NIR
RMALAS
SARI IDHA
A WIJAY
YA
SE
EKOLAH H PASCAS
SARJANA
A
INSSTITUT P
PERTANIA
AN BOGO
OR
BOGOR
2011
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI
DAN SUMBER INFORMASI
Mud crab is one of the resources in Kutai National Park (Kutai NP)
mangrove ecosystem that can be utilized for the sylvofishery. This is an alternative
livelihood for local residents, that doesnt damage the forest to meet their necessity.
The objectives of this study were: 1) to identify bioecological status of crabs
resources in Kutai NP mangrove forest, 2) to review environmental carrying
capacity for sylvofishery of S. serrata in Kutai NPs mangrove ecosystem, and 3)
make recommendations of mangrove crabs management to ensure the sustainability
of its utilization and at the same time preserving the mangrove forest in the Kutai
NP. The data was collected since Oktober 2008 to June 2010. The S. serratas
bioecological status was analyzed by calculating the growth parameters and
prediction of the exploitation rate of S. serrata using FISAT II instrumen. The
carrying capacity of region was analyzed using Habitat Suitability Index (HSI)
method, and the analysis of management sustainability was done using dinamic
models. The results showed that there was a high interest from the public to cultivate
mud crabs with sylvofishery system. But the catching of S. serrata, to meet of the
mud crab seed, necessary to be regulated carefully. It was caused the factual
exploitation rate of the Muara Sangatta and Teluk Perancis was exceeds the rate of
allowed exploitation. The rate of exploitation was between 0.524-0.67/year.
However, exploitation in Muara Sangkima is still slightly below the allowed
exploitation. To reduce fishing pressure on S. serrata, sylvofishery cultivation needs
to be done. The cultivation make the growth coefficient (K) of S. serrata to be
higher, or the growth of crabs more faster than in wild live. HSI analysis showed the
highest carriying capacity in the Muara Sangatta region was 0.622 and capable to
supporting 490 of sylvofishery pen units. Based on the bioecological status of S.
serrata and the carrying capacity of the region, it is known that the Muara Sangatta
suitable for sylvofishery zone and Muara Sangkima according to fishing zone of S.
serrata. Dynamic model analysis shows that the optimistic scenario provides a more
optimal and sustainable resource in utilization of S. serrata.
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumber. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,
penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu
masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
PENGELOLAAN ZONA PEMANFAATAN EKOSISTEM MANGROVE
MELALUI OPTIMASI PEMANFAATAN
SUMBERDAYA KEPITING BAKAU (Scylla serrata)
DI TAMAN NASIONAL KUTAI PROVINSI KALIMANTAN TIMUR
Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor pada
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011
Penguji pada Ujian Tertutup : 1. Dr. Ir. Luky Adrianto, M.Sc.
2. Dr. Ir. Samedi, M.Sc.
NRP : C262070071
Disetujui
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA Prof (R). Dr. Sri Juwana.
Anggota Anggota
Diketahui
Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.Sc.
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-
Nya sehingga karya ilmiah Pengelolaan Zona Pemanfaatan Ekosistem Mangrove
melalui Optimasi Pemanfaatan Sumberdaya Kepiting Bakau (Scylla serrata) di
Taman Nasional Kutai Provinsi Kalimantan Timur ini dapat diselesaikan.
Penelitian ini dilakukan sebagai salah satu upaya untuk mengatasi
permasalahan degradasi mangrove di TNK melalui optimasi pemanfaatan
sumberdaya kepiting bakau (Scylla serrata). Kepiting bakau merupakan salah satu
sumberdaya yang terdapat dalam ekosistem mangrove yang dapat dimanfaatkan
untuk budidaya sylvofishery. Pemanfaatan ini merupakan salah satu bentuk
matapencaharian alternatif bagi penduduk lokal dalam kawasan TNK agar dapat
memenuhi kebutuhan hidupnya tanpa merusak hutan mangrove.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr.Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc selaku
Ketua Komisi Pembimbing, Prof.Dr.Ir. Mennofatria Boer, DEA dan Prof (R).Dr. Sri
Juwana selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah banyak memberi saran dan
bimbingan, juga kepada Dr.Ir. Luky Adrianto, M.Sc. dan Dr.Ir. Samedi, M.Sc.,
selaku Penguji Luar Komisi pada Ujian Tertutup, serta kepada Prof. Dr. Ir. Dietriech
G. Bengen, DEA dan Dr. Irwandi Idris selaku Penguji Luar Komisi pada Ujian
Terbuka, para dosen dan mahasiswa Program Studi Sumberdaya Pesisir dan Laut
yang telah memberikan masukan yang sangat berarti bagi perbaikan karya ini.
Ucapan terima kasih pula penulis sampaikan kepada Direktur Direktorat
Jenderal Pendidikan Tinggi yang telah memberikan beasiswa BPPS dan Ketua
Stiper Kutai Timur yang telah memberikan ijin tugas belajar dan Bupati Kutai
Timur yang telah memberikan bantuan stimulan dana penelitian. Secara khusus
ucapan terima kasih tak terhingga kepada suami dan anak-anak tercinta atas segala
doa, dukungan, kasih sayang, dan kesabaran menunggu selama proses penyelesaian
pendidikan doktor ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ............................... 1
1.2 Perumusan Masalah ............................... 3
1.3 Tujuan Penelitian ....................................... 9
1.4 Hipotesis ..................................................................................................... 10
1.5 Kerangka Pendekatan Penelitian ............................................................... 10
1.6. Kebaruan Penelitian .................................................................................... 11
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Biologi Kepiting Bakau ............................................................................. 15
2.1.1 Klasifikasi S. serrata......................................................................... 15
2.1.2 Morfologi S. serrata.......................................................................... 17
2.1.3 Daur hidup S. serrata......................................................................... 19
2.1.4 Karakter dewasa kelamin .................................................................. 21
2.1.5 Kepiting bakau sebagai hewan air (kehalalan kepiting bakau) ........ 25
2.2 Ekologi Habitat Mangrove .................................................................... 26
2.2.1 Karakteristik dan fungsi ekosistem mangrove ................................. 27
2.2.2 Keterkaitan antara kepiting bakau dengan mangrove....................... 28
2.2.3 Perkembangan budidaya sylvofishery kepiting bakau ..................... 29
2.2.4. Indeks Kesesuaian Habitat (Habitat Suitability Index/HSI) ........... 31
2.3 Sistem Dinamik dalam Pengelolaan Scylla serrata ................................... 33
2.3.1 Berpikir sistem (System Thinking) .................................................... 33
2.3.2 Umpan balik ..................................................................................... 34
2.3.3 Pemodelan dinamika sistem ............................................................. 37
2.4 Sejarah Taman Nasional ............................................................................. 41
2.5 Konsep Keterpaduan (Integrated Coastal Management/ICM) dan
Kolaboratif dalam Pengelolaan Mangrove Taman Nasional Kutai ........... 42
2.6 Pengelolaan Berbasis Ekosistem (Ecobased Management/EBM) ............. 47
2.7 Landasan Peraturan Perundangan Pemanfaatan Taman Nasional ............. 51
2.7.1 Undang-Undang No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi
Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya .................................. 51
2.7.2 Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan .......... 52
2.7.3 Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil ........................................................... 53
2.7.4 Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2007 Tentang Tata Hutan Dan
Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Serta Pemanfaatan
Hutan ................................................................................................ 54
2.7.5 Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 2007 tentang Konservasi
Sumberdaya Ikan .............................................................................. 55
2.7.6 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia
xii
3 METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian.......................................................................... 61
3.2 Metode Penelitian .......................................................................................... 62
3.3 Analisis Sosial Ekonomi Masyarakat dan Kondisi Umum TNK................... 63
3.3.1 Jenis dan sumber data sosial ekonomi masyarakat ........................ 63
3.3.2 Metode pengumpulan data sosial ekonomi masyarakat ................ 63
3.3.3 Analisis data sosial ekonomi masyarakat ...................................... 64
3.4 Analisis Status Ekologi dan Daya Dukung Lingkungan .............................. 71
3.4.1 Pengumpulan dan analisis data vegetasi mangrove di TNK ......... 71
3.4.2 Pengumpulan dan analisis data produksi serasah mangrove ......... 73
3.4.3 Pengumpulan dan analisis data makrozoobenthos ........................ 73
3.4.4 Pengumpulan dan analisis data kualitas perairan ......................... 74
3.4.5 Analisis hubungan sebaran spasial kepiting bakau dengan
karakteristik vegetasi mangrove .................................................. 74
3.4.6 Penilaian Daya Dukung Lingkungan ............................................ 75
3.5 Analisis Status Biologi Scylla serrata .......................................................... 77
3.5.1 Pengumpulan dan analisis data biologi Scylla serrata .................. 77
3.5.2 Analisis hubungan panjang dan bobot ........................................... 77
3.5.3 Analisis data kelompok ukuran .................................................... 78
3.5.4 Analisis data parameter pertumbuhan ........................................... 79
3.5.5 Analisis pendugaan laju eksploitasi Scylla serrata ....................... 80
3.5.6 Analisis Yield per Rekrut Relatif (Y/R) dan Biomass per Rekrut
(B/R) ............................................................................................. 81
3.6 Identifikasi Sistem Pengelolaan Kepiting Bakau di TNK ............................ 83
3.6.1 Membangun Diagram Kausal dan Diagram Alir ........................... 84
3.6.2 Submodel Habitat Mangrove ......................................................... 84
3.6.3 Submodel Penangkapan Kepiting .................................................. 87
3.6.4 Submodel Budidaya Pembesaran .................................................. 89
3.6.5 Submodel Ekonomi ....................................................................... 90
3.6.6 Submodel Sosial ............................................................................ 90
3.7 Pemodelan dan Simulasi Sistem Pengelolaan S. serrata ............................... 91
3.8 Zonasi Pemanfaatan S. serrata di Kawasan Mangrove TNK ........................ 92
3.9 Simulasi dan Analisis Keberlanjutan Pengelolaan Sumberdaya Scylla
serrata di Kawasan Mangrove TNK ............................................................. 93
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
Nomor Halaman
30. Skenario dan kombinasi antar faktor dan kondisi ........................ 203
31. Skor atribut dari empat dimensi pengelolaan sylvofishery
kepiting bakau di TNK ................................................................. 207
xvi
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
Nomor Halaman
37. Grafik pertumbuhan kepiting bakau sylvofishery ...................... 166
38. Peta zonasi pemanfaatan hutan mangrove ................................. 177
39. Zona Terbuka dan Tertutup bagi Penangkapan Scylla serrata di
Kawasan Mangrove TNK ............................................................ 181
40. Dinamika RPUEj, kelimpahan TKG IV S. serrata, dan hasil
tangkapan S. serrata pada Tahun 2009 ........................................ 183
41. Ratio jantan betina pada tiga zona hutan mangrove TNK ........... 185
42. Diagram alir stok (SFD) model pengelolaan S. serrata di habitat
mangrove TNK ............................................................................ 191
43. Diagram alir stok (SFD) submodel habitat mangrove ................. 193
44. Diagram alir stok submodel penangkapan S. serrata ................. 195
45. Diagram alir stok submodel budidaya sylvofishery ................... 196
46. Diagram alir stok submodel ekonomi pada pemanfaatan S.
serrata .......................................................................................... 197
47. Diagram alir stok submodel sosial pada pemanfaatan S. serrata 198
48. Hasil simulasi skenario dasar pengelolaan S. serrata di TNK ..... 199
49. Perbandingan luas mangrove saat parameter kunci dinaikkan
10% .............................................................................................. 201
50. Perbandingan luas mangrove saat parameter kunci diturunkan
10% ............................................................................................. 201
51. Grafik hasil simulasi skenario pesimistik .................................... 204
52. Grafik hasil simulasi skenario moderat ...................................... 205
53. Grafik hasil simulasi skenario optimistik ................................... 206
54. Diagram layang-layang pengelolaan sylvofishery di kawasan
mangrove TNK ............................................................................ 209
55. Peran masing-masing atribut dimensi ekologi pada
keberlanjutan pengelolaan sylvofishery dinyatakan dalam
bentuk nilai RMS (Root Mean Square) ........................................ 210
56. Peran masing-masing atribut dimensi ekonomi pada
keberlanjutan pengelolaan sylvofishery dinyatakan dalam
bentuk nilai RMS (Root Mean Square) ........................................ 211
57. Peran masing-masing atribut dimensi sosial pada keberlanjutan
pengelolaan sylvofishery dinyatakan dalam bentuk nilai RMS
(Root Mean Square) ..................................................................... 213
58. Peran masing-masing atribut dimensi kelembagaan pada
keberlanjutan pengelolaan sylvofishery dinyatakan dalam
bentuk nilai RMS (Root Mean Square) ........................................ 214
xviii
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1.4 Hipotesis
Hipotesis yang menjadi dasar pengembangan disertasi ini adalah:
Jika pemanfaatan sumberdaya kepiting bakau di zona pemanfaatan hutan
mangrove TNK dioptimalkan sesuai daya dukung lingkungannya melalui
sylvofishery, maka akan membentuk model pengelolaan ekosistem mangrove
yang lestari, yang diindikasikan dengan adanya penurunan laju kerusakan
ekosistem mangrove.
Analisis
1. Penangkapan Kepiting Dewasa Sistem
HIPOTESIS 2. Budidaya Pembesaran (kepiting
muda)
Pemodelan Pemanfatan
Powersim
Studio 2005
Sumberdaya kepiting
Peraturan Pengelolaan
Kawasan Konservasi
Strategi Pengelolaan
SD kepiting Bakau
2 TINJAUAN PUSTAKA
16
abdomen tereduksi menjadi tipis, rata dan terlipat di bawah cefalotoraks, karena
itu kepiting dinamakan brachyura atau ekor pendek (Garth & Abbott 1980).
17
Kepiting bakau ditutupi oleh karapas yaitu kulit yang terdiri atas khitin
bercampur bahan kapur yang telah mengeras. Karapas berbentuk bulat pipih,
dilengkapi dengan sembilan duri pada sisi kiri dan kanan. Empat duri yang lain
terdapat diantara kedua matanya. Mempunyai sepasang kaki jalan yang bentuknya
besar disebut capit yang berfungsi untuk memegang, tiga pasang kaki jalan dan
sepasang kaki renang berbentuk bulat telur dan pipih seperti alat pendayung
(Motoh dalam Karim 1998 ).
Untuk membedakan kepiting jantan dan betina dapat dilakukan dengan
mengamati ruas-ruas abdomennya. Kepiting jantan ruas abdomennya sempit,
sedangkan pada betina lebih besar. Perut kepiting betina berbentuk lonceng
(stupa) sedangkan jantan berbentuk tugu. Perbedaan lain adalah pleopod yang
terletak dibawah abdomen, dimana pada kepiting jantan yaitu pleopod berfungsi
sebagai alat kopulasi, sedangkan pada betina sebagai tempat melekatnya telur
(Moosa et al. 1985).
A B
18
mempunyai enam buah duri, serta memiliki ruas propodus cheliped yang
menggembung.
Pasangan kaki pejalan yang terakhir (pleopod V) berbentuk memipih pada
ruas terakhirnya (propodus dan daktilus). Capit (pleopod I) mempunyai bagian
propodus menggembung dengan permukaan yang licin (Gambar 3).
Selanjutnya Siahainenia (2008) yang memodifikasi dari Keenan (1998)
menambahkan bahwa kriteria klasifikasi S. serrata dewasa adalah warna
bervariasi dari ungu sampai hijau dan coklat kehitaman. Pola poligonal terlihat
jelas pada hampir semua bagian tubuh. Duri pada bagian dahi karapas lebar, tinggi
dan agak tumpul, berbentuk segitiga. Empat duri yang di tengah berukuran
panjang hampir sama sehingga terlihat rata. Terdapat dua duri yang tajam pada
propodus dan dua duri yang tajam pada carpus.
mata antene
daktilus
propondus
karpus
merus
kakijalanI
kakijalanII karapas
kakijalanIII
basis
ischium kakirenang
19
pertahanan, dan tempat mengerami telur atau anaknya. Dengan adanya kaki
perenang (menyerupai dayung), jenis S. serrata memiliki kemampuan berenang
yang cepat yang bertujuan untuk proteksi diri dari predator dan menangkap
mangsa (Kasry 1996). Pada saat larva, jenis S. serrata dan kebanyakan jenis
kepiting lainnya hidup sebagai plankton, berenang-renang bebas, terbawa arus,
dan setelah dewasa hidup di dasar perairan .
Kepiting bakau dewasa merupakan salah satu dari biota yang hidup pada
kisaran kadar garam yang luas (euryhaline) dan memiliki kapasitas untuk
menyesuaikan diri (adaptasi) yang cukup tinggi. Kepiting bakau juga memiliki
kemampuan untuk bergerak dan beradaptasi pada daerah teresterial serta pada
tambak yang cukup tersedia cukup pakan bagi kelangsungan hidupnya.
Kemampuan tersebut berbeda dengan organisme lain, karena kepiting bakau
memiliki vaskularisasi dinding ruang insang untuk memudahkan menyesuaikan
diri dengan habitatnya.
20
Heasman et al. dalam Bonine et al. 2008). Sedangkan S. serrata jantan matang
secara fisiologis ketika lebar karapas berukuran 90-110 mm, namun tidak cukup
berhasil bersaing untuk pemijahan sebelum dewasa secara morfologis (yaitu dari
ukuran capit) dengan lebar karapas 140-160 mm (Perrine; Heasman dalam Bonine
et al. 2008). Scylla serrata menunjukkan sifat seksualitas dimorfisme, dimana
kepiting jantan cenderung menjadi lebih berat dibanding kepiting betina pada
lebar karapas yang sama (Chakrabarti dalam Bonine et al. 2008; Siahainenia
2008).
Di wilayah tropis, reproduksi S. serrata berlangsung sepanjang tahun,
dengan puncaknya pada musim hujan (Le Vay 2001). Scylla serrata
melangsungkan perkawinan di perairan mangrove dan secara berangsur-angsur
sesuai dengan perkembangan telurnya, kepiting betina akan beruaya (berenang) ke
laut dan memijah, sementara kepiting jantan tetap di perairan hutan bakau atau
muara sungai (Hill 1975). Kasry (1996) menyatakan bahwa kepiting betina yang
telah beruaya ke perairan laut akan berusaha mencari perairan yang kondisinya
cocok untuk tempat melakukan pemijahan, khususnya terhadap suhu dan salinitas
air laut. Peristiwa pemijahan S. serrata terjadi pada periode bulan-bulan tertentu,
terutama awal tahun. Jarak yang ditempuh dalam beruaya untuk memijah tidak
lebih dari satu kilometer ke arah laut menjauhi pantai.
Motoh (1979) menyatakan bahwa perkembangan kepiting bakau S. serrata
mulai dari telur hingga mencapai dewasa mengalami beberapa tingkat
perkembangan, yaitu: stadia zoea, stadia megalopa, stadia kepiting muda
(juvenil), dan stadia kepiting dewasa.
Sekitar 12 hari setelah pemijahan, telur menetas, dan melalui fase larva
yang disebut dengan zoea, yaitu sebagai larva tingkat I (Zoea I) dan terus menerus
berganti kulit, sambil terbawa arus perairan pantai, hingga mencapai Zoea V.
Proses ini memerlukan waktu minimal 18 hari (Warner 1977). Kemudian berganti
kulit menjadi megalopa yang bentuk tubuhnya sudah mirip dengan kepiting
dewasa kecuali masih memiliki bagian ekor yang panjang. Tahap megalopa
berlangsung antara 7-9 hari (Phelan & Grubert 2007).
Pada tingkat megalopa ini, kepiting mulai beruaya pada dasar perairan
A B
berlumpur menuju perairan pantai, dan biasanya pertama kali memasuki perairan
21
22
23
kepiting bakau jantan dewasa kelamin untuk bertarung dengan jantan lainnya
dalam upaya mempertahankan wilayah kawin (matting teritory), mempertahankan
dirinya sendiri serta melindungi dan mempertahankan betina yang menjadi
pasangan kawinnya, mengingat menjelang kopulasi kepiting bakau betina
melakukan pergantian kulit (moulting) sehingga bertubuh lunak dan sangat rentan
terhadap serangan atau bahkan pemangsaan dari kepiting bakau lainnya.
Selain itu terdapat juga tanda-tanda khusus pada bagian tubuh kepiting
bakau jantan yang dapat menjadi karakter pembeda tingkat dewasa kelamin,
seperti adanya goresan atau pengikisan selaput kulit terutama pada bagian
posterior chela dan pada bagian ventral tubuh serta adanya parutan bekas luka
pada permukaan tubuh terutama pada kaki-kaki jalan yang mengindikasikan
suksesnya kepiting bakau jantan melakukan kopulasi, yang secara otomatis berarti
kepiting bakau tersebut telah mencapai tingkat dewasa kelamin. Goresan atau
pengikisan selaput kulit terjadi karena selama masa "doublers" kepiting jantan
mengepit kepiting bakau betina dengan posisi betina berada dibawah abdomennya
dan karena proses ini berlangsung cukup lama sehingga terjadi pergesekan tubuh
kepiting bakau tersebut. Tanda-tanda luka dapat disebabkan karena terjadi
pertarungan dengan jantan lainnya dalam upaya mempertahankan wilayah kawin
maupun karena upaya melindungi kepiting bakau betina selama berada dalam
kondisi kulit tubuh yang lunak akibat moulting dari serangan maupun pemangsaan
kepiting bakau lain (Siahainenia 2008).
Tutup abdomen pada kepiting bakau betina dewasa kelamin umumnya
lebih besar, melebar ke samping dan cekung membentuk ruang dalam abdomen
yang luas serta memiliki ruang antar ruas yang pendek. Sebaliknya bentuk tutup
abdomen pada kepiting bakau betina pradewasa kelamin umumnya lebih sempit,
memanjang keatas, relatif datar sehingga membentuk ruang dalam abdomen yang
sempit serta memiliki ruang antar ruas yang panjang. Pigmentasi pada tutup
abdomen kepiting bakau betina dewasa kelamin lebih kuat yakni membentuk
kecoklatan sebaliknya pada kepiting bakau betina pradewasa kelamin pigmentasi
pada abdomen belum nampak jelas. Pada kepiting bakau betina kelamin tutup
abdomen menempel pada thorachic sternum melalui sepasang otot yang lentur.
Sebaliknya pada kepiting bakau betina pradewasa kelamin tutup abdomen
24
25
26
27
besar dan arus pasang surut yang kuat; e) Air bersalinitas payau (2-22 permil)
hingga asin (mencapai 38 permil) (Bengen 2000).
Kondisi salinitas sangat mempengaruhi komposisi mangrove. Berdasarkan
adaptasinya terhadap salinitas, tumbuhan dapat dibedakan menjadi 2 jenis, yaitu
halophyta, yang tumbuh dan seluruh fase hidupnya berada dalam habitat yang
memiliki salinitas tinggi, dan non-halophyta, yang hidup pada habitat non-salin.
Mangrove bersifat fakultatif halophyta, yaitu dapat tumbuh pada kondisi salin dan
tawar. Mangrove mampu beradaptasi pada kondisi salin dengan berbagai cara
yang berbeda-beda. Beberapa diantaranya secara selektif mampu menghindari
penyerapan garam dari media tumbuhnya, sementara beberapa jenis yang lainnya
mampu mengeluarkan garam dari kelenjar khusus pada daunnya (McKee 1996).
Mangrove memperlihatkan adanya tiga stratifikasi utama secara vertikal,
yaitu: zona supratidal, intertidal, dan subtidal. Masing-masing strata ini secara
unik dihuni oleh organisme yang berasosiasi dengan karakteristik struktur
vegetasi mangrove pada tiap strata (McKee 1996), yaitu:
1. Strata supratidal mencakup bagian hutan arboreal, dan wilayah ini dihuni oleh
burung, reptil, kepiting, siput, serangga, dan laba-laba.
2. Strata intertidal meluas dari wilayah yang dapat dicapai air pasang tertinggi
hingga air pasang terendah dan meliputi mangrove dengan sistem perakaran
udara dan cadangan tanah gambut. Organisme yang hidup di zona ini adalah
kekerangan, isopods, kepiting, tiram, amphipods, siput, dan algae. Organisme
ini mengalami penggenangan secara periodik oleh pasang surut.
3. Strata subtidal berada di bawah air pasang terendah dimana akar mangrove
dan tanah gambut menyediakan substrat untuk adaptasi organisme pada
penggenangan yang terus menerus. Organisme yang hidup di zona ini adalah
algae, sponge, tunicate, anemon, octocoral, udang, cacing polychaeta, bintang
ular, nudibranch, ubur-ubur, dan rumput laut.
28
tergantung kepada keseimbangan dari persediaan kadar garam dan air tawar,
nutrisi yang cukup dan substrat yang stabil. Semua kebutuhan tersebut dapat
dipenuhi oleh ekosistem hutan mangrove (Bengen 2004).
Perakaran mangrove yang kuat mampu meredam gerak pasang surut, juga
mampu terendam dalam air yang kadar garamnya bervariasi. Lebih dari itu,
perakaran mangrove dapat mengendalikan lumpur, sehingga ia mampu
memperluas penambahan formasi dan surfacing land (McKee 1996).
Fungsi ekologis mangrove sangat erat kaitannya dengan fungsi ekonomi.
Berjenis-jenis biota laut hidup di sini atau dengan kata lain sangat bergantung
dengan keberadaan hutan mangrove. Perairan tempat populasi mangrove
berfungsi sebagai tempat perkembangbiakan berjenis-jenis hewan air seperti ikan,
udang, kerang, dan bermacam-macam kepiting yang kesemuanya mempunyai
nilai ekonomis tinggi. Namun tak kalah pentingnya, kontribusi yang paling
penting dari ekosistem hutan mangrove dalam kaitannya dengan ekosistem pantai
adalah serasah daunnya. Ia merupakan sumber bahan organik penting dalam
peristiwa rantai makanan akuatik (Kusmana 1995).
Ekosistem mangrove juga berfungsi dalam penyediaan habitat alami bagi
fauna yang menurut Chapman dalam Kusmana (1995) terdiri 5 (lima) habitat,
yakni:
(1) Tajuk pohon yang dihuni oleh berbagai jenis burung, mamalia, dan
serangga.
(2) Lubang yang terdapat di cabang dan genangan air di cagak antara batang
dan cabang pohon yang merupakan habitat yang cukup baik untuk
serangga (terutama nyamuk).
(3) Permukaan tanah sebagai habitat mudskipper dan keong/kerang.
(4) Lobang permanen dan semi permanen di dalam tanah sebagai habitat
kepiting dan katak.
(5) Saluran-saluran air sebagai habitat buaya dan ikan/udang.
29
(Cholik & Hanafi 1992) dan hidup di daerah muara sungai dan rawa pasang surut
yang banyak ditumbuhi vegetasi mangrove dengan substrat berlumpur atau
lumpur berpasir. Menurut Hutching & Saenger (1987), kepiting bakau hidup di
sekitar hutan mangrove, memakan akar-akarnya (pneumatophore) dan merupakan
habitat yang sangat cocok untuk menunjang kehidupannya karena sumber
makanannya seperti benthos dan serasah cukup tersedia. Di Afrika Selatan dan
Australia, identifikasi terhadap material yang terdapat di lambung kepiting
menunjukkan bahwa 50% adalah moluska, 20-22% adalah krustasea, dan sisanya
28-30% terdiri atas sejumlah kecil tanaman dan debris. Pada kepiting Scylla
serrata yang isi lambungnya kurang dari 50% penuh, material inorganik mengisi
hampir 100%, hal ini menunjukkan bahwa kepiting cenderung untuk menelan
banyak material yang tidak dapat dicerna (Hill 1979).
Kepiting bakau hidup di habitat intertidal dan subtidal, dimana mereka
secara dominan memangsa moluska dan invertebrata lain yang kurang bergerak,
seperti bivalvia, siput, kepiting lain, dan cacing (Michelli dalam Arifin 2006).
Dalam habitat intertidal, kepiting bakau bersembunyi dalam lumpur untuk
mempertahankan diri agar tetap dingin selama air surut dan melindungi diri dari
predator (Motoh 1979). Lebih lanjut Pagcatipunan (1972) menambahkan bahwa
setelah berganti kulit (moulting), kepiting bakau akan melindungi dirinya dengan
cara membenamkan diri, atau bersembunyi dalam lobang sampai karapasnya
mengeras.
Wolff et al. diacu oleh Arifin (2006) melaporkan bahwa 99 % dari sistem
biomassa total dibuat oleh mangrove. Sisa biomassa didistribusikan antara
wilayah pelagis dan bentik dengan pembagian 10% dan 90%. Melalui serasah,
mangrove menyumbangkan sumber makanan primer utama ke dalam sistem, yang
dikonsumsi secara langsung oleh herbivora, diuraikan oleh bakteri dan oleh
hewan pemakan detritus (Uca spp). Herbivora seperti Uca spp adalah pakan alami
bagi S. serrata.
30
budidaya air payau (Quarto dalam Arifin 2006). Ini adalah bentuk budidaya
perikanan berkelanjutan dengan input yang rendah. Pendekatan terintegrasi ini
memungkinkan untuk mengkonservasi dan memanfaatkan sumberdaya mangrove
dengan mempertahankan keutuhan mangrove yang relatif lebih tinggi dalam area
mangrove, ketika terjadi pembesaran nilai ekonomi pada budidaya air payau.
Sylvofishery mempunyai potensi dalam menangkap beberapa manfaat
ekonomi dari area mangrove dalam kerangka lingkungan yang sensitif dan
aktivitas yang berkelanjutan. Perbaikan dalam pengembalian ekonomik dalam
sistem ini akan menjadi faktor kunci dalam penerimaan metode ini secara luas
sebagai aktivitas yang berlanjut secara ekonomi dalam mangrove. Sylvofishery
juga menyediakan alternatif aktivitas ekonomi bagi rakyat pedesaan yang miskin
dan hal itu mungkin dapat mengurangi tekanan ekologi terhadap hutan mangrove
(Arifin 2006).
Quarto dalam Arifin (2006) menggambarkan dua model dasar Sylvofishery
yaitu model empang parit dan model mangrove yang berselang-seling
(komplangan). Model empang parit menyajikan tingkatan yang lebih besar dalam
penanaman mangrove atau mempertahankan keberadaan mangrove dalam area
tambak, dengan penutupan mangrove antara 60-80% dalam parit di tambak.
Sedangkan model berselang-seling merekomendasikan untuk mempertahankan
mangrove dengan rasio maksimum yang sama, yaitu tiap 2 ha tambak harus
dipertahankan 8 ha mangrove disekeliling tambak tersebut.
Budidaya kepiting bakau dapat dilakukan di tambak air payau atau di
kurungan tancap di dalam area mangrove (Ikhwanuddin & Oakley 1999).
Budidaya kepiting dalam kurungan tancap lebih mendekati model empang parit,
karena kurungan tancap kepiting dibangun dalam area rawa mangrove, dan
tumbuh-tumbuhan dalam area mangrove dibiarkan tetap utuh untuk menyediakan
lingkungan yang alami untuk kepiting untuk tumbuh dan bereproduksi, parit
keliling yang tidak terlalu luas dibuat untuk memenuhi kebutuhan air asin bagi
kepiting (Wei Say & Ikhwanuddin 1999).
Genodepa (1999) menyatakan sistem tambak tidak mengkonservasi dan
mengelola lingkungan alami kepiting bakau, karena tambak dikembangkan
dengan membuka bersih area bakau, yang merupakan habitat alami kepiting
31
bakau. Sistem kurungan tancap lebih bersifat ramah lingkungan karena tidak
mengkonversi mangrove dan memungkinkan kepiting hidup dalam lingkungan
alaminya (Ikhwanuddin & Oakley 1999; Genodepa 1999; Johnston & Keenan
1999).
Kurungan tancap dapat dibangun dengan menggunakan batang pohon dari
suatu jenis tanaman palma (Oncosperma tigillaria) (Ikhwanuddin & Oakley
1999). Alternatif lain adalah dengan menggunakan jaring nilon/waring dengan
ukuran mata jaring 1 cm untuk pengganti papan untuk pagar kurungan tancap dan
kerangka yang digunakan adalah kerangka bambu. Penggunaan waring dapat
mengurangi frekuensi penebangan pohon untuk memperoleh papan, walapun
mungkin biaya yang dibutuhkan menjadi lebih besar. Untuk penggunaan
jaring/waring sebagai pagar, pada bagian bawah waring tetap perlu ditancapkan
papan sedalam 1.2 meter untuk mencegah kepiting melarikan diri dengan
menggali lubang dalam lumpur (Genodepa 1999).
32
penilaian dampak ekologis, dan penelitian pemulihan ekologi (Duel et al.; Gore &
Hamilton; Maddock dalam Van der Lee 2006). Kurva HSI model
menggambarkan hubungan antara variabel habitat dengan kesesuaian untuk
spesies khusus (Van der Lee 2006).
HSI adalah sebuah angka indeks yang mencerminkan kapasitas habitat
yang diberikan untuk mendukung spesies yang dipilih. Model ini didasarkan pada
hipotesa hubungan spesies-habitat lebih daripada pernyataan-pernyataan yang
menimbulkan hubungan sebab-akibat. HSI model menghasilkan gambaran dari
karakteristik masing-masing habitat dan interaksinya terkait dengan habitat suatu
spesies. Model dapat dibangun dalam berbagai cara, seperti model kata-kata,
sebuah model mekanistik, atau sebuah model statistik multivarian, atau kombinasi
dari metode ini (Jewett & Onuf 1988). HSI menggambarkan kesesuaian habitat
yang diberikan oleh kombinasi interaksi dari semua variabel lingkungan kunci
pada spesies (AED 2008). Berikut ini adalah diagram skematis untuk membangun
sebuah HSI (Gambar 5).
33
34
pekerjaan yang membutuhkan corak berpikir tertentu, seperti bidang teknik dan
ekonomi memiliki corak berpikir yang berbeda. Masing-masing corak memiliki
kelebihan dan kekurangannya, dan biasanya ada yang menggunakannya dengan
menggabungkan menjadi satu. Tiga corak yang dimaksud adalah berpikir sistem
masukan-keluaran, berpikir sistem umpan balik dan berpikir sistem umpan balik
adaptif (Aminullah 2004). Corak pertama tidak menjadikan keluaran untuk
mempengaruhi masukan kembali. Kedua, penyempurnaan corak pertama di mana
keluaran dijadikan umpan kembali untuk mempengaruhi masukan. Ketiga, seperti
corak kedua hanya saja pengaruh lingkungan luar turut dijadikan pertimbangan.
35
+ Bank
Bank balance
Balance
(+)
Interest
earned + Time
Pola perilaku mencari tujuan (goal seeking) dibentuk oleh umpan balik
negatif yang simpalnya mencari tujuan keseimbangan dan statis. Simpal umpan
balik negatif bekerja memberikan keadaan terhadap sistem untuk mencapai tujuan
atau keadaan yang diinginkan. Pola ini mirip seperti sistem tindakan koreksi
36
dengan penundaan yang dibahas pada bagian pola gelombang. Gambar 7 adalah
contoh struktur sistem dan pola perilaku pada pengaturan suhu temperatur.
Struktur sistem Pola perilaku
Actual temperature
+ Temperatur
setting
Desired
(-)
+ Gap temperature
-
Actual +
temperature Time
Desired
temperature
+ Service
reputation
+
Customer
(-) demand
+ Gap
-
Service
Service quality - Time
standar
37
Performance
-
+ -
(-) Sales Saturation of
Morale
(-) market niche
+ +
Income
opportunities Time
Delay
38
Manajemen
tradisional atas Cybernetics Simulasi komputer
sistem sosial
Perilaku dinamis
Model dan kebijakan
perbaikan
39
40
41
ini merupakan suatu perangkat lunak yang dibuat atas dasar model DS dengan
kemampuan tinggi dalam melakukan simulasi.
Dunia nyata
Keputusan
(eksperimen Informasi umpan
organisasi 1. Artikulasi masalah balik
(pemilihan batasan)
5. Formulasi
2. Hipotesis
kebijakan &
dinamik
evaluasi
4. Pengujian 3. Formulasi
Strategi, Model
susunan, mental
aturan keputusan dunia nyata
42
Sejak saat itu, ide taman nasional menyebar ke negara-negara lain, dan dalam
kurun waktu kurang dari 100 tahun sudah ada lebih dari 2.000 taman nasional
yang ditetapkan di 136 negara (Wiratno et al. dalam Damanik et al. 2006)
Di Indonesia, sejarah penetapan kawasan dilindungi sebenarnya telah
dimulai sejak jaman penjajahan Belanda, pada saat itu pemerintah telah
menetapkan beberapa kawasan dilindungi seperti Cagar Alam (CA) Arca Domas
(1913), CA Junghun di Bandung (1919), CA Tangkuban Perahu (1919), dan CA
Rawa Danau di Serang (1921) (Dephut 2007).
Pemikiran konservasi, termasuk taman nasional, mulai berkembang sekitar
tahun 1970-an. Lima taman nasional pertama dengan luas total 1.430.948 ha
ditetapkan oleh Menteri Pertanian pada tanggal 6 Maret 1980, yaitu Taman
Nasional (TN) Gunung Leuser, TN Gunung Gede-Pangrango, TN Ujung Kulon,
TN Baluran, dan TN Komodo (Wiratno et al. dalam Damanik et al 2006).
Selanjutnya pada tahun 1982, saat Kongres Taman Nasional dan Kawasan
Lindung Sedunia III yang berlangsung di Bali, pemerintah Indonesia
mendeklarasikan 11 Taman Nasional dengan luas 3.287.063 ha, yaitu TN Kerinci
Seblat, TN Bukit Barisan Selatan, TN Kep. Seribu,, TN Bromo-Tengger-Semeru,
TN Meru Betiri, TN Tanjung Puting, TN Kutai, TN Bali Barat, TN Lore Lindu,
TN Bogani Nani Warta Bone, dan TN Manusela (Wiratno et al. dalam Damanik
et al. 2006).
43
44
manajemen berbasis ekosistem. Prinsip ini menjadi dasar dalam praktek ICM dan
membedakan ICM dengan sektor lain. Fokus ICM saat ini tidak hanya meliputi
perlindungan keanekaragaman dan keutuhan ekologis, serta keberlanjutan mata
pencaharian saja, namun juga menyelamatkan kehidupan manusia.
Manajemen Adaptif
Prinsip pertama dalam ICM adalah manajemen adaptif. Walters dan
Holling dalam Thia-Eng (2006) mendeskripsikan manajemen adaptif sebagai
upaya belajar dengan mencoba. Pendekatan manajemen adaptif didasarkan pada
pemikiran bahwa informasi dan pengetahuan tentang sistem sumberdaya dan
bagaimana mengelolanya sangat tidak lengkap dan penuh dengan ketidakpastian.
Manajemen adaptif dilakukan dengan tahapan merencanakan, mengimplemen-
tasikan, menilai dan mengulanginya lagi.
Keterpaduan dan Inter-relasi
Prinsip kedua ICM adalah keterpaduan dan inter-relasi, yang terdiri dari
tiga integrasi yaitu: 1) System integration: dalam keterpaduan sistem memasukan
pertimbangan dimensi spatial dan temporal sistem sumberdaya pesisir dalam
persyaratan fisik perubahan lingkungan, pola pemanfaatan sumberdaya dan
penataan sosial ekonomi. Keterpaduan ini menjamin bahwa isu-isu relevan yang
muncul dari hubungan secara fisik-biologi, sosial dan ekonomi ditangani secara
cukup. Keterpaduan ini membutuhkan berbagai ketersediaan informasi yang
dibutuhan dalam pengelolaan sumberdaya pesisir. 2) Functional Integration:
Keterpaduan fungsional berkaitan dengan hubungan antara berbagai kegiatan
pengelolaan seperti konfirmasi antara program dan proyek dengan tujuan dan
sasarannya. Keterpaduan ini juga mengupayakan tidak terjadinya duplikasi
diantara lembaga yang terlibat, tetapi saling melengkapi. Penyusunan zonasi
pesisir yang mengalokasikan pemanfaatan sumberdaya secara spesifik merupakan
salah satu bentuk efektif dari keterpaduan fungsional. Maksud rencana zonasi
yaitu membagi kawasan pengelolaan laut dan pesisir dalam zona-zona yang sesuai
dengan maksud dan keinginan pemanfaatan setiap zona. 3) Policy integration:
Keterpaduan kebijakan sangat esensial untuk menjamin konsistensi dari program
pengelolaan pesisir terpadu dalam konteks kebijakan pemerintah pusat dan daerah
serta untuk memelihara koordinasi. Tujuan akhir adalah mengintegrasikan
45
46
47
48
menjadi pendekatan sistem direfleksikan sebagai aksi dari banyak negara (Juda;
Laffoley et al. dalam UNEP 2006).
Pada Tahun 1997, Commission on Sustainable Development dari United
Nation (UN/PBB) menemukan bahwa: konsep pengelolaan terpadu pada area
perairan, daerah aliran sungai, estuari, pesisir dan laut saat ini secara besar-
besaran diterima dalam sistem United Nation dan pada banyak negara sebagai
pendekatan berbasis ekosistem untuk pembangunan berkelanjutan (UNEP 2006).
Singkatnya, Ecosystem-based Management mengenali bahwa komunitas
tanaman, hewan, dan manusia adalah saling berketergantungan dan berinteraksi
dengan lingkungan fisiknya untuk membentuk unit ekologis yang disebut
ekosistem. Ekosistem adalah lintas batas dalam karakter, khususnya memotong
keberadaan kebijakan politik dan batas hukum (UNEP 2006).
Ecosystem-based Management didefinisikan sebagai pengelolaan yang
dikendalikan oleh tujuan eksplisit yang ditentukan oleh kebijakan, aturan-aturan
dan pelaksanaan, dan dibuat dapat diadaptasikan melalui pengawasan yang
berbasis penelitian pada pemahaman terbaik terhadap interaksi ekologi dan proses
penting untuk keberlanjutan struktur dan fungsi ekosistem (Christensen et al.
dalam UNEP 2006).
Pendekatan manajemen berbasis ekosistem (Ecosystem-based
Management/EBM) bertujuan untuk mencapai keseimbangan antara konservasi,
pemanfaatan berkelanjutan, pembagian yang adil dan merata dari keuntungan
yang dihasilkan oleh pemanfaatan sumberdaya. Pendekatan ini juga menempatkan
penekanan penting pada peningkatan manajemen, baik temporal maupun spasial
(Thia-Eng 2006).
Manajemen berbasis ekosistem (Ecosystem-based Management/EBM)
adalah pendekatan terpadu yang mempertimbangkan keseluruhan ekosistem,
termasuk manusia (McLeod et al. dalam Leslie & McLeod 2007). EBM kelautan
berbeda dengan pendekatan saat ini yang selalu terfokus pada spesies atau sektor
tunggal, dan termasuk juga mempertimbangkan interaksi antar komponen
ekosistem dan dampak kumulatif dari berbagai aktivitas. Pendekatan untuk
menerapkan EBM kelautan berbagai macam, namun semua terfokus pada
perlindungan struktur, fungsi dan proses kunci dalam ekosistem.
49
50
51
52
53
54
Pasal 17
(1) Pemanfaatan hutan bertujuan untuk memperoleh manfaat hasil dan jasa hutan
secara optimal, adil, dan lestari bagi kesejahteraan masyarakat.
(2) Pemanfaatan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan
melalui kegiatan:
a. pemanfaatan kawasan;
55
Pasal 18
Pemanfaatan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, dapat dilakukan
pada seluruh kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2), yaitu
kawasan;
a. hutan konservasi, kecuali pada cagar alam, zona rimba, dan zona inti dalam
taman nasional;
b. hutan lindung; dan
c. hutan produksi
Pasal 19
Dalam setiap kegiatan pemanfaatan hutan yang dilakukan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 17 ayat (2), wajib disertai dengan izin pemanfaatan hutan yang
meliputi :
a. IUPK;
b. IUPJL;
c. IUPHHK;
d. IUPHHBK;
e. IPHHK ; dan
f. IPHHBK.
Pasal 22
Pada hutan konservasi, pemberian izin pemanfaatan hutan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 17 harus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
56
57
b.pembudidayaan ikan;
c. pariwisata alam perairan; atau
d.penelitian dan pendidikan.
Pasal 32 poin (1), Pemanfaatan kawasan konservasi perairan untuk
pembudidayaan ikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2) huruf b
dilakukan di zona perikanan berkelanjutan.
58
59
60
Penataan zona taman nasional didasarkan pada potensi dan fungsi kawasan
dengan memperhatikan aspek ekologi, sosial, ekonomi dan budaya. Adanya
berbagai zona yang ditetapkan dalam permen ini, zona tradisional atau pun zona
khusus merupakan bagian yang memungkinkan menjadi solusi bagi permasalahan
penduduk dalam kawasan TN Kutai.
Zona tradisional adalah bagian dari taman nasional yang ditetapkan untuk
kepentingan pemanfaatan tradisional oleh masyarakat yang karena kesejarahan
mempunyai ketergantungan dengan sumber daya alam.
Zona khusus adalah bagian dari taman nasional karena kondisi yang tidak
dapat dihindarkan telah terdapat kelompok masyarakat dan sarana penunjang
kehidupannya yang tinggal sebelum wilayah tersebut ditetapkan sebagai taman
nasional antara lain sarana telekomunikasi, fasilitas transportasi dan listrik.
3 METODOLOGI PENELITIAN
Jenis data yang diperlukan yang berkaitan dengan kondisi sosial ekonomi
dan kelembagaan masyarakat di dalam kawasan Taman Nasional Kutai berupa
data primer dan data sekunder. Data primer yang diperlukan, meliputi: aspek
sosial ekonomi (mata pencaharian, analisis usaha kegiatan penangkapan, analisis
usaha budidaya sylvofishery kepiting bakau, struktur sosial, dan data persepsi
masyarakat), dan aspek kebijakan (pendapat pakar berkaitan kebijakan
pengelolaan kawasan hutan mangrove di TNK).
Data sekunder yang diperlukan meliputi: aspek kependudukan (jumlah
penduduk, pendidikan, agama, dan kesehatan), dan aspek hukum/kelembagaan
(rencana tata ruang, kebijakan pengelolaan kawasan konservasi, dan kelembagaan
pengelolaan kawasan konservasi).
............................................................................ (1)
Keterangan :
n = jumlah unit sampel yang diinginkan, N = jumlah total jenis responden, D =
B2/4 (B adalah bound of error = 0,10 ), dan p (estimator dari proporsi populasi =
0,1).
Selanjutnya, pemilihan responden yang diambil sebagai obyek penelitian
ditentukan secara random sampling, untuk mengurangi subyektivitas. Responden
nelayan kepiting bakau, pedagang pengumpul kepiting bakau, dan pengambil
kebijakan, pemilihan responden sebagai obyek penelitian dilakukan secara sensus,
karena jumlah unit sampelnya kurang dari 25 orang. Prosedur penentuan jumlah
dan pemilihan responden dapat dilihat pada diagram Gambar 13.
Jenis Responden
Stratified Proporsional
Sensus Random Sampling Pemilihan
responden
23 47
Kepiting yang digunakan untuk stok benih pada budidaya ini dikumpulkan
dari penangkapan alam. Kepiting yang digunakan adalah kepiting yang berukuran
lebar karapas 60-80 mm. Berdasarkan hasil penelitian Trio (2002) tingkat
padat penebaran 1.5 ekor/m2 memberikan hasil tingkat survival yang paling tinggi
dan pertambahan berat yang tidak berbeda nyata dibandingkan kepadatan 0.5
ekor/m2, sehingga pada penelitian ini akan dilakukan padat penebaran sebanyak
1.5 ekor/m2, atau 300 ekor/kurungan. Analisis budidaya dilakukan dengan
menghitung pertumbuhan kepiting bakau, dan tingkat kelulushidupan (survival
rate).
c
rakkang
rengge/gillnet
A_Muara Sangatta
mangrove
nipah
c
Area lain TNK
tambak
vegetasi pantai
024'
B_Teluk Perancis 024'
c Batas TNK
Stasiun utama
SELATMAKASSAR
021' 021' sumber peta:
1. Peta Dasar TNK
2. Survei Lapangan
cC_Muara Sangkima
SARAWAK
KALIMANTANTIMUR
018'
018'
disusun oleh:
Nirmalasari Idha Wijaya
11730' 11733' 11736' 11739' 11742' Sekolah Pascasarjana
Institut Pertanian Bogor
Gambar 15 Sebaran lokasi alat tangkap kepiting di area hutan mangrove TN Kutai
................................................................................. (2)
................................................................................ (3)
69
RPUE j = pendapatan per unit effort pada bulan ke- j (asumsi untuk mencerminkan
pendapatan yang diperoleh pengumpul pada setiap bulan),
CPUE j = hasil tangkap per unit usaha pada bulan ke- j (asumsi untuk
mencerminkan ketersediaan S. serrata pada setiap bulan), dan
P = harga S. serrata yang berlaku.
..................................................................................... (5)
C j = hasil tangkap pada hari ke- j dan E j = jumlah upaya pada hari ke- j.
n
( Bt C t )
t =0 (1 + i ) t
untuk ( Bt C t ) > 0
......................................... (8)
NetB / C = n
(C t Bt )
(1 + i ) t
t =1
untuk ( Bt C t ) < 0
10 m
A
Arah rintis
A
Ni =
n i
............................................................................................. (11)
A
BOD (V2)
pH substrat
(V6)
Pasut air laut Komponen Habitat
HSI
(V7) substrat mangrove
fraksi
substrat (V8)
kepadatan
makrozoobe
nthos (V9)
Gambar 17 Hubungan antara variabel habitat dengan kebutuhan hidup untuk HSI
kepiting bakau Scylla serrata (juvenil dan dewasa)
Ln W = Ln a + b Ln L .............................................................. (15)
Y=a+bX
t hitung = b1-b0/Sb1
L - L t = L e [-Kt]
Data primer berupa data frekuensi lebar karapas kepiting bakau Scylla
serrata digunakan untuk menduga laju eksploitasi kepiting bakau. Pendugaan laju
eksploitasi S. serrata dilakukan dengan menggunakan data parameter-parameter
pertumbuhan kepiting bakau yang telah dihitung sebelumnya.
Setelah parameter-parameter pertumbuhan kepiting bakau diketahui maka
dilakukan pendugaan laju mortalitas (Z) berdasarkan persamaan Beverton & Holt
(Sparre & Venema 1999) sebagai berikut:
81
Z=K
(L L ) .............................................................................................. (22)
(L L')
Di mana L adalah panjang rata-rata ukuran, L adalah panjang di mana semua
kepiting bakau pada ukuran tersebut dan lebih panjang berada pada penangkapan
penuh. L dapat pula dianggap sebagai batas kelas bawah dari interval kelas
panjang (Sparre & Venema 1999).
Selanjutnya untuk pendugaan laju mortalitas alami (M) diduga dengan
menggunakan rumus empiris Pauly dalam Sparre & Venema (1999) sebagai
berikut:
Log M = -0.0066-0.279*Log L +0.6543*Log K +0.4634*LogT ................... (23)
T adalah temperatur perairan.
Nilai Z dan M digunakan untuk menduga kematian kepiting bakau akibat
penangkapan (F) dengan menggunakan persamaan sebagai berikut:
F=ZM .................................................................................... (24)
Berdasarkan nilai Z dan F maka laju eksploitasi kepiting bakau (E) dapat
diduga dengan menggunakan persamaan sebagai berikut :
F
E = ................................................. (25)
Z
Z = total laju mortalitas (per tahun) F = laju mortalitas penangkapan (per tahun)
M = laju mortalitas alami (per tahun) E = laju eksploitasi (per tahun)
3.5.6 Penghitungan Yield per Rekrut Relatif (Y/R) dan Biomass per Rekrut
(B/R)
..................................... (26)
.................................. (27)
Nilai E (tingkat eksploitasi) pada kurva Y/R dan B/R didapatkan dari hasil
perhitungan Y/R dan B/R relatif yang terdapat dalam program FISAT II.
Selain itu sistem sosial juga menghasilkan limbah, yang dampaknya dapat
mempengaruhi kualitas biofisik dalam ekosistem mangrove. Kualitas biofisik
dipengaruhi juga oleh kualitas perairan, kualitas substrat, jenis dan kerapatan
vegetasi, dan produksi serasah mangrove. Diagram alir submodel habitat
mangrove dapat dilihat pada Gambar 18.
Submodel mangrove dibangun dari elemen luas mangrove, zona
pemanfaatan mangrove, laju perluasan mangrove yang dipengaruhi oleh laju
konversi dan laju penambahan luas mangrove, kondisi habitat yang
mempengaruhi indeks kesesuaian lingkungannya (HSI), dan pengaruh tingkat
kesadaran lingkungan terhadap konversi mangrove.
Luas areal mangrove akan meningkat atau menurun dipengaruhi oleh laju
perluasan mangrove. Laju perluasan mangrove sendiri akan naik atau turun
dipengaruhi oleh besarnya konversi mangrove menjadi penggunaan lain dan
penambahan luas mangrove oleh akresi atau pun kegiatan rehabilitasi mangrove.
Bila laju konversi mangrove lebih besar dibanding laju penambahannya,
maka yang terjadi adalah stok luas mangrove akan terus menerus menurun.
Untuk itu perlu adanya perbaikan pola pemanfaatan mangrove yang merusak
(mengkonversi mangrove) agar laju konversi ini dapat diturunkan, bahkan bila
perlu tidak terjadi konversi mangrove lagi. Perbaikan pola pemanfaatan mangrove
diharapkan dapat terjadi bila ada peningkatan kesadaran masyarakat untuk
menjaga lingkungan mangrove.
Luas zona pemanfaatan mangrove merupakan implikasi dari kebijakan
yang mengijinkan adanya pemanfaatan terbatas di kawasan Taman Nasional
Kutai. Kebijakan ini dapat berupa persentase kawasan TN yang akan dialokasikan
untuk pemanfaatan. Dahuri (2003) mengusulkan 20% dari kawasan yang
dilindungi dapat digunakan untuk pemanfaatan terbatas. Interfensi kebijakan ini
sangat besar pengaruhnya dalam pola pemanfaatan mangrove, karena akan
mempengaruhi besarnya daya dukung kawasan, pada penelitian ini daya dukung
untuk budidaya sylvofishery.
Selain luasnya zona pemanfaatan, daya dukung budidaya sylvofishery juga
sangat dipengaruhi oleh kualitas lingkungan, yang digambarkan dengan indeks
kesesuaian lingkungan (HSI). HSI terdiri atas komponen-komponen: kualitas
86
perairan, kualitas tekstur substrat, dan kualitas vegetasi. Bila kondisi lingkungan
cukup baik, maka HSI juga akan meningkat.
Panen
+ +
R+
+
Inflasi
Daya Dukung -
SUB-MODEL
Budidaya BUDIDAYA +
+ Harga Eksport
Kualitas Biofisik
Hutan Mangrove + Harga
+ + Kepiting Muda
+ Permintaan
Lokal
+ +
Jumlah Tangkapan + Produksi Kepiting
Luas Zona Boleh (TAC) + SUB-MODEL
B+
Pemanfaatan Mangrove PASAR
+
B- SUBMODEL +
TANGKAP Kepiting Dewasa Pendapatan
Jumlah Tangkapan
- Lestari (MSY)
B- -
SUB-MODEL Pendapatan
MANGROVE + Restocking Sumber lain
- Stok Kepiting
+ +
Bakau
+ Pengeluaran
Pola Pemanfaatan
Mangrove +
peraturan
+ +
Pengelolaan
Kawasan Pendapatan
+ Konservasi keluarga
R+
Kelembagaan +
Pendidikan SUB-MODEL
+ SOSIAL
Gambar 18 Diagram kausal model konseptual pemanfaatan kepiting bakau di kawasan mangrove TNK
87
-
Luas ZonaPemanfaatan SUB-MODEL
B-
Habitat Mangrove TANGKAP
-
Limbah +
Alih Fungsi
Lahan
-
SUB-MODEL SUB-MODEL
SOSIAL BUDIDAYA
SUB-MODEL
BUDIDAYA
Jumlah Tangkapan
Boleh (TAC) +
+
SUBMODEL
TANGKAP Kepiting Dewasa
Jumlah Tangkapan
Lestari (MSY)
B- +
+
yield per Stok Kepiting
SUB-MODEL
rekrut Bakau Produksi
+ PASAR
Kematian Alami -
-
Penangkapan
SUB-MODEL
MANGROVE
+
Perawatan
Panen
+ + +
pakan
+
benih +
Proses Budidaya Induk Matang
R+
+
+
+ Kepiting Muda
Ekobiologi
Kepiting bakau Restocking
SUBMODEL
TANGKAP
Biaya
- Transportasi
-
+
Harga Eksport
Penyusutan
Harga
SUBMODEL -
TANGKAP + permintaan Inflasi
lokal
+
Produksi Kepiting
SUB-MODEL
B+
PASAR
SUB-MODEL
BUDIDAYA +
Pendapatan
- -
Pengeluaran
Pajak
pendapatan
keluarga
SUB-MODEL
SOSIAL
pendapatan
peraturan
sumber lain
+ pengelolaan +
kawasan
+
konservasi
Persamaan
Formulasi model simulasi matematik,
Mulai
parameter,
initial
Membangun causal
CLD Rekomendasi kebijakan
diagram
terbaik dan tepat
Selesai
Konseptual Teknis
Sesuai UU No. 5 Tahun 1990 pasal 32, kawasan taman nasional dikelola
dengan sistem zonasi yang terdiri dari zona inti, zona pemanfaatan, dan zona lain
sesuai dengan keperluan. Kawasan Taman Nasional Kutai meliputi hutan daratan
dan hutan mangrove dengan luas keseluruhan mencapai kurang lebih 198 000
ha, dimana 5.227 ha diantaranya merupakan hutan mangrove. Sumberdaya
bukan kayu dalam hutan mangrove yang dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan
adalah kepiting bakau S. serrata. Untuk mencegah kepiting bakau tersebut dari
pemanfaatan yang berlebihan, maka perlu diatur zonasi pemanfaatan S. serrata.
Zonasi pemanfaatan S. serrata ditentukan untuk zona pemanfaatan
perikanan tangkap dan zona pemanfaatan budidaya sylvofishery. Penentuan
kesesuaian zona pemanfaatan dilakukan berdasarkan parameter indeks kesesuaian
habitat (HSI), laju eksploitasi (E) S. serrata, dan kondisi konversi mangrove pada
93
(base case scenario) menguraikan perilaku sistem pada tahun mendatang (tahun
2009-2029) dipengaruhi oleh unjuk kerja parameter dengan sensitif tinggi, yaitu
luasan mangrove dan pendapatan dari Scylla serrata. Parameter lainnya yang
memiliki sensitif sedang dan rendah diasumsikan tidak mengalami perubahan dari
tahun 2009.
Analisis perilaku dinamik memungkinkan bagi pengguna model untuk
merubah nilai parameter. Meskipun analisis base case scenario run penting
sebagai cerminan dari kondisi aktual di lapangan, namun pengambilan keputusan
dalam pengelolaan Scylla serrata pada tahun-tahun yang akan datang perlu
meramalkan kondisi mendatang berdasarkan cerminan kondisi aktual tersebut.
Perubahan nilai parameter dibagi kedalam tiga skenario, yaitu skenario
agresif (optimis), moderat dan lambat (pesimis). Ketiga skenario secara berturut-
turut pemodel sebut dengan scenario run 1 (SR1), scenario run 2 (SR2) dan
scenario run 3 (SR3). Skenario pengelolaan disusun berdasarkan perubahan nilai
parameter yang dilakukan secara apriori oleh peneliti dalam proyeksi 20 tahun
mendatang.
Keberlanjutan pengelolaan mangrove melalui optimasi pemanfaatan
sumberdaya kepiting bakau Scylla serrata, selanjutnya akan dianalisis secara
statistik multivariate dengan pendekatan Multidimensional Scaling (MDS).
Analisis multidimensi menurut Bengen (2000) merupakan analisis data yang
menggambarkan karakter-karakter kuantitatif dan kualitatif suatu/sekumpulan
individu yang disusun berdasarkan suatu orde dan tidak dapat dilakukan operasi
aljabar sehingga cenderung lebih dekat pada statistik deskriptif dari pada statistik
inferensial.
Analisis keberlanjutan pengelolaan sylvofishery kepiting bakau ini
ditujukan untuk mengetahui kemungkinan keberlanjutan pengelolaan kawasan
konservasi mangrove melalui pemanfaatan sylvofishery kepiting bakau.
Keberlanjutan pengelolaan sylvofishery kepiting bakau di kawasan mangrove
TNK dianalisis menggunakan metode Rap-CRASYMAN (Rapid Assesment
Techniques for Crab Sylvofishery Management). Metode Rap-CRASYMAN
merupakan modifikasi dari metode RAPFISH (Rapid Assessment Techniques for
Fisheries) yang dikembangkan oleh Fisheries Center, University of British
95
Bila dibandingkan antara hasil pengolahan citra oleh peneliti dengan data
dari TNK terdapat perbedaan luas tambak yaitu 155.81 ha (data TNK) dan
644.702 ha (olah data citra). Sementara luas mangrove menurut data TNK adalah
5 131 ha dan menurut hasil olah data citra adalah 5 277.799 ha ditambah dengan
182.086 ha nipah. Perbedaan luas tambak mungkin terjadi karena terdapat
perbedaan interpretasi pada tambak yang kering dan tidak dimanfaatkan (lahan
kritis), oleh TNK hanya dianggap sebagai konversi mangrove sebagai lahan
terbuka. Sementara menurut peneliti, pembukaan lahan mangrove yang awalnya
digunakan sebagai tambak, walaupun akhirnya menjadi lahan kritis, tetap dihitung
sebagai luasan tambak.
Luas lahan tambak yang mencapai 12.22% dari total luas mangrove
merupakan ancaman bagi kelestarian habitat mengrove, selain penebangan
mangrove menjadi lahan terbuka dan pemanfaatan lain yang mencapai lebih dari
7% dari luas total mangrove.
Data perambahan hutan mangrove di kawasan TNK dari Balai TNK tidak
diperoleh, namun berdasarkan hasil observasi peneliti diketahui bahwa
perambahan hutan mangrove terjadi karena pembukaan lahan untuk pemukiman
(dibentuk 4 desa definitif di pesisir kawasan TNK), untuk tambak, pemanfaatan
kayu mangrove untuk bangunan dan pembuatan alat tangkap ikan (bubu,
sero/belat, bagan), pemanfaatan nipah untuk atap. Dokumentasi perambahan
hutan mangrove dapat dilihat pada lampiran 29.
survei Yayasan BIKAL dalam Pemkab Kutai Timur (2005), menunjukkan bahwa
para spekulan tanah di TNK 50.5% berasal dari Bontang dan 35.5% berasal dari
Sangatta. Tercatat pada Desember 2001 seluas 255.75 ha diluar kawasan enclave
telah dikuasai oleh para spekulan dan kemungkinan luasan tersebut akan semakin
bertambah bila proses enclave belum selesai.
Pada tanggal 29 31 Mei 2006 di Sangatta dilaksanakan Diskusi
Lanjutan Tata Batas di Taman Nasional Kutai. Kegiatan diskusi tersebut diikuti
beberapa stakeholder penting yaitu Kepala Pusat Pengendalian Pembangunan
Kehutanan Regional III, Direktorat Jenderal PHKA, Badan Planologi Departemen
Kehutanan, Biro Hukum dan Organisasi Departemen Kehutanan, Balai
Pemantapan Kawasan Hutan Kalimantan Timur, Balai Taman Nasional Kutai,
Yayasan Bina Kelola Lingkungan, Dinas Kehutanan Kutai Timur, Bappeda Kutai
Timur, Dinas Lingkungan Hidup Kutai Timur dan Fasda Kalimantan.
Diskusi Lanjutan Tata Batas di Taman Nasional Kutai menghasilkan
beberapa keputusan yaitu disepakatinya 3 (tiga) alternatif rekomendasi
penyelesaian permasalahan Taman Nasional Kutai, meliputi:
9 Alternatif 1: menyelenggarakan pengelolaan kolaboratif dalam area seluas
23 712 ha. Bentuk dan kerjasama pengelolaan akan dirumuskan kemudian
dengan mengacu pada SK DIRJEN PHKA terkait.
9 Alternatif 2: menyelesaikan tata batas TNK yang prosesnya belum
ditetapkan oleh Menhut. Ini dilakukan dengan memperbaharui gabungan
hasil pengukuran tata batas pemukiman masyarakat di bagian barat dengan
hasil tata batas luar.
9 Alternatif 3 : penyelesaian masalah penggunaaan areal TNK akan
dilakukan dengan berdasarkan pasal 19 UU 41 /1999 pada scheme
perubahan fungsi.
Tiga Alternatif tersebut nanti akan dikaji oleh Tim Pengkajian yang dibentuk oleh
Departemen Kehutanan dan di SK-kan oleh Menteri Kehutanan. Tim tersebut
dibentuk untuk mengkaji 3 (tiga) alternatif yang dimungkinkan paling tepat untuk
pengelolaan Taman Nasional Kutai.
Berselang 1 (satu) minggu dari kegiatan diskusi pada tanggal 29-31 Mei
2006 tersebut, tepatnya pada tanggal 8 Juni 2006 melalui Surat No:
108
adalah
a hak masyarakat
m d
dalam pengeelolaan ruanng dan sumbberdaya alam
m di sekitar
mereka;
m serrta hak terhhadap keterrsediaan sum
mber daya alam yang menjamin
kelangsunga
k an hidup merreka.
Pemaahaman atass kondisi soosial budayaa masyarakaat yang tingggal dalam
kawasan tam
man nasionaal akan mem
mbantu keberhasilan dalam menyusuun rencana
pengelolaann Taman Nassional Kutai..
4.7.1 Jenis
J Matap
pencaharian
n
Mataapencahariann masyarakaat di dalam lokasi TNK
K tersaji dalaam Gambar
26.
2 bidang usaha jasa paling
p banyyak dilakukaan oleh pendduduk yang tinggal di
dalam
d man pangan dan diikuti
lokasi TNK, berikkutnya adalaah usaha perrtanian tanam
dengan
d usah
ha perdaganggan. Tingginnya jumlah penduduk
p yaang berusahaa di bidang
pertanian
p taanaman pang
gan dan perrkebunan daapat menjaddi indikator banyaknya
konversi
k huttan menjadii lahan pertaanian. Bidanng perikanann tidak menjjadi bidang
usaha
u pentin
ng bagi pend
duduk.
900
800
700
600
500
400 SangattaSelatan
300 SingaGeeweh
200
Sangkim
ma
100
0 Sangkim
maLama
G
Gambar 26 Juumlah penduuduk sesuai jenis mata ppencaharian.
(Sumber: Monografi
M Keccamatan Sangattta Selatan Tahhun 2008)
4.7.2 Jumlah
J Penduduk
TNK
K berada di tengah-tenggah daerah industri.
i Perrkembangan
n perkotaan
yang
y tidak terkendali
t menyebabkan
m n masyarakatt bermukim baik di dalaam maupun
di
d sekitar kawasan
k karrena keinginnan untuk memperolehh lapangan pekerjaan.
Jumlah
J pendduduk desa di
d dalam TN
NK tersaji dallam Gambarr 27.
111
Gam
mbar 27 Jum
mlah penduduuk di empat desa definitiif dalam TN
NK.
(Sumber:
( 1. Daata Identifikasii Enclave TNK
K Tahun 2005, Dinas Lingkunngan Hidup Ku
utai Timur; 2.
Monografi
M Keccamatan Sangattta Selatan Tahhun 2008)
Jumllah pendudu
uk Desa Saangatta Selattan terbanyak dibandinngkan desa
yang
y lainnyaa, karena Deesa Sangattaa Selatan meerupakan dessa tertua di Kecamatan
K
Sangatta, seebelum dimeekarkan mennjadi Kecam
matan Sangattta Utara daan Sangatta
Selatan. Deesa Sangattaa Selatan sendiri termasuk dalam
m Kecamatan
n Sangatta
Selatan yang
g terdiri darii 3 desa, yaiitu Desa Sanngatta Selataan, Desa Sinnga Geweh,
dan
d Desa Saangkima.
Desaa Teluk P
Pandan sellanjutnya merupakan
m desa yanng jumlah
pendudukny
p ya tertinggi kedua. Namun, perkkembangan selanjutnyaa desa ini
dimekarkan
d lagi menjaadi Desa Teeluk Pandan
n, Kandolo dan Martaddinata, dan
statusnya seekarang mennjadi kecam gan berdirinnya sebuah kecamatan
matan. Deng
baru,
b maka permasalaha
p an perambahhan hutan di TNK menjaadi semakin kompleks.
Adanya
A mekaran keecamatan berimplikasi pada pembbangunan sarana
pem s dan
prasarana
p um
mum bagi peenduduk, sepperti sekolah
h, tempat ibaadah, saranaa kesehatan
dll,
d dan akhiirnya pemecahan masalaah TNK mennjadi semakin sulit.
4.7.3 Agama
A
Agam
ma yang diaanut pendudduk di desa definitif
d dalaam kawasann TNK dan
tempat
t ibadaah yang dim
miliki disajikaan dalam Tabbel 10.
112
Tabel
T 10 Jum
mlah pemelu
uk agama daan tempat ibaadah di desa definitif dallam TNK
Sangatta Singa Sanngkima Teluk
Sangkim
ma*
Agama Selatan Geweh** Laama* Pandan*
Jml TI Jml T
TI Jml TI Jml TI Jml TI
Islam 6 651 144 5 179 11 2 969 7 1 2022 3 5 017 166
Protestan 81 1 89 - 103 1 5 - 4 -
Katolik 186 1 10 - - - - - - -
Budha - - - - - - - - - -
Hindu - - - - - - - - - -
Sumber: Moonografi Keecamatan Saangatta Selattan dan Keccamatan Telluk Pandan
Tahhun 2008
Keterangan:
K *: Desa Panntai, Jml: juumlah pemeeluk agama, TI: tempat ibadah
i
4.7.4 Pendidikan
P
Saran
na pendidik
kan di desa definitif daalam kawasaan TNK terrsaji dalam
Gambar
G 28 dan
d Gambarr 29.
3
2.5
5
2
SangattaaSelatan
Unit 1.5
5
1 SingaGe
eweh
0.5
5 Sangkim
ma
0 Sangkim
maLama
TelukPaandan
G
Gambar 28 Sarana
S pendidikan di dessa definitif ddalam TNK.
(Sumber:
( M
Monografi Keec. Sangatta Selatan dan Kec. Teluk Pandan Tahu un 2008)
Gam
mbar 28 mennunjukkan baahwa fasilitaas sarana penndidikan yanng tersedia
bagi
b masyaarakat yang berada dallam TNK sudah
s relatiff lengkap, mulai dari
113
pendidikan
p TK hingga Sekolah Menengah Atas. Denngan demikkian dapat
dikatakan
d baahwa masyaarakat sudahh memperoleeh pendidikaan yang cuku
up. Namun
demikian
d haasil survei kepada
k respoonden menu
unjukkan ratta-rata respo
onden yang
bekerja
b di biidang perikaanan lebih daari 70% hanyya bersekolaah sampai SD
D dan tidak
lulus
l SD.
Gamb
bar 29 menuunjukkan daari keempat desa definittif yang adaa di dalam
TNK
T umum
mnya lebih dari
d 30% pennduduknya hanya
h berseekolah sampai SD, dan
yang
y bersek
kolah samppai SLTA hanya sekiitar 10-20%
%. Rendahny
ya tingkat
pendidikan
p masyarakatt akan meempengaruhii pemaham
man masyarrakat akan
pentingnya
p menjaga keelestarian linngkungan, teerkait dengaan lingkung
gan mereka
yang
y merupaakan kawasaan taman nassional.
60
50
40
TidakSekolah
SD
30
SLTP
20 SLTA
PerguruaanTinggi
10
0
Saangatta SinggaGeweh Sangkima Teluk
S
Selatan Pandan
4.7.5 Kesehatan
Sarana kesehatan di desa definitif dalam kawasan TNK disajikan dalam
Tabel 11. Sarana kesehatan bagi masyarakat dalam lokasi TNK cukup tersedia
dengan adanya 1 Rumah sakit, 2 puskesmas dan 2 puskesmas bantu.
e. Promosi dan informasi, bina wisata dan cinta alam, serta penyuluhan
konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya;
f. Kerjasama pengelolaan TNK;
g. Pelaksanaan urusan tata usaha dan rumah tangga.
2. LSM BIKAL (Bina Kelola Alam)
BIKAL adalah salah satu lembaga swadaya yang sangat perhatian pada
kelestarian alam Taman Nasional Kutai. Untuk saat ini BIKAL memiliki
program yaitu :
a. Penguatan masyarakat sipil Kutai Timur dalam mendorong partisipasi publik
b. Analisis Kelembagaan (DPRD, Masyarakat, dan Konflik Pengelolaan SDA)
c. Pengembangan media informasi
d. Pembuatan fungsi kontrol
e. Menggalang aliansi
3. LSM BEBSIC (Borneo Ecological Biodiversity Science)
BEBSIC merupakan LSM yang banyak menaruh perhatian pada
keanekaragaman hayati. Adapun program BEBSIC yang ada di TNK adalah :
a. Riset Keanekaragaman Hayati (Orangutan)
b. Kampanye Kesadaran Publik
4. Polres Bontang
Polres Bontang adalah instansi yang bertanggungjawab terhadap pengamanan
kawasan terutama pada kasus-kasus pencurian kayu dan perambahan hutan
yang mengganggu keberadaan Taman Nasional Kutai. Program utama
kepolisian dalam pengamanan TNK adalah melakukan kegiatan-kegiatan
operasi di wilayah TNK dengan sandi Operasi Jaring Kakap, Operasi Wanalaga
I Mahakam dan Operasi Wanalaga II Mahakam dengan sasaran penertiban
penebangan-penebangan liar dan perambahan hutan. Kegiatan tersebut
bekerjasama dengan Polsus Jagawana TNK.
5. Mitra TNK
Dalam upaya pengelolaan kawasan, Balai TNK telah menggandeng 8
perusahaan berskala besar yang mempunyai lokasi kegiatan bersebelahan
dengan TNK dalam wadah Mitra Kutai (Friends of Kutai). Perusahaan tersebut
yaitu PT. KPC dan PT. Indominco Mandiri (tambang batubara), PT Pupuk
116
Kaltim (pupuk), PT Badak NGL dan Pertamina (minyak dan gas) serta PT.
Kiani Lestari, PT. Surya Hutani Jaya dan PT Porodisa (pemegang konsesi
hutan). Mitra Kutai memberikan dukungan finansial dan teknis yang sangat
dibutuhkan untuk pengelolaan kawasan kepada Balai TNK. Bentuk partisipasi
dan kerjasama Mitra Kutai tersebut dikukuhkan melalui SK Dirjen PHPA No.
121/Kpts/Dj-VI/1995 tanggal 30 April 1994.
120
b) Teluk Perancis
Tabel 15 Indeks Nilai Penting (INP) dari vegetasi pohon di Teluk Perancis.
No. Nama Jenis Nama Suku Nama Lokal INP (%)
1 Rhizophora apiculata Rhizophoraceae Bakau minyak 184.650
2 Rhizophora Rhizophoraceae Bakau hitam 79.491
mucronata
3 Bruguiera Rhizophoraceae Bakau daun besar 35.860
gymnorrhiza
Jumlah 300.000
121
Berdasarkan hasil analisis plot botani terhadap anakan pohon dengan dbh 2 -
10 cm pada 8 petak contoh yang berukuran 5 x 5 meter diketahui bahwa kerapatan
anakan 800 individu/ha, dbh rata-rata 6.83 cm, basal area 3.0370.566 m2/ha dan
minimum ada 4 jenis tumbuhan yang termasuk dalam 2 marga dan 1 suku yang
dijumpai di Teluk Perancis ini. Indeks nilai penting anakan pohon dapat dilihat
pada Tabel 16.
Tabel 16 Indeks Nilai Penting (INP) dari vegetasi anakan pohon diamater 2 10
cm di Teluk Perancis.
No. Nama Jenis Nama Suku Nama Lokal INP (%)
1 Rhizophora apiculata Rhizophoraceae Bakau minyak 141.288
2 Rhizophora mucronata Rhizophoraceae Bakau hitam 76.415
3 Ceriops decandra Rhizophoraceae Bido-bido 66.900
4 Ceriops tagal Rhizophoraceae Soga tingi 15.396
Jumlah 300.000
c) Muara Sangkima
Berdasarkan hasil analisis plot botani terhadap vegetasi pohon dengan dbh
10 cm pada 16 petak ukur berukuran 10 x 10 m diketahui bahwa kerapatan
pohon di Muara Sangkima TNK 613 pohon/ha, dbh rata-rata 35.2 cm, basal area
64.6916.181 m2/ha dan minimum ada 6 jenis pohon yang termasuk dalam 6
marga dan 4 suku berbeda yang dijumpai di kawasan ini.
Dari 6 jenis pohon yang ditemui di Muara Sangkima, jenis yang dominan
adalah Rhizophora apiculata dengan INP = 167.667%, menyusul Bruguiera
gymnorrhiza dengan INP = 91.555%, dan Ceriops decandra dengan INP =
26.397%, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 17.
Berdasarkan hasil analisis plot botani terhadap anakan pohon dengan dbh
2 - 10 cm pada 16 petak contoh yang berukuran 5 x 5 meter diketahui bahwa
kerapatan 1250 individu/ha, dbh rata-rata 5.21 cm, basal area 3.1270.514 m2/ha
dan minimum ada 7 jenis tumbuhan yang termasuk dalam 6 marga dan 4 suku
yang dijumpai di Muara Sangkima ini.
122
Tabel 17 Indeks Nilai Penting (INP) dari vegetasi pohon di Muara Sangkima.
Dari 7 jenis pohon yang ditemui, jenis yang dominan adalah Rhizophora
apiculata dengan INP = 133.451%, menyusul Bruguiera gymnorrhiza dengan INP
= 66.177%, dan Ceriops decandra dengan INP = 58.471%. Untuk lebih jelasnya
dapat dilihat pada Tabel 18.
Tabel 18 Indeks Nilai Penting (INP) dari vegetasi anakan pohon diamater 2 10
cm di Muara Sangkima.
123
124
8
KELIMPAHANMAKROZOOBENTHOS
7
3 2.75
6
5
0.75 1.75
5
i d/
ind/m
2.25
4 0.5 0.75
0.25 1.75
3.75
3 0.5
1.5
1.5 1.5
4
1.5
1
2 1.5
1 0.2
25
2.75 1
1.25 0..5 3
2 2 0 2.5 0.25 1.25
1 2 1 0.5 0.5
0 1.25
0.5 1.75
1.25 0 0.25 25
1.2
0.75 0 0.5
0.5 0.25 0 025
0.2 0.75 0.75
5 0.5 0 0.75 0.25 0.5
0 0 0.25 0.25 0.25 0.225 0.25
0 0.25
0
Ostreidae
Telebralia
Dentaliidae
Muricidae
Olividae
Littoridae
Cherithidae
Lucinidae
Penaidae(Penaeussp)
Grapsidae(Sesarmasp)
Tapesphilippinarum
Neritidae
Trochidae
Anadara
KELASPOLYCHAETA
Nassaridae
Corbiculidae(Geloinasp)
Ocypodidae(Uchasp)
Portunidae(Thalamitasp)
Portunidae (Thalamita sp)
Upogebidae(Upogebiasp)
Paguridae(Pagurussp)
KELASGASTROPODA
KELASMALACOSTRACA
Nereislimnicola
Telescopium
KELASPELECYPODA
hid
JEENISMAKROZO
OOBENTHOS
Gamb
bar 30 Kelim
mpahan makkrozoobenthoos di habitat mangrove TNK
T
5.1.1.3
5 Produksi
P Seerasah
Serasah adalah sisa
s organik dari tanamann dan hewann, yang ditem
mukan baik
di
d permukaaan tanah ataau di dalam
m mineral taanah. Serasaah terdiri ataas guguran
cabang,
c bataang utama, daun,
d dan buah, yang menumpuk
m p
pada permukkaan tanah.
Kehilangan
K tahunan dari
d daun, bunga, buaah, ranting,, dan serpiihan kulit,
merupakan
m bagian utam
ma dari gugguran serasaah pada ekoosistem hutaan. Serasah
125
daun
d meruppakan 70%
% dari totall serasah di
d permukaaan tanah (W
Waring &
Schlesinger dalam Sihaiinenia 2008)).
Serasah merupaakan salah ssatu alternaatif makanann alami bag
gi kepiting
bakau.
b Hasiil penelitiann McCann ddalam Arifinn (2006) meenyatakan bahwa 50%
materi
m yang
g diidentifik
kasi pada peencernaan kepiting
k adaalah moluskka, 20-22%
adalah
a krusttasea, dan sisanya
s 28-330% terdiri atas sejumllah kecil tannaman dan
serasah.
7
23.77 24.45
5 23.89
9
25.00
20.00
15.00 13.38
12.47 prroduksiserasahh
11.56
(to
on/ha/th)juli
10.00 prroduksiserasah
h
(to
on/ha/th)deseember
5.00
0.00
muara telukprancis muara
sangatta sangkima
Gambar 31
3 Grafik niilai rata-rata produksi serrasah di habitat mangrovve TNK.
127
Karena pesisir Kutai Timur termasuk dalam jenis pasang tipe campuran
cenderung ke harian ganda (Dahuri 2001), maka terjadi dua kali pasang harian
dengan puncak yang berbeda. Air pasang harian, atau nyorong menurut istilah
nelayan, mulai terjadi jam 5-6 sore, mencapai puncak tertinggi jam 9-10 malam.
Selanjutnya air mulai surut, hingga surut terendah harian terjadi pada jam 11-12
malam. Pasang berikutnya terjadi pada pukul 7-8 pagi, dan mulai surut pada jam
12 siang.
Pasang surut ini juga berpengaruh dalam usaha budidaya sylvofishery
kepiting bakau, karena mekanisme penggantian air dalam kurungan tancap
tergantung pada pasang surut air laut tersebut. Sehingga pada areal yang tidak
selalu tergenang oleh pasut akan memerlukan teknologi tambahan berupa pompa
air untuk mengganti air dalam kurungan, sementara secara teknis hal ini agak sulit
dilakukan pada daerah pesisir yang terpencil dan akses yang sulit untuk
memperoleh listrik atau bahan bakar minyak.
B. Arus Laut
Kecepatan arus permukaan maksimum di perairan pesisir Kab. Kutai
Timur terjadi pada saat pergerakan pasang surut terbesar, yaitu saat neap tide dan
spring tide dengan kecepatan arus rata-rata mencapai 20-80 cm/detik dengan arah
arus pasang 250-333 dan arah arus surut mempunyai arah 36-130 (Unmul
2002).
Arus perairan yang terjadi di perairan pesisir Kabupaten Kutai Timur
dikaitkan dengan fluktuasi pasang surut memperlihatkan perubahan arah dan
kecepatan arus sesuai dengan perubahan pasang surut. Hal tersebut
mengindikasikan adanya pengaruh yang dominan dari pasang surut terhadap arus.
Kecepatan arus pada waktu air pasang lebih kecil dibanding kecepatan arus pada
waktu air surut, karena pada waktu surut ada tambahan massa air tawar. Arah arus
laut dapat menjadi indikasi bagi arah ruaya kepiting bakau betina yang beruaya ke
laut untuk memijah.
C. Gelombang Laut
128
gelombang rambat yang berasal dari wilayah atas Kalimantan yang kemudian
merambat mencapai pesisir. Pada umumnya gelombang alun lebih tinggi daripada
gelombang angin. Gelombang tinggi terjadi bila terdapat super posisi gelombang
alun dan gelombang angin (Unmul 2002).
Menurut nelayan lokal, musim angin di perairan laut Kabupaten Kutai
Timur dapat dibedakan menjadi 3, yaitu musim angin utara (Pebruari-April),
musim angin selatan (Mei-September), dan musim angin pancaroba/peralihan
(Oktober-Januari). Pada musim angin utara, gelombang kecil, sehingga perairan
laut relatif tenang. Pada musim angin selatan mulai bertiup angin yang
menyebabkan gelombang menjadi tinggi. Musim yang paling buruk biasanya
terjadi pada musim peralihan dimana terjadi putaran angin yang menyebabkan
gelombang tinggi dan arah gelombang tidak menentu, sehingga berbahaya bagi
pelayaran.
Gelombang laut di perairan pesisir Kabupaten Kutai Timur relatif kecil.
Berdasarkan informasi nelayan setempat gelombang pada kondisi normal
maksimum sekitar 30 50 cm. Di wilayah perairan laut antara 1 sampai 2 mil dari
garis pantai terdekat kisaran tinggi gelombang lebih tinggi dibandingkan wilayah
laut lainnya sedangkan pada perairan terluar mempunyai tinggi gelombang
berkisar 50 70 cm (Unmul 2002).
Berdasarkan hasil penelitian kerjasama antara Bappeda Kutai Timur
dengan Universitas Mulawarman (2002) yang dilaksanakan pada bulan Nopember
2001, tinggi gelombang rerata mencapai 20 cm dengan periode gelombang 20
detik per rangkaian gelombang.
Tinggi gelombang laut ini sangat berpengaruh bagi kelangsungan
budidaya sylvofishery dalam mangrove. Karena budidaya ini menggunakan jaring
nilon yang relatif lemah, adanya gelombang yang besar dan kadang kala
membawa batang-batang kayu yang dapat menghancurkan jaring. Pada bulan
Februari-Maret 2010 ini, tingginya gelombang pada musim peralihan telah
menghancurkan kurungan tancap kepiting nelayan di Muara Sangatta, dan juga
alat tangkap ikan yang berupa belat (sero) yang dipasang di pinggir pantai. Oleh
karena itu perlu diperhatikan teknologi dalam pembuatan kurungan tancap
sylvofishery ini, agar dapat mengantisipasi kondisi buruk akibat gelombang.
129
pHa 1 pHa
-- axis 2 (25% ) -->
0.5
C-3 A-1
DOa SCYL
DOa SCYL 0
0 SALa TEKs A-3
TEKs
BODa BODa
SALa B-1
-1 CODa
-0.5 B-3 BENTH
CODa TEMPa
BENTH TEMPa A-2
-1 -2
B-2
-1.5 -3
-2 -1 0 1 2 -4 -2 0 2 4 6
-- axis 1 (43% ) --> -- axe 1 (43% ) -->
130
131
ditingkatkan oleh mangrove itu sendiri. Akar penyangga yang khas, memanjang
ke bawah dari batang dan dahan mangrove, sangar banyak, padat, dan kusut,
sehingga mengurangi gerakan air. Kondisi ini menyebabkan partikel substrat
dasar yang halus akan mengendap di sekelilingi akar mangrove, membentuk
kumpulan lapisan sedimen lunak dan sangat sulit dialirkan ke luar. Kepiting bakau
memiliki tingkah laku menggali lobang dan membenamkan diri dalam lumpur
untuk berlindung, terutama pada saat moulting. Nybakken (1992), menyatakan
bahwa lobang-lobang itu juga berguna untuk komunikasi antar vegetasi mangrove
(mangal), yaitu dengan cara melewatkan oksigen agar masuk ke dalam substrat
yang lebih dalam, sehingga dapat memperbaiki kondisi anoksik, mengingat
substrat dasar hutan mangrove dicirikan oleh kadar oksigen yang rendah. Selain
itu kanopi pohon mangrove menciptakan naungan yang sangat baik, sehingga
dapat menjadi peredam sinar matahari untuk mencegah peningkatan suhu
perairan. Dengan demikian hutan mangrove menjadi daerah perlindungan yang
ideal bagi kepiting bakau.
Kerapatan vegetasi mangrove yang tinggi juga menjadikan hutan
mangrove sebagai daerah asuhan dan mencari makan bagi kepiting bakau pada
tingkat megalopa dan kepiting muda (juvenil), yang setelah melewati stadia zoea
akan kembali memasuki hutan mangrove. Setelah menetas, megalopa dan kepiting
muda akan terbawa arus ke pantai atau muara sungai untuk mencari makan dan
berlindung. Kerapatan vegetasi mangrove yang tinggi, juga menjadi sumber
makanan alami bagi berbagai organisme yang berasosiasi di dalamnya termasuk
kepiting bakau. Hutching & Saenger (1987), menyatakan bahwa kepiting bakau
hidup di sekitar hutan mangrove dan memakan akar-akarnya (pneumatophore).
Kelimpahan S. serrata dipengaruhi juga oleh salinitas perairan. Kasry
(1996) meneliti bahwa salinitas yang sesuai untuk pemeliharaan larva kepiting
bakau pada tingkat zoea berkisar antara 29-33 , sedangkan pada fase megalopa
perkembangan terbaik ada pada salinitas yang lebih rendah yaitu pada kisaran 21-
27 . Penelitian Ong (1964) menunjukkan bahwa pertumbuhan rata-rata S.
serrata fase pasca larva pada salinitas 21-26 jauh lebih cepat dibanding pada
salinitas 25-26 atau pada salinitas 30-31 . Mardjono et al. (1992)
menyatakan bahwa salinitas akan mempengaruhi keseimbangan cairan, koefisien
132
133
134
hubungan lebar karapas dengan bobot S. serrata di habitat mangrove TNK tidak
isometrik. Perbedaan ini cukup signifikan dengan nilai P<0,05. Pola pertumbuhan
S. serrata jantan di alam pada semua lokasi menunjukkan nilai konstanta b>3,
berarti konstanta pertumbuhan S. serrata jantan di wilayah tersebut adalah
allometrik positif, atau dapat dikatakan pertumbuhan bobot tubuh lebih cepat
daripada pertumbuhan lebar karapas. Hal ini terjadi karena S. serrata jantan
adalah memiliki morfologi bentuk chela yang lebih besar dibanding S. serrata
betina. Sehingga bila berada pada ukuran lebar karapas yang sama,
kecenderungan S. serrata jantan lebih berat bobotnya, karena chela menambah
bobot tubuhnya. Penelitian Chakrabarti dalam Bonine et al. (2008) dan
Siahainenia (2008) menunjukkan S. serrata memiliki sifat seksualitas dimorfisme,
dimana kepiting jantan cenderung menjadi lebih berat dibanding kepiting betina
pada lebar karapaks yang sama. Selain itu, hasil tangkapan S. serrata jantan pada
penelitian ini kebanyakan berukuran besar yang sudah matang gonade, sehingga
kepiting jantan sudah jarang melakukan moulting dibanding pada saat kepiting
masih juvenil. Dengan frekuensi moulting yang rendah, asupan makanan lebih
banyak digunakan untuk pertambahan bobot.
Pola pertumbuhan S. serrata betina di semua lokasi penelitian
menunjukkan nilai konstanta b<3, berarti pola pertumbuhan kepiting betina di
habitat mangrove TNK adalah alometrik negatif, atau berarti pertumbuhan bobot
tubuh lebih lambat daripada pertumbuhan karapasnya. Pada kepiting betina pola
allometrik negatif terjadi karena S. serrata betina menggunakan asupan makanan
lebih banyak untuk moulting dan proses kematangan gonad (bertelur).
Pertumbuhan kepiting betina cenderung lebih ke arah lebar karapas karena
kepiting betina akan moulting setiap akan melakukan proses kopulasi.
Pada Scylla serrata jantan moulting lebih jarang terjadi, asupan makanan
cenderung digunakan untuk memanjangkan dan membesarkan chelae (capit),
yang berperan penting pada proses perkawinan. Onyango (2002) menyatakan,
Scylla serrata jantan biasanya memiliki capit sangat besar dibandingkan dengan
betina dengan ukuran yang sama dan lebih disukai oleh nelayan selama lebar
karapas lebih dari 70 mm, hal ini bisa menghasilkan perbedaan ukuran yang
signifikan antara jantan dan betina. Oleh karena itu bila berada pada ukuran lebar
135
karapas yang sama, kecenderungan S. serrata jantan lebih besar bobotnya, karena
capitnya menambah bobot tubuhnya. Kasry (1996), menyatakan capit (chela)
kepiting bakau yang besar dan kuat memungkinkannya untuk menyerang musuh,
atau merobek-robek makanannya.
Allometri dari capit kepiting jantan dapat digunakan untuk menentukan
ukuran morfometrik jantan dewasa, sehingga dapat digunakan sebagai dasar
pengelolaan konservasi (Hall et al. 2006). Analisis pertumbuhan secara allometri
pada capit dibanding ukuran tubuh (lebar karapas) dipakai untuk memperkirakan
rata-rata awal ukuran dewasa kepiting (Watters and Hobday 1998; Bueno &
Shimizu 2009). Walton et al. (2006) menyatakan hubungan alometrik antara
tinggi chela dan lebar karapas menunjukkan 50% kepiting jantan memperoleh
kedewasaan chela pada lebar karapas internal (Internal Carapace Width/ICW)
10.2 cm. Ukuran capit yang besar pada kepiting bakau jantan dewasa kelamin
sangat berfungsi ketika mendekap atau mengepit kepiting bakau betina selama
masa percumbuan yakni ketika kedua individu kepiting bakau ini berada dalam
posisi berpasangan (doublers), serta untuk membalik tubuh kepiting bakau betina
ketika proses kopulasi akan berlangsung (Siahainenia 2008). Capit yang besar
juga dibutuhkan kepiting bakau jantan dewasa kelamin untuk bertarung dengan
jantan lainnya dalam upaya mempertahankan wilayah kawin (matting territory),
mempertahankan dirinya sendiri serta melindungi dan mempertahankan betina
yang menjadi pasangan kawinnya, mengingat menjelang kopulasi kepiting bakau
betina melakukan pergantian kulit (moulting) sehingga bertubuh lunak dan sangat
rentan terhadap serangan atau bahkan pemangsaan dari kepiting bakau lainnya,
karena sifat kanibalisme yang dimilikinya (Kasry 1996).
Penelitian Ali et al. (2004) menunjukkan hubungan lebar karapas-bobot
untuk S. serrata jantan di ekosistem mangrove di Khulna Bangladesh adalah W =
0.0078 CW3.06, sedangkan pada S. serrata betina W = 0.0078 CW1.8928. Di
Rannong Thailand, Cheewasedtham dalam Ali et al. (2004) melaporkan hubungan
CW (mm) and W (g) untuk jantan dan betina masing-masing adalah 0.097131
L3.369 dan 0.559879 L2.559, menurut Poovachiranon (1992) hubungan lebar
karapas-bobot kepiting bakau di ekosistem mangrove Laut Andaman, untuk jantan
adalah 0.0423 L3.726 dan untuk betina 0.3357 L2.726. Hubungan lebar karapas
136
dengan bobot pada induk betina S. serrata matang gonade di Estuari Umlalazy
Afrika Selatan adalah Y = 0,0014 X2,56 (Davis et al. 2004).
ii. Betina
Modus ganda yang menunjukkan adanya 2 kelompok ukuran kepiting
betina terjadi pada bulan Februari 2009, dimana modus yang semula pada ukuran
137
102 mm bergeser ke kiri pada ukuran 90 mm, sehingga diduga terjadi rekruitmen
individu baru pada bulan Januari 2009. Rekruitmen berikutnya terjadi pada bulan
Maret 2009, yang menyebabkan terjadi kelompok ukuran baru pada bulan April
2009.
Pergeseran modus terjadi dari Oktober 2008 sampai Januari 2009
(kelompok umur pertama). Februari 2009 hingga April 2009 (kelompok umur
kedua). Mei sampai Juli 2009 (kelompok umur ketiga). Kepiting betina di Muara
Sangatta dari November 2008 sampai Juni 2009 terdiri dari 3 kelompok umur.
Diduga rekruitmen terjadi pada bulan September, Februari, dan Mei. Hasil
distribusi frekuensi lebar karapas kepiting betina pada tiap bulannya di stasiun M.
Sangatta dapat dilihat pada Lampiran 4. Kejadian rekruitmen individu jantan dan
betina di Muara Sangatta terjadi pada bulan yang relatif sama yaitu Januari dan
Maret.
B. Teluk Prancis
i. Jantan
Pergeseran modus terjadi dari Desember 2008 sampai Pebruari 2009
(kelompok umur pertama). Maret 2009 hingga Mei 2009 (kelompok umur kedua).
Kemudian pada bulan Juni 2009 (kelompok umur ketiga). Kepiting jantan di
Teluk Prancis dari Oktober 2008 sampai Juni 2009 terdiri dari 3 kelompok umur.
Diduga rekruitmen terjadi pada bulan November, Pebruari, dan Mei. Hasil
distribusi frekuensi lebar karapas kepiting jantan pada tiap bulannya di stasiun
Teluk Prancis dapat dilihat pada Lampiran 5.
ii. Betina
Pergeseran modus terjadi dari Januari 2009 sampai Pebruari 2009
(kelompok umur pertama). Maret 2009 hingga Juni 2009 (kelompok umur kedua).
Kepiting betina di Teluk Prancis dari Oktober 2008 sampai Juni 2009 terdiri dari
2 kelompok umur. Diduga rekruitmen terjadi pada bulan Desember, dan Maret.
Hasil distribusi frekuensi lebar karapas kepiting betina pada tiap bulannya di
stasiun Teluk Prancis dapat dilihat pada Lampiran 6.
138
C. Muara Sangkima
i. Jantan
Hasil distribusi frekuensi lebar karapas kepiting bakau di stasiun M.
Sangkima pada tiap bulannya dapat dilihat pada Lampiran 1 dan 2. Pada bulan
November 2008 kisaran kelas panjang kepiting mulai dari 76 mm hingga 140
mm. Modus panjang yang ditemukan pada bulan November 2008 ditemukan
adanya modus ganda (bimodus) yaitu pada kelas 100 mm dan 132 mm. Kemudian
pada bulan Desember 2008 pada kelas 101 mm dan 128 mm. Selanjutnya
berturut-turut modus berada pada kelas 110 mm untuk Januari 2009 dan 116 mm
untuk Februari 2009. Hal ini menunjukkan adanya pergeseran modus dari
November 2008 hingga Februari 2009 yang menunjukkan adanya pertumbuhan
(kelompok umur pertama). Sedangkan pada Maret 2009 modus bergeser kembali
ke kiri. Hal ini menunjukkan adanya rekruitmen yang terjadi pada bulan Februari
2009 sehingga masuk individu-individu baru serta membentuk kelompok ukuran
baru pada bulan Maret 2009, pada bulan Maret terjadi bimodus pada kelas ukuran
100 mm dan 140 mm.
Selanjutnya pada bulan April modus kembali bergeser ke kiri lagi pada
ukuran 92 mm, hal ini menunjukkan adanya rekruitmen baru. Pergeseran modus
ke kanan yakni pada kelas 110 mm terjadi pada bulan Mei 2009 (kelompok umur
kedua). Berdasarkan distribusi frekuensi panjang kepiting dari bulan November
2008 hingga Juni 2009 dapat disimpulkan bahwa terdapat dua kelompok umur
yang berbeda pada kepiting jantan yang diamati di M. Sangkima, dengan
rekruitmen yang diduga terjadi pada bulan Februari dan April.
ii. Betina
Pada bulan November 2008 kisaran kelas panjang kepiting mulai dari 76
mm hingga 140 mm. Modus panjang yang ditemukan pada bulan November 2008
ditemukan adanya modus ganda (bimodus) yaitu pada kelas 100 mm dan 132 mm.
Kemudian pada bulan Desember 2008 dan Januari 2009 modus pada kelas 100
mm. Selanjutnya terjadi pergeseran modus ke arah kiri pada bulan Februari 2009,
yaitu di kelas 85 mm. Hal ini menunjukkan adanya rekruitmen pada bulan Januari
2009 yang membentuk kelompok ukuran baru pada bulan Februari 2009.
139
Pada Maret 2009 modus bergeser ke kanan di kelas ukuran 105 dan 135
mm, hal ini menunjukkan adanya pertumbuhan. Selanjutnya pada bulan April
2009 modus kembali bergeser ke kiri lagi pada ukuran 85 mm. Hal ini
menunjukkan adanya rekruitmen baru. Pergeseran modus ke kanan yakni pada
kelas 110 mm terjadi pada bulan Mei 2009.
Berdasarkan distribusi frekuensi panjang kepiting dari bulan November
2008 hingga Juni 2009 dapat disimpulkan bahwa terdapat dua kelompok umur
yang berbeda pada kepiting betina yang diamati di M. Sangkima, dimana diduga
rekruitmen terjadi pada bulan Januari dan April.
Pada wilayah perairan mangrove Blanakan, Tanjung Laut dan Mayangan
terdapat dua puncak rekruitmen kepiting bakau yakni terjadi pada bulan April dan
Mei serta bulan Agustus dan September (Sihainenia 2008).
Adanya pola rekruitmen kepiting bakau pada bulan-bulan tertentu pada
suatu wilayah merupakan dasar pertimbangan pengelolaan perikanan tangkap,
yaitu untuk menentukan waktu penangkapan. Adanya rekruitmen
mengindikasikan adanya kepiting betina yang memijah, sehingga perlu diatur agar
sebelum terjadi rekruitmen tidak dilakukan penangkapan untuk menghindari
tertangkapnya kepiting bakau betina matang gonade.
140
141
ini berkaitan dengan kondisi ukuran lebar karapas kepiting S. serrata yang
ditemukan di wilayah tersebut umumnya berukuran lebih dari dewasa kelamin,
sehingga kecepatan pertumbuhannya menjadi lebih lambat. Kepiting betina
dewasa kelamin lebih banyak menggunakan energinya untuk pertumbuhan dan
perkembangan gonade (Lavina dalam Siahainenia 2008).
142
a) Muara Sangatta
Laju mortalitas total (Z) kepiting jantan di Muara Sangatta adalah 2.89 per
tahun dengan laju mortalitas alami sebesar 1.2584 per tahun dan laju mortalitas
penangkapan sebesar 1.6316 per tahun. Hal ini menunjukkan bahwa kematian
kepiting lebih besar disebabkan oleh faktor penangkapan. Selain itu, laju
eksploitasi faktual kepiting jantan di Muara Sangatta sebesar 0.5645 yang berarti
56.45% kematian kepiting jantan di Muara Sangatta disebabkan oleh aktifitas
penangkapan. Pada kepiting betina Z adalah 4.71 per tahun dengan M sebesar
1.4305 per tahun dan F sebesar 3.280 per tahun. Laju eksploitasi faktualnya
adalah 55.40%. Tekanan penangkapan di Muara Sangatta dikatakan sudah
berlebihan, karena laju eksploitasi maksimal yang diperbolehkan adalah 45.7%
untuk kepiting jantan dan 35.5% untuk kepiting betina. Tingginya kematian
karena penangkapan ini terjadi diduga karena di Muara Sangatta terdapat
pemukiman nelayan, sehingga aktifitas penangkapan cukup tinggi. Selain itu,
kondisi ekosistem mangrove Muara Sangatta juga telah terdegradasi akibat
tingginya pembukaan mangrove untuk tambak. Areal lahan kritis di mangrove
Muara Sangatta mencapai 440.3 ha. Siahainenia (2008) pada penelitiannya di
Kabupaten Subang juga menemukan bahwa kelimpahan kepiting bakau terendah
umumnya dijumpai pada zona belakang hutan yang memiliki tingkat kerapatan
vegetasi mangrove rendah, serta berada di sekitar areal pemukiman penduduk atau
mendapat tekanan akibat tingginya aktifitas masyarakat.
b) Teluk Perancis
Laju mortalitas total (Z) kepiting jantan di Teluk Perancis adalah 2.87 per
tahun dengan laju mortalitas alami sebesar 0.9430 per tahun dan laju mortalitas
penangkapan sebesar 1.9270 per tahun. Hal ini menunjukkan bahwa kematian
kepiting lebih besar disebabkan oleh faktor penangkapan. Laju eksploitasi faktual
kepiting jantan di Teluk Perancis sebesar 0.671 yang berarti 67.1% kematian
kepiting jantan di Teluk Perancis disebabkan oleh aktifitas penangkapan. Pada
kepiting betina Z adalah 3.40 per tahun dengan M sebesar 1.1774 per tahun dan F
sebesar 2.2226 per tahun. Laju eksploitasi faktualnya adalah 65.40%,
menunjukkan kematian kepiting betina lebih banyak karena penangkapan.
Tekanan penangkapan di Teluk Perancis sudah melebihi laju eksploitasi maksimal
143
c) Muara Sangkima
Laju mortalitas total (Z) kepiting jantan di Muara Sangkima adalah 1.36
per tahun dengan laju mortalitas alami sebesar 0.6412 per tahun dan laju
mortalitas penangkapan sebesar 0.71823 per tahun. Hal ini menunjukkan bahwa
kematian kepiting lebih besar disebabkan oleh faktor penangkapan. Laju
eksploitasi faktual kepiting jantan di Muara Sangkima sebesar 0.5281 yang berarti
52.81% kematian kepiting jantan di Muara Sangkima disebabkan oleh aktifitas
penangkapan. Eksploitasi faktual ini masih di bawah eksploitasi maksimal yang
sebesar 55.5%. Pada kepiting betina Z adalah 1.79 per tahun dengan M sebesar
0.852 per tahun dan F sebesar 0.938 per tahun. Laju eksploitasi faktualnya adalah
52.40%, sedikit di atas laju eksploitasi maksimal yang diperbolehkan sebesar
51.6%.
Di lokasi Muara Sangkima banyak terdapat tambak-tambak tradisional.
Kepiting yang ditemukan lebih bervariasi ukuran lebar karapasnya, dibanding
144
Tabel 22 Jumlah individu S. serrata hasil tangkapan alat rakkang, rengge, dan
pengait.
145
Ukuran kepiting yang terkecil menunjukkan bahwa kepiting yang mulai dapat
tertangkap oleh alat tangkap adalah kepiting yang berukuran 45 mm. Grafik
histogram sebaran ukuran dan sebaran jenis kelamin S. serrata berdasarkan hasil
tangkapan dari bulan Oktober 2008 - Juni 2009 dengan menggunakan alat tangkap
rakkang, rengge, dan pengait dapat dilihat pada Gambar 33.
146
hanya 16% kepiting yang ditangkap dengan alat pengait yang belum dewasa
kelamin. Sisanya, sekitar 83.88% merupakan kepiting yang diduga sudah dewasa
kelamin. Hal ini menunjukkan bahwa di kawasan tengah hutan mangrove
cenderung lebih banyak terdapat kepiting yang berukuran besar (dewasa kelamin).
Selain itu, sifat alat tangkap pengait yang cukup selektif juga mempengaruhi
ukuran kepiting hasil tangkapan. Alat pengait digunakan di lubang-lubang
kepiting yang ada di dalam hutan mangrove, atau tambak-tambak di sekitar
mangrove. Waktu penggunaan pengait biasanya pada siang hari, saat air surut,
karena pada waktu tersebut kepiting bersembunyi dalam lubang untuk
mendinginkan tubuhnya. Kepiting yang bersembunyi dalam lubang umumnya
adalah kepiting jantan yang berukuran besar.
Rasio kelamin S. serrata hasil tangkapan pengait lebih didominasi jenis
kelamin jantan dengan rasio jantan : betina adalah 1 : 0.47 dan nilai P<0.05. Hal
ini menunjukkan adanya perbedaan yang berarti dari pergeseran rasio kelamin
1:1. Dominasi jantan dapat terjadi karena adanya pola migrasi pada kepiting S.
serrata. S. serrata melangsungkan perkawinan di perairan mangrove dan secara
berangsur-angsur sesuai dengan perkembangan telurnya, kepiting betina akan
beruaya (berenang) ke laut dan memijah, sementara kepiting jantan tetap di
perairan hutan bakau atau muara sungai (Hill 1975). Hasil ini bersesuaian dengan
hasil penelitian Le Vay et al. (2007) yang menemukan bahwa hasil tangkapan
kembali (recaptured) kepiting bakau S. paramamosain yang telah ditandai
(marking) adalah 79% tertangkap pada malam hari di dataran lumpur pinggiran
mangrove menuju ke laut, 14% yang tertangkap pada siang hari di dalam
mangrove dengan pancingan dan 7% tertangkap gillnets ditetapkan setidaknya
pada jarak 1 km lepas pantai dari pinggiran bakau.
147
merupakan ukuran lebar karapas kepiting bakau yang masih belum dewasa
kelamin. Hal ini menunjukkan bahwa lebih banyak kepiting muda yang
tertangkap dengan menggunakan alat tangkap rakkang. Alat tangkap rakkang
dioperasikan dengan cara rakkang dipasang ketika air sedang surut, setelah
sebelumnya dipasangi umpan berupa ikan rucah. Selama air pasang rakkang
dibiarkan terendam dalam air, kemudian ketika air telah surut rakkang diangkat
dan diambil kepiting yang terperangkap di dalamnya. Alat rakkang umumnya
dipasang di muara sungai, pinggiran sungai, pinggiran pantai yang berlumpur dan
sering terendam air pasang. Banyaknya kepiting muda yang tertangkap dengan
rakkang disebabkan pada tingkat megalopa kepiting mulai beruaya pada dasar
perairan berlumpur menuju perairan pantai, dan biasanya pertama kali memasuki
perairan muara sungai, kemudian ke perairan berhutan bakau untuk kembali
melangsungkan perkawinan (Afrianto & Liviawaty 1993).
Webley et al (2009) menyatakan bahwa megalopa dari beberapa spesies
kepiting menunjukkan seleksi habitat aktif ketika menetap. Megalopa ini biasanya
memilih habitat kompleks secara struktural yang dapat memberikan perlindungan
dan makanan. Kepiting lumpur yang portunid, S. serrata , umumnya ditemukan di
muara yang berlumpur Indo-Pasifik Barat setelah mencapai lebar karapas > 40
mm. Meskipun telah dilakukan upaya besar, mekanisme perekrutan kepiting
lumpur remaja ke muara tidak dipahami karena megalopa dan tahap awal kepiting
muda (lebar karapas < 30 mm) jarang ditemukan. Binatang ini ditempatkan di
arena di mana mereka punya pilihan habitat: lamun, lumpur atau pasir, dan arena
di mana mereka tidak punya pilihan. Berlawanan dengan asosiasi yang
ditunjukkan oleh megalopa kepiting portunid lain, megalopa S. serrata tidak
selektif di antara habitat muara ini, menunjukkan bahwa mereka cenderung tidak
akan memilih habitat ini, atau, tidak memperoleh keuntungan dengan memilih
salah satu dari yang lain. Namun para kepiting muda (crablets), sangat memilih
lamun, menunjukkan bahwa yang berada dalam lamun adalah bermanfaat bagi
kepiting muda dan meningkatkan kemungkinan bertahan hidup. Perilaku yang
selektif mulai berkembang pada tahap kepiting muda, namun belum tampak pada
tahap megalopa.
148
149
terjadi karena ada kepiting betina matang gonade yang bermigrasi ke laut untuk
memijah dan ada kepiting muda (juvenil) yang bermigrasi ke hutan bakau untuk
mencari makan dan kawin.
150
151
Teluk Perancis mulai meningkat pada bulan Desember dan mencapai puncak pada
bulan Januari, kemudian menurun pada bulan April.
Namun, puncak kelimpahan induk betina S. serrata matang gonade TKG
IV, diduga terjadi 2 kali dalam satu tahun. Hal ini dapat dilihat dari trend
frekuensi induk matang gonade yang mulai meningkat lagi pada bulan Juni. Oleh
karena itu diduga di lokasi Muara Sangatta puncak frekuensi betina matang
gonade yang kedua terjadi pada bulan Agustus-September, dan di Teluk Perancis
terjadi pada bulan September.
Dugaan ini dilandasi oleh adanya pola pergeseran kelompok umur. Pola
pergeseran kelompok ini menyebabkan adanya dugaan bahwa rekruitmen yang
terjadi di Muara Sangatta adalah pada bulan Oktober, Februari, dan Mei; di Teluk
Perancis pada bulan Desember, dan Maret; sedangkan di Muara Sangkima pada
bulan Januari dan April. Rekruitmen yang terjadi pada bulan-bulan September,
Desember, dan Januari akan terjadi apabila ada pemijahan yang terjadi pada kurun
waktu 2 bulan sebelumnya.
Perkiraan waktu ini didasarkan pada informasi bahwa proses intermoult
dari tahap zoea I crab I memerlukan waktu 23-25 hari (Quinitio et al. 2001),
Menurut Motoh et al. (1977) untuk perkembangan tingkat zoea seluruhnya me-
merlukan waktu minimal 18 hari, dan dari tingkat megalopa ke tingkat kepiting
muda (instar 1) memerlukan waktu 11-12 hari, hal ini pada salinitas 312 ppt, jika
dilakukan pada salinitas antara 21-27 ppt diperlukan waktu hanya 7-8 hari.
Ukuran lebar karapas megalopa adalah sekitar 1.52 mm, sedangkan rekruitmen S.
serrata dalam penelitian ini baru terjadi pada juvenil berukuran >40 mm, sehingga
muncul dugaan waktu yang diperlukan sejak memijah hingga terjadi rekruitmen
adalah sekitar 2-3 bulan.
Siahainenia (2008) menemukan bahwa pada bulan Maret sampai Agustus
terjadi peningkatan kelimpahan kepiting bakau betina matang gonad tingkat akhir
(TKG IV dan V) baik pada wilayah perairan mangrove Desa Blanakan, Tanjung
Laut maupun Mayangan (Kabupaten Subang), sehingga bulan-bulan tersebut
diduga merupakan puncak aktifitas pemijahan atau puncak musim pemijahan
kepiting bakau.
152
153
154
Tabel 24 Nilai kesesuaian variabel lingkungan habitat mangrove TNK untuk kepiting bakau.
Bobot Ma
NO VARIABEL Ma Sangatta skor SI** Tl Perancis skor SI** skor SI**
Variabel Sangkima
oksigen terlarut (DO)
1 1 6.3 - 10.9 1 1 7.3 11.9 1 1 7.3 11.7 1 1
(V1)
2 BOD (V2) 0.6 3.1 - 6.3 1 0.6 2.1 3.3 0.6 0.36 2.6 5.4 0.7 0.42
3 salinitas air (V3) 0.7 0 - 25 (25*) 0.9 0.63 24 - 34 (30*) 0.7 0.49 10-34 (29*) 0.8 0.56
4 temperatur air (V4) 0.8 24 - 29 (28*) 0.95 0.76 25 - 28 (27*) 0.9 0.72 24 - 26 (26*) 0.8 0.64
5 pH Air (V5) 0.6 6.1 7.1 (7*) 0.9 0.54 5.2 7.9 (6.8*) 0.7 0.42 7.1 - 7.6 1 0.6
SI KA 0.69 0.56 0.62
6 pH substrat (V6) 0.5 5.1-6.8 (6.5*) 0.7 0.35 4.3-5.7 0.4 0.2 5.6-6.9 0.7 0.35
pasang surut air laut
7 1 1.2-2.5 (1.2*) 0.9 0.9 1.2-2.4 (1.2*) 0.9 0.9 1.3-2.3 (1.3*) 0.9 0.9
(V7)
8 fraksi substrat (V8) 1 clay loam 1 1 sandy loam 0.3 0.3 sandy loam 0.3 0.3
kepadatan
9 0.7 20.25 0.9 0.63 22.75 1 0.7 19 0.8 0.56
makrozoobenthos (V9)
SI SU 0.67 0.44 0.48
R. apiculata, R. R. apiculata,
jenis vegetasi A. corniculatum
10 0.7 0.6 0.42 mucronata, B. 0.7 0.49 B. parviflora, 0.9 0.63
dominan (V10) Nypa fructicans
gymnorrhiza S. alba
kerapatan vegetasi
11 0.9 556 0.8 0.72 1350 0.9 0.81 1863 0.8 0.72
(V11)
produksi serasah
12 0.3 17.03 0.6 0.18 19.47 0.5 0.15 18.55 0.5 0.15
(V12)
SI VEG 0.38 0.39 0.41
HSI 0.622000 0.535444 0.557167
*) frekuensi paling sering
**) SI = bobot variabel x skor
156
bahwa pada lokasi tersebut dapat dibuat unit karamba budidaya sylvofishery.
Budidaya sylvofishery dengan kurungan tancap ini baru dapat dilaksanakan bila
telah dibuat pengaturan zonasi dalam kawasan Taman Nasional Kutai, karena
tidak semua zona dapat dilakukan pemanfaatan. Bila melihat dari nilai indeks
kesesuaian lahan yang rendah, dapat dikatakan lokasi Teluk Perancis dan Muara
Sangkima tidak sesuai untuk budidaya sylvofishery.
Kepiting bakau atau kepiting lumpur, atau kepiting hijau (Scylla serrata)
(Moosa et al. 1985) merupakan manfaat tidak langsung dari sumberdaya
mangrove yang mempunyai nilai ekonomis penting. Kepiting bakau di wilayah
provinsi Kalimantan Timur, sejak tahun 2000 sudah menjadi salah satu komoditas
ekspor. Harga lokal dari nelayan pada tahun 2009 sekitar Rp 25 000/kg dan dapat
mencapai harga Rp 48 000/kg untuk ekspor. Kepiting bakau untuk ekspor ini
umumnya berasal dari wilayah Kabupaten Kutai Kartanegara, Kota Tarakan, dan
Kabupaten Berau. Sementara dari Kabupaten Kutai Timur sendiri belum ada yang
masuk ke pasar ekspor.
Pemanfaatan kepiting S. serrata hasil tangkapan nelayan di kawasan
mangrove TNK, umumnya langsung dijual ke rumah makan-rumah makan
seafood yang terdapat di kota Sangatta. Sebagian kecil dijual ke pasar tradisional.
Sebagian lagi diolah oleh ibu-ibu nelayan Kelompok Kerja (Pokja) Kerupuk
Kepiting menjadi produk kerupuk kepiting. Krupuk kepiting produksi Pokja ini
dihargai Rp 40 000,00 per kg. Penjualannya merambah ke beberapa kota seperti
Sangatta, Samarinda, dan Bontang. Dalam Lomba Teknologi Tepat Guna
Masyarakat tingkat Kabupaten Kutai Timur dan tingkat Propinsi Kalimantan
Timur, mereka berhasil meraih kemenangan. Kelompok ini kemudian mewakili
Kalimantan Timur dalam lomba tingkat nasional yang diselenggarakan September
2005 di Palembang.
Sangatta oleh pedagang maupun dijual keliling secara langsung oleh penangkap
kepiting. Kepiting bakau yang dijual di pasar Kota Sangatta berasal dari hasil
tangkapan nelayan lokal dan kepiting yang dikirim dari Kecamatan Muara Badak.
Berdasarkan hasil survei terhadap tiga pasar yang ada di Kota Sangatta,
kebutuhan kepiting untuk memenuhi konsumsi masyarakat Kota Sangatta
diperkirakan mencapai lebih dari 200 kg/hari, berdasarkan rata-rata penjualan
kepiting per hari pada tiga pasar yang ada di Kota Sangatta.
Permintaan Scylla serrata tidak hanya berasal dari lokal saja, namun juga
berasal dari kota-kota besar di Indonesia dan dari luar negeri. Data pengiriman
kepiting bakau Scylla serrata keluar daerah maupun keluar negeri yang diperoleh
dari Balai Karantina Ikan Kelas I Sepinggan Balikpapan disajikan pada Tabel 26.
Menurut informasi dari Ibu Yuni, Kasie Data dan Informasi Balai
Karantina Ikan Kelas I Sepinggan Balikpapan, yang dimaksud dengan ekspor
adalah pengiriman kepiting bakau keluar negeri (Singapura), karena bandara
Sepinggan merupakan bandara internasional dimana ada penerbangan langsung ke
Singapura. Sedangkan yang dimaksud domestik keluar adalah pengiriman
kepiting keluar negeri, ke negara selain Singapura, namun melalui transit di
Jakarta dan Surabaya. Pengiriman domestik adalah pengiriman kepiting bakau
untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, seperti Jakarta, Surabaya, Semarang,
dan lain-lain. Satuan data yang ada di Balai Karantina adalah ekor bukan dalam
satuan bobot, karena sesuai tupoksinya, Balai Karantina bertugas untuk
mengetahui kondisi penyakit ikan, sehingga pencatatan dilakukan per ekor ikan.
penurunan yang mencapai separuh dari volume tahun sebelumnya. Hal ini diduga
berkaitan dengan adanya penurunan produksi tangkapan kepiting bakau dari alam.
Informasi dari Bapak Sab Lestiawan, Kasie Pelayanan Operasional Balai
Karantina Ikan Balikpapan, daerah Handil di Balikpapan yang pada tahun-tahun
awal pengiriman kepiting bakau mendominasi produksi, saat sekarang ini sudah
tidak berproduksi lagi. Demikian juga dengan daerah Muara Badak yang mulai
jarang mengirimkan kepiting. Saat ini kepiting bakau yang dikirim keluar
Balikpapan didominasi dari daerah Tarakan dan Berau.
Bila melihat data persentase jumlah kiriman untuk domestik dan luar
negeri, tampak bahwa produksi kepiting yang ada lebih diutamakan untuk
kepentingan ekspor, dibanding untuk pemenuhan kebutuhan domestik. Hal ini
terlihat dari angka persentase yang cenderung stabil dari tahun ke tahun untuk
keperluan ekspor dan domestik keluar, sekalipun pernah terjadi sedikit penurunan
pada tahun 2007 untuk domestik keluar.
ketika air telah surut bubu diangkat dan diambil kepiting yang terperangkap di
dalamnya.
Pengait digunakan di lubang-lubang kepiting yang ada di dalam hutan
mangrove, atau tambak-tambak di sekitar mangrove. Waktu penggunaan pengait
biasanya pada siang hari, saat air surut, karena pada waktu tersebut kepiting
bersembunyi dalam lubang untuk mendinginkan tubuhnya. Penangkapan dengan
menggunakan pengait sering memberikan hasil tangkapan kepiting yang
luka/cacat akibat kaitan. Hal ini terjadi karena kepiting yang bersembunyi dipaksa
keluar dari lubangnya dengan menggunakan kaitan besi, sehingga capit/chela
patah.
Gambar 35 Jenis alat tangkap kepiting yang digunakan di habitat mangrove TNK.
Dari ketiga jenis alat tangkap tersebut, rakkang merupakan alat tangkap
yang paling banyak digunakan. Setiap nelayan kepiting yang menggunakan
rakkang, rata-rata memiliki alat tersebut minimal 50 unit, sehingga diperkirakan di
kawasan mangrove TNK ada sekitar 250 unit rakkang. Dari segi efisiensi tenaga
dan waktu, dibanding pengait dan rengge, alat tangkap rakkang lebih efisien untuk
menangkap kepiting, karena nelayan tidak perlu mencari-cari keberadaan
kepiting, cukup memasang umpan pada rakkang dan kepiting yang akan datang
sendiri. Rakkang pun tidak perlu ditunggui, bila sudah ada kepiting yang masuk
maka kepiting akan terus terperangkap dalam rakkang sampai saat diangkat
kembali oleh nelayan. Hasil tangkapan kepiting rata-rata antara 3-5 ekor/unit alat.
Kelemahan dari alat tangkap rakkang adalah kepiting yang tertangkap umumnya
berukuran kecil (kepiting muda) yang belum dewasa kelamin. Kepiting muda
yang berukuran di bawah ukuran konsumsi (200-300 gram) umumnya mempunyai
nilai jual yang rendah, sehingga kurang menguntungkan.
Alat tangkap lain yang cukup banyak digunakan di kawasan mangrove
TNK adalah pengait/pancing. Jumlah pengait yang ada di kawasan ini tidak
163
sebanyak rakkang, hanya ada sekitar 10 unit saja, karena umumnya tiap satu orang
nelayan hanya memerlukan satu buah pengait untuk operasional menangkap
kepiting. Kelebihan dari alat pengait adalah nelayan cenderung memperoleh
kepiting yang berukuran besar dan harga yang lebih baik. Namun kelemahannya
adalah jumlah hasil tangkapannya relatif sedikit dibanding bila menangkap
dengan rakkang. Selain itu hasil tangkapan juga sering cacat, karena kepiting
terluka oleh pengait.
b. Kurungan jaring
a. Kurungan Bambu
hasil tangkapan alam ke dalam wadah tertentu dan dipelihara hingga ukuran layak
dijual.
Hasil budidaya pembesaran kepiting bakau dengan kurungan bambu yang
pernah dilakukan di kawasan mangrove TNK ini belum menunjukkan
keberhasilan yang cukup memuaskan. Beberapa kelemahan yang diduga menjadi
penyebab kegagalan usaha budidaya tersebut adalah:
1. Tingkat kepadatan benih kepiting bakau yang dipelihara dalam kurungan
bambu tidak diperhatikan, sehingga terjadi perebutan ruang dan pakan
antar kepiting. Sementara kepiting bakau sendiri merupakan jenis biota
yang kanibal (pemakan sesama), sehingga diduga terjadi saling bunuh
antar individu kepiting bakau.
2. Jumlah pakan yang diberikan tidak mencukupi dan tidak konsisten,
sedangkan dalam kurungan tidak tersedia pakan alami, sehingga kepiting
akan memakan sesamanya.
3. Teknologi kurungan bambu tidak menyediakan habitat alami yang disukai
kepiting bakau, sehingga pada saat ada perubahan lingkungan seperti
peningkatan suhu pada siang hari, atau perubahan salinitas, kepiting bakau
tidak bisa berlindung dan menjadi stress, yang akhirnya berdampak pada
kematian.
4. Tinggi kurungan bambu yang hanya sekitar 1 meter sangat rawan terkena
banjir pada saat terjadi pasang naik. Sementara kepiting bakau adalah
binatang yang sangat mobile, yang mempunyai kaki renang dan kaki
jalan, sehingga kepiting dapat berenang dan memanjat pagar yang
mengurungnya untuk melepaskan diri.
Selain itu teknologi budidaya seperti ini tidak mengkonservasi habitat
mangrove, karena menebang habis pohon mangrovenya. Hal ini dapat berdampak
buruk dalam banyak hal, akibat hilangnya fungsi ekologis mangrove.
berada pada kisaran pasang surut air laut. Keragaan kurungan tancap pembesaran
kepiting bakau dalam mangrove secara ringkas disajikan dalam Tabel 27.
250,00
200,00 184,75
sampling 25 ekor kepiting
161,50
Pertumbuhan
150,00
108,50
95,00 berat tubuh
100,00
68,80 71,50 lebar karapas
50,00
Untuk mencapai panen, kepiting bakau yang semula berat tubuhnya 100 g
perlu ditingkatkan menjadi 250-300 g, sebagai ukuran konsumsi. Dengan asumsi
terjadi peningkatan berat yang tetap, yaitu 11.6 gr tiap minggu, maka diperlukan
waktu sekitar 16 minggu ( 4 bulan) untuk mencapai panen dalam penelitian ini.
Menurut Genodepa (1999) diperlukan waktu sekitar 4-7 bulan untuk mencapai
ukuran tersebut.
167
umpan, kerusakan alat, dan lain-lain, yaitu sekitar Rp. 900 000,-. Maka
pendapatan nelayan diperkirakan sebesar Rp. 1 500 000,-/bulan (Lampiran 26).
Dari hasil budidaya kepiting bakau, berdasarkan hasil analisis kelayakan
usaha (Lampiran 25) total penerimaan nelayan adalah Rp. 6 300 000,- /unit
karamba/tahun. Bila total biaya yang dikeluarkan adalah Rp. 2 198 750,-/unit
karamba/tahun, maka pendapatan yang diperoleh nelayan adalah sekitar Rp. 4 101
250,-/unit karamba/tahun. Nilai pendapatan dari budidaya ini dapat ditingkatkan
lagi bila nelayan mampu meningkatkan produknya menjadi produk yang nilai
jualnya lebih tinggi, seperti kepiting soka (kepiting lunak) atau kepiting bertelur.
Zona tradisional adalah bagian dari taman nasional yang ditetapkan untuk
kepentingan pemanfaatan tradisional oleh masyarakat yang karena kesejarahan
mempunyai ketergantungan dengan sumber daya alam.
Zona khusus adalah bagian dari taman nasional karena kondisi yang tidak
dapat dihindarkan telah terdapat kelompok masyarakat dan sarana penunjang
kehidupannya yang tinggal sebelum wilayah tersebut ditetapkan sebagai taman
nasional antara lain sarana telekomunikasi, fasilitas transportasi dan listrik.
Dari berbagai peraturan tersebut, dapat ditarik suatu benang merah bahwa
pemanfaatan sumberdaya di kawasan lindung seperti Taman Nasional Kutai
masih dimungkinkan, selama pemanfaatan tersebut masih dalam batas aturan yang
diijinkan dan tidak keluar dari tujuan undang-undang, antara lain:
1) Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya bertujuan
mengusahakan terwujudnya kelestarian sumber daya alam hayati serta
keseimbangan ekosistemnya sehingga dapat lebih mendukung upaya
peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia (pasal 3
UU No. 5 Tahun 1990);
2) Tidak melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap
keutuhan kawasan suaka alam (pasal 19 UU No. 5 Tahun 1990);
3) Mengoptimalkan aneka fungsi hutan yang meliputi fungsi konservasi, fungsi
lindung, dan fungsi produksi untuk mencapai manfaat lingkungan, sosial,
budaya, dan ekonomi, yang seimbang dan lestari (pasal 3 poin c UU No. 41
Tahun 1999);
4) Pemanfaatan kondisi lingkungan kawasan pelestarian alam dilakukan dengan
tetap menjaga kelestarian fungsi kawasan. Pemanfaatan jenis tumbuhan dan
satwa liar dilakukan dengan memperhatikan kelangsungan potensi, daya
dukung, dan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa liar (pasal 27 dan
28, UU No. 5 Tahun 1990);
5) Pemanfaatan hasil hutan bukan kayu adalah kegiatan untuk memanfaatkan dan
mengusahakan hasil hutan berupa bukan kayu dengan tidak merusak
lingkungan dan tidak mengurangi fungsi pokoknya. Pemungutan hasil hutan
kayu dan/atau bukan kayu adalah kegiatan untuk mengambil hasil hutan baik
174
berupa kayu dan/atau bukan kayu dengan batasan waktu, luas dan/atau
volume tertentu (pasal 1 PP No. 6 Tahun 2007);
6) Tidak mengurangi, mengubah atau menghilangkan fungsi utamanya;
pengolahan tanah terbatas; tidak menimbulkan dampak negatif terhadap
biofisik dan sosial ekonomi; tidak menggunakan peralatan mekanis dan alat
berat; dan/atau tidak membangun sarana dan prasarana yang mengubah
bentang alam (pasal 24 PP No. 6 Tahun 2007).
Penelitian ini merekomendasikan pemanfaatan sumberdaya kepiting bakau
dari jenis S. serrata, yang merupakan salah satu komoditas bernilai ekonomis
tinggi dari hutan mangrove, sebagai sumberdaya yang dapat dikelola secara
kolaboratif oleh masyarakat. Beberapa alasan yang mendasari pemanfaatan
kepiting bakau di kawasan TNK adalah:
i) kepiting bakau merupakan komoditas perikanan dan merupakan hasil
hutan bukan kayu,
ii) kepiting bakau bukan merupakan komoditas yang tinggal menetap dalam
hutan mangrove, karena mempunyai sifat ruaya, sehingga dalam setiap
tahapan hidupnya menempati lokasi yang berbeda. Kepiting bakau yang
tinggal dalam mangrove adalah kepiting bakau dewasa yang menggunakan
habitat mangrove untuk kawin dan mencari makanan, sedangkan pada
tahap sebelum dewasa kepiting bakau lebih banyak berada di perairan.
iii) pemanfaatan hutan mangrove untuk budidaya sylvofishery tidak
mengambil kayu atau pun merubah bentang alamnya, karena yang
dimanfaatkan hanyalah fungsi ekologis mangrove sebagai habitat (tempat
hidup) kepiting bakau (pemanfaatan kawasan).
iv) Benih kepiting bakau yang digunakan untuk budidaya adalah kepiting
muda (crablets) yang ditangkap di perairan pantai, sehingga sudah berada
di luar batas kawasan TNK.
v) Kepiting dewasa yang dihasilkan dari budidaya sylvofishery sebagian
dapat digunakan untuk restocking induk kepiting di habitat mangrove
TNK, dengan tujuan untuk menjaga keberlanjutan proses reproduksi
kepiting bakau.
175
Satu hal yang tidak dapat ditinggalkan dalam pemanfaatan kawasan hutan
mangrove untuk habitat budidaya kepiting bakau adalah penentuan zonasi yang
tegas sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Belajar dari pengalaman
Taman Nasional Bali Barat dalam sejarah pengelolaan kawasannya, dapat
diketahui bahwa masyarakat lokal yang sudah terlanjur tinggal di dalam kawasan
TN tidak dapat dengan mudah direlokasi ke tempat lain, sebagaimana tidak
mudah juga untuk merubah status kawasan TN. Namun demikian deliniasi zonasi
kawasan yang tegas, dan bersamaan dengan upaya peningkatan kesadaran
mayarakat dalam kawasan untuk menjaga kawasan konservasi pada akhirnya
berhasil menekan permasalahan agar tidak menjadi semakin luas.
Berdasarkan kondisi eksisting penggunaan lahan di kawasan mangrove
TNK, daya dukung dan kesesuaian lahan untuk budidaya sylvofishery kepiting
bakau, dan laju eksploitasi kepiting bakau Scylla serrata serta kondisi sosial
ekonomi budaya masyarakat lokal, maka lokasi yang dapat direkomendasikan
untuk zona pemanfaatan di kawasan mangrove TNK adalah sebagaimana
disajikan pada Gambar 38.
Zona pemanfaatan budidaya sesuai ditempatkan di lokasi Muara Sangatta
karena daya dukung kawasan Muara Sangatta bagi budidaya sylvofishery paling
besar dibanding lokasi yang lainnya. Kawasan ini dapat mendukung budidaya
sylvofishery kepiting bakau sebanyak 490 unit karamba mangrove.
Muara Sangatta merupakan sebuah dusun yang terletak di muara Sungai
Sangatta. Sungai Sangatta sendiri merupakan sungai terbesar yang membelah kota
Sangatta menjadi dua kecamatan, yaitu kecamatan Sangatta Selatan dan
kecamatan Sangatta Utara. Sungai Sangatta juga menjadi batas sebelah utara
wilayah TNK, sehingga kecamatan Sangatta Selatan menjadi masuk dalam
176
wilayah TNK. Hilir Sungai Sangatta berada di kecamatan Singa Geweh dan
bermuara di Selat Makassar.
Informasi yang diperoleh dari Bapak Sidin, ketua RT di Muara Sangatta,
Dusun Muara Sangatta terdiri dari 18 buah rumah yang diisi oleh 23 Kepala
Keluarga (KK) dengan penghuni sebanyak 96 orang dewasa. Dari 23 KK tersebut
semuanya bekerja sebagai nelayan, hanya ada 5 KK yang bekerja sebagai
petambak. Namun dari 5 KK yang bekerja sebagai petambak, hanya 1 orang yang
memiliki tambak sendiri, sementara yang lainnya hanya bekerja untuk menjaga
tambak dengan sistem upah bagi hasil. Luas tambak yang tercatat memiliki girik
di dusun ini sekitar 70 ha, dimana tambak yang produktif hanya sekitar 7 ha saja.
Tambak yang tidak produktif ini umumnya dibiarkan begitu saja, sehingga
bekas-bekas tebangan pohon mangrove tumbuh kembali tunasnya sebagai pokok
trubusan yang berukuran diameter <10 cm, seperti yang telah disampaikan pada
subbab 5.2.1. Hasil pengamatan menunjukkan di lokasi Muara Sangatta,
kerapatan vegetasi adalah 1113 ind/ha, namun ini adalah kerapatan untuk vegetasi
anakan, karena diameternya kurang dari 10 cm.
Parameter fisik kimia lingkungan di Muara Sangatta dicirikan dengan
adanya kerapatan vegetasi, pH substrat, oksigen terlarut, kelimpahan
makrozoobenthos, salinitas air, dan produksi serasah yang lebih rendah bila
dibandingkan dengan lokasi Teluk Perancis, dan Muara Sangkima. Namun pada
lokasi ini justru kepiting lebih banyak diperoleh nelayan dibanding kedua lokasi
yang lain. Dari hasil pengamatan, jarang ditemui kepiting bakau atau pun
lubang/sarangnya pada lokasi yang perakaran mangrovenya sangat padat atau pun
pada lantai mangrove yang banyak mengandung serasah (jenis tanah gambut).
Kepiting banyak membuat lubang di area yang liat atau berlumpur dan tergenang
air, seperti tepi parit, sungai, dan tambak dalam mangrove. Dan kondisi seperti
inilah yang banyak ditemukan di Muara Sangatta, yang merupakan muara sungai
besar. Oleh karena itu, adanya sylvofishery diharapkan dapat memanfaatkan
lahan-lahan kritis bekas tambak tersebut, setelah dilakukan rehabilitasi mangrove.
Zona penangkapan kepiting bakau S. serrata sesuai diletakkan di lokasi
Muara Sangkima, karena tekanan penangkapan kepiting bakau di lokasi ini paling
rendah. Lokasi Muara Sangkima yang jauh dari pemukiman membuat tekanan
177
E
11724' 11727' 11730' 11733' 11736' 11739' 11742' 11745'
S
S. H
S. Masa
S. Palu
S.
ga
A_Muara Sangatta
Na
S. Pari
S. Keluang LEGENDA:
b S.
027' 027'
b
t
Sira
S. r Stasiun
n gkapu
na B_Teluk Perancis
S. A Zona perikanan
S.
Ni
024'
pah
024'
tangkap scylla
S. S. Nipah
Pa
da
Kecil
SELATMAKASSAR Zona sylvofishery scylla
Sungai
ng
021' b 021'
Batas TNK
S.
nipah
pu
s
mangrove
018' S. K
end
S. Kenduung 018' kawasan hutan lain
ulu
TN Kutai
il Sumber Peta:
K ec
015' Danau Besar
lam 015' 1. Peta RBI, Bakosurtanal
da SARAWAK Tahun 1991, 1:250.000
luk
. Te 2. Citra Terra Aster, Tahun 2005
S KALIMANTANTIMUR
S.
012' Ken
ibu 012'
mputu ng
k
PENANGKAPAN S. SERRATA W E
11731' 11732' 11733' 11734' 11735' 11736' 11737' 11738'
S
S.
a
026' aboasam Nag
S. Palu
A_Muara Sangatta 026'
1 0 1 Kilometers
L S. b
S. Keluang S. Pari
025' 025'
b S. Ruh
LEGENDA :
Zona Terbuka
024' 024'
S. Sirat B_Teluk Perancis Zona Tertutup
Kawasan TN Kutai
S. N S. An
023' i pah angka 023' Sungai kecil
pur
Batas tnk
SELAT MAKASSAR
022' 022'
Sumber Peta:
1. Peta RBI, Bakosurtanal, Tahun 1991
021' 021' skala 1 : 250 000
S. 2. Citra Terra Aster Tahun 2005
Pa 3. Peta Dasar TNK, Balai TNK, Tahun 2005
da
020' b
ng
C_Muara Sangkima 020'
019' 019'
SARAWAK
KALIMANTANTIMUR
018' 018'
Dibuat oleh:
S. Kenduung Nirmalasari IdhaWIjaya
PengelolaanPumberdaya Pesisir dan Laut
11731' 11732' 11733' 11734' 11735' 11736' 11737' 11738'
karena itu, kebijakan penutupan musim harus dilakukan untuk membuka peluang
pada sumberdaya kepiting bakau yang masih tersisa untuk memperbaiki
populasinya.
Indikator yang dapat dipakai untuk menunjukkan waktu penutupan atau
pembukaan kegiatan penangkapan kepiting bakau adalah status siklus hidup dari
sumberdaya kepiting bakau itu sendiri. Jika berdasarkan bukti-bukti ilmiah
diketahui waktu kepiting bakau kawin, memijah, atau mengasuh anaknya, waktu
itu harus dipertimbangkan sebagai musim penangkapan kepiting bakau ditutup.
Pada lokasi Muara Sangatta rekruitmen kepiting S. serrata terjadi pada
bulan Oktober, Januari, Desember dan Maret, dengan frekuensi induk matang
gonade TKG IV tertinggi pada bulan Februari-Maret dan bulan Juli-Agustus. Oleh
karena itu kebijakan penutupan musim penangkapan pada bulan Februari-Maret-
April dan Juli-Agustus perlu dilakukan untuk mencegah tertangkapnya induk
betina yang matang gonade dan kepiting juvenil.
Pada lokasi Muara Sangkima diduga rekruitmen kepiting S. serrata jantan
terjadi pada bulan Februari dan April, sedangkan S. serrata betina terjadi pada
bulan bulan Januari dan April. Puncak tertangkapnya induk betina matang gonade
pada bulan Februari. Oleh karena itu perlu dilakukan kebijakan penutupan musim
penangkapan pada bulanFebruari-April.
Untuk menganalisis apakah penutupan musim penangkapan dapat
berpengaruh pada pendapatan nelayan, maka dilakukan tabulasi data RPUE j ,
puncak rekruitmen, dan hasil tangkapan (catch) seperti terlihat pada Gambar 40.
Gambar 40 menunjukkan bahwa secara umum alokasi upaya penangkapan
(RPUEj) akan meningkat seiring dengan meningkatnya hasil tangkapan dan
meningkatnya kelimpahan induk S. serrata matang gonade TKG IV. Bila pada
bulan tersebut dilakukan penutupan musim penangkapan kepiting bakau, hal ini
dapat berarti akan terjadi penurunan pendapatan nelayan kepiting bakau dan
pasokan kepiting bakau ke pasar menjadi berkurang atau berhenti sama sekali.
Namun kemungkinan ini dapat diantisipasi melalui produksi S. serrata dari hasil
budidaya sylvofishery, yang akan dibahas pada bagian berikutnya.
183
bakau dan penggunaan alat tangkap yang merusak atau destruktif yang memang
dilarang.
0,47 1 jantan
0,85
1
1 2,5 betina
Namun pada kondisi teknologi budidaya kepiting bakau yang ada saat ini,
dimana hatchery (pembenihan) kepiting bakau belum banyak dilakukan. Hanya
pada beberapa balai budidaya besar seperti di Maros Sulsel dan di Gondol Bali
saja yang sudah berhasil melakukan pembenihan. Hasil penelitian Juwana (2004)
larva kepiting bakau yang dipijahkan di P. Pari maupun di laboratorium tidak
dapat berkembang ke zoea III karena adanya kontaminasi jamur dan bakteri
patogen. Ketersediaan benih kepiting S. serrata dari hatchery belum mencukupi
kebutuhan budidaya, maka benih dari hasil tangkapan alam merupakan satu-
satunya pilihan.
Walaupun budidaya kepiting bakau di Muara Sangatta dilakukan dengan
benih dari tangkapan alam, namun bukan berarti upaya ini tidak memberikan nilai
positif bagi lingkungan. Karena selama ini, nelayan langsung menjual begitu saja
kepiting hasil tangkapannya, sehingga terkadang nilai ekonomi yang diperoleh
rendah sekali karena kepiting yang ditangkap berukuran kecil. Nelayan perlu
mengambil kepiting kecil lebih banyak untuk memenuhi kebutuhan ekonominya.
Dengan adanya budidaya ini, nilai jual kepiting bakau dapat ditingkatkan
sehingga dengan jumlah tangkapan lebih sedikit dapat memperoleh nilai ekonomi
yang lebih besar. Nilai ekonomi ini dapat meningkatkan lebih tinggi lagi, apabila
teknologi budidaya dapat ditingkatkan untuk jenis komoditas yang lebih tinggi
nilai ekonominya seperti kepiting bertelur atau kepiting soka (kepiting lunak).
Secara ekologis, kawasan ini dapat mendukung bagi budidaya sylvofishery
kepiting bakau sebanyak 490 unit karamba mangrove, yang berukuran 10 x 20 m,
dengan tingkat kepadatan benih 300-500 ekor/unit atau sebesar 1.5-2.5 ekor/m2.
Bila di kawasan ini digunakan untuk lokasi budidaya sylvofishery kepiting
bakau sesuai daya dukung yang ada, maka diperlukan kurang lebih 244 862 ekor
benih S. serrata/musim tanam, sedangkan ketersediaan benih di lokasi tersebut
adalah 31 363 ekor benih. Kekurangan benih S. serrata harus diambil dari
kawasan mangrove daerah lain yang merupakan kawasan pemanfaatan umum.
Angka tersebut di atas diperoleh berdasarkan perhitungan sebagai berikut:
produksi kepiting bakau (empat spesies) tahun 2008 = 12.1 ton (data statistik
Dinas KP Kutim 2009) bila diasumsikan S. serrata = 80% dari total (Cholik &
Hanafi 1991), maka eksploitasi tahun 2008 = 7.26 ton. Berdasarkan hasil analisis
189
dengan FISAT II diketahui laju eksploitasi maksimum jantan adalah 45.7 % dan
betina 40.7 % (rata-rata 43.2 %). produksi maksimum S. serrata adalah = 7.26 x
0.455 = 3.033 ton, dengan asumsi per ekor S. serrata = 100 gram, maka tersedia
benih = (3.033 x 1.000.000)/100 = 30 333 ekor benih.
Budidaya sylvofishery direkomendasikan dilakukan di lokasi Muara
Sangatta, tidak mesti dilakukan pada kawasan yang masih memiliki vegetasi
mangrove yang baik. Penelitian Trio dan Rodriguez (2002) di Aklan, Philipina
menunjukkan bahwa kepiting bakau dapat tumbuh dengan baik di lokasi
mangrove yang sedang direhabilitasi (reforested mangrove). Hasil yang paling
menguntungkan adalah budidaya dengan kepadatan benih 1.5 ekor/m2 dan
pemberian pakan campuran 75% kerang coklat dan 25% ikan rucah yang diasin.
Mengacu pada hasil penelitian ini, maka lokasi Muara Sangatta yang banyak
terdapat lahan kritis bekas tambak yang tidak produktif lagi, sangat potensial di-
reforestasi untuk budidaya sylvofishery.
Dengan adanya reforestasi ini, maka minimal akan diperoleh dua
keuntungan, yaitu mengembalikan kondisi hutan mangrove menjadi lebih baik
dan keuntungan dari hasil budidaya sylvofishery kepiting bakau untuk
peningkatan kesejahteraan masyarakat lokal.
harga_be nih
fraksi_pe manft_mgr TK
konve rsi_biomass_ biaya_be nih
SR_bddy
pe r e kor
zona_pe manft_mgr
luas_mgr DD_Lingk pane n_bddy
prose s_bddy prod_bddy biaya_bddy
pe rluasan
pakan
Konstanta_ juml_ unit_
pe nambh_mgrv karamba
pe nambh_mgr
HSI fraksi re stock_induk
te bang_mgr SI_VEG padat_te bar_
be nih_pe r_ re stock_induk
be nih
karamba
SI_SUB
SI_KA
prluasn_pmukimn
konve rsi_mgrv
vol_prod_bddy
fraksi_be nih
re habilitasi mgr stok_be nih
konve rsi_bobot_
konst_tambak tambak pe ngaruh_luas_ pane n
mgrv_thd pote nsi
scylla
pote nsi_scylla
tkt_ ke sadaran_lingk
laju_pote nsi stok_scylla
pe ningkatan_pe nge pe nge tahuan_
tahuan kadaluarsa
produksi_scyl
fraksi_pe nge tahuan
_kadaluarsa e _fact
stok_tkp
pe ngaruh_dana_pe
nddk_te rhadap_pe alokasi_dana_ kuota_tkp prod_tkp
nge tahuan pe ndidikan
fraksi_pe ngaturan_
pe ndpt_klg tangkap
biaya_tkp harga_scylla
ke unt_bddy
ke unt_tkp
pe ndapatan_scylla
ke unt_total
Gambar 42 Diagram alir stok (SFD) model pengelolaan S. serrata di habitat mangrove TNK.
191
Nilai
Submodel dan Parameter Keterangan
Dugaan
22. stok total S. serrata (kg/th) 10 030.98 var13 * var 21
23. stok tangkapan S. serrata (kg/th) 4 011.96 Stok total stok benih
24. rerata kelimpahan S. serrata 43.1 var 13 / var 1
(kg/ha.th)
III Submodel Budidaya S. serrata
25. jumlah unit karamba (unit) 490 var 12 / var 25
26. konstanta padat tebar benih/unit 30 Trio & Rodriguez (2002)
(kg/unit)
27. stok benih untuk budidaya (kg/th) 6 018.59 var 22 * var 28
28. fraksi stok benih (%) 60 Scientist judgement
29. ketersediaan padat tebar benih 60 var 27 / var 25
budidaya (kg/unit)
30. SR budidaya (TS) 0.76 Hasil analisis data primer 2010
31. konversi biomass per ekor 4 Hasil analisis data primer 2010
(ekor/kg)
32. panen budidaya (ekor/th ) 117 884 Var 29*var 30*var 31
33. fraksi restoking induk (%) 1 Warner (1977)
34. restoking induk S. serrata 1 167 var 33*var 34
(ekor/th)
35. produksi budidaya (ekor/th) 116 705 var 32 var 34
Konversi produksi bddy (kg/th) 29 176.25
36. total biaya budidaya (IDR/th) 452 197 398 var 37 + var 38 + var 39
37. biaya benih (IDR/th) 177 197 398 Hasil analisis data primer 2010
38. biaya Tenaga Kerja (TK) 150 000 000 Hasil analisis data primer 2010
(IDR/th)
39. biaya pakan (IDR/th) 125 000 000 Hasil analisis data primer 2010
IV Submodel Ekonomi
40. harga ekspor S. serrata (IDR/kg) 35 000 Hasil analisis data 2010
41. biaya penangkapan (%) 30 Asumsi
42. keuntungan penangkapan S. 84 251 133 (var 23*var 40)-var 41
serrata (IDR/th)
43. keuntungan budidaya S. serrata 568 971 352 (var 35*var 40)-var 36
(IDR/th)
44. keuntungan total (IDR/th) 653 222 485 var 42 + var 43
V Submodel Sosial
45. potensi jumlah pembudidaya 60 Hasil analisis kuisioner 2009
(KK)
46. pendapatan keluarga (IDR/th) (var 44/var 45) + var 47
47. pendapatan sumber lain (IDR/th) 500 000 Asumsi
48. fraksi dana pendidikan (%) 15 Hasil analisis kuisioner 2009
49. alokasi dana pendidikan (IDR/th) 1 703 740 var 46*var 48
50. pengaruh dana pendidikan Hasil analisis regresi berdasarkan
terhadap pengetahuan masyarakat asumsi
(TS)
51. pengaruh pengetahuan terhadap Asumsi
peningkatan kesadaran lingkn (%)
Nilai level (stock), laju (rate), variabel (auxiliary) dan konstanta dari masing-
masing submodel yang tercantum pada Tabel 28 dapat dijelaskan sebagai berikut:
193
fraksi_pemanft_mgr
zona_pemanft_mgr
luas_mgr DD_Lingk
perluasan
Konstanta_
penambh_mgrv
penambh_mgr
HSI
tebang_mgr SI_VEG
SI_SUB
SI_KA
prluasn_pmukimn
konversi_mgrv
rehabilitasi mgr
oleh parameter potensi produksi kepiting bakau, laju eksploitasi faktual dan laju
eksploitasi maksimal, laju kematian alami, laju kematian karena penangkapan,
stok S. serrata total, kuota tangkapan S. serrata, besarnya restok induk betina,
pengaruh luas mangrove terhadap stok S. serrata. Dengan menggunakan alat
bantu powersim studio 2005, semua peubah-peubah ini berhubungan baik secara
langsung maupun tidak langsung dan diformulasikan secara numerik
menghasilkan diagram alir stok submodel penangkapan S. serrata seperti
diperlihatkan pada Gambar 44.
rerata_kelimphn_
scylla e_max
potensi_scylla
laju_potensi stok_scylla
produksi_scyl
e_fact
stok_tkp
kuota_tkp prod_tkp
fraksi_pengaturan_
tangkap
dipengaruhi oleh biomassa dan survival rate (SR), elemen panen budidaya, restok
induk yang dipengaruhi oleh besarnya fraksi restok, parameter-parameter input
produksi yang meliputi biaya benih, tenaga kerja, dan pakan. Semua peubah-
peubah ini berhubungan baik secara langsung maupun tidak langsung dan
diformulasikan secara numerik menghasilkan diagram alir stok submodel
budidaya sylvofishery S. serrata seperti diperlihatkan pada Gambar 45.
harga_benih pakan
TK
konversi_biomass_ biaya_benih
per ekor SR_bddy
panen_bddy
proses_bddy prod_bddy biaya_bddy
DD_Lingk
juml_ unit_
karamba
fraksi restock_induk
padat_tebar_
restock_induk
benih_per_ benih
karamba
vol_prod_bddy
fraksi_benih
stok_benih
konversi_berat_
panen
keunt_tkp keunt_bddy
pendapatan
keunt_total
tkt_ kesadaran_lingk
peningkatan_penge pengetahuan_
tahuan kadaluarsa
fraksi_pengetahuan
_kadaluarsa
pengaruh_dana_pe
nddk_terhadap_pe alokasi_dana_
ngetahuan pendidikan
pendpt_klg
fraksi_dana_peddk
pendapatan_lain
jml_klg
ha k g/yr
12,000
stok_scylla
5,200
luas_mgr
9,000
5,100
5,000 6,000
rupiah/KK pe r KK 7
kesadaran_lingk
6
8,000,000
pendpt_klg
5
6,000,000
4
4,000,000 3
tkt_
2,000,000 2
1
0
1/1/2010 1/1/2025 1/1/2010 1/1/2020 1/1/2030
Luas awal habitat mangrove ditentukan dari hasil analisis Citra Terra Aster
Tahun 2005, yaitu seluas 5 277 ha, Hasil simulasi menggunakan skenario dasar
menunjukkan pada tahun 2030 diperkirakan luas mangrove tersebut tersisa
4 926.28 ha.
Potensi produksi S. serrata di habitat mangrove TNK, diperkirakan dari
produksi tangkapan kepiting di area tersebut selama setahun (sebagai potensi
faktual yang telah dieksploitasi) ditambah dengan sisa potensi yang belum
dieksploitasi. Produksi yang diperoleh pada tahun 2008 pada tingkat eksploitasi
faktual 0.556 adalah sebesar 6 800 kg/th. Sehingga potensi S. serrata di habitat
mangrove TNK pada tahun 2030 diduga sebesar 22 192.43 kg/th. Potensi S.
serrata ini merupakan penurunan dari potensi yang semula sebesar 27 374.13
200
kg/th. Namun, potensi ini dapat berubah dengan adanya masukan induk dari
restoking budidaya sylvofishery, sehingga dalam perhitungan potensi dimasukkan
juga input restok induk betina dan pengaruh dari penambahan luas area mangrove.
Hasil simulasi kinerja model sistem menunjukkan bahwa sistem saat ini
memberikan ancaman bagi kelestarian habitat mangrove dan keberlanjutan
sumberdaya S. serrata yang ada di dalamnya. Oleh karena itu perlu dirumuskan
suatu skenario strategi yang dapat mengendalikan pola pemanfaatan yang
merusak habitat mangrove di TNK.
Identifikasi terhadap faktor-faktor yang berpengaruh dalam upaya
mengoptimasikan pemanfaatan S. serrata secara berkelanjutan dilakukan
berdasarkan hasil uji sensitivitas. Uji sensitivitas dilakukan untuk memilih
parameter kunci, yang berpengaruh besar terhadap berbagai kemungkinan yang
akan terjadi di masa yang akan datang.
Uji sensitivitas pada dasarnya mengasumsikan kemungkinan-
kemungkinan suatu kondisi yang terjadi di dunia nyata dan pilihan-pilihan
kebijakan yang mungkin dilakukan oleh pengambil keputusan. Uji sensitivitas
model pada penelitian ini menggunakan parameter yang berpengaruh tinggi
terhadap kinerja sistem, yaitu fraksi zona pemanfaatan mangrove (submodel
mangrove), fraksi stok untuk benih budidaya (submodel penangkapan), fraksi
alokasi dana pendidikan (submodel sosial), dan harga S. serrata (submodel
ekonomi). Metode yang dipakai untuk melihat kepekaan parameter tersebut
dengan bestworst case scenario (Sterman 2000). Setiap perubahan parameter,
dalam hal ini dinaikkan (diturunkan) sebesar 10% dari nilai parameter skenario
dasar, akan dilihat responnya terhadap perubahan parameter utama. Bila terbukti
perubahan pada parameter tersebut mengakibatkan perubahan yang nyata pada
parameter lain, maka parameter-parameter tersebut akan dianggap sebagai
parameter kunci (key variable). Gambar 49 dan 50 merupakan grafik hasil uji
sensitivitas dari simulasi Powersim.
201
ha ha
5,200 5,250
luas_mgr
luas_mgr
5,100
5,200
5,000
4,900 5,150
4,800 5,100
1/1/2010 1/1/2020 1/1/2030 1/1/2010 1/1/2020 1/1/2030
ha ha
5,200 5,200
luas_mgr
luas_mgr
5,100 5,100
5,000
5,000
4,900
4,900
4,800
4,800 4,700
4,700 4,600
1/1/2010 1/1/2020 1/1/2030 1/1/2010 1/1/2020 1/1/2030
b) Fraksi stok untuk benih budidaya adalah pembagian dari stok S. serrata total
yang digunakan untuk keperluan budidaya. Bagian yang lain adalah stok S.
serrata yang dimanfaatkan untuk perikanan tangkap konsumsi (langsung jual).
Fraksi stok ini dapat diatur pembagiannya dalam kebijakan kuota perikanan
tangkap.
c) Fraksi alokasi dana pendidikan adalah bagian dari pendapatan keluarga yang
dialokasikan untuk biaya pendidikan. Umumnya pada keluarga nelayan bagian
ini rendah sekali, tidak mencapai 10% dari pendapatan. Pada masyarakat yang
berpendapatan rendah alokasi yang paling besar masih untuk kebutuhan
makanan (Sukardi 2009). Namun bila terjadi peningkatan pendapatan bagian
ini menjadi lebih kecil dan alokasi untuk kebutuhan lain seperti pakaian dan
pendidikan akan meningkat.
d) Harga S. serrata yang digunakan disini adalah harga S. serrata untuk pasar
ekspor. Hal ini dilandasi pemikiran bahwa bila S. serrata cukup banyak
diproduksi maka dapat memenuhi kebutuhan ekspor yang cenderung
meningkat dari tahun ke tahun.
Skenario kebijakan pemanfaatan sumberdaya S. serrata disusun
berdasarkan perkiraan kondisi yang akan terjadi di masa depan. Selanjutnya dari
masing-masing kondisi tersebut dilakukan kombinasi yang mungkin terjadi antar
berbagai kondisi tersebut. Kombinasi-kombinasi tersebut disusun untuk
memperoleh tiga bentuk skenario, yaitu: 1) skenario optimistik, 2) skenario
moderat, dan 3) skenario pesismistik. Tabel 29 menyajikan keterkaitan antara
parameter kebijakan dengan perkiraan kondisi yang akan terjadi di masa depan.
Jenis skenario untuk kebijakan pemanfaatan kepiting bakau S. serrata di
habitat mangrove TNK yang dapat disusun lebih dari tiga kombinasi. Namun
untuk mencari kondisi yang optimal dari berbagai kondisi, ketiga kombinasi
tersebut dipilih sebagai kemungkinan yang paling besar terjadi di masa depan.
203
Tabel 29 Keterkaitan antar parameter dan kondisi (state) untuk skenario kebijakan.
No Faktor Kondisi di masa mendatang
1 Fraksi zona 1A 1B 1C
pemanfaatan 0% 20 % 40%
Tidak ada zona Sesuai teori Terjadi peningkatan
Pemanfaatan, yang berlaku di karena kebutuhan SDA
seperti kondisi kalangan lebih besar, sehingga ada
saat ini akademisi saat kebijakan peningkatan
ini luas zona pemanfaatan
mangrove
2 Fraksi stok untuk 2A 2B 2C
benih budidaya 0% 40% 60%
Tidak ada stok Peningkatan Lebih diutamakan stok
untuk sylvofishery fraksi untuk untuk benih budidaya,
budidaya karena lebih
menguntungkan
3 Fraksi alokasi 3A 3B 3C
dana pendidikan 10% 15% 20%
Alokasi menurun Tetap seperti Pendapatan yang
karena saat ini diperoleh dari
pendapatan pemanfaatan S. serrata
berkurang meningkat
4 Harga S. serrata 4A 4B 4C
Menurun tetap Meningkat
Preferensi Tetap seperti Peningkatan permintaan
konsumen kondisi saat ini konsumen
menurun
ha kg/yr
5,200 12,000
s t o k _ s c y lla
lu a s _ m g r
10,000
5,000
8,000
4,800
6,000
4,600
4,000
1/1/2010 1/1/2020 1/1/2030 1/1/2010 1/1/2020 1/1/2030
ha kg/yr
12,000
5,250
s t o k s c y lla
lu a s m g r
10,000
5,200 8,000
6,000
5,150
4,000
1/1/2010 1/1/2020 1/1/2030 1/1/2010 1/1/2020 1/1/2030
2) Terjadi penurunan stok S. serrata menjadi 10 124.32 kg/th pada tahun 2030,
penurunan ini lebih lambat dibanding penurunan pada skenario moderat.
Grafik hasil simulasi skenario optimistik disajikan pada Gambar 53.
ha kg/yr
12,000
s t o k _ s c y lla
lu a s _ m g r
5,250 10,000
8,000
5,200 6,000
4,000
1/1/2010 1/1/2020 1/1/2030 1/1/2010 1/1/2020 1/1/2030
Tabel 31 Skor atribut dari empat dimensi pengelolaan sylvofishery kepiting bakau di TNK.
Realitas
No Dimensi dan Atribut Skor Baik Buruk Keterangan
saat ini
A. Dimensi Ekologi
B. Dimensi Ekonomi
Realitas
No Dimensi dan Atribut Skor Baik Buruk Keterangan
saat ini
C. Dimensi Sosial
D. Dimensi Kelembagaan
Realitas
No Dimensi dan Atribut Skor Baik Buruk Keterangan
saat ini
5. Penegakan hukum 0; 1; 2 2 0 hanya 0= tdk ada; 1= hanya
oleh aparat bagi sebagian= sebagian kasus; 2=
pelanggar skor 1 seluruh kasus
80
60
46.640
40
20
Dimensi Kelembagaan 0 Dimensi Ekonomi
60.626 76.422
38.829
Dimensi Sosial
Ketersediaan lahan
kritis mangrove untuk 2.49
sylvofishery
Daya dukung
lingkungan mangrove
3.47
bagi budidaya
sylvofishery
Laju eksploitasi
9.77
kepiting bakau
Attribute
Kerapatan vegetasi
0.30
mangrove
0 2 4 6 8 10 12
Permintaan pasar
ekspor thd kepiting 3.37
bakau
Keuntungan nelayan
Attribute
Keuntungan
pembudidaya
7.98
sylvofishery kepiting
bakau (Rp/tahun)
Kuota tangkapan
kepiting bakau 5.02
(kg/bulan)
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
0 2 4 6 8 10 12 14 16
Root Me a n Squa re Cha nge in Ordina tion w he n Se le cte d Attribute
Re move d (on Susta ina bility sca le 0 to 100)
Atribut yang sensitif dan dapat menjadi pengungkit dalam dimensi sosial
ada empat jenis, yaitu: penerimaan masyarakat pada usaha budidaya sylvofishery,
kemampuan teknologi masyarakat dalam pemanfaatan kepiting bakau, potensi
konflik budidaya sylvofishery dengan pemanfaatan lain, dan potensi penyerapan
tenaga kerja (Gambar 57).
Pemanfaatan kepiting bakau oleh masyarakat memang relatif masih sedikit
dilakukan di lokasi TNK, karena masyarakat belum memiliki teknologi
pemanfaatan kepiting bakau. Bila kemampuan ini dapat ditingkatkan, maka
diharapkan akan terjadi penyerapan tenaga kerja pada sektor ini dan masyarakat
akan lebih menerima budidaya sylvofishery dibandingkan budidaya perikanan lain
yang tidak ramah lingkungan. Sedangkan perbaikan terhadap potensi konflik
dapat dilakukan dengan adanya pengaturan zonasi yang tegas.
kurang berani dalam menindak pelanggaran yang terjadi di kawasan TNK, baik
yang dilakukan oleh perorangan maupun oleh perusahaan di sekitar kawasan.
Selain itu lembaga pengelola TNK juga belum menyediakan perangkat untuk
mengelola, seperti aturan-aturan yang bersifat detil dan teknis untuk pengelolaan
kawasan TNK.
Dukungan perusahaan
7.84
Mitra TNK
Penegakan hukum
oleh aparat bagi 2.44
pelanggar
Otoritas lembaga
11.33
pengelola TNK
Attribute
Zonasi kawasan
15.12
mangrove TNK
Keberadaan lembaga
masyarakat untuk 7.58
pengelolaan mangrove
Keberadaan aturan
pengelolaan ekosistem 7.85
mangrove
0 2 4 6 8 10 12 14 16
Root Me an Squa re Change in Ordina tion w he n Sele cted Attribute
Remove d (on Susta inability scale 0 to 100)
Dari berbagai kajian ilmiah yang telah diuraikan pada bagian sebelumnya,
kesimpulan yang dapat diambil adalah perlu adanya penatakelolaan kembali
kawasan mangrove di Taman Nasional Kutai, untuk mempertahankan fungsi
ekologisnya, sekaligus mencegahnya dari degradasi yang lebih parah dan
mengembalikan fungsinya sebagai kawasan pelestarian alam.
IUCN (1994) menyatakan hal-hal yang perlu dipertimbangkan untuk
mengatasi issue masyarakat yang menetap dalam kawasan TN antara lain adalah:
kemungkinan untuk dipindahkan (relokasi), pemberian kompensasi untuk
perpindahan komunitas masyarakat, diberikan pilihan alternatif mata pencaharian
lain, atau perubahan pendekatan pengelolaan dalam berbagai kondisi.
215
6.1 Simpulan
1. Kondisi bioekologi S. serrata di kawasan mangrove TN Kutai, berdasarkan
hasil analisis dengan metode analitik, diketahui bahwa penangkapan S.
serrata sudah berada di atas laju eksploitasi maksimal, hanya di lokasi Muara
Sangkima penangkapan kepiting jantan masih sedikit di bawah eksploitasi
maksimal yang diperbolehkan.
2. Hasil analisis HSI menunjukkan bahwa daya dukung budidaya sylvofishery
di lokasi Muara Sangatta tertinggi dibanding lokasi yang lain. Individu
kepiting bakau yang dapat didukung untuk budidaya sylvofishery yang
berkelanjutan adalah sebanyak 244.862 ekor atau dapat dibudidayakan pada
490 unit kurungan tancap berukuran 10 x 20 m. Ketersediaan benih di
lokasi tersebut diperkirakan sebesar 31 363 ekor benih. Kekurangan benih S.
serrata harus diambil dari kawasan mangrove daerah lain yang merupakan
kawasan pemanfaatan umum. Unit karamba sejumlah ini memerlukan lahan
seluas 10 ha. Di Muara Sangatta terdapat sekitar 400.03 ha lahan kritis. Unit-
unit karamba ini dapat dibangun di lahan tersebut, sekaligus sebagai upaya
untuk rehabilitasi lahan kritis.
3. Rekomendasi pengelolaan yang dapat diberikan berdasarkan hasil analisis
bioekologi dan daya dukung adalah kawasan mangrove TN Kutai perlu ditata
menggunakan konsep zonasi. Muara Sangatta adalah lokasi yang paling
sesuai untuk usaha budidaya sylvofishery dan Muara Sangkima untuk zona
perikanan tangkap Scylla serrata, sedangkan lokasi yang lain digunakan
sebagai zona perlindungan.
Enam hal yang penting dipertimbangkan dalam pengelolaan Scylla
serrata adalah 1) Penutupan daerah penangkapan Scylla serrata, sesuai
zonasi yang telah ditentukan sebelumnya; 2) penutupan musim penangkapan
Scylla serrata. 3) pengaturan jenis kelamin tangkapan kepiting bakau,
disarankan penangkapan kepiting bakau lebih diutamakan menangkap
kepiting dengan jenis kelamin jantan untuk menjaga keseimbangan rasio
kepiting jantan:betina di alam; 4) pembatasan alat tangkap kepiting bakau.
220
Jenis alat tangkap yang direkomendasikan untuk digunakan adalah jenis alat
tangkap bubu/rakkang dengan lokasi tangkapan pada zona depan hutan
mangrove/pinggiran pantai, karena pada lokasi ini cenderung lebih banyak
terdapat kepiting muda yang berukuran kecil, sehingga dapat dijadikan
sebagai benih pada budidaya sylvofishery; 4) pemberlakuan kuota
penangkapan kepiting bakau. Laju eksploitasi kepiting jantan dan betina di
Muara Sangatta dan Teluk Perancis, sudah melebihi ambang batas
maksimum, sehingga tidak boleh dilakukan penambahan upaya untuk
penangkapan S. serrata, baik berupa penambahan unit alat tangkap, frekuensi
penangkapan, maupun dari jumlah nelayan; 6) restoking Scylla serrata dapat
dilakukan dengan mengembalikan ke alam sebagian dari hasil panen
budidaya sylvofishery. Restoking induk betina Scylla serrata minimal
sebesar 1% dari panen budidaya sylvofishery.
6.2 Saran
Penelitian ini belum melakukan kajian untuk optimasi budidaya
sylvofishery, sehingga belum dapat menduga optimasi ekonomi pemanfaatan
hutan mangrove .
DAFTAR PUSTAKA
Cholik F, A Hanafi. 1991. A review of the status of the mud crab (Scylla sp.)
fishery and culture in Indonesia. Reports of The Seminar on The Mud Crab
Culture and Trade. Surat Thani, Thailand, November 5-8 1991.
Cholik F, A Hanafi. 1992. A Review of the status of mud crab fishery and culture
in Indonesia. Central Research Institute for Fisheries. Jakarta. p 3-6.
Cholik F. 1999. Review of Mud Crab Culture Research in Indonesia. In Mud
Crab Aquaculture and Biology. ACIAR Proceedings N0.78. Canberra.
Australia.
[CII] Conservation International Indonesia. 2006. Konservasi berbasis
masyarakat melalui Daerah Perlindungan Laut di Kepulauan Togean
Sulawesi Tengah. Palu: CII Togean Program.
Dahuri R, J Rais, SP Ginting, MJ Sitepu. 2001. Pengelolaan Sumberdaya Pesisir
dan Lautan Secara Terpadu, cetakan kedua. Pradnya Paramita. Jakarta.
326 p.
Dahuri R. 2003. Paradigma Baru Pembangunan Indonesia Berbasis Kelautan.
Orasi Ilmiah: Guru Besar Tetap Bidang Pengelolaan Sumberdaya Pesisir
dan Lautan FPIK. IPB. Bogor.
Damanik R, B Prasetiamartati, A Satria. 2006. Menuju Konservasi Laut yang Pro
Rakyat dan Pro Lingkungan. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia.
Jakarta.
Davis JA, GJ Churchill, T Hecht, P Sorgeloss. 2004. Spawning characteristics of
the South African mudcrab Scylla serrata (Forskall) in captivity. Journal
of The World Aquaculture Society 35:121-133.
[Dephut] Departemen Kehutanan. 2006. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor:
P.56/Menhut-II/2006 tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional.
Departemen Kehutanan RI.
[Dephut] Departemen Kehutanan. 2007. Kawasan Konservasi Indonesia.
Departemen Kehutanan. Jakarta.
Dianthani D. 2002. Evaluasi kondisi lingkungan perairan Muara Badak kaitannya
dengan larva kepiting bakau. [Tesis]. Institut Pertanian Bogor.
Downs JA, RJ Gates, AT Murray. 2008. Estimating carrying capacity for sandhill
cranes using habitat suitability and spatial optimization models. Jurnal
Ecological Modelling 214: 284-292.
Effendie MI. 1979. Metode biologi perikanan. Yayasan Dewi Sri. Bogor: 112 p.
English S, C Wilkinson, V Baker. 1997. Survey Manual for Tropical Marine
Resource, 2nd edition. Australian Intitute of Marine Science. Townsville.
Eriyatno. 2003. Ilmu Sistem : Meningkatkan Mutu dan Efektifitas Manajemen.
Jilid satu. Edisi ketiga. IPB Press. Bogor.
Ewel KC. 2008. Mangrove crab (Scylla serrata) populations may sometimes be
best managed locally. Journal of Sea Research 59: 114 120.
221
Hill BJ. 1975. Abundance, breeding and growth of the crab Scylla serrata in two
South African estuaries. Marine Biology 32: 119126.
Hill BJ. 1979. Aspects of feeding strategy of predatory crab, Scylla serrata.
Marine Biology 55:209-214.
Hyland SJ, BJ Hill, CP Lee. 1984. Movement within and between different
habitats by the portunid crab Scylla serrata. Marine Biology 80: 57-61
Hutching B, P Saenger. 1987. Ecology of Mangrove. University of Queensland
Press. St. Lucia, London, New York. 388 p.
Ikhwanuddin A Mhd, S Oakley. 1999. Culture of mud crabs in mangrove areas :
the Sarawak experience. In Press Procs. Of Regional workshop on
integrated management of Mangrove/coastal ecosystems for sustainable
aquaculture development. 23rd-25th (Ed, Mackintosh, D.) Kuching,
Sarawak, Malaysia.
Indrawan M, RB Primack, J Supriatna. 1997. Biologi Konservasi. Jakarta: Buku
Obor. 624 hlm.
[IUCN] International United Conservation Nature. 1994. Guidelines for Protected
Areas Management Categories. IUCN, Cambridge, UK and Gland,
Switzerland. 261pp.
Jewett SC, CP Onuf. 1988. Habitat suitability index models: red king crab. U.S.
Wildlife Service Biologi Reproduction 82:110-153.
Johnston D, CP Keenan. 1999. Mud Crab Culture in the Minh Hai Province,
South Vietnam. In Mud Crab Aquaculture and Biology.Australian Centre
for International Agricultural Research (ACIAR) Proceedings No. 78.
Canberra. Australia.
Jones D, G Morgan. 1994. Crustaceans of Australian Waters. Image Productions.
Singapure. Page: 1:126.
Jorgensen SE. 1994. Fundamental of Ecological Modeling. Elsevier. Amsterdam.
Juan F, EG Gurriaran. 1998. New approaches to the behavioural ecology of
decapod crustaceans using telemetry and electronic tags. Hydrobiologia
371/372: 123132
Juwana S. 2004. Penelitian Budidaya Rajungan dan Kepiting: Pengalaman
Laboratorium dan Lapangan. Budi Setyawan, W. et al. Editor. Interaksi
daratan dan Lautan: pengaruhnya terhadap sumberdaya dan lingkungan.
Prosiding Simposium Interaksi Daratan dan Lautan. LIPI Press. Jakarta.
428-473.
Juwana S. 1995. Budidaya Kepiting di Negara-negara Asia. Oceana XX: 1-9.
Karim MY. 1998. Aplikasi Pakan Alami (Brachionus plicatilis dan Nauplis
Artemia salina) yang Diperkaya Dengan Asam Lemak Omega-3 dalam
223
Le Vay L. 2001. Ecology and management of mud crab Scylla spp. Asian
Fisheries Sciense 14:101-111.
Le Vay L, JH Lebata, M Walton, J Primavera, E Quinitio, C Lavilla-Pitogo, F
Parado-Estepa, E Rodriguez, VNg Ut, TT Nghia, P Sorgeloos, M Wille.
2008. Approaches to stock enhancement in mangrove-associated crab
fisheries. Reviews in Fisheries Science 16:7280.
Le Vay L, VNg Ut, M Walton. 2007. Population ecology of the mud crab Scylla
paramamosain (Estampador) in an estuarine mangrove system; a mark-
recapture study. Marine Biology 151:11271135.
Lovett DL. 1981. A Guide to The Shrimps, Prawns, Lobsters, and Crabs of
Malaysia And Singapore. Faculty of Fisheries and Marine Science,
University Pertanian Malaysia. Selangor. 156.
Lyneis JM. 1980. Corporate Planning and Policy Design : A System Dynamics
Approach. Massachussetts : The MIT Press.
Macintosh DJ, C Thongkum, K Swamy, C Cheewasedtham, N Paphavisit. 1993.
Broodstock management and the potential to improve the exploitation of
mangrove crabs, Scylla serrata (Forskl), through pond fattening in
Ranong, Thailand. Aquaculture & Fisheries Management 24:261-269.
MacKinnon J, K MacKinnon. 1986. Managing Protected Areas in The Tropics.
IUCN and UNEP.
Marganof. 2007. Model Pengendalian Pencemaran Perairan di Danau Maninjau
Sumatera Barat. [Disertasi]. Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor.
Markidakis S, SC Wheelwright, VE McGee. 1991. Metode dan Aplikasi
Peramalan. Jakarta : Penerbit Erlangga.
Mardjono M, N Anindiastuti, IS Hamid, Djunaidah, WH Satyantani. 1994.
Pedoman pembenihan kepiting bakau (Scylla serrata). Balai
Budidaya Air Payau, Direktorat Jenderal Perikanan Jakarta.
Mardjono M, N Hamid, ML Nurdjana. 1992. Budidaya Kepiting Bakau: Lahan
Baru yang Menguntungkan. Balai Budidaya Air Payau. Jepara. 33 hal.
McKee KL. 1996. Mangrove ecosystems: definitions, distribution, zonation,
forest structure, trophic structure, and ecological significance. In Mangrove
Ecology Workshop Manual, Mangrove ecology: a manual for a field course
a field manual focused on the biocomplexity on mangrove ecosystems. Feller
I.C. and M. Sitnik Eds. Smithsonian Institution. 136 hal.
McLeod KL, HM Leslie, editors. 2009. Ecosystem-Based Management for the
Oceans. Island Press, Washington, DC.
Moosa MK, I Aswandy, A Kasry. 1985. Kepiting Bakau Scylla serrata
(Forskal,1775) dari Perairan Indonesia. Sumberdaya Hayati Perairan LON-
LIPI. Jakarta. 18 hal.
225
LAMPIRAN 1
DISTRIBUSI KELOMPOK UKURAN Scylla serrata JANTAN
MUARA SANGKIMA
Nov 2008
Des 2008
Jan 2009
Feb 2009
Mar 2009
Apr 2009
Mei 2009
Jun 2009
232
LAMPIRAN 2
DISTRIBUSI KELOMPOK UKURAN Scylla serrata BETINA
MUARA SANGKIMA
Nov 2008
Des 2008
Jan 2009
Feb 2009
Mar 2009
Apr 2009
Mei 2009
233
LAMPIRAN 3
DISTRIBUSI KELOMPOK UKURAN Scylla serrata JANTAN
MUARA SANGATTA
Okt 2008
Nov 2008
Des 2008
Jan 2009
Feb 2009
Mar 2009
Apr 2009
Mei 2009
Jun 2009
234
LAMPIRAN 4
DISTRIBUSI KELOMPOK UKURAN Scylla serrata BETINA
MUARA SANGATTA
Okt 2008
Des 2008
Jan 2009
Feb 2009
Mar 2009
Apr 2009
Mei 2009
Jun 2009
235
LAMPIRAN 5
DISTRIBUSI KELOMPOK UKURAN Scylla serrata JANTAN
TELUK PERANCIS
Okt 2008
Des 2008
Jan 2009
Feb 2009
Apr 2009
Mei 2009
Jun 2009
236
LAMPIRAN 6
DISTRIBUSI KELOMPOK UKURAN Scylla serrata BETINA
TELUK PERANCIS
Jan 2009
Feb 2009
Mar 2009
Jun 2009
237
LAMPIRAN 7
HUBUNGAN PANJANG BOBOT Scylla serrata MUARA SANGATTA
A. JANTAN
1200
1000
800
Bobot(gram)
y=0.001x3.038
600 R=0.886
400
200
0
0 20 40 60 80 100 120 140 160
Panjang(mm)
B. BETINA
800
700
y=0.004x2.328
600
R=0.876
Bobot(gram)
500
400
300
200
100
0
0 50 100 150 200
Panjang(mm)
238
LAMPIRAN 8
HUBUNGAN PANJANG BOBOT Scylla serrata TELUK PERANCIS
A. JANTAN
1200
1000
y=6E05x3.323
800 R=0.924
bobot(gram)
600
400
200
0
0 50 100 150 200
Panjang(mm)
B. BETINA
700
600
y=0.001x2.680
500 R=0.886
Bobot(gram)
400
300
200
100
0
0 20 40 60 80 100 120 140 160
Panjang(mm)
239
LAMPIRAN 9
HUBUNGAN PANJANG BOBOT Scylla serrata MUARA SANGKIMA
A. JANTAN
1000
900
800 y=4E05x3.393
700 R=0.917
Bobot(gram)
600
500
400
300
200
100
0
0 20 40 60 80 100 120 140 160
Panjang(mm)
B. BETINA
600
500
y=0.001x2.609
400 R=0.913
Bobot(gram)
300
200
100
0
0 20 40 60 80 100 120 140 160
Panjang(mm)
240
LAMPIRAN 10
HUBUNGAN PANJANG BOBOT Scylla serrata
BUDIDAYA SYLVOFISHERY
A. JANTAN
300
250 y=0.002x2.409
R=0.577
200
Bobot(gram)
150
100
50
0
0 20 40 60 80 100 120
Panjang(mm)
B. BETINA
250
200
y=0.002x2.422
Bobot(gram)
150
R=0.674
100
50
0
0 20 40 60 80 100 120
Panjang(mm)
241
LAMPIRAN 11
ANALISIS LAJU MORTALITAS DAN LAJU EKSPLOITASI
Scylla serrata JANTAN MUARA SANGATTA
i. MORTALITAS TOTAL
242
LAMPIRAN 12
ANALISIS LAJU MORTALITAS DAN LAJU EKSPLOITASI
Scylla serrata BETINA MUARA SANGATTA
i. MORTALITAS TOTAL
244
LAMPIRAN 13
ANALISIS LAJU MORTALITAS DAN LAJU EKSPLOITASI
Scylla serrata JANTAN TELUK PERANCIS
i. MORTALITAS TOTAL
246
LAMPIRAN 14
ANALISIS LAJU MORTALITAS DAN LAJU EKSPLOITASI
Scylla serrata BETINA TELUK PERANCIS
i. MORTALITAS TOTAL
248
LAMPIRAN 15
ANALISIS LAJU MORTALITAS DAN LAJU EKSPLOITASI
Scylla serrata JANTAN MUARA SANGKIMA
i. MORTALITAS TOTAL
250
LAMPIRAN 16
ANALISIS LAJU MORTALITAS DAN LAJU EKSPLOITASI
Scylla serrata BETINA MUARA SANGKIMA
i. MORTALITAS TOTAL
252
LAMPIRAN 17
PARAMETER PERTUMBUHAN PADA BUDIDAYA SYLVOFISHERY
KEPITING BETINA
KEPITING JANTAN
254
LAMPIRAN 18
ASUMSI-ASUMSI UNTUK HSI
LAMPIRAN 19
SKOR SUITABILITY INDEX UNTUK HSI
1.20
1.00
0.80
SuitabilityIndex
0.60
0.40
0.20
0.00
0.0 0.5 1.0 1.5 2.0 2.5 3.0 3.5 4.0 4.5 5.0 5.5 >6
DO(mg/L)
1.20
1.00
0.80
SuitabilityIndex
0.60
0.40
0.20
0.00
0.0 5.0 10.0 15.0 20.0 25.0 30.0 35.0 >35
Salinitas(ppm)
256
1.00
SuitabilityIndex
0.10
1.0 2.0 3.0 4.0 5.0 6.0 7.0 8.0 9.0 10.0 11.0 12.0 13.0 14.0
pH
1.2
0.8
SuitabilityIndex
0.6
0.4
0.2
0
5 10 15 20 25 30 35 >36
TemperaturAir(C)
SuitabilityIndex SuitabilityIndex
0
1
0.2
0.4
0.6
0.8
1.2
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
1.2
0
110
Avicen
1150
5160
61100
101 150
101150
151200
201250
251300
300400
401450
451500
nnia Aegiceraas Rhizophoraa Bruguiera
JenisVegetassi
501550
551600
601650
Ceriops
KerapatanVegetassi(ind/ha)
651700
H
701750
751800
Hibiscus
801850
851900
N
901950
Nypa
257
9511000
>1000
258
SuitabilityIndex SuitabilityIndex
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
1.2
0
1
0.2
0.4
0.6
0.8
1.2
0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
0.8
0.9
0.95
12
34
5
6
KetinggianPasut(cm)
ProduksiSerasah(ton/ha/th)
8
9
10
11
12
13
14
259
>15
LAMPIRAN 20
HASIL ANALISIS PCA JULI
STASIUN pHa SALa DOa BODa TEMPa CODa TEKs VEG BENTH SCYL
A-1 6.900 16.000 6.300 3.100 28.000 20.200 3.000 1113.000 20.750 0.025
A-2 6.100 16.000 5.100 5.600 29.000 26.300 3.000 1113.000 20.750 0.025
A-3 6.100 16.000 4.400 5.200 28.000 21.400 1.000 1113.000 20.750 0.025
B-1 7.900 33.000 6.400 3.300 26.000 23.400 1.000 800.000 24.000 0.010
B-2 5.200 34.000 5.900 2.400 28.000 21.800 1.000 800.000 24.000 0.010
B-3 7.100 33.000 5.100 2.300 27.000 20.900 1.000 800.000 24.000 0.010
C-1 7.600 28.000 6.200 2.800 25.000 19.300 1.000 1250.000 20.000 0.015
C-2 7.200 19.000 5.600 2.600 26.000 18.300 1.000 1250.000 20.000 0.015
C-3 7.100 34.000 4.200 4.200 26.000 24.700 2.000 1250.000 20.000 0.015
Correlations matrix :
pHa SALa DOa BODa TEMPa CODa TEKs VEG BENTH SCYL
-
pHa 1 0.1947 0.2841 -0.2694 -0.7809 -0.2328 -0.1506 0.1981 0.1423 -0.2677
SALa 0.1947 1 0.0692 -0.5076 -0.4899 0.1293 -0.4880 -0.4990 0.5872 -0.8944
DOa 0.2841 0.0692 1 -0.5847 -0.2086 -0.3985 -0.0579 -0.2822 0.2955 -0.2549
-
BODa -0.2694 -0.5076 -0.5847 1 0.4795 0.6782 0.4757 0.3376 0.4140 0.7193
TEMPa -0.7809 -0.4899 -0.2086 0.4795 1 0.4029 0.5357 -0.2592 0.1539 0.5714
CODa -0.2328 0.1293 -0.3985 0.6782 0.4029 1 0.4749 -0.1547 0.1188 0.1563
-
TEKs -0.1506 -0.4880 -0.0579 0.4757 0.5357 0.4749 1 0.3053 0.3785 0.6786
-
VEG 0.1981 -0.4990 -0.2822 0.3376 -0.2592 -0.1547 0.3053 1 0.9923 0.5274
BENTH -0.1423 0.5872 0.2955 -0.4140 0.1539 0.1188 -0.3785 -0.9923 1 -0.6286
-
SCYL -0.2677 -0.8944 -0.2549 0.7193 0.5714 0.1563 0.6786 0.5274 0.6286 1
261
Eigenvalues 1.0000 2.0000 3.0000 4.0000 5.0000 6.0000 7.0000 8.0000 9.0000 10.0000
Value 4.3418 2.5007 1.4145 0.9772 0.4559 0.2537 0.0557 0.0004 0.0000 0.0000
% of
variability 0.4342 0.2501 0.1415 0.0977 0.0456 0.0254 0.0056 0.0000 0.0000 0.0000
Cumulative
% 0.4342 0.6843 0.8257 0.9234 0.9690 0.9944 1.0000 1.0000 1.0000 1.0000
Vectors : 1.0000 2.0000 3.0000 4.0000 5.0000 6.0000 7.0000 8.0000 9.0000 10.0000
pHa -0.1765 0.4090 -0.1929 0.5060 -0.4707 -0.4093 -0.0488 0.3398 0.0097 -0.0366
-
SALa -0.3778 -0.1490 -0.4003 0.0796 0.3910 0.0510 0.6222 0.3408 0.0254 0.0954
-
DOa -0.2246 0.0877 0.5559 0.4837 0.0055 0.6148 0.0491 0.1320 0.0083 0.0313
-
BODa 0.4029 -0.1202 -0.3075 0.0437 -0.4417 0.3617 0.1475 0.0281 0.1580 0.5943
-
TEMPa 0.2885 -0.4430 0.3036 -0.0812 0.0197 -0.1933 -0.1350 0.7521 0.0020 0.0076
CODa 0.1879 -0.3727 -0.4697 0.4071 0.0395 0.2824 -0.2766 -0.0306 0.1361 -0.5120
-
TEKs 0.3488 -0.0655 0.1128 0.5601 0.4713 -0.3730 0.0227 -0.2651 0.0873 0.3286
VEG 0.2703 0.4867 -0.1414 -0.0923 0.3103 0.1863 -0.1411 0.2447 0.6514 0.1627
BENTH -0.3130 -0.4554 0.0989 0.0806 -0.2527 -0.1612 0.0292 -0.2098 0.6893 0.2616
SCYL 0.4496 0.0681 0.2091 0.0271 -0.2148 -0.0638 0.6858 -0.0968 0.2204 -0.4127
262
axis 1 axis 2 axis 3 axis 4 axis 5 axis 6 axis 7 axis 8 axis 9 axis 10
A-1 1.5884 0.6029 2.0960 1.0855 0.3783 -0.5105 0.2343 -0.0161 0.0000 0.0000
A-2 3.6929 -1.4944 -0.1803 0.8743 -0.0029 0.2783 -0.2751 0.0247 0.0000 0.0000
A-3 2.3086 -0.2689 -0.1482 -1.6835 -1.0836 0.0761 0.2398 -0.0090 0.0000 0.0000
B-1 -2.5653 -0.6585 -0.4360 1.5165 -1.0418 0.3488 -0.0352 -0.0196 0.0000 0.0000
B-2 -1.8457 -2.4883 0.8406 -0.9309 0.9455 0.5608 0.0257 -0.0076 0.0000 0.0000
B-3 -2.3205 -1.0843 -0.1895 -0.3297 -0.2209 -1.0401 -0.0214 0.0269 0.0000 0.0000
C-1 -1.2001 2.5605 0.0258 0.1261 0.1502 0.5981 0.2374 0.0323 0.0000 0.0000
C-2 -0.4274 2.2738 0.6287 -0.8343 0.0181 -0.0679 -0.4965 -0.0136 0.0000 0.0000
C-3 0.7691 0.5572 -2.6371 0.1761 0.8571 -0.2436 0.0911 -0.0180 0.0000 0.0000
263
LAMPIRAN 21
HASIL ANALISIS PCA DESEMBER
Stasiun pHa SALa Doa BODa TEMPa CODa TEKs VEG BENTH SCYL
A-1 7.1 25 6.6 4.6 25 18.2 3 1113 20.75 0.025
A-2 6.7 10 5.4 6.3 25 21.4 3 1113 20.75 0.025
A-3 6.7 5 5.2 6 24 17.5 1 1113 20.75 0.025
B-1 7.2 27 6.5 2.4 26 24 1 800 24 0.010
B-2 7.3 25 6.2 2.9 26 22.3 1 800 24 0.010
B-3 7 24 5.5 2.1 25 22.4 1 800 24 0.010
C-1 7.5 24 5.8 3.3 24 17.2 1 1250 20 0.015
C-2 7.1 13 5.1 3.8 24 16.3 1 1250 20 0.015
C-3 7.1 10 5.3 5.4 24 18.2 1 1250 20 0.015
Correlations matrix :
pHa SALa Doa BODa TEMPa CODa TEKs VEG BENTH SCYL
pHa 1 0.7149 0.4802 -0.6731 0.1482 -0.0200 -0.3895 -0.0472 0.1356 -0.6330
SALa 0.7149 1 0.8153 -0.8355 0.6421 0.4837 -0.0409 -0.5758 0.6090 -0.5620
Doa 0.4802 0.8153 1 -0.4411 0.7280 0.4565 0.2652 -0.4939 0.4763 -0.1657
BODa -0.6731 -0.8355 -0.4411 1 -0.4832 -0.4571 0.4949 0.6242 -0.6962 0.8565
TEMPa 0.1482 0.6421 0.7280 -0.4832 1 0.8873 0.1512 -0.8668 0.8486 -0.3780
CODa -0.0200 0.4837 0.4565 -0.4571 0.8873 1 0.0158 -0.8965 0.8880 -0.4617
TEKs -0.3895 -0.0409 0.2652 0.4949 0.1512 0.0158 1 0.1665 -0.2566 0.7143
VEG -0.0472 -0.5758 -0.4939 0.6242 -0.8668 -0.8965 0.1665 1 -0.9923 0.5274
BENTH 0.1356 0.6090 0.4763 -0.6962 0.8486 0.8880 -0.2566 -0.9923 1 -0.6286
SCYL -0.6330 -0.5620 -0.1657 0.8565 -0.3780 -0.4617 0.7143 0.5274 -0.6286 1
264
Eigenvalues 1.0000 2.0000 3.0000 4.0000 5.0000 6.0000 7.0000 8.0000 9.0000 10.0000
Value 5.7511 2.1890 1.4960 0.2365 0.2239 0.0546 0.0318 0.0171 0.0000 0.0000
% of variability 0.5751 0.2189 0.1496 0.0237 0.0224 0.0055 0.0032 0.0017 0.0000 0.0000
Cumulative % 0.5751 0.7940 0.9436 0.9673 0.9897 0.9951 0.9983 1.0000 1.0000 1.0000
Vectors : 1.0000 2.0000 3.0000 4.0000 5.0000 6.0000 7.0000 8.0000 9.0000 10.0000
pHa 0.2072 -0.4455 0.4286 0.2540 0.2866 -0.0439 0.5613 0.0848 -0.0871 -0.3107
SALa 0.3550 -0.0707 0.3891 -0.3600 -0.1129 0.2424 0.1644 -0.0550 0.1882 0.6716
Doa 0.2821 0.1856 0.5107 0.4397 -0.3087 0.1964 -0.4617 -0.2033 -0.0562 -0.2005
BODa -0.3574 0.2874 -0.0249 0.5372 0.1835 0.1187 0.3353 -0.4454 0.1016 0.3626
TEMPa 0.3524 0.3247 0.0204 0.2909 0.2089 -0.6317 -0.0667 0.3909 0.0788 0.2814
CODa 0.3329 0.3015 -0.2419 0.0545 0.4781 0.6473 -0.0156 0.2820 -0.0263 -0.0938
TEKs -0.1095 0.5245 0.4015 -0.4835 0.3605 -0.1846 0.0530 -0.2736 -0.0745 -0.2659
VEG -0.3665 -0.2102 0.2615 0.0342 0.3233 0.0650 -0.3445 0.2158 0.6910 -0.0223
BENTH 0.3810 0.1369 -0.2694 -0.0337 -0.2280 -0.0819 0.2612 -0.2798 0.6686 -0.3319
SCYL -0.3118 0.3809 0.2057 0.0162 -0.4664 0.1539 0.3713 0.5639 0.0811 -0.1070
axis 1 axis 2 axis 3 axis 4 axis 5 axis 6 axis 7 axis 8 axis 9 axis 10
A-1 -0.3551 1.5745 2.5722 -0.1970 -0.4610 -0.0691 -0.0819 -0.1314 0.0000 0.0000
A-2 -2.0015 2.7218 -0.3248 -0.2309 0.7630 0.0314 0.0882 0.1139 0.0000 0.0000
A-3 -2.9335 0.5174 -1.3876 0.4334 -0.9289 0.0728 0.0690 0.0583 0.0000 0.0000
B-1 3.8178 0.4138 -0.1180 0.4251 0.0191 0.1916 -0.3051 0.1312 0.0000 0.0000
B-2 3.3201 0.0486 -0.1775 0.5216 0.0915 -0.3737 0.2656 -0.0402 0.0000 0.0000
B-3 2.4120 -0.1946 -1.4401 -0.9789 -0.1924 0.1580 0.0578 -0.1173 0.0000 0.0000
C-1 -0.4061 -2.2897 1.5647 -0.0796 0.0877 0.2695 0.2130 0.1382 0.0000 0.0000
C-2 -1.8380 -1.7087 -0.2656 -0.4083 0.0747 -0.4291 -0.2134 0.0919 0.0000 0.0000
C-3 -2.0157 -1.0829 -0.4233 0.5147 0.5464 0.1485 -0.0933 -0.2446 0.0000 0.0000
266
LAMPIRAN 22
MAKROZOOBENTHOS
KELAS GASTROPODA
Potamodidae (Telebralia sp) 11 4 2.75 2 4 0.5 1 4 0.25 3.5
Potamodidae (Telescopium sp) 8 4 2 6 4 1.5 2 4 0.5 4
Littoridae 5 4 1.25 15 4 3.75 12 4 3 8
Neritidae 2 4 0.5 0 4 0 4 4 1 1.5
Cherithidae 1 4 0.25 8 4 2 6 4 1.5 3.75
Trochidae 0 4 0 3 4 0.75 5 4 1.25 2
Dentaliidae 1 4 0.25 0 4 0 0 4 0 0.25
Nassaridae 1 4 0.25 2 4 0.5 2 4 0.5 1.25
Muricidae 1 4 0.25 8 4 2 6 4 1.5 3.75
Olividae 1 4 0.25 0 4 0 1 4 0.25 0.5
KELAS PELECYPODA
Corbiculidae (Geloina sp) 3 4 0.75 2 4 0.5 6 4 1.5 2.75
Ostreidae 3 4 0.75 16 4 4 3 4 0.75 5.5
Veneridae (T philippinarum) 2 4 0.5 1 4 0.25 0 4 0 0.75
Lucinidae 5 4 1.25 0 4 0 4 4 1 2.25
Arcidae (Anadara sp) 0 4 0 1 4 0.25 0 4 0 0.25
KELAS MALACOSTRACA
Ocypodidae (Ucha sp) 10 4 2.5 7 4 1.75 7 4 1.75 6
Penaidae (Penaeus sp) 3 4 0.75 2 4 0.5 1 4 0.25 1.5
Grapsidae (Sesarma sp) 7 4 1.75 6 4 1.5 3 4 0.75 4
Portunidae (Thalamita sp) 5 4 1.25 2 4 0.5 1 4 0.25 2
Upogebidae (Upogebia sp) 0 4 0 1 4 0.25 1 4 0.25 0.5
Paguridae (Pagurus sp) 12 4 3 9 4 2.25 11 4 2.75 8
KELAS POLYCHAETA
total 81 20.75 91 24 76 20
267
LAMPIRAN 23
DATA FISIK KIMIA PERAIRAN
SALINITAS TEMPERATUR PH COD TEMPERATUR FRAKSI
Phair DO BOD
AIR AIR SUBSTRAT SUBSTRAT SUBSTRAT SUBSTRAT
STASIUN
JUL DES JUL DES JUL DES JUL DES JUL DES JUL DES JUL DES JUL DES JUL DES
MUARASANGATTA
SubA1 6.9 7.1 16 20 1.3 6.2 3.1 4.6 28 25 6.7 6.8 20.2 18.2 27 24 clay clay
SubA2 6.1 6.7 0 10 0 5.5 5.6 6.3 29 25 5.3 7 26.3 21.4 28 25 clay clay
sandy sandy
SubA3 6.1 6.7 0 0 4.5 5.3 5.2 6 28 24 5.1 6.6 21.4 17.5 27 23
loam loam
TELUKPERANCIS
sandy sandy
SubB1 7.1 7.2 33 27 6.2 6 2.8. 2.4 26 26 6.32 6.7 26.5 24 26 26
loam loam
sandy sandy
SubB2 6.9 7.3 31 25 5.4 5.2 3.4 2.9 28 26 6.45 6.5 25 22.3 25 24
loam loam
sandy sandy
SubB3 7 7 29 24 5.1 4.1 3.7 2.1 27 25 5.68 6.3 23.5 22.4 25 24
loam loam
MUARASANGKIMAH
sandy sandy
SubC1 7.6 7.5 26 10 2.3 5.2 2.8 3.3 25 24 6.32 6.7 19.3 17.2 24 22
loam loam
sandy sandy
SubC2 7.2 7.1 25 13 2.7 4.4 2.6 3.8 26 24 6.45 6.9 18.3 16.3 25 23
loam loam
sandy sandy
SubC3 7.1 7.1 19 0 0.9 4.2 4.2 5.4 26 24 5.68 6.5 24.7 18.2 25 23
loam loam
1=zonaperairan
2=zonadepanmangrove
3=zonatengahmangrove
268
LAMPIRAN 24
RINCIAN ANGGARAN BIAYA BUDIDAYA SYLVOFISHERY S. serrata
(Rp/unit/musim)
NO KOMPONEN SATUAN JUMLAH HARGA TOTAL
A. Biaya
1 Investasi
a. Jaring trawl 1,25" Gulung 2 500000 750000
b. Papan kayu Kubik 1 1500000 1500000
c. bambu Batang 20 20000 400000
d. Tali nilon Gulung 1 100000 100000
SUB TOTAL 2750000
2 Biaya Tetap/Peralatan
a. Bubu/rakkang Unit 5 40000 200000
b. Peralatan Panen Unit 1 200000 200000
c. Timbangan Unit 1 100000 100000
SUB TOTAL 500000
LAMPIRAN 25
2. BIAYA TETAP
a. Bubu/rakkang 200000
b. Peralatan Panen 200000
c. Timbangan 100000
SUB TOTAL 500000
Penyusutan (25%) 125000 125000 125000
3. BIAYA VARIABEL
a. benih S. serrata 375000 375000
b. pakan ikan rucah 600000 600000
c. Upah pemeliharaan 1000000 1000000
SUB TOTAL 1975000 1975000
Lain-lain (5%) 98750 98750
4. PENERIMAAN
panen kepiting 6300000 6300000
LAMPIRAN 26
ANALISIS PENDAPATAN NELAYAN KEPITING BAKAU
Penerimaan Biaya
Jumlah Total Total Pendapatan
No. Nama Perawatan
Tangkapan Harga Penerimaan BBM Biaya (Rp)
dan lain2
(kg/bln) (Rp) (Rp)
1 Hendra 143 25 000 3,575,000 400,000 1,000,000 1,400,000 2,175,000
2 Rudi 65 25 000 1,625,000 200,000 500,000 700,000 925,000
3 Imam 117 25 000 2,925,000 100,000 750,000 850,000 2,075,000
4 Santoso 98 25 000 2,437,500 400,000 750,000 1,150,000 1,287,500
5 Jamali 91 25 000 2,275,000 100,000 750,000 850,000 1,425,000
6 Sudin 98 25 000 2,437,500 100,000 750,000 850,000 1,587,500
7 Sulak 143 25 000 3,562,500 500,000 800,000 1,300,000 2,262,500
8 Bacok 98 25 000 2,437,500 100,000 750,000 850,000 1,587,500
9 Sanidai 75 25 000 1,875,000 100,000 600,000 700,000 1,175,000
10 Bombira 84 25 000 2,100,000 100,000 700,000 800,000 1,300,000
11 Hamang 95 25 000 2,362,500 100,000 750,000 850,000 1,512,500
12 Asri 105 25 000 2,625,000 100,000 750,000 850,000 1,775,000
13 Iyel 75 25 000 1,875,000 100,000 700,000 800,000 1,075,000
14 Acok 90 25 000 2,250,000 100,000 700,000 800,000 1,450,000
15 Syarif 98 25 000 2,437,500 100,000 750,000 850,000 1,587,500
RERATA
98 25,000 2,453,333 173,333 733,333 906,667 1,546,667
271
LAMPIRAN 27
KARAKTERISTIK RESPONDEN KEPITING BAKAU
LAMPIRAN 28
INDEKS NILAI PENTING VEGETASI MANGROVE
2 Ceriops decandra Rhizophoraceae Bido-bido 2 1 0.006 2.247 5.556 4.335 12.138 0.022 -1.648 -0.037
3 Ceriops tagal Rhizophoraceae Soga tingi 2 2 0.003 2.247 11.111 1.992 15.350 0.022 -1.648 -0.037
4 Nypa fructicans Arecaceae Nipah 36 7 0.069 40.449 38.889 51.142 130.481 0.404 -0.393 -0.159
LBD log
No Nama jenis Nama suku Nama lokal K F KR FR DoR INP ni/N H
(m2) (ni/N)
Indeks Nilai Penting (INP) dari Vegetasi Anakan Pohon (diameter <10 cm) di Stasiun Teluk Prancis
Indeks Nilai Penting (INP) dari Vegetasi Anakan Pohon (diameter <10 cm) di Stasiun Muara Sangkima
4 Ceriops tagal Rhizophoraceae Soga tingi 1 1 0.0013 2.000 3.571 1.005 6.576 0.020 -1.699 -0.034
Hibiscus
5 tiliaceus Malvaceae 1 1 0.0009 2.000 3.571 0.684 6.255 0.020 -1.699 -0.034
Osbornia
6 octodonta Myrtaceae 3 2 0.0026 6.000 7.143 2.073 15.216 0.060 -1.222 -0.073
Rhizophora Bakau
7 apiculata Rhizophoraceae minyak 25 11 0.0552 50.000 39.286 44.166 133.451 0.500 -0.301 -0.151