Anda di halaman 1dari 20

Laporan Studi Pemetaan Praktik Destructive Fishing di

Taman Wisata Perairan Kapoposang

1. Pendahuluan

Laut Indonesia telah lama menjadi objek eksploitasi karena kandungannya


menawarkan kapital. Terumbu karang dan segala kehidupan di dalamnya merupakan
salah satu kekayaan alam yang tereksploitasi itu. Indonesia memiliki luas perairan
terumbu karang yang diperkirakan sekitar 75.000 km2, sekitar 40.000 km2 (52 persen)
terdapat di perairan Indonesia Bagian Timur. Namun dari tahun ke tahun, terumbu
karang terus mengalami degradasi karena berbagai sebab, dari kasus Degradasi
terumbu karang secara umum disebabkan oleh dua faktor, yaitu faktor alami
(autogenic causes) seperti bencana alam dan aktivitas manusia (antrophogeniccauses)
baik secara langsung maupun tidak langsung. Beberapa aktivitas manusia di darat
seperti pertanian yang menggunakan pupuk organik, anorganik dan pestisida dapat
mempengaruhi kehidupan organisme yang hidup dalam ekosistem ini karena sebagian
dari bahan-bahan tersebut hanyut ke laut melalui aktivitas run-off.

Selain itu, penebangan hutan yang tidak terkontrol juga mengakibatkan erosi dimana
akan berdampak pada tingginya laju sedimentasi yang masuk kedalam perairan laut
sehingga menutupi polip-polip karang. Aktivitas manusia lainnya yang merusak
ekosistem terumbu karang secara langsung adalah penangkapan ikan tidak ramah
lingkungan dengan menggunakan bahan-bahan berbahaya seperti sianida dan bahan
peledak yang dapat menyebabkan kematian hewan-hewan karang dan kerusakan
secara fisik terumbu karang.

Penggunaan bahan peledak dan racun dalam penangkapan ikan karang menimbulkan
efek samping yang sangat besar. Selain rusaknya terumbu yang ada di sekitar lokasi
peledakan, jugadapat menyebabkan kematian organisme lain yang bukan merupakan
target. Sementara praktek pembiusan dapat mematikan zooxanthella hewan
penyusun karang sehingga karang menjadiberubah warna yang akhirnya mati serta
ikan-ikan lainnya ikut mati yang tidak menjadi target.Oleh sebab itu, penggunaan
bahan peledak (bom) dan bahan beracun (potas) berpotensi menimbulkan kerusakan
yang luas terhadap ekosistem terumbu karang.

Pada tahun 2015 lalu, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menyatakan bahwa
sekitar 70 persen kondisi terumbu karang di Indonesia dalam keadaan rusak, hanya 30
persen dalam kondisi baik. KKP menyatakan hal tersebut harus segera diperbaiki,
mengingat Indonesia juga merupakan pusat inisiatif segi tiga terumbu karang dan
dijuluki “Amazon of The Sea” karena keaneka ragaman hayati lautnya.
Dalam rentang waktu 42 tahun sejak tahun 1960 produksi ikan laut di darat meningkat
dari 20 juta ton menjadi 84,5 juta ton. Sementara produksi ikan secara langsung di laut
mengalami penurunan pada tahun 2006-2007 yaitu dari 80.2 juta ton menjadi 78.9
juta ton. Tahun 2010 kembali meningkat menjadi 148 juta ton dengan nilai US$ 217.5
juta. Konsumsi ikan terendah oleh Afrika yaitu hanya 9,1 juta ton sementara Asia
adalah konsumen tertinggi ikan di dunia yaitu mencapai 85.4 juta ton dan di dalamnya
China merupakan konsumen ikan tertinggi

Dalam Undang-undang no.45 tahun 2009, pasal 9 ayat (1) tentang perubahan atas
Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Setiap orang dilarang memiliki,
menguasai, membawa dan menggunakan alat penangkapan yang menggangu dan
merusak keberlanjutan sumber daya ikan di kapal penangkap ikan di wilayah
pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia. Kemudian penjelasan pasal 9 ayat
(1) tersebut diatas alat penangkapan ikan dan/atau alat bantu penangkapan ikan yang
menggangu dan merusak keberlanjutan sumber daya ikan termasuk diatarannya jaring
trawl atau pukat harimau dan kompresor.

Praktik destructive fishing di Taman Wisata Perairan (TWP) Spermonde dalam


beberapa tahun ini terindikasi masih marak terjadi. Walaupun upaya pengelolaan
termasuk pengawasan telah dilakukan secara intensif oleh otorita BKKPN Kupang
dibantu dengan aparat keamanan dari unsur Polres Pangkep, Polairud dan TNI-AL,
namun selalu saja terjadi tindak pidana pengeboman ikan didalam kawasan atau pada
perairan diluar kawasan. Oleh karena itu, untuk mengetahui indikasi terkini tentang
lokasi, modus, type serta dalam rangka memberikan rekomendasi aksi
penanggulangan praktif destructive fishing, maka kegiatan pemetaan praktik
destructive fishing ini dilakukan.

2. Tujuan

Tujuan dilakukannnya kegiatan pemetaan kegiatan destructive fishing di TWP


Kapoposang ini adalah :

- Mendapatkan gambaran kegiatan DF yang sedang berjalan atau trend dalam


beberapa waktu belakangan ini
- Melakukan pemetaan rantai pelaku, rantai material dan rantai pasar praktik DF
- Memberikan analisa dan rekomendasi program aksi untuk penangangan
destructive fising di dalam kawasan Taman Wisata Peraiaran Kapoposang

3. Lokasi Studi

Kepulauan Kapoposang merupakan bagian dari Kepulauan Spermonde dan secara


administratif masuk dalam wilayah Kabupaten Pangkep Provinsi Sulawesi Selatan. SK
Menteri Kehutanan No. 588/Kpts-VI/1996 tanggal 12 September 1996 menetapkan
Kepulauan Kapoposang sebagai Taman Wisata Perairan dengan luasan sebesar 50.
000 hektar dan memiliki panjang batas 103 km. Posisi geografis kawasan ini berada di
118o
54’ 00 BT – 119o 10’ 00’’ BT dan 04o37’00’’ LS – 04o 52’ 00’’ LS.

Berdasarkan berita acara tanggal 4 Maret 2009 dengan nomer BA 01/Menhut-IV/2009


dan BA 108/Men.KP/III/2009, diserahterimakan pengelolaannya kepada Departemen
Kelautan dan Perikanan berdasarkan. Dan selanjutnya dirubah nomenklatur menjadi
Taman Wisata Perairan (TWP) Kepulauan Kapoposang dan Laut Sekitarnya melalui
Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 66/MEN/2009 tentang penetapan
kawasan konservasi perairan nasional Kepulauan Kapoposang dan laut di sekitarnya di
Provinsi Sulawesi Selatan.

TWP Kapoposang terletak di Kecamatan Liukang Tupabbiring pada 2 desa berbeda,


yakni Desa Mattiro Ujung di sebelah barat, yang meliputi Pulau Pandangan dan Pulau
Kapoposang; dan Desa Mattiro Matae di sebelah timur, yang meliputi Pulau
Gondongbali, Pulau Tambakulu, Pulau Suranti, dan Pulau Pamanggangan.

Lokasi pengambilan sample studi ini dilakukan di Pulau Papandangan dan Pulau
Kondong Bali

4. Waktu Pelaksanaan

Adapun waktu pelaksanaan studi pemetaan destructive fishing ini dilakukan selama 3
bulan yaitu dalam bulan Oktober-Desember 2016

5. Metode

Studi ini menggunakan metode wawancara dengan kuisioner dengan jumlah


responden sebanyak 30 orang.

6. Hasil dan Temuan Lapangan

a) Profil Responden
Dari 30 responden yang bersedia untuk berbagi informasi, 13 diantaranya
merupakan pelaku aktif PITRAL, 9 mantan pelaku PITRAL, 2 istri pelaku dan 6
sisanya masyarakat biasa. Umur responden yang diwawancara berkisar pada 25 -
70 tahun, jika diratakan berkisar pada umur 42 tahun.

Gambar 1. Distribusi Peran Responden


Gambar 2. Grafik Distribusi Umur Responden

b) Lokasi kejadian dugaan DF

Berdasarkan wawancara dengan responden di pulau Papandangan dan pulau


Kondong Bali ditemukan informasi bahwa lokasi dan sebaran kegiatan nelayan
dalam melakukan aktivitas destructive fishing bukan saja hanya dalam kawasan
Taman Wisata Perairan Kapoposang tetapi menjangkau area perairan yang lebih
luas yang meliputu laut Flores (P. Kapoposang Bali), laut ini berjarak sekitar 312
km dari TWP Kapoposang.

Selain itu, lokasi yang menjadi sasaran nelayan adalah perairan dan pulau sekitar
Taka Larilariang, Taka Martaban, Dusun Lumu, Taka 1, Taka 2, Taka 3, Taka 4, Taka
5, Taka 6, Taka 7, lokasi ini tersebar diwilayah Sulawesi-Kalimantan. Semnetara itu,
wilayah perairan bagian selatan meliputu pulau Marabatuang, pulau Masalimbu,
pulau Karamaiang, pulau Mas di daerah pulau Jawa dan Sumbawa.
Gambar 3. Peta Lokasi-Lokasi Dugaan Penangkapan Ikan Tidak Ramah Lingkungan (PITRAL)

Gambar 4. Peta Lokasi Dugaan Area Penangkapan Ikan Tidak Ramah Lingkungan di Kawasan Kab. BIMA
Gambar 5. Peta Lokasi Dugaan Area Penangkapan Ikan Tidak Ramah Lingkungan di Kawasan Kab.
JENEPONTO

Gambar 6. Peta Lokasi Dugaan Area Penangkapan Ikan Tidak Ramah Lingkungan di Kawasan Kab. PANGKEP
Gambar 7. Peta Lokasi Dugaan Area Penangkapan Ikan Tidak Ramah Lingkungan di Kawasan Kab. SUMBAWA

c) Motif dan Modus

Typologi pelaku destructive di lokasi studi terbagi 2 yaitu pelaku aktif dan pelaku
pasif, Pelaku aktif adalah nelayan yang masih secara aktif melakukan kegiatan
pengeboman karena telah menjadi aktivitas rutin dan telah turun temurun.
Sementara itu, pengguna pasif adalah nelayan yang melakukan pengeboman jika
ada ajakan punggawa dan tidak bisa menolak karena ada utang uang atau utang
budi misalnya dibantu pada saat menikah atau pengobatan saat sakit.

Dulu, sebagian masyarakat pulau Papandangan adalah pelaku bom, namun karena
ketersediaan bahan peledak yang semakin mahal dan sulit membuat mereka kini
mulai beralih menggunakan pukat/jaring dengan ukuran yang besar. Dengan alat
tangkap pukat, mereka melakukan penangkapan ikan di lokasi yang sebelumya
telah dipasangi rumpon. Wilayah rumpon lokasinya cukup jauh dari pulau
Papandangan yaitu sekitar 12-14 jam perjalanan dengan kapal. Untuk memasang
1 unit rumpon dibutuhkan biaya sekitar Rp10-15 juta. Sementara modal untuk
operasional kapal pukat, punggawa menghabiskan modal yang cukup besar yaitu
berkisar antara Rp 40-50 juta dalam satu minggu operasional.

Sementara itu, sebagai perbandingan biaya pembuatan bom ikan membutuhkan


modal dan material yang terdiri dari membeli bahan peledak (detonator 1 dos isi
100 buah) seharga Rp10-13 juta, pupuk cap matahari seharga Rp 3 juta, sumbu 1
meter Rp 250.000 - 300.000 per meternya, belum lagi jerigen 5 liter dalam jumlah
yang banyak, timah/pemberat dan operasional sepert solar untuk bahan bakar.

Saat ini punggawa semakin sulit mencari anak buah kapal untuk diajak mengebom
sebab untuk mengebom membutuhkan waktu yang lama (berlayar ke lokasi)
kemudian hasil yang didapatkan oleh ABK sangat kecil untuk waktu yang terlalu
lama yaitu 7-10 hari.

Adapun ukuran dan jenis kapal yang digunakan dalam melakukan aktivitas
pengeboman ikan adalah kapal dengan ukuran antara 2-20 GT, dengan komposisi
armada paling banyak digunakan adalah kapal dengan ukuran 10 GT dengan
jumlah
7 unit.

Adapun jenis ikan target bom yang dominan adalah jenis ikan sinliri, ikan sunu,
ikan kerapu, ikan tawasang, ikan ekor kuning, ikan bambangan, ikan lemuru, ikan
tembang, dan ikan batu baronang. Jenis ikan-ikan tersebut menjadi target
pengeboman oleh nelayan sebab memiliki nilai jual yang tinggi.

d) Praktik DF ; Kerugian Ekologis, Ekonomis dan Sosial

Menurut peneliti senior bidang oseanografi LIPI, Prof. Dr. Suharsono menjelaskan,
kondisi terumbu karang Indonesia secara umum tinggal 5 persen berstatus sangat
baik. Lebih lanjut, Suharsono mengemukakan, kondisi terumbu karang paling
buruk dan semakin menurun terjadi di wilayah Indonesia timur. 40,29 persen
terumbu karang di Indonesia Timur berstatus rusak. Sementara itu, dari data
kerugian terumbu karang 2004 Kementerian Kelautan dan Perikanan menyebutkan
bahwa kerugian akibat kerusakan terumbu karang di Indonesia Timur mencapai Rp
80,5 miliar per tahun. Perairan di Buton, Sulawesi Tenggara merupakan daerah
yang mengalami kerugian terbesar dibandingkan daerah lainnya yakni 23,4 miliar.
Sedangkan Pangkep Sulsel 7,8 miliar, Biak Papua 7,1 miliar..

Dari data kerugian daerah dikarenakan terumbu karang yang rusak pada tahun
2004 di atas, terlihat jelas Indonesia Timur adalah kawasan yang paling merugi
apalagi dengan lautan yang lebih luas ketimbang Indonesia Bagian Tengah.
Suharsono mengatakan, penyebab kerusakan terumbu karang di antaranya karena
pemakaian alat tangkap yang merusak, peningkatan pencemaran, permasalahan
global pemicu bleaching (pemutihan, red) karang, serta penyakit karang dan
predasi.

Adapun Prof. Dr. H. Sudirman, MPi Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan
Universitas Hasanuddin dalam makalahnya berjudul “Warning atas Kerusakan
Hutan Bawah Laut” mengatakan, sejumlah faktor penyebab utama kerusakan
terumbu karang adalah penggunaan bahan peledak dan sianida, penangkapan
menggunakan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan, pengambilan batu
karang untuk bahan
bangunan, pembuangan limbah, penggundulan hutan di daerah upland, wisata
bahari yang kebablasan.

Menurut Sudirman, dari semua faktor penyebab terumbu karang, yang paling
berkontribusi pada kerusakan terumbu karang adalah Destructive Fishing. Hal ini
juga didukung oleh semakin meningkatnya permintaan ikan karang dengan harga
yang tinggi sehingga mengakibatkan tingkat eksploitasi ikan di wilayah perairan
juga semakin tinggi. Berbagai jenis alat tangkap yang beroperasi di daerah karang
seperti bottom gill net, tombak, telah memberikan penguruh terhadap tekanan
eksploitasi di daerah terumbu karang. Alat tangkap tersebut harus dievaluasi, dan
bila ternyata merusak lingkungan maka tidak boleh dibiarkan, paling tidak harus
diperbaiki dan dimodifikasi teknologinya. Dunia tahu jika Indonesia adalah surga
ikan dunia, sehingga permintaan ekspor ikan terus meningkat, sayang hal ini tidak
selaras dengan tingkat kepedulian masyarakatnnya pada kondisi laut Indonesia.

Tabel 1. Analisis Keberlanjutan kegiatan destructive fishing di Kepulauan Spermonde


Ekonomi Sosial dan Budaya Ekologis
Permintaan ikan Rantai kemiskinan Lokasi terumbu karang
tinggi nelayan yang cukup banyak
Suplai ikan rendah Keterjeratan dalam tersebar
dari non PITRaL struktur Utang Konsentrasi bius tak
Harga cenderung Budaya ingin untung memberi efek nyata
stabil besar dengan cara terhadap terumbu karang
Efektif; jumlah mudah dan murah Pada bulan-bulan
tangkapan (cenderung negatif) tertentu populasi
Efisien; dana Pandangan tentang tangkap besar
operasional dan waktu banyaknya
penangkapan stok ikan di laut
Rendahnya kesadaran
hukum
Law Enforcement
yang rendah
Tidak paham akan
pentingnya
kelestarian lingkungan
dengan
stok ikan di laut

e) Lingkaran Setan DF : Rantai Material - Rantai Pelaku – Rantai Pasar


Keberlanjutan praktik destructive fishing di kepulauan Spermonde dan khususnya
didalam kawasan TWP Kapoposang selama ini terjadi karena hubungan
kepentingan ekonomi dan sosial yang saling berkelindan antara pihak-pihak yang
terlibat. Menilik tiga jalur rantai distribusi material, pelaku dan pasar merupakan
tiga pilar yang menopang kegiatan ini terus berlanjut sampai saat ini. Jika di
skemakan berikut ini bagan kegiatan destruktif fishing di TWP Kapoposang.

Tindak

Sarana Prasarana Aparat Korup Bahan Peledak


Pengawasan Mudah Di

Rayuan Ketergantungan Permintaan ikan Godaan Hidup


Pembeli/pemilik Kepada Pemilik yang lebih baik

Miskin Terlilit Hutang Terpaksa / Tidak Peduli

Pendapatan Pendidikan Harga Kebutuhan Konsumtif/Menejeme


Rendah Rendah ekonomi n keuangan buruk

Alat Tangkap Semakin Akses Pungli makin Biaya


tidak produktif Banyak Terhadap SDL Tinggi Operasional
menjadi
Gambar 8. Motif Pelaku PITRAL

Menurut pengakuan sejumlah responden, pemodal yang biasanya memberikan


adalah engusaha/punggawa darat yang berdomisili di kota Makassar. Melalui kurir
bahan diantar ke pulau atau melakukan transaksi di laut yang sebelumnya kami
telah sepakati lokasi transaksinya. Pengusaha tersebut adalah salah seorang
pengusaha ikan terbesar di Sulawesi Selatan. Kami ketahui yang memiliki
perusahaan kksport ikan. Hampir semua nelayan di Spermonde menjual hasil
tangkapan ikan kepada pengusaha tersebut. Pengusaha tersebut juga sebagai
penampung ikan dengan berbagai jenis, bahkan tak jarang Ia turut membiayai
penangkapan ikan oleh nelayan atau memberikan pinjaman modal kepada nelayan
misalnya; memberikan pinjaman modal untuk pembelian kapal, alat tangkap, biaya
operasional penangkapan baik kapal besar ataupun perahu kecil untuk nelayan
kecil. Sang pengusaha begitu toleransi jika ada nelayan yang telah dibiayai menjual
hasil tangkapannya di pelelangan (ketika harga di pelelangan tinggi dan jumlah
hasil tangkapannya sedikit) asalkan nelayan tersebut terlebih dahulu meminta izin
kepadanya. Pengusaha tersebut sangat percaya dengan nelayan dari pulau
Papandangan yang terkenal sangat gesit untuk menangkap ikan.
Selain pungawa darat tersebut, juga dikenal istilah punggawa pulau yang sealu
memfasilitasi nelayan untuk memperoleh material bom dan sekaligus membeli
hasil tangkapan. Menurut hasil wawancara, punggawa pulau tersebut terdapat di
pulau Karanrang. Ada sekitar 3 orang punggawa pulau di pulau Karanrang.

Sejumlah responden di pulau Papandangan mengakui bahwa sebagian besar warga


yang masih menggunakan bom bukan warga asli pulau Papandangan melainkan
warga yang berasal dari Pulau Sarrapo, yang datang menetap di pulau
Papandangan untuk menjadi nelayan. Awalnya mereka diajak untuk menjadi anak
buah kapal (sawi) di Kapal Paggae, namun tidak bertahan lama. Penyebabnya
adalah karena rendahnya penghasilan menjadi sawi. Pembagian hasil keuntungan
tangkapan kadang sangat rendah apalagi hasil tangkapan juga tidak banyak,
misalnya jika keuntungan kotor hasil penjualan tangkapan sebanyak Rp
80.000.000, maka dari keuntungan tersebut dikurangi dengan modal. Biasanya
modal yang dikeluarkan tidak kurang dari Rp 40.000.000, sisanya dibagi kepada
pemilik kapal/pemilik rumpon, punggawa dan anak buah kapa (sawi, yang
berjumlah 10-12 orang), dengan demikian pembagiannya menjadi Rp
40.000.000/3= Rp 13.000.000 untuk punggawa, Rp 13.000.000 untuk pemilik
kapal/rumpon dan Rp 13.000.000 untuk ABK, Rp 13.000.000 untuk ABK masih akan
dibagi 10 atau 12 orang paling tidak ABK akan mendapatkan upah sebanyak Rp
1.000.000,- per orang. Upah seperti itu mereka anggap kurang adil, sebab
mereka kami meninggalkan anak-istri dalam kurun waktu yang lama meskipun
segala biaya hidup ditanggung oleh punggawa selama ikut melakukan
penangkapan. Keahlian mereka sebagai penyelam yang membuat merek terus
bertahan, sehingga saat ini selain menjadi penyelam teripang mereka menjadi
pengguna bom

Saat ini tidak kurang dari 5 orang pengguna bom yang ‘aktif’ yang masih ada di
pulau Papandangan, sementara 5-7 orang pengguna pasif. Pengguna pasif
dimaksud adalah tidak lagi menggantungkan hidup dari hasil bom, mereka ikut
serta menjadi anak buah kapal paggae, sebelumnya juga kapal paggae
menggunakan bom untuk menangkap ikan namun sekarang tidak lagi sebab
dengan cara tersebut ikan makin lama makin sulit didapat. Penggunaaan bom di
wilayah rumpon dilakukan untuk menangkap ikan yang bukan jenis tongkol karena
hanya ikan tongkol yang tidak mati saat terkena bom.

Di pulau Papandangan sendiri sangat sulit untuk mencari anak buah kapal paggae.
Terdapat 33 buah kapal paggae di Papandangan, yang kekurangan anak buah kapal
sehingga punggawa paggae mencari ABK dari luar pulau baik dari pulau-pulau
sekitar ataupun dari daratan kota Makassar dan sekitar Pangkep. Saat ini tidak ada
anak buah kapal yang tetap kepada satu punggawa itulah sebabnya telah banyak
pendatang yang bermukim di pulau Papandangan.
Pada saat survey dilakukan, informasi tentang penggunaan bius tidak ditemukan.
Dipastikan penggunaan bius hampir tidak ada di pulau Papandangan. Dulunya juga
pernah ada namun penggunaan bius sangat berdampak dengan keberlangsungan
ekosistem laut karang banyak yang mati dan ikan hilang entah kemana mati atau
berpindah ke tempat lain, sebab itu para punggawa dan nelayan menggelar rapat
dan sepakat untuk tidak lagi menggunakan bius di wilayah pulau.

Alasan lainnya kami beralih menjadi paggae adalah semakin banyaknya aparat
yang turun ke lapangan tidak jarang nelayan tertangkap tangan saat melakukan
aktivitas pengeboman, beberapa tahun terakhir saat AKBP M. Hidayat menjadi
Kapolres Kabupaten Pangkep banyak nelayan pengebom ikan dan punggawa
ditangkap, saat itu petugas lapangan tidak bisa diajak kompromi bahkan bandar
besar skaligus pengedar berhasil ditangkap meskipun tetap bebas dalam kurun
waktu yang tidak terlalu lama.

Walaupun masih ada, akhir-akhir ini intensitas penggunaan bom di TWP


Kapoposang semakin berkurang. Masyarakat merasa trauma dengan banyaknya
korban yang meninggal akibat penggunaan bom ikan. Selain itu, indikasi praktik
pungli dilaut oleh aparat rupanya membuat nelayan ‘jera’ berurusan dengan
aparat.

“Tingginya jumlah upeti yang kami bayar saat bertemu dengan aparat juga
membuat kami berpikir panjang untuk berurusan dengan bahan peledak, pasalnya
saat menangkap ataupun tidak, saat ketemu atau dikunjungi, saat ada hasil
tangkapan ataupun tidak kami tetap harus memberikan uang”.

7. Rekomendasi

Upaya mengurangi dan menangkal praktik destructive fishing di dalam kawasan Taman
Wisata Perairan Kapoposang perlu dilakukan dengan cara pencegahan dan
penindakan bagi siapa saja yang berpotensi melakukan praktik ini. Pencegahan dan
penindakan praktik destructive fishing perlu dilakukan secara simultan sesuai dengan
indikasi kejadian dan lokasi. Berikut ini uraian tentang rekomendasi aksi tersebut yaitu
>

A. Memperkuat pencegahan melalui Stakeholder Approach

- Penyadaran Masyarakat. Kegiatan penyadaran masyarakat perlu dilakukan


secara strategi dengan menyasar stakeholder yang lebih luas (pelaku dan non
pelaku) agar kesadaran masyarakat akan bahaya, resiko dan kerugian dari
praktik penangkapan ikan yang merusak dapat menjadi perhatian dan
pengatahuan umum. Pendekatan pendidikan secara formal dan informal perlu
dilakukan melalui penyiapan bahan ajar dengan muatan perikanan
berkelanjutan bagi sekolah-sekolah di Kabupaten Pangkejene Kepulauan dan
Kota Makassar. Selain itu, mengingat mayoritas masyarakat kepulauan
memeluk
agama islam, maka upaya penyadaran masyarakat dengan pendekatan dakwah
perlu dilakukan. Pendekatan sosiologis keagamaan dengan dakwah atau
ceramah di masjid bertujuan mengingatkan masyarakat bahwa anugerah illahi
berupa kekayaan ikan dilaut dan terumbu karang perlu dimanfatkan secara
bijak, ramah lingkungan sebab hal tersebut merupakan titipan anak cucu sesuai
dengan ajaran agama yang ada dalam Al Quranul karim.

- Menciptakan Mata Pencaharian Alternatif. Pelaku destructive fishing perlu


diberikan alternatif mata pencaharian ketika mereka beralih untuk tidak
melakukan penangkapan ikan dengan bom dan bius. Mata pencaharian
tersebut sebaiknya mendatangkan income yang sama atau lebih besar
dibandingkan dengan jika mereka melakukan kegiatan destructive. Oleh karen
itu, identifikasi dan pengenalan mata pencaharian alternatif serta memberikan
bantuan/akses untuk mendapatkan mata pencaharian alternatif tersebut perlu
dilakukan. Berdasarkan hasil wawancara, maka penggunaan alat tangkap
paga’e atau parennge merupakan salah satu solusi yang bisa diperkenalkan
dan menjadi trend penggunaan alat tangkap bagi nelayan di kepulauan
Spermonde. Pagae atau purseine merupakan jenis alat tangkap yang dilengkapi
jaring lingkar yang disokong oleh lampu. Cara bekerja alat tangkap ini adalag lampu
dipasang dan ketika ikan-ikan berkumpul jaring dibentang dan ditarik mengelilingi
ikan-ikan yang telah takluk di bawah sinar lampu. Jaring ini disebut juga jaring cincin
yang bisa mengarahkan terbentuknya kantung kerucut saat jaring dihela. Harga satu
unit purse seine sekitar 20 juta bahkan ada 9 juta jika menggunakan jaring bekas.

- Meningkatkan kapasitas masyarakat. Meningkatkan kapasitas masyarakat


dalam mengelola dan memanfaatkan sumberdaya laut dalam kawasan
merupakan salah satu cara yang bisa ditempuh untuk mendukung efektivitas
pengelolaan kawsan Taman Wisata Perairan Kapoposang. Peningkatan
kapasitas ini berkaitan dengan aspek teknis, manajemen dan organisasi serta
kemitraan pengelolaan. BKKPN Kupang sebagai manajemen authority
Kapoposang perlu melakukan identifikasi dan assessment mendalam tentang
kebutuhan peningkatan kapasitas yang dibutuhkan oleh staf pengelola,
kelompok masyarakat (wisata, perikanan tangkap dan perikanan budidaya),
aparat desa dan kelompok pemuda yang ada dalam kawasan untuk dapat
difasilitasi dalam bentuk training, pelatihan atau magang kerja. Kapasitas
masyarakat ini tentunya berkaitan dengan kemampuan mereka dalam
mengelola potensi sumberdaya lingkungan, sosial dan ekonomi yang bertujuan
untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

- Melakukan Pemberdayaan Masyarakat. Secara keseluruhan masyarakat dan


manusia dalam kawasan Taman Wisata Perairan mesti menjadi obyek utama
pengelolaan kawasan. Oeh karena itu, inisiatif pemberdayaan masyarakat
dalam kawasan perlu dilakukan sesuai dengan potensi dan kapasitas yang ada.
Trend kegiatan wisata bahari dan perikanan berkelanjutan dalam kawasan
perlu
menyasar masyarakat sehingga mereka mempunyai akses dan keberdayaan
untuk mengelola potensi sumberdaya laut. Pemberdayaan masyarakat
sebaiknya sejalan dengan inisiatif pembangunan desa sehingga program
pemberdayaan yang dilakukan oleh pihak luar (program NGO, donor,
pemerintah pusat dan pemerintah daerah) sejalan dengan program yag ada di
desa-desa dalam kawasan. Model pengelolaan wisata bahari yang berbasis
masyarakat dimana penyediaan sarana dan prasarana wisata selam seperti
cottage/homestay, perahu/boat, penyewaan alat selam, pemandu selam dan
kuliner bisa disediakan oleh masyarakat di dalam kawasan Kapoposang.

- Inisiasi Jejaring Anti Destructive Fishing. Kerja advokasi untuk mencegah


praktik destructive fishing tidak hanya dilakukan pada level komuitas
masyarakat pulau dalam kawasan tetapi juga melibatkan stakeholder yang
lebih luas. Hal ini untuk menunjukan pressure bagi pelaku tindak kejahatan ini
dan mempersempit ruang gerak pelaku dan jaringanya. Jejaring anti DF ini
melibatkan masyarakat sipil seperti NGO, media, pekerja sosial, mahasiswa,
pemerhati lingkungan, pekerja seni dan sektor pemerintah. Jejaring ini
berfungsi untuk melakukan kerja-kerja teknis, strategis dan politis untuk
menyuarakan dan mendesak agar isu DF dapat menjadi perhatian pengambil
kebijakan dan masyarakat agar bisa lebih tertangani secara progamatik.
Jejaring anti DF juga akan memperkuat konsolidasi masyarakat sipil utuk lebih
concern pada agenda penyelamatan sumberdaya laut dari perilaku merusak.

- Management Issue Destructive Fishing. Mengingat praktik destructive fishing


dalam kawasan telah berlangsung lm dan sampai saat ini belum ada resep
mujarab untuk menghentikan praktik ini secara total, maka diperlukan strategi
manajemen isu yang baik untuk menjaga agar isu ini tetap menjadi perhatian
semua pihak di semua level pemerintahan dan masyarakat. Perlu ada
kolaborasi

B. Penindakan Pelaku Destructive Fishing

- Hukuman Maksimal Pelaku. Berdasarkan data yang dihimpun dari pengadilan


negeri Pangkep, rata-rata putusan pengadilan atas pelaku destructive fishing
sangat rendah yaitu hanya 6-8 bulan penjara. Padahal anamcama hukuman
pelaku perikanan merusak yang diatur dalam UU 45/2009 tentang Perikanan
adalah maksimal 5 tahun. Oleh keran itu, aparat penegaka hukum baik dari
unsur PPNS, Jaksa dan Polisi yang melakukan proses penyidikan dan tuntutan
mesti mengajukan tuntutan hukum yang maksimal bagi para pelaku untuk
memberikan efek jera.

- Pengadilan Bersih. Mata rantai pengadilan dan hukum dalam penegakan


kejahatan destructive fishing harus dapat dipastikan tidak diintervensi oleh
mafia pengadilan dan mafia hukum. Oleh karena itu, perlu dilakukan evaluasi
terhadap putusan dan aparat penegak hukum yang terlibat dalam penanganan
kasus ini agar memastikan bahwa proses dan penanganan telah dilakukan
sesuai protap, ketentuan dan tidak diintervensi oleh kekuatan lain diluar
pengadilan. Kita perlu memastikan bahwa, pengadilan pelaku destructive
fishing dilakukan secara transparan dan sesuai ketentauan hukum perikanan
yang berlaku.

- Membongkar Mata Rantai. Membiarkan praktik ini terus berlangsung akan


semakin memberikan dampak kerugian yang lebih besar secara sosial,
ekonomi dan ekologi. Oleha karena itu, keberanian untuk membongkar mata
rantai pelaku perlu dikedepankan. Dalam konteks ini, maka komitmen dan
dukungan top leader instansi yang berwenang memberantas praktik
destructive fishing sangat diperlukan terutama guna membongkar keterlibatan
pihak-pihak terkait yang selama ini terindikasi memberikan ‘backing’ terhadap
keberlangsungan praktik ini.

- Menginsiasi Satgas Anti DF Kapoposang. Memperkuat pengawasan pelru


dilakukan dengan melakukan koordinasi yang intensif dinatara aparat penegak
hukum dilaut. Hal ini disebabkan karena upaya penegakan hukum terhadap
pelaku DF bisa dilakukan dengan ‘multidoor’ mengingat tindak pidana
kejahatan ini melanggar beberapa ketentuan perundang-undangan seperti UU
Perikanan, UU Budidaya Pertanian dan UU Bea Cukai. Oleh karen itu,
penindakan pelaku perlu dilakukan secara tegas dengan melibatkan aparat
penegak hukum dan civil society antara lain PPNS, Polairud, Reskrim, TN-AL,
wartawan dan aktivis LSM l dalam Satuan Tugas Terpadu Anti DF.

- Memperkuat Tata Kelola Perikanan dalam Kawasan Konservasi Kapoposang.


Mengingat bahwa pengelolaan Taman Wisata Kapoposang dilakukan dengan
pendekatan zonasi oleh otoritas Balai Kawasan Konservasi Perairan Nasional
(BKPPN) Kupang, maka instrument pengelolaan kawasan ini yang sifatnya
software maupun hardware perlu segera dilengkapi dan dilaksanakan.
Intrument yang sifatnya software adalah berupa pedoman, petunjuk teknis,
regulasi dan mekansime koordinasinasi dengan pihak lain. Sedangkan
hardwarenya berupa dukungan sumberdaya manusia, sarana dan prasarana
operasional dan infrastrktur lainnya.
Lampiran 1. Foto – Foto Kondisi Eksisting Lokasi Survey

Gambar 9. Armada Penangkapan di Pulau Gondong Bali

Gambar 10. Bahan baku bom ikan yang digunakan oleh nelayan gondong bali
Gambar 11. Salah satu makanan sampingan nelayan Pulau Gondong Bali ketika musim paceklik

Gambar 12. Satu-satunya sarana pendidikan yang ada di TWP Kapoposang


Gambar 13. Prosesi wawancara pelaku dan mantan pelaku PITRAL
Gambar 14. Jangkar Tradisional Nelayan TWP Kapoposang yang tidak ramah lingkungan

Gambar 15. Lokasi Proses pembuatan bom ikan


Gambar 16. Tangkapan sampingan nelayan PITRAL selama melaut sebagai bahan tambahan logistik

Anda mungkin juga menyukai