ABSTRAK
https://ojs.unud.ac.id/index.php/soca https://doi.org/10.24843/SOCA.2019.v13.i01.p08
Journal on Socio-Economics of Agriculture and Agribusiness Vol.13 No.1, 28 Februari 2019 97
ABSTRACT
https://ojs.unud.ac.id/index.php/soca https://doi.org/10.24843/SOCA.2019.v13.i01.p08
Journal on Socio-Economics of Agriculture and Agribusiness Vol.13 No.1, 28 Februari 2019 98
https://ojs.unud.ac.id/index.php/soca https://doi.org/10.24843/SOCA.2019.v13.i01.p08
Journal on Socio-Economics of Agriculture and Agribusiness Vol.13 No.1, 28 Februari 2019 99
https://ojs.unud.ac.id/index.php/soca https://doi.org/10.24843/SOCA.2019.v13.i01.p08
Journal on Socio-Economics of Agriculture and Agribusiness Vol.13 No.1, 28 Februari 2019 100
https://ojs.unud.ac.id/index.php/soca https://doi.org/10.24843/SOCA.2019.v13.i01.p08
Journal on Socio-Economics of Agriculture and Agribusiness Vol.13 No.1, 28 Februari 2019 101
https://ojs.unud.ac.id/index.php/soca https://doi.org/10.24843/SOCA.2019.v13.i01.p08
Journal on Socio-Economics of Agriculture and Agribusiness Vol.13 No.1, 28 Februari 2019 102
https://ojs.unud.ac.id/index.php/soca https://doi.org/10.24843/SOCA.2019.v13.i01.p08
Journal on Socio-Economics of Agriculture and Agribusiness Vol.13 No.1, 28 Februari 2019 103
https://ojs.unud.ac.id/index.php/soca https://doi.org/10.24843/SOCA.2019.v13.i01.p08
Journal on Socio-Economics of Agriculture and Agribusiness Vol.13 No.1, 28 Februari 2019 104
https://ojs.unud.ac.id/index.php/soca https://doi.org/10.24843/SOCA.2019.v13.i01.p08
Journal on Socio-Economics of Agriculture and Agribusiness Vol.13 No.1, 28 Februari 2019 105
ditangani oleh jasa tenaga ahli akan dan memegang erat tradisi komunal
lebih baik jika dibandingkan dengan kemudian berubah pendiriannya
tenaga sambatan yang hanya menjadi berpihak kepada ekonomi
menggunakan kemampuan sebisanya. rasional.
Anggapan lebih baik menggunakan
Lahirnya Sistem Pengkastaan
tenaga ahli menggeser peran
Akibat lain yang ditimbulkan
sambatan dalam masyarakat untuk
adalah munculnya sistem
beralih menggunakan tenaga ahli yang
pengkastaan, padahal sebelum
lebih praktis dan cepat. Hal ini juga
adanya modernisasi masyarakat tani
karena tenaga sambatan tidak dapat
tidak mengenal adanya sistem
mengerjakan pekerjaan yang bersifat
stratifikasi. Adapun, itu hanya
khusus dan membutuhkan
ditentukan berdasarkan siapa yang
penanganan yang teliti, sehingga sifat
mengumpulkan hasil ladang
kerja sambatan pada jaman sekarang
terbanyak. Pandangan inipun bergeser
tidak lebih sebagai pembantu tenaga
dengan lahirnya konsep modernisasi,
ahli, karena hal yang bersifat khusus
modernisasi menyebabkan munculnya
dan membutuhkan penanganan teliti
dua kutub besar dalam masyarakat
harus diambil alih oleh tenaga ahli.
tani yaitu tuan tanah atau petani
Hilangnya sambatan juga
dengan lahan luas dan petani gurem
menyebabkan hilangnya kesempatan
atau buruh tani. Tuan tanah
wanita tani untuk berperan dalam
menundukkan buruh tani, buruh tani
kegiatan masyarakat.
ada hanya untuk memenuhi
Hilangnya budaya sambatan
kebutuhan tuan tanah. Buruh tani
juga menunjukkan gejala bergesernya
bukan berperan sebagai mitra, tapi
pola hidup masyarakat desa dari yang
hanya sebagai penyedia tenaga kerja
awalnya komunal berubah menjadi
bagi petani yang kaya. Hasil
individual. Masyarakat tani sebelum
subordinasi dan proses eksploitasi ini
adanya penerapan modernisasi
bahkan masih bisa dilihat hingga hari
pertanian cenderung lebih bersifat
ini.
sosialis, artinya rasa kekeluargaan
Setidaknya muncul dua kutub
yang terbangun antara petani dan
pengkastaan yaitu petani lapis atas
petani lainnya masih ada, sedangkan
dan petani lapis bawah. Petani lapisan
setelah adanya penerapan
atas merupakan petani yang memiliki
modernisasi pertanian lebih bersifat
akses pada sumberdaya lahan,
individualistis atau menghilangnya
kapital,mampu merespon teknologi
rasa kekeluargaan yang pernah
dan pasar denganbaik, serta memiliki
terbangun dengan sesama petani.
peluang berproduksi yang berorientasi
Sistem komunal yang ditunjukkan
keuntungan. Petani lapisan bawah
dengan kegiatan saling bantu dan
lebih kepada golongan mayoritas di
gotong royong berevolusi menjadi
pedesaan yang merupakan petani
sistem kapitalis yang lebih
yang relatif miskin, lahan yang sempit,
mengedepankan modal dan
hingga modal yang terbatas.
berorientasi produksi. Para petani
Modernisasi juga
perdesaan termasuk wanita tani yang
memunculkan pelapisan dalam
pada umumnya menganut teguh
masyarakat, sehingga lahirlah konsep
moral ekonomi sebagai prinsip hidup
patron dan klien. Klien akan selalu
https://ojs.unud.ac.id/index.php/soca https://doi.org/10.24843/SOCA.2019.v13.i01.p08
Journal on Socio-Economics of Agriculture and Agribusiness Vol.13 No.1, 28 Februari 2019 106
tunduk kepada patron dan patron Akibatnya petani hanya menjadi pihak
merasa memiliki kehidupan klien. yang pasif dan tidak memiliki kuasa
Sebisa mungkin patron akan mengikat untuk mengambil keputusan sendiri.
klien agar selalu berhubungan kerja Pemerintah sudah akan memutuskan
dengannya. Konsep ini menimbulkan apa saja yang akan dilakukan petani,
ketergantungan klien terhadap patron. mulai dari jenis benih yang akan
Patron disini biasanya adalah petani ditanam, hingga jenis pupuk yang
kaya atau petani dengan lahan yang digunakan. Petani tidak lagi memiliki
luas. Sementara itu klien lebih kepada power terhadap dirinya sendiri. Hal
petani miskin dan petani gurem. senada juga diungkapkan
Akibatnya adalah terjadi polarisasi, Tjondronegoro (1999) bahwa revolusi
yang kaya semakin kaya dan yang hijau telah menyebabkan rusaknya
miskin semakin tidak ada kesempatan struktur pengorganisasian petani dan
untuk memperbaiki taraf hidupnya timbulnya pelapisan sosial.
(Kandar, 2014). Kedua lapisan Usman (2004) juga melihat
masyarakat petani tersebut terlibat adanya masalah melemahnya fungsi
dalam hubungan kerja yang kurang institusi lokal dalam praktik revolusi
seimbang. hijau. Dengan kebijakan sentralisasi
Sistem patron klien menurut pembangunan pertanian, institusi-
Widodo (2009) mengukuhkan suatu institusi lokal selama ini menjadi tidur
fenomena bahwa petani kecil sebagai dan tidak berfungsi. Petani diwajibkan
kelompok mayoritas harus mengakui terhimpun dalam kelompok tani yang
kekalahan terhadap kaum pemilik dibentuk dan dikontrol oleh
modal yang notabene adalah pemerintah. Petani dibiasakan bekerja
minoritas. Dikuatkan oleh penelitian dengan petunjuk yang diinstruksikan
Rifkian et. al. (2017) yang dari atas dan hampir tidak memiliki
menyebutkan dominasi patron peluang terlibat dalam proses
menjadi sangat kentara setelah era pengambilan keputusan yang
revolusi hijau, buktinya adalah menyangkut kehidupan mereka. Di
perekrutan tenaga kerja dilihat dari sektor kelembagaan seperti kelompok
hasil kerja, pencarian tenaga kerja tani yang juga banyak terjadi adalah
dilakukan langsung oleh pemilik, dan ketua kelompok tani dipilih lebih
sistem pembagian hasil berupa uang berdasarkan status sosial. Posisi
(bayar langsung setelah bekerja). ketua kelompok tani di desa banyak
diisi oleh petani dengan luasan lahan
Melemahnya Fungsi Kelembagaan
yang luas. Bukan karena
Lokal
kompetensinya namun lebih
Di tingkatan yang paling
dikarenakan status sosialnya.
rendah, pemerintah membentuk
Lembaga lain seperti Bulog
kelompok tani umtuk memudahkan
menurut Suseno dan Suyatna (2007)
koordinasi dan penyamaan
yang didirikan untuk mengontrol
persepsiantara pemerintah dengan
produk-produk pertanian dan
petani. Tujuannya tentu agar petani
membuat standarisasi harga bagi
bisa mendukung tujuan pemerintah
produk pertanian justru
tanpa adanya interupsi. Kelompok tani
berubahmenjadi lembaga yang sangat
dibuat berdasarkan kepentingan
profit oriented dan monopolistic yang
pemerintah, bukanlah inisiatif eptani.
https://ojs.unud.ac.id/index.php/soca https://doi.org/10.24843/SOCA.2019.v13.i01.p08
Journal on Socio-Economics of Agriculture and Agribusiness Vol.13 No.1, 28 Februari 2019 107
https://ojs.unud.ac.id/index.php/soca https://doi.org/10.24843/SOCA.2019.v13.i01.p08
Journal on Socio-Economics of Agriculture and Agribusiness Vol.13 No.1, 28 Februari 2019 108
https://ojs.unud.ac.id/index.php/soca https://doi.org/10.24843/SOCA.2019.v13.i01.p08
Journal on Socio-Economics of Agriculture and Agribusiness Vol.13 No.1, 28 Februari 2019 109
https://ojs.unud.ac.id/index.php/soca https://doi.org/10.24843/SOCA.2019.v13.i01.p08
Journal on Socio-Economics of Agriculture and Agribusiness Vol.13 No.1, 28 Februari 2019 110
https://ojs.unud.ac.id/index.php/soca https://doi.org/10.24843/SOCA.2019.v13.i01.p08
Journal on Socio-Economics of Agriculture and Agribusiness Vol.13 No.1, 28 Februari 2019 111
setiap tahun semakin marak yang budaya gotong royong, lahirnya sistem
dilakukan oleh kaum pemodal besar kasta dalam masyarakat tani,
melalui investasi. Akibatnya terjadi melemahnya fungsi kelembagaan
alih fungsi lahan yang pada akhirnya lokal, petani hanya sebagai objek
menjadikan luasan lahan pertanian penyuluhan, dan lainnya.
menjadi semakin sempit (Mulyadi, Karena berbagai dampak
2015). Masalah akses lahan ini negatif yang muncul inilah kemudian
bahkan kerap menjadi sumber konflik muncul suatu pemikiran akan
antar petani maupun petani dengan pentingnya reformulasi konsep
industri (Ariendi dan Kinseng, 2011). modernisasi di sektor pertanian.
Industri yang dibangun di suatu Kedepan modernisasi pertanian harus
daerah dengan menggusur banyak berbasis pada komunitas tani dan
ladang pertanian menurut Widiansyah meletakkan perspektif pembangunan
(2017) akan merubah mata pedesaan secara utuh meliputi sektor
pencaharian penduduknya, sehingga primer, sektor sekunder (sektor
sedikit yang mau menjadi petani. komplemen) dan sektor tersier (jasa).
Kesalahan ini sudah lama terjadi sejak Modernisasi pertanian sebaiknya
era orde baru karena tidak meletakkan direncanakan, dikelola, dan
masalah pertanahan sebagai basis dikendalikan sehingga seiring dan
pembangunan (Wiradi, 2000). kondusif dengan pembangunan
pertanian. Mengingat bahwa tujuan
KESIMPULAN DAN SARAN
dari setiap tahap pembangunan
Modernisasi dan pembangunan adalah untuk meningkatkan taraf
pertanian hadir sebagai sebuah hidup kesejahteraan masyarakat.
perangkap yang penuh dengan janji Pada akhirnya, proses pembangunan
manis, janji itu bernama revolusi pertanian ke depan harus
hijau. Revolusi hijau dengan cita-cita menggunakan pendekatan
merubah pola pikir petani justru salah pemberdayaan dengan tujuan
dimaknai oleh pemerintah. fungsional lebih menyeluruh dan
Pemerintah hanya mengkonsepkan terpadu untuk pembangunan
pembangunan pertanian sebagai manusia seutuhnya. Pembangunan
pembangunan infrastruktur dan dengan pendekatan pemberdayaan
mekanisasi pertanian. Langkah harus mampu membangun fisik dan
pemerintah yang abai terhadap non-fisik, menyangkut sumber daya
kebutuhan dan kondisi masyarakat alam (SDA), sumber daya lingkungan
menyebabkan banyak terjadi (SDL) dan sumber daya manusia
perubahan sosial budaya bahkan (SDM). Jadi, diharapkan
hingga ekonomi di struktur kehidupan terminimalisirnya dampak negatif
masyarakat desa. Banyak wanita tani yang terjadi sehingga kehidupan sosial
yang kehilangan pekerjaan dan dan ekonomi masyarakat lambat laun
termarginalisasi, tidak ada lagi akan membaik.
pembagian kerja berdasarkan gender,
DAFTAR PUSTAKA
kencangnya laju urbanisasi,
mandeknya regenerasi, Arce, A. dan N. Long. 1992. The
ketergantungan terhadap industri, Dynamics of Knowledge:
musnahnya plasma nutfah, hilangnya Interfaces between Bureaucrats
https://ojs.unud.ac.id/index.php/soca https://doi.org/10.24843/SOCA.2019.v13.i01.p08
Journal on Socio-Economics of Agriculture and Agribusiness Vol.13 No.1, 28 Februari 2019 112
https://ojs.unud.ac.id/index.php/soca https://doi.org/10.24843/SOCA.2019.v13.i01.p08
Journal on Socio-Economics of Agriculture and Agribusiness Vol.13 No.1, 28 Februari 2019 113
https://ojs.unud.ac.id/index.php/soca https://doi.org/10.24843/SOCA.2019.v13.i01.p08
Journal on Socio-Economics of Agriculture and Agribusiness Vol.13 No.1, 28 Februari 2019 114
https://ojs.unud.ac.id/index.php/soca https://doi.org/10.24843/SOCA.2019.v13.i01.p08