Dari banyak sumber daya yang saat ini telah mengalami penurunan populasi atau
terancam punah, diantaranya adalah sumber daya siput lola merah (Trochus niloticus) dari suku
Trochidae. Siput lola hidup di antara bebatuan, rataan kerak batu, patahan karang, karang mati
yang memiliki celah-celah dan rongga, dan celah-celah karang, mulai dari perairan daerah
intertidal sampai subtidal dari kedalaman 1-10 meter (Dwiono et al, 1997). Lola dikenal sebagai
biota yang aktif pada malam hari untuk mencari makanan ataupun mencari habitat yang disukai
(nokturnal).
Sebagai biota yang memiliki pergerakan yang lambat dan menetap di suatu lokasi, siput
lola dengan mudah diambil dengan cara menyelam. Pengambilan yang tidak terkendali dan
berlebih terhadap lola, menyebabkan populasi lola terus menurun. Di daerah Maluku, meskipun
telah diterapkan kearifan lokal yang disebut "sasi, yaitu menerapkan larangan pengambilan/
pemanenan terhadap suatu sumber daya alam termasuk lola dalam waktu tertentu di perairan
sekitar desa yang telah ditentukan, namun larangan ini belum memberikan hasil yang optimal
terhadap pelestarian populasi lola. Sehingga penurunan populasi lola tidak bisa dihindari
(Dwiono et al, 1997; Uneputty et al, 2007).
a. Bioekologi
Siput lola merupakan salah satu spesies komersial yang diperdagangkan di Maluku
sejak tahun 50 an. Nilai jual dan permintaan pasar terhadap cangkang siput lola yang tinggi
memotivasi masyarakat pesisir untuk berupaya semaksimal mungkin untuk bisa mendapatkan
siput lola tersebut. Hal ini dapat dipahami karena siput lola memiliki peran penting bagi
pendapatan masyarakat pesisir di pulau Saparua. Artinya bahwa tingginya tingkat kebutuhan
masyarakat telah memacu keinginan masyarakat untuk mengeksploitasi sumberdaya siput lola
terus menerus, tanpa memperhatikan kelangsungan hidupnya (survival). Disatu sisi bila
aktivitas penangkapan terus dilakukan, berpotensi terjadi tangkap lebih, sehingga akan sangat
membahayakan bagi keberlangsungan hidup siput lola. Kondisi ini terjadi karena peluang
tertangkapnya ukuran- ukuran kecil yang belum layak tangkap ataupun ukuran yang akan
memijah besar sekali.
2) Kerusakan ekosistem terumbu karang (habitat siput lola)
Sumber masalah kedua yang mengakibatkan penurunan produksi atau populasi siput
lola adalah rusaknya habitat siput lola. Kerusakan terumbu karang sebagai habitat siput lola
adalah karena penggunaan bahan peledak dan alat tangkap destruktif untuk menangkap ikan
maupun kegiatan penambangan karang untuk kepentingan bahan bangunan. Siput lola
(Trochus niloticus) merupakan hewan moluska dari kelas Gastropoda yang hidup di rataan
terumbu karang. Hewan ini memiliki
Selain sumber masalah dari aspek bioekologi yang disebutkan sebelumnya, maka
sumber masalah lain yang tidak kalah penting berkaitan dengan penurunan produksi atau
populasi siput lola di alam adalah masalah tidak