Anda di halaman 1dari 26

MENUJU PENGELOLAAN TNLL BERBASIS MASYARAKAT

Oleh Arianto Sangaji1

Pengelolaan Kawasan Konservasi :

1. Pengetahuan Konservasi

Pengetahuan tentang konservasi sangat kuat dipengaruhi


oleh faham konservasi alam klasik (classic nature
conservation). Faham ini menekankan solusi terhadap
penghancuran hutan hujan tropis adalah dengan penetapan
kawasan-kawasan yang dilindungi, di mana setiap orang
dilarang masuk, guna melindungi spesies-spesies yang
terancam punah (Gray, 1991:56). Faham ini sejalan dengan
faham ekofasis yang menganggap konservasi lingkungan
sebagai jauh lebih penting dari kehidupan rakyat, khususnya
rakyat miskin. Mereka menganggap bahwa memang tidak dapat
dielakkan kalau rakyat harus dipindahkan dari daerah-daerah
yang terancam rusak, apakah itu hutan-hutan tropis, kawasan
lindung untuk berburu, atau zona-zona peresapan air
(Dietz,1998:22).

Blok pengetahuan konservasi seperti itulah yang


mewarnai pengelolaan kawasan-kawasan konservasi. Taman
nasional misalnya dikelola dengan prinsip-prinsip
perlindungan alam yang ketat, tetapi dalam waktu yang
bersamaan tidak menaruh perhatian yang cukup terhadap
masyarakat yang bermukin di dalam atau di sekitar kawasan
itu. Akibatnya, perlindungan alam seolah-olah merupakan
tindakan yang berdiri-sendiri, dan harus dibenturkan dengan
kepentingan masyarakat di sekitarnya.

Konsep taman nasional (national park) mulai berkembang


di negara-negara barat, ketika Yellow Stone ditetapkan
sebagai taman nasional di Amerika sejak 1872. Model Yellow
Stone dikelola dengan pendekatan perlindungan alam yang
ketat. Tidak diperkenankan adanya kegiatan manusia baik
untuk kebutuhan subsisten maupun untuk pemanfaatan sumber
daya alam demi tujuan komersial. Padahal, ketika Yellow
Stone ditetapkan sebagai taman nasional terdapat beberapa
kelompok suku asli yang sudah mendiami sebahagian kawasan
itu selama beratus-ratus atau ribuan tahun. Konflik,
karenanya tidak dapat dihindari (Stevens,1997).
Konsep taman nasional semacam inilah yang mengilhami
penetapan taman nasional di seantero dunia. Pada 1969,
International Union for Conservation of Nature and natural
Resources (IUCN) memberikan batasan mengenai taman
nasional, yakni : (1) kawasan yang cukup luas bagi

1 Direktur Yayasan Tanah Merdeka, Ornop di kota Palu.


pembangunan satu atau lebih ekosistem dan yang praktis
tidak banyak dijamah manusia. Dalam kawasan ini, berkembang
jenis tanaman, binatang, dan lain-lain. Habitat yang
memiliki nilai ilmiah dan pendidikan besar ; (2) karena
kepentingannya yang begitu khas bagi ilmu dan pendidikan,
maka pengelolaannya berada di tangan pemerintah yang
bertugas melestarikan ekosistem yang tersedia ; (3) karena
memiliki unsur pendidikan, ilmiah dan daya tarik alamiah,
maka kawasan itu dapat dikunjungi dan dikelola bagi manfaat
manusia, tanpa mengubah ciri-ciri ekosistemnya. IUCN
mengkategorikan taman nasional sebagai bahagian dari
kawasan yang dilindungi, di samping daerah reserve alam
ketat, mounumen alam, daerah konservasi habitat dan
margasatwa, lansekap yang dilindungi, dan area perlindungan
sumber daya(McNeely, et, al, 1990).

Konsep taman nasional dengan spirit seperti di atas


diterapkan di Indonesia, ketika pada 1980, bertepatan
dengan pengumuman Strategi Pelestarian Dunia (World
Conservation Strategy), Menteri Pertanian mengeluarkan
Pernyataan pada tanggal 6 Maret 1980 mengenai penetapan
lima kawasan suaka alam sebagai taman nasional, yaitu Taman
Nasional Gunung Leuser, TN Ujung Kulon, TN gunung Gede-
Pangrango, TN Baluran, dan TN Komodo (LATIN, 1992).

2. Komitmen Global

Konservasi bertaut dengan proses globalisasi.


Menguatnya komitmen internasional dimulai sejak 1970-an,
dimulai dengan Deklarasi Stockholm tentang lingkungan hidup
(1972), Konvensi mengenai Perlindungan Terhadap Kebudayaan
Dunia dan Warisan Alam (1972) dan Konvensi tentang
Perdagangan Internasional Spesies Langka Fauna dan Flora
Liar (1973). Pada 1990-an, tumbuh kesadaran kuat mengenai
perlindungan lingkungan, yang secara monumental ditandai
dengan penyelenggaraan United Nation Conference on
Environment and Development (UNCED) atau dikenal dengan
‘pertemuan bumi’ (Earth Summit), yang dihadiri sekitar 100
pemimpin pemerintahan yang mewakili 170 negara, Juni 1992
di Rio de Janeiro.

Setelah pertemuan Rio, di bawah PBB dibentuk


Commission on Sustainable Development (CSD). Hutan dan
konservasi menjadi salah satu fokus penting CSD, seperti
tertuang dalam Bab 11 Agenda 21, yang diberi judul
‘Combatting Deforestation’2 dan suplemen mengenai ‘Forest

2
‘Combatting deforestation’ memiliki 4 program : memelihara seluruh jenis hutan ;
melakukan proteksi, pengelolaan secara berkelanjutan dan konservasi hutan yang meliputi
penghijauan areal yang telah mengalami degradasi; mempromosikan penilaian dan pemanfaatan
hutan; dan penguatan kemampuan perencanaan, penelitian, dan aktivitas-aktivitas komersial
dalam kehutanan. Maksudnya adalah mempertahankan suatu keseimbangan antara konservasi
hutan dan penggunaan sumber daya hutan menurut prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan.
Principles’3 (IAITPTF & IWGIA, p,45). Setelah pertemuan Rio,
telah dikeluarkan the United Nations Convention on
Biological Diversity dan United Nation Framework
Convention on Climate Change.

Kuatnya agenda global mengenai konservasi juga


terlihat dari pembentukan Global Environmental Facility
(GEF) 1990, sebagai respon terhadap tidak adanya dana untuk
proyek dan strategi konservasi. Tanggung jawab untuk
implementasi GEF merupakan share antara Bank Dunia, United
Nation Development Programme (UNDP), dan United Nations
Environment Programme (UNEP). Sebelum itu, pada 1985,
sebuah inisiatif dari World Bank (WB), UNDP, World
Resources Institute (WRI), dan Food and Agriculture
Organization (FAO) membentuk the Tropical Forest Action
Program (TFAP), guna menyediakan kerangka mengenai
tantangan dan kebutuhan yang berhubungan dengan konservasi
dan pembangunan hutan tropis.

Perhatian terhadap perlindungan keanekaragaman hayati


atau kawasan yang dilindungi menjadi komitmen lembaga-
lembaga pembiayaan internasional, seperti WB dan Asian
Development Bank (ADB). Banyak proyek konservasi di negara
sedang berkembang yang dibiayai oleh lembaga multilateral
development banks (MDBs) ini. Misalnya, proyek yang
mengintegrasikan konservasi dan pembangunan seperti
Integrated Conservation and Development Project (ICDP) di
beberapa taman nasional Indonesia.

Proyek-proyek konservasi yang dibiayai MDBs tentu saja


sangat kontras dengan perilaku lembaga-lembaga tersebut
dalam penghancuran keanekaragaman hayati. Bank Dunia
misalnya telah membiayai penghancuran karagaman genetik di
dunia ketiga selama lebih dari 40 tahun. Bank Dunia juga
membiayai revolusi hijau yang menggantikan sistem pertanian
asli yang beragam di dunia ketiga dengan pertanian
monokultur yang seragam serta rapuh secara genetis (Shiva,
1993:9).

Selain MDBs, proyek-proyek konservasi juga didukung


oleh beberapa LSM internasional seperti World Wide Fund for
Nature (WWF), Conservation International (CI), dan The
Nature Conservation (TNC) (Barber,Suraya,Agus,1997).
Lembaga-lembaga ini melakukan berbagai kegiatan riset
ekologi, management plan, dan proyek-proyek peningkatan
pedapatan masyarakat di kawasan-kawasan konservasi.

Kuatnya komitmen global (baca, negara-negara Utara dan


lembaga-lembaga internasional di bawah kendali negara-
negara itu) terhadap kawasan konservasi terpaut dengan

3
forest principles, mencakup hak dan tanggung jawab untuk melakukan konservasi hutan,
managemen pembangunan secara berkelanjutan, fokus pada hubungan negara, komunitas
internasional, dan penduduk lokal
realitas obyektif kayanya sumber daya hayati di negara-
negara selatan. Bersama Brazil, Columbia, Mexico, Zaire,
dan Tanzania, Indonesia adalah salah satu negara
megadiversity. Sebaliknya, negara-negara Utara miskin
sumber daya hayati. Dari sekitar 100 tumbuhan pangan
bernilai ekonomi penting di dunia, hanya 16 jenis yang
berasal dari Amerika, Kanada, dan negara-negara Utara
lainnya (Muhtaman, Arif, Sandra, 1999).

3.Kebijakan Negara

Di Indonesia, kebijakan negara tentang konservasi


dapat dilacak sejak masa kolonial Belanda. 1932, pemerintah
kolonial Belanda telah mengeluarkan ‘Ordonansi Cagar-cagar
Alam dan Suaka-suaka Margasatwa’ (Natuurmonumnten en
Wildreservatenordonnantie 1932) Staatsblad 1932, No.17.
Ordonansi ini kemudian digantikan dengan ‘Ordonansi
Perlindungan Alam 1941’ (Natuurbeschermingsordonnantie
1941) Staatsblad 1941, No.167 (lihat Danusaputro, 1985).

Sejak kemerdekaan 1945, kebijakan pemerintah setingkat


undang-undang yang secara langsung terkait dengan
konservasi adalah UU No.5 1967 tentang Ketentuan-ketentuan
Pokok Kehutanan, UU No.5 1990 tentang Konservasi Sumber
Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, UU No. 24 1992 tentang
Penataan Ruang, dan UU No.5 1994 tentang Pengesahan
Konvensi PBB mengenai Keanakaragaman Hayati, dan UU No.23
1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Diantara UU itu,
maka UU No 5 1990 yang paling lengkap merumuskan tentang
kawasan konservasi.

Berkaitan dengan taman nasional, UU No.5 1990


memberikan pengertian yang jelas dan lengkap. Pasal 1 ayat
14 UU ini menyatakan bahwa taman nasional sebagai kawasan
pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola
dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan
penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang
budidaya, pariwisata dan rekreasi.

Kebijakan negara di bidang konservasi, terutama


berkaitan dengan taman nasional, memiliki sejumlah masalah
mendasar. Pertama, tidak adanya pengakuan terhadap hak-hak
masyarakat setempat (masyarakat adat atau migran) atas
tanah dan sumber daya alam lain yang dikuasai secara
tradisional, jika wilayah itu ditetapkan sebagai bahagian
dari taman nasional. Kawasan yang ditetapkan sebagai taman
nasional dianggap sebagai kawasan tidak bertuan, sehingga
negara (pemerintah) dapat menetapkannya secara sepihak.

Dengan demikian, dari segi kepentingan masyarakat


asli, UU No 5/1990 tentang KSDAHE sangat tertinggal
dibanding Ordonansi Perlindungan Alam 1941
(Natuurbeschermingsordonnantie 1941). Pasal 2 angka 3
ordonansi tersebut menyebutkan bahwa “……pernyataan sebagai
Suaka Margsatwa atau Cagar Alam dapat dilakukan terhadap
daerah-daerah, atas nama dikuasai pihak ketiga, akan tetapi
hanya setelah mendapat persetujuan dari yang
berkepentingan”. Selanjutnya, dalam pasal 13 angka 3
ditegaskan, “pada saat berlangsung ordonansi ini, pihak
ketiga yang telah menjalankan haknya di dalam Suaka
Margasatwa yang ada, tidak diadakan perubahan, kecuali
setelah dilakukan permufakatan dengan yang berkepentingan”
(lihat Danusaputro, 1985 : 57-62).

Tidak adanya pengakuan membawa implikasi yang sangat


kompleks, khususnya berhubungan dengan sistem pengetahuan
masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam. Di satu
pihak melucuti hak masyarakat atas sumber daya alam, dan di
pihak lain menyediakan ruang bagi praktik bioprospeksi dan
biopirasi dibalik kedok riset ilmu pengetahuan. Praktik-
praktik ini merupakan pelanggaran serius terhadap hak
kepemilikan intelektual masyarakat pemilik sumber daya
alam.

Kedua, pengelolaan taman nasional terlampau menekankan


pada kepentingan ekologi, dan sama sekali mengabaikan
kepentingan masyarakat di sekitarnya. Hal ini terutama
telihat pada ketentuan mengenai sistem zonasi. Pasal 32
Undang-undang No 5/1990 menyebutkan bahwa kawasan taman
nasional dikelola dengan sistem zonasi yang terdiri dari
zona inti, zona pemanfaatan, dan zona lain sesuai dengan
keperluan. Penjelasan pasal tersebut menyebutkan bahwa
yang dimaksud dengan zona inti adalah bagian dari kawasan
taman nasional yang mutlak dilindungi dan tidak
diperbolehkan adanya perubahan apapun oleh aktivitas
manusia. Zona pemanfaatan adalah bagian dari kawasan taman
nasional yang dijadikan pusat rekreasi dan kunjungan
wisata. Zona lain adalah zona di luar kedua zona tersebut
karena fungsi dan kondisinya ditetapkan sebagai zona
tertentu seperti zona rimba, zona pemanfaatan tradisional,
zona rehabilitasi, dan sebagainya.

Peraturan Pemerintah (PP) 68/1998 tentang Kawasan


Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam Pasal 31 point 1
menyatakan bahwa penunjukan suatu kawasan sebagai taman
nasional, apabila telah memenuhi kriteria-kriteria ; (a)
kawasan yang ditetapkan mempunyai luas yang cukup untuk
menjamin kelangsungan proses ekologi secara alami ; (b)
memiliki sumber daya alam yang khas dan unik baik berupa
jenis tumbuhan maupun satwa dan ekosistemnya serta gejala
alam yang masih utuh dan alami ; (c) memiliki satu atau
beberapa ekosistem yang masih utuh ; (d) memiliki keadaan
alam yang asli dan alami untuk dikembangkan sebagai
pariwisata alam ; (e) merupakan kawasan yang dapat dibagi
ke dalam zona inti, zona pemanfaatan, zona rimba dan zona
lain yang karena pertimbangan kepentingan rehabilitasi
kawasan, ketergantungan penduduk sekitar kawasan, dan dalam
rangka mendukung upaya pelestarian sumber daya alam hayati
dan ekosistemnya, dapat ditetapkan sebagai zona tersendiri.

Kecenderungan yang menyisihkan kepentingan masyarakat


terlihat pada kriteria-kriteria yang digunakan untuk
penetapan zonasi. PP 68/1998 pasal 31 poin 2 menyatakan
bahwa penetapan sebagai zona inti, apabila memenuhi
kriteria :
(a) mempunyai keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta
ekosistemnya;
(b) mewakili formasi biota tertentu dan atau unit-unit
penyusunnya;
(c) mempunyai kondisi alam, baik biota maupun fisiknya yang
masih asli dan atau belum diganggu manusia;
(d) mempunyai luas yang cukup dan bentuk tertentu agar
menunjang pengelolaan yang efektif dan menjamin
berlangsungnya proses ekologis secara alami;
(e) mempunyai ciri khas potensinya dan dapat merupakan contoh
yang keberadaannya memerlukan upaya konservasi;
(f) mempunyai komunitas tumbuhan dan atau satwa beserta
ekosistemnya yang langka atau keberadaannya terancam punah.

Pasal 31 poin 3 menyatakan bahwa penetapan sebagai zona


pemanfaatan, apabila memenuhi kriteria ;
(a) mempunyai daya tarik alam berupa tumbuhan, satwa atau
berupa formasi ekosistem tertentu serta formasi geologinya
yang indah dan unik ;
(b) mempunyai luas yang cukup untuk menjamin kelestarian
potensi dan daya tarik untuk dimanfaatkan bagi pariwisata
dan rekreasi alam;
(c) kondisi lingkungan di sekitarnya mendukung upaya
pengembangan pariwisata alam

Pasala 31 poin 4 menyatakan bahwa penetapan sebagai zona


rimba, apabila memenuhi kriteria sebagai berikut ;
(a) kawasan yang ditetapkan mampu mendukung upaya
perkembangbiakan dari jenis satwa yang perlu dilakukan
upaya konservasi;
(b) memiliki keanekaragaman jenis yang mampu menyangga
pelestarian zona inti dan zona pemanfaatan;
(c) merupakan tempat dan kehidupan bagi jenis satwa migran
tertentu.

Dengan menetapkan kriteria yang begitu ketat, maka


pengelolaan taman nasional akan melihat masyarakat di
sekitarnya sebagai ancaman. Metode-metode restriksi dipakai
untuk menghalau masyarakat di sekitarnya.

Taman Nasional Lore Lindu

Taman Nasional Lore Lindu (TNLL) merupakan salah satu


kawasan lindung penting di Sulawesi Tengah. Luas TNLL
adalah 229.000 ha atau sekitar 3 % dari luas Propinsi
Sulawesi Tengah (6.803.300 ha). Kawasan seluas itu
merupakan 10,57 % dari luas Kawasan Lindung Sulawesi Tengah
atau 33,86 % dari luas Hutan Suaka Alam & Hutan Wisata di
propinsi ini.

TNLL memiliki status hukum sebagai taman nasional


sejak dikeluarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan
Republik Indonesia Nomor 593/Kpts-II/93, tertanggal 5
Oktober 1993. Sebelumnya, dari tahun 1982, TNLL masih
berstatus sebagai calon taman nasional, setelah
dideklarasikan pada Kongres Taman Nasional Sedunia di Bali,
melalui Surat Keputusan Menteri Pertanian
No.736/Mentan/X/1982.

Sebelum itu, dasar hukum Lore Lindu tercakup dalam


status Suaka Margasatwa Lore Kalamanta, Suaka Margasatwa
Sungai Sopu dan Gumbasa, serta Hutan Wisata dan Hutan
Lindung Danau Lindu. Ketiga kawasan lindung ini ditetapkan
berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian masing-masing
; No.522/Kpts/Um/10/1973, No.1012/Kpts/Um/12/1981, dan
No.46/Kpts/Um/1978.

Secara administratif TNLL berada di dua kabupaten,


yakni Kabupaten Poso dan Kabupaten Donggala. Di Kabupaten
Poso, TNLL merupakan bagian dari Kecamatan Lore Utara dan
Kecamatan Lore Tengah, Kecamatan Lore Selatan. Di Kabupaten
Donggala, TNLL merupakan bagian dari Kecamatan Kulawi,
Kecamatan Biromaru, dan Kecamatan Palolo. Terdapat 67 desa
berhubungan langsung dengan TNLL. TNLL terletak diantara
1°8’ sampai dengan 1°30’ lintang selatan (LS) dan 119°58’
sampai dengan 120°16’ bujur timur (BT).

TNLL memiliki kenaekaragaman hayati yang tinggi.


Beberapa fauna khas Sulawesi terdapat di kawasan ini,
seperti anoa (bubalus quarlessi dan bubalus depricornis),
kus-kus (phalanger celebensis dan phalanger ursinus),
tarsius (tarsius spectrum), monyet (macaca tonkeana),
musang cokelat Sulawesi (macrogalidia musschenbrock), dan
lain-lain.

TNLL memiliki dua tipe vegetasi, yakni hutan hujan


dataran rendah (200-1000 meter di atas permukaan laut) dan
hutan hujan pegunungan (1000-2500 meter di atas permukaan
laut). Komposisi flora hutan hujan dataran rendah agak
berfariasi ditandai jenis yang dikenal dengan mussaendopsis
beccariana, ficus sp, myristica sp,pterospermum, canangium
odoratum, arenga pinatta, arenga sp, dan lain-lain. Hutan
hujan pegunungan yang merupakan 90 % dari luas seluruh
areal TNLL didominasi jenis vegetasi seperti castanopsis
asgentea, lithocarpus sp. Juga terdapat beberapa jenis yang
agak kurang seperti podocorpus, elacorpus,
adinandra,listea, callohyllun, eucaliptus deglupta dan
lain-lain (Lihat Wirawan, 1981:12-18).
Sejalan dengan tingginya keanekaragaman hayati di
kawasan itu, penduduk yang bermukim di dalam dan sekitar
TNLL juga menunjukan keanekaragaman yang tinggi. Secara
etnik terdapat penduduk asli yang sudah bermukim di kawasan
itu jauh lebih lama, maupun penduduk pendatang yang
bermukim di kawasan itu setidaknya dalam 50 tahun terahir
ini. Penduduk asli antara lain To Lindu, To Kulawi, To
Gimpu, To Behoa, To Pekurehua, dan To Bada. Penduduk
pendatang terdiri atas migran spontan dari Sulawesi Selatan
(Bugis dan Toraja), migran karena pergolakan DI/TII (Suku
Rampi dan Suku Seko), migran melalui proyek transmigrasi
(Jawa, Bali, Lombok), dan proyek pemukiman kembali
masyarakat terasing (PKMT) (Topo Da’a dan Kulawi).
Keanekaragaman penduduk juga ditandai dengan perbedaan-
perbedaan atas dasar agama, bahasa, dan tingkat pendidikan.
Keanekaragaman juga terlihat dari perkembangan dan
aktivitas ekonomi penduduk.

TNLL dan Penyingkiran Penduduk

1. Penyingkiran Tahap Kesatu

Ketika ditetapkan sebagai kawasan konservasi,


kesalahan paling mendasar yang dilakukan oleh pemerintah
adalah memperlakukan TNLL sebagai kawasan tidak bertuan.
Fakta bahwa masyarakat di sekitar kawasan itu memiliki
hubungan yang kuat dengan sumber daya alam di sekitarnya,
seperti ketergantungan pada hasil hutan (kayu, rotan,
bambu, tali, obat-obatan, binatang buruan), sungai,
tanaman-tanaman budidaya pertanian (padi dan ubian-ubian),
dan tanaman keras (kopi), tidak dilihat sebagai pemilik sah
atas wilayah itu. Pemerintah telah bertindak sewenang-
wenang ketika menetapkan sebagai kawasan konservasi, tanpa
melalui prosedur konsultasi atau musyawarah dengan
masyarakat.

Tidak heran, sejak ditetapkan sebagai kawasan


konservasi 1970-an, kisah TNLL sejatinya adalah kisah
mengenai penyingkiran penduduk setempat. Di Lore Utara,
misalnya, ketika masih berstatus Cagar Alam Lore Kalamanta
dan hendak ditingkatkan menjadi taman nasional, pamongraja
setempat sudah mengeluarkan larangan berburu semua jenis
margasatwa di hutan suaka, dan pengawasan terhadap
penebangan kayu oleh penduduk (Tempo, 13/5/1978).
Berbarengan dengan itu, usulan recana pengelolaan Taman
Nasional Lore Kalamanta sarat dengan berbagai bentuk
larangan, seperti larangan memasuki taman nasional tanpa
izin, melakukan penebangan kayu, perladangan, dan
sebagainya (Blower,J Wind,Amir, 1977).

Bagi penduduk asli yang mendiami kawasan di dalam dan


sekitar TNLL, seperti To Behoa, To Napu/To Pekurehua, To
Bada, To Lindu, To Kulawi, berbagai larangan itu merupakan
masalah. Karena kehidupan mereka sungguh tergantung pada
sejumlah satwa buruan seperti anoa, babi rusa, babi hutan,
dan rusa, di samping berbagai jenis kayu, bambu, rotan, dan
tumbuhan obat-obatan. Tidak saja itu, di dalam wilayah
hutan mereka terdapat tanaman kopi dalam jumlah tidak
sedikit. Sehingga, seperti ditulis oleh Aditjondro (1979)
memisahkan mereka dari hutan, sama saja dengan memaksa
nelayan naik ke darat dan menggantung jalanya.

Tindakan paling keras dilakukan terhadap masyarakat


yang kampungnya secara turun-temurun telah berada dalam
kawasan yang kemudian ditetapkan sebagai areal konservasi
itu. Misalnya, rencana memindahkan penduduk Desa Katu dan
Desa Dodolo (Watling & Mulyana,1981). Tahun 1989, Desa
Dodolo yang berbatasan dengan Desa Katu dipindahkan keluar
dari TNLL ke Toe Jaya, sebuah tempat antara Desa Wanga dan
Desa Kaduwaa di Kecamatan Lore Utara, yang masih berbatasan
langsung dengan TNLL (Sangaji, 1999, Alam Azis, 1999).
Mestinya, Desa Katu juga ikut dalam proyek pemindahan yang
dilakukan oleh Departemen Sosial ini. Karena menolak
dipindahkan, sehingga Desa Katu tetap berada dalam TNLL.
Sejak pertengahan 1990-an, melalui proyek CSIADCP yang
dibiayai melalui pinjaman ADB, Orang Katu dipaksa kembali
pindah (ADB, 1997). Tetapi, kembali tidak terwujud karena
ditolak keras oleh Orang Katu (Sangaji, 2002). Akan halnya
penduduk Desa Dodolo, nasib mereka ternyata tidak membaik
setelah dipindahkan, karena pal batas TNLL ditancapkan
persis di belakang gereja dan sekolah dasar yang menghadap
ke arah kampung. Mereka dilarang melintasi pal batas ini.
Padahal satu-satunya hutan yang tersisa hanya berada di
TNLL.

Petugas kehutanan di lapangan, Polsus/Jagawana kerap


harus bertindak keras, menyita rotan, kayu, dan satwa.
Bahkan dalam beberapa kasus, menghancurkan tanaman cokelat
dan kopi. Perseteruan antara Polsus/Jagawana dengan
masyarakat nyaris merupakan pemandangan hari-hari di
sekitar TNLL. Tidak saja itu, dalam beberapa kasus warga
terpaksa berurusan dengan polisi, karena dianggap menjarah
hutan TNLL. Malahan terpaksa dijebloskan ke penjara,
seperti yang dialami oleh Pak Lili. Warga Desa Kadidia
Kecamatan Palolo ini pernah mendekam di Lembaga
Pemasyarakatan Maesa di Palu selama 4 bulan tanpa proses
hukum.

Protes-protes selalu mewarnai pengelolaan TNLL yang


dianggap merugikan penduduk. Keresahan masyarakat pernah
mengundang keprihatinan pimpinan Gereja Kristen Sulawesi
Tengah (GKST) di Poso, yang mengajukan masalah ini kepada
Menteri Kependudukan dan Lingkungan Hidup (KLH) Emil Salim,
tetapi juga tidak pernah selesai (Aditjondro, 1993). Tahun
1994, pemuka adat Besoa, G Sambaa menemui Gubernur Sulawesi
Tengah H Abdul Azis Lamadjido untuk meminta pemindahan
tapal batas TNLL, karena dianggap mengganggu kegiatan
mereka (Mercusuar, 22/5/1994). Tetapi, permintaan ini sama
sekali tidak pernah terwujud. Protes warga Desa Tongoa
Kecamatan Palolo Kabupaten Donggala di Balai TNLL
berlangsung panas dan nyaris terjadi pertumpahan darah,
menyusul penolakan TNLL atas klaim kebun-kebun oleh
penduduk setempat (Koran Tempo, 4/7/2001). Menurut
keterangan beberapa penduduk protes ini dilakukan meyusul
tindakan beberapa petugas yang menebang kebun-kebun kopi
dan cokelat dan membakar pondok warga di dalam TNLL.
Setelah peristiwa ini, karena merasa terancam, petugas
Jagawana mengosongkan pos penjagaan di Desa Tongoa. Pos
penjagaan itu kemudian dipenuhi grafiti yang dilakukan
warga, diantaranya tertulis “Pos ini Dijual”. Saat ini, pos
tersebut telah diratahkan dengan tanah.

Konflik paling keras terjadi di Kecamatan Palolo


Kabupaten Donggala. Forum Petani Merdeka (FPM), yakni
organisasi petani gabungan Desa Kamarora, Desa Kadidia, dan
Desa Rahmat melakukan pendudukan TNLL di Dongi-dongi di
sisi ruas jalan yang menghubungkan Kecamatan Palolo
Kabupaten Donggala dengan Kecamatan Lore Utara Kabupaten
Poso. Melalui pernyataan sikap 18 Juni 2001, FPM mendesak
pemerintah untuk memberikan lahan garapan kepada petani tak
bertanah di lokasi yang juga merupakan bekas areal konsesi
HPH PT Kebun Sari itu. Mereka juga menuntut tanaman
masyarakat di pinggiran dalam kawasan TNLL tetap menjadi
milik masyarakat. 19 Juni 2001, lebih dari 1000 petani dari
keempat desa tersebut melakukan unjuk rasa ke kantor
Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sulawesi Tengah dengan
tuntutan yang sama (lihat Suara Pembaruan, 19 Juli, 2001).
Ini merupakan aksi protes paling masif yang pernah terjadi
dalam kasus Lore Lindu. Tetapi, tuntutan masyarakat sukar
dipenuhi, karena sejak pagi-pagi Balai TNLL menganggap
bahwa kegiatan masyarakat merupakan perambahan hutan.
Karenanya, kesimpulan rapat penyelesaian kasus Dongi Dongi
memutuskan bahwa masyarakat harus keluar dari kawasan itu4.
Gubernur Sulawesi Tengah melalui surat tertanggal 18
Agustus 2001 meminta Polda Sulteng untuk mengambil tindakan
tegas terhadap ratusan KK itu. Bupati Donggala tidak mau
kalah, melalui surat tertanggal 16 Agustus 2001 meminta
Polda Sulawesi Tengah segera mengosongkan daerah Dongi-
dongi dalam kurun 3 X 24 Jam terhitung sejak tanggal 20
Agustus 2001. Tidak tinggal diam, Kepala Balai TNLL, Ir
Banjar Yulianto Laban,MM, menyurat Kapolda Sulteng untuk
mengusut Yayasan Bantuan Hukum Rakyat (YBHR), ornop yang
bekerja dengan masyarakat yang tergabung dalam forum Petani
Merdeka (FPM). Wajah eco-facism benar-benar mau
dioperasikan di TNLL.

Padahal petani dari ke-empat desa tersebut merupakan


korban proyek pemindahan penduduk yang dilakukan oleh
pemerintah sejak pertengahan 1970-an. Semula mereka
4 Gubernur Sulawesi Tengah,2001, Kesimpulan Rapat Penyelesaian Kasus
Perambahan Areal TNLL di Dongi-dongi, 24 Juni.
dijanjikan akan mendapatkan lahan seluas 2 hektar bagi
setiap kepala keluarga. Faktanya, mereka hanya mendapatkan
lahan antara 0,5 - 0,8 hektar. Informasi lain menyebutkan
bahwa jumlah penduduk yang tidak memiliki lahan di desa ini
sebanyak 200 KK5. Bagi para petani tidak ada pilihan lain,
kecuali melirik areal TNLL sebagai alternatif lahan
pertanian.

Hampir semua desa, dari 60-an desa di dalam, enklaf,


dan sekitar memiliki masalah yang seragam, mulai dari soal
tapal batas yang dekat kampung, kebun dalam TNLL, hingga
petugas kehutanan yang sewenang-wenang. Mereka pada
dasarnya mengajukan tuntutan yang sama, yakni pengakuan
terhadap hak-hak mereka yang telah diambil oleh pemerintah
di kawasan itu (YTM & Pemerintah Ngata Toro,2000)

2. Penyingkiran Tahap Kedua.

Penduduk di sekitar TNLL juga terpinggirkan menyusul


hadirnya sejumlah proyek pembangunan seperti transmigrasi,
perkebunan, dan sebagainya. Penempatan transmigrasi di
Winowanga dan Kaduwaa Kecamatan Lore Utara Kabupaten Poso
yang berbatasan langsung dengan TNLL telah menyiutkan luas
lahan penduduk asli Pekurehua, baik yang bermukim di Desa
Kaduwaa, Desa Wanga dan Desa Watutau.

Proses yang sama juga terjadi setelah pemerintah


memberikan izin usaha perkebunan kepada swasta, koperasi
dan perusahaan daerah. Tercatat di kawasan sekitar Lore
Lindu terdapat perkebunan teh dan kopi PT Hasfarm di Napu
Kecamatan Lore Utara (7740 hektar). Masyarakat Desa Watutau
menganggap bahwa tidak kurang 600 hektar lahan yang
merupakan lahan pengembalaan ternak mereka telah dicaplok
sebagai bahagian dari areal PT Hasfarm (lihat Suluh
Nasional, Minggu I-II, Juni 1995).

Pemerintah juga telah memberikan izin perusahaan


perkebunan lain di sekitar TNLL. Diantaranya adalah di
Kulawi PT Kebun Adi Dharma dengan komoditi kakao (99 Ha),
PT Gimpu Jaya Coklat (coklat,100 ha), PT Gimpu Jaya Coklat
(kopi arabika,5000 ha), PT Tangkolowi Makmur (kopi
arabika,275 ha), KPN Adhyaksa Kejati (kopi arabika,125
hektar), PD Sulteng Kulawi (cengkeh,375 ha),PT Sintuvu
Karya (kakao) di Palolo (99 ha).

3. Penyingkiran Tahap Ketiga.

Penyingkiran terhadap penduduk di sekitar TNLL juga


terjadi karena adanya tuan-tuan tanah baru. Para tuan tanah

5 Gubernur Sulawesi Tengah, 2001, Solusi Eksekutif Pemerintah Propinsi


Sulawesi Tengah terhadap Aspirasi Masyarakat Desa Kamarora, Kadidia,
Rahmat Kecamatan Palolo Kabupaten Donggala yang Disampaikan kepada DPRD
Propinsi Sulawesi Tengah 19 Juni.
baru ini teridentifikasi terdiri atas sejumlah bekas
pejabat pemerintah, yang karena kekuasaannya di masa lalu
dapat dengan mudah memperoleh lahan dalam jumlah puluhan
bahkan ratusan hektar untuk usaha pertanian. Selain itu,
para tuan tanah baru juga teridentifikasi sebagai
petani/pedagang yang memperoleh tanah melalui mekanisme
jual beli.

Tanah-tanah petani di sekitar TNLL terpaksa jatuh


kepemilikannya melalui beberapa mekanisme (Sangaji,2001).
Pertama, mekanisme jual beli karena utang. Lebih dari 20
tahun terahir, ketika rotan menjadi komoditas penting hasil
hutan non-kayu, dan bersamaan dengan terbukanya akses jalan
ke desa-desa di sekitar TNLL, maka banyak diantara penduduk
(asli) menjadi petani pengumpul rotan untuk mendapatkan
uang tunai. Di beberapa tempat, petani pengumpul rotan
telah menumpuk hutang dari pedagang perantara pembeli
rotan, sebelum mereka masuk hutan. Membengkaknya hutang
pada giliranya memaksakan mereka kemudian melepaskan tanah-
tanah mereka kepada para pedagang pembeli rotan ; Kedua,
mekanisme administrasi pertanahan. Banyak petani komunitas
asli terpaksa melepaskan tanah-tanah mereka kepada para
pendatang, karena ketidak-mampuan mereka membayar pajak dan
administrasi pertanahan lainnya. Di beberapa tempat, kepala
desa menganggap tanah yang tidak didaftarkan sebagai tanah
negara. Dari pada dianggap sebagai tanah negara, maka para
pemilik terpaksa melepaskan tanah itu dengan menjualnya;
Ketiga, mekanisme tanaman tahunan (cokelat, kopi, cengkeh).
Menyusul booming komoditi perkebunan, banyak lahan di
sekitar TNLL dikonversi menjadi lahan perkebunan. Banyak
borjuasi kecil berlomba-lomba masuk ke desa untuk membeli
tanah-tanah penduduk. Sebagian diantaranya berlangsung
secara wajar, tetapi sebagian melalui cara-cara paksa. Di
beberapa tempat, Kepala Desa menyatakan bahwa tanah-tanah
yang hanya diusahakan untuk perladangan, sangat lemah
status kepemilikannya. Kepala Desa menganjurkan untuk
segera mengkonversinya dengan tanaman tahunan (cokelat atau
kopi) agar status kepemilikan lebih tegas. Sialnya, banyak
petani tidak punya modal ataupun ketrampilan untuk
mengusahakan pertanian tanaman tahunan. Tidak ada pilihan
lain, mereka terpaksa menjual tanahnya, jika tidak ingin
tanah-tanah mereka akan hilang.

Masuknya pihak luar telah merubah struktur kepemilikan


lahan di sekitar TNLL. Studi Sugiharto dan Ariyanto (2002),
misalnya memperlihatkan bahwa di dusun I Desa Tomado di
Dataran Lindu Kecamatan Kulawi, 7 KK keturunan Bugis
menguasai 83 Ha lahan pertanian atau 24,67 % dari total
kepemilikan lahan di dusun tersebut. Sementara 53 KK
keturunan Lindu menguasai 228 ha lahan pertanian atau 67,76
% dari total lahan pertanian. Angka tersebut memperlihatkan
bahwa 7 KK petani keturunan Bugis rata-rata menguasai 11,86
% lahan pertanian, dan sebaliknya 53 KK keturunan Lindu
rata-rata menguasai 4,30 hektar lahan pertanian. Dapat
dibayangkan, Dataran Lindu yang hanya bisa dijangkau dengan
menunggang kuda atau berjalan kaki sejauh belasan kilometer
telah mengalami perubahan-perubahan struktur kepemilikan
tanah sedemikian serius, maka dapat dibayangkan apa yang
terjadi dengan puluhan desa di sekitar TNLL yang dapat
dengan mudah dijangkau dengan kendaraan roda empat.

Ketimpangan dalam struktur kepemilikan tanah tidak


saja terjadi karena arus migran dari luar. Dalam pengalaman
beberapa desa di Lembah Bada Kecamatan Lore Selatan
Kabupaten Poso yang berbatasan dengan TNLL, meskipun
penduduknya masih homogen secara etnik, tetapi ketimpangan
juga terjadi. Studi Sangaji & F Lumeno (2001)
memperlihatkan bahwa persentase KK tidak punya lahan cukup
besar. Di Desa Kolori sebesar 21,92 % dari 114 KK, Desa
Lengkeka sebesar 22,36 % dari 152 KK, dan Desa Tuare
sebesar 61,53 % dari 104 KK sama sekali tidak punya lahan.
Dalam kasus di desa-desa ini, kombinasi antara ketimpangan
pemilikan diantara petani dan hilangnya akses ke
tanah/hutan tradisional mereka, karena sudah dikonversi
menjadi TNLL merupakan penyebab dari besarnya jumlah KK
yang tidak bertanah.

Menyaksikan ketimpangan dalam pemilikan lahan di


sekitar TNLL, maka tindakan Kepala Desa (sekarang Kepala
Ngata) Toro patut dipuji. Pada 1999, Kepala Ngata Toro
mengambil alih kepemilikan lahan seluas 6 hektar milik Alex
Subala (bekas salah seorang pejabat di Kantor Dinas
Kehutanan Sulawesi Tengah), dan selanjutnya meredistribusi
lahan itu kepada petani-petani tak bertanah di Ngata Toro,
masing-masing seluas 0,5 hektar.

TNLL : Wajah yang bopeng

1.Proyek-proyek yang merusak

TNLL memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi,


karenanya menyimpan potensi sumber daya alam yang bernilai
sangat ekonomis. Karenanya, menjadi perhatian dan rebutan
banyak pihak, untuk berbagai tujuan. Perusakan atau potensi
perusakan terhadap TNLL karenanya tidak bisa dielakkan.

Perusakan terhadap TNLL sebenarnya banyak dipicu oleh


proyek-proyek pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah,
baik secara langsung ataupun tidak langsung. Pada 1991,
ketika pemerintah menempatkan transmigran di Kaduwaa Lembah
Napu Kecamatan Lore Utara, yang berbatasan langsung dengan
TNLL, maka menurut masyarakat setempat, burung-burung
rangkong tidak dapat lagi terbang bebas, karena habitatnya
telah rusak, ketika dilakukan pembukaan hutan (Mercusuar, 8
Oktober 1991). Ketika pembangunan ruas jalan Palolo – Napu
yang membelah TNLL sejak awal 1990-an, di sisi kiri dan
kanan banyak ditemukan tumpukan kayu yang siap diangkut
keluar dari kawasan itu. Tahun 1996, Dinas Pekerjaan Umum
(PU) Sulawesi Tengah melaksanakan pembangunan jalan ruas
Gimpu-Gintu melintasi TNLL. Proyek ini terpaksa dihentikan
oleh Menteri Kehutanan, karena diprotes sejumlah Ornop dan
ahli kehutanan Dr Nengah Wirawan. Penghentian ini sempat
dipersoalkan oleh Wakil Ketua DPRD Tingkat I Sulawesi
Tengah H Azwar Syam (Surya, 12 Desember 1996). Kol (Mar)
Azwar Syam adalah juga bekas Ketua DPD Golkar Tingkat I
Sulawesi Tengah, dan setelah berhenti dari keanggotaannya
di DPRD Tkt I Sulteng, mendirikan Yayasan Liberty, sebuah
LSM yang gesit mengkampanyekan pembangunan PLTA Lore Lindu
(Sangaji, 2000).

Pada 1999, ketika pemerintah melalui proyek


peningkatan pemukiman perambah hutan melalui dana reboisasi
(P4HDR) menyiapkan pemukiman di Baleura Besoa Kecamatan
Lore Utara, pelaksana proyek tersebut CV Bina Baru telah
membabat areal TNLL. Oleh Balai TNLL, kasus ini telah
diadukan kepada Kepolisian Daerah (Polda) Sulawesi Tengah,
tetapi sama sekali tidak terdengar tindakan hukum. Berbeda
dengan To Behoa di Desa Lempe Kecamatan Lore Tengah, yang
segera meberi denda adat kepada perusahaan tersebut, karena
menganggap telah terjadi pelanggaran di wilayah adat
mereka.

PT Artha Palu memperoleh izin dari Dinas Kehutanan


Kabupaten Donggala untuk mengolah limbah kayu pakanangi di
Desa Tongoa Kecamatan Palolo. Tetapi, kenyataannya
melakukan penebangan baru, justru di areal TNLL di kaki
Gunung Nokilalaki. Sejauh ini, sama sekali tidak ada reaksi
dari pemerintah, termasuk Balai TNLL, kecuali protes dari
Forum Petani Merdeka (FPM)6 dan ED WALHI Sulteng7.

TNLL bakal menghadapi ancaman serius, karena sejak


1998 diterbitkan kontrak karya pertambangan (emas) antara
pemerintah Indonesia dengan PT Mandar Uli Mineral,
perusahaan di bawah bendera Rio Tinto Ltd. PT Mandar Uli
Mineral telah melakukan survei umum (general survey) di
wilayah kontrak karya (KK) seluas 590.000 hektar di empat
wilayah Kabupaten, masing-masing Kabupaten Mamuju dan
Kabupaten Luwu (Sulawesi Selatan) dan Kabupaten Poso dan
Kabupaten Donggala (Propinsi Sulawesi Tengah). Di wilayah
Kabupaten Poso dan Kabupaten Donggala, wilayah konsesi ini
mencakup sebahagian wilayah TNLL di sekitar Gimpu
(Kecamatan Kulawi) dan Kecamatan Lore Selatan
(Anonimous,2000).

Sejak 1980-an, pemerintah merencanakan pembangunan


pembangkit listrik tenaga air (PLTA) Palu-3 atau yang lazim
dikenal PLTA Lore Lindu. Pembangunan yang sedianya akan
membendung out let Danau Lindu ini juga diperkirakan akan

6 FPM, seruan terbuka tentang penjarahan kayu di TNLL, 27 Juli 2001.


7 Press Release WALHI Sulteng, Stop Penjarahan Kayu Pakanangi di TNLL
oleh PT Artha Palu, 28 Juli 2001.
memerlukan areal seluas 10.000 hektar untuk sarana fisik
dan jalan masuk yang melintasi TNLL (lihat Wirawan,1994).
Tentu saja, proyek ini mengancam kawasan konservasi itu.
Berkat resistensi kuat To Lindu yang didukung aktivis
Ornop, mahasiswa, dan pecinta alam, sehingga nasib proyek
ini menjadi tidak menentu (Sangaji, 2000).

2. Penjarahan TNLL : Maling Teriak Maling.

Harian Suara Pembaruan (2 November, 1995) melaporkan


bahwa setiap hari tidak kurang dari 15 truk hasil hutan
terdiri dari kayu, rotan, serta hasil hutan lain lolos dari
TNLL. Dalam kasus semacam ini kerap masyarakat di sekitar
TNLL dijadikan kambing hitam, bukan mata rantai para
pemodal, yang sebenarnya sangat mudah dibekuk.

Pos pejagaan angkutan hasil hutan yang dipasang


berlapis-lapis di sekitar TNLL mestinya menjadi penghalang
ekstraksi hasil hutan TNLL. Sayangnya, sudah menjadi
pembicaraan umum bahwa praktik pencurian hasil hutan di
kawasan itu sering melibatkan petugas. Suatu ketika, Camat
Lore Utara Drs Herry S Kabi menangkap dua truk rotan tanpa
dokumen, dan menyerahkannya kepada petugas polisi khusus
(polsus) kehutanan di Wuasa. Ternyata, rotan curian itu
tidak diproses lebih lanjut, tetapi justru diloloskan
(Suara Pembaruan, 2 November 1995). Wakil demonstran dari
desa Rahmat, Kadidia, Kamarora A, Kamarora B yang berdialog
dengan wakil Gubernur Sulteng Rully Lamadjido, SH pada 19
Juli 20001 menyatakan bahwa petugas-petugas jagawana justru
terlibat dalam pencurian hasil hutan di TNLL.

Kecuali petugas kehutanan sendiri, pencurian hasil


hutan di TNLL juga melibatkan petugas kepolisian. Misalnya,
13 Mei 2000, Polhut yang melakukan penjagaan di Pos Resort
Pakuli menangkap kayu kurang lebih 14 m3 tanpa dokumen.
Setelah diperiksa, yang mengaku sebagai pemilik kayu
tersebut adalah Lettu (pol) Sahidin, anggota Polri di Polda
Sulteng. Soal ini oleh Kepala Balai TNLL kemudian diadukan
kepada Kapolda Sulteng. Balai TNLL juga melaporkan bahwa
tanggal 9 Juli 2001 telah menyita kayu sebanyak 6 m3 yang
diangkut seorang anggota TNI AD dengan mobil bernomor
polisi 688-VII milik Komando Resort Militer (Korem) 132
Tadulako.

Masyarakat dan Konservasi

Suku-suku asli yang menghuni kawasan di sekitar TNLL


antara lain To Lindu, To Kulawi, To Gimpu, To Behoa
(Besoa), To Napu, To Bada. Sukar dilacak asal-muasal suku-
suku ini mendiami kawasan dataran tinggi di lembah-lembah
pegunungan itu. Buku Kaudern (1923) memberikan gambaran
mengenai kemungkinan proses migrasi penduduk ke kawasan itu
dimulai dari Malili di Teluk Bone. Yang pasti adalah bahwa
peradaban di kawasan itu telah berlangsung ribuan tahun,
ditandai dengan banyaknya batuan megalit yang tersebar di
Bada, Behoa, Napu, Kulawi, dan Lindu. Batuan megalit itu
diantaranya berbentuk patung manusia lengkap dengan ukiran
kemaluan, dan kalamba, seperti tempayan ukuran besar, yang
dihiasi pahatan wajah manusia dan binatang (Kaudern, 1938).

Suku-suku asli di kawasan itu juga memiliki


keanekaragaman budaya yang sangat tinggi, seperti tercermin
pada perbedaan bahasa dan arsitektur. To Lindu menggunakan
bahasa tado, To Behoa menggunakan bahasa Behoa, To Napu
menggunakan bahasa Napu, dan To Kulawi menggunakan bahasa
Kulawi. Meskipun arsitektur-arsitektur “kayu” suku-suku
asli di kawasan itu terancam punah oleh serbuan arsitektur
“semen”, tetapi arsitektur asli To Behoa dapat dibedakan
dari arsitektur asli To Lindu, To Bada, To Kulawi, dan
begitu juga perbedaan diantara yang lainnya (lihat
Kaudern,1925).

Suku-suku asli itu juga memiliki sistem pengetahuan


yang sangat kaya dalam pengelolaan sumber daya alam.
Ditandai dengan pengetahuan yang mendalam mengenai
pertanian, perburuan, pengobatan yang berbasiskan sumber
daya alam di sekitarnya. Sistem pengetahuan ini juga
mencakup berbagai aturan main mengenai pemilikan dan
penguasaan atas sumber daya alam itu.

Berhubungan dengan konservasi, maka patut melihat dua


pelajaran penting suku-suku asli di kawasan itu. Pertama,
bagaimana pola pengelolaan sumber daya alam suku-suku itu,
dan : kedua, bagaimana suku-suku itu melakukan tindakan
yang berhubungan dengan perlindungan keanekaragaman hayati.
1. Pola Pengelolaan Sumber Daya Alam

Banyak pola pengelolaan sumber daya alam masyarakat


adat di sekitar TNLL yang memperlihatkan bahwa masyarakat
memiliki kemampuan untuk mengatur dirinya sendiri. Pola ini
juga menunjukkan bagaimana sumber daya alam dikelola dengan
prinsip-prinsip keadilan dan berkelanjutan.

To Behoa di Desa Katu Kecamatan Lore Utara memiliki


pola-pola penggunaan tanah dan hutan (Sangaji, 2002). Bagi
Orang Katu, pemilikan atas tanah dimulai ketika seseorang
membuka hutan (pandulu) untuk dijadikan ladang (hinoe).
Pembuka pertama hutan untuk ladang akan menjadi pemilik
atas lahan itu. Hutan yang belum diolah dipersepsikan
sebagai potensi yang dapat dimanfaatkan pada suatu ketika,
karenanya semua Orang Katu memiliki hak dan akses yang sama
untuk mengolahnya.

Karena membuka hutan merupakan dasar dari pemilikan


atas tanah, maka sangat penting untuk memahami bagaimana
Orang Katu mengelompokkan hutan. Pertama, mereka
menyebutkan pandulu yakni hutan primer, yang belum pernah
ada kegiatan manusia untuk mengolahnya menjadi ladang.
Vegetasi utama di pandulu adalah kayu berbagai jenis dan
rotan. Pandulu akan dimanfaatkan pada suatu masa jika
diperlukan.

Kedua, mereka menyebutkan lôpo’, untuk jenis hutan


sekunder atau pandulu yang pernah dimanfaatkan. Lôpo’
adalah jenis hutan yang pernah dimanfaatkan menjadi
hinoe. Ada dua jenis lôpo’, yakni lôpo’ ntua dan lôpo’
lehe. Lôpo’ ntua, yakni hutan yang sudah ditumbuhi
pepohonan besar. Vegetasi penting di lopo ntua adalah kayu
berbagai jenis dan rotan. Umumnya pada lôpo’ ntua adalah
lokasi di mana mereka pernah membuka kebun lebih dari 20
tahun. Malahan, seperti di Kompo dan Boto, lôpo’ ntua
setara dengan usia kehadiran Orang Katu di sana.

Batas-batas kepemilikan lôpo’ntua kerap kabur. Pada


lopo ntua yang lebih muda, kepemilikan individu atau
keluarga tertentu sangat jelas. Pemiliknya dapat leluasa
mengolahnya kembali untuk dijadikan sebagai hinoe atau
membiarkan orang lain mengolah atas izinnya. Berbeda dengan
lôpo’ ntua yang lebih tua usianya, praktik pemanfaatannya
lebih terbuka untuk semua Orang Katu. Siapa pun dapat
memanfaatkannya. Siapa yang akan mengkonversinya menjadi
hinoe, maka dialah pemilik atas lokasi itu.

Orang Katu menyebutkan lôpo’ lehe untuk jenis hutan


yang lebih muda, dengan usia antara 2 hingga belasan tahun.
Pada lôpo’ lehe yang usianya lebih tua sudah ditumbuhi
pepohonan, sementara pada lôpo lehe yang lebih muda, masih
didominasi oleh hutan belukar. Vegetasi utama di Lôpo´ lehe
adalah kayu dalam ukuran dan jenis yang kurang serta
rerumputan yang sebahagian merupakan tumbuhan obat-
obatan.Lôpo’ lehe adalah milik orang yang membuka hinoe
sebelumnya.

Ketiga, jenis hutan berikutnya adalah hôlu, yakni


jenis hutan yang didominasi rerumputan/jerami. Hôlu
merupakan bekas hinoe yang baru ditinggalkan hingga dua
tahun. Vegetasi utama hôlu adalah rumput dan sisa tanaman
seperti tebu, pisang, dan ubi.Hôlu dimiliki oleh pemilik
hinoe sebelumnya.

Saat ini, kegiatan membuka hutan (pandulu) untuk


dijadikan hinoe sudah jarang terjadi. Pada umumnya mereka
kembali memanfaatkan lôpo ntua atau lôpo lehe untuk
dijadikan hinoe. Dengan demikian, perolehan hak atas tanah
berdasarkan pembukaan hutan primer kurang terjadi.

Selama kurang lebih 100 tahun terahir, Orang Katu


hanya menggunakan areal sekitar 1.178 hektar untuk
berladang secara bergilir, persawahan, memanfaatkan hasil
hutan lain (kayu, rotan, bambu,dll), dan membangun
perkampungan. Aktivitas itu sama sekali tidak menghancurkan
tanah dan hutan yang merupakan sumber penghidupan mereka.

Dalam pola yang hampir sama, To Kulawi di Ngata Toro


mengelompokan hutan berdasarkan peruntukannya (lihat
Lahigi, 2001). Pertama, wanangkiki yakni hutan di sekitar
puncak pegunungan. Tidak ada aktivitas manusia di kawasan
sekitar 2.300 hektat ini. Kedua, wana yakni kawasan hutan
primer, yang belum pernah dikonversi menjadi kebun. Wana
hanya dimanfaatkan untuk pengambilan rotan, damar,
wewangian, dan obat-obatan. Luas wana mencapai 11.290
hektar. Ketiga, pangale, yakni hutan sekunder karena pernah
dimanfaatkan menjadi kebun. Dari pangale juga dimanfaatkan
kayu, rotan, pandan hutan, obat-obatan, dan wewangian. Luas
pangale saat ini sekitar 2.950 hektar. Keempat, oma, yakni
hutan bekas kebun yang sudah sering diolah, terutama untuk
tanaman kopi dan tanaman tahunan lainnya. Luas oma sekitar
1.820 hektar. Kelima, balingkea, yakni bekas kebun palawija
yang baru diistirahatkan.

Di Dataran Lindu, To Lindu menyebutkan wilayah


tradisionalnya sebagai suaka ngata, dengan peruntukan yang
berbeda-beda (Laudjeng,1994). Pertama, mereka menyebutkan
suaka ntodea, untuk wilayah pemanfaatan yang dapat
dikonversi menjadi sawah (atau lahan pertanian) dan
perkampungan. Kedua, suaka nu madika atau lambara yakni
tempat perburuan dan melepaskan hewan ternak. Ketiga, suaka
nu viata, yakni wilayah yang diproteksi sama sekali dari
aktivitas apapun.

2. Pelindung Keanekaragaman Hayati


Tuduhan sering dialamatkan kepada masyarakat di
sekitar TNLL sebagai perusak hutan dan sumber ancaman
keanekaragaman hayati. Perladangan Orang Katu dilihat
sebagai ancaman terhadap TNLL, karenanya sejak awal mereka
dipaksakan pindah dari wilayah tradisonalnya.

Tuduhan-tuduhan itu sama sekali tidak menggambarkan


realitas yang sesungguhnya. Pola-pola pemanfaatan sumber
daya alam justru memperlihatkan perlakuan yang protektif.
Misalnya, dalam kegiatan perladangan Orang Katu, terdapat
banyaknya jenis lokal, baik padi (pare), ubi kayu (wikau),
talas (kadue), maupun jagung (goa’). Sekurangnya terdapat
35 (tiga puluh lima) jenis padi yang disebutkan secara
lokal dalam perladangan Orang Katu. Terdapat 8 (delapan)
jenis ubi jalar (uwi), 8 (delapan) jenis jagung, dan 8
(delapan) jenis ubi kayu (wikau) dalam perladangan
(Masyarakat Adat Katu, 1998).

Di Bonde (sawah), Orang Katu menanam berbagai jenis


padi, seperti cimandi, IR 90, dan sebagainya. Tetapi, Orang
Katu juga menanam padi jenis lokal terutama kamba, dan
beberapa jenis lokal seperti lamale, tobada, banahu,
menturo, dan pindaloko. Kecuali kamba, jenis-jenis ini juga
ditanam di ladang.

Sebuah survey yang dilakukan oleh Yayasan Jambata


terhadap beberapa komunitas asli di sekitar TNLL juga
memperlihatkan tingginya keanekaragaman tanaman pangan
varietas lokal. Menurut masyarakat, sebahagian kecil
diantara tanaman pangan itu masih tetap dibudidayakan,
tetapi sebahagian diantaranya sudah punah. Masuknya jenis
padi hasil persilangan dianggap sebagai penyebab utama
kepunahan itu (Yayasan Jambata, 2000).

Selain tanaman pangan, masyarakat di sekitar TNLL


adalah pelindung beragam jenis hasil hutan, diantaranya
kayu dan rotan. Mereka memanfaatkan sebatas untuk keperluan
domestik, seperti untuk ramuan rumah, pagar, jembatan, kayu
bakar, perabot rumah (kursi, meja, wadah penyimpan padi,
tempat tidur dan sebagainya).

Dalam pengalaman Orang Katu, misalnya, mereka


memanfaatkan jenis-jenis kayu yang secara lokal disebut
tawiri, kalise, uru, koronia, pogegea, potengkea, mpoawu,
betau, andolia, kumo, lalari, palio, angulu, meapo, maiti,
patingka, bono, bentunu, palili, pehepe, kanino, poiho,
dopi, dupa, lekatu, leda (Masyarakat Adat Katu,1998).
Untuk bahan ramuan rumah, Orang Katu memanfaatkan kayu dari
pandulu atau lopo ntua. Biasanya mereka menebang kayu di
tempat-tempat yang mudah untuk dipindahkan ke kampung.
Misalnya, pada lokasi yang berdekatan dengan pemukiman atau
dekat dengan Sungai Katu atau Sungai Piri.

Rotan sangat penting untuk keperluan domestik Orang


Katu. Mereka memanfaatkan rotan, baik untuk tali pengikat
(popetaka), bahan pembuatan keranjang (karandi), bakul
(bingka), sisiru (wara), pengangkut hasil pertanian (rota
tala), gagang tawalla (duruka), tempat penangkap belut
(wuwu), dan sebagainya. Orang Katu membedakan rotan ke
dalam beberapa jenis, seperti pai, lambang, tohiti, hilako,
pute, paloe, himanda, noko, botol, mpoworo, ndanga, dan
batang (Masyarakat Adat Katu,1998).

Meskipun tergantung dengan hasil hutan, kegiatan


pemanfaatannya sama sekali tidak merusak. Laporan hasil
inventarisasi sumber daya alam dan pengetahuan asli Orang
Katu menunjukkan bahwa kekayaan hasil hutan mereka sangat
terjaga. Pada areal seluas 94 ha di lokasi Bulu Ngkanino,
terlihat populasi rotan, di mana Orang Katu sangat
tergantung padanya, masih sangat baik (Lihat tabel).
Tabel
Hasil inventarisasi jenis rotan/rumpun di Bulu Ngkanino
(wilayah adat Orang Katu)
(luas 94 hektar)
Jalur Jumlah Hilako Pai Gopa Pute Tohiti
plot
1 4 98 1029 0 0 41
2 13 1238 3076 80 3 1010
3 13 505 2634 80 1 814
4 16 0 4354 239 1 1259
5 15 29 5743 570 1 1597
6 14 0 1392 488 1 1033
7 18 0 1583 1015 3 26
8 18 0 137 50 3 3
9 9 0 6 0 39 0
Total 120 1870 19954 2512 52 5783
Catatan :
1. Jalur adalah rute inventarisasi.
2. Plot adalah areal inventarisasi seluas 5 X 10 m

Sumber : Masyarakat Adat Katu (1998).

3.Pengakuan Balai TNLL dan Implikasi yang Ditimbulkannya

Meskipun sejarah TNLL adalah sejarah “kucing-kucingan”


antara pemerintah dan masyarakat di sekitarnya, tetapi
menyusul perubahan-perubahan politik yang terjadi sejak
1998, telah tersedia ruang untuk inisiatif baru mengenai
pengelolaan TNLL. Meskipun instrumen hukum mengenai
pengelolaan TNLL masih anti masyarakat, tetapi Ir Banjar
Yulianto Laban, MM, Kepala Balai TNLL telah melakukan
“ijtihad” hukum yang membanggakan. Kepala Balai TNLL ini
telah membuat surat pengakuan mengenai wilayah-wilayah
tradisional 3 (tiga) desa di sekitar TNLL, masing-masing
Desa Katu dan Desa Doda di Kecamatan Lore Utara Kabupaten
Poso, dan Desa Toro di Kecamatan Kulawi Kabupaten Donggala.
Wilayah-wilayah tradisional yang diakui terutama yang
terletak di dalam kawasan TNLL.

Pengakuan Kepala Balai TNLL tersebut patut dilihat


dari tiga segi. Pertama, kuatnya resistensi masyarakat
terhadap kebijakan pengelolaan TNLL yang berlangsung sangat
panjang sejak tahun 1970-an. Tanpa resistensi masyarakat,
terutama seperti yang dilakukan oleh Orang Katu melalui
pengiriman utusan, surat protes dan aksi massa, Ir Banjar
Yulianto Laban MM mungkin tidak memberi pengakuan.

Kedua, kuatnya obsesi Ir Banjar Yulianto Laban untuk


mendorong penerapan pengelolaan TNLL yang berbasiskan
masyarakat. Obsesi itu terlihat dari sejumlah pernyataannya
diberbagai kesempatan mengenai pentingnya co-management
pengelolaan TNLL, sebagai perwujudan dari penerapan faham
eko-populisme (lihat Kompas, 2000). Pandangan-pandangan
Banjar Y Laban ini memang sangat progresif. Berbeda dengan
pejabat-pejabat sebelumnya yang memiliki pandangan kaku
mengenai pengelolaan TNLL.

Ketiga, telah tersedianya sejumlah informasi mengenai


ketiga desa tersebut, khususnya informasi mengenai
penggunaan tanah (land use) secara tradisional.
Difasilitasi oleh Ornop, masyarakat di ketiga desa itu
telah mewujudkan informasi ruang mereka dalam bentuk peta
dan dokumen tertulis. Pengakuan Balai TNLL sepenuhnya
merujuk kepada dokumen-dokumen tersebut.

Pengakuan Balai TNLL sekurang-kurang telah memberikan


perlindungan hak masyarakat di ketiga desa tersebut. Orang
Katu, misalnya, tidak lagi diusik untuk dipindahkan,
setelah lebih dari 20 tahun hidup di bawah teror rencana
pemindahan. Masyarakat di ketiga desa itu dapat memungut
hasil hutan untuk keperluan domestik. Lebih dari itu, Orang
Katu dapat memungut rotan dari wilayah hutan mereka dan
menjualnya secara bebas, tanpa perlu dikejar-kejar oleh
petugas Jagawana/Polsus, seperti masa-masa sebelum itu.

Pengakuan Balai TNLL juga telah membangkitkan kembali


tanggung jawab masyarakat untuk mengontrol wilayah
tradisional mereka secara ketat. Di Toro, pemerintahan desa
dan lembaga adat bekerja sama untuk mengontrol wilayah
dengan menetapkan ketentuan yang ketat dari kemungkinan
ekstraksi hasil hutan. Pemerintah desa dan lembaga adat
setempat menyita hasil hutan yang diambil oleh penduduk
dari luar kampung. Di Katu, satu-satunya desa di sekitar
TNLL yang tidak pernah mempraktikan jual beli tanah,
mempersenjatai diri dengan sejumlah larangan bagi masuknya
migran, di samping larangan terhadap pengambilan hasil
hutan oleh penduduk dari desa lain.

Meskipun begitu, pengakuan Balai TNLL mengundang


sejumlah pertanyaan. Pertama, bagaimana implikasi kebijakan
pengakuan tersebut dilihat dari segi hukum konservasi (UU
No.5/1990) ?. Harus diakui, sukar menjelaskan sandaran
hukum pengakuan Balai TNLL dari segi UU No 5/1990. Karena,
memang tidak ada satu ketentuanpun dalam UU tersebut yang
memungkinkan adanya pengakuan. Pengakuan Kepala Balai TNLL
dapat dibenarkan dan patut didukung, bukan karena sejalan
dengan semangat UU No.5/1990, tetapi karena sesuai dengan
fakta-fakta obyektif kehidupan sosio historis masyarakat
setempat dalam pengelolaan sumber daya alam di kawasan itu.
Pengakuan ini sekaligus mengisyaratkan betapa pentingnya
untuk mempertanyakan kembali UU No.5/1990 dan kebutuhan
untuk merumuskan sebuah undang-undang konservasi baru yang
berbasiskan masyarakat di sekitar kawasan-kawasan
konservasi.

Kedua, bagaimana perlakuan terhadap 64 desa lain di


sekitar TNLL ?. Sejauh ini, pemakaian cara-cara lama dalam
pengelolaan TNLL masih diberlakukan terhadap desa-desa itu.
Konflik-konflik terbuka seperti yang terjadi di Dongi-dongi
harus dilihat dari sisi ini. Situasi ini jika terus-menerus
dipertahankan akan menunjukkan bahwa pemerintah (Balai
TNLL) bertindak diskriminatif dalam pengelolaan TNLL.
Beberapa Pelajaran

Banyak pelajaran dapat ditarik dari uraian di atas.


Diantaranya yang penting adalah ; Pertama, politik
konservasi yang restriktif dan non-partisipasi telah
menghancurkan hak-hak agraria masyarakat (asli) di sekitar
TNLL. Politik konservasi ini ditandai dengan regulasi TNLL
atas dasar penguasaan pemerintah atas kawasan itu, dan
sebaliknya masyarakat sekadar menjadi obyek regulasi.

Kedua, blok pengetahuan konservasi yang melatari


pengelolaan TNLL semata menekankan pentingnya perlindungan
keanekaragaman hayati dan sama sekali mengingkari
keanekaragaman budaya berbagai komunitas masyarakat di
sekitarnya. Tidak heran, keanekaragaman budaya tidak
dilihat sebagai salah satu kekuatan, malah sebaliknya
disisihkan di dalam strategi perlindungan kawasan
konservasi itu. Padahal, di beberapa tempat di sekitar
TNLL, ada hubungan yang kuat antara perlindungan
keanekaragaman hayati dan kelembagaan lokal masyarakat yang
sudah teruji secara turun-temurun.

Ketiga, inkonsistensi pemerintah dalam pengelolaan


kawasan di sekitar TNLL. Di satu pihak, menetapkan kawasan
itu sebagai kawasan konservasi, tetapi di sisi lain
memperkenalkan sejumlah kegiatan pembangunan yang justru
merusak kawasan itu. TNLL dan kawasan sekitarnya adalah
contoh konkrit mengenai alokasi penggunaan sumber daya alam
yang kontradiktif. Sebuah kawasan konservasi ditumpang
tindihkan dengan proyek pemindahan penduduk (transmigrasi
dan PKMT), perkebunan besar, dan (rencananya) pertambangan
dan bendungan.

Menuju Konservasi Berbasis Masyarakat

Pertama, Perlindungan hukum terhadap hak-hak agraria


atau sumber daya alam masyarakat di sekitar TNLL.
Perlindungan ini mensyaratkan perubahan mendasar terhadap
UU No.5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya. Aspek penting yang harus ditekankan adalah
pengakuan terhadap hak-hak masyarakat atas tanah dan sumber
daya alam lainnya. Di samping itu, pemerintah daerah
Sulawesi Tengah juga didorong untuk memberlakukan aturan
perundangan di daerah yang menghormati dan mengakui hak-hak
komunitas (asli).

Kedua, pembicaraan ulang mengenai status pengelolaan


kawasan itu sebagai kawasan konservasi, dengan sepenuhnya
menyertakan seluruh komunitas asli di sekitarnya. Balai
TNLL dan pemerintah daerah mesti mengambil inisiatif
membentuk panel tentang hal ini. Panel hendaknya
membicarakan dan merumuskan model pengelolaan kawasan
dengan mengacu pada resolusi Kongres Taman Nasional se-
Dunia di Bali pada 1982, di mana Lore Lindu ditetapkan
sebagai taman nasional. Seperti diketahui, resolusi itu
menekankan joint management antara masyarakat yang memiliki
managemen sumber daya alam secara tradisional dan pihak
otorita kawasan yang dilindungi.

Berdasarkan pertimbangan di atas, maka jalan keluar


yang patut didesakkan adalah pengelolaan kawasan konservasi
Lore Lindu berbasis masyarakat. pertama, mengembalikan TNLL
kepada status semula sebelum ditetapkan oleh pemerintah
sebagai kawasan yang dilindungi. Klaim tradisional
komunitas-komunitas asli atau komunitas lain yang mendiami
kawasan itu sebelum penetapannya sebagai TNLL harus diakui.

Mengingat manfaat kawasan itu sebagai kawasan


konservasi, maka dalam masa yang sama, pemerintah (dalam
kasus ini Balai TNLL) mengambil prakarsa untuk melakukan
perundingan meja bundar dengan masyarakat di sekitar
kawasan itu, dengan metode-metode partisipatif dan
transparan untuk membicarakan kembali mengenai masa depan
pengelolaan kawasan ini. Sebuah panel yang terdiri atas
pemerintah dan wakil-wakil masyarakat yang representatif di
kawasan itu dapat dibentuk merundingkan soal ini. Panel ini
merumuskan model pengelolaan kawasan konservasi yang
berbasiskan masyarakat setempat. Pengalaman Katu, Toro, dan
Doda dapat dijadikan sebagai pelajaran untuk membangun
model semacam ini.

Mengingat aturan perundangan mengenai konservasi saat


ini tidak memihak kepentingan masyarakat setempat, dan UU
No. 22 tahun 1999 tentang pemerintahan Daerah menyatakan
konservasi masih merupakan kewenangan pemerintah pusat
(pasal 7 ayat 2), maka dengan merujuk pada spirit
desentralisasi, Pemerintah Daerah Sulawesi Tengah dapat
mengeluarkan Peraturan Daerah (Perda) yang memuat aturan
main mengenai pengelolaan kawasan konservasi berbasiskan
masyarakat setempat, dengan sepenuhnya mengacu pada model
yang dihasilkan oleh panel Lore Lindu.

Kedua, menghindari kemungkinan terjadinya ekstraksi


sumber daya alam di kawasan itu menyusul pengembalian
status TNLL di atas, maka semua bentuk izin pemanfaatan
hasil hutan yang telah dikeluarkan pemerintah di kawasan
sekitar/di luar TNLL harus dicabut. Implikasinya, semua
praktik angkutan hasil hutan yang melintasi ruas Napu-Palu,
Gimpu-Palu, Napu-Poso, dianggap sebagai tindakan ilegal.

Ketiga, penataan ulang pemilikan dan penguasaan tanah


di kawasan itu. Sasaran kegiatan ini adalah pembagian tanah
kepada petani-petani miskin (buruh tani). Tanah-tanah itu
diambil dari petani-petani berdasi yang menguasai ribuan
hektar tanah, baik atas nama individu atau perusahaan di
kawasan itu. Tindakan ini didahului dengan pembekuan semua
bentuk perizinan dan pencabutan hak atas tanah yang telah
mengakibatkan ketimpangan dalam pemilikan dan penguasaan
tanah di wilayah itu.

Bacaan

Acciaioli, Gregory L, 2001, Re-empowering the ‘Art of the


Elders’ : The Revitalization of Adat among the Lindu People
of Central Sulawesi, Prepared for the Panel : Endorsing
Regional Autonomy: Re-empowering Local Institution’ for the
International Workshop and Symposium, ‘The Beginning of the
21st Century:Endorsing Regional Autonomy, Understanding
Local Cultures, Strengthening National Integration’, 1-4
August 2000, Research Center, Hasanudin University,
Makassar, South Sulawesi, Indonesia.

Aditjondro, GJ, 1979, Angin Pantai di Lembah Pegunungan:


Adakah yang Bakal Terbang ?, Prisma, No,2, Februari.

---------------,1993, Pelanggaran Hak Asasi Manusia


Berdimensi Ekologis, Suara Pembaruan, 8 Januari.

Anonimous, 2000, Indonesian Minerals Exploration and Mining


Drectory 1999/2000, AJM,Masindo,GoldGroup,Directorate-
General of Mines,AusTrade, Jakarta.

Barber, Charles Victor, Suraya Afif, Agus Purnomo, 1997,


Meluruskan Arah Pelestarian Keanekaragaman Hayati dan
Pembangunan di Indonesia, Yayasan Obor, Jakarta.

Blower JH, Jan Wind, Harry Amir, 1977, Proposed Lore


Kalamanta National Park, Manajement Plan 1978-1980,
FAO/UNDP, Bogor.

Budianti, Setia & Yurianto, 2000, Bioprospeksi, Antara


Peningkatan Kualitas Hidup dan Potensi Pencurian Sumber
Daya Genetika, RMI,Bioforum, Searice, Bogor.

Dietz, Ton, 1998, Hak Atas Sumber Daya Alam, Remdec, Insist
Press, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Gray, Andrew,1991, Between The Spice of Live and the


Melting Pot : Biodiversity Conservation and its Impact on
Indigenous Peoples, IWGIA Document 70, Copenhagen.

Kaudern, Walter, 1938, Megalithic Finds in Central Celebes,


Elanders Boktrakert Aktibolag, Goteborg

---------------, 1925, Structure and Settlements in Central


Celebes, Elanders Boktrakert Aktibolag, Goteborg.

---------------, 1923, Migration of the Toradja in Central


Celebes, Elanders Boktrakert Aktibolag, Goteborg.
Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor
593/Kpts-II/93 Tentang Perubahan Fungsi Hutan Wisata/Hutan
Lindung Danau Lindu, Suaka Margasatwa Lore Kalamanta,
dan Suaka Margasatwa Sungai Sopu menjadi Taman Nasional
Lore Lindu.

Lahigi, Silas, 2001, Sistem Pengelolaan Sumber Daya Alam


dan Inisiatif Pemerintahan Masyarakat Adat Ngata/Desa Toro,
Makalah dipresentasikan pada “Dialog Kebijakan Masyarakat
Adat dan Pengelolaan Sumber Daya Alam”, Palu, 20 Januari.

Laudjeng, Hedar, 1994, Kearifan Masyarakat Adat Lindu,


dalam Arianto Sangadji (penyunting), Bendungan Rakyat dan
Lingkungan, Catatan Kritis Rencana Pembangunan PLTA Lore
Lindu, WALHI, Jakarta.

Li, Tania Murray, n.d, Articulating Indigenous Identity in


Indonesia, Resource Politics and the Tribal Spot (working
papers), Berkeley Workshop and Environmental Politics,
Institute of International Studies, University of
California, Berkeley.

Li, Tania & Arianto Sangaji, 2000, Akses Rakyat terhadap


Sumber Daya Alam di Dataran Tinggi Sulawesi Tengah, Bahan
presentasi pada seminar hasil survey di Yayasan Tanah
Merdeka, Palu.

LPA AWAM Green, 2000, Laporan Penelitian Pengembangan dan


Pemanfaatan Potensi Tumbuhan Obat Tradisional Masyarakat
Lokal di Sekitar Taman Nasional Lore Lindu, Palu.

McNeely, Jeffrey, Kenton R Miller, Walter V Reid, Russel A


Mittermeier, and Timothy B Werner, 1990, Conserving the
World’s Biological Diversity, Gland, Switzerland, IUCN,
World Resources Institute, Conservation International,
World Wildlife Fund-USA and the World Bank.

Sangaji, Anto, 2002, Orang Katu di Behoa Kakau, Naskah Buku


yang akan diterbitkan oleh KP-SHK.

-------------,2001, Konflik Agraria di Taman Nasional Lore


Lindu : Tersungkurnya Komunitas-komunitas Asli, Makalah
Disampaikan dalam Dialog Kebijakan tentang Hak dan
Pengetahuan Masyarakat Adat di sekitar Taman Nasional Lore
Lindu (TNLL), kerja sama Yayasan Tanah Merdeka dan EPIQ/NRM
di Palu, 15 Maret.

-------------,2000a, PLTA Lore Lindu : Orang Lindu Menolak


Pindah, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

------------& F Lumeno, 2001, Masyarakat Adat dan Taman


Nasional Lore Lindu : Pelajaran dari Pekurehua dan Bada,
Yayasan Tanah Merdeka & BSP Kemala, Palu.
Shiva, Vandana, dkk, 1993, Perspektif Sosial dan Ekologi
Keragaman Hayati, Konphalindo, Jakarta.

Stevens, Stan, 1997, The Legacy of Yellow Stone, in


Stevens, ed, Conservation Through Cultural Survival,
Indigenous Peoples and Protected Areas, Island Press,
Washington,D.C, Covelo,California.

Sugiharto & Ariyanto,2002, Laporan Studi Pemilikan dan


Penguasaan Tanah di Dataran Lindu, Yayasan Tanah Merdeka,
Palu.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No 68 Tahun 1998


tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam.

Undang-Undang No.5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber


Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.

Undang-undang No5 Tahun 1994 tentang Pengesahan Konvensi


Perserikatan Bangsa-bangsa mengenai Keanekaragaman Hayati.

Undang-undang No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.

Watling, Dick & Yaya Mulyana, 1981, Lore Lindu National


Park, Management Plan, 1981-1986, WWF, Bogor.

Wirawan, Nengah, 1981, Ecological Survey of the Proposed


Lore Lindu National Park, Central Sulawesi, Universitas
Hasanuddin, Ujung Pandang.

________________, 1994, Dampak Pembangunan PLTA Danau Lindu


terhadap Kawasan Konservasi Taman Nasional Lore Lindu,
dalam Arianto Sangaji, penyunting, Bendungan, Rakyat, dan
Lingkungan : Catatan Kritis Rencana Pembangunan PLTA Lore
Lindu, WALHI & Yayasan Tanah Merdeka, Jakarta.

YTM & Pemerintah Ngata Toro, 2000, Laporan Prosiding


Pertemuan Konsultasi Masyarakat di sekitar TNLL, Toro, 27 –
30 September.

Yayasan Jambata, 2000, Studi Potensi Tanaman Pangan


Varietas Lokal di Beberapa Desa Buffer Zone Taman Nasional
Lore Lindu, Yayasan Jambata, bekerja sama dengan Yayasan
Tanah Merdeka dan NRM-EPIQ, Palu.

Anda mungkin juga menyukai