Anda di halaman 1dari 13

Ekosistem dan Keanekaragaman Hayati

Dr. Ir. Tengku Hidayah, M.Sc

Pembentukan, Pengembangan, dan Konservasi


Keanekaragaman Hayati Fauna
Pada Ekosistem Gambut di Semenanjung Kampar

Tugas Mandiri
Ekosistem dan Keanekaragaman Hayati
Dosen Pengampu: Dr. Ir. Tengku Hidayah, M.Sc

OLEH:
GULAT MEDALI EMAS MANURUNG
1910347181

PROGRAM STUDI ILMU LINGKUNGAN


PROGRAM PASCASARJANA DOKTORAL
UNIVERSITAS RIAU
PEKANBARU
2020

1
Ekosistem dan Keanekaragaman Hayati
Dr. Ir. Tengku Hidayah, M.Sc

Pembentukan, Pengembangan, dan Konservasi


Keanekaragaman Hayati Fauna
Pada Ekosistem di Gambut Semenanjung Kampar

Pengantar
Merosotnya keanekaragaman hayati dianggap membahayakan kehidupan
manusia. Sebab kekayaan keanekaragaman hayati merupakan masa depan umat
manusia dengan nilai guna aktual maupun potensial bagi kemanusiaan. Merosotnya
keanekaragaman hayati dianggap membahayakan kehidupan manusia. Ini menjadikan
konservasi menjadi wacana penting dan isu utama dalam konservasi adalah mencegah
kepunahan.
Apa yang dimaksud dengan konservasi? Konservasi berasal dari kata
Conservation yang terdiri atas kata con (together) dan servare (keep/save) yang
memiliki pengertian mengenai upaya memelihara apa yang kita punya (keep/save what
you have), namun secara bijaksana (wise use). Ide ini dikemukakan oleh Theodore
Roosevelt (1902) yang merupakan orang Amerika pertama yang mengemukakan
tentang konsep konservasi. Konservasi dalam pengertian sekarang, sering
diterjemahkan sebagai the wise use of nature resource (pemanfaatan sumber daya alam
secara bijaksana). Menurut Escobar (1996) yang diacu oleh Darmanto (2011)
menyatakan bahwa wacana konservasi berhasil mengartikulasikan kembali hubungan
manusia dan alam serta bagaimana hubungan itu ditata dan dijalankan. Wacana ini
mampu mempengaruhi ilmu pengetahuan, budaya, politik dan ekonomi. Wacana
pelestarian membangkitkan kesadaran baru atas pentingnya sumber daya alam.

Pembentukan, Pengembangan, dan Konservasi Keanekaragaman Hayati


Sejarah Konservasi Dunia
Pada awal decade 1970-an, wacana konservasi keanekaragaman hayati tumbuh
di Eropa Barat dan Amerika. Hal ini dipicu oleh merosotnya keanekaragaman hayati
dan hancurnya lingkungan karena pertumbuhan urbanisasi serta praktek-praktek
pengambilan dan pemanfaatan sumber daya alam yang berlebihan. Untuk menarik
perhatian publik laporan mengenai kerusakan alam ditulis dengan dramatis. Dunia
membutuhkan kesadaran baru terhadap lingkungan. Pada tahun 1972 dilakukan
pertemuan yang merupakan tonggak penting dalam pengembangan strategi konservasi

2
Ekosistem dan Keanekaragaman Hayati
Dr. Ir. Tengku Hidayah, M.Sc

global. Pertemuan tersebut dikenal dengan Stockholm Conference on the Human


Environment.
Kesadaran lingkungan menciptakan gerakan pelestarian alam sejak dekade
1980. Lembaga konservasi internasional terbentuk dan aktif memainkan wacana
penyelamatan bumi. Gerakan ini menjadi tekanan bagi lembaga pembangunan global
yang dituduh sebagai penyebab krisis lingkungan. Laporan Brundtland, Our Common
Future (1987) dari World Commision on Environment and Development (WCED),
menandai isu lingkungan masuk ke dalam wacana pembangunan melalui konsep
pembangunan berkelanjutan (sustainability development).
Wacana konservasi global memuncak pada Pertemuan Puncak Rio 1992. Pada
tahun 1992, Earth Summit di Rio de Janeiro, Brazil, atau yang dikenal sebagai United
Nations Conference on Environmental and Development; atau yang dikenal dengan
istilah KTT Bumi membahas berbagai cara untuk melindungi lingkungan dengan
perhatian pada pembangunan ekonomi yang lebih berkelanjutan pada negara yang
kurang sejahtera. Wacana konservasi semakin melembaga dalam bentuk protokol,
konvensi, dan terbentuknya lembaga-lembaga internasional (UNEP, UNCED, TFAP,
dll), pusat studi lingkungan di lembaga kampus, dan LSM lingkungan (Brosius, 1997).

Perkembangan Konservasi di Indonesia


Menguatnya wacana pelestarian alam berpengaruh terhadap pengelolaan
sumber daya alam di Indonesia. Di bawah rejim Orde Baru, Indonesia menciptakan
pertumbuhan ekonomi dan pembangunan infrastruktur. Sebagain besar keberhasilan ini
berlandaskan eksploitasi minyak bumi, kayu, dan hasil alam lainnya melalui
penananman modal asing dan bantuan luar negeri (Schwartz, 1994). Biaya sosial
pembangunan dipikul masyarakat pedesaaan yang miskin menjadi amunisi bagi gerakan
sosial untuk bersuara kritis terhadap rezim Orde Baru.
Status negara megabiodiversity membuat Indonesia tersulut wacana konservasi
alam dunia. Indonesia mengalami tekanan politik dan memaksa mengubah strateginya
dengan mengapresiasi wacana pembangunan berkelanjutan dan konservasi
keanekaragaman hayati (Dauvergne, 1998). Sikap pemerintah Indonesia ditunjukkan
dengan aktif dalam pertemuan konservasi global dan ratifikasi konvensi
keanekaragaman hayati. Kementerian Lingkungan Hidup dan Direktorat Perlindungan
dan Pelestarian Alam dibentuk awal dekade 1980-an. Pada tahun 1990, pemerintah

3
Ekosistem dan Keanekaragaman Hayati
Dr. Ir. Tengku Hidayah, M.Sc

mengeluarkan regulasi, Undang-Undang (UU) No. 5 Tahun 1990 tentang


Keanekaragaman Hayati dan Ekosistem. Hingga saat ini regulasi yang bernuanasa
mengatur praktik konservasi di Indonesia telah banyak yang keluar dan tentu saja hal
ini patut di apresiasi sebagai langkah bersama penyelemantan keanekaragaman hayati
di Indonesia. Adapun beberapa kebijakan tersebut ada yang berupa Undang-Undang,
Peraturan Pemerintah, dan Peraturan Menteri, diantaranya; (1) UU No. 5/1990 tentang
Konservasi Sumberdaya Hayati dan Ekosistemnya; (2) UU No. 32/2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup; (3) UU No. 41/2009 tentang
Kehutanan; (4) UU No. 29/2001 tentang Perlindungan Varietas Tanaman; (5) UU No.
32/2004 tentang Pemerintah Daerah; (6) PP No. 21/2005 tentang Keamanan Hayati
Produk Rekayasa Genetika; (7) PP No. 7/1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan
dan Satwa; (8) PP No. 8/1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa; (9) PP
No. 68/1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam; (10) PP No.
18/1994 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di Zona Pemanfaatan, Taman Nasional,
Taman Hutan Raya, dan Taman Wisata Alam, dan; (11) Permen LH No. 29/2009
tentang Pedoman Konservasi Keanekaragaman Hayati di Daerah.

Ekosistem Gambut
KLH (2010) mendefinisikan ekosistem gambut sebagai tatanan unsur gambut
yang mempunyai karakteristik yang unik dan rapuh serta merupakan satu kesatuan utuh
menyeluruh dalam kesatuan hidrologis gambut yang saling mempengaruhi dalam
membentuk keseimbangan, stabilitas dan produktivitasnya. Ekosistem lahan gambut
dipengaruhi oleh pasang surut. Adhi et al. (1986) dalam KLH (2010) mengemukakan
empat tipologi luapan pada ekosistem lahan gambut, yakni:
1. Tipe A, lahan yang selalu terluapi air pasang, baik pasang besar maupun pasang
kecil.
2. Tipe B, lahan yang hanya terluapi pasang besar.
3. Tipe C, lahan yang tidak pernah terluapi walaupun pasang besar tetapi memiliki
air tanah dekat permukaan lahan (<50 cm).
4. Tipe D, lahan tidak pernah terluapi dan memiliki air tanah yang kedalamannya
> 50 cm dari permukaan lahan.

4
Ekosistem dan Keanekaragaman Hayati
Dr. Ir. Tengku Hidayah, M.Sc

Lahan gambut berasal dari bentukan gambut beserta vegetasi yang terdapat di
atasnya terbentuk di daerah yang topografinya rendah dan bercurah hujan tinggi atau di
daerah yang suhunya rendah. Tanah gambut mempunyai kandungan bahan organik
yang tinggi (>12% carbon) dan kedalaman gambut minimum 50 cm. Tanah gambut
diklasifikasikan sebagai Histosol dalam sistem klasifikasi FAO yaitu yang mengandung
bahan organik lebih tinggi dari 30%, dalam lapisan setebal 40 cm atau lebih pada bagian
80 cm teratas profil tanah (Rina et al. 2008). Lahan gambut terdiri 3 jenis yaitu gambut
dangkal dengan lapisan < 50 cm, gambut sedang dengan tebal lapisan 50 – 100 cm dan
gambut dalam dengan lapisan > 200 cm. Lahan gambut mempunyai sifat marginal dan
rapuh (fragile), maka dalam pengembangannya dalam skala luas perlu kehati-hatian.
Kesalahan dalam reklamasi dan pengelolaan lahan mengakibatkan rusaknya lahan dan
lingkungan (Widjaja et al. 1992).

Fungsi dan Manfaat Ekosistem Gambut


Ekosistem gambut berfungsi sebagai pengatur tata air, dimana kubah gambut
menjaga permukaan air bawah tanah dan mencegah intrusi air laut. Selain itu, juga
mengatur air pada lahan-lahan pertanian serta sumber air minum penduduk dan
pemukiman sekitarnya. Pembangunan saluran drainase pada aktivitas perkebunan dapat
menyebabkan gambut menjadi kering, teroksidasi, dan menyusut yang mengakibatkan
terjadinya penurunan muka tanah. Laju subsidensi dalam skenario paling konservatif
sekitar 5 cm dalam 1 tahun. Subsidensi yang terjadi di dekat pantai merupakan ancaman
serius dari intrusi air laut yang mengancam produktivitas pertanian (Wosten dan
Ritzema, 2002).
Lebih lanjut menurut Galbraith et al. (2005) menyebutkan bahwa ekosistem
lahan gambut memberikan beberapa pelayanan (services) ekologi, ekonomi dan sosial
antara lain : (1) habitat bagi burung air, ikan, berbagai jenis hewan lain dan tumbuhan;
(2) keanegaragaman hayati (biodiversity); (3) produksi makanan (food production); (4)
penyimpan air (water storage) termasuk mitigasi dampak banjir/air bah dan kemarau;
(5) mengisi kembali air tanah (groundwater recharge); (6) stabilisasi garis pantai dan
pelindungan terhadap badai (shoreline stabilization and storm protection);
penjernihan/pemurnian air (water purification); (7) siklus nutrien (nutrient cycling); (8)
pengendapan/penyimpan sediment (sediment retention and export); (9) rekreasi dan

5
Ekosistem dan Keanekaragaman Hayati
Dr. Ir. Tengku Hidayah, M.Sc

wisata (recreation and tourism); (10) mitigasi perubahan iklim (climate change
mitigation); (11) penghasil kayu (timber production); (12) pendidikan dan penelitian
(education and research); dan (13) nilai-nilai estetika dan budaya (aesthetic and
cultural value). Egoh et al. (2007) menyebutkan bahwa jasa lingkungan yang diberikan
ekosistem gambut merupakan faktor yang harus diperhatikan dalam melakukan
perlindungan terhadap ekosistem tersebut. Dengan demikian diperlukan suatu
pengelolaan yang baik agar pelayanan yang diberikan oleh ekosistem lahan gambut
tetap dapat dipertahankan.

Degradasi Ekosistem Gambut


Indonesia mempunyai sekitar 20,6 juta ha lahan gambut dengan simpanan
karbon bawah tanah sekitar 37 giga ton (Wahyunto, 2007). Namun seiring dengan
meningkatnya jumlah penduduk, pembukaan hutan gambut akan semakin meningkat.
Peningkatan kebutuhan terhadap sumberdaya lahan menyebabkan tingginya tekanan
untuk pemanfaatan lahan gambut sebagai penghasil berbagai komoditas pertanian,
sebagai lahan permukiman, dan pertambangan (Gunarso et al. 2013). Apabila hutan
gambut dibuka dan didrainase maka fungsinya akan berubah dari penyimpan menjadi
sumber emisi gas rumah kaca (GRK) terutama karbon dioksida (CO2) (Jauhiainen et al.
2012). Emisi GRK merupakan masalah global dan nasional yang banyak
diperbincangkan. Selain mengemisi GRK, lahan gambut juga mudah mengalami
penurunan permukaan (subsidence) apabila hutan gambut dikonversi dan didrainase.
Subsidence menyebabkan lahan gambut kehilangan fungsi sebagai penyimpan dan
pengatur tata air serta memperpendek masa produktif untuk pertanian (Wösten et al.
2008).
Alih fungsi lahan yang tidak memperhatikan aspek keberlanjutan
mengakibatkan gambut menjadi rusak/degradasi. Berdasarkan data dari Agus et al.
(2016) terdapat sekitar 3,7 juta ha lahan gambut terdegradasi. Sementara data lain
menyebutkan bahwa 6,66 juta hektar atau 44,6% lahan gambut telah terdegradasi
(Wahyunto et al. 2013). Lahan gambut terdegradasi menjadi sumber masalah
lingkungan karena merupakan sumber emisi gas rumah kaca (GRK) dan rentan
kebakaran. Endrawati (2016) menyatakan bahwa kebakaran hutan dan lahan di
Indonesia, 22% berada pada lahan gambut.

6
Ekosistem dan Keanekaragaman Hayati
Dr. Ir. Tengku Hidayah, M.Sc

Penyebab utama degradasi lahan gambut menurut Masganti (2003) diakibatkan


tata air yang salah. Selain itu degradasi lahan gambut juga dapat disebabkan oleh
kebakaran dan kegiatan penambangan (Masganti et al. 2014). Kebakaran hutan dan
lahan gambut sering terjadi saat pembukaan lahan, yang menjadi kontributor emisi gas
rumah kaca tertinggi dan sering menyudutkan Indonesia dalam forum internasional
tentang lingkungan dan perubahan iklim (Subiksa et al. 2011). Pembakaran
mempercepat proses subsidensi gambut dan degradasi lahan, padahal kecepatan
pembentukan gambut untuk hutan primer hanya 3 mm/tahun (Andriesse, 1988).

Pengelolaan Ekosistem Gambut


Peran dan fungsi lahan gambut sangat penting bagi keberlangsungan kehidupan
semua makhluk hidup baik manusia maupun flora dan fauna. Lahan gambut jika telah
mengalami kerusakan, maka sulit untuk dikembalikan ke kondisi lahan gambut seperti
semula, sehingga untuk menanggulanginya perlu adanya pengelolaan secara baik.
Pengelolaan lingkungan hidup seperti ekosistem hutan gambut harus mengacu
pada hukum dan kebijakan pengelolaan sumberdaya alam (Noor, 2010). Oleh karena
itu perlu ada kemauan politik atau komitmen yang kuat dari pemangku kepentingan
dalam hal pengaturan kewenangan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam
serta ekosistem hutan gambut. Instrumen kebijakan diterapkan untuk mengoptimalkan
tata kelola ekosistem gambut melalui UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang bersifat progresif dalam perlindungan
ekosistem. Turunan dari UU No 32 Tahun 2009 telah melahirkan produk hukum
lanjutan, seperti pemerintah mengeluarkan regulasi terkait pengelolaan lahan gambut
melalui PP Nomor 71 Tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem
Gambut yang kemudian dilakukan perubahan melalui PP Nomor 57 Tahun 2016.
Sebagai petunjuk teknis pelaksanaannya, maka dikeluarkan PerMenLHK Nomor
P.14/MENLHK/SETJEN/KUM.1/2/2017 tentang Tata Cara Inventarisasi dan
Penetapan Fungsi Ekosistem Gambut, PerMenLHK Nomor P.15/MENLHK/
SETJEN/KUM.1/2/2017 tentang Tata Cara Pengukuran Muka Air Tanah di Titik
Penaatan Ekosistem Gambut, PerMenLHK Nomor P.16/MENLHK/SETJEN/
KUM.1/2/2017 tentang Pedoman Teknis Pemulihan Fungsi Ekosistem Gambut.
Dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 71 tahun 2014 tentang Perlindungan
dan Pengelolaan Ekosistem Gambut, disebutkan bahwa Perlindungan dan Pengelolaan

7
Ekosistem dan Keanekaragaman Hayati
Dr. Ir. Tengku Hidayah, M.Sc

Ekosistem Gambut adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk
melestarikan fungsi ekosistem gambut dan mencegah terjadinya kerusakan ekosistem
gambut yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan,
pengawasan, dan penegakan hukum. Perencanaan merupakan salah satu komponen
penting dari perlindungan dan pengelolaan gambut.
Perencanaan Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut disusun sesuai
dengan level kewenangan, meliputi; (1) Rencana Perlindungan dan Pengelolaan
Ekosistem Gambut Nasional; (2) Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem
Gambut Provinsi; dan (3) Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut
Kabupaten/Kota. Materi dan muatan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem
Gambut mencakup; (1) Pemanfaatan dan/atau pencadangan ekosistem gambut; (2)
Pemeliharaan dan perlindungan kualitas dan/atau fungsi ekosistem gambut; (3)
Pengendalian, pemantauan, serta pendayagunaan dan pelestarian ekosistem gambut;
dan (4) Adaptasi dan mitigasi terhadap perubahan iklim
Perubahan kebijakan dalam pemanfaatan lahan gambut mengindikasikan
bergesernya paradigma pengelolaan lingkungan dari yang bersifat antroposentris
menjadi eksosentris dengan ideologi keberlanjutan. Dari perspektif prinsip
pembangunan berkelanjutan dengan menciptakan keseimbangan ekologi, ekonomi, dan
sosial (shallow ecology) yang diacu oleh para pihak yang berkepentingan tentu menjadi
sesuatu yang harus dilakukan untuk menghindari terjadinya krisis ekologi. Anonim
(2006) menyebutkan ada tiga hal yang mendasar yang perlu dipertimbangkan dalam
pengelolaan sumber daya alam lahan gambut, yaitu: kerjasama antar lembaga terkait,
pendekatan bentang lahan atau tata ruang, dan pendekatan berbasis ekosistem.

Bentang Alam Semenanjung Kampar


Semenanjung Kampar berada di sebelah Timur Propvnsi Riau, secara geografis
terletak di antara 101°50’ dan 103°07’ Bujur Timur serta 0°10’ dan 1°14’ Lintang Utara.
Secara administratif Semenanjung Kampar berada di antara dua kabupaten yaitu
Kabupaten Siak (38%) dan Kabupaten Pelalawan (62%). Kawasan Semenanjung
Kampar teridentifikasi sebagai salah satu sisa kawasan gambut terluas di Sumatera ini
mencakup luas + 671.125 ha. Luasan ini sekitar 16,6% dari 4,044 juta ha luasan gambut
yang ada di Riau (TBI 2010).

8
Ekosistem dan Keanekaragaman Hayati
Dr. Ir. Tengku Hidayah, M.Sc

Hampir seluruh areal di Semenanjung Kampar merupakan tanah gambut dengan


3 (tiga) kubah gambut yang besar dan beberapa kubah gambut kecil. Kedalaman gambut
di Semenanjung Kampar bervariasi dan secara umum tergolong dalam dan sangat
dalam, dengan kedalaman maksimum mencapai lebih dari 15 m (rata-rata sekitar 10 m).
Lahan gambut ini mencakup hampir seluruh areal Semenanjung Kampar (> 90%).
Sementara itu di luar daerah gambut dikelilingi oleh satuan fisiografi Levee yang terdiri
atas tanah-tanah mineral aluvial (terdapat di sepanjang tanggul-tanggul sungai terutama
sepanjang Sungai Kampar dan Selat Panjang). Hampir seluruh daerah Semenanjung
Kampar di bagian tengah merupakan kubah gambut yang memiliki kedalaman lebih
dari 5 m, sebagian kecil di bagian barat memiliki kedalaman 2,5-5 m dan sebagian kecil
di bagian tenggara memiliki kedalaman < 2,5 m.

Keanekaragaman Hayati (Fauna)


Sebagai kawasan gambut terluas di Sumatera, tidak diragukan lagi bahwa
Semenanjung Kampar mengandung keanekaragaman hayati yang tinggi. IPB (2004)
mengidentifikasi kekayaan fauna sebagai berikut: burung (28 famili, 64 spesies),
mamalia (13 famili, 21 spesies), reptil (8 famili, 13 spesies), amphibi (3 famili, 6
spesies), serangga (26 famili, 35 spesies), dan biota air (11 famili, 22 spesies). Diantara
jenis-jenis tersebut terdapat jenis-jenis dengan status endangered dan vulnerable
menurut IUCN 1994. Jenis tersebut adalah Mycteria cinerea (vulnerable), Helarctos
malayanus (vulnerable), Panthera tigris sumatrensis (endangered), dan Crocodilylus
porosus (vulnerable). Beberapa jenis ikan yang ada di perairan Semenanjung Kampar
banyak ditangkap dan dimanfaatkan masyarakat seperti ikan baung, lais, popuyuk,
haruan/gabus, tembakang dan ikan tapah. Penilaian High Conservation Value Forest
(HCVF) di Semenanjung Kampar yang dilakukan oleh INRR (2005) mengidentifikasi
beberapa jenis satwa yang terdaftar sebagai jenis dilindungi. Terdapat 10 jenis termasuk
ke dalam kategori dilindungi menurut IUCN dan 29 jenis termasuk ke dalam kategori
dilindungi menurut CITES. Hal ini menunjukkan keanekaragaman hayati Semenanjung
Kampar sangat penting dan pada waktu yang sama Semenanjung Kampar menghadapi
resiko kehilangan keanekaragaman hayati yang tinggi karena sebagian dari faunanya
telah terdaftar sebagai spesies yang langka dan genting.

9
Ekosistem dan Keanekaragaman Hayati
Dr. Ir. Tengku Hidayah, M.Sc

Data hasil penilaian HCVF di Semenanjung Kampar yang dilakukan oleh TBI
(2010) menyatakan bahwa di dalam kawasan ini paling sedikit dapat dijumpai 45 jenis
mamalia yang termasuk ke dalam 18 famili, 217 jenis burung yang termasuk ke dalam
56 famili, 42 jenis reptil yang termasuk ke dalam 14 famili, serta 15 jenis amfibi yang
termasuk ke dalam 3 famili. Keanekaragaman jenis ikan pada lokasi Sungai Kampar,
Sungai Serkap, Sungai Pelalawan, Kanal Pelalawan, Sungai Kutup dan Penyalai
ditemukan sebanyak 44 jenis (33 jenis diantaranya termasuk kategori cukup berlimpah).
Spesies kunci dan khas di Semenanjung Kampar yang mengalami tekanan berat
adalah Harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae). Harimau Sumatera adalah salah
satu subspesies harimau yang masih tersisa hidup di Indonesia dengan kelimpahan
populasinya menurut WWF (2010) di Pulau Sumatera adalah + 300 ekor. Diketahui
bahwa harimau Sumatera di Semenajung Kampar hampir menempati seluruh tepi
semenanjung yang umumnya kondisi rawanya tidak terlalu dalam dibandingkan di
daerah tengah dan merupakan bagian dari ekosistem hutan rawa gambut campuran
(mixed swamp forest).
Keberadaan harimau sumatra ini sangat tergantung pada keberadaan
mangsanya. Aktivitas harian harimau sumatra sebagian besar soliter dengan luas
wilayah jelajah yang cukup luas, walaupun dalam berburu seringkali berpasangan.
Harimau jantan dan betina hidup dalam daerah jelajah yang saling tumpang tindih,
jantan bisanya menduduki wilayah yang lebih luas, yang mencakup wilayah lebih dari
satu harimau betina. Mangsa harimau sumatra berkisar dari binatang-binatang yang
besar seperi rusa sambar (Cervus unicolor) dan kijang (Muntiacus muntjac) sampai
mamalia berukuran lebih kecil seperti moyet ekor panjang (Macaca fascicularis),
trenggiling (Manis javanica) dan landak (Hystrix brachyura). Harimau adalah
pengendali terpenting bagi populasi babi hutan (Sus scrofa) dan (Sus barbatus), yang
merupakan hama tanaman pangan di lahan-lahan pertanian. Pada masa kekurangan
makanan, harimau sumatra juga memakan kadal, katak bahkan buaya.
Menurut MacKinnon (2002), di seluruh areanya yang tersisa, harimau
merupakan spesies yang terancam. Alasannya sederhana saja, yaitu kegiatan manusia
yang jumlahnya semakin bertambah dimana kucing besar ini tersebar. Penyebab utama
turunnya jumlah harimau adalah hilangnya habitat, fragmentasi serta degradasi habitat
dan perburuan harimau beserta mangsanya secara intensif.

10
Ekosistem dan Keanekaragaman Hayati
Dr. Ir. Tengku Hidayah, M.Sc

Upaya Konservasi di Semenanjung Kampar


Melihat potensi kekayaan keanekaragaman hayati yang ada di Semenanjung
Kampar menjadikan Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Provinsi Riau berupaya
melindungi kawasan tersebut. Berbagai kebijakan yang dikeluarkan di kawasan
Semenanjung Kampar merupakan bentuk kepedulian dari pemerintah dalam hal upaya
konservasi keanekaragaman hayati. Dimana pada kawasan Semenanjung Kampar saat
ini telah mengalami tekanan penggunaan lahan oleh berbagai kepentingan
mengakibatkan semakin menurunnya luasan areal berhutan di kawasan ini dan akan
berdampak pada kehidupan fauna di dalamnya.
Pemerintah Provinsi Riau melalui Peraturan Daerah (PERDA) tahun 1994
mengenai Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi (RTRWP)–Riau menetapkan kawasan
ini sebagai Hutan Lindung gambut (HLGB) seluas 248.800 Ha. Pemerintah Bupati Siak
juga telah mengusulkan perluasan dan perubahan fungsi SM Danau Pulau Besar dan
Danau Pulau Bawah menjadi Taman Nasional kepada Menteri Kehutanan melalui surat
no. 660/set/100S/2001 dan no 364/Dishut/205/2005 tanggal 9 Juni 2005.
Penetapan kawasan Semenanjung Kampar sebagai HLGB sesuai dengan
Keputusan Presiden (KEPRES) No 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan
Lindung terutama pasal 9 dan 10 yang menyatakan bahwa kawasan bergambut dengan
ketebalan gambut lebih dari 3 meter harus diperuntukan sebagai HLGB. Selain itu
Pemerintah Pusat juga melalui Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi
Alam (PHKA) telah membentuk kawasan konservasi dan perlindungan pada
Semenanjung Kampar. Adapun kawasan tersebut diantaranya terdiri dari 1 (satu)
Taman Nasional dan 3 (tiga) Suaka Margasatwa) dengan total luasan 37.000 ha,
diantaranya; (1) Taman Nasional Zamrud (28.237 ha); (2) Suaka Margasatwa Tasik
Belat (2.529 ha); (3) Suaka Margasatwa Tasiuk Besar/Tasik Metas (3.200 ha), dan; (4)
Suaka Margasatwa Tasik Serkap/Tasik Sarang Burung (6.900 ha).

Daftar Pustaka
Andriesse, J.P., 1988. Nature and Management of Tropical Peat Soils. Soil Resources
Management & Conservation Service. FAO Land and Water Development
Divisions. FAO, Rome. 165 pp

11
Ekosistem dan Keanekaragaman Hayati
Dr. Ir. Tengku Hidayah, M.Sc

Brosius JP. 1997. Green dots, pink heart: displacing politic from the Malaysian rain
forest. American Anthropologis 101: 36-57.
Darmanto. 2011. Konservasi Global, Taman Nasional, dan Praktek Lokal di Pulau
Siberut-Sumatera Barat. Jurnal Ilmu Kehutanan. Vol 5 (1); 51-65.
Dauvergne, P. 1998. Environmental insecurity, forest management, and state responses
in south east Asia. Environmental Conservation 25 (1): 30-36.
Galbraith H, P Amerasinghe, HA Lee. 2005. The effects of agricultural irrigation on
wetland ecosystems in developing countries: a Literature Review. CA
Discussion Paper 1 Colombo, Sri Lanka.
Institut Pertanian Bogor. 2004. Studi dan Penyusunan Rencana Pengelolaan
Biodiversity PT. Riau Andalan Pulp & Paper pada Kawasan Hutan
Semenanjung Kampar, Kabupaten Pelalawan dan Kabupaten Siak, Propinsi
Riau. Bogor: IPB.
INRR. 2005. Preliminary High Conservation Value Forest Assessment. Unpublished
paper.
Kementerian Lingkungan Hidup. 2010. Profil Ekosistem Gambut di Indonesia. Jakarta:
Kementerian Lingkungan Hidup.
Noor M. 2010. Pertanian Lahan Gambut; Potensi dan Kendala. Kanisius. Yogyakarta
Masganti, 2003. Kajian Upaya Meningkatkan Daya Penyediaan Fosfat dalam Gambut
Oligotrofik. Disertasi. Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta.
Schwartz, A. 1994. A Nation in Waiting: Indonesia in 1990s. Allen and Unwin, St
Leonards, Australia.
Subiksa, I.G.M, Hartatik, W., dan Agus, F., 2011. Pengelolaan Lahan Gambut secara
Berkelanjutan. Balai Penelitian Tanah, Bogor.
Tropenbos International Indonesia. 2010. Data dan Informasi Dasar Penilaian
Menyeluruh Nilai Konservasi Tinggi Semenanjung Kampar. Laporan
Kerjasama antara Tropenbos International Indonesia Programme, Kementerian
Kehutanan, dan APRIL.
Rina Y, Noorginayuwati dan M Noor. 2008. Persepsi Petani Tentang Lahan Gambut
dan Pengelolaannya. Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa. Banjarmasin.

12
Ekosistem dan Keanekaragaman Hayati
Dr. Ir. Tengku Hidayah, M.Sc

Wahyunto, Ritung, S., Nugroho, K., Sulaiman, Y., Hikmarullah., Tafakresnanto, C.,
Suparto, dan Sukarman, 2013. Peta Arahan lahan Gambut Terdegradasi di Pulau
Sumatera Skala 1:250.000. Badan Litbang Pertanian, Kementerian Pertanian.
Bogor.
Widjaya A et al. 1992. Sumberdaya Lahan Pasang Surut, Rawa dan Pantai : Potensi,
keterbatasan dan pemanfaatan. Dalam S. Partohardjono dan M. Syam (Eds).
Pengembangan Terpadu Pertanian Lahan Pasang Surut dan Lebak. Risalah
Pertemuan Nasional Pengembangan Pertanian Lahan Pasang Surut dan Rawa.
Cisarua, 3 – 4 Maret 1992. Puslitbangtan. Bogor.
Wösten, J.H.M., E. Clymans, S.E. Page, J.O. Rieley, and S.H. Limin. 2008. Peat–water
interrelationships in a Tropical peatland ecosystem in Southeast Asia. Catena
73 (2): 212–224. doi:10.1016/j.catena.2007.07.010.

13

Anda mungkin juga menyukai