1. Pendahuluan
Selain itu, penebangan hutan yang tidak terkontrol juga mengakibatkan erosi dimana
akan berdampak pada tingginya laju sedimentasi yang masuk kedalam perairan laut
sehingga menutupi polip-polip karang. Aktivitas manusia lainnya yang merusak
ekosistem terumbu karang secara langsung adalah penangkapan ikan tidak ramah
lingkungan dengan menggunakan bahan-bahan berbahaya seperti sianida dan bahan
peledak yang dapat menyebabkan kematian hewan-hewan karang dan kerusakan
secara fisik terumbu karang.
Penggunaan bahan peledak dan racun dalam penangkapan ikan karang menimbulkan
efek samping yang sangat besar. Selain rusaknya terumbu yang ada di sekitar lokasi
peledakan, jugadapat menyebabkan kematian organisme lain yang bukan merupakan
target. Sementara praktek pembiusan dapat mematikan zooxanthella hewan
penyusun karang sehingga karang menjadiberubah warna yang akhirnya mati serta
ikan-ikan lainnya ikut mati yang tidak menjadi target.Oleh sebab itu, penggunaan
bahan peledak (bom) dan bahan beracun (potas) berpotensi menimbulkan kerusakan
yang luas terhadap ekosistem terumbu karang.
Pada tahun 2015 lalu, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menyatakan bahwa
sekitar 70 persen kondisi terumbu karang di Indonesia dalam keadaan rusak, hanya 30
persen dalam kondisi baik. KKP menyatakan hal tersebut harus segera diperbaiki,
mengingat Indonesia juga merupakan pusat inisiatif segi tiga terumbu karang dan
dijuluki “Amazon of The Sea” karena keaneka ragaman hayati lautnya.
Dalam rentang waktu 42 tahun sejak tahun 1960 produksi ikan laut di darat meningkat
dari 20 juta ton menjadi 84,5 juta ton. Sementara produksi ikan secara langsung di laut
mengalami penurunan pada tahun 2006-2007 yaitu dari 80.2 juta ton menjadi 78.9
juta ton. Tahun 2010 kembali meningkat menjadi 148 juta ton dengan nilai US$ 217.5
juta. Konsumsi ikan terendah oleh Afrika yaitu hanya 9,1 juta ton sementara Asia
adalah konsumen tertinggi ikan di dunia yaitu mencapai 85.4 juta ton dan di dalamnya
China merupakan konsumen ikan tertinggi
Dalam Undang-undang no.45 tahun 2009, pasal 9 ayat (1) tentang perubahan atas
Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Setiap orang dilarang memiliki,
menguasai, membawa dan menggunakan alat penangkapan yang menggangu dan
merusak keberlanjutan sumber daya ikan di kapal penangkap ikan di wilayah
pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia. Kemudian penjelasan pasal 9 ayat
(1) tersebut diatas alat penangkapan ikan dan/atau alat bantu penangkapan ikan yang
menggangu dan merusak keberlanjutan sumber daya ikan termasuk diatarannya jaring
trawl atau pukat harimau dan kompresor.
2. Tujuan
3. Lokasi Studi
Lokasi pengambilan sample studi ini dilakukan di Pulau Papandangan dan Pulau
Kondong Bali
4. Waktu Pelaksanaan
Adapun waktu pelaksanaan studi pemetaan destructive fishing ini dilakukan selama 3
bulan yaitu dalam bulan Oktober-Desember 2016
5. Metode
a) Profil Responden
Dari 30 responden yang bersedia untuk berbagi informasi, 13 diantaranya
merupakan pelaku aktif PITRAL, 9 mantan pelaku PITRAL, 2 istri pelaku dan 6
sisanya masyarakat biasa. Umur responden yang diwawancara berkisar pada 25 -
70 tahun, jika diratakan berkisar pada umur 42 tahun.
Selain itu, lokasi yang menjadi sasaran nelayan adalah perairan dan pulau sekitar
Taka Larilariang, Taka Martaban, Dusun Lumu, Taka 1, Taka 2, Taka 3, Taka 4, Taka
5, Taka 6, Taka 7, lokasi ini tersebar diwilayah Sulawesi-Kalimantan. Semnetara itu,
wilayah perairan bagian selatan meliputu pulau Marabatuang, pulau Masalimbu,
pulau Karamaiang, pulau Mas di daerah pulau Jawa dan Sumbawa.
Gambar 3. Peta Lokasi-Lokasi Dugaan Penangkapan Ikan Tidak Ramah Lingkungan (PITRAL)
Gambar 4. Peta Lokasi Dugaan Area Penangkapan Ikan Tidak Ramah Lingkungan di Kawasan Kab. BIMA
Gambar 5. Peta Lokasi Dugaan Area Penangkapan Ikan Tidak Ramah Lingkungan di Kawasan Kab.
JENEPONTO
Gambar 6. Peta Lokasi Dugaan Area Penangkapan Ikan Tidak Ramah Lingkungan di Kawasan Kab. PANGKEP
Gambar 7. Peta Lokasi Dugaan Area Penangkapan Ikan Tidak Ramah Lingkungan di Kawasan Kab. SUMBAWA
Typologi pelaku destructive di lokasi studi terbagi 2 yaitu pelaku aktif dan pelaku
pasif, Pelaku aktif adalah nelayan yang masih secara aktif melakukan kegiatan
pengeboman karena telah menjadi aktivitas rutin dan telah turun temurun.
Sementara itu, pengguna pasif adalah nelayan yang melakukan pengeboman jika
ada ajakan punggawa dan tidak bisa menolak karena ada utang uang atau utang
budi misalnya dibantu pada saat menikah atau pengobatan saat sakit.
Dulu, sebagian masyarakat pulau Papandangan adalah pelaku bom, namun karena
ketersediaan bahan peledak yang semakin mahal dan sulit membuat mereka kini
mulai beralih menggunakan pukat/jaring dengan ukuran yang besar. Dengan alat
tangkap pukat, mereka melakukan penangkapan ikan di lokasi yang sebelumya
telah dipasangi rumpon. Wilayah rumpon lokasinya cukup jauh dari pulau
Papandangan yaitu sekitar 12-14 jam perjalanan dengan kapal. Untuk memasang
1 unit rumpon dibutuhkan biaya sekitar Rp10-15 juta. Sementara modal untuk
operasional kapal pukat, punggawa menghabiskan modal yang cukup besar yaitu
berkisar antara Rp 40-50 juta dalam satu minggu operasional.
Saat ini punggawa semakin sulit mencari anak buah kapal untuk diajak mengebom
sebab untuk mengebom membutuhkan waktu yang lama (berlayar ke lokasi)
kemudian hasil yang didapatkan oleh ABK sangat kecil untuk waktu yang terlalu
lama yaitu 7-10 hari.
Adapun ukuran dan jenis kapal yang digunakan dalam melakukan aktivitas
pengeboman ikan adalah kapal dengan ukuran antara 2-20 GT, dengan komposisi
armada paling banyak digunakan adalah kapal dengan ukuran 10 GT dengan
jumlah
7 unit.
Adapun jenis ikan target bom yang dominan adalah jenis ikan sinliri, ikan sunu,
ikan kerapu, ikan tawasang, ikan ekor kuning, ikan bambangan, ikan lemuru, ikan
tembang, dan ikan batu baronang. Jenis ikan-ikan tersebut menjadi target
pengeboman oleh nelayan sebab memiliki nilai jual yang tinggi.
Menurut peneliti senior bidang oseanografi LIPI, Prof. Dr. Suharsono menjelaskan,
kondisi terumbu karang Indonesia secara umum tinggal 5 persen berstatus sangat
baik. Lebih lanjut, Suharsono mengemukakan, kondisi terumbu karang paling
buruk dan semakin menurun terjadi di wilayah Indonesia timur. 40,29 persen
terumbu karang di Indonesia Timur berstatus rusak. Sementara itu, dari data
kerugian terumbu karang 2004 Kementerian Kelautan dan Perikanan menyebutkan
bahwa kerugian akibat kerusakan terumbu karang di Indonesia Timur mencapai Rp
80,5 miliar per tahun. Perairan di Buton, Sulawesi Tenggara merupakan daerah
yang mengalami kerugian terbesar dibandingkan daerah lainnya yakni 23,4 miliar.
Sedangkan Pangkep Sulsel 7,8 miliar, Biak Papua 7,1 miliar..
Dari data kerugian daerah dikarenakan terumbu karang yang rusak pada tahun
2004 di atas, terlihat jelas Indonesia Timur adalah kawasan yang paling merugi
apalagi dengan lautan yang lebih luas ketimbang Indonesia Bagian Tengah.
Suharsono mengatakan, penyebab kerusakan terumbu karang di antaranya karena
pemakaian alat tangkap yang merusak, peningkatan pencemaran, permasalahan
global pemicu bleaching (pemutihan, red) karang, serta penyakit karang dan
predasi.
Adapun Prof. Dr. H. Sudirman, MPi Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan
Universitas Hasanuddin dalam makalahnya berjudul “Warning atas Kerusakan
Hutan Bawah Laut” mengatakan, sejumlah faktor penyebab utama kerusakan
terumbu karang adalah penggunaan bahan peledak dan sianida, penangkapan
menggunakan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan, pengambilan batu
karang untuk bahan
bangunan, pembuangan limbah, penggundulan hutan di daerah upland, wisata
bahari yang kebablasan.
Menurut Sudirman, dari semua faktor penyebab terumbu karang, yang paling
berkontribusi pada kerusakan terumbu karang adalah Destructive Fishing. Hal ini
juga didukung oleh semakin meningkatnya permintaan ikan karang dengan harga
yang tinggi sehingga mengakibatkan tingkat eksploitasi ikan di wilayah perairan
juga semakin tinggi. Berbagai jenis alat tangkap yang beroperasi di daerah karang
seperti bottom gill net, tombak, telah memberikan penguruh terhadap tekanan
eksploitasi di daerah terumbu karang. Alat tangkap tersebut harus dievaluasi, dan
bila ternyata merusak lingkungan maka tidak boleh dibiarkan, paling tidak harus
diperbaiki dan dimodifikasi teknologinya. Dunia tahu jika Indonesia adalah surga
ikan dunia, sehingga permintaan ekspor ikan terus meningkat, sayang hal ini tidak
selaras dengan tingkat kepedulian masyarakatnnya pada kondisi laut Indonesia.
Tindak
Saat ini tidak kurang dari 5 orang pengguna bom yang ‘aktif’ yang masih ada di
pulau Papandangan, sementara 5-7 orang pengguna pasif. Pengguna pasif
dimaksud adalah tidak lagi menggantungkan hidup dari hasil bom, mereka ikut
serta menjadi anak buah kapal paggae, sebelumnya juga kapal paggae
menggunakan bom untuk menangkap ikan namun sekarang tidak lagi sebab
dengan cara tersebut ikan makin lama makin sulit didapat. Penggunaaan bom di
wilayah rumpon dilakukan untuk menangkap ikan yang bukan jenis tongkol karena
hanya ikan tongkol yang tidak mati saat terkena bom.
Di pulau Papandangan sendiri sangat sulit untuk mencari anak buah kapal paggae.
Terdapat 33 buah kapal paggae di Papandangan, yang kekurangan anak buah kapal
sehingga punggawa paggae mencari ABK dari luar pulau baik dari pulau-pulau
sekitar ataupun dari daratan kota Makassar dan sekitar Pangkep. Saat ini tidak ada
anak buah kapal yang tetap kepada satu punggawa itulah sebabnya telah banyak
pendatang yang bermukim di pulau Papandangan.
Pada saat survey dilakukan, informasi tentang penggunaan bius tidak ditemukan.
Dipastikan penggunaan bius hampir tidak ada di pulau Papandangan. Dulunya juga
pernah ada namun penggunaan bius sangat berdampak dengan keberlangsungan
ekosistem laut karang banyak yang mati dan ikan hilang entah kemana mati atau
berpindah ke tempat lain, sebab itu para punggawa dan nelayan menggelar rapat
dan sepakat untuk tidak lagi menggunakan bius di wilayah pulau.
Alasan lainnya kami beralih menjadi paggae adalah semakin banyaknya aparat
yang turun ke lapangan tidak jarang nelayan tertangkap tangan saat melakukan
aktivitas pengeboman, beberapa tahun terakhir saat AKBP M. Hidayat menjadi
Kapolres Kabupaten Pangkep banyak nelayan pengebom ikan dan punggawa
ditangkap, saat itu petugas lapangan tidak bisa diajak kompromi bahkan bandar
besar skaligus pengedar berhasil ditangkap meskipun tetap bebas dalam kurun
waktu yang tidak terlalu lama.
“Tingginya jumlah upeti yang kami bayar saat bertemu dengan aparat juga
membuat kami berpikir panjang untuk berurusan dengan bahan peledak, pasalnya
saat menangkap ataupun tidak, saat ketemu atau dikunjungi, saat ada hasil
tangkapan ataupun tidak kami tetap harus memberikan uang”.
7. Rekomendasi
Upaya mengurangi dan menangkal praktik destructive fishing di dalam kawasan Taman
Wisata Perairan Kapoposang perlu dilakukan dengan cara pencegahan dan
penindakan bagi siapa saja yang berpotensi melakukan praktik ini. Pencegahan dan
penindakan praktik destructive fishing perlu dilakukan secara simultan sesuai dengan
indikasi kejadian dan lokasi. Berikut ini uraian tentang rekomendasi aksi tersebut yaitu
>
Gambar 10. Bahan baku bom ikan yang digunakan oleh nelayan gondong bali
Gambar 11. Salah satu makanan sampingan nelayan Pulau Gondong Bali ketika musim paceklik