Anda di halaman 1dari 6

Historisitas Jati Milik di Blora

ditulis oleh: agus budi purwanto (ARuPA)

1. Pendahuluan Catatan para sarjana kehutanan dan sarjana ilmu sosial humaniora menyebutkan bahwa hutan jati di Jawa mengalami signifikansi eksploitasi pada abad ke-17. Sementara itu, modernisasi pengelolaan hutan jati dilakukan oleh Belanda pada abad ke-19 dengan mengadopsi ilmu kehutanan modern dari Jerman (Peluso 1990, 2006; Poffenberger 1990, 1994; Warto 2001; Arupa et all 2005). Empat abad hutan jati di Jawa berada di 2,4 juta hektar tanah negara dan dikelola oleh perusahaan negara bernama boschwezen atau Perhutani pada era Indonesia merdeka. Perusahaan negara menguasai dan mengelola hutan jati dalam kerangka tiga hal yaitu tanah hutan, spesies jati, dan tenaga kerja (Peluso 1990, 2006). Dalam kurun waktu tersebut, interaksi antara penduduk lebih dari setengah juta desa hutan dengan hutan jati selalu ada baik berwujud tenaga kerja maupun kelompok kepentingan lain yang bersinggungan dengan pengelola hutan negara. Pada sisi lain, paruh kedua abad ke-20, pemerintah Indonesia melalui Departemen Kehutanan menjalankan serangkaian program penanaman tanaman keras di lahan milik penduduk. Pada tahun 1980an masyarakat mulai menanam jati, sengon, mahoni, dan lain-lain di lahan milik secara swadaya. Tanaman kayu di lahan milik sering disebut hutan rakyat. Spesies jati di hutan rakyat menarik untuk dikaji lebih lanjut mengingat Perhutani telah lama dikenal sebagai penguasa dari tanah, spesies, dan tenaga kerja di hutan negara. Selain itu, pilihan menanam jati di lahan milik merupakan fenomena perubahan agraria yaitu perihal pemanfaatan dan fungsi lahan milik. Secara ringkas, tulisan ini menjelaskan sejarah hutan rakyat jati di Jawa dan perubahan agraria yang terjadi pada lahan milik petani Jawa.

2. Historisitas Hutan Rakyat di Blora Hutan rakyat di Jawa telah berkembang pada abad ke-20, terutama pada paruh keduanya. Periodenya kami bagi menjadi tiga fase yaitu periode kolonial, periode konservasi, periode ekonomi. Fase pertama, pada tahun 1930 pemerintah kolonial Belanda melaksanakan program penanaman pohon di lahan milik. Pada saat itu, penduduk jawa sebesar 40,89 juta jiwa dengan kepadatan penduduk 309 jiwa/km2 (Simon, 1999). Coster seorang pakar kehutanan Belanda melakukan eksperimen tentang hutan dan erosi. Berdasarkan hasil eksperimen lapangan yang dilakukan di Ciwidey Bandung, di dapat kesimpulan bahwa peranan utama fungsi hidro-logi yaitu resapan air adalah tumbuhan di bawah tegakan kayu hutan dan seresah. Oleh karena itu, untuk mempertahankan mencegak erosi dan meningkatkan fungsi hidrologi, hutan harus tetap ada tanaman di bawah tegakan baik berupa rumput maupun semak belukar dan tidak boleh membuang seresah.

Coaster adalah pemimpin dari Badan Reboisasi tahun 1930 yang akhirnya memberikan bibit tanaman keras untuk ditanam di lahan milik warga untuk mengurangi peluang masyarakat mencuri kayu serta sebagai proses perbaikan lahan kritis di pekarangan. Namun pada dasarnya, pekarangan di Jawa Tengah Jawa Timur, serta talun di Jawa barat telah berkembang pada awal abad ke-20. Menurut Awang, terdapat korelasi antara model-model pekarangan dengan model-model tegalan yang komposisi tanamannya mirip dengan komposisi tanaman yang ada di pekarangan. Seandainya pedesaan di Jawa di lihat dari udara, maka yang terlihat adalah hamparan tanaman berbentuk kotak-kotak, hanya tajuk tanaman keras saja yang terlihat. Sementara satuan pemukiman dan fasilitas sosial lainnya nyaris tidak terlihat dari udara (Awang dkk, 2001). Artinya, pada awal abad ke-20 masyarakat pedesaan di Jawa telah menanam tanaman keras di pekarangan, terutama tanaman buah yang seperti kelapa, nangka, dan lain-lain. jadi, bukan kayu yang menjadi obyek eksploitasinya. Fase kedua, pada tahun 1952, 196an 1990an merupakan era program-program penghijauan di lahan milik mulai digalakkan kembali. Tahun 1952 Kementrian Kemakmuran membuat program menanam pohon-pohonan di tegal atau pekarangan yang disebut Karangkritri. Program ini belum sempat diwujudkan karena alasan keuangan dan organsisasi (Awang dkk 2001: 28). Kemudian tahun 1960an hingga tahun 1990an dimulailah program penghijauan baik berupa konservasi lahan kritis dan kering maupun program penghijauan pekarangan. Teknisnya, masyarakat diberikan bibit oleh dinas Perhutanan dan Konservasi Tanah (Dinas PKT lalu sejak tahun 1999 berubah menjadi Dinas kehutanan ataupun Dinas Kehutanan dan Perkebunan). Lalu masyakarakat yang dikoordinir oleh kepala desa dan petugas penyuluh menanam bibit tanaman keras di lahan milik baik pekarangan maupun tegalan. Dalam perjalanan program ini, di berbagai daerah di Jawa pada awalnya tidak berjalan dengan baik terutama di lahan tegalan. Sepertinya, kondisi pedesaan pada awal abad ke-20 yang digambarkan Awang di atas (Awang dkk 2001) berbeda dengan kondisi pedesaan pada tahun 1960-1970an terutama pada konteks tegalan. Berdasarkan hasil penelilitian kecil yang kami lakukan di wilayah kabupaten Blora bagian utara, penduduk desa banyak yang menolak proyek rehabilitasi lahan kritis dengan strategi menolak menanam ataupun mencabuti bibit tanaman keras yang telah ditanam oleh dinas Perhutanan dan Konservasi Lahan pada tahun 1960an-1970an. Jadi sepertinya, terdapat perbedaan antara pola pemanfaatan pekarangan dan tegalan pada periode ini. Masih pada periode 1960-1970an, kontribusi terhadap pengembangan tanaman keras di lahan milik tidak hanya dilakukan oleh dinas Perhutanan dan Konservasi Lahan, Perhutani melalui program prosperity approach pada tahun 1970an awal menggandeng kepala desa untuk mengintegrasikan program penanaman tanaman keras di hutan negara dengan penanaman tanaman keras di lahan milik. Pada waktu itu, diharapkan program ini dapat menghentikan masyarakat desa hutan dalam mencuri kayu di kawasan hutan negara. Kepala desa dianggap representasi kekuasaan politik dan kultural di desa. Sehingga konstruksi pengetahuan tentang pentingnya keutuhan aset kayu Perhutani dapat disebarluaskan oleh Kepala desa. Program ini juga dilakukan di kabupaten Blora. Sebagai contoh di desa Jurangjero tahun 1976, Kepala Desa Sukiban mendapatkan bantuan bibit jati dari perhutani. Bibit tersebut kemudian ditanam di bengkok dan lahan miliknya dengan luasan 4,25 hektar. Sementara itu, di desa Plantungan-Blora tahun 1978, terdapat tiga orang yang mendapat bantuan bibit jati

dari perhutani yaitu Soewadji (kepala desa saat itu), Joyo Mijan, dan Mul. Ketiganya merupakan perangkat desa saat itu. Mereka bertiga menanam bibit jati di bengkok dan tegalan milik masing-masing. Kendati harapan pengamanan hutan tersebut tidak berjalan secara maksimal dengan model strategi tanam kayu di lahan milik tersebut, episode ini beberapa menjadi titik awal perkembangan hutan rakyat. Fase ketiga, pada tahun 1980-1990an, ketika beberapa generasi pertama penanam jati di lahan milik telah panen, penduduk desa mulai melihat ada kemanfaatan secara ekonomi ketika menanam jati di tegalan maupun di pematang sawah. Maka ketika ada bantuan bibit terutama dari dinas kehutanan, masyarakat menyambutnya dengan baik, bahkan cenderung berebut untuk mendapatkan bibit tesebut untuk ditanam dilahan mereka. Bahkan tahun 1992 di desa Jurangjero, masyarakat atas dampingan dinas kehutanan membuat pembibitan sendiri di desa. Bibit tersebut dijual kepada penduduk desa Jurangjero dan desa yang lain di sekitar. Ada dua cara mendapatkan bibit, pertama yaitu menerima bantuan dari instansi terkait atau membeli bibit jati dari pembibitan. Kedua yaitu mencari tukulan di hutan negara. Tukulan adalah bibit jati yang tumbuh liar di bawah tegakan hutan negara yang berasal dari biji jati yang jatuh ke tanah lalu tumbuh dengan sendirinya. Pada periode ini, penduduk desa sudah mulai mengadakan bibit secara mandiri. Artinya, penanaman tanaman jati di lahan milik dilakukan atas inisiatif penduduk sendiri. Tahun 1998 terjadi peristiwa politik yang merubah sendi kehidupan Indonesia. Kekuasaan politik orde baru yang dipimpin oleh Suharto runtuh, dan diganti dengan periode yang disebut reformasi. Ketika krisis ekonomi melanda saat itu, terjadi banyak PHK dan situasi tidak aman di kota. Kaum urban baik tua maupun muda banyak yang pulang ke desa. Pada saat yagn bersamaan, ketika terjadi penjarahan di toko-toko besar di kota, masyarakat desa hutan menjarah hutan negara. Kayu ditebang untuk buat rumah dan untuk dijual guna mendapatkan uang. Pada saat yang bersamaan pula, hutan rakyat tetap aman tidak dijarah oleh siapapun. Ketika stok kayu hutan negara menipis karena penjarahan hutan negara tahun 1998-2001, hutan rakyat mulai dilirik oleh industri berbasis kayu baik di jepara, solo, klaten, dan kota lain. Seketika kayu dari hutan rakyat mulai laris. Banyak kasus yang dulunya biasa menebang seperlunya, pada saat itu hingga kini banyak yang melakukan tebang habis, terutama untuk kebutuhan-kebutuhan besar macam pesta perkawinan, beli tanah, maupun naik haji. Tahun 2002, pemerintah mencanangkan proyek GNRHL atau Gerhan baik di lahan milik penduduk maupun di hutan negara. Proyek ini terutama sukses di lahan milik penduduk, namun tidak sukses di jalankan di lahan hutan negara. Kegagalan tersebut mudah ditebak, karena proyek penanaman tidak diintergrasikan dengan perawatan. Sementara pada lahan milik, yang merawat cukup jelas yaitu yang punya lahan itu sendiri. Sementara itu, di hutan negara, terjadi perubahan model hubungan antara penduduk desa hutan dengan Perhutani. Penduduk yang dulu taat terhadap petugas perhutani, saat itu mulai tidak taat. Era reformasi merebakkan uforia mempertanyakan peran negara atas kesejahteraan warga. Perhutani sebagai representasi negara kemudian dipertanyakan perannya bagi kesejahteraan penduduk desa hutan. Hingga kini (2011) hutan rakyat jati di Jawa diintensifkan oleh pengelolannya yaitu rumah tangga petani dengan terus menerus dengan sistem pengelolaan yang mereka tahu dan yang mereka lakoni sehari-hari. Sementara itu, luas hutan rakyat di Jawa dan Madura + 2,6 juta hektar dengan potensi sekitar 5,9 juta m3 (BPKH Jawa Madura, 2009).

3. Hutan Rakyat Jati di Blora, Persinggungan Hutan Negara Studi yang berbasis grouded research dilakukan oleh beberapa NGO di Jawa menyebutkan bahwa hutan rakyat merupakan sebuah pengetahuan asli Indonesia yang dapat disejajarkan dengan pengetahuan pengelolaan sumberdaya hutan dalam skala luas yang mengadopsi ilmu kehutanan ilmiah dari Eropa. Sementar itu, prakarsa eksistensi hutan rakyat didorong oleh kebutuhan penyeimbangan ekologi lokal serta penyesuaian terhadap kondisi sosial ekonomi pedesaan terkini (Awang dkk, 2007). Terdapat dua tradisi penyelenggaraan kehutanan antara pengelolaan hutan negara dengan pengelolaan hutan rakyat. Kedua tradisi tersebut saling berjalan beriring terutama pada era tahun 1950 hingga sekarang. Ini sebuah penyandingan pengelolaan. Dengan begitu akan jelas kenampakan perkembanganperkembangan masing-masing tradisi. Hutan negara di Jawa pada eks karesidenan Rembang (termasuk kabupaten Blora) dan sekitarnya didominasi oleh tanaman Jati. Hal ini terutama berlaku untuk periode pra penjarahan tahun 1998 2000. Pada tahun-tahun setelahnya, ada beberapa kawasan hutan negara di Blora utara yang ditanami pohon mindi. Pada saat yang sama, pasca penjarahan 1998-2000 masyarakat desa hutan terus menanami lahan pekarangan dan tegalan mereka dengan tanaman jati. Sehingga di desa Plantungan (Blora) dan sekitarnya kita dapat menemukan dua hutan yang hanya dipisahkan oleh sebilah jalan kampung. Di samping barat jalan kita mendapati barisan kurus pohon mindi di hutan negara dan di sebelah timur jalan terdapat barisan rapi pohon jati di hutan rakyat. Perihal tersebut dapat dibaca sebagai sebuah fenomena gugurnya dominasi klaim bahwa Perhutani adalah satu-satunya unit usaha yang memproduksi spesies jati berkualitas tinggi. Fakta sejak pasca reformasi hingga sekarang, terdapat dua perkembangan yang signifikan di kabupaten Blora bagian utara yaitu semakin berkembangnya budidaya hutan rakyat di pegunungan kapur utara sertanya semakin terbukanya pasar kayu rakyat dalam perdagangan kayu di Blora dan Jawa Tengah pada umumnya. Fenomena tersebut muncul di atas tiga akar kausalitas yaitu kebutuhan optimalisasi pemanfaatan lahan, proyek penghijauan dan rehabilitasi lahan, dan pudarnya simbol jati negara. Gambar 1. Sketsa perkembangan hutan rakyat pegunungan kapur utara

Gambar 2. Membaca fenomena hutan rakyat

Bagan di atas menerangkan bahwa hutan rakyat merupakan fenomena lintas sendi dalam kehidupan pedesaan di Blora. Pada sendi budaya-ekologi hutan rakyat merupakan tradisi menanam tanaman keras di pekarangan dan tegalan. Selain tradisi, hal tersebut juga mencerminkan perlindungan terhadap lingkungan baik itu mata air maupun pencegahan ancaman longsor tanah. Pada sendir budaya-ekonomi, hutan rakyat sebagai usaha pemenuhan kebutuhan hidup baik itu pemenuhan kebutuhan kayu untuk membuat rumah serta penjualan kayu jati untuk kebutuhan ekonomi skala menengah dan besar. Pada sendi ekologi-politik, masyarakat desa memiliki pertimbangan politis sejak dulu kala, bahwa menanam pohon merupakan wujud penjagaan keseimbangan antara manusia dan alam. Agak ubsurd tetapi begitulah adanya terutama pada tanaman-tanaman kayu di lingkungan mata air serta pada pematang-pematang sawah. Pada sendi ekonomi-politik, beberapa pemilik hutan rakyat yang tergolong kaya memaknai tanaman kayu di lahannya sebagai bagian dari strategi investasi ekonomi untuk kebutuhan-kebutuhan masa datang. Sementara itu, produktivitas hutan rakyat saat ini telah menjadi pemasok utama industri perkayuan di Jawa Tengah. Menurut data Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Tengah tahun 2010, jumlah indstri pengolahan Hasil Hutan Kayu (IPHHK) di Jawa Tengah yang telah berizin sebanyak 553 unit dengan kebutuhan bahan baku kayu bulat 4,7 juta meter kubik pertahun. Sumbernya berasal dari hutan alam 1,6 juta meter kubik dan hutan tanaman 3,1 juta meter kubik. Dari angka tersebut, produk kayu di Jawa Tengah berasal dari hutan negara yang dikelola Perhutani 300.000 meter kubik per tahun dan hutan rakyat 2,2 juta meter kubik pertahun. Satu banding sembilan (1:9), kemenangan untuk hutan rakyat dengan angka yang sangat telak (Suryanto, 2011).

4. Penutup Saya masih berandai-andai, masyarakat yang telah terbukti sangat mampu mengelola spesies jati di lahan milik, akan dipasrahi mengelola hutan jati milik negara. Semoga.

Daftar Pustaka Arupa, at all (2005) Hutan Wonosobo: Keberpihakan yang Tersendat. Yogyakarta: BP Arupa. Awang, S.A., dkk (2007) Unit Managejem Hutan Rakyat: Proses Konstruksi Pengetahuan Lokal. Yogyakarta: Banyumili. Cordes. J.W.H. (1992) Hutan Jati di Jawa, Malang: Yayasan Manggala Sylvia Lestari, Biro Jasa Konsultan Perencanaan Hutan. Hasanu Simon (1993) Hutan Jati dan Kemakmuran. Yogyakarta: Aditya Media. BPKH Wilayah XI Jawa-Madura (2009) Strategi Pengembangan Pengelolaan dan Arah Kebijakan Hutan Rakyat di Pulau Jawa. Yogyakarta: BPKH Wilayah XI Jawa-Madura dan Forest Governance and Multistakeholder Forestry Programme (MFP II). R. Soepardi (1975) Hutan dan Kehutanan dalam Tiga Jaman. Jakarta: Perum Perhutani. Peluso, N.L. (1990) A History of State Forest Management in Java, dalam Mark Poffenberger (ed), Keepers of the Forest: Land Management Alternatives in Southeast Asia, Hartford: Kumarian Press. Peluso, N.L. (2006) Hutan Kaya Rakyat Melarat. Jakarta: Konphalindo. Mark Poffenberger (ed), Keepers of the Forest: Land Management Alternatives in Southeast Asia, Hartford: Kumarian Press. Suyanto (2011) Hutan Rakyat: Penyelamat Ekologi Jawa, dalam Jurnal Wacana edisi 25 Tahun XIII 2011 Rekonfigurasi Pengelolaan Hutan Jawa.

Anda mungkin juga menyukai