Anda di halaman 1dari 16

STUDI KASUS PUTUSAN MAHKAMAH : ANALISIS YURIDIS

PUTUSAN NOMOR 44/Pdt.G/LH/2018/PN.Bgl.


Clarissa Sitanggang
210200660
Fakultas Hukum, Universitas Sumatera Utara
Jl. Dr. T. Mansur No. 9, Padang Bulan, Medan, Sumatera Utara, Indonesia, 20155
bleszynskisania@gmail.com

Abstract, Legal protection for the environment is regulated in Act Number 32 of 2009
concerning Environmental Protection and Management (UUPPLH). The Environment is the
unity of space with all objects, forces, conditions, and living things, including humans and
their behavior, which affect nature itself, the continuity of life, and the welfare of humans and
other living things. The problem raised in this research is related to coal mining permits by 9
companies which cause environmental damage and pollution in Bengkulu. Therefore, the
problem formulation is, first, analysis of legal protection at Buru Semidang Bukit Kabu Park,
second, analysis of decision Number 44/Pdt.G/LH/2018/PN.Bgl, third, judgement analysis.
The approach methods used in this research are statute approach and case approach.

Keywords: UUPPLH, Bengkulu, Coal Mining

Abstrak, Perlindungan Hukum terhadap lingkungan hidup diatur dalam Undang-Undang


Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Lingkungan Hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk
hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri,
kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain.
Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini terkait izin pertambangan batubara oleh 9
perusahaan yang menyebabkan kerusakan dan pencemaran lingkungan di Bengkulu. Oleh
karena itu, adapun rumusan masalah yakni, pertama, analisis perlindungan hukum pada
Taman Buru Semidang Bukit Kabu, kedua, analisis putusan Nomor
44/Pdt.G/LH/2018/PN.Bgl., dan ketiga analisis putusan hakim. Metode pendekatan yang
digunakan dalam penelitian ini yaitu pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan
pendekatan kasus (case approach).

1
Pendahuluan
Seiring perkembangan zaman, intervensi manusia terhadap lingkungan terus
meningkat dikarenakan kebutuhan manusia yang selalu meningkat sehingga harus
mengeksploitasi sumber daya alam secara terus-menerus dan timbullah permasalahan
lingkungan. Di Indonesia, permasalahan lingkungan telah mencapai tingkat yang sangat
mengkhawatirkan, bahkan memiliki potensi untuk mengakibatkan dampak yang serius bagi
generasi mendatang.
Dalam konteks masalah lingkungan yang sering terjadi di Indonesia, kerusakan Hutan
adalah sebuah perhatian utama. Hutan Indonesia memiliki signifikansi penting sebagai salah
satu komponen paru-paru dunia. Menurut data yang dikeluarkan oleh Departemen
Kehutanan, luas hutan di Indonesia mencapai 130 juta hektar, yang setara dengan sekitar 70%
dari total luas negara ini. Namun, saat ini, terdapat permasalahan serius di mana sekitar 42
juta hektar hutan di Indonesia telah mengalami kerusakan hingga titik di mana hutan tersebut
menjadi gundul, kehilangan vegetasi yang seharusnya ada. Kondisi ini membawa hutan-hutan
di Indonesia ke dalam tahap rawan, dengan tingkat kerusakan mencapai titik kritis.1
Pada awal periode 1980-an sampai akhir 1990-an, eksploitasi hutan yang tidak
terkendali dan dilakukan secara terus-menerus tanpa memperhatikan aspek kelestariannya
telah mengurangi hutan. Hal ini karena terjadinya perubahan fungsi lahan hutan, kebakaran
hutan, serta penebangan yang bersifat eksploitatif dan tidak terkontrol. Eksploitasi hutan
tersebut tidak dapat dilepaskan dari upaya untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi di
suatu daerah.
Dalam upayanya untuk menghindari kerusakan lingkungan alam terus menerus,
Indonesia telah menghasilkan sejumlah regulasi yang bertujuan untuk mengatasi
permasalahan lingkungan hidup, salah satunya yaitu Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Namun,
masih sering terjadi pelanggaran yang mengakibatkan kerusakan lingkungan. Hal ini
disebabkan oleh adanya ketidakpedulian terhadap prinsip bahwa lingkungan hidup
seharusnya dipandang sebagai warisan yang harus dikelola demi menjaga keberlanjutan
kehidupan manusia, bukan semata-mata untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan
pembangunan yang merata.2 Salah satu contoh konkret dari pelanggaran semacam ini dapat

1
Putra, D. (2023). Pengetahuan Masyarakat Terhadap Hutan (Studi Antropologi Kognitif:Pada Pelaku
Illegal Logging di Nagari Unggan Kecamatan Sumpur Kudus Kabupaten Sijunjung). Jurnal Greenation
Pertanian dan Perkebunan, 1 (1), 23-39.
2
Hakim, E. R. (2020). Penegakan Hukum Lingkungan Dalam Aspek Kepidanaan. Media Keadilan:
Jurnal Ilmu Hukum, 11(1), 45-54.

2
diidentifikasi dalam kasus yang diajukan ke PN Bengkulu dengan nomor putusan
44/Pdt.G/LH/2018/PN.Bgl. Dalam gugatan yang diajukan oleh PENGGUGAT yakni Ketua
Yayasan WALHI kepada TERGUGAT I yakni PT. Kusuma Raya Utama, PT. Bara Mega
Quantum, PT. Inti Bara Perdana, PT. Ratu Samban Mining, PT. Griya Pat Petulai, PT. Danau
Mas Hitam, PT. Cipta Buana Seraya, PT. Bukit Sunur, dan PT. Bengkulu Bio Energy yang
melalukan perbuatan melawan hukum sehingga mengakibatkan kerusakan dan pencemaran
lingkungan. Terjadinya Pencemaran dan Pengrusakan lingkungan hidup akibat kegiatan
pertambangan batu bara yang dilakukan merupakan kewenangan Balai Konservasi Sumber
Daya Alam dan Ekosistem Bengkulu Lampung, selanjutnya terhadap penerbitan Izin Usaha
Pertambangan, Pengawasan serta evaluasi kegiatan pertambangan batu bara yang
mengakibatkan Pencemaran dan Pengrusakan lingkungan hidup merupakan Kewenangan
Pemerintah Daerah yaitu Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Provinsi Bengkulu,
terhadap pengawasan aktivitas pada kawasan hutan, pengendalian pencemaran, pengrusakan
kawasan hutan dan DAS air Bengkulu merupakan kewenangan Dinas Lingkungan Hidup dan
Kehutanan Provinsi Bengkulu, wilayah kegiatan Operasi Produksi Pertambangan batu bara
TERGUGAT merupakan Wilayah Administrasi Desa Kota Niur, Kecamatan Taba Penanjung,
Kabupaten Bengkulu Tengah yang merupakan kewenangan Bupati Bengkulu Tengah.
Terjadinya Pencemaran dan Pengrusakan lingkungan hidup akibat kegiatan
pertambangan batu bara yang dilakukan merupakan kewenangan Balai Konservasi Sumber
Daya Alam dan Ekosistem Bengkulu Lampung, selanjutnya terhadap penerbitan Izin Usaha
Pertambangan, Pengawasan serta evaluasi kegiatan pertambangan batu bara yang
mengakibatkan Pencemaran dan Pengrusakan lingkungan hidup merupakan Kewenangan
Pemerintah Daerah yaitu Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Provinsi Bengkulu,
terhadap pengawasan aktivitas pada kawasan hutan, pengendalian pencemaran, pengrusakan
kawasan hutan dan DAS air Bengkulu merupakan kewenangan Dinas Lingkungan Hidup dan
Kehutanan Provinsi Bengkulu, wilayah kegiatan Operasi Produksi Pertambangan batu bara
TERGUGAT merupakan Wilayah Administrasi Desa Kota Niur, Kecamatan Taba Penanjung,
Kabupaten Bengkulu Tengah yang merupakan kewenangan Bupati Bengkulu Tengah.
Dari Penjelasan diatas, terdapat kejahatan lingkungan yang luar biasa yang
berdampak pada hancurnya ekologis dan sumber daya alam karena kebijakan perizinan dari
Pemerintah Provinsi Bengkulu yang tidak memperhatikan dan menerapkan prinsip
lingkungan hidup. Oleh karena itu, penulis tertarik dalam permasalahan ini sehingga penulis
mengangkat judul “STUDI KASUS PUTUSAN MAHKAMAH : ANALISIS YURIDIS
PUTUSAN NOMOR 44/Pdt.G/LH/2018/PN.Bgl.”

3
Metode Penelitian
Metode penelitian ini menggunakan metode pendekatan, yaitu pendekatan
perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan kasus (case approach). Pendekatan
perundang-undangan dilakukan dengan menelaah aturan hukum yang berkaitan dengan isu
hukum dari kasus yang akan diteliti. Pendekatan kasus dilakukan dengan menelaah kasus
yang berkaitan dengan isu yang akan diteliti.

Pembahasan
A. Analisis Perlindungan Hukum Pada Taman Buru Semidang Bukit Kabu
Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Kehutanan Nomor 41 Tahun 1999
menjelaskan terkait pengelompokan berbagai jenis hutan berdasarkan peranannya
masing-masing, yakni fungsi konservasi, fungsi lindung, dan fungsi produksi.
Sedangkan di ayat 2, fungsi pokoknya yaitu hutan konservasi, hutan lindung, dan
hutan produksi.
Selanjutnya, hutan konservasi terbagi menjadi 3 jenis yang mana termasuk
taman buru. Hal ini tertera pada pasal 7 Undang-Undang Kehutanan Nomor 41 Tahun
1999, yaitu termasuk taman buru.
Taman Buru dikategorikan sebagai kawasan hutan konservasi dan harus
mengemban misi konservasi sebagaimana pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan
Kawasan Pelestarian Alam.3 Taman buru merupakan bagian dari hutan konservasi
yang memfasilitasi kegiatan berburu. Kegiatan berburu yang dimaksud adalah salah
satu bentuk tujuan wisata yang diperuntukkan bagi para wisatawan. Tujuan lain dari
berburu di dalam taman buru adalah untuk mengatur populasi hewan dan spesies
langka serta mengendalikan populasi hama. Regulasi terkait taman buru juga diatur
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 1993 tentang Perburuan Satwa Buru.4
Pengertian Taman Buru berdasarkan Pasal 1 angka 12 Undang-Undang Nomor
41 Tahun 1999 tentang Kehutanan bahwasannya taman buru merupakan kawasan
hutan yang ditetapkan sebagai tempat wisata berburu.
Salah satu hutan buru di Indonesia adalah Taman Buru Semidang Bukit Kabu
(SBK) di Bengkulu tepatnya membentang di dua kabupaten, yakni, Seluma dan

3
https://ksdae.menlhk.go.id/info/5201/taman-buru-menuju-penataan-kawasan-konservasi.html,
diakses pada tanggal 12 Desember 2023
4
Ibid.

4
Bengkulu Tengah. Hutan SBK terletak di 0-8 meter di atas permukaan laut dan secara
geografis terletak pada 3.778242- 3.982736 S dan 102°47'41"-102°60'10" E.5
Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
Provinsi Bengkulu pada pasal 35 ayat (7) menyebutkan bahwa Taman Buru Semidang
Bukit Kabu merupakan Taman Buru.
Dahulu, Taman Buru Semidang Bukit Kabu merupakan hutan yang hampir
tidak tersentuh dan merupakan tempat tinggal harimau sumatera. Namun, seiring
berkembangnya zaman, hutan Taman Buru Semidang Bukit Kabu selalu mengalami
deforestasi yaitu dengan terjadinya perubahan lahan yang dilakukan manusia
sebagai aktivitas pertambangan di tengah hutan.
Dalam Wilayah Izin Usaha Pertambangan Batubara yang merupakan
TERGUGAT adalah Kawasan Konservasi Taman Buru Semidang Bukit Kabu
Berdasarkan Putusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor:
749/Kpts-II/1999 Tanggal 22 September 1999 tentang Perubahan Fungsi Sebagai
Kawasan Taman Buru Semidang Bukit Kabu seluas 9.036 Ha.
Selanjutnya, adapun fungsi pokok Taman Buru pada pasal 7 Undang-Undang
Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Taman Buru, yaitu:
“Kawasan hutan yang berfungsi mengawetkan keanekaragaman tumbuhan
dan satwa serta ekosistemnya, segala aktivitas yang dilakukan di dalamnya
harus mengikuti ketentuan konservasi”

Pada tahun 2009 telah terjadi perjanjian kerja sama antara TERGUGAT dengan
TURUT TERGUGAT II dengan nomor Surat Perjanjian Kerjasama Nomor : PKS.
782/IVK./PEH/2009 dan telah diamandemen pada tahun 2016 dengan Nomor
PKS.2065/K.10/TU/KSK/10/2016 tentang Penguatan Fungsi Serta
Keanekaragaman Hayati Taman Buru Semidang Bukit Kabu di Kabupaten
Bengkulu Tengah, Perjanjian Kerjasama tersebut menjadi dasar TERGUGAT untuk
melakukan Kegiatan Pertambangan di kawasan Konservasi Taman Buru Semidang
Bukit Kabu dengan tidak memperhatikan fungsi Konservasi dari Taman Buru
Semidang Bukit Kabu.

5
Barchia, M. F. Options for Land Conservation Practices Based on Land Uses in Kungkai Watershed,
Bengkulu, Sumatera, Indonesia. International Journal of Environmental Science and Development.
hal. 221.

5
Berdasarkan hasil riset yang dilakukan oleh Yayasan Genesis Bengkulu tahun
2017 aktivitas Operasi Produksi Pertambangan Batubara TERGUGAT
mengakibatkan pencemaran dan pengrusakan di anak sungai Daerah Aliran Sungai
Air Bengkulu yaitu sungai Kemumu akibat dari aktivitas Operasi Produksi
Pertambangan Batubara TERGUGAT. Lokasi sungai ini dalam Wilayah Izin Usaha
Pertambangan dan lokasi penunjang sarana prasarana TERGUGAT berdasarkan
hasil riset yang dilakukan oleh Yayasan Genesis Bengkulu kondisi air sungai
berwarna coklat kehitaman berbau tidak sedap serta berminyak, sehingga hewan
endemik sungai sudah tidak ditemui lagi.
Kawasan hutan Taman Buru Semidang Bukit Kabu di Bengkulu yang dijadikan
sebagai aktivitas pertambangan sangat bertentangan dengan pemanfaatan ruang
serta daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup, sehingga dapat merusak
fungsi dari lingkungan Hidup. Padahal, berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 2
Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bengkulu,
bahwasannya:
“Kawasan Lindung yang dilarang adanya kegiatan budidaya dan/atau
pertambangan batubara, baik dengan pola pertambangan terbuka dan/atau
bawah tanah.”
Sungai Kemumu yang tercemar akibat aktivitas produksi pertambangan
batubara, sebenarnya memiliki manfaat dalam hal penyelenggaraan kehutanan
(dijelaskan dalam pasal 2 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999):
a. menjamin keberadaan hutan dengan luasan yang cukup dan sebaran yang
proporsional;
b. mengoptimalkan aneka fungsi hutan yang meliputi fungsi konservasi, fungsi
lindung, dan fungsi produksi untuk mencapai manfaat lingkungan, sosial,
budaya, dan ekonomi, yang seimbang dan lestari;
c. meningkatkan daya dukung daerah aliran sungai;
d. meningkatkan kemampuan untuk mengembangkan kapasitas dan
keberdayaan masyarakat secara partisipatif, berkeadilan, dan berwawasan
lingkungan sehingga mampu menciptakan ketahanan sosial dan ekonomi
serta ketahanan terhadap akibat perubahan eksternal; dan
e. menjamin distribusi manfaat yang berkeadilan dan berkelanjutan;
Daerah Aliran Sungai di Bengkulu, salah satunya yaitu sungai Kemumu
merupakan inventarisasi hutan, sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 ayat (3)

6
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999, yaitu inventarisasi hutan tingkat nasional,
inventarisasi hutan tingkat wilayah, inventarisasi hutan tingkat daerah aliran sungai,
dan inventarisasi hutan tingkat unit pengelolaan yang nantinya dapat dipergunakan
sebagai dasar pengukuhan kawasan hutan, penyusunan rencana kehutanan, dan
sistem informasi kehutanan sesuai yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan.

B. Analisis Pelanggaran dan Sanksi Yang Diduga Dilakukan Tergugat


Berdasarkan aktivitas pertambangan batubara TERGUGAT menyebabkan
pencemaran dan pengrusakan di Daerah Aliran Sungai air Bengkulu. Terdapat
pengaturan mengenai dumping limbah di pasal 60 dan sanksinya dapat dipidana
dengan pidana penjara paling lama 3 tahun dan denda paling banyak Rp.
3.000.000.000, 00 (tiga miliar rupiah).
Kemudian, Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) yang dipegang oleh
TERGUGAT merupakan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) milik PT Bukit
Sunurya itu untuk melakukan Reklamasi dan Pasca tambang, bukan sebagai Izin
Pinjam Pakai Kawasan Hutan untuk Sarana Penunjang TERGUGAT. Berdasarkan
Peraturan Menteri Nomor 50 Tahun 2016 Tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan
Hutan, Pasal 26 yang berbunyi:
“Pemegang izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan Dilarang” memindahtangankan izin
pinjam pakai kawasan hutan kepada pihak lain atau perubahan nama pemegang izin
pinjam pakai tanpa persetujuan Menteri”
TERGUGAT juga diduga tidak mengikuti arahan Peraturan Menteri Nomor 50
Tahun 2016 Tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan terkait
Pemindahtanganan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan dan tidak memiliki Izin Pinjam
Pakai Kawasan Hutan. Oleh karena itu, terbukti melanggar hukum sebagaimana
ketentuan pada Pasal 78 ayat (2) ayat (6), dan Pasal 80 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, sebagai berikut:
“mengerjakan dan atau menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan secara
tidak sah diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda
paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah) dan dengan sengaja
melakukan penambangan pada hutan lindung dengan pola penambangan terbuka,
diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling
banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).”

7
Kemudian, TERGUGAT di Sarana Penunjang yaitu pada Pembangkit Listrik
Tenaga Uap (PLTU), Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) milik TERGUGAT
tidak melakukan kewajiban pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3),
dalam hal ini adalah kerak atau arang sisa pembakaran yang ada di boiler dan abu dari
pembakaran batu bara yang merupakan tangkapan dust collector/filter yang ada di
cerobong asap boiler. Limbah B3 tersebut dibuang ke media lingkungan hidup tanah
Hutan Produksi Semidang Bukit Kabu yang merupakan wilayah sarana penunjang di
luar WIUP TERGUGAT dan akibat pembuangan limbah B3 ke media lingkungan
akan mengalami proses pemadatan yang menyebabkan terjadinya kerusakan
lingkungan hidup media tanah, menghilangkan kesuburan tanah, dan mencemari
lingkungan hidup yang dimanfaatkan untuk kehidupan sehari-hari oleh manusia,
tanaman dan makhluk hidup lainnya. Sehingga, TERGUGAT melanggar ketentuan
Pasal 59 ayat 1,2,3 dan 4, Pasal 102 dan Pasal 103 Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang berbunyi :
1.) Pasal 59 ayat 1,2,3 dan 4 : Setiap orang yang menghasilkan limbah B3 wajib
melakukan pengelolaan limbah B3 yang dihasilkannya.
2.) Dalam hal B3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1) telah
kedaluwarsa, pengelolaannya mengikuti ketentuan pengelolaan limbah B3.
3.) Dalam hal setiap orang tidak mampu melakukan sendiri pengelolaan limbah
B3, pengelolaannya diserahkan kepada pihak lain.
4.) Pengelolaan limbah B3 wajib mendapat izin dari Menteri, gubernur, atau
bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.
Namun, Undang-undang (UU) Nomor 6 Tahun 2023 Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta
Kerja menjadi Undang-Undang, ketentuan dalam Pasal 59 Undang-undang
PPLH tersebut ditambahkan 3 ayat yakni ayat 5, 6, dan 7 berdasarkan pasal 22
angka 20 yang secara berturut-turut berbunyi:
1.) Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah wajib mencantumkan
persyaratan Lingkungan Hidup yang harus dipenuhi dan kewajiban
yang harus dipatuhi pengelola Limbah 83 dalam Perizinan Berusaha,
atau persetujuan Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah.
2.) Keputusan pemberian Perizinan Berusaha wajib diumumkan.
3.) Ketentuan lebih lanjut mengenai Pengelolaan Limbah 83 diatur dalam
Peraturan Pemerintah.

8
Pasal 102: “Setiap orang yang melakukan pengelolaan limbah B3 tanpa izin
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (4), dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga
miliar rupiah).” Namun, Undang-undang (UU) Nomor 6 Tahun 2023 Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang
Cipta Kerja menjadi Undang-Undang, ketentuan dalam pasal 102 Undang-undang
PPLH tersebut dicabut berdasarkan Pasal 22 angka 35.
Pasal 103 : “Setiap orang yang menghasilkan limbah B3 dan tidak melakukan
pengelolaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59, dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda
paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak
Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).

C. Analisis Putusan Hakim


Berdasarkan pasal 87 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32
Tahun 2009, maka gugatan tersebut menyangkut tentang unsur perbuatan melawan
hukum, kerugian, dan hubungan kausalitas. Atas hal ini, pertanggungjawaban perdata
dalam gugatan perbuatan melawan hukum (PMH) didasarkan pada prinsip fault based
liability.
Karena kegiatan usaha yang dilakukan oleh TERGUGAT I tergolong sebagai
kegiatan usaha pertambangan yang berpotensi untuk menghasilkan limbah B3 juga
sebagai jenis industri pembangkit listrik tenaga udara (PLTU) yang menggunakan
bahan bakar batubara, maka Majelis Hakim berpendapat bahwa gugatan ini tidak
perlu dibuktikan unsur perbuatan melawan hukum yang konvensional yang
pertanggungjawabannya didasarkan pada prinsip fault based liability, melainkan akan
menerapkan prinsip strict liability (pertanggungjawaban mutlak). Dasar untuk
mengenakan prinsip strict liability ini ialah berdasarkan Pasal 88 Undang-Undang
Republik Indonesia No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup. Ketentuan ini merupakan lex specialis dalam gugatan tentang
perbuatan melanggar hukum pada umumnya.
Berdasarkan pertimbangan Majelis Hakim, karena untuk pembuktian
perbuatan melawan hukum (PMH) yang dilakukan TERGUGAT I menggunakan

9
prinsip strict liability, maka yang perlu dibuktikan adalah tentang ada atau tidaknya
kerusakan dan pencemaran lingkungan.
Meskipun penggugat dibebaskan dari kewajiban pembuktian tentang
kesalahan TERGUGAT I, namun penggugat tetap harus membuktikan adanya
kerusakan dan pencemaran lingkungan serta hubungan kausalitas yang menyebabkan
terjadinya kerusakan dan pencemaran lingkungan.
Atas kewajiban pembuktian sebagaimana pada poin sebelumnya,
PENGGUGAT telah mengajukan bukti-bukti surat yang masing-masing diberi tanda
P.1 s/d P.29, dan 5 orang saksi yakni Saksi 1. YEDI SUPRIYADI, 2. HADI IRAWAN,
3. SUTARNO, 4. SUMANTA AKINO, 5. JULITO serta 2 (dua) orang ahli, yakni Dr.
AHMAD, SH., MH dan M. RIDHO SALEH, S.Sos.
Pertimbangan hakim ini berfokus pada penilaian terhadap dalil-dalil gugatan
penggugat, sangkalan tergugat, serta sangkalan para turut tergugat. Hakim
menyatakan bahwa dalam hal ini, yang perlu dibuktikan terlebih dahulu adalah
kerusakan dan pencemaran lingkungan di kawasan terjadinya pencemaran dan
kerusakan tersebut. Hakim mempertimbangkan bukti-bukti yang diajukan oleh
masing-masing pihak untuk menentukan apakah kerusakan dan pencemaran
lingkungan tersebut benar-benar terjadi. Dengan demikian, keputusan hakim akan
bergantung pada hasil pembuktian yang disampaikan oleh pihak-pihak yang terlibat
dalam persidangan.
Pertimbangan hakim tersebut didasarkan pada interpretasi Pasal 1 angka 17
dan Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Republik Indonesia No. 32 tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Menurut interpretasi tersebut,
kerusakan lingkungan hidup merujuk pada perubahan langsung maupun tidak
langsung terhadap sifat fisik, kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup yang
melampaui kriteria baku kerusakan lingkungan hidup. Sementara itu, kriteria baku
kerusakan lingkungan hidup merujuk pada ukuran batas perubahan sifat fisik, kimia,
dan/atau hayati lingkungan hidup yang dapat ditoleransi oleh lingkungan hidup guna
menjaga keberlanjutan fungsinya. Dalam konteks ini, hakim mendasarkan
keputusannya pada definisi dan batasan yang dijelaskan dalam undang-undang
tersebut.
Pertimbangan hakim ini mengacu pada definisi yang tercantum dalam Pasal 1
angka 14 dan angka 13 Undang-Undang Republik Indonesia No. 32 tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pencemaran lingkungan

10
hidup didefinisikan sebagai masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi,
dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga
melampaui baku mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan. Sementara itu, baku
mutu lingkungan hidup diartikan sebagai ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat,
energi, atau komponen yang ada atau harus ada dan/atau unsur pencemar yang
ditentukan keberadaannya dalam suatu sumber daya tertentu sebagai unsur
lingkungan hidup. Dalam konteks ini, pertimbangan hukum tersebut memberikan
dasar untuk menentukan apakah suatu tindakan atau kegiatan manusia dapat
dikategorikan sebagai pencemaran lingkungan hidup berdasarkan pengukuran
terhadap baku mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan.
Pertimbangan hakim ini mengacu pada Surat Keputusan Ketua Mahkamah
Agung Republik Indonesia No. 36/SK/KMA/II/2013 tentang Pemberlakuan Pedoman
Penanganan Perkara Lingkungan Hidup. Menurut pedoman tersebut, untuk
membuktikan adanya kerusakan dan/atau pencemaran lingkungan dalam perkara
lingkungan hidup, selain alat bukti berdasarkan Pasal 164 HIR dan Undang-Undang
Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, diperlukan pula bukti ilmiah seperti hasil
analisis laboratorium dan perhitungan ganti rugi akibat pencemaran dan/atau
kerusakan dari ahli. Hal ini menunjukkan bahwa dalam kasus-kasus lingkungan
hidup, bukti ilmiah seperti analisis laboratorium dan pendapat ahli merupakan faktor
penting dalam membuktikan adanya kerusakan atau pencemaran lingkungan. Dengan
demikian, pedoman tersebut memberikan arahan bagi pengadilan dalam menangani
perkara lingkungan hidup untuk mempertimbangkan bukti ilmiah sebagai salah satu
elemen penting dalam proses peradilan.
Berdasarkan analisis pertimbangan hakim ini, keterangan ahli Dr. AHMAD,
SH,.MH yang merupakan ahli hukum administrasi negara, dan ahli M.RIDHO
SALEH, S.Sos yang merupakan ahli dalam bidang Hak Asasi Manusia, dianggap
tidak relevan untuk pembuktian tentang kerusakan maupun pencemaran lingkungan.
Keterangan ahli Dr. AHMAD, SH,.MH lebih berkaitan dengan aspek hukum
perizinan dan pertambangan, sedangkan keterangan ahli M.RIDHO SALEH, S.Sos
lebih berkaitan dengan aspek hak asasi manusia dalam kaitannya dengan lingkungan
hidup. Dalam konteks kasus ini, keterangan kedua ahli tersebut tidak memberikan
informasi yang memadai untuk membuktikan adanya kerusakan atau pencemaran
lingkungan. Oleh karena itu, hakim memutuskan bahwa keterangan ahli tersebut tidak
memiliki kaitan yang relevan dengan pembuktian dalam kasus ini.

11
Berdasarkan analisis pertimbangan hakim ini, fakta adanya pembuangan air
limbah dari pencucian batubara di lokasi tambang PT. Kusuma Raya Utama terungkap
dari keterangan saksi-saksi penggugat. Namun, dalam kasus ini, fakta tersebut
dianggap tidak cukup untuk membuktikan adanya pencemaran lingkungan sesuai
dengan definisi yang tercantum dalam Pasal 1 angka 14 Undang-Undang Republik
Indonesia No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup. Keterangan saksi-saksi dan ahli yang diajukan oleh penggugat tidak
memberikan informasi yang memadai untuk membuktikan pelanggaran baku mutu
lingkungan hidup yang ditetapkan, seperti masuknya makhluk hidup, zat, energi, atau
komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia. Maka, fakta
tentang pembuangan air limbah dari pencucian batu bara tersebut tidak dianggap
cukup sebagai bukti untuk membuktikan adanya pencemaran lingkungan dalam kasus
ini.
Berdasarkan analisis pertimbangan hakim ini, disebutkan bahwa untuk
membuktikan adanya kerusakan dan/atau pencemaran lingkungan dalam perkara
lingkungan hidup, diperlukan bukti ilmiah seperti hasil analisa laboratorium. Namun,
penggugat dalam kasus ini sama sekali tidak mengajukan bukti ilmiah (scientific
evidence). Selain itu, terkait dengan bukti surat produk P.16 yang merupakan hasil
riset dari Yayasan Genesis, majelis hakim menilai bahwa bukti tersebut tidak
memenuhi syarat sebagai bukti ilmiah (scientific evidence). Hal ini didasarkan pada
alasan dan pertimbangan yang tidak dijelaskan dalam analisis tersebut. Oleh karena
itu, hakim memutuskan bahwa bukti surat produk P.16 tidak dapat dianggap sebagai
bukti ilmiah yang memadai untuk membuktikan kerusakan atau pencemaran
lingkungan dalam kasus ini.
Berdasarkan analisis keputusan hakim ini, hakim mempertimbangkan bahwa
untuk memastikan derajat kerusakan lingkungan, diperlukan analisa laboratorium
terhadap sampel dari lapangan seperti tanah, vegetasi, dan batu. Analisa laboratorium
dianggap sebagai alat bukti yang paling baik karena memberikan data yang akurat dan
objektif. Analisa sampel tersebut juga harus dilakukan dengan cara dan metodologi
yang baku dan akurat. Dalam hal ini, hasil riset Yayasan Genesis hanya berupa
deskripsi tentang kondisi sosial ekonomi masyarakat di sekitar area tambang batubara
PT. Kusuma Raya Utama, serta dampak sosial dari kegiatan tambang batubara
tersebut. Namun, riset tersebut tidak mengandung analisa yang menunjukkan derajat
kerusakan lingkungan atau pencemaran lingkungan yang melebihi kriteria baku

12
kerusakan atau keadaan yang telah ditetapkan. Oleh karena itu, hakim memutuskan
bahwa bukti surat produk tidak cukup untuk membuktikan dalil utama gugatan
penggugat mengenai kerusakan dan pencemaran lingkungan.
Hakim seharusnya memperhatikan bahwa wilayah izin usaha pertambangan
tergugat merupakan kawasan hutan lindung yang melanggar fungsi konservasi
sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang
Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem, serta Undang-Undang Nomor 41
Tahun 1990 tentang Kehutanan. Sebagaimana tercantum pada Pasal 50 ayat (3)
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang kehutanan menyebutkan bahwa
setiap orang dilarang:
a. mengerjakan dan/atau menggunakan dan/atau menduduki kawasan hutan
secara tidak sah;
b. Merambah kawasan hutan
Bahwa izin pinjam pakai kawasan hutan milik PT Bukit Sunur yaitu untuk
melakukan Reklamasi dan Pasca tambang, bukan sebagai Izin Pinjam Pakai Kawasan
Hutan untuk Sarana Penunjang TERGUGAT, sehingga melanggar pasal pasal 60 jo.
Pasal 104 Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
TERGUGAT juga melanggar ketentuan Pasal 5 kawasan 1, 2, 3, dan 4, Pasal
102 dan Pasal 103 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup, karena pembuangan limbah B3 ke media lingkungan
akan mengalami proses pemadatan yang menyebabkan terjadinya kerusakan
lingkungan hidup bagi media tanah, seperti menghilangkan kesuburan tanah dan
mencemari lingkungan hidup yang dimanfaatkan untuk kehidupan sehari-hari oleh
manusia, tanaman dan makhluk hidup lainnya.
Bahwa tergugat melanggar ketentuan yang ada dalam pasal 59 yaitu setiap
orang yang menghasilkan limbah B3 wajib melakukan pengelolaan limbah B3 yang
dihasilkannya serta pada pasal 60 yaitu setiap orang dilarang melakukan dumping
limbah dan atau bahan ke media lingkungan hidup tanpa izin.
Bahwa dengan diterapkannya prinsip strict liability yang tercantum dalam
pasal 88 undang-undang nomor 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup sebagaimana telah diubah dengan pasal 88 undang-undang cipta
kerja mengenai kesalahan tergugat harusnya pembuktian mengenai ada tidaknya
kesalahan tergugat, menurut hukum tidak perlu dipertimbangkan dan tidak perlu untuk

13
dibuktikan lagi sehingga seharusnya dapat langsung digugat secara perdata dengan
hanya menentukan besaran ganti rugi.

Penutup
A. Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang dapat ditarik dari pembahasan di atas, yaitu:
1. Taman buru yang merupakan bagian dari hutan konservasi yang memfasilitasi
pelaksanaan kegiatan berburu. Keberadaan kegiatan berburu ini dimaksudkan
sebagai salah satu bentuk tujuan wisata yang diperuntukkan bagi sekelompok
wisatawan tertentu. Tujuan lain dari berburu di dalam taman buru adalah
untuk mengatur populasi hewan dan mengendalikan populasi hama. Sesuai
pasal 35 ayat (7) Peraturan Daerah Nomor 02 Tahun 2012 tentang Rencana
Tata Ruang Wilayah Provinsi Bengkulu maka dapat ditarik kesimpulan bahwa
Taman Semidang Bukti Kasa adalah Taman Buru.
2. Tergugat telah melanggar beberapa hal yakni diantaranya; berdasarkan
Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
Provinsi Bengkulu Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) batubara
TERGUGAT merupakan Kawasan Lindung yang dilarang adanya kegiatan
Budidaya dan/atau Pertambangan batubara, baik dengan pola pertambangan
terbuka dan/atau bawah tanah, kemudian berdasarkan hasil riset yang
dilakukan oleh Yayasan Genesis Bengkulu tahun 2017 aktivitas Operasi
Produksi Pertambangan Batubara TERGUGAT mengakibatkan pencemaran
dan pengrusakan di anak sungai Daerah Aliran Sungai Air Bengkulu.
Pencemaran dan pengrusakan ini di akibat aktivitas Operasi Produksi
Pertambangan Batubara TERGUGAT, dan TERGUGAT di Sarana Penunjang
yaitu pada Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU), Pembangkit Listrik
Tenaga Uap (PLTU) milik TERGUGAT tidak melakukan kewajiban
pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3), dalam hal ini adalah
kerak atau arang sisa pembakaran yang ada di boiler dan abu dari pembakaran
batu bara.
3. Bahwa tergugat melanggar ketentuan yang ada dalam pasal 59 yaitu setiap
orang yang menghasilkan limbah B3 wajib melakukan pengelolaan limbah B3
yang dihasilkannya serta pada pasal 60 yaitu setiap orang dilarang melakukan

14
dumping limbah dan atau bahan ke media lingkungan hidup tanpa izin dan
Bahwa dengan diterapkannya prinsip 16 strict liability yang tercantum dalam
pasal 88 undang-undang nomor 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup sebagaimana telah diubah dengan pasal 88
undang-undang cipta kerja mengenai kesalahan tergugat harusnya pembuktian
mengenai ada tidaknya kesalahan tergugat, menurut hukum tidak perlu
dipertimbangkan dan tidak perlu untuk dibuktikan lagi sehingga seharusnya
dapat langsung digugat secara perdata dengan hanya menentukan besaran
ganti rugi.

B. Saran
Adapun saran terkait permasalahan ini:
1. Mengembalikan Taman Buru Semidang Bukit Kabu sebagaimana yang
telah ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan sebagai hutan
konservasi dan mencabut izin usaha pertambangan tergugat agar Daerah
Aliran Sungai Air Bengkulu kembali terawat karena sungai merupakan
inventarisasi hutan.
2. Menegaskan kembali pada setiap pabrik yang menghasilkan limbah B3
bahwasannya harus melakukan kewajiban pengelolaan Limbah Bahan
Berbahaya dan Beracun (B3) dan mencari cara bagaimana memproses
limbah kerak atau arang sisa pembakaran yang ada di boiler.
3. Menegaskan kembali bahwasannya jika sudah diterapkan prinsip strict
liability yang tercantum dalam pasal 88 Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup sebagaimana
telah diubah dengan pasal 88 Undang-Undang Cipta Kerja mengenai
kesalahan tergugat harusnya pembuktian mengenai ada tidaknya kesalahan
tergugat, menurut hukum tidak perlu dipertimbangkan dan tidak perlu untuk
dibuktikan lagi sehingga seharusnya dapat langsung digugat secara perdata
dengan hanya menentukan besaran ganti rugi.

15
Daftar Pustaka
D. Putra. Pengetahuan Masyarakat Terhadap Hutan (Studi Antropologi Kognitif:Pada Pelaku
Illegal Logging di Nagari Unggan Kecamatan Sumpur Kudus Kabupaten Sijunjung).
Jurnal Greenation Pertanian dan Perkebunan. 2023.
E. R. Hakim. Penegakan Hukum Lingkungan Dalam Aspek Kepidanaan. Media Keadilan:
Jurnal Ilmu Hukum. 2020.
M. F. Barchia. Options for Land Conservation Practices Based on Land Uses in Kungkai
Watershed, Bengkulu, Sumatera Utara, Indonesia. International Journal of
Environmental Science and Development. 2016.
https://ksdae.menlhk.go.id/info/5201/taman-buru-menuju-penataan-kawasan-konservasi.html,

16

Anda mungkin juga menyukai