ABSTRAK
PENDAHULUAN
Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) merupakan kawasan pelestarian alam yang
terdapat di Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau. Tesso Nilo ditetapkan sebagai Taman
Nasional (TN) pada tahun 2004 melalui SK Mentri Kehutanan No.Sk.255/Menhut-II/2004.
Walaupun sudah ditetapkan sebagai TN, Tesso Nilo tidak terlepas dari permasalahan,
khususnya permasalahan pelestarian ekosistem hutan. Aktivitas masyarakat seperti
perambahan dan illegal logging turut menyebabkan rusaknya ekosistem hutan di kawasan
TNTN. Qomar (2008) mengungkapkan bahwa interaksi masyarakat dengan hutan alam
semakin tinggi melalui praktek pembalakan liar dan perambahan sehingga menimbulkan
tekanan besar terhadap ekosistem hutan Tesso Nilo. Hasil investigasi WWF bersama pihak
Balai TNTN (2011) melaporkan luas total perambahan di kawasan hutan TNTN mencapai
52.266,50 ha (Suara Tesso Nilo, 2013). Kondisi ini mengakibatkan hilangnya habitat dan
terfragmentasinya habitat dan dampaknya berpengaruh terhadap komunitas burung.
Degradasi suatu habitat jelas mengakibatkan jumlah jenis dan kehadiran burung di suatu
kawasan menurun.
Burung merupakan bagian dari keanekaragaman hayati yang mendapatkan tekanan
kuat dari aktivitas manusia terhadap hutan Tesso Nilo. Burung merupakan salah satu
komponen ekosistem yang memiliki peranan penting dan tidak sedikit dalam mendukung
berlangsungnya suatu siklus kehidupan organisme. Keadaan ini dapat dilihat dari rantai
makanan dan jaring-jaring kehidupan yang membentuk sistem kehidupannya dengan
komponen ekosistem lainnya seperti tumbuhan. Oleh karena itu keadaan burung disuatu
kawasan sangatlah penting karena dapat menjadi suatu indikator perubahan lingkungan yang
terjadi pada daerah dimana burung tersebut berada (Bibby et al., 2000).
TNTN sebagai suatu ekosistem berfungsi sebagai tempat habitat bagi burung untuk
mencari makan, berkembang biak serta berinterkasi dengan ekosistem. Sebagai salah satu
komponen ekosistem, burung mempunyai hubungan timbal balik dan saling tergantung
dengan lingkungannya. Atas dasar peran dan manfaat ini maka kehadiran burung dalam suatu
ekosistem perlu dipertahankan (Arumasari dalam Kristanto, 2007).
Permasalahan yang terjadi di TNTN merupakan objek yang dapat dijadikan sumber
belajar mahasiswa pada bahasan komunitas hewan. Komunitas hewan merupakan salah satu
konsep yang harus diberikan kepada mahasiswa. Dengan demikian kegiatan penelitian
analisis komunitas burung pada berbagai tipe habitat di TNTN diharapkan dapat menjadi
sumber belajar dalam mendukung bahan ajar konsep komunitas hewan.
Penelitian ini bertujuan untuk : Mengetahui struktur komunitas burung pada berbagai
tipe habitat di TNTN dan menghasilkan sumber belajar untuk mendukung bahan ajar konsep
komunitas hewan. Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai bahan
informasi dasar mengenai komunitas burung di TNTN untuk masukan di dalam mendukung
kehidupan berbagai jenis burung yang ada di TNTN dan pengayaan sumber belajar untuk
mendukung bahan ajar konsep komunitas hewan.
METODE PENELITIAN
Penelitian dilakukan pada bulan April 2013. Penelitian ini dilakukan di TNTN
wilayah kerja seksi konservasi pengelola TN wilayah I Lubuk Kembang Bunga dalam
kawasan zona penyangga TNTN. Penentuan lokasi pencuplikan dilakukan secara Purposive
Sampling, di mana tipe habitat di TNTN menjadi pertimbangan. Pengamatan dilakukan di
tiga habitat yang berbeda yaitu di hutan sekunder, aliran Sungai Nilo dan Kebun masyarakat.
Data dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder. Data primer
diperoleh dengan pengamatan burung secara langsung dan mencatat di lembar pengamatan
burung. Pengamatan burung dilakukan dengan menggunakan metode kombinasi titik hitung
dan metode transek (Bibby et al., 2000). Pengamatan dengan metode ini jarak antar titik
ditetapkan 200 meter dengan radius pengamatan 50 meter, pengamatan pada setiap titik
dilakukan selama 20 menit. Pengamatan burung dilakukan satu kali pada waktu yang
berbeda. Pengamatan dilakukan antara pukul 06:00-08:00 & 16:00-18:00 WIB dalam waktu
cerah/baik. Pengamatan burung dilakukan secara langsung. Burung yang tidak teridentifikasi
secara langsung akan direkam.
Parameter yang diamati adalah komposisi jenis di lokasi pengamatan. Perhitungan
dilakukan untuk mengetahui keragaman jenis (S), dan menghitung indeks keragaman jenis
(H), indeks kemerataan jenis (E), indeks kekayaan jenis (J) dan dominansi (D).
16
14
14
12
Jumlah Famili
10
4 3
2
2 1 1 1 1 1 1
1 1
0
Ordo
Hasil metode kombinasi titik hitung dan transek mencatat 79 jenis burung dari 27
famili dapat dilihat pada Gambar 2. Famili collumbidae merupakan famili yang spesiesnya
sering dijumpai di lokasi penelitian, diikuti oleh timaliidae, pycnonotidae, cuculidae,
alcenidae, silviidae, capitonidae, picidae dan ploceidae. Sebagian besar famili lain diwakili
oleh satu atau tiga spesies saja di lokasi pengamatan.
10 9
9 8
8 7
7
Jumlah
6 6
speies
5 5
5 4 4 4
4
3 2 2 2 2 3 2 2 2
2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
1
0
Rallidae
Trogonidae
Eurylamidae
Collumbidae
Laniidae
Sturnidae
Cuculidae
Dicaeidae
Ploceidae
Acciptridae
Alcenidae
Chloropseidae
Timaliidae
Phasianidae
Pycnonotidae
Turdidae
Strigidae
Bucerotidae
Picidae
Capitonidae
Silviidae
Nectariniidae
Dicruridae
Corvidae
Muscicapidae
Psittacidae
Meropidae
Famili
Penemuan jenis burung sangat berkaitan erat dengan kondisi habitatnya. Satwa akan
memilih habitat yang memiliki kelimpahan sumberdaya bagi kelangsungan hidupnya,
sebaliknya jarang atau tidak ditemukan pada lingkungan yang kurang menguntungkan
baginya (Bibby et al. 2001). Selain itu, Odum (1993) menyebutkan bahwa penyebaran
burung dipengaruhi oleh kesesuaian lingkungan, kompetisi serta seleksi alam.
Famili Collumbidae ditemukan sembilan jenis burung, yaitu Punai siam (Treron
bincinta),Punai gading (Treron vernans), Punai besar (Treron capellei), Punai bakau
(Trerron fulvicollis), Pergam hijau (Ducula aenea), Dederuk jawa (Geopelia striata),
Tekukur biasa (Streptopelia chinensis), Delimukan zamrud (Chalcophaps indica), dan
Merpati batu (Columba livia). Jenis burung ini sering dijumpai pada tiga lokasi pengamatan
hal ini disebabkan karena pada saat pengamatan ditemukan banyak tumbuhan hutan yang
sedang berbuah. famili collumbidae merupakan jenis burung pemakan buah-buahan
(MacKinnon et al., 2010).
Banyaknya dijumpai famili timalidae (8 jenis) dan pycnonotidae (7 jenis) ditemukan
ditiga lokasi penelitian disebabkan oleh habit makan dari masing-masing spesies dalam famili
tersebut yang umumnya mencari makanan berupa serangga dan buah-buahan pada lapisan
tajuk bawah dan tengah hutan. Disamping itu kelompok ini merupakan kelompok dengan
anggota jenis yang cukup banyak untuk kawasan barat Indonesia (MacKinnon et al., 2010).
Suku alcenidae (raja udang) banyak ditemukan dihabitat tepian Sungai Nilo
dikarenakan jenis burung ini memang dikenal menyenangi habitat di tepian Sungai atau yang
berhubungan dengan air secara langsung (Strange, 2001; MacKinnon et all., 2010). Suku
bucerotidae (enggang) banyak dijumpai pada habitat hutan sekunder dan aliran Sungai Nilo,
hal ini dikarenakan pada kedua lokasi tersebut umum dijumpai vegetasi pohon yang
berukuran besar dan berbuah seperti pohon ara yang menjadi makanan favotit bagi suku
burung ini. Suku Bucerotidae menggunakan lubang pohon sebagai sarangnya (MacKinnon et
al, 2010). Oleh karena ukuran burung ini besar (berkisar antara 70-120 cm), maka tentunya
pohon yang digunakan juga harus pohon yang besar.
Penemuan burung suku picidae (pelatuk) yang banyak hanya dijumpai di habitat hutan
sekunder, pada habitat ini menunjukkan bahwa kondisi hutan tersebut terdapat beberapa
vegetasi yang tua. Ini sesuai perilakunya yang menyukai struktur vegetasi tua karena akan
digunakan untuk mencari makan berupa serangga yang terdapat di batang pohon (MacKinnon
et al., 2010).
Penemuan burung pemangsa (raptor) menunjukkan bahwa lokasi tersebut masih
tergolong baik. Sebagai pemangsa puncak (top predator) dalam piramida atau rantai
makanan, burung pemangsa merupakan penyeimbang ekosistem, sehingga bila ekosistem
terganggu, maka mereka juga akan terganggu (Zulkifli et al., 2012).
Penemuan burung suku ploceidae (Bondol) sangat terkait dengan rerumputan yang
ada dilokasi pengamatan habitat hutan sekunder. Hal ini yang menyebabkan jenis ini
(Lonchura maja, lonchura punculata, & Lonchura striata) tidak dijumpai di lokasi yang lain,
karena tidak dijumpainya unsur habitat rerumputan yang merupakan makanan utamanya
(MacKinnon et al., 2010).
Nilai Indeks keragaman jenis pada lokasi kebun karet dan sawit berbeda bila
dibandingkan dengan nilai keragaman jenis pada kedua lokasi diatas. Hal tersebut
dikarenakan pada lokasi perkebunan komposisi jenis penyusun tegakan vegetasi telah
berubah. Struktur vegetasi merupakan salah satu faktor kunci yang mempengaruhi kekayaan
spesies burung (Wiens dalam Purnomo 2008). Hubungan yang sangat erat antara komunitas
burung dengan keragaman habitat menunjukkan bahwa burung sangat tergantung pada
keragaman kompleksitas dari pohon, tiang, dan semak (Chettri et al., 2005).
Keberadaan tumbuhan sangat terkait dengan ketersedian pakan, tempat bersarang,
perlindungan dari pemangsa dan juga faktor mikroklimat. Perubahan komposisi komponen
habitat berupa jenis-jenis tumbuhan yang berimplikasi langsung terhadap perubahan
ketersediaan sumber daya, akan merubah pula komposisi burung-burung yang
memanfaatkannya yang sekaligus akan merubah jenis burung yang mendiami habitat tersebut
(Partasasmita, 2003).
Hilangnya keanekaragaman spesies tumbuhan menjadi salah satu faktor terpenting
penurunan keanekaragaman spesies burung karena tumbuhan yang beragam pada suatu
habitat akan menyediakan tempat pakan yang berlimpah (Dendi, 2012; Beukema et al., 2007;
Tata HL et al., 2011; Aratrakorn et al.,2007).
Berdasarkan pada tabel 2 dapat dilihat bahwa indeks kemerataan jenis burung
disemua lokasi memiliki nilai kurang dari 1 (satu) hal tersebut menunjukkan bahwa di semua
lokasi terdapat dominansi satu atau beberapa spesies artinya satu atau beberapa spesies
memiliki jumlah individu yang lebih banyak dibandingkan spesies yang lain.
Golongan jenis yang mengendalikan sebagian besar arus energi dan mempunyai
pengaruh besar terhadap lingkungan dan jenis lain dikatakan mempunyai dominasi ekologis.
Berdasarkan pada komposisi jenis pada gambar 5 (bawah) terdapat 2 jenis burung yang
dominan dan 8 jenis burung subdominan, walaupun jenis-jenis tersebut tidak seluruhnya
menyebar pada masing-masing habitat yaitu Merbah cerukcuk (Pycnonotus goaiver) 6%,
Cabai rimba (Dicaeum chrysorrheum) 6%, Takur ampis (Colarhampus fuliginosus) 4%,
Cucak kutilang (Pycnonotus aurigaster) 4%, Merbah belukar (Pycnonotus plumosus) 4%,
Merbah corok-corok (Pycnonotus simplex) 4%, Bondol Peking (Lonchura puncullata) 3%,
Bondol haji (Lonchura maja) 3%, Pijatung kecil (Arachnotera longirostra) 3% dan Prenjak
jawa (Prinia familaris) 3%. Burung-burung tersebut mendominasi di seluruh lokasi hutan
TNTN yang sebagian besar menggunakan strata tajuk bawah, tajuk tengah dan tajuk atas. Hal
ini didukung oleh kondisi habitat yang cukup memadai bagi jenis burung tersebut terutama
dalam ketersediaan makanan. Relatif cukup pohon-pohon yang sedang berbunga dan berbuah
serta diikuti dengan jumlah serangga yang membuat sarang disekitar lokasi menjadi pakan
bagi jenis burung pemakan omnivora.
Nilai dominansi (%)
7
6 6 6
5
4 4 4 4 4
4
3 3 3 3
2
1
0
Nama Spesies
Saran
Perlu dilakukan survey yang mencakup kawasan lebih luas di TNTN meliputi habitat
yang ada untuk melengkapi data jenis burung.
DAFTAR PUSTAKA
Aratrakorn S.T., & Paul F. Donald. 2007. Changes in bird communities following conversion
of lowland forest to oil palm and rubber plantations in southern Thailand. Bird
Conservation International (2006) 16:71–82.
Baukema, H, Danielsen, F, Vincent, G, Hardiwinoto, & Andel, V. Jelte. 2007. Plant and Bird
Diversity in Rubber Agroforestry in The Lowlands Of Sumatera Indonesia. Agroforest
syst. 70:217-242.
Bibby, C. Jones & Marsden, S. 2000. Teknik-Teknik Ekspedisi Lapangan Survei Burung. BP
Conservation Programme. Bogor.
Chettri N, Deb DC, Sharma E, Jackson R. 2005. The RaliationshipBird Communities and
Habitat a Study Along a Tracking Corridor in The Sikkim Himalaya. Mountain
Research and Development 25: 235-243.
Dendi. 2012. Fauna Burung Di Tiga Tipe Habitat Di Kawasan Bukit Batu, Bengkalis, Riau.
Skripsi FMIPA Universitas Riau, Pekanbaru.
Kristanto, A. 2007. Perbandingan Keanekaragaman Burung Pada Pagi dan Sore Hari Di
Empat habitat Yang Berbeda Di TWA dan CA Pangandaran, Ciamis, Jawa Barat.
Indonesian Ornithologi st’ Union (IdOU)-2007.
MacKinnon, J. K.Phillips & B. Van Balen 2010. Burung-Burung di Sumatera, Jawa, Bali
dan Kalimantan. Puslitbang Biologi-LIPI/Birdlife Indonesia, Bogor.
Odum, E.P. 1993. Dasar-Dasar Ekologi. Terjemahan Tjahyo Samingan dan Srigandano.
Universitas Gajah Mada. Yogyakarta.
Purnomo, H, Jamaksari, H, Bangkit, R, Praditya, T, & Syafrudin, D. 2008. Hubungan Antara
Struktur Komunitas Burung Dengan Vegetasi Di Taman Nasional Bukit Baka Bukit
Raya. Prosiding Seminar Ornitologi Indonesia. Bogor
Partasasmita, R. 2003. Ekologi Burung Pemakan Buah dan Biji (Paper Falsafah Sains
Program Pasca Sarjana). IPB Press. Bogor
Suara Tesso Nilo. 2013. Taman Nasional Tesso Nilo di bawah bayang kehancuran. Edisi
Januari-Maret 2013.
Tata HL, et al. 2011. Recognising Biodiversity in Rubber Plantations. Bogor, Indonesia:
World Agroforestry Centre (ICRAF) Southeast Asia Regional Program.