Anda di halaman 1dari 14

MENUJU CARA PRODUKSI DAN KONSUMSI BARU

Resistensi dan Perubahan Gaya Hidup Para Petani Lokal di Dataran Tinggi Dieng

Oleh Hery Santoso

”Zaman sekarang tidak seperti dulu. Dahulu, orang-orang di sini berbeda dengan
orang-orang di dataran rendah. Mereka tidak tertarik untuk mengenakan pakaian bagus
yang menarik perhatian, atau makan makanan tertentu seperti yang anda lihat sekarang.
Sekalipun ada orang yang kekurangan dan kelebihan, akan tetapi (orientasi) pakaian
dan makanan mereka sama saja”.1

Pendahuluan
Sejak awal 1980 kawasan dataran tinggi di Jawa mengalami perubahan ekonomi dan tata guna
lahan yang dramatis: kegiatan pertanian menjadi lebih dinamis dan komersial. Meningkatnya
golongan menengah perkotaan Indonesia dan perkembangan pasar internasional telah membuat
komoditas pertanian di daran tinggi secara relatif lebih menguntungkan. Komoditas-komoditas
seperti cengkeh, kopi, kentang, buah-buahan dan sayur-sayuran semakin menjadi penopang
utama ekonomi dataran tinggi. Di Dieng misalnya, salah satu dataran tinggi di Jawa Tengah,
menurut catatan statistik, sektor pertanian dengan komoditas andalan kentang, wortel dan sayur-
sayuran lain telah menyumbang pendapatan ekonomi daerah terbesar. Fenomena ini menjadikan
intensifikasi dan ekspansi pertanian di dataran tinggi tak terhindarkan; dan karena keterbatasan
lahan, adalah keniscayaan kalau kemudian ekspansi tersebut mengabaikan batas-batas hutan dan
wilayah-wilayah konservasi lainnya, satu praktik pertanian yang kemudian sering dinyatakan
sebagai rawan bahaya lingkungan – Harrington (1993) menyebutnya ini sebagai salah satu ciri
pertanian di dataran tinggi.
Perubahan hebat di dataran tinggi Dieng terutama dipicu oleh masuknya tanaman kentang yang
pada era 80 an dibawa oleh orang-orang Jawa Barat (Pengalengan) ke wilayah tersebut.
Berdasarkan catatan statistic, kebutuhan kentang nasional memang terus meningkat seiring
dengan terjadinya perubahan gaya hidup masyarakat perkotaan, khususnya dalam hal konsumsi
makanan. Menurut FAO, apabila tahun 1968 konsumsi kentang masyarakat Indonesia baru
sebesar 0,5 kg/kapita, tahun 1985 meningkat menjadi 1.9 kg/kapita, dan pada tahun 1995 sudah
mencapai 4.3 kg/kapita.2 Sementara itu kalau produksi kentang nasional pada tahun 1970 hanya

1
Ungkapan seorang petani Tosari, dikutip dari Robert W. Hefner, Geger Tengger: Perubahan sosial dan
Perkelahian Politik, Terj. A. Wisnu Wardana, Imam Ahmad, (LKIS,Yogyakarta1999) hlm.1.
2
Kentang memang mempunyai kandungan zat karbohidrat yang tinggi, lebih tinggi dari berbagai sumber
karbohidrat yang lain seperti beras, jagung atau gandum. Hal tersebut menjadikan kentang sebagai prioritas
alternatif yang mampu mensubstitusi kebutuhan pangan pokok masyarakat. Bahkan untuk kalangan tertentu
(misalnya penderita diabetes), kentang merupakan makanan pokok untuk diet, karena kandungan kadar gulanya
yang rendah sehingga kentang merupakan komoditas yang penting dan mampu berperan untuk memenuhi gizi
masyarakat. Mengingat pola konsumsi masyarakat terhadap makanan terutama di perkotaan, menjadikan kentang

1
mencapai 120 ribu ton, pada tahun 2006 sudah malampaui angka 1 juta ton. Berangkat dari
situasi semacam ini maka bisa dipahami kalau kemudian terjadi ekspansi pertanaman kentang ke
wilayah-wilayah baru – terutama dataran tinggi –, sebagai upaya untuk memenuhi kebutuhan
pasar, baik di tingkat regional, nasional, maupun internasional.

Hanya dalam waktu kurang dari 10 tahun, tanaman kentang berhasil membangkitkan gairah baru
kalangan petani di dataran tinggi Dieng. Orang-orang di sana meninggalkan tanaman lama yang
sudah berpuluh-puluh tahun menjadi tulang punggung ekonomi lokal: pitrem atau sejenis bunga
lili putih, kobis, kacang Dieng, dan tembakau. Mereka beralih ke tanaman kentang yang oleh
sebagian orang dianggap ajaib karena memiliki usia panen yang singkat (hanya 100 hari) dan
harganya sangat bagus. Lereng-lereng bukit dengan kemiringan ekstrimpun dibuka untuk
ditanami kentang. Tenaga kerja didatangkan dari desa-desa di sekitarnya. Orang-orang bahkan
rela berhutang kepada bank dan para rentenir untuk bisa memasuki jaman baru: bertani kentang.
Pendeknya mereka melakukan berbagai cara dan upaya, termasuk di dalamnya resistensi dan
renegosiasi terhadap segenap tata nilai local, demi bisa terlibat dalam proses produksi kentang,
karena dari sanalah mereka percaya kemiskinan yang selama ini mereka jalani bisa di segera
diakhiri dan kehidupan baru bisa digapai. Terjadilah apa yang dinamakan booming ekonomi
kentang di wilayah pegunungan itu, yang kemudian segera diikuti dengan lahirnya orang kaya
baru dengan segala atribut-atributnya. "Bayangkan saja," kata seorang petani di Dieng, "Sekali
panen kentang bisa mencapai 20-30 ton/ha." Dengan harga rata-rata Rp 5.000/kg, sekali panen
bisa diraih Rp 100-150 juta. Taruhlah biaya pembelian bibit, pemeliharaan tanaman,
danpengangkutan dari kebun ke pinggir jalan, menghabiskan Rp 30 juta. "Sisanya masih cukup
besar," katanya. “Penghasilan petani apa yang bisa setinggi itu," imbuhnya.

Di Sembungan, sebuah desa di kawasan dataran tinggi Dieng, booming ekonomi kentang ini
antara lain ditandai dengan 3 “monument” yang sering diingat warga setempat, yakni berdirinya
masjid seharga 3 milyar di desa itu, jumlah warga Sembungan yang sekali naik haji mencapai 40
orang dan sepasang sepatu bola milik seorang ustad seharga 2 juta rupiah. Bukan hanya itu,
booming ekonomi kentang juga telah mengubah Dieng secara keseluruhan: rumah-rumah
penduduk yang dahulu hanya berdinding kayu dan beratap seng kini berdinding batu dan beratap
genteng. Bahkan beberapa di antaranya bertingkat atau pun bergaya Spanyol. Dan antene
parabola pun bukan lagi pemandangan asing di daerah Dieng. "Kesejahteraan rakyat Wonosobo
meningkat pesat lewat pertanian kentang; salah satu indikasinya, banyak petani yang memiliki
antene parabola di rumahnya. Di Sembungan, Sikunang dan desa-desa lain di wilayah Dieng
bagian atas, hampir setiap orang memiliki mobil atau truk yang diparkir begitu saja di depan
rumah," kata seorang pejabat pemerintah Wonosobo.

Tetapi seperti kata Hefner, perubahan tidak hanya mengacu pada proses material, akan tetapi
juga moral; dampaknya tidak hanya bisa ditangkap dari fakta lugas pendapatan dan cara
produksi, akan tetapi juga pada perubahan identitas, aspirasi dan otoritas. Penetrasi kapitalisme
agaknya telah membuka peluang bagi resistensi terhadap nilai-nilai lama, hierarki sosial, bahkan
dalam hal-hal tertentu, terlibat aktif dalam proses pengorganisasian aspek-aspek kehidupan
sehari-hari yang paling mendalam, seperti relasi dengan lingkungan dan sumberdaya alam yang

sebagai menu makanan sehari-hari yang dikonsumsi bersama-sama dengan ayam goreng. Restoran fast food dan
berbagai jenis panganan juga menggunakan kentang sebagai bahan menu utamanya. Berbagai kenyataan tersebut
semakin menegaskan besarnya kebutuhan masyarakat terhadap kentang.

2
ada di sekitarnya, gaya hidup dan tingkah laku konsumsi – yang oleh Douglas dan Isherwood
(1980) disebut sebagai penanda identitas.3 Senada dengan hal itu Abdullah (2009) menegaskan
bahwa dewasa ini masyarakat memang telah berubah sedemikian rupa, yang disebabkan oleh
berbagai kekuatan, baik dari dalam maupun dari luar. Keberadaan pranata sosial lokal
mengalami intervensi pasar dengan masuknya nilai uang dan transaksi berdasarkan harga,
bahkan dalam praktik rutual sekalipun (Abdullah, 1991).

Demikianlah, tulisan ini selanjutnya akan membahas fenomena bagaimana masyarakat dataran
tinggi Dieng melakukan resistensi terhadap identitas dan pandangan-pandangan lama yang
pernah mereka miliki dan terapkan dalam kehidupan sehari-hari, seiring dangan meningkatnya
surplus dari ekonomi kentang di sana. Pada bagian pertama akan dibahas mengenai tinjauan
geografis dataran tinggi Dieng, satu wilayah yang secara keliru sering diidentifikasi sebagai
pelosok atau udik dan relatif tidak terjangkau oleh tangan aparatus negara dan pasar. Wilayah
seperti ini juga kerap kali disamakan dengan lingkungan pedesaan yang homogen, tertutup dan
sebagaimana yang dilaporkan Scott, senantiasa bertumpu pada model-model ekonomi moral.
Bagian kedua akan mendiskusikan seputar isu komodifikasi wilayah dataran tinggi itu,
khususnya yang terkait dengan masuknya tanaman kentang yang pada tahun 80 an dibawa oleh
orang-orang Pengalengan (Jawa Barat). Bagian ketiga tulisan ini akan membahas masalah utama,
yakni bagaimana kalangan masyarakat di dataran tinggi Dieng menempuh segala cara dan upaya,
formal ataupun informal, legal ataupun ilegal, demi bisa terlibat dalam proses produksi kentang,
mengingat dari sana terbuka peluang besar untuk meningkatkan kesejahteraan hidup, melakukan
akumulasi kapital, dan pada gilirannya memposisikan diri sebagai bagian yang syah dari
masyarakat modern. Bagian keempat akan mendiskusikan bagaimana modernitas menjadi
semacam referensi sosial bagi kalangan masyarakat pedesaan, tidak terkecuali masyarakat
dataran tinggi Dieng. Bagian kelima adalah penutup sekaligus kesimpulan dan tulisan ini.

Dataran Tinggi Yang Terbuka


Dieng adalah kawasan dataran tinggi di Jawa Tengah seluas 22.500 hektar, yang terletak di
ketinggian 2.000-2.500 meter dpl, membentang di antara Kabupaten Wonosobo dan
Banjarnegara. – ada versi lain yang menyebutkan luasnya mencapai 54.977,26 ha, membentang
di 6 kabupaten (Wonosobo, Banjarnegara, Pekalongan, Temanggung, Kendal, Batang) – yang
sejak tahun 80 an mengalami dinamika dan perubahan-perubahan mencolok, baik yang terkait
dengan pola budi daya tanaman pertanian mereka, pengorganisasian tenaga kerja, strata sosial,
maupun cara pandang terhadap tata nilai, ukuran-ukuran, dan identitas. Ini semua pada titik
tertentu telah menjadi media yang subur bagi munculnya hal-hal baru yang terkadang datang di
luar dugaan. Kenyataan ini tidak berarti bahwa perubahan-perubahan hebat di sana baru terjadi
belakangan ini saja, dan sebelum tahun 80 an dataran tinggi terluas di Indonesia itu tidak
mengalami dinamika apapun. Proses perubahan dataran tinggi di Jawa, saya kira, sudah terjadi
sejak masa kolonial, berjalan seiring dengan pasang-surutnya kebijakan pemerintah kolonial
terhadap komoditas pertanian dan kontrol tenaga kerja di tanah jajahan. Setidaknya kebijakan
terhadap tanaman ekspor seperti tebu dan kopi, langsung ataupun tidak telah memberikan

3
Pandangan ini terutama didasarkan pada pendapat Goffman (1951), yang menyebutkan bahwa di era sekarang ini
barang-barang konsumsi adalah alat komunikasi.

3
kontribusi yang besar terhadap gelombang perubahan wilayah pegunungan yang sebelumnya
cenderung statis dan relatif tidak terjangkau oleh tangan-tangan negara.
Kata Dieng sendiri konon berasal dari akar kata hyang (Jawa Kuna) yang berarti dewa atau
tempat persemayaman dewa (Winter dan Ranggawarsita, 200:36). Perumpamaan ini terasa tepat,
karena memang Dieng adalah dataran tinggi, setiap saat awan tebal bisa datang menyelimuti
daerah ini, menghadirkan suasana temeram yang magi. Apalagi dengan peninggalan candi-candi
Hindu tertua di Pulau Jawa, tidak berlebihan kalau kemudian Dieng digambarkan sebagai
kahyangan: tempat para dewa bersemayam. Secara geofisik, Dieng adalah dataran tinggi yang
terbentuk akibat adanya letusan gunung berapi raksasa pada jutaan tahun yang lalu. Bekas
letusan itu kemudian menjadi hamparan kawah raksasa yang secara perlahan-lahan mendingin
menjadi danau – menurut catatan Raffless, candi-candi di dieng pada awalnya bahkan tergenang
oleh danau –, dan selanjutnya mengering menjadi hamparan luas dataran tinggi. Berangkat dari
sini maka tidak heran kalau sampai sekarang di Dieng masih banyak kita temukan cekungan-
cekungan berupa danau dan juga cekungan-cekungan lain berupa kawah, yang secara alami
mengeluarkan asap dan menyemburkan aroma belerang.
Dewasa ini Dieng adalah daerah tujuan wisata yang dikenal luas memiliki lanskap sangat
menarik, kaya akan peninggalan sejarah, terutama candi-candi hindu yang dibangun pada masa
pemerintahan Wangsa Sanjaya (abad 7-8). Dieng sebagai kawasan wisata bahkan diceritakan
dalam Serat Centhini, sebuah karya sastra keraton Mangkunegaran di masa Pakubuwono IV
(1814). Disebutkan bahwa pada masa itu ada sepasang suami istri dari Pekalongan yang baru
saja menyelesaikan masa perkabungan orangtuanya dan mengunjungi Dieng demi menghibur
diri dan mencari suasana baru. Dieng juga dikenal sebagai tempat untuk berziarah para pemeluk
agama Hindu. Misalnya saja, Gua Sumur hampir setiap tahun dikunjungi oleh para peziarah dari
Bali guna memperoleh air suci. Menurut kepercayaan orang Bali, Goa Sumur berisi air
pawitrasari. Biasanya air ini diambil sebelum perayaan hari raya keagamaan yang disebut
sebagai mendak tirta. Bukan orang Bali saja yang percaya kepada kekuatan magis air dari Gua
Sumur. Masyarakat dari Indramayu bahkan percaya bahwa air goa tersebut memiliki khasiat
untuk menyuburkan tanah apabila diambil pada Hari Raya Haji. Karena itu, orang sekitar
Indramayu pada Hari Raya Haji, khususnya hari tasrik, banyak yang datang ke Goa Sumur untuk
mendapatkan khasiat air tersebut. Ketertarikan orang dari berbagai daerah terhadap Dieng bukan
saja karena dataran tinggi ini adalah tempat tujuan wisata dan dipercaya menyimpan banyak
khasiat, akan tetapi juga karena tingkat kesuburan tanahnya yang istimewa, sehingga sangat
menjanjikan untuk investasi di bidang pertanian. Masuknya tanaman kentang pada tahun 80 an
adalah salah satu contohnya.
Dataran tinggi pada umumnya memang memiliki daya tarik tersendiri, disamping karena
alamnya yang indah dan sejuk, juga karena letaknya yang tinggi sehingga sangat ideal sebagai
tempat persembunyian dan pelarian. Dan memang sebagaimana laporan Anthony Reid (dikutip
Colombijn dkk 1996), pusat-pusat konsentrasi penduduk Indonesia pada masa pra kolonial bukan
berada di daerah pesisir, melainkan di daerah pedalaman, dan khususnya di lembah-lembah dan
dataran tinggi di pegunungan. Pemusatan ini didasarkan atas alasan ekonomi dan politik.
Laporan-laporan abad ke 16 (Reid 1988:19) melukiskan sistem mata pencaharian yang beragam,
kompleks dan produktif di daerah pedalaman. Jika produktivitas yang tinggi membuat mata
pencaharian di dataran tinggi atau pedalaman menjadi menarik, menurut Li (2002) kesempatan
untuk melepaskan diri dari sistim penindasan oleh penguasa di dataran rendah, keadaan terbelit

4
hutang dan perbudakan juga menarik. Mereka bisa berlindung di daerah yang terjal dan berhutan,
meskipun pada kasus-kasus di Indonesia bagian Timur, menurut Reid (1996), banyak juga
penduduk pedalaman yang tertangkap dan menjadi korban perburuan budak, hingga kemudian
mereka tercerai berai.
Kasus serupa juga terjadi di Jawa, sebagaimana laporan Hefner tentang penduduk dataran tinggi
Tengger yang selama abad 17 diperbudak oleh penguasa Mataram. Mereka yang selamat,
menurutnya, mundur dari daerah lereng gunung yang mudah dicapai ke pedalaman yang lebih
tinggi, dan di sana mereka membangun tempat pemukiman yang kokoh di punggung bukit yang
curam yang cocok untuk pertahanan (Hefner 1990:37-38). Demikian pula di Maluku Utara,
pemukiman tua dibangun di pedalaman yang berbukit-bukit demi keamanan, dan perpindahan ke
pesisir baru dimulai ketika daya tarik perdagangan rempah-rempah muncul (Andaya, L. 1993;
Ellen 1979). Sistem produksi tertentu yang dikembangkan oleh mereka yang memilih tinggal di
dataran tinggi dengan sendirinya telah disesuaikan dengan kondisi ketidakpastian politik dan
ketidakamanan.
Hubungan dan persinggungan antara dataran dan tinggi dan dataran rendah di Indonesia
kemudian meningkat sedemikian pesat pada sekitar tahun 1970 an, bersamaan dengan
digulirkannya program pertanian intensif yang memperkenalkan penggunaan bahan-bahan kimia,
hibrida dan teknologi baru. Bukan hanya itu, promosi pertanian intensif juga diikuti dengan
berbagai perubahan lanskap (seperti penebangan hutan dan tumbuhnya jaringan jalan hingga ke
daerah pedalaman), penanaman modal, pemindahan penduduk dan perubahan ide-ide secara
besar-besaran yang kecepatannya belum pernah terjadi sebelumnya. Di dataran tinggi Dieng
misalnya, booming pertanaman kentang pada tahun 1980 an secara nyata diikuti dengan semakin
tingginya minat masyarakat setempat untuk mengkonsumsi barang-barang elektronik seperti
kulkas, televisi dan tape recorder. Kendatipun demikian, ini semua tidak serta-merta bisa
menghilangkan praktik-praktik tradisionalisme mereka, seperti mengandalkan dukun untuk
meningkatkan produktivitas pertanian, mengusir hama babi hutan dengan doa dan selamatan dan
lain sebagainya.
Catatan-catatan para peneliti di muka semakin menegaskan bahwa interaksi antara penduduk
lokal di dataran tinggi dengan para pendatang dari luar adalah sebuah sejarah yang panjang. Di
Dieng misalnya, sejak abad 7-8, ketika Wangsa Sanjaya (Hindu) dan Syailendra (Budha)
berkuasa, dataran tinggi ini sudah menjadi kawasan yang diperhitungkan, setidaknya sebagai
lokasi pendirian candi-candi Hindu sekaligus sebagai tempat pelarian mereka-mereka yang tidak
mau memeluk agama Budha. Pada masa kolonial, dataran tinggi Dieng kembali menjadi
kawasan penting, baik sebagai tempat peristirahatan para pejabat kolonial – karena alamnya yang
indah dan sejuk – maupun sebagai kawasan pertanian untuk produksi sayur-sayuran. Pada pasca
kolonial interaksi itu semakin intensif, ekonomi pasar yang dikemas dalam program-program
pembangunan pemerintah melakukan penetrasi yang sedemikian dalam baik di dataran rendah
maupun di dataran tinggi.

5
Proses Komodifikasi
Kentang (Solanum tuberosum), adalah tanaman umbi-umbian asli Amerika Selatan. Komoditas
ini telah dibudidayakan oleh masyarakat Indian Aztec, Maya dan Inka sejak beberapa ribu tahun
sebelum masehi. Bagi masyarakat Indian di Amerika tengah dan Selatan, kentang merupakan
makanan pokok selain jagung, singkong dan ubijalar. Kentang dibawa masuk ke benua Eropa
oleh bangsa Spanyol tahun 1794, dan dalam waktu sangat cepat menyebar ke seluruh Eropa,
kemudian ke seluruh dunia. Dalam waktu cepat pula masyarakat Eropa menjadikan kentang
sebagai makanan pokok mereka setelah gandum. Bangsa Belanda membawa kentang ke Jawa
tahun 1794. Pertamakali budidaya kentang dilakukan di Cimahi, Jawa Barat. Kemudian bangsa
Belanda juga mengintroduksi kentang ke Brastagi, Sumatera Utara tahun 1811. Selanjutnya
sentra kentang berkembang di Brastagi (Sumut), Kerinci (Jambi), Pangalengan (Jabar), Dieng
(Jateng), Tengger (Jatim) dan Toraja (Sulsel).

Hingga akhir tahun 1970 kentang belum dibudidayakan di dataran tinggi Dieng. Pada saat itu
sejauh mata memandang yang tampak adalah kehijauan tanaman sayur-sayuran seperti kubis,
bawang, kacang, dan tanaman komersial lain seperti tembakau. Baru pada tahun 1980 an kentang
mulai diperkenalkan di wilayah ini oleh Syafrudin dan beberapa orang lainnya, para pedagang
kobis dari Pengalengan (Jawa Barat). Pada saat itu mereka berusaha menyewa dan membeli
lahan-lahan di Dieng untuk mencoba peruntungan dengan mengembangkan tanaman kentang di
daerah baru di luar Jawa Barat. Hal ini dilakukan karena dua alasan: pertama, produktivitas
pertanaman kentang di Jawa Barat dirasakan sudah mulai menurun; kedua, kebutuhan kentang
nasional dari waktu ke waktu terus meningkat. Orang-orang setempat (Dieng dan sekitarnya)
yang pada saat itu masih membudidayakan aneka tanaman lokal seperti tembakau, kobis, dan
pitrem (semacam bungan anyelir putih) tidak menanggapinya secara serius, boleh jadi karena
belum berani berspekulasi untuk ikut mencoba tanaman baru itu. Mereka memilih hanya menjadi
penonton, sebagian sambil menyewakan lahan-lahan miliknya kepada orang-orang Jawa Barat
itu, sebagian yang lain bahkan rela menjualnya. Tidak heran kalau pada tahun-tahun itu banyak
lahan pertanian di sekitar Dieng yang dikuasai oleh para pedagang sayur dari Jawa Barat.

Percobaan para pedagang Jawa Barat itu ternyata berhasil, bahkan bisa dikatakan sukses karena
produksi kentang mereka bisa mencapai 20-30 ton/ ha, hal yang sudah sulit dilakukan di lahan-
lahan mereka di Jawa Barat. Bila dihitung keuntungan bersihnya, kira-kira bisa mencapai 5-10
juta rupiah tiap hektarnya, sesuatu yang sulit dibayangkan oleh petani Dieng pada waktu itu.
Maka tidak heran kalau orang-orang Dieng lantas berebut untuk bisa ikut bertanam kentang.
Mereka mulai mengumpulkan modal dengan cara meminjam uang dari sanak familinya,
tetangganya, rentenir, maupun dari Bank dengan jaminan sertifikat tanah – tanaman kentang
membutuhkan modal yang cukup besar, saat itu (sekitar tahun 80 an) kira-kira mencapai 6 juta
per hektar. Perlahan-lahan merekapun mulai mengadu nasib dengan tanaman baru itu,
meninggalkan tembakau, kobis dan pitrem yang sudah mereka geluti berpuluh-puluh tahun.
Demi tanaman kentang, maka tanah-tanah yang sudah habis masa sewanya (rata-rata tanah itu
disewa para pedagang Jawa Barat selama 5 tahun) tidak boleh diperpanjang lagi, tanah-tanah
yang sudah terlanjur dijual kepadal orang-orang Jawa Barat, sedikit demi sedikit mulai diambil
alih – kini tanah-tanah di Dieng seratus persen sudah dikuasai kembali penduduk setempat.

6
Antara tahun 1980 sampai awal tahun 1990-an, petani Dieng mengalami masa kejayaan kentang.
Berkat kentang sebagian penduduk Dieng menjadi orang kaya baru. Dengan cepat gaya hidup
merekapunpun berubah. Rumah tembok berarsitektur modern, masjid megah bertingkat, mobil
dan sepeda motor baru, antene parabola, aneka pakaian bermerk, kulkas dan berbagai macam
barang elektronik seperti TV, video player adalah pemandangan yang mulai menghiasi kawasan
dataran tinggi itu. Pendeknya gambaran lama mengenai sosok orang desa dan petani gunung
yang lugu dan tidak konsumtif sepertinya sudah tidak berlaku lagi di sini. Kentang membuat
banyak petani Dieng benar-benar menjadi orang yang serba berkecukupan dan berperilaku
seperti masyarakat prkotaan. Selain rumah dan mobil pribadi di antara mereka ada yang memiliki
puluhan armada bus dan truk. Di Banjarnegara dan Wonosobo misalnya, kita bisa dengan mudah
menjumpai truk dengan nama "Granola" - Granola adalah nama bibit kentang – melaju di jalan-
jalan umum.

Bagaimanapun, masuknya ekonomi pasar ke dalam masyarakat pegunungan Dieng, seperti yang
sudah digambarkan di muka, secara cepat telah memberikan pengaruh pada kultur agraris di
sana, tidak hanya menyangkut proses-proses komodifikasi produk pertanian, tetapi juga telah
memperluas jaringan sosial dan orientasi masyarakat ke luar desa. Ciri-ciri local mulai bergeser
sejalan dengan melebarnya batas-batas interaksi dan pengetahuan penduduk. Sumberdaya yang
dapat dimobilisir menjadi lebih luas, melampaui batas-batas desa. Penggunaan tenaga kerja
dalam pertanian misalnya, mulai didatangkan dari desa-desa yang ada di sekitarnya, yang tentu
saja kemudian mengubah bentuk-bentuk kewajiban sosial antar anggota masyarakat akibat
meluasnya batas-batas solidaritas sosial. Dalam situasi seperti ini, kepemimpinan local boleh jadi
masih dianggap penting, akan tetapi hubungan dengan dunia luar telah menyebabkan
melemahnya keyakinan tentang sesuatu yang dahulu dihormati dan dijunjung tinggi.

Integrasi pasar yang dihadirkan oleh komoditas kentang secara tidak langsung juga telah
mengikatkan masyarakat Dieng ke dalam suatu tatanan ide, nilai dan praktik yang lebih bersifat
nasional. Abdullah (2009) menyebutkan bahwa dalam situasi seperti itu, selain barang-barang
local yang mulai menyebar ke berbagai tempat akibat terintegrasinya ke dalam suatu pasar
nasional, barang baru (pabrik) juga mulai masuk ke daerah-daerah yang secara langsung mulai
mengubah pola kegiatan ekonomi penduduk. Kegiatan pertanian misalnya, mulai ditujukan untuk
menghasilkan komoditi yang memiliki nilai jual sehingga suatu produk mulai dihubungkan
dengan permintaan pasar, dan tentu saja dengan harga. Pada fase ini batas-batas local mulai
mengabur. Stereotipe etnis mulai dipertanyakan keabsahannya dan mulai dimanfaatkan untuk
kepentingan yang lebih luas.

Persaingan dan Perlawanan

Cerita tentang keberhasilan dan manisnya menanam kentang pada akhirnya mendorong
terjadinya rekonfigurasi sosial, untuk tidak mengatakan resistensi terhadap nilai-nilai lama. Di
sana-sini terjadi redefinisi, renegosiasi dan resistensi terhadap berbagai tindakan, tidak hanya
yang terkait dengan aspek produksi, tapi juga konsumsi, dan nilai-nilai yang sering diasosiasikan
dengan kebudayaan. Dorongan untuk menjadi bagian dari masyarakat modern menjadi semakin
kuat, mengalahkan abstraksi-abstraksi apapun yang dulu pernah menjadi simbul orientasi
masyarakat pegunungan. Kecenderungan-kecenderungan baru yang lebih bernuansa mekanis dan

7
rasional, disadari ataupun tidak, kini tengah merekonstruksi kerangka dasar dan corak kehidupan
masyarakat dataran tinggi Dieng.
Corak dan pola produksi pertanianpun berubah, mereka mulai meninggalkan cara-cara lama yang
cenderung menghindari resiko dan berorientasi pada ekonomi moral. Kini semua itu mulai
ditanggalkan, untuk tidak mengatakan dilawan. Para petani Dieng sepertinya telah membulatkan
tekad untuk menjadi bagian yang tak terpisahkan dari sistem ekonomi pasar yang secara gencar
dipromosikan oleh banyak kalangan, terutama pemerintah, meski untuk itu terkadang harus
membayar mahal. Sejak mengenal kentang pada tahun 1980 an, petani Dieng telah sepenuhnya
menggantungkan harapan yang sangat besar pada komoditas ini. Ada semacam hasrat kuat
untuk mengubah citra sebagai orang gunung yang miskin dan terbelakang menjadi orang modern
yang maju dan kaya. Misalnya saja, demi menggenjot hasil, mereka tidak lagi mengindahkan
prinsip-prinsip pergiliran tanaman yang tujuan utamanya adalah mempertahankan kesuburan
tanah selama mungkin. Sebaliknya, mereka justru berani mengambil resiko dengan menerapkan
pola tanam tunggal dalam satu musim, yaitu: kentang – kentang – kentang. Dengan pola tanam
seperti ini, sudah barang tentu akan terjadi pengurasan unsur hara yang berujung pada
menurunnya tingkat kesuburan tanah secara drastis.
Bukan hanya itu, situs kompleks Candi Arjuna dan Gatotkaca yang ada di dataran tinggi itupun
tak luput dari sasaran proses rekonfigurasi dan resistensi masyarakat. Situs yang luasnya 222.184
meter persegi dan terletak di Desa Dieng Kulon, Kecamatan Batur, Banjarnegara, saat ini
telah dikuasai penduduk untuk perluasan tanaman kentang mereka. Bahkan hutan lindung yang
ada di dataran tinggi itu juga mengalami nasib yang sama. Lebih dari 1.000 hektar hutan negara
di kawasan itu telah diubah menjadi lahan pertanian kentang masyarakat. Tentu saja perubahan
lanskap ini menimbulkan berbagai dampak lingkungan. Setidaknya menurut Pemda Wonosobo,
tingkat erosi di dataran tinggi Dieng sudah mencapai 160 ton/ ha/ tahun, kurang lebih meningkat
8 kali lipat hanya dalam kurun waktu enam tahun terakhir.

Maka tidak heran kalau sekarang kita menjadi semakin sulit menemukan tanah-tanah subur yang
ada di dataran tinggi itu. Kendatipun demikian, petani tidak menyerah; mereka memacu produksi
kentangnya dengan penggunaan berbagai pestisida dan obat-obatan lainnya. Mereka
menyemprot tanaman kentangnya dengan fungisida dan pestisida sedikitnya tiga kali seminggu,
bahkan di temui di lapangan beberapa orang yang mencampurnya dengan Baygon (racun
pembasmi nyamuk), demi meningkatkan keampuhannya. Praktik semacam inilah yang pada
gilirannya menjadikan biaya produksi kentang di Dieng menjadi tinggi dibandingkan dengan
daerah lain seperti Pengalengan (Jawa Barat) dan Tengger (Jawa Timur).

Tingginya biaya produksi tanaman kentang diakui dan dirasakan petani. Akibatnya, para petani
kecil memilih untuk tidak mengolah sendiri lahannya, karena merasa tidak cukup modal untuk
menanam kentang. Tanah yang mereka punya disewakan, dan mereka beralih profesi menjadi
buruh tani, atau memelihara ternak dengan harapan suatu saat nanti punya cukup modal untuk
kembali menanam kentang. Namun ini tidak berlaku bagi petani besar. Ada anggapan bahwa
mereka yang sudah tidak menaman kentang adalah orang yang sudah bangkrut atau kalah. Atas
dasar itu maka banyak orang Dieng yang berusaha agar tetap bisa menanam kentang, demi
menjaga gengsi agar tidak dikatakan sudah bangkrut. Kondisi seperti ini lambat-laun
menimbulkan semacam persaingan di antara para petani, terutama antara mereka yang berlahan
sempit dengan mereka yang berlahan luas, antara yang miskin dan yang kaya. Wujud persaingan

8
itu antara lain tampak pada bagaimana mereka pada umumnya saling merahasiakan informasi-
informasi penting yang terkait dengan proses produksi kentang.

Persaingan itu pula yang kemudian membawa para petani kentang di Dieng tidak saja masuk ke
wilayah-wilayah perbankan dan rentenir, sebagaimana yang sudah diceritakakan di muka, akan
tetapi juga ke wilayah-wilayah perdukunan. Tidak jarang untuk bisa memperoleh hasil kentang
yang sempurna, para petani mendatangi para dukun guna memohon doa restu. Praktik-praktik
perdukunan terkadang juga digunakan untuk menggagalkan panen orang-orang tertentu yang
dianggap sebagai pesaing. Beberapa petani kentang di Dieng yang gagal panen sering merasa
bahwa kegagalanya itu disebabkan oleh praktik perdukunan dari orang-orang tertentu yang
selama ini menjadi pesaingnya. Dan biasanya jalan keluar yang ditempuh adalah dengan
berupaya mencari dukun yang lebih ampuh untuk memagari tanaman kentangnya.

Situasi semacam itu semakin menegaskan bahwa rekonfigurasi dan resistensi, suka ataupun
tidak, pada akhirnya telah mengaburkan, untuk tidak mengatakan mencairkan, batas-batas yang
menurut Hefner menjadi penanda penting bagi identitas lokal, dalam hal ini masyarakat
pegunungan yang yang subsisten dan tidak pernah berani mengambul resiko. Sebagaimana yang
diungkapkan Merton, ketika batas-batas mencair maka kontrol sosialpun melemah, mobilitas
meningkat, dan anggota-anggota masyarakat dari berbagai tingkatan cenderung akan
membandingkan apa yang terjadi di dalam dengan apa yang terjadi di luar, yang seringkali akan
segera diikuti dengan penyesuaian-penyesuaian.4 Parameter-parameter untuk menentukan tujuan
yang hendak dicapai, bagaimanapun menjadi tidak lagi semata-mata berasal dari komunitas
orang dalam, melainkan dari mana saja, termasuk komunitas-komunitas yang ada di luar. Kita
bisa menangkap kesan semacam itu dari pilihan-pilihan ekonomi yang tiba-tiba nampak
problematis, tidak lagi bisa dikendalikan oleh otoritas-otoritas lokal. Desa, dengan demikian,
bukan lagi sebagai ruang yang berdiri sendiri, yang mutlak dikendalikan oleh komunitas orang
dalam, akan tetapi ditarik ke sana-kemari oleh kekuatan-kekuatan yang ada di luar, sesuai
dengan kepentingan-kepentingannya.

Singkatnya, hal ini merupakan dilema budaya pada inti pembangunan di banyak negara di dunia
ketiga. Bahkan di mana produksi, kepemilikan dan kelas belum terpengaruh, perubahan yang
lebih luas pada konsumsi, komunikasi dan pemerintah harus dihadapi oleh cara-cara lokal.
Perubahan dalam aspirasi kelompok dapat berjalan bersamaan dengan perubahan dalam
produksi. Tetapi dalam banyak contoh mereka mendahului, dirangsang oleh pengembangan
media, sekolah, pemerintahan dan gaya hidup. Sebaliknya untuk menyatakan dan menuntut
prioritas infra struktur produktif seringkali tidak diperhatikan oleh kekuatan pemerintah.5

Sihir Modernitas

Proses komodifikasi sebagaimana yang sudah digambarkan di muka pada akhirnya menjadikan
lanskap dataran tinggi Dieng identik dengan bangun geometris petak-petak pertanaman kentang
yang memenuhi punggung-punggung bukit hingga ke puncak-puncaknya. Di sepanjang jalan
yang menghubungkan Wonosobo, Dieng dan Banjarnegara berjajar papan-papan reklame

4
Robert K. Merton, Social Theory and Social Structure, (New York: Free Press, 1968). hlm. 321.
5
Robert W. Hefner, loc.cit. hlm. 402-403

9
berukuran besar yang menawarkan aneka produk kimia: pestisida, fungisida, herbisida,
insektisida, urea dan lain sebagainya. Barangkali inilah pemandangan sempurna yang mewakili
ungkapan Scott tentang upaya manusia dengan segenap pengetahuan modernitasnya untuk
mengemas alam ke dalam model-model geometris dan homogen, demi kemudahan-kemudahan
pengelolaannya (eligiblity); atau dalam istilah Tania Li disebut dengan “rendering technical”,
suatu upaya simplifikasi atas kompleksitas fenomena alam ke dalam parameter-parameter teknis-
kuantitatif.

Dataran tinggi itu, bagaimanapun, tidak lagi hanya bisa digambarkan dengan citra “indah dan
menakjubkan”, sebagaimana yang tertuang dalam teks-teks brosur pariwisata Pemda Wonosobo,
akan tetapi juga diwarnai dengan gaya hidup baru yang penuh ketegangan-ketegangan, untuk
tidak mengatakan kenaifan-kenaifan. Sejak 3 dekade belakangan ini, terutama sejak terjadi
booming ekonomi kentang, simbul-simbul modernitas yang selama ini identik dengan gaya hidup
perkotaan di dataran rendah, tiba-tiba seperti dihadirkan di dataran tinggi itu. Dari mulai sepatu
bola dengan harga jutaaan rupiah, sepeda motor sport, pesta kembang api, masjid megah
bertingkat, hingga kuda balap dan mobil-mobil keluaran terbaru, kini menjadi orientasi gaya
hidup orang-orang dataran tinggi yang dahulu dikenal sebagai masyarakat agraris yang subsisten
itu. Booming ekonomi kentang agaknya telah membawa mereka pada impian baru: menjadi
bagian yang syah dari gemerlap modernitas. Kendatipun demikian, di dataran tinggi itu kita juga
masih bisa menyaksikan hal-hal ironis lain, seperti lemari pendingin yang oleh sebagian warga
difungsikan sebagai lemari baju, parabola yang dengan gagahnya dipancangkan meski tanpa
aliran listrik, timbunan uang kertas di balik kasur pegas, dan lain sebagainya. Meminjam istilah
Mrazek, mungkin inilah menara-menara modernitas yng ditancapkan di suatu dataran tinggi
bernama Dieng, sebuah dunia baru yang dalam pandangan Geertz belum bisa dihahadirkan
secara penuh di banyak tempat, khususnya di negeri-negeri yang dikategorikan dunia ke tiga.

Maka boleh jadi yang sedang kita saksikan di sana (Dieng) adalah sebuah proses untuk menjadi
modern, dan sekali lagi kalau kita memakai istilah Geertz adalah ibarat “awan terhimpun, awan
membuyar”, sesuatu yang masih bersifat labil. Modernitas yang belum sepenuhnya hadir di
dataran tinggi yang dahulu sering diasosiasikan dengan kawasan seribu candi itu, kini terasa
sekali keterwakilannya dengan hadirnya bentang alam geometris berupa petak-petak pertanaman
kentang, deretan papan reklame racun kimia, dan gaya hidup baru segenap warga. Sejak
booming ekonomi kentang terjadi di dataran tinggi itu, keterbukaan komunitas dan hubungannya
dengan dunia luar nampaknya melaju sedemikian intensif. Dalam situasi seperti ini, kalau kita
mengutip Abdullah (1991), suka ataupun tidak, masyarakat pedesaan akan sulit terbebas dari
proses penetrasi kapitalisme, dan wilayah-wilayah merekapun cepat atau lambat akan terintegrasi
dengan kebijakan nasional dan pasar global. Akibatnya, pemenuhan berbagai kebutuhan
komunitaspun menjadi lebih terbuka, terutama dengan memanfaatkan sumber-sumber yang
berada di luar komunitas itu sendiri, yakni mekanisme pasar.

Dalam konteks perubahan-perubahan seperti itu, implikasinya, masyarakat akan terdorong ke


arah hubungan-hubungan yang lebih otonom, terlepas dari system dan ikatan-ikatan lama,
menuju pada pola-pola baru yang lebih longgar. Kesadaran kelompok tentang perbedaan
identitas dirinya dengan kelompok lain akan mengalami reinterpretasi, karena di satu sisi
kesadaran akan perbedaan itu bukan lagi menjadi bagian dari isolasi kelompok, sementara di sisi
yang lain kesadaran seperti itu justru muncul sebagai bagian dari pilihan-pilihan rasional,

10
sekaligus menjadi simbul resistensi terhadap cengkeraman nilai-nilai lama yang hendak
ditinggalkan. Kesadaran kelompok untuk menegaskan identitas menjadi lebih dinamis, terbangun
dalam suatu interaksi yang melibatkan jarring-jaring sosial secara luas, bukan semata-mata
sebagai kesadaran yang dikonstruksikan atas dasar ketertutupan-ketertutupan. Maka proses
perubahan-perubahan itu, sebagaimana yang baru saja kita saksikan di dataran tinggi Dieng,
sesungguhnya tidak hanya diakibatkan oleh unsure-unsur eksternal, akan tetapi juga dilahirkan
atas kehendak dari unsur-unsur internal. Atau dengan kata lain kita bisa menyatakan bahwa
perubahan-perubahan itu tidak bisa secara mutlak dipandang dari kaca mata teori dampak
semata. Bagaiamanapun, hasrat untuk berubah dari kalangan masyarakat itu sendiri adalah factor
yang sangat menentukan dan perlu diperhitungkan.

Perubahan itu juga bukan saja menjelaskan bagaimana interaksi masyarakat dengan berbagai
factor yang ikut menentukan pranata sosial secara luas. Perubahan-perubahan itu harus dilihat
dalam konteks globalisasi yang sedang terjadi dan memiliki pengaruh ke dalam proses-proses
sosial hingga ke tingkat yang paling kecil. Proses-proses ini telah membawa pasar menjadi
kekuatan dominan dalam pembentukan nilai dan tatanan sosial yang bertumpu pada prinsip-
prinsip komunikasi yang canggih. Pasar telah pula memperluas orientasi masyarakat dan
mobilitas, hingga batas-batas sosial budaya selain meluas juga cenderung mengabur akibat
berubahnya orientasi ruang dalam masyarakat (Appadurai, 1994). Satu tempat dengan tempat
lain dengan mudah dihubungkan melalui pengalaman-pengalaman nyata yang dialami sendiri,
maupun melalui berbagai saluran media, seperti televisi, telepon seluler, internet dan lain
sebagainya.

Dalam proses kehidupan yang demikian, sistem nilai tradisional mulai digantikan oleh sistem
nilai modern sehingga referensi tidak lagi berkiblat pada tradisi, tetapi pada nilai-nilai
modernitas dengan logika berpikir yang berbeda. Tradisi bahkan kalau kita saksikan dalam
berbagai tayangan televisi kini menjadi komoditi yang estetis sehingga etika suatu tradisi
menjadi kabur dan cenderung tak tergambarkan. Berubahnya tata nilai dalam masyarakat tidak
semata-mata melanjutkan apa yang oleh Abdullah (2009) disebut sebagai “naluri masa lalu”,
akan tetapi telah menjadi arena negosiasi berbagai tata nilai yang tidak hanya lokal dan nasional,
tetapi juga global. Di dalam proses negosiasi semacam ini berbagai kepentingan turut mengambil
bagian, walau nampaknya pasar menjadi kekuatan paling dominan akibat dukungan-dukungan
media, terutama televise. Akibatnya, kreativitas masyarakat menjadi terbatasi, karena ruang-
ruang yang tersedia telah lebih dahulu didefinisikan untuk kepentingan tertentu.

Penutup

Pada akhirnya kita memang sulit mengelak dari keniscayaan: perubahan politik dan ekonomi – di
mana masyarakat lokal ikut serta di dalamnya, baik dalam konteks negosiasi maupun resistensi –
membawa konsekuensi pada pergeseran pemahaman akan komunitas dan identitas baru,
keinginan dan aspirasi baru, serta gambaran-gambaran baru perihal masa yang akan datang.
Kendatipun demikian apa yang dinamakan sebagai gambaran-gambaran baru itu tidak serta-
merta bisa kita tangkap, karena pada umumnya teks publik tentang masyarakat selalu berubah
lebih lambat ketimbang praktik-praktik dan relasi-relasi yang melandasinya. Atau kalau
meminjam istilah Geertz, kita bisa mengatakan: bahwa yang tersedia hanyalah penjelasan-

11
penjelasan telat, mengingat fakta yang kita hadapi adalah “awan terhimpun, awan membuyar” –
sesuatu yang senantiasa berubah.6
Kita tak bisa mengatakan bahwa orang-orang Sedaka yang diteliti Scott dan orang-orang Dieng
yang saya teliti, akan selalu demikian adanya, seolah-olah membatu, mempertahankan segenap
nilai dan identitas, dalam rangka menghadapi sosok negara dan pasar. Paling tidak melalui
tulisan singkat ini saya telah berusaha menampilkan segenap argumentasi bahwa mereka terlibat
secara kreatif dalam menghadapi perbedaan-perbedaan dan mensikapi perubahan-perubahan
yang muncul silih-berganti. Mereka yang dahulu mengandalkan tembakau sebagai mata
pencaharian, sekarang memandang kentang lebih menguntungkan. Mereka yang dahulu bertani
hanya untuk kebutuhan subsisten sekarang berorientasi ke pasar. Mereka yang dahulu sudah
cukup nyaman dengan gaya hidup masyarakat pegunungan, kini mulai berorientasi pada simbul-
simbul modernitas perkotaan. Demikian seterusnya, perubahan-perubahan itu telah menjadi
semacam arus yang agaknya tak mungkin untuk dibendung.
Lantas dengan cara bagaimana kita harus menjelaskan masyarakat lokal, pengetahuan lokal, dan
identitas lokal? Pertanyaan inilah yang barangkali di masa yang akan datang membutuhkan
jawaban-jawaban kritis. Bukan jawaban-jawaban yang hanya mengacu pada efek cermin
terbalik, untuk tidak mengatakan hanya menampilkan bayangan-bayangan: dataran tinggi yang
menyimpan harmoni/ dataran tinggi yang mulai indivualis, dataran tinggi yang tak
berpendidikan/ dataran tinggi yang memiliki keunggulan tradisi, tradisi terbelakang/ tradisi
bernilai. Model-model jawaban seperti ini, sadar ataupun tidak, hanya akan semakin menegaskan
bahwa mereka yang sering disebut sebagai masyarakat lokal, dengan segenap pengetahuan lokal
dan identitas lokalnya, tak lebih dari “orang lain” yang sama sekali tak memiliki sumbangan
terhadap proses perubahan. Mereka adalah “orang aneh” yang seolah-olah berbeda dengan kita,
dan ujung-ujungnya, kita posisikan sebagai obyek wisata budaya.

Daftar Pustaka

Abdullah, Irwan, 2009. Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan, Pustaka Pelajar, Jogjakarta

--------------------, 1991. Market, Consumption and Lifestyle Management, makalah yang disampaikan dalam
International Seminar on Social and Cultural Dimension of Market Expansion, Batam 3-5 Oktober.

Adas, M., 1998, State, Market and Peasant in Colonial South and Southeast Asia, Asghate Variorum, Aldershot.
Brookfield USA. Singapore. Sidney.

Ajidarma, S. G. 2000. Kisah Mata (Fotografi antara Dua Subyek: Perbincangan Tentang Ada).Galang Press.
Jogjakarta.

Appadurai, Arjun, 1986. The Social Life of Things: Commodities in Cultural Perspective. Cambridge University
Press.
Boomgard, P. 1991 The Non Agricultural Side od An Agricultural Economy Java, 1500 – 1900, dalam In The
Shadow of Agricultue : Non-Farm Activities In The Javanese Economy, Past and Present, Royal
Tropical Institute, Amsterdam.

6
Clifford Geertz, 1998, After The Fact: Dua negeri, Empat Dasa Warsa, Satu Antropologi, LKIS, Yogyakarta.

12
Boeke, J. H. dan Burger D.H. 1973, 1982, Ekonomi Dualistis : Dialog Antara Boeke dan Burger, Bharata Karya
Aksara, Jakarta

Clark, G., 1988. Traders Versus The State: Anthropological Approaches to Unofficial Economics, (Westview Press:
Boulder, London

Geertz, C. 1983, Involusi Pertanian : Proses Perubahan Ekologi di Indonesia, Bhratara Karya Aksara, Jakarta.

-----------------, 1998, After The Fact: Dua negeri, Empat Dasa Warsa, Satu Antropologi, LKIS, Yogyakarta.

Hayami, Y. dan Kikuchi, M. 1987, Dilema Ekonomi Desa : Suatu Pendekatan Terhadap Perubahan Kelembagaan
di Asia, Yayasan Obor Indonesaia, Jakarta.

Hefner, R.W., 1999, Geger Tengger: Perubahan sosial dan Perkelahian Politik, Terj. A. Wisnu Wardana, Imam
Ahmad, Yogyakarta.

John, A. W dan Sarah Chaplin. 1997, Visual Culture: An Introduction. Manchester University Press. Manchester.
UK.

Li, T.M., 2002, ProsesTransformasi Daerah Pedalaman di Indonesia (Terjemahan Sumitro, S.N. Kartikasari),
Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.

---------------., 1992, Rich Forest Poor People: Resource Control and Resistance in Java, University of California
Press, Barkeley, Los Angles, Oxford.

Mrazek, R. 2006. Engineers of Happy Land: Perkembangan Teknologi dan Nasionalisme di Sebuah Koloni
(Terjemahan), Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.

-------------, 2007, The Will to Improve: Governmentality, Development and The Practice of Politics, Duke
University Press. Durham. London.

Popkin, S. L. 1986, Petani Rasional, Yayasan Padamu Negeri, Jakarta.

Rafles, T.S., 1965, The History of Java Volume I-II, Kuala Lumpur, Oxford University Press, London New York.

Redfield, R., 1960, The Little Community and Peasant Society and Culture, Chicago.

Santoso, H., 2004, Perlawanan di Simpang Jalan: Kontes Harian di Desa-desa Sekitar Hutan di Jawa, Damar,
Yogyakarta.

----------------, 2005, Masyarakat Lokal yang Dibayangkan: Kemiskinan Imajinasi Terhadap Perubahan dan
Perbedaan Dalam Modernitas, dalam Komuniti Vol. 3. Tahun 2005, FKKM, Bogor.

Scott, J.C. 1976, The Moral Economy of the Peasant: Rebellion and Subsistence in southeast Asia New Heaven:
Yale University Press.

--------------, 1993, Perlawanan Kaum Tani, Terj. Budi Kusworo, Hira Jamtani, Mochtar Probotinggi, Gunawan
Wiradi, Jakarta, Yayasan Obor Indonesaia, Jakarta

--------------., 2000, Senjatanya Orang-orang Kalah: Bentuk Perlawanan sehari-hari Kaum Tani, Terj. A.Rahman
Zainudin, Sayogyo, Mien Joebhaar, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.

--------------, 1998, Seeing Like State, New Heaven: Yale University Press.

13
14

Anda mungkin juga menyukai