Anda di halaman 1dari 65

DISTRIBUSI SPASIAL DAN PREFERENSI HABITAT

BIVALVIA DI PESISIR KECAMATAN SIMPANG PESAK


KABUPATEN BELITUNG TIMUR

IRMA AKHRIANTI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul Distribusi Spasial
dan Preferensi Habitat Bivalvia di Pesisir Kecamatan Simpang Pesak Kabupaten
Belitung Timur adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing
dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi
manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun telah diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, September 2014

Irma Akhrianti
C551110041
RINGKASAN

IRMA AKHRIANTI. Distribusi Spasial dan Preferensi Habitat Bivalvia di Pesisir


Kecamatan Simpang Pesak Kabupaten Belitung Timur. Dibawah komisi
pembimbing DIETRIECH G. BENGEN dan ISDRADJAD SETYOBUDIANDI.

Wilayah pesisir Kecamatan Simpang Pesak merupakan kawasan produktif


yang memiliki karakteristik habitat yang cukup bervariasi bagi kehidupan bivalvia.
Kajian mengenai distribusi spasial dan preferensi habitat bivalvia masih langka
didaerah ini. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh parameter biofisik
kelautan dan kualitas substrat sebagai penentu keberadaan bivalvia pada area studi.
Penelitian dilakukan dari bulan Mei 2013 hingga Juli 2013 dengan menggunakan
metode pengambilan contoh acak sistematik.
Hasil penelitian menemukan 16 spesies bivalvia termasuk 14 genera dari 7
famili yaitu Arcidae, Cardidae, Tellinidae, Mactridae, Psammobidae,
Glycymerididae, dan Veneridae. Spesies bivalvia pada area studi didominasi oleh
Gafrarium pectinatum pada stasiun I (14 ind/m2, C=0.52, H=0.6) dan Stasiun II
(28 ind/m2, C=0.51, H=1.04), Gafrarium tumidum pada Stasiun III (60 ind/m2,
C=0.51, H=1.03), Scapharca pilula pada Stasiun IV (62 ind/m2, C=0.5, H=0.89).
Distribusi spasial dan preferensi habitat bivalvia dipengaruhi oleh ukuran partikel
substrat, C-organik dan interaksi faktor-faktor biofisik kelautan (arus, oksigen
terlarut, partikel tersuspensi, suhu dan salinitas) serta keberadaan vegetasi lamun
dan mangrove. kecepatan arus tinggi berkorelasi positif terhadap keberadaan pasir
dan berkorelasi negatif pada fraksi substrat liat dan debu. Variabel C-organik
mempunyai korelasi positif yang kuat. Semakin tinggi bahan organik, semakin
melimpah bivalvia. C-organik yang tinggi bersumber dari kerapatan lamun yang
tinggi.

Kata kunci: bivalvia, distribusi, preferensi habitat


SUMMARY

IRMA AKHRIANTI, The Spatial Distribution and Habitat Preference of Bivalves


in Coastal Water at Simpang Pesak District East Belitung Regency, Supervised by
DIETRIECH G BENGEN and ISDRADJAD SETYOBUDIANDI.

The coastal waters of Simpang Pesak Sub District, East Belitung Regency
feature was diverse habitats for living bivalvia. The research about spatial
distribution and habitat preference of bivalvia still scarce in this area. The aims of
this research was examined effect marine biophysical parameters and substrate
quality as determining of bivalvia existence in this area study. The research was
started from Mei 2013 until June 2013 using random systematic sampling
approach.
The result of research found 16 species of bivalves which is consisted of 14
genera from 7 family are Arcidae, Cardidae, Tellinidae, Mactridae, Psammobidae,
Glycymerididae, and Veneridae. The species of bivalves in this study area
dominated by Gafrarium pectinatum at Station I (14ind/m2, C=0.52, H=0.6,
muddy sandy), and Station II (28 ind/m2, C=0.51, H=1.04, sandy), Gafrarium
tumidum at Station III (60 ind/m2, C=0.51, H=1.03, sandy), Scapharca pilula at
Station IV (62 ind/m2, C=0.5, H=0.89, clay sandy). Bivalves spatial distribution
and density were influenced by particle size, C-organic and several environmental
factors, especially current, dissolved oxygen, TSS, nitrate, posfat, temperature and
salinity. Current velocity has positif correlation toward existence of sand, and
negative correlation toward existence of silt or clay. Variabel of C-organic has
positif corelation strongly toward abundance of bivalvia. The high content C-
organic is source from high density seagrass.

Keywords : bivalves, distribution, habitat preference


Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
DISTRIBUSI SPASIAL DAN PREFERENSI HABITAT
BIVALVIA DI PESISIR KECAMATAN SIMPANG PESAK
KABUPATEN BELITUNG TIMUR

IRMA AKHRIANTI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Ilmu Kelautan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
2

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr Ir Safar Dody, MSi (LIPI Ancol)
3

Judul Tesis : Distribusi spasial dan preferensi habitat bivalvia di pesisir


kecamatan Simpang Pesak Kabupaten Belitung Timur
Nama : Irma Akhrianti
NIM : C551110041

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir Dietriech G. Bengen, DEA Dr Ir Isdradjad Setyobudiandi, MSc


Ketua Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana


Ilmu Kelautan

Prof Dr Ir Sumardjo, MS Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: 14 Juli 2014 Tanggal Lulus:


4
5

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu Wa Taala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian ini berjudul Distribusi Spasial dan Preferensi Habitat
Bivalvia di Pesisir Kecamatan Simpang Pesak Kabupaten Belitung Timur.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof Dr Ir Dietriech G. Bengen, DEA
dan Dr Ir Isdradjad Setyobudiandi, MSc selaku pembimbing. Di samping itu,
penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Dr Ir Safar Dody, MSi dari
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sebagai penguji yang telah
memberikan kritik dan saran guna penyempurnaan penelitian. Ungkapan terima
kasih dan penghargaan spesial ditujukan kepada keluarga tercinta di Belitung
Timur (Aldi Irwansyah, Apriantini, Alfita Hayatun Nufus, Afifatun syahirah,
Andi Gustomi, SPi), dan teman-teman Marhamah serta rekan-rekan seperjuangan
dari IKL 2011 dan BKL 2011 atas segala doa, motivasi dan kasih sayangnya yang
tulus dicurahkan selama ini demi kesuksesan penulis.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, September 2014

Irma Akhrianti
6
7

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vii


DAFTAR GAMBAR vii
DAFTAR LAMPIRAN vii
1 PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Tujuan 2
Perumusan Masalah 3
2 TINJAUAN PUSTAKA 5
Bivalvia 5
Faktor Lingkungan Penyebaran Bivalvia 6
3 METODE PENELITIAN 8
Waktu dan Lokasi Penelitian 8
Alat dan Bahan Penelitian 8
Prosedur Penelitian 9
Penentuan Stasiun Pengamatan 9
Teknik Penarikan Contoh 10
Pengambilan Sampel Air dan Sedimen 11
Analisis Data 11
Frekuensi Kehadiran 11
Kepadatan Spesies 12
Sebaran Karakteristik Habitat Berdasarkan Parameter Lingkungan 13
Analisis Hubungan Kepadatan Bivalvia dengan Preferensi Habitat 14
4 HASIL DAN PEMBAHASAN 15
Karakteristik Lingkungan Perairan dan Substrat 15
Kualitas Perairan 15
Kualitas Substrat 17
Sebaran Karakteristik Lingkungan Perairan dan Substrat 19
Komposisi dan Kepadatan Jenis Bivalvia 22
Tipe Substrat Versus Kepadatan Bivalvia pada Zona Pasang Surut 25
Keanekaragaman, Keseragaman dan Dominansi 28
Preferensi Habitat Bivalvia Terkait Keberadaan Lamun & Mangrove 29
5 KESIMPULAN DAN SARAN 34
Kesimpulan 34
Saran 34
DAFTAR PUSTAKA 35
LAMPIRAN 39
RIWAYAT HIDUP 49
8

DAFTAR TABEL

1 Kisaran nilai TSS dan pengaruhnya terhadap organisme dasar 7


2 Parameter kualitas lingkungan yang di ukur 11
3 Rerata hasil pengukuran parameter kualitas perairan 8
4 Rerata hasil Pengukuran Parameter Kualitas Substrat 10
5 Kepadatan spesies bivalvia di pesisir Kecamatan Simpang Pesak 11

DAFTAR GAMBAR
1 Alur perumusan masalah 2
2 Peta stasiun penelitian 8
3 Desain penarikan contoh pada setiap sub stasiun pengamatan 10
4 Grafik PCA karakteristik habitat pada sumbu F1 dan F2 19
5 Grafik PCA karakteristik habitat pada sumbu F1 dan F3 20
6 Peta distribusi komposisi bivalvia di pesisir Simpang Pesak 24
7 Distribusi jenis bivalvia pada setiap stasiun pengamatan 26
8 Frekuensi kehadiran bivalvia pada zona intertidal 26
9 Indeks keanekaragaman, keseragaman dan dominansi jenis 27
10 Grafik CA preferensi habitat bivalvia pada sumbu (F1 dan F2) 30
11 Grafik CA preferensi habitat bivalvia pada sumbu (F1 dan F3) 31

DAFTAR LAMPIRAN

1 Kondisi umum daerah penelitian 39


2 Dokumentasi kegiatan penelitian 40
3 Spesies-spesies bivalvia yang ditemukan di lokasi penelitian 41
4 Tabulasi data hasil analisis komponen utama (PCA) 42
5 Tabulasi data hasil analisis koresponden (CA) 39
6 Tabulasi data kualitas air dan substrat di pesisir Simpang Pesak 45
7 Kepadatan spesies bivalvia di pesisir Simpang Pesak 46
8 Tabulasi jumlah individu pertransek pada setiap stasiun pengamatan 47
9 Peta lokasi penelitian 48
1

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Keanekaragaman dan kepadatan biota bentik relatif cukup tinggi ditemukan


di perairan pesisir. Wilayah pesisir merupakan daerah yang memiliki potensi
sumberdaya hayati laut tertinggi serta merupakan media produktif dalam
pemenuhan kebutuhan manusia di bidang pemanfaatan sumber pangan, tambang
mineral, kawasan rekreasi dan pariwisata. Oleh karena itu wilayah pesisir dan
lautan merupakan tumpuan harapan manusia dalam pemenuhan kebutuhan di
masa sekarang dan masa mendatang. Akan tetapi saat ini terlihat jelas bahwa
perhatian terhadap biota laut ikan maupun non ikan semakin rendah karena
kurangnya kesadaran beberapa lapisan masyarakat akan pentingnya biota laut,
bahkan saat ini faktor ekonomi dan keserakahan manusia menjadi pemicu
rusaknya ekosistem pesisir dan laut.
Secara umum bivalvia sebagai salah satu kelompok biota laut yang tersebar
secara luas di pesisir perairan Indonesia. Salah satu lokasi penyebaran bivalvia
yang diduga cukup luas dengan kepadatan spesies yang tinggi adalah di perairan
pesisir kecamatan Simpang Pesak Kabupaten Belitung Timur dimana pada
cakupan pesisir perairannya termasuk dalam kawasan Teluk Balok dan Teluk
Sembulu.
Teluk Balok Kabupaten Belitung merupakan salah satu teluk besar yang
terdapat di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Teluk ini kurang lebih memiliki
luasan 190 km2 dan dibatasi hingga sejauh 4 mil dari pantai. Letak geografis
Teluk Balok diperkirakan 1074800 BT - 1080130 BT dan 30300 LS -
31930LS (Aryanto et al., 2005). Kawasan Teluk Balok hingga saat ini masih
menjadi pusat kegiatan perikanan dan kelautan khususnya pada pemanfaatan hasil
laut, eksploitasi ikan serta moluska seperti udang, kepiting, kerang, dan siput laut.
Ada beberapa prospek pengembangan sektor kelautan dan perikanan di Teluk
Balok yang dapat meningkatkan perekonomian masyarakat dimulai dari wisata
bahari, budidaya laut, pertambakan dan pelabuhan. Berbeda halnya dengan Teluk
Sembulu yang memiliki luasan lebih kecil dibandingkan dengan Teluk Balok
sehingga diduga variasi biota laut yang ada tidak begitu besar. Secara
administratif, Teluk Sembulu termasuk dalam wilayah cakupan Kecamatan
Simpang Pesak.
Kecamatan Simpang pesak merupakan pemekaran dari wilayah Kecamatan
Dendang Kabupaten Belitung Timur yang resmi dibentuk berdasarkan Peraturan
Daerah nomor 3 tahun 2010 dengan luasan seluruhnya 24.330 ha atau kurang
lebih 243.30 km2 yang terletak di Pulau Belitung. Adapun batas wilayah
Kecamatan Simpang Pesak yaitu di sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan
Dendang, di sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Gantung, di sebelah
Selatan berbatasan dengan Laut Jawa, dan di sebelah Barat berbatasan dengan
Kecamatan Membalong. Kecamatan Simpang Pesak terbagi menjadi 4 desa yaitu
desa Simpang Pesak, desa Dukong, desa Tanjung Kelumpang dan Desa Batu itam
(Badan Pusat Statistik 2012).
2

Berdasarkan hasil survey diketahui bahwa pemanfaatan spesies-spesies


bivalvia tertentu sampai saat ini masih terus dilakukan dengan hanya
mengeksploitasi sumberdaya langsung dari alam, karena hingga saat ini belum
ada kegiatan pembudidayaan kerang-kerang laut di perairan sekitar Teluk Balok
begitu juga dengan wilayah Teluk Sembulu. Berbagai spesies bivalvia telah
ditangkap untuk kemudian diambil dagingnya sementara cangkangnya dijadikan
sebagai hiasan (ornamen). Jumlah hasil tangkapan yang diperbolehkan sampai
saat ini belum ditetapkan secara jelas sehingga tingkat pemanfaatan menjadi tidak
terkendali.
Distribusi lokal bivalvia secara spasial dan pertumbuhannya sangat
bergantung pada kondisi habitat (kualitas substrat), jumlah dan spesies makanan
yang tersedia serta interaksi antara ekosistem yang terdapat di pesisir perairan
yang didukung oleh beberapa faktor osenografi seperti pasang surut. Adanya
pencucian (flushing time) dari sirkulasi pasut akan membawa nutrien (unsur hara)
dari sungai masuk ke laut dan akan tersebar luas secara alami kemudian
terperangkap di kolom air dan sedimen oleh karena itu wilayah pesisir pantai
tergolong subur dan produktif sehingga diduga biota biota laut intertidal
khususnya bivalvia juga ikut melimpah. Faktor faktor tersebut akan
menimbulkan perbedaan karakteristik habitat dicirikan oleh variasi lingkungan
perairan yang beragam serta perbedaan substrat dasar perairan yang berdampak
pada penyebaran spesies bivalvia yang khas di suatu perairan. Secara umum
bivalvia dapat tersebar di berbagai ekosistem perairan dangkal yaitu ekosistem
lamun, alga, terumbu karang dan daerah lepas pantai.
Melihat kekhasan berbagai kerakteristik habitat yang dijumpai di pesisir
perairan Kecamatan Simpang Pesak serta di dukung oleh terbatasnya informasi
mengenai spesies spesies bivalvia yang ditemukan di daerah tersebut, maka
perlu adanya suatu kajian mendalam mengenai struktur komunitas dan distribusi
spasial bivalvia berdasarkan preferensi habitat pada zona intertidal di sepanjang
wilayah pesisir perairan Kecamatan Simpang Pesak.
Hasil penelitian ini diharapkan bisa memberikan informasi yang akurat,
jelas dan terbaru sehingga dapat dijadikan sebagai dasar pengelolaan sumberdaya
bivalvia khususnya untuk spesies-spesies bivalvia yang bernilai ekonomis
penting supaya tetap lestari dimasa mendatang.

Tujuan

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:


1 Mengetahui komunitas bivalvia yang ditemukan di perairan pesisir
Kecamatan Simpang Pesak Kabupaten Belitung Timur.
2 Mengetahui distribusi spasial bivalvia berdasarkan karakteristik dan
preferensi habitat.
3 Mengetahui hubungan antara karakteristik biofisik perairan dan sedimen
dengan penyebaran bivalvia secara spasial.
3

Perumusan Masalah

Bila ditinjau dari segi ekonomi, bivalvia merupakan sumberdaya hayati laut
non ikan terpopuler ke dua setelah sumberdaya hayati ikan yang memilki nilai
ekonomis penting dan berprotein tinggi sehingga banyak digemari oleh
masyarakat pesisir di berbagai wilayah Indonesia. Tidak heran jika permintaan
pasar terhadap beberapa spesies bivalvia melambung tinggi dalam beberapa tahun
terakhir karena semakin tinggi harga perkilogram ikan di pasaran, kondisi ini
mengakibatkan bivalvia menjadi alternatif makanan yang sering dijadikan sebagai
menu protein hewani pengganti ikan.
Tidak banyak informasi/data mengenai kegiatan eksploitasi bivalvia yang
bernilai ekonomis di pesisir perairan Kecamatan Simpang Pesak, akan tetapi
kegiatan tersebut diperkirakan terus meningkat. Berdasarkan hasil pendugaan
warga setempat, beberapa spesies bivalvia tertentu diperkirakan telah mengalami
penurunan populasi spesies kerang yang umum dieksploitasi serta di duga terjadi
penurunan ukuran maksimum kerang yang dibarengi dengan mulai sulitnya
mendapatkan kerang kerang konsumsi pada musim musim tertentu, kondisi ini
disebabkan oleh laju pertumbuhan yang tidak sebanding dengan laju penangkapan
bivalvia di alam. Jika kondisi ini terus menerus terjadi tanpa adanya kegiatan
budidaya dan manajemen penangkapan kerang yang diperbolehkan, maka
populasi stok dari beberapa spesies bivalvia di pesisir perairan kecamatan
Simpang Pesak dikhawatirkan akan sangat terancam di masa mendatang. Adanya
isu degradasi lingkungan yang umumnya terjadi di spot wilayah pesisir dan laut
karena adanya perubahan fungsi lahan, masukan bahan organik/ bahan pencemar
dari daratan di duga secara langsung dapat mempengaruhi struktur komunitas dan
kepadatan spesies organisme bentik.
Pada umumnya faktor-faktor yang membatasi distribusi dan kelimpahan
spesies bivalvia di alam dapat dikategorikan ke dalam dua bagian utama yaitu
faktor dari dalam berupa sifat genetik dan tingkah laku ataupun kecenderungan
suatu biota untuk memilih tipe habitat yang disenangi serta faktor-faktor dari luar
yakni segala sesuatu yang berhubungan dengan interaksi biota tersebut dengan
lingkungannya, oleh karena itu distribusi serta kepadatan bivalvia di alam dapat
dijadikan indikasi cocok tidaknya suatu habitat terhadap biota tertentu.
Salah satu indikasi yang menunjukkan tidak cocoknya suatu habitat bagi
biota adalah rendahnya kepadatan spesies biota pada suatu area ataupun
ketidakmampuan menyebar mencapai area tersebut. Perubahan lingkungan baik
secara alami ataupun sebagai akibat dari aktivitas manusia seperti perubahan
fungsi lahan mengrove untuk pembuatan tambak maupun silvikultur dapat
mengakibatkan berkurangnya suatu populasi serta dapat mengganggu struktur
komunitas bivalvia di daerah tersebut.
Berdasarkan uraian tersebut diatas, muncul beberapa pertanyaan yang harus
dijawab karena merupakan akar permasalahan yang ada, yaitu:
1 Spesies spesies bivalvia apa saja yang ditemukan dan spesies apa yang
paling mendominasi di pesisir perairan Kecamatan Simpang Pesak
Kabupaten Belitung Timur
2 Bagaimana struktur komunitas dan pola distribusi spasial bivalvia
berdasarkan karakteristik dan preferensi habitat.
4

3 Apakah terdapat hubungan yang relevan antara faktor oseanoghrafi (pasut),


faktor fisika, kimia perairan dan sedimen terhadap penyebaran spasial
bivalvia.

Wilayah pesisir Simpang Pesak Belitung Timur

Kondisi Oseanografi Kualitas perairan

Kualitas substrat

Fraksi sedimen Bahan organik

Karakteristik /variasi habitat

1 Strukur komunitas bivalvia


2 Distribusi spasial bivalvia
3 Preferensi habitat

Zona terdepan Zona pertengahan Zona ekstrim


(rataan pasir) (didominasi lamun) (makro alga)

Gambar 1 Alur perumusan masalah.


5

2 TINJAUAN PUSTAKA

Bivalvia

Dharma (1988) mengelompokkan kelas bivalvia daerah tropis kedalam 4


ordo yaitu Taxodonta, Anisomyaria, Hippuritoida, dan Eulamellibranchia yang
mencakup didalamnya 25 famili yaitu Arcidae, Mytillidae, Pinnidae,
Isognomonidae, Malleidae, Pteridae, Ammusidae, Pectinidae, Spondylidae,
Limidae, Anomiidae, Ostreidae, Chamidae, Lucinidae, Carditidae, Tridacnidae,
Mactridae, Tellinidae, Donacidae, Psammobiidae, Corbiculidae, Unionidae,
Veneridae, Teredinidae dan Pholadidae. Dharma (1988) juga menyebutkan bahwa
kelas bivalvia terdiri dari 67 genera yang diantaranya merupakan genera yang
sangat familiar dikalangan masyarakat karena beberapa spesies memiliki nilai
ekonomis penting seperti genera Tridacna, genera Anadara (Anadara granosa,
Anadara antiquata, Barbatia decussata), genera Anadonta, Gafrarium dan Tapes.
Secara umum kerang termasuk dalam filum molusca yang memilki dua
cangkang (valve) berbentuk simetri bilateral yang terdapat pada sisi atas dan sisi
bawah tubuhnya (Brusca & Brusca 2003). Kaki berbentuk seperti kapak
(pelecypoda), tidak memilki kepala dan mata akan tetapi memilki insang tipis dan
berlapis-lapis terletak diantara mantel dimana kedua cangkangnya dapat dibuka
/ditutup (umbo) sehingga dari karakteristik morfologi tersebut kelas ini lebih
dikenal dengan nama bivalvia (Wells and Bryce 1988). Peredaran darah bivalvia
secara umum adalah peredaran darah terbuka yaitu darah dipompa dari jantung ke
sinus organ, ginjal, insang dan kembali ke jantung (Gosling 2003). Darah bivalvia
biasanya tidak berwarna, namun kerang spesies anadara granosa (famili arcidae)
mempunyai sel darah yang mengandung hemoglobin (Faulkner 2009).
Gosling (2003), menyatakan bahwa cangkang bivalvia terdiri dari 3 lapisan
yakni :
a. Lapisan luar tipis, hampir berupa kulit dan disebut periastracum yang
melindungi
b. Lapisan kedua yang tebal terbuat dari kalsium karbonat, dan
c. Lapisan dalam terdiri dari mother of pearl, dibentuk oleh selaput mantel (tipis)
yang membuat cangkang menebal saat hewannya bertambah tua. Fungsi dari
permukaan luar mantel adalah mensekresi zat organik cangkang dan menimbun
kristal-kristal kalsit (kapur).
Pada umumnya cangkang bivalvia bervariasi dalam ukuran, bentuk ukuran
dan warna. Beberapa tahun terakhir telah banyak yang mempelajari variasi garis
dan pita yang dihasilkan dalam pertumbuhan cangkang. Didalamnya memuat
informasi tentang umur organisme dan kondisi lingkungan tempat cangkang
tersebut tumbuh. Beberapa garis terlihat pada bagian luar cangkang, tapi
kebanyakan hanya terlihat ketika cangkang berputar sebagian. Diyakini bahwa
garis-garis yang terdapat pada cangkang bivalvia terbentuk ketika cangkangnya
menutup. Pada saat itu produksi asam organik dari respirasi anaerob
menyebabkan pelarutan sejumlah kecil kalsium karbonat, meninggalkan material
organik pembentuk kerangka yang kemudian membentuk garis (Barnes 1987).
6

Pada dasarnya bivalvia merupakan hewan bentik dengan kecepatan gerak


yang sangat lambat, akan tetapi remis dan tiram memiliki alat perekat yang kuat
pada substrat batu. Brandt (2009) menyatakan bahwa bivalviamampu menempati
habitat laut pada kisaran kedalaman yang berbeda dari zona intertidal hingga
kedalaman dibawah 5000 m dengan kelimpahan tertinggi terdapat pada zona
intertidal khususnya pada kedalaman 0 100 m dimana pada zona fotik masih
bisa dijumpai 40 genera (Brandt, 2009). Sebagian besar dari mereka memakan
plankton tersuspensi maupun terdeposit pada sedimen dan detritus yang terdapat
pada kolom air.

FaktorFaktor Lingkungan yang Mempengaruhi Distribusi Bivalvia.

Pada umumnya bivalvia ditemukan pada daerah pantai tepatnya pada zona
intertidal dan paparan benua hingga laut dalam. Beberapa faktor lingkungan yang
menjadi faktor pembatas penyebaran spasial dan keberlangsungan hidup bivalvia
meliputi pasang surut, suhu, gerakan gelombang, salinitas, oksigen terlarut,
partikel tersuspensi (TSS), tipe substrat, ketersediaan makanan dan faktor biologis
seperti adanya kompetisi dan predasi,
Pasang surut merupakan faktor terpenting yang mempengaruhi kehidupan
pada zona intertidal. Menurut Illahude (1998), pasang surut merupakan proses
naik turunnya paras laut (sea level) secara berkala yang ditimbulkan oleh adanya
gaya tarik dari benda-benda angkasa, terutama matahari dan bulan terhadap massa
air laut di bumi. Apabila daerah intertidal terlalu lama berada pada udara terbuka
(surut rendah) mengakibatkan organisme akan kehilangan air ketika suhu tinggi,
sulit mencari makan akibatnya akan kehilangan energi.
Gelombang yang terdapat dipermukaan laut pada umumnya terbentuk
karena adanya proses alih energi dari angin kepermukaan laut (Neuman and
Pierson 1966). Terpaan gelombang dapat menjadi faktor pembatas bagi organisme
tertentu yang tidak dapat menahan terpaannya, tetapi diperlukan bagi organisme
lain yang tidak dapat hidup selain didaerah dengan ombak yang kuat. Selain itu
gelombang dapat memperluas batas zona intertidal, hal ini terjadi karena
penghempasan air yang lebih tinggi di pantai dibandingkan dengan yang terjadi
pada saat pasang surut normal. Deburan ombak yang terus menerus ini membuat
organisme laut dapat hidup di daerah yang lebih tinggi di daerah yang terkena
terpaan ombak daripada di daerah tenang pada kisaran pasang surut yang sama.
Pada zona daerah yang terkena hempasan gelombang jarang kekurangan
oksigen, hal ini disebabkan gerakan gelombang dapat membantu terjadinya
pencampuran dan pengadukan gas-gas di atmosfer kedalam air walaupun dalam
jumlah sangat kecil (Sumich 1992). Kekurangan oksigen dapat mengurangi
aktivitas organisme baik yang berhubungan dengan metabolisme maupun tingkah
laku dan lama kelamaan organisme akan mati. Penurunan oksigen di genangan-
pasang tropik hanya 18% dari kejenuhan, (Levinton 1982 dan Nybakken 1992).
Pada zona intertidal umumnya memiliki kisaran suhu yang homogen artinya
suhu air umumnya relatif sama. Karena pengaruh angin, gelombang dan
turbulensi yang mengaduk massa air sehingga kisaran perubahan suhu sangat
kecil dan jarang melebihi batas toleransi organisme (Nybakken 1998). Pada area
beriklim tropis tidak terlihat variasi suhu sepanjang tahun. Menurut Dame (1996),
suhu ideal bagi keberlangsungan hidup bivalvia antara 26.0-37.5 C.
7

Perubahan salinitas yang dapat mempengaruhi organisme terjadi di zona


intertidal melalui dua cara. Pertama, karena zona intertidal terbuka pada saat
pasang surut dan kemudian digenangi air atau aliran air akibat hujan lebat,
mengakibatkan salinitas akan turun. Pada keadaan tertentu, penurunan salinitas ini
akan melewati batas toleransi dan karena kebanyakan organisme intertidal
menunjukkan toleransi yang terbatas terhadap penurunan salinitas ini sehingga
organisme dapat mengalami kematian. Yang kedua, ada hubungannya dengan
genangan pasang surut. Daerah ini dapat digenangi oleh air tawar yang mengalir
masuk ketika hujan deras sehingga menurunkan salinitas atau dapat
memperlihatkan kenaikan salinitas jika terjadi penguapan sangat tinggi pada siang
hari.
Ketersediaan makanan dapat mempengaruhi pertumbuhan jaringan,
penyimpanan dan penggunaan makanan dapat merubah rasio berat badan terhadap
panjang cangkang. Variasi indeks kondisi pada waktu yang berbeda sejalan
dengan fluktuasi dan perubahan ketersediaan makanan di perairan.
Menurut Gosling (2003), umumnya bivalvia mengubur diri pada substrat
dangkal, kebiasaan makan (filter feeder & detritus feeder) sering dihubungkan
dengan makanan yang berada di dasar substrat dimana bivalvia itu hidup, dengan
komponen nutrien yang penting adalah detritus organik, plankton dan algae
uniseluler serta dapat beradaptasi dengan temperatur optimum antara 20-30oC.
Predator atau pemangsaan adalah hal terpenting dalam rantai makanan yang
dapat menyebabkan kepunahan maupun penurunan kepadatan spesies. Peranan
grazer atau herbivora dalam mengatur batas atas dan batas bawah zona intertidal
sangat penting. Adapun grazer pada zona intertidal yang dominan berupa limpet,
bulu babi dan siput litorina.
TSS adalah bahan-bahan tersuspensi (diameter > 1m) yang tertahan pada
saringan milipore dengan diameter pori 0.45 m. TSS terdiri atas lumpur dan
pasir halus serta jasad jasad renik yang terutama disebabkan oleh kikisan tanah
yang terbawa masuk kebadan air (Effendie, 2003). Padatan tersuspensi total ini
dipengaruhi oleh bahan bahan tersuspensi seperti lumpur, pasir, bahan organik
dan anorganik. Padatan tersuspensi dapat mengganggu proses respirasi organisme
perairan dan dapat meningkatkan kekeruhan perairan hingga akhirnya mereduksi
produktivitas perairan. Ada hubungan antara TSS dan kekeruhan dimana
peningkatan TSS menyebabkan peningkatan kekeruhan (APHA 2005).
Kesesuaian untk kepentingan perairan (perikanan) berdasarkan nilai padatan
tersuspensi ditunjukkan dalam Tabel 1.

Tabel 1 Kisaran nilai TSS dan pengaruhnya terhadap organisme dasar


Nilai TSS (mg/l) Pengaruh terhadap organisme dasar
< 25 Tidak berpengaruh
25 80 Sedikit berpengaruh
81 400 Kurang baik bagi kepentingan organisme dasar (bentos)
>400 Tidak baik bagi kepentingan organisme dasar (bentos)
(Sumber: Alabaster dan Lioyd 1982 dalam Effendi 2003)
8

3 METODE PENELITIAN

Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan pada bulan Mei 2013 sampai dengan Juli 2013.
Pengambilan contoh dilakukan di wilayah pesisir Kecamatan Simpang Pesak
Kabupaten Belitung Timur Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Gambar 2).
Analisis sampel biota dan pengukuran morfometrik bivalvia dilakukan di
Laboratorium Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kabupaten Belitung Timur.
Analisis kualitas air dilakukan di Laboratorium Proling Fakultas Perikanan dan
Ilmu Kelautan, IPB Bogor. Sementara analisis sampel tanah dilakukan di
Laboratorium tanah Biotrop Bogor.

Gambar 2 Peta stasiun penelitian

Alat dan Bahan Penelitian

Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi water sampler,
botol sampel, termometer, secchi disk, refraktometer, DO meter, pH meter, grab
sampler, pipa PVC, GPS (Global Positioning System), kamera digital, roll meter,
sekop, petak kuadrat 0.5 m x 0.5 m, buku identifikasi, ember, kantong plastik
ukuran 0.5 kg, kertas label, alat tulis dan sabak, ayakan kawat jaring 0.5 cm,
saringan bertingkat, neraca, oven, desikator, furnace, cawan porselin,
spektrofotometer, alkohol 70% dan formalin 4% serta beberapa bahan kimia yang
diperlukan untuk analisis di Laboratorium.
9

Prosedur Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode survey, sementara penentuan titik


sampling menggunakan purposive sampling method, yaitu penentuan lokasi
sampling dengan beberapa pertimbangan tertentu oleh peneliti (Fachrul 2006).

Penentuan Stasiun Pengamatan


Menurut Isdradjad et al. (2004), dalam melakukan penelitian perlu
diperhatikan mekanisme penentuan unit pengambilan contoh dengan ketentuan
seperti mudah diidentifikasi variabilitas lingkungannya, mudah diakses dan
kondisi lingkungan hampir sevarians/seragam. Adapun stasiun pengamatan yang
terpilih berdasarkan purposive sampling ditunjukkan pada Gambar 2, yaitu :
 Stasiun I: terletak di pesisir pantai Suge Desa Simpang Pesak (115.80 ha)
pada posisi geografis 03o09 31.85 LS dan 1070 57 04.00 BT. Pantai Suge
merupakan wilayah dramaga yang diduga mendapatkan masukan bahan
organik tinggi, akibat rutinitas kegiatan pelabuhan. Selain itu adanya kegiatan
konversi lahan mangrove dan kegiatan penimbunan pasir pasca proyek
pembangunan Jalan pengangkutan pasir oleh PT. SNI (Selat Nasik
Indokuarsa) di wilayah pesisir diduga berpengaruh terhadap dinamika
perairan pada stasiun ini. Substratnya didominasi oleh lumpur. Pada Stasiun I,
ekosistem padang lamun hidup berdampingan dengan ekosistem mangrove.
Penyebaran lamun pada Stasiun I dimulai dari pinggir pantai hingga jarak 50
m ke arah laut ditumbuhi oleh spesies lamun Enhalus acoroides, Halophila
minor, Holodule uninervis, dan Cymodocea rotundata. Semakin menuju ke
tengah hingga pada jarak 80 m dari pantai mulai terlihat spesies lamun
Enhalus acoroides. Semakin ke tengah lagi hingga menuju tubir spesies
lamun yang ada sudah mulai berkurang dan didominasi oleh spesies E.
acoroides.
 Stasiun II: terletak di pesisir pantai Setigi Desa Dukong (28.0 ha)pada posisi
geografis 03o12 15.93 LS dan 1070 58 09.87 BT, area ini termasuk kategori
kawasan pesisir yang rawan terjadi abrasi pantai dan selalu mendapat
masukan air tawar dari rawa serta selalu terekspos matahari ketika surut.
Substrat didominasi oleh pasir kasar hingga pasir halus serta sedikit sekali
dijumpai vegetasi mangrove. Pada stasiun II sangat jarang ditemukan lamun,
hanya spesies lamun E. acoroides yang bisa bertahan hidup di daerah ini
dengan pola spesies monospesifik.
 Stasiun III: terletak di pangkalan Aik Lanun Desa Tanjung Kelumpang
(31.75 ha) pada posisi geografis 03o15 41.70 LS dan 1070 58 32.17 BT.
Area ini merupakan kawasan wisata yang sering dikunjungi, baik itu dari
kalangan wisatawan lokal maupun wisatawan interlokal. Area ini juga
dipengaruhi oleh aktivitas perkapalan dan Aktivitas manusia lainnya seperti
kegiatan mencari kerang sangat tinggi di area ini khususnya pada saat kondisi
surut. Stasiun III memiliki topografi pantai yang landai, dengan substrat dasar
perairan berpasir dan ditemukan juga kerikil pada zonasi terdepan serta tidak
ditemukan adanya vegetasi mangrove yang tumbuh namun masih bisa
dijumpai 2 spesies lamun yaitu E. Acoroides dan C. rotundata.
 Stasiun IV: terletak di pesisir pantai Kukup Desa Tanjung Batu Itam (67.75)
pada posisi geografis 03o10 25.80 LS dan 1080 04 38.9 BT. Stasiun IV
10

merupakan wilayah pusat Teluk Sembulu yang ditumbuhi vegetasi mangrove


lebat. Aktivitas perikanan penduduk sangat tinggi di area ini terutama
aktivitas mencari kerang saat kondisi surut. Selain itu terdapat aliran sungai
cukup besar yang masuk ke perairan di kawasan ini. Substrat yang ditemukan
didaerah ini lebih bervariasi yaitu dari substrat berlumpur (debu dan liat)
hingga pasir kasar. Pada Stasiun IV, ekosistem padang lamun tumbuh
berdampingan dengan ekosistem mangrove yang rapat. Pada stasiun ini
ditemukan 3 spesies lamun, yaitu E. Acoroides, Thalassia hemprichii, dan C.
rotundata yang tidak tersebar secara merata. Lamun tumbuh berkelompok-
kelompok. C. rotundata ditemui sampai pada jarak sekitar 30 m dari pinggir
pantai. T. hemprichii dijumpai pada jarak antara 30 70 m dari pantai
sedangkan E. Acoroides terlihat tersebar secara merata pada setiap kelompok
lamun hingga ke arah tubir. Lamun tumbuh dari pinggir pantai hingga ke arah
tubir, dengan kerapatan yang semakin berkurang dengan pola spesies semakin
monospesifik.

Teknik Penarikan Contoh


Teknik Penarikan contoh menggunakan metode pengambilan contoh acak
sistematik dengan membentangkan 3 transek garis sepanjang zona intertidal
dengan jarak antar transek garis 20 meter ke arah kiri maupun ke arah kanan,
sementara jumlah plot transek yang akan diamati pada setiap sub stasiun (ulangan)
berjumlah 9 transek kuadrat dengan jarak masing-masing antar plot sebesar 50 m.
Pada setiap stasiun pengamatan terdiri dari 3 sub stasiun pengamatan, dimana
pada setiap sub stasiun pengamatan di bentangkan 3 transek garis utama dengan
jarak masing masing 100 m. Adapun desain penarikan contoh ditunjukkan
pada Gambar 3.

Gambar 3 Desain penarikan contoh pada setiap sub stasiun pengamatan

Pengambilan Contoh Bivalvia


Pengambilan sampel bivalvia dilakukan selama tiga kali pengambilan data
dengan interval waktu yang berbeda selama 1 bulan. Pengambilan sampel pada
setiap stasiun di lakukan dengan cara meletakan transek kuadrat berukuran 50 cm
x 50 cm. Kerang (bivalvia) yang berada di dalam transek kuadrat di ambil dengan
tangan secara manual dan snorkling. Sampel bivalvia yang diambil adalah
bivalvia yang terbenam di dalam substrat sampai kedalaman 20 cm yang masih
11

hidup dan yang terdapat diatas substrat / permukaan sedimen pada zona intertidal.
Semua sampel bivalvia yang terdapat di dalam transek diambil dan dimasukkan
ke dalam kantong plastik dan diawetkan dalam larutan formalin 10% kemudian
diidentifikasi.
Pada setiap transek yang diamati dilakukan juga pencatatan seluruh spesies
biota laut yang ditemukan dilokasi penelitian termasuk kehadiran biota biota
selain bivalvia seperti Echinodermata, gastropoda, polychaeta, dan lain lain.

Pengambilan Sampel Air dan Sedimen


Pengukuran kualitas perairan dilakukan dengan dua cara yaitu secara insitu
(suhu, oksigen terlarut (DO), pH, salinitas, dan kecerahan, serta kedalaman
perairan) dan pengukuran di laboratorium Pro-link Institut Pertanian Bogor untuk
mengetahui kadar nitrat, posfat, partikel tersuspensi, partikel organik total/TOM,
BOD dengan mengacu pedoman APHA (2005). Pengambilan contoh air
dilakukan pada saat pasang dengan menggunakan water sampler.
Contoh sedimen diambil tidak bersamaan dengan pengambilan contoh air.
Sedimen diambil kurang lebih 500 gram dengan menggunakan Ekman Grab dan
dimasukkan ke dalam plastik serta disimpan dalam cool box. Analisis sampel
tanah dilakukan di Laboatorium tanah BIOTROP Bogor. Adapun pengambilan
sampel tanah dilakukan untuk mengetahui kandungan C-organik dan total
nitrogen (N), P2O5, pH, dan fraksi sedimen. Adapun parameter kualitas
lingkungan (habitat) yang diukur secara detail disajikan pada Tabel 2 dibawah ini.

Tabel 2 Beberapa parameter lingkungan perairan dan substrat yang diukur


No Parameter Unit Alat/Metode
A. Fisika perairan
o
1. Suhu Perairan C Termometer Hg
2. Kecerahan cm Secchi disk
3. Kedalaman cm Tongkat Berskala
B. Kimia perairan
4. Derajat Keasaman (pH) pH meter
o
5. Salinitas /oo Refraktometer
6. Oksigen terlarut mg/l Titrasi winkler
C. Substrat
7. Tekstur* / butir sedimen % Saringan Bertingkat
8. C-organik, N total, P % Spektrofotometer
9. pH tanah Soil pH tester,

Analisis Data

Frekuensi Kehadiran
Frekuensi kehadiran merupakan kehadiran spesies individu tertentu pada
stasiun - stasiun penelitian yang diamati. Frekuensi kehadiran dinyatakan dalam
prosentase (%) bivalvia yang tertangkap dirumuskan dengan persamaan berikut
(Krebs 1989) :
12


 = 100%

Keterangan :
Fi : Frekuensi keterdapatan organisme ke i yang tertangkap (%)
ti : Jumlah stasiun dimana spesies ke- i tertangkap
T : Jumlah semua stasiun.

Kepadatan Spesies
Kepadatan spesies merupakan jumlah spesies biota yang ditemukan pada
setiap pengambilan contoh. Adapaun persamaan yang digunakan mengacu pada
Krebs (1989) yaitu:


= 1000

Keterangan:
D : Kepadatan individu (ind/m2)
a : Jumlah spesies ke-i (makrozobentos) yang ditemukan dalam b
b : Luas pengambilan contoh (1m2 = 10.000 cm2)

Keanekaragaman Spesies
Keanekaragaman spesies disebut juga heterogenan spesies yang dapat
menggambarkan struktur komunitas dengan perhitungan menggunakan rumus
Shannon-Wiener in Odum (1993) sebagai berikut :
H = Pi Log2 Pi
Keterangan :
H : Indeks keanekaragaman spesies
Pi : Jumlah spesies ke-i per jumlah total (ni/N)
n : Jumlah spesies
Penentuan kriteria :
H< 3,32 : Keanekaragaman rendah
3.32<H<9.97 : Keanekaragaman sedang
H> 9.97 : Keanekaragaman tinggi.

Keseragaman Spesies
Indeks keseragaman adalah komposisi individu tiap spesies yang terdapat
dalam suatu komunitas (Odum. 1993) dengan perhitungan sebagai berikut:


E= 
Keterangan :
E : Indeks keseragaman
H : Indeks keanekaragaman Shannon-Wiener
H maks : Keanekaragaman maksimum (Log2 S)
S : Jumlah spesies
Dengan kriteria:
E < 0.4 : Keseragaman rendah
0.4< E<0.6 : Keseragaman sedang
E>0.6 : Keseragaman Tinggi
13

Dominansi
Indeks dominansi digunakan untuk mengetahui ada tidaknya spesies yang
dominansi pada komunitas, digunakan indeks dominansi Simpson (Odum. 1993) :

C = ( )2

Keterangan :
C : Indeks dominansi Simpson
ni : Jumlah individu spesies ke i
N : Jumlah individu semua spesies
Nilai indeks dominansi berkisar antara 0-1; indeks 1 menunjukkan
dominansi oleh satu spesies spesies sangat tinggi (hanya terdapat satu spesies
pada satu stasiun), sedangkan indeks 0 menunjukkan bahwa diantara spesies-
spesies yang ditemukan tidak ada yang mendominasi.

Sebaran Karaketristik Habitat Berdasarkan Parameter Lingkungan


Determinasi karakteristik habitat antar stasiun pengamatan digunakan suatu
pendekatan analisis statistik multi variabel yang didasarkan pada analisis
komponen utama (Principal Component Analyisis / PCA) (Bengen 2000).
Analisis komponen utama (PCA) merupakan metode deskriptif yang
bertujuan mempresentasikan dalam bentuk grafik, informasi mana yang terdapat
dalam suatu matrik data. Matrik data yang dimaksud adalah terdiri dari
pengamatan sebagai individu stastistik (baris) dan parameter fisika-kimia sebagai
variabel kuantitatif berupa kolom /J (Bengen 2000). Dengan demikian matriks
data ini merupakan tabel kontingensi bivalvia dengan stasiun pengamatan atau
bivalvia dengan karakteristik sedimen.
Data dari parameter tersebut tidak mempunyai unit pengukuran dan ragam
yang sama sehingga data perlu tersebut perlu dinormalisasikan terlebih dahulu
melalui pemusatan dan pereduksian. Pemusatan diperoleh dari selisih antara nilai
parameter inisial dengan nilai rata-rata parameter tersebut.

 =  
Keterangan:
C : Nilai Pusat
Xij : Nilai parameter inisial
Xik : Nilai rata-rata parameter.
Pereduksian adalah hasil bagi antara nilai parameter yang telah dipusatkan
dengan nilai simpangan baku paramater tersebut.


=

Keterangan:
R : nilai reduksi
C : nilai pusat
Sd : nilai simpangan baku
Hubungan antara parameter ditentukan dengan menggunakan pendekatan
matriks korelasi yang dihitung dari indeks sintetik sebagai berikut:

!" = #!" . #% !"


14

Keterangan:
Bsxn : matriks korelasi rij
Asxn : matriks indeks sintetik Aij
Asxn : matriks transpose Asxn

Analisis komponen utama ini menurut Bengen (2000) berprinsip pada


pengukuran jarak euklidian (jumlah kuadrat perbedaaan antara individu untuk
variabel yang berkoresponden), semakin kecil jarak euklidean antara stasiun yang
diamati maka semakin mirip karakteristik habitat antara dua stasiun tersebut.
Pada tabel kontingensi I dan J mempunyai peranan yang simetris,
membandingkan elemen elemen I (untuk masing masing J) sama dengan
membandingkan hukum probabilitas bersyarat yang diestimasi dari nij/nj, dimana
ni = nij (jumlah subjek I yang memiliki karakter j). Selanjutnya kemiripan
antara unsur I1 dan I2 dari I dilakukan melalui pengukuran chi kuadrat dengan
rumus sebagai berikut:
p
()*  )* (&
 & (,  % ( =

j=1
Keterangan :
Xi : jumlah baris I untuk semua kolom j
Xj : jumlah kolom j untuk semua baris i

Analisis Hubungan Antara Kepadatan Bivalvia dengan Preferensi Habitat


Adanya interaksi suatu organisme dengan karakteristik habitat tertentu dapat
dipakai sebagai indikasi hadir tidaknya organisme tersebut pada suatu habitat
dengan kepadatan tertentu pula. Secara kuantitatif hal ini dapat diketahui dengan
menggunakan analisis faktorial koresponden (Correspondence Analysis, CA)
(Bengen 2000).
Analisis faktorial koresponden merupakan salah satu bentuk analisis
statistik multivariabel. Analisis ini didasarkan pada matriks data i (baris (stasiun
pengamatan) dan j kolom (komposisi ukuran cangkang dan sebaran kepadatan
bivalvia serta persentase dan ketebalan vegetasi) dimana kepadatan dan komposisi
ukuran masing-masing spesies bivalvia yang ditemukan ataupun keberadaan
vegetasi j untuk stasiun ke-i pada baris ke-i dan kolom ke-j. Dengan demikian,
matriks data ini merupakan tabel kontingensi stasiun pengamatan x komposisi
ukuran masing-masing bivalvia dan stasiun pengamatan x sebaran kepadatan
bivalvia serta stasiun pengamatan x persentase dan ketebalan vegetasi.
Selanjutnya dilakukan pengukuran kemiripan antara dua elemen i dan elemen i
melalui formula sebagai berikut:
p
()* /).  )* /*% (&
 & (,  % ( =

j=1

Keterangan :
Xi = jumlah baris I untuk semua kolom j
Xj = jumlah kolom j untuk semua baris i
15

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Lingkungan Perairan dan Substrat

Berdasarkan hasil penelitian di lapangan dan uji sampel di laboratorium,


diperoleh kisaran nilai parameter biofisik kelautan dan substrat yang cukup
bervariasi pada setiap stasiun yang diamati di sekitar perairan pesisir Kecamatan
Simpang Pesak Kabupaten Belitung Timur. Adapun nilai nilai parameter fisika
kimia perairan dan substrat disajikan pada Tabel 3 dan Tabel 4 dibawah ini :

Tabel 3 Rerata hasil pengukuran kualitas perairan di kecamatan Simpang Pesak


No Parameter Satuan Stasiun Pengamatan
I II III IV
o
1 Suhu C 32.6 31.6 32.3 32.6
2 Salinitas 32.3 31.3 32.0 32.6
3 pH perairan - 8.16 7.96 8.33 7.93
4 Pertikel tersuspensi (TSS) mg/l 87.5 38.0 13.0 55.0
5 Oksigen terlarut (DO) mg/l 6.43 6.76 6.9 5.30
6 Biochemical oxygen demand mg/l 2.61 1.87 0.45 1.65
(BOD5)
7 Kecepatan arus m/s 0.040 0.056 0.088 0.019
8 Ortofosfat (PO4) mg/l 0.065 0.070 0.064 0.075
9 Nitrat (NO3) mg/l 0.11 0.22 0.12 0.11
10 Total organic matter (TOM) mg/l 29.1 25.9 31.6 20.7
11 Kerapatan lamun teg/m2 213.6 87.06 140.6 159.6

Tabel 4 Rerata karakteristik substrat di pesisir kecamatan Simpang Pesak


Stasiun pH C-org N P2O5 Pasir Debu Liat Tipe Substrat
I 5.8 2.28 0.04 8.10 79.5 9.8 10.7 Pasir berlumpur
II 6.2 3.43 0.13 14.2 85.5 6.4 8.4 Pasir
III 6.8 2.02 0.07 5.65 86.5 10.5 2.9 Pasir
IV 5.7 3.09 0.14 4.77 62.7 32.9 3.8 Pasir berlumpur

Kualitas Perairan
Menurut Keputusan Menteri Lingkungan Hidup (2004), secara umum
kondisi hidrologi (kualitas perairan) pada area studi termasuk kondisi yang
optimal bagi kelangsungan hidup biota laut bentik khususnya bivalvia.
Suhu perairan rata-rata mempunyai kisaran antara 31.6oC 32.6oC. Kisaran
suhu tersebut merupakan kisaran normal untuk daerah tropis dan masih dalam
rentang toleransi untuk biota laut sesuai standar baku mutu yang ditetapkan oleh
Kementerian Lingkungan Hidup (2004) yakni antara 28C - 32C.
Kisaran nilai salinitas rata-rata di pesisir perairan Kecamatan Simpang
Pesak yaitu 31.3 o/oo 32.6o/oo. Salinitas terendah terdapat pada Stasiun II, yaitu
31.3o/oo karena merupakan daerah rawan abrasi yang selalu mendapat masukan air
tawar dari daratan, selain itu wilayah ini tidak ditumbuhi oleh hutan mangrove
namun hanya bisa dijumpai rawa. Menurut Verwen et al. (2007), moluska
memiliki kisaran salinitas optimum yang lebar untuk kehidupannya.
16

Nilai derajat keasaman rata-rata (pH) berkisar antara 7.9 8.3. Nilai
tersebut memperlihatkan bahwa pH perairan cenderung bersifat basa dan termasuk
normal untuk pH air laut di Indonesia. Nilai pH antara 7.5 8.5 merupakan
kisaran optimal bagi pertumbuhan kerang. Menurut Nybakken (1998) menyatakan
bahwa derajat pH di lingkungan perairan laut umumnya relatif stabil dan berada
pada kisaran yang sempit,
Total suspended solid (TSS) rata-rata berkisar antara 13.0 mg/l 87.5 mg/l.
Nilai TSS terendah dijumpai pada Stasiun III sebesar 13 mg/l. Menurut Effendi
(2003), kisaran TSS < 25 mg/l tidak berpengaruh pada kehidupan organisme
bentik. TSS tertinggi ditemukan pada Stasiun I berkisar 87.5 mg/l, dimana
kisaran nilai TSS antara 81 mg/l 400 mg/l akan mempengaruhi kelangsungan
hidup organisme bentik khususnya gastropoda dan bivalvia.
Rerata oksigen terlarut/DO (Dissolved oxygen) berkisar 5.3 mg/l 6.9 mg/l.
Clark (1997) menyatakan bahwa kandungan oksigen terlarut yang optimum untuk
kehidupan moluska berkisar antara 4.1 6.6 ppm dengan batas minimum 4 ppm,
sehingga secara keseluruhan nilai ini masih dalam batas toleransi untuk kehidupan
kerang. DO tertinggi terdapat pada stasiun III, hal ini berkaitan dengan kecepatan
arus dan gelombang yang tinggi sehingga memungkinkan terjadinya difusi
oksigen ke kolom air. Nilai DO terendah ditemukan pada Stasiun IV tepatnya
didaerah Teluk Sembulu yang berarus lemah dan relatif tenang sehingga
konsentrasi oksigen yang terdifusi ke kolom air cenderung rendah. Dody (1998),
dan Sanusi (2006), menyatakan bahwa oksigen terlarut di perairan berasal dari
difusi udara, fotosintesis fitoplankton dan tumbuhan air (lamun) serta dari
limpasan air permukaan (Run off) maupun dari air hujan.
Nilai BOD pada pesisir perairan Kecamatan Simpang Pesak berkisar 0.45
mg/l 2.61 mg/l. Kisaran nilai tersebut tergolong rendah, artinya wilayah pesisir
perairan Kecamatan Simpang Pesak dikategorikan masih alami dan bebas dari
pencemaran perairan. Effendi (2003) menyatakan bahwa perairan dengan nilai
BOD melebihi 10 mg/l dianggap telah mengalami pencemaran ringan.
Kecepatan arus rata-rata yang terukur di lokasi penelitian berkisar antara
0.019 m/s 0.088 m/s. Arus ini relatif tenang karena pada beberapa spot area
penelitian yang di ukur pada wilayah pesisir Kecamatan Simpang Pesak masih
termasuk wilayah terlindung dan terdapat pulau-pulau kecil yang mengelilinginya.
Kecepatan arus tertinggi ditemukan pada Stasiun III, hal ini disebabkan karena
wilayah pesisir pantai Tj Ru (Pangkalan Aik lanun) terletak di daerah terbuka
tanpa adanya pulau-pulau kecil yang mengelilinginya atau tepatnya berada di
ujung mulut Teluk Balok.
Konsentrasi rerata nitrat dan ortofosfat tidak menunjukkan perbedaan yang
signifikan antar stasiun pengamatan yang diukur. Konsentrasi nitrat (NO3) dan
ortofosfat (PO4) di sekitar wilayah perairan pesisir Kecamatan Simpang Pesak
berkisar antara 0.11 0.22 mg/l dan 0.064 0.075 mg/l. Kandungan nitrat
tertinggi di jumpai pada Stasiun II yaitu sebesar 0.22 mg/l dan didukung oleh
konsentrasi ortofosfat yang cukup tinggi sebesar 0.070 mg/l, hal ini disebabkan
karena adanya masukan air tawar dari darat yang bersumber dari hutan rawa yang
berada disekitar wilayah yang diukur. Berdasarkan baku mutu Keputusan Menteri
Negara Lingkungan Hidup (2004), nilai nitrat dan ortofosfat yang diperoleh diatas
termasuk nilai nitrat dan ortofosfat baku mutu yang telah ditetapkan, dimana nilai
nitrat dan ortofosfat baku mutu untuk biota laut sekitar 0.015 mg/l dan 0.008 mg/l.
17

Menurut Wardoyo (1981) dalam Komala (2012), apabila suatu perairan memiliki
kandungan nitrat sebesar 0.100 0.500 mg/l termasuk tipe perairan mesotrofik.
Menurut Komala (2012), Dalam perairan alami, kadar ortofosfat tidak boleh
lebih dari 0.1 mg/l kecuali perairan yang menerima berbagai macam limbah dari
rumah tangga, industri dan kegiatan pertanian. Ortofosfat (PO4) akan menjadi
faktor pembatas apabila konsentrasinya kurang dari 0.02 mg/l. Perairan dikatakan
subur, apabila kandungan fosfatnya lebih besar dari 0.05 mg/l (Wardoyo 1981).
Konsentrasi bahan organik total (TOM) dalam kolom air berkisar 20.7 mg/l 31.6
mg/l. Koesobiono (1979) menyatakan perairan dengan kandungan bahan organik
total diatas 26 mg/l tergolong subur.
Nilai kerapatan lamun rata-rata berkisar antara 87.06 213.6 tegakan/m2.
Kerapatan lamun tertinggi ditemukan pada Stasiun IV, hal ini didukung oleh
keberadaan mangrove yang rapat. Menurut Bengen (2000), kondisi mangove yang
baik akan berdampak pada keberlangsungan hidup ekosistem lamun dan terumbu
karang, karena ke-3 ekosistem ini saling berinteraksi satu sama sehingga dapat
dikatakan bahwa ketika ekositem mangrove berada dalam kondisi baik, maka
ekosistem lamun dan juga ekositem terumbu karang akan berada dalam kondisi
baik pula. Bahan organik yang tinggi bersumber dari tingginya kerapatan
mangrove dan lamun. Menurut Peterson (1999), meningkatnya jumlah kepadatan
spesies bivalvia suspended feedermampu meningkatkan produktivitas lamun.

Kualitas Substrat
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat variasi substrat pada setiap
stasiun pengamatan. Menurut Veiga et al. (2014), substrat dasar merupakan salah
satu faktor yang dapat mempengaruhi penyebaran makrozobentos, karena selain
berperan sebagai tempat tinggal juga berfungsi sebagai penimbun unsur hara
(sebagai media penyedia sumber makanan), tempat berkumpulnya bahan organik
serta tempat perlindungan organisme dari ancaman predator. Pendistribusian
sedimen biasanya sangat ditentukan oleh pasang surut, gelombang dan debit air
serta interaksi faktor biofisik kelautan lainnya.
Secara umum perairan pesisir Kecamatan Simpang Pesak memiliki profil
topografi pantai yang landai dengan substrat didominasi oleh butiran pasir pada
beberapa stasiun yang diamati terkecuali pada Stasiun IV yang didominasi oleh
persentase debu pada zonasi terdepan yang berdekatan dengan mangrove.
Meskipun demikian ukuran butiran substrat dasar perairan pada masing-masing
stasiun menunjukkan persentase yang berbeda-beda (Lihat Tabel 4). Persentase
debu yang tinggi pada Stasiun IV disebabkan karena wilayah ini merupakan pusat
wilayah teluk Sembulu yang ditumbuhi mangrove sejati beserta lamun dengan
kerapatan kanopi dan tegakan yang tinggi sehingga berkontribusi besar dalam
mensuplai debu. Menurut Bengen (2002), keberadaan mangrove dan lamun
mampu mensuplai bahan organik yang tinggi pada substrat dasar perairan yang
mampu mendukung pertumbuhan dan kelangsungan hidup biota laut asosiasi.
Selain itu, faktor adanya keberadaan sungai, serta masukan bahan organik dari
daratan yang terbawa masuk ke kolom air laut dan mengendap di dasar sedimen
memungkinkan tingginya jumlah ketersediaan makanan (nutrien/unsur hara
penting) yang sangat dibutuhkan demi kelangsungan hidup biota laut bentik pada
kawasan pesisir. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian ini yang menunjukkan
bahwa Stasiun I dan Stasiun IV memiliki kandungan C-organik yang tinggi
18

karena didukung oleh keberadaan lamun dan kerapatan mangrove yang tinggi.
Bengen (2002) mengemukakan bahwa vegetasi mangrove dapat tumbuh dengan
baik pada sedimen berlumpur dan pasir berlumpur terutama di kawasan estuari.
Tabel 4 diatas menunjukkan bahwa secara umum karakteristik substrat antar
stasiun pengamatan pada cakupan kawasan pesisir Kecamatan Simpang Pesak
memiliki kemiripan ekologi yang kuat khususnya pada Stasiun II dan Stasiun III.
Beberapa spesies lamun dan bivalvia yang ditemui di lokasi sampling secara
umum memiliki kesamaan spesies bivalvia, hanya komposisi tiap spesies yang
membedakan. Akan tetapi berbeda halnya pada Stasiun IV yang memilki
kemiripan karakteristik fisika kimia perairan dengan Stasiun I namun tidak
ditemukan komposisi spesies kerang yang sama. Hal ini mengindikasikan bahwa
faktor fisika kimia perairan belum cukup kuat dalam menentukan distribusi
maupun preferensi habitat makrozoobentos khususnya bivalvia, karena ada faktor
lain yang bisa dibandingkan yaitu kualitas substrat, dan hubungan interaksi antar
spesies (kompetisi dan predasi).
Rerata persentase ukuran partikel pasir terbesar terdapat pada stasiun III
(86.5%) diikuti oleh Stasiun II (85.5%) dan Stasiun I (79.5%). Akan tetapi dari
ke-4 stasiun yang diamati, hanya Stasiun III yang memiliki substrat kerikil (pasir
sangat kasar pada zonasi terdepan dengan persentase hampir mencapai 100%, hal
ini dipengaruhi oleh letak Stasiun III berada di ujung Teluk Balok yang
berhubungan langsung dengan laut terbuka (wave exposure area). Ukuran butiran
yang besar ini (kerikil) sangat terkait juga dengan kondisi dinamika perairan yang
ada pada stasiun-stasiun yang diamati. Menurut Malvarez et al. (2001), Arus yang
berasal dari besarnya energi gelombang laut yang menyebar hingga ke tepian
pantai akan mempengaruhi ukuran sedimen yang ada. Neuman and Pierson (1966)
mennambahkan bahwa energi gelombang dipengaruhi oleh kecepatan angin,
kondisi topoghrafi dasar perairan dan luas penyebarannya. Gelombang yang besar
juga berpengaruh terhadap proses pencucian sedimen, yang mana sedimen dengan
ukuran partikel yang kecil akan tercuci kembali ke laut dan hanya sedikit saja
yang mengendap di dasar substrat.
Nilai rerata derajat keasaman (pH) substrat pada daerah pengambilan contoh
di pesisir perairan Kecamatan Simpang Pesak tergolong asam yaitu 5.7 6.8.
Rendahnya pH substrat dibandingkan pH air laut karena adanya pembusukan
daun-daun lamun dan vegetasi mangrove yang hidup berdampingan dengan
vegetasi lamun yang lebih bersuasana asam sedangkan pH air laut lebih
dipengaruhi oleh larutan garam yang bersuasana basa dan besifat penyangga.
Kandungan C-organik pada substrat berkisar antara 2.02% 3.43%.
Sedangkan kandungan Nitrogen dalam substrat berkisar 0.04% 0.14%.
Menurut Sanusi (2006), Sumber utama C-organik pada sedimen berasal dari
penguraian jasad renik (fitoplankton, zooplankton, diatom) yang mati, bisa juga
berasal dari dedaunan / serasah (mangrove, lamun, makroalga) yang mengalami
proses dekomposisi, Sementara distribusi N (nitrogen) dalam laut dipengaruhi
oleh proses fotosintesis, gerakan massa air (adveksi dan difusi) dan gerakan
gravitasi residu organisme air. Fitoplankton yang mati akan mengalami proses
demineralisasi (degradasi) membentuk kembali unsur-unsur penyusunnya (C, N, P)
dengan rasio komposisi C : N : P ~ 106:16:1, yang disebut dengan Redfild Ratio.
Nilai P205 pada substrat berkisar antara 4.77% - 14.2%. Rasio C, N, dan P bisa
digunakan untuk mengetahui kondisi perairan (alami atau tercemar) oleh bahan
19

organik, dimana hubungan antara kandungan bahan organik dan status trofik suatu
perairan dinyatakan oleh BPI (Bio Production Index) yang diperoleh dari
pengukuran persentase kandungan C dan P. Berdasarkan pendekatan BPI,
perairan pesisir Kecamatan Simpang Pesak Kabupaten Belitung Timur termasuk
dalam kondisi perairan yang oligotrofik (BPI rendah).

Sebaran Karakteristik Lingkungan Perairan dan Substrat

Informasi penting terhadap sumbu komponen utama terpusat pada dua (2)
sumbu utama F1 (45.27%) dan F2 (22.27%) dari keseluruhan persentase ragam
total (lihat Gambar 4). Kontribusi variabel terhadap pembentukan sumbu utama
menunjukkan bahwa pada sumbu (F1) dicirikan oleh enam variabel utama yaitu
arus (0.89), pasir (0.9), oksigen terlarut (0.8), karbon organik (-0.94), debu (-0.85)
dan posfat (-0.88). Variabel suhu, salinitas dan TSS berkontribusi cukup besar
terhadap pembentukan sumbu utama (F2) negatif dengan nilai korelasi masing-
masing sebesar -0.76 -0.82 -0.65. Grafik PCA lingkaran korelasi antar variabel
fisika kimia perairan dan substrat pada Gambar 5, menunjukkan bahwa parameter
liat memiliki kontribusi terbesar dari seluruh hubungan korelasi yang ada terhadap
pembentukan sumbu (F3) positif dengan nilai korelasi sebesar 0.97. Akar ciri (F3)
hanya memberikan informasi sebesar 18.22% dari keseluruhan ragam total.
Representasi sebaran stasiun terhadap parameter lingkungan perairan dan
substrat berdasarkan hasil analisis komponen utama (PCA) memperlihatkan
adanya tiga (3) pengelompokkan habitat. Kelompok pertama terdiri dari Stasiun I
(I.1, I.2, I.3) dicirikan oleh parameter salinitas, dan pasir. Kelompok kedua terdiri
dari Stasiun II dan stasiun III. Karakteristik ekologi pada Stasiun II (II.1, II.2, dan
II.3) dicirikan oleh parameter nitrat, dan liat, sementara karakteristik ekologi pada
Stasiun III (III.1, III.2, dam III.3) dicirikan oleh parameter oksigen terlarut, arus
dan pasir. Kelompok ketiga terdiri dari Stasiun IV (IV.1, IV.2, IV.3) dicirikan
oleh parameter TSS, C-organik, posfat, dan debu.

(a) (b)
Gambar 4 Grafik PCA karakteristik habitat (kualitas air dan substrat)
(a) Lingkaran korelasi antar variabel karakteristik habitat (F1 x F2)
(b) Penyebaran stasiun berdasarkan karakteristik habitat (F1 x F2)
20

(a) (b)
Gambar 5 Grafik PCA karakteristik habitat (kualitas air dan substrat)
(a) Lingkaran korelasi antar variabel karakteristik habitat (F1 x F3)
(b) Penyebaran stasiun berdasarkan karakteristik habitat (F1 x F3)

Berdasarkan Gambar 4 dan Gambar 5, menunjukkan bahwa parameter TSS


memiliki hubungan terbalik dengan paremeter Arus, hal ini mengindikasikan
bahwa arus kuat dapat menyebabkan nilai TSS menjadi rendah (Daphne 2011).
Menurut Sanusi (2006), arus kuat bisa mengaduk partikel-partikel yang
mengendap didasar perairan namun akan mudah terbawa ke laut lepas sehingga
menyebabkan rendahnya partikel tersuspensi pada kolom air khususnya di
wilayah pesisir. Selain itu TSS memiliki hubungan yang sama (korelasi positif)
dengan parameter kekeruhan, artinya semakin tinggi TSS maka kekeruhan juga
akan semakin tinggi sementara parameter kecerahan memiliki hubungan terbalik
dengan TSS, artinya semakin rendah TSS maka kecerahan akan semakin tinggi.
Salah satu parameter biofisik kelautan yang sangat menentukan sebaran dan
kepadatan bivalvia adalah arus yang ditunjukkan dengan kuatnya arus pada
masing-masing stasiun kecuali pada Stasiun IV yang dicirikan oleh arus lemah
karena tepat berada di wilayah pusat Teluk Sembulu. Menurut Setyobudiandi
(2009), kondisi arus dapat mempengaruhi penyebaran fraksi substrat. Hal ini
ditunjukkan adanya kontribusi arus pada sumbu cukup besar terlihat dari nilai
korelasi yang cukup besar yaitu r = 0.89, hal ini sangat relevan dengan nilai
korelasi variabel pasir yang juga tinggi dan memiliki hubungan korelasi positif
dengan variabel arus pada sumbu F1, artinya bahwa terjadi hubungan korelasi
positif antara arus terhadap keberadaan pasir (0.9), korelasi negatif terhadap
keberadaan debu (-0.85), akan tetapi antara variabel arus dan variabel liat ternyata
tidak memiliki keeratan hubungan pada sumbu (F1) yang tercermin dari nilai r
yang sangat rendah sebesar 0.09. Hal ini bisa diartikan bahwa semakin kecil
kecepatan arus maka persentase pasir akan semakin rendah namun persentase
debu dan liat menjadi tinggi membentuk sedimen pada permukaan substrat dasar,
sebaliknya semakin besar kecepatan arus maka persentase pasir atau bahkan
kerikil yang akan mendominasi. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Dody
(1998), Komala (2012), Baron and Clavier (1992), Gab-Alla et al. (2007), dan
Campos et al. (2006). Menurut Kodama et al. (2012), kekayaan bahan organik
berkorelasi positif dengan proporsi debu dan liat tetapi berkorelasi negatif dengan
21

proporsi pasir, hal ini yang akan menjadi pemicu perbedaan sebaran spasial
makrofauna bentik serta kepadatan individu dalam suatu komunitas.
Parameter C-organik dengan kepadatan spesies memiliki hubungan korelasi
positif sebesar 0.19. Hal ini sesuai dengan pernyataan Kennish (1990) dimana
kandungan C-organik pada substrat memiliki korelasi yang positif terhadap
kepadatan dan biomassa spesies. Bila dilihat dari kajian analisis komponen utama,
parameter arus dan C-organik memiliki hubungan terbalik (berkorelasi negatif),
artinya kenaikan kecepatan arus menyebabkan minimnya bahan organik baik yang
terkandung dalam kolom air maupun yang terdapat pada substrat. Pergerakan air
seperti arus dan gelombang memberikan pengaruh terhadap kandungan nutrien di
perairan. Perairan yang cukup tenang akan menyebabkan lamanya massa tinggal
bahan organik di perairan sehingga berpeluang untuk mengalami perombakan
menjadi nutrien anorganik. Luasan area (surface area), kedalaman, volume, laju
pembilasan (flushing rate), waktu tinggal air (residence time), pasang surut (tidal
exchange), percampuran (vertical mixing) dan stratifikasi merupakan beberapa
faktor yang mempengaruhi respon perairan terhadap masukan bahan organik dan
akan berpengaruh terhadap transport, transformasi, retensi dan ekspor nutrien
(Koropitan et al. 2009).
Berdasarkan analisis komponen utama (PCA) terlihat bahwa keseluruhan
variabel yang diukur pada dasarnya saling memiliki keterkaitan antar variabel
namun ada 2 variabel yang menjadi faktor pembatas penyebaran kerang (bivalvia)
berdasarkan preferensi habitatnya yaitu kecepatan arus yang berpengaruh pada
jumlah konsentrasi oksigen terlarut (DO), kandungan C-organik, dan penyebaran
fraksi substrat. Pada cakupan area yang lebih sempit, parameter suhu dan salinitas
kurang berpengaruh terhadap penyebaran bivalvia seperti yang terjadi pada
wilayah perairan pesisir Kecamatan Simpang Pesak.
Peranan oksigen di perairan cukup penting yakni untuk pernafasan dan juga
merupakan salah satu komponen utama bagi metabolisme organisme perairan.
Sumber oksigen di perairan berasal dari difusi udara, fotosintesis fitoplankton dan
tumbuhan air serta limpasan aliran permukaan yang masuk juga air hujan (Dody,
1998), selanjutnya dikatakan oleh Seitz (2009) bahwa konsentrasi maksimum
(kejenuhan) oksigen di kolom air tergantung pada suhu perairan setempat, dimana
semakin tinggi suhu air, maka konsentrasi oksigen terlarut semakin menurun.
konsentrasi oksigen terlarut sangat mempengaruhi kepadatan organisme bentik,
dimana oksigen terlarut ~ 4.5 mg/l bisa meningkatkan biomassa dan produktivitas
biota laut, umumnya bivalvia ,masih mampu mentolerir kondisi hypoxia < 2 mg/l
pada periode yang pendek, ketika level oksigen terlarut dibawah 4.5 mg/l akan
mengancam ketersediaan biomasa predator, sehingga keseimbangan ekologi
menjadi terganggu
Wood (1987), menyatakan bahwa bahan organik berasal dari hewan atau
tumbuhan yang membusuk lalu tenggelam ke dasar perairan dan bercampur
dengan lumpur. Bahan organik yang mengendap di dasar perairan merupakan
sumber bahan makanan bagi meiobentos dan organisme bentik lainnya. Jumlah
dan laju penambahan bahan organik dalam sedimen mempunyai pengaruh yang
besar terhadap populasi organisme dasar. Sedimen yang kaya akan bahan organik
sering didukung oleh melimpahnya organisme bentik.
22

Komposisi dan Kepadatan Bivalvia di Pesisir Kecamatan Simpang Pesak

Secara keseluruhan komunitas bivalvia yang ditemukan pada zona intertidal


wilayah pesisir Kecamatan Simpang Pesak terdiri dari 16 spesies dari 14 genera, 7
famili dan 2 ordo yakni ordo Taxodonta dan ordo Eulamellibranchia.
Ordo Taxodonta terdiri dari famili arcidae dari satu genera yang meliputi
tiga spesies yaitu Anadara antiquata, Anadara granosa, dan Anadara (Scapharca/
Curneacea) pilula. Ordo Eulamellibranchia terdiri dari 4 famili yaitu famili
Cartidae yang mencakup spesies Trachycardium subrogosum, famili Mactridae
yang mencakup spesies Mactra grandis, famili Tellinidae yang terdiri dari satu
spesies kerang yaitu Telina timorensis, dan famili Psammobidae yang terdiri dari
satu spesies bivalvia Hiatula chinensis, serta famili Veneridae yang terdiri dari
beberapa spesies kerang seperti Anomalocardia squamosa, Lioconcha castrensis
Gafrarium pectinatum, Gafrarium tumidum, Katelysia japonica, Placemen
chlorotica, Tapes literatus, dan Pitar citrinus. Spesies bivalvia yang memiliki
kepadatan tertinggi dan cenderung mendominasi yaitu G. tumidum, G. pectinatum,
dan S. pilula mampu mencirikan habitat pada setiap stasiun yang diamati. Hal ini
mengindikasikan bahwa wilayah perairan pesisir Kecamatan Simpang Pesak
memiliki variasi habitat yang cukup beragam, yang didukung oleh adanya habitat
padang lamun yang cukup rapat dengan spesies lamun Enhalus acoroides tersebar
pada setiap stasiun yang diamati. Menurut Riniatsih dan Kushartono (2008),
adanya vegetasi lamun yang rapat dapat menahan kecepatan arus di suatu perairan
sehingga dapat meningkatkan jumlah bahan organik yang terakumulasi pada
substrat. Komposisi dan kepadatan spesies bivalvia berdasarkan yang ditemukan
pada setiap stasiun pengamatan tersaji pada Gambar 6 dan Tabel 5.

Gambar 6 Peta distribusi komposisi bivalvia di pesisir Simpang Pesak


23

Tabel 5 Kepadatan spesies bivalvia di pesisir kecamatan Simpang Pesak (ind/m2)


Stasiun
Spesies Bivalvia FK;% Sebaran
I II III IV
Famili Arcidae
Anadara antiquata - - - 2.9 25 Pasir
Anadara granosa - - - 2.9 25 Lumpur
Scapharca pilula - - - 61.6 25 Pasir-lumpur
Famili Cardidae
Trachycardium rugosum - 1.7 - - 25 Pasir
Famili Tellinidae
Tellina timorensis - - 2.4 - 25 Pasir kasar
Famili Mactridae
Mactra grandis - 1.7 - - 25 Pasir
Famili Psammobidae
Hiatula chinensis - - 1.7 - 25 Pasir kasar
Famili Glycymerididae
Glycymeris grayana - 1.7 - - 25 Pasir
Famili Veneridae
Anomalocardia squamosa - - - 25.5 25 Lumpur
Lioconcha castrensis - 1,7 - - 25 Pasir
Gafrarium pectinatum 13.6 28.4 10.1 - 75 Pasir-lumpur
Gafrarium tumidum 8.3 - 59.8 - 50 Pasir-lumpur
Katelysia japonica - - 6.5 - 25 Pasir-lumpur
Placemen chlorotica - - - 2.37 25 Lumpur
Tapes literatus - - 5.3 - 25 Pasir-lumpur
Pitar citrinus - 5.3 - - 25 Pasir
Keterangan: (-); tidak ditemukan

Berdasarkan analisis frekuensi kehadiran, penyebaran spesies-spesies


bivalvia yang paling luas antara lain dari spesies G. pectinatum yaitu sebesar 75%
kemudian disusul dengan spesies G. tumidum sebesar 50%, hal ini
mengindikasikan bahwa genera Gafrarium termasuk kerang intertidal yang
tersebar merata dan cenderung lebih menguasai ruang serta mampu bertahan
hidup hampir diseluruh stasiun yang diamati, namun penyebaran spesies G.
pectinatum tidak diiringi oleh kepadatan spesies yang tinggi di semua stasiun.
Kondisi ini menunjukkan bahwa G. pectinatum mampu menyebar luas secara
spasial akan tetapi cenderung tidak mendominasi akibat minimnya kemampuan
adaptasi pada lingkungan yang lebih bervariasi dan cenderung fluktuatif. Berbeda
halnya dengan spesies-spesies bivalvia lain yang memiliki nilai frekuensi
kehadiran yang rendah sebesar 25% artinya bahwa spesies-spesies ini hanya
ditemukan pada 1 stasiun saja yang biasanya diiringi oleh kepadatan spesies yang
tinggi (S. pilula dan A. squamosa) serta bisa juga karena faktor kesesuaian habitat
yang mencirikan spesies bivalvia tertentu, seperti T. timorensis dan H. chinensis
(Stasiun III), Anadara spp dan P. chlorotica (Stasiun IV), serta P. citrinus
(Stasiun II).
Pada Stasiun I, spesies bivalvia yang memiliki kepadatan tertinggi rata-rata
adalah G. pectinatum sebesar 14 ind/m2 dengan persentase komposisi sebesar
62%, kemudian disusul dengan spesies kerang G. tumidum yang memiliki
24

kepadatan lebih rendah sebesar 8 ind/m2 (38%). Akan tetapi kepadatan individu
Gafrarium spp yang ditemukan pada Stasiun I relatif lebih rendah bila
dibandingkan Stasiun II dan Stasiun III, hal ini dikarenakan keberlangsungan
hidup G. pectinatum maupun G. tumidum telah terdesak oleh kehadiran spesies
lain yaitu siput gonggong (Strombus turturella) dari kelas gastropoda dengan
kepadatan tertinggi dan mendominasi sebagai penyusun struktur komunitas
makrozoobentos pada Stasiun I sehingga spesies Gafrarium spp tidak mampu
bertahan hidup. Menurut Dody (2010), siput gonggong (S. turturella) merupakan
spesies gastropoda yang bersifat grazing feeder yang lebih menyukai habitat pasir
berlumpur yang kaya bahan organik dengan kerapatan lamun yang tinggi. Kondisi
ini membuktikan bahwa Stasiun I cenderung dikategorikan sebagai habitat yang
kurang relevan bagi keberlangsungan hidup bivalvia spesies Gafrarium spp
khususnya G. pectinatum. Menurut Gab-Alla et al. (2007), G. pectinatum lebih
banyak tersebar pada zona intertidal berpasir.
Pada Stasiun II, rerata kepadatan spesies kerang tertinggi secara berturut-
turut yaitu dari spesies G. pectinatum sebesar 28 ind/m2 (70%), disusul dengan
spesies P. citrinus sebesar 5 ind/m2 (13%). Spesies bivalvia T. subrogosum, M.
grandis, dan G. grayana memiliki kepadatan individu yang sangat rendah dan
relatif sama sebesar 2 ind/m2 (4%). Hal ini mengindikasikan bahwa Stasiun II
merupakan habitat yang paling sesuai untuk kelangsungan hidup G. pectinatum
akan tetapi kepadatannya semakin berkurang dikarenakan adanya tekanan ekologi
yang kuat seperti tingkat kekeringan yang tinggi pada substrat dasar akibat
pemanasan matahari secara terus menerus, kemudian secara tidak langsung telah
berdampak pada penyusun komunitas bivalvia yang hidup di daerah tersebut
khususnya dari spesies G. pectinatum. Try (2001) juga menyebutkan bahwa G.
pectinatum hidup pada habitat berpasir dan berlumpur dan umumnya dijumpai
pada zonasi intertidal dan zonasi subtidal.
Pada Stasiun III, spesies bivalvia G. tumidum memiliki kepadatan individu
kerang tertinggi yaitu sebesar 60 ind/m2 (70%), kemudian disusul dengan spesies
kerang G. pectinatum sebesar 10 ind/m2 (12%), dan K. japonica sebesar 7 ind/m2
(7%). Menurut Baron and Clavier (2008), G. tumidum umumnya lebih menyukai
habitat dengan substrat dasar berpasir hingga berlumpur. Sementara spesies
kerang terendah pada Stasiun III adalah T. timorensis dengan kepadatan rata-rata
sebesar 2 ind/m2 (3%) dan H. chinensis sebesar 2 ind/m2 (2%), spesies ini hanya
ditemukan pada Stasiun III tepatnya pada zonasi terdepan sedangkan pada stasiun
lain tidak ditemukan, hal ini terkait dengan kesesuaian hidup pada habitat yang
memiliki partikel substrat pasir kasar serta didukung oleh morfologi tubuh yang
pipih, berbentuk hampir segitiga dan runcing pada bagian anterior serta memiliki
kaki yang kuat. Kerang sudah teradaptasi dengan hempasan gelombang dan
merupakan kerang penggali tercepat setelah terhempas oleh gelombang. Pada
umumnya T. timorensis dan H. chinensis banyak ditemukan pada wilayah pesisir
yang berarus kuat tepatnya pada substrat berpasir, dan kerikil pada zonasi
terdepan wilayah pesisir pantai yang berdekatan dengan daratan (Carpenter and
Niem 1998; de Casamajor 2006).
Spesies kerang tertinggi pada Stasiun IV yaitu S. pilula dengan kepadatan
rata-rata sebesar 62 ind/m2 (65%) kemudian disusul dengan A. squamosa sebesar
25 ind/m2 (27%). Kepadatan bivalvia terendah yaitu spesies P. chlorotica sebesar
2 ind/m2 (2%) kemudian disusul oleh spesies A. granosa dan A. antiquata sebesar
25

3 ind/m2 (3%), hal ini diduga karena terdesak oleh kehadiran spesies-spesies lain
yang lebih mendominasi. Menurut Nybakken (1998), musnahnya populasi bisa
diakibatkan oleh adanya kompetisi dan predasi, dimana kompetisi ini dapat
berupa perebutan pencari makanan, ruang (tempat tinggal), reproduksi dan lain-
lain. Disamping itu tingkat predasi yang tinggi oleh gastropoda Natica sp
menyebabkan A. granosa tidak mampu beradaptasi pada kawasan pesisir Teluk
Sembulu dengan substrat dasar lempung berdebu dan pasir. Hal ini didukung oleh
pernyataan Komala (2012), dimana spesies gastropoda Natica sp merupakan
predator dari A. granosa.
Mendominasinya spesies Anadara (Scaparcha) pilula, disebabkan karena
spesies ini paling mampu beradaptasi serta dapat bertahan hidup pada lingkungan
yang kaya kandungan C-organik. Menurut Riniatsih dan Widianingsih (2007)
spesies kerang genera Anadara cenderung bersifat kosmopolitan yaitu tersebar di
perairan tropis dan subtropis. Kerang ini dapat hidup di perairan dengan substrat
dasar pasir berlumpur di perairan padang lamun. Pakar lain seperti Carpenter and
Niem (1998), Broom (1985), Nurdin et al. (2006), Baron and Clavier (1992ab,
2006), juga menyebutkan bahwa bivalvia genera Anadara banyak tersebar di
wilayah Indo-Pasifik khususnya pada substrat dasar berlumpur, pasir berlumpur
dan lempung berdebu. Menurut Roopnarine (2008); Grillo et al. (1998); Ing (2001)
menyatakan bahwa A. squamosa (suspended feeder) umumnya melimpah pada
substrat dasar berpasir hingga berlumpur yang bebas kandungan liat.
Miskinnya jumlah spesies dan jumlah individu yang ditemukan pada
masing-masing stasiun disebabkan karena kelompok bivalvia tertentu yang
kepadatannya tinggi selalu di eksploitasi oleh masyarakat setempat dalam jumlah
yang sangat besar dengan intensitas eksploitasi yang tak terkendalikan, hal ini
terlihat dari ditemukannya spesies-spesies kerang yang berukuran kecil hampir
pada setiap lokasi penelitian. Selain itu pada spot-spot tertentu (khususnya stasiun
I) terjadi tekanan ekologi yang cukup berpengaruh pada keberlangsungan hidup
biota bentik yang diduga bersumber dari aktivitas penimbunan pasir yang pernah
terjadi di wilayah pesisir pantai hingga sejauh 150 m untuk proses pembuatan
jalan pengangkutan tambang ke kapal pengangkut, akibatnya berdampak pula
pada ekologi Stasiun II yang letaknya berdekatan. Stasiun II saat ini merupakan
wilayah pesisir yang rawan terjadi abrasi pantai yang mana substrat dasarnya
sering terpapar matahari dalam waktu yang cukup lama sehingga dapat berisiko
memusnahkan populasi berbagai spesies bivalvia yang hidup di area tersebut.

Tipe Substrat Versus Kepadatan Spesies Bivalvia pada Zonasi Pasang Surut

Kraufvelin et al. (2007) melaporkan bahwa interaksi antar gerakan air dan
nutrien merupakan faktor yang akan mempengaruhi jumlah dan biomassa lamun
di suatu perairan yang berdampak langsung pada kepadatan jumlah organisme
bentik. Grafik distribusi fraksi sedimen, frekuensi kehadiran serta kepadatan
spesies bivalvia pada masing-masing zona intertidal secara berurutan disajikan
pada Gambar 7, Gambar 8, dan Gambar 9.
26

X = zona pasang surut (Lower, Middle, Upper) pada setiap stasiun penelitian
120
Y = Persentase butiran sedimen

100

80 Kerikil
Pasir
60
Debu
40 Liat

20

0
L (I) M (I) U (I) L (II) M (II) U (II) L (III) M (III) U (III) L (IV) M (IV) U (IV)

Gambar 7 Distribusi substrat dasar perairan pada zona intertidal.

35
Y = Kepadatan individu perjenis

30
25
zona terdepan (L)
(ind/m2)

20 zona tengah (M)


zona belakang (U)
15
10
5
0

Gambar 8 Distribusi bivalvia pada zona intertidal di setiap stasiun pengamatan.

80 X = Bivalvia
Y = frekuensi kehadiran (%)

70 Low zone (L)


60 Middle zone (M)
50 Upper zone (U)
40
30
20
10
0

Gambar 9 Frekuensi kehadiran bivalvia pada zona intertidal.


27

Berdasarkan Gambar 7 diatas, persentase fraksi sedimen pasir cenderung


mendominasi pada setiap zona pasang surut hampir diseluruh stasiun penelitian.
Kecuali pada Stasiun III yang memiliki tekstur pasir kasar (kerikil) pada zonasi
terdepan (lower) namun tidak ditemukan pada zonasi tengah (middle) dan zonasi
belakang (upper). Kondisi ini menggambarkan bahwa Stasiun III sangat
dipengaruhi oleh arus yang kuat karena lokasinya tepat berada di kawasan tanjung
dan berhadapan dengan laut lepas. Akan tetapi berbeda halnya pada Stasiun IV
yang cenderung didominasi oleh debu pada zonasi terdepan, sementara pada
zonasi tengah dan zonasi belakang didominasi oleh pasir, artinya bahwa Stasiun
IV dipengaruhi oleh arus lemah karena tepat berada di kawasan Teluk Sembulu.
Gambar 8 menunjukkan bahwa spesies kerang yang ditemukan pada
masing-masing zonasi intertidal tidak selalu sama pada setiap stasiun yang
diamati. Menurut Nurdin (2008), komposisi dan kepadatan kerang pada zona
intertidal sangat ditentukan oleh kualitas tempat hidup, komposisi ukuran partikel
substrat, suhu, salinitas serta berpengaruh pada tingkah laku ataupun kekhususan
fisiologi yang dimiliki oleh beberapa spesies kerang sebagai bentuk adaptasi
terhadap perubahan lingkungan. Dame (1996), juga menyatakan bahwa kepadatan
dan kelimpahan bivalvia di perairan sangat ditentukan oleh kemampuan
menyesuaikan diri dengan lingkungan tempat organisme itu hidup dan adanya
dominasi spesies dimana spesies yang dominan menggeser spesies yang lain.
Berdasarkan Gambar 9, nilai frekuensi kehadiran bivalvia tertinggi pada
lokasi penelitian adalah spesies G. pectinatum dan G. tumidum, kondisi ini
menunjukkan bahwa spesies ini tersebar merata pada setiap zonasi intertidal dan
cenderung memiliki kepadatan spesies tertinggi. Berbeda halnya dengan spesies S.
pilula yang memiliki kepadatan spesies tertinggi namun nilai frekuensi kehadiran
sangat rendah sebesar 25% oleh karena itu spesies ini hanya bisa dijumpai pada
Stasiun IV. Tingginya kepadatan jenis bivalvia pada zona lower terkait dengan
kemampuan hidup kerang intertidal pada kondisi pasang surut air laut dan arus
gelombang. Kerang intertidal sangat mengikuti pola arus gelombang dimana pada
saat pasang kerang juga ikut bergerak ke arah zona belakang (upper), dan waktu
surut juga ikut bergerak ke zona terdepan (lower). Akan tetapi tidak semua
individu kerang yang ikut pola arus ini tergantung ukuran tubuh seperti ukuran
muda sangat aktif sedangkan juvenil dan dewasa lebih cenderung bergerak pada
zona lower dan middle seperti genera Donax, Gafrarium dan Katelysia.
Denadai et al. (2001) menambahkan bahwa penyebaran spasial moluska
secara vertikal maupun horizontal akan berbeda beda pada masing-masing
individu, tergantung pada fraksi substrat, tipe pantai, dan luasan zona intertidal,
namun tentunya tidak terlepas oleh pengaruh paramater biofisik kelautan yang
akan menyebabkan respon adaptasi yang berbeda pula terutama faktor kekeringan
(dessication). Hasil penelitian Denadai et al. (2001), menemukan fakta mengenai
penyebaran spasial biota laut (bivalvia) khususnya dari jumlah spesies yang
ditemukan pada substrat berpasir zona intertidal cenderung berbeda pada zona
terdepan, (lower tide), zona tengah (middle tide), dan zona belakang (upper tide),
dimana kepadatan spesies tertinggi ditemukan pada zona paling belakang (upper
tide) yang cenderung memiliki spesies yang seragam, sementara kepadatan
spesies terendah ditemukan pada zona terdepan (lower tide) namun spesies
spesies yang ditemukan lebih bervariasi.
28

Keanekaragaman, Keseragaman dan Dominansi Jenis

Nilai indeks keanekaragaman (H), keseragaman (E) dan dominansi (D)


bivalvia tersaji pada Gambar 10 berikut.
1,2
1
0,8
0,6
0,4
0,2
0
I II III IV
H 0,662 1,038 1,033 0,896
E 0,956 0,602 0,576 0,612
C 0,53 0,51 0,51 0,5

Gambar 10 Indeks keanekaragaman (H), keseragaman (E) dan dominansi (C)

Indeks keanekaragaman rata-rata (H) komunitas bivalvia pada perairan


Kecamatan Simpang pesak berkisar antara 0.662 1.038, hal ini mengindikasikan
bahwa kondisi perairan tergolong masih alami dan bebas bahan pencemar
(parameter lingkungan perairan dan sedimen masih mendukung bagi kehidupan
bivalvia, meskipun pada Stasiun I diduga terjadi tekanan ekologi yang cukup
berarti terutama dari aktivitas manusia (antropogenik) yang masih bisa ditolerir
oleh lingkungan perairan. Keanekaragaman terendah dijumpai pada Stasiun I, hal
ini disebabkan oleh terjadinya kompetisi makanan dan ruang yang cukup kuat
antar organisme bentik, Spesies-spesies bivalvia yang mampu hidup pada Stasiun
I tergolong sangat rendah sehingga nilai keanekaragaman spesies juga rendah,
akan tetapi nilai keseragamannya tinggi. Indeks keseragaman (E) berkisar antara
0.576 0.956.
Nilai dominansi berkisar antara 0 1. Semakin besar nilai indeks, maka
semakin besar adanya kecenderungan salah satu spesies yang mendominasi
populasi. Indeks dominansi (C) bivalvia pada masing-masing stasiun pengamatan
di wilayah pesisir Kecamatan Simpang Pesak relatif seragam yaitu berkisar antara
0.50 0.53. Nilai dominansi mendekati 1 (C > 5), mengindikasikan bahwa
terdapat organisme tertentu yang mendominasi.
Bila dibandingkan dengan penelitian yang sama ditempat yang berbeda,
maka kekayaan spesies bivalvia di area yang diteliti dikategorikan cukup beragam
terutama dalam jumlah spesies dan jumlah individu. Nurdin (2008) menemukan
18 spesies bivalvia (5 famili) dari perairan pantai Sumatera Barat dengan skala
yang lebih luas. Kemudian Riniatsih dan Widianingsih (2007), melaporkan 11
spesies bivalvia (4 famili) yang ditemukan di Teluk Awur Semarang. Rendahnya
Keanekaragaman, kepadatan spesies serta biomassa bivalvia juga dilaporkan oleh
Purwoko (2008), yang menemukan 5 spesies bivalvia di pesisir Sembilang
Sumatera Selatan. Hal ini mengindikasikan bahwa distribusi spasial dan
kepadatan bivalvia cenderung berbeda-beda pada suatu wilayah pesisir tergantung
pada karakteristik habitat dan interaksi parameter biofisik kelautan yang
mempengaruhi.
29

Preferensi Habitat Bivalvia Berdasarkan Keberadaan Lamun dan Mangrove

Berdasarkan hasil analisis faktorial koresponden pada Gambar 11 dan


Gambar 12 menunjukkan bahwa sebaran spasial bivalvia terkait karakteristik
habitat pada 4 stasiun pengamatan terpusat pada sumbu utama (F1 dan F2) yang
memberikan kontribusi terhadap keragaman total sebesar 87.62% (F1=57.46%,
F2=30.20%). Kemudian F1 dan F3 berkontribusi sebesar 69.74% (F1=57.46%,
F2=12.28%). Untuk membahas lebih jauh tentang preferensi habitat bivalvia,
maka dilakukan gabungan terhadap hasil analisis faktorial koresponden dengan
hasil analisis PCA lingkungan.
Representasi stasiun dari analisis faktorial koresponden (CA) menunjukkan
bahwa terdapat tiga (3) kelompok asosiasi kemiripan habitat yang terbentuk
(perhatikan Gambar 12). Kelompok pertama (Stasiun I) lebih dicirikan oleh
karakteristik habitat yang ditumbuhi oleh vegetasi mangrove dengan kerapatan
rendah (Mg1), memiliki keanekaragaman spesies serta kerapatan lamun tinggi
(K_lm) dengan persentase penutupan >75% (C_lm) yang dicirikan juga oleh
kehadiran lamun spesies Halophila minor (Hm) yang tidak ditemukan pada
stasiun penelitian lain. Spesies bivalvia yang ditemukan pada Stasiun I yaitu
Gafrarium spp. dengan kepadatan spesies rendah serta ukuran kecil yang relatif
seragam. Karakteristik habitat pada Stasiun I berdasarkan PCA lingkungan,
dicirikan oleh kandungan C-organik rendah, partikel tersuspensi (TSS) cukup
tinggi (namun masih rendah bila dibandingkan Stasiun IV), arus lemah, fraksi
substrat lebih berpasir dan mengandung sedikit lumpur, serta salinitas tinggi. Hal
ini mengindikasikan bahwa Stasiun I merupakan habitat yang kurang relevan bagi
pertumbuhan dan perkembangan hidup bivalvia, akan tetapi sangat sesuai bagi
kehidupan bentos grazing feeder seperti S. turturella (Siput gonggong) yang
banyak ditemukan pada saat observasi di lapangan bahkan menjadi spesies yang
paling mendominasi dalam komunitas bentos di area tersebut.
Kelompok kedua (Stasiun II dan Stasiun III) merupakan kelompok asosiasi
dengan ciri habitat hampir tidak ditemukan vegetasi mangrove (Mg0) di
sepanjang pesisir pantai. kelompok kedua dicirikan oleh hadirnya spesies lamun
E. acoroides, C. rotundata dan H. uninervis yang tumbuh dengan baik didaerah
ini khususnya pada Stasiun III dengan persentase penutupan antara 50% - 75%.
Kelompok kedua merupakan habitat yang ideal bagi pertumbuhan dan
perkembangan hidup bivalvia filter feeder dari genera Gafrarium spp, karena
dicirikan oleh tingginya kecepatan arus, TSS rendah, substrat berpasir, nutrien
tinggi, oksigen terlarut tinggi. Spesies bivalvia Gafrarium spp umumnya hidup
pada daerah yang persentase substrat pasir lebih dominan karena pasir memililki
keunggulan yaitu porositas tanah tinggi sehingga kerang filter feeder akan lebih
mudah memperoleh makanan dari kolom air meskipun bahan organik pada
substrat cenderung rendah. Spesies-spesies bivalvia lain yang ditemukan pada
kelompok kedua yaitu stasiun II terdiri dari G. pectinatum (Gp; spesies dominan),
Pitar citrinus (Pc), Trachycardium subrogosum (Ts), Mactra grandis (Mg),
Glycymeris grayana (Gg), dan Lioconcha castrensis (Lc) sementara pada stasiun
III terdiri dari G. tumidum (Gt ; spesies dominan), G. pectinatum (Gp), Katelysia
japonica (Kj), Tapes literatus (Tl), Tellina timorensis (Tt) dan Hiatula chinensis
(Hc). Persentase kerikil yang tinggi pada zona terdepan hanya ditemukan di
30

Stasiun III karena dipengaruhi oleh arus yang cukup kuat sehingga spesies kerang
T. timorensis dan H. chinensis bisa dijumpai di daerah ini.
Kelompok ketiga (Stasiun IV) merupakan kelompok habitat yang dicirikan
oleh tingginya kerapatan mangrove (Mg2), dan ditumbuhi oleh vegetasi lamun
dengan penutupan > 75%. Spesies lamun yang banyak ditemukan pada Stasiun IV
yaitu Thalassia hemprichii (Th). Kondisi habitat pada Stasiun IV dengan tipe
substrat debu lebih dominan, C-organik tinggi, TSS tinggi, posfat tinggi
merupakan habitat yang paling disenangi oleh spesies-spesies bivalvia dari genera
Anadara khususnya Anadara (Scapharca) pilula yang menjadi spesies dominan
pada Stasiun IV. Untuk memperoleh makanan dengan baik, sebagai biota yang
mendapatkan makanannya dengan jalan menyaring air (filter feeder), kerang bulu
maupun kerang gelatik biasanya membenamkan dirinya tidak terlalu jauh dari
permukaan serta memilih daerah yang relatif tenang. Hal ini berhubungan erat
dengan mekanisme pengambilan makanan serta kelengkapan anatominya yang
tidak memiliki syphon yang merupakan salah satu ciri dari famili Arcidae
(Mubarak 1987; Kilburn 1999). Selain itu dijumpai juga spesies lain A. squamosa
(As) yang menyebar pada jarak 0 - 30 m dengan kepadatan individu yang cukup
tinggi akan tetapi masih rendah bila dibandingkan dengan kepadatan S. pilula
yang banyak ditemukan mengelompok pada jarak 30 100 m dari garis tinggi
pasang rata-rata ke arah laut dengan membenamkan diri didalam substrat dasar
perairan. Spesies bivalvia lain yang ditemukan pada kelompok ketiga yaitu
Anadara antiquata (Aa), Anadara granosa (Ag), Placemen chlorotica (Pc).

2,0

1,5 Hc, Kj, Tt, Tl

Gt

1,0

ST3
0,5
Dimensi 2 (F2 ; 30,26%)

Mg2, Pch, Th, Aa, Ag, As, Sp Cr


ST4
K_Lm
C_lm
0,0
ST1
Ea
Hm
-0,5
ST2 Mg1
Gp

-1,0
Hu

-1,5
Gg, Lc, Ts, Mg, Pcit

-2,0

-2,5 Stasiun
-2,0 -1,5 -1,0 -0,5 0,0 0,5 1,0 1,5
Variabel
Dimensi 1 (F1; 57.46%)

Gambar 11 Grafik CA preferensi habitat bivalvia pada sumbu (F1 dan F2)
31

2,0

Gg, Lc, Ts, Mg, Pcit


1,5

1,0

Ea Gp Hc, Kj, Tt, Tl


Dimensi 3 (F3; 12.28%)

0,5 ST2 Hu
Gt
Mg2, Pch,Th, Aa, Ag,As, Sp ST3
ST4 Cr
C_lm
0,0 K_Lm

ST1
-0,5
Mg1

-1,0

Hm
-1,5

-2,0
Stasiun
-2,0 -1,5 -1,0 -0,5 0,0 0,5 1,0 1,5
Variabel
Dimensi 1 (F1; 57.46%)

Gambar 12 Grafik CA preferensi habitat bivalvia pada sumbu (F1 dan F3)

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kondisi substrat serta keberadaan


vegetasi terutama mangrove dan lamun merupakan hal penting yang harus ada
demi menunjang kehadiran dan kesesuaian hidup bivalvia berdasarkan tingginya
kepadatan spesies bivalvia. Vegetasi lamun dan mangrove merupakan sumber
utama penyedia nutrien yang berasal dari serasah daunnya. Kehadiran mangrove
dan lamun pada suatu lokasi juga dapat berfungsi sebagai peredam gelombang
sehingga lokasinya relatif tenang. Keuntungan lain yang di dapat adalah lamun
juga merupakan salah satu penyuplai oksigen terlarut ke perairan melalui hasil
fotosintesis. Kondisi demikian sudah tentunya akan memudahkan beberapa
spesies kerang yang mendiami areal tersebut untuk mengambil makanan dan
melakukan aktivitas metabolisme dengan baik.
Menurut Riniatsih dan Widianingsih (2007), salah satu faktor ekologi yang
dapat mempengaruhi distribusi kerang adalah kondisi dan tipe substrat dasar
perairan yang tentunya tidak terlepas dari melimpahnya kandungan bahan organik.
Selain substrat, hasil penelitian yang dilakukan oleh Kraufvelin et al. (2007)
menunjukkan bahwa interaksi antara gerakan air dan nutrien merupakan faktor
yang mempengaruhi jumlah dan biomassa lamun di suatu perairan sehingga
berdampak pada melimpahnya jumlah organisme bentik. Hal ini mengindikasikan
bahwa distribusi dan kepadatan bivalvia tidak terlepas dari keberadaan lamun
serta interaksinya dengan ekosistem lain yang hidup berdampingan pada wilayah
pesisir laut
Kehadiran kerang gelatik (S. pilula) pada suatu daerah yang relatif tenang
pada umumnya diidentifikasi sebagai daerah yang memiliki komposisi substrat
32

lumpur pada lapisan atas relatif lebih tinggi dengan ketebalan 1 cm 2 cm. Biota
ini berada di dekat lapisan permukaan substrat dan memposisikan dirinya
sedimikian rupa sehingga dalam pengambilan makanannya, substrat yang
berukuran lebih besar ataupun benda-benda asing lainnya tidak ikut terbawa
masuk pada saat penyaringan. Untuk memudahkan air masuk keluar melalui
tubuhnya pada saat menyaring makanan, maka ia memposisikan dirinya
sedimikian rupa agar dapat menyaring air dari atas. Untuk keperluan ini
mantelnya akan membentuk dua lobang pemisah antara aliran air yang masuk
(inhalant) dan aliran air yang keluar (exhalant). Hal ini bila diamati secara
sepintas keberadaan biota ini dialam, terkadang hanya nampak dua lobang kecil
sebagai tempat keluar masuknya air. Bila ada benda asing yang kebetulan masuk
atau mengahalangi lobang tersebut, maka secara refleks cangkangnya akan
menutup sehingga benda tersebut dapat terlempar keluar.
Satrioajie (2010) juga menyatakan bahwa habitat A. pilula terdapat pada
sedimen dasar perairan yang lembut seperti pasir, lumpur maupun campuran pasir
dan lumpur. Pada umumnya sedimen lumpur mengkarakteristikkan perairan yang
berarus lemah dan bertemperatur tinggi. Komala (2012) juga menyatakan bahwa
spesies kerang A. antiquata (kerang bulu), S. pilula (kerang bulu/kerang gelatik)
memiliki kecenderungan menyenangi habitat dengan karakteristik substrat yang
didominasi oleh pasir sehingga spesies kerang A. granosa (kerang darah) tidak
akan mampu berkompetisi pada habitat tersebut karena kesesuaian habitat dari
kerang darah cenderung berbeda dari spesies kerang lain yang masih dalam famili
arcidae. Menurut Broom (1985), A. granosa umumnya hidup pada habitat yang
didominasi oleh substrat lumpur pada daerah tropis. Menurut Dody (1998),
Anadara lebih menyukai habitat yang berada di depan mangrove dan ditumbuhi
lamun yang lebat, Pathansali (1966) juga mengemukakan bahwa habitat yang
ideal bagi A. granosa adalah daerah pasang surut yang terlindung dari ombak
dengan 90% luasan areanya terdiri atas lumpur halus (diameter < 0.124 mm)
berada dikawasan pesisir yang berbatasan dengan vegetasi mangrove dan muara
sungai dengan salinitas berkisar antara 18o/oo dan 30o/oo. Walaupun bisa juga
ditemukan pada substrat dasar lumpur berpasir, namun jumlah dan ukurannya
tidak sebaik di lumpur halus yang payau.
Berbeda halnya dengan spesies kerang G. tumidum dan G. pectinatum
yang cenderung lebih menyukai habitat berpasir dan mampu hidup pada wilayah
yang berarus kuat dan mengandung sedikit bahan organik karena kerapatan lamun
yang cenderung lebih rendah. Hal ini terlihat dari hasil penelitian ini yang
membuktikan bahwa kepadatan tertinggi spesies kerang Gafrarium spp ditemukan
pada Stasiun II dan Stasiun III dengan kondisi habitat berarus kuat, substrat
berpasir serta didukung oleh kesesuaian parameter fisika, kimia dan biologi bagi
kehidupan bivalvia khususnya spesies G. tumidum. Akan tetapi kepadatan
bivalvia pada Stasiun II cenderung lebih rendah diduga karena adanya faktor
pemangsaan dan penguasaan ruang dari bintang laut pasir. Menurut Try (2001),
spesies G. tumidum hidup pada substrat dasar berpasir pada area dekat pantai
hingga kedalaman 10 m, kemudian Malau (2002) menyebutkan bahwa Gafrarium
spp hidupnya terbenam secara vertikal, kadang-kadang posteriornya muncul pada
permukaan pasir. Umumnya kerang dari famili Veneridae hidup di laguna atau
perairan yang dangkal dan terkadang kerang-kerang tersebut membentuk populasi
yang padat, hal ini merupakan bentuk adaptasi dari Gafrarium spp terhadap faktor
33

kekeringan (lama penyinaran matahari) dan untuk menghindari serangan predator


(Kurihara 2003). Adapun predator-predator yang umumnya dapat merusak
keseimbangan ekosistem pesisir dan memusnahkan populasi bivalvia antara lain
bintang laut (Pisaster ochraceus), Nucella emarginata and N. Canaliculata),
Crabs, dan Haemotopus ostralegus (Gosling 2003)
Faktor ketersediaan makanan (fitoplankton, zooplankton, zat organik
tersuspensi) juga ikut berpengaruh dalam menunjang keberlangsungan hidup serta
pertumbuhan bivalvia (Dame 1996). Bivalvia mendapatkan makanan dengan
filtrasi menggunakan siphon demi menghindari kompetisi makanan sesama
spesies (Nurdin et al. 2008). Faktor-faktor biologis utama pada zona intertidal
meliputi persaingan baik antar spesies maupun inter spesies, pemangsaan
(predator), dan grazing (herbivor), (Nybakken. 1998; Levinton 1982).Karena
kecilnya ruang pada daerah intertidal yang berkaitan dengan dimensi fisik dan
pada waktu yang sama maka populasi organisme menjadi padat, sehingga
menyebabkan terjadinya persaingan baik dalam hal mencari makan maupun untuk
tempat tinggal.
34

5 KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa:


1 Komunitas bivalvia yang ditemukan di perairan pesisir Kecamatan
Simpang Pesak Kabupaten Belitung Timur terdiri dari 16 spesies dari 14
genera dan 7 famili (Arcidae, Cardidae, Tellinidae, Mactridae,
Psammobidae, Glycymerididae, dan Veneridae) dengan spesies yang paling
mendominasi yaitu Gafrarium pectinatum (Stasiun I dan Stasiun II),
Gafrarium tumidum (Stasiun III) dan Scapharca pilula (Stasiun IV).
2 Distribusi spasial dan preferensi habitat bivalvia sangat terkait dengan
karakteristik sedimen dan interaksi parameter biofisik kelautan.
3 Hasil penelitian menemukan 3 kelompok kemiripan ekologi yaitu
Kelompok I (Stasiun I) dicirikan oleh karakteristik substrat lempung
berpasir, arus lemah, C-organik tinggi merupakan habitat yang kurang
relevan bagi kehidupan kerang Gafrarium spp; Kelompok II (Stasiun II dan
Stasiun III) dicirikan oleh karakteristik substrat berpasir, arus kuat, organik
karbon rendah merupakan habitat yang ideal untuk kehidupan kerang filter
feeder khususnya G. tumidum dan G. pectinatum; Kelompok III (Stasiun IV)
dicirikan oleh karakteristik habitat lempung berdebu namun masih bisa
dijumpai substrat berpasir, arus lemah, C-organik tinggi merupakan
preferensi habitat yang sesuai bagi kehidupan S. pilula.

Saran

Perlu kajian lebih mendalam mengenai sebaran spasial secara vertikal


(berdasarkan variasi kedalaman)
Perlu dilakukan sampling setiap bulannya dalam kurun waktu yang lebih lama
dari sampling yang dilakukan pada penelitian ini agar datanya lebih bagus dan
bisa mewakili musim-musim tertentu.
35

DAFTAR PUSTAKA

APHA. 2005. Standard Methods for the Examination of Water And Wastewater.
American Public Health Association (APHA), 18th,Ed., Washington, DC.
159 page.
Aryanto, Nasrun, Sianipar AH, Sarmili L. 2005. Granit kelumpang sebagai granit
tipe 1 di Pantai Teluk Balok Belitung. Jurnal Geologi Kelautan 3 (1) : 19
27.
Barnes RD. 1987. invertebrate Zoology. Fifth ed. W. B. Saunders Co. London.
1089p.
Bengen DG. 2000. Teknik Pengambilan Contoh dan Analisis Data Biofisik
Sumberdaya Pesisir. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor (PKSPL IPB).
Jakarta. 88 hlm.
Bengen DG. 2002. Pedoman teknis pengenalan dan pengelolaan ekosistem
mangrove. Bogor. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Laut (PKSPL) IPB.
88 hlm.
Baron J. 2006. Reproductive Cycles of the Bivalvia Molluscs Atactodea striata
(Gmelin), Gafarium tumidum Roding and Anadara scapha (L.) in New
Caledonia, Australian. Journal of Marine and Freshwater Research, 43(2) p.
393401.
Baron J and Clavier J. 1992a. Effect of environmental factors on the distribution
of the edible bivalves Atactodea striata, Gafrarium tumidum and Anadara
scapha on the coast of New Caledonia (SW Pacific). Aquat. Living Resour.
No.5: 107-114.
Baron J and Clavier J. 1992b. Estimation of soft bottom intertidal bivalve stocks
on the south west coast of New Caledonia (SW Pacific). Aquat. Living
Resour. No.5: 99-105.
BPS. 2012. Kecamatan Simpang Pesak Dalam Angka 2012. Pemerintah Daerah
Kabupaten Belitung Timur. 110 hlm.
Brandt A, Linse K & Schuller, M. 2009. Bathymetric distribution patterns of
Southern Ocean macrofaunal taxa: Bivalvia, Gastropoda, Isopoda and
Polychaeta. Deep-Sea Research 1(56): 20132025.
Broom MJ. 1985. The Biology and culture of marine bIvalves Moluscas of The
Genera Anadara. ICLARM Stud, 37pg. (ISSN 0115-4389, ISBN 9711022
21 4).
Brusca R C and Brusca G J. 2003. Invertebrates. Second Edition. USA. 965p.
Clark RB 1977. Marine pollution. Oxford (UK): Clarendon Press. 234 p.
Campos, del Norte AGC, Wilfredo L, Campos, and Karen A, Villarta. 2005.
Survey of Macro-Invertebrate Gleaning in The Banate Bay Intertidal Area,
Eastern Panay Island. Journal of Science Diliman (July-December 2005)
(17):2, 11-20.
Carpenter KE, and Niem VH. 1998. FAO Species identification guide for fishery
purposes. The living marine resources of the western central Pacific. Vol 1.
Seaweeds, Corals, Bivalves, and Gastropods. Rome, FAO.
Dame RF. 1996. Ecology of Marine Bivalves an Ecosystem Aproach. NewYork:
CRC Press. 240p.
36

Daphne LH, Utomo HD, Kenneth LZ. 2011. Correlation between turbidity and
total suspended solid Singapore Rivers. Journal of water sustainability 1(3):
313-322.
De Casamajor MN, Cail-Milly N, Morandeau G, Lissardy M. 2006. Bivalves
biodiversity and distribution on the Aquitan Coast Bay of Biscay. France.
Ifemer. 52p.
Denadai MR, Amaral ACZ and Turra A . 2001. Spatial distribution of moluscs on
sandy intertidal substrates with rock fragmens in South Eastern Brazil.
Estuarine, Coastal and Shelf Science. Vol. 53: 733-743.
Dharma B. 1988. Siput dan kerang Indonesia (Indonesian Shells). PT. Sarana
Graha. Jakarta.
Dharma B. 1992. Siput dan kerang Indonesia shells II. PT Sarana Graha. Jakarta.
Dody S. 1998. Distribusi spasial dan preferensi habitat kerang darah (Anadara
maculosa, Linnaeus 1758) di Perairan Teluk Kontania Seram Barat Maluku
[tesis]. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Dody S. 2011. Pola sebaran, kondisi habitat dan pemanfaatan siput gonggong
(Strombus turturella) di Kepulauan Bangka Belitung. OLDI 37(2): 339-353.
ISSN 0125-9830
Effendi H. 2003. Telaah kualitas air bagi pengelolaan sumberdaya dan lingkungan
perairan. Jurusan Maajemen Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan dan
Ilmu Kelautan IPB. Bogor.
Gosling E. 2003. Bivalve Molluscs; Biology, Ecology and Culture. Fishing New
Books An imprint of Blackwell Science. USA
Fachrul M F. 2006. Metode Sampling Bioekologi. PT Bumi Aksara. Jakarta.
Faulkner P. 2010. Morphometric and taphonomic analysis of granular ark
(Anadara granosa) dominated shell deposits of Blue Mud Bay, Northern
Australia. Journal of Archaeological Science 37:1942-1952.
Gab-Alla A, Mohamed SZ, Mahmoed M., Soliman BA. 2007. Ecological and
Biological Studies on Some Economics Bivalves in Suez Bay, Gulf of Suez,
Red Sea, Egypt. Journal of Fisheries and Aquatic Science, 2(3):178-194.
Grillo MCG, Ventura CRR, da Silva SHG. 1998. Spatial distribution of bivalvia
(Mollusca) in the soft bottoms of ilha Grande Bay, Rio de Jeneiro Brazil.
Rev. brass. oceanogr. 46(1):19-31.
Gunkel W. 1976. Organic substrate. Bacteria, Fungy and Blue Green Algae. John
Wiley and Sons Inc. New York.
Ilahude AG. 1998. Pengantar ke Oseanologi Fisika. P3O LIPI, Jakarta.
Kennish MJ. 1990. Ecology of estuaria. Volume II. Biological aspects. CRC Press.
Florida.
Kilburn R. 1999. Family Veneridae in South-East Asia. Procedding 10th Congress
and Workshop. Vietnam (IV): Tropical Marine Molluscs Programme
(TMMP) Ministry of Fisheries. 629-638p.
KMNLH. 2004. Keputusan Kantor Menteri Negara Kependudukan dan
Lingkungan Hidup No. 51 tahun 2004. Baku mutu air laut untuk biota laut
dan budidaya laut. Jakarata. 6 hlm
Komala R (2012). Analisis Ekobiologi sebagai dasar pengelolaan sumberdaya
kerang darah (Anadara granosa) di Teluk Lada Perairan Selat Sunda.
[thesis]. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
37

Krebs CJ. 1972. Ecology, the experimental analisys of distribution and abundance.
Harper And Row Publ. New york. 419 p.
Kurihara T. 2003. Adaptations of subtropical venus clams to predation and
desiccation: endurance of Gafrarium tumidum and avoidance of Ruditapes
variegatus. Marine Biology, 143: 1117-1125.
Kodama K, Lee JH, Oyama M, Shiraishi H, Horiguchi T. 2012. Disturbance of
benthic macrofauna in relation to hypoxia and organic enrichment in
eutrophic coastal bay. J. of Marine Environmental Research. 76; 80 89.
Koropitan, A.F, Ikeda M, Damar A, dan Yamanaka Y. 2009. Influences of
physical processes on the ecosystem of Jakarta Bay: a coupled physical
ecosystem model experiment. J Mar Sci, 66: 336348.
Levinton JS. 1982. Marine ecology. Prentice Hall Inc., Englewood Cliffs. New
Jersey.
Malau RDY. 2002. Studi hubungan kualitas habitat terhadap pola distribusi
kerang kerek Gafrarium spp. pada ekosistem padang lamun di Gugus Pulau
Pari Kepulauan Seribu [skripsi]. Institut Pertanian Bogor.
Malvarez GC, Jooper JAG, Jackson DWT. 2001. Relationship between wave
induced-current and sediment grain size on sandy tidal-flat. Journal of
sedimentary research. 71(5): 705-712.
Neumann G and Pierson WJ. 1966. Principles of physical oceanography. Prentice-
Hall Inc. Englewood Cliffs, New Jrsey.
Nurdin J, Neti M, Anjas A, Rio D, Jufri M. 2006. Kepadatan populasi dan
pertumbuhan kerang darah Anadara antiquata L (Bivalvia: Arcidae) di
Teluk pisang-pisang, Kota Padang, Sumatera Barat. Makara Sains 10(2):
96-101.
Nurdin J, Supriatna J, Patria MP, Budiman A. 2008. Kepadatan dan
keanekaragaman kerang intertidal (Mollusca: Bivalvia) di perairan Pantai
Sumatera Barat. Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi-II 2008
Universitas Lampung, 17-18 November 2008.
Nurdin J. 2009. Ekologi populasi dan siklus reproduksi kerang kopah Gafrarium
tumidum Roding 1978 (Bivalvia: Veneridae) di perairan Pantai Teluk
Kabung, Padang Sumatera Barat [Disertasi]. Depok (ID): Universitas
Indonesia. 220 hlm.
Nybakken 1998. Biologi laut, suatu pendekatan ekologis. PT. Gramedia. Jakarta.
Odum EP. 1993. Dasar-dasar ekologi. Yogyakarta:Gadjah Mada University Press.
Pathansali D. 1966. Notes on the biology of the cockle culture Anadara granosa L.
Proc. IPFC Fish. Counc. 11 (II): 84 89.
Peterson BJ. Kenneth L. Heck JR. 1999. The potential for suspension feeding
untuk meningkatkan produktivitas lamun. Journal of Experimental Marine
Biology and Ecology. 240 (1999); 37 52.
Purwoko A. dan Wolff WJ. 2008. Low biomass of macrobenthic fauna at a
tropical mudflat: an effect of latitude?. Estuarine, Coastal and Shelf
Science. Vol 76: 869875.
Prasojo S, Irwani A, Suryono CA. 2012. Distribusi dan kelas ukuran panjang
Kerang Darah (Anadara granosa) di Perairan Pesisir Kecamatan Genuk
Kota Semarang. Jurnal of Marine Research. Vol. 1(1): 137-145.
38

Riniatsih I dan Kushartono EW. 2008. Substrat dasar dan parameter oseanoghrafi
sebagai penentu keberdaan gastropoda dan bivalvia di Pantai Sluke
Kabupaten Rembang. Jurnal Ilmu Kelautan 14(1): 50-59.
Riniatsih I dan Widianingsih. 2007. Kelimpahan dan pola sebaran kerang-
kerangan (Bivalvia) di ekosistem padang lamun, perairan Jepara. Jurnal
Ilmu Kelautan UNDIP 12(1): 53-58. ISSN 0853-7291.
Roopnarine PD, Signorelli J, Laumer C. 2008. Systematic, biogeographic and
microhabitat based on morphometric variation of A. squamosa
(Bivalvia:Veneridae:Chioninae) in Thailand. The Raffles Bulletin of Zoology.
No.18: 95-102.
Satrioajie WA. 2010. Studi kepadatan dan distribusi Kerang Bulu Anadara
(Cunearca) pilula (Reeve, 1843). [Tesis,tidak dipublikasikan]. Semarang:
Universitas Diponegoro. 134 hlm
Seitz RD, Dauer DM, Lianso RJ. Long WC. 2009. Broad scale effects of hypoxia
on benthic community structure in Chesapeake Bay, USA. Journal of
Experimental Marine Biology and Ecology. 381 (2009) S4-S12.
Setyobudiandi I, Vitner Y, Zairon, Kurnia R, Susilo SB. 2004. Metode penarikan
contoh suatu pendekatan biostatistika. PKSPL IPB. Jakarta.
Setyobudiandi I, Sulistiono, Yulianda F, Kusmana C, Hariyadi S, Damar A,
Sembiring A, Bahtiar. 2009. Sampling dan Analisis Data Perikanan dan
Kelautan; Terapan Metode Pengambilan Contoh di Wilayah Pesisir dan
Laut. Makaira Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB. Bogor. 410hlm
Setyono DED. 2006. Karakteristik biologi dan produk kekerangan laut. Oseana
31(1): 1-7.
Sumich JL. 1992. An introduction to the biology of marine life. Fifth Edition. Wm.
C. Brown Company Publishers.
Try. 2001. Utilization of marine bivalves and gastropods in Cambodia. Phuket
Marine Biological Central Special Publication. 25(2): 387-403
Verween A, Vincx M, Degraer S. 2007. The effect of themperature and salinity on
the survival of Mytilopsis leucophaeat a larvae (Mollusca, Bivalvia). The
search for environmental limits. Journal Experimental Marine Biology and
Ecology. 348: 111 120.
Veiga P, Rubal M, Cacabelos E, Maldonado, Sousa-Pinto I. 2014. Spatial
variability of macrobentic zonation on exposed sandy beaches. Journal of
Sea Research. 90; 1- 9.
Wardoyo ST. 1981. Kriteria kualitas air untuk perikanan dalam analisa dampak
lingkungan. PLN-PUDSI. IPB. Bogor.
Wells F E and Bryce C W. 1988. Seashells of Weastern Australia. Weastern
Australia Museum.
39

Lampiran 1 Kondisi umum daerah penelitian

Stasiun I

Stasiun II

Stasiun III

Stasiun IV
40

Lampiran 2 Dokumentasi kegiatan penelitian

Melakukan titrasi winkler (DO) Pengukuran pH perairan

Pengukuran salinitas perairan Pengukuran suhu perairan

Pengukuran DO dilapangan Pengambilan sampel air

Pengamatan bivalvia Peralatan-peralatan di lapangan


41

Lampiran 3 Spesies-spesies bivalvia yang ditemukan di lokasi penelitian

Pitar citrinus Anadara spp. Tapes literatus

Mactra grandis Katelysia japonica Glycymeris grayana

G. tumidum G. pectinatum T.subrugosum

Hiatula chinensis

Placemen chlorotica Tellina timorensis Anomalocardia squamosa

Anadara antiquata Scapharca pilula Anadara granosa


42

Lampiran 4 Tabulasi data hasil analisis komponen utama (PCA)

Faktor Eigenvalue Keragaman Total (%) Kumulatif (%)


1 4.98 45.27 45.27
2 2.45 22.27 69.54
3 2.00 18.22 85.76
4 0.95 8.67 94.44
5 0.38 3.49 97.94
6 0.13 1.19 99.13
7 0.08 0.77 99.90
8 0.01 0.09 100.0

Parameter Faktor 1 Faktor 2 Faktor 3


Suhu -0.157 -0.764 -0.037
Salinitas 0.353 -0.819 0.116
Total Suspended Solid (TSS) -0.330 -0.649 0.567
Oksigen Terlarut (DO) 0.788 0.243 0.023
Nitrat 0.337 0.567 0.647
Posfat -0.878 0.358 0.133
Arus 0.884 0.161 -0.363
C-organik -0.945 -0.226 0.059
Pasir 0.900 -0.328 -0.027
Debu -0.849 0.224 -0.385
Liat 0.098 0.167 0.973
Lamun -0.169 0.446 -0.139
Bivalvia -0.070 -0.509 -0.268

No Hubungan Antar Variabel (X) dan (Y) Nilai r (korelasi)


1. Suhu dengan kepadatan bivalvia 0.17
2. Salinitas dengan kepadatan bivalvia -0.19
3. TSS dengan kepadatan bivalvia -0.53
4. Arus dengan kepadatan bivalvia 0.0017
5. Oksigen terlarut dengan kepadatan bivalvia -0.20
6. Posfat dengan kepadatan bivalvia 0.40
7. Nitrat dengan kepadatan bivalvia -0.41
8. C-organik dengan kepadatan bivalvia 0.19
9. Pasir dengan kepadatan bivalvia -0.49
10. Debu dengan kepadatan bivalvia 0.78
11. Liat dengan kepadatan bivalvia -0.81
12. Lamun dengan kepadatan bivalvia -0.10
43

Lampiran 5 Tabulasi data hasil analisis koresponden (CA)

Dimensi Eigenvalues Keragaman (%) Kumulatif (%)


1 0.33 57.46 57.46
2 0.18 30.26 87.72
3 0.07 12.28 100.00

Nilai Koordinat (Analisis CA)


Stasiun
Dimensi 1 Dimensi 2 Dimensi 3
I 0.27 - 0.21 - 0.39
II 0.45 - 0.75 0.41
III 0.57 0.60 0.14
IV - 0.76 0.06 0.0669

Nilai Koordinat (Analisis CA)


Parameter
Dimensi 1 Dimensi 2 Dimensi 3
Aa - 1.32 0.14 0.19
Ag - 1.32 0.14 0.19
Sp - 1.32 0.14 0.19
Ts 0.79 - 1.80 1.54
Tt 0.98 1.43 0.52
Mg 0.79 - 1.80 1.54
Hc 0.98 1.43 0.52
Gg 0.79 - 1.80 1.54
As - 1.32 0.14 0.18
Lc 0.79 - 1.80 1.54
Gp 0.75 - 0.83 0.56
Gt 0.92 1.20 0.28
Kj 0.98 1.43 0.19
Pch - 1.32 0.14 0.19
Tl 0.98 1.43 0.53
Pcit 0.79 - 1.80 1.54
K_Lm 0.09 - 0.04 - 0.12
Mg1 0.55 - 0.75 - 0.87
Mg2 - 1.32 0.14 0.19
C_lm 0.09 - 0.05 - 0.04
Ea 0.41 - 0.37 0.59
Cr 0.49 0.16 - 0.01
Hu 0.68 - 1.32 0.43
Hm 0.49 - 0.49 - 1.47
Th - 1.32 0.14 0.19

Sambungan disebelah:
44

Stasiun Dimensi 1 Dimensi 2 Dimensi 3


I 0.1355 - 0.1344 - 0.4026
II 0.1086 - 0.2483 0.2131
III 0.2277 0.3336 0.1226
IV - 0.4718 0.0492 0.0669

Parameter Dimensi 1 Dimensi 2 Dimensi 3


Aa -0.005162 0.000741 0.001582
Ag -0.005162 0.000741 0.001582
Sp -0.107370 0.015420 0.032905
Ts 0.001846 -0.005815 0.007829
Tt 0.003066 0.006190 0.003570
Mg 0.001846 -0.005815 0.007829
Hc 0.002299 0.004643 0.002678
Gg 0.001846 -0.005815 0.007829
As -0.044393 0.006375 0.013605
Lc 0.001846 -0.005815 0.007829
Gp 0.051484 -0.078921 0.083162
Gt 0.082844 0.148884 0.055286
Kj 0.008431 0.017023 0.009819
Pch -0.004130 0.000593 0.001266
Tl 0.006898 0.013928 0.008033
Pcit 0.005538 -0.017445 0.023488
K-Lm 0.075505 -0.044675 -0.221975
Mg1 0.018276 -0.034241 -0.062035
Mg2 -0.139374 0.020016 0.042714
C-lm 0.040133 -0.032096 -0.033711
Ea 0.001944 -0.002417 0.006108
Cr 0.003277 0.001456 -0.000133
Hu 0.001128 -0.003011 0.001545
Hm 0.000263 -0.000360 -0.001690
Th -0.002882 0.000414 0.000883
Keterangan: A. Antiquata (Aa), A. granosa (Ag), S. pilula (Sp), T.subrogosum (Ts), T.
timorensis (Tt), M. grandis (Mg), H. chinensis (Hc), G. grayana (Gg), A. squamosa
(As), L. castrensis (Lc), G. pectinatum (Gp), G. tumidum (Gt), K. japonica (Kj), P.
chlorotica (Pch), T. literatus (Tl), P. citrinus (Pc), Kerapatan lamun (K_Lm),
Mangrove tipis (Mg1), Mangrove Lebat (Mg2), Penutupan lamun (C_Lm), Enhalus
acoroides (Ea), Cymodocea rotundata (Cr), Holodule uninervis (Hu), Halophila minor
(Hm), Thalassia hemprichii (Th).
45

Lampiran 6 Tabulasi data kualitas air dan substrat di kecamatan Simpang Pesak
Stasiun Penelitian
Parameter I II III IV
Lingkungan Sub I Sub 2 Sub 3 Sub 1 Sub 2 Sub 3 Sub 1 Sub 2 Sub 3 Sub 1 Sub 2 Sub 3
(Mei) (Juni) (Juli) (Mei) (Juni) (Juli) (Mei) (Juni) (Juli) (Mei) (Juni) (Juli)
o
Suhu C 32 34 32 31 33 31 31 35 31 32 34 32
Salinitas 32 33 32 31 32 31 32 31 33 32 34 32
Kecerahan cm 80 85 70 100 90 100 90 100 90 80 85 90
pH air - 8.2 8.1 8.2 8.0 7.9 8.0 8.5 8.2 8.3 7.9 8.0 7.9
TSS mg/l 85 90 87.5 14 62 38 14 12 13 24 86 55
DO mg/l 5.41 6.19 6.19 6.9 6.9 6.5 7.3 6.5 6.9 4.3 5.41 6.19
BOD5 mg/l 2.65 2.59 2.59 2.17 3.02 0,43 0.5 0.43 0.43 0.21 2.16 2.59
Arus m/s 0.03 0.041 0.05 0.05 0.06 0,06 0.083 0.083 0.1 0.025 0.016 0.016
PO4 mg/l 0.065 0.065 0.065 0.07 0.07 0,07 0.064 0.064 0.064 0.075 0.075 0.075
NO3 mg/l 0.135 0.135 0.135 0.293 0.293 0,293 0.139 0.139 0.139 0.119 0.119 0.119
NO2 mg/l 0.017 - - 0.011 - - 0.041 - - 0.025 - -
TOM mg/l 29.1 - - 25.9 - - 31.6 - - 20.7 - -
Kekeruhan ntu 46 - - 22.8 - - 17.1 - - 8.47 - -
*Substrat* Low Mid Up Low Mid Up Low Mid Up Low Mid Up
C-organik % 5.99 0.63 0.23 7.02 3.05 0.23 5.59 0.40 0.06 8.15 1.02 0.12
Nitrogen % 0.03 0.05 0.04 0.05 0.31 0.04 0.03 0.04 0.12 0.05 0.11 0.25
P2O5 ppm 3.2 13 - 29.6 13 - 1.3 10 - 1.3 13 -
Kerikil % - - - - - - 100 - - - -
Pasir % 46.8 97.1 94.6 67.2 93.8 95.6 68.5 96.4 94.7 18.8 77.8 91.5
Debu % 26.7 1.1 1.6 13.4 4.1 1.6 29.2 0.8 1.5 73.1 20.3 5.5
Liat % 26.5 1.8 3.8 19.4 2.1 3.7 2.2 2.8 3.8 8.1 0.3 3.0
pH soil - 5.5 6.0 6.0 6.0 6.0 6.5 6.5 7.0 7.0 5.0 5.5 6.5
Pasir Pasir Lmpg Pasir
Tipe substrat - Pasir Pasir Pasir Pasir Pasir Pasir Pasir Pasir
lmpr lmpg debu lmpr
46

Lampiran 7 Kepadatan spesies bivalvia di pesisir kecamatan Simpang Pesak


Stasiun Penelitian
Spesies Bivalvia I (P. Suge) II (P.Setigi) III (P.Aik Lanun) IV (P. Kukup)
2 2
1 2 3 rata 1 2 3 rata 1 2 3 rata2 1 2 3 rata2
Famili Arcidae
Anadara antiquata - - - - - - - - - - - - 3.56 3.56 1.78 2.96
Anadara granosa - - - - - - - - - - - - - - 8.89 2.96
Scapharca pilula - - - - - - - - - - - - 67.6 58.7 58.7 61.7
Famili Cardidae
Trachycardium subrugosum - - - - 1.78 1.78 1.78 1.78 - - - - - - - -
Famili Tellinidae
Telina timorensis - - - - - - - - 3.55 1.78 1.78 2.37 - - - -
Famili Mactridae
Mactra grandis - - - - 1.78 1.78 1.78 1.78 - - - - - - - -
Famili Psammobidae
Hiatula chinensis - - - - - - - - 1.78 1.78 1.78 1.78 - - - -
Famili Glycymerididae
Glycimeris grayana - - - - 1.78 1.78 1.78 1.78 - - - - - - - -
Famili Veneridae
Anomalocardia squamosa - - - - - - - - - - - - 24.9 35.6 16 25.5
Lioconcha castrensis - - - - 3,56 - 1,78 1,78 - - - - - - - -
Gafrarium pectinatum 17.8 12.4 10.7 13.6 33.8 21.3 30.2 28.4 10.7 7.11 12.4 10.1 - - - -
Gafrarium tumidum 8.9 8.9 7.1 8.29 - - - - 56.9 69.3 53.3 59.9 - - - -
Katelysia japonica - - - - - - - - 5.33 10.7 3.56 6.5 - - - -
Placemen chlorotica - - - - - - - - - - - - 1.78 1.78 3.56 2.37
Tapes literatus - - - - - - - - 3,56 8,89 3,56 5,3 - - - -
Pitar citrinus - - - - 5.33 7.11 3.55 5.33 - - - - - - - -
47

Lampiran 8 Tabulasi data jumlah individu pertransek pada setiap stasiun pengamatan
Lower Middle Upper
Stasiun Spesies Bivalvia Plot 1 Plot 4 Plot 7 Plot 2 Plot 5 Plot 8 Plot 3 Plot 6 Plot 9
1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3
G. pectinatum - - - - 1 - - 1 - 1 1 1 1 1 1 1 1 1 2 2 2 2 0 2 2 - -
I
G. tumidum 1 1 - 1 - 1 1 1 - 1 1 1 - 1 - 1 1 1 - - - - - - - - 1
G. pectinatum 1 1 1 1 1 1 1 - 1 2 1 1 3 2 3 3 1 3 3 3 2 3 3 3 2 2 2
P. citrinus - - - - 1 - - - - 1 - 1 1 1 1 1 1 - - - - - - - - - -
M. grandis - - - - - - - - - - 1 - - - - - - - 1 - - - - 1 - - -
II
L. castrensis 1 - - - - - 1 - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
G. grayana - - - 1 1 - - - - - - - - - - - - 1 - - - - - - - - -
T. subrogosum - - - - - - - 1 - - - - - - - - - - - 1 - 1 1 1 - - -
G. tumidum - - - 1 1 1 7 - 1 4 5 3 5 6 4 4 6 3 6 6 5 7 7 7 5 8 6
G. pectinatum - - - - 1 - 1 - - 1 1 1 1 2 1 1 - 2 1 - 2 1 - - 1 - 1
K. japonica - - - - 1 - - - - - 1 1 1 1 - 1 1 1 1 2 - - - - 1 - -
III
T. literatus - - - - - - 1 - - - 1 - 1 1 1 - 1 - - 1 1 1 1 - - - -
T. timorensis 1 - 1 - - - - 1 - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
H. chinensis - 1 - - - - - - 1 - - - - - - - - - - - - - - - - - -
A. antiquata - - - - - - - - - - - - - - - 1 - - - - 1 - 1 - 1 1 -
A. granosa - - - - - 2 - - - - - 1 - - - - - - - - 1 - - - - - 1
IV S. pilula - 1 - 2 1 1 - - - 8 4 5 6 7 6 4 5 7 5 5 6 7 5 4 6 6 4
A. squamosa 5 3 2 4 3 2 - 2 2 2 3 1 2 2 1 1 3 1 - - - - - - - - -
P. chlorotica - - 1 - - - 1 1 1 - - - - - - - - - - - - - - - - - -
48

Lampiran 9 Peta lokasi penelitian

Membalong

Teluk Sembulu
Teluk Balok

Oleh:
Irma Akhrianti
C551110041 (IKL)
49

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama lengkap Irma Akhrianti, dilahirkan di Manggar


Kabupaten Belitung Timur pada tanggal 24 Januari 1989,
merupakan anak ke tiga dari tiga bersaudara pasangan Bapak Hatta
Halimi (Alm) dan Ibu Amelia (Alm). Pada tahun 2000 penulis
berhasil menyelesaikan pendidikan di SD Negeri 14 Manggar,
Belitung Timur. Penulis kemudian melanjutkan pendidikan ke
SLTP Negeri 1 Manggar, Belitung Timur lulus pada tahun 2003.
Tahun 2006 penulis berhasil menyelesaikan pendidikan Sekolah
Menengah Umum di SMA Negeri 1 Manggar. Pada tahun yang sama penulis berhasil
diterima melanjutkan studi ke jenjang S1 di Program Studi Perikanan, Jurusan Ilmu
Kelautan Fakultas Pertanian, Perikanan dan Biologi Universitas Bangka Belitung jalur
khusus program beasiswa Sarjana Strata I Dinas Pendidikan Kabupaten Belitung Timur
pada periode 2006 - 2010. Penulis berhasil menyelesaikan skripsi yang berjudul analisis
tutupan mangrove menggunakan citra ETM multitemporal di Pulau Mendanau dan
Pulau Batu Dinding Kabupaten Belitung.
Selanjutnya pada September 2011, penulis diterima sebagai mahasiswa Program
Magister di Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor Program Studi Ilmu dan
Teknologi Kelautan melalui jalur beasiswa unggulan Dirjen Pendidikan Tinggi.

Anda mungkin juga menyukai