Anda di halaman 1dari 3

Nama anggota kelompok :

1. Ratnasiwi Triari Ambarwati (20/455916/SA20174)


2. Muhammad Thohir Yudha R (20/462956/SA/20523)
3. Pitania Citra Prabandini (22/499571/SA/21716)
4. Jennifer Renata Angelia (22/494730/SA/21490)
5. Sahadewa Hendra Muhammad (22/504074/SA/21856)

Etnografi Wilayah Kalimantan

Jurnal 1 : Slashed and Burned: War, Environment, and Resource Insecurity in West
Borneo during the Late Nineteenth and Early Twentieth Centuries

Jurnal ini berisi usaha penulis untuk merekonstruksi dan mengkritisi beberapa protes
orang Eropa perihal kebiasaan ladang berpindah dan perang suku oleh Suku Iban serta dampak
yang ditimbulkan atas kejadian-kejadian tersebut. Suku Iban adalah salah satu suku yang hidup
di Kalimantan Barat, tepatnya di sepanjang perbatasan Indonesia dengan Sabah. Suku Iban
secara tradisional hidup di rumah panjang rumah ini berbentuk panjang dengan sekat-sekat
pembatas antar keluarga yang ditempati juga oleh tetangga, seperti apartemen. Dalam setiap
rumah mereka bertanggung jawab atas produksi dan konsumsi ekonominya sendiri. Namun,
ketika panen gagal mereka akan dibantu oleh tetangga untuk membagi hasil panen mereka.
Ekonomi mereka disangga oleh penanaman padi pada ladang berpindah yang didapat dengan
membakar hutan sekaligus menghasilkan abu kaya nutrisi. Proses ladang berpindah rupa-rupanya
memiliki berbagai aspek ekologi, ekonomi, sosial, dan religius yang berkaitan erat dengan fokus
dan filosofi kehidupan suku ini. Dibandingkan dengan hal tersebut, pemerintah kolonial dan para
ahli Eropa menganggap bahwa teknik ladang berpindah suku Iban adalah perusakan dan
pencurian hutan karena ladang berpindah secara cepat mengikis kualitas hutan dan kualitas
tanah.

Pandangan pihak kolonial yang negatif terhadap suku Iban ditinjau dari aspek lainnya
yaitu dari sisi budaya suku Iban yang memiliki sifat kepemilikan dan kompetitif yang kuat
menyebabkan adanya konsep teritori yang diterapkan dan kuasa yang ditunjukkan pada praktik
berburu kepala. Praktik tersebut menimbulkan masalah pada pihak kolonial (Belanda dan
Inggris) yang ingin membuat wilayah nya stabil dan damai. Alih-alih melarang kegiatan
perburuan tersebut, pihak Belanda tidak menyetujui akan praktik tersebut dan pihak Inggris
(Brooke) yang mengakui akan adanya praktik tersebut yang dimiliki oleh masyarakat Iban dan
itu sudah menjadi bagian dari adat mereka, sehingga Brooke tidak ingin mengusik hal itu.
Meskipun begitu kampanye untuk mendamaikan konflik yang terjadi di wilayah Iban terus
digencarkan. Proyek pihak kolonial untuk mengamankan dan menetralkan wilayah tersebut
menimbulkan adanya ekspedisi militer yang dilakukan secara besar-besaran. Salah satu yang
menjadi titik krusial dalam ekspedisi tersebut adalah ekspedisi Kedang yang berimplikasi pada
banyaknya rumah panjang yang hancur beserta properti yang ada, seperti persediaan beras, beras
ketan, benda-benda ritual, hewan ternak, guci-guci keramik dan lain sebagainya. Aksi tersebut
efektif dalam mendorong para masyarakat Iban keluar dari Baleh dan bermigrasi ke lokasi lain.
Melalui aksi tersebut implikasi yang didapatkan juga berlanjut secara jangka panjang yang
membentuk pilihan strategi yang tidak menguntungkan dan tidak berkelanjutan oleh suku Iban.

Jurnal 2 : Multi-Functional Lands Facing Oil Palm Monocultures: A Case Study of a


Land Conflict in West Kalimantan, Indonesia

Berfokus pada isu konflik lahan kelapa sawit di komunitas Melayu, Kalimantan Barat.
Penulis melakukan penelitian mengenai tanggapan warga lokal terhadap rencana
perusahaan-perusahaan yang akan membuka lahan di wilayah mereka. Masyarakat menganggap
bahwa lahan tidur yang ada, dan tidak terkendali itu karena dikaitkan dengan hantu atau jin. Saat
ini, lahan yang seperti itu, berpotensi menyebabkan kebakaran hutan. Terkesan bahwa
perusahaan membohongi masyarakat karena semakin lama, semakin tidak untung. Hal ini terjadi
karena secara tidak langsung, masyarakat terjebak pada bujuk rayu perusahaan begitu juga
persoalan legalitas tanah yang menjadi momok untuk masyarakat. Jalan konflik kekerasan
menjadi upaya perlawanan warga yang tidak berdaya. Mereka para warga lokal menolak dan
melakukan protes terhadap rencana pembukaan lahan perkebunan sawit. Adapun hal tersebut
dilatarbelakangi oleh beberapa aspek. Pertama, aspek historis dan identitas asli mereka yang
diturunkan dari nenek moyang. Pengaturan kuasa lahan nantinya dapat menghilangkan identitas
asli mereka yaitu “petani mandiri” menjadi kuli atau buruh terikat di tanahnya sendiri yang
mereka anggap lebih rendah dan menurunkan status sosial mereka. Kedua, tanaman monokultur
yaitu kelapa sawit dianggap akan membawa mereka pada krisis ketahanan pangan. Hal tersebut
karena tanaman kelapa sawit tidak mampu disandingkan atau ditanam bersama dengan tanaman
lain juga keterbatasan lahan produktif serta perebutan “jenis hutan” yang membuat kebutuhan
makanan pokok yang biasanya bisa didapat dari hutan menjadi semakin susah. Selain itu,
sebelum proses pemanenan lahan tersebut tidak mampu produktif. Tanggapan tersebut kemudian
yang mengkhawatirkan mereka akan menurunnya hasil pendapatan mereka sehari-hari dibanding
sebelumnya yang menanam karet serta tanaman pertaniannya lainnya.

Penulis beranggapan bahwa baik masyarakat, perusahaan, juga pemerintah, sama-sama


memiliki beban konflik yang tidak sama-sama terselesaikan. Hal tersebut terjadi karena berbagai
perubahan peraturan terkait legalitas tanah hingga keabsahan hukum tanah, membuat
ketidakjelasan dan ketidaknyamanan bagi masyarakat. Perusahaan juga tidak memberikan
jawaban untuk keresahan atau membantu produktivitas pengolahan lahan karena terfokus pada
efisiensi penggunaan lahan. Selain itu, masyarakat juga yang terjebak dalam himpitan konflik
baik dari diri individu, dan diantara raksasa (pemerintah juga perusahaan).
Konektivitas :
Dari kedua jurnal tersebut berbeda dari jurnal-jurnal sebelumnya dan dipaparkan sudut pandang
dari ‘luar’ dan cukup berbeda. Bagaimana terlihat bahwa konflik yang terjadi dipicu oleh salah
satu faktor yaitu mengenai stereotipe orang Kalimantan yang “kurang produktif”. Konflik hadir
buah bentuk keterpaksaan dan keputusasaan masyarakat atas masalah yang menghimpitnya.
Namun konflik tidak muncul begitu saja, beragam faktor menyertai. Kebiasaan-kebiasaan
masyarakat lokal yang dijelaskan pada jurnal pertama dinilai oleh kolonial tidak mampu
menghasilkan pendapatan lebih dan justru merusak lingkungan. Kemudian di jurnal kedua
dijelaskan mengenai stereotipe tersebut menjadi salah satu faktor atau alasan perusahaan untuk
membuka lahan yang pada akhirnya masyarakat merasa dirugikan dan melakukan protes. Lalu,
dari peristiwa konflik-konflik yang telah terjadi, mengapa masyarakat lokal yang selalu merasa
dirugikan di wilayahnya sendiri? Mengapa konflik kekerasan menjadi pilihan sebagai upaya
masyarakat alih-alih negosiasi apabila dapat ditengahi oleh pihak yang lebih berwenang seperti
negara? Mengapa peraturan daerah tidak efektif dalam memberikan pemahaman kepada
masyarakat sedangkan negara membiarkan kebijakan ada ditangan perusahaan? Apakah konflik
lahan ini dikarenakan kelalaian aktor-aktor tertentu, konstruksi budaya, atau karena sistem yang
telah ada?

DAFTAR PUSTAKA

Vos, R. E. D. (2016). Multi-functional lands facing oil palm monocultures: A case study of a
land conflict in West Kalimantan, Indonesia. ASEAS-Austrian Journal of South-East
Asian Studies, 9(1), 11-32.
Wadley, R. L. (2007). Slashed and burned: war, environment, and resource insecurity in West
Borneo during the late nineteenth and early twentieth centuries. Journal of the Royal
Anthropological Institute, 13(1), 109-128.

Anda mungkin juga menyukai