IRMA AKHRIANTI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul Distribusi Spasial
dan Preferensi Habitat Bivalvia di Pesisir Kecamatan Simpang Pesak Kabupaten
Belitung Timur adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing
dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi
manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun telah diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Irma Akhrianti
C551110041
RINGKASAN
The coastal waters of Simpang Pesak Sub District, East Belitung Regency
feature was diverse habitats for living bivalvia. The research about spatial
distribution and habitat preference of bivalvia still scarce in this area. The aims of
this research was examined effect marine biophysical parameters and substrate
quality as determining of bivalvia existence in this area study. The research was
started from Mei 2013 until June 2013 using random systematic sampling
approach.
The result of research found 16 species of bivalves which is consisted of 14
genera from 7 family are Arcidae, Cardidae, Tellinidae, Mactridae, Psammobidae,
Glycymerididae, and Veneridae. The species of bivalves in this study area
dominated by Gafrarium pectinatum at Station I (14ind/m2, C=0.52, H=0.6,
muddy sandy), and Station II (28 ind/m2, C=0.51, H=1.04, sandy), Gafrarium
tumidum at Station III (60 ind/m2, C=0.51, H=1.03, sandy), Scapharca pilula at
Station IV (62 ind/m2, C=0.5, H=0.89, clay sandy). Bivalves spatial distribution
and density were influenced by particle size, C-organic and several environmental
factors, especially current, dissolved oxygen, TSS, nitrate, posfat, temperature and
salinity. Current velocity has positif correlation toward existence of sand, and
negative correlation toward existence of silt or clay. Variabel of C-organic has
positif corelation strongly toward abundance of bivalvia. The high content C-
organic is source from high density seagrass.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
DISTRIBUSI SPASIAL DAN PREFERENSI HABITAT
BIVALVIA DI PESISIR KECAMATAN SIMPANG PESAK
KABUPATEN BELITUNG TIMUR
IRMA AKHRIANTI
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Ilmu Kelautan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
2
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr Ir Safar Dody, MSi (LIPI Ancol)
3
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Diketahui oleh
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu Wa Taala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian ini berjudul Distribusi Spasial dan Preferensi Habitat
Bivalvia di Pesisir Kecamatan Simpang Pesak Kabupaten Belitung Timur.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof Dr Ir Dietriech G. Bengen, DEA
dan Dr Ir Isdradjad Setyobudiandi, MSc selaku pembimbing. Di samping itu,
penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Dr Ir Safar Dody, MSi dari
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sebagai penguji yang telah
memberikan kritik dan saran guna penyempurnaan penelitian. Ungkapan terima
kasih dan penghargaan spesial ditujukan kepada keluarga tercinta di Belitung
Timur (Aldi Irwansyah, Apriantini, Alfita Hayatun Nufus, Afifatun syahirah,
Andi Gustomi, SPi), dan teman-teman Marhamah serta rekan-rekan seperjuangan
dari IKL 2011 dan BKL 2011 atas segala doa, motivasi dan kasih sayangnya yang
tulus dicurahkan selama ini demi kesuksesan penulis.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Irma Akhrianti
6
7
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
1 Alur perumusan masalah 2
2 Peta stasiun penelitian 8
3 Desain penarikan contoh pada setiap sub stasiun pengamatan 10
4 Grafik PCA karakteristik habitat pada sumbu F1 dan F2 19
5 Grafik PCA karakteristik habitat pada sumbu F1 dan F3 20
6 Peta distribusi komposisi bivalvia di pesisir Simpang Pesak 24
7 Distribusi jenis bivalvia pada setiap stasiun pengamatan 26
8 Frekuensi kehadiran bivalvia pada zona intertidal 26
9 Indeks keanekaragaman, keseragaman dan dominansi jenis 27
10 Grafik CA preferensi habitat bivalvia pada sumbu (F1 dan F2) 30
11 Grafik CA preferensi habitat bivalvia pada sumbu (F1 dan F3) 31
DAFTAR LAMPIRAN
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan
Perumusan Masalah
Bila ditinjau dari segi ekonomi, bivalvia merupakan sumberdaya hayati laut
non ikan terpopuler ke dua setelah sumberdaya hayati ikan yang memilki nilai
ekonomis penting dan berprotein tinggi sehingga banyak digemari oleh
masyarakat pesisir di berbagai wilayah Indonesia. Tidak heran jika permintaan
pasar terhadap beberapa spesies bivalvia melambung tinggi dalam beberapa tahun
terakhir karena semakin tinggi harga perkilogram ikan di pasaran, kondisi ini
mengakibatkan bivalvia menjadi alternatif makanan yang sering dijadikan sebagai
menu protein hewani pengganti ikan.
Tidak banyak informasi/data mengenai kegiatan eksploitasi bivalvia yang
bernilai ekonomis di pesisir perairan Kecamatan Simpang Pesak, akan tetapi
kegiatan tersebut diperkirakan terus meningkat. Berdasarkan hasil pendugaan
warga setempat, beberapa spesies bivalvia tertentu diperkirakan telah mengalami
penurunan populasi spesies kerang yang umum dieksploitasi serta di duga terjadi
penurunan ukuran maksimum kerang yang dibarengi dengan mulai sulitnya
mendapatkan kerang kerang konsumsi pada musim musim tertentu, kondisi ini
disebabkan oleh laju pertumbuhan yang tidak sebanding dengan laju penangkapan
bivalvia di alam. Jika kondisi ini terus menerus terjadi tanpa adanya kegiatan
budidaya dan manajemen penangkapan kerang yang diperbolehkan, maka
populasi stok dari beberapa spesies bivalvia di pesisir perairan kecamatan
Simpang Pesak dikhawatirkan akan sangat terancam di masa mendatang. Adanya
isu degradasi lingkungan yang umumnya terjadi di spot wilayah pesisir dan laut
karena adanya perubahan fungsi lahan, masukan bahan organik/ bahan pencemar
dari daratan di duga secara langsung dapat mempengaruhi struktur komunitas dan
kepadatan spesies organisme bentik.
Pada umumnya faktor-faktor yang membatasi distribusi dan kelimpahan
spesies bivalvia di alam dapat dikategorikan ke dalam dua bagian utama yaitu
faktor dari dalam berupa sifat genetik dan tingkah laku ataupun kecenderungan
suatu biota untuk memilih tipe habitat yang disenangi serta faktor-faktor dari luar
yakni segala sesuatu yang berhubungan dengan interaksi biota tersebut dengan
lingkungannya, oleh karena itu distribusi serta kepadatan bivalvia di alam dapat
dijadikan indikasi cocok tidaknya suatu habitat terhadap biota tertentu.
Salah satu indikasi yang menunjukkan tidak cocoknya suatu habitat bagi
biota adalah rendahnya kepadatan spesies biota pada suatu area ataupun
ketidakmampuan menyebar mencapai area tersebut. Perubahan lingkungan baik
secara alami ataupun sebagai akibat dari aktivitas manusia seperti perubahan
fungsi lahan mengrove untuk pembuatan tambak maupun silvikultur dapat
mengakibatkan berkurangnya suatu populasi serta dapat mengganggu struktur
komunitas bivalvia di daerah tersebut.
Berdasarkan uraian tersebut diatas, muncul beberapa pertanyaan yang harus
dijawab karena merupakan akar permasalahan yang ada, yaitu:
1 Spesies spesies bivalvia apa saja yang ditemukan dan spesies apa yang
paling mendominasi di pesisir perairan Kecamatan Simpang Pesak
Kabupaten Belitung Timur
2 Bagaimana struktur komunitas dan pola distribusi spasial bivalvia
berdasarkan karakteristik dan preferensi habitat.
4
Kualitas substrat
2 TINJAUAN PUSTAKA
Bivalvia
Pada umumnya bivalvia ditemukan pada daerah pantai tepatnya pada zona
intertidal dan paparan benua hingga laut dalam. Beberapa faktor lingkungan yang
menjadi faktor pembatas penyebaran spasial dan keberlangsungan hidup bivalvia
meliputi pasang surut, suhu, gerakan gelombang, salinitas, oksigen terlarut,
partikel tersuspensi (TSS), tipe substrat, ketersediaan makanan dan faktor biologis
seperti adanya kompetisi dan predasi,
Pasang surut merupakan faktor terpenting yang mempengaruhi kehidupan
pada zona intertidal. Menurut Illahude (1998), pasang surut merupakan proses
naik turunnya paras laut (sea level) secara berkala yang ditimbulkan oleh adanya
gaya tarik dari benda-benda angkasa, terutama matahari dan bulan terhadap massa
air laut di bumi. Apabila daerah intertidal terlalu lama berada pada udara terbuka
(surut rendah) mengakibatkan organisme akan kehilangan air ketika suhu tinggi,
sulit mencari makan akibatnya akan kehilangan energi.
Gelombang yang terdapat dipermukaan laut pada umumnya terbentuk
karena adanya proses alih energi dari angin kepermukaan laut (Neuman and
Pierson 1966). Terpaan gelombang dapat menjadi faktor pembatas bagi organisme
tertentu yang tidak dapat menahan terpaannya, tetapi diperlukan bagi organisme
lain yang tidak dapat hidup selain didaerah dengan ombak yang kuat. Selain itu
gelombang dapat memperluas batas zona intertidal, hal ini terjadi karena
penghempasan air yang lebih tinggi di pantai dibandingkan dengan yang terjadi
pada saat pasang surut normal. Deburan ombak yang terus menerus ini membuat
organisme laut dapat hidup di daerah yang lebih tinggi di daerah yang terkena
terpaan ombak daripada di daerah tenang pada kisaran pasang surut yang sama.
Pada zona daerah yang terkena hempasan gelombang jarang kekurangan
oksigen, hal ini disebabkan gerakan gelombang dapat membantu terjadinya
pencampuran dan pengadukan gas-gas di atmosfer kedalam air walaupun dalam
jumlah sangat kecil (Sumich 1992). Kekurangan oksigen dapat mengurangi
aktivitas organisme baik yang berhubungan dengan metabolisme maupun tingkah
laku dan lama kelamaan organisme akan mati. Penurunan oksigen di genangan-
pasang tropik hanya 18% dari kejenuhan, (Levinton 1982 dan Nybakken 1992).
Pada zona intertidal umumnya memiliki kisaran suhu yang homogen artinya
suhu air umumnya relatif sama. Karena pengaruh angin, gelombang dan
turbulensi yang mengaduk massa air sehingga kisaran perubahan suhu sangat
kecil dan jarang melebihi batas toleransi organisme (Nybakken 1998). Pada area
beriklim tropis tidak terlihat variasi suhu sepanjang tahun. Menurut Dame (1996),
suhu ideal bagi keberlangsungan hidup bivalvia antara 26.0-37.5 C.
7
3 METODE PENELITIAN
Penelitian dilakukan pada bulan Mei 2013 sampai dengan Juli 2013.
Pengambilan contoh dilakukan di wilayah pesisir Kecamatan Simpang Pesak
Kabupaten Belitung Timur Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Gambar 2).
Analisis sampel biota dan pengukuran morfometrik bivalvia dilakukan di
Laboratorium Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kabupaten Belitung Timur.
Analisis kualitas air dilakukan di Laboratorium Proling Fakultas Perikanan dan
Ilmu Kelautan, IPB Bogor. Sementara analisis sampel tanah dilakukan di
Laboratorium tanah Biotrop Bogor.
Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi water sampler,
botol sampel, termometer, secchi disk, refraktometer, DO meter, pH meter, grab
sampler, pipa PVC, GPS (Global Positioning System), kamera digital, roll meter,
sekop, petak kuadrat 0.5 m x 0.5 m, buku identifikasi, ember, kantong plastik
ukuran 0.5 kg, kertas label, alat tulis dan sabak, ayakan kawat jaring 0.5 cm,
saringan bertingkat, neraca, oven, desikator, furnace, cawan porselin,
spektrofotometer, alkohol 70% dan formalin 4% serta beberapa bahan kimia yang
diperlukan untuk analisis di Laboratorium.
9
Prosedur Penelitian
hidup dan yang terdapat diatas substrat / permukaan sedimen pada zona intertidal.
Semua sampel bivalvia yang terdapat di dalam transek diambil dan dimasukkan
ke dalam kantong plastik dan diawetkan dalam larutan formalin 10% kemudian
diidentifikasi.
Pada setiap transek yang diamati dilakukan juga pencatatan seluruh spesies
biota laut yang ditemukan dilokasi penelitian termasuk kehadiran biota biota
selain bivalvia seperti Echinodermata, gastropoda, polychaeta, dan lain lain.
Analisis Data
Frekuensi Kehadiran
Frekuensi kehadiran merupakan kehadiran spesies individu tertentu pada
stasiun - stasiun penelitian yang diamati. Frekuensi kehadiran dinyatakan dalam
prosentase (%) bivalvia yang tertangkap dirumuskan dengan persamaan berikut
(Krebs 1989) :
12
= 100%
Keterangan :
Fi : Frekuensi keterdapatan organisme ke i yang tertangkap (%)
ti : Jumlah stasiun dimana spesies ke- i tertangkap
T : Jumlah semua stasiun.
Kepadatan Spesies
Kepadatan spesies merupakan jumlah spesies biota yang ditemukan pada
setiap pengambilan contoh. Adapaun persamaan yang digunakan mengacu pada
Krebs (1989) yaitu:
= 1000
Keterangan:
D : Kepadatan individu (ind/m2)
a : Jumlah spesies ke-i (makrozobentos) yang ditemukan dalam b
b : Luas pengambilan contoh (1m2 = 10.000 cm2)
Keanekaragaman Spesies
Keanekaragaman spesies disebut juga heterogenan spesies yang dapat
menggambarkan struktur komunitas dengan perhitungan menggunakan rumus
Shannon-Wiener in Odum (1993) sebagai berikut :
H = Pi Log2 Pi
Keterangan :
H : Indeks keanekaragaman spesies
Pi : Jumlah spesies ke-i per jumlah total (ni/N)
n : Jumlah spesies
Penentuan kriteria :
H< 3,32 : Keanekaragaman rendah
3.32<H<9.97 : Keanekaragaman sedang
H> 9.97 : Keanekaragaman tinggi.
Keseragaman Spesies
Indeks keseragaman adalah komposisi individu tiap spesies yang terdapat
dalam suatu komunitas (Odum. 1993) dengan perhitungan sebagai berikut:
E=
Keterangan :
E : Indeks keseragaman
H : Indeks keanekaragaman Shannon-Wiener
H maks : Keanekaragaman maksimum (Log2 S)
S : Jumlah spesies
Dengan kriteria:
E < 0.4 : Keseragaman rendah
0.4< E<0.6 : Keseragaman sedang
E>0.6 : Keseragaman Tinggi
13
Dominansi
Indeks dominansi digunakan untuk mengetahui ada tidaknya spesies yang
dominansi pada komunitas, digunakan indeks dominansi Simpson (Odum. 1993) :
C = ( )2
Keterangan :
C : Indeks dominansi Simpson
ni : Jumlah individu spesies ke i
N : Jumlah individu semua spesies
Nilai indeks dominansi berkisar antara 0-1; indeks 1 menunjukkan
dominansi oleh satu spesies spesies sangat tinggi (hanya terdapat satu spesies
pada satu stasiun), sedangkan indeks 0 menunjukkan bahwa diantara spesies-
spesies yang ditemukan tidak ada yang mendominasi.
=
Keterangan:
C : Nilai Pusat
Xij : Nilai parameter inisial
Xik : Nilai rata-rata parameter.
Pereduksian adalah hasil bagi antara nilai parameter yang telah dipusatkan
dengan nilai simpangan baku paramater tersebut.
=
Keterangan:
R : nilai reduksi
C : nilai pusat
Sd : nilai simpangan baku
Hubungan antara parameter ditentukan dengan menggunakan pendekatan
matriks korelasi yang dihitung dari indeks sintetik sebagai berikut:
Keterangan:
Bsxn : matriks korelasi rij
Asxn : matriks indeks sintetik Aij
Asxn : matriks transpose Asxn
Keterangan :
Xi = jumlah baris I untuk semua kolom j
Xj = jumlah kolom j untuk semua baris i
15
Kualitas Perairan
Menurut Keputusan Menteri Lingkungan Hidup (2004), secara umum
kondisi hidrologi (kualitas perairan) pada area studi termasuk kondisi yang
optimal bagi kelangsungan hidup biota laut bentik khususnya bivalvia.
Suhu perairan rata-rata mempunyai kisaran antara 31.6oC 32.6oC. Kisaran
suhu tersebut merupakan kisaran normal untuk daerah tropis dan masih dalam
rentang toleransi untuk biota laut sesuai standar baku mutu yang ditetapkan oleh
Kementerian Lingkungan Hidup (2004) yakni antara 28C - 32C.
Kisaran nilai salinitas rata-rata di pesisir perairan Kecamatan Simpang
Pesak yaitu 31.3 o/oo 32.6o/oo. Salinitas terendah terdapat pada Stasiun II, yaitu
31.3o/oo karena merupakan daerah rawan abrasi yang selalu mendapat masukan air
tawar dari daratan, selain itu wilayah ini tidak ditumbuhi oleh hutan mangrove
namun hanya bisa dijumpai rawa. Menurut Verwen et al. (2007), moluska
memiliki kisaran salinitas optimum yang lebar untuk kehidupannya.
16
Nilai derajat keasaman rata-rata (pH) berkisar antara 7.9 8.3. Nilai
tersebut memperlihatkan bahwa pH perairan cenderung bersifat basa dan termasuk
normal untuk pH air laut di Indonesia. Nilai pH antara 7.5 8.5 merupakan
kisaran optimal bagi pertumbuhan kerang. Menurut Nybakken (1998) menyatakan
bahwa derajat pH di lingkungan perairan laut umumnya relatif stabil dan berada
pada kisaran yang sempit,
Total suspended solid (TSS) rata-rata berkisar antara 13.0 mg/l 87.5 mg/l.
Nilai TSS terendah dijumpai pada Stasiun III sebesar 13 mg/l. Menurut Effendi
(2003), kisaran TSS < 25 mg/l tidak berpengaruh pada kehidupan organisme
bentik. TSS tertinggi ditemukan pada Stasiun I berkisar 87.5 mg/l, dimana
kisaran nilai TSS antara 81 mg/l 400 mg/l akan mempengaruhi kelangsungan
hidup organisme bentik khususnya gastropoda dan bivalvia.
Rerata oksigen terlarut/DO (Dissolved oxygen) berkisar 5.3 mg/l 6.9 mg/l.
Clark (1997) menyatakan bahwa kandungan oksigen terlarut yang optimum untuk
kehidupan moluska berkisar antara 4.1 6.6 ppm dengan batas minimum 4 ppm,
sehingga secara keseluruhan nilai ini masih dalam batas toleransi untuk kehidupan
kerang. DO tertinggi terdapat pada stasiun III, hal ini berkaitan dengan kecepatan
arus dan gelombang yang tinggi sehingga memungkinkan terjadinya difusi
oksigen ke kolom air. Nilai DO terendah ditemukan pada Stasiun IV tepatnya
didaerah Teluk Sembulu yang berarus lemah dan relatif tenang sehingga
konsentrasi oksigen yang terdifusi ke kolom air cenderung rendah. Dody (1998),
dan Sanusi (2006), menyatakan bahwa oksigen terlarut di perairan berasal dari
difusi udara, fotosintesis fitoplankton dan tumbuhan air (lamun) serta dari
limpasan air permukaan (Run off) maupun dari air hujan.
Nilai BOD pada pesisir perairan Kecamatan Simpang Pesak berkisar 0.45
mg/l 2.61 mg/l. Kisaran nilai tersebut tergolong rendah, artinya wilayah pesisir
perairan Kecamatan Simpang Pesak dikategorikan masih alami dan bebas dari
pencemaran perairan. Effendi (2003) menyatakan bahwa perairan dengan nilai
BOD melebihi 10 mg/l dianggap telah mengalami pencemaran ringan.
Kecepatan arus rata-rata yang terukur di lokasi penelitian berkisar antara
0.019 m/s 0.088 m/s. Arus ini relatif tenang karena pada beberapa spot area
penelitian yang di ukur pada wilayah pesisir Kecamatan Simpang Pesak masih
termasuk wilayah terlindung dan terdapat pulau-pulau kecil yang mengelilinginya.
Kecepatan arus tertinggi ditemukan pada Stasiun III, hal ini disebabkan karena
wilayah pesisir pantai Tj Ru (Pangkalan Aik lanun) terletak di daerah terbuka
tanpa adanya pulau-pulau kecil yang mengelilinginya atau tepatnya berada di
ujung mulut Teluk Balok.
Konsentrasi rerata nitrat dan ortofosfat tidak menunjukkan perbedaan yang
signifikan antar stasiun pengamatan yang diukur. Konsentrasi nitrat (NO3) dan
ortofosfat (PO4) di sekitar wilayah perairan pesisir Kecamatan Simpang Pesak
berkisar antara 0.11 0.22 mg/l dan 0.064 0.075 mg/l. Kandungan nitrat
tertinggi di jumpai pada Stasiun II yaitu sebesar 0.22 mg/l dan didukung oleh
konsentrasi ortofosfat yang cukup tinggi sebesar 0.070 mg/l, hal ini disebabkan
karena adanya masukan air tawar dari darat yang bersumber dari hutan rawa yang
berada disekitar wilayah yang diukur. Berdasarkan baku mutu Keputusan Menteri
Negara Lingkungan Hidup (2004), nilai nitrat dan ortofosfat yang diperoleh diatas
termasuk nilai nitrat dan ortofosfat baku mutu yang telah ditetapkan, dimana nilai
nitrat dan ortofosfat baku mutu untuk biota laut sekitar 0.015 mg/l dan 0.008 mg/l.
17
Menurut Wardoyo (1981) dalam Komala (2012), apabila suatu perairan memiliki
kandungan nitrat sebesar 0.100 0.500 mg/l termasuk tipe perairan mesotrofik.
Menurut Komala (2012), Dalam perairan alami, kadar ortofosfat tidak boleh
lebih dari 0.1 mg/l kecuali perairan yang menerima berbagai macam limbah dari
rumah tangga, industri dan kegiatan pertanian. Ortofosfat (PO4) akan menjadi
faktor pembatas apabila konsentrasinya kurang dari 0.02 mg/l. Perairan dikatakan
subur, apabila kandungan fosfatnya lebih besar dari 0.05 mg/l (Wardoyo 1981).
Konsentrasi bahan organik total (TOM) dalam kolom air berkisar 20.7 mg/l 31.6
mg/l. Koesobiono (1979) menyatakan perairan dengan kandungan bahan organik
total diatas 26 mg/l tergolong subur.
Nilai kerapatan lamun rata-rata berkisar antara 87.06 213.6 tegakan/m2.
Kerapatan lamun tertinggi ditemukan pada Stasiun IV, hal ini didukung oleh
keberadaan mangrove yang rapat. Menurut Bengen (2000), kondisi mangove yang
baik akan berdampak pada keberlangsungan hidup ekosistem lamun dan terumbu
karang, karena ke-3 ekosistem ini saling berinteraksi satu sama sehingga dapat
dikatakan bahwa ketika ekositem mangrove berada dalam kondisi baik, maka
ekosistem lamun dan juga ekositem terumbu karang akan berada dalam kondisi
baik pula. Bahan organik yang tinggi bersumber dari tingginya kerapatan
mangrove dan lamun. Menurut Peterson (1999), meningkatnya jumlah kepadatan
spesies bivalvia suspended feedermampu meningkatkan produktivitas lamun.
Kualitas Substrat
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat variasi substrat pada setiap
stasiun pengamatan. Menurut Veiga et al. (2014), substrat dasar merupakan salah
satu faktor yang dapat mempengaruhi penyebaran makrozobentos, karena selain
berperan sebagai tempat tinggal juga berfungsi sebagai penimbun unsur hara
(sebagai media penyedia sumber makanan), tempat berkumpulnya bahan organik
serta tempat perlindungan organisme dari ancaman predator. Pendistribusian
sedimen biasanya sangat ditentukan oleh pasang surut, gelombang dan debit air
serta interaksi faktor biofisik kelautan lainnya.
Secara umum perairan pesisir Kecamatan Simpang Pesak memiliki profil
topografi pantai yang landai dengan substrat didominasi oleh butiran pasir pada
beberapa stasiun yang diamati terkecuali pada Stasiun IV yang didominasi oleh
persentase debu pada zonasi terdepan yang berdekatan dengan mangrove.
Meskipun demikian ukuran butiran substrat dasar perairan pada masing-masing
stasiun menunjukkan persentase yang berbeda-beda (Lihat Tabel 4). Persentase
debu yang tinggi pada Stasiun IV disebabkan karena wilayah ini merupakan pusat
wilayah teluk Sembulu yang ditumbuhi mangrove sejati beserta lamun dengan
kerapatan kanopi dan tegakan yang tinggi sehingga berkontribusi besar dalam
mensuplai debu. Menurut Bengen (2002), keberadaan mangrove dan lamun
mampu mensuplai bahan organik yang tinggi pada substrat dasar perairan yang
mampu mendukung pertumbuhan dan kelangsungan hidup biota laut asosiasi.
Selain itu, faktor adanya keberadaan sungai, serta masukan bahan organik dari
daratan yang terbawa masuk ke kolom air laut dan mengendap di dasar sedimen
memungkinkan tingginya jumlah ketersediaan makanan (nutrien/unsur hara
penting) yang sangat dibutuhkan demi kelangsungan hidup biota laut bentik pada
kawasan pesisir. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian ini yang menunjukkan
bahwa Stasiun I dan Stasiun IV memiliki kandungan C-organik yang tinggi
18
karena didukung oleh keberadaan lamun dan kerapatan mangrove yang tinggi.
Bengen (2002) mengemukakan bahwa vegetasi mangrove dapat tumbuh dengan
baik pada sedimen berlumpur dan pasir berlumpur terutama di kawasan estuari.
Tabel 4 diatas menunjukkan bahwa secara umum karakteristik substrat antar
stasiun pengamatan pada cakupan kawasan pesisir Kecamatan Simpang Pesak
memiliki kemiripan ekologi yang kuat khususnya pada Stasiun II dan Stasiun III.
Beberapa spesies lamun dan bivalvia yang ditemui di lokasi sampling secara
umum memiliki kesamaan spesies bivalvia, hanya komposisi tiap spesies yang
membedakan. Akan tetapi berbeda halnya pada Stasiun IV yang memilki
kemiripan karakteristik fisika kimia perairan dengan Stasiun I namun tidak
ditemukan komposisi spesies kerang yang sama. Hal ini mengindikasikan bahwa
faktor fisika kimia perairan belum cukup kuat dalam menentukan distribusi
maupun preferensi habitat makrozoobentos khususnya bivalvia, karena ada faktor
lain yang bisa dibandingkan yaitu kualitas substrat, dan hubungan interaksi antar
spesies (kompetisi dan predasi).
Rerata persentase ukuran partikel pasir terbesar terdapat pada stasiun III
(86.5%) diikuti oleh Stasiun II (85.5%) dan Stasiun I (79.5%). Akan tetapi dari
ke-4 stasiun yang diamati, hanya Stasiun III yang memiliki substrat kerikil (pasir
sangat kasar pada zonasi terdepan dengan persentase hampir mencapai 100%, hal
ini dipengaruhi oleh letak Stasiun III berada di ujung Teluk Balok yang
berhubungan langsung dengan laut terbuka (wave exposure area). Ukuran butiran
yang besar ini (kerikil) sangat terkait juga dengan kondisi dinamika perairan yang
ada pada stasiun-stasiun yang diamati. Menurut Malvarez et al. (2001), Arus yang
berasal dari besarnya energi gelombang laut yang menyebar hingga ke tepian
pantai akan mempengaruhi ukuran sedimen yang ada. Neuman and Pierson (1966)
mennambahkan bahwa energi gelombang dipengaruhi oleh kecepatan angin,
kondisi topoghrafi dasar perairan dan luas penyebarannya. Gelombang yang besar
juga berpengaruh terhadap proses pencucian sedimen, yang mana sedimen dengan
ukuran partikel yang kecil akan tercuci kembali ke laut dan hanya sedikit saja
yang mengendap di dasar substrat.
Nilai rerata derajat keasaman (pH) substrat pada daerah pengambilan contoh
di pesisir perairan Kecamatan Simpang Pesak tergolong asam yaitu 5.7 6.8.
Rendahnya pH substrat dibandingkan pH air laut karena adanya pembusukan
daun-daun lamun dan vegetasi mangrove yang hidup berdampingan dengan
vegetasi lamun yang lebih bersuasana asam sedangkan pH air laut lebih
dipengaruhi oleh larutan garam yang bersuasana basa dan besifat penyangga.
Kandungan C-organik pada substrat berkisar antara 2.02% 3.43%.
Sedangkan kandungan Nitrogen dalam substrat berkisar 0.04% 0.14%.
Menurut Sanusi (2006), Sumber utama C-organik pada sedimen berasal dari
penguraian jasad renik (fitoplankton, zooplankton, diatom) yang mati, bisa juga
berasal dari dedaunan / serasah (mangrove, lamun, makroalga) yang mengalami
proses dekomposisi, Sementara distribusi N (nitrogen) dalam laut dipengaruhi
oleh proses fotosintesis, gerakan massa air (adveksi dan difusi) dan gerakan
gravitasi residu organisme air. Fitoplankton yang mati akan mengalami proses
demineralisasi (degradasi) membentuk kembali unsur-unsur penyusunnya (C, N, P)
dengan rasio komposisi C : N : P ~ 106:16:1, yang disebut dengan Redfild Ratio.
Nilai P205 pada substrat berkisar antara 4.77% - 14.2%. Rasio C, N, dan P bisa
digunakan untuk mengetahui kondisi perairan (alami atau tercemar) oleh bahan
19
organik, dimana hubungan antara kandungan bahan organik dan status trofik suatu
perairan dinyatakan oleh BPI (Bio Production Index) yang diperoleh dari
pengukuran persentase kandungan C dan P. Berdasarkan pendekatan BPI,
perairan pesisir Kecamatan Simpang Pesak Kabupaten Belitung Timur termasuk
dalam kondisi perairan yang oligotrofik (BPI rendah).
Informasi penting terhadap sumbu komponen utama terpusat pada dua (2)
sumbu utama F1 (45.27%) dan F2 (22.27%) dari keseluruhan persentase ragam
total (lihat Gambar 4). Kontribusi variabel terhadap pembentukan sumbu utama
menunjukkan bahwa pada sumbu (F1) dicirikan oleh enam variabel utama yaitu
arus (0.89), pasir (0.9), oksigen terlarut (0.8), karbon organik (-0.94), debu (-0.85)
dan posfat (-0.88). Variabel suhu, salinitas dan TSS berkontribusi cukup besar
terhadap pembentukan sumbu utama (F2) negatif dengan nilai korelasi masing-
masing sebesar -0.76 -0.82 -0.65. Grafik PCA lingkaran korelasi antar variabel
fisika kimia perairan dan substrat pada Gambar 5, menunjukkan bahwa parameter
liat memiliki kontribusi terbesar dari seluruh hubungan korelasi yang ada terhadap
pembentukan sumbu (F3) positif dengan nilai korelasi sebesar 0.97. Akar ciri (F3)
hanya memberikan informasi sebesar 18.22% dari keseluruhan ragam total.
Representasi sebaran stasiun terhadap parameter lingkungan perairan dan
substrat berdasarkan hasil analisis komponen utama (PCA) memperlihatkan
adanya tiga (3) pengelompokkan habitat. Kelompok pertama terdiri dari Stasiun I
(I.1, I.2, I.3) dicirikan oleh parameter salinitas, dan pasir. Kelompok kedua terdiri
dari Stasiun II dan stasiun III. Karakteristik ekologi pada Stasiun II (II.1, II.2, dan
II.3) dicirikan oleh parameter nitrat, dan liat, sementara karakteristik ekologi pada
Stasiun III (III.1, III.2, dam III.3) dicirikan oleh parameter oksigen terlarut, arus
dan pasir. Kelompok ketiga terdiri dari Stasiun IV (IV.1, IV.2, IV.3) dicirikan
oleh parameter TSS, C-organik, posfat, dan debu.
(a) (b)
Gambar 4 Grafik PCA karakteristik habitat (kualitas air dan substrat)
(a) Lingkaran korelasi antar variabel karakteristik habitat (F1 x F2)
(b) Penyebaran stasiun berdasarkan karakteristik habitat (F1 x F2)
20
(a) (b)
Gambar 5 Grafik PCA karakteristik habitat (kualitas air dan substrat)
(a) Lingkaran korelasi antar variabel karakteristik habitat (F1 x F3)
(b) Penyebaran stasiun berdasarkan karakteristik habitat (F1 x F3)
proporsi pasir, hal ini yang akan menjadi pemicu perbedaan sebaran spasial
makrofauna bentik serta kepadatan individu dalam suatu komunitas.
Parameter C-organik dengan kepadatan spesies memiliki hubungan korelasi
positif sebesar 0.19. Hal ini sesuai dengan pernyataan Kennish (1990) dimana
kandungan C-organik pada substrat memiliki korelasi yang positif terhadap
kepadatan dan biomassa spesies. Bila dilihat dari kajian analisis komponen utama,
parameter arus dan C-organik memiliki hubungan terbalik (berkorelasi negatif),
artinya kenaikan kecepatan arus menyebabkan minimnya bahan organik baik yang
terkandung dalam kolom air maupun yang terdapat pada substrat. Pergerakan air
seperti arus dan gelombang memberikan pengaruh terhadap kandungan nutrien di
perairan. Perairan yang cukup tenang akan menyebabkan lamanya massa tinggal
bahan organik di perairan sehingga berpeluang untuk mengalami perombakan
menjadi nutrien anorganik. Luasan area (surface area), kedalaman, volume, laju
pembilasan (flushing rate), waktu tinggal air (residence time), pasang surut (tidal
exchange), percampuran (vertical mixing) dan stratifikasi merupakan beberapa
faktor yang mempengaruhi respon perairan terhadap masukan bahan organik dan
akan berpengaruh terhadap transport, transformasi, retensi dan ekspor nutrien
(Koropitan et al. 2009).
Berdasarkan analisis komponen utama (PCA) terlihat bahwa keseluruhan
variabel yang diukur pada dasarnya saling memiliki keterkaitan antar variabel
namun ada 2 variabel yang menjadi faktor pembatas penyebaran kerang (bivalvia)
berdasarkan preferensi habitatnya yaitu kecepatan arus yang berpengaruh pada
jumlah konsentrasi oksigen terlarut (DO), kandungan C-organik, dan penyebaran
fraksi substrat. Pada cakupan area yang lebih sempit, parameter suhu dan salinitas
kurang berpengaruh terhadap penyebaran bivalvia seperti yang terjadi pada
wilayah perairan pesisir Kecamatan Simpang Pesak.
Peranan oksigen di perairan cukup penting yakni untuk pernafasan dan juga
merupakan salah satu komponen utama bagi metabolisme organisme perairan.
Sumber oksigen di perairan berasal dari difusi udara, fotosintesis fitoplankton dan
tumbuhan air serta limpasan aliran permukaan yang masuk juga air hujan (Dody,
1998), selanjutnya dikatakan oleh Seitz (2009) bahwa konsentrasi maksimum
(kejenuhan) oksigen di kolom air tergantung pada suhu perairan setempat, dimana
semakin tinggi suhu air, maka konsentrasi oksigen terlarut semakin menurun.
konsentrasi oksigen terlarut sangat mempengaruhi kepadatan organisme bentik,
dimana oksigen terlarut ~ 4.5 mg/l bisa meningkatkan biomassa dan produktivitas
biota laut, umumnya bivalvia ,masih mampu mentolerir kondisi hypoxia < 2 mg/l
pada periode yang pendek, ketika level oksigen terlarut dibawah 4.5 mg/l akan
mengancam ketersediaan biomasa predator, sehingga keseimbangan ekologi
menjadi terganggu
Wood (1987), menyatakan bahwa bahan organik berasal dari hewan atau
tumbuhan yang membusuk lalu tenggelam ke dasar perairan dan bercampur
dengan lumpur. Bahan organik yang mengendap di dasar perairan merupakan
sumber bahan makanan bagi meiobentos dan organisme bentik lainnya. Jumlah
dan laju penambahan bahan organik dalam sedimen mempunyai pengaruh yang
besar terhadap populasi organisme dasar. Sedimen yang kaya akan bahan organik
sering didukung oleh melimpahnya organisme bentik.
22
kepadatan lebih rendah sebesar 8 ind/m2 (38%). Akan tetapi kepadatan individu
Gafrarium spp yang ditemukan pada Stasiun I relatif lebih rendah bila
dibandingkan Stasiun II dan Stasiun III, hal ini dikarenakan keberlangsungan
hidup G. pectinatum maupun G. tumidum telah terdesak oleh kehadiran spesies
lain yaitu siput gonggong (Strombus turturella) dari kelas gastropoda dengan
kepadatan tertinggi dan mendominasi sebagai penyusun struktur komunitas
makrozoobentos pada Stasiun I sehingga spesies Gafrarium spp tidak mampu
bertahan hidup. Menurut Dody (2010), siput gonggong (S. turturella) merupakan
spesies gastropoda yang bersifat grazing feeder yang lebih menyukai habitat pasir
berlumpur yang kaya bahan organik dengan kerapatan lamun yang tinggi. Kondisi
ini membuktikan bahwa Stasiun I cenderung dikategorikan sebagai habitat yang
kurang relevan bagi keberlangsungan hidup bivalvia spesies Gafrarium spp
khususnya G. pectinatum. Menurut Gab-Alla et al. (2007), G. pectinatum lebih
banyak tersebar pada zona intertidal berpasir.
Pada Stasiun II, rerata kepadatan spesies kerang tertinggi secara berturut-
turut yaitu dari spesies G. pectinatum sebesar 28 ind/m2 (70%), disusul dengan
spesies P. citrinus sebesar 5 ind/m2 (13%). Spesies bivalvia T. subrogosum, M.
grandis, dan G. grayana memiliki kepadatan individu yang sangat rendah dan
relatif sama sebesar 2 ind/m2 (4%). Hal ini mengindikasikan bahwa Stasiun II
merupakan habitat yang paling sesuai untuk kelangsungan hidup G. pectinatum
akan tetapi kepadatannya semakin berkurang dikarenakan adanya tekanan ekologi
yang kuat seperti tingkat kekeringan yang tinggi pada substrat dasar akibat
pemanasan matahari secara terus menerus, kemudian secara tidak langsung telah
berdampak pada penyusun komunitas bivalvia yang hidup di daerah tersebut
khususnya dari spesies G. pectinatum. Try (2001) juga menyebutkan bahwa G.
pectinatum hidup pada habitat berpasir dan berlumpur dan umumnya dijumpai
pada zonasi intertidal dan zonasi subtidal.
Pada Stasiun III, spesies bivalvia G. tumidum memiliki kepadatan individu
kerang tertinggi yaitu sebesar 60 ind/m2 (70%), kemudian disusul dengan spesies
kerang G. pectinatum sebesar 10 ind/m2 (12%), dan K. japonica sebesar 7 ind/m2
(7%). Menurut Baron and Clavier (2008), G. tumidum umumnya lebih menyukai
habitat dengan substrat dasar berpasir hingga berlumpur. Sementara spesies
kerang terendah pada Stasiun III adalah T. timorensis dengan kepadatan rata-rata
sebesar 2 ind/m2 (3%) dan H. chinensis sebesar 2 ind/m2 (2%), spesies ini hanya
ditemukan pada Stasiun III tepatnya pada zonasi terdepan sedangkan pada stasiun
lain tidak ditemukan, hal ini terkait dengan kesesuaian hidup pada habitat yang
memiliki partikel substrat pasir kasar serta didukung oleh morfologi tubuh yang
pipih, berbentuk hampir segitiga dan runcing pada bagian anterior serta memiliki
kaki yang kuat. Kerang sudah teradaptasi dengan hempasan gelombang dan
merupakan kerang penggali tercepat setelah terhempas oleh gelombang. Pada
umumnya T. timorensis dan H. chinensis banyak ditemukan pada wilayah pesisir
yang berarus kuat tepatnya pada substrat berpasir, dan kerikil pada zonasi
terdepan wilayah pesisir pantai yang berdekatan dengan daratan (Carpenter and
Niem 1998; de Casamajor 2006).
Spesies kerang tertinggi pada Stasiun IV yaitu S. pilula dengan kepadatan
rata-rata sebesar 62 ind/m2 (65%) kemudian disusul dengan A. squamosa sebesar
25 ind/m2 (27%). Kepadatan bivalvia terendah yaitu spesies P. chlorotica sebesar
2 ind/m2 (2%) kemudian disusul oleh spesies A. granosa dan A. antiquata sebesar
25
3 ind/m2 (3%), hal ini diduga karena terdesak oleh kehadiran spesies-spesies lain
yang lebih mendominasi. Menurut Nybakken (1998), musnahnya populasi bisa
diakibatkan oleh adanya kompetisi dan predasi, dimana kompetisi ini dapat
berupa perebutan pencari makanan, ruang (tempat tinggal), reproduksi dan lain-
lain. Disamping itu tingkat predasi yang tinggi oleh gastropoda Natica sp
menyebabkan A. granosa tidak mampu beradaptasi pada kawasan pesisir Teluk
Sembulu dengan substrat dasar lempung berdebu dan pasir. Hal ini didukung oleh
pernyataan Komala (2012), dimana spesies gastropoda Natica sp merupakan
predator dari A. granosa.
Mendominasinya spesies Anadara (Scaparcha) pilula, disebabkan karena
spesies ini paling mampu beradaptasi serta dapat bertahan hidup pada lingkungan
yang kaya kandungan C-organik. Menurut Riniatsih dan Widianingsih (2007)
spesies kerang genera Anadara cenderung bersifat kosmopolitan yaitu tersebar di
perairan tropis dan subtropis. Kerang ini dapat hidup di perairan dengan substrat
dasar pasir berlumpur di perairan padang lamun. Pakar lain seperti Carpenter and
Niem (1998), Broom (1985), Nurdin et al. (2006), Baron and Clavier (1992ab,
2006), juga menyebutkan bahwa bivalvia genera Anadara banyak tersebar di
wilayah Indo-Pasifik khususnya pada substrat dasar berlumpur, pasir berlumpur
dan lempung berdebu. Menurut Roopnarine (2008); Grillo et al. (1998); Ing (2001)
menyatakan bahwa A. squamosa (suspended feeder) umumnya melimpah pada
substrat dasar berpasir hingga berlumpur yang bebas kandungan liat.
Miskinnya jumlah spesies dan jumlah individu yang ditemukan pada
masing-masing stasiun disebabkan karena kelompok bivalvia tertentu yang
kepadatannya tinggi selalu di eksploitasi oleh masyarakat setempat dalam jumlah
yang sangat besar dengan intensitas eksploitasi yang tak terkendalikan, hal ini
terlihat dari ditemukannya spesies-spesies kerang yang berukuran kecil hampir
pada setiap lokasi penelitian. Selain itu pada spot-spot tertentu (khususnya stasiun
I) terjadi tekanan ekologi yang cukup berpengaruh pada keberlangsungan hidup
biota bentik yang diduga bersumber dari aktivitas penimbunan pasir yang pernah
terjadi di wilayah pesisir pantai hingga sejauh 150 m untuk proses pembuatan
jalan pengangkutan tambang ke kapal pengangkut, akibatnya berdampak pula
pada ekologi Stasiun II yang letaknya berdekatan. Stasiun II saat ini merupakan
wilayah pesisir yang rawan terjadi abrasi pantai yang mana substrat dasarnya
sering terpapar matahari dalam waktu yang cukup lama sehingga dapat berisiko
memusnahkan populasi berbagai spesies bivalvia yang hidup di area tersebut.
Tipe Substrat Versus Kepadatan Spesies Bivalvia pada Zonasi Pasang Surut
Kraufvelin et al. (2007) melaporkan bahwa interaksi antar gerakan air dan
nutrien merupakan faktor yang akan mempengaruhi jumlah dan biomassa lamun
di suatu perairan yang berdampak langsung pada kepadatan jumlah organisme
bentik. Grafik distribusi fraksi sedimen, frekuensi kehadiran serta kepadatan
spesies bivalvia pada masing-masing zona intertidal secara berurutan disajikan
pada Gambar 7, Gambar 8, dan Gambar 9.
26
X = zona pasang surut (Lower, Middle, Upper) pada setiap stasiun penelitian
120
Y = Persentase butiran sedimen
100
80 Kerikil
Pasir
60
Debu
40 Liat
20
0
L (I) M (I) U (I) L (II) M (II) U (II) L (III) M (III) U (III) L (IV) M (IV) U (IV)
35
Y = Kepadatan individu perjenis
30
25
zona terdepan (L)
(ind/m2)
80 X = Bivalvia
Y = frekuensi kehadiran (%)
Stasiun III karena dipengaruhi oleh arus yang cukup kuat sehingga spesies kerang
T. timorensis dan H. chinensis bisa dijumpai di daerah ini.
Kelompok ketiga (Stasiun IV) merupakan kelompok habitat yang dicirikan
oleh tingginya kerapatan mangrove (Mg2), dan ditumbuhi oleh vegetasi lamun
dengan penutupan > 75%. Spesies lamun yang banyak ditemukan pada Stasiun IV
yaitu Thalassia hemprichii (Th). Kondisi habitat pada Stasiun IV dengan tipe
substrat debu lebih dominan, C-organik tinggi, TSS tinggi, posfat tinggi
merupakan habitat yang paling disenangi oleh spesies-spesies bivalvia dari genera
Anadara khususnya Anadara (Scapharca) pilula yang menjadi spesies dominan
pada Stasiun IV. Untuk memperoleh makanan dengan baik, sebagai biota yang
mendapatkan makanannya dengan jalan menyaring air (filter feeder), kerang bulu
maupun kerang gelatik biasanya membenamkan dirinya tidak terlalu jauh dari
permukaan serta memilih daerah yang relatif tenang. Hal ini berhubungan erat
dengan mekanisme pengambilan makanan serta kelengkapan anatominya yang
tidak memiliki syphon yang merupakan salah satu ciri dari famili Arcidae
(Mubarak 1987; Kilburn 1999). Selain itu dijumpai juga spesies lain A. squamosa
(As) yang menyebar pada jarak 0 - 30 m dengan kepadatan individu yang cukup
tinggi akan tetapi masih rendah bila dibandingkan dengan kepadatan S. pilula
yang banyak ditemukan mengelompok pada jarak 30 100 m dari garis tinggi
pasang rata-rata ke arah laut dengan membenamkan diri didalam substrat dasar
perairan. Spesies bivalvia lain yang ditemukan pada kelompok ketiga yaitu
Anadara antiquata (Aa), Anadara granosa (Ag), Placemen chlorotica (Pc).
2,0
Gt
1,0
ST3
0,5
Dimensi 2 (F2 ; 30,26%)
-1,0
Hu
-1,5
Gg, Lc, Ts, Mg, Pcit
-2,0
-2,5 Stasiun
-2,0 -1,5 -1,0 -0,5 0,0 0,5 1,0 1,5
Variabel
Dimensi 1 (F1; 57.46%)
Gambar 11 Grafik CA preferensi habitat bivalvia pada sumbu (F1 dan F2)
31
2,0
1,0
0,5 ST2 Hu
Gt
Mg2, Pch,Th, Aa, Ag,As, Sp ST3
ST4 Cr
C_lm
0,0 K_Lm
ST1
-0,5
Mg1
-1,0
Hm
-1,5
-2,0
Stasiun
-2,0 -1,5 -1,0 -0,5 0,0 0,5 1,0 1,5
Variabel
Dimensi 1 (F1; 57.46%)
Gambar 12 Grafik CA preferensi habitat bivalvia pada sumbu (F1 dan F3)
lumpur pada lapisan atas relatif lebih tinggi dengan ketebalan 1 cm 2 cm. Biota
ini berada di dekat lapisan permukaan substrat dan memposisikan dirinya
sedimikian rupa sehingga dalam pengambilan makanannya, substrat yang
berukuran lebih besar ataupun benda-benda asing lainnya tidak ikut terbawa
masuk pada saat penyaringan. Untuk memudahkan air masuk keluar melalui
tubuhnya pada saat menyaring makanan, maka ia memposisikan dirinya
sedimikian rupa agar dapat menyaring air dari atas. Untuk keperluan ini
mantelnya akan membentuk dua lobang pemisah antara aliran air yang masuk
(inhalant) dan aliran air yang keluar (exhalant). Hal ini bila diamati secara
sepintas keberadaan biota ini dialam, terkadang hanya nampak dua lobang kecil
sebagai tempat keluar masuknya air. Bila ada benda asing yang kebetulan masuk
atau mengahalangi lobang tersebut, maka secara refleks cangkangnya akan
menutup sehingga benda tersebut dapat terlempar keluar.
Satrioajie (2010) juga menyatakan bahwa habitat A. pilula terdapat pada
sedimen dasar perairan yang lembut seperti pasir, lumpur maupun campuran pasir
dan lumpur. Pada umumnya sedimen lumpur mengkarakteristikkan perairan yang
berarus lemah dan bertemperatur tinggi. Komala (2012) juga menyatakan bahwa
spesies kerang A. antiquata (kerang bulu), S. pilula (kerang bulu/kerang gelatik)
memiliki kecenderungan menyenangi habitat dengan karakteristik substrat yang
didominasi oleh pasir sehingga spesies kerang A. granosa (kerang darah) tidak
akan mampu berkompetisi pada habitat tersebut karena kesesuaian habitat dari
kerang darah cenderung berbeda dari spesies kerang lain yang masih dalam famili
arcidae. Menurut Broom (1985), A. granosa umumnya hidup pada habitat yang
didominasi oleh substrat lumpur pada daerah tropis. Menurut Dody (1998),
Anadara lebih menyukai habitat yang berada di depan mangrove dan ditumbuhi
lamun yang lebat, Pathansali (1966) juga mengemukakan bahwa habitat yang
ideal bagi A. granosa adalah daerah pasang surut yang terlindung dari ombak
dengan 90% luasan areanya terdiri atas lumpur halus (diameter < 0.124 mm)
berada dikawasan pesisir yang berbatasan dengan vegetasi mangrove dan muara
sungai dengan salinitas berkisar antara 18o/oo dan 30o/oo. Walaupun bisa juga
ditemukan pada substrat dasar lumpur berpasir, namun jumlah dan ukurannya
tidak sebaik di lumpur halus yang payau.
Berbeda halnya dengan spesies kerang G. tumidum dan G. pectinatum
yang cenderung lebih menyukai habitat berpasir dan mampu hidup pada wilayah
yang berarus kuat dan mengandung sedikit bahan organik karena kerapatan lamun
yang cenderung lebih rendah. Hal ini terlihat dari hasil penelitian ini yang
membuktikan bahwa kepadatan tertinggi spesies kerang Gafrarium spp ditemukan
pada Stasiun II dan Stasiun III dengan kondisi habitat berarus kuat, substrat
berpasir serta didukung oleh kesesuaian parameter fisika, kimia dan biologi bagi
kehidupan bivalvia khususnya spesies G. tumidum. Akan tetapi kepadatan
bivalvia pada Stasiun II cenderung lebih rendah diduga karena adanya faktor
pemangsaan dan penguasaan ruang dari bintang laut pasir. Menurut Try (2001),
spesies G. tumidum hidup pada substrat dasar berpasir pada area dekat pantai
hingga kedalaman 10 m, kemudian Malau (2002) menyebutkan bahwa Gafrarium
spp hidupnya terbenam secara vertikal, kadang-kadang posteriornya muncul pada
permukaan pasir. Umumnya kerang dari famili Veneridae hidup di laguna atau
perairan yang dangkal dan terkadang kerang-kerang tersebut membentuk populasi
yang padat, hal ini merupakan bentuk adaptasi dari Gafrarium spp terhadap faktor
33
Kesimpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
APHA. 2005. Standard Methods for the Examination of Water And Wastewater.
American Public Health Association (APHA), 18th,Ed., Washington, DC.
159 page.
Aryanto, Nasrun, Sianipar AH, Sarmili L. 2005. Granit kelumpang sebagai granit
tipe 1 di Pantai Teluk Balok Belitung. Jurnal Geologi Kelautan 3 (1) : 19
27.
Barnes RD. 1987. invertebrate Zoology. Fifth ed. W. B. Saunders Co. London.
1089p.
Bengen DG. 2000. Teknik Pengambilan Contoh dan Analisis Data Biofisik
Sumberdaya Pesisir. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor (PKSPL IPB).
Jakarta. 88 hlm.
Bengen DG. 2002. Pedoman teknis pengenalan dan pengelolaan ekosistem
mangrove. Bogor. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Laut (PKSPL) IPB.
88 hlm.
Baron J. 2006. Reproductive Cycles of the Bivalvia Molluscs Atactodea striata
(Gmelin), Gafarium tumidum Roding and Anadara scapha (L.) in New
Caledonia, Australian. Journal of Marine and Freshwater Research, 43(2) p.
393401.
Baron J and Clavier J. 1992a. Effect of environmental factors on the distribution
of the edible bivalves Atactodea striata, Gafrarium tumidum and Anadara
scapha on the coast of New Caledonia (SW Pacific). Aquat. Living Resour.
No.5: 107-114.
Baron J and Clavier J. 1992b. Estimation of soft bottom intertidal bivalve stocks
on the south west coast of New Caledonia (SW Pacific). Aquat. Living
Resour. No.5: 99-105.
BPS. 2012. Kecamatan Simpang Pesak Dalam Angka 2012. Pemerintah Daerah
Kabupaten Belitung Timur. 110 hlm.
Brandt A, Linse K & Schuller, M. 2009. Bathymetric distribution patterns of
Southern Ocean macrofaunal taxa: Bivalvia, Gastropoda, Isopoda and
Polychaeta. Deep-Sea Research 1(56): 20132025.
Broom MJ. 1985. The Biology and culture of marine bIvalves Moluscas of The
Genera Anadara. ICLARM Stud, 37pg. (ISSN 0115-4389, ISBN 9711022
21 4).
Brusca R C and Brusca G J. 2003. Invertebrates. Second Edition. USA. 965p.
Clark RB 1977. Marine pollution. Oxford (UK): Clarendon Press. 234 p.
Campos, del Norte AGC, Wilfredo L, Campos, and Karen A, Villarta. 2005.
Survey of Macro-Invertebrate Gleaning in The Banate Bay Intertidal Area,
Eastern Panay Island. Journal of Science Diliman (July-December 2005)
(17):2, 11-20.
Carpenter KE, and Niem VH. 1998. FAO Species identification guide for fishery
purposes. The living marine resources of the western central Pacific. Vol 1.
Seaweeds, Corals, Bivalves, and Gastropods. Rome, FAO.
Dame RF. 1996. Ecology of Marine Bivalves an Ecosystem Aproach. NewYork:
CRC Press. 240p.
36
Daphne LH, Utomo HD, Kenneth LZ. 2011. Correlation between turbidity and
total suspended solid Singapore Rivers. Journal of water sustainability 1(3):
313-322.
De Casamajor MN, Cail-Milly N, Morandeau G, Lissardy M. 2006. Bivalves
biodiversity and distribution on the Aquitan Coast Bay of Biscay. France.
Ifemer. 52p.
Denadai MR, Amaral ACZ and Turra A . 2001. Spatial distribution of moluscs on
sandy intertidal substrates with rock fragmens in South Eastern Brazil.
Estuarine, Coastal and Shelf Science. Vol. 53: 733-743.
Dharma B. 1988. Siput dan kerang Indonesia (Indonesian Shells). PT. Sarana
Graha. Jakarta.
Dharma B. 1992. Siput dan kerang Indonesia shells II. PT Sarana Graha. Jakarta.
Dody S. 1998. Distribusi spasial dan preferensi habitat kerang darah (Anadara
maculosa, Linnaeus 1758) di Perairan Teluk Kontania Seram Barat Maluku
[tesis]. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Dody S. 2011. Pola sebaran, kondisi habitat dan pemanfaatan siput gonggong
(Strombus turturella) di Kepulauan Bangka Belitung. OLDI 37(2): 339-353.
ISSN 0125-9830
Effendi H. 2003. Telaah kualitas air bagi pengelolaan sumberdaya dan lingkungan
perairan. Jurusan Maajemen Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan dan
Ilmu Kelautan IPB. Bogor.
Gosling E. 2003. Bivalve Molluscs; Biology, Ecology and Culture. Fishing New
Books An imprint of Blackwell Science. USA
Fachrul M F. 2006. Metode Sampling Bioekologi. PT Bumi Aksara. Jakarta.
Faulkner P. 2010. Morphometric and taphonomic analysis of granular ark
(Anadara granosa) dominated shell deposits of Blue Mud Bay, Northern
Australia. Journal of Archaeological Science 37:1942-1952.
Gab-Alla A, Mohamed SZ, Mahmoed M., Soliman BA. 2007. Ecological and
Biological Studies on Some Economics Bivalves in Suez Bay, Gulf of Suez,
Red Sea, Egypt. Journal of Fisheries and Aquatic Science, 2(3):178-194.
Grillo MCG, Ventura CRR, da Silva SHG. 1998. Spatial distribution of bivalvia
(Mollusca) in the soft bottoms of ilha Grande Bay, Rio de Jeneiro Brazil.
Rev. brass. oceanogr. 46(1):19-31.
Gunkel W. 1976. Organic substrate. Bacteria, Fungy and Blue Green Algae. John
Wiley and Sons Inc. New York.
Ilahude AG. 1998. Pengantar ke Oseanologi Fisika. P3O LIPI, Jakarta.
Kennish MJ. 1990. Ecology of estuaria. Volume II. Biological aspects. CRC Press.
Florida.
Kilburn R. 1999. Family Veneridae in South-East Asia. Procedding 10th Congress
and Workshop. Vietnam (IV): Tropical Marine Molluscs Programme
(TMMP) Ministry of Fisheries. 629-638p.
KMNLH. 2004. Keputusan Kantor Menteri Negara Kependudukan dan
Lingkungan Hidup No. 51 tahun 2004. Baku mutu air laut untuk biota laut
dan budidaya laut. Jakarata. 6 hlm
Komala R (2012). Analisis Ekobiologi sebagai dasar pengelolaan sumberdaya
kerang darah (Anadara granosa) di Teluk Lada Perairan Selat Sunda.
[thesis]. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
37
Krebs CJ. 1972. Ecology, the experimental analisys of distribution and abundance.
Harper And Row Publ. New york. 419 p.
Kurihara T. 2003. Adaptations of subtropical venus clams to predation and
desiccation: endurance of Gafrarium tumidum and avoidance of Ruditapes
variegatus. Marine Biology, 143: 1117-1125.
Kodama K, Lee JH, Oyama M, Shiraishi H, Horiguchi T. 2012. Disturbance of
benthic macrofauna in relation to hypoxia and organic enrichment in
eutrophic coastal bay. J. of Marine Environmental Research. 76; 80 89.
Koropitan, A.F, Ikeda M, Damar A, dan Yamanaka Y. 2009. Influences of
physical processes on the ecosystem of Jakarta Bay: a coupled physical
ecosystem model experiment. J Mar Sci, 66: 336348.
Levinton JS. 1982. Marine ecology. Prentice Hall Inc., Englewood Cliffs. New
Jersey.
Malau RDY. 2002. Studi hubungan kualitas habitat terhadap pola distribusi
kerang kerek Gafrarium spp. pada ekosistem padang lamun di Gugus Pulau
Pari Kepulauan Seribu [skripsi]. Institut Pertanian Bogor.
Malvarez GC, Jooper JAG, Jackson DWT. 2001. Relationship between wave
induced-current and sediment grain size on sandy tidal-flat. Journal of
sedimentary research. 71(5): 705-712.
Neumann G and Pierson WJ. 1966. Principles of physical oceanography. Prentice-
Hall Inc. Englewood Cliffs, New Jrsey.
Nurdin J, Neti M, Anjas A, Rio D, Jufri M. 2006. Kepadatan populasi dan
pertumbuhan kerang darah Anadara antiquata L (Bivalvia: Arcidae) di
Teluk pisang-pisang, Kota Padang, Sumatera Barat. Makara Sains 10(2):
96-101.
Nurdin J, Supriatna J, Patria MP, Budiman A. 2008. Kepadatan dan
keanekaragaman kerang intertidal (Mollusca: Bivalvia) di perairan Pantai
Sumatera Barat. Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi-II 2008
Universitas Lampung, 17-18 November 2008.
Nurdin J. 2009. Ekologi populasi dan siklus reproduksi kerang kopah Gafrarium
tumidum Roding 1978 (Bivalvia: Veneridae) di perairan Pantai Teluk
Kabung, Padang Sumatera Barat [Disertasi]. Depok (ID): Universitas
Indonesia. 220 hlm.
Nybakken 1998. Biologi laut, suatu pendekatan ekologis. PT. Gramedia. Jakarta.
Odum EP. 1993. Dasar-dasar ekologi. Yogyakarta:Gadjah Mada University Press.
Pathansali D. 1966. Notes on the biology of the cockle culture Anadara granosa L.
Proc. IPFC Fish. Counc. 11 (II): 84 89.
Peterson BJ. Kenneth L. Heck JR. 1999. The potential for suspension feeding
untuk meningkatkan produktivitas lamun. Journal of Experimental Marine
Biology and Ecology. 240 (1999); 37 52.
Purwoko A. dan Wolff WJ. 2008. Low biomass of macrobenthic fauna at a
tropical mudflat: an effect of latitude?. Estuarine, Coastal and Shelf
Science. Vol 76: 869875.
Prasojo S, Irwani A, Suryono CA. 2012. Distribusi dan kelas ukuran panjang
Kerang Darah (Anadara granosa) di Perairan Pesisir Kecamatan Genuk
Kota Semarang. Jurnal of Marine Research. Vol. 1(1): 137-145.
38
Riniatsih I dan Kushartono EW. 2008. Substrat dasar dan parameter oseanoghrafi
sebagai penentu keberdaan gastropoda dan bivalvia di Pantai Sluke
Kabupaten Rembang. Jurnal Ilmu Kelautan 14(1): 50-59.
Riniatsih I dan Widianingsih. 2007. Kelimpahan dan pola sebaran kerang-
kerangan (Bivalvia) di ekosistem padang lamun, perairan Jepara. Jurnal
Ilmu Kelautan UNDIP 12(1): 53-58. ISSN 0853-7291.
Roopnarine PD, Signorelli J, Laumer C. 2008. Systematic, biogeographic and
microhabitat based on morphometric variation of A. squamosa
(Bivalvia:Veneridae:Chioninae) in Thailand. The Raffles Bulletin of Zoology.
No.18: 95-102.
Satrioajie WA. 2010. Studi kepadatan dan distribusi Kerang Bulu Anadara
(Cunearca) pilula (Reeve, 1843). [Tesis,tidak dipublikasikan]. Semarang:
Universitas Diponegoro. 134 hlm
Seitz RD, Dauer DM, Lianso RJ. Long WC. 2009. Broad scale effects of hypoxia
on benthic community structure in Chesapeake Bay, USA. Journal of
Experimental Marine Biology and Ecology. 381 (2009) S4-S12.
Setyobudiandi I, Vitner Y, Zairon, Kurnia R, Susilo SB. 2004. Metode penarikan
contoh suatu pendekatan biostatistika. PKSPL IPB. Jakarta.
Setyobudiandi I, Sulistiono, Yulianda F, Kusmana C, Hariyadi S, Damar A,
Sembiring A, Bahtiar. 2009. Sampling dan Analisis Data Perikanan dan
Kelautan; Terapan Metode Pengambilan Contoh di Wilayah Pesisir dan
Laut. Makaira Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB. Bogor. 410hlm
Setyono DED. 2006. Karakteristik biologi dan produk kekerangan laut. Oseana
31(1): 1-7.
Sumich JL. 1992. An introduction to the biology of marine life. Fifth Edition. Wm.
C. Brown Company Publishers.
Try. 2001. Utilization of marine bivalves and gastropods in Cambodia. Phuket
Marine Biological Central Special Publication. 25(2): 387-403
Verween A, Vincx M, Degraer S. 2007. The effect of themperature and salinity on
the survival of Mytilopsis leucophaeat a larvae (Mollusca, Bivalvia). The
search for environmental limits. Journal Experimental Marine Biology and
Ecology. 348: 111 120.
Veiga P, Rubal M, Cacabelos E, Maldonado, Sousa-Pinto I. 2014. Spatial
variability of macrobentic zonation on exposed sandy beaches. Journal of
Sea Research. 90; 1- 9.
Wardoyo ST. 1981. Kriteria kualitas air untuk perikanan dalam analisa dampak
lingkungan. PLN-PUDSI. IPB. Bogor.
Wells F E and Bryce C W. 1988. Seashells of Weastern Australia. Weastern
Australia Museum.
39
Stasiun I
Stasiun II
Stasiun III
Stasiun IV
40
Hiatula chinensis
Sambungan disebelah:
44
Lampiran 6 Tabulasi data kualitas air dan substrat di kecamatan Simpang Pesak
Stasiun Penelitian
Parameter I II III IV
Lingkungan Sub I Sub 2 Sub 3 Sub 1 Sub 2 Sub 3 Sub 1 Sub 2 Sub 3 Sub 1 Sub 2 Sub 3
(Mei) (Juni) (Juli) (Mei) (Juni) (Juli) (Mei) (Juni) (Juli) (Mei) (Juni) (Juli)
o
Suhu C 32 34 32 31 33 31 31 35 31 32 34 32
Salinitas 32 33 32 31 32 31 32 31 33 32 34 32
Kecerahan cm 80 85 70 100 90 100 90 100 90 80 85 90
pH air - 8.2 8.1 8.2 8.0 7.9 8.0 8.5 8.2 8.3 7.9 8.0 7.9
TSS mg/l 85 90 87.5 14 62 38 14 12 13 24 86 55
DO mg/l 5.41 6.19 6.19 6.9 6.9 6.5 7.3 6.5 6.9 4.3 5.41 6.19
BOD5 mg/l 2.65 2.59 2.59 2.17 3.02 0,43 0.5 0.43 0.43 0.21 2.16 2.59
Arus m/s 0.03 0.041 0.05 0.05 0.06 0,06 0.083 0.083 0.1 0.025 0.016 0.016
PO4 mg/l 0.065 0.065 0.065 0.07 0.07 0,07 0.064 0.064 0.064 0.075 0.075 0.075
NO3 mg/l 0.135 0.135 0.135 0.293 0.293 0,293 0.139 0.139 0.139 0.119 0.119 0.119
NO2 mg/l 0.017 - - 0.011 - - 0.041 - - 0.025 - -
TOM mg/l 29.1 - - 25.9 - - 31.6 - - 20.7 - -
Kekeruhan ntu 46 - - 22.8 - - 17.1 - - 8.47 - -
*Substrat* Low Mid Up Low Mid Up Low Mid Up Low Mid Up
C-organik % 5.99 0.63 0.23 7.02 3.05 0.23 5.59 0.40 0.06 8.15 1.02 0.12
Nitrogen % 0.03 0.05 0.04 0.05 0.31 0.04 0.03 0.04 0.12 0.05 0.11 0.25
P2O5 ppm 3.2 13 - 29.6 13 - 1.3 10 - 1.3 13 -
Kerikil % - - - - - - 100 - - - -
Pasir % 46.8 97.1 94.6 67.2 93.8 95.6 68.5 96.4 94.7 18.8 77.8 91.5
Debu % 26.7 1.1 1.6 13.4 4.1 1.6 29.2 0.8 1.5 73.1 20.3 5.5
Liat % 26.5 1.8 3.8 19.4 2.1 3.7 2.2 2.8 3.8 8.1 0.3 3.0
pH soil - 5.5 6.0 6.0 6.0 6.0 6.5 6.5 7.0 7.0 5.0 5.5 6.5
Pasir Pasir Lmpg Pasir
Tipe substrat - Pasir Pasir Pasir Pasir Pasir Pasir Pasir Pasir
lmpr lmpg debu lmpr
46
Lampiran 8 Tabulasi data jumlah individu pertransek pada setiap stasiun pengamatan
Lower Middle Upper
Stasiun Spesies Bivalvia Plot 1 Plot 4 Plot 7 Plot 2 Plot 5 Plot 8 Plot 3 Plot 6 Plot 9
1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3
G. pectinatum - - - - 1 - - 1 - 1 1 1 1 1 1 1 1 1 2 2 2 2 0 2 2 - -
I
G. tumidum 1 1 - 1 - 1 1 1 - 1 1 1 - 1 - 1 1 1 - - - - - - - - 1
G. pectinatum 1 1 1 1 1 1 1 - 1 2 1 1 3 2 3 3 1 3 3 3 2 3 3 3 2 2 2
P. citrinus - - - - 1 - - - - 1 - 1 1 1 1 1 1 - - - - - - - - - -
M. grandis - - - - - - - - - - 1 - - - - - - - 1 - - - - 1 - - -
II
L. castrensis 1 - - - - - 1 - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
G. grayana - - - 1 1 - - - - - - - - - - - - 1 - - - - - - - - -
T. subrogosum - - - - - - - 1 - - - - - - - - - - - 1 - 1 1 1 - - -
G. tumidum - - - 1 1 1 7 - 1 4 5 3 5 6 4 4 6 3 6 6 5 7 7 7 5 8 6
G. pectinatum - - - - 1 - 1 - - 1 1 1 1 2 1 1 - 2 1 - 2 1 - - 1 - 1
K. japonica - - - - 1 - - - - - 1 1 1 1 - 1 1 1 1 2 - - - - 1 - -
III
T. literatus - - - - - - 1 - - - 1 - 1 1 1 - 1 - - 1 1 1 1 - - - -
T. timorensis 1 - 1 - - - - 1 - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
H. chinensis - 1 - - - - - - 1 - - - - - - - - - - - - - - - - - -
A. antiquata - - - - - - - - - - - - - - - 1 - - - - 1 - 1 - 1 1 -
A. granosa - - - - - 2 - - - - - 1 - - - - - - - - 1 - - - - - 1
IV S. pilula - 1 - 2 1 1 - - - 8 4 5 6 7 6 4 5 7 5 5 6 7 5 4 6 6 4
A. squamosa 5 3 2 4 3 2 - 2 2 2 3 1 2 2 1 1 3 1 - - - - - - - - -
P. chlorotica - - 1 - - - 1 1 1 - - - - - - - - - - - - - - - - - -
48
Membalong
Teluk Sembulu
Teluk Balok
Oleh:
Irma Akhrianti
C551110041 (IKL)
49
RIWAYAT HIDUP