Anda di halaman 1dari 15

TUGAS MATA KULIAH BIODIVERSITAS DAN BIOLOGI LINGKUNGAN

Oleh : Muchlas Fahman Arief (19600010111021)


Program Magister PSLP Universitas Brawijaya

RENCANA AKSI PENINGKATAN PRODUKTIVITAS KERANG BAMBU


(SOLEN SPP) SEBAGAI BIOINDIKATOR MUTU AIR DI PESISIR
SELATAN MADURA

1. Pendahuluan
Suatu kenyataan bahwa, hampir dua pertiga wilayah Indonesia merupakan
lautan yang dikelilingi kurang lebih 81.000 km garis pantai dengan jumlah pulau
sekitar 17.000 buah menyimpan potensi sumberdaya alam non hayati tak
terbaharui, sumberdaya dapat diperbaharui (renewable resources), dan energi jasa
lingkungan yang sangat besar dan belum secara optimal dikelola dan
dimanfaatkan untuk mendukung laju pembangunan nasional. Pulau Madura
sendiri menyimpan potensi sumber daya kelautan yang sangat besar. Garis pantai
yang mengelilingi wilayah Madura merupakan garis pantai yang sangat panjang
karena banyaknya pulau (sekitar 78 pulau) dan yang berpenghuni sekitar 50 pulau.
Panjangnya garis pantai Pulau Madura berbanding lurus dengan potensi hasil laut
yang melimpah.
Sebagian besar penduduk Madura berprofesi sebagai nelayan. Semangat
”Asapok Angin Abental Ombak” (Berselimut angin berbantal ombak) tetap ada
dari dulu sampai sekarang dan menjadi ungkapan yang dikenal anak-anak muda di
Madura. Hal itu mengisyaratkan bahwa masyarakat Madura memiliki hubungan
yang erat dengan laut. Hasil perikanan laut di Madura antara lain jenis-jenis ikan
pelagis (permukaan), ikan karang, termasuk juga kerang-kerangan.
Salah satu jenis kerang-kerangan yang sangat digemari baik oleh masayarakat
Madura sendiri maupun bukan adalah Kerang Bambu atau sebagian orang
menyebutnya kerang pisau. Kerang bambu merupakan salah satu jenis moluska
dari kelas Bivalvia yang nilai ekonomisnya tinggi (Nurjanah et al., 2008). Biota
ini bersembunyi atau menggali secara vertikal pada sedimen dan akan sedikit
keluar pada saat surut. Kerang tersebut banyak ditemukan di sepanjang perairan
Pantai Selatan Pamekasan, Madura dengan ciri pantai yang landai dan datar
sehingga jika air laut surut jarak air dengan garis pantai dapat mencapai 200 – 300
m (Nurjanah et al., 2008; Abroni, 2012).

Gambar 1.1 Kerang Bambu


Kehidupan Kerang bambu sangat dipengaruhi oleh sedimen dasar
perairan. Menurut Nybakken (1982) dalam Riniatsih dan Kushartono (2009)
umumnya Gastropoda dan Bivalvia hidup pada sedimen untuk menentukan pola
hidup, ketiadaan dan tipe organisme. Ukuran sangat berpengaruh dalam
menentukan kemampuan sedimen tersebut menahan sirkulasi air. Bahan organik
dan tekstur sedimen menentukan keberadaan Gastropoda dan Bivalvia, dimana
sedimen merupakan tempat untuk hidup, sedangkan bahan organik mempengaruhi
fitoplankton yang merupakan sumber makanan.
Sebagai salah satu biota laut yang nilai ekonomisnya tinggi, kerang bambu
banyak dicari oleh masayarakat di Madura untuk diolah menjadi makanan ataupun
makanan ringan. Seiring waktu, kerang bambu mengalami penurunan jumlah dan
semakin hari harganya semakin tinggi. Sebagai contoh, kerang bambu dalam
bentuk kering siap konsumsi harganya sekitar 25 ribu sampai dengan 40 ribu per
100 gr nya, semakin hari semakin mengalami peningkatan karena semakin
sulitnya mendapatkan kerang bambu.
2. Pembahasan
2.1. Kerang Bambu Sebagai Bioindikator Kualitas Perairan di Pesisir
Selatan Madura.
Kerang bambu adalah salah satu makanan favorit warga Madura, harganya
yang fantastis dan mengalami kenaikan setiap tahunnya membuat kerang ini
menjadi banyak dicari. Kerang Bambu (Solen Spp) memang bernilai ekonomi
yang tinggi karena memiliki kandungan gizi yang sangat baik. Kerang bambu atau
dalam bahasa Madura kerap disebut “lorjuk” hidup di habitat pesisir yang
berlumpur. Hewan ini bertahan hidup dengan cara bersembunyi secara vertical
pada pasir dan sedikit keluar saat air surut. Tak semua pantai menjadi habitat
kerang bambu, kerang ini hanya dapat ditemukan di sepanjang perairan panta
yang datar dan landau.
Tabel 1. Kandungan Gizi Kerang Bambu (Solen spp)

Sumber : Nurjanah et al. (2008).


2.1.1. Habitat Kerang Bambu
Kerang bambu (Lorjuk) ditemukan pada jenis sedimen pasir berlumpur,
semakin tinggi kandungan pasir pada sedimen maka semakin tinggi kepadatannya.
Jenis sedimen pasir mempunyai pertukaran air yang cepat sehingga menambah
persediaan oksigen dan merupakan penyangga yang baik bagi perubahan suhu dan
salinitas yang besar. Adanya campuran lumpur cenderung mengakumulasi bahan
organik. Bahan organik ini dimanfaatkan oleh fitoplankton yang merupakan
sumber makanan bagi Lorjuk (Hartoko, 2013). Kerang ini menyukai habitat
sedimen pasir berlumpur disebabkan morfologi kerang yang memanjang dan
memiliki pola hidup dengan cara menggali ke dalam sedimen. Dari pola tersebut
sedimen pasir sangat memungkinkan untuk ditinggali karena pada sedimen ini
memiliki pore water lebih besar, sehingga tekanan yang dihasilkan juga lebih
besar. Tekanan tersebut akan mempermudah dalam pergerakan kerang untuk
masuk atau keluar sedimen (Hartoko, 2013).
Sebaran individu yang mengelompok disebabkan biota tersebut memilih
hidup pada habitat yang paling sesuai, baik sesuai dengan faktor fisika-kimia
perairan maupun tersedianya makanan. Faktor fisika dan kimia yang merata pada
suatu habitat serta tersedianya makanan bagi biota yang hidup didalamnya
menentukan biota tersebut hidup berkelompok. Beberapa pengaruh parameter
lingkungan terhadap habitat kerang yaitu ukuran pasir, kondisi pasir, gelombang
dan arus (Hartoko, 2013).
2.1.2. Pola Hidup Kerang Bambu
Pola hidup kerang bambu (Lorjuk) yaitu dengan cara menggali ke dalam
sedimen. Lorjuk menyukai habitat sedimen pasir berlumpur disebabkan morfologi
kerang yang memanjang. Dari pola tersebut sedimen pasir sangat memungkinkan
untuk ditinggali, karena pada sedimen ini memiliki pore water lebih besar
sehingga tekanan yang dihasilkan juga lebih besar. Tekanan tersebut akan
mempermudah dalam pergerakan kerang untuk masuk atau keluar sedimen
(Hartoko, 2013). Kerang bambu tidak hanya hidup meliang di substrat, biota ini
mampumerayap dipermukaan substrat dan berenang. Kerang ini mampu bergerak
aktif untuk mencari substrat yang sesuai dengan keinginannya. Kerang bambu
(Lorjuk) mampu menancapkan kaki dengan sangat kuat di substrat dan mampu
menggali lubang dengan sangat cepat. Kerang bambu akan memberikan pancaran
air pada saat membuat lubang. Pancaran air berfungsi sebagai tekanan, sehingga
kerang ini mampu dengan cepat masuk ke dalam substrat. Pola hidup Lorjuk
dapat dilihat pada Gambar 3 (Nurjanah, 2013)
Gambar 2.5 Pola Hidup Kerang Bambu (Nurjanah, 2013)
2.1.3. Makanan Kerang Bambu
Kerang bambu (Lorjuk) termasuk family Solenidae dimana memperoleh
makanan dengan cara filter feeder dengan makanan utamanya yaitu fitoplankton.
Ketika spesies ini mengambil nutrisi dari air laut melalui siphon melewati insang,
sehingga organ ini teradaptasi untuk memilah dan mengambil partikel makanan
yang kemudian disalurkan melalui ciliarly currents menuju mulut oleh labial palp
(Breen et al., 2011). Kebanyakan Solenidae mempunyai kaki otot yang
disesuaikan untuk meliang. Ketika dewasa jaringan gonad berada di bagian
abdomen hingga di dalam kaki otot (Couñago and Gómez, 2011). Biota yang
termasuk filter feeder dimana makanannya berupa fitoplankton, lebih banyak
ditemukan pada karakteristik substrat berupa pantai berpasir. Sebagian besar
berupa pasir kuarsa, dan sebagian kecil berupa pasir yang mengandung zat kapur
(calcareous). Pada Kerang bambu (Lorjuk) dalam satu spesies tidak hidup terbatas
pada substrat pasir dengan karakteristik mineralisasi tertentu, misalnya derajat
tingkat kebulatan butiran ataupun tekstur permukaan (Breen et al., 2011).
2.1.4. Reproduksi Kerang Bambu
Kerang bambu (Lorjuk) merupakan hewan dioecious, yaitu dalam satu
individu hanya terdapat satu jenis kelamin jantan atau betina. Pemijahan
dilakukan secara eksternal di perairan. Hasil penggabungan sel sperma dan sel
telur selanjutnya membentuk larva veliger. Larva Kerang bambu (Lorjuk) juga
mengalami fase planktonik sekitar satu bulan, sebelum akhirnya menetap di
substrat. Belum ada hasil penelitian yang pasti yang bisa menegaskan apakah
larva Solen memiliki kemampuan untuk memilih substrat atau proses menempati
substrat ini terjadi secara pasif yang ditentukan oleh hidrodinamika laut, factor
biotik dan abiotik, serta kesempatan. Setelah larva menetap pada substrat, larva
akan mengalami perkembangan menjadi juvenile dan selanjutnya akan
berkembang menjadi dewasa (Breen et al. 2011).
Musim pemijahan Kerang bambu (Lorjuk) umumnya berbeda-beda pada
setiap lokasi. Pemijahan Razor clam dimulai pada bulan April atau Mei dan
pemijahan kedua pada bulan Agustus atau September di perairan laut Dutch
Wadden. Di Spanyol Solen sp atau Kerang bambu pemijahan dimulai pada musim
panas, bersamaan dengan fenomena upwelling dan blooming fitoplankton. Pada
perairan pesisir selatan Argentina dan Chili Solen sp atau Kerang bambu diduga
memijah selama musim semi dan akhir musim gugur (Baron et al. 2004).
Reproduksi Solen sp atau Kerang bambu dipengaruhi oleh variasi musim, kondisi
lingkungan, ketersediaan makanan, dan karakteristik genentik. Reproduksi Kerang
bambu (Lorjuk) selain dipengaruhi oleh suhu, juga dipengaruhi oleh konsentrasi
klorofil-a di perairan (Darriba et al, 2004).
2.1.5. Hubungan Panjang Berat
Pertumbuhan dapat dirumuskan sebagai pertambahan panjang dan berat
dalam suatu waktu tertentu. Pertumbuhan dalam individu adalah pertumbuhan
jaringan akibat pembelahan sel secara mitosis. Hal ini terjadi jika kelebihan input
energi dan asam amino (protein) dari makanan, sebab bahan dari makanan akan
digunakan oleh tubuh untuk melakukan metabolisme dasar, pergerakan,
reproduksi, produksi organ seksual, perawatan bagian-bagian tubuh dan
sebagainya. Dalam perhitungan panjang dan berat ini ada bagian yang disebut
analisis Weighted Regression. Pada analisis ini terdapat suatu persamaan garis
lurus yaitu Log W = Log a + b Log L. Harga b disini adalah harga pangkat yang
harus cocok dari panjang ikan yang kurus, dimana pertumbuhan panjangnya lebih
cepat dari pertumbuhan beratnya. Sedangkan jika harga b lebih besar dari tiga,
menunjukkan ikan tersebut montok, dimana pertumbuhan beratnya lebih cepat
dari pertumbuhan panjangnya (Effendie, 2002). Berat dapat di anggap sebagai
suatu fungsi dari panjang. Hubungan panjang dan berat hampir mengikuti hukum
kubik yaitu berat ikan sebagai pangkat tiga dari panjangnya. Tetapi hubungan
yang terdapat pada ikan sebenarnya tidak demikian karena bentuk dan panjang
ikan berbeda-beda (Effendi, 2002).
Perbedaan nilai b pada ikan tidak saja antara populasi yang berbeda dari
spesies yang sama, tetapi juga antara populasi yang sama pada tahun – tahun yang
berbeda yang barangkali dapat diasosiasikan dengan kondisi nutrisi mereka. Hal
ini bisa terjadi karena pengaruh faktor ekologis dan biologis (Ricker, 1975).
Ukuran ikan ditentukan berdasarkan panjang atau beratnya. Ikan yang lebih tua,
umumnya lebih panjang dan gemuk. Pada usia yang sama, ikan betina biasanya
lebih berat dari ikan jantan. Pada saat matang telur, ikan mengalami penambahan
berat dan volume. Setelah bertelur beratnya akan kembali turun. Tingkat
pertumbuhan ikan juga dipengaruhi oleh ketersediaan makanan dilingkungan
hidupnya (Poernomo, 2002)
2.2. Kondisi Wilayah Pesisir Selatan Madura
Degradasi lingkungan merupakan salah satu masalah pelik sekaligus klasik
yang dihadapi oleh pemerintah propinsi/kabupaten/kota, khususnya di daerah
pesisir dan pantai diduga akibat pesatnya perkembangan wilayah oleh berbagai
hal. Tingginya dinamika wilayah pesisir dan pantai menjadi fokus utama dalam
pengelolaan konflik dan kepentingan sebagai upaya untuk meminimalkan
pengaruh degradasi lingkungan. Keberlimpahan sumberdaya di wilayah pesisir
dan pantai menjadi daya tarik, sehingga berpengaruh terhadap faktor fisika, sosio-
ekonomi, dan politik yang saling berkaitan, sekaligus dinamika sistem pantai
dalam upaya pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu dan berkelanjutan
(ICZM) (Solway, 2006; Varghese et al., 2008). Harapannya adalah optimalisasi
dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya di Indonesia sehingga tercapai
perencanaan pengelolaan pesisir (Pratikto, 2003) yang membuka peluang
meningkatkan percepatan pertumbuhan sosio-ekonomi sekaligus melindungi
keseimbangan ekologi. ICZM dapat dijadikan sebagai media kontrol (Suman,
2007) sehingga dapat mengurangi tekanan ekologi.
Masalah utama yang sering ditemukan di wilayah pesisir selatan Madura
adalah reklamasi. Permasalahannya yaitu kebutuhan masyarakat akan lahan,
overlapping wilayah pemanfaatan, ancaman pencemaran dan degradasi
lingkungan dan zonasi pemanfaatan. Masalah kebutuhan lahan diduga merupakan
ekses dari pembangunan Jembatan Suramadu yang berpotensi menaikkan harga
lahan sehingga membuka peluang adanya konversi lahan dan reklamasi. Kegiatan
ini seringkali berimplikasi negatif karena berpotensi merusak bahkan
menghilangkan ekosistem mangrove, sehingga menurunkan kemampuan daya
dukung lingkungan. Konsekuensi lanjutannya adalah menimbulkan ekonomi
biaya tinggi, khususnya untuk melindungi berbagai infrastruktur penting
diwilayah pesisir.
Selain konversi lahan, reklamasi menjadi salah satu solusi untuk memenuhi
kebutuhan lahan didaerah pesisir dan telah diterapkan. Kecamatan Camplong
merupakan salah satu daerah yang mengalami dua hal tersebut, yaitu konversi
lahan dan reklamasi. Daya dukung lingkungan menjadi turun disebabkan daerah
sepanjang pantai di Kecamatan Camplong mengalami abrasi akibat lokasinya
terekspose dan terbuka terhadap serangan gelombang laut. Jika kondisi tersebut
tidak memperoleh penanganan yang memadai, maka beberapa infrastruktur,
seperti jalan raya (utama) di sisi selatan akan rusak.
Gambar 2.1 Reklamasi Liar di Pesisir Selatan Madura (Kec.Camplong-Sampang)

Gambar 2.2 Abrasi Pantai di Pesisir Madura (Kec.Tanjung-Pamekasan)


Permasalahan kedua adalah overlapping wilayah pemanfaatan. Tumpang
tindih wilayah pemanfaatan terjadi di daerah daratan di sekitar pesisir dan pantai
maupun di wilayah perairannya. Kondisi tersebut muncul diduga erat kaitannya
dengan kepentingan ekonomi sehingga berpengaruh terhadap ketersediaan lahan.
Hal ini menyebabkan overlapping didaerah daratan dalam bentuk konversi hutan
bakau (seharusnya menjadi daerah green belt untuk pelindung alamiah pantai
terhadap serangan gelombang dan arus yang dapat menyebabkan abrasi) telah
dialihfungsikan untuk berbagai kepentingan (seperti pemukiman maupun
industry). Overlapping diperairan dalam bentuk konflik horizontal nelayan dalam
penentuan dan pemanfaatan wilayah penangkapan ikan. Contoh dari overlapping
penggunaan lahan pesisir adalah menjamurnya industry rumah makan di
sepanjang pesisir Madura, hal ini berpotensi menimbulkan polusi sampah
domestic di sekitar insdustri rumah makan tersebut, karena memungkinkan
membuang sampah langsung ke laut.

Gambar 2.3 Rumah Makan di tepi pantai di Kec.Camplong Sampang


Berbagai kondisi diatas dapat meningkatkan degradasi lingkungan di daerah
sekitar pesisir dan pantai. Beberapa kegiatan industri berpotensi untuk membuang
limbah ke perairan laut jikalau tidak memiliki IPAL yang memadai. Limbah
buangan dari berbagai aktifitas akan terakumulasi di perairan. Untuk memperkuat
asumsi tersebut disarankan untuk melakukan penelitian terkait, baik dari sisi
biologi, fisika, kimia, maupun geologi. Selain itu, topografi wilayah di Kabupaten
Sampang berupa cekungan dibeberapa daerah menyebabkan banjir, baik pada
waktu musim hujan maupun kemarau (yang sering disebut sebagai ROB=banjir
air laut karena pasang tertinggi), sehingga perlu solusi untuk meminimalkan
kerugian yang diderita masyarakat. Adanya kecenderungan degradasi lingkungan
memberikan pengaruh terhadap zonasi pemanfaatan di wilayah pesisir dan pantai.
Gambar 2.4 Banjir Rob di Kabupaten Pamekasan.
Dalam penentuan rencana zonasi, khususnya pemanfaatan, perlu dan selalu
mempertimbangkan banyak aspek dan kepentingan, sehingga membuka peluang
adanya kompromi yang memungkinkan untuk menimbulkan pelanggaran
(perda/perbub atau sejenisnya) terkait RTRW wilayah pesisir dan pulau-pulau
kecil.
Jika dsimpulkan maka Pencemaran Pantai di wilayah pesisir Selatan Madura
dapat dikelompokkan menjadi beberapa factor sebagai berikut :
a. Penebangan hutan Mangrove
Masyarakat pesisir pantai menebang hutan mangrove untuk dijadikan
pertambakan. Selain itu, kayu- kayu dari pohon mangrove juga dijual dan
dijadikan pondasi bangunan. Kegiatan tersebut sangat mengganggu
regenerasi dan menghambat proses suksesi hutan mangrove. Hal ini
menyebabkan terjadi abrasi, dan hilangnya beberapa ekosistem pulau
b. Pencemaran sampah anorganik
Daerah dengan pencemaran tingkat tinggi merupakan daerah pesisir padat
penduduk. Salah satu sumber pencemaran ekosistem pesisir tersebut adalah
pencemaran limbah kegiatan rumah tangga, terutama sampah anorganik
seperti botol plastik dan kaleng yang sangat sulit terurai. Misalnya, untuk
mengurai satu botol plastik dibutuhkan waktu sekitar 450 tahun. Hal tersebut
tentu membuat kelestarian ekosistem pantai semakin terancam.
c. Exploitasi sumber daya alam yang berlebihan
Bentuk eksploitasi pantai diantaranya adalah penambangan pasir,
penambangan terumbu karang dan eksploitasi ikan berlebihan. Banyak
nelayan yang menggunakan alat penangkap ikan yang tidak ramah
lingkungan demi mendapatkan hasil tangkapan ikan yang melimpah. Hal
tersebut tentu merusak habitat terumbu karang. Kelangkaan terumbu karang
dan berkurangnya pasir laut menyebabkan bertambahnya kedalaman perairan
dangkal sehingga gelombang laut tidak bisa diredam dan sampai ke pantai
dengan energi yang cukup besar
d. Reklamasi pantai sembarangan
Peninggian muka air laut yang tidak direncanakan dengan baik dapat
menyebabkan daerah pantai di sekitar reklamasi menjadi rawan tenggelam.
Selain itu, air laut bisa naik ke daratan sehingga air darat tercemari dan
menjadi asin. Hal tersebut sangat merugikan masyarakat pesisir, terutama
bagi mereka yang bercocok tanam.

2.3. Pengaruh kondisi Pesisir Selatan Madura terhadap Menurunnya


Produktivitas Kerang Bambu.
Ekosistem perairan di Pesisir Selatan Madura sudah tergradasi sedemikian
rupa sehingga nelayan pada masa sekarang mengalami kesulitan untuk
mendapatkan ikan, jika dibaningkan dengan masa-masa sebelum menjamurnya
kegiatan reklamasi dan pencemaran. Termasuk juga semakin sulitnya menemukan
kerang bambu dalam jumlah yang banyak, hal ini diakibatkan oleh menurunnya
produktivitas kerang bambu.
Setelah melihat kondisi pesisir Madura yang sebagian besar rusak karena
kegiatan masyarakatnya, maka ada beberapa hal yang berubah dari kondisi
Kerang Hijau yaitu :
1. Ukuran Panjang
Tanah dengan kandungan oksigen yang tinggi bersifat oksidatif, unsur hara
yang tersedia di substrat dan di perairan dapat dimanfaatkan untuk pertumbuhan
phytoplankton. Phyoplankton yang tersedia ini digunakan sebagai pakan untuk
Solen sp. sehingga pertumbuhannya akan lebih cepat dibandingkan pada tanah
lempung berdebu yang mempunyai pori mikro yang hanya mampu menyimpan air
sedikit. Kondisi ini yang menyebabkan ukuran Solen sp. pada pantai Timur
Surabaya, Kajawanan Cirebon dan Tanjung Solok Jambi lebih besar karena
mendapatkan pakan alami yang lebih banyak. Intinya adalah pakan alami di
wilayah pesisir Madura sangat sedikit sehingga perkembangan Kerang Bambu
terhambat.

Gambar 2.5 Sebaran Ukuran Panjang Pada Tiap kota

Gambar 2.6 Ukuran rata-rata tiap kota


2. Jumlah tangkapan
Jumlah tangkapan dihitung pada tahun tertentu kemudian dirata-rata, maka
jumlah tangkapan terkecil didapat di daerah pesisir Madura. hal ini
mengidentifikasikan bahwa populasi Kerang bambu semakin berkurang
seiring dengan pengrusakan lingkungan yang terjadi.
Tabel 2. Jumlah tangkapan kerang di setiap daerah.
No Wilayah Jumlah Tangkapan
(per orang)
1. Surabaya 5-8 kg
2. Cirebon 5-8 kg
3. Jambi 5-12 kg
4. Pamekasan 2-3 kg
5. Bangkalan 2-3 kg
Sumber : (Rahim, 2012 )

2.4. Rencana Aksi Peningkatan Produktivitas Kerang bambu


Peningkatan produktivitas Kerang bambu harus dilakukan dalam beberapa
rencana aksi yaitu :

Rencana aksi Pelaksanaan


Pembangunan kapasitas manusia dan Pembentukan Gerakan peduli
masyarakat lingkungan yang didukung oleh
pemerintah, misalnya Program Anak
Pantai Oleh Dinas Lingkungan Hidup
Kab. Pamekasan.
Pengembangan Sumber daya, teknologi - Pendataan Kerang Bambu.
dan kearifan lokal - Sertifikasi perusahaan pengolahan
produk-produk perikanan
- Seritikasi industry-industri dekat
pantai dan pengawasannya.
Peningkatan Konversi dan rehabilitasi - Pengesahan rencana pengelolaan
hasil-hasil laut
- Pembentukan lahan konservasi
pesisir
Peningkatan kapasitas kelembagaan dan - Membuat Perda tentang reklamasi,
kebijakan perlindungan kawasan pesisir.
Peningkatan Kapasitas penyelesaian - Penanganan konflik di tengah
konflik masyarakat yang berhubungan
dengan penggunaan lahan pesisir.

2.5. Indikator Keberhasilan Rencana Aksi


INDIKATOR KEBERHASILAN
RENCANA AKSI
1-5 TAHUN 6-10 TAHUN

Pembangunan Kapasitas Manusia dan Dalam 1 Perkampungan Partisipasi masyarakat secara


masyarakat Nelayan ada 1 Kelompok luas dalam gerakan peduli
Peduli Lingkungan lingkungan
Pengembangan Sumber daya, teknologi Produksi Kerang bambu naik Kerang bambu menjadi
dan kearifan lokal 2 kali lipat menjadi 4-6 komoditas ekspor
kg/hari
Peningkatan Konversi dan rehabilitasi Dalam 1 kabupaten Dalam 1 kabupaten terdapat
terdapat 3 titik lahan sedikitnya 5 titik lahan
konservasi pesisir konservasi pesisir
Peningkatan kapasitas kelembagaan dan Perda tentang reklamasi Penerapan peraturan berada
kebijakan dan perlindungan kawasan di kisaran 70-90%
pesisir
Peningkatan Kapasitas penyelesaian Konflik daerah pesisir Konflik daerah pesisir
konflik terselesaikan 40% terselesaikan 90%

Anda mungkin juga menyukai