terjadi karena
peningkatan produksi hanya difokuskan pada tanaman padi saja padahal tingkat kecocokan
antara lahan dan tanaman belum teruji, selain itu juga disebabkan karena kurangnya infrastruktur
yang memadai.
Dengan adanya pengalaman kegagalan proyek food estate di masa lalu, pemerintah harusnya
lebih selektif dan berhati-hati dalam menyelenggarakan proyek serupa di masa sekarang.
Bagaimana rencana kebijakan food estate di masa sekarang?
Di masa sekarang kebijakan food estate direncanakan dibangun di berbagai provinsi seperti
Kalimantan Tengah, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Nusa Tenggara Timur, hingga Papua.
Kebijakan food estate diatur dalam Peraturan Menteri LHK No.
P.24/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2020 tentang penyediaan kawasan hutan untuk
pembangunan food estate (Permen LHK 24/2020). Dalam rilisnya, KLHK menjamin bahwa
pembangunan food estate akan mempertimbangkan aspek berkelanjutan dan menjaga kelestarian
lingkungan. Namun, melihat pengalaman program MIFEE dimana terdapat kesamaan rencana
wilayah yakni kawasan hutan, bukan tidak mungkin kegagalan akan kembali diraih karena
kelestarian lingkungan dan ekosistem keanekaragaman hayati akan kembali terganggu. Dengan
demikian dapat diartikan bahwasanya jaminan KLHK mengenai aspek berkelanjutan dan
kelestarian lingkungan hanya sebatas janji manis semata.
Lebih lanjut, Permen LHK 24/2020 yang ditetapkan sebagai dasar pembangunan food estate di
kawasan hutan ini bertentangan dengan beberapa Undang-undang Kehutanan (UU 41/1999) dan
PP Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan (PP
6/2007 jo. PP 3/2008). Di dalam UU tersebut terdapat batasan tegas mengenai pemanfaatan
kawasan lindung baik untuk pemanfaatan kawasan, pemanfaatan hasil hutan bukan kayu, dan
larangan untuk kegiatan yang menimbulkan kerusakan seriu serta mengakibatkan hilangnya
fungsi hutan lindung. Dari ketentuan-ketentuan tersebut, tidak bisa dipenuhi oleh Permen LHK
24/2020 bahkan sangat jelas bertentangan sehingga berpotensi menghasilkan ketidakpastian
hukum.
Apabila aturan penggunaan kawasan hutan lindung menjadi kawasan food estate benar terjadi,
maka hal ini akan meningkatkan laju deforestasi yang justru bertolak belakang dengan kebijakan
yang sudah diterapkan sebagai komitmen pencegahan terjadinya krisis iklim. Krisis iklim
menyebabkan terjadinya perubahan iklim yang berubah-ubah sehingga akan berdampak buruk
bagi sector pertanian karena berpotensi memicu terjadinya kekeringan, banjir, serangan hama,
serta menyulitkan petani dalam memprediksi usim tanam dan panen.
Secara sosial, pembukaan kawasan food estate memiliki dampak terhadap masyarakat. Sebagai
contoh, rencana pembukaan kawasan hutan di Papua sebagai kawasan food estate mendapat
pertentangan dari masyarakat, hal ini kemudian berpotensi besar akan terjadi konflik agraria
kembali. Sebagaimana telah dijelaskan bahwasanya setiap konflik agraria terjadi maka petani
maupun mayarakat sekitar selalu menjadi korban baik secara represifitas maupun terdampak
kesejahteraan hidup dan kerusakan kondisi lingkungannya. Dalam hal penguntungan, proyek
food estate kemungkinan besar hanya akan menguntungan pengusaha besar, masyarakat biasa
hanya akan menjadi penonton dengan lahan garapan seadanya tanpa adanya perhatian dari
pemerintah terkait ketersediaan subsidi benih, pupuk, bahkan penjualan hasil panen yang
tergolong murah. Karena pada kenyataanya kebijakan-
kebijakan yang dilaksanakan oleh pemerintah kebanyakan hanya menuhankan kepentingan
investasi dibanding kepentingan petani dan masyarakat.
Implementasi dari kebijakan food estate sebagaimana yang ditetapkan dalam Permen
LHK24/2020 ini tidak lepas dari catatan evaluasi mengenai dampak yang terjadi. Berkaca pada
rekam jejak kebijakan serupa yang pernah dilaksanakan, maka seharusnya pengambilan
keputusan untuk menjalankan kebijakan tersebut haruslah berdasarkan bukti dan analisis kajian
mendalam agar tercipta kepastian hukum dan kepastian ilmiah yang mendasari. Jikalau hal ini
dilanggar atau tidak dilaksanakan maka kebijakan yang diambil akan berpotensi merugikan
masyarakat, lingkungan hidup, dan kebijakan itu sendiri.
POIN TUNTUTAN
1. Mendesak Pemerintah RI untuk melanjutkan moratorium perluasan sawit dan hentikan
pemberian izin baru tambang dan HTI
2. Tuntaskan konflik agraria dan hentikan kriminalisasi serta bebaskan kaum tani yang di
tangkap.
3. Sah kan rancangan undang-undang mengakuan dan perlindungan masyarakat hukum
adat.
4. Cabut Omnibus Law Cipta Kerja
5. Hentikan mega proyek food estate di Kalbar dan Kalteng
6. Berikan bantuan saprotan & saprodi yang berkelanjutan dan adil, serta edukasi SDM
7. Naikkan upah buruh kebun skala besar & turunkan target kerja yang tinggi
8. Berikan kredit yang mudah di akses dan rendah bunganya (dibawah 6%)
9. Pemerintah harus tegaskan harga beli terendah di tingkat petani untuk komoditas
pertanian
10. Berikan jaminan kesehatan yang murah untuk rakyat.

Anda mungkin juga menyukai