Anda di halaman 1dari 4

Moratorium Taman Nasional Lore Lindu (TNLL)1

Oleh Anto Sangaji2

Tulisan singkat ini hendak menyampaikan 3 (tiga)


pesan. Pertama, struktur kekerasan konservasi yang
mendasari praktik marginalisasi penduduk dari kawasan TNLL.
Saya menyebutkan proses ini sebagai marginalisasi tahap
kesatu. Kedua, ketimpangan pemilikan dan penguasaan tanah
yang dipicu oleh hadirnya “petani lapar tanah” di kawasan
luar TNLL. Saya menyebutkan kenyataan ini sebagai
marginalisasi tahap kedua. Ketiga, tawaran moratorium
sebagai jalan keluar untuk kedua realitas di atas.

Struktur Kekerasan Konservasi

Realitas selama lebih dari 20 tahun terahir di TNLL


menunjukkan hilangnya kepemilikan dan penguasaan tanah
penduduk di sekitar kawasan itu, menyusul penetapan TNLL
sebagai kawasan konservasi. Tanah dan hutan yang sebelumnya
dikuasai oleh penduduk diambil untuk dijadikan sebagai
TNLL.

Praktik pengambilan tanah berlangsung melalui struktur


kekerasan. Pertama, meletakkan dasar kekerasan secara
akademis, melalui berbagai riset ekologi, yang menekankan
pentingnya perlindungan kawasan itu secara keras. Laporan-
laporan dari Watling & Mulyana (1981), dan Blower,J
Wind,Amir (1977), misalnya menekankan pentingnya
perlindungan kawasan itu di satu pihak, dan melihat ancaman
terhadap kawasan itu dari beberapa komunitas. Rekomendasi
mengenai pemindahan penduduk dan kontrol yang ketat
terhadap penduduk setempat, memperlihatkan bahwa basis
pengetahuan ekologi yang mendasari pembentukan TNLL
bersifat restriktif. Karenanya, kekerasan terhadap penduduk
setempat dalam konteks perlindungan terhadap TNLL memang
memiliki basis pengetahuan ekologi tertentu, yang secara
popular kerap disebut sebagai eco-facism.

Basis pengetahuan yang mendasari konsep mengenai taman


nasional memang bukan sesuatu yang khas Indonesia. Sebab,
konsep taman nasional (national park) berkembang di negara-
negara barat, dengan konteks ekologi dan sosial yang
berbeda.

Konsep taman nasional diperkenalkan sejak 1872, ketika


Yellow Stone ditetapkan sebagai taman nasional di Amerika.
Sementara konsep taman nasional diperkenalkan di Indonesia,
ketika pada 1980, bertepatan dengan pengumuman Strategi
Pelestarian Dunia (World Conservation Strategy), Menteri

1 Pengantar untuk debat publik mengenai moratorium TNLL di Hotel Dwi Mulia,
Palu, 5 Juli 2001
2 Pegiat Yayasan Tanah Merdeka (YTM) di Palu
Pertanian mengeluarkan Pernyataan pada tanggal 6 Maret 1980
mengenai penetapan lima kawasan suaka alam sebagai taman
nasional, yaitu Taman Nasional Gunung Leuser, TN Ujung
Kulon, TN gunung Gede-Pangrango, TN Baluran, dan TN Komodo
(LATIN, 1992). Artinya, konsep taman nasional di Indonesia
sebenarnya merupakan kontinuitas dari aspirasi global.

Kedua, meletakkan dasar kekerasan secara yuridis,


dengan memberlakukan aturan konservasi yang opresif.
Undang-undang, peraturan, dan berbagai kebijakan dirumuskan
untuk melindungi kawasan itu secara ketat. Undang undang
No.5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati
dan Ekosistemnya (UUKSDAHE) merupakan payung opresi dan
kekerasan terhadap penduduk. Dari UU ini dapat dilihat
bagaimana sebuah kawasan konservasi seperti taman nasional
diperlakukan berdasarkan tujuan dan kepentingan tertentu.
Pasal 1 ayat 4 UU ini menyatakan bahwa taman nasional
sebagai kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem
asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk
tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang
budidaya, pariwisata dan rekreasi.

TNLL sendiri memiliki status hukum sebagai taman


nasional sejak dikeluarkan Surat Keputusan Menteri
Kehutanan Republik Indonesia Nomor 593/Kpts-II/93,
tertanggal 5 Oktober 1993. Sebelumnya, dari tahun 1982,
TNLL masih berstatus sebagai calon taman nasional, setelah
dideklarasikan pada Kongres Taman Nasional Sedunia di Bali,
melalui Surat Keputusan Menteri Pertanian
No.736/Mentan/X/1982.

Sebelum itu, dasar hukum TNLL tercakup dalam status


Suaka Margasatwa Lore Kalamanta, Suaka Margasatwa Sungai
Sopu dan Gumbasa, serta Hutan Wisata dan Hutan Lindung
Danau Lindu. Ketiga kawasan lindung ini ditetapkan
berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian masing-masing
; No.522/Kpts/Um/10/1973, No.1012/Kpts/Um/12/1981, dan
No.46/Kpts/Um/1978.

Ketiga, mengoperasikan aparatus kekerasan untuk


perlindungan kawasan itu. Ketika TNLL ditetapkan sebagai
kawasan konservasi, tanah-tanah penduduk asli Behoa,
Pekurehua, Bada, Lindu, Kulawi, Gimpu dipatok secara
sepihak oleh pemerintah sebagai bahagian dari kawasan
konservasi itu. Tanpa ada pemberitahuan dan musyawarah,
tiba-tiba penduduk-penduduk asli itu tidak dibenarkan
memasuki hutan-hutan tradisional mereka, baik untuk
kegiatan budi daya pertanian, perburuan, dan pemanfaatan
hasil-hasil hutan. Malahan, diantara penduduk asli itu
harus dipindahkan, seperti yang dialami oleh Orang Katu.

Puluhan petugas kehutanan di lapangan,


Polsus/Jagawana, dengan dukungan fasilitas yang terbatas
dan gaji yang rendah harus bekerja keras menjaga areal
seluas itu. Kerap mereka harus bertindak keras, menyita
rotan, kayu, dan satwa. Bahkan dalam beberapa kasus, mereka
menghancurkan barang bukti, seperti tanaman cokelat dan
kopi.

Ketimpangan Agraria di sekitar TNLL

Perlindungan terhadap TNLL selain didasarkan sesat


pikir/konsep, sesat hukum, dan sesat tindakan, juga tidak
mempertimbangkan konfigurasi konflik-konflik agraria yang
terjadi di sekitar (luar) kawasan itu. Akibatnya, persoalan
TNLL selalu dilihat terlepas dari konteks masalah agraria
di sekitarnya. Seolah-olah masalah TNLL adalah masalah yang
berdiri sendiri, dan tidak berhubungan dengan masalah
agraria lainnya di kawasan itu.

Ada 2 (dua) masalah agraria menonjol yang terjadi di


sekitar kawasan itu. Pertama, ketimpangan dalam kepemilikan
dan penguasaan tanah, terutama karena didorong oleh
perizinan yang dikeluarkan pemerintah. Kita mencatat di
kawasan itu terdapat perkebunan kopi dan teh PT Hasfarm di
Napu (7740 hektar), beberapa perusahaan perkebunan di
Kulawi seperti PT Kebun Adi Dharma dengan komoditi kakao di
Kulawi (99 Ha), PT Gimpu Jaya Coklat (coklat,100 ha), PT
Gimpu Jaya Coklat (kopi arabika,5000 ha), PT Tangkolowi
Makmur (kopi arabika,275 ha), KPN Adhyaksa Kejati (kopi
arabika,125 hektar), PD Sulteng Kulawi (cengkeh,375 ha),PT
Sintuvu Karya (kakao) di Palolo (99 ha).

Kedua, ketimpangan dalam pemilikan dan penguasaan


tanah, terutama karena masuknya para pendatang. Para
pendatang ini teridentifikasi terdiri atas sejumlah bekas
pejabat pemerintah, yang karena kekuasaannya di masa lalu
dapat dengan mudah memperoleh lahan dalam jumlah puluhan
bahkan ratusan hektar untuk usaha pertanian. Selain itu,
para pendatang juga teridentifikasi sebagai petani/pedagang
yang memperoleh tanah melalui mekanisme jual beli, karena
memiliki sejumlah uang.

Moratorium

Menyaksikan begitu kompleksnya konflik agraria di TNLL


dan areal sekitarnya, maka tidak ada pilihan lain, kecuali
moratorium sebagai jalan keluar. Di sini moratorium
bermakna sebagai :

Pertama, pengembalian TNLL pada status semula sebelum


ditetapkan sebagai kawasan yang dilindungi. Dalam masa yang
sama, pemerintah harus mengambil prakarsa untuk melakukan
perundingan meja bundar dengan masyarakat di sekitar
kawasan itu, dengan metode-metode partisipatif dan
transparan untuk membicarakan kembali mengenai masa depan
pengelolaan kawasan ini.
Jika kawasan itu disepakati sebagai kawasan yang
dilindungi, maka segera dikembangkan strategi pengelolaan
kawasan yang bertumpu pada masyarakat setempat. Apa yang
oleh Kepala Balai TNLL, Ir Banjar Yulianto Laban,MM,
dianggap sebagai pendekatan eco-populism harus
diterjemahkan secara operatif.

Kedua, menghindari kemungkinan terjadinya ekstraksi


sumber daya alam di kawasan itu menyusul pengembalian
status TNLL di atas, maka semua bentuk izin pemanfaatan
hasil hutan yang telah dikeluarkan pemerintah di kawasan
sekitar/di luar TNLL harus dicabut. Implikasinya, semua
praktik angkutan hasil hutan yang melintasi ruas Napu-Palu,
Gimpu-Palu, Napu-Poso, dianggap sebagai tindakan ilegal.

Ketiga, penataan ulang pemilikan dan penguasaan tanah


di sekitar TNLL. Sasaran kegiatan ini adalah pembagian
tanah kepada petani-petani miskin (buruh tani). Tanah-tanah
itu diambil dari petani-petani berdasi yang menguasai
ribuan hektar tanah, baik atas nama individu atau
perusahaan di kawasan itu. Tindakan ini didahului dengan
pembekuan semua bentuk perizinan dan pencabutan hak atas
tanah yang telah mengakibatkan ketimpangan dalam pemilikan
dan penguasaan tanah di wilayah itu.

Bacaan

Blower JH, Jan Wind, Harry Amir, 1977, Proposed Lore


Kalamanta National Park, Manajement Plan 1978-1980,
FAO/UNDP, Bogor.

Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor


593/Kpts-II/93 Tentang Perubahan Fungsi Hutan Wisata/Hutan
Lindung Danau Lindu, Suaka Margasatwa Lore Kalamanta,
dan Suaka Margasatwa Sungai Sopu menjadi Taman Nasional
Lore Lindu.

Undang-Undang No.5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber


Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.

Watling, Dick & Yaya Mulyana, 1981, Lore Lindu National


Park, Management Plan, 1981-1986, WWF, Bogor.

Anda mungkin juga menyukai