Tugas Mandiri
Ekosistem dan Keanekaragaman Hayati
Dosen Pengampu: Dr. Ir. Tengku Hidayah, M.Sc
OLEH:
GULAT MEDALI EMAS MANURUNG
1910347181
1
Ekosistem dan Keanekaragaman Hayati
Dr. Ir. Tengku Hidayah, M.Sc
Pengantar
Merosotnya keanekaragaman hayati dianggap membahayakan kehidupan
manusia. Sebab kekayaan keanekaragaman hayati merupakan masa depan umat
manusia dengan nilai guna aktual maupun potensial bagi kemanusiaan. Merosotnya
keanekaragaman hayati dianggap membahayakan kehidupan manusia. Ini menjadikan
konservasi menjadi wacana penting dan isu utama dalam konservasi adalah mencegah
kepunahan.
Apa yang dimaksud dengan konservasi? Konservasi berasal dari kata
Conservation yang terdiri atas kata con (together) dan servare (keep/save) yang
memiliki pengertian mengenai upaya memelihara apa yang kita punya (keep/save what
you have), namun secara bijaksana (wise use). Ide ini dikemukakan oleh Theodore
Roosevelt (1902) yang merupakan orang Amerika pertama yang mengemukakan
tentang konsep konservasi. Konservasi dalam pengertian sekarang, sering
diterjemahkan sebagai the wise use of nature resource (pemanfaatan sumber daya alam
secara bijaksana). Menurut Escobar (1996) yang diacu oleh Darmanto (2011)
menyatakan bahwa wacana konservasi berhasil mengartikulasikan kembali hubungan
manusia dan alam serta bagaimana hubungan itu ditata dan dijalankan. Wacana ini
mampu mempengaruhi ilmu pengetahuan, budaya, politik dan ekonomi. Wacana
pelestarian membangkitkan kesadaran baru atas pentingnya sumber daya alam.
2
Ekosistem dan Keanekaragaman Hayati
Dr. Ir. Tengku Hidayah, M.Sc
3
Ekosistem dan Keanekaragaman Hayati
Dr. Ir. Tengku Hidayah, M.Sc
Ekosistem Gambut
KLH (2010) mendefinisikan ekosistem gambut sebagai tatanan unsur gambut
yang mempunyai karakteristik yang unik dan rapuh serta merupakan satu kesatuan utuh
menyeluruh dalam kesatuan hidrologis gambut yang saling mempengaruhi dalam
membentuk keseimbangan, stabilitas dan produktivitasnya. Ekosistem lahan gambut
dipengaruhi oleh pasang surut. Adhi et al. (1986) dalam KLH (2010) mengemukakan
empat tipologi luapan pada ekosistem lahan gambut, yakni:
1. Tipe A, lahan yang selalu terluapi air pasang, baik pasang besar maupun pasang
kecil.
2. Tipe B, lahan yang hanya terluapi pasang besar.
3. Tipe C, lahan yang tidak pernah terluapi walaupun pasang besar tetapi memiliki
air tanah dekat permukaan lahan (<50 cm).
4. Tipe D, lahan tidak pernah terluapi dan memiliki air tanah yang kedalamannya
> 50 cm dari permukaan lahan.
4
Ekosistem dan Keanekaragaman Hayati
Dr. Ir. Tengku Hidayah, M.Sc
Lahan gambut berasal dari bentukan gambut beserta vegetasi yang terdapat di
atasnya terbentuk di daerah yang topografinya rendah dan bercurah hujan tinggi atau di
daerah yang suhunya rendah. Tanah gambut mempunyai kandungan bahan organik
yang tinggi (>12% carbon) dan kedalaman gambut minimum 50 cm. Tanah gambut
diklasifikasikan sebagai Histosol dalam sistem klasifikasi FAO yaitu yang mengandung
bahan organik lebih tinggi dari 30%, dalam lapisan setebal 40 cm atau lebih pada bagian
80 cm teratas profil tanah (Rina et al. 2008). Lahan gambut terdiri 3 jenis yaitu gambut
dangkal dengan lapisan < 50 cm, gambut sedang dengan tebal lapisan 50 – 100 cm dan
gambut dalam dengan lapisan > 200 cm. Lahan gambut mempunyai sifat marginal dan
rapuh (fragile), maka dalam pengembangannya dalam skala luas perlu kehati-hatian.
Kesalahan dalam reklamasi dan pengelolaan lahan mengakibatkan rusaknya lahan dan
lingkungan (Widjaja et al. 1992).
5
Ekosistem dan Keanekaragaman Hayati
Dr. Ir. Tengku Hidayah, M.Sc
wisata (recreation and tourism); (10) mitigasi perubahan iklim (climate change
mitigation); (11) penghasil kayu (timber production); (12) pendidikan dan penelitian
(education and research); dan (13) nilai-nilai estetika dan budaya (aesthetic and
cultural value). Egoh et al. (2007) menyebutkan bahwa jasa lingkungan yang diberikan
ekosistem gambut merupakan faktor yang harus diperhatikan dalam melakukan
perlindungan terhadap ekosistem tersebut. Dengan demikian diperlukan suatu
pengelolaan yang baik agar pelayanan yang diberikan oleh ekosistem lahan gambut
tetap dapat dipertahankan.
6
Ekosistem dan Keanekaragaman Hayati
Dr. Ir. Tengku Hidayah, M.Sc
7
Ekosistem dan Keanekaragaman Hayati
Dr. Ir. Tengku Hidayah, M.Sc
Ekosistem Gambut adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk
melestarikan fungsi ekosistem gambut dan mencegah terjadinya kerusakan ekosistem
gambut yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan,
pengawasan, dan penegakan hukum. Perencanaan merupakan salah satu komponen
penting dari perlindungan dan pengelolaan gambut.
Perencanaan Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut disusun sesuai
dengan level kewenangan, meliputi; (1) Rencana Perlindungan dan Pengelolaan
Ekosistem Gambut Nasional; (2) Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem
Gambut Provinsi; dan (3) Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut
Kabupaten/Kota. Materi dan muatan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem
Gambut mencakup; (1) Pemanfaatan dan/atau pencadangan ekosistem gambut; (2)
Pemeliharaan dan perlindungan kualitas dan/atau fungsi ekosistem gambut; (3)
Pengendalian, pemantauan, serta pendayagunaan dan pelestarian ekosistem gambut;
dan (4) Adaptasi dan mitigasi terhadap perubahan iklim
Perubahan kebijakan dalam pemanfaatan lahan gambut mengindikasikan
bergesernya paradigma pengelolaan lingkungan dari yang bersifat antroposentris
menjadi eksosentris dengan ideologi keberlanjutan. Dari perspektif prinsip
pembangunan berkelanjutan dengan menciptakan keseimbangan ekologi, ekonomi, dan
sosial (shallow ecology) yang diacu oleh para pihak yang berkepentingan tentu menjadi
sesuatu yang harus dilakukan untuk menghindari terjadinya krisis ekologi. Anonim
(2006) menyebutkan ada tiga hal yang mendasar yang perlu dipertimbangkan dalam
pengelolaan sumber daya alam lahan gambut, yaitu: kerjasama antar lembaga terkait,
pendekatan bentang lahan atau tata ruang, dan pendekatan berbasis ekosistem.
8
Ekosistem dan Keanekaragaman Hayati
Dr. Ir. Tengku Hidayah, M.Sc
9
Ekosistem dan Keanekaragaman Hayati
Dr. Ir. Tengku Hidayah, M.Sc
Data hasil penilaian HCVF di Semenanjung Kampar yang dilakukan oleh TBI
(2010) menyatakan bahwa di dalam kawasan ini paling sedikit dapat dijumpai 45 jenis
mamalia yang termasuk ke dalam 18 famili, 217 jenis burung yang termasuk ke dalam
56 famili, 42 jenis reptil yang termasuk ke dalam 14 famili, serta 15 jenis amfibi yang
termasuk ke dalam 3 famili. Keanekaragaman jenis ikan pada lokasi Sungai Kampar,
Sungai Serkap, Sungai Pelalawan, Kanal Pelalawan, Sungai Kutup dan Penyalai
ditemukan sebanyak 44 jenis (33 jenis diantaranya termasuk kategori cukup berlimpah).
Spesies kunci dan khas di Semenanjung Kampar yang mengalami tekanan berat
adalah Harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae). Harimau Sumatera adalah salah
satu subspesies harimau yang masih tersisa hidup di Indonesia dengan kelimpahan
populasinya menurut WWF (2010) di Pulau Sumatera adalah + 300 ekor. Diketahui
bahwa harimau Sumatera di Semenajung Kampar hampir menempati seluruh tepi
semenanjung yang umumnya kondisi rawanya tidak terlalu dalam dibandingkan di
daerah tengah dan merupakan bagian dari ekosistem hutan rawa gambut campuran
(mixed swamp forest).
Keberadaan harimau sumatra ini sangat tergantung pada keberadaan
mangsanya. Aktivitas harian harimau sumatra sebagian besar soliter dengan luas
wilayah jelajah yang cukup luas, walaupun dalam berburu seringkali berpasangan.
Harimau jantan dan betina hidup dalam daerah jelajah yang saling tumpang tindih,
jantan bisanya menduduki wilayah yang lebih luas, yang mencakup wilayah lebih dari
satu harimau betina. Mangsa harimau sumatra berkisar dari binatang-binatang yang
besar seperi rusa sambar (Cervus unicolor) dan kijang (Muntiacus muntjac) sampai
mamalia berukuran lebih kecil seperti moyet ekor panjang (Macaca fascicularis),
trenggiling (Manis javanica) dan landak (Hystrix brachyura). Harimau adalah
pengendali terpenting bagi populasi babi hutan (Sus scrofa) dan (Sus barbatus), yang
merupakan hama tanaman pangan di lahan-lahan pertanian. Pada masa kekurangan
makanan, harimau sumatra juga memakan kadal, katak bahkan buaya.
Menurut MacKinnon (2002), di seluruh areanya yang tersisa, harimau
merupakan spesies yang terancam. Alasannya sederhana saja, yaitu kegiatan manusia
yang jumlahnya semakin bertambah dimana kucing besar ini tersebar. Penyebab utama
turunnya jumlah harimau adalah hilangnya habitat, fragmentasi serta degradasi habitat
dan perburuan harimau beserta mangsanya secara intensif.
10
Ekosistem dan Keanekaragaman Hayati
Dr. Ir. Tengku Hidayah, M.Sc
Daftar Pustaka
Andriesse, J.P., 1988. Nature and Management of Tropical Peat Soils. Soil Resources
Management & Conservation Service. FAO Land and Water Development
Divisions. FAO, Rome. 165 pp
11
Ekosistem dan Keanekaragaman Hayati
Dr. Ir. Tengku Hidayah, M.Sc
Brosius JP. 1997. Green dots, pink heart: displacing politic from the Malaysian rain
forest. American Anthropologis 101: 36-57.
Darmanto. 2011. Konservasi Global, Taman Nasional, dan Praktek Lokal di Pulau
Siberut-Sumatera Barat. Jurnal Ilmu Kehutanan. Vol 5 (1); 51-65.
Dauvergne, P. 1998. Environmental insecurity, forest management, and state responses
in south east Asia. Environmental Conservation 25 (1): 30-36.
Galbraith H, P Amerasinghe, HA Lee. 2005. The effects of agricultural irrigation on
wetland ecosystems in developing countries: a Literature Review. CA
Discussion Paper 1 Colombo, Sri Lanka.
Institut Pertanian Bogor. 2004. Studi dan Penyusunan Rencana Pengelolaan
Biodiversity PT. Riau Andalan Pulp & Paper pada Kawasan Hutan
Semenanjung Kampar, Kabupaten Pelalawan dan Kabupaten Siak, Propinsi
Riau. Bogor: IPB.
INRR. 2005. Preliminary High Conservation Value Forest Assessment. Unpublished
paper.
Kementerian Lingkungan Hidup. 2010. Profil Ekosistem Gambut di Indonesia. Jakarta:
Kementerian Lingkungan Hidup.
Noor M. 2010. Pertanian Lahan Gambut; Potensi dan Kendala. Kanisius. Yogyakarta
Masganti, 2003. Kajian Upaya Meningkatkan Daya Penyediaan Fosfat dalam Gambut
Oligotrofik. Disertasi. Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta.
Schwartz, A. 1994. A Nation in Waiting: Indonesia in 1990s. Allen and Unwin, St
Leonards, Australia.
Subiksa, I.G.M, Hartatik, W., dan Agus, F., 2011. Pengelolaan Lahan Gambut secara
Berkelanjutan. Balai Penelitian Tanah, Bogor.
Tropenbos International Indonesia. 2010. Data dan Informasi Dasar Penilaian
Menyeluruh Nilai Konservasi Tinggi Semenanjung Kampar. Laporan
Kerjasama antara Tropenbos International Indonesia Programme, Kementerian
Kehutanan, dan APRIL.
Rina Y, Noorginayuwati dan M Noor. 2008. Persepsi Petani Tentang Lahan Gambut
dan Pengelolaannya. Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa. Banjarmasin.
12
Ekosistem dan Keanekaragaman Hayati
Dr. Ir. Tengku Hidayah, M.Sc
Wahyunto, Ritung, S., Nugroho, K., Sulaiman, Y., Hikmarullah., Tafakresnanto, C.,
Suparto, dan Sukarman, 2013. Peta Arahan lahan Gambut Terdegradasi di Pulau
Sumatera Skala 1:250.000. Badan Litbang Pertanian, Kementerian Pertanian.
Bogor.
Widjaya A et al. 1992. Sumberdaya Lahan Pasang Surut, Rawa dan Pantai : Potensi,
keterbatasan dan pemanfaatan. Dalam S. Partohardjono dan M. Syam (Eds).
Pengembangan Terpadu Pertanian Lahan Pasang Surut dan Lebak. Risalah
Pertemuan Nasional Pengembangan Pertanian Lahan Pasang Surut dan Rawa.
Cisarua, 3 – 4 Maret 1992. Puslitbangtan. Bogor.
Wösten, J.H.M., E. Clymans, S.E. Page, J.O. Rieley, and S.H. Limin. 2008. Peat–water
interrelationships in a Tropical peatland ecosystem in Southeast Asia. Catena
73 (2): 212–224. doi:10.1016/j.catena.2007.07.010.
13