Anda di halaman 1dari 16

CRITICAL REVIEW

Reformasi Agama
(Lee Cameron McDonald. 1968. Western Political Theory. New York:

Harcourt Brace Jovanovich. Part 2: 9)

DISUSUN UNTUK TUGAS DISKUSI 1 – TANGGAL 21 APRIL 2021

MATA KULIAH PEMIKIRAN POLITIK

Pengajar: Prof. Dr. Maswadi Rauf, MA

Semester/Thn. Akademik: Genap/2020-2021

Oleh:

Imam Mawardi Sumarsono

NPM: 201186518018

Program Magister Ilmu Politik Sekolah Pascasarjana

Universitas Nasional

1
Reformasi Agama
(Critical Review atas buku Lee Cameron McDonald. 1968. Western Political Theory. New
York: Harcourt Brace Jovanovich. Part 2: 9)

I. Pendahuluan
Politik yang terjadi di dunia ini, sebagian besar disebabkan oleh perbedaan yang terjadi karena
urusan-urusan gerejawi yang cenderung kita benci, atau permusuhan teologis yang sering
diabaikan. Kalimat ini dikutip Mcdonald (1968) dari N. Figgis. Dengan pernyataan ini,
Macdonald menyebutkan bahwa Reformasi Gereja --meskipun masih belum bisa dimengerti
mengapa sejarah agama bisa menjadi peristiwa politik yang bersejarah-- adalah simbol dari
berpindahnya berbagai perangkat dan fungsi-fungsi kekuasaan dari gereja Abad Pertengahan
menuju ke negara sekuler. Loyalitas pada agama bergeser menjadi nasionalisme.
Nasionalisme, menurut Mcdonald, bukanlah padanan yang tepat dalam konteks
pengabdian di dalam beragama. Karena nasionalisme tidak mungkin mengubah pola kehidupan
beragama. Terlalu sederhana untuk mengatakan bahwa gereja sebagai lembaga religius,
mengalami penurunan dukungan dan negara sekuler yang baru justru mengisi kekosongan yang
ditinggalkan gereja. Apalagi terhadap gereja Abad Pertengahan yang selalu menjalankan semua
urusan, termasuk pemerintahan dengan Hukum Kanon (hukum yang mengatur gereja), sulit
dibayangkan harus berhadapan dengan para penguasa sekuler, yang seharusnya menjadi
pelaksana dari gereja karena para penguasa sekular itu adalah anggota gereja.
Abad Pertengahan ditandai dengan menguatnya Negara-Gereja. Istilah ini dipahami
sebagai suatu kekuasaan yang universal atau tanpa batas teritorial yang jelas, namun masing-
masing negara di Eropa memiliki kewajiban yang harus dijalankan sehingga merka saling terikat
satu sama lain. Kekristenan bukan saja menjadikan lembaga komunikasi keagamaan, tetapi lebih
sebagai lembaga yang mengatur tatanan politik juga.
Negara reformasi muncul sebagai hasil dari fragmentasi adanya batas teritorial diantara
negara-negara di Eropa saat itu, yang secara hukum berada di dalam wilayah kekuasaan gereja.
Mcdonald menilai bahwa gerakan reformasi yang dimotori oleh Martin Luther, sebenarnya tidak
terkesan sebagai gerakan yang menguatkan para penguasa sekuler. Tetapi, Luther melawan
ajaran- ajaran keimanan Kristiani yang disalahgunakan untuk alasan-alasan praktis, sehingga dia
menafsirkan bahwa Alkitab pun menerima kekuatan hukum sekuler sebagai hukum yang berasal
dari Tuhan. Dari sinilah perlawanan Protestan itu bermula.

II. Pembahasan
Pada tanggal 13 Oktober 1517, Martin Luther memaku sembilan puluh lima tesisnya yang
terkenal ke pintu gereja kastil di Wittenberg, gereja yang dipimpin seorang Lektor yang dikenal
sebagai Frederick The Wise. Luther tahu bahwa setiap tanggal 1 November, adalah Hari Suci
Para Santo, dimana para pengurus gereja akan memamerkan koleksi relik suci yang megah, dan
karena itu Luther berharap akan banyak orang yang akan membaca tesisnya.
Sembilan puluh lima tesis Luther tersebut adalah serangan keras pada gereja. Bahkan, sudah
digolongkan sebagai bid'ah. Di dalamnya juga berisi tentang keluhan terhadap jual-beli
indulgensi atau surat pengampunan dosa. Sebagian kalimat tergolong moderat, sebagaimana dia
tulis pada tesis nomor:
41) Indulgensi kepausan seharusnya hanya dikeluarkan dengan hati-hati, jangan sampai
orang mendapatkan pemahaman yang salah, dan berpikir bahwa itu lebih disukai
daripada pekerjaan baik lainnya: pekerjaan menyebarkan kasih.
43) Orang Kristen harus diajarkan bahwa orang yang memberi kepada orang miskin, atau
meminjamkan uang kepada mereka yang membutuhkan, adalah melakukan tindakan yang
lebih baik daripada jika membeli indulgensi.
47) Orang Kristen harus diajar bahwa mereka membeli indulgensi harus secara sukarela, dan
tidak berkewajiban untuk melakukannya.
48) Umat Kristen harus diajar bahwa, dalam memberikan indulgensi, Paus memiliki lebih
banyak kebutuhan dan lebih banyak keinginan, untuk doa yang saleh atas namanya
sendiri daripada uang siap pakai.
Namun, sebagian lagi berisi kata-kata yang tajam yang ditulis Luther, yang isinya adalah kritik
terhadap kondisi yang terjadi:
79) Adalah penghujatan untuk mengatakan bahwa lambang salib dengan lengan kepausan
memiliki nilai yang sama dengan salib tempat Kristus mati.
86) Lagi: karena pendapatan Paus saat ini lebih besar daripada pendapatan orang terkaya,
mengapa dia tidak membangun satu gereja di St. Peter dengan uangnya sendiri dan bukan
dengan uang orang-orang yang lalai dengan keimanannya?
87) Lagi: apa yang Paus kirimkan atau berikan kepada orang-orang yang, dengan penyesalan
sempurna mereka, memiliki hak untuk remisi atau dispensasi paripurna?
90) Pertanyaan ini adalah masalah serius yang berdampak pada masyarakat awam. Menindas
mereka dengan paksaan saja, dan tidak membantahnya dengan memberikan alasan,
berarti menunjukkan kejelekan gereja dan paus pada musuh mereka, dan ini membuat
orang Kristen tidak bahagia.
Martin Luther, adalah anak pertama dari tujuh bersaudara dari Hans dan Grethe Luther.
Dia lahir di Eisleben, sebagai kota kecil di barat laut leipzig pada tahun 1483. Hans Luther
berharap Martin akan menjadi seorang pengacara sehingga dia mengumpulkan biaya yang cukup
untuk mengirim Martin ke sekolah. Pada 1505, Martin menerima gelar M.A di Universitas
Erfurt, dan memutuskan untuk menjadi seorang biarawan. Keputusan itu muncul setelah dia
mengalami peristiwa aneh dan menakutkan, yaotu ketika dia terjebak di dalam badai dan
tersambar petir. Sejak itu, dia bersumpah kepada Santo Anne - yang ironisnya dan secara
signifikan, adalah pelindung ayahnya - bahwa dia akan menjadi seorang biarawan.
Pada 1508, Martin ditugaskan ke biara Augustinian di wittenberg dan menjadi pengajar
ilmu logika dan fisika di Universitas wittenberg. Dia kemudian menjadi profesor teologi, posisi
yang dia pertahankan selama sebagian besar hidupnya. Kunjungan ke Roma pada tahun 1510
tidak memberikan pengaruh apa-apa pada Luther. Tetapi, pada tahun-tahun berikutnya muncul
2
sikap

3
permusuhan Luther terhadap kebijakan tertentu dari Kepausan, terutama soal penyalahgunaan
indulgensi atau surat pengampunan dosa.
Tesis-tesis yang dibuat oleh Luther, mengakibatkan perdebatan --tepatnya pertikaian--
yang keras antara Luther dan Tetzel, seorang biarawan Dominika dan yang juga penggalang dana
terkemuka, yang saat itu sedang menggalang dana untuk Albrecht dari Brandenberg. Albrecht
membutuhkan uang untuk membayar Paus Leo X untuk mengatur pengukuhannya sebagai
Uskup Agung, dan Leo membutuhkan uang untuk menyelesaikan pembangunan Basilika Santo
Petrus di Roma. Pada titik ini, Martin luther menjadi pion yang nyata dalam perebutan
kekuasaan antara penguasa di Jerman dan Kepausan Italia saat mereka sedang memperebutkan
kekayaan sebagai bentuk kesetiaan kepada Paus.
Paus Leo X yang moderat, merasakan kesulitan secara politik sehingga tidak membiarkan
Luther muncul di Roma. Dia malah memerintahkan Luther untuk menghadap Kardinal Cajetan
di Augsburg pada bulan Oktober 1518 untuk menjawab tuduhan ketidakdisiplinan dan bid'ah.
Luther menolak panggilan Cajetan untuk diadili serta meminta kepada Frederick untuk mengirim
Luther ke Roma. Frederick menolak. Dalam kisah selanjutnya dari episode tersebut, istilah
Reformasi mulai digunakan untuk pertama kali, meskipun luther tidak membayangkan bahwa
reformasi itu lebih mengarahak pada perubahan internal di dalam gereja.
Keraguan terhadap Kepausan yang berkembang di Jerman mulai menimbulkan perasaan
anti-papal atau gereja Roma. Ini akhirnya mendorong Luther untuk menulis Surat Pernyataan
lengkap kepada Paus Leo X. Leo, mulanya merespon dengan semangat yang damai, dan bahkan
mengundang Luther ke Roma. Tetapi Luther menolak untuk pergi. Pada tahun 1520, Leo
mengeluarkan Exsurge Domine atau keputusan gereka yang isinya mengutuk empat puluh satu
pernyataan Luther. Dia juga memerintahkan dilakukannya pembakaran secara terbuka atas
tulisan- tulisan Luther serta memerintahkan Luther untuk datang ke Roma dan membuat
pembelaan di hadapan publik dalam waktu enam puluh hari atau dikucilkan.
Luther menjawab hal ini dengan membuat surat terbuka berjudul Open Letter to the
Christian Nobility of the German Nation Concerning the Reform of the Christian Estate. Tulisan
ini dia tujukan kepada para bangsawan Kristen bangsa Jerman yang isinya adalah tentang
Reformasi bagi seorang Kristiani sejati. Setelah itu, Luther diekskomunikasi atau dipecat sebagai
pendeta. Di tahun yang sama, 1520, Luther menulis dua traktat yang memiliki nilai politis yang
penting, yaitu The Babylonian Captivity of The Chruch (Gereja Babilonia yang terpenjara) dan
On The Freedom of The Christian Man (Atas Nama Kebebasan Kristiani Sejati). Dengan
semangat revolusioner yang membara, Luther bahkan secara terbuka membakar tulisan Paus
pada bulan Desember 1530. Ini merupakan tindakan yang ekstrim, yang seolah menyatakan
bahwa tidak ada seorang pun yang dapat diselamatkan kecuali dia hidup bersama Kepausan.
Untuk mengatasi pertikaian yang terus berkembang, Kaisar Muda Charles V menyerukan
berkumpulkan Majelis Gereja (Diet of Worms) yang terdiri dari pada bangsawan terkemuka,
pendeta, dan perwakilan dari kota-kota di Eropa. Luther dipanggil untuk menjawab kecaman-
kecamannya. Pada tanggal 18 April 1521, sehari setelah penolakannya, Luther menjawab
tuduhan pada dirinya dengan menggunakan bahasa Jerman yang menempatkan bahwa apa yang
dia lakukan adalah kehendaknya sendiri yang berada di atas gereja. "... Hati nurani saya
tertahan oleh dunia Tuhan. Saya tidak bisa dan saya tidak akan menarik apapun."
Kaisar Charles V dan Majelis Gereja mengeluarkan kecaman, yang membuat situasi
bergejolak. Luther kemudian dibawa pergi oleh Frederick The Wise ke kastil Wartburg, dan
tinggal setahun di tempat itu. Hingga kemudian terkadi pemberontakan Protestan di Wittenberg
yang semakin tidak terkendali, sehingga Luther merasa berkewajiban untuk kembali dan
memulihkan ketertiban. Sejak saat itu, gerakan Martin Luther dan pemikiran-pemikirannya,
menjadi terlihat sebagai gerakan dan pemikiran politik dibanding argumen teologis. Hal ini bisa
jadi disebabkan karena pemikiran politik Luther yang sederhana, yang ekspresinya tidak
merepresentasikan dirinya.
Dalam khotbahnya yang terkenal tentang perbuatan baik pada Mei 1520, Luther
menyatakan anjuran penting kepada para penguasa sekuler, yaitu meminta mereka untuk
menyerang Turki yang sebenarnya (pada saat itu, Turki adalah ancaman terhadap dunia Barat).
Namun, yang dimaksud di sini bukan Turki seperti itu, melainkan kekuasaan Kepausan. Luther
mulai mengungkap dengan apa yang dia sebut pentingnya bagi para Romanis yang cerdas
(pendukung gereja Roma) untuk merobohkan "Tiga Tembok" yang mengelilingi diri mereka
sendiri. Tembok pertama adalah keyakinan bahwa otoritas sekuler tidak memiliki pembenaran
untuk memerintah mereka. Kedua, kutipan kitab suci bisa berlawanan dengan mereka, karena
adanya klaim bahwa hanya paus yang kompeten untuk menafsirkan kitab suci. Ketiga, Konsili
atau dewan gereja digunakan ketika ada ancaman, yaitu adanya klaim bahwa hanya paus yang
dapat memanggil sebuah Konsili. "Semoga Tuhan sekarang membantu kami, dan memberikan
kami salah satu terompet yang digunakan untuk meruntuhkan dinding Jericho, agar kami dapat
menerbangkan dinding kertas dan jerami ini, dan membebaskan orang Kristen."
Apa yang disebut Luther sebagai Merobohkan Tembok Pertama, adalah cara Luther
membawa pemikiran pada prinsip dasar Protestan, yaitu imamat atau pemimpin agama adalah
orang yang terpercaya. Pendeta dipilih untuk melakukan fungsi khusus, tetapi yang terjadi hal itu
dilakukan hanya mencapai kedudukan atau kewenangan tertentu. Imam bisa bertindak atas nama
semua orang Kristen, yang semuanya sebenarnya memiliki otoritas yang sama. Luther
menggambarkan, jika ada sepuluh bersaudara putra raja yang setara sebagai ahli waris, maka
mereka sama-sama bisa dipilih untuk memerintah kerajaan. Semuanya bisa menjadi raja dan
memiliki otoritas yang sama, meskipun pada akhirnya yang ditunjuk untuk memerintah hanya
satu orang. Dari sini jelas bahwa tidak ada implikasi seorang raja harus dipilih oleh semua warga
negara, karena seseorang bisa dipilih oleh ahli warisnya. Intinya adalah semua persaudaraan
Kristen adalah ahli waris dalam kerajaan spiritual.
Luther pada saat itu tidak menyebut --sebagaimana kemudian menjadi tema penting di
abad 20-- dengan istilah pemisahan gereja. Dia hanya menyatakan bahwa mereka (penguasa
sekuler) adalah orang yang menjalankan otoritas sekuler. "Mereka telah dibaptis seperti kita
semua, dan memiliki iman yang sama, dan Injil yang sama. Oleh karena itu kita harus mengakui
bahwa mereka adalah imam dan uskup. Mereka telah melepaskan jabatan Kekristenan mereka,
dan mengabdi untuk kepentingan Kekristenan. Atau, sekali lagi, karena otoritas sekuler
ditahbiskan oleh Tuhan untuk menghukum pelaku kejahatan dan untuk melindungi yang taat
hukum, jadi kita harus membiarkan mereka bebas untuk melakukan pekerjaan mereka tanpa
hambatan atau hambatan dimanapun di negara-negara Kristen".
Dari sini, tidak sulit untuk memahami bahwa Luther, pada tahun 1517 hanya ingin
mereformasi gereka dan ingin masyarakat terpecah-belah. Karenanya dia selalu berhati-hati
dalam mendukung kekuatan hukum dan ketertiban. Luther ingin menjadikan hukum umum dan
adat istiadat masing-masing orang sebagai dasar pedoman bagi terbentuknya hukum. Dia jarang
sekali menyebut tentang penggunaan hukum Kekaisaran Roma. Bahkan, Luther menyatakan
tertarik untuk mengurangi kuantitas pendidikan hukum untuk meningkatkan kuantitas
pendidikan teologi.
Meskipun, perlu dicatat bahwa ia juga mengusulkan untuk mengurangi jumlah buku teologi yang
rusak. "Membaca banyak buku", katanya,"tidak membuat manusia terpelajar; tetapi membaca
buku yang bagus, sering kali memungkinkan manusia menjadi terpelajar". Luther bahkan
mencampakkan gelar doktor di bidang kitab suci, karena menurutnya tidak ada orang yang layak
untuk gelar itu dan hal itu justru merendahkan (kitab suci).
Pada tulisannya yang disebut sebagai Proposal 26, Luther bahkah menyerang hukum suci
Kerajaan Romawi sebagai fiksi. Menurut Luther, itu adalah sebuah upaya untuk melestarikan
bayangan otoritas Romawi di Jerman dengan tanpa dasar yang sah dan substansial. Secara
sengaja, kata Luther, pada pendukung Roma mengambil nama dari kerajaan -yang sudah tidak
lagi dapat diterapkan di tanah kekaisaran lama- dengan menobatkan charlemagne di Roma pada
tahun 800 untuk mendirikan kerajaan Jerman baru. "Yang sepotong demi sepotong, diberikan
dalam bentuk negara-negara feodal," katanya. Jerman, menurut Luther, menjadi perebutan Paus,
dan sekarang dijadikan sebagai kerajaan Romawi kedua yang dibangun oleh para paus, tetapi di
atas fondasi Jerman. Ini adalah ketidakadilan politik tingkat tinggi. Jerman telah ditipu dan
disalahgunakan. Namun demikian, kata Luther, biarlah. "Bagi Tuhan, tuan adalah hal kecil
untuk membuang kerajaan dan merebut dari Dia. Dia membuat begitu luas penciptaan-Nya,
sehingga kadang- kadang Dia memberikan sebuah kerajaan kepada seorang bajingan, dan
mengambilnya dari salah satu pikiran yang sepertinya religius".
Apa yang disampaikan Luther ini, menurut Mcdonald, menjadi benih dari ketenangan
politik yang kemudian menandai seluruh sejarah Lutheran hingga masa Hitler. Bahwa, politik
tidak terlalu penting bagi Tuhan, karena itu seharusnya tidak terlalu penting juga bagi Kristen.
Tapi, kemarahan Luther kepada Paus tidak bisa disembunyikan dan terlihat seperti
mengancam dengan nasihatnya agar para tiran berhati-hati. "Kita harus membiarkan para
Romanis melihat untuk sekali, apa yang telah kita terima dari Tuhan melalui mereka. Jadilah itu
dan maka jadilah! Biarkan Paus memberi kita kerajaan Romawi dan segala artinya, tapi
biarkan negara kita bebas dari kerajaannya. Pajak dan penipuan yang tidak dapat ditoleransi,
akan memberikan kebebasan kami, kekuatan kami, kehormatan kami, tubuh dan jiwa kami, dan
biarkan kami menjadi sebuah kerajaan yang besar, dan biarlah ini menjadi akhir dari kata-kata
dan klaim- klaim mereka".
Risalah yang berjudul The Babylonian Captivity of The Chruch mulai memiliki referensi
politik daripada risalah sebelumnya. Ini memperkuat semangat egalitarianisme, terutama melalui
doktrin tentang kepercayaan pada imam. Esai ini berisi tentang doktrin sakramental dan
menyatakan posisinya, dengan sedikit pengecualian, sebagai doktrin standar bagi gereja-gereja
yang melakukan reformasi. Menurutnya, hanya dua dari tujuh sakramen gereja Roma, yaitu
baptis dan komune, yang harus dipertahankan karena hanya ini yang diperintahkan oleh kitab
suci. Luther bahkan bersedia memberikan sakramen penebusan dosa yang dapat diterima siapa
saja, tetapi bukan sebagai kebutuhan utama. Begitu juga terkait dengan pembaptisan,
perkawinan, perintah suci, dan minyak penyucian secara ekstrim tidak bisa dianggap sebagai
sakramen yang wajib ditahbiskan secara Ilahiah.
Kritik terhadap tatanan suci adalah cara untuk menegaskan keyakinan orang terhadap
para imam. Bahwa doktrin ini di satu sisi bisa dipahami secara umum, tapi juga bisa dalam
pemahaman berbeda. Doktrin ini, bisa berarti bahwa individu laki-laki sebenarnya bisa memiliki
hubungan langsung dengan Tuhan dan tidak membutuhkan mediasi seorang imam. Namun,
doktrin ini juga
bisa berarti, secara paradoks, bahwa setiap orang wajib menjadi mediator, menjadi seorang
imam, untuk setiap orang lain.
Risalah Luther berjudul The Freedom of The Christian Man, ditulis pada bulan Oktober
1520. Judul ini agak menipu, karena isi yang krusial bukanlah tentang kontroversi untuk
menentukan kebebasan. Tetapi, risalah ini berisi tentang gambaran tentang teori kebenaran iman,
atau lebih tepatnya, kebenaran sebagai rahmat. Teori ini merupakan prinsip Protestan, yang sama
pentingnya dengan kepercayaan kepada pemimpin agama atau imam. Doktrin ini diturunkan
bukan langsung dari Paulus, namun tidak bisa disebut sebagai doktrin eksklusif Lutheran. Hal
signifikan secara kelembagaan adalah bahwa "keselamatan jiwa" seseorang bisa berada di luar
rangkaian ritual, hukum, atau lembaga yang ditentukan. Doktrin bahwa seseorang bisa disebut
benar berdasarkan keimanannya dan bukan oleh perbuatannya tidak boleh ditafsirkan secara
mentah-menta sebagai (1) perbuatan baik tidak penting atau (2) keyakinan yang kuat akan
membuatnya demikian. Perbuatan baik itu penting, tetapi itu merupakan buah dari anugrah
Tuhan, bukan cara untuk mendapatkan anugrah Tuhan.
Perintah kitab suci, sebagaimana diyakini Luther, mengharuskan banyak perbuatan baik
yang harus kita lakukan,"Tetapi ini tidak berarti bahwa semua itu bisa kita penuhi. Mereka
(para imam) memberikan instruksi yang baik, tetapi tidak memberikan bantuan. Mereka
mengajarkan apa yang harus dilakukan manusia, tetapi tidak memberikan kekuatan untuk
melakukan". Luther tidak pernah secara eksplisit mendefinisikan dua kata kunci dalam eksposisi
ini, bahwa keimanan itu melibatkan tiga gagasan yang saling terkait; kepercayaan dasar, ketaatan
aktif dan kasih karunia Tuhan. Bagi Paulus maupun Luther, iman lebih dari sekedar persetujuan
intelektual. Itu adalah komitmen dari keseluruhan diri. Seseorang dapat mengikuti prosedur
tertentu yang dapat membuatnya mendapatkan rahmat. Tetap jika hal itu datang, hanya Tuhan
yang dapat memberi. Gereja disebut suara Kristus karena --seperti mempelai wanita-- gereja
dapat mempersiapkan diri untuk membuahi, tetapi tidak dapat mengandung tanpa benih dari
pengantin pria Ilahi. Setelah kesombongan seseorang hilang dan dia mengakui
ketidakmampuannya untuk memenuhi perintah Tuhan, dengan sendirinya firman Tuhan yang
lain akan datang. Dan itu bukan perintah, tetapi perjanjian, yaitu janji iman. Tuhan lah yang
memerintah dan Tuhan sendirilah yang memenuhi.
Pemikiran Luther ini, seperti biasa, bersifat teologis dan bukan politis, yaitu bahwa
pelayanan gereja harus dilihat sebagai buah dari pohon anugerah yang baik, dan bukan sebagai
sarana untuk menghasilkan pohon yang baik. Kebebasan bukanlah izin untuk pelanggaran
hukum, tetapi keadaan yang mendorong untuk melaksanakan kewajiban jauh di luar hukum.
Orang yang tersentuh oleh karunia kasih Tuhan bisa saja meninggalkan hukum. Tetapi,
bagaimana dengan umat manusia yang belum mengenal kebebasan Kristen, atau yang hanya
melihatnya secara tidak sempurna? Bukankah hukum politik suatu keharusan bagi mereka, dan
bukankah ketaatan mereka pada hukum itu merupakan kebutuhan untuk memelihara suatu
masyarakat sipil yang tertib?
Jawaban atas pertanyaan Luther ini, tentu saja, adalah afirmatif, seperti yang dialami
sebagian besar para pemikir. Pada posisi Luther saat itu, dia dipaksa untuk merumuskan
pertanyaan ini dengan perasaan campuraduk. Karena, setelah dia menyampaikan pendapat
bahwa gereja Roma dalam urusan-urusan tertentu harus mematuhi otoritas sekuler, ia masih
tetap menolak perintah Majelis Gereja, juga otoritas sekuler, untuk menarik kembali dan berhenti
menulis risalah sesatnya.
Risalah selanjutnya yang ditulis oleh Luther berjudul Concerning Temporal Authority
(Tentang Otoritas Duniawi). Risalah ini terdiri dari tiga bagian, yang pertama menjunjung tinggi
asal mula Keilahian dari otoritas duniawi, yang kedua menelusuri batas-batas kekuatan duniawi,
dan yang ketiga memberikan beberapa nasihat partoral kepada para pangeran. Pada bagian
pertama, Luther menyebutkan bahwa orang Kristen sejati tidak membutuhkan hukum sekuler.
Tetapi masalahnya adalah tidak banyak orang kristen sejati di dunia. "Jika seluruh dunia terdiri
atau orang Kristen sejati, yaitu, orang dengan keimanan yang sejati, maka tidak perlu kita
mencari manfaat dari pangeran, raja, tuan, pedang, atau hukum. Mereka tidak akan melayani
tujuan-tujuan itu, karena orang Kristen memiliki hati yang suci. Roh yang mengajarkan dan
membuat mereka melakukan untuk melakukan kebaikan, dan bahkan kematian pun akan mereka
terima dengan sukarela dan riang di tangan siapa pun."
Luther tidak, mungkin, tidak dapat membedakan secara jelas penerapanannya. Namun,
selama seseorang melayani kepentingan orang lain, dan bukan hanya untuk kepentingan pribadi,
tidak ada yang dapat mencegah seorang Kristen menjadi algojo, polisi, ahli hukum, pengacara,
atau pangeran. Tetapi, mereka memang orang-orang yang ditempatkan dalam posisi penuh
keraguan dan ketegangan. Umat Kristen dalam otoritas sipil, jika pendapat Luther benar, adalah
kepribadian yang terbelah, korban kejahatan yang tidak bersalah di dalam diri mereka sendiri dan
cambuk yang kuat dari para pelaku kejahatan di dalam masyarakat mereka. Tidak
mengherankan, jika ini benar, bahwa seharusnya ada begitu sedikit penguasa Kristen.
Di paragraf terakhir, Luther mengajukan pertanyaan paling signifikan bagi manusia abad
ke-20 dalam seluruh bidang kewajiban politik, yaitu: Jika penggunaan pedang untuk kepentingan
orang lain lebih baik daripada untuk kepentingan diri sendiri adalah kriteria yang membenarkan
tindakan penguasa resmi, mengapa tidak seorang pun dapat mengambil pedang berdasarkan
inisiatifnya sendiri untuk tujuan yang baik? Jawaban: keajaiban seperti itu bukan tidak mungkin,
tetapi sangat langka dan berbahaya.
Selanjutnya pada bagian kedua dari risalah tentang Otoritas Duniawi, Luther mencoba
menunjukkan bahwa ada batasan moral yang jelas pada kekuasaan yang dapat dijalankan oleh
para penguasa sekuler. Singkatnya, hukum sekuler tidak dapat dibenarkan dalam usaha
mengendalikan hati nurani atau pikiran. "Kami ingin membuat ini begitu jelas sehingga setiap
orang akan memahaminya, dan bahwa tuan-tuan kami yang baik, para pangeran dan uskup, akan
melihat betapa bodohnya mereka ketika mereka berusaha untuk memaksa orang-orang dengan
hukum dan perintah mereka untuk berkuasa atas jiwa."
Dalam usaha untuk membuat penilaian atas hati nurani orang lain, penguasa seperti
hakim, hanya membuat keputusan berdasarkan bukti yang tidak dilihat atau didengar. Hanya
tuhan yang bisa menilai jiwa. Tetapi, para penguasa memang memiliki otoritas yang tepat atas
hak-hak tersebut, termasuk badan-badan yang memerintah, bisa sangat terbuka untuk
menentukan batas- batas antara kerja sama dan perlawanan dari warganya.
Pada bagian terakhir dalam risalah tentang Otoritas Duniawi, Luther menyampaikan
lebih jelas --yang disebut sebagai sebagai imperatif simplistik-- tentang keyakinannya sungguh-
sungguh. Bahwa, seorang pangeran hendaknya di dalam hatinya mengosongkan dirinya dari
kekuasaan dan otoritasnya, dan memenuhi kebutuhan rakyatnya, menangani mereka seolah-olah
itu adalah kebutuhannya sendiri. Karena inilah yang Kristus lakukan kepada kita; dan ini adalah
karya kasih Kristiani yang pantas.
Dia juga memberikan nasehat: Pangeran harus berdoa, menghindari nasihat palsu,
menghukum dengan tegas tetapi adil, tidak mengambil apapun dengan milik orang lain dengan
cara paksa, dan membela milik rakyat dengan kekerasan jika perlu. Pangeran harus bersikap
lunak
terhadap mereka yang berhutang jika para penghutang itu miskin dan tidak kaku dalam menarik
pajak, karena hukum kasih lebih penting daripada hak apapun.
Sepanjang tahun 1524-1525, terjadi pemberontakan petani terjadi di Thuringia,
Franconia, saxony dan di tempat lain. Pemberontakan itu muncul sebagian besar dikarenakan
oleh masalah ekonomi yang terjadi sebelum reformasi agama. Ada keluhan yang berkepanjangan
atas beban pajak dan pengelolaan lahan pertanian. Ini menyebabkan para petani kesal karena
harus membayar pajak kepada penuasa yang baru dan diterapkannya hukum Romawi yang
semakin meningkat. Selain itu, adanya aturan tentang kepemilikan pribadi menjadikan petani
semakin ketergantungan pada pekerjaan-pekerjaan umum. Situasi ini menyulut terjadinya
penjarahan kastil dan biara. Motivasi para penjarah bermacam-macam; beberapa menginginkan
petani berkuasa, beberapa yang lain menginginkan penghapusan kelas di masyarakat, beberapa
berusaha mengembalikan sistem feodalisme.
Dukungan Luthers untuk para bangsawan, menjadikan tindakan para bangsawan terhadap
petani terlihat sebagai penindasan yang kejam. Ketajaman karya Luther mengaburkan
reputasinya sebagai seorang reformis yang manusiawi. Luther berada di bawah tekanan untuk
mengangkat pedang, sebagai subuah kiasan, dan menjadi pemimpin untuk gerakan politik
kerakyatan. Luther mendasarkan reformasinya sebagai pencarian terhadap roh dan melalui
firman. Namun, kepemimpinan politik menjadikan dirinya terlibat dengan urusan-urusan yang
tidak bisa dihindarinya. Luther menganggap pemimpin petani fanatik yang berpikiran religius,
pada saat itu sebagai nabi palsu yang memutarbalikkan doktrin imamat dengan menggunakan
pengertian sekuler sebagai hal yang tidak dapat dibenarkan.
Suatu kalimat yang berkembang saat itu: "pukul, bunuh, dan tusuk" akhirnya merusak
reputasi Luther. Dengan persenjataan dan kepemimpinan militer yang profesional, para pangeran
membantai ribuan petani. Inilah yang disayangkan, bahwa risalah-risalah Luther hanya terbit di
menara gading. Dalam situasi ini, kerugian ekonomi dan fisik para petani mungkin kurang
signifikan dibandingkan kerugian politik dalam jangka panjang. Karena, selama tiga abad
kemudian, para petani Jerman tidak lagi memiliki hak-hak dalam berpolitik.
Luther bukanlah anti-petani. Dia juga anti-pemberontakan dan anti-perang. Dia tidak
hanya menentang pemberontakan petani, juga menentang pemberontakan ksatria pada tahun
1522 dan perang salib baru melawan Turki. Tetapi, orang-orang yang berpikiran politik tidak
selalu dapat memahami posisinya dan tidak akan membiarkan dia berteologi di atas pertempuran.
Ironisnya, Katolikisme Bavaria Austria yang muncul, kemungkinan berasal dari reaksi
pemberontakan para petani Lutheran daripada dari keberhasilan kontra reformasi. Namun
demikian, terlepas dari kegagalan dan kekacauan pemberontakan para petani, sisi keagamaan
dari reformasi terus berlanjut sebagai gerakan kerakyatan.

III. Kajian Kritis


Melemahnya pengaruh Gereja sebagai pusat kekuasaan dan meningkatnya kekuatan
pemerintahan pada negara-negara di Eropa, menurut Mcdonald bukan hanya disebabkan karena
terjadinya korupsi di Roma sebagai pusat kekuasaan gereja. Dalam kajian politik, sejak abad ke-
15, kekuasaan gereja sebenarnya telah mengalami kemunduran seiring dengan munculnya
semangat kebangsaan di Perancis dan Inggris, meskipun gerakan itu dianggap prematur dan
salah arah. Para
keluarga bangsawan kaya berambisi untuk menghidupkan kembali cita-cita feodal dengan
menghancurkan stabilitas feodalisme yang sudah terbangun sebelumnya.
Kebangkitan nasionalisme untuk melawan gereja Roma, memang tidak dikenal di Eropa
sebelum Luther memakukan sembilan puluh lima tesisnya di pintu gereja wittenberg pada tahun
1517. Namun, pada abad keempat belas, baik Jerman dan Inggris mulai mencurigai Paus Avigon,
yang saat itu menjadi pemimpin gereja, adalah sekutu Prancis yang tidak dapat dipercaya.
Konflik juga terjadi antara Louis dari Bayern dengan Paus Yohanes XXI, yang mulai
memunculkan semangat nasionalisme. Namun, gerakan itu tidak bisa dilihat sebagai perjuangan
politik karena yang dilakukan Louis adalah berusaha untuk mengadili John XXII yanag dia sebut
bid'ah atau sesat, termasuk juga pada pendukung filosofisnya, yaitu Marsilio dari Padua dan John
dari Jandun, para pengkhotbah Albigensi dan Waldensian yang muncul pada era sebelumnya.
Pada tahun 1208, Paus Innocent III memproklamasikan perang salib melawan kaum
Albigensi, yang kemudian dihancurkan secara kejam oleh Raja Louis VIII dari Perancis hingga
tahun 1226. Gerakan Waldensian yang sudah berlangsung lama, akhirnya terjerat ke situasi
politik Italia, dan kehilangan orientasi aslinya sehingga gerakan itu punah. Tetapi ide-idenya
tidak sepenuhnya hilang. Mereka terus melancarkan khotbah dengan kata-kata kasar kepada
orang miskin dan orang buangan. Para pengkhotbah ini percaya pada kesetaraan spiritual semua
orang - bahkan wanita- dan mendasarkan keyakinan religius mereka pada apa yang mereka
temukan dalam Alkitab. Mereka juga menolak doktrin api penyucian, pembelian indulgensi, doa
orang-orang kudus, dan semua sakramen kecuali pembaptisan dan commune.
Sebelumnya, gerakan awal reformasi juga berlangsung cukup lama di wilayah utara. John
Wyclif (1320-84), seorang profesor teologi dari Oxford, menggabungkan keyakinan yang kuat
pada takdir, sehingga konsep gereja dia nilai bertentangan dengan semangat dunia. Karenanya,
gereja dia sebut miskin, baik dalam hal roh maupun materi. Yesus, menurut perasaannya,
menginginkan murid-muridnya tidak memiliki baran-barang kebendaan.
Tetapi, gerekan Wyclif lebih mengarah pada reformasi gereja daripada reformasi sosial.
Serangannya terhadap kekayaan gereja dilakukan dengan mengkombikasikan antara hukum
kodrat dan legalisme skriptual. Meskipun, tidak sepenuhnya konsisten dengan legalisme
semacam itu, Wyclif juga menafsirkan persoalan takdir sedemikian rupa sehingga rahmat Tuhan,
yang tidak akan bisa ditarik kembali akan mengalir langsung ke individu, dan bukan melalui
lembaga. Gerakan Wyclif kemudian dikenal sebagai Lollards, yang menyebarkan empat puluh
lima artikel Wyclif, terus mengkhotbahkan agar tidak memburu harta duniawi dan
menggambarkan cita-cita Kristen sebagai komunisme kasih.
Selain Wyclif, muncul juga gerakan Hussite. John Huss (1369-1415) tidak seradikal
Wyclif. Gerakan Hussite mengarah pada upaya untuk memajukan rekan-rekan teologis mereka
daripada menjadi Lollard. Namun mereka tidak menolak semua ajaran dari empat puluh lima
artikel Wyclif yang telah didakwa oleh gereja sebagai bidah. Huss, seorang pengkhotbah di
Praha, Bohemia, akhirnya dikecam oleh Dewan Constance pada tahun 1415 dan dibakar di tiang
pancang. Kematiannya menjadi martir dan menjadikan revolusi di seluruh Bohemia dan
Moravia.
Meski sulit diukur, Hussites memiliki pengaruh dalam reformasi. Meskipun mengutuk
tindakan Hussites, diketahui bahwa Luther pernah membaca karya Huss yang berjudul Huss's de
Ecclesia, sehingga dia menulis: tanpa menyadarinya sekarang saya telah mengajarkan dan
memegang seluruh doktrin John Huss, dan John Staupitz telah mengajarkan hal yang sama
dalam
ketidaktahuan. Singkatnya kita semua adalah Hussite tanpa menyadarinya, dan karena itu Paul
dan Augustine adalah Hussite yang mematikan.
Mcdonald menilai bahwa gerakan ggalitarianisme religius yang dimotori oleh Luther,
tidak diimbangi dengan egalitarianisme politik. Luther, digambarkan sebagai paradoks, bahwa
terkait persoalan gereja Luther menjadi kurang politis yang menjadikan tergantungan pada
otoritas sekuler. Ini terjadi karena Luther ingin memelihara persatuan Kristen di atas segalanya,
sebagaimana disebutkan oleh Desiderius Erasmus (1467-1536) seorang yang dikenal sebagai
bangsawan humanis di Belanda. Erasmus juga harus disebut pelopor reformasi, meskipun bukan
seorang reformis. Kritiknya yang cermat terhadap doktrin dan praktik gereja, mendapatkan
perhatian luas pada abad XIV dan sangat berpengaruh.
Erasmus menyebutkan bahwa bahwa popularitas Luther itu, seperti telur yang telah
menetas. Sebenarnya Erasmus menyadari bahwa kerja keras yang dilakukan Luhter kurang
spektakuler, tetapi memiliki pengaruh yang signifikan. Terlepas dari tulisan-tulisannya yang
menyindir tentang agama, Erasmus tetap berharap bahwa gereja masih berbasis di Roma, dan
membiarkan perbedaan yang muncul pada gereja-gereja Lutheran. Dia menyebutnya sebagai
gereja ketiga.
Sir Thomas More (1478-1535) juga menjadi martir bagi gereja Katolik dengan. Dia
dieksekusi oleh Henry VIII, meskipun dia termasuk salah seorang yang sangat keras menentang
Luther. More lebih memiliki kecenderungan yang menandai bahwa dia konservatif. Tulisan-
tulisan awalnya, termasuk Utopia terkenal (1516), tidak mewakili keyakinan yang sebenarnya.
Dia berusaha menyangkal keyakinannya sendiri pada tingkat konsistensi yang sangat luar biasa
bagi seseorang memiliki kekuasaan, di samping itu, sedang menghadapi tekanan yang luar biasa.
Karena itulah, Macdonald menyebutkan bahwa Luther, tidak diragukan lagi, naif dalam
gerakan untuk meraih dukung pada penguasa sekuler selain berusaha memasukkan mereka ke
dalam lingkaran Kristen. Dan, pada kenyataannya di tahun-tahun berikutnya, beberapa penguasa
terlalu bersemangat untuk mengeksploitasi posisi Luther untuk menjadi alasan pembenar bagi
berbagai usaha perluasan kekuasaan mereka sendiri dengan mengorbankan gereja Romawi.
Dari uraian di atas, makan terlihat sosok Martin Luther pada dasarnya adalah anti-politik.
Tetapi pemikiran apolitis yang dia buat, telah menghasilkan beberapa produk-produk politik
yang kuat, yang kemudian disebut disebut individualisme modern. Individualisme modern tentu
saja, adalah pemikiran yang kemudian memiliki pengaruh lebih kuat dari apa yang dibayangkan
saat itu. Karena itulah, keyakinan Luther yang radikal pada prinsipnya, yaitu hati nurani
individu, menjadi pondasi bagi budaya orientasi sistem politik di Barat. (*)

Anda mungkin juga menyukai