Anda di halaman 1dari 293

PENNGELOLA AAN ZONA

A PEMANF FAATAN EKOSISTE


E EM
MAANGROVE E MELALUUI OPTIMMASI PEMAANFAATA AN
SU
UMBERDA AYA KEPIITING BA
AKAU (Scyllla serrata)
D TAMAN
DI N NASION
NAL KUTAAI PROVINNSI KALIMANTAN N TIMUR

NIR
RMALAS
SARI IDHA
A WIJAY
YA

SE
EKOLAH H PASCAS
SARJANA
A
INSSTITUT P
PERTANIA
AN BOGO
OR
BOGOR
2011
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI
DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Pengelolaan Zona


Pemanfaatan Ekosistem Mangrove melalui Optimasi Pemanfaatan Sumberdaya
Kepiting Bakau (Scylla serrata) di Taman Nasional Kutai Provinsi Kalimantan
Timur adalah hasil karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi
yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Januari 2011

Nirmalasari Idha Wijaya


NIM C262070071
ABSTRACT

NIRMALASARI IDHA WIJAYA. General Use Zone Governance by Optimizing of


Scylla serrata Utilization in Kutai National Park on East Kalimantan Province.
Under direction of FREDINAN YULIANDA, MENNOFATRIA BOER, and SRI
JUWANA.

Mud crab is one of the resources in Kutai National Park (Kutai NP)
mangrove ecosystem that can be utilized for the sylvofishery. This is an alternative
livelihood for local residents, that doesnt damage the forest to meet their necessity.
The objectives of this study were: 1) to identify bioecological status of crabs
resources in Kutai NP mangrove forest, 2) to review environmental carrying
capacity for sylvofishery of S. serrata in Kutai NPs mangrove ecosystem, and 3)
make recommendations of mangrove crabs management to ensure the sustainability
of its utilization and at the same time preserving the mangrove forest in the Kutai
NP. The data was collected since Oktober 2008 to June 2010. The S. serratas
bioecological status was analyzed by calculating the growth parameters and
prediction of the exploitation rate of S. serrata using FISAT II instrumen. The
carrying capacity of region was analyzed using Habitat Suitability Index (HSI)
method, and the analysis of management sustainability was done using dinamic
models. The results showed that there was a high interest from the public to cultivate
mud crabs with sylvofishery system. But the catching of S. serrata, to meet of the
mud crab seed, necessary to be regulated carefully. It was caused the factual
exploitation rate of the Muara Sangatta and Teluk Perancis was exceeds the rate of
allowed exploitation. The rate of exploitation was between 0.524-0.67/year.
However, exploitation in Muara Sangkima is still slightly below the allowed
exploitation. To reduce fishing pressure on S. serrata, sylvofishery cultivation needs
to be done. The cultivation make the growth coefficient (K) of S. serrata to be
higher, or the growth of crabs more faster than in wild live. HSI analysis showed the
highest carriying capacity in the Muara Sangatta region was 0.622 and capable to
supporting 490 of sylvofishery pen units. Based on the bioecological status of S.
serrata and the carrying capacity of the region, it is known that the Muara Sangatta
suitable for sylvofishery zone and Muara Sangkima according to fishing zone of S.
serrata. Dynamic model analysis shows that the optimistic scenario provides a more
optimal and sustainable resource in utilization of S. serrata.

Key words: Scylla serrata, mangrove, Kutai National Park, bioecology,


sylvofishery, zoning.
RINGKASAN

NIRMALASARI IDHA WIJAYA. Pengelolaan Zona Pemanfaatan Ekosistem


Mangrove melalui Optimasi Pemanfaatan Sumberdaya Kepiting Bakau (Scylla
serrata) di Taman Nasional Kutai Provinsi Kalimantan Timur. Di bawah bimbingan
FREDINAN YULIANDA, MENNOFATRIA BOER, dan SRI JUWANA.

Taman Nasional Kutai (TNK) memiliki 5 227 ha hutan mangrove di


sepanjang pesisir pantainya. Hampir 23% luas hutan mangrove ini mengalami
degradasi akibat konversi lahan dan pemanfaatan yang merusak. Untuk itu perlu
dicari konsep pengelolaan yang dapat mempertahankan kelestarian ekosistem
mangrove, namun juga mempertimbangkan keberlanjutan hidup masyarakat lokal.
Kepiting bakau merupakan salah satu sumberdaya yang terdapat dalam
ekosistem mangrove yang dapat dimanfaatkan untuk budidaya sylvofishery.
Pemanfaatan ini merupakan matapencaharian alternatif bagi penduduk lokal dalam
kawasan TNK agar dapat memenuhi kebutuhan hidupnya tanpa merusak hutan
mangrove. Penelitian ini bertujuan untuk 1) mengidentifikasi status bioekologi
sumberdaya S. serrata meliputi; sebaran ukuran, parameter pertumbuhan, pola
distribusi spasial dan temporal, serta laju eksploitasinya di hutan mangrove TNK; 2)
melakukan kajian daya dukung lingkungan bagi sumberdaya S. serrata di ekosistem
mangrove TNK; 3) membuat rekomendasi pengelolaan sumberdaya S. serrata di
kawasan konservasi mangrove TN Kutai.
Pengumpulan data biologi S. serrata diperoleh dari observasi terhadap
kepiting bakau yang dilakukan selama 8 bulan (4 bulan di musim hujan dan 4 bulan
di musim kemarau). Pengumpulan data seluruhnya dilakukan sejak Oktober 2008-
Juni 2010, pada lokasi tiga stasiun pengamatan yang dipilih sesuai karakteristik
habitat mangrove. Data biologi S. serrata dianalisis dengan metode analitik
menggunakan alat bantu FISAT-II. Daya dukung kawasan dianalisis menggunakan
pendekatan Habitat Suitability Index (HSI), dan keberlanjutan pengelolaan dianalisis
dengan menggunakan model dinamik dengan alat bantu Powersim Studio 2005.
Hasil penelitian tentang kondisi ekobiologi S. serrata menunjukkan bahwa
pola pertumbuhan S. serrata jantan di habitat mangrove TN Kutai bersifat allometrik
positif (pertambahan bobot lebih cepat dibanding pertambahan lebar karapasnya)
sedangkan S. serrata betina bersifat allometrik negatif. Koefisien pertumbuhan (K)
S. serrata berkisar antara 0.45-1.50. Koefisien pertumbuhan S. serrata di Muara
Sangatta lebih tinggi dibanding lokasi lainnya. Lebar karapas S. serrata di zona
tengah hutan mangrove, yang diperoleh dari hasil tangkapan alat pengait, 83.88%
berukuran lebih dari 100 mm, dengan frekuensi tangkapan tertinggi pada interval
109.5-129.5 mm dan ratio jantan:betina 1:0.47. Sebaran ukuran lebar karapas S.
serrata di zona pinggiran hutan mangrove, ukuran lebar karapas S. serrata pada
kelas ukuran kurang dari 100 mm mencapai 77.95%, dengan frekuensi tangkapan
tertinggi pada interval 78-89 mm, dan ratio jantan:betina 1:0.85. Sebaran ukuran
lebar karapas S. serrata di zona perairan laut, 42% merupakan kepiting yang
berukuran kurang dari 100 mm, dan sisanya sebesar 58% merupakan kepiting yang
berukuran lebih dari 100 mm, dan ratio jantan:betina 1:2.5. Kelimpahan individu
betina matang gonade mencapai puncak pada bulan Januari, Februari, dan Maret.
Diduga terjadi puncak kelimpahan yang kedua pada bulan Agustus dan September.
Berdasarkan kondisi biologi S. serrata yang diolah dengan metode analitik,
diketahui bahwa penangkapan S. serrata sudah berada di atas laju eksploitasi
maksimal, hanya di lokasi Muara Sangkima penangkapan kepiting jantan masih
sedikit di bawah eksploitasi maksimal yang diperbolehkan.
Hasil analisis HSI menunjukkan bahwa daya dukung di lokasi Muara
Sangatta tertinggi dibanding lokasi yang lain. Individu kepiting bakau yang dapat
didukung untuk budidaya sylvofishery yang berkelanjutan adalah sebanyak 244 862
ekor atau dapat dibudidayakan pada 490 unit kurungan tancap berukuran 10x20 m.
Rekomendasi pengelolaan yang dapat diberikan berdasarkan hasil analisis
bioekologi dan daya dukung adalah perlu kawasan mangrove TN Kutai perlu ditata
menggunakan konsep zonasi. Muara Sangatta adalah lokasi yang paling sesuai untuk
usaha budidaya sylvofishery dan Muara Sangkima untuk zona perikanan tangkap S.
serrata, sedangkan lokasi yang lain digunakan sebagai zona perlindungan.
Enam hal yang penting dipertimbangkan dalam pengelolaan perikanan
tangkap S. serrata adalah 1) Penutupan daerah penangkapan S. serrata, sesuai
zonasi yang telah ditentukan sebelumnya; 2) penutupan musim penangkapan S.
serrata. Pada lokasi Muara Sangatta kebijakan penutupan musim penangkapan pada
bulan Februari-Maret dan Juli-Agustus, sedangkan di Muara Sangkima penutupan
pada bulan Januari-April perlu dilakukan untuk mencegah tertangkapnya induk
betina yang matang gonade dan kepiting juvenil; 3) pengaturan jenis kelamin
tangkapan kepiting bakau, disarankan penangkapan kepiting bakau lebih diutamakan
menangkap kepiting dengan jenis kelamin jantan untuk menjaga keseimbangan rasio
kepiting jantan:betina di alam; 4) pembatasan alat tangkap kepiting bakau. Jenis alat
tangkap yang direkomendasikan untuk digunakan adalah jenis alat tangkap
bubu/rakkang. Ukuran bukaan mulut rakkang juga perlu diatur diameter ukurannya
agar lebih kecil dibanding lebar karapas kepiting bakau matang gonade; 5)
pemberlakuan kuota penangkapan kepiting bakau. Laju eksploitasi kepiting jantan
dan betina di Muara Sangatta dan Teluk Perancis, sudah melebihi ambang batas
maksimum, sehingga tidak boleh dilakukan penambahan upaya untuk penangkapan
S. serrata, baik berupa penambahan unit alat tangkap, frekuensi penangkapan,
maupun dari jumlah nelayannya. Penangkapan S. serrata di mangrove TN Kutai
tidak boleh melebihi dari angka kisaran 6 563 - 10 261 kg/tahun agar sumberdaya
kepiting bakau dapat berkelanjutan; 6) restoking S. serrata dapat dilakukan dengan
mengembalikan ke alam minimal sebesar 1% dari hasil panen budidaya
sylvofishery. Restoking kepiting betina diharapkan dapat menjaga ketersediaan stok
induk betina di alam.
Pengembangan budidaya sylvofishery S. serrata dapat dilakukan pada area
Muara Sungai Sangatta, dengan kapasitas sebanyak 490 unit karamba mangrove,
yang berukuran 10 x 20 m, dengan tingkat kepadatan benih 300-500 ekor/unit.
Sylvofishery terutama perlu dilakukan pada area mangrove yang telah rusak akibat
pembukaan tambak. Benih yang tersedia sesuai daya dukung lingkungan yang ada
sebanyak 31 363 ekor benih, kekurangan benih untuk budidaya dapat diperoleh dari
lokasi di luar mangrove TN Kutai.
Hasil simulasi terhadap model dinamik, menunjukkan bahwa skenario
optimistik menunjukkan kinerja model yang lebih berkelanjutan untuk pengelolaan
hutan mangrove di TN Kutai bila dilakukan dengan pendekatan optimasi
pemanfaatan sumberdaya Scylla serrata.

Kata kunci: Scylla serrata, mangrove, Taman Nasional Kutai, bioekologi,


sylvofishery, zonasi
Hak Cipta milik IPB, Tahun 2010
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumber. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,
penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu
masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
PENGELOLAAN ZONA PEMANFAATAN EKOSISTEM MANGROVE
MELALUI OPTIMASI PEMANFAATAN
SUMBERDAYA KEPITING BAKAU (Scylla serrata)
DI TAMAN NASIONAL KUTAI PROVINSI KALIMANTAN TIMUR

NIRMALASARI IDHA WIJAYA

Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor pada
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011
Penguji pada Ujian Tertutup : 1. Dr. Ir. Luky Adrianto, M.Sc.
2. Dr. Ir. Samedi, M.Sc.

Penguji pada Ujian Terbuka : 1. Dr. Irwandi Idris


2. Prof. Dr. Ir. Dietriech G. Bengen, DEA
Judul Disertasi : Pengelolaan Zona Pemanfaatan Ekosistem Mangrove
melalui Optimasi Pemanfaatan Sumberdaya Kepiting
Bakau (Scylla serrata) di Taman Nasional Kutai
Provinsi Kalimantan Timur

Nama : Nirmalasari Idha Wijaya

NRP : C262070071

Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc.


Ketua

Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA Prof (R). Dr. Sri Juwana.
Anggota Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Pengelolaan Dekan Sekolah Pascasarjana


Sumberdaya Pesisir dan Lautan

Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.Sc.

Tanggal Ujian : 3 Januari 2011 Tanggal Lulus:


PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-
Nya sehingga karya ilmiah Pengelolaan Zona Pemanfaatan Ekosistem Mangrove
melalui Optimasi Pemanfaatan Sumberdaya Kepiting Bakau (Scylla serrata) di
Taman Nasional Kutai Provinsi Kalimantan Timur ini dapat diselesaikan.
Penelitian ini dilakukan sebagai salah satu upaya untuk mengatasi
permasalahan degradasi mangrove di TNK melalui optimasi pemanfaatan
sumberdaya kepiting bakau (Scylla serrata). Kepiting bakau merupakan salah satu
sumberdaya yang terdapat dalam ekosistem mangrove yang dapat dimanfaatkan
untuk budidaya sylvofishery. Pemanfaatan ini merupakan salah satu bentuk
matapencaharian alternatif bagi penduduk lokal dalam kawasan TNK agar dapat
memenuhi kebutuhan hidupnya tanpa merusak hutan mangrove.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr.Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc selaku
Ketua Komisi Pembimbing, Prof.Dr.Ir. Mennofatria Boer, DEA dan Prof (R).Dr. Sri
Juwana selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah banyak memberi saran dan
bimbingan, juga kepada Dr.Ir. Luky Adrianto, M.Sc. dan Dr.Ir. Samedi, M.Sc.,
selaku Penguji Luar Komisi pada Ujian Tertutup, serta kepada Prof. Dr. Ir. Dietriech
G. Bengen, DEA dan Dr. Irwandi Idris selaku Penguji Luar Komisi pada Ujian
Terbuka, para dosen dan mahasiswa Program Studi Sumberdaya Pesisir dan Laut
yang telah memberikan masukan yang sangat berarti bagi perbaikan karya ini.
Ucapan terima kasih pula penulis sampaikan kepada Direktur Direktorat
Jenderal Pendidikan Tinggi yang telah memberikan beasiswa BPPS dan Ketua
Stiper Kutai Timur yang telah memberikan ijin tugas belajar dan Bupati Kutai
Timur yang telah memberikan bantuan stimulan dana penelitian. Secara khusus
ucapan terima kasih tak terhingga kepada suami dan anak-anak tercinta atas segala
doa, dukungan, kasih sayang, dan kesabaran menunggu selama proses penyelesaian
pendidikan doktor ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Desember 2010

Nirmalasari Idha Wijaya


RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 14 Januari 1973, merupakan anak


ketiga dari empat bersaudara pasangan Ayahanda Achyani dan Ibunda (Alm-ah) Sri
Muljati.
Pendidikan SD, SMP dan SMA penulis selesaikan di Pati, selanjutnya
pendidikan S1 ditempuh sejak tahun 1991 di Program Studi Perikanan pada Fakultas
Pertanian Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta dan lulus pada tahun 1996. Tahun
2005 penulis mengikuti pendidikan S2 pada Program Studi Pengelolaan
Sumberdaya Pesisir dan Lautan di Sekolah Pascasarjana IPB dengan beasiswa dari
BPPS Dikti dan lulus pada tahun 2007. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan
pendidikan S3 pada program studi yang sama, dan lulus pada tahun 2010.
Penulis pernah bekerja sebagai Sarjana Penggerak Pembangunan Agribisnis
(SP2AB) di Kab. Kutai Timur pada tahun 2001 dan kemudian menjadi Dosen
Kopertis XI wilayah Kalimantan diperbantukan di Sekolah Tinggi Pertanian
(STIPER) Kutai Timur sejak tahun 2001 sampai sekarang. Selama menjadi Dosen,
penulis pernah diangkat sebagai Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) Kabupaten
Kutai Timur sebagai utusan dari perguruan tinggi dari tahun 2003-2005.
Karya ilmiah berjudul Biologi Populasi Kepiting Bakau (Scylla serrata F.)
di Habitat Mangrove Taman Nasional Kutai Kabupaten Kutai Timur telah
diterbitkan dalam prosiding dan disajikan pada Seminar Internasional dalam rangka
Pertemuan Ilmiah Tahunan Ikatan Sarjana Oseanologi Indonesia (PIT-ISOI) ke VII
tahun 2010. Artikel tersebut juga akan diterbitkan pada jurnal Oseanologi dan
Limnologi di Indonesia, LIPI, Volume 36 Nomor 3 Bulan Desember 2010. Karya
ilmiah tersebut merupakan bagian dari disertasi penulis.
Hasil penelitian disertasi Pengelolaan Zona Pemanfaatan Ekosistem
Mangrove melalui Optimasi Pemanfaatan Sumberdaya Kepiting Bakau (Scylla
serrata) di Taman Nasional Kutai Provinsi Kalimantan Timur telah diseminarkan
pada Simposium HAPPI (Himpunan Ahli Pengelolaan Pesisir Indonesia) tanggal 18
Oktober 2010.
DAFTAR ISI
Halaman

DAFTAR TABEL ......................................... xv


DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... xvii
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... xix

1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ............................... 1
1.2 Perumusan Masalah ............................... 3
1.3 Tujuan Penelitian ....................................... 9
1.4 Hipotesis ..................................................................................................... 10
1.5 Kerangka Pendekatan Penelitian ............................................................... 10
1.6. Kebaruan Penelitian .................................................................................... 11

2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Biologi Kepiting Bakau ............................................................................. 15
2.1.1 Klasifikasi S. serrata......................................................................... 15
2.1.2 Morfologi S. serrata.......................................................................... 17
2.1.3 Daur hidup S. serrata......................................................................... 19
2.1.4 Karakter dewasa kelamin .................................................................. 21
2.1.5 Kepiting bakau sebagai hewan air (kehalalan kepiting bakau) ........ 25
2.2 Ekologi Habitat Mangrove .................................................................... 26
2.2.1 Karakteristik dan fungsi ekosistem mangrove ................................. 27
2.2.2 Keterkaitan antara kepiting bakau dengan mangrove....................... 28
2.2.3 Perkembangan budidaya sylvofishery kepiting bakau ..................... 29
2.2.4. Indeks Kesesuaian Habitat (Habitat Suitability Index/HSI) ........... 31
2.3 Sistem Dinamik dalam Pengelolaan Scylla serrata ................................... 33
2.3.1 Berpikir sistem (System Thinking) .................................................... 33
2.3.2 Umpan balik ..................................................................................... 34
2.3.3 Pemodelan dinamika sistem ............................................................. 37
2.4 Sejarah Taman Nasional ............................................................................. 41
2.5 Konsep Keterpaduan (Integrated Coastal Management/ICM) dan
Kolaboratif dalam Pengelolaan Mangrove Taman Nasional Kutai ........... 42
2.6 Pengelolaan Berbasis Ekosistem (Ecobased Management/EBM) ............. 47
2.7 Landasan Peraturan Perundangan Pemanfaatan Taman Nasional ............. 51
2.7.1 Undang-Undang No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi
Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya .................................. 51
2.7.2 Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan .......... 52
2.7.3 Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil ........................................................... 53
2.7.4 Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2007 Tentang Tata Hutan Dan
Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Serta Pemanfaatan
Hutan ................................................................................................ 54
2.7.5 Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 2007 tentang Konservasi
Sumberdaya Ikan .............................................................................. 55
2.7.6 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia
xii

Nomor Per.17/Men/2008 tentang Kawasan Konservasi di Wilayah


Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil .......................................................... 57
2.7.7 Peraturan Pemerintah No. 26 tahun 2008 tentang Rencana Tata
Ruang Wilayah Nasional .................................................................. 58
2.7.8 Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.56/Menhut-II/2006
Tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional ...................................... 59
2.7.9 Keputusan Menteri Kehutanan No.325/Kpts-II/1995 tentang
Penunjukkan Taman Nasional Kutai ................................................... 60

3 METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian.......................................................................... 61
3.2 Metode Penelitian .......................................................................................... 62
3.3 Analisis Sosial Ekonomi Masyarakat dan Kondisi Umum TNK................... 63
3.3.1 Jenis dan sumber data sosial ekonomi masyarakat ........................ 63
3.3.2 Metode pengumpulan data sosial ekonomi masyarakat ................ 63
3.3.3 Analisis data sosial ekonomi masyarakat ...................................... 64
3.4 Analisis Status Ekologi dan Daya Dukung Lingkungan .............................. 71
3.4.1 Pengumpulan dan analisis data vegetasi mangrove di TNK ......... 71
3.4.2 Pengumpulan dan analisis data produksi serasah mangrove ......... 73
3.4.3 Pengumpulan dan analisis data makrozoobenthos ........................ 73
3.4.4 Pengumpulan dan analisis data kualitas perairan ......................... 74
3.4.5 Analisis hubungan sebaran spasial kepiting bakau dengan
karakteristik vegetasi mangrove .................................................. 74
3.4.6 Penilaian Daya Dukung Lingkungan ............................................ 75
3.5 Analisis Status Biologi Scylla serrata .......................................................... 77
3.5.1 Pengumpulan dan analisis data biologi Scylla serrata .................. 77
3.5.2 Analisis hubungan panjang dan bobot ........................................... 77
3.5.3 Analisis data kelompok ukuran .................................................... 78
3.5.4 Analisis data parameter pertumbuhan ........................................... 79
3.5.5 Analisis pendugaan laju eksploitasi Scylla serrata ....................... 80
3.5.6 Analisis Yield per Rekrut Relatif (Y/R) dan Biomass per Rekrut
(B/R) ............................................................................................. 81
3.6 Identifikasi Sistem Pengelolaan Kepiting Bakau di TNK ............................ 83
3.6.1 Membangun Diagram Kausal dan Diagram Alir ........................... 84
3.6.2 Submodel Habitat Mangrove ......................................................... 84
3.6.3 Submodel Penangkapan Kepiting .................................................. 87
3.6.4 Submodel Budidaya Pembesaran .................................................. 89
3.6.5 Submodel Ekonomi ....................................................................... 90
3.6.6 Submodel Sosial ............................................................................ 90
3.7 Pemodelan dan Simulasi Sistem Pengelolaan S. serrata ............................... 91
3.8 Zonasi Pemanfaatan S. serrata di Kawasan Mangrove TNK ........................ 92
3.9 Simulasi dan Analisis Keberlanjutan Pengelolaan Sumberdaya Scylla
serrata di Kawasan Mangrove TNK ............................................................. 93

4 KONDISI UMUM TN KUTAI


4.1 Sejarah Kawasan TNK .............................................................................. 97
4.2 Letak Geografis dan Topografi TNK ........................................................ 98
4.3 Geologi dan Iklim ..................................................................................... 100
xiii

4.4 Sejarah Perambahan dan Pemukiman di TNK .......................................... 101


4.5 Permasalahan Pengelolaan TNK ............................................................... 101
4.5.1 Perambahan Hutan ......................................................................... 101
4.5.2 Illegal Logging ............................................................................. 102
4.6 Proses Enclave di TNK .............................................................................. 105
4.7 Kondisi Sosial Ekonomi Budaya Masyarakat Lokal di TNK .................... 109
4.7.1 Jenis Matapencaharian ................................................................... 110
4.7.2 Jumlah Penduduk .......................................................................... 111
4.7.3 Agama ........................................................................................... 111
4.7.4 Pendidikan .................................................................................... 112
4.7.5 Kesehatan ...................................................................................... 113
4.7.6 Aspek Kelembagaan ..................................................................... 114
4.8 Persepsi Masyarakat .................................................................................. 114
4.8.1 Pemahaman Masyarakat terhadap Pengelolaan Hutan Mangrove. 116
4.8.2 Persepsi Masyarakat terhadap Pemanfaatan S. serrata ................. 116
118
5 HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Bioekologi S. serrata dan Daya Dukung habitat mangrove TNK ............. 119
5.1.1 Ekologi habitat mangrove TNK .................................................... 119
5.1.2 Karakteristik habitat mangrove TNK ............................................ 129
5.1.3 Biologi S. serrata ........................................................................... 133
5.1.4 Daya Dukung Mangrove TNK bagi Budidaya S. serrata ............. 153
5.2 Kondisi Sosial Ekonomi Pemanfaatan S. serrata ...................................... 159
5.2.1 Permintaan S. serrata .................................................................... 159
5.2.2 Keragaan Perikanan Tangkap S. serrata di TNK .......................... 161
5.2.3 Keragaan Budidaya Pembesaran S.serrata di TNK ...................... 163
5.2.4 Analisis Usaha Budidaya Sylvofishery S. serrata ................................. 167
5.2.5 Analisis Usaha Perikanan Tangkap S. serrata ................................... 168
5.3 Pengelolaan Sumberdaya Scylla serrata di TNK ...................................... 169
5.3.1 Permasalahan Kebijakan Pengelolaan Habitat Mangrove TNK ... 169
5.3.2 Penentuan Zonasi Pemanfaatan Scylla serrata di Kawasan
Mangrove TNK.............................................................................. 175
5.3.3 Pengelolaan Perikanan Tangkap S. serrata ................................... 178
5.3.4 Pengembangan Budidaya Sylvofishery S. serrata ......................... 187
5.3.5 Model Pengelolaan Sumberdaya S. serrata di Mangrove TNK .... 189
5.3.6 Skenario Pengelolaan S. serrata di Habitat Mangrove TNK ........ 198
5.4 Analisis Keberlanjutan Pengelolaan Sylvofishery Kepiting Bakau di
Kawasan Mangrove TNK .......................................................................... 206
5.5 Rekomendasi Penatakelolaan Kawasan Mangrove di TNK ...................... 214

6 SIMPULAN DAN SARAN


6.1 Simpulan ................................................................................................... 217
6.2 Saran ......................................................................................................... 218

DAFTAR PUSTAKA 219


LAMPIRAN 231
xiv

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Karakteristik kepiting bakau (Scylla spp.) menurut Keenan


(1998) ........................................................................................... 15
2. Hasil tata batas di TNK ............................................................... 60
3. Kriteria kesesuaian zonasi pemanfaatan Scylla serrata ............... 93
4. Sejarah kawasan TNK .................................................................. 97
5. Deskripsi penutupan lahan TNK .................................................. 98
6. Deskripsi penutupan lahan hasil interpretasi citra Terra-Aster
2005 .............................................................................................. 99
7. Luas perambahan hutan di TNK sepanjang jalan Bontang-
Sangatta (1999-2001) ................................................................... 102
8. Hasil pengamanan hutan tahun 2005............................................ 104
9. Rencana dan realisasi tata batas di areal rencana enclave ........... 106
10. Jumlah pemeluk agama dan tempat ibadah di desa definitif
dalam TNK.................................................................................... 112
11. Sarana kesehatan di desa definitif dalam TNK............................. 114
12. Pemahaman masyarakat terhadap pengelolaan mangrove ........... 117
13. Tingkat pemahaman masyarakat mengenai pemanfaatan sumber
daya S. serrata .............................................................................. 118
14. Indeks Nilai Penting (INP) dari vegetasi di Muara Sangatta ....... 119
15. Indeks Nilai Penting (INP) dari vegetasi Pohon di Teluk
Perancis ........................................................................................ 120
16. Indeks Nilai Penting (INP) dari vegetasi anakan pohon
diamater 2 10 cm di Teluk Perancis ......................................... 121
17. Indeks Nilai Penting (INP) dari vegetasi pohon di Muara
Sangkima ..................................................................................... 122
18. Indeks Nilai Penting (INP) dari vegetasi anakan pohon
diamater 2 10 cm di Muara Sangkima .................................... 122
19. Hubungan lebar karapas dan bobot kepiting S. serrata ............... 134
20. Parameter pertumbuhan S. serrata di habitat mangrove TNK .... 140
21. Mortalitas dan laju eksploitasi Scylla serrata di habitat
mangrove TNK ............................................................................ 141
22. Jumlah individu S. serrata hasil tangkapan alat rakkang, rengge,
dan pengait ................................................................................... 144
23. Sebaran ukuran induk betina matang gonade TKG IV ................ 149
24. Nilai kesesuaian variabel lingkungan habitat mangrove
TNKuntuk kepiting bakau ............................................................ 155
25. Daya dukung mangrove TNK untuk unit budidaya ..................... 157
26. Volume pengiriman kepiting bakau hidup tahun 2006-2008 ....... 159
27. Keragaan kurungan tancap pembesaran kepiting bakau dalam
mangrove ...................................................................................... 165
28. Nilai dugaan parameter pada model pengelolaan sumberdaya S.
serrata di habitat mangrove TNK ............................................... 191
29. Keterkaitan antar parameter dan kondisi (state) untuk skenario
kebijakan ...................................................................................... 203
xv

Nomor Halaman
30. Skenario dan kombinasi antar faktor dan kondisi ........................ 203
31. Skor atribut dari empat dimensi pengelolaan sylvofishery
kepiting bakau di TNK ................................................................. 207
xvi

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Kerangka pendekatan penelitian ................................................. 14


2. Kepiting betina dan kepiting jantan ............................................ 17
3. Morfologi Scylla serrata ............................................................. 18
4. Diagram siklus hidup kepiting bakau ......................................... 21
5. Tahapan dalam menyusun HSI (AED 2008) .............................. 32
6. Pola pertumbuhan eksponensial struktur sistem ......................... 35
7. Pola perilaku mencari tujuan struktur sistem .............................. 36
8. Pola bergelombang struktur sistem ............................................. 36
9. Pola perilaku batas pertumbuhan struktur sistem ....................... 37
10. Dasar metodologi dinamika sistem (Sushil 1993) ...................... 38
11. Pemodelan dinamika sistem (Sterman 2000) ............................. 41
12. Peta lokasi penelitian .................................................................. 61
13. Bagan alir penentuan jumlah dan jenis responden ....................... 65
14. Sketsa sylvofishery pembesaran kepiting bakau .......................... 67
15. Sebaran lokasi alat tangkap kepiting bakau di kawasan
mangrove TNK ............................................................................ 68
16. Skema penempatan petak contoh ................................................ 72
17. Hubungan antara variabel habitat dengan kebutuhan hidup
untuk HSI kepiting bakau Scylla serrata .................................... 76
18. Diagram kausal model konseptual pemanfaatan kepiting bakau
di kawasan mangrove TNK ......................................................... 86
19. Diagram kausal submodel habitat mangrove .............................. 87
20. Diagram kausal submodel penangkapan kepiting bakau ............ 88
21. Diagram kausal submodel budidaya pembesaran kepiting bakau 89
22. Diagram kausal submodel ekonomi ............................................. 90
23. Diagram kausal submodel sosial ................................................. 91
24. Alur tahapan pemodelan pengelolaan Scylla serrata .................. 91
25. Peta perambahan hutan di TNK ................................................... 105
26. Jumlah penduduk sesuai jenis mata pencaharian ........................ 110
27. Jumlah penduduk di lima desa definitif dalam TNK ................... 111
28. Sarana pendidikan di desa definitif dalam TNK .......................... 112
29. Tingkat pendidikan masyarakat di desa definitif dalam TNK ..... 113
30. Kelimpahan makrozoobenthos di habitat mangrove TNK .......... 124
31. Grafik nilai rata-rata produksi serasah di habitat mangrove TNK 125
32. Grafik Analisis Komponen Utama keterkaitan karakteristik
habitat biofisik kimia perairan dan kelimpahan S. serrata bulan
Juli ............................................................................................. 130
33. Distribusi lebar karapas S. serrata di beberapa zona hutan
mangrove .................................................................................... 145
34. Sebaran induk betina matang gonade TKG IV ......................... 150
35. Jenis alat tangkap kepiting yang digunakan di habitat
mangrove TNK ......................................................................... 161
36. Wadah pemeliharaan budidaya pembesaran kepiting bakau di
TNK .......................................................................................... 163
xvii

Nomor Halaman
37. Grafik pertumbuhan kepiting bakau sylvofishery ...................... 166
38. Peta zonasi pemanfaatan hutan mangrove ................................. 177
39. Zona Terbuka dan Tertutup bagi Penangkapan Scylla serrata di
Kawasan Mangrove TNK ............................................................ 181
40. Dinamika RPUEj, kelimpahan TKG IV S. serrata, dan hasil
tangkapan S. serrata pada Tahun 2009 ........................................ 183
41. Ratio jantan betina pada tiga zona hutan mangrove TNK ........... 185
42. Diagram alir stok (SFD) model pengelolaan S. serrata di habitat
mangrove TNK ............................................................................ 191
43. Diagram alir stok (SFD) submodel habitat mangrove ................. 193
44. Diagram alir stok submodel penangkapan S. serrata ................. 195
45. Diagram alir stok submodel budidaya sylvofishery ................... 196
46. Diagram alir stok submodel ekonomi pada pemanfaatan S.
serrata .......................................................................................... 197
47. Diagram alir stok submodel sosial pada pemanfaatan S. serrata 198
48. Hasil simulasi skenario dasar pengelolaan S. serrata di TNK ..... 199
49. Perbandingan luas mangrove saat parameter kunci dinaikkan
10% .............................................................................................. 201
50. Perbandingan luas mangrove saat parameter kunci diturunkan
10% ............................................................................................. 201
51. Grafik hasil simulasi skenario pesimistik .................................... 204
52. Grafik hasil simulasi skenario moderat ...................................... 205
53. Grafik hasil simulasi skenario optimistik ................................... 206
54. Diagram layang-layang pengelolaan sylvofishery di kawasan
mangrove TNK ............................................................................ 209
55. Peran masing-masing atribut dimensi ekologi pada
keberlanjutan pengelolaan sylvofishery dinyatakan dalam
bentuk nilai RMS (Root Mean Square) ........................................ 210
56. Peran masing-masing atribut dimensi ekonomi pada
keberlanjutan pengelolaan sylvofishery dinyatakan dalam
bentuk nilai RMS (Root Mean Square) ........................................ 211
57. Peran masing-masing atribut dimensi sosial pada keberlanjutan
pengelolaan sylvofishery dinyatakan dalam bentuk nilai RMS
(Root Mean Square) ..................................................................... 213
58. Peran masing-masing atribut dimensi kelembagaan pada
keberlanjutan pengelolaan sylvofishery dinyatakan dalam
bentuk nilai RMS (Root Mean Square) ........................................ 214
xviii

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Distribusi Kelompok Ukuran Scylla serrata Jantan Muara


Sangkima ...................................................................................... 231
2. Distribusi Kelompok Ukuran Scylla serrata Betina Muara
Sangkima ..................................................................................... 232
3. Distribusi Kelompok Ukuran Scylla serrata Jantan Muara
Sangatta ........................................................................................ 233
4. Distribusi Kelompok Ukuran Scylla serrata Betina Muara
Sangatta ....................................................................................... 234
5. Distribusi Kelompok Ukuran Scylla serrata Jantan Teluk
Perancis ....................................................................................... 235
6. Distribusi Kelompok Ukuran Scylla serrata Betina Teluk
Perancis ........................................................................................ 236
7. Hubungan Panjang Bobot Scylla serrata Muara Sangatta .......... 237
8. Hubungan Panjang Bobot Scylla serrata Teluk Perancis ............ 238
9. Hubungan Panjang Bobot Scylla serrata Muara Sangkima ....... 239
10. Hubungan Panjang Bobot Scylla serrata Budidaya Sylvofishery 240
11. Analisis Laju Mortalitas Dan Laju Eksploitasi Scylla serrata
Jantan Muara Sangatta ................................................................. 241
12. Analisis Laju Mortalitas dan Laju Eksploitasi Scylla serrata
Betina Muara Sangatta ................................................................ 243
13. Analisis Laju Mortalitas dan Laju Eksploitasi Scylla serrata
Jantan Teluk Perancis ................................................................... 245
14. Analisis Laju Mortalitas dan Laju Eksploitasi Scylla serrata
Betina Teluk Perancis ................................................................. 247
15. Analisis Laju Mortalitas dan Laju Eksploitasi Scylla serrata
Jantan Muara Sangkima ............................................................... 249
16. Analisis Laju Mortalitas dan Laju Eksploitasi Scylla serrata
Betina Muara Sangkima ............................................................... 251
17. Parameter Pertumbuhan pada Budidaya Sylvofishery ................. 253
18. Asumsi-asumsi untuk HSI .......................................................... 254
19. Skor Suitability Index untuk HSI ................................................ 255
20. Hasil Analisis PCA Juli ............................................................... 260
21. Hasil Analisis PCA Desember ..................................................... 263
22. Analisis Makrozoobenthos .......................................................... 263
23. Data Fisik Kimia Perairan ........................................................... 264
24. Rincian Anggaran Biaya Budidaya Sylvofishery S. serrata ....... 265
25. Cash Flow Analisis kelayakan Usaha Budidaya Sylvofishery S.
serrata (200 m) .......................................................................... 273
26. Analisis Pendapatan Nelayan ...................................................... 272
27. Karakteristik Responden ............................................................. 273
28. Indeks Nilai Penting Vegetasi Mangrove .................................... 274
1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kepiting bakau (Scylla serrata) adalah jenis kepiting yang hidup di habitat
mangrove/hutan bakau. Scylla serrata merupakan komoditas ekspor disamping
rajungan (Portunus pelagicus). Bila rajungan mempunyai nilai ekonomis penting
sebagai daging dalam kaleng atau dalam keadaan beku, maka kepiting bakau
dapat dipasarkan dalam keadaan hidup karena lebih tahan hidup di luar air
(Juwana 2004).
Ada dua spesies dari kelompok Scylla sp yang ditemukan di Indonesia,
yaitu yang berwarna hijau kemerahan/kecoklatan dan hijau keabu-abuan. Jenis ini
adalah S. serrata dan S. serrata var. paramamosain (Moosa et al. dalam Cholik &
Hanafi 1991). Berikutnya ditemukan spesies Scylla yang lain, yaitu S.
tranquebarica dan S. olivacea. Namun, studi morfometri dan allozyme yang
digunakan untuk menyatakan spesiasi dalam genus (Fuseya & Watanabe; Overton
et al.; Sugama & Hutapea; dalam LeVay 2001) merevisi genus Scylla menjadi
empat jenis, S. serrata, S. tranquebarica, S. olivacea dan S. paramamosain,
berdasarkan allozyme elektroforesis, DNA mitokondria sekuensing dan analisis
morfometri (Keenan et al. 1998).
Scylla serrata adalah spesies kepiting bakau yang dominan di Indonesia.
Diperkirakan sekitar 80% dari total pendaratan kepiting bakau adalah dari spesies
ini (Cholik & Hanafi 1991). Perikanan kepiting di Indonesia diharapkan dapat
terus tumbuh di masa yang akan datang karena beberapa alasan, yaitu: adanya
peningkatan permintaan pada komoditas ini yang diindikasikan dengan
peningkatan harga di pasar lokal maupun internasional; sumberdaya perikanan
mendukung spesies ini baik untuk penangkapan dari alam maupun budidaya;
pengetahuan dan pengalaman teknik budidaya kepiting semakin berkembang
(Cholik & Hanafi 1991).
Kepiting banyak diminati karena daging kepiting tidak saja lezat, tetapi
juga menyehatkan. Daging kepiting mengandung nutrisi penting bagi kesehatan.
Meskipun mengandung kolesterol, makanan ini rendah kandungan lemak jenuh
dan merupakan sumber Niacin, Folate, dan Potassium. Selain itu juga merupakan
sumber protein, Vitamin B12, Phosphorous, Zinc, Copper, dan Selenium.
Selenium diyakini berperan dalam mencegah kanker dan perusakan kromosom,
juga meningkatkan daya tahan terhadap infeksi virus dan bakteri. Fisheries
Research and Development Corporation di Australia melaporkan bahwa dalam
100 gram daging kepiting bakau mengandung 22 mg Omega-3 (EPA), 58 mg
Omega-3 (DHA), dan 15 mg Omega-6 (AA) yang penting untuk pertumbuhan dan
kecerdasan anak (Muskar 2007).
Bukan hanya daging kepiting yang mempunyai nilai komersil, kulitnya
pun mempunyai nilai ekonomis tinggi. Kulit kepiting diekspor dalam bentuk
kering sebagai sumber chitin, chitosan dan karotenoid yang dimanfaatkan oleh
berbagai industri sebagai bahan baku obat, kosmetik, pangan, dan lain-lain.
Bahan-bahan tersebut memegang peran sebagai antivirus dan antibakteri dan juga
digunakan sebagai obat untuk meringankan dan mengobati luka bakar, selain
dapat digunakan sebagai pengawet makanan yang murah dan aman (Muskar
2007).
Kepiting bakau telah menjadi komoditas perikanan penting di Indonesia
sejak awal tahun 1980-an. Perikanan kepiting bakau di Indonesia diperoleh dari
penangkapan stok alam di perairan pesisir, khususnya di area mangrove atau
estuaria, dan dari hasil budidaya di tambak air payau. Akhir-akhir ini, dengan
semakin meningkatnya nilai ekonomi perikanan kepiting, penangkapan kepiting
bakau juga semakin meningkat (Cholik 1999).
Namun bersamaan dengan itu, rata-rata pertumbuhan produksi kepiting
bakau di beberapa provinsi penghasil utama kepiting bakau justru agak lambat
dan cenderung menurun (Cholik 1999). Kasry (1996) menyatakan bahwa di
banyak tempat di pulau Jawa, nelayan kepiting bakau sudah mulai kesulitan
memperoleh hasil tangkapan. Kepiting bakau yang bernilai sebagai sumber
makanan dan pendapatan di Kosrae, Negara Bagian Micronesia, juga mengalami
deplesi pada kelimpahan dan ukuran, akibat tekanan penangkapan yang
dipengaruhi oleh distribusi penduduk dan lokasi usaha perikanan komersial
(Bonine et al. 2008). Penurunan populasi kepiting bakau di alam diduga
disebabkan oleh degradasi ekosistem mangrove dan kelebihan tangkap (over
exploitation) (Siahainenia 2008).
Populasi kepiting bakau secara khas berasosiasi dengan hutan mangrove
yang masih baik, sehingga hilangnya habitat akan memberikan dampak yang
serius pada populasi kepiting. Keberlanjutan pengembangan budidaya kepiting
sangat memerlukan integrasi antara perikanan dengan pengelolaan mangrove.
Status ekologi kepiting bakau yang berhubungan dengan biologi populasi dan
pengelolaannya perlu dipahami untuk mendukung pengembangan dari perikanan
dan budidaya kepiting bakau yang berkelanjutan (LeVay 2001).
Penelitian mengenai status bioekologi kepiting diperlukan untuk
mengetahui status kepiting ini di alam, agar dapat dikelola dengan benar dan
pemanfaatannya dapat berkelanjutan.

1.2 Perumusan Masalah


Hutan mangrove di kawasan TNK merupakan salah satu habitat kepiting
di Kabupaten Kutai Timur. Kawasan Pelestarian Alam Taman Nasional Kutai
(TNK) terletak pada tiga wilayah administrasi Daerah Tingkat II, yaitu Kabupaten
Kutai Timur ( 80%), Kabupaten Kutai Kartanegara ( 17,48%), dan Kota
Administratif Bontang ( 2,52%). Kawasan konservasi TNK memiliki hutan
mangrove seluas 5 131.55 ha, yaitu 1-2 km dari tepi pantai ke arah daratan yang
didominasi oleh jenis Rhizophora dan Bruguiera (TNK 2005).
UU RI No. 5 Tahun 1990 mendefinisikan taman nasional sebagai
Kawasan Pelestarian Alam (KPA) yang mempunyai ekosistem asli, dikelola
dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu
pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 68/1998 kawasan konservasi tersebut
terdiri dari kawasan pelestarian alam/KPA (taman nasional, taman hutan raya
dan taman wisata alam), kawasan suaka alam/KSA (suaka margasatwa dan cagar
alam) dan taman buru. Taman nasional termasuk dalam kelompok kawasan
pelestarian alam (KPA). Definisi kawasan pelestarian alam dalam UU RI No. 5
Tahun1990 adalah kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di darat maupun di
perairan yang mempunyai fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan,
pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara
lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Berdasarkan definisi ini, dapat
dipahami bahwa pengelolaan taman nasional memungkinkan adanya pemanfaatan
secara lestari terhadap sumberdaya di dalam kawasan.
Kategori II dalam IUCN menyatakan Taman Nasional sebagai kawasan
lindung yang dikelola terutama untuk perlindungan ekosistem dan rekreasi.
Definisi taman nasional menurut kategori II IUCN adalah area alam daratan
dan/atau laut, yang ditunjuk untuk (a) melindungi integritas ekologis dari satu atau
lebih ekosistem untuk generasi sekarang dan mendatang, (b) meniadakan
eksploitasi atau kegiatan yang bertentangan dengan tujuan penunjukan kawasan
dan (c) memberikan landasan bagi spiritual, ilmiah, pendidikan, rekreasi dan
kesempatan pengunjung, yang semuanya harus menjamin lingkungan dan budaya
yang kompatibel.
Umumnya kawasan konservasi alam di Indonesia berada di bawah rejim
properti milik publik (common property regimes) yang dikuasai negara (state-
property). Dalam banyak kasus seringkali terjadi pertikaian antara pemerintah
dengan masyarakat lokal atau masyarakat adat. Secara khusus, walaupun
kawasan secara de jure dikontrol oleh pemerintah, tetapi secara de facto di
beberapa lokasi dikontrol oleh penduduk lokal atau pelaku bisnis lokal yang
mengeksploitasi wilayah kawasan secara terorganisasi. Itu ditandai dengan
maraknya penebangan liar dan perburuan liar pada beberapa kawasan
konservasi. Ketika kontrol pemerintah dan komunitas lokal tidak berjalan
efektif atau tidak ada sama sekali di lapangan, maka wilayah kawasan konservasi
menjadi open access. Kondisi ini merupakan ekspresi dari 'tragedy of the
commons' yang dikuatirkan Hardin penggagasnya, yaitu musnahnya sumber daya
(PHKA-Dephut et al. 2002).
Selain itu konflik juga muncul, karena konsep model pengelolaan
kawasan konservasi, khususnya taman nasional di negara-negara selatan,
termasuk Indonesia mengadopsi konsep Amerika Serikat yang bersifat
pengelolaan eksklusif yang secara tegas memisahkan antara kepentingan
kawasan konservasi dengan keinginan masyarakat lokal dalam mengelola
kawasan konservasi. Sehingga kuat sekali dominasi negara atau pihak swasta
dalam mengelola kawasan konservasi. Model pengelolaan inklusif yang
dikembangkan oleh negara-negara Eropa Barat belum terpakai di Indonesia.
Pada model ini keinginan masyarakat lokal dan administrasi setempat
dilibatkan dalam pengelolaan kawasan konservasi. Kedua model ini masing-
masing memiliki kelebihan masing-masing, pengelolaan eksklusif sukses
melindungi hidupan liar dan keindahan panorama, walaupun tanpa pelibatan
masyarakat lokal. Sedangkan pengelolaan inklusif berhasil memasukan
peranan masyarakat lokal dalam aras pengelolaan kawasan konservasi
(Borrini-Feyerabend et al. dalam PHKA-Dephut et al. 2002).
Transformasi pola pengelolaan sumber daya alam oleh negara, swasta, dan
kemudian kolaborasi antara pemerintah dengan masyarakat lokal agaknya
merupakan tuntutan universal, yang berlaku bukan cuma di Indonesia. Di India
telah terjadi empat tahap evolusi pola pengelolaan sumber daya alam,
khususnya hutan, dari kolonialisme, komersialisme, konservasi, dan saat ini
kolaborasi. Sedangkan di Nepal terjadi evolusi: privatisasi, nasionalisasi,
dan populisme. Bahkan pergeseran juga terjadi di beberapa negara-negara
bagian Amerika Serikat tempat asal muasal 'pengelolaan eksklusif kawasan
konservasi telah mulai bergeser menuju pengelolaan kolaboratif (PHKA-
Dephut et al. 2002).
Di Indonesia sendiri, mulai terjadi pergeseran paradigma pengelolaan
kawasan konservasi di kawasan pesisir. Beberapa kawasan konservasi pesisir saat
ini mulai dikelola secara kolaboratif, dengan pembentukan DPL (Daerah
Perlindungan Laut) yang dikelola oleh masyarakat, sebagai contohnya antara lain
Taman Nasional Kepulauan Togean (TNKT).
Pengelolaan TNKT dikembangkan suatu sistem pengelolaan yang
kolaboratif mengacu pada Keputusan Menteri Kehutanan No. P.19/Menhut-
II/2004 (tentang Kolaborasi Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan
Pelestarian Alam), dengan mengakomodir konsep DPL Berbasis Masyarakat yang
telah berjalan dengan baik di kawasan Togean, yaitu DPL Kabalutan dan DPL
Teluk Kilat. Kawasan TNKT tidak berbentuk kawasan yang tertutup sepenuhnya
untuk aktivitas pemanfaatan, namun berupa area yang menjadi zona inti dengan
zona penyangga di sekitarnya, dimana di zona penyangga tersebut masyarakat
lokal secara terbatas dapat memanfaatkan sumberdaya yang ada (Zamani et al.
2007).
Peran serta masyarakat yang meluas dan tidak sekadar simbolik
ternyata menunjukkan hasil yang baik: produktifitas tercapai tanpa
menyampingkan kepentingan kelestarian lingkungan dan eksistensi masyarakat
lokal. Pemerintah di negara India dan Nepal, berkeyakinan bahwa masyarakat
lokal berkemampuan, memiliki pengetahuan, dan kearifan yang handal untuk
mengelola sumber daya alam secara produktif dan lestari. Kolaborasi dengan
masyarakat lokal merupakan kebutuhan dan keharusan, karena tujuan produksi
dan pelestarian dapat dicapai secara lebih efektif dan pada saat yang sama
tercipta suatu mekanisme resolusi konflik yang interaktif dan dialogis (PHKA-
Dephut et al. 2002).
Di dalam kawasan mangrove TNK saat ini telah berdiri 4 desa definitif
berdasarkan SK Gurbernur Kalimantan Timur No. 06 Tahun 1997 tanggal 30
April 1997 tentang Penetapan desa definitif di dalam TNK, yaitu Teluk Pandan,
Sangkima dan Sangatta Selatan; dan SK. No. 410.44/ K.452/1999 tentang
pemekaran Desa Sangatta Selatan menjadi Singa Geweh dan Sangatta Selatan.
Sehingga muncul wacana dari pemerintah daerah untuk meng-enclave hutan
mangrove tersebut agar dikeluarkan dari kawasan taman nasional dan digunakan
untuk pemanfaatan lain.
Hutan dan masyarakat di sekitarnya memiliki hubungan yang sangat erat
dan merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Kondisi demikian
terjadi pula pada masyarakat yang mendiami daerah sekitar hutan mangrove yang
merupakan bagian dari kawasan TNK. Masyarakat banyak memanfaatkan sumber
daya alam yang ada pada ekosistem mangrove untuk memenuhi kebutuhan hidup
mereka sehari-hari. Kegiatan pemanfaatan yang dilakukan oleh masyarakat
diantaranya adalah: mencari ikan, kerang, dan kepiting baik untuk dikonsumsi
sendiri ataupun dijual; pemanfaatan daun nipah sebagai bahan atap atau ketupat;
pemanfaatan nira nipah menjadi gula/arak; pemanfaatan buah nipah sebagai
campuran es buah atau dimakan segar; pemanfaatan kayu bakau sebagai kayu
bakar, jembatan, tiang bagang, tiang penambat perahu; pemanfaatan buah rambai
laut (Sonneratia alba) sebagai campuran sayuran; dan pemanfaatan ekosistem
mangrove menjadi tambak. Akibatnya tingkat kerusakan ekosistem mangrove di
kawasan TNK menjadi semakin luas.
Pada saat ini, sebagian masyarakat yang tinggal di sekitar TNK masih
memanfaatkan hutan mangrove untuk memenuhi kebutuhannya dengan cara yang
merusak, seperti membuka mangrove untuk tambak atau menebang pohon
mangrove untuk diambil kayunya. Sesuai data dasar TNK (2005), luas hutan
mangrove di kawasan Taman Nasional Kutai Timur sekitar 5 131.55 ha (2,58 %
total luas TNK). Saat ini luas mangrove yang sudah dikonversi menjadi lahan
terbuka seluas 1 361.34 ha (26.53 % total luas mangrove), yaitu untuk tambak
155.81 ha (3.04 %) dan menjadi lahan terbuka lain seluas 1 205.53 ha (23.49 %).
Formasi mangrove yang masih utuh terdapat di Desa Teluk Pandan hingga Teluk
Kaba, sedangkan di pesisir Desa Sangatta Selatan sangat rentan terhadap
degradasi.
Untuk meminimalisasi rusaknya ekosistem mangrove diperlukan
pengembangan model pengelolaan mangrove yang melibatkan masyarakat dalam
kawasan tersebut, karena keberadaan masyarakat sekitar hutan mangrove sangat
berpengaruh terhadap kelestarian ekosistem hutan mangrove. Sehingga diperlukan
adanya suatu model pengelolaan kolaboratif yang dapat mendistribusikan
tanggung jawab dan wewenang antara pemerintah dan masyarakat lokal dalam
mengelola pemanfaatan hutan mangrove, terutama hutan mangrove dalam
kawasan konservasi.
Penelitian ini penting untuk memberikan masukan rekomendasi kebijakan
atau perubahan legislasi mengenai pengelolaan kolaboratif yang berbasis ilmiah
sehingga walaupun pemanfaatan sumberdaya alam bakau dapat dilakukan namun
tujuan utama pengelolaan taman nasional untuk konservasi keanekaragaman
hayati tetap dapat dipertahankan.
Kepiting bakau merupakan salah satu sumberdaya di hutan mangrove yang
dapat dimanfaatkan oleh penduduk untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Ada
dua tipe pemanfaatan kepiting bakau dari alam, yaitu penangkapan kepiting bakau
dewasa (ukuran lebih dari 300 gram) untuk konsumsi dan penangkapan kepiting
bakau muda (ukuran 100 gram) untuk benih dalam pembesaran kepiting.
Potensi kepiting bakau di habitat mangrove TNK, yang diduga masih
besar, dapat dijadikan alternatif mata pencaharian bagi penduduk lokal, agar tidak
merusak hutan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Pemanfaatan sumberdaya
kepiting bakau, bila dioptimalkan dengan memperhatikan daya dukung
sumberdaya yang ada, maka diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan
masyarakat, dan di sisi lain keutuhan habitat hutan mangrove akan tetap terjaga.
Pemanfaatan lestari kepiting bakau dengan model pengelolaan kolaboratif
berpotensi menurunkan kerusakan hutan bakau minimal sebesar 700 ha, yaitu
seluas kerusakan mangrove yang terjadi akibat pembukaan hutan mangrove untuk
tambak. Budidaya tambak yang dilakukan di TNK selama ini belum menunjukkan
produksi maupun nilai keuntungan yang cukup seimbang dibandingkan kerugian
yang diperoleh akibat kerusakan mangrove. Penurunan luas kerusakan mangrove
diharapkan terjadi dengan mengalihkan pemanfaatan mangrove dari pembukaan
tambak menjadi sylvofishery kepiting bakau.
Hutan mangrove merupakan habitat utama bagi S. serrata. Dengan rusak
dan hilangnya habitat dasar serta fungsi utama ekosistem mangrove maka akan
menghilangkan habitat alami dari S. serrata yang pada akhirnya menurunkan
jumlah populasi salah satu jenis krustasea yang bernilai ekonomi tinggi ini.
Seperti yang diduga Siahainenia (2008) telah terjadi di perairan mangrove
Kabupaten Subang. Penurunan populasi S. serrata selain disebabkan
penangkapan (eksploitasi) secara berlebihan oleh nelayan juga disebabkan
hilangnya habitat alami (kerusakan ekosistem mangrove), sehingga
menghilangkan kesempatan bagi S. serrata untuk berkembang dan tumbuh
dengan baik.
Dua tipe pemanfaatan kepiting bakau, yaitu penangkapan dan budidaya,
perlu dipertahankan untuk menyediakan lapangan kerja dan pendapatan nelayan
lokal dan pembudidaya. Walaupun demikian, kedua kegiatan ini harus diterapkan
secara bertanggung jawab dan berdasarkan pada prinsip kehati-hatian untuk
tujuan keberlanjutan usaha perikanan dan sumberdayanya (Cholik 1999).
Pemanfaatan sumberdaya kepiting, baik secara penangkapan atau pun melalui
budidaya pembesaran kepiting, pada dasarnya dilakukan dengan menangkap
kepiting dari alam. Oleh karena itu, bila tidak dikelola dengan benar, maka
dikhawatirkan pada suatu saat akan terjadi penurunan hasil tangkapan, hingga
habisnya stok kepiting di alam.
Perikanan tangkap kepiting bakau dapat ditingkatkan melalui perbaikan
habitat dan restoking (Cholik 1999), sedangkan budidaya kepiting bakau dapat
dilakukan di tambak air payau atau di kurungan tancap di dalam area mangrove
(Ikhwanuddin & Oakley 1999). Namun menurut Genodepa (1999), sistem tambak
tidak mengkonservasi dan mengelola lingkungan alami kepiting bakau, karena
tambak dikembangkan dengan membuka bersih area bakau, yang merupakan
habitat alami kepiting bakau. Sedangkan sistem kurungan tancap lebih bersifat
ramah lingkungan karena tidak mengkonversi mangrove dan mengijinkan kepiting
hidup dalam lingkungan alaminya (Ikhwanuddin & Oakley 1999; Genodepa 1999;
Johnston & Keenan 1999). Beberapa teknologi yang mendukung kegiatan
budidaya kepiting bakau, yaitu: pembenihan, pembesaran, penggemukan,
produksi kepiting bertelur, dan produksi kepiting lunak/soka.
Berdasarkan kondisi-kondisi tersebut, maka beberapa pertanyaan yang
muncul adalah:
1. Pada area hutan mangrove bagian mana saja di TNK yang dapat
dimanfaatkan sumberdaya kepitingnya untuk suatu pemanfaatan yang
berkelanjutan?
2. Apakah sumberdaya kepiting di TNK sudah mengalami penurunan saat ini
dibandingkan waktu yang lalu?
3. Seberapa besar daya dukung sumberdaya di zona pemanfaatan TNK bagi
populasi kepiting untuk penangkapan maupun budidaya pembesaran?
4. Bagaimana bentuk pengelolaan yang mampu menjamin keberlanjutan
pemanfaatan sumberdaya kepiting dan sekaligus menjaga kelestarian
hutan mangrove di TNK sebagai habitat bagi kepiting tersebut?

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:


1. Mengidentifikasi status bioekologi sumberdaya S. serrata meliputi;
sebaran ukuran, parameter pertumbuhan, pola distribusi spasial dan
temporal, serta laju eksploitasinya di hutan mangrove TNK.
2. Melakukan kajian daya dukung lingkungan bagi sumberdaya S. serrata di
ekosistem mangrove TNK.
3. Membuat rekomendasi pengelolaan sumberdaya kepiting bakau di
kawasan konservasi mangrove untuk menjamin keberlanjutan
pemanfaatannya dan sekaligus menjaga kelestarian hutan mangrove di
TNK.

1.4 Hipotesis
Hipotesis yang menjadi dasar pengembangan disertasi ini adalah:
Jika pemanfaatan sumberdaya kepiting bakau di zona pemanfaatan hutan
mangrove TNK dioptimalkan sesuai daya dukung lingkungannya melalui
sylvofishery, maka akan membentuk model pengelolaan ekosistem mangrove
yang lestari, yang diindikasikan dengan adanya penurunan laju kerusakan
ekosistem mangrove.

1.5 Kerangka Pendekatan Penelitian


Permasalahan yang dihadapi dalam pengelolaan kepiting bakau di habitat
hutan mangrove TNK adalah ancaman penurunan populasi kepiting bakau akibat
eksploitasi hutan mangrove oleh masyarakat. Sementara itu, diduga pemanfaatan
kepiting bakau di TNK masih di bawah potensi yang ada, sedangkan disisi lain,
TNK sebagai kawasan konservasi tidak boleh ditebang/dikurangi keutuhan
kawasannya.
Pemanfaatan sumberdaya yang ada dalam kawasan taman nasional pada
dasarnya diperbolehkan (pasal 26, 27, 28 dan 30 UU No. 5 Tahun 1990 tentang
Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya). Salah satu jenis
sumberdaya hayati yang dapat dimanfaatkan dari kawasan mangrove TNK adalah
kepiting bakau (S. serrata).
Kepiting bakau dimanfaatkan dengan cara penangkapan kepiting dewasa
di alam dan penangkapan kepiting muda untuk budidaya pembesaran kepiting.
Namun dalam pemanfaatan sumberdaya ini perlu diperhatikan kelangsungan
populasi dan daya dukungnya, oleh karena itu perlu kajian dalam pemanfaatan
sumberdaya kepiting tersebut.
Dalam pemanfaatan sumberdaya kepiting di ekosistem mangrove TNK,
terkait aspek ekologi, ekonomi, dan sosial budaya. Sehingga diperlukan
pendekatan sistem, agar ketiga aspek tersebut dapat dikaji secara menyeluruh.
Untuk memperoleh data dan informasi tentang aspek bioekologi kepiting bakau
perlu dilakukan beberapa pendekatan. Data dan informasi tentang tipe dan
karakteristik habitat kepiting bakau diperoleh dengan melakukan klasifikasi
wilayah (zona) berdasarkan karakter-karakter khusus yang dimiliki tiap zona.
Selanjutnya pada tiap zona dilakukan pengamatan dan analisa parameter biofisik
dan kimia lingkungan, meliputi: parameter fisik-kimia substrat dan perairan,
karakteristik vegetasi mangrove, produksi serasah mangrove dan kelimpahan
organisme makrozoobenthos sebagai pakan alami kepiting bakau.
Untuk mengetahui status bioekologi kepiting bakau dilakukan kajian
tentang kelimpahan, sebaran ukuran, pola distribusi spasial dan temporal, pola
pertumbuhan, serta laju eksploitasi kepiting bakau. Data untuk kajian status
bioekologi kepiting bakau diperoleh dari data primer dan data sekunder. Kajian
mengenai daya dukung lingkungan dilakukan dengan pendekatan indeks
kesesuaian habitat (Habitat Suitability Index/HSI). HSI menggambarkan
kesesuaian habitat yang diberikan oleh kombinasi interaksi dari semua variabel
lingkungan kunci pada spesies S. serrata, berdasarkan hipotesa hubungan spesies-
habitat. Alur pendekatan penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.

1.6 Kebaruan Penelitian


Di Indonesia, khususnya di Institut Pertanian Bogor sendiri, sudah banyak
penelitian yang telah dilakukan untuk mengetahui status bioekologi kepiting
bakau, antara lain oleh: 1) Siahainenia (2008) telah melakukan penelitian
bioekologi kepiting bakau di ekosistem mangrove Kabupaten Subang, yang
meliputi struktur populasi, potensi reproduksi, dan distribusi spasial dan temporal
kepiting bakau; 2) Mulya (2000) meneliti kelimpahan dan distribusi kepiting
bakau di hutan mangrove Suaka Margasatwa Karang Gading dan Langkat,
Sumatera Utara; 3) Nazar (2002) meneliti keterkaitan karakteristik habitat dengan
keberadaan tiga jenis kepiting bakau; 4) Dianthani (2002) mengevaluasi kondisi
lingkungan perairan Muara Badak, Kalimantan Timur dalam kaitannya dengan
perkembangan larva kepiting bakau. Namun penelitian-penelitian tersebut belum
memberikan jalan bagaimana menggunakan hasil penelitian tersebut untuk
rencana pengelolaan sumberdaya kepiting bakau.
Penelitian ini dilakukan di kawasan konservasi Taman Nasional, dimana
menurut UU No. 5 tahun 1990 dilarang dilakukan kegiatan yang bersifat merubah
keutuhan kawasan, seperti menangkap hewan atau menebang pohon. Namun saat
ini telah terjadi pergeseran paradigma pengelolaan kawasan konservasi, yang
semula perlindungan alam tanpa mengijinkan pemanfaatan untuk kesejahteraan
masyarakat, menjadi perlindungan dengan pemanfaatan yang berkelanjutan.
Model pengelolaan ekosistem mangrove di salah satu desa dalam kawasan
TNK sudah pernah diteliti oleh Gunawan et al. (2005) yang melakukan penelitian
tentang Model Pelestarian Ekosistem Mangrove di Kawasan Taman Nasional
Kutai oleh Masyarakat Dusun Teluk Lombok, namun dalam penelitian ini model
yang dihasilkan hanya berupa deskripsi tentang pelaksanaan pengelolaan
mangrove yang telah rusak/dibuka di kawasan tersebut oleh masyarakat bersama
dengan LSM Bikal. Sedangkan bagaimana solusi dari permasalahan mengapa
mangrove dirusak tidak dibahas dalam penelitian tersebut.
Pada penelitian ini akan disusun model pengelolaan zona pemanfaatan
hutan mangrove di kawasan TNK, yang berbasis pada pemanfaatan sumberdaya S.
serrata, sebagai biota yang mempunyai keterkaitan habitat dengan hutan
mangrove. Penelitian ini dilakukan secara komprehensif dengan pendekatan
sistem dinamik yang didukung oleh data bioekologi kepiting bakau dan daya
dukung lingkungan. Metode yang digunakan dalam pengumpulan data bioekologi
kepiting bakau memang masih mengikuti penelitian-penelitian sebelumnya,
namun yang berbeda adalah data biekologi ini akan digunakan secara menyeluruh
melalui metode analisis sistem dinamik untuk menyusun rencana pengelolaan
sumberdaya kepiting bakau.
Hasil dari analisis sistem berupa model pengelolaan kepiting bakau, akan
mempunyai karakter yang berbeda dengan kebijakan pengelolaan kepiting bakau
di perairan umum, karena memasukkan variabel aturan-aturan dalam pengelolaan
kawasan konservasi.
Berdasarkan uraian di atas, dapat ditarik benang merah kebaruan dari
penelitian ini yaitu:
a) Penggunaan data-data bioekologi dan pendugaan stok kepiting bakau secara
komprehensif sebagai variabel-variabel dalam alat analisis sistem dinamik
untuk menyusun rencana pengelolaan belum pernah dilakukan sebelumnya,
walaupun LeVay (2001) telah menyatakan menganggap perlu untuk
menggunakan data bioekologi dan stok assesment sebagai dasar pengelolaan.
b) Disusunnya model untuk pengelolaan sumberdaya kepiting bakau di kawasan
konservasi taman nasional yang berbeda dengan model pengelolaan di
perairan umum, karena harus mempertimbangkan keberlanjutan ekosistem
mangrove yang meliputi dua sistem ekologi, yaitu ekosistem hutan dan
ekosistem perairan, sehingga diperlukan adanya penyelarasan peraturan-
perundangan untuk konservasi di kawasan kehutanan dan konservasi di
kawasan perairan.
MANGROVE Sumberdaya
TNK Kepiting

Permasalahan: Permasalahan: Status Bioekologi Kepiting Analisis Bio-Fisik


Degradasi habitat Potensi tinggi,
mangrove untuk tambak belum dimanfaatkan

- Daya dukung lingkungan Analisis HSI


Perlu Perlu
Manag. Sylvofishery Upaya Optimasi
+ PEMANFATAAN KEPITING

Analisis
1. Penangkapan Kepiting Dewasa Sistem
HIPOTESIS 2. Budidaya Pembesaran (kepiting
muda)

Pemodelan Pemanfatan
Powersim
Studio 2005
Sumberdaya kepiting

Zonasi Pemanfaatan Analisis SIG


Analisis Skenario Pemanfaatan Hutan Mangrove
Probabilistik SD Kepiting Bakau

Peraturan Pengelolaan
Kawasan Konservasi

Strategi Pengelolaan
SD kepiting Bakau

Gambar 1 Kerangka pendekatan penelitian


2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Bioekologi Kepiting Bakau


2.1.1 Klasifikasi S. serrata
Kepiting bakau tergolong dalam kelas Crustacea, subkelas Malacostraca,
ordo Decapoda, famili Portunidae dan genus Scylla (Jones & Morgan 1994). Saat
ini ada empat spesies dari genus Scylla sebagaimana dikemukakan oleh Keenan
(1999); yakni Scylla serrata, Scylla tranquebarica, Scylla paramamosain, dan
Scylla olivacea. Pembedaan keempat spesies ini dilakukan berdasarkan pada
electrophoresis allozyme, pembagian mitokondria DNA dan analisis
morphometrik (Keenan 1999). Keenan et al. (1998), membuat klasifikasi genus
Scylla yang berbeda dengan klasifikasi sebelumnya, dengan ciri-ciri tiap jenis
seperti pada Tabel 1.
Klasifikasi ilmiah bagi spesies Scylla serrata dalam menurut Motoh
(1979) adalah sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
Filum : Arthropoda
Subfilum : Mandibulata
Kelas : Crustacea
subkelas : Malacostraca
Ordo : Decapoda
Subordo : Pleocyemata
Seksi : Brachyura
Famili : Portunidae
Subfamili : Portuninae
Genus : Scylla
Species : Scylla serrata (Forsskl 1775)

2.1.2 Morfologi S. serrata


Bentuk badan kepiting secara umum adalah badan yang pendek dengan
abdomen yang tereduksi. Badan yang pendek diakibatkan oleh fusi antara kepala
dan toraks membentuk cefalotoraks dan ditutupi oleh karapas. Sedangkan

16

abdomen tereduksi menjadi tipis, rata dan terlipat di bawah cefalotoraks, karena
itu kepiting dinamakan brachyura atau ekor pendek (Garth & Abbott 1980).

Tabel 1 Karakteristik jenis kepiting bakau (Scylla spp.) menurut Keenan


et al. (1998).
No Jenis Pola poligon dan Ciri morfologis/faktor pembeda
warna
1 Scylla serrata Pola poligon dan Chela dan kaki-kakinya memiliki pola poligon
warna yang sempurna untuk kedua jenis kelamin dan
pada abdomen betina. Warna bervariasi dari
unggu, hijau sampai hitam kecoklatan.
Duri pada dahi Tinggi, sempit, dan agak tumpul, dasar
cekungan (lembah) diantara dua duri membulat.
Duri pada bagian Sepasang duri tajam pada carpus dan. dua duri
luar cheliped tajam pada propodus di bagian tepi atas, di
belakang dactilus.
2 Scylla Pola poligon dan Chela dan dua pasang kaki jalan pertama
tranquebarica warna berpola poligon samar-samar, serta dua pasang
kaki yang lain mempunyai pola yang lebih jelas.
Pola poligon bervariasi terdapat pada abdomen
betina dan tidak ada pada abdomen jantan.
Warna bervariasi mirip dengan S. serrata.
Duri pada dahi Duri pada dahi agak tinggi, tumpul, dan lembah
antara dua duri membulat.
Duri pada bagian Sepasang duri tajam pada carpus dan. dua duri
luar cheliped tajam pada propodus di bagian tepi atas, di
belakang dactilus.
3 Scylla Pola poligon dan Chela dan kaki-kakinya berpola poligon yang
paramamosain warna samar-samar untuk kedua jenis kelamin. Warna
bervariasi dari ungu, hijau sampai coklat
kehitaman tergantung habitat.
Duri pada dahi Agak tinggi, berbentuk segitiga dengan tepian
yang bergaris lurus dan lembah antara dua duri
berbentuk siku (2 duri tengah lebih tinggi).
Duri pada bagian Pada dewasa tidak ada duri pada bagian luar
luar cheliped carpus, tetapi dengan 1 duri tumpul kecil (pada
juvenile) dan propodus mempunyai sepasang
duri agak tajam berukuran sedang pada bagian
tepi atas, di belakang dactylus, diikuti dengan
gerigi ke arah posterior..
4 Scylla Pola poligon dan Chela dan kaki-kakinya tanpa pola poligon yang
Olivaceae warna jelas untuk kedua jenis kelamin. Warna
bervariasi dari oranye kemerahan, coklat sampai
coklat kehitaman tergantung habitat.
Duri pada dahi Rendah, membulat dengan lembah yang dangkal
diantaranya.
Duri pada bagian Umumnya pada dewasa tidak ada duri pada
luar cheliped carpus (pada betina ada**), tetapi dengan 1 duri
kecil tumpul pada tepi luar (pada juvenile).
Sedangkan propodus dengan sepasang duri
tumpul di bagian atas belakang dactylus, dimana
juvenile dan kepiting muda berduri, duri bagian
dalam lebih besar daripada nyang luar.

17

Kepiting bakau ditutupi oleh karapas yaitu kulit yang terdiri atas khitin
bercampur bahan kapur yang telah mengeras. Karapas berbentuk bulat pipih,
dilengkapi dengan sembilan duri pada sisi kiri dan kanan. Empat duri yang lain
terdapat diantara kedua matanya. Mempunyai sepasang kaki jalan yang bentuknya
besar disebut capit yang berfungsi untuk memegang, tiga pasang kaki jalan dan
sepasang kaki renang berbentuk bulat telur dan pipih seperti alat pendayung
(Motoh dalam Karim 1998 ).
Untuk membedakan kepiting jantan dan betina dapat dilakukan dengan
mengamati ruas-ruas abdomennya. Kepiting jantan ruas abdomennya sempit,
sedangkan pada betina lebih besar. Perut kepiting betina berbentuk lonceng
(stupa) sedangkan jantan berbentuk tugu. Perbedaan lain adalah pleopod yang
terletak dibawah abdomen, dimana pada kepiting jantan yaitu pleopod berfungsi
sebagai alat kopulasi, sedangkan pada betina sebagai tempat melekatnya telur
(Moosa et al. 1985).

A B

Gambar 2 Kepiting betina dan kepiting jantan.


A. S. serrata betina dewasa kelamin
B. S. serrata jantan moulting
Foto: Phelan & Grubert (2007)

Ciri-ciri umum dari genus Scylla adalah memiliki karapas berbentuk


menyerupai segi enam, agak bulat atau oval, ukuran chela kanan lebih panjang
daripada chela kiri, pasangan kaki terakhir berbentuk pipih dan diadaptasikan
untuk berenang, sisi anteroteral karapas berduri sembilan buah dengan ukuran
yang hampir sama, jarak antar ruang rongga mata (orbital) luas, bagian depan

18

mempunyai enam buah duri, serta memiliki ruas propodus cheliped yang
menggembung.
Pasangan kaki pejalan yang terakhir (pleopod V) berbentuk memipih pada
ruas terakhirnya (propodus dan daktilus). Capit (pleopod I) mempunyai bagian
propodus menggembung dengan permukaan yang licin (Gambar 3).
Selanjutnya Siahainenia (2008) yang memodifikasi dari Keenan (1998)
menambahkan bahwa kriteria klasifikasi S. serrata dewasa adalah warna
bervariasi dari ungu sampai hijau dan coklat kehitaman. Pola poligonal terlihat
jelas pada hampir semua bagian tubuh. Duri pada bagian dahi karapas lebar, tinggi
dan agak tumpul, berbentuk segitiga. Empat duri yang di tengah berukuran
panjang hampir sama sehingga terlihat rata. Terdapat dua duri yang tajam pada
propodus dan dua duri yang tajam pada carpus.

mata antene
daktilus
propondus
karpus
merus

kakijalanI

kakijalanII karapas

kakijalanIII

basis
ischium kakirenang

Gambar 3 Morfologi Scylla serrata.


Foto: Pratiwi & Wijaya (2010)

Berbagai jenis krustasea hidup di mangrove menggali tanah sampai


permukaan air sebagai adaptasi terhadap pasang surut perairan dan juga terhadap
predator. Jenis-jenis Portunidae seperti S. serrata dapat menggali lubang hingga 5
meter keluar dari sisi tebing sungai masuk ke mangrove. Lubang yang digali
bervariasi fungsinya, bergantung pada spesiesnya, yaitu sebagai tempat
menghindar dari predator, tempat menampung air, sumber bahan pakan organik,
sebagai rumah atau daerah teritorial dalam berpasangan dan kawin, tempat

19

pertahanan, dan tempat mengerami telur atau anaknya. Dengan adanya kaki
perenang (menyerupai dayung), jenis S. serrata memiliki kemampuan berenang
yang cepat yang bertujuan untuk proteksi diri dari predator dan menangkap
mangsa (Kasry 1996). Pada saat larva, jenis S. serrata dan kebanyakan jenis
kepiting lainnya hidup sebagai plankton, berenang-renang bebas, terbawa arus,
dan setelah dewasa hidup di dasar perairan .
Kepiting bakau dewasa merupakan salah satu dari biota yang hidup pada
kisaran kadar garam yang luas (euryhaline) dan memiliki kapasitas untuk
menyesuaikan diri (adaptasi) yang cukup tinggi. Kepiting bakau juga memiliki
kemampuan untuk bergerak dan beradaptasi pada daerah teresterial serta pada
tambak yang cukup tersedia cukup pakan bagi kelangsungan hidupnya.
Kemampuan tersebut berbeda dengan organisme lain, karena kepiting bakau
memiliki vaskularisasi dinding ruang insang untuk memudahkan menyesuaikan
diri dengan habitatnya.

2.1.3 Daur hidup Scylla serrata


Scylla serrata merupakan jenis biota yang melakukan ruaya selama daur
hidupnya, sehingga pada setiap tahapan hidupnya S. serrata menempati habitat
yang berbeda sesuai dengan kebutuhan hidupnya. Organisme, jarang yang secara
acak menyebar di sepanjang lingkungan (Condit et al.; Bertnes et al.; dalam
Webley et al. 2009). Pada hewan, distribusi yang tidak acak ini dibangkitkan oleh
mekanisme pilihan tempat tinggal. Kematian, merupakan salah satu mekanisme
yang mungkin terjadi. Hewan yang rekruit secara acak, dan sebagian mati di
tempat yang tidak nyaman, namun akan bertahan hidup di tempat lain akan
menyebar secara tidak acak dan berasosiasi dengan habitat yang sesuai (Crowe &
Underwood dalam Webley 2009). Pemahaman akan biologi S. serrata dan ekologi
lingkungannya diperlukan agar dapat mengelola sumberdaya S. serrata dengan
benar.
Pada kondisi lingkungan yang memungkinkan, kepiting dapat bertahan
hidup hingga mencapai umur 3-4 tahun dan mencapai ukuran lebar karapas
maksimum lebih dari 200 mm (Perrine; Heasman dalam Bonine et al. 2008).
Scylla serrata betina matang pada ukuran lebar karapas antara 80-120 mm (Hill;

20

Heasman et al. dalam Bonine et al. 2008). Sedangkan S. serrata jantan matang
secara fisiologis ketika lebar karapas berukuran 90-110 mm, namun tidak cukup
berhasil bersaing untuk pemijahan sebelum dewasa secara morfologis (yaitu dari
ukuran capit) dengan lebar karapas 140-160 mm (Perrine; Heasman dalam Bonine
et al. 2008). Scylla serrata menunjukkan sifat seksualitas dimorfisme, dimana
kepiting jantan cenderung menjadi lebih berat dibanding kepiting betina pada
lebar karapas yang sama (Chakrabarti dalam Bonine et al. 2008; Siahainenia
2008).
Di wilayah tropis, reproduksi S. serrata berlangsung sepanjang tahun,
dengan puncaknya pada musim hujan (Le Vay 2001). Scylla serrata
melangsungkan perkawinan di perairan mangrove dan secara berangsur-angsur
sesuai dengan perkembangan telurnya, kepiting betina akan beruaya (berenang) ke
laut dan memijah, sementara kepiting jantan tetap di perairan hutan bakau atau
muara sungai (Hill 1975). Kasry (1996) menyatakan bahwa kepiting betina yang
telah beruaya ke perairan laut akan berusaha mencari perairan yang kondisinya
cocok untuk tempat melakukan pemijahan, khususnya terhadap suhu dan salinitas
air laut. Peristiwa pemijahan S. serrata terjadi pada periode bulan-bulan tertentu,
terutama awal tahun. Jarak yang ditempuh dalam beruaya untuk memijah tidak
lebih dari satu kilometer ke arah laut menjauhi pantai.
Motoh (1979) menyatakan bahwa perkembangan kepiting bakau S. serrata
mulai dari telur hingga mencapai dewasa mengalami beberapa tingkat
perkembangan, yaitu: stadia zoea, stadia megalopa, stadia kepiting muda
(juvenil), dan stadia kepiting dewasa.
Sekitar 12 hari setelah pemijahan, telur menetas, dan melalui fase larva
yang disebut dengan zoea, yaitu sebagai larva tingkat I (Zoea I) dan terus menerus
berganti kulit, sambil terbawa arus perairan pantai, hingga mencapai Zoea V.
Proses ini memerlukan waktu minimal 18 hari (Warner 1977). Kemudian berganti
kulit menjadi megalopa yang bentuk tubuhnya sudah mirip dengan kepiting
dewasa kecuali masih memiliki bagian ekor yang panjang. Tahap megalopa
berlangsung antara 7-9 hari (Phelan & Grubert 2007).
Pada tingkat megalopa ini, kepiting mulai beruaya pada dasar perairan
A B
berlumpur menuju perairan pantai, dan biasanya pertama kali memasuki perairan

21

muara sungai, kemudian ke perairan berhutan bakau untuk kembali


melangsungkan perkawinan (Gambar 4). Secara ringkas siklus hidup kepiting
bakau S. serrata menurut Afrianto & Liviawaty (1993) dapat digambarkan dalam
diagram sebagai berikut:

Pembuahan Telur Larva Zoea

Kepiting Kepiting Megalopa


dewasa muda
Gambar 4 Diagram siklus hidup kepiting bakau.

Untuk menjadi kepiting dewasa, zoea membutuhkan pergantian kulit


kurang lebih sebanyak 20 kali. Proses pergantian kulit pada zoea berlangsung
relatif cepat, yaitu sekitar 3-4 hari tergantung pada kemampuan tubuhnya.
Pergantian kulit tersebut juga tergantung pada faktor umur, pakan dan habitat.
Pada tingkat zoea terjadi 5 kali pergantian kulit untuk menjadi megalopa
(Afrianto & Liviawaty 1993).
Setelah megalopa berganti kulit, maka kepiting akan memasuki fase
kepiting muda. Kepiting betina muda sudah dapat melangsungkan perkawinan
pada tingkat kepiting muda ke-16 (setelah 16 kali berganti kulit dalam fase
kepiting muda). Umur kepiting diperkirakan 1 tahun dengan lebar karapas lebih
kurang 99 mm (Phelan & Grubert 2007).

2.1.4 Karakter dewasa kelamin


Siahainenia (2008) menyatakan, dewasa kelamin adalah tingkat dalam
siklus hidup kepiting bakau dimana alat-alat reproduksi telah berkembang secara
baik dan siap melakukan proses reproduksi. Untuk tujuan pengelolaan populasi
ataupun untuk tujuan budidaya kepiting bakau perlu diketahui secara pasti status
dewasa kelamin kepiting bakau mengingat ketika memasuki masa reproduksi
yang diawali dengan proses perkawinan, kepiting bakau harus telah mencapai
tingkat dewasa kelamin. Warner (1977) menyatakan pada tingkat dewasa kelamin,
kepiting bakau jantan telah menghasilkan sperma dan siap melakukan stimulasi
untuk merangsang kepiting bakau betina melakukan ganti kulit (moulting) agar

22

proses kopulasi dapat berlangsung serta mampu melakukan proses kopulasi


dengan cara memasukkan pleopodnya ke bukaan kelamin dan mentransfer
spermatophore (kantong berisi sperma) ke dalam wadah sperma (spermatheca)
yang terdapat pada tubuh kepiting bakau betina. Ketika mencapai tingkat dewasa
kelamin kepiting bakau betina telah siap melepaskan traktan kimiawi (pheromon)
untuk menarik perhatian jantan juga telah siap menerima sperma untuk kemudian
disimpannya di dalam spermatheca, serta menghasilkan telur-telur untuk
dipijahkan, dibuahi dan ditetaskan. Jadi ketika kepiting bakau mencapai tingkat
dewasa kelamin, semua organ yang berkaitan dan mendukung urutan aktifitas
reproduksi harus telah siap untuk digunakan, dengan demikian akan terjadi
perubahan morfologi tubuh yang menyertai perkembangan kepiting bakau ke arah
tingkat dewasa kelamin.
Tutup abdomen kepiting bakau jantan dewasa kelamin mudah dibuka
sebaliknya tutup abdomen pada kepiting bakau jantan pradewasa kelamin sulit
dibuka. Hal ini disebabkan karena tutup abdomen kepiting bakau jantan dewasa
kelamin dihubungkan pada thorachic sternum melalui sepasang otot yang lentur
sebaliknya tutup abdomen pada kepiting bakau jantan pradewasa kelamin
menempel sangat rapat pada thorachic sternum melalui sepasang pengait yang
terdapat pada ruas dada (thorachic) ke-enam. Selain itu ada thorachic sternum
dari kepiting bakau jantan dewasa kelamin terutama pada bagian ujung atas
terlihat adanya pigmentasi yang kuat yang membentuk warna kuning kecoklatan
sebaliknya pada jantan pradewasa kelamin pigmentasi pada bagian ujung atas
thorachic sternum belum nampak sehingga terlihat bersih.
Untuk mengenal kepiting bakau jantan dewasa kelamin dapat juga
digunakan ukuran chela sebagai karakter pembeda dimana umumnya kepiting
bakau jantan dewasa kelamin memiliki chela yang berkembang cepat sehingga
ukuran lebih besar sebaliknya kepiting bakau jantan pradewasa kelamin memiliki
ukuran chela yang kecil, ukuran chela yang besar pada kepiting bakau jantan
dewasa kelamin sangat berfungsi ketika mendekap atau mengepit kepiting bakau
betina selama masa percumbuan yakni ketika kedua individu kepiting bakau ini
berada dalam posisi "doublers" serta untuk membalik tubuh kepiting bakau betina
ketika proses kopulasi akan berlangsung. Chela yang besar juga dibutuhkan

23

kepiting bakau jantan dewasa kelamin untuk bertarung dengan jantan lainnya
dalam upaya mempertahankan wilayah kawin (matting teritory), mempertahankan
dirinya sendiri serta melindungi dan mempertahankan betina yang menjadi
pasangan kawinnya, mengingat menjelang kopulasi kepiting bakau betina
melakukan pergantian kulit (moulting) sehingga bertubuh lunak dan sangat rentan
terhadap serangan atau bahkan pemangsaan dari kepiting bakau lainnya.
Selain itu terdapat juga tanda-tanda khusus pada bagian tubuh kepiting
bakau jantan yang dapat menjadi karakter pembeda tingkat dewasa kelamin,
seperti adanya goresan atau pengikisan selaput kulit terutama pada bagian
posterior chela dan pada bagian ventral tubuh serta adanya parutan bekas luka
pada permukaan tubuh terutama pada kaki-kaki jalan yang mengindikasikan
suksesnya kepiting bakau jantan melakukan kopulasi, yang secara otomatis berarti
kepiting bakau tersebut telah mencapai tingkat dewasa kelamin. Goresan atau
pengikisan selaput kulit terjadi karena selama masa "doublers" kepiting jantan
mengepit kepiting bakau betina dengan posisi betina berada dibawah abdomennya
dan karena proses ini berlangsung cukup lama sehingga terjadi pergesekan tubuh
kepiting bakau tersebut. Tanda-tanda luka dapat disebabkan karena terjadi
pertarungan dengan jantan lainnya dalam upaya mempertahankan wilayah kawin
maupun karena upaya melindungi kepiting bakau betina selama berada dalam
kondisi kulit tubuh yang lunak akibat moulting dari serangan maupun pemangsaan
kepiting bakau lain (Siahainenia 2008).
Tutup abdomen pada kepiting bakau betina dewasa kelamin umumnya
lebih besar, melebar ke samping dan cekung membentuk ruang dalam abdomen
yang luas serta memiliki ruang antar ruas yang pendek. Sebaliknya bentuk tutup
abdomen pada kepiting bakau betina pradewasa kelamin umumnya lebih sempit,
memanjang keatas, relatif datar sehingga membentuk ruang dalam abdomen yang
sempit serta memiliki ruang antar ruas yang panjang. Pigmentasi pada tutup
abdomen kepiting bakau betina dewasa kelamin lebih kuat yakni membentuk
kecoklatan sebaliknya pada kepiting bakau betina pradewasa kelamin pigmentasi
pada abdomen belum nampak jelas. Pada kepiting bakau betina kelamin tutup
abdomen menempel pada thorachic sternum melalui sepasang otot yang lentur.
Sebaliknya pada kepiting bakau betina pradewasa kelamin tutup abdomen

24

umumnya menempel sangat rapat pada thorachic sternum melalui sepasang


pengait yang terdapat pada ruas dada ke-enam. Oleh karena itu tutup abdomen
kepiting bakau betina dewasa kelamin lebih mudah dibuka, sebaliknya tutup
abdomen pada kepiting bakau betina pradewasa kelamin sulit dibuka.
Bila tutup abdomen dibuka akan nampak empat pasang pleopod yang
merupakan tempat menempelnya masa telur setelah dikeluarkan dari tubuh
melalui proses pemijahan, sehingga pleopod pada kepiting bakau betina juga
pelengkap organ kelamin yaitu sebagai organ inkubasi telur. Bentuk pleopod pada
kepiting bakau betina juga dapat menjadi salah satu karakter pembeda tingkat
dewasa kelamin. Pada pleopod kepiting bakau betina kelamin terdapat rambut-
rambut yang lebih panjang, banyak dan rapat, sedangkan pada kepiting bakau
betina pradewasa kelamin rambut-rambut pleopod pendek dan jarang.
Pada thorachic sternum kepiting bakau betina terdapat sepasang bukaan
kelamin (Oviduct Openings) atau yang juga disebut gonophores yang merupakan
corong saluran keluarnya telur ketika memijah. Lewat corong ini juga bakau
jantan mentransfer spermathophore berisi sperma melalui pleopod-nya ke dalam
spermatheca pada tubuh kepiting bakau betina. Pada kepiting bakau betina
dewasa kelamin pasangan bukaan kelamin nampak besar terbuka, berbentuk
lingkaran oval yang dibatasi oleh selaput yang lembut. Pada kepiting bakau betina
pradewasa kelamin pasangan bukaan kelamin terlihat tertutup, membentuk celah
sempit dan dibatasi oleh selaput lembut yang menonjol.
Perubahan karakter tubuh yang nyata antara kepiting bakau betina dewasa
kelamin dan pradewasa kelamin juga nampak terlihat melalui pigmentasi pada
bagian ujung atas thorachic sternum. Pada kepiting bakau betina dewasa kelamin
terjadi pigmentasi kuat membentuk warna kuning kecoklatan seperti warna karat
sebaliknya pada kepiting bakau betina pradewasa kelamin pigmentasi belum
nampak. Selain itu karakter pembeda tampak terjadi pada ruas dactylus, propodus,
carpus, merus dan basi-ischium (endopod) kaki jalan dan kaki renang. Pada
kepiting bakau betina dewasa kelamin, endopod telah ditumbuhi bulu-bulu halus
yang panjang, sebaliknya pada kepiting bakau betina pradewasa kelamin, rambut-
rambut pada endopod terlihat lebih pendek (Siahainenia 2008).

25

2.1.5 Kepiting bakau sebagai hewan air (kehalalan kepiting bakau)

Konsumsi kepiting bakau pada masyarakat di Indonesia belum se-populer


krustasea yang lain, seperti udang. Hal ini diduga terjadi karena sampai saat ini,
sebagian masyarakat masih banyak yang meragukan kehalalan kepiting, terutama
jenis kepiting bakau, sebagai bahan makanan. Keraguan ini disebabkan perilaku
kepiting bakau yang mampu bertahan hidup lebih lama dibandingkan hewan air
lainnya, dalam kondisi tidak ada air, sehingga kepiting bakau sering dianggap
sebagai hewan yang hidup di dua alam, seperti halnya katak/kodok. Pemahaman
ini sedikit banyak berimbas pada rendahnya tingkat permintaan kepiting di
negara-negara muslim, utamanya di Indonesia sendiri.
Namun yang sebenarnya, berdasarkan ketetapan Komisi Fatwa Majelis
Ulama Indonesia yang ditetapkan/difatwakan pada tanggal 15 Juli 2002, kepiting
dinyatakan halal untuk dikonsumsi sepanjang tidak menimbulkan bahaya bagi
kesehatan manusia. Rapat Komisi Fatwa MUI menyampaikan, ada empat jenis
kepiting bakau yang sering dikonsumsi dan menjadi komoditas yaitu, Scylla
serrata, Scylla tranquebarrica, Scylla olivacea, dan Scylla paramamosain.
Keempat jenis kepiting bakau ini oleh masyarakat umum hanya disebut dengan
'kepiting' saja.
Kepiting ini disebut binatang air dengan alasan; a) bernafas dengan insang;
b) berhabitat di air; c) tidak akan pernah mengeluarkan telur di darat melainkan di
air karena memerlukan oksigen dari air.
Kepiting termasuk keempat jenis diatas tidak ada yang hidup atau
berhabitat di dua alam: di laut dan di darat. Jadi, rapat Komisi Fatwa MUI dalam
hal kepiting menyatakan adalah jelas bahwa kepiting, adalah binatang air baik di
air laut maupun di air tawar dan bukan binatang yang hidup atau berhabitat di dua
alam.
Secara morfologis penjelasan atas kemampuan kepiting bakau bertahan
hidup cukup lama dalam kondisi kekurangan air adalah karena kepiting bakau
bernafas dengan insang dan memiliki vaskularisasi dinding ruang insang untuk
memudahkan menyesuaikan diri dengan habitatnya. Ruang-ruang pernafasan
terletak dibawah atap insang. Masing-masing ruang dilindungi oleh selaput
kutikular yang memisahkannya dari hepatopankreas di sebelah anterior dan dari

26

bagian dalam karapas di sebelah posterior. Ujung depan masing-masing insang


menyempit dan dibelakangnya terletak suatu ruang pompa kecil melindungi
skapognatit. Di dalam ruang pernafasan juga terletak maksiliped-maksiliped dan
epipod, maksiliped II dan III membersihkan permukaan ventral insang-insang.
Sedangkan epipod maksiliped I yang panjang menyapu permukaan dorsal insang.
Arus pernafasan masuk ke ruang pernafasan melalui celah-celah yang berambut
antara kaki-jalan dan ujung bawah dari atap insang. Lubang atau pintu terbesar
milne-edwards terletak di basis capit. Setelah air melalui insang lalu menuju ruang
di bawah insang. Pertukaran gas terjadi saat arus melewati masing-masing insang.
Hal ini dilakukan oleh sistem arus yang teratur, dengan sistem ini darah mengalir
di dalam insang dari arah yang berlawanan dengan aliran air diantara lamela-
lamela (ada 9 insang). Dalam masing-masing ruang pernafasan, arus air mengalir
ke ruang pompa. Dari ruang skapognatit air dikeluarkan melalui lubang
pengeluaran. Lubang pengeluaran terletak di kedua sisi epistoma tepat di bawah
mulut (Warner 1977).
Kepiting bakau dewasa merupakan salah satu dari biota yang hidup pada
kisaran kadar garam yang luas (euryhaline) dan memiliki kapasitas untuk
menyesuaikan diri (adaptasi) yang cukup tinggi. Selain itu kepiting bakau
memiliki alat gerak berupa kaki jalan dan kaki renang, sehingga mampu untuk
bergerak dan beradaptasi pada daerah teresterial yang cukup menyediakan pakan
bagi kelangsungan hidupnya.

2.2 Ekologi Habitat Mangrove


Hutan Mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang
didominasi oleh beberapa jenis mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang
pada daerah pasang-surut pantai berlumpur. Hutan mangrove mempunyai ciri-ciri
antara lain; a) umumnya tumbuh pada daerah intertidal yang jenis tanahnya
berlumpur, berlempung dan berpasir; b) Daerahnya tergenang air laut secara
berkala, baik setiap hari maupun yang hanya tergenang pada saat pasang purnama.
Frekuensi genangan menentukan komposisi vegetasi hutan mangrove; c)
Menerima pasokan air tawar yang cukup dari darat; d) Terlindung dari gelombang

27

besar dan arus pasang surut yang kuat; e) Air bersalinitas payau (2-22 permil)
hingga asin (mencapai 38 permil) (Bengen 2000).
Kondisi salinitas sangat mempengaruhi komposisi mangrove. Berdasarkan
adaptasinya terhadap salinitas, tumbuhan dapat dibedakan menjadi 2 jenis, yaitu
halophyta, yang tumbuh dan seluruh fase hidupnya berada dalam habitat yang
memiliki salinitas tinggi, dan non-halophyta, yang hidup pada habitat non-salin.
Mangrove bersifat fakultatif halophyta, yaitu dapat tumbuh pada kondisi salin dan
tawar. Mangrove mampu beradaptasi pada kondisi salin dengan berbagai cara
yang berbeda-beda. Beberapa diantaranya secara selektif mampu menghindari
penyerapan garam dari media tumbuhnya, sementara beberapa jenis yang lainnya
mampu mengeluarkan garam dari kelenjar khusus pada daunnya (McKee 1996).
Mangrove memperlihatkan adanya tiga stratifikasi utama secara vertikal,
yaitu: zona supratidal, intertidal, dan subtidal. Masing-masing strata ini secara
unik dihuni oleh organisme yang berasosiasi dengan karakteristik struktur
vegetasi mangrove pada tiap strata (McKee 1996), yaitu:
1. Strata supratidal mencakup bagian hutan arboreal, dan wilayah ini dihuni oleh
burung, reptil, kepiting, siput, serangga, dan laba-laba.
2. Strata intertidal meluas dari wilayah yang dapat dicapai air pasang tertinggi
hingga air pasang terendah dan meliputi mangrove dengan sistem perakaran
udara dan cadangan tanah gambut. Organisme yang hidup di zona ini adalah
kekerangan, isopods, kepiting, tiram, amphipods, siput, dan algae. Organisme
ini mengalami penggenangan secara periodik oleh pasang surut.
3. Strata subtidal berada di bawah air pasang terendah dimana akar mangrove
dan tanah gambut menyediakan substrat untuk adaptasi organisme pada
penggenangan yang terus menerus. Organisme yang hidup di zona ini adalah
algae, sponge, tunicate, anemon, octocoral, udang, cacing polychaeta, bintang
ular, nudibranch, ubur-ubur, dan rumput laut.

2.2.1 Karakteristik dan Fungsi Ekosistem Mangrove


Karakteristik dari hutan mangrove, diantaranya secara spesifik membantu
menahan erosi dan abrasi laut dari kerusakan pantai akibat hempasan gelombang
air laut. Adapun kondisi ekologis yang mengatur dan melindunginya, sangat

28

tergantung kepada keseimbangan dari persediaan kadar garam dan air tawar,
nutrisi yang cukup dan substrat yang stabil. Semua kebutuhan tersebut dapat
dipenuhi oleh ekosistem hutan mangrove (Bengen 2004).
Perakaran mangrove yang kuat mampu meredam gerak pasang surut, juga
mampu terendam dalam air yang kadar garamnya bervariasi. Lebih dari itu,
perakaran mangrove dapat mengendalikan lumpur, sehingga ia mampu
memperluas penambahan formasi dan surfacing land (McKee 1996).
Fungsi ekologis mangrove sangat erat kaitannya dengan fungsi ekonomi.
Berjenis-jenis biota laut hidup di sini atau dengan kata lain sangat bergantung
dengan keberadaan hutan mangrove. Perairan tempat populasi mangrove
berfungsi sebagai tempat perkembangbiakan berjenis-jenis hewan air seperti ikan,
udang, kerang, dan bermacam-macam kepiting yang kesemuanya mempunyai
nilai ekonomis tinggi. Namun tak kalah pentingnya, kontribusi yang paling
penting dari ekosistem hutan mangrove dalam kaitannya dengan ekosistem pantai
adalah serasah daunnya. Ia merupakan sumber bahan organik penting dalam
peristiwa rantai makanan akuatik (Kusmana 1995).
Ekosistem mangrove juga berfungsi dalam penyediaan habitat alami bagi
fauna yang menurut Chapman dalam Kusmana (1995) terdiri 5 (lima) habitat,
yakni:
(1) Tajuk pohon yang dihuni oleh berbagai jenis burung, mamalia, dan
serangga.
(2) Lubang yang terdapat di cabang dan genangan air di cagak antara batang
dan cabang pohon yang merupakan habitat yang cukup baik untuk
serangga (terutama nyamuk).
(3) Permukaan tanah sebagai habitat mudskipper dan keong/kerang.
(4) Lobang permanen dan semi permanen di dalam tanah sebagai habitat
kepiting dan katak.
(5) Saluran-saluran air sebagai habitat buaya dan ikan/udang.

2.2.2 Keterkaitan antara Kepiting Bakau dengan Mangrove


Scylla serrata ditemukan melimpah di sungai-sungai pesisir, lagun, sekitar
pulau-pulau kecil, di perairan payau, dan di kawasan hutan bakau (mangrove)

29

(Cholik & Hanafi 1992) dan hidup di daerah muara sungai dan rawa pasang surut
yang banyak ditumbuhi vegetasi mangrove dengan substrat berlumpur atau
lumpur berpasir. Menurut Hutching & Saenger (1987), kepiting bakau hidup di
sekitar hutan mangrove, memakan akar-akarnya (pneumatophore) dan merupakan
habitat yang sangat cocok untuk menunjang kehidupannya karena sumber
makanannya seperti benthos dan serasah cukup tersedia. Di Afrika Selatan dan
Australia, identifikasi terhadap material yang terdapat di lambung kepiting
menunjukkan bahwa 50% adalah moluska, 20-22% adalah krustasea, dan sisanya
28-30% terdiri atas sejumlah kecil tanaman dan debris. Pada kepiting Scylla
serrata yang isi lambungnya kurang dari 50% penuh, material inorganik mengisi
hampir 100%, hal ini menunjukkan bahwa kepiting cenderung untuk menelan
banyak material yang tidak dapat dicerna (Hill 1979).
Kepiting bakau hidup di habitat intertidal dan subtidal, dimana mereka
secara dominan memangsa moluska dan invertebrata lain yang kurang bergerak,
seperti bivalvia, siput, kepiting lain, dan cacing (Michelli dalam Arifin 2006).
Dalam habitat intertidal, kepiting bakau bersembunyi dalam lumpur untuk
mempertahankan diri agar tetap dingin selama air surut dan melindungi diri dari
predator (Motoh 1979). Lebih lanjut Pagcatipunan (1972) menambahkan bahwa
setelah berganti kulit (moulting), kepiting bakau akan melindungi dirinya dengan
cara membenamkan diri, atau bersembunyi dalam lobang sampai karapasnya
mengeras.
Wolff et al. diacu oleh Arifin (2006) melaporkan bahwa 99 % dari sistem
biomassa total dibuat oleh mangrove. Sisa biomassa didistribusikan antara
wilayah pelagis dan bentik dengan pembagian 10% dan 90%. Melalui serasah,
mangrove menyumbangkan sumber makanan primer utama ke dalam sistem, yang
dikonsumsi secara langsung oleh herbivora, diuraikan oleh bakteri dan oleh
hewan pemakan detritus (Uca spp). Herbivora seperti Uca spp adalah pakan alami
bagi S. serrata.

2.2.3 Perkembangan Budidaya Sylvofishery Kepiting Bakau


Sylvofishery adalah salah satu konsep kuno dalam pengelolaan
sumberdaya pesisir yang mengintegrasikan konservasi mangrove dengan

30

budidaya air payau (Quarto dalam Arifin 2006). Ini adalah bentuk budidaya
perikanan berkelanjutan dengan input yang rendah. Pendekatan terintegrasi ini
memungkinkan untuk mengkonservasi dan memanfaatkan sumberdaya mangrove
dengan mempertahankan keutuhan mangrove yang relatif lebih tinggi dalam area
mangrove, ketika terjadi pembesaran nilai ekonomi pada budidaya air payau.
Sylvofishery mempunyai potensi dalam menangkap beberapa manfaat
ekonomi dari area mangrove dalam kerangka lingkungan yang sensitif dan
aktivitas yang berkelanjutan. Perbaikan dalam pengembalian ekonomik dalam
sistem ini akan menjadi faktor kunci dalam penerimaan metode ini secara luas
sebagai aktivitas yang berlanjut secara ekonomi dalam mangrove. Sylvofishery
juga menyediakan alternatif aktivitas ekonomi bagi rakyat pedesaan yang miskin
dan hal itu mungkin dapat mengurangi tekanan ekologi terhadap hutan mangrove
(Arifin 2006).
Quarto dalam Arifin (2006) menggambarkan dua model dasar Sylvofishery
yaitu model empang parit dan model mangrove yang berselang-seling
(komplangan). Model empang parit menyajikan tingkatan yang lebih besar dalam
penanaman mangrove atau mempertahankan keberadaan mangrove dalam area
tambak, dengan penutupan mangrove antara 60-80% dalam parit di tambak.
Sedangkan model berselang-seling merekomendasikan untuk mempertahankan
mangrove dengan rasio maksimum yang sama, yaitu tiap 2 ha tambak harus
dipertahankan 8 ha mangrove disekeliling tambak tersebut.
Budidaya kepiting bakau dapat dilakukan di tambak air payau atau di
kurungan tancap di dalam area mangrove (Ikhwanuddin & Oakley 1999).
Budidaya kepiting dalam kurungan tancap lebih mendekati model empang parit,
karena kurungan tancap kepiting dibangun dalam area rawa mangrove, dan
tumbuh-tumbuhan dalam area mangrove dibiarkan tetap utuh untuk menyediakan
lingkungan yang alami untuk kepiting untuk tumbuh dan bereproduksi, parit
keliling yang tidak terlalu luas dibuat untuk memenuhi kebutuhan air asin bagi
kepiting (Wei Say & Ikhwanuddin 1999).
Genodepa (1999) menyatakan sistem tambak tidak mengkonservasi dan
mengelola lingkungan alami kepiting bakau, karena tambak dikembangkan
dengan membuka bersih area bakau, yang merupakan habitat alami kepiting

31

bakau. Sistem kurungan tancap lebih bersifat ramah lingkungan karena tidak
mengkonversi mangrove dan memungkinkan kepiting hidup dalam lingkungan
alaminya (Ikhwanuddin & Oakley 1999; Genodepa 1999; Johnston & Keenan
1999).
Kurungan tancap dapat dibangun dengan menggunakan batang pohon dari
suatu jenis tanaman palma (Oncosperma tigillaria) (Ikhwanuddin & Oakley
1999). Alternatif lain adalah dengan menggunakan jaring nilon/waring dengan
ukuran mata jaring 1 cm untuk pengganti papan untuk pagar kurungan tancap dan
kerangka yang digunakan adalah kerangka bambu. Penggunaan waring dapat
mengurangi frekuensi penebangan pohon untuk memperoleh papan, walapun
mungkin biaya yang dibutuhkan menjadi lebih besar. Untuk penggunaan
jaring/waring sebagai pagar, pada bagian bawah waring tetap perlu ditancapkan
papan sedalam 1.2 meter untuk mencegah kepiting melarikan diri dengan
menggali lubang dalam lumpur (Genodepa 1999).

2.2.4 Indeks Kesesuaian Habitat (Habitat Suitability Index/HSI)


Pada dasawarsa terakhir ini kebutuhan akan budidaya perikanan semakin
meningkat. Alasan dari peningkatan tersebut antara lain karena terbatasnya
pengembangan kawasan di daratan, upaya penangkapan yang sudah berlebih
(over-exploitation), peningkatan permintaan terhadap ikan hasil budidaya terkait
dengan isu keberlanjutan sumberdaya, mutu produk budidaya lebih terkontrol dan
lebih kontinu dalam kualitas dan kuantitas. Lebih 40% dari jumlah seluruh ikan
yang dikonsumsi dihasilkan dari budidaya (FAO 2003).
Peningkatan kegiatan budidaya perikanan sebagai Revolusi Biru akan
menimbulkan efek yang sama dengan Revolusi Hijau pada bidang pertanian, jika
dilakukan tanpa memperhitungkan daya dukung lingkungan. Dampak terhadap
lingkungan sebagai akibat dari penggunaan pupuk, pestisida, dan rekayasa
genetika lainnya baru akan disadari setelah tiga puluh tahun kemudian
(Wolowicks 2005).
Salah satu pendekatan dalam konsep daya dukung lingkungan adalah
dengan pendekatan Indeks Kesesuaian Habitat (Habitat Suitability Index/HSI).
Model HSI digunakan secara meluas sebagai alat dalam pengelolaan spesies,

32

penilaian dampak ekologis, dan penelitian pemulihan ekologi (Duel et al.; Gore &
Hamilton; Maddock dalam Van der Lee 2006). Kurva HSI model
menggambarkan hubungan antara variabel habitat dengan kesesuaian untuk
spesies khusus (Van der Lee 2006).
HSI adalah sebuah angka indeks yang mencerminkan kapasitas habitat
yang diberikan untuk mendukung spesies yang dipilih. Model ini didasarkan pada
hipotesa hubungan spesies-habitat lebih daripada pernyataan-pernyataan yang
menimbulkan hubungan sebab-akibat. HSI model menghasilkan gambaran dari
karakteristik masing-masing habitat dan interaksinya terkait dengan habitat suatu
spesies. Model dapat dibangun dalam berbagai cara, seperti model kata-kata,
sebuah model mekanistik, atau sebuah model statistik multivarian, atau kombinasi
dari metode ini (Jewett & Onuf 1988). HSI menggambarkan kesesuaian habitat
yang diberikan oleh kombinasi interaksi dari semua variabel lingkungan kunci
pada spesies (AED 2008). Berikut ini adalah diagram skematis untuk membangun
sebuah HSI (Gambar 5).

Gambar 5 Tahapan dalam menyusun HSI (AED 2008).

33

2.3 Sistem Dinamik dalam Pengelolaan Scylla serrata


2.3.1 Berpikir Sistem (System Thinking)
Paradigma Dinamika Sistem (DS) berangkat dari cara berpikir secara
sistemik yang mempelajari keterkaitan objek dari pengamatan dan penyelidikan
dalam dunia nyata. Berpikir sistem telah ada pada proses berpikirnya manusia
dalam memecahkan permasalahan hidupnya dengan mencari tahu (know) terhadap
realitas yang dihadapinya. Dalam menyelidiki dan mengamati realitas, manusia
senantiasa melihat keterkaitan antara faktor-faktor yang diamatinya dengan
memilah-milah (analisis) kemudian merangkainya (sintesa). Dengan ini akan
dicapai sebuah solusi yang komprehensif (menyeluruh).
Berpikir sistem adalah upaya untuk memahami struktur dari sebuah sistem
yang diamati kemudian mempelajari pola perilaku untuk menyimpulkan kejadian
yang terjadi pada sistem tersebut. Hasilnya dapat ditemukan pengungkit
(leverage) yang mempengaruhi dari sistem yang terjadi untuk dijadikan dasar
proses perbaikan struktural. Senge (1995) menyebut leverage sebagai pilarnya
DS, yang menurutnya bahwa dalam melihat aksi dan perubahan dalam struktur
yang menjadi pemicu signifikan memperbaiki penyakit kronis. Seringkali
pengungkit mengikuti prinsip eknonomi, yang artinya di mana hasil terbaik tidak
datang dari usaha berskala besar melainkan dari kegiatan kecil yang berfokus
dengan baik.
Berpikir sistemik menurut Balle (1994) akan sangat berguna untuk
menghindari pembuatan kesalahan yang mendatangkan malapetaka ketimbang
menemukan kebijakan yang paling cemerlang dan optimal. Pandangannya dapat
bertahan dalam jangka panjang, bukan mendapatkan keuntungan dalam jangka
pendek. Pendekatan sistem merupakan kajian lintas disiplin ilmu dan
keberhasilan dalam pelaksanaannya perlu didukung oleh suatu tim yang
multidisipliner pula dan yang terpenting dari tim tersebut adalah adanya
komunikasi interpersonal dan pengorganisasian (Eriyatno 2003).
Berpikir sistemik mempunyai corak dan sangat tergantung dari pelaku
yang menerapkannya terkait pada kebiasaaan dan kebutuhannya. Kebiasaan
berhubungan dengan bidang pengetahuan yang melekat dalam diri seseorang.
Kebutuhan berpikir berhubungan dengan pembelajaran dari pengalaman dalam

34

pekerjaan yang membutuhkan corak berpikir tertentu, seperti bidang teknik dan
ekonomi memiliki corak berpikir yang berbeda. Masing-masing corak memiliki
kelebihan dan kekurangannya, dan biasanya ada yang menggunakannya dengan
menggabungkan menjadi satu. Tiga corak yang dimaksud adalah berpikir sistem
masukan-keluaran, berpikir sistem umpan balik dan berpikir sistem umpan balik
adaptif (Aminullah 2004). Corak pertama tidak menjadikan keluaran untuk
mempengaruhi masukan kembali. Kedua, penyempurnaan corak pertama di mana
keluaran dijadikan umpan kembali untuk mempengaruhi masukan. Ketiga, seperti
corak kedua hanya saja pengaruh lingkungan luar turut dijadikan pertimbangan.

2.3.2 Umpan Balik


Kerangka kerja berpikir sistem menggunakan beberapa alat konseptual
untuk merepresentasikan dan menguraikan sebuah realita agar mudah dipahami.
Umpan balik sebagai konsep utama berpikir sistem yang lebih dari sekedar
berpikir. Untuk menggambarkan sebuah konsep umpan balik pada struktur sistem,
dalam DS dikenal sebuah diagram kausal (causal loop diagrams atau CLD).
Sterman (2000) menyatakan CLD sangat baik untuk :
1. Menangkap secara cepat sebuah hipotesis tentang penyebab dinamika.
2. Menimbulkan dan menangkap model mental individu atau kelompok.
3. Komunikasi umpan balik penting yang dipercaya sebagai tanggung jawab
untuk sebuah masalah.
CLD terdiri dari variabel yang saling berhubungan dengan tanda panah
menandakan pengaruh penyebab diantara variabel. Keterkaitan variabel A dan
variabel B berkonsekuensi saling memberi sebab, misalnya A mengakibatkan B
atau B mengakibatkan A. Kadangkala dalam realitas ditemukan bahwa pada saat
B akibat dari A dan B akan berbalik lagi menjadi penyebab dari A. Kejadian ini
membentuk sebuah lingkaran sebab-akibat yang dikenal dengan istilah simpal
kausal.
Keterkaitan antar unsur dapat pula memiliki dampak pengaruh yang
diberikannya. Pengaruh tersebut dapat berupa pengaruh positif (menguatkan)
biasanya disimbolkan dengan huruf R (reinforcement), artinya jika A menguat
(melemah) menyebabkan B menguat (melemah). Hubungan yang lain dapat
berupa pengaruh negatif (menyeimbangkan) biasanya disimbolkan dengan huruf

35

B (balance), artinya jika A menguat (melemah) menyebabkan B melemah


(menguat). Hubungan terakhir dapat berupa hubungan yang memberi pengaruh
tapi terdapat penundaan (delay), artinya A menunda akibat pada B (Balle 1994).
Struktur sistem yang terbentuk dari beberapa gabungan simpal kausal dan
dengan kombinasi pengaruh yang diberikan memberi corak terhadap perilaku
sistem. Perilaku sistem berbeda-beda, sehingga menghasilkan kinerja sistem yang
berbeda pula seiring perubahan waktu. Terdapat empat pola dasar perilaku sistem
yang telah dipelajari dan diidentifikasi oleh para ahli DS yaitu : pertumbuhan
eksponensial, mencari tujuan, bergelombang, dan S-shaped growth. Interaksi dari
keempat pola dasar dapat membentuk pola lagi yang lebih kompleks (Senge 1995;
Kirkwood 1998; Balle 1994; Muhammadi et al. 2001).
Pola pertumbuhan eksponensial (exponential growth) atau disebut juga
pola bola salju dibangkitkan oleh dominasi pengaruh positif. Umpan balik positif
memberi efek perubahan penguatan dengan banyaknya kejadian perubahan.
Perubahan pertumbuhannya sering dikenal dengan eksponensial. Pada tahap awal
perubahannya lambat kemudian bergerak cepat. Gambar 6 adalah contoh struktur
sistem dan pola perilaku model simpanan uang di bank konvensional. Semakin
besar saldo simpanan berpengaruh terhadap besarnya bunga yang diterima.

Struktur sistem Pola perilaku

+ Bank
Bank balance

Balance

(+)

Interest
earned + Time

Gambar 6 Pola pertumbuhan eksponensial struktur sistem.

Pola perilaku mencari tujuan (goal seeking) dibentuk oleh umpan balik
negatif yang simpalnya mencari tujuan keseimbangan dan statis. Simpal umpan
balik negatif bekerja memberikan keadaan terhadap sistem untuk mencapai tujuan
atau keadaan yang diinginkan. Pola ini mirip seperti sistem tindakan koreksi

36

dengan penundaan yang dibahas pada bagian pola gelombang. Gambar 7 adalah
contoh struktur sistem dan pola perilaku pada pengaturan suhu temperatur.
Struktur sistem Pola perilaku

Actual temperature
+ Temperatur
setting

Desired
(-)
+ Gap temperature

-
Actual +
temperature Time
Desired
temperature

Gambar 7 Pola perilaku mencari tujuan struktur sistem.

Pola bergelombang (oscilations) perilakunya seperti mencari tujuan yang


dibangkitkan oleh simpal umpan balik negatif tetapi dengan penambahan delay
(penundaan). Pola ini mempunyai perilaku tindakan perbaikan dengan penundaan.
Kejadian antara yang diinginkan dan aktual menimbulkan kesenjangan. Untuk
memecahkan masalah itu diperlukan tindakan koreksi tetapi mengalami
penundaan, artinya koreksi tidak langsung menghasilkan sebuah perbaikan. Oleh
karena tindakan pertama tidak langsung menimbulkan perbaikan, sehingga
masalah akan meningkat yang berakibat tindakan koreksi kedua lebih besar dari
pertama. Kejadian ini berlanjut terus dan menimbulkan kejadian naik turun
(bergelombang). Jenis pola ini lebih lanjut banyak variasinya seperti damped
oscilation, limit cycle dan chaos. Gambar 8 adalah contoh struktur sistem dan pola
perilaku pada jasa layanan.
Struktur sistem Pola perilaku
Cstomer demand

+ Service
reputation
+
Customer
(-) demand
+ Gap

-
Service
Service quality - Time
standar

Gambar 8 Pola bergelombang struktur sistem.

37

Pola batas pertumbuhan awalnya pertumbuhan eksponensial tetapi secara


pelan dan lambat menuju pada kondisi pencapaian sistem yang berada pada
kesetimbangan, sehingga seperti membentuk huruf S. Pola yang disebut juga
batas pertumbuhan merupakan kombinasi simpal negatif dan positif. Pola batas
pertumbuhan memiliki empat unsur, yaitu kejadian aktual, kejadian diinginkan,
kesenjangan, dan tindakan koreksi. Kesenjangan (kejadian diinginkan dengan
aktual) yang timbul untuk memecahkan masalah diperlukan tindakan koreksi yang
pada awalnya besar dan makin lama makin kecil menuju nol. Jika terdapat
penundaan, tindakan koreksi berikutnya akan melewati batas kejadian yang
diinginkan selanjutnya menurun kembali. Demikian seterusnya jika batas adalah
sumber yang dapat diperbaharui, maka terjadi gelombang pada keadaan tunak.
Gambar 9 adalah contoh struktur dan pola perilaku pada kasus penjualan.
Struktur sistem Pola perilaku
+ Motivation/
Size of
market niche
Productivity

Performance
-
+ -
(-) Sales Saturation of
Morale
(-) market niche
+ +
Income
opportunities Time

Delay

Gambar 9 Pola perilaku batas pertumbuhan struktur sistem.

2.3.3 Pemodelan Dinamika Sistem


Dinamika sistem (DS) awalnya digunakan untuk mengkaji dinamika
industri oleh JW Forrester dari Massachusetts Institute of Technology (MIT) dan
hasilnya didokumentasikan dalam buku yang terkenal pada tahun 1962 berjudul
Industrial Dynamics. DS adalah pendekatan yang membantu manajemen
puncak dalam memecahkan permasalahan kecil dan dianggap sukar untuk
dipecahkan. Kebanyakan orang dalam menetapkan tujuan yang hendak dicapai
pada awalnya terlalu rendah. Hal yang diinginkan adalah sebuah peningkatan
dengan sikap umum yang dilakukan dalam lingkungan akademis, yaitu dengan
menjelaskan perilakunya setelah itu menemukan struktur dan kebijakan untuk
hasil yang lebih baik (Forrester dalam Sterman 2000).

38

DS menurut MIT adalah metodologi untuk mempelajari permasalahan di


sekitar kita yang melihat permasalahan secara keseluruhan (holistik). Tidak
seperti metodologi lain yang mengkaji permasalahan dengan memilahnya menjadi
bagian-bagian yang lebih kecil dan saling membatasi (restriktif). Konsep utama
DS adalah pemahaman tentang bagaimana semua objek dalam suatu sistem saling
berinteraksi satu sama lain. DS menurut System dynamics society adalah
metodologi untuk mempelajari dan mengelola sistem umpan balik yang kompleks,
seperti yang biasa ditemui dalam dunia bisnis dan sistem sosial lainnya.
Sterman (2000) mendefinisikan, bahwa DS adalah metode untuk
meningkatkan pembelajaran dalam sistem yang kompleks. Lebih lanjut, metode
ini diilustrasikan seperti sebuah flight simulator (simulasi dalam kokpit pesawat)
bagi manajemen untuk memahami dalam belajar dinamika yang kompleks,
memahami sumber resistensi (hambatan) dalam kebijakan, dan merancang
kebijakan yang lebih efektif. Untuk memahami kekompleksan tersebut, maka DS
didasarkan atas teori dinamika non-linier dan kontrol umpan balik yang
dikembangkan dalam disiplin ilmu matematika, fisika, dan kerekayasaan.
Sushil (1993) membuat keterpaduan antara teori-teori tersebut ke dalam
sebuah ilustrasi dibawah ini (Gambar 10). Bangunan metodologi DS terdiri atas
tiga latar belakang disiplin ilmu manajerial tradisional, sibernetika, dan simulasi
komputer. Prinsip dan konsep dari ketiga disiplin ini saling bersinergi dengan
mengesampingkan dari kelemahannya masing-masing dalam memecahkan
permasalahan manajerial secara holistik.

Manajemen
tradisional atas Cybernetics Simulasi komputer
sistem sosial

- Informasi Prinsip pemilihan Komputasi


- Pengalaman
- Penilaian Prinsip pemilihan

Perilaku dinamis
Model dan kebijakan
perbaikan

Gambar 10 Dasar metodologi Dinamika Sistem (Sushil 1993).

39

Manajemen tradisional adalah dunia nyata dari praktisi manajerial yang


mengandalkan pengalaman dan penilaian dari para manajer. Dasar utama dari
manajemen tradisional adalah basis data mental dan model mental dengan
kekuatan utama pada kekayaan atas informasi kualitatif yang didapat dari
pengamatan langsung dan pengalaman.
Sibernetika adalah ilmu mengenai komunikasi dan kontrol yang didasari
oleh teori umpan balik. Kekayaan informasi yang terkandung dalam basis data
mental tidak dapat digunakan secara efektif tanpa adanya prinsip tentang
pemilihan yang relevan dan prinsip tentang strukturisasi informasi. Informasi
yang dapat difiltrasi dan dihubungkan satu sama lain maka akan membentuk
struktur kausal dan umpan balik dalam sistem dengan adanya sibernetika.
Simulasi komputer digunakan untuk mempelajari konsekuensi yang
dihasilkan oleh perilaku dinamis dari suatu sistem. Perkembangan pesat dalam
dunia simulasi komputer membuat simulasi dari konsekuensi yang dihasilkan oleh
perilaku dinamis ini dapat dilakukan dengan biaya yang rendah. Simulasi yang
akan diterapkan dalam suatu sistem dengan kemampuan untuk memberikan
konsekuensi yang akan ditimbulkan atas setiap kebijakan tersebut.
Pemodelan (modeling) adalah suatu perwakilan atau abstraksi dari sebuah
objek atau situasi aktual (Eriyatno 1998). Istilah lainnya disebut tiruan model
dunia nyata yang dibuat virtual (Sterman 2000). Karena bentuknya tiruan, model
tidak mesti harus sama persis dengan aslinya, tetapi minimal memiliki keserupaan
(mirip). Pemodelan merupakan proses iteratif, di mana hasil pada setiap langkah
dikembalikan lagi untuk diperbaiki agar didapat hasil yang mendekati model
aslinya (dunia nyata) yang cukup ideal untuk dapat dijadikan representasi
(Eriyatno 1998; Sterman 2000). Proses pemodelan (Gambar 11) terdiri dari
langkah-langkah sebagai berikut (Sterman 2000) :
1. Perumusan masalah dan pemilihan batasan-batasannya dari dunia nyata. Tahap
ini meliputi kegiatan pemilihan tema yang akan dikaji, penentuan variabel
kunci, rencana waktu untuk mempertimbangkan masa depan yang jadi
pertimbangan serta seberapa jauh kejadian masa lalu dari akar masalah
tersebut dan selanjutnya mendefinisikan masalah dinamisnya.

40

2. Formulasi hipotesa dinamis dengan menetapkan hipotesis berdasar pada teori


perilaku terhadap masalahnya dan bangun peta struktur kausal melalui
gambaran model mental pemodel dengan bantuan alat-alat seperti causal loop
diagrams (CLD), stock flow diagrams (SFD) dan alat lainnya. Model mental
adalah asumsi yang sangat dalam melekat, umum atau bahkan suatu gambaran
dari bayangan atau citra yang berpengaruh pada bagaimana kita memahami
dunia dan bagaimana kita mengambil tindakan.
3. Tahap formulasi model simulasi dilakukan spesifikasi struktur, aturan
keputusan (decision rules), estimasi parameter dan uji konsistensi dengan
tujuan dan batasan yang telah ditetapkan dilangkah sebelumnya.
4. Pengujian meliputi pengujian membandingkan dari model yang dijadikan
referensi, pengujian kehandalan (robustness), dan uji sensitivitas.
5. Evaluasi dan perancangan kebijakan berdasarkan skenario yang telah
diujicobakan dari hasil simulasi. Tahap ini kebijakan yang dibuat harus
dianalisis dampaknya, kehandalan model pada skenario yang berbeda dengan
tingkat ketidakpastian yang berbeda pula serta keterkaitan antar kebijakan agar
dapat bersinergi.
Analisis model DS dilakukan menggunakan analisis model simulasi.
Simulasi sebagai teknik penunjang keputusan dalam pemodelan, misalnya
pemecahan masalah bisnis secara ekonomis dan tepat menghadapi perhitungan
rumit dan data yang banyak. Simulasi adalah aktifitas di mana pengkaji dapat
menarik kesimpulan-kesimpulan tentang perilaku dari suatu sistem melalui
penelaahan perilaku model yang selaras, di mana hubungan sebab akibatnya sama
dengan atau seperti yang ada pada sistem yang sebenarnya (Eriyatno 1998).
Perangkat lunak dalam pemodelan DS seperti Vensim, Powersim, Stella
dan lainnya sebagai alat bantu yang dapat memudahkan pemodel dalam
menerjemahkan bahasa CLD dalam membangun SFD yang dilengkapi dengan
persamaan matematik dan nilai awal untuk aktifitas simulasi. Perangkat
pemodelan DS juga dilengkapi berbagai kemudahan seperti tampilannya yang
mudah dimengerti, sehingga memudahkan bagi pemodel ataupun pemakai yang
tidak mengerti secara teknis sekalipun. Powersim yang dipakai dalam penelitian

41

ini merupakan suatu perangkat lunak yang dibuat atas dasar model DS dengan
kemampuan tinggi dalam melakukan simulasi.

Dunia nyata

Keputusan
(eksperimen Informasi umpan
organisasi 1. Artikulasi masalah balik
(pemilihan batasan)

5. Formulasi
2. Hipotesis
kebijakan &
dinamik
evaluasi

4. Pengujian 3. Formulasi

Strategi, Model
susunan, mental
aturan keputusan dunia nyata

Gambar 11 Pemodelan dinamika sistem (Sterman 2000).

2.4 Sejarah Taman Nasional


Berkembangnya taman nasional tidak bisa terlepas dari sejarah
perkembangan pemikiran lingkungan hidup dan konservasi. Sejarah penetapan
kawasan konservasi (kawasan dilindungi) diawali pada tahun 252 SM, pada saat
Raja Asoka dari India secara resmi mengumumkan perlindungan satwa, ikan, dan
hutan. Kemudian pada tahun 1084 M, Raja Wiliam I dari Inggris memerintahkan
penyiapan The Domesday Book, yaitu suatu inventarisasi tanah, hutan, daerah
penangkapan ikan, areal pertanian, taman buru, dan sumberdaya produktif milik
kerajaan yang akan digunakan sebagai dasar untuk membuat perencanaan
nasional bagi pengelolaan dan pembangunan di negaranya (MacKinnon &
MacKinnon 1986).
Konsep taman nasional atau national park mulai berkembang di negara
barat ketika Yellowstone ditetapkan sebagai taman nasional di Amerika Serikat
pada tahun 1872. Model yellowstone dikelola dengan pendekatan perlindungan
alam yang ketat, sehingga tidak diperkenankan kegiatan manusia baik untuk
kebutuhan subsisten maupun untuk pemanfataan sumberdaya alam demi tujuan
komersial, meskipun terdapat beberapa kelompok suku asli yang sudah mendiami
kawasan itu selama beberapa generasi (Sangaji et al. dalam Damanik et al. 2006).

42

Sejak saat itu, ide taman nasional menyebar ke negara-negara lain, dan dalam
kurun waktu kurang dari 100 tahun sudah ada lebih dari 2.000 taman nasional
yang ditetapkan di 136 negara (Wiratno et al. dalam Damanik et al. 2006)
Di Indonesia, sejarah penetapan kawasan dilindungi sebenarnya telah
dimulai sejak jaman penjajahan Belanda, pada saat itu pemerintah telah
menetapkan beberapa kawasan dilindungi seperti Cagar Alam (CA) Arca Domas
(1913), CA Junghun di Bandung (1919), CA Tangkuban Perahu (1919), dan CA
Rawa Danau di Serang (1921) (Dephut 2007).
Pemikiran konservasi, termasuk taman nasional, mulai berkembang sekitar
tahun 1970-an. Lima taman nasional pertama dengan luas total 1.430.948 ha
ditetapkan oleh Menteri Pertanian pada tanggal 6 Maret 1980, yaitu Taman
Nasional (TN) Gunung Leuser, TN Gunung Gede-Pangrango, TN Ujung Kulon,
TN Baluran, dan TN Komodo (Wiratno et al. dalam Damanik et al 2006).
Selanjutnya pada tahun 1982, saat Kongres Taman Nasional dan Kawasan
Lindung Sedunia III yang berlangsung di Bali, pemerintah Indonesia
mendeklarasikan 11 Taman Nasional dengan luas 3.287.063 ha, yaitu TN Kerinci
Seblat, TN Bukit Barisan Selatan, TN Kep. Seribu,, TN Bromo-Tengger-Semeru,
TN Meru Betiri, TN Tanjung Puting, TN Kutai, TN Bali Barat, TN Lore Lindu,
TN Bogani Nani Warta Bone, dan TN Manusela (Wiratno et al. dalam Damanik
et al. 2006).

2.5 Konsep Keterpaduan (Integrated Coastal Management/ICM) dan


Kolaboratif dalam Pengelolaan Mangrove Taman Nasional Kutai

Konsep pengelolaan pesisir dapat dikategorikan atas dua jenis, yaitu


konsep pengelolaan secara sektoral dan konsep pengelolaan secara terpadu (ICM
= Integrated coastal management). Pengelolaan wilayah pesisir secara sektoral
pada dasarnya berkaitan hanya dengan satu jenis sumberdaya atau ekosistem
untuk memenuhi tujuan tertentu (sektoral), seperti perikanan (tangkap dan
budidaya), pariwisata, pertambangan, industri, pemukiman, perhubungan,
pertanian pantai, pelabuhan dan sebagainya. Pengelolaan wilayah pesisir secara
terpadu memiliki pengertian bahwa pengelolaan sumberdaya alam dan jasa-jasa
lingkungan pesisir dilakukan secara menyeluruh (comprehensive assessment),
merupakan tujuan dan sasaran, kemudian merencanakan serta mengelola segenap

43

kegiatan pemanfaatannya guna mencapai pembangunan yang optimal dan


berkelanjutan. Perencanaan dan pengelolaan tersebut dilakukan secara kontinyu
dan dinamis dengan mempertimbangkan aspek sosial-ekonomi-budaya dan
aspirasi masyarakat pengguna wilayah pesisir (Stakeholders), daya dukung
lingkungan pesisir, serta konflik kepentingan dan pemanfaatan yang mungkin ada
(Dahuri 2001).
Pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu adalah suatu pendekatan
pengelolaan wilayah pesisir yang melibatkan dua atau lebih ekosistem,
sumberdaya dan kegiatan pemanfaatan (pembangunan) secara terpadu
(integrated) guna mencapai pembangunan wilayah pesisir secara berkelanjutan
(Dahuri 2001) dan proses dinamis yang berjalan secara terus menerus dalam
membuat keputusan tentang pemanfaatan, pembangunan dan perlindungan
wilayah dan sumberdaya pesisir dan lautan (Bengen 2004), serta merupakan suatu
upaya yang menyatukan antara pemerintah dengan masyarakat, ilmu pengetahuan
dengan manajemen, kepentingan sektoral dengan kepentingan masyarakat dalam
mempersiapkan dan melaksanakan perencanaan terpadu bagi perlindungan dan
pengembangan ekosistem pesisir terpadu (GESAMP 1996).
Taman Nasional Kutai memiliki garis pantai sepanjang 52 km.
Sepanjang garis pantai ini sejauh 1-2 km ke arah daratan ditumbuhi hutan
mangrove, yang merupakan ekosistem spesifik pesisir. Walaupun pesisir dan
hutan mangrove di wilayah ini masuk dalam kawasan pelestarian alam, namun
area ini sarat dengan permasalahan pengelolaan, karena banyaknya penggunaan
lain di wilayah ini, antara lain: pada wilayah pesisir ini terdapat 2 kecamatan
dengan beberapa desa pantai yang dihuni oleh kelompok masyarakat, adanya
perusahaan pertambangan minyak pertamina dalam kawasan TN Kutai, dan
adanya akses jalan poros Bontang-Sangatta sejauh 56 km. Berbagai kondisi ini
menyebabkan munculnya konflik dalam pengelolaan sumberdaya alam di
kawasan pelestarian alam Taman Nasional Kutai, yang seharusnya dilindungi.
Berbagai kepentingan dari para pihak yang terkait dengan sumberdaya
alam di kawasan hutan mangrove TN Kutai perlu dikelola secara terpadu. Thia-
Eng (2006) menyatakan ada tiga prinsip fundamental dalam pengelolaan pesisir
terpadu (ICM), yaitu: mananajemen adaptif, keterpaduan dan inter-relasi, serta

44

manajemen berbasis ekosistem. Prinsip ini menjadi dasar dalam praktek ICM dan
membedakan ICM dengan sektor lain. Fokus ICM saat ini tidak hanya meliputi
perlindungan keanekaragaman dan keutuhan ekologis, serta keberlanjutan mata
pencaharian saja, namun juga menyelamatkan kehidupan manusia.
Manajemen Adaptif
Prinsip pertama dalam ICM adalah manajemen adaptif. Walters dan
Holling dalam Thia-Eng (2006) mendeskripsikan manajemen adaptif sebagai
upaya belajar dengan mencoba. Pendekatan manajemen adaptif didasarkan pada
pemikiran bahwa informasi dan pengetahuan tentang sistem sumberdaya dan
bagaimana mengelolanya sangat tidak lengkap dan penuh dengan ketidakpastian.
Manajemen adaptif dilakukan dengan tahapan merencanakan, mengimplemen-
tasikan, menilai dan mengulanginya lagi.
Keterpaduan dan Inter-relasi
Prinsip kedua ICM adalah keterpaduan dan inter-relasi, yang terdiri dari
tiga integrasi yaitu: 1) System integration: dalam keterpaduan sistem memasukan
pertimbangan dimensi spatial dan temporal sistem sumberdaya pesisir dalam
persyaratan fisik perubahan lingkungan, pola pemanfaatan sumberdaya dan
penataan sosial ekonomi. Keterpaduan ini menjamin bahwa isu-isu relevan yang
muncul dari hubungan secara fisik-biologi, sosial dan ekonomi ditangani secara
cukup. Keterpaduan ini membutuhkan berbagai ketersediaan informasi yang
dibutuhan dalam pengelolaan sumberdaya pesisir. 2) Functional Integration:
Keterpaduan fungsional berkaitan dengan hubungan antara berbagai kegiatan
pengelolaan seperti konfirmasi antara program dan proyek dengan tujuan dan
sasarannya. Keterpaduan ini juga mengupayakan tidak terjadinya duplikasi
diantara lembaga yang terlibat, tetapi saling melengkapi. Penyusunan zonasi
pesisir yang mengalokasikan pemanfaatan sumberdaya secara spesifik merupakan
salah satu bentuk efektif dari keterpaduan fungsional. Maksud rencana zonasi
yaitu membagi kawasan pengelolaan laut dan pesisir dalam zona-zona yang sesuai
dengan maksud dan keinginan pemanfaatan setiap zona. 3) Policy integration:
Keterpaduan kebijakan sangat esensial untuk menjamin konsistensi dari program
pengelolaan pesisir terpadu dalam konteks kebijakan pemerintah pusat dan daerah
serta untuk memelihara koordinasi. Tujuan akhir adalah mengintegrasikan

45

program pengelolaan pesisir secara terpadu ke dalam rencana pembangunan


ekonomi nasional dan daerah. Namun demikian, kebijakan dan strategi
penyuluhan pesisir harus dapat merupakan perubahan yang terjadi di wilayah
pesisir dan konsisten dengan tujuan pembangunan ekonomi nasional.
Manajemen Berbasis Ekosistem
Pendekatan manajemen berbasis ekosistem muncul dalam kerangka
Konvensi Keanekaragaman Hayati (Convention of Biological Diversity/CBD).
CBD mendefinisikan ekosistem sebagai dinamika kompleks komunitas tanaman,
hewan dan mikro-organisme, serta lingkungan non-hidup yang berinteraksi
sebagai unit fungsional. Fokus dari pendekatan berbasis ekosistem adalah
mempertahankan keutuhan ekosistem yang menyediakan jasa dan sumberdaya
yang penting untuk kegiatan dan kesejahteraan manusia (Thia-Eng 2006).
IUCN - World Conservation Union dalam Resolusinya 1.42 Tahun 1996
menjelaskan gagasan dasar pengelolaan kolaboratif (juga disebut co-management,
atau joint, participatory atau multi-stakeholder management) adalah kemitraan
antara lembaga pemerintah, komunitas lokal dan pengguna sumber daya,
lembaga non-pemerintah dan kelompok kepentingan lainnya dalam bernegosiasi
dan menentukan kerangka kerja yang tepat tentang kewenangan dan tanggung-
jawab untuk mengelola daerah spesifik atau sumber daya (IUCN 1997).
Pengelolaan Kolaboratif dalam kawasan konservasi dapat diartikan
sebagai kemitraan di antara berbagai pihak yang menyetujui untuk berbagi
fungsi, wewenang dan tanggung-jawab manajemen dalam mengelola daerah
atau sumber daya alam yang statusnya dilindungi atau dikonservasi (PHKA-
Dephut et al. 2002).
Pengelolaan Kolaboratif berbeda dengan pengelolaan partisipatori lainnya
atau dengan 'pengelolaan berbasis masyarakat' (community-based resources
management), karena menuntut adanya kesadaran dan distribusi tanggung-jawab
pemerintah secara formal. Dalam konteks ini, konsultasi masyarakat dan
perencanaan partisipatori ditujukan untuk menetapkan bentuk-bentuk peranserta
yang lebih tahan lama, terukur dan setara dengan melibatkan seluruh
kelompok-kelompok kepentingan terkait dan sah (legitimate) dalam mengelola
dan melestarikan sumber daya alam.

46

Dalam pengertian yang luas, wilayah pengelolaan kolaboratif dapat


dibayangkan berada 'ditengah-tengah' atau 'jalan kompromistik' antara
manajemen di bawah kontrol penuh pemerintah dan dibawah kendali penuh
masyarakat. Pengelolaan secara ko-manajemen hendaknya dibaca sebagai konsep
yang luas yang mencakup berbagai cara dimana organisasi yang bertanggung
jawab atas pengelolaan dan stakeholders menerapkan manajemen kerjasama
yang adaptif.
Beberapa prinsip dan asumsi yang perlu diperhatikan dalam strategi
pengelolaan kolaboratif menurut Borrini-Feyerabend dalam PHKA-Dephut et
al. (2002) yang mungkin dapat diterapkan untuk pengelolaan TNK adalah:
a. Menggunakan pendekatan yang pluralistik dalam mengurus sumber
daya; memadukan peranan para pihak kepentingan; tujuan akhirnya pada
umumnya adalah konservasi lingkungan, pemanfaatan berkelanjutan
sumber daya alam dan pembagian yang adil yang berkaitan dengan
manfaat dan tanggung-jawab.
b. Dalam proses pengelolaan kolaboratif membutuhkan beberapa kondisi
dasar untuk dikembangkan di antaranya: akses penuh terhadap informasi
dan opsi-opsi, kebebasan dan kapasitas untuk mengorganisasi, kebebasan
untuk mengekspresikan kebutuhan dan kepedulian, lingkungan sosial
non-diskriminatif, keinginan para mitra untuk bernegosiasi, saling percaya
dalam menghargai kesepakatan-kesepakatan yang dipilih.
c. Merupakan proses perubahan politik dan budaya untuk mencapai
keadilan sosial dan demokrasi dalam pengelolaan sumber daya alam.
d. Pengelolaan kolaboratif mempunyai asas kepentingan bersama,
keyakinan bahwa ada kemungkinan untuk menjalankan suatu bentuk
pengelolaan yang memadukan berbagai kepentingan.
e. Proses yang kompleks dan seringkali membutuhkan waktu panjang serta
terjadi kekeliruan proses. Yang paling penting adalah kerjasama
pengelolaan, bukan rencana pengelolaan, yang sanggup menanggapi
berbagai kebutuhan secara efektif.
f. Mengekspresikan masyarakat sipil yang dewasa dan memahami tidak ada
solusi yang 'unik dan tidak berat sebelah' dalam mengelola sumber daya

47

alam, tetapi keanekaragaman dari perbedaan pilihan sesuai dengan


pengetahuan lokal dan scientifik serta berkemampuan untuk
mempertemukan kebutuhan konservasi dengan pembangunan.
g. Pengelolaan kolaboratif mempunyai asas prinsip mengaitkan antara hak-
hak pengelolaan dan tanggung jawab. Wewenang dan tanggung jawab
terkait secara konseptual. Apabila tidak dikaitkan dan diberikan kepada
aktor yang berbeda, maka keduanya akan hancur.
h. Tantangan dalam pengelolaan kolaboratif adalah bagaimana
menciptakan situasi di mana semua mendapatkan keuntungan yang
lebih besar jika berkolaborasi dibandingkan dengan berkompetisi.
i. Secara khusus dalam proses pengelolaan kolaboratif bidang pengelolaan
daerah dilindungi, persetujuan yang dibangun dalam bentuk kemitraan di
antaranya: fungsi dan tanggung-jawab masing-masing pemangku
kepentingan, luasan dan batas daerah dilindungi atau sumber daya alam,
kisaran fungsi dan penggunaan berkelanjutan yang dapat diselenggarakan,
pengakuan bagi para pemangku kepentingan yang terlibat, prosedur
untuk mengatasi konflik dan bernegosiasi pengambilan keputusan
kolektif, persetujuan prioritas pengelolaan dan rencana pengelolaan,
prosedur menjalankan setiap keputusan dan aturan spesifik untuk
pemantauan, evaluasi dan kaji ulang persetujuan-persetujuan kemitraan
dan rencana pengelolaan.
j. Menekankan proses negosiasi ketimbang proses litigasi dalam mengatasi
konflik yang hanya memenangkan salah satu pihak yang bertikai.

2.6 Pengelolaan Berbasis Ekosistem (Ecobased Management/EBM)


Paradigma ekosistem menjadi penting sebagai pendekatan utama untuk
mengelola sumberdaya alam dan lingkungan. Upaya pengelolaan tradisional
diatur seputar pemanfaatan khusus seperti pertanian atau turisme, yang
menghasilkan pengelolaan sektoral untuk masing-masing pemanfaatan. Pada masa
berikutnya, hal ini menjadi kenampakan bahwa kebanyakan pendekatan berakibat
pada konflik antar pengguna dan kurangnya perlindungan terhadap lingkungan
(UNEP 2006). Pergeseran paradigma dari pengelolaan sumberdaya individual

48

menjadi pendekatan sistem direfleksikan sebagai aksi dari banyak negara (Juda;
Laffoley et al. dalam UNEP 2006).
Pada Tahun 1997, Commission on Sustainable Development dari United
Nation (UN/PBB) menemukan bahwa: konsep pengelolaan terpadu pada area
perairan, daerah aliran sungai, estuari, pesisir dan laut saat ini secara besar-
besaran diterima dalam sistem United Nation dan pada banyak negara sebagai
pendekatan berbasis ekosistem untuk pembangunan berkelanjutan (UNEP 2006).
Singkatnya, Ecosystem-based Management mengenali bahwa komunitas
tanaman, hewan, dan manusia adalah saling berketergantungan dan berinteraksi
dengan lingkungan fisiknya untuk membentuk unit ekologis yang disebut
ekosistem. Ekosistem adalah lintas batas dalam karakter, khususnya memotong
keberadaan kebijakan politik dan batas hukum (UNEP 2006).
Ecosystem-based Management didefinisikan sebagai pengelolaan yang
dikendalikan oleh tujuan eksplisit yang ditentukan oleh kebijakan, aturan-aturan
dan pelaksanaan, dan dibuat dapat diadaptasikan melalui pengawasan yang
berbasis penelitian pada pemahaman terbaik terhadap interaksi ekologi dan proses
penting untuk keberlanjutan struktur dan fungsi ekosistem (Christensen et al.
dalam UNEP 2006).
Pendekatan manajemen berbasis ekosistem (Ecosystem-based
Management/EBM) bertujuan untuk mencapai keseimbangan antara konservasi,
pemanfaatan berkelanjutan, pembagian yang adil dan merata dari keuntungan
yang dihasilkan oleh pemanfaatan sumberdaya. Pendekatan ini juga menempatkan
penekanan penting pada peningkatan manajemen, baik temporal maupun spasial
(Thia-Eng 2006).
Manajemen berbasis ekosistem (Ecosystem-based Management/EBM)
adalah pendekatan terpadu yang mempertimbangkan keseluruhan ekosistem,
termasuk manusia (McLeod et al. dalam Leslie & McLeod 2007). EBM kelautan
berbeda dengan pendekatan saat ini yang selalu terfokus pada spesies atau sektor
tunggal, dan termasuk juga mempertimbangkan interaksi antar komponen
ekosistem dan dampak kumulatif dari berbagai aktivitas. Pendekatan untuk
menerapkan EBM kelautan berbagai macam, namun semua terfokus pada
perlindungan struktur, fungsi dan proses kunci dalam ekosistem.

49

Dalam EBM, hubungan antara populasi manusia dan sistem


ekonomi/sosial tampak sebagai bagian terpadu dari ekosistem. Lebih penting lagi,
EBM difokuskan dengan proses perubahan sistem hidup dan keberlanjutan jasa
dan pelayanan yang menghasilkan ekosistem yang sehat. EBM selanjutnya
didesain dan dilaksanakan sebagai adaptive berbasis proses pembelajaran yang
menerapkan prinsip-prinsip metode ilmiah untuk proses pengelolaan (UNEP
2006).
Ada dua alasan utama mengapa pendekatan berbasis ekosistem lebih baik
untuk status quo. Pertama, ilmuwan menemukan bukti bahwa interaksi dalam
sistem ekologi pesisir dan laut penting untuk ketahanan dan kesehatan sistem ini.
Ketika koneksi ini rusak atau rusak parah, melalui hilangnya atau penurunan
spesies, perusakan habitat kunci, atau perubahan rezim gangguan, kemampuan
sistem pesisir dan laut akan menurun untuk pulih dari gangguan (recover) dan
untuk terus memberikan layanan yang bernilai (Paine et al.; Steneck et al.;
Hughes et al. dalam Leslie & McLeod 2007). Kedua, rezim pengelolaan arus laut
di AS dan di tempat lain tidak cukup mampu mempertahankan sumber daya
pesisir dan laut (POC; USCOP dalam Leslie & McLeod 2007).
Leslie & McLeod (2007) menjelaskan elemen kunci dari pengelolaan
berbasis ekosistem laut meliputi:
1. Koneksi: Pada intinya, EBM adalah tentang mengakui koneksi, termasuk
hubungan antara ekosistem laut dan masyarakat manusia, ekonomi dan sistem
kelembagaan, serta mereka di antara berbagai spesies di dalam ekosistem laut
dan di antara tempat-tempat yang dihubungkan oleh gerakan spesies, bahan,
dan arus laut.
2. Dampak Kumulatif: EBM berfokus pada bagaimana tindakan individu
mempengaruhi jasa ekosistem yang mengalir dari sistem sosial-ekologi
digabungkan secara terpadu, daripada mempertimbangkan dampak secara
sedikit demi sedikit.
3. Beberapa tujuan: EBM berfokus pada beragam manfaat yang disediakan oleh
sistem laut, bukan pada jasa ekosistem tunggal. Manfaat tersebut atau jasa
termasuk perikanan komersial dan rekreasi hidup, konservasi keanekaragaman

50

hayati, energi terbarukan dari angin atau gelombang, perlindungan pantai,


menyelam, dan rekreasi dengan kayak laut.
4. Merangkul perubahan: Ditambah sistem sosial-ekologi yang terus berubah
dengan cara yang tidak bisa sepenuhnya diperkirakan atau dikendalikan.
Memahami ketahanan sistem ini, yaitu, sejauh mana mereka dapat
mempertahankan struktur, fungsi, dan identitas dalam menghadapi gangguan,
dapat memungkinkan prediksi yang lebih baik tentang bagaimana mereka
akan merespon tidak hanya baik gangguan alami dan antropogenik, termasuk
perubahan dalam lingkungan manajemen.
5. Pembelajaran dan adaptasi: Karena kurangnya kontrol dan prediktabilitas
sistem sosial-ekologi digabungkan, pendekatan pengelolaan adaptif
dianjurkan.
Terutama, tidak ada jalan yang benar tunggal untuk manajemen berbasis
ekosistem - di darat atau di laut. Pendekatan ini akan dipraktekkan di berbagai
tempat di berbagai skala geografis, masing-masing dengan konteks sejarah sendiri
yang unik, ekologi, dan sosial.
Olsen dalam UNEP (2006) menyatakan ada empat keluaran yang
diharapkan dalam pengelolaan berbasis ekosistem (EBM), yaitu:
1. Kondisi yang memungkinkan (enabling), meliputi: Komitmen pemerintah
dalam kewenangan dan pembiayaan; kapasitas kelembagaan dalam
implementasi; tujuan yang tidak tumpang tindih; dan adanya kesepakatan pada
tingkat lokal dan nasional.
2. Perubahan perilaku, meliputi: perubahan perilaku pada kelembagaan dan
kelompok stakeholder; perubahan perilaku sehubungan dengan efektivitas
pemanfaatan sumberdaya; perubahan dalam strategi investasi.
3. Panen, meliputi: keinginan sosial dan kualitas lingkungan dipertahankan, dan
diperbaiki.
4. Pembangunan ekosistem pesisir berkelanjutan, meliputi: keinginan dan
keseimbangan dinamik antara sosial dan kondisi lingkungan yang
berkelanjutan.

51

2.7 Landasan Peraturan Perundangan Pemanfaatan Taman Nasional


2.7.1 Undang-Undang No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya
Alam Hayati dan Ekosistemnya

UU ini boleh dikatakan merupakan peraturan pokok bagi pengelolaan


kawasan pelestarian alam, seperti TN Kutai. Bentuk-bentuk kawasan pelestarian
alam antara lain adalah taman nasional, taman hutan raya dan taman wisata alam
(Pasal 29).
Fungsi dari kawasan pelestarian alam antara lain untuk perlindungan
sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan
satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya (Pasal 30). Pada bagian penjelasan dikatakan bahwa usaha
pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya pada
hakikatnya merupakan usaha pengendalian/pembatasan dalam pemanfaatan
sumber daya alam hayati dan ekosistemnya sehingga pemanfaatan tersebut dapat
dilaksanakan secara terus menerus pada masa mendatang. Berdasarkan pasal ini,
tampak bahwa pemanfaatan lestari pada dasarnya diijinkan dilakukan di kawasan
taman nasional. Bentuk kegiatan pemanfaatan lestari sumberdaya alam hayati
telah dijelaskan pada pasal sebelumnya, yaitu Pasal 26 yang menyatakan bahwa
pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dilakukan
melalui kegiatan:
a. pemanfaatan kondisi lingkungan kawasan pelestarian alam; dan
b. pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar.
Lebih lanjut pada Pasal 31 dikatakan:
(1) Di dalam taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam dapat
dilakukan kegiatan untuk kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan,
pendidikan, menunjang budidaya, budaya, dan wisata alam.
(2) Kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dilakukan tanpa
mengurangi fungsi pokok masing-masing kawasan.
Kawasan taman nasional dikelola dengan sistem zonasi yang terdiri dari
zona inti, zona pemanfaatan, dan zona lain sesuai dengan keperluan (Pasal 32),
oleh karena itu penggunaan kawasan untuk kegiatan tersebut harus sesuai dengan
fungsi masing-masing zona.

52

Adapun jenis kegiatan yang dilarang dilakukan dinyatakan dalam Pasal 33


sebagai berikut:
(1) Setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan
perubahan terhadap keutuhan zona inti taman nasional.
(2) Perubahan terhadap keutuhan zona inti taman nasional sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) meliputi mengurangi, menghilangkan fungsi dan
luas zona inti taman nasional, serta menambah jenis tumbuhan dan satwa
lain yang tidak asli.
(3) Setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan fungsi
zona pemanfaatan dan zona lain dari taman nasional, taman hutan raya, dan
taman wisata alam.

2.7.2 Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan

Pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan dalam UU 41 tahun


1999 tentang kehutanan diatur dalam Pasal 23, yang berbunyi Pemanfaatan
hutan bertujuan untuk memperoleh manfaat yang optimal bagi kesejahteraan
seluruh masyarakat secara berkeadilan dengan tetap menjaga kelestariannya.
Selanjutnya dalam Pasal 24 dijelaskan bahwa Pemanfaatan kawasan
hutan dapat dilakukan pada semua kawasan hutan kecuali pada hutan cagar
alam serta zona inti dan zona rimba pada taman nasional.
Berdasarkan Pasal-Pasal tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa di
kawasan taman nasional, seperti Taman Nasional Kutai, dapat dilakukan
pemanfaatan di luar zona inti dan zona rimba. Bila dikaitkan dengan UU No
5/1990, maka ketentuan-ketentuan yang harus diperhatikan dalam melakukan
kegiatan pemanfaatan di zona pemanfaatan taman nasional adalah:
1) Adanya usaha pengendalian/pembatasan dalam pemanfaatan sumber daya
alam hayati dan ekosistemnya sehingga pemanfaatan tersebut dapat
dilaksanakan secara terus menerus pada masa mendatang;
2) Bentuk kegiatan yang diijinkan adalah: a) pemanfaatan kondisi lingkungan
kawasan pelestarian alam; dan b) pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar;
3) Kegiatan yang menunjang budidaya harus dilakukan tanpa mengurangi fungsi
pokok masing-masing kawasan;

53

4) Penggunaan kawasan untuk kegiatan tersebut harus sesuai dengan fungsi


masing-masing zona;
5) Dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap
keutuhan zona inti taman nasional seperti mengurangi, menghilangkan fungsi
dan luas zona inti taman nasional, serta menambah jenis tumbuhan dan satwa
lain yang tidak asli.
Selain itu, Pasal 19 dalam UU 41/1999 ini juga menyediakan skema
perubahan fungsi sebagai berikut:
(1) Perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan ditetapkan oleh
Pemerintah dengan didasarkan pada hasil penelitian terpadu.
(2) Perubahan peruntukan kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
yang berdampak penting dan cakupan yang luas serta bernilai strategis,
ditetapkan oleh Pemerintah dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
(3) Ketentuan tentang tata cara perubahan peruntukan kawasan hutan dan
perubahan fungsi kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

2.7.3 Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah


Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

Ekosistem mangrove, selama ini hanya dipandang dari sisi vegetasinya


sebagai hutan mangrove, sehingga dalam pengelolaannya juga lebih banyak
mengacu pada peraturan kehutanan. Namun, pada kenyataannya ekosistem
mangrove berada pada wilayah pesisir yang dipengaruhi oleh pasang surut air
laut, dan merupakan habitat bagi biota perikanan. Oleh karena itu pengelolaan
ekosistem mangrove juga semestinya mengacu pada UU 27 Tahun 2007 tentang
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Zonasi kawasan konservasi dalam UU 27/2007 diatur dalam Pasal 29,
yang menyatakan:
Kawasan konservasi dibagi atas tiga zona, yaitu:
a. Zona inti;
b. Zona pemanfaatan terbatas; dan
c. Zona lain sesuai dengan peruntukan Kawasan.

54

Penjelasan atas Pasal 29 ini adalah:


Huruf a
Zona inti merupakan bagian dari Kawasan Konservasi di Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil yang dilindungi, yang ditujukan untuk perlindungan habitat dan
populasi Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil serta pemanfaatannya hanya
terbatas untuk penelitian.
Huruf b
Zona pemanfaatan terbatas merupakan bagian dari zona konservasi Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil yang pemanfaatannya hanya boleh dilakukan untuk budidaya
pesisir, ekowisata, dan perikanan tradisional.
Huruf c
Cukup jelas

2.7.4 Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2007 jo Peraturan Pemerintah


No. 3 Tahun 2008 Tentang Tata Hutan Dan Penyusunan Rencana
Pengelolaan Hutan, Serta Pemanfaatan Hutan

PP No. 6 Tahun 2007 merupakan aturan yang dibuat sebagai pelaksanaan


Pasal 22 UU No 41 Tahun 1999. PP ini disusun dalam rangka meningkatkan laju
pertumbuhan pembangunan nasional berkelanjutan diperlukan beberapa langkah
strategis yang dapat mendorong pertumbuhan investasi, percepatan pembangunan
hutan tanaman, pengendalian degradasi hutan dan peningkatan perekonomian
nasional termasuk perekonomian masyarakat di dalam dan sekitar hutan melalui
deregulasi dan debirokratisasi yang dilandasi prinsip good governance dan
pengelolaan hutan lestari.
Pasal-pasal dalam PP No. 6 Tahun 2007 yang berisi aturan pemanfaatan
hutan konservasi antara lain Pasal 17, 18, 19 dan Pasal 22, sebagai berikut:

Pasal 17
(1) Pemanfaatan hutan bertujuan untuk memperoleh manfaat hasil dan jasa hutan
secara optimal, adil, dan lestari bagi kesejahteraan masyarakat.
(2) Pemanfaatan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan
melalui kegiatan:
a. pemanfaatan kawasan;

55

b. pemanfaatan jasa lingkungan;


c. pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu; dan
d. pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu.
(3) Pemanfaatan hutan dilaksanakan berdasarkan rencana pengelolaan hutan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16.

Pasal 18
Pemanfaatan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, dapat dilakukan
pada seluruh kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2), yaitu
kawasan;
a. hutan konservasi, kecuali pada cagar alam, zona rimba, dan zona inti dalam
taman nasional;
b. hutan lindung; dan
c. hutan produksi

Pasal 19
Dalam setiap kegiatan pemanfaatan hutan yang dilakukan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 17 ayat (2), wajib disertai dengan izin pemanfaatan hutan yang
meliputi :
a. IUPK;
b. IUPJL;
c. IUPHHK;
d. IUPHHBK;
e. IPHHK ; dan
f. IPHHBK.

Pasal 22
Pada hutan konservasi, pemberian izin pemanfaatan hutan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 17 harus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

2.7.5 Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 2007 tentang Konservasi


Sumberdaya Ikan
Peraturan lain yang terkait dengan konservasi dan pemanfaatan
sumberdaya pesisir adalah Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 2007 tentang

56

Konservasi Sumberdaya Ikan. PP ini pada dasarnya mengijinkan adanya


pemanfaatan pada konservasi sumberdaya ikan. Beberapa pasal dalam PP 60
Tahun 2007 yang berkaitan dengan pemanfaatan kawasan konservasi untuk
budidaya, yaitu:
1) Pasal 2 poin (2), Konservasi sumber daya ikan dilakukan berdasarkan prinsip:
a. pendekatan kehati-hatian;
b. pertimbangan bukti ilmiah;
c. pertimbangan kearifan lokal;
d. pengelolaan berbasis masyarakat;
e. keterpaduan pengembangan wilayah pesisir;
f. pencegahan tangkap lebih;
g.pengembangan alat penangkapan ikan, cara penangkapan ikan, dan
pembudidayaan ikan yang ramah lingkungan;
h. pertimbangan kondisi sosial ekonomi masyarakat;
i. pemanfaatan keanekaragaman hayati yang berkelanjutan;
j. perlindungan struktur dan fungsi alami ekosistem perairan yang dinamis;
k. perlindungan jenis dan kualitas genetik ikan; dan
l. pengelolaan adaptif.
2) Pasal 6, konservasi ekosistem dilakukan melalui kegiatan:
a. perlindungan habitat dan populasi ikan;
b. rehabilitasi habitat dan populasi ikan;
c. penelitian dan pengembangan;
d. pemanfaatan sumber daya ikan dan jasa lingkungan;
e. pengembangan sosial ekonomi masyarakat;
f. pengawasan dan pengendalian; dan/atau
g. monitoring dan evaluasi.
3) Pasal 30 poin (1), pemanfaatan konservasi sumber daya ikan meliputi:
a. pemanfaatan kawasan konservasi perairan; dan
b. pemanfaatan jenis ikan dan genetik ikan.
Pasal 30 poin (2), pemanfaatan kawasan konservasi perairan dilakukan
melalui kegiatan:
a.penangkapan ikan;

57

b.pembudidayaan ikan;
c. pariwisata alam perairan; atau
d.penelitian dan pendidikan.
Pasal 32 poin (1), Pemanfaatan kawasan konservasi perairan untuk
pembudidayaan ikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2) huruf b
dilakukan di zona perikanan berkelanjutan.

2.7.6 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia


Nomor Per.17/Men/2008 tentang Kawasan Konservasi di Wilayah
Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil

Pola pengelolaan kawasan konservasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau


kecil diatur dalam Pasal 31, sebagai berikut:
(1) Pola pengelolaan KKP3K dan KKM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30
huruf b, dilakukan melalui sistem zonasi.
(2) Sistem zonasi KKP3K dan KKM sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri:
a. zona inti;
b. zona pemanfaatan terbatas; dan/atau
c. zona lainnya sesuai dengan peruntukan kawasan.
(3) Zona inti sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a wajib dimiliki setiap
jenis KKP3K dan KKM.
(4) Setiap jenis KKP3K dan KKM dapat memiliki satu atau lebih zonasi sesuai
dengan luasan dan karakter bio-fisik serta sosial ekonomi dan budaya KKP3K
dan KKM.
Selanjutnya dalam Pasal 32 dijelaskan fungsi dari masing-masing zona
tersebut, yaitu:
(1) Zona inti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (2) huruf a, antara lain
diperuntukkan:
a. perlindungan mutlak habitat dan populasi ikan, serta alur migrasi biota laut;
b. perlindungan ekosistem pesisir yang unik dan/atau rentan terhadap
perubahan;
c. perlindungan situs budaya/adat tradisional;
d. penelitian; dan/atau
e. pendidikan.

58

(2) Zona Pemanfaatan terbatas antara lain diperuntukkan:


a. perlindungan habitat dan populasi ikan;
b. pariwisata dan rekreasi;
c. penelitian dan pengembangan; dan/atau
d. pendidikan.
(3) Zona lainnya merupakan zona diluar zona inti dan zona pemanfaatan terbatas
yang karena fungsi dan kondisinya ditetapkan sebagai zona tertentu antara lain
zona rehabilitasi.
Berdasarkan pembagian dan fungsi masing-masing zona, dapat diketahui
bahwa di daerah konservasi pesisir dan laut dapat digunakan untuk pemanfaatan
terbatas yang merupakan perikanan berkelanjutan.

2.7.7 Peraturan Pemerintah No. 26 tahun 2008 tentang Rencana Tata


Ruang Wilayah Nasional

Dalam PP ini dikatakan, Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional yang


selanjutnya disebut RTRWN adalah arahan kebijakan dan strategi pemanfaatan
ruang wilayah negara. Pasal 51 mengatakan kawasan lindung nasional terdiri atas:
a. kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasan bawahannya;
b. kawasan perlindungan setempat;
c. kawasan suaka alam, pelestarian alam, dan cagar budaya;
d. kawasan rawan bencana alam;
e. kawasan lindung geologi; dan
f. kawasan lindung lainnya.
Selanjutnya, Pasal 51c dijelaskan dalam Pasal 52 poin (3), yaitu: Kawasan
suaka alam, pelestarian alam, dan cagar budaya, terdiri atas:
a. kawasan suaka alam;
b. kawasan suaka alam laut dan perairan lainnya;
c. suaka margasatwa dan suaka margasatwa laut;
d. cagar alam dan cagar alam laut;
e. kawasan pantai berhutan bakau;
f. taman nasional dan taman nasional laut;
g. taman hutan raya;
h. taman wisata alam dan taman wisata alam laut; dan

59

i. kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan.


Sedangkan lokasi-lokasi yang termasuk dalam kawasan lindung diatur dalam
Lampiran VIII PP No. 26/2008 tentang Kawasan Lindung Nasional, dimana
menyebutkan Taman Nasional Kutai termasuk dalam kawasan taman nasional
dengan status pengembangan tahap I.

2.7.8 Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.56/Menhut-II/2006 Tentang


Pedoman Zonasi Taman Nasional

Menurut permen ini yang dimaksud dengan Taman nasional adalah


kawasan pelestarian alam baik daratan maupun perairan yang mempunyai
ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yaitu dimanfaatkan untuk tujuan
penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya,
pariwisata dan rekreasi.
Zonasi taman nasional adalah suatu proses pengaturan ruang dalam taman
nasional menjadi zona-zona, yang mencakup kegiatan tahap persiapan,
pengumpulan dan analisis data, penyusunan draft rancangan zonasi, konsultasi
publik, perancangan, tata batas dan penetapan, dengan mempertimbangkan kajian-
kajian dari aspek-aspek ekologis, sosial, ekonomi dan budaya masyarakat.
Dalam Pasal 2 (dua) disebutkan bahwa Pedoman zonasi taman nasional
dimaksudkan sebagai acuan bagi pengelola kawasan taman nasional dalam
melaksanakan penataan zona di kawasan taman nasional. Tujuan dari Pedoman
zonasi taman nasional adalah untuk mewujudkan sistem pengelolaan taman
nasional yang efektif dan optimal sesuai dengan fungsinya.
Menurut Pasal 3 (tiga) zona dalam kawasan taman nasional terdiri dari:
1. Zona inti;
2. Zona rimba; Zona perlindungan bahari untuk wilayah perairan;
3. Zona pemanfaatan;
4. Zona lain, antara lain:
1. Zona tradisional;
2. Zona rehabilitasi;
3. Zona religi, budaya dan sejarah;
4. Zona khusus.

60

Penataan zona taman nasional didasarkan pada potensi dan fungsi kawasan
dengan memperhatikan aspek ekologi, sosial, ekonomi dan budaya. Adanya
berbagai zona yang ditetapkan dalam permen ini, zona tradisional atau pun zona
khusus merupakan bagian yang memungkinkan menjadi solusi bagi permasalahan
penduduk dalam kawasan TN Kutai.
Zona tradisional adalah bagian dari taman nasional yang ditetapkan untuk
kepentingan pemanfaatan tradisional oleh masyarakat yang karena kesejarahan
mempunyai ketergantungan dengan sumber daya alam.
Zona khusus adalah bagian dari taman nasional karena kondisi yang tidak
dapat dihindarkan telah terdapat kelompok masyarakat dan sarana penunjang
kehidupannya yang tinggal sebelum wilayah tersebut ditetapkan sebagai taman
nasional antara lain sarana telekomunikasi, fasilitas transportasi dan listrik.

2.7.9 Keputusan Menteri Kehutanan No.325/Kpts-II/1995 tentang


Penunjukkan Taman Nasional Kutai

Pengelolaan TN Kutai membutuhkan kepastian kawasan sehingga


memiliki kepastian hukum yang pada akhirnya memiliki konsekuensi hukum.
Dalam hal pengukuhan kawasan, TN Kutai baru sampai pada tahap penunjukkan
kawasan (SK Menteri Kehutanan No. 325/Kpts-II/1995) dan saat ini TN Kutai
sedang dalam proses penyelesaian berita acara tata batas sebagai bahan untuk
dilanjutkan ke proses penetapan kawasan dalam rangka penegasan status hukum
kawasan taman nasional. Tabel 2 menyajikan informasi luas TN Kutai yang telah
ditata batas.

Tabel 2 Hasil Tata Batas di TN Kutai.


Sudah ditata Rekonstrukasi
Fungsi Luas Panjang batas Batas
No. Ket.
Kawasan (ha) Batas (m) Panjang Panjang
Tahun Tahun
(m) (m)
11 000 1982
1 Konservasi 198 629 274 021.17 84 358 1979 BPKH
9 000 1984
10 000 1986 Badan SIG
2 Enclave 29 880 1999
10 000 1989 Kutai Timur
53 000 1992
3 Konservasi 159 783.17 2002 31 358 1995 BPKH
68 000 2004
Sumber : Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah IV dalam Pemkab Kutim
(2005)

3 METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di kawasan mangrove di Taman Nasional Kutai


(TNK) seluas 5 277.79 ha. Waktu pengambilan data antara bulan Oktober 2008-
Juni 2010.

Gambar 12 Peta lokasi penelitian.

Metode penentuan titik stasiun untuk survey bioekologi dilakukan secara


purposive sampling, dimana penentuan titik stasiun dilakukan secara sengaja
berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu. Pertimbangan yang diambil
antara lain berdasarkan karakteristik ekologis habitat mangrove dan kependudukan.
Habitat mangrove TNK dibagi menjadi 3 stasiun utama, yaitu: Muara
Sungai Sangatta (Sta. A), Teluk Perancis (Sta. B), dan Muara Sungai Sangkimah
(Sta. C). Pada masing-masing stasiun tersebut akan dibuat substasiun-substasiun
mulai dari perairan pantai menuju mangrove ke arah daratan.
62

Perbedaan karakteristik pada masing-masing stasiun tersebut adalah:


Stasiun A: Sungai Sangatta merupakan muara sungai besar, telah dibuka
tambak dan ada perkampungan kecil, mangrove didominasi jenis Avicenia.
Stasiun B: Teluk Perancis merupakan teluk yang cukup terlindung, di teluk ini
bermuara beberapa alur sungai kecil, belum ada pemukiman, mangrove
didominasi jenis Rhizophora apiculata.
Stasiun C: Sungai Sangkimah terletak di dekat areal perusahaan minyak
Pertamina, ada pemukiman penduduk pada jarak yang tidak terlalu jauh,
terdapat teluk yang lebih kecil dibanding Teluk Perancis dimana bermuara S.
Sangkimah, mangrove didominasi Rhizophora apiculata, Bruguiera
parviflora, dan Sonneratia alba.
Lokasi masing-masing stasiun dapat dilihat pada Gambar 12.

3.2 Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yang bersifat eksploratif


guna mendapatkan fakta dari kondisi yang ada melalui survei dan analisis
laboratorium. Tujuannya, untuk mendapatkan data kondisi bioekologi S. serrata
di kawasan mangrove TN Kutai, status pemanfaatan sumberdaya S. serrata, dan
penilaian dampak pemanfaatan sumberdaya S. serrata terhadap kelestarian
ekosistem mangrove dan dampak sosial ekonomi pada masyarakat lokal, terutama
nelayan dan petambak di kawasan mangrove TN Kutai. Gay dalam Sevilla et al.
(1993) mendefinisikan metode penelitian deskriptif sebagai kegiatan yang
meliputi pengumpulan data dalam rangka menguji hipotesis atau menjawab
pertanyaan yang meyangkut keadaan pada waktu yang sedang berjalan dari pokok
suatu penelitian.

Pelaksanaan penelitian ini dibagi menjadi 6 tahapan, yaitu:

1. Analisis sosial ekonomi masyarakat dan kondisi umum TN Kutai.


2. Analisis status bioekologi kepiting bakau dan daya dukung lingkungan.
3. Analisis pemanfaatan sumberdaya kepiting bakau.
4. Identifikasi sistem pengelolaan kepiting bakau di TNK.
5. Pemodelan dan simulasi skenario pengelolaan sumberdaya kepiting bakau.
63

6. Penyusunan rekomendasi dan kebijakan pengelolaan sumberdaya kepiting


bakau di hutan mangrove TNK.
Berdasarkan masalah yang diteliti tersebut, metode yang digunakan untuk
mengumpulkan data adalah metode survei, yaitu mengadakan penyelidikan untuk
mendapatkan fakta-fakta dari gejala yang ada dihubungkan dengan kondisi faktual
dari daerah dimana lokasi penelitian itu berada (Sevilla et al. 1993).

3.3 Analisis sosial ekonomi masyarakat dan kondisi umum TN Kutai

3.3.1 Jenis dan sumber data sosial ekonomi masyarakat

Jenis data yang diperlukan yang berkaitan dengan kondisi sosial ekonomi
dan kelembagaan masyarakat di dalam kawasan Taman Nasional Kutai berupa
data primer dan data sekunder. Data primer yang diperlukan, meliputi: aspek
sosial ekonomi (mata pencaharian, analisis usaha kegiatan penangkapan, analisis
usaha budidaya sylvofishery kepiting bakau, struktur sosial, dan data persepsi
masyarakat), dan aspek kebijakan (pendapat pakar berkaitan kebijakan
pengelolaan kawasan hutan mangrove di TNK).
Data sekunder yang diperlukan meliputi: aspek kependudukan (jumlah
penduduk, pendidikan, agama, dan kesehatan), dan aspek hukum/kelembagaan
(rencana tata ruang, kebijakan pengelolaan kawasan konservasi, dan kelembagaan
pengelolaan kawasan konservasi).

3.3.2 Metode pengumpulan data sosial ekonomi masyarakat

A. Pengumpulan Data Primer


Pengumpulan data primer dilaksanakan dengan cara memberikan
kuesioner kepada para responden pada tiga desa yang dipilih menggunakan
metode purposive sampling, sesuai dengan lokasi untuk pengumpulan data
biofisik. Ketiga desa tersebut adalah Desa Sangkima, Desa Sangkima Lama, dan
Desa Singa Geweh, yang merupakan desa pantai yang berlokasi di dalam kawasan
hutan mangrove Taman Nasional Kutai.
Pemilihan jenis responden sebagai unit penelitian untuk data sosial
ekonomi ditentukan secara sengaja (purposive sampling) berdasarkan jenis mata
64

pencaharian responden, dengan pertimbangan bahwa responden terlibat dalam


pemanfaatan sumberdaya di kawasan mangrove TN Kutai. Untuk kepentingan
penelitian ini, maka jenis responden yang digunakan adalah; (1) nelayan kepiting
bakau, (2) pedagang pengumpul kepiting bakau, (3) petambak, (4) nelayan lain,
dan (5) pengambil kebijakan.
Selain itu juga dilakukan wawancara mendalam (deep interview) dengan
para pengambil kebijakan yang terkait dengan pengelolaan TN Kutai, dengan
substansi yang menyangkut (a) Permasalahan kerusakan habitat mangrove yang
meluas akibat pemanfaatan yang merusak, (b) bentuk-bentuk pemanfaatan ramah
lingkungan yang dapat dilakukan dalam habitat mangrove, (c) kebijakan
pemerintah yang perlu dilakukan agar habitat mangrove di TN Kutai dapat
dimanfaatkan dengan menjaga kelestarian lingkungan.
Responden untuk deep interview dipilih secara sengaja (purposive
sampling) dari kelompok berikut:
(i) Pemerintah Daerah (Kepala Desa, Bappeda, Dinas Kelautan Perikanan),
(ii) Pengelola Taman Nasional Kutai (Kepala Balai TNK),
(iii) Pengelola perusahaan yang ada di dalam wilayah TNK (Pertamina).

B. Pengumpulan Data Sekunder


Data sekunder antara lain berupa literatur penunjang yang ditelusuri dari
hasil penelitian sebelumnya, data monografi Kecamatan Sangatta Selatan, data
statistik Badan Pusat Statistik, data dasar Balai Taman Nasional Kutai, Bappeda
Kabupaten Kutai Timur, dan data dari instansi lain yang terkait dengan penelitian
ini.

3.3.3 Analisis data sosial ekonomi masyarakat


A. Penentuan Jumlah Unit Responden
Jumlah sampel untuk responden ditentukan secara random proporsional
berlapis (Stratified Proporsional Random Sampling). Stratified Proporsional
Random Sampling merupakan salah satu satu cara pengambilan sampel
berdasarkan strata. Strata ditentukan dari jenis matapencaharian penduduk yang
terkait dengan ekosistem mangrove.
65

Jumlah unit sampel untuk responden petambak dan nelayan ikan


ditentukan berdasarkan persamaan estimasi proporsi sebagai berikut (Cochran
dalam Nazir 2003):

............................................................................ (1)
Keterangan :
n = jumlah unit sampel yang diinginkan, N = jumlah total jenis responden, D =
B2/4 (B adalah bound of error = 0,10 ), dan p (estimator dari proporsi populasi =
0,1).
Selanjutnya, pemilihan responden yang diambil sebagai obyek penelitian
ditentukan secara random sampling, untuk mengurangi subyektivitas. Responden
nelayan kepiting bakau, pedagang pengumpul kepiting bakau, dan pengambil
kebijakan, pemilihan responden sebagai obyek penelitian dilakukan secara sensus,
karena jumlah unit sampelnya kurang dari 25 orang. Prosedur penentuan jumlah
dan pemilihan responden dapat dilihat pada diagram Gambar 13.

Data Sosial Ekonomi

Jenis Responden

Nelayan kepiting Pedagang pengumpul Pengambil Nelayan


petambak Purposive
bakau kepiting bakau kebijakan lain Sampling

N1=15 N2=1 N3=7 N4= 32 N5= 160

Sensus Ukuran Sampel


Jumlah
responden
(sampel)
n1 = 15 n2 = 1 n3 = 7 n4 = 17 n5=30

Stratified Proporsional
Sensus Random Sampling Pemilihan
responden
23 47

Gambar 13 Bagan alir penentuan jumlah dan jenis responden.


66

B. Analisis Pemanfaatan Sumberdaya Scylla serrata


Untuk mengetahui mata rantai sistem pemanfaatan sumberdaya S. serrata
di kawasan mangrove TN Kutai dilakukan penelusuran dengan melakukan
wawancara pada pengguna S. serrata. Responden yang digunakan dalam
wawancara ini adalah responden nelayan yang sama dengan yang digunakan
untuk kuisioner sosial ekonomi. Sebagai data pendukung dilakukan penelusuran
pada instansi-instansi yang terkait dengan sistem pemanfaatan S. serrata, antara
lain Dinas Kelautan Perikanan Kabupaten Kutai Timur dan Balai Karantina Ikan
Kelas I Sepinggan Balikpapan.

i. Pengumpulan Data Budidaya Pembesaran S. serrata

Budidaya pembesaran kepiting bakau yang akan dianalisis adalah


budidaya yang menggunakan metode sylvofishery, yaitu dengan cara
membesarkan kepiting bakau dalam karamba tancap dalam kawasan hutan
mangrove.
Lokasi untuk pembangunan kurungan tancap dipilih di dalam area rawa
mangrove yang berada pada kisaran pasang surut air laut, sehingga penggantian
air dalam kurungan dapat dilakukan setiap hari dengan mengikuti mekanisme
pasang surut air laut .
Dimensi dari kurungan tancap adalah 10 m x 20 m (200 m2) dan tinggi
jaring adalah 2.5 meter untuk mencegah pemangsa (predator) dan untuk
mencegah kepiting melarikan diri. Jaring yang digunakan bermata jaring 1.25
inchi. Jaring didukung oleh tonggak pada tiap interval 3 meter. Tinggi tonggak 3
meter dengan 0.6 meter ditancapkan dalam tanah. Untuk penggunaan waring
sebagai pagar, pada bagian bawah waring tetap perlu ditancapkan papan sedalam
0.6 meter untuk mencegah kepiting melarikan diri dengan menggali lubang
dalam lumpur. Untuk mencegah masuknya hama/predator, pada bagian luar dari
jaring pagar dibuat pagar keliling dari bahan bambu yang dibelah. Tinggi pagar
bambu minimal sepanjang ukuran biawak terbesar, yaitu 1 meter.
Di dalam kurungan tancap, digali saluran keliling dengan ukuran lebar
antara 0.6-0.9 m dan dalam 0.8 m. Suatu saluran kecil lebar 0.3 m dan dalam 0.3
m dibangun menyeberang dalam kurungan tancap itu. Tanah galian dari saluran
67

keliling ditimbunkan di kaki pagar untuk membangun suatu jembatan. Saluran


keliling dihubungkan kepada inlet/outlet yang mengalir keluar kurungan tancap.
Sketsa pelaksanaan budidaya pembesaran kepiting bakau tersebut
disajikan pada Gambar 14.

Gambar 14 Sketsa sylvofishery pembesaran kepiting bakau.

Kepiting yang digunakan untuk stok benih pada budidaya ini dikumpulkan
dari penangkapan alam. Kepiting yang digunakan adalah kepiting yang berukuran
lebar karapas 60-80 mm. Berdasarkan hasil penelitian Trio (2002) tingkat
padat penebaran 1.5 ekor/m2 memberikan hasil tingkat survival yang paling tinggi
dan pertambahan berat yang tidak berbeda nyata dibandingkan kepadatan 0.5
ekor/m2, sehingga pada penelitian ini akan dilakukan padat penebaran sebanyak
1.5 ekor/m2, atau 300 ekor/kurungan. Analisis budidaya dilakukan dengan
menghitung pertumbuhan kepiting bakau, dan tingkat kelulushidupan (survival
rate).

ii. Pengumpulan Data Penangkapan S. serrata

Data yang dikumpulkan dari nelayan berupa hasil tangkapan harian,


ukuran, jenis kelamin, lokasi tangkapan, jenis alat tangkap, lama upaya
menangkap, dan harga jual kepiting bakau.
68

Area penangkapan ditentukan pada 3 zona, sesuai dengan area operasional


3 jenis alat tangkap kepiting bakau yang digunakan, yaitu zona tengah hutan
mangrove (jenis alat pengait), zona depan hutan mangrove/pinggir pantai (jenis
alat rakkang), dan zona perairan pantai (jenis alat rengge). Sebaran alat tangkap
kepiting bakau pada area hutan mangrove disajikan pada Gambar 15.

11730' 11733' 11736' 11739' 11742'

027' 2 0 2 Kilometers 027' LEGENDA:


N
pengait

c
rakkang


rengge/gillnet


A_Muara Sangatta
mangrove
nipah

c
Area lain TNK
tambak
vegetasi pantai
024'


B_Teluk Perancis 024'
c Batas TNK
Stasiun utama

SELATMAKASSAR
021' 021' sumber peta:
1. Peta Dasar TNK
2. Survei Lapangan
cC_Muara Sangkima
SARAWAK

KALIMANTANTIMUR


018'
018'



disusun oleh:
Nirmalasari Idha Wijaya
11730' 11733' 11736' 11739' 11742' Sekolah Pascasarjana
Institut Pertanian Bogor

Gambar 15 Sebaran lokasi alat tangkap kepiting di area hutan mangrove TN Kutai

C. Perkiraan Pendapatan dari Pemanfaatan Scylla serrata

i. Budidaya sylvofishery Scylla serrata

Produksi kepiting bakau merupakan stok yang menjadi sumber pendapatan


bagi masyarakat. Produksi kepiting S. serrata diperoleh dari produksi budidaya
sylvofishery dan produksi hasil tangkapan. Bila produksi ini dikalikan harga, maka
akan diperoleh sebagai keuntungan (). Keuntungan dihitung sebagai Total
Revenue (TR) dikurangi Total Cost (TC). Sehingga diperoleh formula berikut:

................................................................................. (2)
................................................................................ (3)
69

= keuntungan Y = total produksi kepiting (kg)


TR = total revenue (penerimaan total) Px = harga per satuan input
TC = total cost (biaya total) (Rp/unit)
P = harga per satuan produk kepiting (Rp/kg) Xi = jumlah input yang digunakan

ii. Penangkapan Scylla serrata


Analisis pendapatan dari penangkapan S. Serrata dilakukan untuk
mengetahui keuntungan per bulan yang diperoleh nelayan S. Serrata. Keuntungan
ini didapat berdasarkan nilai pasar dari suatu komoditi atau jumlah hasil produksi.
Prakiraan keuntungan ekonomi tidak dapat dihitung langsung tetapi diperkirakan
melalui perhitungan pendapatan per unit effort (RPUE), dengan persamaan yang
dimodifikasi dari Bene & Tewfik (2000) berikut:
...................................................................................... (4)

RPUE j = pendapatan per unit effort pada bulan ke- j (asumsi untuk mencerminkan
pendapatan yang diperoleh pengumpul pada setiap bulan),
CPUE j = hasil tangkap per unit usaha pada bulan ke- j (asumsi untuk
mencerminkan ketersediaan S. serrata pada setiap bulan), dan
P = harga S. serrata yang berlaku.

Nilai CPUE j didapat dengan memanfaatkan persamaan:

..................................................................................... (5)

C j = hasil tangkap pada hari ke- j dan E j = jumlah upaya pada hari ke- j.

iii. Analisis Kelayakan Usaha


Analisis kelayakan usaha mencakup pada perhitungan penentuan biaya
investasi, biaya operasional dan penerimaan. Analisis ini menggunakan
kriteria Revenue Cost Ratio (R/C), Net Benefit (), Net Present Value (NPV),
dan Net Benefit Cost Ratio (Net B/C).
a). Revenue Cost Ratio (R/C)
Analisis ini digunakan untuk melihat layak atau tidaknya suatu usaha yang
dilakukan dengan membandingkan penerimaan dengan biaya produksi selama
periode waktu tertentu (satu musim tanam). Secara matematis R/C dituliskan:
R/C = TR/TC ............................................................................... (6)
Dimana: TR = total penerimaan (Total Revenue)
TC = total pengeluaran (Total Cost)
70

Kriteria Usaha: R/C > 1, usaha menguntungkan


R/C = 1, usaha impas
R/C < 1, usaha merugikan
b). Net Present Value (NPV)
Net Present Value (nilai saat ini) adalah nilai kini dari keuntungan bersih
yang akan diperoleh di masa yang akan datang. NPV merupakan selisih antara
present value dari manfaat dengan present value dari biaya. Secara matematis
NPV dapat dituliskan:
n
( B Ct )
NPV = t ............................................................................ (7)
t = 0 (1 + r )
t

Bt = Manfaat pada tahun ke-t


Ct = Biaya pada tahun ke-t
r = Tingkat bunga diskonto (discount rate)
n = umur ekonomis
t = 0, 1, 2, 3..... tahun ke-n
Kriteria Usaha: NPV > 1, usaha layak untuk dilaksanakan
NPV = 1, pengembalian sebesar opportunity cost modal
NPV < 1, usaha tidak layak dilakukan
c). Net Benefit Cost Ratio (Net B/C)
Net B/C merupakan perbandingan nilai sekarang dari keuntungan suatu
usaha dengan biaya investasi pada awal usaha. Untuk menghitung nilai net B/C
digunakan persamaan berikut:

n
( Bt C t )

t =0 (1 + i ) t
untuk ( Bt C t ) > 0
......................................... (8)
NetB / C = n
(C t Bt )
(1 + i ) t
t =1
untuk ( Bt C t ) < 0

Bt = Manfaat pada tahun ke-t


Ct = Biaya pada tahun ke-t
r = Tingkat bunga diskonto (discount rate)
n = umur ekonomis
t = 0, 1, 2, 3..... tahun ke-n
Kriteria Usaha: Net B/C > 1, usaha layak untuk dilaksanakan
Net B/C = 1, usaha perlu ditinjau kembali
Net B/C < 1, usaha tidak layak dilakukan
71

3.4 Analisis Status Ekologi dan Daya Dukung Lingkungan

Aspek ekologi dilakukan dengan melakukan analisis vegetasi, analisis


makrozoobenthos, analisis serasah mangrove, dan analisis fisik kimia lingkungan.
Untuk fisik-kimia dilakukan analisis kondisi fisik-kimia substrat sedimen dan
perairan hutan mangrove, meliputi: data suhu air, salinitas air, oksigen terlarut
(DO), Biological Oxygen Demand (BOD), pH air dan pH substrat, tekstur
substrat, dan pasang surut air laut.

3.4.1 Pengumpulan dan Analisis Data Vegetasi Mangrove di TNK


A. Pengumpulan Data Vegetasi Mangrove
Pengumpulan data vegetasi hutan mangrove terbagi atas jalur-jalur di
sepanjang garis pantai dan sungai besar yang ditentukan secara sengaja sesuai
dengan tujuan penelitian dan kondisi di lapangan (purposive sampling), yang
dianggap representatif mewakili tegakan mangrove di TNK.
Tujuan dari analisis vegetasi ini adalah untuk mengetahui kerapatan
tegakan mangrove, jenis dan keanekaragaman jenis mangrove yang terdapat di
TNK. Pengukuran vegetasi dilakukan dengan dua pola yaitu: pengambilan data
untuk pancang/anakan, dan pohon dewasa. Perhitungan dilakukan dengan cara
menghitung dan mencatat jumlah masing-masing spesies yang ada dalam setiap
petak dan mengukur diameter pohon.
Data komunitas mangrove dikumpulkan pada tiap stasiun dengan
menggunakan metode line plots transect (English et al. 1997). Prosedur yang
dilakukan adalah:
Ditarik garis tegak lurus garis pantai, mulai dari batas garis pantai ke arah
belakang hutan mangrove,
Di sepanjang garis transek dibuat petak pengamatan berukuran 10 x 10 m
untuk kategori pohon (diameter >10 cm), 5 x 5 m untuk kategori anakan
(diameter 2-10 cm).
Metode transek kuadrat (garis berpetak) dilakukan dengan cara melompati
satu atau lebih petak-petak dalam jalur sehingga sepanjang garis rintis terdapat
petak-petak pada jarak tertentu yang sama, seperti pada Gambar 16.
72

10 m
A
Arah rintis
A

Gambar 16 Skema penempatan petak contoh.


Keterangan:
A: Petak pengamatan pacang (5 x 5 m)
B: Petak pengamatan pohon (10 x 10 m)
Data vegetasi yang dicatat terdiri dari jumlah pohon, pacang dan semai serta
jenis pohon, data diameter pohon dan tinggi pohon. Sepanjang jalur transek
dilakukan pengukuran parameter-parameter lingkungan, yaitu suhu, salinitas, dan
pH. Selain itu dilakukan pengamatan dan pencatatan tipe substrat (lumpur, lumpur
berpasir, lempung, pasir, liat, dsb).

B. Analisis Data Vegetasi Mangrove

Karakteristik habitat mangrove akan dianalisis dengan perangkat Sistem


Informasi Geografis (SIG) menggunakan software Ermapper 6.4. Zonasi vegetasi
mangrove akan dibuat berdasarkan analisis citra di kawasan mangrove TNK. Citra
yang digunakan dalam penelitian ini adalah Terra-ASTER tahun 2005. Hasil
analisis citra akan digunakan sebagai dasar penentuan stasiun pengamatan untuk
observasi lapangan.
Pada observasi lapangan akan dilakukan pengamatan dan pengukuran pada
vegetasi mangrove dan kualitas perairan di sekitarnya. Analisis dilakukan untuk
mengetahui kerapatan vegetasi, jenis dominan, dan INP dari tiap jenis vegetasi.
Kerapatan = Jumlah individu dari spesies yang terdapat dalam titik pengambilan
contoh dibagi dengan luas areal pengambilan contoh.
Kerapatan satu jenis ................................................ (9)
KR = x 100%
Kerapatan semua jenis
73

3.4.2 Pengumpulan dan Analisis Data Produksi Serasah Mangrove


A. Pengumpulan Data Produksi Serasah Mangrove
Pengumpulan serasah mangrove dilakukan dengan prosedur sebagai
berikut:
Dua buah jala penampung serasah ditempatkan pada petak pengamatan pada
tiap stasiun.
Serasah kemudian dikering-anginkan dan selanjutnya dikeringkan pada oven
bersuhu 80C dan ditimbang bobotnya.
Penampungan dilakukan selama 15 hari setiap 6 bulan untuk mewakili
musim.

B. Analisis Data Produksi Serasah Mangrove


Untuk menganalisa rata-rata produksi serasah pada setiap stasiun
digunakan rumus (Sasekumar & Loi 1983):

TL = L * (A/a) .................................................................................... (10)

TL = bobot total serasah (kg)


L = rata-rata bobot serasah tiap perangkap (kg)
A = luas areal penelitian (m2)
a = ukuran perangkap serasah (m2)

3.4.3 Pengumpulan dan Analisis Data Makrozoobenthos


A. Pengumpulan Data Makrozoobenthos
Pengumpulan makrozoobenthos dilakukan dengan prosedur sampling
sebagai berikut:
Dibuat petak pengamatan berukuran 1 x 1 m
Pada tiap petak pengamatan dilakukan pengumpulan organisme
makrozoobenthos, baik yang termasuk epifauna maupun fauna pohon.
Organisme yang diperoleh dari hasil pengumpulan diklasifikasi dan dihitung
jumlahnya, selanjutnya sampel dikoleksi.
Sampel koleksi diawetkan dengan larutan formalin 10% dan selanjutnya
diidentifikasi dengan berpedoman pada buku identifikasi (Kozloff 1987;
Lovett 1981; Suwignyo et al. 2005; Sowerbys 1996) .
74

B. Analisis Data Makrozoobenthos

Untuk menganalisa kelimpahan jenis organisme makrozoobenthos


digunakan rumus (Brower et al. 1990):

Ni =
n i
............................................................................................. (11)
A

Ni = kelimpahan individu atau jenis ke-i (ind/ha)


ni = jumlah individu atau jenis ke-i (ind)
A = luas daerah pengambilan contoh (ha)

3.4.4 Pengumpulan dan Analisis Data Kualitas Perairan


A. Pengumpulan Data Kualitas Perairan

Pengukuran parameter fisika dan kimia lingkungan dilakukan langsung di


lapangan pada tiap stasiun pengamatan secara acak dengan pengulangan pada tiap
periode musim yang berbeda (kemarau dan penghujan). Parameter yang akan
diamati adalah: suhu air, salinitas air dan , pH air dan pH substrat, tekstur substrat,
DO, dan BOD.

B. Analisis Data Kualitas Perairan Habitat Mangrove

Kualitas perairan habitat mangrove dianalisis di Laboratorium Kualitas Air


Fakultas Perikanan Universitas Mulawarman Samarinda. Hasil analisis diolah
dengan menggunakan software excel 2007 untuk melihat statistik deskriptifnya.

3.4.5 Analisis Hubungan Sebaran Spasial S. serrata dengan Karakteristik


Vegetasi Mangrove

Analisa karakteristik habitat kepiting bakau berdasarkan variasi parameter


biofisik dan kimia lingkungan pada tiap stasiun, dianalisa dengan menggunakan
Analisis Komponen Utama (Principal Komponen Analysis/PCA) (Bengen 2000).
Analisis Koresponden ini bertujuan untuk mencari hubungan yang erat
antara modalitas dari dua karakter atau variabel pada variabel matrik data
kontingensi serta mencari hubungan yang erat antara seluruh modalitas karakter
dan kemiripan antar individu berdasarkan konfigurasi pada tabel atau matrik data
disjongtif lengkap (Bengen 2000).
75

3.4.6 Penilaian Daya Dukung Lingkungan

Daya dukung lingkungan untuk sumberdaya kepiting bakau diduga dengan


pendekatan indeks kesesuaian habitat (Habitat Suitability Index/HSI). HSI adalah
sebuah angka indeks yang mencerminkan kapasitas habitat yang diberikan untuk
mendukung spesies yang dipilih. HSI menggambarkan kesesuaian habitat yang
diberikan oleh kombinasi interaksi dari semua variabel lingkungan kunci pada
spesies.
Variabel habitat, yang dapat dianggap sebagai stressor, diberi bobot
kesesuaian dengan skor 1 untuk habitat yang optimal dan 0 untuk habitat yang
tidak cocok. HSI menggabungkan nilai ini menjadi satu yang memprediksi indeks
kemampuan dari habitat untuk mendukung spesies. Jadi pada dasarnya, HSI
adalah untuk mengukur daya atau ukuran populasi yang dapat didukung oleh
sumber daya yang tersedia di habitat tersebut.
Pada penelitian ini, HSI diterapkan untuk siklus hidup kepiting bakau
Scylla serrata muda (juvenil) dan dewasa yang sudah dapat dimanfaatkan oleh
manusia, dan juga berdasarkan asumsi bahwa di habitat mangrove tidak
ditemukan kepiting pada siklus larva (zoea) dan megalopa. Sehingga komponen
kebutuhan hidup yang akan digunakan untuk menilai daya dukung habitat adalah
yang sesuai dengan kebutuhan hidup kepiting muda dan dewasa, yaitu komponen
kualitas air, komponen substrat, dan komponen vegetasi.
Variabel-variabel dari ketiga komponen tersebut adalah oksigen terlarut
(V 1 ), Biological Oxygen Demand (V 2 ), salinitas air (V 3 ), temperatur air (V 4 ), pH
air (V 5 ), pH substrat (V 6 ), pasang surut air laut (V 7 ), tekstur substrat (V 8 ),
kepadatan makrozoobenthos (V 9 ), jenis vegetasi (V 10 ), kerapatan vegetasi (V 11 ),
dan produksi serasah (V 12 ).
Penilaian untuk masing-masing variabel dilakukan dalam dua tahap, yaitu:
1) Memberikan skor 0 sd. 1, untuk hasil pengukuran kualitas lingkungan masing-
masing variabel sesuai dengan standar SI kebutuhan hidup kepiting S. serrata,
yang telah disusun berdasarkan penelitian sebelumnya (lihat Lampiran 18)
2) Memberikan bobot variabel 0 sd. 1, yang dilakukan dengan cara
membandingkan ke-12 variabel tersebut mana yang paling besar pengaruhnya
bagi kehidupan S. serrata. Variabel yang paling besar pengaruhnya akan
76

diberi bobot tertinggi, yaitu 1. Semakin kecil pengaruhnya, bobot akan


semakin berkurang.
oksigen
terlarut (V1)

BOD (V2)

salinitas air Komponen


(V3) kualitas air
temperatur
air (V4)
pH air (V5)

pH substrat
(V6)
Pasut air laut Komponen Habitat
HSI
(V7) substrat mangrove
fraksi
substrat (V8)
kepadatan
makrozoobe
nthos (V9)

jenis vegetas Komponen


(V10) vegetasi
kerapatan
vegetasi
(V11)
produksi
serasah (V12)

Gambar 17 Hubungan antara variabel habitat dengan kebutuhan hidup untuk HSI
kepiting bakau Scylla serrata (juvenil dan dewasa)

Nilai SI untuk masing-masing komponen dihitung dari hasil perkalian


bobot dengan skor. Nilai SI untuk tiap komponen dihitung secara Geometrik
Mean Model dan hubungan antara nilai indeks kesesuaian (SI) dari masing-
masing variabel (lihat Lampiran 19) dengan nilai HSI dirumuskan sebagai berikut
(Mulholland 1984; Chen et al. 2009):
Komponen Formula
Kualitas Air (KA) (SI V1 x SI V2 x SI V3 x SI V4 x SI V5 ) 1/5
Substrat (Su) (SI V6 x SI V7 x SI V8 x SI V9 )
Vegetasi (Veg) (x SI V10 x SI V11 x SI V12 )

HSI = (KA + Su + Veg) / 3 .................................................. (12)


HSI = Indeks Kesesuaian Habitat Su = SI komponen substrat
KA = SI komponen kualitas air Veg = SI komponen vegetasi
77

Selanjutnya HSI dari masing-masing area mangrove akan dikalikan


dengan biomass kepiting bakau berdasarkan angka kelimpahan individu maksimal
yang diperoleh selama penelitian. Dengan demikian, akan diperoleh daya dukung
yang berupa jumlah biomassa kepiting yang dapat didukung oleh setiap hektar
kawasan. Dalam formula:
............................................................. (13)
CC i = Daya dukung area ke-i (ind/ha) LL i = Luas Lahan area ke-i (ha)
HSI i = indeks kesesuaian lahan area ke-i N imax = Kelimpahan individu maksimum
pada area ke-i (ind)

3.5 Analisis Status Biologi Scylla serrata

Aspek biologi kepiting bakau di TNK dikaji dengan melihat parameter


pertumbuhan, kelimpahan, sebaran ukuran, pola distribusi spasial dan temporal,
serta laju eksploitasi kepiting bakau.

3.5.1 Pengumpulan dan Analisis Data Biologi Scylla serrata

Pengumpulan data biologi Scylla serrata dilakukan berdasarkan data


primer. Data primer diperoleh dari observasi terhadap kepiting bakau oleh peneliti
yang dilakukan selama 8 bulan (4 bulan di musim hujan dan 4 bulan di musim
kemarau), pada lokasi tiga stasiun pengamatan yang dipilih sesuai karakteristik
habitat mangrove. Data yang dikumpulkan berupa hasil tangkapan harian, sebaran
ukuran, jenis kelamin, lokasi tangkapan, jenis alat tangkap, lama upaya
menangkap, dan musim.

3.5.2 Analisis Hubungan Panjang dan Bobot

Hubungan panjang-bobot digambarkan dalam dua bentuk yaitu isometrik


dan alometrik (Hile dalam Effendie 1979). Untuk kedua pola ini berlaku
persamaan:

W = aLb .................................................................................... (14)


W = bobot individu kepiting dalam gram;
L = lebar karapas kepiting dalam mm;
a = intersep (perpotongan kurva hubungan panjang-bobot dengan sumbu y;
b = Penduga pola pertumbuhan panjang-bobot
78

Untuk mendapatkan persamaan linier atau garis lurus digunakan


persamaan sebagai berikut :

Ln W = Ln a + b Ln L .............................................................. (15)

Untuk mendapatkan parameter a dan b, digunakan analisis regresi dengan


Ln W sebagai Y dan Ln L sebagai X, maka didapatkan persamaan regresi :

Y=a+bX

Untuk menguji nilai b = 3 atau b 3 dilakukan uji -t (uji parsial), dengan


hipotesis :
H0 : b = 3, hubungan panjang dengan berat adalah isometrik.
H1 : b 3, hubungan panjang dengan berat adalah allometrik, yaitu:

Allometrik positif, jika b > 3 (pertambahan berat lebih cepat daripada


pertambahan panjang).

Allometrik negatif, jika b < 3 (Pertambahan panjang lebih cepat daripada


pertambahan berat).

t hitung = b1-b0/Sb1

Keterangan : b1 : b (dari hubungan panjang berat)


b0 : 3
Sb1 : Simpangan koefisien b

Bandingkan nilai t hitung dengan nilai t tabel pada selang kepercayaan


95%. Selanjutnya untuk mengetahui pola pertumbuhan kepiting, kaidah keputusan
yang diambil adalah :

t hitung > t tabel : tolak hipotesis nol (Ho)


t hitung < t tabel : gagal tolak hipotesis nol (Ho)

3.5.3 Analisis Data Kelompok Ukuran

Pendugaan kelompok ukuran dilakukan dengan menganalisis data


frekuensi panjang. Data frekuensi panjang dianalisis menggunakan program
Bhattacharyas Method yang dikemas dalam paket program FISAT II (FAO-
ICLARM Stock Assessmet Tool). Ukuran panjang diasumsikan menyebar normal.
79

Kelompok ukuran diperoleh dengan memisahkan data frekuensi panjang ke dalam


kelompok-kelompok dengan panjang rata-rata tertentu serta simpangan bakunya.
Data yang digunakan dalam penentuan distribusi frekuensi panjang adalah
data lebar karapas dari kepiting di Muara Sangkima, Muara Sangatta dan Teluk
Perancis. Tahap untuk menganalisis data frekuensi lebar karapas kepiting yaitu :
b. Menentukan selang kelas yang diperlukan menggunakan rumus Walpole
(1990).
c. Menentukan lebar selang kelas.
d. Menentukan kelas frekuensi dan memasukkan frekuensi masing-masing
dengan memasukkan masing-masing lebar karapas kepiting pada selang
kelas yang telah ditentukan.
e. Distribusi frekuensi lebar karapas kepiting yang telah ditentukan dalam
selang kelas yang sama kemudian diplotkan dalam sebuah grafik. Pada
grafik tersebut dapat dilihat pergeseran distribusi kelas lebar karapas.
Pergeseran distribusi frekuensi lebar karapas menggambarkan jumlah
kelomppok umur (kohort) yang ada. Bila terjadi pergeseran modus
distribusi frekuensi lebar karapas berarti terdapat lebih dari satu kohort.

3.5.4 Analisis Data Parameter Pertumbuhan


Plot-Walford merupakan salah satu metode paling sederhana dalam
menduga parameter pertumbuhan L dan K dari persamaan von Bertalanffy
dengan interval waktu pengambilan contoh yang sama (King 1997). Berikut ini
adalah persamaan pertumbuhan von Bertalanffy.
L t = L (1-e[-K(t-t0)]) ................................................................... (16)
Lt : Panjang ikan pada saat umur t (satuan waktu)
L : Panjang maksimum secara teoritis (panjang asimtotik)
K : Koefisien pertumbuhan (per satuan waktu)
t0 : umur teoritis pada saat panjang sama dengan nol
Penurunan plot Ford-Walford didasarkan pada persamaan pertumbuhan
von Bertalanffy dengan t 0 sama dengan nol, maka persamaannya menjadi sebagai
berikut.
Lt = L(1-e[-K(t-t0)]) .................................................................................... (17)
Lt = L - L e [-Kt]
80

L - L t = L e [-Kt]

Setelah L t+1 disubtitusikan ke dalam persamaan (9) maka diperoleh


perbedaan persamaan baru tersebut dengan persamaan (9) seperti berikut.
L t+1 L t = L (1-e[-K(t+1)]) - L e [-Kt]) ............................................................. (18)
= -L e[-K(t+1)] + L e [-Kt]
= L e [-Kt] (1-e[-K]) ............................................................................... (19)
Persamaan (18) disubtitusikan ke dalam persamaan (19) sehingga diperoleh
persamaan sebagai berikut.
L t+1 L t = L e [-Kt] (1-e[-K])
= L (1-e[-K]) L 1 + L t e[-K]
= L (1-e[-K]) + L t e[-K] ............................................................. (20)
Persamaan (12) bentuk persamaan linier dan jika L t (sumbu x) diplotkan
terhadap L t+1 (sumbu y) maka garis lurus yang berbentuk akan memiliki
kemiringan (slope) (b) = e[-K]. L t dan L t+1 merupakan lebar karapas kepiting pada
saat t dan lebar karapas kepiting yang dipisahkan oleh interval waktu yang
konstan (Pauly dalam Sparre & Venema 1999). Nilai L dan K didapatkan dari
hasil perhitungan dengan metode ELEFAN I (Electronic Length Frequencys
Analisis) yang terdapat dalam program FISAT II.
Umur teoritis kepiting pada saat lebar karapas sama dengan nol dapat
diduga secara terpisah menggunakan persamaan empiris Pauly (Pauly dalam
Sparre & Venema 1999) sebagai berikut.
Log (-t 0 ) = 0.3922 0.2752 (Log L) 1.038 (Log K) ................................... (21)

3.5.5 Pendugaan Laju Eksploitasi Scylla serrata

Data primer berupa data frekuensi lebar karapas kepiting bakau Scylla
serrata digunakan untuk menduga laju eksploitasi kepiting bakau. Pendugaan laju
eksploitasi S. serrata dilakukan dengan menggunakan data parameter-parameter
pertumbuhan kepiting bakau yang telah dihitung sebelumnya.
Setelah parameter-parameter pertumbuhan kepiting bakau diketahui maka
dilakukan pendugaan laju mortalitas (Z) berdasarkan persamaan Beverton & Holt
(Sparre & Venema 1999) sebagai berikut:
81

Z=K
(L L ) .............................................................................................. (22)
(L L')
Di mana L adalah panjang rata-rata ukuran, L adalah panjang di mana semua
kepiting bakau pada ukuran tersebut dan lebih panjang berada pada penangkapan
penuh. L dapat pula dianggap sebagai batas kelas bawah dari interval kelas
panjang (Sparre & Venema 1999).
Selanjutnya untuk pendugaan laju mortalitas alami (M) diduga dengan
menggunakan rumus empiris Pauly dalam Sparre & Venema (1999) sebagai
berikut:
Log M = -0.0066-0.279*Log L +0.6543*Log K +0.4634*LogT ................... (23)
T adalah temperatur perairan.
Nilai Z dan M digunakan untuk menduga kematian kepiting bakau akibat
penangkapan (F) dengan menggunakan persamaan sebagai berikut:
F=ZM .................................................................................... (24)
Berdasarkan nilai Z dan F maka laju eksploitasi kepiting bakau (E) dapat
diduga dengan menggunakan persamaan sebagai berikut :
F
E = ................................................. (25)
Z
Z = total laju mortalitas (per tahun) F = laju mortalitas penangkapan (per tahun)
M = laju mortalitas alami (per tahun) E = laju eksploitasi (per tahun)

3.5.6 Penghitungan Yield per Rekrut Relatif (Y/R) dan Biomass per Rekrut
(B/R)

Setelah diketahui nilai laju eksploitasi, maka selanjutnya dapat dihitung


nilai Yield per Rekrut (Y/R). Dalam pengelolaan perikanan, adalah penting untuk
menentukan perubahan dalam Y/R untuk nilai F yang berbeda-beda. Nilai Y/R ini
digunakan untuk mendeteksi apakah penangkapan kepiting bakau di TNK sudah
melebihi atau masih dibawah kemampuan rekruitnya.
Asumsi yang melatarbelakangi pendekatan Model Tangkapan per Rekruit
Beverton dan Holt ini adalah:
(1) Rekruitmen konstan.
(2) Semua ikan dalam satu kohort lahir pada saat yang sama.
82

(3) Rekruitmen dan seleksi berbentuk mata pisau.


(4) Mortalitas alami dan mortalitas tangkap konstan sejak kohort tersebut
masuk ke fase ekploitasi.
(5) Terjadi pencampuran sempurna dalam stok.
(6) Hubungan panjang-bobot berpangkat 3, yaitu W=qL3.
Daur hidup satu kohort dalam Model Model Beverton & Holt ini diasumsikan
sebagai berikut:
(1) Pada umur t r semua ikan dalam satu kohort tertentu masuk ke daerah
tangkap pada saat yang sama: rekruitmen mata pisau.
(2) Dari umur t r sampai umur t e , kohort tersebut tidak mengalami mortalitas
tangkap. Semua ikan antara umur t r dan t e bisa lolos jika masuk ke dalam
alat tangkap. Dengan demikian pada periode itu, ikan-ikan tersebut hanya
mengalami mortalitas alami, M, yang dianggap konstan selama masa
hidup kohort.
(3) Pada umur t e , umur saat pertama kali tertangkap, kohort tersebut dianggap
mengalami mortalitas tangkap penuh, F, yang konstan selama sisa hidup
kohort tersebut.
Persamaan Y/R dapat ditulis sesuai dengan saran Gulland dalam Sparre &
Venema (1999) sbb:

..................................... (26)

Beberapa parameter yang menentukan hasil tangkap per rekruit


dikendalikan secara biologi, yaitu K, W and M. Namun demikian, dua diantara
parameter-parameter tersebut, yaitu laju mortalitas tangkap/F (proporsional
terhadap upaya) dan umur saat pertama tertangkap/te (fungsi dari selektivitas alat
tangkap), pada dasarnya dapat dikendalikan oleh otoritas pengelolaan perikanan.
Analisis hasil tangkap per upaya dapat memberikan gambaran konsekwensi dari
pilihan F dan t e yang berbeda.
Model Biomasa per Rekruit (Beverton & Holt dalam Sparre & Venema
1999) menyatakan biomasa rata-rata dalam tahunan dari ikan- ikan yang hidup
sebagai suatu fungsi dari mortalitas penangkapan (atau upaya). Biomasa rata-rata
berhubungan dengan hasil tangkapan per unit usaha dengan persamaan
CPUE(t) = q*N(t).
83

Apabila dilakukan penambahan bobot pada kedua sisi menjadi:

.................................. (27)

Nilai E (tingkat eksploitasi) pada kurva Y/R dan B/R didapatkan dari hasil
perhitungan Y/R dan B/R relatif yang terdapat dalam program FISAT II.

3.6 Identifikasi Sistem Pengelolaan Kepiting Bakau S. Serrata di TNK

Pendekatan sistem merupakan cara penyelesaian persoalan yang dimulai


dengan dilakukannya identifikasi terhadap sejumlah kebutuhan, sehingga dapat
menghasilkan suatu operasi dari sistem yang dianggap efektif. Dalam pendekatan
sistem umumnya ditandai oleh dua hal, yaitu: 1) mencari semua faktor penting
yang berpengaruh, dalam rangka mendapatkan solusi untuk mencapai tujuan, 2)
adanya model untuk membantu pengambilan keputusan, sehingga permasalahan
yang kompleks dapat diselesaikan secara komprehensif (Eriyatno 2003).
Pendekatan sistem pemanfaatan kepiting bakau di ekosistem mangrove
TNK dimulai dengan identifikasi sistem. Identifikasi sistem merupakan suatu
rantai hubungan antara pernyataan dari kebutuhan dengan pernyataan khusus dari
masalah yang harus dipecahkan untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Hal ini
sering digambarkan dalam bentuk diagram lingkar sebab akibat (causal loop)
(Eriyatno 2003).
Identifikasi sistem dilakukan dengan pemilihan variabel-variabel yang
berpengaruh dalam pemanfaatan kepiting (system boundary). Variabel tersebut
dibedakan menjadi 3 jenis, yaitu indigenous (variabel dari dalam sistem yang
merupakan variabel kunci), exogenous (variabel dari dalam sistem yang tidak
84

secara langsung berpengaruh terhadap pemanfaatan kepiting), dan excluded


(variabel dari luar sistem yang mempengaruhi pemanfaatan kepiting) (Ford
1999).
Pemilihan tema dan variabel kunci merupakan bagian dari tahapan
pendekatan sistem, sehingga berdasarkan pendekatan sistem yang telah dilakukan
tersebut dapat dibuat suatu diagram sebab akibat (causal loop diagrams).
Diagram tersebut merupakan pengungkapan interaksi antara komponen di dalam
sistem yang saling berinteraksi dan mempengaruhi kinerja sistem.
CLD (causal loop diagrams) dapat digunakan untuk membangun struktur
model yang memudahkan secara visual bagi pengguna model dalam memahami
dan menangkap hipotesis sistem yang dimaksud. Struktur model dilanjutkan
dengan membangun diagram alir dengan alat SFD (stock-flow diagrams) untuk
menghantar pada tahap simulasi. Sebelum membangun diagram alir, harus
dipahami dahulu variabel atau parameter yang akan dijadikan stock (akumulasi)
dan flow (aliran) yang dapat mengubah nilai stock.

3.6.1 Membangun Diagram Kausal dan Diagram Alir

Model pemanfaatan kepiting bakau disusun dari 5 submodel, yaitu


submodel habitat mangrove, submodel penangkapan kepiting, submodel budidaya
pembesaran kepiting, submodel pasar, dan submodel sosial (Gambar 18).

3.6.2 Submodel Habitat Mangrove


Mangrove sebagai habitat kepiting sangat besar pengaruhnya terhadap
kelimpahan populasi kepiting di kawasan mangrove TNK. Pertumbuhan populasi
kepiting membutuhkan kualitas ekosistem mangrove dan kualitas perairan yang
mendukung. Kualitas ekosistem mangrove sangat dipengaruhi oleh sistem sosial
dan sistem ekologi yang terkait dengan ekosistem mangrove tersebut. Kerusakan
ekosistem mangrove saat ini banyak terjadi akibat ekstraksi mangrove untuk
pemenuhan kebutuhan masyarakat, sehingga perlu mengetahui bagaimana
pola pemanfaatan mangrove di TNK yang mengakibatkan terjadinya alih fungsi
lahan.
85

Selain itu sistem sosial juga menghasilkan limbah, yang dampaknya dapat
mempengaruhi kualitas biofisik dalam ekosistem mangrove. Kualitas biofisik
dipengaruhi juga oleh kualitas perairan, kualitas substrat, jenis dan kerapatan
vegetasi, dan produksi serasah mangrove. Diagram alir submodel habitat
mangrove dapat dilihat pada Gambar 18.
Submodel mangrove dibangun dari elemen luas mangrove, zona
pemanfaatan mangrove, laju perluasan mangrove yang dipengaruhi oleh laju
konversi dan laju penambahan luas mangrove, kondisi habitat yang
mempengaruhi indeks kesesuaian lingkungannya (HSI), dan pengaruh tingkat
kesadaran lingkungan terhadap konversi mangrove.
Luas areal mangrove akan meningkat atau menurun dipengaruhi oleh laju
perluasan mangrove. Laju perluasan mangrove sendiri akan naik atau turun
dipengaruhi oleh besarnya konversi mangrove menjadi penggunaan lain dan
penambahan luas mangrove oleh akresi atau pun kegiatan rehabilitasi mangrove.
Bila laju konversi mangrove lebih besar dibanding laju penambahannya,
maka yang terjadi adalah stok luas mangrove akan terus menerus menurun.
Untuk itu perlu adanya perbaikan pola pemanfaatan mangrove yang merusak
(mengkonversi mangrove) agar laju konversi ini dapat diturunkan, bahkan bila
perlu tidak terjadi konversi mangrove lagi. Perbaikan pola pemanfaatan mangrove
diharapkan dapat terjadi bila ada peningkatan kesadaran masyarakat untuk
menjaga lingkungan mangrove.
Luas zona pemanfaatan mangrove merupakan implikasi dari kebijakan
yang mengijinkan adanya pemanfaatan terbatas di kawasan Taman Nasional
Kutai. Kebijakan ini dapat berupa persentase kawasan TN yang akan dialokasikan
untuk pemanfaatan. Dahuri (2003) mengusulkan 20% dari kawasan yang
dilindungi dapat digunakan untuk pemanfaatan terbatas. Interfensi kebijakan ini
sangat besar pengaruhnya dalam pola pemanfaatan mangrove, karena akan
mempengaruhi besarnya daya dukung kawasan, pada penelitian ini daya dukung
untuk budidaya sylvofishery.
Selain luasnya zona pemanfaatan, daya dukung budidaya sylvofishery juga
sangat dipengaruhi oleh kualitas lingkungan, yang digambarkan dengan indeks
kesesuaian lingkungan (HSI). HSI terdiri atas komponen-komponen: kualitas
86

perairan, kualitas tekstur substrat, dan kualitas vegetasi. Bila kondisi lingkungan
cukup baik, maka HSI juga akan meningkat.
Panen
+ +

Proses Budidaya Induk Matang +

R+
+

Inflasi
Daya Dukung -
SUB-MODEL
Budidaya BUDIDAYA +
+ Harga Eksport
Kualitas Biofisik
Hutan Mangrove + Harga
+ + Kepiting Muda
+ Permintaan
Lokal
+ +
Jumlah Tangkapan + Produksi Kepiting
Luas Zona Boleh (TAC) + SUB-MODEL
B+
Pemanfaatan Mangrove PASAR
+
B- SUBMODEL +
TANGKAP Kepiting Dewasa Pendapatan
Jumlah Tangkapan
- Lestari (MSY)
B- -
SUB-MODEL Pendapatan
MANGROVE + Restocking Sumber lain
- Stok Kepiting
+ +
Bakau

+ Pengeluaran
Pola Pemanfaatan
Mangrove +

peraturan
+ +
Pengelolaan
Kawasan Pendapatan
+ Konservasi keluarga
R+

Kelembagaan +

Pendidikan SUB-MODEL
+ SOSIAL

Gambar 18 Diagram kausal model konseptual pemanfaatan kepiting bakau di kawasan mangrove TNK
87

komponen komponen vegetasi


kualitas perairan mangrove
SUBMODEL
+ MANGROVE
+
komponen +
substrat
Kualitas Biofisik
+ Hutan Mangrove
produksi
serasah +

-
Luas ZonaPemanfaatan SUB-MODEL
B-
Habitat Mangrove TANGKAP

-
Limbah +
Alih Fungsi
Lahan
-

Pemanfaatan - Daya Dukung


Mangrove Budidaya

SUB-MODEL SUB-MODEL
SOSIAL BUDIDAYA

Gambar 19 Diagram kausal submodel habitat mangrove.

Keterkaitan submodel mangrove dengan submodel penangkapan adalah


pada pengaruh luas mangrove terhadap potensi S. serrata. Sedangkan keterkaitan
submodel mangrove dengan submodel budidaya adalah pada tersedianya daya
dukung lingkungan bagi pengembangan budidaya sylvofishery.

3.6.3 Submodel Penangkapan Kepiting

Kelimpahan kepiting yang ada pada ekosistem mangrove TNK merupakan


stok yang dapat dimanfaatkan untuk penangkapan dan budidaya pembesaran
kepiting. Kepiting yang dapat dimanfaatkan untuk penangkapan adalah kepiting
yang sudah dewasa (berukuran besar, minimal 250 gr/ekor). Untuk mengetahui
seberapa besar daya dukung sumberdaya kepiting untuk upaya penangkapan perlu
diketahui MSY kepiting. Perkiraan MSY ini akan menentukan seberapa besar
upaya penangkapan boleh dilakukan (TAC). Submodel penangkapan kepiting
bakau dapat dilihat pada Gambar 20.
88

SUB-MODEL
BUDIDAYA

Jumlah Tangkapan
Boleh (TAC) +
+
SUBMODEL
TANGKAP Kepiting Dewasa
Jumlah Tangkapan
Lestari (MSY)
B- +
+
yield per Stok Kepiting
SUB-MODEL
rekrut Bakau Produksi
+ PASAR

Kematian Alami -
-
Penangkapan

SUB-MODEL
MANGROVE

Gambar 20 Diagram kausal submodel penangkapan kepiting bakau.

Submodel penangkapan Scylla serrata dibangun oleh elemen potensi


produksi kepiting bakau, laju eksploitasi faktual dan laju eksploitasi maksimal,
laju kematian alami, laju kematian karena penangkapan, stok Scylla serrata total,
kuota tangkapan Scylla serrata, besarnya restok induk betina, pengaruh luas
mangrove.
Potensi produksi Scylla serrata di habitat mangrove TN Kutai,
diperkirakan dari produksi tangkapan kepiting di area tersebut selama setahun
(sebagai potensi faktual yang telah dieksploitasi) ditambah dengan sisa potensi
yang belum dieksploitasi. Potensi S. serrata dapat berubah dengan adanya
masukan induk dari restoking budidaya sylvofishery, sehingga dalam perhitungan
potensi dimasukkan juga input restok induk betina dan pengaruh dari penambahan
luas area mangrove.
Untuk menentukan total stok S. serrata yang boleh dieksploitasi di
kawasan ini, potensi S. serrata tersebut dikalikan dengan konstanta ekploitasi
maksimal yang diperbolehkan (e-maks). Stok total S. serrata tersebut akan dibagi
dalam 2 bagian, yaitu fraksi tangkapan S. serrata untuk benih budidaya
sylvofishery dan sisanya fraksi tangkapan S. serrata untuk konsumsi/dijual
langsung. Fraksi stok S. serrata untuk konsumsi merupakan kuota tangkapan yang
diijinkan untuk mencapai produksi perikanan yang berkelanjutan.
89

Keterkaitan submodel penangkapan dengan submodel budidaya adalah


pada fraksi stok benih untuk budidaya sylvofishery yang merupakan bagian dari
stok total S. serrata di habitat mangrove TNK.

3.6.4 Submodel Budidaya Pembesaran

Stok kepiting yang dimanfaatkan untuk budidaya pembesaran kepiting


adalah kepiting muda yang berukuran kurang dari 100 gr/ekor. Untuk mencapai
ukuran konsumsi sekitar 300 gr/ekor, kepiting muda ini harus menjalani proses
pembesaran hingga masa panen. Produksi yang diperoleh pada masa panen perlu
dikembalikan sebagian ke ekosistem alaminya, sebagai sarana untuk
mempertahankan populasi stok kepiting di alam. Benih yang digunakan dalam
budidaya pembesaran kepiting ini adalah kepiting muda hasil tangkapan dari
alam, sehingga stok induk perlu ditambahkan (restocking) agar tetap tersedia stok
kepiting muda (Gambar 21).
SUB-MODEL
PASAR

Tenaga kerja Produksi

+
Perawatan
Panen
+ + +
pakan
+
benih +
Proses Budidaya Induk Matang

R+
+

SUB-MODEL Daya Dukung SUB-MODEL


MANGROVE Budidaya BUDIDAYA

+
+ Kepiting Muda
Ekobiologi
Kepiting bakau Restocking

SUBMODEL
TANGKAP

Gambar 21 Diagram kausal submodel budidaya pembesaran kepiting bakau.

Daya dukung lingkungan merupakan elemen yang paling berpengaruh


dalam submodel budidaya. Daya dukung lingkungan menentukan berapa unit
karamba yang dapat dibangun pada zona pemanfaatan budidaya.
90

3.6.5 Submodel Ekonomi

Produk kepiting dari hasil tangkapan dan panen budidaya pembesaran


kepiting merupakan sumber pendapatan bagi masyarakat, namun nilainya sangat
tergantung dari harga yang terbentuk di pasar. Asumsinya semakin tinggi harga
pasar, maka tingkat pendapatan nelayan/petani akan semakin meningkat. Harga
pasar ditentukan oleh permintaan konsumen (demand) lokal, dan harga eksport.
Pendapatan yang diperoleh nelayan/petani akan menentukan tingkat pendapatan
keluarga (Gambar 22).

Biaya
- Transportasi

-
+
Harga Eksport
Penyusutan
Harga
SUBMODEL -
TANGKAP + permintaan Inflasi
lokal
+
Produksi Kepiting
SUB-MODEL
B+
PASAR
SUB-MODEL
BUDIDAYA +
Pendapatan
- -

Pengeluaran
Pajak
pendapatan
keluarga

SUB-MODEL
SOSIAL

Gambar 22 Diagram kausal submodel ekonomi.

3.6.6 Submodel Sosial

Peningkatan pendapatan keluarga selanjutnya akan mempengaruhi tingkat


pengetahuan dan kesadaran lingkungan masyarakat yang ada di sekitar ekosistem
mangrove dalam mengelola ekosistem mangrove.
Pola pemanfaatan terhadap sumberdaya mangrove akan berubah sesuai
dengan tingkat kesadaran lingkungan masyarakat dan peraturan perundangan atau
kebijakan pemerintah yang berlaku dalam pengelolaan kawasan konservasi.
Selanjutnya pola pemanfaatan mangrove ini akan berpengaruh terhadap konversi
lahan dan kualitas mangrove (Gambar 23).
91

pendapatan
peraturan
sumber lain
+ pengelolaan +
kawasan
+
konservasi

SUB-MODEL Pola Pemanfaatan Pendapatan SUB-MODEL


SUB-MODEL
MANGROVE Mangrove keluarga PASAR
SOSIAL
R+
+
tingkat
pengetahuan +
Pendidikan
+

Gambar 23 Diagram kausal submodel sosial.

3.7 Pemodelan dan Simulasi Sistem Pengelolaan S. serrata

Tahapan pemodelan diuraikan ke dalam dua bagian, yaitu aspek


konseptual dan aspek teknis. Bagian konseptual merupakan masukan dari
strukturisasi sistem yang telah difiltrasi. Alur pemodelan digambarkan pada
Gambar 24.

Persamaan
Formulasi model simulasi matematik,
Mulai
parameter,
initial

Verifikasi dan validasi


Uji statistik :
Pemilihan tema
MAPE
Sensitivitas
(leverage point)

penentuan variabel kunci


Skenario kebijakan

Membangun causal
CLD Rekomendasi kebijakan
diagram
terbaik dan tepat

SFD Membangun flow diagram Kesimpulan dan saran

Selesai

Konseptual Teknis

Gambar 24 Alur tahapan pemodelan pengelolaan Scylla serrata.


(modifikasi Rohmatullah 2008)
92

Membangun struktur model untuk memudahkan secara visual bagi


pengguna model dalam memahami dan menangkap hipotesis dinamis yang
dimaksud dengan menggunakan alat CLD. Secara konseptual, pada bagian awal
bab ini telah dibangun diagram sebab akibat (CLD) sistem pengelolaan kepiting
bakau di TNK. Kemudian, struktur model dilanjutkan dengan membangun
diagram alir dengan alat SFD untuk mengantarkan pada tahap simulasi. Sebelum
membangun diagram alir, harus dipahami dahulu variabel atau parameter yang
akan dijadikan stock (akumulasi) dan flow (aliran) yang dapat mengubah nilai
stock.
Tahap selanjutnya setelah pembuatan diagram stock flow (SFD) adalah
memformulasikan diagram tersebut. Tahap formulasi model simulasi
menggunakan alat bantu program komputer Powersim Studio 2005. Model
simulasi harus sudah dilengkapi dengan persamaan matematis yang benar,
parameter dan penentuan kondisi nilai awal (initial) agar dapat dijalankan (run).
Powersim pertama kali menghitung nilai awal untuk mengukur stock dan aliran
sebuah flow. Kemudian flow digunakan untuk memperbaharui stock tersebut.
Nilai baru stock digunakan kembali untuk menghitung dan seterusnya seiring
dengan perubahan waktu secara berulang.

3.8 Zonasi Pemanfaatan S. serrata di Kawasan Mangrove TNK

Sesuai UU No. 5 Tahun 1990 pasal 32, kawasan taman nasional dikelola
dengan sistem zonasi yang terdiri dari zona inti, zona pemanfaatan, dan zona lain
sesuai dengan keperluan. Kawasan Taman Nasional Kutai meliputi hutan daratan
dan hutan mangrove dengan luas keseluruhan mencapai kurang lebih 198 000
ha, dimana 5.227 ha diantaranya merupakan hutan mangrove. Sumberdaya
bukan kayu dalam hutan mangrove yang dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan
adalah kepiting bakau S. serrata. Untuk mencegah kepiting bakau tersebut dari
pemanfaatan yang berlebihan, maka perlu diatur zonasi pemanfaatan S. serrata.
Zonasi pemanfaatan S. serrata ditentukan untuk zona pemanfaatan
perikanan tangkap dan zona pemanfaatan budidaya sylvofishery. Penentuan
kesesuaian zona pemanfaatan dilakukan berdasarkan parameter indeks kesesuaian
habitat (HSI), laju eksploitasi (E) S. serrata, dan kondisi konversi mangrove pada
93

masing-masing area. Analisis dilakukan dengan menggunakan software ArcView


3.2. Matriks parameter kesesuaian zona pemanfaatan disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3 Kriteria kesesuaian zonasi pemanfaatan Scylla serrata


Zonasi Pemanfaatan Scylla serrata
No. Kriteria
Zona Budidaya Zona Tangkap Zona Inti
1 HSI tinggi sedang Rendah
Laju Eksploitasi sedang-
2 tinggi rendah
S. serrata rendah
3 Konversi mangrove tinggi sedang Rendah

3.9 Simulasi dan Analisis Keberlanjutan Pengelolaan Sumberdaya Scylla


serrata di Kawasan Mangrove TNK

Pada awal 1990-an, berkembang instrumen yang didesain langsung pada


pengendalian sumberdaya alam, yaitu berupa penentuan suatu kawasan menjadi
kawasan konservasi. Lima prinsip dasar yang harus diperhatikan dalam
pengelolaan kawasan konservasi adalah: 1) Proses ekologis seharusnya dapat
dikontrol; 2) Tujuan dan sasaran hendaknya dibuat dari sistem pemahaman
ekologi; 3) Ancaman luar hendaknya dapat diminimalkan dan manfaat dari luar
dapat dimaksimalkan; 4) Proses evolusi hendaknya dapat dipertahankan; 5)
Pengelolaan hendaknya bersifat adaptif dan meminimalkan kerusakan SDA dan
lingkungan (Yulianda 2006).
Kebijakan adalah aturan umum bagaimana status keputusan dibuat
berdasar pada informasi yang tersedia. Setiap kebijakan memiliki empat
komponen, yaitu kondisi saat ini (aktual) dan yang diinginkan, kecepatan
tanggapan dan tindakan perbaikan (Forrester dalam Lyneis 1980). Kecepatan
tanggap dalam studi ini menggunakan matrik yang terdiri dari tiga pilihan
pengaturan parameter, yaitu agresif, moderat dan lambat (Lyneis 1980). Skenario
kebijakan pada kajian ini dalam rentangan waktu (time horizon) dua puluh tahun
kedepan (tahun 2010-2030). Rentangan waktu 20 tahun dianggap mewakili
kondisi bila diasumsikan hutan mangrove mulai tumbuh dengan baik dari saat
mulai ditanam dan dapat menjadi habitat bagi biota lain.
Simulasi skenario kebijakan pemanfaatan akan dilakukan melalui 2 tahap,
yaitu analisis skenario dasar dan analisis perilaku dinamik. Analisis skenario dasar
94

(base case scenario) menguraikan perilaku sistem pada tahun mendatang (tahun
2009-2029) dipengaruhi oleh unjuk kerja parameter dengan sensitif tinggi, yaitu
luasan mangrove dan pendapatan dari Scylla serrata. Parameter lainnya yang
memiliki sensitif sedang dan rendah diasumsikan tidak mengalami perubahan dari
tahun 2009.
Analisis perilaku dinamik memungkinkan bagi pengguna model untuk
merubah nilai parameter. Meskipun analisis base case scenario run penting
sebagai cerminan dari kondisi aktual di lapangan, namun pengambilan keputusan
dalam pengelolaan Scylla serrata pada tahun-tahun yang akan datang perlu
meramalkan kondisi mendatang berdasarkan cerminan kondisi aktual tersebut.
Perubahan nilai parameter dibagi kedalam tiga skenario, yaitu skenario
agresif (optimis), moderat dan lambat (pesimis). Ketiga skenario secara berturut-
turut pemodel sebut dengan scenario run 1 (SR1), scenario run 2 (SR2) dan
scenario run 3 (SR3). Skenario pengelolaan disusun berdasarkan perubahan nilai
parameter yang dilakukan secara apriori oleh peneliti dalam proyeksi 20 tahun
mendatang.
Keberlanjutan pengelolaan mangrove melalui optimasi pemanfaatan
sumberdaya kepiting bakau Scylla serrata, selanjutnya akan dianalisis secara
statistik multivariate dengan pendekatan Multidimensional Scaling (MDS).
Analisis multidimensi menurut Bengen (2000) merupakan analisis data yang
menggambarkan karakter-karakter kuantitatif dan kualitatif suatu/sekumpulan
individu yang disusun berdasarkan suatu orde dan tidak dapat dilakukan operasi
aljabar sehingga cenderung lebih dekat pada statistik deskriptif dari pada statistik
inferensial.
Analisis keberlanjutan pengelolaan sylvofishery kepiting bakau ini
ditujukan untuk mengetahui kemungkinan keberlanjutan pengelolaan kawasan
konservasi mangrove melalui pemanfaatan sylvofishery kepiting bakau.
Keberlanjutan pengelolaan sylvofishery kepiting bakau di kawasan mangrove
TNK dianalisis menggunakan metode Rap-CRASYMAN (Rapid Assesment
Techniques for Crab Sylvofishery Management). Metode Rap-CRASYMAN
merupakan modifikasi dari metode RAPFISH (Rapid Assessment Techniques for
Fisheries) yang dikembangkan oleh Fisheries Center, University of British
95

Columbia, Kanada, untuk menilai status keberlanjutan perikanan tangkap. Hasil


analisis ini dinyatakan dalam bentuk Indeks Keberlanjutan Pengelolaan
Sylvofishery Kepiting Bakau.
Analisis keberlanjutan dilakukan melalui beberapa tahapan, yaitu:
(1) Penentuan atribut pengelolaan berkelanjutan sylvofishery kepiting bakau yang
meliputi empat dimensi, yaitu dimensi ekologi, dimensi ekonomi, dimensi
sosial, dan dimensi hukum-kelembagaan.
(2) penilaian (skoring) setiap atribut dalam skala ordinal berdasarkan kriteria
keberlanjutan setiap dimensi. Mengacu pada teknik RAPFISH, maka skor
yang diberikan berupa nilai buruk (bad) yang mencerminkan kondisi
pengelolaan yang paling tidak menguntungkan, dan juga berupa nilai baik
(good) yang mencerminkan kondisi pengelolaan yang paling menguntungkan.
Diantara dua nilai yang ekstrim ini terdapat satu atau lebih nilai antara.
Mengacu pada pendekatan yang digunakan oleh Good et al. dan Heershman et
al. dalam Laapo (2010), maka jumlah peringkat yang diberikan secara
konsisten pada setiap atribut yang dievaluasi sebanyak 3 (tiga) yakni nilai
buruk diberi skor 0 (nol), nilai antara diberi skor 1 (satu) dan nilai baik diberi
skor 2 (dua).
(3) Penyusunan indeks dan status keberlanjutan pengelolaan sylvofishery kepiting
bakau. Penilaian status keberlanjutan berdasarkan indeks setiap dimensi
dikategorikan menurut Kavanagh (1999) sebagai berikut:
- nilai indeks 0-24.99 % (kategori tidak berkelanjutan)
- nilai indeks 25-49.99 % (kategori kurang berkelanjutan)
- nilai indeks 50-74.99 % (kategori cukup berkelanjutan) dan
- nilai indeks 75-100 % (kategori berkelanjutan).
Melalui metode MDS, maka posisi titik keberlanjutan dapat divisualisasikan
melalui sumbu horisontal dan sumbu vertikal dengan proses rotasi. Posisi titik
dapat divisualisasikan pada sumbu horisontal dengan nilai indeks
keberlanjutan diberi nilai skor 0% (buruk) dan 100% (baik). Jika sistem yang
dikaji mempunyai nilai indeks keberlanjutan lebih besar atau sama dengan
50%, maka sistem dikatakan berkelanjutan (sustainable). Sistem tidak akan
berkelanjutan jika nilai indeks kurang dari 50%.
96

(4) Analisis sensitivitas


Analisis sensitivitas dilakukan untuk melihat atribut apa yang paling sensitif
memberikan kontribusi terhadap indeks keberlanjutan pengelolaan
sylvofishery kepiting bakau. Peran masing-masing atribut terhadap nilai indeks
dianalisis dengan attribute leveraging, sehingga terlihat perubahan ordinasi
apabila atribut tertentu dihilangkan dari analisis. Peran (pengaruh) setiap
atribut dilihat dalam bentuk perubahan Root Mean Square (RMS) ordinasi
khususnya pada sumbu-x. Atribut-atribut yang memiliki tingkat kepentingan
(sensitivitas) tinggi dari hasil analisis ini, dianggap sebagai faktor pengungkit,
yang apabila dilakukan perbaikan pada atribut tersebut maka akan
berpengaruh besar dalam mengungkit nilai indeks keberlanjutan menjadi lebih
baik. Perbaikan terhadap atribut sensitif, yang merupakan faktor pengungkit
tersebut, akan menjadi salah satu pertimbangan dalam menyusun rekomendasi
dalam pengelolaan sumberdaya Scylla serrata di kawasan mangrove TNK.
4 KONDISI UMUM TAMAN NASIONAL KUTAI

4.1 Sejarah Kawasan TNK


Kawasan TNK pada awalnya berstatus sebagai Hutan Persediaan dengan
luas 2 000 000 ha berdasarkan Surat Keputusan (SK) Pemerintah Belanda (GB)
Nomor: 3843/AZ/1934, yang kemudian oleh Pemerintah Kerajaan Kutai
ditetapkan menjadi Suaka Margasatwa Kutai melalui SK (ZB) Nomor: 80/22-
ZB/1936 dengan luas 306 000 ha (TNK 2005).
Sejak keberadaannya, TNK tidak pernah lepas dari konflik kepentingan.
Berdasarkan data yang ada, dalam kurun waktu 63 tahun terakhir terhitung sejak
tahun 1934 sampai tahun 1997 kawasan ini terus mengalami pengurangan luas
secara drastis seperti tersaji dalam Tabel 4.

Tabel 4 Sejarah status kawasan Taman Nasional Kutai.


Luas
Institusi Keputusan Status Keterangan
(ha)
Pemerintah SK (GB) No. Hutan 2 000 000
Hindia 3843/Z/1934 Persediaan
Belanda
Pemerintah SK (ZB) No. Suaka 306 000 Ditetapkan menjadi Suaka
Kerajaan 80/22-B/1936 Margasatwa Margasatwa
Kutai
Menteri SK No. 110/UN/ Suaka 306 000
Pertanian 1957, tanggal 14 Margasatwa
Juni 1957 Kutai
Menteri SK No. 30/Kpts/ Suaka 200 000 Dilepas 106 000 ha, 60 000 ha
Pertanian Um/6/1971, Margasatwa yang masih asli untuk HPH PT
tanggal 23 Juli Kutai kayu Mas dan sisanya untuk
1971 perluasan Industri pupuk dan gas
alam. 100 000 ha yang dikelola
oleh HPH pada tahun 1969
kemudian dikembalikan ke SMK
Menteri SK No. 736/ Taman 200 000 Dideklarasikan pada Kongres
Pertanian Mentan/X/ 1982 Nasional Taman Nasional III Sedunia di
Kutai Bali sebagai satu dari 11 calon TN
Menteri SK No. Taman 198 629 Luasnya dikurangi 1 371 ha
Kehutanan 435/Kpts-XX/ Nasional untuk perluasan Bontang dan PT
1991 Kutai Pupuk Kaltim
Menteri SK Menhut Taman 198 629 Perubahan fungsi dan
kehutanan No. 325/Kpts- Nasional penunjukan SMK menjadi
II/1995 Kutai Taman Nasional Kutai
Menteri Surat No. 997/ Taman 198 629 Izin prinsip pelepasan kawasan
Kehutanan Menhut-VII/ Nasional TNK seluas 25 ha untuk
1997 Kutai keperluan pengembangan
fasilitas pemerintah daerah
Bontang
Sumber: TNK (2005)
98

4.2 Letak Geografis dan Topografi TNK


TNK membentang di sepanjang garis khatulistiwa mulai dari pantai Selat
Makassar sebagai batas bagian timur menuju arah daratan sepanjang kurang dari
65 km. Kawasan ini juga dibatasi Sungai Sangatta di sebelah utara, sebelah
selatan dibatasi Hutan Lindung Bontang dan HPH PT Surya Hutani Jaya, dan
sebelah barat dibatasi ex HTI PT Kiani Lestari dan HPH PT Surya Hutani Jaya.

Tabel 5 Deskripsi penutupan lahan TNK.


Kategori Persentase
Luas (ha) Keterangan
Penutupan lahan Kawasan
Terdapat di bagian tengah kawasan
Hutan primer 59 202.14 29.81 dan menyebar ke arah barat sampai
utara
Terdapat di bagian barat kawasan
Hutan sekunder 85 931.03 43.27 yang berbatasan dengan wilayah
konsesi HPH
Belukar 28 952.26 14.58 Akibat aktivitas pembalakan,
Semak 2 452.68 1.23 pemukiman, dan kegiatan pertanian
lahan kering oleh masyarakat dan
Alang-alang 705.47 0.36
bencana kebakaran
Rawa 4 712 2.37
Belukar rawa 1 802.88 0.91
Formasi yang masih utuh terdapat di
Desa Teluk Pandan hingga Teluk
Mangrove 5 131.55 2.48 Kaba. Sedangkan di pesisir Desa
Singa Geweh sangat rentan terhadap
degradasi
Konversi mangrove Terdapat di pesisir bagian selatan
menjadi lahan 1 205.53 0.61 (Dusun Kanimbungan) dan bagian
terbuka tengah (Desa Sangkima)
Muara S. Sangatta, Muara S.
Sangatta Tua, Teluk Lombok/Teluk
Tambak 155.81 0.08
Perancis, Muara Sungai Sangkima,
Teluk Pandan
Tanah terbuka 329.38 0.17
Pertanian campuran 6 935.36 3.49
Lahan terbangun 577.94 0.29
Tubuh air 73.08 0.04
Tidak ada data 636.01 0.32
Jumlah 198 605.21 100.00
Sumber : TNK (2005)
99

TNK secara geografis berada di 0754-03353LU dan 1165848-


1173529BT, sedangkan secara administrasi pemerintahan, kawasan dengan luas
198 629 ha ini terletak di Kabupaten Kutai Timur ( 80%), Kabupaten Kutai
Kartanegara ( 17.48%) dan Kota Bontang ( 2.52%).
Buku data dasar TNK (2005) menyatakan bahwa secara umum TNK
memiliki topografi datar yang tersebar hampir di seluruh luasan kawasan (92%)
dan topografi bergelombang hingga berbukit-bukit tersebar pada bagian tengah
kawasan yang membentang arah utara selatan (8%). Sebagian besar kawasan
memiliki kelas ketinggian antara 0 100 m dpl (61%) yang tersebar pada bagian
timur dan barat kawasan. Tingkat ketinggian bagian tengah kawasan antara 100
250 m dpl (39%). Deskripsi penutupan lahan menurut buku data dasar TNK
disajikan pada Tabel 5.
Berdasarkan hasil pengolahan Citra Terra Aster tahun 2005, diperoleh
informasi yang sedikit berbeda dalam luas penutupan lahan (Tabel 6).

Tabel 6 Deskripsi penutupan lahan hasil interpretasi citra Terra-Aster 2005.


Kategori Penutupan Lahan Luas (ha) % luas
areal kota Bontang 77.854 0.04
areal pertamina 282.836 0.14
areal perusahaan/industri 790.249 0.40
areal terbuka 5 533.383 2.79
Danau 72.248 0.04
genangan air laut 209.129 0.11
hutan primer 28 375.278 14.33
hutan sekunder 40 658.373 20.53
hutan terdegradasi berat 66 274.775 33.46
hutan terdegradasi sedang 40 979.635 20.69
Mangrove 5 277.779 2.66
Nipah 182.086 0.09
padang alang-alang, rumput 3 094.044 1.56
pemukiman, kebun 5 600.646 2.83
Tambak 644.702 0.33
JUMLAH 198 053.017 100.00
Sumber: Pengolahan Data Citra Terra ASTER tahun 2005
100

Bila dibandingkan antara hasil pengolahan citra oleh peneliti dengan data
dari TNK terdapat perbedaan luas tambak yaitu 155.81 ha (data TNK) dan
644.702 ha (olah data citra). Sementara luas mangrove menurut data TNK adalah
5 131 ha dan menurut hasil olah data citra adalah 5 277.799 ha ditambah dengan
182.086 ha nipah. Perbedaan luas tambak mungkin terjadi karena terdapat
perbedaan interpretasi pada tambak yang kering dan tidak dimanfaatkan (lahan
kritis), oleh TNK hanya dianggap sebagai konversi mangrove sebagai lahan
terbuka. Sementara menurut peneliti, pembukaan lahan mangrove yang awalnya
digunakan sebagai tambak, walaupun akhirnya menjadi lahan kritis, tetap dihitung
sebagai luasan tambak.
Luas lahan tambak yang mencapai 12.22% dari total luas mangrove
merupakan ancaman bagi kelestarian habitat mengrove, selain penebangan
mangrove menjadi lahan terbuka dan pemanfaatan lain yang mencapai lebih dari
7% dari luas total mangrove.

4.3 Geologi dan Iklim


Berdasarkan peta geologi Kalimantan Timur, formasi geologi kawasan ini
sebagian besar meliputi tiga bagian, yaitu:
1) Bagian pantai terdiri dari batuan sedimen alluvial induk dan terumbu
karang.
2) Bagian tengah terdiri dari batuan miosen atas.
3) Bagian barat terdiri dari batuan sedimen bawah.
Berdasarkan klasifikasi Schmidt dan Ferguson, TNK beriklim tipe B
dengan nilai Q berkisar antara 14.3 % - 33.3 %. Curah hujan rata-rata setahun
1543.6 mm atau rata-rata 128.6 m dengan rata-rata hari hujan setahun 66.4 hari
atau rata-rata bulanan 5.5 hari. Suhu rata-rata adalah 26oC (berkisar antara 21-34
derajat Celcius) dengan kelembaban relatif 67% - 69% dan kecepatan angin
normal rata-rata 2 4 knot/jam (TNK 2005).
Sungai-sungai yang mengalir di dalam dan sekitar TNK antara lain:
Sungai Sangatta, Sungai Sangatta Tua, Sungai Banjar, Sungai Banu Muda, Sungai
Sesayap, Sungai Sangkima, Sungai Kandolo, Sungai Selimpus, Sungai Teluk
101

Pandan, Sungai Palakan, Sungai Menamang Kanan, Sungai Menamang Kiri,


Sungai Tawan, Sungai Melawan dan Sungai Santan.

4.4 Sejarah Perambahan dan Pemukiman di TNK


Vayda dan Sahur dalam TNK (2005) mengelompokkan pemukim di TNK
berdasarkan 3 wilayah, yaitu (1) Teluk Pandan, disebutkan bahwa pemukim dari
Bugis yang berasal dari Bone, Sulawesi Selatan, datang pertama kali pada
pertengahan tahun 1960 untuk menghindari kesulitan ekonomi akibat
pemberontakan Kahar Muzakar, (2) Selimpus/Kandolo, dihuni pertama kali tahun
1974 dan berkembang tahun 1977 oleh Suku Bugis dan (3) Sangkima, yang
dihuni pertama kali tahun 1924 oleh Suku Bugis. Saat itu, Sangkima merupakan
hunian peladang berpindah bagi penduduk asli. Keduanya berasimilasi dan
semakin banyak pemukim yang berasal dari Selawesi Selatan pada tahun 1954
dan 1960 karena pemberontakan Kahar Muzakar.
Ketiga kampung di TNK tersebut berkembang dan diakui keberadaannya
oleh Gubernur Propinsi Kalimantan Timur dengan menetapkannya sebagai desa
definitif (Teluk Pandan, Sangkima dan Sangatta Selatan) melalui Keputusan No.
06 Tahun 1997 tanggal 30 April 1997. Dalam perkembangannya, Desa Sangatta
Selatan dipecah menjadi dua desa, yaitu Desa Sangatta Selatan dan Singa Geweh
dengan adanya Keputusan Gubernur Kalimantan Timur No. 410.44/K.452/1999
(TNK 2005).

4.5 Permasalahan Pengelolaan TNK


4.5.1 Perambahan Hutan
Taman Nasional Kutai awalnya memiliki 80 % dari spesies burung dan
sebagian dari seluruh mamalia yang ada di Kalimantan termasuk 11 dari 13
spesies primata Borneo (TNK 2005). Namun Taman Nasional Kutai kini banyak
mengalami permasalahan. Hal ini disebabkan adanya pembangunan industri,
kegiatan pertambangan, eksploitasi hutan di sekitar dan di dalam TNK serta
pembangunan jalan trans Kalimantan khususnya ruas jalan Bontang-Sangatta
sepanjang 56 km yang melintasi Taman Nasional Kutai. Dampaknya saat ini
menyebabkan gangguan yang meluas terhadap keberadaan TNK.
102

Menurut pengamatan di lapangan dan data dari BTNK (Balai Taman


Nasional Kutai) menunjukkan grafik luas perambahan hutan semakin meningkat
dari tahun ke tahun. Hal ini disebabkan kebutuhan lahan yang cukup tinggi dan
ada indikasi spekulan-spekulan tanah yang memanfaatkan ketidakpastian hukum
di Taman Nasional Kutai (Pemkab Kutim 2005). Data perambahan hutan selama
tiga tahun disajikan pada Tabel 7.

Tabel 7 Luas perambahan hutan di TNK sepanjang jalan Bontang-Sangatta (1999-


2001).
Luas Areal Perambahan (ha)
Lokasi Okt Nov Peb Mar Mei Mei Des
1999 1999 2000 2000 2000 2001 2001
Pinang/Masabang 3 322 3 322 4 307 4 307 4 307 - -
Sangkima 1 693 1 693 1 693 2 477 2 477 - -
Teluk Pandan 1 433 2 336 2 336 2 336 2 336 - -
Kandolo/ Teluk Kaba - 2 999 3 883 5 083 5 088 - -
Temputuk, dsk 1 543 1 543 1 543 2 475 2 485 - -
Di dalam enclave1 23 712 23 712
Di luar areal enclave2 - 255.75
Jumlah 7 991 11 893 13 762 16 678 16 693 23 712 23 968
Sumber: peta perambahan BTNK 2000 (Pemkab Kutim 2001)
1
: Laporan Tim Enclave, Pemkab Kutim 2001
2
: Kegiatan Penyuluhan Tata Batas Enclave, BTNK 2001

Pada Desember 2001 luas lahan yang diduduki masyarakat di luar


kawasan enclave sepanjang jalan Bontang - Sangatta adalah 255.75 ha, sedangkan
jumlah kepala keluarga (kk) yang mendiaminya adalah 151 (rata-rata luas
penguasaan lahan 1.69 ha/kk). Berdasarkan observasi lapangan, diketahui
sebagian besar masyarakat mendiami daerah tersebut baru sekitar tahun 1999-
2000.
Lokasi perambahan hutan oleh masyarakat disajikan pada Gambar 25 .
Perambahan hutan cenderung terjadi di sepanjang jalan Bontang Sangatta, yang
membelah kawasan TNK, menuju ke arah pesisir pantai. Perambahan ke arah
pesisir terjadi karena memang pada awalnya pemukiman penduduk adalah di
kawasan pesisir pantai TNK, sehingga menyambung dari arah jalan ke pesisir dan
sebaliknya.
103

Gambar 25 Peta perambahan hutan di Taman Nasional Kutai (TNK 2005).

Data perambahan hutan mangrove di kawasan TNK dari Balai TNK tidak
diperoleh, namun berdasarkan hasil observasi peneliti diketahui bahwa
perambahan hutan mangrove terjadi karena pembukaan lahan untuk pemukiman
(dibentuk 4 desa definitif di pesisir kawasan TNK), untuk tambak, pemanfaatan
kayu mangrove untuk bangunan dan pembuatan alat tangkap ikan (bubu,
sero/belat, bagan), pemanfaatan nipah untuk atap. Dokumentasi perambahan
hutan mangrove dapat dilihat pada lampiran 29.

4.5.2 Illegal Logging


Salah satu masalah terbesar yang menyebabkan rusaknya TNK adalah
illegal logging. Data pencurian kayu pada tahun 2005 (TNK 2005) disajikan pada
Tabel 8.
104

Tabel 8 Hasil pengamanan hutan di TNK tahun 2005.


Penyelesaian/
Instansi yang
No. Tempat/Lokasi Kejadian Barang Bukti Tahap Keterangan
Menangani
Penyelesaian
1 Km. 33 Jl. Bontang 1 unit chainsaw PPNS BTNK Temuan Operasi
Sangatta, Teluk Kaba II, Bontang Fungsional
SKW I
2 Km. 9 Ex Jalan PT Kayu Kayu ulin = 4.005 PPNS BTNK Temuan Operasi
Mas, SKW I Kayu Meranti = 0.868 Bontang Fungsional
3 Km. 9 Ex. Jalan PT Kayu 1 unit chainsaw PPNS BTNK Temuan Operasi
Mas, Bontang Fungsional
SKW I
4 Km. 33 Jl. Bontang Kayu ulin + 2.44 m3 PPNS Temuan Operasi
Sangatta, SKW I 1 unit chainsaw Fungsional
5 Senara, SKW II 2 unit chainsaw Polres Kutim Jaksa Penuntut Operasi
Meranti 20x20x4=12 Umum Fungsional
batang
Ulin 10x10x4 = 10
batang
6 Km.9 Pertamina, SKW II 3 unit chainsaw Polres Kutim Jaksa Penuntut Operasi
Umum Fungsional
7 Km. 12 Jl. Sangatta 1 unit chainsaw PPNS TNK Jaksa Penuntut Perambahan
Bontang, SKW II 1 buah parang Umum
Kayu ulin 10x10x2 =
20 batang
8 Km.9 Jl. Bontang Sangatta, Pick-up KT 8341 CB PPNS TNK Jaksa Penuntut Operasi
SKW I Kayu 2x14x2 = 230 Umum Fungsional
batang = 1.2 m3 Tanpa SKSHH
9 Km. 10 Jl. Bontang Truk KT 8754 R PPNS TNK Jaksa Penuntut Operasi
Sangatta, SKW I muatan blambangan + 6 Umum Fungsional
m3 Tanpa SKSHH
Truk KT 8594 AK Operasi
muatan blambangan + 5
m3
10 Km.5 Jl. Bontang-Sangatta, Pick-up Zebra KT 8012 PPNS TNK Jaksa Penuntut Operasi
SKW II BU Umum Fungsional
Ulin flooring ukuran Tanpa SKSHH
2x10x200 = 250 batang Operasi
= 1 m3
11 Teluk Kaba II, SKW I Kayu ulin = 0.3 m3 PPNS Temuan Operasi
Fungsional
12 Km. 37 Tanah Datar, SKW I Kayu ulin = 0.78 m3 PPNS Temuan Operasi
Fungsional
13 Km. 9 Jl. Bontang 2 unit chain saw BB. Polres Kutim Polres Kutim Operasi
Sangatta, SKW I Kayu 6x12x2 =12 Fungsional
batang
Kayu temuan 10x10x4
= 14 batang = 0.56 m3

14 Km. 37 Tanah Datar, SKW I Kayu ukuran PPNS Temuan Operasi
10x10x4 =16 batang Fungsional
=0.6 m3
Kayu 10x5x4=10
batang = 0.2m3
Sumber: TNK (2005)

Setelah pengawasan terhadap mafia pencurian kayu di hutan diperketat,


yang berimbas pada tingginya harga kayu hutan seperti ulin dan bengkirai, maka
saat ini kayu bakau menjadi alternatif pilihan sebagai kayu bangunan.
105

4.6 Proses Enclave di TNK


Permasalahan yang kompleks dalam mengelola TNK, terutama berkaitan
dengan adanya penduduk di dalam kawasan TNK, mendorong inisiatif pemerintah
daerah untuk mengadakan kegiatan lokakarya Taman Nasional Kutai pada tanggal
31 Oktober 2000. Lokakarya tersebut diikuti hampir semua stakeholder yang
terkait dengan pengelolaan Taman Nasional Kutai. Kegiatan enclave sendiri
merupakan salah satu rekomendasi dari kegiatan lokakarya tersebut.
Lokakarya merekomendasikan bahwa salah satu cara untuk
menyelamatkan TNK adalah melalui enclave dan relokasi penduduk melalui
beberapa tahap kegiatan, yaitu:
- Perlu segera ditetapkan tapal batas 4 desa didalam TNK sesuai dengan konsep
enclave, sementara penduduk yang ada di luar batas enclave desa harus masuk
ke dalam wilayah desa yang ditetapkan (Desa Teluk Pandan, Desa Sangkima,
Desa Sangatta Selatan dan Desa Singa Geweh)
- Bagi penduduk yang tidak mau bergabung masuk kedalam batas enclave desa
diupayakan untuk masuk program transmigrasi lokal (relokasi) yang letaknya
antara sepanjang jalan Sangkulirang (Maloy) hingga Muara Wahau.
Kegiatan enclave ini ditindaklanjuti dengan Surat Perintah Kerja dari Direktorat
Jenderal Perlindungan dan Konservasi Alam No. 830/DJ-V/LH/2000 tanggal 20
November 2000 kepada Pemerintah Kabupaten Kutai Timur untuk melaksanakan
Tata Batas Enclave 4 desa definitif di Taman Nasional Kutai.
Tata Batas Taman Nasional Kutai adalah salah satu proses yang dilakukan
oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Kutai Timur sebelum dilakukan enclave.
Persoalan Tata Batas menjadi penting ketika konsep enclave disetujui sebagai
salah satu cara untuk penyelesaian berbagai permasalahan di Taman Nasional
Kutai. Tahapan proses Tata Batas Taman Nasional Kutai dapat dijelaskan sebagai
berikut :
1. Penunjukan Kawasan Hutan :
Menurut surat keputusan terakhir adalah sesuai SK Menhut No.
79/Kpts-II/2001 sebagai TNK seluas 198 269 ha.
2. Penataan Batas
106

Tata Batas Suaka Margasatwa Kutai tahun 1979 sepanjang 274 Km


(temu gelang) oleh Direktorat Bina Program Kehutanan.
Berita Acara Tata Batas oleh Panitia Tata Batas Kabupaten Dati II
Kutai tanggal 2 Agustus 1979, disahkan Mentan tanggal 1 Oktober
1980.
Tata batas alam 55.7 Km (tahun 2003) yg telah ditandatangani di
Panitia Tata Batas Kabupaten Kutai Timur.
Rekonstruksi batas buatan 83.7 Km (tahun 2005).
Informasi tentang rencana dan realisasi tata batas yang telah dilakukan di
areal rencana enclave dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9 Rencana dan realisasi tata batas di areal rencana enclave


Rencana Realisasi Luas
No Desa Jarak datar (m) (ha) Keterangan
Jarak datar (m)
Sangatta ** Sudah sampai
1 15 500 20 259.39 ** 5 200
Selatan pemancangan
2 Singa Geweh 39 980 36 734.83 ** 3 600 pal definitif
3 Sangkima 23 530 30 516.80 ** 6 215 * Baru sampai
4 Teluk Pandan 42 250 58 400.87 * 8 697 pemancangan
patok
JUMLAH 121 260 145 908.89 23 712 sementara
Sumber : Laporan Pelaksanaan Tata Batas Enclave, Pelaksanaan Relokasi Penduduk, dan Program
Rehabilitasi dan Pemagaran Taman Nasional Kutai, Pemkab Kutai Timur 2009

Tabel 9 diatas menunjukkan bahwa dari 23 712 ha kawasan enclave yang


akan ditata batas, baru 15 015 ha atau sepanjang 87 511.02 m yang sudah di tata
batas definitif. Sisanya seluas 8 697 ha atau sepanjang 58 500.87 m di desa Teluk
Pandan belum dilaksanakan tata batas definitif.
Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam
Nomor: 129/Kpts/DJ-VI/1996 tentang Pola Pengelolaan Kawasan Suaka Alam,
Kawasan Pelestarian Alam, Taman Buru, dan Hutan Lindung, menyebutkan
bahwa pengukuhan status kawasan dimulai dari proses penunjukan kawasan,
penataan batas, pengukuran, pemetaan sampai pada proses penetapan status
kawasan.
Persoalan tata batas yang belum definitif ini juga menjadi persoalan
penting mengapa hingga saat ini proses tata batas belum selesai. Keterlambatan
proses tata batas ini bisa berakibat munculnya spekulan-spekulan tanah. Hasil
107

survei Yayasan BIKAL dalam Pemkab Kutai Timur (2005), menunjukkan bahwa
para spekulan tanah di TNK 50.5% berasal dari Bontang dan 35.5% berasal dari
Sangatta. Tercatat pada Desember 2001 seluas 255.75 ha diluar kawasan enclave
telah dikuasai oleh para spekulan dan kemungkinan luasan tersebut akan semakin
bertambah bila proses enclave belum selesai.
Pada tanggal 29 31 Mei 2006 di Sangatta dilaksanakan Diskusi
Lanjutan Tata Batas di Taman Nasional Kutai. Kegiatan diskusi tersebut diikuti
beberapa stakeholder penting yaitu Kepala Pusat Pengendalian Pembangunan
Kehutanan Regional III, Direktorat Jenderal PHKA, Badan Planologi Departemen
Kehutanan, Biro Hukum dan Organisasi Departemen Kehutanan, Balai
Pemantapan Kawasan Hutan Kalimantan Timur, Balai Taman Nasional Kutai,
Yayasan Bina Kelola Lingkungan, Dinas Kehutanan Kutai Timur, Bappeda Kutai
Timur, Dinas Lingkungan Hidup Kutai Timur dan Fasda Kalimantan.
Diskusi Lanjutan Tata Batas di Taman Nasional Kutai menghasilkan
beberapa keputusan yaitu disepakatinya 3 (tiga) alternatif rekomendasi
penyelesaian permasalahan Taman Nasional Kutai, meliputi:
9 Alternatif 1: menyelenggarakan pengelolaan kolaboratif dalam area seluas
23 712 ha. Bentuk dan kerjasama pengelolaan akan dirumuskan kemudian
dengan mengacu pada SK DIRJEN PHKA terkait.
9 Alternatif 2: menyelesaikan tata batas TNK yang prosesnya belum
ditetapkan oleh Menhut. Ini dilakukan dengan memperbaharui gabungan
hasil pengukuran tata batas pemukiman masyarakat di bagian barat dengan
hasil tata batas luar.
9 Alternatif 3 : penyelesaian masalah penggunaaan areal TNK akan
dilakukan dengan berdasarkan pasal 19 UU 41 /1999 pada scheme
perubahan fungsi.
Tiga Alternatif tersebut nanti akan dikaji oleh Tim Pengkajian yang dibentuk oleh
Departemen Kehutanan dan di SK-kan oleh Menteri Kehutanan. Tim tersebut
dibentuk untuk mengkaji 3 (tiga) alternatif yang dimungkinkan paling tepat untuk
pengelolaan Taman Nasional Kutai.
Berselang 1 (satu) minggu dari kegiatan diskusi pada tanggal 29-31 Mei
2006 tersebut, tepatnya pada tanggal 8 Juni 2006 melalui Surat No:
108

S.360/Menhut-IV/2006 Menteri Kehutanan Mengeluarkan surat Penyelesaian


Penataan Batas 4 Desa Dalam Kawasan TNK. Berikut kutipan isi surat tersebut
pada butir 4 : Untuk membatasi kerusakan yang lebih luas maka tata batas desa
Teluk Pandan dapat dilanjutkan dengan syarat tidak mengakses hal-hal yang
tidak dapat dibuktikan keabsahannya dan dilakukan dengan metoda minimalis.
Berdasarkan surat tersebut Pemkab Kutai Timur melalui Dinas
Lingkungan Hidup telah mempersiapkan kegiatan penyelesaian Tata Batas TNK.
Pada tanggal 13 Juli 2006, Dinas Lingkungan Hidup mengadakan rapat awal
penyelesaian penataan batas yang di hadiri oleh Tim Tata Batas Enclave Desa
Teluk Pandan. Tim Tata Batas ini melibatkan semua stakehoder yang terkait
dengan tata batas di desa Teluk Pandan yaitu Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten
Kutai Timur, Dinas Kehutanan Kabupaten Kutai Timur, Dinas Pertanahan
Kabupaten Kutai Timur, Bappeda Kabupaten Kutai Timur, Bagian Hukum Setkab
Kutai Timur, Balai Taman Nasional Kutai, Balai Pemantapan Kawasan Hutan
Kaltim, Kepala Desa Teluk Pandan, Kepala Desa Martadinata, Kepala Desa
Kandolo, Yayasan Bikal. Rapat tersebut menghasilkan kesepakatan untuk
menyusun rencana kegiatan penataan batas desa Teluk Pandan.
Menindaklanjuti keluarnya Surat Menteri Kehutanan tersebut maka
dilaksanakan beberapa kali pertemuan dengan Tim Tata Batas yang melibatkan
Pihak BPKH dan BTNK.
1. Pertemuan Tanggal 30 Nopember 2006
o Pertemuan membahas hal-hal yang perlu segera dilaksanakan terkait
dengan Surat Menteri Kehutanan.
o Membahas rencana pelaksanaan Tata Batas Kecamatan Teluk Pandan.
2. Pertemuan Tanggal 14 Desember 2006
o Persiapan Teknis Pelaksanaan Tata Batas Kecamatan Teluk Pandan.
o Persiapan alat dan bahan yang diperlukan untuk pelaksanaan Tata Batas
Kecamatan Teluk Pandan.
3. Pelaksanaan Tata Batas Pengaman Enclave Desa Teluk Pandan, Desa
Martadinata dan Desa Kondolo pada tanggal 8 23 Januari 2007
109

4.7 Kondisi Sosial Budaya Masyarakat dalam Lokasi TNK


Pada masa yang lalu pengelolaan kawasan konservasi sering merugikan
masyarakat karena terjadi pembatasan akses mereka terhadap sumberdaya.
Masyarakat lokal yang bergantung pada sumberdaya dalam kawasan konservasi
yang umumnya paling terpengaruh oleh kondisi ini. Dalam jangka panjang
kawasan konservasi akan lestari hanya bila didukung oleh masyarakat lokal.
Idealnya kawasan konservasi seharusnya menjadi aset yang sangat berharga yang
menghormati hak-hak, mengentaskan kemiskinan, dan memberikan solusi dalam
konflik manusia-alam (human-wildlife conflict) agar kawasan konservasi dapat
bertahan sesuai fungsinya.
Penolakan masyarakat lokal atas beberapa Taman Nasional di Indonesia,
baik yang lama maupun yang baru ditetapkan, sesungguhnya hal yang wajar
terjadi karena masyarakat juga memiliki konsep, pemikiran dan kepentingan
tersendiri dalam memanfaatkan sumberdaya alam. Mereka juga berhak atas
sumberdaya alam yang ada dalam Taman Nasional karena dari situlah kehidupan
mereka terbentuk. Maka adalah hak mereka juga untuk duduk setara dengan pihak
lain dan menyampaikan konsepnya secara langsung dalam setiap proses
pengambilan keputusan.
CII (2006) menyatakan potensi konflik yang melibatkan masyarakat lokal
dalam pengelolaan taman nasional tak sekedar dipicu oleh prosesnya yang bersifat
top-down, namun juga oleh dua hal penting lainnya, yaitu persoalan aksesibilitas
dan manfaat bagi masyarakat.
Aksesibilitas terhadap sumberdaya alam merupakan faktor yang harus
dipertimbangkan lewat perspektif sosio-kultural mengingat pengelolaan Taman
Nasional dimanifestasikan dalam sistem permintakatan (zonasi) dengan berbagai
pengaturannya. Persoalan lantas muncul manakala aturan tersebut berimplikasi
pada penyempitan, bahkan penghapusan akses penduduk terhadap sumberdaya
alam yang dijadikan zonasi tertentu, terutama pada zona inti (no-take zone).
Faktor manfaat kehadiran taman nasional juga perlu dikaji lebih dalam.
Masyarakat lokal cenderung mengharapkan manfaat yang bersifat langsung dari
apapun kebijakan pengelolaan sumberdaya alam yang diterapkan. Manfaat itu
sendiri tidak melulu bersifat ekonomi dan materil, tapi yang lebih mendasar
110

adalah
a hak masyarakat
m d
dalam pengeelolaan ruanng dan sumbberdaya alam
m di sekitar
mereka;
m serrta hak terhhadap keterrsediaan sum
mber daya alam yang menjamin
kelangsunga
k an hidup merreka.
Pemaahaman atass kondisi soosial budayaa masyarakaat yang tingggal dalam
kawasan tam
man nasionaal akan mem
mbantu keberhasilan dalam menyusuun rencana
pengelolaann Taman Nassional Kutai..

4.7.1 Jenis
J Matap
pencaharian
n
Mataapencahariann masyarakaat di dalam lokasi TNK
K tersaji dalaam Gambar
26.
2 bidang usaha jasa paling
p banyyak dilakukaan oleh pendduduk yang tinggal di
dalam
d man pangan dan diikuti
lokasi TNK, berikkutnya adalaah usaha perrtanian tanam
dengan
d usah
ha perdaganggan. Tingginnya jumlah penduduk
p yaang berusahaa di bidang
pertanian
p taanaman pang
gan dan perrkebunan daapat menjaddi indikator banyaknya
konversi
k huttan menjadii lahan pertaanian. Bidanng perikanann tidak menjjadi bidang
usaha
u pentin
ng bagi pend
duduk.

900
800
700
600
500
400 SangattaSelatan
300 SingaGeeweh
200
Sangkim
ma
100
0 Sangkim
maLama

G
Gambar 26 Juumlah penduuduk sesuai jenis mata ppencaharian.
(Sumber: Monografi
M Keccamatan Sangattta Selatan Tahhun 2008)

4.7.2 Jumlah
J Penduduk
TNK
K berada di tengah-tenggah daerah industri.
i Perrkembangan
n perkotaan
yang
y tidak terkendali
t menyebabkan
m n masyarakatt bermukim baik di dalaam maupun
di
d sekitar kawasan
k karrena keinginnan untuk memperolehh lapangan pekerjaan.
Jumlah
J pendduduk desa di
d dalam TN
NK tersaji dallam Gambarr 27.
111

6152 6918 SaangattaSelatan


n
Sin
ngaGeweh
1207
Saangkima
3072
5278 SaangkimaLama
TeelukPandan

Gam
mbar 27 Jum
mlah penduduuk di empat desa definitiif dalam TN
NK.
(Sumber:
( 1. Daata Identifikasii Enclave TNK
K Tahun 2005, Dinas Lingkunngan Hidup Ku
utai Timur; 2.
Monografi
M Keccamatan Sangattta Selatan Tahhun 2008)

Jumllah pendudu
uk Desa Saangatta Selattan terbanyak dibandinngkan desa
yang
y lainnyaa, karena Deesa Sangattaa Selatan meerupakan dessa tertua di Kecamatan
K
Sangatta, seebelum dimeekarkan mennjadi Kecam
matan Sangattta Utara daan Sangatta
Selatan. Deesa Sangattaa Selatan sendiri termasuk dalam
m Kecamatan
n Sangatta
Selatan yang
g terdiri darii 3 desa, yaiitu Desa Sanngatta Selataan, Desa Sinnga Geweh,
dan
d Desa Saangkima.
Desaa Teluk P
Pandan sellanjutnya merupakan
m desa yanng jumlah
pendudukny
p ya tertinggi kedua. Namun, perkkembangan selanjutnyaa desa ini
dimekarkan
d lagi menjaadi Desa Teeluk Pandan
n, Kandolo dan Martaddinata, dan
statusnya seekarang mennjadi kecam gan berdirinnya sebuah kecamatan
matan. Deng
baru,
b maka permasalaha
p an perambahhan hutan di TNK menjaadi semakin kompleks.
Adanya
A mekaran keecamatan berimplikasi pada pembbangunan sarana
pem s dan
prasarana
p um
mum bagi peenduduk, sepperti sekolah
h, tempat ibaadah, saranaa kesehatan
dll,
d dan akhiirnya pemecahan masalaah TNK mennjadi semakin sulit.

4.7.3 Agama
A
Agam
ma yang diaanut pendudduk di desa definitif
d dalaam kawasann TNK dan
tempat
t ibadaah yang dim
miliki disajikaan dalam Tabbel 10.
112

Tabel
T 10 Jum
mlah pemelu
uk agama daan tempat ibaadah di desa definitif dallam TNK
Sangatta Singa Sanngkima Teluk
Sangkim
ma*
Agama Selatan Geweh** Laama* Pandan*
Jml TI Jml T
TI Jml TI Jml TI Jml TI
Islam 6 651 144 5 179 11 2 969 7 1 2022 3 5 017 166
Protestan 81 1 89 - 103 1 5 - 4 -
Katolik 186 1 10 - - - - - - -
Budha - - - - - - - - - -
Hindu - - - - - - - - - -
Sumber: Moonografi Keecamatan Saangatta Selattan dan Keccamatan Telluk Pandan
Tahhun 2008
Keterangan:
K *: Desa Panntai, Jml: juumlah pemeeluk agama, TI: tempat ibadah
i

Tabeel 10 menunnjukkan bahhwa mayorittas penduduuk yang ting


ggal dalam
lokasi
l TNK
K beragama Islam.
I Jumlaah tempat ib
badah yang dibangun dalam
d TNK
juga
j sudah cukup
c banyaak yaitu sekittar 51 masjidd dan mushoolla, serta 3 gereja.
g

4.7.4 Pendidikan
P
Saran
na pendidik
kan di desa definitif daalam kawasaan TNK terrsaji dalam
Gambar
G 28 dan
d Gambarr 29.

3
2.5
5
2
SangattaaSelatan
Unit 1.5
5
1 SingaGe
eweh

0.5
5 Sangkim
ma

0 Sangkim
maLama
TelukPaandan

G
Gambar 28 Sarana
S pendidikan di dessa definitif ddalam TNK.
(Sumber:
( M
Monografi Keec. Sangatta Selatan dan Kec. Teluk Pandan Tahu un 2008)

Gam
mbar 28 mennunjukkan baahwa fasilitaas sarana penndidikan yanng tersedia
bagi
b masyaarakat yang berada dallam TNK sudah
s relatiff lengkap, mulai dari
113

pendidikan
p TK hingga Sekolah Menengah Atas. Denngan demikkian dapat
dikatakan
d baahwa masyaarakat sudahh memperoleeh pendidikaan yang cuku
up. Namun
demikian
d haasil survei kepada
k respoonden menu
unjukkan ratta-rata respo
onden yang
bekerja
b di biidang perikaanan lebih daari 70% hanyya bersekolaah sampai SD
D dan tidak
lulus
l SD.
Gamb
bar 29 menuunjukkan daari keempat desa definittif yang adaa di dalam
TNK
T umum
mnya lebih dari
d 30% pennduduknya hanya
h berseekolah sampai SD, dan
yang
y bersek
kolah samppai SLTA hanya sekiitar 10-20%
%. Rendahny
ya tingkat
pendidikan
p masyarakatt akan meempengaruhii pemaham
man masyarrakat akan
pentingnya
p menjaga keelestarian linngkungan, teerkait dengaan lingkung
gan mereka
yang
y merupaakan kawasaan taman nassional.

60

50

40
TidakSekolah
SD
30
SLTP
20 SLTA
PerguruaanTinggi
10

0
Saangatta SinggaGeweh Sangkima Teluk
S
Selatan Pandan

Gambaar 29 Tingkatt pendidikann masyarakatt di desa deffinitif dalam TNK.


(Sumbeer: Data Inden
ntifikasi Enclaave Taman Nasional
N Kutaii tahun 2005, Dinas
L
Lingkungan H
Hidup Kab. Kutai
K Timur)

Kegiaatan pengelolaan ekosisttem mangrov


ve akan efekktif bila diduukung oleh
mutu. Hal ini berarti seseorang memiliki
sumberdayaa manusia yang berm
kemampuan
k n berpikir daan keteramppilan untuk berbuat sessuatu karenaa memiliki
tingkat
t penngetahuan yang
y tingggi. Dengan tingginya tingkat peengetahuan
diharapkan
d mi manfaat ppengelolaan ekosistem
masyarakat dapat lebihh memaham
mangrove
m untuk
u kehiduupan merekaa dan juga dapat berpeeran aktif daalam setiap
kegiatan
k penngelolaan maangrove.
114

4.7.5 Kesehatan
Sarana kesehatan di desa definitif dalam kawasan TNK disajikan dalam
Tabel 11. Sarana kesehatan bagi masyarakat dalam lokasi TNK cukup tersedia
dengan adanya 1 Rumah sakit, 2 puskesmas dan 2 puskesmas bantu.

Tabel 11 Sarana kesehatan di desa definitif dalam TNK


Sangatta Singa Sangkima Teluk
Sangkima
Fasilitas Selatan Geweh Lama Pandan
Kesehatan Jml Jml Jml Jml Jml
RUMAH
- - 1 - -
SAKIT
PUSKESMAS 1 - - - 1
PUSBAN - - 1 1 -
POSYANDU 7 2 2 1 -
Sumber: Monografi Kecamatan Sangatta Selatan dan Kecamatan Teluk Pandan
Tahun 2008

4.7.6 Aspek Kelembagaan


Kelembagaan yang terlibat dalam kegiatan kelestarian lingkungan yang
beraktivitas di kawasan TNK terdiri dari lembaga swadaya masyarakat,
perusahaan swasta, dan instansi pemerintah. Lembaga-lembaga tersebut antara
lain:
1. Balai TNK
Balai TNK yang berkedudukan di Kota Bontang, Propinsi Kalimantan Timur,
merupakan Unit Pelaksana Teknis (UPT) di lingkup Direktorat Jenderal
Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA). Berdasarkan Keputusan
Menteri Kehutanan Nomor 6186/Kpts-II/2002 tanggal 10 Juni 2002, Balai
TNK mempunyai tugas pokok melaksanakan pengelolaan ekosistem TNK
dalam rangka konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya
berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku.
Dalam menyelenggarakan tugas pokok tersebut, BTNK mempunyai fungsi:
a. Penyusunan rencana, program dan evaluasi pengelolaan TNK;
b. Pengelolaan TNK;
c. Pengawetan dan pemanfaatan secara lestari TNK;
d. Perlindungan, pengamanan dan penanggulangan kebakaran TNK;
115

e. Promosi dan informasi, bina wisata dan cinta alam, serta penyuluhan
konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya;
f. Kerjasama pengelolaan TNK;
g. Pelaksanaan urusan tata usaha dan rumah tangga.
2. LSM BIKAL (Bina Kelola Alam)
BIKAL adalah salah satu lembaga swadaya yang sangat perhatian pada
kelestarian alam Taman Nasional Kutai. Untuk saat ini BIKAL memiliki
program yaitu :
a. Penguatan masyarakat sipil Kutai Timur dalam mendorong partisipasi publik
b. Analisis Kelembagaan (DPRD, Masyarakat, dan Konflik Pengelolaan SDA)
c. Pengembangan media informasi
d. Pembuatan fungsi kontrol
e. Menggalang aliansi
3. LSM BEBSIC (Borneo Ecological Biodiversity Science)
BEBSIC merupakan LSM yang banyak menaruh perhatian pada
keanekaragaman hayati. Adapun program BEBSIC yang ada di TNK adalah :
a. Riset Keanekaragaman Hayati (Orangutan)
b. Kampanye Kesadaran Publik
4. Polres Bontang
Polres Bontang adalah instansi yang bertanggungjawab terhadap pengamanan
kawasan terutama pada kasus-kasus pencurian kayu dan perambahan hutan
yang mengganggu keberadaan Taman Nasional Kutai. Program utama
kepolisian dalam pengamanan TNK adalah melakukan kegiatan-kegiatan
operasi di wilayah TNK dengan sandi Operasi Jaring Kakap, Operasi Wanalaga
I Mahakam dan Operasi Wanalaga II Mahakam dengan sasaran penertiban
penebangan-penebangan liar dan perambahan hutan. Kegiatan tersebut
bekerjasama dengan Polsus Jagawana TNK.
5. Mitra TNK
Dalam upaya pengelolaan kawasan, Balai TNK telah menggandeng 8
perusahaan berskala besar yang mempunyai lokasi kegiatan bersebelahan
dengan TNK dalam wadah Mitra Kutai (Friends of Kutai). Perusahaan tersebut
yaitu PT. KPC dan PT. Indominco Mandiri (tambang batubara), PT Pupuk
116

Kaltim (pupuk), PT Badak NGL dan Pertamina (minyak dan gas) serta PT.
Kiani Lestari, PT. Surya Hutani Jaya dan PT Porodisa (pemegang konsesi
hutan). Mitra Kutai memberikan dukungan finansial dan teknis yang sangat
dibutuhkan untuk pengelolaan kawasan kepada Balai TNK. Bentuk partisipasi
dan kerjasama Mitra Kutai tersebut dikukuhkan melalui SK Dirjen PHPA No.
121/Kpts/Dj-VI/1995 tanggal 30 April 1994.

4.8 Persepsi Masyarakat


Persepsi masyarakat terkait dengan pengelolaan mangrove di TNK
ditelusuri dengan menggunakan alat kuisioner dan wawancara secara mendalam.
Hasil penelusuran terhadap persepsi masyarakat disajikan secara deskriptif berikut.

4.8.1 Pemahaman Masyarakat terhadap Pengelolaan Hutan Mangrove


Dalam penelitian ini, pemahaman masyarakat diartikan sebagai
pengetahuan dan persepsi masyarakat tentang kondisi ekosistem mangrove,
peraturan, fungsi dan pemanfaatan hutan mangrove bagi kehidupan manusia dan
lingkungan. Tingkat pemahaman masyarakat terhadap ekosistem mangrove di
kawasan TNK khususnya terhadap kondisi, rehabilitasi dan konservasi mangrove
secara umum cukup baik. Namun tingkat pemahaman terhadap fungsi dan
peraturan yang terkait dengan ekosistem ini relatif rendah.
Hal ini terlihat dari jumlah responden yang paham terhadap kondisi
mangrove di TNK, apakah masih bagus atau mulai terdegradasi, sebesar 67%.
Responden yang memahami perlunya rehabilitasi dan konservasi hutan mangrove
di TNK sebanyak 50%. Namun demikian, walaupun banyak responden yang
setuju untuk konservasi mangrove, mereka juga merasa pemanfaatan hutan
mangrove bebas dilakukan, kelompok ini sejumlah 58.33%. Sebanyak 25%
masyarakat memahami fungsi mangrove bagi perikanan, dan namun yang
mengerti peraturan perundangan tentang mangrove hanya 20 % (Tabel 12).
Pemahaman masyarakat terhadap fungsi mangrove dalam hal ini adalah
sebagai pencegah abrasi dan erosi, tempat hidup, bertelur dan berkembang biak
beberapa jenis ikan, udang, kepiting dan kerang.
117

Tabel 12 Pemahaman masyarakat terhadap pengelolaan mangrove.


No Tingkat Pemahaman Masyarakat Persentase (%)
1 Kondisi mangrove 66.67
2 Fungsi ekologis mangrove 25
3 Peraturan tentang mangrove 20
4 Setuju Rehabilitasi dan konservasi 50
5 Bebas memanfaatkan mangrove 58.33
Sumber: Hasil olahan data primer 2009

Pemahaman terhadap rehabilitasi dan konservasi hutan mangrove menunjukkan


seberapa penting kedua kegiatan ini dilakukan. Masyarakat sangat mendukung
diadakannya program-program rehabilitasi dengan syarat tidak membatasi mereka
dalam memanfaatkan sumberdaya yang ada.
Walaupun masyarakat mendukung program rehabilitasi, namun di sisi lain
masyarakat masih memanfaatkan mangrove dengan cara yang merusak, misalnya
mengambil kayu untuk bangunan atau membuka tambak. Sehingga diduga bahwa
pemahaman masyarakat mengenai pengelolaan mangrove masih bersifat
sepotong-sepotong, dimana keterkaitan antara fungsi, pemanfaatan dan konservasi
mangrove belum dipahami seutuhnya.
Tingkat pemahaman yang rendah terhadap peraturan yang berkaitan
dengan mangrove di TNK umumnya disebabkan kurangnya sosialisasi dan
informasi terhadap peraturan-peraturan yang ada yang menyebabkan masyarakat
memanfaatkan mangrove secara tidak terkendali dan tidak ramah lingkungan yang
pada akhirnya menyebabkan degradasi mangrove. Untuk itu diperlukan upaya
yang lebih intensif dalam sosialisasi peraturan-peraturan tentang perlindungan
mangrove dan sanksi-sanksi terhadap peraturan yang ada. Selain itu diperlukan
juga informasi-informasi yang berkaitan dengan pengelolaan ekosistem mangrove
yang lestari dan berkelanjutan dalam hal pemanfaatan sumberdaya mangrove.
Tingkat persepsi yang berkembang dalam masyarakat dibangun oleh
beberapa faktor internal yang terdapat dalam masyarakat, faktor-faktor internal
tersebut merupakan kekuatan yang mendukung terhadap segala bentuk kegiatan
masyarakat khususnya yang menyangkut perilakunya dalam memanfaatkan
sumberdaya alam yang ada. Namun demikian, persepsi masyarakat ini tidak dapat
dijadikan ukuran mutlak untuk melihat suatu gejala, karena persepsi tersebut
118

dapat berubah-ubah sesuai dengan perubahan sosial ekonomi dan tingkat


pendidikan maupun pengetahuan seseorang.

4.8.2 Persepsi Masyarakat terhadap Pemanfaatan S. serrata


Kepiting bakau sebagai salah satu sumberdaya yang terdapat dalam
ekosistem mangrove TNK sudah lama dikenal masyarakat sebagai bahan
makanan. Sampai saat ini masyarakat hanya mengetahui cara memperoleh
kepiting bakau hanya melalui penangkapan kepiting bakau di alam. Sedangkan
teknologi budidaya kepiting bakau bagi sebagian besar masyarakat di TNK masih
menjadi hal yang asing. Namun demikian animo masyarakat, terutama dari
kalangan nelayan untuk menerima introduksi teknologi budidaya kepiting bakau
cukup besar. Hasil dari pengolahan data kuisioner mengenai persepsi masyarakat
dalam pemanfaatan sumberdaya S. serrata disajikan dalam Tabel 13.
Dari hasil analisis kuisioner diketahui bahwa tidak banyak masyarakat
yang memanfaatkan sumberdaya S. serrata untuk matapencaharian yaitu hanya
16.67% saja. Hanya orang-orang yang mempunyai keahlian dalam mencari dan
menangkap kepiting bakau saja yang mau memanfaatkan kepiting bakau untuk
matapencahariannya.

Tabel 13 Tingkat pemahaman masyarakat mengenai pemanfaatan S. serrata.


Persentase
No Tingkat Pemahaman Masyarakat
(%)
1 Matapencaharian S. Serrata 16.67
2 Setuju membudidayakan S. Serrata 46.67
Mengganti pemanfaatan mangrove dg S.
3 20
Serrata
Sumber: Hasil olahan data primer 2009

Namun demikian, pada saat diperkenalkan dengan teknologi budidaya


kepiting bakau, hampir separuhnya (46.67%) menyatakan tertarik dan
menganggap sebagai matapencaharian yang baik. Hanya saja, masyarakat juga
masih beranggapan bahwa mangrove boleh dimanfaatkan dengan bebas, dan
sebagian masyarakat menyatakan bahwa pendapatan dari mangrove tidak dapat
digantikan dengan usaha budidaya kepiting bakau (20%). Hal ini disebabkan
masyarakat belum yakin akan keberhasilan budidaya kepiting bakau.

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Bioekologi S. serrata dan Daya Dukung Habitat Mangrove TNK

5.1.1 Ekologi Habitat Mangrove TNK


Ekosistem mangrove pada umumnya dijadikan sebagai tempat hidup
berbagai jenis satwa liar, seperti: ikan, serangga, invertebrata, burung, dan
mamalia besar. Hal tersebut disebabkan pada tipe ekosistem mangrove ini
memungkinkan tersedianya unsur hara dan makanan satwa liar sepanjang tahun.
Satwa liar yang terdapat di kawasan hutan mangrove TNK berdasarkan hasil
survey Rahmadani et al. (2004) meliputi jenis burung, primata, dan reptilia.

5.1.1.1 Jenis dan Kerapatan Vegetasi Mangrove


a) Muara Sangata
Mangrove di Muara Sangatta merupakan hutan bekas tebangan yang telah
kehilangan pohon berdiameter besar dan sebagian dari areal ini telah dijadikan
tambak. Di dalam plot tidak dijumpai pohon-pohon berdiameter besar, sebagian
besar merupakan trubusan dengan diameter <10 cm.
Berdasarkan hasil analisis plot botani terhadap vegetasi mangrove di Muara
Sangatta pada 8 petak contoh yang berukuran 5 x 5 meter diketahui bahwa
kerapatan 1 113 individu/ha, dbh rata-rata 4 cm, basal area 1.6770.427 m2/ha dan
minimum ada 4 jenis tumbuhan yang termasuk dalam 3 marga dan 3 suku.
Jenis pohon yang ditemui ada 4, jenis yang dominan adalah Aegiceras
corniculatum dengan INP = 142.031%, menyusul Nypa fructicans dengan INP =
130.481%, Ceriops tagal dengan INP = 15.350%, dan Ceriops decandra dengan
INP = 12.138%, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 14.

Tabel 14 Indeks Nilai Penting (INP) dari vegetasi di Muara Sangatta.


No. Nama Jenis Nama Suku Nama Lokal INP (%)
Aegiceras
1 Myrsinaceae Gedangan 142.031
corniculatum
2 Nypa fructicans Arecaceae Nipah 130.481
3 Ceriops tagal Rhizophoraceae Soga tingi 15.350
4 Ceriops decandra Rhizophoraceae Bido-bido 12.138
Jumlah 300.000

120

b) Teluk Perancis

Mangrove di Teluk Perancis relatif masih utuh dibandingkan dengan


Muara Sangatta. Pohon dengan diameter besar masih banyak ditemukan.
Penebangan pohon ditemukan pada beberapa lokasi yang dijadikan tambak.
Sebagian besar tambak tidak produktif lagi, dan menjadi lahan kritis.
Ekosistem mangrove Teluk Perancis mempunyai struktur pertumbuhan
vegetasi yang lengkap pada tingkat semai, pancang, dan pohon sehingga proses
regenerasi dapat berlangsung dan akan terwujud kelestarian apabila tingkat
ancaman/gangguan kerusakan terhadap ekosistem tersebut rendah.
Berdasarkan hasil analisis plot botani terhadap vegetasi pohon dengan dbh
10 cm pada 8 petak ukur berukuran 10 x 10 m diketahui bahwa kerapatan pohon
di Teluk Perancis TNK 550 pohon/ha, dbh rata-rata 12.87 cm, basal area
7.4210.224 m2/ha dan minimum ada 3 jenis pohon yang termasuk dalam 2 marga
dan 1 suku berbeda yang dijumpai di kawasan ini.
Ekosistem mangrove Teluk Perancis memiliki keanekaragaman jenis yang
tergolong rendah pada semua tingkat pertumbuhan vegetasi dan didominasi oleh
Rhizophora apiculata, Rhizophora mucronata, dan Bruguiera gymnorhiza. Selain
jenis-jenis tersebut, berdasarkan laporan survei potensi mangrove di TNK yang
dilakukan oleh Rahmadani et al. (2004) dijumpai pula jenis Avicennia alba,
Ceriops tagal, Casuarina equisetifolia, Sonneratia caseolaris, Avicennia marina,
dan Lumnitzera racemosa.
Dari 3 jenis pohon yang ditemui di Teluk Perancis, jenis yang dominan
adalah Rhizophora apiculata dengan INP = 184.650%, menyusul Rhizophora
mucronata dengan INP = 79.491%, dan Bruguiera gymnorrhiza dengan INP =
35.860%, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 15.

Tabel 15 Indeks Nilai Penting (INP) dari vegetasi pohon di Teluk Perancis.
No. Nama Jenis Nama Suku Nama Lokal INP (%)
1 Rhizophora apiculata Rhizophoraceae Bakau minyak 184.650
2 Rhizophora Rhizophoraceae Bakau hitam 79.491
mucronata
3 Bruguiera Rhizophoraceae Bakau daun besar 35.860
gymnorrhiza
Jumlah 300.000

121

Berdasarkan hasil analisis plot botani terhadap anakan pohon dengan dbh 2 -
10 cm pada 8 petak contoh yang berukuran 5 x 5 meter diketahui bahwa kerapatan
anakan 800 individu/ha, dbh rata-rata 6.83 cm, basal area 3.0370.566 m2/ha dan
minimum ada 4 jenis tumbuhan yang termasuk dalam 2 marga dan 1 suku yang
dijumpai di Teluk Perancis ini. Indeks nilai penting anakan pohon dapat dilihat
pada Tabel 16.

Tabel 16 Indeks Nilai Penting (INP) dari vegetasi anakan pohon diamater 2 10
cm di Teluk Perancis.
No. Nama Jenis Nama Suku Nama Lokal INP (%)
1 Rhizophora apiculata Rhizophoraceae Bakau minyak 141.288
2 Rhizophora mucronata Rhizophoraceae Bakau hitam 76.415
3 Ceriops decandra Rhizophoraceae Bido-bido 66.900
4 Ceriops tagal Rhizophoraceae Soga tingi 15.396
Jumlah 300.000

c) Muara Sangkima

Berdasarkan hasil analisis plot botani terhadap vegetasi pohon dengan dbh
10 cm pada 16 petak ukur berukuran 10 x 10 m diketahui bahwa kerapatan
pohon di Muara Sangkima TNK 613 pohon/ha, dbh rata-rata 35.2 cm, basal area
64.6916.181 m2/ha dan minimum ada 6 jenis pohon yang termasuk dalam 6
marga dan 4 suku berbeda yang dijumpai di kawasan ini.
Dari 6 jenis pohon yang ditemui di Muara Sangkima, jenis yang dominan
adalah Rhizophora apiculata dengan INP = 167.667%, menyusul Bruguiera
gymnorrhiza dengan INP = 91.555%, dan Ceriops decandra dengan INP =
26.397%, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 17.
Berdasarkan hasil analisis plot botani terhadap anakan pohon dengan dbh
2 - 10 cm pada 16 petak contoh yang berukuran 5 x 5 meter diketahui bahwa
kerapatan 1250 individu/ha, dbh rata-rata 5.21 cm, basal area 3.1270.514 m2/ha
dan minimum ada 7 jenis tumbuhan yang termasuk dalam 6 marga dan 4 suku
yang dijumpai di Muara Sangkima ini.

122

Tabel 17 Indeks Nilai Penting (INP) dari vegetasi pohon di Muara Sangkima.

No. Nama Jenis Nama Suku Nama Lokal INP (%)


1 Rhizophora apiculata Rhizophoraceae Bakau minyak 167.667
2 Bruguiera
gymnorrhiza Rhizophoraceae Bakau daun besar 91.555
3 Ceriops decandra Rhizophoraceae Bido-bido 26.397
4 Osbornia octodonta Myrtaceae 4.836
5 Hibiscus tiliaceus Malvaceae Waru 4.772
6 Lumnitzera littorea Combretaceae 4.772
Jumlah 300.000

Dari 7 jenis pohon yang ditemui, jenis yang dominan adalah Rhizophora
apiculata dengan INP = 133.451%, menyusul Bruguiera gymnorrhiza dengan INP
= 66.177%, dan Ceriops decandra dengan INP = 58.471%. Untuk lebih jelasnya
dapat dilihat pada Tabel 18.

Tabel 18 Indeks Nilai Penting (INP) dari vegetasi anakan pohon diamater 2 10
cm di Muara Sangkima.

No. Nama Jenis Nama Suku Nama Lokal INP (%)


1 Rhizophora apiculata Rhizophoraceae Bakau minyak 133.451
2 Bruguiera
Rhizophoraceae Bakau daun besar 66.177
gymnorrhiza
3 Ceriops decandra Rhizophoraceae Bido-bido 58.471
4 Osbornia octodonta Myrtaceae 15.216
5 Avicennia lanata Verbenaceae Api-api 13.853
6 Ceriops tagal Rhizophoraceae Soga tingi 6.576
7 Hibiscus tiliaceus Malvaceae Waru 6.255
Jumlah 300.000

5.1.1.2 Kelimpahan Makrozoobenthos


Makrozoobentos adalah organisme yang tidak mempunyai tulang belakang
dan hidup di dasar perairan dengan ukuran > 1 mm. Umumnya hewan bentos yang
berada di perairan terdiri dari beberapa jenis, diantaranya Echinodermata,
Crustacea dan Moluska (Ziegelmeier 1972). Berdasarkan ukurannya, hewan
bentos dapat dikelompokan menjadi tiga yaitu macrofauna yang berukuran > 1
mm, microfana yang berukuran < 50 m dan meiofauna yang berukuran antara
macrofauna dan microfauna (Sumich 1979).

123

Kepiting bakau merupakan pemakan segala bangkai (omnivorous


scavengers) (Arriola dalam Moosa et al. 1985). Kepiting bakau dewasa juga
merupakan hewan pemakan benthos atau organisme yang bergerak lambat seperti
bivalvia, kepiting kecil, kumang/kelomang, cacing, gastropoda, dan krustasea
(Juwana pers comm. 2009). Oleh karena itu, kelimpahan hewan benthos dapat
digunakan sebagai indikator pakan alami, untuk menduga kehadiran S. serrata
pada suatu ekosistem. Kepiting bakau makan dengan menggunakan capitnya,
maka hewan benthos yang diamati dalam penelitian ini adalah macrofauna, yang
termasuk dalam kelompok epifauna dan fauna pohon, Epifauna (surface fauna)
adalah fauna yang hidup di atas permukaan tanah dan meliang (menggali lubang).
Fauna pohon, adalah fauna yang menempel pada akar dan batang atau cabang
pohon. Hewan benthos yang berukuran mikro tidak diamati karena ukurannya
yang terlalu kecil juga tidak memungkinkan bagi kepiting untuk mengambil
dengan capitnya.
Makrozoobentos yang diperoleh selama penelitian sebanyak 21 famili dari
4 kelas, meliputi 10 famili dari kelas Gastropoda, 5 famili dari kelas Pelecypoda,
6 famili dari kelas Malacostraca, dan 1 famili Polychaeta (Lampiran 22).
Kelimpahan makrozoobenthos di tiga lokasi pengamatan disajikan pada Gambar
30 .
Pada kelas Gastropoda, kelimpahan makrozoobenthos yang tertinggi
adalah Littoridae dengan kepadatan 8 ind/m2. Selanjutnya adalah Potamodidae
(Telescopium sp), Muricidae, Cherithidae, dan Potamodidae (Telebralia sp). Pada
kelas Pelecypoda (Bivalvia) makrozoobenthos yang memiliki kelimpahan
tertinggi adalah Ostreidae dengan rata-rata kelimpahan 5.5 ind/m2, kemudian
diikuti oleh Corbiculidae, dari jenis Geloina sp sebesar 2.75 ind/m2. Sedangkan
dari kelas Malacostraca, kelimpahan tertinggi terdapat pada famili Paguridae,
yang meliputi berbagai jenis kelomang air, dengan kelimpahan 8 ind/m2. Famili
lain yang melimpah adalah Ocypodidae (Uca sp) dengan kelimpahan 6 ind/m2.

124

MSangatta TPerancis MSangkim


mah

8
KELIMPAHANMAKROZOOBENTHOS
7
3 2.75

6
5
0.75 1.75
5
i d/
ind/m

2.25
4 0.5 0.75
0.25 1.75
3.75
3 0.5
1.5
1.5 1.5
4
1.5
1
2 1.5
1 0.2
25
2.75 1
1.25 0..5 3
2 2 0 2.5 0.25 1.25
1 2 1 0.5 0.5
0 1.25
0.5 1.75
1.25 0 0.25 25
1.2
0.75 0 0.5
0.5 0.25 0 025
0.2 0.75 0.75
5 0.5 0 0.75 0.25 0.5
0 0 0.25 0.25 0.25 0.225 0.25
0 0.25
0

Ostreidae
Telebralia

Dentaliidae

Muricidae
Olividae
Littoridae

Cherithidae

Lucinidae

Penaidae(Penaeussp)
Grapsidae(Sesarmasp)
Tapesphilippinarum
Neritidae

Trochidae

Anadara

KELASPOLYCHAETA
Nassaridae

Corbiculidae(Geloinasp)

Ocypodidae(Uchasp)

Portunidae(Thalamitasp)
Portunidae (Thalamita sp)
Upogebidae(Upogebiasp)
Paguridae(Pagurussp)
KELASGASTROPODA

KELASMALACOSTRACA

Nereislimnicola
Telescopium

KELASPELECYPODA
hid

JEENISMAKROZO
OOBENTHOS

Gamb
bar 30 Kelim
mpahan makkrozoobenthoos di habitat mangrove TNK
T

Di lookasi Muara Sangatta beeberapa famiili Gastropodda cenderung tidak ada


atau
a sedikit ditemukan dibandingka
d an pada lokasi lainnya. H
Hal ini munggkin terjadi
karena
k kepaadatan vegetasi di lokasii Muara San
ngatta juga llebih rendahh dibanding
lokasi
l lain.. Di lokassi ini makrrozoobenthoos lebih diidominasi oleh
o kelas
Malacostrac
M ca, karena koondisi lokassi ini lebih terbuka
t dan banyak lahaan tambak,
sehingga baanyak jenis ini yang ikkut terbawa pasang darii laut melalu
ui saluran-
saluran air.

5.1.1.3
5 Produksi
P Seerasah
Serasah adalah sisa
s organik dari tanamann dan hewann, yang ditem
mukan baik
di
d permukaaan tanah ataau di dalam
m mineral taanah. Serasaah terdiri ataas guguran
cabang,
c bataang utama, daun,
d dan buah, yang menumpuk
m p
pada permukkaan tanah.
Kehilangan
K tahunan dari
d daun, bunga, buaah, ranting,, dan serpiihan kulit,
merupakan
m bagian utam
ma dari gugguran serasaah pada ekoosistem hutaan. Serasah
125

daun
d meruppakan 70%
% dari totall serasah di
d permukaaan tanah (W
Waring &
Schlesinger dalam Sihaiinenia 2008)).
Serasah merupaakan salah ssatu alternaatif makanann alami bag
gi kepiting
bakau.
b Hasiil penelitiann McCann ddalam Arifinn (2006) meenyatakan bahwa 50%
materi
m yang
g diidentifik
kasi pada peencernaan kepiting
k adaalah moluskka, 20-22%
adalah
a krusttasea, dan sisanya
s 28-330% terdiri atas sejumllah kecil tannaman dan
serasah.

7
23.77 24.45
5 23.89
9
25.00

20.00

15.00 13.38
12.47 prroduksiserasahh
11.56
(to
on/ha/th)juli
10.00 prroduksiserasah
h
(to
on/ha/th)deseember
5.00

0.00
muara telukprancis muara
sangatta sangkima

Gambar 31
3 Grafik niilai rata-rata produksi serrasah di habitat mangrovve TNK.

Hasil analisa prroduksi seraasah memperrlihatkan baahwa produkksi serasah


mangrove
m dii beberapa lookasi di TNK
K bervariasii antara 11.556 13.38 toon/ha/tahun
pada
p musim
m kemarau dan antara 23.77 244.45 ton/ha/tth pada musim hujan.
Produksi
P seerasah di Teluk
T Peranncis menunjjukkan nilaai yang palling tinggi
dibanding
d dii lokasi lainnnya, karena kkerapatan veegetasi manggrove di lokaasi tersebut
juga
j paling tinggi dan jenis vegetaasi yang meendominasi adalah Rhizzophora sp
yang
y daunnyya relatif lebbih tebal, seehingga seraasahnya lebihh berat. Nilaai produksi
serasah manngrove di TN
NK dapat dillihat pada Gambar 31 .
Prodduksi serasahh mangrove di TNK paada musim hhujan jauh lebih tinggi
dibanding
d p
pada musim kemarau. S 03) menyataakan, salah satu faktor
Soeroyo (200
yang
y memppengaruhi guuguran seraasah mangroove adalah curah
c hujann. Guguran
serasah manngrove Sembbilang, Sum
matera Utara jauh lebih ttinggi di muusim hujan
dibandingka
d an dengan musim kem
marau. Hall ini sejalaan dengan penelitian
126

Bunyavejchewin dan Nuyim dalam Zamroni (2008), guguran serasah daun di


hutan mangrove primer Thailand selatan sangat fluktuatif. Selama musim panas
serasah meningkat pada bulan Januari-Maret, Pertengahan musim hujan serasah
meningkat di bulan Juli-Agustus, dan di akhir musim hujan serasah meningkat di
bulan November-Desember.

5.1.1.4 Kondisi Hidro-Oseanografi


A. Pasang Surut Laut

Pasang surut di perairan pesisir Kabupaten Kutai Timur termasuk tipe


campuran cenderung ke harian ganda atau mixed prevailing semidiurnal (Unmul
2002), yaitu kecenderungan dalam satu hari terjadi dua kali air pasang dan dua
kali air surut dengan amplitudo dan periode pasang surut yang berbeda. Fluktuasi
pasang surut maksimum tercatat sebesar 2.5 meter pada saat pasang purnama
(Dishidros 2005; Unmul 2002).
Tinggi rendah pasang surut akan berpengaruh dalam kelimpahan S.
serrata, karena S. serrata keluar masuk habitat mangrove biasanya bersamaan
dengan mekanisme arus pasang dan surut. Selama pelaksanaan penelitian
diketahui bahwa S. serrata akan masuk ke hutan mangrove pada saat pasang
untuk mencari makan, sehingga pada saat seperti inilah para nelayan akan
memasang perangkap di tepi-tepi perairan, berupa rakkang yang diberi umpan
ikan rucah untuk memancing kepiting masuk dalam perangkap. Sedangkan
nelayan yang menangkap kepiting dengan pengait akan mencari kepiting tepat
pada saat air mulai surut, karena pada saat itu kepiting akan mencari lubang untuk
bersembunyi.
Semua nelayan yang diwawancarai sepakat menyatakan bahwa kepiting
tidak akan ditemukan pada saat konda, yaitu kondisi dimana air diam, tidak
pasang dan tidak juga surut. Konda terjadi diantara dua pasang besar yang terjadi
pada setiap bulan. Menurut perhitungan nelayan di kawasan mangrove TNK,
pasang besar terjadi pada saat air pasang/surut besar pada setiap tanggal 13-18
kalender hijriah (menjelang purnama-setelah purnama) dan tanggal 29-3 (bulan
mati/bulan sabit). Di luar tanggal-tanggal tersebut terjadilah konda. Konda
biasanya terjadi antara 3-5 hari.

127

Karena pesisir Kutai Timur termasuk dalam jenis pasang tipe campuran
cenderung ke harian ganda (Dahuri 2001), maka terjadi dua kali pasang harian
dengan puncak yang berbeda. Air pasang harian, atau nyorong menurut istilah
nelayan, mulai terjadi jam 5-6 sore, mencapai puncak tertinggi jam 9-10 malam.
Selanjutnya air mulai surut, hingga surut terendah harian terjadi pada jam 11-12
malam. Pasang berikutnya terjadi pada pukul 7-8 pagi, dan mulai surut pada jam
12 siang.
Pasang surut ini juga berpengaruh dalam usaha budidaya sylvofishery
kepiting bakau, karena mekanisme penggantian air dalam kurungan tancap
tergantung pada pasang surut air laut tersebut. Sehingga pada areal yang tidak
selalu tergenang oleh pasut akan memerlukan teknologi tambahan berupa pompa
air untuk mengganti air dalam kurungan, sementara secara teknis hal ini agak sulit
dilakukan pada daerah pesisir yang terpencil dan akses yang sulit untuk
memperoleh listrik atau bahan bakar minyak.

B. Arus Laut
Kecepatan arus permukaan maksimum di perairan pesisir Kab. Kutai
Timur terjadi pada saat pergerakan pasang surut terbesar, yaitu saat neap tide dan
spring tide dengan kecepatan arus rata-rata mencapai 20-80 cm/detik dengan arah
arus pasang 250-333 dan arah arus surut mempunyai arah 36-130 (Unmul
2002).
Arus perairan yang terjadi di perairan pesisir Kabupaten Kutai Timur
dikaitkan dengan fluktuasi pasang surut memperlihatkan perubahan arah dan
kecepatan arus sesuai dengan perubahan pasang surut. Hal tersebut
mengindikasikan adanya pengaruh yang dominan dari pasang surut terhadap arus.
Kecepatan arus pada waktu air pasang lebih kecil dibanding kecepatan arus pada
waktu air surut, karena pada waktu surut ada tambahan massa air tawar. Arah arus
laut dapat menjadi indikasi bagi arah ruaya kepiting bakau betina yang beruaya ke
laut untuk memijah.

C. Gelombang Laut

Berdasarkan sumbernya, gelombang di pantai selatan dapat dibedakan dari


jenis gelombang alun dan gelombang angin. Gelombang alun merupakan

128

gelombang rambat yang berasal dari wilayah atas Kalimantan yang kemudian
merambat mencapai pesisir. Pada umumnya gelombang alun lebih tinggi daripada
gelombang angin. Gelombang tinggi terjadi bila terdapat super posisi gelombang
alun dan gelombang angin (Unmul 2002).
Menurut nelayan lokal, musim angin di perairan laut Kabupaten Kutai
Timur dapat dibedakan menjadi 3, yaitu musim angin utara (Pebruari-April),
musim angin selatan (Mei-September), dan musim angin pancaroba/peralihan
(Oktober-Januari). Pada musim angin utara, gelombang kecil, sehingga perairan
laut relatif tenang. Pada musim angin selatan mulai bertiup angin yang
menyebabkan gelombang menjadi tinggi. Musim yang paling buruk biasanya
terjadi pada musim peralihan dimana terjadi putaran angin yang menyebabkan
gelombang tinggi dan arah gelombang tidak menentu, sehingga berbahaya bagi
pelayaran.
Gelombang laut di perairan pesisir Kabupaten Kutai Timur relatif kecil.
Berdasarkan informasi nelayan setempat gelombang pada kondisi normal
maksimum sekitar 30 50 cm. Di wilayah perairan laut antara 1 sampai 2 mil dari
garis pantai terdekat kisaran tinggi gelombang lebih tinggi dibandingkan wilayah
laut lainnya sedangkan pada perairan terluar mempunyai tinggi gelombang
berkisar 50 70 cm (Unmul 2002).
Berdasarkan hasil penelitian kerjasama antara Bappeda Kutai Timur
dengan Universitas Mulawarman (2002) yang dilaksanakan pada bulan Nopember
2001, tinggi gelombang rerata mencapai 20 cm dengan periode gelombang 20
detik per rangkaian gelombang.
Tinggi gelombang laut ini sangat berpengaruh bagi kelangsungan
budidaya sylvofishery dalam mangrove. Karena budidaya ini menggunakan jaring
nilon yang relatif lemah, adanya gelombang yang besar dan kadang kala
membawa batang-batang kayu yang dapat menghancurkan jaring. Pada bulan
Februari-Maret 2010 ini, tingginya gelombang pada musim peralihan telah
menghancurkan kurungan tancap kepiting nelayan di Muara Sangatta, dan juga
alat tangkap ikan yang berupa belat (sero) yang dipasang di pinggir pantai. Oleh
karena itu perlu diperhatikan teknologi dalam pembuatan kurungan tancap
sylvofishery ini, agar dapat mengantisipasi kondisi buruk akibat gelombang.

129

5.1.2 Karakteristik Habitat Mangrove


Karakteristik habitat mangrove dianalisis dengan analisis statistik
multivariabel, yaitu dengan menggunakan Analisis Komponen Utama
(PCA/Principal Component Analysis).
Hasil analisis matriks korelasi menunjukkan bahwa informasi penting
yang menggambarkan korelasi antar parameter tergambarkan pada dua sumbu
utama (F1 dan F2), dengan kualitas informasi masing-masing 43% dan 25%,
sehingga ragam karakteristik habitat mangrove menurut stasiun penelitian
berdasarkan parameter biofisik kimia lingkungan sudah dapat dijelaskan melalui
dua sumbu utama sebesar 68% dari ragam total. Parameter lainnya yang berada
pada sumbu F3 dan seterusnya tidak dibahas disini, karena dianggap kecil
pengaruhnya.
Parameter yang berkontribusi pada sumbu utama F1 adalah DO, salinitas,
tekstur substrat, BOD, dan kelimpahan S. serrata. Parameter yang berkontribusi
pada sumbu utama F2 adalah kerapatan vegetasi, pH, kelimpahan
makrozoobenthos, COD, dan temperatur.

Correlations circle on axes 1 and 2 Biplot on axes 1 and 2 (68% )


(68% )
3
1.5 C-1
C-2
2
1
VEG VEG
-- axe 2 (25% ) -->

pHa 1 pHa
-- axis 2 (25% ) -->

0.5
C-3 A-1
DOa SCYL
DOa SCYL 0
0 SALa TEKs A-3
TEKs
BODa BODa
SALa B-1
-1 CODa
-0.5 B-3 BENTH
CODa TEMPa
BENTH TEMPa A-2
-1 -2
B-2
-1.5 -3
-2 -1 0 1 2 -4 -2 0 2 4 6
-- axis 1 (43% ) --> -- axe 1 (43% ) -->

a Diagram lingkaran korelasi antara b Diagram representasi distribusi


parameter biofisik kimia lingkungan substasiun penelitian berdasarkan
dengan kelimpahan S. serrata pada paramater biofisik kimia lingkungan
sumbu F1 dan F2. pada sumbu F1 dan F2.

Gambar 32 Grafik Analisis Komponen Utama keterkaitan karakteristik habitat


biofisik kimia perairan dan kelimpahan S. serrata bulan Juli 2009.


130

Diagram lingkaran korelasi perpotongan sumbu F1 dan F2 (Gambar 32 a)


untuk data pengamatan bulan Juli (kondisi musim kemarau) memperlihatkan
adanya korelasi positif antara parameter kelimpahan S. serrata dengan BOD dan
tekstur substrat yang berkontribusi membentuk sumbu F1 positif, sedangkan
parameter DO, dan salinitas berkontribusi membentuk sumbu F1 negatif. Hal ini
menunjukkan bahwa kelimpahan S. serrata sangat dipengaruhi oleh tekstur
substrat dan BOD. Peningkatan fraksi debu/silt (lumpur) pada tekstur substrat
akan meningkatkan kelimpahan S. serrata. Tekstur substrat dan kerapatan
vegetasi mempunyai hubungan yang positif, semakin tinggi kerapatan vegetasi
makin tinggi lumpur substratnya.
Peningkatan salinitas akan berpengaruh negatif terhadap kelimpahan S.
serrata, sedangkan BOD akan menurun bila DO meningkat. Kerapatan vegetasi
membentuk sumbu F2 positif, dan mempunyai hubungan positif terhadap
kelimpahan S. serrata. pH air yang terletak pada sumbu F2 positif, mempunyai
hubungan yang negatif dengan temperatur dan COD, setiap peningkatan COD dan
temperatur akan menurunkan pH dan menurunkan kelimpahan S. serrata.
Dekatnya hubungan antara kerapatan vegetasi, tekstur substrat dan
kelimpahan kepiting bakau menunjukkan bahwa hutan mangrove merupakan
habitat bagi kepiting bakau. Hal ini telah dinyatakan sebelumnya oleh Moosa et
al. (1985), yang menyatakan bahwa jenis kepiting bakau berdistribusi luas sesuai
dengan sebaran geografi hutan mangrove di Indopasifik Barat, sehingga daerah
perikanan kepiting bakau yang produktif diperkirakan selalu berada di sekitar
hutan mangrove. Sedangkan McNae dalam Sihainenia (2008), menyatakan bahwa
sebagian besar siklus hidup kepiting bakau dilalui di sekitar muara sungai dan
hutan mangrove. Sistem perakaran vegetasi mangrove yang padat dan kusut,
merupakan tempat yang aman bagi kepiting bakau untuk berlindung terutama
ketika berada dalam keadaan bertubuh lunak setelah proses ganti kulit.
Snedaker dan Getter (1985), menyatakan bahwa habitat kepiting bakau
adalah perairan intertidal, atau daerah dekat hutan mangrove yang bersubstrat
lumpur. Sistem perakaran mangrove yang khas dan kompleks menjadi penjebak
sedimen, sehingga membentuk fraksi substrat dasar yang halus. Menurut
Nybakken (1992), gerakan air yang lambat pada daerah hutan mangrove

131

ditingkatkan oleh mangrove itu sendiri. Akar penyangga yang khas, memanjang
ke bawah dari batang dan dahan mangrove, sangar banyak, padat, dan kusut,
sehingga mengurangi gerakan air. Kondisi ini menyebabkan partikel substrat
dasar yang halus akan mengendap di sekelilingi akar mangrove, membentuk
kumpulan lapisan sedimen lunak dan sangat sulit dialirkan ke luar. Kepiting bakau
memiliki tingkah laku menggali lobang dan membenamkan diri dalam lumpur
untuk berlindung, terutama pada saat moulting. Nybakken (1992), menyatakan
bahwa lobang-lobang itu juga berguna untuk komunikasi antar vegetasi mangrove
(mangal), yaitu dengan cara melewatkan oksigen agar masuk ke dalam substrat
yang lebih dalam, sehingga dapat memperbaiki kondisi anoksik, mengingat
substrat dasar hutan mangrove dicirikan oleh kadar oksigen yang rendah. Selain
itu kanopi pohon mangrove menciptakan naungan yang sangat baik, sehingga
dapat menjadi peredam sinar matahari untuk mencegah peningkatan suhu
perairan. Dengan demikian hutan mangrove menjadi daerah perlindungan yang
ideal bagi kepiting bakau.
Kerapatan vegetasi mangrove yang tinggi juga menjadikan hutan
mangrove sebagai daerah asuhan dan mencari makan bagi kepiting bakau pada
tingkat megalopa dan kepiting muda (juvenil), yang setelah melewati stadia zoea
akan kembali memasuki hutan mangrove. Setelah menetas, megalopa dan kepiting
muda akan terbawa arus ke pantai atau muara sungai untuk mencari makan dan
berlindung. Kerapatan vegetasi mangrove yang tinggi, juga menjadi sumber
makanan alami bagi berbagai organisme yang berasosiasi di dalamnya termasuk
kepiting bakau. Hutching & Saenger (1987), menyatakan bahwa kepiting bakau
hidup di sekitar hutan mangrove dan memakan akar-akarnya (pneumatophore).
Kelimpahan S. serrata dipengaruhi juga oleh salinitas perairan. Kasry
(1996) meneliti bahwa salinitas yang sesuai untuk pemeliharaan larva kepiting
bakau pada tingkat zoea berkisar antara 29-33 , sedangkan pada fase megalopa
perkembangan terbaik ada pada salinitas yang lebih rendah yaitu pada kisaran 21-
27 . Penelitian Ong (1964) menunjukkan bahwa pertumbuhan rata-rata S.
serrata fase pasca larva pada salinitas 21-26 jauh lebih cepat dibanding pada
salinitas 25-26 atau pada salinitas 30-31 . Mardjono et al. (1992)
menyatakan bahwa salinitas akan mempengaruhi keseimbangan cairan, koefisien

132

penyerapan, tekanan osmosis, dan viskositas. Perubahan salinitas akan


mempengaruhi sifat fungsional dan struktur organisme. Untuk dapat
menyesuaikan diri dengan perubahan salinitas, kepiting akan mengubah
konsentrasi cairan tubuhnya sesuai dengan lingkungannya melalui kombinasi
proses osmosis dan difusi.
Kisaran total salinitas yang dapat ditoleransi organisme kepiting bakau
lebih besar pada perairan payau, asin atau sangat asin dibandingkan pada perairan
tawar. Oleh karena itu, pada tahap akhir fase larva kepiting bakau harus mencari
perairan muara sungai atau perairan hutan bakau yang salinitasnya lebih rendah
untuk berlindung dan mencari makan (Kasry 1996). Pengaruh salinitas terhadap
kelimpahan S. serrata dapat diamati dengan jelas pada saat terjadi hujan di
daratan. Runoff yang tinggi menyebabkan terjadinya salinitas 0 ppm di muara
sungai, pada kondisi seperti ini biasanya nelayan sulit mendapatkan kepiting
dengan menggunakan rakkang. Demikian juga yang terjadi pada saat konda,
dimana air tidak pasang dan tidak surut, dimana lantai mangrove akan sedikit
tertutup air selama 3-4 hari, pada kondisi ini kepiting sulit ditemukan.
Diagram representasi stasiun penelitian, dalam kaitannya dengan
parameter biofisik kimia lingkungan pada perpotongan sumbu F1 dan F2 (Gambar
32 b), memperlihatkan adanya 3 kelompok substasiun. Kelompok substasiun B1
dan B3 (B1: zona perairan Teluk Perancis, B3: zona tengah hutan Teluk Perancis)
dicirikan oleh parameter kelimpahan makrozoobenthos, dan salinitas air yang
tinggi. Sedangkan kelompok substasiun A1 (zona perairan Muara Sangatta), A2
(zona depan hutan mangrove Muara Sangatta), A3 (zona tengah hutan mangrove
Muara Sangatta), dan C3 (zona tengah hutan mangrove Muara Sangkima)
dicirikan dengan adanya kerapatan vegetasi, tekstur substrat, BOD, dan
kelimpahan S. serrata yang tinggi. Dan kelompok C1, C2, dan B2, dicirikan oleh
parameter lain yang tidak terangkum disini.

5.1.3 Biologi Scylla serrata


5.1.3.1 Hubungan Lebar Karapas dan Bobot
Pola pertumbuhan kepiting bakau dianalisa menggunakan metode regresi
dengan melihat hubungan antara lebar karapas kepiting bakau dengan bobot

133

tubuhnya. Hubungan lebar karapas dan bobot S. serrata di ketiga stasiun


pengamatan disajikan pada Tabel 19.
Nilai b akan menjadi indikator yang mendeskripsikan pola pertumbuhan
kepiting bakau, sedangkan melalui nilai koefisien korelasi (r2) dapat dilihat
keeratan hubungan antara lebar karapas kepiting bakau dan bobot tubuhnya,
sehingga dapat ditentukan apakah individu dalam suatu populasi dapat diduga
bobot tubuhnya dengan mengetahui ukuran tubuhnya atau tidak dapat diduga.
Nilai koefisien korelasi (r2) untuk pola pertumbuhan kepiting tangkapan dari alam
berkisar antara 0.886-0.924 menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang cukup
erat antara ukuran lebar karapas dengan dengan bobot tubuhnya, sehingga
biomass suatu populasi dapat diduga dengan mengetahui ukurannya. Namun r2
untuk S. serrata hasil sylvofishery mempunyai nilai yang lebih rendah, yaitu
0.577-0.674. Rendahnya koefisien korelasi pada pola pertumbuhan budidaya
sylvofishery kemungkinan disebabkan oleh sedikitnya jumlah sampel yang
digunakan.

Tabel 19 Hubungan lebar karapas dan bobot kepiting S. serrata.


W= a Lb
Stasiun Sex N Lmax A b R2
Jantan 656 143 0.0001 3.038 0.886
Sangatta
Betina 591 155 0.004 2.328 0.876
Jantan 252 148 0.0004 3.393 0.917
Tl prancis Betina 114 138 0.001 2.609 0.913
Jantan 346 154 0.0006 3.323 0.924
Sangkima Betina 194 151 0.0001 2.680 0.886
Jantan 65 97 0.002 2.409 0.577
Sylvofishery
Betina 135 98 0.002 2.422 0.674
Uji t betina Uji t jantan
thit = 6.02056 thit = 3.3692
ttabel = 3.1824 ttabel = 3.1824
P = 0.009 P = 0.0434

Hasil uji t nilai b untuk kepiting jantan maupun kepiting betina


menunjukkan bahwa thit lebih besar dibanding ttabel, sehingga dapat dikatakan

134

hubungan lebar karapas dengan bobot S. serrata di habitat mangrove TNK tidak
isometrik. Perbedaan ini cukup signifikan dengan nilai P<0,05. Pola pertumbuhan
S. serrata jantan di alam pada semua lokasi menunjukkan nilai konstanta b>3,
berarti konstanta pertumbuhan S. serrata jantan di wilayah tersebut adalah
allometrik positif, atau dapat dikatakan pertumbuhan bobot tubuh lebih cepat
daripada pertumbuhan lebar karapas. Hal ini terjadi karena S. serrata jantan
adalah memiliki morfologi bentuk chela yang lebih besar dibanding S. serrata
betina. Sehingga bila berada pada ukuran lebar karapas yang sama,
kecenderungan S. serrata jantan lebih berat bobotnya, karena chela menambah
bobot tubuhnya. Penelitian Chakrabarti dalam Bonine et al. (2008) dan
Siahainenia (2008) menunjukkan S. serrata memiliki sifat seksualitas dimorfisme,
dimana kepiting jantan cenderung menjadi lebih berat dibanding kepiting betina
pada lebar karapaks yang sama. Selain itu, hasil tangkapan S. serrata jantan pada
penelitian ini kebanyakan berukuran besar yang sudah matang gonade, sehingga
kepiting jantan sudah jarang melakukan moulting dibanding pada saat kepiting
masih juvenil. Dengan frekuensi moulting yang rendah, asupan makanan lebih
banyak digunakan untuk pertambahan bobot.
Pola pertumbuhan S. serrata betina di semua lokasi penelitian
menunjukkan nilai konstanta b<3, berarti pola pertumbuhan kepiting betina di
habitat mangrove TNK adalah alometrik negatif, atau berarti pertumbuhan bobot
tubuh lebih lambat daripada pertumbuhan karapasnya. Pada kepiting betina pola
allometrik negatif terjadi karena S. serrata betina menggunakan asupan makanan
lebih banyak untuk moulting dan proses kematangan gonad (bertelur).
Pertumbuhan kepiting betina cenderung lebih ke arah lebar karapas karena
kepiting betina akan moulting setiap akan melakukan proses kopulasi.
Pada Scylla serrata jantan moulting lebih jarang terjadi, asupan makanan
cenderung digunakan untuk memanjangkan dan membesarkan chelae (capit),
yang berperan penting pada proses perkawinan. Onyango (2002) menyatakan,
Scylla serrata jantan biasanya memiliki capit sangat besar dibandingkan dengan
betina dengan ukuran yang sama dan lebih disukai oleh nelayan selama lebar
karapas lebih dari 70 mm, hal ini bisa menghasilkan perbedaan ukuran yang
signifikan antara jantan dan betina. Oleh karena itu bila berada pada ukuran lebar

135

karapas yang sama, kecenderungan S. serrata jantan lebih besar bobotnya, karena
capitnya menambah bobot tubuhnya. Kasry (1996), menyatakan capit (chela)
kepiting bakau yang besar dan kuat memungkinkannya untuk menyerang musuh,
atau merobek-robek makanannya.
Allometri dari capit kepiting jantan dapat digunakan untuk menentukan
ukuran morfometrik jantan dewasa, sehingga dapat digunakan sebagai dasar
pengelolaan konservasi (Hall et al. 2006). Analisis pertumbuhan secara allometri
pada capit dibanding ukuran tubuh (lebar karapas) dipakai untuk memperkirakan
rata-rata awal ukuran dewasa kepiting (Watters and Hobday 1998; Bueno &
Shimizu 2009). Walton et al. (2006) menyatakan hubungan alometrik antara
tinggi chela dan lebar karapas menunjukkan 50% kepiting jantan memperoleh
kedewasaan chela pada lebar karapas internal (Internal Carapace Width/ICW)
10.2 cm. Ukuran capit yang besar pada kepiting bakau jantan dewasa kelamin
sangat berfungsi ketika mendekap atau mengepit kepiting bakau betina selama
masa percumbuan yakni ketika kedua individu kepiting bakau ini berada dalam
posisi berpasangan (doublers), serta untuk membalik tubuh kepiting bakau betina
ketika proses kopulasi akan berlangsung (Siahainenia 2008). Capit yang besar
juga dibutuhkan kepiting bakau jantan dewasa kelamin untuk bertarung dengan
jantan lainnya dalam upaya mempertahankan wilayah kawin (matting territory),
mempertahankan dirinya sendiri serta melindungi dan mempertahankan betina
yang menjadi pasangan kawinnya, mengingat menjelang kopulasi kepiting bakau
betina melakukan pergantian kulit (moulting) sehingga bertubuh lunak dan sangat
rentan terhadap serangan atau bahkan pemangsaan dari kepiting bakau lainnya,
karena sifat kanibalisme yang dimilikinya (Kasry 1996).
Penelitian Ali et al. (2004) menunjukkan hubungan lebar karapas-bobot
untuk S. serrata jantan di ekosistem mangrove di Khulna Bangladesh adalah W =
0.0078 CW3.06, sedangkan pada S. serrata betina W = 0.0078 CW1.8928. Di
Rannong Thailand, Cheewasedtham dalam Ali et al. (2004) melaporkan hubungan
CW (mm) and W (g) untuk jantan dan betina masing-masing adalah 0.097131
L3.369 dan 0.559879 L2.559, menurut Poovachiranon (1992) hubungan lebar
karapas-bobot kepiting bakau di ekosistem mangrove Laut Andaman, untuk jantan
adalah 0.0423 L3.726 dan untuk betina 0.3357 L2.726. Hubungan lebar karapas

136

dengan bobot pada induk betina S. serrata matang gonade di Estuari Umlalazy
Afrika Selatan adalah Y = 0,0014 X2,56 (Davis et al. 2004).

5.1.3.2 Distribusi Frekuensi Lebar Karapas


A. Muara Sangatta
i. Jantan
Hasil distribusi frekuensi lebar karapas kepiting jantan di Muara Sangatta
pada tiap bulannya dapat dilihat pada Lampiran 3. Pada bulan Oktober 2008
kisaran kelas panjang kepiting mulai dari 67.5 mm hingga 121 mm. Modus
panjang berada pada ukuran 94.5 mm. Pada bulan November kisaran kelas
panjang dan modusnya masih tetap sama dengan bulan Oktober. Bulan Desember
modus bergeser ke ukuran 103.5 mm, menunjukkan adanya pertumbuhan.
Modus panjang yang ditemukan pada bulan Januari 2009 ditemukan
adanya modus ganda (bimodus) yaitu pada kelas 85.5 mm dan 130.5 m, hal ini
menunjukkan adanya kelompok individu baru pada bulan Januari. Selanjutnya
modus ganda pada bulan Februari 2009 pada kelas 85.5 mm dan 121.5 mm. Pada
bulan Maret 2009 modus menjadi tunggal, dan bergeser ke kiri lagi pada bulan
April menjadi ganda pada ukuran 76.5 mm dan 121.5 mm. Hingga bulan Juni
2009, modus panjang tetap bimodus, namun tidak pernah bergeser ke kiri lagi
Adanya pergeseran modus ke kiri menunjukkan adanya rekruitmen yang
terjadi pada bulan Desember 2008 sehingga masuk individu-individu baru serta
membentuk kelompok ukuran baru pada bulan Januari 2009. Rekruitmen
berikutnya terjadi pada bulan Maret 2009, yang menyebabkan terbentuk
kelompok baru pada bulan April 2009.
Pergeseran modus terjadi dari November 2008 sampai Januari 2009
(kelompok umur pertama). Februari 2009 hingga Maret 2009 (kelompok umur
kedua). April sampai Juli 2009 (kelompok umur ketiga). Kepiting jantan di Muara
Sangatta dari November 2008 sampai Juni 2009 terdiri dari 3 kelompok umur.
Diduga rekruitmen terjadi pada bulan Oktober, Januari, dan Maret.

ii. Betina
Modus ganda yang menunjukkan adanya 2 kelompok ukuran kepiting
betina terjadi pada bulan Februari 2009, dimana modus yang semula pada ukuran

137

102 mm bergeser ke kiri pada ukuran 90 mm, sehingga diduga terjadi rekruitmen
individu baru pada bulan Januari 2009. Rekruitmen berikutnya terjadi pada bulan
Maret 2009, yang menyebabkan terjadi kelompok ukuran baru pada bulan April
2009.
Pergeseran modus terjadi dari Oktober 2008 sampai Januari 2009
(kelompok umur pertama). Februari 2009 hingga April 2009 (kelompok umur
kedua). Mei sampai Juli 2009 (kelompok umur ketiga). Kepiting betina di Muara
Sangatta dari November 2008 sampai Juni 2009 terdiri dari 3 kelompok umur.
Diduga rekruitmen terjadi pada bulan September, Februari, dan Mei. Hasil
distribusi frekuensi lebar karapas kepiting betina pada tiap bulannya di stasiun M.
Sangatta dapat dilihat pada Lampiran 4. Kejadian rekruitmen individu jantan dan
betina di Muara Sangatta terjadi pada bulan yang relatif sama yaitu Januari dan
Maret.

B. Teluk Prancis
i. Jantan
Pergeseran modus terjadi dari Desember 2008 sampai Pebruari 2009
(kelompok umur pertama). Maret 2009 hingga Mei 2009 (kelompok umur kedua).
Kemudian pada bulan Juni 2009 (kelompok umur ketiga). Kepiting jantan di
Teluk Prancis dari Oktober 2008 sampai Juni 2009 terdiri dari 3 kelompok umur.
Diduga rekruitmen terjadi pada bulan November, Pebruari, dan Mei. Hasil
distribusi frekuensi lebar karapas kepiting jantan pada tiap bulannya di stasiun
Teluk Prancis dapat dilihat pada Lampiran 5.

ii. Betina
Pergeseran modus terjadi dari Januari 2009 sampai Pebruari 2009
(kelompok umur pertama). Maret 2009 hingga Juni 2009 (kelompok umur kedua).
Kepiting betina di Teluk Prancis dari Oktober 2008 sampai Juni 2009 terdiri dari
2 kelompok umur. Diduga rekruitmen terjadi pada bulan Desember, dan Maret.
Hasil distribusi frekuensi lebar karapas kepiting betina pada tiap bulannya di
stasiun Teluk Prancis dapat dilihat pada Lampiran 6.

138

C. Muara Sangkima
i. Jantan
Hasil distribusi frekuensi lebar karapas kepiting bakau di stasiun M.
Sangkima pada tiap bulannya dapat dilihat pada Lampiran 1 dan 2. Pada bulan
November 2008 kisaran kelas panjang kepiting mulai dari 76 mm hingga 140
mm. Modus panjang yang ditemukan pada bulan November 2008 ditemukan
adanya modus ganda (bimodus) yaitu pada kelas 100 mm dan 132 mm. Kemudian
pada bulan Desember 2008 pada kelas 101 mm dan 128 mm. Selanjutnya
berturut-turut modus berada pada kelas 110 mm untuk Januari 2009 dan 116 mm
untuk Februari 2009. Hal ini menunjukkan adanya pergeseran modus dari
November 2008 hingga Februari 2009 yang menunjukkan adanya pertumbuhan
(kelompok umur pertama). Sedangkan pada Maret 2009 modus bergeser kembali
ke kiri. Hal ini menunjukkan adanya rekruitmen yang terjadi pada bulan Februari
2009 sehingga masuk individu-individu baru serta membentuk kelompok ukuran
baru pada bulan Maret 2009, pada bulan Maret terjadi bimodus pada kelas ukuran
100 mm dan 140 mm.
Selanjutnya pada bulan April modus kembali bergeser ke kiri lagi pada
ukuran 92 mm, hal ini menunjukkan adanya rekruitmen baru. Pergeseran modus
ke kanan yakni pada kelas 110 mm terjadi pada bulan Mei 2009 (kelompok umur
kedua). Berdasarkan distribusi frekuensi panjang kepiting dari bulan November
2008 hingga Juni 2009 dapat disimpulkan bahwa terdapat dua kelompok umur
yang berbeda pada kepiting jantan yang diamati di M. Sangkima, dengan
rekruitmen yang diduga terjadi pada bulan Februari dan April.

ii. Betina
Pada bulan November 2008 kisaran kelas panjang kepiting mulai dari 76
mm hingga 140 mm. Modus panjang yang ditemukan pada bulan November 2008
ditemukan adanya modus ganda (bimodus) yaitu pada kelas 100 mm dan 132 mm.
Kemudian pada bulan Desember 2008 dan Januari 2009 modus pada kelas 100
mm. Selanjutnya terjadi pergeseran modus ke arah kiri pada bulan Februari 2009,
yaitu di kelas 85 mm. Hal ini menunjukkan adanya rekruitmen pada bulan Januari
2009 yang membentuk kelompok ukuran baru pada bulan Februari 2009.

139

Pada Maret 2009 modus bergeser ke kanan di kelas ukuran 105 dan 135
mm, hal ini menunjukkan adanya pertumbuhan. Selanjutnya pada bulan April
2009 modus kembali bergeser ke kiri lagi pada ukuran 85 mm. Hal ini
menunjukkan adanya rekruitmen baru. Pergeseran modus ke kanan yakni pada
kelas 110 mm terjadi pada bulan Mei 2009.
Berdasarkan distribusi frekuensi panjang kepiting dari bulan November
2008 hingga Juni 2009 dapat disimpulkan bahwa terdapat dua kelompok umur
yang berbeda pada kepiting betina yang diamati di M. Sangkima, dimana diduga
rekruitmen terjadi pada bulan Januari dan April.
Pada wilayah perairan mangrove Blanakan, Tanjung Laut dan Mayangan
terdapat dua puncak rekruitmen kepiting bakau yakni terjadi pada bulan April dan
Mei serta bulan Agustus dan September (Sihainenia 2008).
Adanya pola rekruitmen kepiting bakau pada bulan-bulan tertentu pada
suatu wilayah merupakan dasar pertimbangan pengelolaan perikanan tangkap,
yaitu untuk menentukan waktu penangkapan. Adanya rekruitmen
mengindikasikan adanya kepiting betina yang memijah, sehingga perlu diatur agar
sebelum terjadi rekruitmen tidak dilakukan penangkapan untuk menghindari
tertangkapnya kepiting bakau betina matang gonade.

5.1.3.3 Parameter Pertumbuhan von Bertalanffy


Kepiting bakau tidak memiliki bagian tubuh keras yang permanen sebagai
indikator pelacak umur, sehingga metode interpretasi ukuran tubuh yang
digunakan adalah lebar karapas. Dengan menggunakan bantuan program Elefan
dari FISAT-II diperoleh nilai dugaan kurva pertumbuhan von Bertalanffy yang
meliputi panjang infiniti (L) dan kecepatan pertumbuhan (K). Parameter
pertumbuhan S. serrata di habitat mangrove TNK dapat dilihat pada Tabel 20.
Informasi tentang parameter pertumbuhan merupakan hal yang mendasar
dalam upaya pengelolaan sumberdaya perikanan. Alasannya adalah karena
parameter tersebut dapat memberikan kontribusi dalam menduga produksi, ukuran
stok rekruitmen, dan laju kematian (mortalitas) dari suatu populasi (Sparre &
Venema 1999).

140

Tabel 20 Parameter pertumbuhan S. serrata di habitat mangrove TNK.


STASIUN n Lmin Lmaks L K t0
Jantan 656 50 143 151.2 1.2 -0.748
Sangatta Betina 591 40 155 161.18 1.5 -0.799
Jantan 252 71 148 154.39 0.80 -0.896
Tl prancis Betina 114 73 138 147.0 1.1 -0.781
Jantan 346 76 154 159.08 0.45 -1.158
Sangkima Betina 194 65 151 156.98 0.69 -0.956
Jantan 65 54 97 96.6 0.45 -0.606
Sylvofishery
Betina 135 50 98 102.9 4.2 -0.155

Hasil analisa Elefan memperlihatkan lebar karapas maksimum yang dapat


dicapai berkisar antara 143 155 mm dengan kecepatan pertumbuhan berkisar
antara 0.45 - 1.5. Di Subang, kecepatan pertumbuhan (K) kepiting bakau dari 4
spesies scylla berkisar antara 1.10-1.50/tahun (Siahainenia 2008).
Kecepatan pertumbuhan S. serrata di Muara Sangatta lebih tinggi
dibanding lokasi lainnya, dengan L yang juga lebih besar. Kondisi Muara
Sangatta yang merupakan muara sungai besar, menjadikan kawasan tersebut
menjadi estuari yang subur dan tinggi produktifitas perikanannya. Suburnya
kawasan ini mungkin salah satu pendorong tingginya jumlah kepiting yang ada
disana. Umumnya kepiting yang ditangkap di Muara Sangatta berukuran dibawah
dewasa kelamin (lebar karapas kurang dari 110 mm). Menurut Siahainena (2008)
kepiting yang berukuran kecil memberikan garis regresi ke arah slope yang lebih
tajam, karena modus tertinggi yang dilalui garis pertumbuhan lebih banyak pada
kelompok kepiting kecil, sehingga K menjadi besar.
Walaupun di Muara Sangatta kebanyakan ditemukan kepiting kecil,
namun demikian, di kawasan tersebut diperoleh juga kepiting betina dewasa
kelamin yang berukuran besar hingga 155 mm. Hal ini diduga terjadi karena
Muara Sungai Sangatta menjadi pintu masuk bagi induk-induk kepiting yang
selesai memijah di laut untuk kembali ke dalam habitat mangrove.
Kecepatan pertumbuhan S. serrata di Muara Sangkima menunjukkan
kecenderungan yang relatif lebih kecil dibanding pada kedua lokasi lainnya. Hal

141

ini berkaitan dengan kondisi ukuran lebar karapas kepiting S. serrata yang
ditemukan di wilayah tersebut umumnya berukuran lebih dari dewasa kelamin,
sehingga kecepatan pertumbuhannya menjadi lebih lambat. Kepiting betina
dewasa kelamin lebih banyak menggunakan energinya untuk pertumbuhan dan
perkembangan gonade (Lavina dalam Siahainenia 2008).

5.1.3.4 Laju Mortalitas dan Laju Eksploitasi


Mortalitas adalah angka kematian dalam populasi. Laju mortalitas adalah
laju kematian, yang didefinisikan sebagai jumlah individu yang mati dalam satu
satuan waktu. Laju mortalitas total dapat disebabkan karena adanya laju mortalitas
alami dan atau laju mortalitas penangkapan. Laju mortalitas alami pada kepiting
bakau disebabkan karena kepiting bakau tidak pernah tertangkap sehingga mati
alami karena umur tua, atau karena daya dukung lingkungan yang rendah,
misalnya akibat perubahan lingkungan yang ekstrim atau tidak tercukupinya
makanan alami (Sparre & Venema 1999).
Analisa laju mortalitas kepiting bakau dilakukan dengan menggunakan
estimasi mortalitas dari FISAT-II, yang didasarkan pada data lebar karapas
kepiting bakau yang tertangkap. Laju mortalitas total (Z) digambarkan sebagai
nilai numerik dari kemiringan (slope) garis regresi antara logaritma N/dt terhadap
umur relatif kepiting yang tertangkap, dan dihitung dari persamaan pertumbuhan
von Bertalanffy yang dikenal dengan metode kurva hasil tangkapan. Nilai laju
mortalitas total, mortalitas alami, dan mortalitas penangkapan pada Tabel 21.

Tabel 21 Mortalitas dan laju eksploitasi S. serrata di habitat mangrove TNK.

STASIUN JENIS Z M F E fakt E max


Jantan 2.89 1.2584 1.6316 0.564 0.457
Sangatta Betina 4.71 1.430 3.280 0.554 0.355
Jantan 2.87 0.9430 1.9270 0.671 0.606
Tl prancis Betina 3.40 1.1774 2.2226 0.654 0.555
Jantan 1.36 0.64177 0.71823 0.528 0.555
Sangkima Betina 1.79 0.85202 0.93798 0.524 0.516

142

a) Muara Sangatta
Laju mortalitas total (Z) kepiting jantan di Muara Sangatta adalah 2.89 per
tahun dengan laju mortalitas alami sebesar 1.2584 per tahun dan laju mortalitas
penangkapan sebesar 1.6316 per tahun. Hal ini menunjukkan bahwa kematian
kepiting lebih besar disebabkan oleh faktor penangkapan. Selain itu, laju
eksploitasi faktual kepiting jantan di Muara Sangatta sebesar 0.5645 yang berarti
56.45% kematian kepiting jantan di Muara Sangatta disebabkan oleh aktifitas
penangkapan. Pada kepiting betina Z adalah 4.71 per tahun dengan M sebesar
1.4305 per tahun dan F sebesar 3.280 per tahun. Laju eksploitasi faktualnya
adalah 55.40%. Tekanan penangkapan di Muara Sangatta dikatakan sudah
berlebihan, karena laju eksploitasi maksimal yang diperbolehkan adalah 45.7%
untuk kepiting jantan dan 35.5% untuk kepiting betina. Tingginya kematian
karena penangkapan ini terjadi diduga karena di Muara Sangatta terdapat
pemukiman nelayan, sehingga aktifitas penangkapan cukup tinggi. Selain itu,
kondisi ekosistem mangrove Muara Sangatta juga telah terdegradasi akibat
tingginya pembukaan mangrove untuk tambak. Areal lahan kritis di mangrove
Muara Sangatta mencapai 440.3 ha. Siahainenia (2008) pada penelitiannya di
Kabupaten Subang juga menemukan bahwa kelimpahan kepiting bakau terendah
umumnya dijumpai pada zona belakang hutan yang memiliki tingkat kerapatan
vegetasi mangrove rendah, serta berada di sekitar areal pemukiman penduduk atau
mendapat tekanan akibat tingginya aktifitas masyarakat.

b) Teluk Perancis
Laju mortalitas total (Z) kepiting jantan di Teluk Perancis adalah 2.87 per
tahun dengan laju mortalitas alami sebesar 0.9430 per tahun dan laju mortalitas
penangkapan sebesar 1.9270 per tahun. Hal ini menunjukkan bahwa kematian
kepiting lebih besar disebabkan oleh faktor penangkapan. Laju eksploitasi faktual
kepiting jantan di Teluk Perancis sebesar 0.671 yang berarti 67.1% kematian
kepiting jantan di Teluk Perancis disebabkan oleh aktifitas penangkapan. Pada
kepiting betina Z adalah 3.40 per tahun dengan M sebesar 1.1774 per tahun dan F
sebesar 2.2226 per tahun. Laju eksploitasi faktualnya adalah 65.40%,
menunjukkan kematian kepiting betina lebih banyak karena penangkapan.
Tekanan penangkapan di Teluk Perancis sudah melebihi laju eksploitasi maksimal

143

yang diperbolehkan untuk perikanan lestari. Laju eksploitasi maksimal yang


diperbolehkan adalah 60.6% untuk kepiting jantan dan 55.5% untuk kepiting
betina.
Tingginya angka mortalitas penangkapan diduga karena penangkapan
kepiting bakau di lokasi ini lebih banyak menggunakan alat tangkap
pancing/pengait. Teluk Perancis memiliki hutan mangrove yang masih cukup
rapat, sehingga alat tangkap yang sesuai digunakan adalah pengait. Alat tangkap
pengait cenderung hanya menangkap kepiting yang berukuran besar saja,
akibatnya hasil perhitungan konstanta pertumbuhan (K) menjadi kecil, karena
semakin besar kepiting semakin lambat pertumbuhan lebar karapasnya. Nilai K
merupakan salah satu variabel yang dipakai dalam rumus untuk menghitung
mortalitas alami. Kecilnya nilai K akan mempengaruhi nilai mortalitas alami (M)
menjadi lebih kecil (Pauli yang diacu oleh Sparre & Venema 1999), dan akibatnya
nilai mortalitas penangkapan (F) cenderung menjadi lebih besar. Selain itu, di
Dusun Teluk Lombok yang berdekatan dengan Teluk Perancis juga cukup banyak
penduduk, sehingga aktifitas penangkapan juga menjadi lebih besar.

c) Muara Sangkima
Laju mortalitas total (Z) kepiting jantan di Muara Sangkima adalah 1.36
per tahun dengan laju mortalitas alami sebesar 0.6412 per tahun dan laju
mortalitas penangkapan sebesar 0.71823 per tahun. Hal ini menunjukkan bahwa
kematian kepiting lebih besar disebabkan oleh faktor penangkapan. Laju
eksploitasi faktual kepiting jantan di Muara Sangkima sebesar 0.5281 yang berarti
52.81% kematian kepiting jantan di Muara Sangkima disebabkan oleh aktifitas
penangkapan. Eksploitasi faktual ini masih di bawah eksploitasi maksimal yang
sebesar 55.5%. Pada kepiting betina Z adalah 1.79 per tahun dengan M sebesar
0.852 per tahun dan F sebesar 0.938 per tahun. Laju eksploitasi faktualnya adalah
52.40%, sedikit di atas laju eksploitasi maksimal yang diperbolehkan sebesar
51.6%.
Di lokasi Muara Sangkima banyak terdapat tambak-tambak tradisional.
Kepiting yang ditemukan lebih bervariasi ukuran lebar karapasnya, dibanding

144

kepiting yang ditangkap dalam hutan mangrove. Rendahnya tekanan penangkapan


diduga karena lokasi ini jauh dari pemukiman penduduk.
Walton (yang diacu oleh Ewel 2008) menyatakan bahwa populasi Scylla
serrata dapat mempunyai sebaran ukuran yang berbeda karena perbedaan kondisi
lingkungan dan pola penangkapan. Maka Ewel (2008) menyarankan peraturan
lokal (local regulations) sebagai tambahan daerah larangan (regional restrictions)
mungkin layak (appropriate) untuk banyak wilayah di Indo-Pacific. Pemantauan
populasi secara teratur dapat meningkatkan komunitas kecil terpisah mengelola
sumberdaya penting secara berkelanjutan.

5.1.3.5 Distribusi Spasial S. serrata


Scylla serrata hasil tangkapan di kawasan mangrove TNK memiliki
struktur ukuran lebar karapas yang bervariasi berdasarkan lokasi penangkapannya.
Lokasi penangkapan dalam penelitian ini meliputi 3 kondisi habitat yang berbeda,
yaitu kawasan bagian tengah hutan mangrove, kawasan pinggiran hutan mangrove
(garis pantai), dan kawasan perairan pantai (inshore). Alat tangkap yang
digunakan pada setiap lokasi berbeda-beda, tergantung pada spesifikasi dan
kemampuan alat tangkap. Pada bagian tengah hutan mangrove digunakan pengait,
pada bagian pinggir pantai digunakan rakkang, dan di perairan pantai digunakan
alat tangkap rengge. Jumlah individu S. serrata hasil tangkapan ketiga jenis alat
tangkap pada tiga lokasi selama 8 bulan disajikan pada Tabel 22.

Tabel 22 Jumlah individu S. serrata hasil tangkapan alat rakkang, rengge, dan
pengait.

Jumlah Individu Jumlah Ukuran Maks-Min (mm)


Alat Tangkap
Jantan Betina Total (ekor) Jantan Betina

Rakkang 526 449 975 50-143 45-171

Pengait 669 311 980 68-154 65-171

Rengge 59 141 200 70-142 73-135

Tabel 22 menunjukkan bahwa ukuran lebar karapas terkecil kepiting yang


tertangkap adalah 45 mm dan ukuran lebar karapas terbesar adalah 171 mm.

145

Ukuran kepiting yang terkecil menunjukkan bahwa kepiting yang mulai dapat
tertangkap oleh alat tangkap adalah kepiting yang berukuran 45 mm. Grafik
histogram sebaran ukuran dan sebaran jenis kelamin S. serrata berdasarkan hasil
tangkapan dari bulan Oktober 2008 - Juni 2009 dengan menggunakan alat tangkap
rakkang, rengge, dan pengait dapat dilihat pada Gambar 33.

A. Struktur Ukuran S. serrata di Zona Tengah Mangrove


Lebar karapas S. serrata hasil tangkapan alat pengait memiliki kisaran
antara 65 171 mm, setelah dibagi menjadi 11 kelas dengan interval 10 mm,
maka diperoleh histogram seperti yang disajikan pada Gambar 33 .

Gambar 33 Distribusi S. serrata di beberapa zona hutan mangrove.

Lebar karapas S. serrata di tengah hutan mangrove, yang diperoleh dari


hasil tangkapan alat pengait, umumnya berukuran lebih dari 100 mm, dengan
frekuensi tangkapan tertinggi pada interval 109.5-129.5 mm. Ukuran lebar
karapas S. serrata pada kelas ukuran kurang dari 100 mm adalah 16.12%, artinya

146

hanya 16% kepiting yang ditangkap dengan alat pengait yang belum dewasa
kelamin. Sisanya, sekitar 83.88% merupakan kepiting yang diduga sudah dewasa
kelamin. Hal ini menunjukkan bahwa di kawasan tengah hutan mangrove
cenderung lebih banyak terdapat kepiting yang berukuran besar (dewasa kelamin).
Selain itu, sifat alat tangkap pengait yang cukup selektif juga mempengaruhi
ukuran kepiting hasil tangkapan. Alat pengait digunakan di lubang-lubang
kepiting yang ada di dalam hutan mangrove, atau tambak-tambak di sekitar
mangrove. Waktu penggunaan pengait biasanya pada siang hari, saat air surut,
karena pada waktu tersebut kepiting bersembunyi dalam lubang untuk
mendinginkan tubuhnya. Kepiting yang bersembunyi dalam lubang umumnya
adalah kepiting jantan yang berukuran besar.
Rasio kelamin S. serrata hasil tangkapan pengait lebih didominasi jenis
kelamin jantan dengan rasio jantan : betina adalah 1 : 0.47 dan nilai P<0.05. Hal
ini menunjukkan adanya perbedaan yang berarti dari pergeseran rasio kelamin
1:1. Dominasi jantan dapat terjadi karena adanya pola migrasi pada kepiting S.
serrata. S. serrata melangsungkan perkawinan di perairan mangrove dan secara
berangsur-angsur sesuai dengan perkembangan telurnya, kepiting betina akan
beruaya (berenang) ke laut dan memijah, sementara kepiting jantan tetap di
perairan hutan bakau atau muara sungai (Hill 1975). Hasil ini bersesuaian dengan
hasil penelitian Le Vay et al. (2007) yang menemukan bahwa hasil tangkapan
kembali (recaptured) kepiting bakau S. paramamosain yang telah ditandai
(marking) adalah 79% tertangkap pada malam hari di dataran lumpur pinggiran
mangrove menuju ke laut, 14% yang tertangkap pada siang hari di dalam
mangrove dengan pancingan dan 7% tertangkap gillnets ditetapkan setidaknya
pada jarak 1 km lepas pantai dari pinggiran bakau.

B. Struktur ukuran S. serrata di zona depan hutan mangrove


Lebar karapas S. serrata di zona depan hutan mangrove, yang diperoleh
dari hasil tangkapan alat rakkang, memiliki kisaran lebar karapas antara 40 155
mm. Pada zona depan hutan mangrove diperoleh struktur ukuran lebar karapas S.
serrata pada kelas ukuran kurang dari 100 mm mencapai 77.95%, dengan
frekuensi tangkapan tertinggi pada interval 78-89 mm. Ukuran 100 mm

147

merupakan ukuran lebar karapas kepiting bakau yang masih belum dewasa
kelamin. Hal ini menunjukkan bahwa lebih banyak kepiting muda yang
tertangkap dengan menggunakan alat tangkap rakkang. Alat tangkap rakkang
dioperasikan dengan cara rakkang dipasang ketika air sedang surut, setelah
sebelumnya dipasangi umpan berupa ikan rucah. Selama air pasang rakkang
dibiarkan terendam dalam air, kemudian ketika air telah surut rakkang diangkat
dan diambil kepiting yang terperangkap di dalamnya. Alat rakkang umumnya
dipasang di muara sungai, pinggiran sungai, pinggiran pantai yang berlumpur dan
sering terendam air pasang. Banyaknya kepiting muda yang tertangkap dengan
rakkang disebabkan pada tingkat megalopa kepiting mulai beruaya pada dasar
perairan berlumpur menuju perairan pantai, dan biasanya pertama kali memasuki
perairan muara sungai, kemudian ke perairan berhutan bakau untuk kembali
melangsungkan perkawinan (Afrianto & Liviawaty 1993).
Webley et al (2009) menyatakan bahwa megalopa dari beberapa spesies
kepiting menunjukkan seleksi habitat aktif ketika menetap. Megalopa ini biasanya
memilih habitat kompleks secara struktural yang dapat memberikan perlindungan
dan makanan. Kepiting lumpur yang portunid, S. serrata , umumnya ditemukan di
muara yang berlumpur Indo-Pasifik Barat setelah mencapai lebar karapas > 40
mm. Meskipun telah dilakukan upaya besar, mekanisme perekrutan kepiting
lumpur remaja ke muara tidak dipahami karena megalopa dan tahap awal kepiting
muda (lebar karapas < 30 mm) jarang ditemukan. Binatang ini ditempatkan di
arena di mana mereka punya pilihan habitat: lamun, lumpur atau pasir, dan arena
di mana mereka tidak punya pilihan. Berlawanan dengan asosiasi yang
ditunjukkan oleh megalopa kepiting portunid lain, megalopa S. serrata tidak
selektif di antara habitat muara ini, menunjukkan bahwa mereka cenderung tidak
akan memilih habitat ini, atau, tidak memperoleh keuntungan dengan memilih
salah satu dari yang lain. Namun para kepiting muda (crablets), sangat memilih
lamun, menunjukkan bahwa yang berada dalam lamun adalah bermanfaat bagi
kepiting muda dan meningkatkan kemungkinan bertahan hidup. Perilaku yang
selektif mulai berkembang pada tahap kepiting muda, namun belum tampak pada
tahap megalopa.

148

Berdasarkan histogram tersebut juga tampak bahwa rasio kelamin S.


serrata hasil tangkapan rakkang lebih didominasi jenis kelamin jantan dengan
rasio jantan : betina adalah 1 : 0.85 dan nilai P<0.05. Hal ini menunjukkan adanya
perbedaan yang berarti dari rasio kelamin 1:1. Dominasi jantan diduga terjadi
karena adanya persaingan makanan. S. serrata jantan lebih aktif/agresif dalam
mencari makanan sehingga pada saat ada umpan dalam rakkang, kepiting jantan
akan mendahului masuk dalam perangkap, sedangkan kepiting betina tidak berani
masuk bila sudah ada kepiting jantan di dalam rakkang. Oleh karena itu, lebih
banyak S. serrata jantan yang tertangkap dibanding yang betina.

C. Struktur Ukuran S. serrata di Zona Perairan Pantai


Lebar karapas S. serrata di perairan pantai, yang ditangkap dengan alat
rengge memiliki kisaran antara 70 142 mm. S. serrata hasil tangkapan pada
zona perairan pantai dengan menggunakan alat rengge, menunjukkan sebesar 42%
merupakan kepiting yang berukuran kurang dari 100 mm, dan sisanya sebesar
58% merupakan kepiting yang berukuran lebih dari 100 mm dan diduga sudah
dewasa kelamin. Sebaran lebar karapas S. serrata lebih bervariasi dibandingkan
kedua alat sebelumnya, dengan frekuensi tangkapan tertinggi pada interval 89.5-
121.5 mm.
Rasio kelamin S. serrata hasil tangkapan rengge lebih didominasi jenis
kelamin betina dengan rasio jantan:betina adalah 1:2.5. Nilai P<0.05
menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang berarti pada pergeseran rasio jantan
betina. Lebih banyaknya kepiting betina yang tertangkap karena pola migrasi
reproduksi kepiting betina yang memijah di laut, sehingga mereka berenang ke
laut dan tertangkap oleh alat rengge. Rengge/gillnet digunakan di perairan
dangkal di pesisir. Nelayan umumnya tidak secara khusus menggunakan rengge
untuk menangkap kepiting, namun hanya merupakan hasil sampingan selain ikan
yang menjadi tujuan utama tangkapan. Waktu penggunaan rengge dapat siang
atau malam hari. Pada bagian lain penelitian ini disampaikan bahwa kepiting
betina yang tertangkap sebagian adalah kepiting yang matang gonade dan akan
memijah, atau sebagian lagi adalah kepiting betina yang salin (selesai memijah).
Variasi pada ukuran lebar karapas kepiting yang tertangkap oleh alat rengge

149

terjadi karena ada kepiting betina matang gonade yang bermigrasi ke laut untuk
memijah dan ada kepiting muda (juvenil) yang bermigrasi ke hutan bakau untuk
mencari makan dan kawin.

5.1.3.6 Sebaran Temporal Induk Betina Matang Gonade


Pengamatan terhadap induk betina matang gonade dilakukan secara
morfologi pada semua sampel kepiting. Tingkat kematangan gonade yang diamati
adalah TKG IV, dimana secara morfologi dapat diamati dengan jelas secara
visual. Induk betina matang gonade TKG IV yang tertangkap di habitat mangrove
TNK mempunyai sebaran ukuran lebar karapas antara minimum 91 mm dan
maksimum 171 mm. Sedangkan ukuran berat tubuhnya berkisar antara minimum
170 gram dan maksimum 870 gram. Sebaran ukuran minimum dan maksimum
Induk betina matang gonade TKG IV pada masing-masing stasiun dapat dilihat
pada Tabel 23. Grafik sebaran frekuensi induk betina TKG IV pada masing-
masing stasiun dapat dilihat pada Gambar 34 .

Tabel 23 Sebaran ukuran induk betina matang gonade TKG IV.


Jumlah Ind Ukuran Maks-Min (mm)
Lokasi
(ekor) lebar karapas Berat
Muara Sangatta 73 91-171 190-870

Teluk Perancis 25 93-136 210-700

Muara Sangkimah 44 92-151 170-650

Pada ketiga lokasi pengamatan, tampak bahwa ukuran minimum betina


matang gonade adalah pada lebar karapas lebih dari 91 mm. Penelitian dari
MacIntosh et al. (1993) di Rannong, Thailand menunjukkan bahwa ukuran betina
matang gonade berkisar antara 10-11.5 cm, dengan nilai puncak indeks
gonosomatik pada bulan September.

150

Gambar 34 Sebaran induk betina S. serrata matang gonade TKG IV.

Berdasarkan data tangkapan dari bulan November 2008-Juni 2009,


diketahui bahwa di Muara Sangatta, induk betina matang gonade TKG IV yang
tertangkap mencapai frekuensi tertinggi pada bulan Maret dan mulai meningkat
lagi pada bulan Juni. Sedangkan di Teluk Prancis, puncaknya dicapai antara bulan
Januari-Februari. Di Muara Sangkima puncak tertangkapnya induk betina matang
gonade pada bulan Februari. Kelimpahan individu betina matang gonade
terbanyak di Muara Sangatta dibanding di lokasi Teluk Perancis dan Muara
Sangkima. Hal ini terjadi karena Sungai Sangatta merupakan sungai terbesar di
kawasan hutan mangrove TNK, sehingga menjadi pintu masuk utama kepiting
bakau yang beruaya kembali ke hutan mangrove.
Grafik distribusi jumlah individu kepiting bakau betina TKG IV pada
lokasi Muara Sangatta memperlihatkan bahwa jumlah individu mulai mengalami
peningkatan pada bulan Januari dan mencapai puncak pada bulan Maret,
kemudian cenderung menurun bulan April dan ada indikasi mulai meningkat
kembali pada bulan Juni. Grafik distribusi jumlah individu kepiting bakau betina
TKG IV pada lokasi Muara Sangkima memperlihatkan bahwa jumlah individu
mulai meningkat pada bulan Desember dan mencapai puncak pada bulan
Februari, kemudian cenderung menurun bulan April dan tidak menunjukkan
indikasi adanya peningkatan kembali. Kelimpahan individu betina matang gonade

151

Teluk Perancis mulai meningkat pada bulan Desember dan mencapai puncak pada
bulan Januari, kemudian menurun pada bulan April.
Namun, puncak kelimpahan induk betina S. serrata matang gonade TKG
IV, diduga terjadi 2 kali dalam satu tahun. Hal ini dapat dilihat dari trend
frekuensi induk matang gonade yang mulai meningkat lagi pada bulan Juni. Oleh
karena itu diduga di lokasi Muara Sangatta puncak frekuensi betina matang
gonade yang kedua terjadi pada bulan Agustus-September, dan di Teluk Perancis
terjadi pada bulan September.
Dugaan ini dilandasi oleh adanya pola pergeseran kelompok umur. Pola
pergeseran kelompok ini menyebabkan adanya dugaan bahwa rekruitmen yang
terjadi di Muara Sangatta adalah pada bulan Oktober, Februari, dan Mei; di Teluk
Perancis pada bulan Desember, dan Maret; sedangkan di Muara Sangkima pada
bulan Januari dan April. Rekruitmen yang terjadi pada bulan-bulan September,
Desember, dan Januari akan terjadi apabila ada pemijahan yang terjadi pada kurun
waktu 2 bulan sebelumnya.
Perkiraan waktu ini didasarkan pada informasi bahwa proses intermoult
dari tahap zoea I crab I memerlukan waktu 23-25 hari (Quinitio et al. 2001),
Menurut Motoh et al. (1977) untuk perkembangan tingkat zoea seluruhnya me-
merlukan waktu minimal 18 hari, dan dari tingkat megalopa ke tingkat kepiting
muda (instar 1) memerlukan waktu 11-12 hari, hal ini pada salinitas 312 ppt, jika
dilakukan pada salinitas antara 21-27 ppt diperlukan waktu hanya 7-8 hari.
Ukuran lebar karapas megalopa adalah sekitar 1.52 mm, sedangkan rekruitmen S.
serrata dalam penelitian ini baru terjadi pada juvenil berukuran >40 mm, sehingga
muncul dugaan waktu yang diperlukan sejak memijah hingga terjadi rekruitmen
adalah sekitar 2-3 bulan.
Siahainenia (2008) menemukan bahwa pada bulan Maret sampai Agustus
terjadi peningkatan kelimpahan kepiting bakau betina matang gonad tingkat akhir
(TKG IV dan V) baik pada wilayah perairan mangrove Desa Blanakan, Tanjung
Laut maupun Mayangan (Kabupaten Subang), sehingga bulan-bulan tersebut
diduga merupakan puncak aktifitas pemijahan atau puncak musim pemijahan
kepiting bakau.

152

Kasry (1996) menyatakan bahwa musim memijah kepiting bakau


berlangsung sepanjang tahun tetapi puncak kegiatan memijah pada setiap perairan
tidak sama. Di Australia puncak musim pemijahan berlangsung pada bulan
November-Desember atau akhir musim semi sampai awal musim panas (Heasman
et al. 1985), di Papua New Guinea puncak betina memijah pada April- Juni and
September- Oktober (Quinn & Kojis dalam LeVay 2001), di Thailand
berlangsung dari bulan Juli-Desember atau pertengahan awal musim panas sampai
musim hujan (Varikul et al. dalam Macinthos et al. 1993), di India berlangsung
dari bulan Desember-Februari (Pillai & Nair dalam Heasman et al. 1985)
sedangkan di Filipina berlangsung dari bulan Mei-September atau akhir musim
semi sampai awal musim panas (Arriola; Estampador; Pagcatipunan dalam
Siahainenia 2008).
Kepiting bakau umumnya memijah di perairan laut. Arriolla dan Brick,
yang diacu oleh Siahainenia (2008) menyatakan bahwa kepiting bakau bertelur
akan bermigrasi dari perairan payau ke perairan laut untuk memijah. Migrasi
kepiting bakau betina matang gonad ke perairan laut, merupakan upaya mencari
perairan yang kondisinya cocok sebagai tempat memijah, inkubasi dan
menetaskan telur. Dengan demikian merupakan juga upaya penjamin
kelangsungan hidup embrio serta bagi larva yang dihasilkan. Kecocokan tersebut
menurut Kasry (1996), terutama terhadap parameter suhu dan salinitas
lingkungan. intensitas pemijahan tertinggi atau puncak musim pemijahan kepiting
bakau terjadi pada bulan Februari sampai April. Hal tersebut berarti puncak
musim pemijahan kepiting bakau terjadi pada akhir musim hujan sampai
menjelang awal musim panas. Siahainenia (2008) menduga hal ini dimaksudkan
untuk menjamin ketersediaan pakan alami bagi larva yang akan ditetaskannya.
Pada musim hujan sejumlah besar zat hara dari daratan terangkut ke laut melalui
aliran sungai maupun aliran air tawar lainnya, sehingga produktifitas perairan
menjadi lebih tinggi. Kondisi ini ditunjang dengan intensitas cahaya matahari
yang tinggi pada musim panas, yang menyebabkan terjadinya fotosintesa
fitoplankon. Kelimpahan fitoplankton selanjutnya akan berdampak terhadap
kehadiran zooplankton yang merupakan makanan alami larva kepiting bakau.
Hastuti (1998), menyatakan bahwa telur tingkat akhir, embrio, dan larva kepiting

153

bakau merupakan penghuni laut dengan media bersalinitas tinggi (polihaline).


Pada stadia ini kepiting bakau berada dalam lingkungan media dengan osmolaritas
yang mantap yang mendekati isoosmotik dengan cairan internal tubuhnya. Hal
tersebut di atas berarti, mulai awal pembuahan sel telur, kepiting bakau sudah
membutuhkan perairan dengan salinitas yang relatif tinggi.

5.1.4 Daya Dukung Habitat Mangrove TNK bagi Budidaya S. serrata

Daya dukung lingkungan untuk sumberdaya kepiting bakau diduga dengan


pendekatan indeks kesesuaian habitat (Habitat Suitability Index/HSI). HSI
menggambarkan kesesuaian habitat yang diberikan oleh kombinasi interaksi dari
semua variabel lingkungan kunci pada spesies, yang meliputi komponen kualitas
air, komponen substrat, dan komponen vegetasi. Variabel-variabel dari ketiga
komponen tersebut adalah oksigen terlarut (V1), Biological Oksigen Demand
(V2), salinitas air (V3), temperatur air (V4), pH air (V5), pH substrat (V6), pasang
surut air laut (V7), tekstur substrat (V8), kepadatan makrozoobenthos (V9), jenis
vegetasi (V10), kerapatan vegetasi (V11), dan produksi serasah (V12). Karena
antara ke-12 variabel tersebut memiliki pengaruh yang berbeda terhadap
kehidupan kepiting, maka masing-masing variabel diberi bobot terlebih dahulu
yang menunjukkan nilai pentingnya dibanding variabel yang lain. Sedangkan
skor kesesuaiannya diberikan sesuai dengan indeks yang dibuat sesuai asumsi-
asumsi kebutuhan hidup kepiting (Lampiran 19). Nilai dari masing-masing
variabel dapat dilihat pada Tabel 24.

Variabel yang paling penting pada usaha budidaya pembesaran kepiting


adalah pasang surut air laut dan kondisi tekstur tanah (substrat). Pasang surut akan
menentukan lokasi mana yang sering tergenang air laut, karena kepiting sangat
memerlukan air laut untuk hidupnya. Sedangkan variabel substrat penting, karena
sifat kepiting yang suka membenamkan diri dalam lumpur. Bila substratnya
banyak mengandung bahan organik (gambut) atau pasir yang porous dan mudah
meresapkan air, maka kondisi tanah akan cepat kering pada saat surut air laut.
Sementara kepiting membenamkan diri dalam lumpur adalah karena mencari
tempat yang cukup basah dan dingin selama air surut. Oleh karena itu, kepiting
lebih sering membuat lubang-lubang persembunyian di tepi-tepi parit kecil/sungai

154

atau di tambak-tambak. Tekstur substrat dan lamanya perendaman pasut juga


menjadi variabel yang menentukan jenis vegetasi mangrove yang dapat hidup di
ekosistem mangrove tersebut (Bengen 2004). Selain itu sifat tekstur substrat juga
relatif lebih stabil dibanding variabel lain, misalnya salinitas dan temperatur yang
besar variasinya, sehingga bila digunakan sebagai penduga daya dukung juga
akan lebih stabil nilainya. Hal ini didukung oleh hasil analisis PCA habitat
mangrove, yang menunjukkan adanya pengaruh yang besar antara tekstur substrat
dengan kelimpahan S. serrata .
Namun demikian, bukan berarti bahwa kelimpahan hanya ditentukan oleh
kondisi tekstur substrat saja, karena walaupun tekstur sesuai namun bila tidak ada
vegetasi mangrove, maka kepiting bakau juga tidak akan ditemukan (Siahainenia
2008). Oleh karena itu, kerapatan vegetasi mangrove menduduki peringkat kedua
dalam pembobotan variabel.
Pada komponen kualitas air, kisaran nilai SI antar ketiga lokasi tidak
terlalu berbeda jauh, yaitu Muara Sangatta 0.69 kemudian Muara Sangkima 0.62
dan terakhir Teluk Perancis 0.56. Hal ini menunjukkan bahwa kualitas air di
ketiga lokasi hampir sama. Permasalahan kualitas air umumnya adalah akibat pH
air yang cenderung asam.
Pada komponen substrat, yang meliputi empat variabel (pasut, tekstur, pH,
dan makrozoobenthos), nilai SI terbaik pada lokasi Muara Sangatta yaitu sebesar
0.72, berikutnya lokasi Teluk Perancis sebesar 0.66 dan Muara Sangkima sebesar
0.56. Lokasi Muara Sangatta, yang terletak di muara sungai besar memiliki
kondisi tekstur substrat yang liat berlempung, dengan fraksi liat sebesar 40.90-
60.70 %. Kondisi ini yang menyebabkan di Muara Sangatta lebih banyak dibuat
tambak-tambak bandeng dibanding lokasi lainnya di habitat mangrove TNK.
Nilai SI pasang surut di lokasi ini juga paling tinggi. Runoff yang cukup
tinggi dari daratan melalui Sungai Sangatta memberikan suplai air tawar. Suplai
air tawar yang cukup intensif ini merupakan nilai lebih lain dari lokasi Muara
Sangatta, karena kepiting menyukai salinitas air yang payau. Menurut Kasry
(1996) kepiting dewasa kawin dan mematangkan telurnya pada perairan dengan
salinitas 15 20 , dan kemudian beruaya ke laut dalam untuk memijah.
Berdasarkan analisis kelimpahan, kepiting bakau di lokasi ini juga yang paling
tinggi kelimpahannya.

Tabel 24 Nilai kesesuaian variabel lingkungan habitat mangrove TNK untuk kepiting bakau.
Bobot Ma
NO VARIABEL Ma Sangatta skor SI** Tl Perancis skor SI** skor SI**
Variabel Sangkima
oksigen terlarut (DO)
1 1 6.3 - 10.9 1 1 7.3 11.9 1 1 7.3 11.7 1 1
(V1)
2 BOD (V2) 0.6 3.1 - 6.3 1 0.6 2.1 3.3 0.6 0.36 2.6 5.4 0.7 0.42
3 salinitas air (V3) 0.7 0 - 25 (25*) 0.9 0.63 24 - 34 (30*) 0.7 0.49 10-34 (29*) 0.8 0.56
4 temperatur air (V4) 0.8 24 - 29 (28*) 0.95 0.76 25 - 28 (27*) 0.9 0.72 24 - 26 (26*) 0.8 0.64
5 pH Air (V5) 0.6 6.1 7.1 (7*) 0.9 0.54 5.2 7.9 (6.8*) 0.7 0.42 7.1 - 7.6 1 0.6
SI KA 0.69 0.56 0.62
6 pH substrat (V6) 0.5 5.1-6.8 (6.5*) 0.7 0.35 4.3-5.7 0.4 0.2 5.6-6.9 0.7 0.35
pasang surut air laut
7 1 1.2-2.5 (1.2*) 0.9 0.9 1.2-2.4 (1.2*) 0.9 0.9 1.3-2.3 (1.3*) 0.9 0.9
(V7)
8 fraksi substrat (V8) 1 clay loam 1 1 sandy loam 0.3 0.3 sandy loam 0.3 0.3
kepadatan
9 0.7 20.25 0.9 0.63 22.75 1 0.7 19 0.8 0.56
makrozoobenthos (V9)
SI SU 0.67 0.44 0.48
R. apiculata, R. R. apiculata,
jenis vegetasi A. corniculatum
10 0.7 0.6 0.42 mucronata, B. 0.7 0.49 B. parviflora, 0.9 0.63
dominan (V10) Nypa fructicans
gymnorrhiza S. alba
kerapatan vegetasi
11 0.9 556 0.8 0.72 1350 0.9 0.81 1863 0.8 0.72
(V11)
produksi serasah
12 0.3 17.03 0.6 0.18 19.47 0.5 0.15 18.55 0.5 0.15
(V12)
SI VEG 0.38 0.39 0.41
HSI 0.622000 0.535444 0.557167
*) frekuensi paling sering
**) SI = bobot variabel x skor

156

Variabel vegetasi diberi bobot yang berbeda untuk jenis vegetasi,


kerapatan vegetasi, dan produksi serasah. Variabel vegetasi yang dianggap paling
berpengaruh bagi kehidupan kepiting adalah kerapatan vegetasi. Seperti telah
diungkapkan sebelumnya, banyak peneliti menemukan adanya keterkaitan yang
erat antara kerapatan vegetasi mangrove dengan kelimpahan kepiting bakau
(LeVay 2001; Siahainenia 2008), sehingga kerapatan vegetasi diberi bobot 0.9.
Namun demikian, hasil penelitian menemukan bahwa kepiting bakau tidak selalu
berada dalam hutan mangrove yang rapat vegetasinya, tapi berada di pinggir
sungai/parit/tambak atau tempat-tempat yang berair dan terbuka di sekitar hutan
mangrove. Kepiting lebih sering ditemukan nelayan pada lokasi-lokasi tersebut
karena dua alasan, yaitu kepiting menyukai membuat lubang di tempat yang
berlumpur, dan alasan lain adalah nelayan lebih mudah menemukan kepiting pada
lokasi tersebut dibandingkan mencari kepiting di bawah perakaran mangrove yang
padat.
Variabel jenis vegetasi diberi bobot 0.7 karena jenis vegetasi menentukan
terbentuknya perakaran di lantai mangrove. Kepiting bakau menyukai jenis
vegetasi yang bentuk perakarannya mampu menyediakan makanan dan tempat
berlindung baginya (Hutching & Saenger 1987). Namun pembentukan perakaran
mangrove sendiri terkait dengan sifat tekstur substrat tempatnya melekat dan
periode pasang surut air laut, hanya jenis vegetasi tertentu dengan bentuk
perakaran tertentu yang mampu bertahan hidup pada kondisi substrat di lokasi
tersebut. Atau dengan kata lain, jenis vegetasi merupakan variabel turunan dari
variabel tekstur substrat. Menurut Kepmen LH No 201 tahun 2004 status kondisi
mangrove di lokasi Teluk Perancis diklasifikasikan baik (sedang), dan Muara
Sangkima yang didominasi jenis Rhizophora status kondisi mangrove
diklasifikasikan dalam kategori baik (sangat padat). Sedangkan di lokasi Muara
Sangatta didominasi jenis Aegiceras dengan kategori baik (sedang).
Produksi serasah diberi bobot yang relatif kecil, yaitu 0.3 karena walapun
diasumsikan kepiting memakan jenis serasah daun tertentu untuk dietnya, namun
persentasenya dalam diet kepiting bakau hanya sekitar 28-30% (McCann dalam
Arifin 2006). Keterkaitan serasah adalah dengan kelimpahan makrozoobenthos
sebagai pakan utama kepiting bakau, seperti telah diungkapkan dari hasil analisis
157

PCA sebelumnya. Oleh karena itu variabel kelimpahan makrozoobenthos diberi


bobot 0.7.
Secara keseluruhan Muara Sangatta memiliki nilai indeks kesesuaian lahan
(HSI) yang paling tinggi, yaitu 0.622, berikutnya adalah Muara Sangkima sebesar
0.557 dan Teluk Perancis sebesar 0.535. Berdasarkan hasil analisis ini dapat
disimpulkan bahwa lokasi Muara Sangatta merupakan lokasi yang paling baik
dalam mendukung kehidupan S. serrata. Sehingga lokasi Muara Sangatta adalah
lokasi yang paling sesuai bila digunakan untuk usaha pembesaran kepiting bakau.
Dengan nilai indeks HSI tersebut maka dapat diperkirakan jumlah individu
kepiting bakau atau unit budidaya yang dapat dipelihara di habitat mangrove
TNK. Perhitungan jumlah individu/unit budidaya yang mampu didukung oleh
masing-masing lokasi di TNK disajikan pada Tabel 25.

Tabel 25 Daya dukung Mangrove TNK untuk unit budidaya.


Kelimpahan
Luas area Daya dukung Unit
Lokasi HSI kepiting
(m2) kepiting (ekor) budidaya
(ind/m)
Muara Sangatta 0.622 15746741.58 0.025 244862 490

Teluk Prancis 0.535 13412280.46 0.01 71815 144

Muara Sangkima 0.557 13084719.28 0.015 109356 219

Hasil analisis daya dukung menunjukkan bahwa di lokasi Muara Sangatta


individu kepiting bakau yang dapat didukung untuk budidaya yang berkelanjutan
adalah sebanyak 244 862 ekor atau dapat dibudidayakan pada 490 unit budidaya
kurungan tancap berukuran 10 x 20 m. Unit karamba sejumlah ini memerlukan
lahan seluas 10 ha. Di Muara Sangatta terdapat sekitar 400.03 ha lahan kritis
bekas tambak. Unit-unit karamba ini dapat dibangun di bekas tambak yang sudah
tidak produktif lagi di Muara Sangatta, sekaligus sebagai upaya untuk
merehabilitasi lahan kritis tersebut.
Muara Sangkima yang mempunyai kondisi mangrove baik (sangat rapat)
dapat mendukung sekitar 219 unit kurungan tancap, sedangkan Teluk Perancis
dapat mendukung sekitar 144 unit kurungan tancap. Namun hal ini bukan berarti
158

bahwa pada lokasi tersebut dapat dibuat unit karamba budidaya sylvofishery.
Budidaya sylvofishery dengan kurungan tancap ini baru dapat dilaksanakan bila
telah dibuat pengaturan zonasi dalam kawasan Taman Nasional Kutai, karena
tidak semua zona dapat dilakukan pemanfaatan. Bila melihat dari nilai indeks
kesesuaian lahan yang rendah, dapat dikatakan lokasi Teluk Perancis dan Muara
Sangkima tidak sesuai untuk budidaya sylvofishery.

5.2 Kondisi Sosial Ekonomi Pemanfaatan Scylla serrata

Kepiting bakau atau kepiting lumpur, atau kepiting hijau (Scylla serrata)
(Moosa et al. 1985) merupakan manfaat tidak langsung dari sumberdaya
mangrove yang mempunyai nilai ekonomis penting. Kepiting bakau di wilayah
provinsi Kalimantan Timur, sejak tahun 2000 sudah menjadi salah satu komoditas
ekspor. Harga lokal dari nelayan pada tahun 2009 sekitar Rp 25 000/kg dan dapat
mencapai harga Rp 48 000/kg untuk ekspor. Kepiting bakau untuk ekspor ini
umumnya berasal dari wilayah Kabupaten Kutai Kartanegara, Kota Tarakan, dan
Kabupaten Berau. Sementara dari Kabupaten Kutai Timur sendiri belum ada yang
masuk ke pasar ekspor.
Pemanfaatan kepiting S. serrata hasil tangkapan nelayan di kawasan
mangrove TNK, umumnya langsung dijual ke rumah makan-rumah makan
seafood yang terdapat di kota Sangatta. Sebagian kecil dijual ke pasar tradisional.
Sebagian lagi diolah oleh ibu-ibu nelayan Kelompok Kerja (Pokja) Kerupuk
Kepiting menjadi produk kerupuk kepiting. Krupuk kepiting produksi Pokja ini
dihargai Rp 40 000,00 per kg. Penjualannya merambah ke beberapa kota seperti
Sangatta, Samarinda, dan Bontang. Dalam Lomba Teknologi Tepat Guna
Masyarakat tingkat Kabupaten Kutai Timur dan tingkat Propinsi Kalimantan
Timur, mereka berhasil meraih kemenangan. Kelompok ini kemudian mewakili
Kalimantan Timur dalam lomba tingkat nasional yang diselenggarakan September
2005 di Palembang.

5.2.1 Permintaan Scylla serrata


Konsumen kepiting bakau di Kota Sangatta meliputi konsumen rumah
tangga dan rumah-rumah makan. Kepiting bakau dijual di pasar-pasar di Kota
159

Sangatta oleh pedagang maupun dijual keliling secara langsung oleh penangkap
kepiting. Kepiting bakau yang dijual di pasar Kota Sangatta berasal dari hasil
tangkapan nelayan lokal dan kepiting yang dikirim dari Kecamatan Muara Badak.
Berdasarkan hasil survei terhadap tiga pasar yang ada di Kota Sangatta,
kebutuhan kepiting untuk memenuhi konsumsi masyarakat Kota Sangatta
diperkirakan mencapai lebih dari 200 kg/hari, berdasarkan rata-rata penjualan
kepiting per hari pada tiga pasar yang ada di Kota Sangatta.
Permintaan Scylla serrata tidak hanya berasal dari lokal saja, namun juga
berasal dari kota-kota besar di Indonesia dan dari luar negeri. Data pengiriman
kepiting bakau Scylla serrata keluar daerah maupun keluar negeri yang diperoleh
dari Balai Karantina Ikan Kelas I Sepinggan Balikpapan disajikan pada Tabel 26.
Menurut informasi dari Ibu Yuni, Kasie Data dan Informasi Balai
Karantina Ikan Kelas I Sepinggan Balikpapan, yang dimaksud dengan ekspor
adalah pengiriman kepiting bakau keluar negeri (Singapura), karena bandara
Sepinggan merupakan bandara internasional dimana ada penerbangan langsung ke
Singapura. Sedangkan yang dimaksud domestik keluar adalah pengiriman
kepiting keluar negeri, ke negara selain Singapura, namun melalui transit di
Jakarta dan Surabaya. Pengiriman domestik adalah pengiriman kepiting bakau
untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, seperti Jakarta, Surabaya, Semarang,
dan lain-lain. Satuan data yang ada di Balai Karantina adalah ekor bukan dalam
satuan bobot, karena sesuai tupoksinya, Balai Karantina bertugas untuk
mengetahui kondisi penyakit ikan, sehingga pencatatan dilakukan per ekor ikan.

Tabel 26 Volume pengiriman kepiting bakau hidup tahun 2006-2008.


Tahun Ekspor Domestik Domestik Keluar Lalu lintas Total
(ekor) % (ekor) % (ekor) % (ekor) %
2006 2 231 042 36.12 222 567 588 62.18 13 426 948 39.82 238 225 578 59.88
2007 2 110 455 34.17 95 613 618 26.71 7 949 698 23.57 105 673 771 26.56
2008 1 835 441 29.71 39 783 234 11.11 12 344 530 36.61 53 963 205 13.56
Total 6 176 938 100 357 964 440 100 33 721 176 100 397 862 554 100
Sumber: Balai Karantina Ikan Kelas I Sepinggan Balikpapan Tahun 2009

Tabel 26 menunjukkan bahwa total lalu lintas pengiriman kepiting bakau


hidup dari tahun 2006 sampai dengan 2008 cenderung menurun, dengan
160

penurunan yang mencapai separuh dari volume tahun sebelumnya. Hal ini diduga
berkaitan dengan adanya penurunan produksi tangkapan kepiting bakau dari alam.
Informasi dari Bapak Sab Lestiawan, Kasie Pelayanan Operasional Balai
Karantina Ikan Balikpapan, daerah Handil di Balikpapan yang pada tahun-tahun
awal pengiriman kepiting bakau mendominasi produksi, saat sekarang ini sudah
tidak berproduksi lagi. Demikian juga dengan daerah Muara Badak yang mulai
jarang mengirimkan kepiting. Saat ini kepiting bakau yang dikirim keluar
Balikpapan didominasi dari daerah Tarakan dan Berau.
Bila melihat data persentase jumlah kiriman untuk domestik dan luar
negeri, tampak bahwa produksi kepiting yang ada lebih diutamakan untuk
kepentingan ekspor, dibanding untuk pemenuhan kebutuhan domestik. Hal ini
terlihat dari angka persentase yang cenderung stabil dari tahun ke tahun untuk
keperluan ekspor dan domestik keluar, sekalipun pernah terjadi sedikit penurunan
pada tahun 2007 untuk domestik keluar.

5.2.2 Keragaan Perikanan Tangkap S. serrata di TNK

Kepiting jenis S. serrata di wilayah TNK, saat ini dimanfaatkan untuk


perikanan tangkap dan budidaya pembesaran, walaupun untuk kegiatan budidaya
pembesaran masih sedikit dilakukan.

5.2.2.1 Jenis Alat Tangkap S. serrata

Kegiatan perikanan tangkap S. serrata di kawasan mangrove TNK


umumnya dilakukan dengan menggunakan 3 jenis alat tangkap, yaitu
bubu/rakkang, pengait, dan rengge/gillnet. Masing-masing alat tangkap
mempunyai spesifikasi lokasi dan cara penangkapan yang berbeda. Bentuk dari
alat-alat tangkap kepiting tersebut dapat dilihat pada Gambar 35.
Bubu, baik dari jenis bubu lipat maupun rakkang digunakan pada area
berlumpur yang selalu digenangi pasut, misalnya di pinggir sungai atau tepi
pantai. Cara penangkapan kepiting dengan menggunakan bubu adalah bubu
dipasang ketika air sedang surut, setelah sebelumnya dipasangi umpan berupa
ikan rucah. Selama air pasang bubu dibiarkan terendam dalam air, kemudian
161

ketika air telah surut bubu diangkat dan diambil kepiting yang terperangkap di
dalamnya.
Pengait digunakan di lubang-lubang kepiting yang ada di dalam hutan
mangrove, atau tambak-tambak di sekitar mangrove. Waktu penggunaan pengait
biasanya pada siang hari, saat air surut, karena pada waktu tersebut kepiting
bersembunyi dalam lubang untuk mendinginkan tubuhnya. Penangkapan dengan
menggunakan pengait sering memberikan hasil tangkapan kepiting yang
luka/cacat akibat kaitan. Hal ini terjadi karena kepiting yang bersembunyi dipaksa
keluar dari lubangnya dengan menggunakan kaitan besi, sehingga capit/chela
patah.

a. Bubu Lipat b.Rengge/gillnet

c. Rakkang (bubu) d. Pengait

Gambar 35 Jenis alat tangkap kepiting yang digunakan di habitat mangrove TNK.

Rengge/gillnet digunakan di perairan dangkal di pesisir pantai. Nelayan


umumnya tidak secara khusus menggunakan rengge untuk menangkap kepiting,
namun hanya merupakan hasil sampingan selain ikan yang menjadi tujuan utama
tangkapan. Waktu penggunaan rengge dapat siang atau malam hari.
162

Nelayan yang menangkap kepiting didominasi oleh suku Bugis/Makassar


dan sedikit dari suku Jawa. Jumlah nelayan di wilayah TNK yang menangkap
kepiting seluruhnya kurang lebih hanya ada 15 orang.
Frekuensi nelayan dalam menangkap kepiting bakau dengan menggunakan
rakkang umumnya berkisar antara 2 sampai 3 kali per minggu. Penangkapan
dilakukan pada saat air pasang. Pasut di pesisir Kutai Timur bersifat mixed prevailing
semidiurnal dimana kecenderungan dalam satu hari terjadi dua kali air pasang dan
dua kali air surut dengan amplitudo dan periode pasang surut yang berbeda. Pasang
dengan amplitudo lebih tinggi terjadi pada malam hari. Sehingga nelayan menangkap
kepiting pada saat pasang purnama dan pasang perbani. Diantara kedua pasang
tersebut ada masa air tenang, dalam bahasa lokal nelayan menyebutnya dengan
konda yaitu kondisi dimana massa air diam tidak terjadi pasang ataupun surut. Pada
saat konda tersebut, kepiting juga tidak masuk ke daratan, sehingga tidak bisa
ditangkap.

5.2.2.2 Kelebihan dan Kekurangan Beberapa Alat Tangkap S. serrata

Dari ketiga jenis alat tangkap tersebut, rakkang merupakan alat tangkap
yang paling banyak digunakan. Setiap nelayan kepiting yang menggunakan
rakkang, rata-rata memiliki alat tersebut minimal 50 unit, sehingga diperkirakan di
kawasan mangrove TNK ada sekitar 250 unit rakkang. Dari segi efisiensi tenaga
dan waktu, dibanding pengait dan rengge, alat tangkap rakkang lebih efisien untuk
menangkap kepiting, karena nelayan tidak perlu mencari-cari keberadaan
kepiting, cukup memasang umpan pada rakkang dan kepiting yang akan datang
sendiri. Rakkang pun tidak perlu ditunggui, bila sudah ada kepiting yang masuk
maka kepiting akan terus terperangkap dalam rakkang sampai saat diangkat
kembali oleh nelayan. Hasil tangkapan kepiting rata-rata antara 3-5 ekor/unit alat.
Kelemahan dari alat tangkap rakkang adalah kepiting yang tertangkap umumnya
berukuran kecil (kepiting muda) yang belum dewasa kelamin. Kepiting muda
yang berukuran di bawah ukuran konsumsi (200-300 gram) umumnya mempunyai
nilai jual yang rendah, sehingga kurang menguntungkan.
Alat tangkap lain yang cukup banyak digunakan di kawasan mangrove
TNK adalah pengait/pancing. Jumlah pengait yang ada di kawasan ini tidak
163

sebanyak rakkang, hanya ada sekitar 10 unit saja, karena umumnya tiap satu orang
nelayan hanya memerlukan satu buah pengait untuk operasional menangkap
kepiting. Kelebihan dari alat pengait adalah nelayan cenderung memperoleh
kepiting yang berukuran besar dan harga yang lebih baik. Namun kelemahannya
adalah jumlah hasil tangkapannya relatif sedikit dibanding bila menangkap
dengan rakkang. Selain itu hasil tangkapan juga sering cacat, karena kepiting
terluka oleh pengait.

5.2.3 Keragaan Budidaya Pembesaran S. serrata di TNK


Budidaya kepiting bakau yang telah dilakukan di hutan mangrove TNK
hanya berupa budidaya pembesaran. Wadah untuk memelihara kepiting bakau ada
berbagai bentuk, antara lain kurungan bambu dalam tambak, karamba di laut, dan
kurungan jaring dalam mangrove. Gambar berbagai bentuk wadah pemeliharaan
dapat dilihat pada Gambar 36.

b. Kurungan jaring
a. Kurungan Bambu

Gambar 36 Wadah pemeliharaan budidaya pembesaran kepiting bakau di TNK.

Budidaya pembesaran dilakukan dengan tujuan sebagai usaha


pemeliharaan sementara bagi kepiting, yang berukuran terlalu kecil untuk
langsung dijual ke pasar. Pembesaran dilakukan dengan menempatkan kepiting
164

hasil tangkapan alam ke dalam wadah tertentu dan dipelihara hingga ukuran layak
dijual.
Hasil budidaya pembesaran kepiting bakau dengan kurungan bambu yang
pernah dilakukan di kawasan mangrove TNK ini belum menunjukkan
keberhasilan yang cukup memuaskan. Beberapa kelemahan yang diduga menjadi
penyebab kegagalan usaha budidaya tersebut adalah:
1. Tingkat kepadatan benih kepiting bakau yang dipelihara dalam kurungan
bambu tidak diperhatikan, sehingga terjadi perebutan ruang dan pakan
antar kepiting. Sementara kepiting bakau sendiri merupakan jenis biota
yang kanibal (pemakan sesama), sehingga diduga terjadi saling bunuh
antar individu kepiting bakau.
2. Jumlah pakan yang diberikan tidak mencukupi dan tidak konsisten,
sedangkan dalam kurungan tidak tersedia pakan alami, sehingga kepiting
akan memakan sesamanya.
3. Teknologi kurungan bambu tidak menyediakan habitat alami yang disukai
kepiting bakau, sehingga pada saat ada perubahan lingkungan seperti
peningkatan suhu pada siang hari, atau perubahan salinitas, kepiting bakau
tidak bisa berlindung dan menjadi stress, yang akhirnya berdampak pada
kematian.
4. Tinggi kurungan bambu yang hanya sekitar 1 meter sangat rawan terkena
banjir pada saat terjadi pasang naik. Sementara kepiting bakau adalah
binatang yang sangat mobile, yang mempunyai kaki renang dan kaki
jalan, sehingga kepiting dapat berenang dan memanjat pagar yang
mengurungnya untuk melepaskan diri.
Selain itu teknologi budidaya seperti ini tidak mengkonservasi habitat
mangrove, karena menebang habis pohon mangrovenya. Hal ini dapat berdampak
buruk dalam banyak hal, akibat hilangnya fungsi ekologis mangrove.

5.2.3.1 Budidaya Pembesaran S. serrata dengan Teknik Sylvofishery


Budidaya pembesaran S. serrata yang dilakukan dalam penelitian ini
adalah budidaya dalam kurungan tancap dalam mangrove (sylvofishery). Lokasi
untuk pembangunan kurungan tancap dipilih di dalam area rawa mangrove yang
165

berada pada kisaran pasang surut air laut. Keragaan kurungan tancap pembesaran
kepiting bakau dalam mangrove secara ringkas disajikan dalam Tabel 27.

Tabel 27 Keragaan kurungan tancap pembesaran kepiting bakau dalam mangrove.


No Parameter Alat/Bahan Satuan
1 Dimensi kurungan Jaring + papan kayu 10m x 20m x 2m
2 Ukuran mata jaring 1.25
3 Ukuran Parit Keliling 1 m x 0.8 m
4 Berat Benih 68.81.92 g
5 CW Benih 67.830.74 mm
6 Padat penebaran 300 ekor/kurungan
7 Pakan Ikan rucah 3 % biomass/hari
8 Sampling Bubu/rakkang Per 2 minggu
9 Kerapatan vegetasi Anakan mangrove 1113 ind/ha
Aegiceras, Nypa,
10 Jenis vegetasi
Rhizophora
11 Berat ind. panen 184.758.24 g
12 CW ind. panen 88.650.94 mm
13 Survival Rate (SR) 76.5%

Dimensi dari kurungan tancap adalah 10 m x 20 m (200 m2) dan tinggi


jaring adalah 2 meter untuk mencegah pemangsa (predator) dan untuk mencegah
kepiting melarikan diri. Jaring yang digunakan bermata jaring 1.25 inchi. Jaring
didukung oleh tonggak pada tiap interval 3 meter dari material tanaman bakau.
Tinggi tonggak 3 meter dengan 0.6 meter ditancapkan dalam tanah. Untuk
penggunaan jaring sebagai pagar, pada bagian bawah jaring tetap perlu
ditancapkan papan sedalam 0.6 meter untuk mencegah kepiting melarikan diri
dengan menggali lubang dalam lumpur. Di dalam kurungan tancap, digali saluran
keliling dengan ukuran lebar antara 0.6-0.9 m dan dalam 0.8 m.

5.2.3.2 Hasil Budidaya Pembesaran S. serrata

Pelaksanaan pembesaran kepiting bakau telah dilakukan selama 10


minggu, namun belum sampai pada tahap panen. Pertumbuhan kepiting selama
budidaya sylvofishery diketahui dari sampling sebanyak 25 ekor kepiting setiap
166

dua minggu. Data pertumbuhan kepiting bakau yang diperoleh selama


pengamatan dapat dilihat pada Gambar 37.
Selama 10 minggu pengamatan menunjukkan adanya peningkatan
pertumbuhan kepiting bakau, baik dari ukuran lebar karapas maupun pada ukuran
berat tubuhnya. Ukuran lebar karapas benih awal rata-rata sekitar 67.830.74
mm, setelah 10 minggu terjadi penambahan CW hingga 88.650.94 mm.
Sedangkan berat benih awal sekitar 68.81.92 g, setelah 10 minggu terjadi
penambahan menjadi rata-rata 184.758.24 g. Bila dirata-ratakan penambahan
berat yang terjadi 11.60 gr tiap minggu. Tingkat kelulushidupan/survival rate
(SR) pada minggu ke-10 adalah 76.5%. Namun kepiting bakau belum mencapai
usia panen, sehingga belum diketahui berapa SR kepiting yang berhasil lulus
hidup sampai panen.

250,00

200,00 184,75
sampling 25 ekor kepiting

161,50
Pertumbuhan

150,00
108,50
95,00 berat tubuh
100,00
68,80 71,50 lebar karapas
50,00

67,83 67,95 77,55 78,95 88,10 88,65


0,00
0 2 4 6 8 10
Minggu

Gambar 37 Grafik pertumbuhan kepiting bakau sylvofishery.

Untuk mencapai panen, kepiting bakau yang semula berat tubuhnya 100 g
perlu ditingkatkan menjadi 250-300 g, sebagai ukuran konsumsi. Dengan asumsi
terjadi peningkatan berat yang tetap, yaitu 11.6 gr tiap minggu, maka diperlukan
waktu sekitar 16 minggu ( 4 bulan) untuk mencapai panen dalam penelitian ini.
Menurut Genodepa (1999) diperlukan waktu sekitar 4-7 bulan untuk mencapai
ukuran tersebut.
167

5.2.3.3 Permasalahan dalam Budidaya Sylvofishery S. serrata


Beberapa hal yang menjadi kendala dalam pembesaran kepiting bakau
secara sylvofishery adalah:
Adanya hama berupa biawak kalimantan (Varanus vomeensis), yang
masuk ke dalam kurungan dengan cara melubangi jaring untuk mengambil
ikan rucah yang menjadi pakan kepiting bakau. Masuknya biawak ke
dalam kurungan tidak untuk makan kepiting, namun lubang yang dibuat
biawak pada jaring menyebabkan kepiting melarikan diri keluar jaring.
Untuk mengantisipasi hal tersebut, perlu upaya tambahan untuk mencegah
biawak masuk, yaitu dengan membuat pagar bambu keliling yang
tingginya minimal sepanjang biawak terbesar yang masuk ke karamba ( 1
m), sehingga cukup untuk mencegah biawak memanjat.
Adanya angin musim pada bulan-bulan tertentu yang menyebabkan
gelombang laut menjadi besar. Di pesisir Kabupaten Kutai Timur musim
gelombang besar ini mulai terjadi dari bulan Januari hingga bulan Maret,
dan mencapai puncaknya pada bulan Februari. Gelombang besar ini dapat
mengakibatkan kerusakan karamba yang berupa tercabutnya jaring dari
posisinya atau robeknya jaring akibat hantaman batang-batang pohon yang
terseret gelombang. Untuk mencegah kerusakan akibat gelombang, maka
perlu adanya papan kayu yang ditancapkan ke dalam tanah untuk mengikat
jaring.
Adanya run off dari daratan dapat membawa bahan-bahan beracun limbah
dari pemukiman dan industri pertambangan yang ada di hulu sungai. Bila
tidak diantisipasi kejadian runoff dapat menyebabkan kematian massal
kepiting budidaya dalam karamba tancap.

5.2.4 Analisis Kelayakan Usaha Budidaya Sylofishery S. serrata


Untuk mengetahui kelayakan usaha perikanan budidaya pesisir dihitung
dari besarnya nilai investasi, biaya tetap dan biaya variabel yang dikeluarkan, dan
pendapatan yang diperoleh dari nilai jual hasil panen.
168

Kelayakan usaha tersebut digambarkan berdasarkan kriteria nilai Revenue


Cost Ratio (R/C) dan keuntungan () untuk mengetahui kelayakan pada saat ini
tanpa memasukkan fakor nilai uang di masa mendatang (undiscounted criteria).
Sedangkan untuk mengetahui kelayakan usaha dimasa mendatang dengan
memasukkan faktor nilai uang (discounted criteria) digunakan kriteria Net
Benefit Cost (Net B/C). Tingkat discount rate diasumsikan sebesar 12 %,
perhitungan rentang usaha selama 2 tahun, umur ekonomis peralatan 2 tahun, dan
usaha budidaya dioperasikan mulai tahun pertama (Lampiran 24).
Dari hasil analisis (Lampiran 25), diperoleh nilai rasio penerimaan dengan
biaya (R/C) pada sylvofishery kepiting bakau seluas 200 m2 per tahun sebesar
2.87. Nilai R/C 2.87 bermakna bahwa setiap Rp 1 000 000,- uang yang dipakai
untuk pembiayaan budidaya akan memperoleh manfaat sebesar Rp. 2870000,-.
Waktu pengembalian investasi (payback periode) selama 1 tahun 3 bulan. Nilai
Net B/C yang diperoleh sebesar 2.05 (Net B/C > 1) bermakna bahwa manfaat
yang diperoleh adalah sebesar 2.05 kali lebih besar dari biaya yang dikeluarkan.
Sehingga berdasarkan semua kriteria tersebut di atas, dapat dikatakan bahwa
usaha budidaya kepiting bakau dengan teknologi sylvofishery layak
direkomendasikan untuk dikembangkan.

5.2.5 Analisis Usaha Perikanan Tangkap S. serrata


Pendapatan yang diperoleh dari pemanfaatan S. serrata meliputi
pendapatan dari hasil penangkapan dan pendapatan dari hasil budidaya
sylvofishery.
Dari hasil penangkapan dengan alat tangkap rakkang nelayan memperoleh
pendapatan sekitar Rp 1 - 1.5 juta/bulan. Nilai ini diambil dari rata-rata produksi
kepiting tangkapan nelayan setiap bulan dikurangi dengan biaya operasional
penangkapan. Dalam satu bulan nelayan umumnya menangkap kepiting sebanyak
10 kali, yaitu pada saat pasang purnama dan pasang perbani (bulan mati). Jumlah
yang diperoleh rata-rata 98 kg/bln dengan harga Rp 25 000,-/kg, sehingga rerata
penerimaan nelayan adalah sekitar Rp. 2 400 000,-/bulan. Setelah dikurangi biaya
operasional penangkapan, yaitu untuk bahan bakar minyak (BBM), pembelian
169

umpan, kerusakan alat, dan lain-lain, yaitu sekitar Rp. 900 000,-. Maka
pendapatan nelayan diperkirakan sebesar Rp. 1 500 000,-/bulan (Lampiran 26).
Dari hasil budidaya kepiting bakau, berdasarkan hasil analisis kelayakan
usaha (Lampiran 25) total penerimaan nelayan adalah Rp. 6 300 000,- /unit
karamba/tahun. Bila total biaya yang dikeluarkan adalah Rp. 2 198 750,-/unit
karamba/tahun, maka pendapatan yang diperoleh nelayan adalah sekitar Rp. 4 101
250,-/unit karamba/tahun. Nilai pendapatan dari budidaya ini dapat ditingkatkan
lagi bila nelayan mampu meningkatkan produknya menjadi produk yang nilai
jualnya lebih tinggi, seperti kepiting soka (kepiting lunak) atau kepiting bertelur.

5.3 Pengelolaan Sumberdaya Scylla serrata di TNK


5.3.1 Permasalahan Kebijakan Pengelolaan Habitat Mangrove TNK

Seperti telah dipaparkan pada bagian sebelumnya, berdasarkan Surat


Keputusan Menteri Kehutanan No. 325/Kpts-II/1995, TNK yang semula adalah
Suaka Margasatwa berubah fungsi dan statusnya menjadi penunjukkan Taman
Nasional. Selanjutnya status ini dipertegas lagi dengan munculnya PP no 26
Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Nasional pasal 52 (Lampiran VIII
tentang kawasan Lindung Nasional), yang mengkategorikannya sebagai Taman
Nasional Kutai dengan status tahap pengembangan I (I/A/4).
Kewenangan pengelolaan Kawasan Pelestarian Alam Taman Nasional
berada di bawah Balai Taman Nasional Kutai (BTNK) sebagai unit teknis dari
BKSDA kehutanan. Pengelolaan TNK didasarkan pada UU No. 5 Tahun 1990
tentang konservasi sumberdaya alam dan habitatnya dan UU No. 41 Tahun 1999
tentang kehutanan, beserta aturan-aturan turunannya.
Hingga saat ini pengelolaan hutan, terutama hutan lindung, masih terkesan
disakralkan, tertutup dan dilarang untuk dijamah oleh masyarakat. Namun Sukardi
(2009) menyatakan bahwa ruang ini mulai terbuka sejak diundangkannya UU No.
41 Tahun 1999. Konsep pengelolaan hutan bersama masyarakat tidak secara
eksplisit disebutkan dalam UU No. 41 Tahun 1999 maupun PP No. 6 Tahun 2007
jo. PP No 3 Tahun 2008. Namun demikian secara substansial peraturan ini telah
mengakomodir kepentingan masyarakat untuk memperoleh akses pengelolaan
hutan.
170

UU 41/1999 tentang kehutanan Pasal 23 dan pasal 24 menyatakan


Pemanfaatan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf b, bertujuan
untuk memperoleh manfaat yang optimal bagi kesejahteraan seluruh masyarakat
secara berkeadilan dengan tetap menjaga kelestariannya dan Pemanfaatan
kawasan hutan dapat dilakukan pada semua kawasan hutan kecuali pada hutan
cagar alam serta zona inti dan zona rimba pada taman nasional. Selanjutnya
pada Pasal 25 dikatakan Pemanfaatan kawasan hutan pelestarian alam dan
kawasan hutan suaka alam serta taman buru diatur sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Aturan turunan untuk pasal 25 UU 41/1999
ini adalah Permenhut No. P.56/Menhut-II/2006. Selanjutnya dalam pasal 68,
disebutkan masyarakat berhak menikmati kualitas lingkungan hidup yang
dihasilkan hutan, memanfaatkan hutan dan hasil hutan sesuai dengan peraturan
perundangan yang berlaku. Dengan demikian dapat dikatakan akses bagi
masyarakat dalam pemanfaatan kawasan hutan telah dibuka, baik dalam hutan
produksi maupun hutan lindung, kecuali pada hutan cagar alam, zona inti, dan
zona rimba pada taman nasional. Pemanfaatan tersebut meliputi tiga hal pokok,
yaitu pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, dan pemanfaatan hasil
hutan non kayu. Secara rinci pemanfaatan hutan ini diatur dalam PP No. 6 Tahun
2007 jo. PP No. 3 Tahun 2008.
Walaupun secara legalitas hukum sudah ada aturan-aturan yang
mengijinkan adanya akses masyarakat untuk pemanfaatan hutan, namun hingga
saat ini pengelolaan TNK masih tertutup bagi masyarakat. Masyarakat belum
diberi hak untuk memanfaatkan dan dibatasi aksesnya berdasarkan pasal 21 UU
No. 5 Tahun 1990 dan pasal 50 UU No. 41 Tahun 1999. Selain itu tidak ada
rencana zonasi yang jelas sesuai amanat undang-undang, yang dibuat untuk
kawasan TNK.
Sementara itu kenyataan berbicara lain, dengan adanya pelarangan-
pelarangan dan pembatasan-pembatasan yang dilakukan oleh pengelola taman
nasional, bukannya berhasil menjaga keutuhan hutan, bahkan pada saat ini TNK
justru sangat sarat dengan permasalahan. Isu permasalahan yang paling banyak
terjadi adalah adanya perambahan hutan dan penebangan kayu tidak legal (illegal
logging). Gambar 25 menunjukkan perambahan hutan cenderung terjadi di bagian
171

pesisir TNK (sebelah timur jalan poros Bontang-Sangatta), yang merupakan


kawasan hutan mangrove. Perambahan hutan ini antara lain dilakukan untuk
pembuatan jalan poros Bontang Sangatta, yang pada akhirnya berimbas pada
perluasan permukiman penduduk, hingga terbentuknya kecamatan baru, yaitu
kecamatan Teluk Pandan, setelah sebelumnya sudah ada kecamatan yang berdiri
lebih dahulu, yaitu Kecamatan Sangatta Selatan. Adanya pengembangan wilayah
ke arah pesisir ini sangat mengancam keberadaan hutan mangrove di TNK.
Karena dengan adanya penduduk dalam wilayah TNK, akhirnya penduduk
memanfaatkan hutan mangrove, dimana sebagian besar dilakukan dengan cara
yang merusak, seperti menebang mangrove dan membukanya untuk penggunaan
lain (pemukiman, tambak).
Sementara itu, zonasi TNK sampai saat ini juga belum disusun, sehingga
permasalahan perambahan hutan di wilayah TK Kutai menjadi semakin meluas
dan berlarut-larut. Untuk penyelesaian masalah tersebut, Pemerintah Daerah
Kabupaten Kutai Timur berinisiatif mengusulkan beberapa alternatif pengelolaan
kawasan TNK yang bermasalah tersebut, salah satunya adalah rencana enclave.
Namun rencana ini juga mengalami banyak kendala. Berbagai kendala
yang muncul pada rencana enclave ini, antara lain:
i. Perbedaan persepsi dalam penafsiran enclave antara Departemen Kehutanan
dengan Pemerintah Kabupaten Kutai Timur. Pemerintah Kabupaten Kutai
Timur menafsirkan bahwa kawasan enclave akan dikelola pemerintah daerah
setelah enclave selesai. Sedangkan Departemen Kehutanan tetap menghendaki
pengelolaan berada pada BTNK (Surat Dirjen PHKA No. 285/DJ-V/KK/2000
tanggal 28 April 2000).
ii. Pemerintah Pusat menolak penyelesaian permasalahan TNK melalui enclave,
yaitu dengan dikeluarkannya surat Menteri Kehutanan RI Nomor.
1889/Menhut-II/2002 tanggal 21 Nopember 2002 yang isinya menyatakan
bahwa Departemen Kehutanan tidak bermaksud melepaskan wilayah enclave
dari Taman Nasional Kutai.
Selama belum ada kebijakan untuk penyelesaian permasalahan TNK,
diperlukan solusi jangka pendek untuk mencegah semakin meluasnya perusakan
172

sumberdaya alam di TNK, termasuk diantaranya sumberdaya yang di dalam hutan


mangrove.
Dari hasil penelusuran terhadap peraturan perundangan yang ada,
beberapa pasal yang dapat menjadi solusi bagi permasalahan di TNK, khususnya
bagi permasalahan pemanfaatan yang merusak mangrove, yaitu:
1. Pasal 26, 27, 28, 30, dan 32 UU No. 5 tahun 1990,
2. Pasal 23, 24, dan 25 UU No. 41 tahun 1999,
3. Pasal 29 UU No. 27 tahun 2007 beserta penjelasannya,
4. Pasal 2, 6, 30, dan 32 PP No. 60 tahun 2007,
5. Pasal 2, 6, 30, dan 32 PP No. 6 tahun 2007
6. Pasal 2 dan 3 Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.56/Menhut-II/2006
Berdasarkan pasal-pasal tersebut, permasalahan pengelolaan mangrove
dapat diatasi dengan membuat sistem zonasi yang dapat melindungi kepentingan
pelestarian alam, sekaligus mengakomodir hak masyarakat untuk memanfaatkan
sumberdaya alam untuk kebutuhan hidupnya.
Bila pada UU No. 5/1990 zonasi dalam kawasan taman nasional hanya
dibagi menjadi 3, yaitu: zona inti, zona pemanfaatan, dan zona lainnya, maka pada
aturan turunannya yaitu Permenhut No. P.56/Menhut-II/2006, zonasi dibuat lebih
rinci lagi, yaitu:
1. Zona inti;
2. Zona rimba; Zona perlindungan bahari untuk wilayah perairan;
3. Zona pemanfaatan;
4. Zona lain, antara lain:
1. Zona tradisional;
2. Zona rehabilitasi;
3. Zona religi, budaya dan sejarah;
5. Zona khusus.
Berdasarkan Permen ini, maka ada tiga zona yang masih bisa
dimanfaatkan oleh masyarakat, yaitu zona pemanfaatan, zona lain, dan zona
khusus.
173

Zona tradisional adalah bagian dari taman nasional yang ditetapkan untuk
kepentingan pemanfaatan tradisional oleh masyarakat yang karena kesejarahan
mempunyai ketergantungan dengan sumber daya alam.
Zona khusus adalah bagian dari taman nasional karena kondisi yang tidak
dapat dihindarkan telah terdapat kelompok masyarakat dan sarana penunjang
kehidupannya yang tinggal sebelum wilayah tersebut ditetapkan sebagai taman
nasional antara lain sarana telekomunikasi, fasilitas transportasi dan listrik.
Dari berbagai peraturan tersebut, dapat ditarik suatu benang merah bahwa
pemanfaatan sumberdaya di kawasan lindung seperti Taman Nasional Kutai
masih dimungkinkan, selama pemanfaatan tersebut masih dalam batas aturan yang
diijinkan dan tidak keluar dari tujuan undang-undang, antara lain:
1) Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya bertujuan
mengusahakan terwujudnya kelestarian sumber daya alam hayati serta
keseimbangan ekosistemnya sehingga dapat lebih mendukung upaya
peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia (pasal 3
UU No. 5 Tahun 1990);
2) Tidak melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap
keutuhan kawasan suaka alam (pasal 19 UU No. 5 Tahun 1990);
3) Mengoptimalkan aneka fungsi hutan yang meliputi fungsi konservasi, fungsi
lindung, dan fungsi produksi untuk mencapai manfaat lingkungan, sosial,
budaya, dan ekonomi, yang seimbang dan lestari (pasal 3 poin c UU No. 41
Tahun 1999);
4) Pemanfaatan kondisi lingkungan kawasan pelestarian alam dilakukan dengan
tetap menjaga kelestarian fungsi kawasan. Pemanfaatan jenis tumbuhan dan
satwa liar dilakukan dengan memperhatikan kelangsungan potensi, daya
dukung, dan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa liar (pasal 27 dan
28, UU No. 5 Tahun 1990);
5) Pemanfaatan hasil hutan bukan kayu adalah kegiatan untuk memanfaatkan dan
mengusahakan hasil hutan berupa bukan kayu dengan tidak merusak
lingkungan dan tidak mengurangi fungsi pokoknya. Pemungutan hasil hutan
kayu dan/atau bukan kayu adalah kegiatan untuk mengambil hasil hutan baik
174

berupa kayu dan/atau bukan kayu dengan batasan waktu, luas dan/atau
volume tertentu (pasal 1 PP No. 6 Tahun 2007);
6) Tidak mengurangi, mengubah atau menghilangkan fungsi utamanya;
pengolahan tanah terbatas; tidak menimbulkan dampak negatif terhadap
biofisik dan sosial ekonomi; tidak menggunakan peralatan mekanis dan alat
berat; dan/atau tidak membangun sarana dan prasarana yang mengubah
bentang alam (pasal 24 PP No. 6 Tahun 2007).
Penelitian ini merekomendasikan pemanfaatan sumberdaya kepiting bakau
dari jenis S. serrata, yang merupakan salah satu komoditas bernilai ekonomis
tinggi dari hutan mangrove, sebagai sumberdaya yang dapat dikelola secara
kolaboratif oleh masyarakat. Beberapa alasan yang mendasari pemanfaatan
kepiting bakau di kawasan TNK adalah:
i) kepiting bakau merupakan komoditas perikanan dan merupakan hasil
hutan bukan kayu,
ii) kepiting bakau bukan merupakan komoditas yang tinggal menetap dalam
hutan mangrove, karena mempunyai sifat ruaya, sehingga dalam setiap
tahapan hidupnya menempati lokasi yang berbeda. Kepiting bakau yang
tinggal dalam mangrove adalah kepiting bakau dewasa yang menggunakan
habitat mangrove untuk kawin dan mencari makanan, sedangkan pada
tahap sebelum dewasa kepiting bakau lebih banyak berada di perairan.
iii) pemanfaatan hutan mangrove untuk budidaya sylvofishery tidak
mengambil kayu atau pun merubah bentang alamnya, karena yang
dimanfaatkan hanyalah fungsi ekologis mangrove sebagai habitat (tempat
hidup) kepiting bakau (pemanfaatan kawasan).
iv) Benih kepiting bakau yang digunakan untuk budidaya adalah kepiting
muda (crablets) yang ditangkap di perairan pantai, sehingga sudah berada
di luar batas kawasan TNK.
v) Kepiting dewasa yang dihasilkan dari budidaya sylvofishery sebagian
dapat digunakan untuk restocking induk kepiting di habitat mangrove
TNK, dengan tujuan untuk menjaga keberlanjutan proses reproduksi
kepiting bakau.
175

Berdasarkan alasan-alasan tersebut maka peneliti merekomendasikan


pengembangan budidaya sylvofishery kepiting bakau S. serrata sebagai alternatif
pemanfaatan hutan mangrove yang ramah lingkungan di zona perikanan
berkelanjutan dalam kawasan hutan mangrove TNK.

5.3.2 Penentuan Zonasi Pemanfaatan Scylla serrata di Ekosistem Mangrove


TNK

Satu hal yang tidak dapat ditinggalkan dalam pemanfaatan kawasan hutan
mangrove untuk habitat budidaya kepiting bakau adalah penentuan zonasi yang
tegas sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Belajar dari pengalaman
Taman Nasional Bali Barat dalam sejarah pengelolaan kawasannya, dapat
diketahui bahwa masyarakat lokal yang sudah terlanjur tinggal di dalam kawasan
TN tidak dapat dengan mudah direlokasi ke tempat lain, sebagaimana tidak
mudah juga untuk merubah status kawasan TN. Namun demikian deliniasi zonasi
kawasan yang tegas, dan bersamaan dengan upaya peningkatan kesadaran
mayarakat dalam kawasan untuk menjaga kawasan konservasi pada akhirnya
berhasil menekan permasalahan agar tidak menjadi semakin luas.
Berdasarkan kondisi eksisting penggunaan lahan di kawasan mangrove
TNK, daya dukung dan kesesuaian lahan untuk budidaya sylvofishery kepiting
bakau, dan laju eksploitasi kepiting bakau Scylla serrata serta kondisi sosial
ekonomi budaya masyarakat lokal, maka lokasi yang dapat direkomendasikan
untuk zona pemanfaatan di kawasan mangrove TNK adalah sebagaimana
disajikan pada Gambar 38.
Zona pemanfaatan budidaya sesuai ditempatkan di lokasi Muara Sangatta
karena daya dukung kawasan Muara Sangatta bagi budidaya sylvofishery paling
besar dibanding lokasi yang lainnya. Kawasan ini dapat mendukung budidaya
sylvofishery kepiting bakau sebanyak 490 unit karamba mangrove.
Muara Sangatta merupakan sebuah dusun yang terletak di muara Sungai
Sangatta. Sungai Sangatta sendiri merupakan sungai terbesar yang membelah kota
Sangatta menjadi dua kecamatan, yaitu kecamatan Sangatta Selatan dan
kecamatan Sangatta Utara. Sungai Sangatta juga menjadi batas sebelah utara
wilayah TNK, sehingga kecamatan Sangatta Selatan menjadi masuk dalam
176

wilayah TNK. Hilir Sungai Sangatta berada di kecamatan Singa Geweh dan
bermuara di Selat Makassar.
Informasi yang diperoleh dari Bapak Sidin, ketua RT di Muara Sangatta,
Dusun Muara Sangatta terdiri dari 18 buah rumah yang diisi oleh 23 Kepala
Keluarga (KK) dengan penghuni sebanyak 96 orang dewasa. Dari 23 KK tersebut
semuanya bekerja sebagai nelayan, hanya ada 5 KK yang bekerja sebagai
petambak. Namun dari 5 KK yang bekerja sebagai petambak, hanya 1 orang yang
memiliki tambak sendiri, sementara yang lainnya hanya bekerja untuk menjaga
tambak dengan sistem upah bagi hasil. Luas tambak yang tercatat memiliki girik
di dusun ini sekitar 70 ha, dimana tambak yang produktif hanya sekitar 7 ha saja.
Tambak yang tidak produktif ini umumnya dibiarkan begitu saja, sehingga
bekas-bekas tebangan pohon mangrove tumbuh kembali tunasnya sebagai pokok
trubusan yang berukuran diameter <10 cm, seperti yang telah disampaikan pada
subbab 5.2.1. Hasil pengamatan menunjukkan di lokasi Muara Sangatta,
kerapatan vegetasi adalah 1113 ind/ha, namun ini adalah kerapatan untuk vegetasi
anakan, karena diameternya kurang dari 10 cm.
Parameter fisik kimia lingkungan di Muara Sangatta dicirikan dengan
adanya kerapatan vegetasi, pH substrat, oksigen terlarut, kelimpahan
makrozoobenthos, salinitas air, dan produksi serasah yang lebih rendah bila
dibandingkan dengan lokasi Teluk Perancis, dan Muara Sangkima. Namun pada
lokasi ini justru kepiting lebih banyak diperoleh nelayan dibanding kedua lokasi
yang lain. Dari hasil pengamatan, jarang ditemui kepiting bakau atau pun
lubang/sarangnya pada lokasi yang perakaran mangrovenya sangat padat atau pun
pada lantai mangrove yang banyak mengandung serasah (jenis tanah gambut).
Kepiting banyak membuat lubang di area yang liat atau berlumpur dan tergenang
air, seperti tepi parit, sungai, dan tambak dalam mangrove. Dan kondisi seperti
inilah yang banyak ditemukan di Muara Sangatta, yang merupakan muara sungai
besar. Oleh karena itu, adanya sylvofishery diharapkan dapat memanfaatkan
lahan-lahan kritis bekas tambak tersebut, setelah dilakukan rehabilitasi mangrove.
Zona penangkapan kepiting bakau S. serrata sesuai diletakkan di lokasi
Muara Sangkima, karena tekanan penangkapan kepiting bakau di lokasi ini paling
rendah. Lokasi Muara Sangkima yang jauh dari pemukiman membuat tekanan
177

penangkapan sumberdaya S. serrata di lokasi ini relatif lebih rendah dibanding


pada lokasi Muara Sangatta dan Teluk Perancis.

Zonasi Pemanfaatan Mangrove W


N

E
11724' 11727' 11730' 11733' 11736' 11739' 11742' 11745'
S

S. H
S. Masa

030' am 030' 4 0 4 Kilometers


oas
Lab
b

S. Palu
S.

ga
A_Muara Sangatta

Na

S. Pari
S. Keluang LEGENDA:
b S.
027' 027'

b
t
Sira
S. r Stasiun
n gkapu
na B_Teluk Perancis
S. A Zona perikanan
S.
Ni
024'
pah
024'
tangkap scylla
S. S. Nipah
Pa
da
Kecil
SELATMAKASSAR Zona sylvofishery scylla
Sungai
ng

021' b 021'
Batas TNK
S.

C_Muara Sangkima tambak


Se
lim

nipah
pu
s

mangrove
018' S. K
end
S. Kenduung 018' kawasan hutan lain
ulu
TN Kutai
il Sumber Peta:
K ec
015' Danau Besar
lam 015' 1. Peta RBI, Bakosurtanal
da SARAWAK Tahun 1991, 1:250.000
luk
. Te 2. Citra Terra Aster, Tahun 2005
S KALIMANTANTIMUR
S.
012' Ken
ibu 012'
mputu ng
k

11724' 11727' 11730' 11733' 11736' 11739' 11742' 11745'


Disusun oleh:
Nirmalasari Idha Wijaya
mayor Pengelolaan SD Pesisir Laut IPB

Gambar 38 Peta zonasi pemanfaatan hutan mangrove TNK.

Hal lain yang mendukung Muara Sangkima sebagai zona penangkapan


adalah walaupun di lokasi ini banyak dibuat tambak, namun kondisi vegetasi
mangrove masih baik dengan kerapatan sangat padat. Hal ini mungkin
dipengaruhi oleh tidak adanya pemukiman di kawasan tersebut. Pemukiman yang
ada hanya sebatas pondok-pondok tempat tinggal penjaga tambak. Sehingga
pemanfaatan mangrove yang merusak, juga relatif rendah.
Zona perlindungan mangrove, sekaligus zona perlindungan S. serrata
sesuai bila diletakkan di lokasi Teluk Perancis. Teluk Perancis termasuk dalam
dusun Teluk Lombok, Desa Sangkima. Di lokasi Teluk Perancis sendiri tidak ada
pemukiman penduduk, namun di Dusun Teluk Lombok ada pemukiman penduduk
yang cukup ramai karena berada di area perusahaan minyak Pertamina. Teluk
Lombok juga merupakan kawasan wisata pesisir.
178

Mangrove di Teluk Perancis relatif masih utuh dibandingkan dengan Muara


Sangatta. Pohon dengan diameter besar masih banyak ditemukan. Penebangan
pohon ditemukan pada beberapa lokasi yang dijadikan tambak. Sebagian besar
tambak sudah tidak produktif lagi, dan menjadi lahan kritis. Kerapatan pohon di
Stasiun Teluk Perancis TNK 550 pohon/ha, dbh rata-rata 12.87 cm, basal area
7.421 m2/ha. Jenis yang dominan adalah Rhizophora apiculata dengan INP =
184.650%. Jenis mangrove Rhizophora mempunyai bentuk perakaran tongkat
yang saling menyilang untuk mempertahankan kedudukannya pada substrat yang
tidak stabil, demikian juga dengan Bruguiera yang mempunyai jenis perakaran
lutut. Padatnya perakaran ini menyebabkan tidak ada ruang gerak dan ruang untuk
membuat lubang persembunyian yang terendam air pada lantai dasar mangrove
bagi S. serrata.
Indikator yang menunjukkan bahwa potensi S. serrata di Teluk Perancis
rendah adalah laju eksploitasi faktual di atas laju eksploitasi maksimal, ini
menunjukkan bahwa tekanan penangkapan sudah cukup tinggi dan sulit untuk
memperoleh kepiting S. serrata di lokasi ini.
Di sisi lain, kondisi vegetasi mangrove di Teluk Perancis yang relatif lebih
bagus dibandingkan mangrove di Muara Sangatta merupakan suatu alasan untuk
menjadikan kawasan ini sebagai zona perlindungan mangrove. Sebagai zona
perlindungan mangrove, kawasan ini sekaligus juga merupakan zona perlidungan
kepiting bakau. Artinya, di kawasan ini tidak boleh dilakukan upaya pemanfaatan
S. serrata, baik berupa penangkapan maupun pembudidayaan.

5.3.3 Pengelolaan Perikanan Tangkap S. serrata

Analisis terhadap laju eksploitasi S. serrata di kawasan mangrove TNK


secara umum, kecuali di Muara Sangkima, menunjukkan adanya indikasi tangkap
lebih (overexploitation) di kawasan ini, sehingga diperlukan pengelolaan
perikanan tangkap S. serrata.
Freon et al. dalam Yanuar (2008) menyebutkan bahwa mekanisme
pengaturan dalam pengelolaan perikanan dapat dibagi menjadi enam kategori:
pengaturan ukuran ikan; pengaturan kuota, pengaturan kapasitas armada tangkap,
pengaturan standar pengusahaan penangkapan ikan, pengaturan musim tangkap,
179

penutupan area dan penentuan kawasan lindung terkait dengan kawasan


penangkapan.
Yanuar (2008) dalam tesisnya menyatakan bahwa aturan optimasi jumlah
alat tangkap serta penangkapan ikan tertentu hanya dalam bulan-bulan tertentu,
hanya akan berhasil apabila hal ini diterapkan dalam aturan pengelolaan zona
pemanfaatan perikanan tradisional. Penekanan ini biasanya tidak cukup, karena
umumnya dampaknya tidak segera dirasakan dan ketika dampaknya dirasakan
(jumlah hasil tangkapan bertambah dan ukuran ikan meningkat) akan merangsang
kembali tingkat pemanfaatan yang lebih tinggi. Sanchirico et al. dalam Yanuar
(2008) juga menyatakan bahwa kawasan lindung dapat menyediakan
perlindungan terhadap habitat kritis, situs bersejarah serta keanekaragaman hayati
namun fungsinya untuk meningkatkan pengelolaan perikanan dampaknya sering
tidak terlihat. Hal ini terjadi karena fakta bahwa kawasan lindung hanya
mengobati gejalanya tapi tidak mengobati masalah fundamental terjadinya
tekanan pemanfaatan yang tinggi. Diperlukan keterpaduan terhadap kompleksitas
interaksi antara faktor-faktor biologi, ekonomi dan institusi. Penekanan diberikan
pada bagaimana memberikan insentif kepada nelayan yang beroperasi di kawasan
lindung agar mau berperan terhadap faktor-faktor tersebut sehingga efektifitas
kawasan lindung, khususnya terhadap peningkatan pengelolaan perikanan, dapat
tercapai. Peluang untuk tercapainya tujuan tersebut masih terbuka mengingat
skala usaha nelayan umumnya adalah perikanan skala kecil. Perikanan skala kecil
secara ekologis lebih efisien, menghasilkan lapangan kerja yang lebih banyak dan
lebih berkelanjutan dibandingkan perikanan skala besar atau skala industri (Pauly
dalam Yanuar 2008).
Panayotou (1982) menyatakan bahwa pendekatan pengelolaan sumberdaya
perikanan seperti penetapan alat tangkap, penetapan musim, atau penutupan
daerah penangkapan secara sementara atau permanen bertujuan untuk membatasi
ukuran dan umur ikan ketika ditangkap. Pendekatan seperti penetapan kuota
bertujuan untuk membatasi jumlah upaya penangkapan serta jumlah kepiting
bakau yang ditangkap. Bentuk pendekatan lainnya bertujuan membentuk iklim
yang kondusif yang memungkinkan nelayan melakukan sendiri pengendalian dan
pengawasan penangkapan kepiting bakau. Langkah-langkah ini selanjutnya akan
180

menjadi dasar pengelolaan S. serrata pada masing-masing lokasi di TNK,


walaupun tidak seluruh langkah ini harus dilakukan, namun perlu melihat kondisi
bioekologi kepiting S. serrata pada lokasi tersebut.
Demikian pula yang terjadi di kawasan mangrove TNK, pengelolaan
kawasan hutan mangrove baru akan berhasil bila zonasi pemanfaatan dan
pengaturan penangkapan S. serrata dalam kawasan diterapkan secara bersamaan.
Kondisi ekobiologi S. serrata di habitat mangrove TNK telah dipaparkan
secara rinci di bab sebelumnya. Beberapa hal dari kondisi ekobiologi tersebut
penting sebagai dasar untuk pengelolaan perikanan tangkap S. serrata. Perikanan
tangkap S. serrata berdasarkan hasil analisis daya dukung dan pertimbangan
kondisi ekobiologi S. serrata hanya bisa dilakukan di lokasi Muara Sangatta dan
Muara Sangkima, yang disarankan sebagai zona pemanfaatan budidaya dan zona
pemanfaatan tangkap. Sedangkan lokasi Teluk Perancis lebih sesuai untuk zona
perlindungan mangrove, sekaligus zona perlindungan S. serrata. Beberapa hal
penting yang perlu diperhatikan dalam kebijakan pengelolaan perikanan tangkap
S. serrata di lokasi Muara Sangatta dan Muara Sangkima adalah:

1) Penutupan daerah penangkapan kepiting bakau


Penutupan daerah penangkapan kepiting bakau dilakukan berdasarkan
prinsip zonasi pemanfaatan yang telah dibahas sebelumnya. Penangkapan kepiting
bakau S. serrata hanya diijinkan di lokasi Muara Sangkima yang merupakan zona
pemanfaatan perikanan tangkap. Di lokasi ini S. serrata dapat ditangkap di dalam
hutan mangrove, sesuai dengan kuota yang telah ditentukan berdasarkan kondisi
biologi S. serrata. Zona terbuka dan tertutup bagi penangkapan S. serrata dapat
dilihat pada Gambar 39.
Lokasi Teluk Perancis merupakan zona perlindungan yang ditutup bagi
penangkapan kepiting bakau. Demikian juga di lokasi Muara Sangatta, yang
disarankan sebagai zona pemanfaatan budidaya TNK, juga tidak boleh dilakukan
penangkapan di dalam areal hutan mangrove. Namun demikian penangkapan
benih kepiting di perairan pantai masih memungkinkan karena sudah berada di
luar kawasan TNK.
181

ZONA BUKA TUTUP N

PENANGKAPAN S. SERRATA W E
11731' 11732' 11733' 11734' 11735' 11736' 11737' 11738'
S

S.
a
026' aboasam Nag

S. Palu
A_Muara Sangatta 026'
1 0 1 Kilometers
L S. b
S. Keluang S. Pari
025' 025'
b S. Ruh
LEGENDA :
Zona Terbuka
024' 024'
S. Sirat B_Teluk Perancis Zona Tertutup
Kawasan TN Kutai
S. N S. An
023' i pah angka 023' Sungai kecil
pur
Batas tnk
SELAT MAKASSAR
022' 022'
Sumber Peta:
1. Peta RBI, Bakosurtanal, Tahun 1991
021' 021' skala 1 : 250 000
S. 2. Citra Terra Aster Tahun 2005
Pa 3. Peta Dasar TNK, Balai TNK, Tahun 2005
da
020' b
ng
C_Muara Sangkima 020'

019' 019'
SARAWAK
KALIMANTANTIMUR
018' 018'
Dibuat oleh:
S. Kenduung Nirmalasari IdhaWIjaya
PengelolaanPumberdaya Pesisir dan Laut
11731' 11732' 11733' 11734' 11735' 11736' 11737' 11738'

Gambar 39 Zona Terbuka dan Tertutup bagi Penangkapan Scylla serrata di


Kawasan Mangrove TNK.

2) Penutupan Musim Penangkapan Kepiting Bakau


Penutupan musim penangkapan kepiting bakau merupakan pendekatan
manajemen yang umumnya dilakukan di negara yang sistem penegakan
hukumnya sudah maju. Pelaksanaan pendekatan ini berdasarkan sifat sumberdaya
kepiting bakau yang sangat bergantung pada musim. Musim kepiting bakau
bergantung pada siklus hidup kepiting bakau yang lahir, besar, dan mati pada
waktu tertentu. Dengan mempertimbangkan musim kepiting bakau ini,
manajemen sumberdaya kepiting bakau dengan cara penutupan musim
penangkapan dapat dilakukan.
Ada dua bentuk penutupan musim penangkapan kepiting bakau. Pertama,
menutup musim penangkapan kepiting bakau pada waktu tertentu untuk me
mungkinkan kepiting bakau dapat memijah dan berkembang. Kedua, penutupan
kegiatan penangkapan kepiting bakau karena sumberdaya kepiting bakau telah
mengalami degradasi dan kepiting bakau yang ditangkap semakin sedikit. Oleh
182

karena itu, kebijakan penutupan musim harus dilakukan untuk membuka peluang
pada sumberdaya kepiting bakau yang masih tersisa untuk memperbaiki
populasinya.
Indikator yang dapat dipakai untuk menunjukkan waktu penutupan atau
pembukaan kegiatan penangkapan kepiting bakau adalah status siklus hidup dari
sumberdaya kepiting bakau itu sendiri. Jika berdasarkan bukti-bukti ilmiah
diketahui waktu kepiting bakau kawin, memijah, atau mengasuh anaknya, waktu
itu harus dipertimbangkan sebagai musim penangkapan kepiting bakau ditutup.
Pada lokasi Muara Sangatta rekruitmen kepiting S. serrata terjadi pada
bulan Oktober, Januari, Desember dan Maret, dengan frekuensi induk matang
gonade TKG IV tertinggi pada bulan Februari-Maret dan bulan Juli-Agustus. Oleh
karena itu kebijakan penutupan musim penangkapan pada bulan Februari-Maret-
April dan Juli-Agustus perlu dilakukan untuk mencegah tertangkapnya induk
betina yang matang gonade dan kepiting juvenil.
Pada lokasi Muara Sangkima diduga rekruitmen kepiting S. serrata jantan
terjadi pada bulan Februari dan April, sedangkan S. serrata betina terjadi pada
bulan bulan Januari dan April. Puncak tertangkapnya induk betina matang gonade
pada bulan Februari. Oleh karena itu perlu dilakukan kebijakan penutupan musim
penangkapan pada bulanFebruari-April.
Untuk menganalisis apakah penutupan musim penangkapan dapat
berpengaruh pada pendapatan nelayan, maka dilakukan tabulasi data RPUE j ,
puncak rekruitmen, dan hasil tangkapan (catch) seperti terlihat pada Gambar 40.
Gambar 40 menunjukkan bahwa secara umum alokasi upaya penangkapan
(RPUEj) akan meningkat seiring dengan meningkatnya hasil tangkapan dan
meningkatnya kelimpahan induk S. serrata matang gonade TKG IV. Bila pada
bulan tersebut dilakukan penutupan musim penangkapan kepiting bakau, hal ini
dapat berarti akan terjadi penurunan pendapatan nelayan kepiting bakau dan
pasokan kepiting bakau ke pasar menjadi berkurang atau berhenti sama sekali.
Namun kemungkinan ini dapat diantisipasi melalui produksi S. serrata dari hasil
budidaya sylvofishery, yang akan dibahas pada bagian berikutnya.
183

Gambar 40 Dinamika RPUE j , kelimpahan TKG IV S. serrata, dan hasil


tangkapan S. serrata pada Tahun 2009.

Kebijakan penutupan musim penangkapan kepiting bakau dapat di-


implementasikan secara baik dengan cara pengendalian dan pengawasan di basis-
basis pemukiman nelayan untuk mencegah mereka melakukan kegiatan
penangkapan kepiting bakau. Meski demikian, pengawasan langsung di lapangan
atau di daerah penangkapan kepiting bakau masih perlu dilakukan untuk
menjamin bahwa penutupan musim ini berlangsung secara efektif. Selain itu,
perlu juga dilakukan pengawasan di pasar karena seringkali adanya permintaan
konsumen menjadi pendorong bagi nelayan untuk melanggar peraturan.

3) Pembatasan alat tangkap kepiting bakau


Kebijakan atau pendekatan pembatasan/selektivitas alat tangkap dalam
manajemen sumberdaya kepiting bakau adalah metode pemilihan alat
penangkapan kepiting bakau yang bertujuan untuk mencapai atau
mempertahankan struktur umur yang paling produktif dari stok kepiting bakau.
Kebijakan ini mempunyai tujuan memberi kesempatan pada kepiting bakau yang
produktif untuk bereproduksi dalam rangka mempertahankan keberlanjutan
populasi S. serrata di alam. Dengan kata lain, penangkapan kepiting bakau
dilakukan secara selektif hanya pada kepiting bakau yang tidak masuk dalam
kategori ini. Dengan cara demikian, penangkapan kepiting bakau dapat dilakukan
secara kontinyu karena kepiting bakau yang tidak ditangkap memiliki kesempatan
184

untuk bereproduksi dan menghasilkan kepiting bakau muda yang akan


berkembang dan memiliki kemampuan bereproduksi. Penangkapan kepiting
bakau secara selektif berarti menjaga kontinyuitas kegiatan penangkapan kepiting
bakau sehingga keberlanjutan sumberdaya kepiting bakau terjamin.
Alat tangkap rakkang, yang cenderung menangkap kepiting yang
berukuran kecil, direkomendasikan untuk digunakan pada lokasi zona depan hutan
mangrove TNK. Alasan yang mendasarinya adalah karena pada lokasi ini
cenderung lebih banyak terdapat kepiting muda yang berukuran kecil, sehingga
dapat dijadikan sebagai benih pada budidaya sylvofishery.
Pengaturan yang perlu dilakukan adalah pada ukuran diameter bukaan
mulut rakkang. Diameter mulut rakkang diatur agar berukuran kurang dari 100
mm, sehingga hanya kepiting yang berukuran benih saja yang akan tertangkap,
sedangkan kepiting yang berukuran besar (terutama induk betina) tidak dapat
masuk ke dalam rakkang.
Kepiting berukuran kecil ini bila ditangkap terus menerus akan
menyebabkan habisnya stok induk di alam, karena kematian alami dari induk
yang tidak tertangkap. Oleh karena itu, restoking induk dari sebagian hasil panen
budidaya sylvofishery merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan, sebagai
kompensasi atas sumberdaya yang telah diambil dari alam.
Alat tangkap rengge, yang cenderung menangkap hasil sampingan berupa
induk S. serrata matang gonade yang sedang beruaya ke laut untuk memijah,
sebaiknya tidak digunakan, terutama pada bulan-bulan dimana terjadi puncak
frekuensi induk betina matang gonade.
Alat tangkap pengait dapat digunakan pada zona penangkapan kepiting
bakau di tengah hutan mangrove. Alat pengait cukup selektif menangkap kepiting
yang berukuran besar. Selain itu penangkapan di zona tengah hutan mangrove
juga berpotensi lebih besar memperoleh kepiting jantan. Penangkapan kepiting
jantan akan membantu terbentuknya keseimbangan rasio kepiting jantan : betina
dalam hutan mangrove.
Pelarangan jenis alat tangkap tertentu dapat dilakukan secara permanen atau
sementara waktu, kebijakan ini dilakukan untuk melindungi sumberdaya kepiting
185

bakau dan penggunaan alat tangkap yang merusak atau destruktif yang memang
dilarang.

4) Pengaturan jenis kelamin tangkapan kepiting bakau


Ratio jantan betina pada zona tengah hutan dan depan hutan mangrove
yang didominasi oleh kepiting jantan menunjukkan bahwa terjadi pergeseran
keseimbangan jumlah individu jantan dan individu betina (Gambar 41) .

tengah hutan depan hutan perairan

0,47 1 jantan
0,85
1
1 2,5 betina

Gambar 41 Rasio jantan betina pada tiga zona hutan mangrove.

Jumlah individu jantan yang mendominasi dari sudut pandang reproduksi


tidak menguntungkan, karena kepiting betina hanya memerlukan satu kali proses
kopulasi untuk tiga kali lebih periode bertelur. Kepiting bakau betina memiliki
spermatecha yang dapat menyimpan sperma dari kepiting jantan hingga beberapa
bulan (Phelan & Grubert 2007). Dengan sifatnya ini, maka jumlah jantan yang
lebih banyak dari betina menjadi tidak efektif. Untuk itu disarankan penangkapan
kepiting bakau lebih diutamakan menangkap kepiting dengan jenis kelamin
jantan. Penangkapan dengan alat tangkap pengait dapat mendukung saran ini
karena penangkapan di lubang cenderung memperoleh kepiting jantan.

5) pemberlakuan kuota penangkapan kepiting bakau


Pemberlakuan kuota penangkapan kepiting bakau dapat dialokasikan
menurut alat tangkap, kelompok nelayan, atau daerah penangkapan kepiting
bakau. Namun pada pengelolaan perikanan tangkap S. serrata di TNK, kuota
penangkapan dapat diterapkan sesuai daerah penangkapannya. Laju eksploitasi
kepiting jantan dan betina di Muara Sangatta, keduanya sudah melebihi ambang
batas maksimum, sehingga tidak boleh dilakukan penambahan upaya untuk
penangkapan S. serrata, baik berupa penambahan unit alat tangkap, frekuensi
186

penangkapan, maupun dari jumlah nelayannya. Kuota tangkapan yang dapat


diberikan adalah berkisar antara 6 563 - 10 261 ton/tahun. Kuota penangkapan ini
diperoleh dari angka pendekatan dari hasil analisis laju eksploitasi, yaitu perkiraan
potensi S. serrata sebesar 18 488.80 kg/th dikalikan dengan laju eksploitasi
maksimal yang diperbolehkan yaitu terendah 0.355 sampai 0.555. Namun hasil
simulasi sistem dinamik menunjukkan bahwa terjadi peningkatan kuota tangkapan
setelah ada perbaikan dalam pemanfaatan mangrove, sehingga konversi mangrove
yang semakin menurun akan menambah potensi stok S. serrata.

6) Restoking kepiting bakau


Pengendalian yang dilakukan untuk menjaga kelangsungan hidup dari
kepiting bakau dengan tetap menjaga keseimbangan ekonomi masyarakat adalah
dengan menggunakan metode restoking yaitu perbaikan kondisi kelimpahan
kepiting bakau di suatu daerah dengan mengambil jenis kepiting bakau dari
daerah lain untuk ditebarkan di daerah yang mengalami degradasi kepiting bakau.
Restoking dapat juga dilakukan dengan mengembalikan ke alam sebagian dari
hasil panen budidaya sylvofishery yang dilakukan oleh masyarakat. Pengembalian
hasil panen, terutama jenis kepiting betina diharapkan dapat menjaga ketersediaan
stok induk betina di alam.
Penerapan metode ini dapat dilakukan pada saat penutupan daerah
penangkapan kepiting bakau. Beberapa hal yang harus diketahui untuk
menggunakan metode ini adalah pertama, kesesuaian parameter lingkungan
dimana kepiting bakau dapat bertahan hidup diantaranya parameter fisika, kimia
dan biologi. Kedua, harus diketahui bioekologi dari kepiting bakau sendiri.
Kelemahan dari metode ini adalah akan terjadi homogenitas spesies karena
kebanyakan kepiting bakau yang ditebarkan harus beradaptasi dengan lingkungan
baru sehingga peluang hidupnya akan kecil.
Lokasi Muara Sangatta yang melimpah kepiting berukuran kecil menjadi
sumber benih bagi budidaya sylvofishery, dan juga merupakan sumber restoking
induk (dari hasil budidaya pembesaran sylvofishery) untuk ditebar di lokasi lain
(Teluk Perancis) yang sesuai sebagai zona perlindungan bagi kepiting bakau.
187

Restoking induk betina di lokasi Teluk Perancis perlu dilakukan untuk


menyeimbangkan ratio jantan betina karena cukup besar rationya yaitu 1:0.47 dan
menjadikan kawasan ini sebagai bank benih S. serrata. Induk betina S. serrata
yang akan digunakan untuk restoking adalah kepiting yang berasal dari hasil
panen sylvofishery. Hasil analisis sistem dinamik menunjukan 1% dari hasil panen
yang dikembalikan ke alam akan memperbaiki stok kepiting bakau dan
meningkatkan produksi sebanyak 6 ton pada tahun berikutnya.

5.3.4 Pengembangan Budidaya Sylvofishery S. serrata


Salah satu pendekatan pengelolaan sumberdaya kepiting bakau untuk
mengurangi upaya penangkapan adalah dengan melakukan kegiatan budidaya.
Tujuannya, meningkatkan nilai ekonomi kepiting bakau yang ditangkap serta
meningkatkan kinerja ekonomi masyarakat dan mengurangi upaya penangkapan
kepiting bakau yang berlebihan di ekosistem mangrove.
Pada dasarnya, secara ekologis kegiatan budidaya bertujuan untuk tetap
menjaga keberadaan siklus hidup dari kepiting bakau, karena kegiatan budidaya
yang dilakukan adalah mulai dari proses perkawinan, pemijahan, pemeliharaan
(dimana benih awalnya diambil dari alam) sampai pada ukuran kepiting mencapai
ukuran dewasa yang dapat dipanen tanpa mengganggu kehidupan alami dari
kepiting bakau. Hasil analisis terhadap parameter pertumbuhan menunjukkan
bahwa konstanta pertumbuhan (K) kepiting S. serrata pada budidaya pembesaran
sylvofishery mencapai nilai 4.2 sedangkan konstanta pertumbuhan kepiting yang
hidup di alam berkisar antara 0.45-1.5. Adanya perlakuan budidaya seperti
pemberian pakan dan pengendalian terhadap kualitas perairan diduga merupakan
faktor-faktor yang mendorong tingginya konstanta pertumbuhan pada S. serrata.
Konstanta pertumbuhan yang lebih baik pada budidaya sylvofishery merupakan
alasan yang mendasar untuk merekomendasikan kegiatan budidaya sylvofishery di
habitat mangrove TNK.
Secara sosial-ekonomi dengan kegiatan budidaya dapat merubah pola
hidup dari masyarakat yang awalnya sebagai penangkap beralih fungsi sebagai
pemelihara kepiting bakau, dan dari kegiatan budidaya dapat mencukupi seluruh
kebutuhan masyarakat.
188

Namun pada kondisi teknologi budidaya kepiting bakau yang ada saat ini,
dimana hatchery (pembenihan) kepiting bakau belum banyak dilakukan. Hanya
pada beberapa balai budidaya besar seperti di Maros Sulsel dan di Gondol Bali
saja yang sudah berhasil melakukan pembenihan. Hasil penelitian Juwana (2004)
larva kepiting bakau yang dipijahkan di P. Pari maupun di laboratorium tidak
dapat berkembang ke zoea III karena adanya kontaminasi jamur dan bakteri
patogen. Ketersediaan benih kepiting S. serrata dari hatchery belum mencukupi
kebutuhan budidaya, maka benih dari hasil tangkapan alam merupakan satu-
satunya pilihan.
Walaupun budidaya kepiting bakau di Muara Sangatta dilakukan dengan
benih dari tangkapan alam, namun bukan berarti upaya ini tidak memberikan nilai
positif bagi lingkungan. Karena selama ini, nelayan langsung menjual begitu saja
kepiting hasil tangkapannya, sehingga terkadang nilai ekonomi yang diperoleh
rendah sekali karena kepiting yang ditangkap berukuran kecil. Nelayan perlu
mengambil kepiting kecil lebih banyak untuk memenuhi kebutuhan ekonominya.
Dengan adanya budidaya ini, nilai jual kepiting bakau dapat ditingkatkan
sehingga dengan jumlah tangkapan lebih sedikit dapat memperoleh nilai ekonomi
yang lebih besar. Nilai ekonomi ini dapat meningkatkan lebih tinggi lagi, apabila
teknologi budidaya dapat ditingkatkan untuk jenis komoditas yang lebih tinggi
nilai ekonominya seperti kepiting bertelur atau kepiting soka (kepiting lunak).
Secara ekologis, kawasan ini dapat mendukung bagi budidaya sylvofishery
kepiting bakau sebanyak 490 unit karamba mangrove, yang berukuran 10 x 20 m,
dengan tingkat kepadatan benih 300-500 ekor/unit atau sebesar 1.5-2.5 ekor/m2.
Bila di kawasan ini digunakan untuk lokasi budidaya sylvofishery kepiting
bakau sesuai daya dukung yang ada, maka diperlukan kurang lebih 244 862 ekor
benih S. serrata/musim tanam, sedangkan ketersediaan benih di lokasi tersebut
adalah 31 363 ekor benih. Kekurangan benih S. serrata harus diambil dari
kawasan mangrove daerah lain yang merupakan kawasan pemanfaatan umum.
Angka tersebut di atas diperoleh berdasarkan perhitungan sebagai berikut:
produksi kepiting bakau (empat spesies) tahun 2008 = 12.1 ton (data statistik
Dinas KP Kutim 2009) bila diasumsikan S. serrata = 80% dari total (Cholik &
Hanafi 1991), maka eksploitasi tahun 2008 = 7.26 ton. Berdasarkan hasil analisis
189

dengan FISAT II diketahui laju eksploitasi maksimum jantan adalah 45.7 % dan
betina 40.7 % (rata-rata 43.2 %). produksi maksimum S. serrata adalah = 7.26 x
0.455 = 3.033 ton, dengan asumsi per ekor S. serrata = 100 gram, maka tersedia
benih = (3.033 x 1.000.000)/100 = 30 333 ekor benih.
Budidaya sylvofishery direkomendasikan dilakukan di lokasi Muara
Sangatta, tidak mesti dilakukan pada kawasan yang masih memiliki vegetasi
mangrove yang baik. Penelitian Trio dan Rodriguez (2002) di Aklan, Philipina
menunjukkan bahwa kepiting bakau dapat tumbuh dengan baik di lokasi
mangrove yang sedang direhabilitasi (reforested mangrove). Hasil yang paling
menguntungkan adalah budidaya dengan kepadatan benih 1.5 ekor/m2 dan
pemberian pakan campuran 75% kerang coklat dan 25% ikan rucah yang diasin.
Mengacu pada hasil penelitian ini, maka lokasi Muara Sangatta yang banyak
terdapat lahan kritis bekas tambak yang tidak produktif lagi, sangat potensial di-
reforestasi untuk budidaya sylvofishery.
Dengan adanya reforestasi ini, maka minimal akan diperoleh dua
keuntungan, yaitu mengembalikan kondisi hutan mangrove menjadi lebih baik
dan keuntungan dari hasil budidaya sylvofishery kepiting bakau untuk
peningkatan kesejahteraan masyarakat lokal.

5.3.5 Model pengelolaan sumberdaya S. serrata di habitat mangrove TNK

Model pengelolaan sumberdaya S. serrata dikembangkan melalui


dinamika interkoneksi antar parameter kunci seiring dengan perubahan waktu dari
sistem ekologi-ekonomi-sosial yang dikaji dalam penelitian ini. Konsep dasar
perumusan model mengacu pada efek berantai, dimana terjadinya perubahan
dalam parameter pengelolaan dapat mempengaruhi sistem keberlanjutan
pengelolaan sumberdaya S. serrata.
Perumusan dalam model yang dibangun didasarkan pada model
matematika sederhana. Perangkat lunak yang digunakan untuk merumuskan
model yang dibangun dalam penelitian ini yakni Powersim Studio 2005.
Selanjutnya model pengelolaan sumberdaya Scylla serrata ini disebut dengan
model CRASYMAN (Crab Sylvofishery Management).
sub mode l budidaya
sub mode l mangrove sylvofishe ry

harga_be nih
fraksi_pe manft_mgr TK
konve rsi_biomass_ biaya_be nih
SR_bddy
pe r e kor

zona_pe manft_mgr
luas_mgr DD_Lingk pane n_bddy
prose s_bddy prod_bddy biaya_bddy
pe rluasan
pakan
Konstanta_ juml_ unit_
pe nambh_mgrv karamba
pe nambh_mgr
HSI fraksi re stock_induk
te bang_mgr SI_VEG padat_te bar_
be nih_pe r_ re stock_induk
be nih
karamba
SI_SUB
SI_KA
prluasn_pmukimn
konve rsi_mgrv
vol_prod_bddy
fraksi_be nih
re habilitasi mgr stok_be nih
konve rsi_bobot_
konst_tambak tambak pe ngaruh_luas_ pane n
mgrv_thd pote nsi
scylla

sub mode l sosial


re rata_ke limphn_
pe ngaruh ke sadarn scylla 23,188.96 k g /yr
e _max
lingk_thd konve rsi
mgrv

pote nsi_scylla
tkt_ ke sadaran_lingk
laju_pote nsi stok_scylla
pe ningkatan_pe nge pe nge tahuan_
tahuan kadaluarsa
produksi_scyl
fraksi_pe nge tahuan
_kadaluarsa e _fact
stok_tkp
pe ngaruh_dana_pe
nddk_te rhadap_pe alokasi_dana_ kuota_tkp prod_tkp
nge tahuan pe ndidikan
fraksi_pe ngaturan_
pe ndpt_klg tangkap

fraksi_dana_pe ddk sub mode l pe nangkapan


pe ndapatan_lain Z
M F
jml_klg

biaya_tkp harga_scylla
ke unt_bddy

sub mode l e konomi

ke unt_tkp

pe ndapatan_scylla

ke unt_total

Gambar 42 Diagram alir stok (SFD) model pengelolaan S. serrata di habitat mangrove TNK.
191

Langkah awal pengembangan model pengelolaan sumberdaya S. serrata di


habitat mangrove TNK adalah merumuskan model secara matematis, lalu
memasukkan nilai-nilai parameter yang diperoleh pada analisis sebelumnya ke
dalam model yang dibangun dan terakhir dilakukan analisis model.
Nilai-nilai atribut yang digunakan untuk membangun dan menganalisis
model keberlanjutan pengelolaan sumberdaya S. serrata di habitat mangrove TNK
disajikan pada Tabel 28 dan diagram alir stok disajikan pada Gambar 42.

Tabel 28 Nilai dugaan parameter pada model pengelolaan sumberdaya S. serrata


di habitat mangrove TNK
Nilai
Submodel dan Parameter Keterangan
Dugaan
I Submodel Mangrove
1. initial luasan mangrove (ha) 5277.79 Hasil analisis citra Terra Aster 2005
2. laju perluasan mangrove (ha/th) var 7 var 6
3. penebangan kayu mangrove (ha/th) 12.25 Analisis trend/rata-rata)
4. perluasan pemukiman (ha/th) 13 Analisis trend/rata-rata
5. pembukaan tambak (ha/th) 10 Analisis trend/rata-rata
6. laju konversi mangrove (ha/th) var 3 + var 4 + var 5
7. pertambahan luas mangrove (ha/th) 0.257 var 1 * var 9
8.zona pemanfaatan mangrove (ha) 1 028.85 var 1 * var 10
9. konstanta pertambahan luas (%/th) 0.05 Data sekunder (Laju akresi)
10. konstanta fraksi zona 20 Dahuri (2003)
pemanfaatan mangrove (%)
11. Habitat Suitability Index (HSI) 0.622 Hasil Analisis HSI (Data Primer
(tanpa unit satuan/TS) Yang Diolah 2009)
12. daya dukung lingk untuk S. 19 688.60 var 11 * var 10 * var 24
serrata (kg/th)
II Submodel Penangkapan S. serrata
13. potensi S. serrata (kg/th) 22 192.43 Analisis Deskriptif (Data Primer
Yang Diolah 2009)
14. produksi tangkapan S. serrata per 6 800 Analisis Deskriptif (series data
tahun (kg/th) diolah 2005-2009)
15. laju potensi S. serrata 18 488.80
16. laju eksploitasi faktual (TS) 0.556 Z /F
17. Z = total laju mortalitas (TS) 2.41 Hasil olahan FISAT (Data Primer
Yang Diolah 2009)
18. M = laju mortalitas alami (TS) 1.07 Hasil olahan FISAT (Data Primer
Yang Diolah 2009)
19. F = laju mortalitas penangkapan 1.34 Var 17 var 18
(TS)
20. fraksi pengaturan tangkap (%) 100 Asumsi kebijakan penangkapan
100%
21. rerata eksploitasi maksimal (TS) 0.455 Hasil olahan FISAT (Data Primer
Yang Diolah 2009)
192

Nilai
Submodel dan Parameter Keterangan
Dugaan
22. stok total S. serrata (kg/th) 10 030.98 var13 * var 21
23. stok tangkapan S. serrata (kg/th) 4 011.96 Stok total stok benih
24. rerata kelimpahan S. serrata 43.1 var 13 / var 1
(kg/ha.th)
III Submodel Budidaya S. serrata
25. jumlah unit karamba (unit) 490 var 12 / var 25
26. konstanta padat tebar benih/unit 30 Trio & Rodriguez (2002)
(kg/unit)
27. stok benih untuk budidaya (kg/th) 6 018.59 var 22 * var 28
28. fraksi stok benih (%) 60 Scientist judgement
29. ketersediaan padat tebar benih 60 var 27 / var 25
budidaya (kg/unit)
30. SR budidaya (TS) 0.76 Hasil analisis data primer 2010
31. konversi biomass per ekor 4 Hasil analisis data primer 2010
(ekor/kg)
32. panen budidaya (ekor/th ) 117 884 Var 29*var 30*var 31
33. fraksi restoking induk (%) 1 Warner (1977)
34. restoking induk S. serrata 1 167 var 33*var 34
(ekor/th)
35. produksi budidaya (ekor/th) 116 705 var 32 var 34
Konversi produksi bddy (kg/th) 29 176.25
36. total biaya budidaya (IDR/th) 452 197 398 var 37 + var 38 + var 39
37. biaya benih (IDR/th) 177 197 398 Hasil analisis data primer 2010
38. biaya Tenaga Kerja (TK) 150 000 000 Hasil analisis data primer 2010
(IDR/th)
39. biaya pakan (IDR/th) 125 000 000 Hasil analisis data primer 2010
IV Submodel Ekonomi
40. harga ekspor S. serrata (IDR/kg) 35 000 Hasil analisis data 2010
41. biaya penangkapan (%) 30 Asumsi
42. keuntungan penangkapan S. 84 251 133 (var 23*var 40)-var 41
serrata (IDR/th)
43. keuntungan budidaya S. serrata 568 971 352 (var 35*var 40)-var 36
(IDR/th)
44. keuntungan total (IDR/th) 653 222 485 var 42 + var 43
V Submodel Sosial
45. potensi jumlah pembudidaya 60 Hasil analisis kuisioner 2009
(KK)
46. pendapatan keluarga (IDR/th) (var 44/var 45) + var 47
47. pendapatan sumber lain (IDR/th) 500 000 Asumsi
48. fraksi dana pendidikan (%) 15 Hasil analisis kuisioner 2009
49. alokasi dana pendidikan (IDR/th) 1 703 740 var 46*var 48
50. pengaruh dana pendidikan Hasil analisis regresi berdasarkan
terhadap pengetahuan masyarakat asumsi
(TS)
51. pengaruh pengetahuan terhadap Asumsi
peningkatan kesadaran lingkn (%)

Nilai level (stock), laju (rate), variabel (auxiliary) dan konstanta dari masing-
masing submodel yang tercantum pada Tabel 28 dapat dijelaskan sebagai berikut:
193

5.3.5.1 Submodel mangrove

Submodel mangrove menggambarkan dinamika meningkat/menurunnya


luasan dan kualitas hutan mangrove di TNK. Submodel dibangun dari elemen luas
mangrove, zona pemanfaatan mangrove, laju perluasan mangrove yang
dipengaruhi oleh laju konversi dan laju penambahan luas mangrove, kondisi
habitat yang mempengaruhi indeks kesesuaian lingkungannya (HSI), dan
pengaruh tingkat kesadaran lingkungan terhadap konversi mangrove. Dengan
menggunakan alat bantu powersim studio 2005, semua peubah-peubah ini
berhubungan baik secara langsung maupun tidak langsung dan diformulasikan
secara numerik menghasilkan diagram alir stok submodel mangrove seperti
diperlihatkan pada Gambar 43.
Luas areal mangrove akan meningkat atau menurun dipengaruhi oleh laju
perluasan mangrove. Laju perluasan mangrove sendiri akan naik atau turun
dipengaruhi oleh besarnya konversi mangrove menjadi penggunaan lain dan
penambahan luas mangrove oleh akresi atau pun kegiatan rehabilitasi mangrove.
Bila laju konversi mangrove lebih besar dibanding laju penambahannya, maka
yang terjadi adalah stok luas mangrove akan terus menerus menurun.

sub model mangrove

fraksi_pemanft_mgr

zona_pemanft_mgr
luas_mgr DD_Lingk

perluasan
Konstanta_
penambh_mgrv
penambh_mgr
HSI
tebang_mgr SI_VEG

SI_SUB
SI_KA
prluasn_pmukimn
konversi_mgrv

rehabilitasi mgr

konst_tambak tambak pengaruh_luas_


mgrv_thd potensi
scylla

Gambar 43 Diagram alir stok (SFD) submodel habitat mangrove.


194

Initial (luas awal) habitat mangrove ditentukan berdasarkan hasil analisis


Citra Terra Aster Tahun 2005, yaitu seluas 5 277.779 ha. Adanya pemanfaatan
mangrove untuk penggunaan lain, yaitu menjadi tambak, perluasan pemukiman,
dan penebangan pohon mangrove, telah menyebabkan terjadi konversi mangrove.
Untuk itu perlu adanya perbaikan pola pemanfaatan mangrove yang merusak
(mengkonversi mangrove) agar laju konversi ini dapat diturunkan, bahkan bila
perlu tidak terjadi konversi mangrove lagi.
Kesadaran lingkungan yang diasumsikan semakin meningkat dengan
adanya peningkatan pengetahuan melalui pendidikan formal, akan mempengaruhi
pola pemanfaatan mangrove oleh masyarakat pembudidaya. Bila semula
menggunakan mangrove untuk membuka tambak, maka selanjutnya akan
menggunakan mangrove sebagai lahan budidaya kepiting bakau, sehingga tidak
perlu membuka mangrove lagi. Selain itu, peningkatan kesadaran lingkungan juga
akan mendorong masyarakat untuk merehabilitasi kawasan mangrove yang telah
terdegradasi. Dengan adanya penurunan laju pembukaan tambak dan upaya
rehabilitasi akan meningkatkan kembali luas hutan mangrove.
Luas zona pemanfaatan mangrove merupakan implikasi dari kebijakan
yang mengijinkan adanya pemanfaatan terbatas di kawasan Taman Nasional
Kutai. Kebijakan ini dapat berupa persentase kawasan TN yang akan dialokasikan
untuk pemanfaatan. Interfensi kebijakan ini sangat besar pengaruhnya dalam pola
pemanfaatan mangrove, karena akan mempengaruhi besarnya daya dukung
kawasan, pada penelitian ini daya dukung kawasan adalah untuk pemanfaatan
budidaya sylvofishery.
Selain luasnya zona pemanfaatan, daya dukung budidaya sylvofishery juga
sangat dipengaruhi oleh kualitas lingkungan, yang digambarkan dengan indeks
kesesuaian lingkungan (HSI). HSI terdiri atas komponen-komponen: kualitas
perairan, kualitas tekstur substrat, dan kualitas vegetasi. Bila kondisi lingkungan
baik, maka HSI juga akan meningkat.

5.3.5.2 Submodel Penangkapan S. serrata

Submodel penangkapan S. serrata menggambarkan dinamika potensi stok


S. serrata yang dapat dimanfaatkan untuk perikanan tangkap. Submodel dibangun
195

oleh parameter potensi produksi kepiting bakau, laju eksploitasi faktual dan laju
eksploitasi maksimal, laju kematian alami, laju kematian karena penangkapan,
stok S. serrata total, kuota tangkapan S. serrata, besarnya restok induk betina,
pengaruh luas mangrove terhadap stok S. serrata. Dengan menggunakan alat
bantu powersim studio 2005, semua peubah-peubah ini berhubungan baik secara
langsung maupun tidak langsung dan diformulasikan secara numerik
menghasilkan diagram alir stok submodel penangkapan S. serrata seperti
diperlihatkan pada Gambar 44.

rerata_kelimphn_
scylla e_max

potensi_scylla
laju_potensi stok_scylla

produksi_scyl

e_fact
stok_tkp

kuota_tkp prod_tkp
fraksi_pengaturan_
tangkap

sub model penangkapan


M F Z

Gambar 44 Diagram alir stok submodel penangkapan S. serrata.

5.3.5.3 Submodel Budidaya Sylvofishery S. serrata

Submodel budidaya S. serrata merupakan skenario yang dibangun untuk


menata kelola zona pemanfaatan di kawasan mangrove TNK. Karena pada
kondisi saat ini, budidaya sylvofishery belum dilaksanakan sepenuhnya oleh
masyarakat. Namun telah dilakukan introduksi teknologi budidaya sylvofishery
pada masyarakat saat penelitian berlangsung, dengan hasil yang cukup baik. Data
yang diperoleh dari introduksi ini digunakan untuk nilai dugaan dalam
membangun submodel budidaya sylvofishery.
Submodel sylvofishery terdiri atas elemen daya dukung lingkungan,
jumlah unit karamba yang dapat dibangun, berlangsungnya proses budidaya yang
196

dipengaruhi oleh biomassa dan survival rate (SR), elemen panen budidaya, restok
induk yang dipengaruhi oleh besarnya fraksi restok, parameter-parameter input
produksi yang meliputi biaya benih, tenaga kerja, dan pakan. Semua peubah-
peubah ini berhubungan baik secara langsung maupun tidak langsung dan
diformulasikan secara numerik menghasilkan diagram alir stok submodel
budidaya sylvofishery S. serrata seperti diperlihatkan pada Gambar 45.

sub model budidaya


sylvofishery

harga_benih pakan
TK
konversi_biomass_ biaya_benih
per ekor SR_bddy

panen_bddy
proses_bddy prod_bddy biaya_bddy
DD_Lingk
juml_ unit_
karamba

fraksi restock_induk
padat_tebar_
restock_induk
benih_per_ benih
karamba

vol_prod_bddy
fraksi_benih
stok_benih
konversi_berat_
panen

Gambar 45 diagram alir stok submodel budidaya sylvofishery.

5.3.5.4 Submodel ekonomi S. serrata

Submodel ekonomi S. serrata menggambarkan dinamika keuntungan yang


diperoleh masyarakat bila memanfaatkan sumberdaya S. serrata. Produk kepiting
dari hasil tangkapan dan panen budidaya pembesaran kepiting merupakan salah
sumber pendapatan bagi masyarakat, namun nilainya sangat tergantung dari harga
yang terbentuk di pasar. Asumsinya semakin tinggi harga pasar, maka tingkat
pendapatan nelayan/petani akan semakin meningkat. Bila produksi ini dikalikan
harga, maka akan diperoleh sebagai keuntungan (). Keuntungan dihitung sebagai
Total Revenue (TR) dikurangi Total Cost (TC).
197

Keuntungan total dari pemanfaatan S. serrata merupakan penjumlahan


dari keuntungan yang diperoleh dari penangkapan dan keuntungan dari budidaya.
Keuntungan total ini juga menjadi pendapatan masyarakat yang diperoleh dari
sumberdaya S. serrata. Semua peubah-peubah ini berhubungan baik secara
langsung maupun tidak langsung dan diformulasikan secara numerik
menghasilkan diagram alir stok submodel ekonomi pemanfaatan S. serrata seperti
diperlihatkan pada Gambar 46.

biaya_tkp prod_tkp harga_scylla


sub model ekonomi vol_prod_bddy
biaya_bddy

keunt_tkp keunt_bddy

pendapatan

keunt_total

Gambar 46 diagram alir stok submodel ekonomi pada pemanfaatan S. serrata.

5.3.5.5 Submodel sosial

Submodel sosial merupakan gambaran dari pengaruh pendapatan terhadap


tingkat kesadaran lingkungan masyarakat. Peningkatan pendapatan keluarga akan
mempengaruhi tingkat pengetahuan melalui jenjang pendidikan formal yang dapat
ditempuh oleh masyarakat. Asumsinya, semakin tinggi jenjang pendidikan formal
yang diperoleh, tingkat pengetahuan masyarakat akan semakin meningkat.
Selanjutnya tingkat pengetahuan ini akan mempengaruhi kesadaran lingkungan
masyarakat yang tinggal di sekitar hutan mangrove TNK dalam pola pemanfaatan
ekosistem mangrove. Pola pemanfaatan terhadap sumberdaya mangrove akan
berubah sesuai dengan tingkat kesadaran masyarakat dan peraturan perundangan
atau kebijakan pemerintah yang berlaku dalam pengelolaan kawasan konservasi.
Semua peubah-peubah ini berhubungan baik secara langsung maupun
tidak langsung dan diformulasikan secara numerik menghasilkan diagram alir stok
submodel sosial seperti diperlihatkan pada Gambar 47.
198

sub model sosial


pengaruh kesadarn
lingk_thd konversi
mgrv

tkt_ kesadaran_lingk
peningkatan_penge pengetahuan_
tahuan kadaluarsa
fraksi_pengetahuan
_kadaluarsa
pengaruh_dana_pe
nddk_terhadap_pe alokasi_dana_
ngetahuan pendidikan
pendpt_klg

fraksi_dana_peddk
pendapatan_lain

jml_klg

Gambar 47 diagram alir stok submodel sosial pada pemanfaatan S. serrata.

5.3.6 Skenario Pengelolaan S. serrata di Habitat Mangrove TNK

Skenario merupakan suatu alternatif rancangan kebijakan yang dapat


dilakukan pada kondisi di lapangan untuk mempengaruhi perilaku parameter pada
suatu sistem pemodelan.

5.3.6.1 Analisis skenario dasar

Analisis skenario dasar (base case scenario) menguraikan perilaku


sumberdaya yang digambarkan oleh parameter luas mangrove, stok S. serrata,
panen budidaya sylvofishery, peningkatan pendapatan dari S. serrata, berdasarkan
kondisi nyata pada saat ini, hasil analisis terhadap skenario dasar dan simulasi
kondisi sampai 20 tahun mendatang (tahun 2010-2030) disajikan pada gambar 48.
Gambar 48 menunjukkan bahwa berdasarkan data riil yang disimulasikan
hingga 20 tahun ke depan, luasan mangrove cenderung terus menurun. Sementara
itu, stok S. serrata masih ada kemungkinan untuk meningkat hingga sekitar tahun
2018, namun setelah itu akan cenderung menurun. Data statistik Dinas Kelautan
Kabupaten Kutai Timur menunjukkan hasil tangkapan kepiting bakau secara
umum (4 spesies) masih terus meningkat, yaitu pada tahun 2006 sebesar 11.4 ton
hingga tahun 2008 menjadi 12.1 ton. Namun demikian penurunan luasan
199

mangrove dan penangkapan kepiting bakau yang tidak terkendali diperkirakan


dapat menurunkan stok S. serrata setelah tahun 2018 ke depan. Penurunan stok S.
serrata ini berpengaruh secara langsung terhadap peningkatan pendapatan
masyarakat nelayan, yang juga ikut menurun karena hasil tangkapan menurun.
Sehingga dapat dikatakan bila menggunakan skenario dasar, maka pengelolaan
sumberdaya di hutan mangrove TNK tidak akan berkelanjutan, baik bagi
sumberdaya vegetasi hutan maupun bagi sumberdaya kepiting bakau (S. serrata).

ha k g/yr
12,000

stok_scylla
5,200
luas_mgr

9,000
5,100

5,000 6,000

1/1/2010 1/1/2020 1/1/2030 1/1/2010 1/1/2020 1/1/2030

rupiah/KK pe r KK 7
kesadaran_lingk

6
8,000,000
pendpt_klg

5
6,000,000
4
4,000,000 3
tkt_

2,000,000 2
1
0
1/1/2010 1/1/2025 1/1/2010 1/1/2020 1/1/2030

Gambar 48 hasil simulasi skenario dasar pengelolaan S. serrata di TNK.

Luas awal habitat mangrove ditentukan dari hasil analisis Citra Terra Aster
Tahun 2005, yaitu seluas 5 277 ha, Hasil simulasi menggunakan skenario dasar
menunjukkan pada tahun 2030 diperkirakan luas mangrove tersebut tersisa
4 926.28 ha.
Potensi produksi S. serrata di habitat mangrove TNK, diperkirakan dari
produksi tangkapan kepiting di area tersebut selama setahun (sebagai potensi
faktual yang telah dieksploitasi) ditambah dengan sisa potensi yang belum
dieksploitasi. Produksi yang diperoleh pada tahun 2008 pada tingkat eksploitasi
faktual 0.556 adalah sebesar 6 800 kg/th. Sehingga potensi S. serrata di habitat
mangrove TNK pada tahun 2030 diduga sebesar 22 192.43 kg/th. Potensi S.
serrata ini merupakan penurunan dari potensi yang semula sebesar 27 374.13
200

kg/th. Namun, potensi ini dapat berubah dengan adanya masukan induk dari
restoking budidaya sylvofishery, sehingga dalam perhitungan potensi dimasukkan
juga input restok induk betina dan pengaruh dari penambahan luas area mangrove.

5.3.6.2 Identifikasi parameter kunci

Hasil simulasi kinerja model sistem menunjukkan bahwa sistem saat ini
memberikan ancaman bagi kelestarian habitat mangrove dan keberlanjutan
sumberdaya S. serrata yang ada di dalamnya. Oleh karena itu perlu dirumuskan
suatu skenario strategi yang dapat mengendalikan pola pemanfaatan yang
merusak habitat mangrove di TNK.
Identifikasi terhadap faktor-faktor yang berpengaruh dalam upaya
mengoptimasikan pemanfaatan S. serrata secara berkelanjutan dilakukan
berdasarkan hasil uji sensitivitas. Uji sensitivitas dilakukan untuk memilih
parameter kunci, yang berpengaruh besar terhadap berbagai kemungkinan yang
akan terjadi di masa yang akan datang.
Uji sensitivitas pada dasarnya mengasumsikan kemungkinan-
kemungkinan suatu kondisi yang terjadi di dunia nyata dan pilihan-pilihan
kebijakan yang mungkin dilakukan oleh pengambil keputusan. Uji sensitivitas
model pada penelitian ini menggunakan parameter yang berpengaruh tinggi
terhadap kinerja sistem, yaitu fraksi zona pemanfaatan mangrove (submodel
mangrove), fraksi stok untuk benih budidaya (submodel penangkapan), fraksi
alokasi dana pendidikan (submodel sosial), dan harga S. serrata (submodel
ekonomi). Metode yang dipakai untuk melihat kepekaan parameter tersebut
dengan bestworst case scenario (Sterman 2000). Setiap perubahan parameter,
dalam hal ini dinaikkan (diturunkan) sebesar 10% dari nilai parameter skenario
dasar, akan dilihat responnya terhadap perubahan parameter utama. Bila terbukti
perubahan pada parameter tersebut mengakibatkan perubahan yang nyata pada
parameter lain, maka parameter-parameter tersebut akan dianggap sebagai
parameter kunci (key variable). Gambar 49 dan 50 merupakan grafik hasil uji
sensitivitas dari simulasi Powersim.
201

ha ha

5,200 5,250
luas_mgr

luas_mgr
5,100
5,200
5,000

4,900 5,150

4,800 5,100
1/1/2010 1/1/2020 1/1/2030 1/1/2010 1/1/2020 1/1/2030

Gambar 49 perbandingan luas mangrove saat parameter kunci dinaikkan 10%.

Gambar 49 menunjukkan adanya peningkatan luas mangrove pada tahun


2020 saat variabel kunci dinaikkan 10%. Sedangkan Gambar 50 menunjukkan
bila variabel kunci diturunkan 10% maka luas mangrove yang tersisa pada tahun
2030 tinggal 4 580.75 ha, menurun dari skenario dasar semula seluas 4 926.28 ha.

ha ha

5,200 5,200
luas_mgr

luas_mgr

5,100 5,100
5,000
5,000
4,900
4,900
4,800
4,800 4,700
4,700 4,600
1/1/2010 1/1/2020 1/1/2030 1/1/2010 1/1/2020 1/1/2030

Gambar 50 perbandingan luas mangrove saat parameter kunci diturunkan 10%.

Berdasarkan hasil uji sensitivitas tersebut, maka parameter fraksi zona


pemanfaatan mangrove, fraksi stok untuk benih budidaya, fraksi alokasi dana
pendidikan, dan harga S. serrata , digunakan sebagai parameter yang akan
diintervensi sebagai faktor yang berpengaruh pada kondisi yang akan terjadi di
masa depan.
Deskripsi dari masing-masing parameter kunci dan hubungan
interkoneksinya dengan parameter yang lain adalah sebagai berikut:
a) Fraksi zona pemanfaatan mangrove adalah kebijakan yang mengatur berapa
bagian dari luas mangrove seluruhnya yang dapat digunakan untuk zona
pemanfaatan. Dahuri (2003) mengusulkan 20% dari kawasan yang dilindungi
dapat digunakan untuk pemanfaatan yang berkelanjutan. Kebijakan ini dapat
dilakukan melalui peraturan perundangan.
202

b) Fraksi stok untuk benih budidaya adalah pembagian dari stok S. serrata total
yang digunakan untuk keperluan budidaya. Bagian yang lain adalah stok S.
serrata yang dimanfaatkan untuk perikanan tangkap konsumsi (langsung jual).
Fraksi stok ini dapat diatur pembagiannya dalam kebijakan kuota perikanan
tangkap.
c) Fraksi alokasi dana pendidikan adalah bagian dari pendapatan keluarga yang
dialokasikan untuk biaya pendidikan. Umumnya pada keluarga nelayan bagian
ini rendah sekali, tidak mencapai 10% dari pendapatan. Pada masyarakat yang
berpendapatan rendah alokasi yang paling besar masih untuk kebutuhan
makanan (Sukardi 2009). Namun bila terjadi peningkatan pendapatan bagian
ini menjadi lebih kecil dan alokasi untuk kebutuhan lain seperti pakaian dan
pendidikan akan meningkat.
d) Harga S. serrata yang digunakan disini adalah harga S. serrata untuk pasar
ekspor. Hal ini dilandasi pemikiran bahwa bila S. serrata cukup banyak
diproduksi maka dapat memenuhi kebutuhan ekspor yang cenderung
meningkat dari tahun ke tahun.
Skenario kebijakan pemanfaatan sumberdaya S. serrata disusun
berdasarkan perkiraan kondisi yang akan terjadi di masa depan. Selanjutnya dari
masing-masing kondisi tersebut dilakukan kombinasi yang mungkin terjadi antar
berbagai kondisi tersebut. Kombinasi-kombinasi tersebut disusun untuk
memperoleh tiga bentuk skenario, yaitu: 1) skenario optimistik, 2) skenario
moderat, dan 3) skenario pesismistik. Tabel 29 menyajikan keterkaitan antara
parameter kebijakan dengan perkiraan kondisi yang akan terjadi di masa depan.
Jenis skenario untuk kebijakan pemanfaatan kepiting bakau S. serrata di
habitat mangrove TNK yang dapat disusun lebih dari tiga kombinasi. Namun
untuk mencari kondisi yang optimal dari berbagai kondisi, ketiga kombinasi
tersebut dipilih sebagai kemungkinan yang paling besar terjadi di masa depan.
203

Tabel 29 Keterkaitan antar parameter dan kondisi (state) untuk skenario kebijakan.
No Faktor Kondisi di masa mendatang
1 Fraksi zona 1A 1B 1C
pemanfaatan 0% 20 % 40%
Tidak ada zona Sesuai teori Terjadi peningkatan
Pemanfaatan, yang berlaku di karena kebutuhan SDA
seperti kondisi kalangan lebih besar, sehingga ada
saat ini akademisi saat kebijakan peningkatan
ini luas zona pemanfaatan
mangrove
2 Fraksi stok untuk 2A 2B 2C
benih budidaya 0% 40% 60%
Tidak ada stok Peningkatan Lebih diutamakan stok
untuk sylvofishery fraksi untuk untuk benih budidaya,
budidaya karena lebih
menguntungkan
3 Fraksi alokasi 3A 3B 3C
dana pendidikan 10% 15% 20%
Alokasi menurun Tetap seperti Pendapatan yang
karena saat ini diperoleh dari
pendapatan pemanfaatan S. serrata
berkurang meningkat
4 Harga S. serrata 4A 4B 4C
Menurun tetap Meningkat
Preferensi Tetap seperti Peningkatan permintaan
konsumen kondisi saat ini konsumen
menurun

Berdasarkan berbagai kondisi tersebut, disusun kombinasi untuk tiga


kemungkinan skenario (Tabel 30).

Tabel 30 Skenario dan kombinasi antar faktor dan kondisi.

No. Skenario Kombinasi kondisi parameter


1 Pesimistik 1A, 2A, 3B, 4A
2 Moderat 1B, 2B, 3B, 4C
3 Optimistik 1C, 2C, 3C, 4C
204

5.3.6.3 Skenario Pesimistik

Skenario pesimistik dibangun berdasarkan kondisi parameter kunci


sebagai berikut: 1) tidak ada alokasi mangrove untuk zona pemanfaatan, 2) tidak
ada alokasi benih untuk sylvofishery seluruh stok hanya untuk penangkapan, 3)
alokasi dana untuk pendidikan tetap 15% dari pendapatan keluarga seperti kondisi
saat ini, 4) harga S. serrata menurun menjadi harga lokal karena permintaan
ekspor berkurang.
Penerapan skenario pesimistis ini akan memberikan implikasi terhadap
sumberdaya sebagai berikut:
1) Terjadi penurunan luas mangrove, hingga tahun 2030 mangrove yang tersisa
seluas 4 554,54 ha;
2) Terjadi penurunan stok S. serrata menjadi 9 519,93 kg/th pada tahun 2030.
Grafik hasil simulasi skenario pesimistik disajikan pada Gambar 51.

ha kg/yr
5,200 12,000
s t o k _ s c y lla
lu a s _ m g r

10,000
5,000
8,000
4,800
6,000
4,600
4,000
1/1/2010 1/1/2020 1/1/2030 1/1/2010 1/1/2020 1/1/2030

Gambar 51 Grafik hasil simulasi skenario pesimistik.

5.3.6.4 Skenario Moderat

Skenario moderat dibangun berdasarkan kondisi parameter kunci sebagai


berikut: 1) ada alokasi mangrove untuk zona pemanfaatan sebesar 20% dari luas
total hutan mangrove, 2) benih untuk sylvofishery dialokasikan sebesar 40% dari
total stok kepiting yang diduga, 3) alokasi dana untuk pendidikan tetap 15% dari
pendapatan keluarga, 4) harga S. serrata meningkat 10% dari harga semula
karena permintaan ekspor meningkat.
205

Penerapan skenario moderat akan memberikan implikasi terhadap


sumberdaya sebagai berikut:
3) Mangrove yang awalnya seluas 5 277.79 ha tahun 2010, mengalami
penurunan luas hingga 5 134.56 ha pada tahun 2018, namun setelah itu terjadi
peningkatan lagi hingga menjadi seluas 5 236.33 ha tahun 2030;
4) Terjadi penurunan stok S. serrata menjadi 10 030,98 kg/th pada tahun 2030,
namun penurunan ini masih lebih lambat dibanding pada skenario pesismistik.
Grafik hasil simulasi skenario moderat disajikan pada Gambar 52.

ha kg/yr
12,000
5,250
s t o k s c y lla
lu a s m g r

10,000

5,200 8,000

6,000
5,150
4,000
1/1/2010 1/1/2020 1/1/2030 1/1/2010 1/1/2020 1/1/2030

Gambar 52 Grafik hasil simulasi skenario moderat.

5.3.6.5 Skenario Optimistik

Skenario optimistik dibangun berdasarkan kondisi parameter kunci


sebagai berikut: 1) ada alokasi mangrove untuk zona pemanfaatan sebesar 30%
dari luas total hutan mangrove, 2) benih untuk sylvofishery dialokasikan sebesar
60% dari total stok kepiting yang diduga, 3) alokasi dana untuk pendidikan
meningkat menjadi 20% dari pendapatan keluarga, 4) harga S. serrata meningkat
10% dari harga semula karena permintaan ekspor meningkat.
Penerapan skenario optimistik ini akan memberikan implikasi terhadap
sumberdaya sebagai berikut:
1) Mangrove mengalami penurunan luas hingga 5 175.42 ha pada tahun 2018,
namun setelah itu terjadi peningkatan lagi hingga menjadi seluas 5 288.05 ha
tahun 2030, dan menjadi stagnan;
206

2) Terjadi penurunan stok S. serrata menjadi 10 124.32 kg/th pada tahun 2030,
penurunan ini lebih lambat dibanding penurunan pada skenario moderat.
Grafik hasil simulasi skenario optimistik disajikan pada Gambar 53.

ha kg/yr
12,000

s t o k _ s c y lla
lu a s _ m g r

5,250 10,000

8,000

5,200 6,000

4,000
1/1/2010 1/1/2020 1/1/2030 1/1/2010 1/1/2020 1/1/2030

Gambar 53 Grafik hasil simulasi skenario optimistik.

Berdasarkan hasil simulasi dengan ketiga skenario tersebut, implikasi


menunjukkan bahwa skenario optimistik menunjukkan kinerja model yang lebih
berkelanjutan untuk pengelolaan hutan mangrove di TNK bila dilakukan dengan
pendekatan optimasi pemanfaatan sumberdaya Scylla serrata.

5.4. Analisis Keberlanjutan Pengelolaan Sylvofishery Kepiting Bakau di


Kawasan Mangrove TNK

Keberlanjutan pengelolaan sumberdaya kepiting bakau (Scylla serrata)


dipertimbangkan dari empat dimensi, yaitu dimensi ekologi, dimensi ekonomi
dimensi sosial dan dimensi kelembagaan. Dalam setiap dimensi terdiri atas
beberapa atribut yang diukur, baik secara kualitatif maupun kuantitatif, dan
selanjutnya akan diberi bobot menggunakan metode Multidimensional Scalling
(MDS). Analisis dilakukan dengan software Rapfish yang dimodifikasi,
selanjutnya analisis MDS ini disebut Rap-CRASYMAN (Rapid Assesment
Techniques for Crab Sylvofishery Management). Pemberian skor atribut pada
masing-masing dimensi disesuaikan dengan kondisi riil pengelolaan kepiting
bakau di kawasan mangrove TNK. Hasil survei dan pengukuran terhadap masing-
masing atribut per dimensi di disajikan pada Tabel 31.
207

Tabel 31 Skor atribut dari empat dimensi pengelolaan sylvofishery kepiting bakau di TNK.

Realitas
No Dimensi dan Atribut Skor Baik Buruk Keterangan
saat ini
A. Dimensi Ekologi

1. Kerapatan vegetasi 0; 1; 2 2 0 Sedang11` = 0= jarang; 1= sedang;


mangrove skor 1 2= sangat rapat

2. Potensi stok kepiting 0; 1; 2 2 0 Menurun = 0= habis; 1= menurun;


bakau skor 1 2= meningkat

3. Laju eksploitasi 0; 1; 2 2 0 Lebih dari 0= lebih dari E-maks;


kepiting bakau E-maks = 1= sama dgn E-maks;
skor 0 2= kurang dari E-maks

4. Daya dukung 0; 1; 2 2 0 antara 0.5- 0= kurang dari 0.5;


mangrove bagi 7.5 = skor 1 1= antara 0.5-7.5 ;
budidaya sylvofishery 2= lebih dari 7.5
S. serrata
5. Ketersediaan lahan 0; 1; 2 2 0 lebih luas = 0= kurang luas; 1= sama
kritis mangrove untuk skor 2 luas; 2= lebih luas
sylvofishery (dibandingkan
kebutuhan sylvofishery)

B. Dimensi Ekonomi

1. Kuota tangkapan 0; 1; 2 2 0 100-1000 kg 0= kurang dari 100 kg;


kepiting bakau = skor 1 1=100-1000 kg; 2 =
(kg/bulan) lebih dari 1000 kg

2. Harga produk 0; 1; 2 2 0 Trend 0= trend menurun; 1 =


kepiting bakau meningkat= tetap; 2= trend
(Rp/kg) skor 2 meningkat

3. Keuntungan 0; 1; 2 2 0 Lebih besar 0= lebih kecil; 1 =


pembudidaya = skor 2 sama; 2 = lebih besar
sylvofishery kepiting (dibanding keuntungan
bakau (Rp/tahun) budidaya tambak)

4. Keuntungan nelayan 0; 1; 2 2 0 Sama = skor 0= lebih kecil; 1 =


penangkapan kepiting 1 sama; 2 = lebih besar
bakau (Rp/tahun) (dibanding keuntungan
budidaya tambak)

5. Permintaan pasar 0; 1; 2 2 0 trend 0= trend menurun; 1 =


ekspor thd kepiting meningkat = tetap; 2= trend
bakau skor 2 meningkat
208

Realitas
No Dimensi dan Atribut Skor Baik Buruk Keterangan
saat ini
C. Dimensi Sosial

1. Pengetahuan 0; 1; 2 2 0 25-75% = 0 = < 25% ; 1 = 25-


masyarakat tentang skor 1 75%; 2 = >75%
pengelolaan
mangrove

2. Penerimaan 0; 1; 2 2 0 >75% = skor 2 0 = < 25% ; 1 = 25-


masyarakat pada 75%; 2 = >75%
usaha budidaya
sylvofishery

3. Kemampuan 0; 1; 2 2 0 Rendah = 0= rendah; 1= sedang;


teknologi masyarakat skor 0 2= tinggi
dalam pemanfaatan
kepiting bakau

4. Potensi konflik 0; 1; 2 2 0 > 5 sektor = 0 = > 5 sektor; 1 = 2-5


budidaya sylvofishery skor 0 sektor; 2 = <2 sektor
dengan pemanfaatan
lain

5. Potensi penyerapan 0; 1; 2 2 0 meningkat = 0= menurun; 1=


tenaga kerja skor 2 konstan; 2= meningkat

6. Dukungan elemen 0; 1; 2 2 0 <2 sektor = 0 = <2 elemen; 1 = 2-5


pemerintah dalam skor 0 elemen; 2 = > 5
pengelolaan mangrove elemen
berkelanjutan

D. Dimensi Kelembagaan

1. Keberadaan aturan 0; 1; 2 2 0 tdk ada = 0= tdk ada; 1=ada, tdk


pengelolaan ekosistem skor 0 dilaksanakan; 2= ada,
mangrove dilaksanakan

2. Keberadaan lembaga 0; 1; 2 2 0 Ada, aktif = 0= tdk ada; 1=ada, tdk


masyarakat untuk skor 2 aktif; 2= ada, aktif
pengelolaan mangrove

3. Zonasi kawasan 0; 1; 2 2 0 tdk ada = 0= tdk ada; 1=ada, tdk


mangrove TNK skor 0 dilaksanakan; 2= ada
dilaksanakan

4. Adanya otoritas 0; 1 1 0 ada = skor 1 0= tdk ada; 1= ada


lembaga pengelola
TNK
209

Realitas
No Dimensi dan Atribut Skor Baik Buruk Keterangan
saat ini
5. Penegakan hukum 0; 1; 2 2 0 hanya 0= tdk ada; 1= hanya
oleh aparat bagi sebagian= sebagian kasus; 2=
pelanggar skor 1 seluruh kasus

6. Dukungan perusahaan 0; 1 1 0 ada = skor 1 0= tdk ada; 1= ada


Mitra TNK

5.4.1 Status Keberlanjutan Pengelolaan Kepiting Bakau

Analisis dengan MDS ini menghasilkan status dan indeks keberlanjutan


pengelolaan sylvofishery di kawasan mangrove TNK. Status Keberlanjutan yang
dimaksud adalah apakah pengelolaan sylvofishery saat ini telah efektif dan akan
berkelanjutan berdasarkan keempat dimensi pengelolaan yang dikaji dan indeks
yang diperoleh (Gambar 54).

DIAGRAM LAYANG-LAYANG SYLVOFISHERY


Dimensi Ekologi
100

80

60
46.640
40

20
Dimensi Kelembagaan 0 Dimensi Ekonomi
60.626 76.422

38.829

Dimensi Sosial

Gambar 54 Diagram layang-layang pengelolaan sylvofishery di kawasan


mangroveTNK.

Hasil analisis dengan Rap-CRASYMAN diperoleh indeks keberlanjutan


untuk dimensi ekologi sebesar 46.640 % dengan status kurang berkelanjutan,
dimensi ekonomi sebesar 76.422% dengan status berkelanjutan, dimensi sosial
210

sebesar 38.829% dengan status kurang berkelanjutan, dan dimensi kelembagaan


sebesar 60.626% dengan status cukup berkelanjutan. Indeks ini merupakan
gambaran keberlanjutan dari masing-masing atribut berdasarkan pengelolaan saat
ini. Untuk memperoleh peningkatan status menjadi berkelanjutan, maka masa
yang akan datang perlu dilakukan perbaikan terhadap atribut-atribut pada masing-
masing dimensi tersebut.

5.4.2 Status Keberlanjutan Dimensi Ekologi


Status keberlanjutan dari dimensi ekologi adalah kurang berkelanjutan.
Atribut yang berpengaruh dalam dimensi ekologi terdiri dari lima jenis, yaitu: 1)
Kerapatan vegetasi mangrove; 2) Potensi stok kepiting bakau; 3) Laju eksploitasi
kepiting bakau; 4) Daya dukung lingkungan mangrove bagi budidaya
sylvofishery; 5) Ketersediaan lahan kritis mangrove untuk sylvofishery. Dari
kelima atribut tersebut, setelah dilakukan leveraging analysis, diketahui bahwa
atribut yang cukup sensitif terhadap indeks keberlanjutan dimensi ekologi adalah
laju eksploitasi kepiting bakau (Gambar 55). Atribut yang sensitif ini merupakan
faktor pengungkit dalam dimensi ekologi, sehingga bila dilakukan perbaikan pada
atribut ini akan mengungkit nilai indeks keberlanjutan dimensi ekologi secara
keseluruhannya.

Faktor Pengungkit Dimensi Ekologi

Ketersediaan lahan
kritis mangrove untuk 2.49
sylvofishery

Daya dukung
lingkungan mangrove
3.47
bagi budidaya
sylvofishery

Laju eksploitasi
9.77
kepiting bakau
Attribute

Potensi stok kepiting


2.01
bakau

Kerapatan vegetasi
0.30
mangrove

0 2 4 6 8 10 12

Root Me a n Squa re Cha nge in Ordina tion w he n Se le cte d Attribute


Re move d (on Susta ina bility sca le 0 to 100)

Gambar 55 Peran masing-masing atribut dimensi ekologi pada keberlanjutan


pengelolaan sylvofishery dinyatakan dalam bentuk nilai RMS (Root
Mean Square).
211

Perbaikan untuk atribut laju eksploitasi kepiting bakau dapat dilakukan


dengan cara, antara lain pengaturan perikanan tangkap kepiting bakau dan
pengembangan budidaya kepiting bakau ramah lingkungan.

5.4.3 Status Keberlanjutan Dimensi Ekonomi


Status keberlanjutan dimensi ekonomi pada pengelolaan sylvofishery
kepiting bakau adalah berkelanjutan dengan nilai indeks 76.422%. Atribut yang
berpengaruh dalam dimensi ekologi terdiri dari lima jenis, yaitu: 1) Kuota
tangkapan kepiting bakau (kg/bulan); 2) Harga produk kepiting bakau (Rp/kg); 3)
Keuntungan pembudidaya sylvofishery kepiting bakau (Rp/tahun); 4) Keuntungan
nelayan penangkapan kepiting bakau (Rp/tahun); dan 5) Permintaan pasar ekspor
terhadap kepiting bakau. Atribut yang cukup sensitif dalam mempengaruhi indeks
keberlanjutan dimensi ekonomi ada tiga, yaitu: harga produk kepiting bakau,
keuntungan pembudidaya sylvofishery kepiting bakau, keuntungan nelayan
penangkapan kepiting bakau (Gambar 56).

Faktor Pengungkit Dimensi Ekonomi

Permintaan pasar
ekspor thd kepiting 3.37
bakau

Keuntungan nelayan
Attribute

penangkapan kepiting 9.32


bakau (Rp/tahun)

Keuntungan
pembudidaya
7.98
sylvofishery kepiting
bakau (Rp/tahun)

Harga produk kepiting


5.99
bakau (Rp/kg)

Kuota tangkapan
kepiting bakau 5.02
(kg/bulan)

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Root Me a n Square Cha nge in Ordination w hen Se lecte d Attribute


Re move d (on Sustaina bility sca le 0 to 100)

Gambar 56 Peran masing-masing atribut dimensi ekonomi pada keberlanjutan


pengelolaan sylvofishery dinyatakan dalam bentuk nilai RMS (Root
Mean Square).
Perbaikan terhadap keuntungan pembudidaya dan keuntungan nelayan
penangkap kepiting bakau dapat diupayakan melalui peningkatan jumlah dan
kualitas produk. Peningkatan jumlah produk hanya bisa dilakukan bila teknologi
212

pembenihan kepiting bakau dapat dilakukan secara budidaya, tidak hanya


mengandalkan tangkapan alam. Penelitian-penelitian untuk pembuatan hatchery
kepiting bakau merupakan langkah yang mutlak perlu dilakukan. Perbaikan
kualitas produk kepiting bakau dapat dilakukan dengan cara: meningkatkan
kemampuan sumberdaya manusia dalam teknologi budidaya, tidak hanya sekedar
budidaya pembesaran, namun juga jenis budidaya yang lain seperti budidaya
kepiting bertelur atau budidaya kepiting lunak (soka).

5.4.4 Status Keberlanjutan Dimensi Sosial


Status keberlanjutan dari dimensi sosial dalam pengelolaan sylvofishery
adalah kurang berkelanjutan (indeks 38.829%). Perlu dilakukan perbaikan untuk
meningkatkan nilai indeks keberlanjutan dimensi sosial. Atribut yang berpengaruh
dalam dimensi sosial terdiri dari enam jenis, yaitu: 1) pengetahuan masyarakat
tentang pengelolaan mangrove; 2) penerimaan masyarakat pada usaha budidaya
sylvofishery; 3) kemampuan teknologi masyarakat dalam pemanfaatan kepiting
bakau; 4) potensi konflik budidaya sylvofishery dengan pemanfaatan lain; 5)
potensi penyerapan tenaga kerja; 6) dukungan elemen pemerintah dalam
pengelolaan mangrove berkelanjutan.

Faktor Pengungkit Dimensi Sosial

Dukungan elemen pemerintah dalam


6.09
pengelolaan mangrove berkelanjutan

Potensi penyerapan tenaga kerja 7.41

Potensi konflik budidaya sylvofishery dengan


12.42
pemanfaatan lain
Attribute

Kemampuan teknologi masyarakat dalam


14.79
pemanfaatan kepiting bakau

Penerimaan masyarakat pada usaha budidaya


11.60
sylvofishery

Pengetahuan masyarakat tentang pengelolaan


5.91
mangrove

0 2 4 6 8 10 12 14 16
Root Me a n Squa re Cha nge in Ordina tion w he n Se le cte d Attribute
Re move d (on Susta ina bility sca le 0 to 100)

Gambar 57 Peran masing-masing atribut dimensi sosial pada keberlanjutan


pengelolaan sylvofishery dinyatakan dalam bentuk nilai RMS (Root
Mean Square).
213

Atribut yang sensitif dan dapat menjadi pengungkit dalam dimensi sosial
ada empat jenis, yaitu: penerimaan masyarakat pada usaha budidaya sylvofishery,
kemampuan teknologi masyarakat dalam pemanfaatan kepiting bakau, potensi
konflik budidaya sylvofishery dengan pemanfaatan lain, dan potensi penyerapan
tenaga kerja (Gambar 57).
Pemanfaatan kepiting bakau oleh masyarakat memang relatif masih sedikit
dilakukan di lokasi TNK, karena masyarakat belum memiliki teknologi
pemanfaatan kepiting bakau. Bila kemampuan ini dapat ditingkatkan, maka
diharapkan akan terjadi penyerapan tenaga kerja pada sektor ini dan masyarakat
akan lebih menerima budidaya sylvofishery dibandingkan budidaya perikanan lain
yang tidak ramah lingkungan. Sedangkan perbaikan terhadap potensi konflik
dapat dilakukan dengan adanya pengaturan zonasi yang tegas.

5.4.5 Status Keberlanjutan Dimensi Kelembagaan


Status keberlanjutan dari dimensi kelembagaan dalam pengelolaan
sylvofishery adalah cukup berkelanjutan (indeks 60.626%). Atribut yang
berpengaruh dalam dimensi kelembagaan terdiri dari enam jenis, yaitu: 1)
tersedianya aturan pengelolaan ekosistem mangrove; 2) keberadaan lembaga
masyarakat untuk pengelolaan mangrove; 3) adanya zonasi di kawasan mangrove
TNK; 4) otoritas lembaga pengelola TNK; 5) penegakan hukum oleh aparat bagi
pelanggar; 6) dukungan perusahaan Mitra TNK.
Berdasarkan hasil analisis leverage, diketahui ada dua atribut yang sangat
sensitif terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi kelembagaan, yaitu adanya
zonasi di kawasan mangrove TNK dan otoritas lembaga pengelola TNK.
Sedangkan tiga atribut yang lain cukup sensitif mempengaruhi nilai indeks, yaitu:
tersedianya aturan pengelolaan ekosistem mangrove, keberadaan lembaga
masyarakat untuk pengelolaan mangrove, dan dukungan perusahaan Mitra TNK
(Gambar 58).
Upaya yang perlu dilakukan untuk meningkatkan indeks keberlanjutan
dimensi kelembagaan adalah perlu disusun rencana zonasi di kawasan mangrove
TNK agar tidak terjadi perusakan yang semakin meluas. Perbaikan lain yang perlu
dilakukan adalah pelaksanaan kewenangan pengelolaan kawasan TNK yang
sebaik-baiknya. Lembaga pengelola TNK, yaitu Balai TNK, selama ini terkesan
214

kurang berani dalam menindak pelanggaran yang terjadi di kawasan TNK, baik
yang dilakukan oleh perorangan maupun oleh perusahaan di sekitar kawasan.
Selain itu lembaga pengelola TNK juga belum menyediakan perangkat untuk
mengelola, seperti aturan-aturan yang bersifat detil dan teknis untuk pengelolaan
kawasan TNK.

Faktor Pengungkit Dimensi Kelembagaan

Dukungan perusahaan
7.84
Mitra TNK

Penegakan hukum
oleh aparat bagi 2.44
pelanggar

Otoritas lembaga
11.33
pengelola TNK
Attribute

Zonasi kawasan
15.12
mangrove TNK

Keberadaan lembaga
masyarakat untuk 7.58
pengelolaan mangrove

Keberadaan aturan
pengelolaan ekosistem 7.85
mangrove

0 2 4 6 8 10 12 14 16
Root Me an Squa re Change in Ordina tion w he n Sele cted Attribute
Remove d (on Susta inability scale 0 to 100)

Gambar 58 Peran masing-masing atribut dimensi kelembagaan pada keberlanjutan


pengelolaan sylvofishery dinyatakan dalam bentuk nilai RMS (Root
Mean Square).

5.5. Rekomendasi Penatakelolaan Kawasan Mangrove di TNK

Dari berbagai kajian ilmiah yang telah diuraikan pada bagian sebelumnya,
kesimpulan yang dapat diambil adalah perlu adanya penatakelolaan kembali
kawasan mangrove di Taman Nasional Kutai, untuk mempertahankan fungsi
ekologisnya, sekaligus mencegahnya dari degradasi yang lebih parah dan
mengembalikan fungsinya sebagai kawasan pelestarian alam.
IUCN (1994) menyatakan hal-hal yang perlu dipertimbangkan untuk
mengatasi issue masyarakat yang menetap dalam kawasan TN antara lain adalah:
kemungkinan untuk dipindahkan (relokasi), pemberian kompensasi untuk
perpindahan komunitas masyarakat, diberikan pilihan alternatif mata pencaharian
lain, atau perubahan pendekatan pengelolaan dalam berbagai kondisi.
215

Berdasarkan berbagai hasil analisis penelitian yang telah dilakukan di atas,


rekomendasi yang dapat disampaikan untuk penatakelolaan kawasan mangrove
TNK adalah:
1 Perlu segera dilakukan penataan ruang kawasan (zonasi) sesuai fungsinya
di kawasan TNK secara umum, maupun secara khusus di kawasan
mangrove TNK sebagai bagian dari TNK.
2 Perlu perubahan pendekatan dalam pengelolaan kawasan TNK, agar
terbentuk pengelolaan kolaboratif dengan masyarakat lokal yang terlanjur
tinggal di dalam kawasan TN. Pengelolaan kolaboratif adalah pendekatan
pengelolaan yang direkomendasikan untuk mengelola mangrove di TNK.
Salah satu hasil Diskusi Lanjutan Tata Batas di Taman Nasional Kutai
adalah menyelenggarakan pengelolaan kolaboratif dalam area seluas 23
712 ha.
3 Perlu perubahan paradigma pengelolaan yang membatasi akses
masyarakat terhadap sumberdaya alam dalam TNK, menjadi peluang
untuk memanfaatkan sumberdaya secara bertanggung jawab sesuai
peraturan yang berlaku. Khusus untuk sumberdaya di kawasan mangrove,
budidaya sylvofishery kepiting bakau merupakan alternatif
matapencaharian untuk kelangsungan hidup masyarakat. Masyarakat yang
telah menetap dalam kawasan diberi hak pemanfaatan dan pengelolaan
sumberdaya, dengan kontrol pengawasan dari pemerintah. Sumberdaya
yang dapat dimanfaatkan dari kawasan mangrove adalah kepiting bakau.
Pemanfaatan kepiting bakau melalui budidaya sylvofishery atau pun
penangkapan dilakukan pada zona yang telah ditentukan sesuai fungsinya.
4 Pemerintah, baik pemerintah pusat maupun daerah, berkewajiban
menyediakan elemen untuk kontrol pengawasan bagi pengelolaan oleh
masyarakat. Elemen kontrol ini antara lain berupa peraturan perundangan
yang disepakati oleh semua stakeholder yang terlibat dalam kawasan.
Selain itu tersedianya aparat pengawasan yang jumlahnya mencukupi
untuk wilayah yang luas, juga perlu diperhatikan. Selama ini tidak
efektifnya pengawasan dan tidak tegasnya penerapan sanksi menyebabkan
pelanggaran aturan yang meluas di kalangan masyarakat lokal.
216

5 Perlu adanya aturan yang membatasi pemanfaatan sumberdaya dalam


ekosistem mangrove. Pembatasan dapat dilakukan melalui pengaturan
kuota sesuai daya dukung lingkungan, restoking, dan pembayaran retribusi
atas penggunaan sumberdaya. Sehingga pemanfaatan sumberdaya di
kawasan pelestarian alam bertujuan untuk mempertahankan keberlanjutan
kehidupan masyarakat, dan tidak untuk komersialisasi atau pun privatisasi.
6 Masyarakat lokal perlu diberi informasi yang benar tentang konsep
pengelolaan kolaborasi dan tujuan pengelolaan kawasan taman nasional,
sehingga semua pihak akan mempunyai tujuan yang sama untuk
mempertahankan fungsi TNK sebagai kawasan konservasi sekaligus dapat
mengelolanya secara berkelanjutan untuk kehidupan masyarakat.
7 Perlu peninjauan kembali penunjukkan dan luas wilayah TNK sebagai
Kawasan Pelestarian Alam Taman Nasional, mengingat saratnya masalah
politis dan kependudukan dalam kawasan TNK.
8 Kebijakan pengelolaan dengan menggunakan skenario optimistik dari
model pemanfaatan kepiting bakau berdasarkan kondisi ekobiologi perlu
diterapkan untuk mencapai pemanfaatan yang berkelanjutan.

6 SIMPULAN DAN SARAN

6.1 Simpulan
1. Kondisi bioekologi S. serrata di kawasan mangrove TN Kutai, berdasarkan
hasil analisis dengan metode analitik, diketahui bahwa penangkapan S.
serrata sudah berada di atas laju eksploitasi maksimal, hanya di lokasi Muara
Sangkima penangkapan kepiting jantan masih sedikit di bawah eksploitasi
maksimal yang diperbolehkan.
2. Hasil analisis HSI menunjukkan bahwa daya dukung budidaya sylvofishery
di lokasi Muara Sangatta tertinggi dibanding lokasi yang lain. Individu
kepiting bakau yang dapat didukung untuk budidaya sylvofishery yang
berkelanjutan adalah sebanyak 244.862 ekor atau dapat dibudidayakan pada
490 unit kurungan tancap berukuran 10 x 20 m. Ketersediaan benih di
lokasi tersebut diperkirakan sebesar 31 363 ekor benih. Kekurangan benih S.
serrata harus diambil dari kawasan mangrove daerah lain yang merupakan
kawasan pemanfaatan umum. Unit karamba sejumlah ini memerlukan lahan
seluas 10 ha. Di Muara Sangatta terdapat sekitar 400.03 ha lahan kritis. Unit-
unit karamba ini dapat dibangun di lahan tersebut, sekaligus sebagai upaya
untuk rehabilitasi lahan kritis.
3. Rekomendasi pengelolaan yang dapat diberikan berdasarkan hasil analisis
bioekologi dan daya dukung adalah kawasan mangrove TN Kutai perlu ditata
menggunakan konsep zonasi. Muara Sangatta adalah lokasi yang paling
sesuai untuk usaha budidaya sylvofishery dan Muara Sangkima untuk zona
perikanan tangkap Scylla serrata, sedangkan lokasi yang lain digunakan
sebagai zona perlindungan.
Enam hal yang penting dipertimbangkan dalam pengelolaan Scylla
serrata adalah 1) Penutupan daerah penangkapan Scylla serrata, sesuai
zonasi yang telah ditentukan sebelumnya; 2) penutupan musim penangkapan
Scylla serrata. 3) pengaturan jenis kelamin tangkapan kepiting bakau,
disarankan penangkapan kepiting bakau lebih diutamakan menangkap
kepiting dengan jenis kelamin jantan untuk menjaga keseimbangan rasio
kepiting jantan:betina di alam; 4) pembatasan alat tangkap kepiting bakau.

220

Jenis alat tangkap yang direkomendasikan untuk digunakan adalah jenis alat
tangkap bubu/rakkang dengan lokasi tangkapan pada zona depan hutan
mangrove/pinggiran pantai, karena pada lokasi ini cenderung lebih banyak
terdapat kepiting muda yang berukuran kecil, sehingga dapat dijadikan
sebagai benih pada budidaya sylvofishery; 4) pemberlakuan kuota
penangkapan kepiting bakau. Laju eksploitasi kepiting jantan dan betina di
Muara Sangatta dan Teluk Perancis, sudah melebihi ambang batas
maksimum, sehingga tidak boleh dilakukan penambahan upaya untuk
penangkapan S. serrata, baik berupa penambahan unit alat tangkap, frekuensi
penangkapan, maupun dari jumlah nelayan; 6) restoking Scylla serrata dapat
dilakukan dengan mengembalikan ke alam sebagian dari hasil panen
budidaya sylvofishery. Restoking induk betina Scylla serrata minimal
sebesar 1% dari panen budidaya sylvofishery.

6.2 Saran
Penelitian ini belum melakukan kajian untuk optimasi budidaya
sylvofishery, sehingga belum dapat menduga optimasi ekonomi pemanfaatan
hutan mangrove .

DAFTAR PUSTAKA

[AED] Atlantic Ecology Division. 2008. Habitat Suitability Index (HSI).


http://www.epa.gov/aed/html/research/scallop/hsi.html
Afrianto E, E Liviawaty. 1993. Pemeliharaan Kepiting. Kanisius. Yogyakarta.
Ali MY, D Kamal, SMM Hossain, MA Azam, W Sabbir, A Murshida, B Ahmed,
K Azam. 2004. Biological studies of the mud crab, Scylla serrata (Forskal)
of the sundarbans mangrove ecosystem in Khulna Region of Bangladesh.
Pakistan Journal of Biological Sciences 7: 1981-1987.
Aminullah E. 2004. Berpikir Sistemik Untuk Pembuatan Kebijakan Publik, Bisnis,
dan Ekonomi. Jakarta : Penerbit PPM.
Arifin Z. 2006. Carrying Capacity Assessment on Mangrove Forest with Special
Emphasize on Mud Crab Sylvofishery System: A Case Studi in Tanjung
Jabung Timur District Jambi Province. [Thesis]. Post Graduate School.
Bogor Agricultural University.
Balle M. 1994. Managing with Systems Thinking, Making Dynamics Work for You
in Business Decision making. London : Irwin McGraw Hill.
Bene C, Tewfik A. 2000. Analysis of Fishing Effort Allocation and Fishermen
Behaviour Trough a System Approach. Centre For The Economics and
Management of Aquatic Resources (CEMARE Res.pap.) .
Bengen DG. 2000. Teknik Pengambilan Contoh dan Analisis Data Biofisik
Sumberdaya Pesisir. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Institut
Pertanian Bogor.
Bengen DG. 2004. Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut serta
Prinsip Pengelolaannya. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan.
Institut Pertanian Bogor.
Bonine KM, EP Bjorkstedt, KC Ewel, M Palik. 2008. Population characteristik of
the mangrove crab Scylla serrata (Decapoda: Portunidae) in Kosrae,
Federation States of Micronesia: effect of harvest and implications for
management. Jurnal Pacific Science 62: 1-19.
Brower JE, JH Zar, CN Ende. 1990. Field and Laboratory Methods for General
Ecology. Edisi Ketiga. Wm C. Brown Publishers. United States of Amerika.
Bueno SLS, RM Shimizu. 2009. Allometric growth, sexual maturity and adult
male chelae dimorphism in Aegla franca (Decapoda: Anomura: Aeglidae).
Journal of Crustacean Biology 29(3): 317-328.
Chen X, G Li, B Feng, S Tian. 2009. Habitat Suitability Index of Chub Mackerel
(Scomber japonicus) from July to September in the East China Sea. Journal
of Oceanography 6: 93-102.
220

Cholik F, A Hanafi. 1991. A review of the status of the mud crab (Scylla sp.)
fishery and culture in Indonesia. Reports of The Seminar on The Mud Crab
Culture and Trade. Surat Thani, Thailand, November 5-8 1991.
Cholik F, A Hanafi. 1992. A Review of the status of mud crab fishery and culture
in Indonesia. Central Research Institute for Fisheries. Jakarta. p 3-6.
Cholik F. 1999. Review of Mud Crab Culture Research in Indonesia. In Mud
Crab Aquaculture and Biology. ACIAR Proceedings N0.78. Canberra.
Australia.
[CII] Conservation International Indonesia. 2006. Konservasi berbasis
masyarakat melalui Daerah Perlindungan Laut di Kepulauan Togean
Sulawesi Tengah. Palu: CII Togean Program.
Dahuri R, J Rais, SP Ginting, MJ Sitepu. 2001. Pengelolaan Sumberdaya Pesisir
dan Lautan Secara Terpadu, cetakan kedua. Pradnya Paramita. Jakarta.
326 p.
Dahuri R. 2003. Paradigma Baru Pembangunan Indonesia Berbasis Kelautan.
Orasi Ilmiah: Guru Besar Tetap Bidang Pengelolaan Sumberdaya Pesisir
dan Lautan FPIK. IPB. Bogor.
Damanik R, B Prasetiamartati, A Satria. 2006. Menuju Konservasi Laut yang Pro
Rakyat dan Pro Lingkungan. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia.
Jakarta.
Davis JA, GJ Churchill, T Hecht, P Sorgeloss. 2004. Spawning characteristics of
the South African mudcrab Scylla serrata (Forskall) in captivity. Journal
of The World Aquaculture Society 35:121-133.
[Dephut] Departemen Kehutanan. 2006. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor:
P.56/Menhut-II/2006 tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional.
Departemen Kehutanan RI.
[Dephut] Departemen Kehutanan. 2007. Kawasan Konservasi Indonesia.
Departemen Kehutanan. Jakarta.
Dianthani D. 2002. Evaluasi kondisi lingkungan perairan Muara Badak kaitannya
dengan larva kepiting bakau. [Tesis]. Institut Pertanian Bogor.
Downs JA, RJ Gates, AT Murray. 2008. Estimating carrying capacity for sandhill
cranes using habitat suitability and spatial optimization models. Jurnal
Ecological Modelling 214: 284-292.
Effendie MI. 1979. Metode biologi perikanan. Yayasan Dewi Sri. Bogor: 112 p.
English S, C Wilkinson, V Baker. 1997. Survey Manual for Tropical Marine
Resource, 2nd edition. Australian Intitute of Marine Science. Townsville.
Eriyatno. 2003. Ilmu Sistem : Meningkatkan Mutu dan Efektifitas Manajemen.
Jilid satu. Edisi ketiga. IPB Press. Bogor.
Ewel KC. 2008. Mangrove crab (Scylla serrata) populations may sometimes be
best managed locally. Journal of Sea Research 59: 114 120.
221

Ford A. 1999. Modeling the Environment, An Introduction to System Dynamics


Models of Environmental Systems. Island Press. Washington DC. USA.
Forrester JW. 1994. System Dynamics, System Thinking, and Soft OR.
http://sysdyn.clexchange.org/road-maps/rm-toc.html. [8 Desember 2006].
Garth JS, DP Abbott. 1980. Branchyura: The True Crabs. In Intertidal
Invertebrates of California. California: Stanford University Press. Page.
594 623.
Genodepa JG. 1999. Pen Culture Experiments of the Mud Crab Scylla serrata in
Mangrove Areas. In Mud Crab Aquaculture and Biology. ACIAR
Proceedings N0.78. Canberra. Australia.
[GESAMP] Joint Group of Experts on the Scientific Aspects of Marine
Environmental Protection. 1996. The contributions of science to integrated
coastal management. Reports and studies No. 61. Food and Agriculture
Organization of the United Nations, Rome
Gunawan W, WC Adinugroho, Noorcahyati. 2005. Model pelestarian ekosistem
mangrove di kawasan Taman Nasional Kutai oleh masyarakat dusun Teluk
Lombok. Loka Litbang Satwa Primata, Badan Litbang Kehutanan,
Departemen Kehutanan.
Hall NG, KD Smith, S de Lestang, IC Potter. 2006. Does the largest chela of the
males of three crab species undergo an allometric change that can be used to
determine morphometric maturity ?. ICES Journal Marine Science 63 (1):
140-150.
Haddon M, S Frusher, T Hay, M Hearnden, N Gribble, I Brown. 2004. Mud crab
(scylla serrata) assessment workshop. Fishery report no. 79. Presented in
Mud crab (scylla serrata) assessment workshop Fisheries Group,
Department of Business, Industry and Resource Development, Darwin, 26 -
28 july 2004. Website at www.fisheries.nt.gov.au
Harjanto D. 2002. Tinjauan Perspektif Pengelolaan Kawasan Mangrove.
Tantangan Dan Peluang Rehabilitasinya. Makalah Pelatihan dan Workshop
Rehabilitasi Mangrove Tingkat Nasional. INSTIPER Yogyakarta 24-30
September 2002.
Haryani EBS, A Dermawan, K Isao, Indriani. 2008. Konservasi Sumberdaya Ikan
di Indonesia. Direktorat Konservasi dan Taman Nasional Laut, Dirjen
P3K, Departemen Kelautan dan Perikanan dan Japan International
Cooperation Agency (JICA). Jakarta.
Hastuti S. 1998. Pertumbuhan embrio kepiting bakau, Scylla serrata, pada
beberapa tingkat salinitas media. (Thesis). Program Pascasarjana IPB.
Bogor
Heasman MP, DR Fielder, Sheperd. 1985. Mating and spawning in the mud crab
Scylla serrata (Forskal). Australian Journal of Freshwater Research. 36:
773-783.
222

Hill BJ. 1975. Abundance, breeding and growth of the crab Scylla serrata in two
South African estuaries. Marine Biology 32: 119126.
Hill BJ. 1979. Aspects of feeding strategy of predatory crab, Scylla serrata.
Marine Biology 55:209-214.
Hyland SJ, BJ Hill, CP Lee. 1984. Movement within and between different
habitats by the portunid crab Scylla serrata. Marine Biology 80: 57-61
Hutching B, P Saenger. 1987. Ecology of Mangrove. University of Queensland
Press. St. Lucia, London, New York. 388 p.
Ikhwanuddin A Mhd, S Oakley. 1999. Culture of mud crabs in mangrove areas :
the Sarawak experience. In Press Procs. Of Regional workshop on
integrated management of Mangrove/coastal ecosystems for sustainable
aquaculture development. 23rd-25th (Ed, Mackintosh, D.) Kuching,
Sarawak, Malaysia.
Indrawan M, RB Primack, J Supriatna. 1997. Biologi Konservasi. Jakarta: Buku
Obor. 624 hlm.
[IUCN] International United Conservation Nature. 1994. Guidelines for Protected
Areas Management Categories. IUCN, Cambridge, UK and Gland,
Switzerland. 261pp.
Jewett SC, CP Onuf. 1988. Habitat suitability index models: red king crab. U.S.
Wildlife Service Biologi Reproduction 82:110-153.
Johnston D, CP Keenan. 1999. Mud Crab Culture in the Minh Hai Province,
South Vietnam. In Mud Crab Aquaculture and Biology.Australian Centre
for International Agricultural Research (ACIAR) Proceedings No. 78.
Canberra. Australia.
Jones D, G Morgan. 1994. Crustaceans of Australian Waters. Image Productions.
Singapure. Page: 1:126.
Jorgensen SE. 1994. Fundamental of Ecological Modeling. Elsevier. Amsterdam.
Juan F, EG Gurriaran. 1998. New approaches to the behavioural ecology of
decapod crustaceans using telemetry and electronic tags. Hydrobiologia
371/372: 123132
Juwana S. 2004. Penelitian Budidaya Rajungan dan Kepiting: Pengalaman
Laboratorium dan Lapangan. Budi Setyawan, W. et al. Editor. Interaksi
daratan dan Lautan: pengaruhnya terhadap sumberdaya dan lingkungan.
Prosiding Simposium Interaksi Daratan dan Lautan. LIPI Press. Jakarta.
428-473.
Juwana S. 1995. Budidaya Kepiting di Negara-negara Asia. Oceana XX: 1-9.
Karim MY. 1998. Aplikasi Pakan Alami (Brachionus plicatilis dan Nauplis
Artemia salina) yang Diperkaya Dengan Asam Lemak Omega-3 dalam
223

Pemeliharaan larva Kepiting Bakau (Scylla serrata Forsskal). [Disertasi].


Bogor. Institut Pertanian Bogor.
Karim MY, Arifin, K Amri. 2002. Kelangsungan Hidup dan Pertumbuhan
Kepiting Bakau (Scylla serrata Forsskal) yang Dipelihara dalam Kurungan
di Laut. Jurnal Teknologi Perikanan dan Kelautan 7: 124 -129
Kasry A. 1996. Budidaya Kepiting Bakau dan Biologi Ringkas. Penerbit Bharata.
Jakarta. 93 hal.
Kathiresan K, BL Bingham. 2001. Biology of Mangroves and Mangrove
Ecosystems. Marine Biology 40: 81-251.
Kavanagh P. 1999. Rapfish SPSS Automation and Analysis of Technique. UBC
Fisheries Centre. Unpublished report.
Keenan CP. 1997. The Fourth Species of Scylla. Proceedings of an international
scientific forum held in Darwin, Australia, 2124 April 1997 Bribie Island
Aquaculture Research Centre, Queensland. Australia
Keenan CP, PJF Davie, DL Mann. 1998. A Revision of the genus Scylla De Haan,
1983 (Crustacea: Decapoda: Brachyura: Portunidae). The Raffles Bulletin of
Zoology 46 (1): 217-245.
Keenan CP. 1999. The Fourth Spesies of Scylla. In Mud Crab Aquaculture and
Biology. ACIAR Proceedings N0.78. Canberra. Page. 48-58.
King M. 1997. Population Dynamics. In: Fisheries Biology, Assessment and
Management, 2nd Edn. Fishing News Books, Oxford, pp: 79-197.
Kirkwood CW. 1998. System Dynamics Methods : A Quick Introduction. Arizona:
Arizona State University.
Kozloff EN, LH Price. 1987. Marine Invertebrates of The Pasific Nortwest (book
1, 2, 3). University of Washington Press. Seatle and London.
Kuntiyo, Z Arifin, T Supratomo. 1994. Pedoman Budidaya Kepiting
Bakau (Scylla serrata) di Tambak. Direktorat Jenderal Perikanan,
Balai Budidaya Air Payau, Jepara.
Kusmana C. 1995. Habitat Hutan Mangrove dan Biota. Laboratorium Ekologi
Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Kusmana C. 1995. Metode Survey Vegetasi. Fakultas Kehutanan Institut Pertanian
Bogor.
Laapo A. 2010. Optimasi Pengelolaan Ekowisata Pulau-Pulau Kecil (Kasus
Gugus Pulau Togean Taman Nasional Kepulauan Togean). Disertasi [tidak
dipublikasikan]. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. 187 hal.
Leslie HM, KL McLeod. 2007. Confronting the challenges of implementing
marine ecosystem-based management. Front Ecol Environ 5(10): 540548.
224

Le Vay L. 2001. Ecology and management of mud crab Scylla spp. Asian
Fisheries Sciense 14:101-111.
Le Vay L, JH Lebata, M Walton, J Primavera, E Quinitio, C Lavilla-Pitogo, F
Parado-Estepa, E Rodriguez, VNg Ut, TT Nghia, P Sorgeloos, M Wille.
2008. Approaches to stock enhancement in mangrove-associated crab
fisheries. Reviews in Fisheries Science 16:7280.
Le Vay L, VNg Ut, M Walton. 2007. Population ecology of the mud crab Scylla
paramamosain (Estampador) in an estuarine mangrove system; a mark-
recapture study. Marine Biology 151:11271135.
Lovett DL. 1981. A Guide to The Shrimps, Prawns, Lobsters, and Crabs of
Malaysia And Singapore. Faculty of Fisheries and Marine Science,
University Pertanian Malaysia. Selangor. 156.
Lyneis JM. 1980. Corporate Planning and Policy Design : A System Dynamics
Approach. Massachussetts : The MIT Press.
Macintosh DJ, C Thongkum, K Swamy, C Cheewasedtham, N Paphavisit. 1993.
Broodstock management and the potential to improve the exploitation of
mangrove crabs, Scylla serrata (Forskl), through pond fattening in
Ranong, Thailand. Aquaculture & Fisheries Management 24:261-269.
MacKinnon J, K MacKinnon. 1986. Managing Protected Areas in The Tropics.
IUCN and UNEP.
Marganof. 2007. Model Pengendalian Pencemaran Perairan di Danau Maninjau
Sumatera Barat. [Disertasi]. Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor.
Markidakis S, SC Wheelwright, VE McGee. 1991. Metode dan Aplikasi
Peramalan. Jakarta : Penerbit Erlangga.
Mardjono M, N Anindiastuti, IS Hamid, Djunaidah, WH Satyantani. 1994.
Pedoman pembenihan kepiting bakau (Scylla serrata). Balai
Budidaya Air Payau, Direktorat Jenderal Perikanan Jakarta.
Mardjono M, N Hamid, ML Nurdjana. 1992. Budidaya Kepiting Bakau: Lahan
Baru yang Menguntungkan. Balai Budidaya Air Payau. Jepara. 33 hal.
McKee KL. 1996. Mangrove ecosystems: definitions, distribution, zonation,
forest structure, trophic structure, and ecological significance. In Mangrove
Ecology Workshop Manual, Mangrove ecology: a manual for a field course
a field manual focused on the biocomplexity on mangrove ecosystems. Feller
I.C. and M. Sitnik Eds. Smithsonian Institution. 136 hal.
McLeod KL, HM Leslie, editors. 2009. Ecosystem-Based Management for the
Oceans. Island Press, Washington, DC.
Moosa MK, I Aswandy, A Kasry. 1985. Kepiting Bakau Scylla serrata
(Forskal,1775) dari Perairan Indonesia. Sumberdaya Hayati Perairan LON-
LIPI. Jakarta. 18 hal.
225

Motoh H. 1977. Biological synopsis of Alimango, Genus Scylla. SEAFDEC


Aquaculture Department. 136-153.
Motoh H. 1979. Edible crustaceans in Philippines, 11th in A series. Asian
Aquaculture 2:5.
Muhammadi, E Aminullah, B Soesilo. 2001. Analisis Sistem Dinamis Lingkungan
Hidup, Sosial, Ekonomi, Manajemen. Jakarta : UMJ Press.
Mulholland R. 1984. Habitat suitability index models: hard clam. U.S. Fish
Wildlife Service. FWS/OBS-82/10.77. 21 pp.
Mulya MB. 2000. Kelimpahan dan distribusi kepiting bakau serta keterkaitannya
dengan karakteristik biofisik hutan mangrove di Suaka Margasatwa Karang
Gading dan Langkat Timur Laut Provinsi Sumatera Utara. [Tesis]. Institut
Pertanian Bogor.
Muskar YF. 2007. Mempersiapkan Kepiting menjadi Komoditas Andalan. Pusat
Informasi & Data PSDA Sulawesi. http://www.lestari-m3.org
Nazir M. 2003. Metode Penelitian. Jakarta : Ghalia Indonesia.
Nazar F. 2002. Karakteristik habitat dan kaitannya dengan keberadaan tiga jenis
kepiting bakau S. olivacea, S. tranquebarica, dan S. serrata di perairan
Karang Anyar, Segara Anakan, Cilacap. Jawa Tengah. [Tesis]. Institut
Pertanian Bogor.
Nurdiani R, C Zeng. 2007. Effects of temperature and salinity on the survival and
development of mud crab, Scylla serrata (Forsskal), Larvae. Aquaculture
Research, 38:1529-1538
Nybakken JW. 1992. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis, cetakan kedua.
Alih Bahasa Eidman M, DG Bengen, M Hutomo, S Sukardjo. PT Gramedia.
Jakarta.
Ong KS. 1964. The Early development stage of Scylla serrata (Forskal)
(Crustacea : Portunidae), reared in the laboratory. Fisheries. Research.
Institute Glugor, Penang, Prociding IPFC. 1 (2) : 135-146.
Onyango SD. 2002. The breeding cycle of Scylla serrata (Forskl, 1755) at
Ramisi River estuary, Kenya. Wetlands Ecology and Management 10: 257
263.
Pagcatipunan P. 1972. Observation on the culture of Alimango, Scylla serrata at
Camarines Norte (Philippines), pp. 362-365. In T.R.V. Pillay, ed. Coastal
Aquaculture in the Indo Pacific Region. Fishing News (books). Manila,
Philippines.
Panayotou T. 1982. Management Concept for Small-scale Fisheries : Economic
and Social Aspect. FAO-UN. Rome. 53p.
226

[Pemkab] Pemerintah Kabupaten Kutai Timur. 2005. Permasalahan dan Upaya


Penyelesaian Taman Nasional Kutai, (Makalah Bupati Kutai Timur).
Bapedda Kutai Timur, Sangatta. 13 p.
Pratiwi R, NI Wijaya. 2010. Laporan Ekspedisi Kapal Penelitian Baruna Jaya VIII
di Perairan Kalimantan Selatan, Hasanuddin et al. (editor). Kerjasama
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (DIKTI) dan Pusat Penelitian
Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2O-LIPI), 19
November 1 Desember, 2010, 120 hal.
Phelan M, M Grubert. 2007. The Life Cycle of the Mud Crab. Fishnote No: 11.
Coastal Research Unit, Department of Primary Industry, Fisheries and
Mines. Northern Territory Government of Australia, Darwin.
http://www.nt.gov.au/ dpifm.
PHKA-dephut, NRM/EPIQ, WWF, Wallacea, TNC. 2002. Membangun kembali
upaya mengelola kawasan konservasi di indonesia melalui manajemen
kolaboratif: Prinsip, kerangka kerja dan panduan implementasi. Naskah
kerja teknis. NRM/EPIQ. Jakarta.
Poovachiranon S. 1992. Biological studies of the mud crab Scylla serrata
(Forskl) of the mangrove ecosystem in the Andaman Sea. In: Angell, C.A.
(Ed.), Report of the Seminar on the Mud Crab Culture and Trade. Surat
Thani, Thailand, November 5-8, 1991. Bay of Bengal Programme,
Brackishwater Culture, BOBP/REP/51, Madras, India, pp: 49-57.
Quinitio ET, FD Parado-Estepa. 2001. Molting and regeneration in Scylla serrata
juveniles.Workshop on Mud Crab Rearing, Ecology and Fisheries. 8-10
January 2001, Cantho University, Vietnam. p. 23.
Rahmadani F, MA Ismawan, M Syoim. 2004. Wajah Mangrove Taman Nasional
Kutai: Laporan Survei Potensi Mangrove di Taman Nasional Kutai,
Kalimantan Timur. Samarinda : Yayasan BIKAL.
Rohmatulloh. 2008. Studi Dinamika Sistem Penilaian Kinerja Pabrik Gula : Kasus
PT PG Rajawali II Unit PG Subang Jawa Barat. [Tesis]. Sekolah
Pascasarjana IPB. Bogor.
Republik Indonesia. 1990. Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi
Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Lembaran Negara RI Tahun
1990, No. 49. Sekretariat Negara. Jakarta.
Republik Indonesia. 1999. Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan. Sekretariat Negara. Jakarta.
Republik Indonesia. 2007. Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Lembaran Negara RI
Tahun 2007 No. 84. Sekretariat Negara. Jakarta.
Republik Indonesia. 2007. Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 2007 tentang
Konservasi Sumberdaya Ikan. Lembaran Negara RI Tahun 2007 No. 134.
Sekretariat Negara. Jakarta.
227

Rnnbck P. 1999. The Ecological Basis for Economic Value of Seafood


Production Supported by Mangrove Ecosystems. Elsevier. Jurnal
Ecological Economics 29 : 235-252.
Sara La. 2010. Study on the size structure and population paramaters of mud crab
Scylla serrata in Lawele Bay, Southeast Sulawesi, Indonesia. Journal of
Coastal Development 13:133-147
Sargent RG. 1998. Verification and Validation of Simulation Models. Proceeding
of 1998 Winter Simulation Conference, p. 121-130.
Sasekumar A, JJ Loi . 1983. Litter production in three mangrove forest zones in
the Malay Peninsula. Aquatic Botany 17: 283-290.
SEAFDEC-AQD. 2000. Mangroves and Community Aquaculture. Aquaculture
Department Southeast Asian Fisheries Development Center. Tigbauan.
Philipina.
Senge PM. 1995. Fifth Discipline : The Art and Practice of The Learning
Organization. Terjemahan. Jakarta : Binarupa Aksara.
Sevilla CG, JA Ochave, TG Punsalan, BP Regala, GG Uriarte. 1993. Pengantar
Metode Penelitian. Terjemahan. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.
Siahainenia L. 2008. Bioekologi kepiting bakau (Scylla spp) di ekosistem
mangrove Kabupaten Subang Jawa Barat. [Disertasi]. Sekolah Pascasarjana
IPB. Bogor.
[SIMPATIK] Sistem Informasi Perhitungan Statistik Kelautan dan Perikanan.
2006. http://www.dkp.go.id//
Snedaker SC, Getter CD. 1985. Coastal resources management guidelines.
research planning Institute, Inc. Colombia, Melbourne, Sydney. 334 p.
Soeroyo. 2003. Pengamatan gugur serasah di hutan mangrove Sembilang Sumatra
Selatan. P3O-LIPI: 38-44
Sowerbys. 1996. Book of Shells. Crown Publisher, Inc. New York.
Sparre P, SC Venema. 1999. Introduksi Pengkajian Stok Ikan Tropis. Organisasi
Pangan dan Pertanian (FAO), PBB. Edisi Bahasa Indonesia: Puslitbangkan.
Indonesia.
Sterman JD. 2000. Business Dynamics : System Thinking and Modeling for a
Complex World. Boston : Irwin McGraw-Hill.
Sudiarta IK. 1988. Studi Kelimpahan dan Penyebaran Burayak Kepiting Bakau
(Scylla serrata) di Perairan Teluk Hurun Lampung. Karya Ilmiah. Fakultas
Perikanan Institut Pertanian Bogor.
Sukardi L. 2009. Desain model pemberdayaan masyarakat lokal dalam
pengelolaan hutan berkelanjutan (kasus masyarakat sekitar kawasan hutan
Taman Nasional Gunung Rinjani Pulau Lombok). [Disertasi]. Sekolah
228

Pascasarjana IPB. Bogor.


Sumich JL. 1979. An Introduction to The Biology of Marine Life. WM C Brown
Company Publisher. USA.
Sushil. 1993. System Dynamics : A Practical Approach for Managerial Problems.
New Delhi : Willey Eastern Ltd.
Susila WR. 1991. Verifikasi dan Validasi Model. Forum Statistik, Maret-Juni
1991, hal: 22-26.
Suwignyo, Sugiarti, B Widigdo, Y Wardiatno, M Krisanti. 2005. Avertebrata Air
jilid 1 dan 2. Jakarta: Penebar Swadaya
Thia-Eng C. 2006. Essential Elements of Integrated Coastal Zone Management.
Ocean & Coastal Management. Elsevier Science Publishers Ltd, England
Printed in Northern Ireland.
Trino AT, EM Rodriguez. 2002. Pen culture of mud crab Scylla serrata in tidal
flats reforested with mangrove trees. Elsevier, Journal Aquaculture
211:125 134.
[TNK] Taman Nasional Kutai. 2005. Data Dasar Taman Nasional Kutai. Balai
Taman Nasional Kutai. Bontang, Kalimantan Timur.
[UNEP/GPA]. 2006. Ecosystem-based management: Markers for assessing
progress. United Nations Environment Programme (UNEP), Global
Programme of Action for the Protection of the Marine Environment from
Land-based Activities (GPA). The Hague.
[Unmul] Universitas Mulawarman. 2002. Survei Potensi Kawasan Pesisir
Kabupaten Kutai Timur, Laporan Penelitian. Universitas Mulawarman
(Unmul) dan Bappeda Kabupaten Kutai Timur. Sangatta
Van der Lee GEM., DT Van der Molen, HFP Van den Boogaard, H Van der Klis.
2006. Uncertainty analysis of a spatial habitat suitability model and
implications for ecological management of water bodies. Landscape
Ecology 21 :10191032
Walpole RE. 1990. Pengantar Statistika. Edisi ke-3. B. Sumantri, penerjemah;
Jakarta: Penerbit Gramedia Pustaka Utama. 488 hlm.
Walton ME, L Le Vay, LM Truong, VNg Ut. 2006. Significance of mangrove
mudflat boundaries as nursery grounds for the mud crab, Scylla
paramamosain. Marine Biology 149: 11991207
Watters G, AJ Hobday. 1998. A new method for estimating the morphometric size
at maturity of crabs. Journal Fisheries Aquaculture Science 55(3): 704-714.
Webley, J.A.C., R.M. Connolly and R.A. Young 2009. Habitat selectivity of
megalopae and juvenile mud crabs (Scylla serrata): implications for
recruitment mechanism. Marine Biology 156: 891-899.
229

Warner GF. 1977. The biologi of carbs. Eleck Science, London.


Webley JAC, MC Rod, RA Young. 2009. Habitat selectivity of megalopae and
juvenile mud crabs (Scylla serrata): implications for recruitment
mechanism. Marine Biology 156: 891-899
Wei Say WC, AMhd Ikhwanuddin. 1999. Pen Culture of Mud Crabs, Genus
Scylla in the Mangrove Ecosystems of Sarawak, East Malaysia. Australian
Centre for International Agricultural Research (ACIAR) Proceedings No.
78. Mud Crab Aquaculture and Biology. Proceedings of an International
Scientific Forum held in Darwin, Australia, 2124 April 1997. Canberra.
Australia.
Wolowicks K. 2005. The Fishprint of Aquaculture, Can the blue revolution be
sustainable? Redefining Progress. Oakland, California.
Yanuar Y. 2008. Optimasi Kegiatan Nelayan melalui Pengembangan Mata
Pencaharian Alternatif sebagai Instrumen Pendukung Keberlanjutan
Taman Nasional Karimunjawa. Tesis. Sekolah Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor.
Yulianda F. 2006. Prinsip Dasar Pengelolaan Konservasi. Bahan Kuliah Sekolah
Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.
Zamani NP, JL Gaol, H Madduppa, RE Arhatin, KS Putra, M Khazali, K Anwar,
L Zulkah. 2007. Profil sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil di
Kepulauan Togean. CII, BTNKT, TKL IPB dan Pemda Kabupaten Tojo
Una-Una. 215 hlm.
Zamroni Y, IS Rohyani. 2008. Produksi Serasah Hutan Mangrove di Perairan
Pantai Teluk Sepi, Lombok Barat. Jurnal Biodiversitas 9: 284-287
Ziegelmeier E. 1972. Bottom Living Animals Macrobenthos. Dalam; Research
Methods in Marine Biology. Sidgwick & Jackson. London; pp 104-141.
231

LAMPIRAN 1
DISTRIBUSI KELOMPOK UKURAN Scylla serrata JANTAN
MUARA SANGKIMA

Nov 2008

Des 2008

Jan 2009

Feb 2009

Mar 2009

Apr 2009

Mei 2009

Jun 2009
232

LAMPIRAN 2
DISTRIBUSI KELOMPOK UKURAN Scylla serrata BETINA
MUARA SANGKIMA
Nov 2008

Des 2008

Jan 2009

Feb 2009

Mar 2009

Apr 2009

Mei 2009
233

LAMPIRAN 3
DISTRIBUSI KELOMPOK UKURAN Scylla serrata JANTAN
MUARA SANGATTA
Okt 2008

Nov 2008

Des 2008

Jan 2009

Feb 2009

Mar 2009

Apr 2009

Mei 2009

Jun 2009
234

LAMPIRAN 4
DISTRIBUSI KELOMPOK UKURAN Scylla serrata BETINA
MUARA SANGATTA
Okt 2008

Des 2008

Jan 2009

Feb 2009

Mar 2009

Apr 2009

Mei 2009

Jun 2009
235

LAMPIRAN 5
DISTRIBUSI KELOMPOK UKURAN Scylla serrata JANTAN
TELUK PERANCIS
Okt 2008

Des 2008

Jan 2009

Feb 2009

Apr 2009

Mei 2009

Jun 2009
236

LAMPIRAN 6
DISTRIBUSI KELOMPOK UKURAN Scylla serrata BETINA
TELUK PERANCIS

Jan 2009

Feb 2009

Mar 2009

Jun 2009
237

LAMPIRAN 7
HUBUNGAN PANJANG BOBOT Scylla serrata MUARA SANGATTA

A. JANTAN
1200

1000

800
Bobot(gram)

y=0.001x3.038
600 R=0.886

400

200

0
0 20 40 60 80 100 120 140 160
Panjang(mm)

B. BETINA
800
700
y=0.004x2.328
600
R=0.876
Bobot(gram)

500
400
300
200
100
0
0 50 100 150 200
Panjang(mm)
238

LAMPIRAN 8
HUBUNGAN PANJANG BOBOT Scylla serrata TELUK PERANCIS

A. JANTAN

1200

1000
y=6E05x3.323
800 R=0.924
bobot(gram)

600

400

200

0
0 50 100 150 200
Panjang(mm)

B. BETINA

700

600
y=0.001x2.680
500 R=0.886
Bobot(gram)

400

300

200

100

0
0 20 40 60 80 100 120 140 160
Panjang(mm)
239

LAMPIRAN 9
HUBUNGAN PANJANG BOBOT Scylla serrata MUARA SANGKIMA

A. JANTAN

1000
900
800 y=4E05x3.393
700 R=0.917
Bobot(gram)

600
500
400
300
200
100
0
0 20 40 60 80 100 120 140 160
Panjang(mm)

B. BETINA

600

500
y=0.001x2.609
400 R=0.913
Bobot(gram)

300

200

100

0
0 20 40 60 80 100 120 140 160
Panjang(mm)
240

LAMPIRAN 10
HUBUNGAN PANJANG BOBOT Scylla serrata
BUDIDAYA SYLVOFISHERY

A. JANTAN

300

250 y=0.002x2.409
R=0.577
200
Bobot(gram)

150

100

50

0
0 20 40 60 80 100 120
Panjang(mm)

B. BETINA

250

200
y=0.002x2.422
Bobot(gram)

150
R=0.674

100

50

0
0 20 40 60 80 100 120
Panjang(mm)
241

LAMPIRAN 11
ANALISIS LAJU MORTALITAS DAN LAJU EKSPLOITASI
Scylla serrata JANTAN MUARA SANGATTA

i. MORTALITAS TOTAL
242

ii. MORTALITAS ALAMI

iii. EKSPLOITASI Y/R VERSUS B/R


243

LAMPIRAN 12
ANALISIS LAJU MORTALITAS DAN LAJU EKSPLOITASI
Scylla serrata BETINA MUARA SANGATTA

i. MORTALITAS TOTAL
244

ii. MORTALITAS ALAMI

iii. EKSPLOITASI Y/R VERSUS B/R


245

LAMPIRAN 13
ANALISIS LAJU MORTALITAS DAN LAJU EKSPLOITASI
Scylla serrata JANTAN TELUK PERANCIS

i. MORTALITAS TOTAL
246

ii. MORTALITAS ALAMI

iii. EKSPLOITASI Y/R VERSUS B/R


247

LAMPIRAN 14
ANALISIS LAJU MORTALITAS DAN LAJU EKSPLOITASI
Scylla serrata BETINA TELUK PERANCIS

i. MORTALITAS TOTAL
248

ii. MORTALITAS ALAMI

iii. EKSPLOITASI Y/R VERSUS B/R


249

LAMPIRAN 15
ANALISIS LAJU MORTALITAS DAN LAJU EKSPLOITASI
Scylla serrata JANTAN MUARA SANGKIMA

i. MORTALITAS TOTAL
250

ii. MORTALITAS ALAMI

iii. EKSPLOITASI Y/R VERSUS B/R


251

LAMPIRAN 16
ANALISIS LAJU MORTALITAS DAN LAJU EKSPLOITASI
Scylla serrata BETINA MUARA SANGKIMA

i. MORTALITAS TOTAL
252

ii. MORTALITAS ALAMI

iii. EKSPLOITASI Y/R VERSUS B/R


253

LAMPIRAN 17
PARAMETER PERTUMBUHAN PADA BUDIDAYA SYLVOFISHERY

KEPITING BETINA

KEPITING JANTAN
254

LAMPIRAN 18
ASUMSI-ASUMSI UNTUK HSI

Variabel Asumsi dan Referensi


oksigen terlarut DO
DO lebih 4 ppm
(V1)
BOD (V2)
salinity range from 2-38 ppt (Hill, 1974); salinity range of 15-30 ppt
(Cholik 1991); salinity range of 10-25 ppt is considered optimal for growth
(Cholik 1991); At low salinity (10 ppt) - At high salinity (40 ppt) (Chen and Chia,
1996a). It is distributed over a wide range of salinity, from 2 ppt. to oceanic waters.
They are essentially euryhaline, but die beyond 70 ppt (Md Giasuddin Khan and Md
Fokhrul Alam).
salinitas air (V3),
S. serrata larvae tolerate a broad range of salinity and temperature conditions.
Rearing temperature 25-30 C and salinity 20-35 g L-1 generally result in reasonable
survival.
However, from an aquaculture point of view, a higher temperature range of 28-30
C and a salinity range of 20-30 g L-1 are recommended as it shortens the culture
cycle (Nurdiani and Zeng 2007).
temperature 28-33C (Cholik 1991); Feeding activity and growth ceases in
winter, when temperatures drop below 20C (Heasman 1980), Kuntinyo et
temperatur air (V4) al.(1994), berpendapat bahwa suhu yang baik untuk budidaya kepiting bakau
berkisar antara 26-32C, jika suhu air 20C atau kurang, kepiting bakau tidak
tumbuh.
penelitian Sudiarta (1988), dikatakan bahwa kisaran pH antara 7.9-8.3 dapat
pH air (V5)
mendukung kehidupan kepiting bakau yang dipelihara.
Wahyuni dan Ismail (1987), menyatakan bahwa kepiting bakau dapat hidup pada
pH substrat (V6) kondisi perairan asam yaitu pada daerah bersubstrat lumpur dengan pH rata-rata
6.16 dan pada perairan dengan pH rata-rata 6.5.
Wahyuni dan Ismail (1987), mendapatkan kepiting bakau pada kedalaman 30 79
Pasut air laut (V7)
cm di perairan dekat hutan mangrove dan 30 125 cm di muara sungai.
kepiting bakau bersembunyi dalam lumpur untuk mempertahankan diri agar tetap
fraksi substrat (V8)
dingin selama air surut dan melindungi diri dari predator (Motoh 1979)
Makanan alami kepiting bakau mengandung 50% moluska dan 21 % krustasea,
terutama grapsid crab. Opnai (1986), menyatakan isi lambung kepiting bakau di
perairan hutan mangrove Purari dan Aird Deltas (Papua New Guinea), 89% berisi
kepadatan
bivalva, gastropoda dan moluska lainnya, serta 11% sisanya terdiri dari krustasea
makrozoobenthos (V9)
yang sulit diidentifikasikan. Sedangkan Gunarto et al. (1987) menyatakan bahwa
90% isi lambung kepiting bakau terdiri dari jenis-jenis alga (Spirogyra sp, dan
Chara sp), larva insekta dan benih tiram.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kedua metode memberikan perkiraan serupa
preferensi. daun R. mangle lebih dipilih daripada A.germinans dan L. racemosa.
Persen daridaun R. mangle dengan kerusakan adalah sekitar 20-30 kali lebih besar
daripada spesies lain, dan stomata daun R. mangle 3-20 kali lebih berlimpah di
lambung kepiting dibandingkan dengan stomata daun dari spesies lainnya
Herbivore feeding preferences as measured by leaf damage and stomatal ingestion: a
jenis vegetasi (V10) mangrove crab example.
Authors:
Erickson, Amy A. aerickso@chuma.cas.usf.edu; Saltis, Mark1
Bell, Susan S.1; Dawes, Clinton J.1
Source:
Journal of Experimental Marine Biology & Ecology; Apr2003, Vol. 289
Issue 1, p123, 16p)
kerapatan vegetasi (V11) Sihainenia (2008),
Hasil penelitian McCann (1996) dalam Arifin (2006) menyatakan bahwa 50%
produksi serasah (V12) materi yang diidentifikasi pada pencernaan kepiting adalah moluska, 20-22% adalah
crustasea, dan sisanya 28-30% terdiri atas sejumlah kecil tanaman dan serasah.
255

LAMPIRAN 19
SKOR SUITABILITY INDEX UNTUK HSI

1.20

1.00

0.80
SuitabilityIndex

0.60

0.40

0.20

0.00
0.0 0.5 1.0 1.5 2.0 2.5 3.0 3.5 4.0 4.5 5.0 5.5 >6
DO(mg/L)

1.20

1.00

0.80
SuitabilityIndex

0.60

0.40

0.20

0.00
0.0 5.0 10.0 15.0 20.0 25.0 30.0 35.0 >35
Salinitas(ppm)
256

1.00

SuitabilityIndex

0.10
1.0 2.0 3.0 4.0 5.0 6.0 7.0 8.0 9.0 10.0 11.0 12.0 13.0 14.0
pH

1.2

0.8
SuitabilityIndex

0.6

0.4

0.2

0
5 10 15 20 25 30 35 >36
TemperaturAir(C)
SuitabilityIndex SuitabilityIndex

0
1

0.2
0.4
0.6
0.8
1.2

0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
1.2
0
110

Avicen
1150
5160
61100
101 150
101150
151200
201250
251300
300400
401450
451500
nnia Aegiceraas Rhizophoraa Bruguiera
JenisVegetassi

501550
551600
601650
Ceriops

KerapatanVegetassi(ind/ha)
651700
H

701750
751800
Hibiscus

801850
851900
N

901950
Nypa
257

9511000
>1000
258
SuitabilityIndex SuitabilityIndex

0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
1.2

0
1

0.2
0.4
0.6
0.8
1.2
0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
0.8
0.9
0.95
12
34
5
6
KetinggianPasut(cm)

ProduksiSerasah(ton/ha/th)
8
9
10
11
12
13
14
259

>15
LAMPIRAN 20
HASIL ANALISIS PCA JULI

STASIUN pHa SALa DOa BODa TEMPa CODa TEKs VEG BENTH SCYL
A-1 6.900 16.000 6.300 3.100 28.000 20.200 3.000 1113.000 20.750 0.025
A-2 6.100 16.000 5.100 5.600 29.000 26.300 3.000 1113.000 20.750 0.025
A-3 6.100 16.000 4.400 5.200 28.000 21.400 1.000 1113.000 20.750 0.025
B-1 7.900 33.000 6.400 3.300 26.000 23.400 1.000 800.000 24.000 0.010
B-2 5.200 34.000 5.900 2.400 28.000 21.800 1.000 800.000 24.000 0.010
B-3 7.100 33.000 5.100 2.300 27.000 20.900 1.000 800.000 24.000 0.010
C-1 7.600 28.000 6.200 2.800 25.000 19.300 1.000 1250.000 20.000 0.015
C-2 7.200 19.000 5.600 2.600 26.000 18.300 1.000 1250.000 20.000 0.015
C-3 7.100 34.000 4.200 4.200 26.000 24.700 2.000 1250.000 20.000 0.015

XLSTAT - Correlations and Principal Components Analysis / Started on 25/06/2010 at 6:59:18 PM


Correlation coefficient type : Classical
Data range : Workbook = PCA_HABITAT.xls / Sheet = PCA JULI FIX (3) / Range = $A$1:$K$10

Correlations matrix :
pHa SALa DOa BODa TEMPa CODa TEKs VEG BENTH SCYL
-
pHa 1 0.1947 0.2841 -0.2694 -0.7809 -0.2328 -0.1506 0.1981 0.1423 -0.2677
SALa 0.1947 1 0.0692 -0.5076 -0.4899 0.1293 -0.4880 -0.4990 0.5872 -0.8944
DOa 0.2841 0.0692 1 -0.5847 -0.2086 -0.3985 -0.0579 -0.2822 0.2955 -0.2549
-
BODa -0.2694 -0.5076 -0.5847 1 0.4795 0.6782 0.4757 0.3376 0.4140 0.7193
TEMPa -0.7809 -0.4899 -0.2086 0.4795 1 0.4029 0.5357 -0.2592 0.1539 0.5714
CODa -0.2328 0.1293 -0.3985 0.6782 0.4029 1 0.4749 -0.1547 0.1188 0.1563
-
TEKs -0.1506 -0.4880 -0.0579 0.4757 0.5357 0.4749 1 0.3053 0.3785 0.6786
-
VEG 0.1981 -0.4990 -0.2822 0.3376 -0.2592 -0.1547 0.3053 1 0.9923 0.5274
BENTH -0.1423 0.5872 0.2955 -0.4140 0.1539 0.1188 -0.3785 -0.9923 1 -0.6286
-
SCYL -0.2677 -0.8944 -0.2549 0.7193 0.5714 0.1563 0.6786 0.5274 0.6286 1
261

Eigenvalues and eigenvectors (based on the correlations matrix) :

Eigenvalues 1.0000 2.0000 3.0000 4.0000 5.0000 6.0000 7.0000 8.0000 9.0000 10.0000
Value 4.3418 2.5007 1.4145 0.9772 0.4559 0.2537 0.0557 0.0004 0.0000 0.0000
% of
variability 0.4342 0.2501 0.1415 0.0977 0.0456 0.0254 0.0056 0.0000 0.0000 0.0000
Cumulative
% 0.4342 0.6843 0.8257 0.9234 0.9690 0.9944 1.0000 1.0000 1.0000 1.0000
Vectors : 1.0000 2.0000 3.0000 4.0000 5.0000 6.0000 7.0000 8.0000 9.0000 10.0000
pHa -0.1765 0.4090 -0.1929 0.5060 -0.4707 -0.4093 -0.0488 0.3398 0.0097 -0.0366
-
SALa -0.3778 -0.1490 -0.4003 0.0796 0.3910 0.0510 0.6222 0.3408 0.0254 0.0954
-
DOa -0.2246 0.0877 0.5559 0.4837 0.0055 0.6148 0.0491 0.1320 0.0083 0.0313
-
BODa 0.4029 -0.1202 -0.3075 0.0437 -0.4417 0.3617 0.1475 0.0281 0.1580 0.5943
-
TEMPa 0.2885 -0.4430 0.3036 -0.0812 0.0197 -0.1933 -0.1350 0.7521 0.0020 0.0076
CODa 0.1879 -0.3727 -0.4697 0.4071 0.0395 0.2824 -0.2766 -0.0306 0.1361 -0.5120
-
TEKs 0.3488 -0.0655 0.1128 0.5601 0.4713 -0.3730 0.0227 -0.2651 0.0873 0.3286
VEG 0.2703 0.4867 -0.1414 -0.0923 0.3103 0.1863 -0.1411 0.2447 0.6514 0.1627
BENTH -0.3130 -0.4554 0.0989 0.0806 -0.2527 -0.1612 0.0292 -0.2098 0.6893 0.2616
SCYL 0.4496 0.0681 0.2091 0.0271 -0.2148 -0.0638 0.6858 -0.0968 0.2204 -0.4127
262

Correlations between initial variables and principal factors :

factor factor factor factor factor factor


factor 1 factor 2 factor 3 factor 4 5 6 7 8 9 10
pHa -0.3677 0.6468 -0.2294 0.5002 -0.3178 -0.2062 -0.0115 0.0069 0.0000 0.0000
SALa -0.7872 -0.2357 -0.4761 0.0786 0.2640 0.0257 0.1469 0.0069 0.0000 0.0000
DOa -0.4680 0.1386 0.6611 0.4782 0.0037 0.3097 0.0116 0.0027 0.0000 0.0000
BODa 0.8396 -0.1900 -0.3657 0.0432 -0.2982 0.1822 0.0348 0.0006 0.0000 0.0000
TEMPa 0.6012 -0.7006 0.3611 -0.0803 0.0133 -0.0974 -0.0319 0.0152 0.0000 0.0000
CODa 0.3916 -0.5894 -0.5587 0.4025 0.0266 0.1423 -0.0653 -0.0006 0.0000 0.0000
TEKs 0.7267 -0.1036 0.1342 0.5537 0.3182 -0.1879 0.0054 -0.0053 0.0000 0.0000
VEG 0.5632 0.7696 -0.1681 -0.0913 0.2095 0.0938 -0.0333 0.0049 0.0000 0.0000
BENTH -0.6522 -0.7202 0.1176 0.0797 -0.1706 -0.0812 0.0069 -0.0042 0.0000 0.0000
SCYL 0.9368 0.1076 0.2487 0.0267 -0.1450 -0.0321 0.1619 -0.0020 0.0000 0.0000

Coordinates of observations on principal axes :

axis 1 axis 2 axis 3 axis 4 axis 5 axis 6 axis 7 axis 8 axis 9 axis 10
A-1 1.5884 0.6029 2.0960 1.0855 0.3783 -0.5105 0.2343 -0.0161 0.0000 0.0000
A-2 3.6929 -1.4944 -0.1803 0.8743 -0.0029 0.2783 -0.2751 0.0247 0.0000 0.0000
A-3 2.3086 -0.2689 -0.1482 -1.6835 -1.0836 0.0761 0.2398 -0.0090 0.0000 0.0000
B-1 -2.5653 -0.6585 -0.4360 1.5165 -1.0418 0.3488 -0.0352 -0.0196 0.0000 0.0000
B-2 -1.8457 -2.4883 0.8406 -0.9309 0.9455 0.5608 0.0257 -0.0076 0.0000 0.0000
B-3 -2.3205 -1.0843 -0.1895 -0.3297 -0.2209 -1.0401 -0.0214 0.0269 0.0000 0.0000
C-1 -1.2001 2.5605 0.0258 0.1261 0.1502 0.5981 0.2374 0.0323 0.0000 0.0000
C-2 -0.4274 2.2738 0.6287 -0.8343 0.0181 -0.0679 -0.4965 -0.0136 0.0000 0.0000
C-3 0.7691 0.5572 -2.6371 0.1761 0.8571 -0.2436 0.0911 -0.0180 0.0000 0.0000
263

LAMPIRAN 21
HASIL ANALISIS PCA DESEMBER

Stasiun pHa SALa Doa BODa TEMPa CODa TEKs VEG BENTH SCYL
A-1 7.1 25 6.6 4.6 25 18.2 3 1113 20.75 0.025
A-2 6.7 10 5.4 6.3 25 21.4 3 1113 20.75 0.025
A-3 6.7 5 5.2 6 24 17.5 1 1113 20.75 0.025
B-1 7.2 27 6.5 2.4 26 24 1 800 24 0.010
B-2 7.3 25 6.2 2.9 26 22.3 1 800 24 0.010
B-3 7 24 5.5 2.1 25 22.4 1 800 24 0.010
C-1 7.5 24 5.8 3.3 24 17.2 1 1250 20 0.015
C-2 7.1 13 5.1 3.8 24 16.3 1 1250 20 0.015
C-3 7.1 10 5.3 5.4 24 18.2 1 1250 20 0.015

XLSTAT - Correlations and Principal Components Analysis / Started on 25/06/2010 at 7:36:55 PM


Correlation coefficient type : Classical
Data range : Workbook = PCA_HABITAT.xls / Sheet = PCA DES FIX (3) / Range = $A$1:$K$10
Number of additional rows : 0
Number of additional variables : 0
Number of rows removed before computations : 0

Correlations matrix :

pHa SALa Doa BODa TEMPa CODa TEKs VEG BENTH SCYL
pHa 1 0.7149 0.4802 -0.6731 0.1482 -0.0200 -0.3895 -0.0472 0.1356 -0.6330
SALa 0.7149 1 0.8153 -0.8355 0.6421 0.4837 -0.0409 -0.5758 0.6090 -0.5620
Doa 0.4802 0.8153 1 -0.4411 0.7280 0.4565 0.2652 -0.4939 0.4763 -0.1657
BODa -0.6731 -0.8355 -0.4411 1 -0.4832 -0.4571 0.4949 0.6242 -0.6962 0.8565
TEMPa 0.1482 0.6421 0.7280 -0.4832 1 0.8873 0.1512 -0.8668 0.8486 -0.3780
CODa -0.0200 0.4837 0.4565 -0.4571 0.8873 1 0.0158 -0.8965 0.8880 -0.4617
TEKs -0.3895 -0.0409 0.2652 0.4949 0.1512 0.0158 1 0.1665 -0.2566 0.7143
VEG -0.0472 -0.5758 -0.4939 0.6242 -0.8668 -0.8965 0.1665 1 -0.9923 0.5274
BENTH 0.1356 0.6090 0.4763 -0.6962 0.8486 0.8880 -0.2566 -0.9923 1 -0.6286
SCYL -0.6330 -0.5620 -0.1657 0.8565 -0.3780 -0.4617 0.7143 0.5274 -0.6286 1
264

Eigenvalues and eigenvectors (based on the correlations matrix) :

Eigenvalues 1.0000 2.0000 3.0000 4.0000 5.0000 6.0000 7.0000 8.0000 9.0000 10.0000
Value 5.7511 2.1890 1.4960 0.2365 0.2239 0.0546 0.0318 0.0171 0.0000 0.0000
% of variability 0.5751 0.2189 0.1496 0.0237 0.0224 0.0055 0.0032 0.0017 0.0000 0.0000
Cumulative % 0.5751 0.7940 0.9436 0.9673 0.9897 0.9951 0.9983 1.0000 1.0000 1.0000
Vectors : 1.0000 2.0000 3.0000 4.0000 5.0000 6.0000 7.0000 8.0000 9.0000 10.0000
pHa 0.2072 -0.4455 0.4286 0.2540 0.2866 -0.0439 0.5613 0.0848 -0.0871 -0.3107
SALa 0.3550 -0.0707 0.3891 -0.3600 -0.1129 0.2424 0.1644 -0.0550 0.1882 0.6716
Doa 0.2821 0.1856 0.5107 0.4397 -0.3087 0.1964 -0.4617 -0.2033 -0.0562 -0.2005
BODa -0.3574 0.2874 -0.0249 0.5372 0.1835 0.1187 0.3353 -0.4454 0.1016 0.3626
TEMPa 0.3524 0.3247 0.0204 0.2909 0.2089 -0.6317 -0.0667 0.3909 0.0788 0.2814
CODa 0.3329 0.3015 -0.2419 0.0545 0.4781 0.6473 -0.0156 0.2820 -0.0263 -0.0938
TEKs -0.1095 0.5245 0.4015 -0.4835 0.3605 -0.1846 0.0530 -0.2736 -0.0745 -0.2659
VEG -0.3665 -0.2102 0.2615 0.0342 0.3233 0.0650 -0.3445 0.2158 0.6910 -0.0223
BENTH 0.3810 0.1369 -0.2694 -0.0337 -0.2280 -0.0819 0.2612 -0.2798 0.6686 -0.3319
SCYL -0.3118 0.3809 0.2057 0.0162 -0.4664 0.1539 0.3713 0.5639 0.0811 -0.1070

Correlations between initial variables and principal factors :

factor factor factor factor factor


1 factor 2 factor 3 4 5 factor 6 factor 7 8 factor 9 10
pHa 0.4969 -0.6591 0.5242 0.1235 0.1356 -0.0102 0.1000 0.0111 0.0000 0.0000
SALa 0.8514 -0.1046 0.4759 -0.1751 -0.0534 0.0566 0.0293 -0.0072 0.0000 0.0000
Doa 0.6765 0.2746 0.6247 0.2139 -0.1461 0.0459 -0.0823 -0.0266 0.0000 0.0000
BODa -0.8572 0.4252 -0.0305 0.2613 0.0868 0.0277 0.0598 -0.0582 0.0000 0.0000
TEMPa 0.8451 0.4804 0.0250 0.1415 0.0989 -0.1476 -0.0119 0.0511 0.0000 0.0000
CODa 0.7983 0.4462 -0.2959 0.0265 0.2262 0.1512 -0.0028 0.0368 0.0000 0.0000
TEKs -0.2626 0.7761 0.4911 -0.2351 0.1706 -0.0431 0.0095 -0.0357 0.0000 0.0000
VEG -0.8789 -0.3110 0.3199 0.0167 0.1530 0.0152 -0.0614 0.0282 0.0000 0.0000
BENTH 0.9136 0.2025 -0.3295 -0.0164 -0.1079 -0.0191 0.0465 -0.0366 0.0000 0.0000
SCYL -0.7478 0.5636 0.2517 0.0079 -0.2207 0.0360 0.0662 0.0737 0.0000 0.0000
265

Coordinates of observations on principal axes :

axis 1 axis 2 axis 3 axis 4 axis 5 axis 6 axis 7 axis 8 axis 9 axis 10
A-1 -0.3551 1.5745 2.5722 -0.1970 -0.4610 -0.0691 -0.0819 -0.1314 0.0000 0.0000
A-2 -2.0015 2.7218 -0.3248 -0.2309 0.7630 0.0314 0.0882 0.1139 0.0000 0.0000
A-3 -2.9335 0.5174 -1.3876 0.4334 -0.9289 0.0728 0.0690 0.0583 0.0000 0.0000
B-1 3.8178 0.4138 -0.1180 0.4251 0.0191 0.1916 -0.3051 0.1312 0.0000 0.0000
B-2 3.3201 0.0486 -0.1775 0.5216 0.0915 -0.3737 0.2656 -0.0402 0.0000 0.0000
B-3 2.4120 -0.1946 -1.4401 -0.9789 -0.1924 0.1580 0.0578 -0.1173 0.0000 0.0000
C-1 -0.4061 -2.2897 1.5647 -0.0796 0.0877 0.2695 0.2130 0.1382 0.0000 0.0000
C-2 -1.8380 -1.7087 -0.2656 -0.4083 0.0747 -0.4291 -0.2134 0.0919 0.0000 0.0000
C-3 -2.0157 -1.0829 -0.4233 0.5147 0.5464 0.1485 -0.0933 -0.2446 0.0000 0.0000
266

LAMPIRAN 22
MAKROZOOBENTHOS

MUARA SANGATTA TELUK PRANCIS MUARA SANGKIMA


SPESIES Total
ni A N ni A N ni A N
(ind) (m) (ind/m) (ind) (m) (ind/m) (ind) (m) (ind/m)

KELAS GASTROPODA
Potamodidae (Telebralia sp) 11 4 2.75 2 4 0.5 1 4 0.25 3.5
Potamodidae (Telescopium sp) 8 4 2 6 4 1.5 2 4 0.5 4
Littoridae 5 4 1.25 15 4 3.75 12 4 3 8
Neritidae 2 4 0.5 0 4 0 4 4 1 1.5
Cherithidae 1 4 0.25 8 4 2 6 4 1.5 3.75
Trochidae 0 4 0 3 4 0.75 5 4 1.25 2
Dentaliidae 1 4 0.25 0 4 0 0 4 0 0.25
Nassaridae 1 4 0.25 2 4 0.5 2 4 0.5 1.25
Muricidae 1 4 0.25 8 4 2 6 4 1.5 3.75
Olividae 1 4 0.25 0 4 0 1 4 0.25 0.5

KELAS PELECYPODA
Corbiculidae (Geloina sp) 3 4 0.75 2 4 0.5 6 4 1.5 2.75
Ostreidae 3 4 0.75 16 4 4 3 4 0.75 5.5
Veneridae (T philippinarum) 2 4 0.5 1 4 0.25 0 4 0 0.75
Lucinidae 5 4 1.25 0 4 0 4 4 1 2.25
Arcidae (Anadara sp) 0 4 0 1 4 0.25 0 4 0 0.25

KELAS MALACOSTRACA
Ocypodidae (Ucha sp) 10 4 2.5 7 4 1.75 7 4 1.75 6
Penaidae (Penaeus sp) 3 4 0.75 2 4 0.5 1 4 0.25 1.5
Grapsidae (Sesarma sp) 7 4 1.75 6 4 1.5 3 4 0.75 4
Portunidae (Thalamita sp) 5 4 1.25 2 4 0.5 1 4 0.25 2
Upogebidae (Upogebia sp) 0 4 0 1 4 0.25 1 4 0.25 0.5
Paguridae (Pagurus sp) 12 4 3 9 4 2.25 11 4 2.75 8

KELAS POLYCHAETA

Nereis limnicola 2 4 0.5 5 4 1.25 4 4 1 2.75

total 81 20.75 91 24 76 20
267

LAMPIRAN 23
DATA FISIK KIMIA PERAIRAN
SALINITAS TEMPERATUR PH COD TEMPERATUR FRAKSI
Phair DO BOD
AIR AIR SUBSTRAT SUBSTRAT SUBSTRAT SUBSTRAT
STASIUN

JUL DES JUL DES JUL DES JUL DES JUL DES JUL DES JUL DES JUL DES JUL DES

MUARASANGATTA

SubA1 6.9 7.1 16 20 1.3 6.2 3.1 4.6 28 25 6.7 6.8 20.2 18.2 27 24 clay clay

SubA2 6.1 6.7 0 10 0 5.5 5.6 6.3 29 25 5.3 7 26.3 21.4 28 25 clay clay

sandy sandy
SubA3 6.1 6.7 0 0 4.5 5.3 5.2 6 28 24 5.1 6.6 21.4 17.5 27 23
loam loam

TELUKPERANCIS

sandy sandy
SubB1 7.1 7.2 33 27 6.2 6 2.8. 2.4 26 26 6.32 6.7 26.5 24 26 26
loam loam
sandy sandy
SubB2 6.9 7.3 31 25 5.4 5.2 3.4 2.9 28 26 6.45 6.5 25 22.3 25 24
loam loam
sandy sandy
SubB3 7 7 29 24 5.1 4.1 3.7 2.1 27 25 5.68 6.3 23.5 22.4 25 24
loam loam

MUARASANGKIMAH

sandy sandy
SubC1 7.6 7.5 26 10 2.3 5.2 2.8 3.3 25 24 6.32 6.7 19.3 17.2 24 22
loam loam
sandy sandy
SubC2 7.2 7.1 25 13 2.7 4.4 2.6 3.8 26 24 6.45 6.9 18.3 16.3 25 23
loam loam
sandy sandy
SubC3 7.1 7.1 19 0 0.9 4.2 4.2 5.4 26 24 5.68 6.5 24.7 18.2 25 23
loam loam
1=zonaperairan
2=zonadepanmangrove
3=zonatengahmangrove
268

LAMPIRAN 24
RINCIAN ANGGARAN BIAYA BUDIDAYA SYLVOFISHERY S. serrata
(Rp/unit/musim)
NO KOMPONEN SATUAN JUMLAH HARGA TOTAL
A. Biaya
1 Investasi
a. Jaring trawl 1,25" Gulung 2 500000 750000
b. Papan kayu Kubik 1 1500000 1500000
c. bambu Batang 20 20000 400000
d. Tali nilon Gulung 1 100000 100000
SUB TOTAL 2750000

2 Biaya Tetap/Peralatan
a. Bubu/rakkang Unit 5 40000 200000
b. Peralatan Panen Unit 1 200000 200000
c. Timbangan Unit 1 100000 100000
SUB TOTAL 500000

3 Biaya Variabel/modal kerja

a. benih S. serrata Ekor 500 750 375,000

b. pakan ikan rucah Kg 200 3,000 600,000

c. Upah pemeliharaan Bln 5 200,000 1,000,000

SUB TOTAL 1,975,000

TOTAL BIAYA 5,225,000


B. Manfaat
Penjualan Hasil Panen (SR
60%) Kg 90 35,000 3,150,000
269

LAMPIRAN 25

Cash Flow Analisis kelayakan Usaha


Budidaya Sylvofishery S. serrata (200 m)
Komponen Tahun ke
0 1 2
1. INVESTASI
a. Jaring trawl 1,25" 750000
b. Papan kayu 1500000
c. bambu 400000
d. Tali nilon 100000
SUB TOTAL 2750000

2. BIAYA TETAP
a. Bubu/rakkang 200000
b. Peralatan Panen 200000
c. Timbangan 100000
SUB TOTAL 500000
Penyusutan (25%) 125000 125000 125000

3. BIAYA VARIABEL
a. benih S. serrata 375000 375000
b. pakan ikan rucah 600000 600000
c. Upah pemeliharaan 1000000 1000000
SUB TOTAL 1975000 1975000
Lain-lain (5%) 98750 98750

TOTAL BIAYA 3375000 2198750 2198750

4. PENERIMAAN
panen kepiting 6300000 6300000

TOTAL PENERIMAAN 6300000 6300000

NET BENEFIT () -3375000 4101250 4101250

DF (12%) 1.00 0.89 0.80

R/C 0.00 2.87 2.87


PV -3375000 3661830 3269491
NPV 3556322
B/C 2.05
PBP 1.23
270

LAMPIRAN 26
ANALISIS PENDAPATAN NELAYAN KEPITING BAKAU

Penerimaan Biaya
Jumlah Total Total Pendapatan
No. Nama Perawatan
Tangkapan Harga Penerimaan BBM Biaya (Rp)
dan lain2
(kg/bln) (Rp) (Rp)
1 Hendra 143 25 000 3,575,000 400,000 1,000,000 1,400,000 2,175,000
2 Rudi 65 25 000 1,625,000 200,000 500,000 700,000 925,000
3 Imam 117 25 000 2,925,000 100,000 750,000 850,000 2,075,000
4 Santoso 98 25 000 2,437,500 400,000 750,000 1,150,000 1,287,500
5 Jamali 91 25 000 2,275,000 100,000 750,000 850,000 1,425,000
6 Sudin 98 25 000 2,437,500 100,000 750,000 850,000 1,587,500
7 Sulak 143 25 000 3,562,500 500,000 800,000 1,300,000 2,262,500
8 Bacok 98 25 000 2,437,500 100,000 750,000 850,000 1,587,500
9 Sanidai 75 25 000 1,875,000 100,000 600,000 700,000 1,175,000
10 Bombira 84 25 000 2,100,000 100,000 700,000 800,000 1,300,000
11 Hamang 95 25 000 2,362,500 100,000 750,000 850,000 1,512,500
12 Asri 105 25 000 2,625,000 100,000 750,000 850,000 1,775,000
13 Iyel 75 25 000 1,875,000 100,000 700,000 800,000 1,075,000
14 Acok 90 25 000 2,250,000 100,000 700,000 800,000 1,450,000
15 Syarif 98 25 000 2,437,500 100,000 750,000 850,000 1,587,500
RERATA
98 25,000 2,453,333 173,333 733,333 906,667 1,546,667
271

LAMPIRAN 27
KARAKTERISTIK RESPONDEN KEPITING BAKAU

Responden Nelayan Kepiting Bakau


Jenis Mulai TOTAL
No. Responden Lokasi Kelamin Umur Tkt.Pend. Usaha Hsl.Tkp Hsl.Tkp Harga Pemasukan BBM LAIN2 BIAYA Pendapatan
(Nama) (L/P) (Tahun) (Tahun) (Ekor/bln) (Kg/bln) Rp/Kg) (Rp)
Ma.
1
Hendra Sangatta L 24 SD 1993 1100 143 25000 3,575,000 400,000 1,000,000 1,400,000 2,175,000
Ma.
2
Rudi Sangatta L 23 SD 1993 500 65 25000 1,625,000 200,000 500,000 700,000 925,000
Ma.
3
Imam Sangatta L 65 SD 1993 900 117 25000 2,925,000 100,000 750,000 850,000 2,075,000
Ma.
4
Santoso Sangatta L 41 SD 1995 750 98 25000 2,437,500 400,000 750,000 1,150,000 1,287,500
Ma.
5
Jamali Sangatta L 52 SD 1995 700 91 25000 2,275,000 100,000 750,000 850,000 1,425,000
Ma.
6
Sudin Sangatta L 49 SD 1993 750 98 25000 2,437,500 100,000 750,000 850,000 1,587,500
Tl.
7
Sulak Perancis L 37 SD 2003 950 143 25000 3,562,500 500,000 800,000 1,300,000 2,262,500
Tl.
8
Bacok Perancis L 40 SD 2001 650 98 25000 2,437,500 100,000 750,000 850,000 1,587,500
Tl.
9
Sanidai Perancis L 47 SD 1993 500 75 25000 1,875,000 100,000 600,000 700,000 1,175,000
Tl.
10
Bombira Perancis L 33 SD 2001 560 84 25000 2,100,000 100,000 700,000 800,000 1,300,000
Tl.
11
Hamang Perancis L 36 SD 1993 630 95 25000 2,362,500 100,000 750,000 850,000 1,512,500
Ma.
12
Asri Sangkima L 36 SD 2003 700 105 25000 2,625,000 100,000 750,000 850,000 1,775,000
Ma.
13
Iyel Sangkima L 48 SD 1993 500 75 25000 1,875,000 100,000 700,000 800,000 1,075,000
Ma.
14
Acok Sangkima L 35 SD 1993 600 90 25000 2,250,000 100,000 700,000 800,000 1,450,000
Ma.
15
Syarif Sangkima L 49 SD 1993 650 98 25000 2,437,500 100,000 750,000 850,000 1,587,500
J u m l a h 21 010 1,472 375,000 36,800,000 2,600,000 11,000,000 13,600,000 23,200,000

R a t a - r a t a 98 25,000 2,453,333 173,333 733,333 906,667 1,546,667


272

Responden Pedagang Pengumpul Kepiting Bakau


Jenis Mulai
Responden Kelamin Umur Pendidikan Domisili Usaha Produksi Pendapatan
(Nama) (L/P) (Tahun) (Tahun) (Tahun) (Ekr/Bln) (Rp./Bln.)
Santoso L 39 SD 2001 2005 300-500 3 000 000

Responden Pengambil Kebijakan


Jenis Umur
Responden Kelamin Pendidikan Instansi Jabatan
(Nama) (L/P)
Tandio L 50 Sarjana kehutanan Balai TN Kutai Kepala Balai
Aminuddin L 37 Sarjana Perikanan Dinas Kelautan dan Perikanan Kasubid. Pengelolaan Pesisir
Rupiansyah L 51 Sarjana Ekonomi BAPPEDA Kepala Bappeda
Sumarjana L 48 Sarjana Teknik BAPPEDA Kabid Fisik & Prasarana
Elly Herliawati P 37 Magister Teknik BAPPEDA Kasubid. Tata Ruang & Tata Guna Lahan
Murdoko L 54 SMA KADES Kepala Desa Sangkima
Suhariyanto L 49 Diploma KADES Kepala Desa Singa Geweh
273

LAMPIRAN 28
INDEKS NILAI PENTING VEGETASI MANGROVE

INDEKS NILAI PENTING MUARA SANGATTA


LBD log
No Nama jenis Nama suku Nama lokal K F (m2) KR FR DoR INP ni/N (ni/N) H
Aegiceras
1 corniculatum Myrsinaceae Gedangan 49 8 0.057 55.056 44.444 42.531 142.031 0.551 -0.259 -0.143

2 Ceriops decandra Rhizophoraceae Bido-bido 2 1 0.006 2.247 5.556 4.335 12.138 0.022 -1.648 -0.037

3 Ceriops tagal Rhizophoraceae Soga tingi 2 2 0.003 2.247 11.111 1.992 15.350 0.022 -1.648 -0.037
4 Nypa fructicans Arecaceae Nipah 36 7 0.069 40.449 38.889 51.142 130.481 0.404 -0.393 -0.159

Jumlah 89 18 0.134 100 100 100 300 -0.376


Kerapatan = 1.113 pohon/ha
Indeks Keragaman (H) = 0, 376
Basal area 1,677 m2/ha

INDEKS NILAI PENTING TELUK PERANCIS


Indeks Nilai Penting (INP) dari Vegetasi Pohon di Stasiun Teluk Prancis

LBD log
No Nama jenis Nama suku Nama lokal K F KR FR DoR INP ni/N H
(m2) (ni/N)

Bruguiera Bakau daun


1 gymnorrhiza Rhizophoraceae besar 4 3 0.060 9.091 16.667 10.102 35.860 0.091 -1.041 -0.095
Rhizophora Bakau
2 apiculata Rhizophoraceae minyak 32 8 0.4006 72.727 44.444 67.478 184.650 0.727 -0.138 -0.101
Rhizophora
3 mucronata Rhizophoraceae Bakau hitam 8 7 0.1331 18.182 38.889 22.420 79.491 0.182 -0.740 -0.135

Jumlah 44 18 0.5937 100.000 100.000 100.000 300.000 -0.330


Kerapatan = 550 pohon/ha
Indeks Keragaman (H) = 0, 330
Basal area 7,421 m2/ha

Indeks Nilai Penting (INP) dari Vegetasi Anakan Pohon (diameter <10 cm) di Stasiun Teluk Prancis

Nama LBD log


No jenis Nama suku Nama lokal K F (m2) KR FR DoR INP ni/N (ni/N) H
Rhizophora Bakau
1 apiculata Rhizophoraceae minyak 8 8 0.0304 50.000 57.143 50.025 157.167 0.500 -0.301 -0.151
Rhizophora Bakau
2 mucronata Rhizophoraceae hitam 4 3 0.0164 25.000 21.429 27.037 73.466 0.250 -0.602 -0.151
Ceriops
3 decandra Rhizophoraceae Bido-bido 3 2 0.0099 18.750 14.286 16.309 49.345 0.188 -0.727 -0.136
Ceriops
4 tagal Rhizophoraceae Soga tingi 1 1 0.0040 6.250 7.143 6.629 20.022 0.063 -1.204 -0.075

Jumlah 16 14 0.0607 100.000 100.000 100.000 300.000 -0.513


Kerapatan = 800 pohon/ha
Indeks Keragaman (H) = 0, 513
Basal
Arean 3,037 m2/ha
274

INDEKS NILAI PENTING MUARA SANGKIMA


Indeks Nilai Penting (INP) dari Vegetasi Pohon di Stasiun Muara Sangkima

N Nama LBD log


Nama jenis Nama suku K F KR FR DoR INP ni/N H
o lokal (m2) (ni/N)

Rhizophora Rhizophoracea Bakau


1 apiculata e minyak 62 13 6.1664 63.265 44.828 59.575 167.667 0.633 -0.199 -0.126
Bruguiera Rhizophoracea Bakau
2 gymnorrhiza e daun besar 25 9 3.6238 25.510 31.034 35.010 91.555 0.255 -0.593 -0.151
Ceriops Rhizophoracea
3 decandra e Bido-bido 8 4 0.4596 8.163 13.793 4.441 26.397 0.082 -1.088 -0.089
Osbornia
4 octodonta Myrtaceae 1 1 0.0380 1.020 3.448 0.367 4.836 0.010 -1.991 -0.020
Hibiscus
5 tiliaceus Malvaceae Waru 1 1 0.0314 1.020 3.448 0.304 4.772 0.010 -1.991 -0.020
Lumnitzera
6 littorea Combretaceae 1 1 0.0314 1.020 3.448 0.304 4.772 0.010 -1.991 -0.020
100.00 100.00 100.00
Jumlah 98 29 10.3508 0 0 0 300.000 -0.427

Kerapatan = 613 pohon/ha


Indeks Keragaman (H) = 0, 427
Basal area 64,69 m2/ha 0.16 612.5 64.692

Indeks Nilai Penting (INP) dari Vegetasi Anakan Pohon (diameter <10 cm) di Stasiun Muara Sangkima

Nama Nama LBD log


No jenis Nama suku lokal K F (m2) KR FR DoR INP ni/N (ni/N) H
Avicennia
1 lanata Verbenaceae 2 1 0.0079 4.000 3.571 6.281 13.853 0.040 -1.398 -0.056
Bakau
Bruguiera daun
2 gymnorrhiza Rhizophoraceae besar 10 6 0.0310 20.000 21.429 24.749 66.177 0.200 -0.699 -0.140
Ceriops
3 decandra Rhizophoraceae Bido-bido 8 6 0.0263 16.000 21.429 21.043 58.471 0.160 -0.796 -0.127

4 Ceriops tagal Rhizophoraceae Soga tingi 1 1 0.0013 2.000 3.571 1.005 6.576 0.020 -1.699 -0.034
Hibiscus
5 tiliaceus Malvaceae 1 1 0.0009 2.000 3.571 0.684 6.255 0.020 -1.699 -0.034
Osbornia
6 octodonta Myrtaceae 3 2 0.0026 6.000 7.143 2.073 15.216 0.060 -1.222 -0.073
Rhizophora Bakau
7 apiculata Rhizophoraceae minyak 25 11 0.0552 50.000 39.286 44.166 133.451 0.500 -0.301 -0.151

Jumlah 50 28 0.1251 100 100 100 300 -0.124

Kerapatan = 1250 pohon/ha


Indeks Keragaman (H) = 0,124 0.04 3.1272
Basal Area 3,127 m2/ha

Anda mungkin juga menyukai