Anda di halaman 1dari 16

HABITAT DAN POPULASI KEPITING BAKAU (Scylla serrata) PADA HUTAN

MANGROVE DI KECAMATAN TELUK AMBON BAGUALA

HABITAT AND POPULATION OF MANGROVE CRAB (Scylla serrata) IN MANGROVE


FOREST IN TELUK AMBON BAGUALA DISTRICT
Oleh
Timothy F Tarumasely1), Fanny Soselisa2*), A. Tuhumury3)
1)
Mahasiswa Jurusan Kehutanan, Universitas Pattimura. Jl. Ir Putuhena Kampus Poka Ambon
2,3)
Dosen Fakultas Pertanian, Jurusan Kehutanan Universitas Pattimura, Ambon
Email: fanny.ceka@gmail.com
Diterima: 22 Juli 2022 Disetujui: 4 Oktober 2022

Abstrak
Negeri Passo memiliki hutan mangrove dengan luas hutan mencapai 23,343 Ha. Ekosistem mangrove di Teluk
Baguala, berfungsi menghasilkan berbagai makanan yang dibutuhkan oleh kepiting bakau (Scylla serrata)
dalam bentuk material organik maupun jenis pakan alami lainnya. Populasi kepiting bakau (Scylla serrata)
pada hutan mangrove di Kecamatan Teluk Ambon Baguala sangat potensial namun belum didukung dengan
data dasar yang memadai. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode Capture Mark Release
Recapture (CMRR). Hasil kelimpahan kepiting bakau didapatkan pada penangkapan pertama sebesar 30
individu dan pada penangkapan kedua sebesar 31 individu dengan dugaan estimasi populasi sebesar 63 indivdu
dengan batas kelas atas 81 individu dan batas kelas bawah 48 individu. Perjumpaan dengan kepiting bakau
sangat dipengaruhi oleh habitatnya, umumnya pada tempat-tempat dengan kondisi vegetasi mangrove yang
rapat, substrat yang lunak, dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut.

Kata kunci : Kepiting bakau (Scylla serrata), Habitat, Populasi, Mangrove

Abstract
Passo village has mangrove forests with extent about 23,343 ha. The mangrove ecosystem in Baguala Bay,
functions to produce various foods needed by mangrove crabs (Scylla serrata) in the form of organic materials
and other types of natural feed. The population of mangrove crab (Scylla serrata) in Teluk Ambon Baguala
District is so potential but has not been supported by adequate data base. The method used in this study is the
Capture Mark Release Recapture (CMRR) method. Mangrove crab abundance were obtained in the first catch
of 30 individuals and in the second capture of 31 individuals with an estimated population of 63 indivdu with
an upper class limit of 81 individuals and a lower class limit of 48 individuals. Encounters with mangrove crabs
are strongly influenced by their habitat, generally in places with dense mangrove vegetation, soft substrates,
and are affected by sea tides.

Keywords : Mangrove crab (Scylla serrata), Habitat, Population, Mangrove

Hasil kajian geomorfologi pantai


PENDAHULUAN menunjukkan keadaan Teluk Ambon ditopang
Hutan mangrove merupakan salah satu oleh aliran sungai-sungai kecil dan alur air
habitat khas pesisir dan estuaria, di Indonesia pasang-surut serta lokasinya terletak pada
luasnya saat ini mencapai 24.000 km² atau teluk tertutup terhindar dari hempasan
1,3% dari luas Indonesia (Supriatna, 2018). Di gelombang besar. Karakteristik pantai
pulau Ambon khususnya perairan Teluk semacam ini sebenarnya sangat cocok untuk
Ambon Baguala pada Negeri Passo, luas pertumbuhan dan perkembangan mangrove.
hutan mangrove mencapai 23,343 hektar Hutan mangrove di Teluk Ambon yang paling
dengan tingat kerusakan sekitar 19,65 % luas terdapat di wilayah Passo dan sekitarnya.
(Madiama dkk, 2016). Ketebalan hutan mangrove di wilayah ini
mencapai 200 m dari garis pantai (Suyadi,

DOI: 10.30598.jhppk.2022.6.2.177
177
ISSN ONLINE: 2621-8798
2009). Masyarakat Maluku mengenal hutan membuat lubang di dalam substrat yang lunak.
mangrove dengan sebutan manggi-manggi Tempat tersebut menjadi tempat tinggal
atau sogi-sogi (Pramudji dkk, 1990). selama tempat hidupnya menyediakan
Hutan mangrove mempunyai fungsi makanan. Ketersedian makanan dan
ganda dan merupakan mata rantai yang sangat kenyamanan untuk bereproduksi dan
penting dalam memeliharan keseimbangan berkembangbiak menjadi salah satu faktor
siklus biologi di suatu perairan. Mangrove pemilihan habitat tetap (permanent home site)
juga memiliki fungsi ekologis sebagai habitat kepiting tersebut jika tidak, maka kepiting
berbagai jenis satwa liar. Keanekaragaman berpindah untuk mencari makan di tempat
fauna di ekosistem mangrove cukup tinggi. lain, walaupun masih di dalam area habitat
Secara garis besar, keanekaragaman fauna yang sama. Kepiting Bakau cenderung
mangrove dibagi menjadi dua kelompok, menetap di habitat yang sama, walaupun tidak
yaitu fauna akuatik dan fauna terestrial. Fauna selalu kembali ke titik yang sama, terkadang
akuatik yaitu kepiting, ikan, udang, dan ada pertukaran individu antar habitat yang
kerang, sedangkan fauna terestrial, yaitu bertetangga dekat.
insekta, reptil, amfibi, mamalia, dan burung Ekosistem mangrove juga berfungsi
(Rangkuti dkk, 2017). Berbagai jenis hewan menghasilkan berbagai makanan yang
laut yang hidup di kawasan mangrove sangat dibutuhkan oleh kepiting bakau (Scylla
tergantung pada ekosistem hutan mangrove serrata) dalam bentuk material organik
sendiri. maupun jenis pakan alami lainnya Di dalam
Salah satu hewan yang hidupnya habitat alaminya kepiting bakau (Scylla
tergantung pada hutan mangrove adalah serrata) mengkonsumsi berbagai jenis pakan
kepiting bakau. Kepiting bakau merupakan antara lain alga, daun-daun yang telah
salah satu sumberdaya perikanan dengan nilai membusuk, akar, jenis siput, kodok, katak,
ekonomis penting yang dapat ditemukan di daging kerang, udang, ikan, bangkai hewan
sepanjang pantai Indonesia terutama di (Kasry, 1996).
kawasan hutan bakau atau perairan payau Kepiting bakau (Scylla serrata)
(Eddy Nurcahyono dkk, 2019). Kepiting merupakan jenis satwa yang aktif mencari
bakau yang banyak terdapat di perairan makan pada malam hari (nokturnal), namun
Indonesia terdiri dari 4 jenis yaitu Scylla sebenarnya waktu makannya tidak beraturan.
serrata, Scylla olivacea, Scylla tranquebarica Waktu siang hari, saat pasang terendah
dan Scylla paramamosain (Rugaya, 2006 kebanyakan kepiting tinggal di dalam lubang
dalam Hidayat, 2017). Kepiting bakau (Scylla untuk berlindung dari predator lainnya. Selain
serrata Forsskal, 1775) merupakan spesies itu lubang dari kepiting bakau dapat
dari famili Portunidae yang hidup di perairan memberikan efek aerasi (oksigen), agar udara
yang spesifik pada ekosistem mangrove lebih mudah masuk ke dalam tanah dan hal ini
dengan kondisi substrat yang berlumpur (Sara akan membantu proses respirasi
et al., 2014 dalam Tirtadanu, 2018). mikroorganisme dalam tanah.
Populasi kepiting bakau secara khas Potensi kepiting bakau (Scylla serrata)
berasosiasi dengan hutan bakau yang masih di alam cukup tinggi, namun Peningkatan
baik, sehingga hilangnya habitat akan eksploitasi, konversi habitat dan perubahan
memberikan dampak yang serius pada lingkungan menjadi faktorfaktor penyebab
populasi kepiting (Wijaya et al, 2018). utama penurunan populasi kepiting bakau
Kepiting Bakau memiliki kebiasaan (Mohapatra et al., 2010; Lebataet al., 2009
bersembunyi atau membenamkan diri di dalam Alamsyah et al, 2017). Distribusi
dalam lumpur. Kepiting bakau (Scylla serrata) penyebaran kepiting bakau (Scylla serrata)

DOI: 10.30598.jhppk.2022.6.2.177
178
ISSN ONLINE: 2621-8798
cukup luas dibandingkan spesies lainnya bakau (Scylla serrata) pada hutan mangrove
(Hubatsch dkk., 2015). S. serrata dapat di Kecamatan Teluk Ambon Baguala sangat
ditemukan di wilayah pesisir perairan tropis potensial, namun kurang di dukung dengan
dan subtropis, di Indonesia khususnya data base yang memadai.
biasanya ditemukan di Selat Malaka, timur
Sumatera, timur Kalimantan, Maluku dan
Irian Jaya (Ghufran, 2008). Populasi kepiting

METODE PENELITIAN 2020 di Kawasan Hutan Mangrove di


Kecamatan Teluk Ambon Baguala
Penelitian yang dilakukan pada tanggal
28 Agustus 2020 dan tanggal 05 September

Alat-alat yang digunakan dalam vegetasi


penelitian ini yaitu : yang ditemukan
1. Kompas : Untuk 5. Kamera : Untuk
menentukan arah garis rintis atau dokumentasi
jalur. 6. Cat/Pilox : Untuk
2. Tali Ukur : Untuk menandai kepiting yang tertangkap
membuat jalur penelitian Bahan/Objek yang dipakai dalam
3. Penjepit/Pengait : Untuk untuk penelitian ini adalah kepiting bakau dan
menangkap kepiting bakau vegetasi yang digunakan sebagai habitat.
4. Alat tulis menulis : Untuk a. Pengamatan Terhadap Vegetasi
menulis data kepiting bakau Pengumpulan data vegetasi sebagai
maupun habitat Kepiting Bakau dalam melakukan
aktivitasnya, dilakukan dengan menggunakan

DOI: 10.30598.jhppk.2022.6.2.177
178
ISSN ONLINE: 2621-8798
jalur berpetak sebanyak 6 jalur pengamatan Capture Mark Release Recapture (CMRR)
dengan lebar jalur 20 m. Panjang jalur yang mana pengumpulan data satwa
disesuaikan dengan kondisi lapangan. Dalam dilakukan pada areal habitat kepiting bakau
petak ditetapkan ukuran 10 x 10 m2 untuk yaitu pada daerah mangrove dengan
pohon dengan ukuran vegetasi mangrove menggunakan jalur pengamatan yang sama
tersebut adalah tinggi >1,5 m, diameter >10 pada jalur pengamatan vegetasi. Metode ini
cm. 5 x 5 m2, untuk kategori pancang dengan dilakukan dengan menangkap individu dari
tinggi 1,5 m, diameter <10 cm. dan untuk suatu populasi hewan yang akan dipelajari,
kategori semai berukuran 1 x 1 m2 dengan individu yang ditangkap kemudian diberi
ukuran tinggi <1,5 m (Setyobudiandi dkk, tanda yang mudah di baca, kemudian
2009). dilepaskan kembali dalam periode waktu yang
b. Pengamatan Terhadap Satwa singkat. Setelah beberapa hari ditangkap
Teknik yang di gunakan dalam kembali dan dihitung tertangkap yang
pengumpulan data satwa adalah metode bertanda.
a. Vegetasi
Perhitungan besarnya nilai kuantitatif parameter mangrove (English et al., 1994) adalah
sebagai berikut :
• Kerapatan Suatu Jenis (K), dihitung dengan rumus :
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐼𝑛𝑑𝑖𝑣𝑖𝑑𝑢 𝐽𝑒𝑛𝑖𝑠 𝑘𝑒 − 𝑖
𝐾=
𝐿𝑢𝑎𝑠 𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐴𝑟𝑒𝑎 𝑃𝑒𝑛𝑔𝑎𝑚𝑏𝑖𝑙𝑎𝑛 𝐶𝑜𝑛𝑡𝑜ℎ

• Kerapatan Relatif (KR), dihitung dengan rumus :


𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝐼𝑛𝑑𝑖𝑣𝑖𝑑𝑢 𝐽𝑒𝑛𝑖𝑠 𝑘𝑒 − 𝑖
𝐾𝑅 = × 100%
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑆𝑒𝑙𝑢𝑟𝑢ℎ 𝐼𝑛𝑑𝑖𝑣𝑖𝑑𝑢

• Frekuensi Suatu Jenis (F), dihitung dengan rumusa :


𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑃𝑒𝑡𝑎𝑘 𝐶𝑜𝑛𝑡𝑜ℎ 𝐷𝑖𝑡𝑒𝑚𝑢𝑘𝑎𝑛 𝐽𝑒𝑛𝑖𝑠 𝑘𝑒 − 𝑖
𝐹=
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑃𝑒𝑡𝑎𝑘 𝐶𝑜𝑛𝑡𝑜ℎ

• Frekuensi Relatif (FR), dihitung dengan rumus :


𝐹𝑟𝑒𝑘𝑢𝑒𝑛𝑠𝑖 𝐽𝑒𝑛𝑖𝑠 𝑘𝑒 − 𝑖
𝐹𝑅 = × 100%
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝐹𝑟𝑒𝑘𝑢𝑒𝑛𝑠𝑖 𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑆𝑒𝑙𝑢𝑟𝑢ℎ 𝐽𝑒𝑛𝑖𝑠

• Penutupan Suatu Jenis (D), dihitung dengan rumus :


∑𝐵𝐴
𝐷=
𝐿𝑢𝑎𝑠 𝐴𝑟𝑒𝑎 𝑃𝑒𝑛𝑔𝑎𝑚𝑏𝑖𝑙𝑎𝑛 𝐶𝑜𝑛𝑡𝑜ℎ

• Penutupan Relatif (DR), dihitung dengan rumus :


𝐿𝑢𝑎𝑠 𝐴𝑟𝑒𝑎 𝑃𝑒𝑛𝑢𝑡𝑢𝑝𝑎𝑛 𝑆𝑢𝑎𝑡𝑢 𝐽𝑒𝑛𝑖𝑠
𝐷𝑅 = × 100%
𝐿𝑢𝑎𝑠 𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐴𝑟𝑒𝑎 𝑃𝑒𝑛𝑢𝑡𝑢𝑝𝑎𝑛 𝑆𝑒𝑙𝑢𝑟𝑢ℎ 𝐽𝑒𝑛𝑖𝑠

• Indeks Nilai Penting (INP), dihitung dengan rumus :


Untuk tingkat pohon menggunakan rumus :
𝐼𝑁𝑃 = 𝐾𝑅 + 𝐹𝑅 + 𝐷𝑅

Untuk tingkat pancang dan semai menggunakan rumus :


𝐼𝑁𝑃 = 𝐾𝑅 + 𝐹𝑅

DOI: 10.30598.jhppk.2022.6.2.177
180
ISSN ONLINE: 2621-8798
b. Populasi Estimasi 3. Populasi harus sistem tertutup
Analisis data yang digunakan pada (tidak ada imigrasi, emigrasi,
satwa menggunakan Metode Linceln – kelahiran atau kematian antara
Peterson. Metode ini dilakukan dengan pemberian tanda dan penangkapan
menangkap sejumlah individu dari suatu kembali).
populasi hewan yang akan dipelajari. Individu 4. Hewan yang tertangkap sekali atau
yang ditangkap kemudian diberi tanda yang lebih, tidak akan mempengaruhi
mudah di baca, kemudian dilepaskan kembali kemungkinan penangkapan
dalam periode waktu yang singkat. Setelah selanjutnya.
beberapa hari ditangkap kembali dan dihitung 5. Sampling dilakukan dengan
yang bertanda yang tertangkap (Mamik, interval waktu yang tetap.
2015). 6. Hewan yang ditandai mempunyai
Dalam penerapan metode ini terdapat probabilitas kesintasan.
beberapa asumsi yang perlu diperhatikan : Dari dua kali hasil penangkapan dapat
1. Hewan yang ditandai tidak diduga ukuran atau besarnya populasi (N)
terpengaruh dan tidak mudah dengan rumus (Lincoln – Peterson) :
hilang.
2. Hewan yang diteliti tercampur
secara homogen dalam populasi.
𝑀𝐶
𝑁=
𝑅
Rumus alternative estimasi populasi (Chapman, 1951) :
(𝑀 + 1)(𝐶 + 1)
𝑁= −1
(𝑅 + 1)

Varians :
(𝑀 + 1)(𝐶 + 1)(𝑀 − 𝑅)(𝐶 − 𝑅)
𝑆2 =
(𝑅 + 1)2 (𝑅 + 2)

Interval Kepercayaan :
𝑁 ± 𝑍1−𝛼 √𝑆 2
2

Keterangan : M = Jumlah individu yang tertangkap pada


N = Besarnya populasi estimasi penangkapan pertama
C = Jumlah individu yang ditangkap pada R = Jumlah individu bertanda dari
penangkapan kedua penangkapan pertama yang tertangkap
kembali pada penangkapan kedua.

Kemudian jenis kepiting bakau dihitung kepadatan sebagai berikut :


Kepadatan (Brower et al, 1990) :
𝑁𝑖
𝐾=
𝐴
Keterangan : K = Kepadatan Jenis
Ni = Jumlah Individu Suatu Jenis
A = Luas

DOI: 10.30598.jhppk.2022.6.2.177
181
ISSN ONLINE: 2621-8798
HASIL DAN PEMBAHASAN mulut. Tiga pasang kaki berikutnya
Berdasarkan hasil pengamatan. digunakan untuk bergerak. Dan
Kepiting bakau yang ditemukan mempunyai sepasang kaki terakhir adalah kaki
ciri-ciri sebagai berikut : renang.
• Memiliki 5 pasang kaki. Sepasang • Memiliki 24 gerigi pada kerapas
kaki pertam berupa capit dimana • Memiliki 2 antena diantar kedua mata
salah satu capit lebih besar dari capit • Terdapat abdomen di bawah perut
yamg lainnya. Yang dimana berfungsi
untuk memasukan makanan ke dalam

Gambar 2. Kepiting Bakau (Scylla serrata)

Habitat Makan
Habitat Kepiting Bakau (Scylla serrata) Hasil penelitian menunjukan bahwa
Dari namanya, kepiting bakau (Scylla pakan kepiting bakau antara lain adalah
serrata) merupakan hewan yang khas dengan kerang dan daun mangrove yang berguguran.
hutan mangrove. Kepiting bakau juga Hal ini diketahui dengan adanya bekas
ditemukan pada habitat berlumpur. Kepiting cangkang kerang di sekitar lubang lumpur di
bakau adalah hewan yang selalu berada di mana kepiting bakau sering bersembunyi.
habitat berair karena alat pernapasannya Apabila makanan yang diperoleh tidak
berupa insang. Kepiting muda dan dewasa mencukupi kebutuhan mereka maka mereka
seringkali dijumpai dalam lubang-lubang akan saling makan satu dengan yang lain. Hal
pada habitat berlumpur dan di sela-sela akar ini desebabkan karena kepiting mempunyai
bakau. Umumnya kepiting bakau akan sifat kanibalisme yang sangat tinggi (Yusri,
menggali lubang di daerah mangrove pada 2012).
substrat yang lunak untuk bersembunyi dari Dalam hutan mangrove, daun-daun
musuh maupun menghindari sinar matahari. yang berguguran juga merupakan sumber
makanan kepiting ia memanfaatkan bukan
saja daun-daun yang baru gugur tetapi daun

DOI: 10.30598.jhppk.2022.6.2.177
182
ISSN ONLINE: 2621-8798
yang telah mengalami proses dekomposisi lazimnya, tetapi melalui jalan dimakan
menjadi detritus pun menjadi sumber kepiting dan dibuang kembali ke lingkungan
makannya. Dilihat dari cukup padatnya sebagai ekskresi (Macnae, 1974)
kerapatan mangrove pada jalur 1, 2, 3, dan Berbeda dengan kepiting yang hidup
jalur 4. Hal ini didukung oleh Wira (2004) dipantai berpasir, untuk mendapatkan
dalam Wida (2013) yang menyatakan bahwa makanan mereka harus menyesuaikan diri
keberadaan kepiting bakau erat kaitannya sedemikian rupa agar kepalanya menghadap
dengan ketersediaan pakan alami yang kearah pantai. Mereka tetap mengubur diri
berassal dari mangrove. sampai gelombong datang melewati mereka
Hal ini menunjukan bahwa hutan menuju pantai. Setelah gelombang lewat dan
mangrove Kecamatan Teluk Ambon Baguala ketika air turun kembali kelaut, mereka
merupakan tempat yang baik untuk menjulurkan antena kedua yang sangat besar.
memperoleh pakan bagi Kepiting Bakau Antena yang berupa rambut-rambut lebat ini
(Scylla serrata). akan membentuk jala, dibentangkan kedalam
Aktivitas kepiting-kepiting di hutan gelombang surut untuk menghadang dan
bakau sangat mempercepat siklus zat-zat hara. menangkap semuan partikel yang mempunyai
Dengan rakus mereka memakan daun-daun kisaran ukuran tertentu. Partikel-partikel ini
yang berguguran, sehingga sesungguhnya kemudian dimasukan kedalam mulutnya dan
daun-daun tersebut sebagian besar tidak dicerna (Macginitie, 1949).
mengalami proses pembusukan seperi
Sonneratia alba (INP 53,73), Avicennia sp
Habitat Berlindung (Cover)
(INP 16,97) dan Bruguiera cylindrical (INP
Hutan mangrove adalah wilayah yang
16,15). Di jalur 3 vegetasi yang ditemukan
umumnya merupakan tempat yang ideal untuk
antara lain Bruguiera cylindrical (INP 171,1),
berlindung berbagai biota niaga, salah satunya
Sonneratia alba (INP 80,66) dan Avicennia sp
adalah kepiting bakau. Kepiting bakau
(INP 48,22). Sedangkan pada jalur 4 vegetasi
memiliki dua tempat berlindunga yaitu
yang ditemukan antara lain Sonneratia alba
perakaran mangrove dan juga lumpur.
(INP 113,62), Bruguiera cylindrical (INP
Kepiting bakau melalui sebagian besar
73,37), Rhizophora mucronata (INP 70,71),
hidupnya di dalam hutan mangrove dan di
Avicennia sp (INP 28,96) dan Rhizophora
sekitar muara sungai. Menurut (Chadijah et
apiculata (INP 13,33). Pada jalur 5
al., 2013) sistem perakaran mangrove
vegetasinya adalah Sonneratia alba (INP
merupakan tempat yang aman bagi kepiting
141,67), Rhizophora mucronata (INP 89,31),
bakau untuk berlindung dalam keadaan tubuh
Bruguiera cylindrical (INP 34,87) dan
yang lunak setelah proses penggantian kulit.
Avicennia sp (INP 34,14), dan pada jalur
terakhir ditemukan vegetasi Avicennia sp
Vegetasi (INP 140,94), Sonneratia alba (INP 85,81),
Berdasarkan hasil penelitian yang Bruguiera cylindrical (INP 28,44),
dilakukan ternyata ditemukan 5 jenis vegetasi Rhizophora apiculata (INP 23,02) dan
pada tingkat pohon. Pada jalur 1 hanya Rhizophora mucronata (INP 21,78).
ditemukan 2 jenis yaitu Rhizophora Sedangkan pada tingkat pancang dan
mucronata (INP 160,44) dan Rhizophora semai dijumpai jenis-jenis antara lain
apiculata (INP 139,56). Selanjutnya pada Avicennia sp, Bruguiera cylindrical,
jalur 2 vegetasi yang ditemukan antara lain Rhizophora apiculata, Rhizophora
Rhizophora mucronata (INP 125,62), mucronata, dan Sonneratia alba.
Rhizophora apiculata (INP 87,52),

DOI: 10.30598.jhppk.2022.6.2.177
183
ISSN ONLINE: 2621-8798
Keadaan vegetasi mangrove yang Dari hasil pengamatan, terlihat bawah
cukup baik dapat memberikan pengaruh kepiting bakau juga menggunakan akar-akar
terhadap keadaan satwa. Mangrove sangat dari mangrove sebagai tempat untuk
bermanfaat bagi ekosistem karena hutan berlindung. Hal ini dapat terjadi apabila
Mangrove menangkap dan mengumpulkan kepiting tersebut merasah terancam, maka
sedimen yang terbawa arus pasang surut dari dengan dengan cepatnya mereka bersembunyi
daratan lewat aliran sungai. Mangrove juga dibalik akar mangrove misalnya pada akar-
berfungsi menghasilkan berbagai makanan akar cabang Rhizophora, Bruguiera,
yang dibutuhkan oleh kepiting bakau dalam Avicennia dan sebagainya. Berdasarkan hasil
bentuk material organik maupun jenis pakan penelitian yang dilakukan ternyata ditemukan
alami lainnya. Ketersediaan pakan alami, 5 jenis Mangrove Avicennia sp, Bruguiera
produktivitas maupun kualitas habitat cylindrical, Rhizophora apiculata,
ekosistem mangrove sangat mempengaruhi Rhizophora mucronata dan Sonneratia alba.
keberlangsungan kehidupan kepiting bakau di
dalam meningkatkan kualitas hidupnya.

Tabel 1. Analisa kerapatan vegetasi tingkat pohon


Kerapatan (Individu/ha)
Jalur Jenis
Pohon Pancang Semai
Rhizophora apiculata 104,2 83.3 75
1
Rhizophora mucronata 125 70,8 37,5
Avicennia sp 16,67 8,33 -
Bruguiera cylindrical 16,67 12,5 8,33
2 Rhizophora apiculata 62,5 20,8 37,5
Rhizophora mucronata 100 79,2 62,5
Sonneratia alba 33,3 20,8 -
Avicennia sp 25 31,3 25
3 Bruguiera cylindrical 81,25 50 25
Sonneratia alba 43,75 25 -
Avicennia sp 25 25 6,25
Bruguiera cylindrical 56,25 50 25
4 Rhizophora apiculata 6,25 12,5 0
Rhizophora mucronata 43,75 37,5 37,5
Sonneratia alba 62,5 25 25
Avicennia sp 18,75 12,5 18,75
Bruguiera cylindrical 31,25 18,8 25
5
Rhizophora mucronata 68,75 62,5 37,5
Sonneratia alba 50 31,3 12,5
Avicennia sp 83,33 50 25
Bruguiera cylindrical 16,7 16,7 16,7
6 Rhizophora apiculata 8,33 - -
Rhizophora mucronata 8,33 33,3 16,7
Sonneratia alba 50 33,3 50

Pada jalur 1 hanya ditemukan 2 jenis, tingkat pancang sebesar 83,3 individu/ha, dan
yaitu Rhizophora apiculata dan Rhizophora kerapatan tingkat semai 75 individu/ha,
mucronata. Kerapatan Rhizophora apiculata sedangkan kerapatan untuk Rhizophora
pada tingkat pohon adalah 104,2 individu/ha, mucronata pada tingkat pohon adalah 125

DOI: 10.30598.jhppk.2022.6.2.177
184
ISSN ONLINE: 2621-8798
individu/ha, tingkat pancang 70,8 individu/ha, 81,25 individu/ha dan50 individu/ha,
dan pada tingkat semai adalah 37,5 sedangkan kerapatan pada tingkat semai
individu/ha. Kedua jenis Rhizophora ini didominasi oleh 2 jenis, yaitu Sonneratia alba
mendominassi jalur 1 karena Rhizophora 25 individu/ha dan Avecennia sp 25
apiculata dan Rhizophora mucronata telah individu/ha. Pada jalur 4 ditemukan 5 jenis
beradaptasi dengan baik pada lingkungan mangrove, yaitu Sonneratia alba, Bruguiera
tersebut. cylindrical, Rhizophora mucronata,
Pada jalur 2 ada 5 jenis mangrove yang Avicennia sp, dan Rhizophora apiculata.
ditemukan, yaitu Avicennia sp, Bruguiera Kerapatan tingkat pohon didominasi oleh
cylindrical, Rhizophora apiculata, Sonneratia alba 62,5 individu/ha dan
Rhizophora mucronata dan Sonneratia alba. Bruguiera cylindrical 56,25 individu/ha,
Jenis Rhizophora mucronata juga tingkat pancang didominasi oleh Bruguiera
mendominasi pada jalur 2, dengan kerapatan cylindrical 50 individu/ha dan tingkat semai
pada tingkat pohon 100 individu/ha, tingkat didominasi oleh Rhizophora mucronata 37,5
pancang 79,2 individu/ha dan kerapatan individu/ha.
tingkat semai 62,5 individu/ha. Jenis Sedangkan pada jalur 5 pada tingkat
Rhizophora apiculata pada tinggkat pohon pohon didominasi oleh Rhizophora
memiliki kerapatan 62,5 individu/ha, tingkat mucronata 68,75 individu/ha dan Sonneratia
pancang 20,8 individu/ha, dan tingat semai alba 50 individu/ha, pada tingkat pancang dan
37,5 individu/ha. Jenis Sonneratia alba semai kerapatan didominasi Rhizophora
kerapatan tingkat pohon adalah 33,3 mucronata 62,5 individu/ha dan 37,5
individu/ha, tingkat pancang adalah 20,8 individu/ha. Pada jalur terakhir pada tingkat
individu/ha, pada jenis ini tidak ditemukan pohon dan pancang didominasi oleh jenis
tingkat semai. Jenis Avicennia sp, tingkat pohon 83,33
Bruguiera cylindrical kerapatan pada individu/ha, tingkat pancang 50 individu/ha
tingkat pohon 16,67 individu/ha, pada tingkat dan pada tingkat semai didominasi oleh
pancang 12,5 individu/ha, dan pada tingkat Sonneratia alba 50 individu/ha.
semai 8,33 individu/ha. Dan kerapatan pada Hasil penelitian ini menunjukan bahwa
jenis Avicennia sp tingkat pohon adalah 16,67 keadaan vegetasi mangrove pada jalur 1, 2, 3
individu/ha, pada tingkat pancang 8,33 dan jalur 4 cukup rapat, hal ini dilihat dari
individu/ha dan pada tingkat semai tidak penutupan tajuk yang cukup rapat, sedangkan
ditemukan jenis Avicennia sp. pada jalur 5 dan jalur 6 tidak terlalu rapat,
Pada jalur 3 ditemukan 3 jenis dimana pada jalur itu mengalami kerusakan
mangrove, yaitu Bruguiera cylindrical, yang disebabkan oleh aktifitas masyarakat
Sonneratia alba dan Avecennia sp. Kerapatan setempat karena jalur tersebut sangat
jenis yang mendominasi pada tingkat pohon berdekatan dengan pemukiman penduduk
dan pancang adalah Bruguiera cylindrical
.

Lumpur dan suka membenamkan diri dalam lumpur


Berdasarkan hasil pengamatan bahwa dengan cara membuat lubang.
pada siang hari Kepiting Bakau (Scylla Berdasarkan hasil pengamatan
serrata) akan menggali lubang di daerah Kepiting Bakau memiliki kebiasaan
mangrove pada substrat yang lunak untuk bersembunyi atau membenamkan diri di
membenamkan dirinya kedalam lumpur, hali dalam lumpur. Tempat tersebut menjadi
ini dilakukan karena hewan ini besifat bentik tempat tinggal tetap (permanent home site)

DOI: 10.30598.jhppk.2022.6.2.177
185
ISSN ONLINE: 2621-8798
kepiting tersebut selama tempat hidupnya Kepiting bakau di mangrove juga
menyediakan makanan. Dari hasil memainkan peranan ekologis. Lubang-lubang
pengamatan terlihat bahwa pada setiap jalur yang digalinya selain berlindung dan mencari
yang diamati terdapat lubang-lubang kepiting. makan, juga berfungsi sebagai media untuk
Lubang ini berfungsi sebagai tempat melewatkan oksigen agar dapat masuk ke
perlindungan dari predator dan sebagai bagian substrat yang dalam sehingga dapat
bantuan dalam mencari makanan. memperbaiki kondisi anoksik dalam substrat
mangrove.

Populasi Kepiting Bakau (Scylla serrata) sampel yang dibuat. Berdasarkan pengamatan
Pendugaan populasi kepiting bakau maka penaksiran populasi kepiting bakau
melalui pengamatan secara langsung yakni dalam 6 jalur sampel adalah sebagai berikut :
melalui metode “CMRR” pada jalur-jalur
Tabel 2. Hasil penangkapan kepiting bakau (scylla serrata) pada tiap jalur pengamatan

Jalur Penangkapan 1 Penangkapan 2


Kelimpahan
Sampel (*)
Bertanda Tak Bertanda
1 8 3 7 15
2 10 6 2 12
3 5 3 3 8
4 5 2 2 7
5 2 2 3 5
6 - - - -
Jumlah 30 14 17 48

Hasil penelitian menujukan bahwa lainnya tidak, pada jalur kedua ditemukan 8
keberadaan satwa Kepiting Bakau (Scylla ekor, enam bertanda dan dua tidak bertanda,
serrata) sangat dipengaruhi oleh habitat pada jalur ketiga ditemukan 6 ekor, tiga
kepiting bakau itu sendiri. Pada hari pertama bertanda dan tiga lainnya tidak, pada jalur
dijalur satu ditemukan 8 ekor kepiting bakau, keempat ditemukan 4 ekor, dua bertanda dan
pada jalur kedua ditemukan 10 ekor, jalur dua lainya tidak bertanda, pada jalur kelima
ketiga ditemukan 5 ekor, pada jalur keempat ditemukan 5 ekor, 2 ekor bertanda dan 3 ekor
ditemukan 5 ekor, pada jalur kelima tidak bertanda dan pada jalur terakhir tidak
ditemukan 2 dan pada jalur terakhir tidak ditemukan Kepiting Bakau (Scylla serrata).
ditemukan Kepiting Bakau (Scylla serrata). Dari hasil perhitungan, maka jumlah
Pada hari ketujuh saat penangkapan Estimasi Populasi Kepiting Bakau (Scylla
kembali pada jalur pertama ditemukan 10 serrata) adalah sebagai berikut
ekor, 3 ekor diantaranya bertanda dan 7 ekor
:

(𝑀+1)(𝐶+1)
𝑁= (𝑅+1)
−1

(30+1)(31+1)
𝑁= (14+1)
− 1

𝑁 = 65,13

DOI: 10.30598.jhppk.2022.6.2.177
186
ISSN ONLINE: 2621-8798
= 65 𝐸𝑘𝑜𝑟

Sedangkan untuk variansnya adalah sebagai berikut :

(𝑀+1)(𝐶+1)(𝑀−𝑅)(𝐶−𝑅)
𝑆2 = (𝑅+1)2 (𝑅+2)

(30+1)(31+1)(30−14)(31−14)
𝑆2 = (14+1)2 (14+2)

𝑆 2 = 74,95

= 74

Interval Kepercayaan dari Estimasi Populasi adalah sebagai berikut :

𝑁 ± 𝑍1−𝛼 √𝑆 2
2

65 ± 1,96√74

65 ± 16,86

Berdasarkan hasil perhitungan di atas untuk melakukan regenerasi. Dan dari hasil
maka, dapat diketahui bahwa Dugaan wawancara dengan masyarakat sekitar hutan
Populasi kepiting bakau (Scylla serrata) mangrove, diketahui bahwa Kepiting Bakau
sebanyak 65 ekor dengan batas kelas atas 81 (Scylla serrata) sering diburu oleh masyarakat
ekor dan batas kelas bahwa 48 ekor. sekitar. Populasi kepiting bakau pada jalur
Faktor lain yang mempengaruhi pengamatan juga dipengaruhi oleh aktivitas
kepiting bakau yakni penangkapan kepiting berburu tersebut. Ancaman terhadap kepting
bakau di ekosistem mangrove tidak dilakukan bakau tidak hanya penangkapan saja tetapi
secara selektif, sehingga kepiting bakau yang juga oleh kerusakan ekosistem mangrove
sedang matang gonad dan siap memijah pun seperti pengambilan kayu.
tertangkap dan tidak mempunyai kesempatan

Tabel 3. Hasil analisa kepadatan kepiting bakau (Scylla serrata)


Jenis Jalur 1 Jalur 2 Jalur 3 Jalur 4 Jalur 5 Jalur 6
K K K K K K
Scylla serrata
62,5 50 50 43,75 31,25 -

Kepadatan kepiting bakau yang didapat individu/ha. Kepadatan kepiting bakau pada
berkisar antara 31,25-62,5 individu/ha. jalur 1 lebih tinggi dibandingkan kepadatan
kepadatan kepiting bakau terendah terdapat kepiting bakau pada jalur lainnya, hal ini
pada jalur 5 yaitu sebesar 31,25 individu/ha berhubungan dengan kerapatan mangrove
dan kepadatan kepiting bakau tertinggi yang pada jalur 1 juga cukup tinggi, hal ini
terdapat pada jalur 1 sebesar 62,5 individu/ha. berpengaruh terhadap jumlah bahan organik
Hasil penelitian di jalur 1, didapat yang dihasilkan akan lebih banyak.
kepadatan kepiting bakau sebesar 62,5

DOI: 10.30598.jhppk.2022.6.2.177
187
ISSN ONLINE: 2621-8798
Pada jalur 2, 3 dan jalur 4, kepadatan terganggu. Kerapatan mangrovenya pun
kepiting bakau yang diperoleh sama adalah 50 rendah sehingga keberadaan kepiting menjadi
individu/ha, hal ini dipengaruhi oleh letak sedikit mengingat serasah yang dihasilkan
jalur yang berdekatan dengan pemukiman juga sedikit.
pendudukyang mengganggu ekosistem Hasil penelitian menunjukan bahwa
mangrove. Dilihat juga dari kerapatan dari keenam jalur yang diteliti ternyata
mangrove di jalur 2, 3 dan jalur 4 juga lebih populasi kepiting terbanyak ada pada jalur 1
rendah dari jalur 1 yang berpengaruh terhadap dan 2 sedangkan pada jalur 3, 4 dan jalur 5
ketersedian pakan alami. Dan juga pada jalur- sedikit bahkan pada jalur 6 tidak
jalur ini sudah adanya aktivitas manusia yang ditemukannya kepiting bakau. Hal ini
memanfaatkan hutab mangrove sehingga disebabkan karena habitat pada jalur 1 dan 2
berpengaruh terhadap keberadaan kepiting masih sangat baik apabila di bandingkan
bakau dengan habitat pada jalur 3, 4, 5 dan jalur 6.
Pada jalur 5 kepadatan kepiting bakau Dimana pada jalur tersebut habitat mengalami
yang paling rendah dibandingkan dengan jalur kerusakan akibat dari aktifitas masyarakat
yang lainnya, dikarenakan pemukiman setempat karena lokasi yang berdekatan
penduduk di sekitar jalur dan adanya berbagai dengan pemukiman masyarakat dan juga
macam limbah yang berasal dari pemukiman dipengaruhi oleh jenis substrat.
serta lebih tingginya aktivitas manusia di
kawasan ini menyebabkan ekosistem

KESIMPULAN dirinya dalam lumpur. Sedangkan


1. Populasi dugaan kepiting bakau habitat makannya pada vegetasi
(Scylla serrata) yang ditemukan mangrove yang memiliki kerapatan
sebesar 65 ekor dengan batas kelas baik, karena makanannya berupa
bawah 48 ekor dan batas kelas atas 81 daun-daun yang berguguran, biota-
ekor. biota perairan yang ada pada hutan
2. Komponen habitat kepiting bakau mangrove.
(Scylla serrata) yang ditemukan pada 3. Kepiting bakau (Scylla serrata) dapat
lokasi penelitian diantaranya yaitu ditemukan dengan adanya keberadaan
habitat berlindung (Cover) dari lubang di lumpur dan perakaran
predator maupun sinar matahari mangrove dalam jalur dan
adalah dengan bersembunyi dipengaruhi oleh pasang surut air la
menggunakan akar-akar mangrove
maupun dengan cara membenamkan

DAFTAR PUSTAKA Alikodara H S. 1990. Pengelolaan satwa liar


(Jilid 1). Fakultas Kehutanan Institut
Alamsyah, R., Liswahyuni, A., Permatasari, Pertanian Bogor. Penerbit IPB. Bogor.
A. 2017. Dinamika Populasi Kepiting
Alikodra, H. S. 2002. Pengelolaan Satwa Liar.
Bakau (Scylla sp.) di Perairan
Fakultas Kehutanan Institut Pertanian
Kabupaten Sinjai. Biogenesis. 5 (2):
Bogor. Bogor.
pp.111-116.
Anonim. 2015. Better Management Practices
Seri Panduan Perikanan Skala Kecil
Kepiting Bakau (Scylla sp.) Panduan

DOI: 10.30598.jhppk.2022.6.2.177
188
ISSN ONLINE: 2621-8798
Penangkapan dan Penanganan. WWF- and Forest in the Indo-West Pasific
Indonesia. Jakarta. Region”. Adv. Mar. Biol,Vol. 6:pp. 73-
270.
Browe, JE, Zar JH. (1990). Field and
Laboratory Methods for General Madiama, S., Muryani, C., Santoso, S. 2016.
Ecology. Third Edition. Debuque, Kajian Perubahan Luas dan
Lowa: C. Brown Publisher. Pemanfaatan serta Persepsi Masyarakat
terhadap Pelestarian Hutan Mangrove
Chadijah, A., Yusli W., Sulistiono. 2013.
di Kecamatan Teluk Ambon Baguala.
Keterkaitan Mangrove, Kepiting Bakau
Jurnal GeoEco.Vol. 2 (2):pp.170-183.
(Scylla Olivacea) Dan Beberapa
Parameter Kualitas Air Di Perairan Mamik. 2015. Metodologi Kualitatif.
Pesisir Sinjai Timut. Jurnal Ilmu Zifatama Publisher. Sidoarjo.
Perikanan. Universitas Muhammadyah
McCrea R. S, Morgan B. J T. 2015. Analysis
Makassar.
of Capture-Recapture Data. CRC Press
Chapman, D. G. (1951). Some properties of Taylor & Francis Group. London, New
the hypergeometric distribution with York.
applications to zoological censuses.
Nurcahyono E, Raharjo S, Subali I, Jasmo.
Univ. Calif. Pub. Stat., 1, 131-180.
2019. Petunjuk Teknis Pembenih
English, et, al,. 1994. Survey Manual for Kepiting Bakau Scylla serrate. Balai
Tropical Marine Resources. Australian Besar Perikanan Budidaya Air Payau.
Institute of Marine Science. Jepara.
Townsville. Australia
Pattimahu Debby V, Soselisa Fanny. 2020.
Ghufran M. H., Kordik K. Budi Daya Perairan Mangrove Distribution and Its
Buku Kesatu. PT. Citra Aditya Bakti. Imperative for a Collaborative
Bandung. 2008. Ecosystem Management Approach in
Maluku. International Journal of
Hidayat, T., Yusuf, N. H., Nurulludin., Pane,
Applied Engineering Research.
A. R. P. 2017. Parameter Populasi
Volume 15(12) (2020).
Kepiting Bakau (Scylla serrata) di
http://ripublication.com
Perairan Pasaman Barat. Bawal.Vol. 9
(3):pp. 207-213. Poedjirahajoe, Erny. 2019. Ekosistem
Mangrove Karakteristik Fungsi dan
Hubatsch H.A., Lee S.Y., Meynecke J.O.,
Dinamikanya. Gosyen Publishing.
Diele K., Nordhaus I., Wolff M. 2015.
Yogyakarta.
Life-history, movement, and Habitat
use of Scylla serrate (Decapoda, Pramudji, Sapulete. D, Hermanto. 1990. Studi
Portunidae) : Current Knowledge and Hutan Mangrove di Wilayah Maluku.
Future Challenges. Jounal of Jurnal Perairan Maluku dan Sekitarnya.
Hydrobiologia. 763:5-21.
Rangkuti A. M., Muhammad R. C.,
Kanna I. 2002. Budi Daya Kepiting Bakau Rahmawati A., Yulma, Hasan E. A.
Pembenihan dan Pembesaran. 2017. Ekosistem Pesisir dan Laut
Kanisius. Yogyakarta. Indonesia. Bumi Aksara. Jakarta.
Kasry, A. 1996. Budidaya Kepiting Bakau dan Setyobudiandi, I., Sulistiono., Yulianda, F.,
Biologi Ringkas, Jakarta: Bhratara. Kusmana, C., Hariyadi, S., Damar, A.,
Sembiring, A., Bahtiar. 2009. Sampling
MacGinitie, G.E., & Nettie MacGinitie.
dan Analisis Data Perikanan dan
(1949). Natural History of Maribe
Kelautan Terapan Metode Pengambilan
Animals, First Edition. New York:
Contoh di Wilayah pesisir dan Laut.
McGraw-Hill Book Company.
Fakultas Perikanan dan Kelautan
Macnae, W.. 1968. “A General Account of the Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Fauna and Flora of Mangrove Swamp

DOI: 10.30598.jhppk.2022.6.2.177
190
ISSN ONLINE: 2621-8798
Skalski J. R, Robson D. S. 1992. Techniques Yusri Karim. Muh. 2012. Kepiting Bakau
for Wildlife Investigations Design and (Bioekologi, Budidaya, Dan
Analysis of Capture Data. Academic Pembenihannya). Makassar.
Press, Inc. San Diego, California.
Sumarto S, Koneri R. 2016. Ekologi Hewan.
CV. Patra Media Grafindo. Bandung.
Supriatna, J. 2018. Konservasi Biodiversitas
Teori dan Praktik di Indonesia.
Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Indonesia.
Suyadi. 2009. Kondisi Hutan Mangrove Di
Teluk Ambon: Prospek dan Tantangan.
Berita Biologi 9(5). Bogor.
Tirtadanu., Chodrijah, U. 2018. Parameter
Populasi dan Tingkat Pemanfaatan
Kepiting Bakau (Scylla serrata
Forsskal, 1775) di Perairan Sebatik,
Kalimantan Utara. Jurnal Penelitian
Perikanan Indonesia. Vol 24 (3):pp.
187-196.
Waas, H. J.C, dan Nababan B., 2010.
“Pemetaan dan Index Vegetasi
Mangrove di Pulau Saparua Maluku
Tengah”. E-Jurnal dan Teknologi
Kelautan Tropis Vol 2(1): pp.50-58).
Ambon.
Wida, S. 2013. Pengaruh Kerapatan
Mangrove Terhadap Ketersedian Pakan
Alami dan Kelimpahan Kepiting Bakau
(Scylla Sp) di Kawasan Hutan
Mangrove Desa Kedawang Kecamatan
Nguling Kabupaten Pasuruan Jawa
Timur. Skripsi. Jurusan Manajemen
Sumberdaya Perairan. Universitass
Brawijaya. Malang.
Wijaya, N. I., Kurniawati, F., Trisyani, N.
2018. Biologi Populasi Kepiting Bakau
(Scylla serrata F.) di Ekosistem
Mangrove Pamurbaya. Implementasi
Hasil Riset Sumber Daya Laut dan
Pesisir dalam Rangka Mencapai
Kemandirian Ekonomi Nasioanal.
Seminar Nasional Kelautan XIII. 12 juli
2018. Fakultas Teknik dan Ilmu
Kelautan Universitas Hang Tuah,
Surabaya.

DOI: 10.30598.jhppk.2022.6.2.177
190
ISSN ONLINE: 2621-8798
DOI: 10.30598.jhppk.2022.6.2.177
182
ISSN ONLINE: 2621-8798
DOI: 10.30598.jhppk.2022.6.2.177
182
ISSN ONLINE: 2621-8798

Anda mungkin juga menyukai