Anda di halaman 1dari 3

MENDELEY

Pendahuluan Konsesi konservasi atau conservation concession merupakan satu konsep baru
dalam pengelolaan hutan. Konsep ini mendekatkan antara perlindungan sumber daya hutan
dengan pembangunan (Rice, 2001; Rice, 2003). Konsesi konservasi berbeda dengan konsesi
logging. Jika dalam konsesi logging, pemegang konsesi membayar pemerintah untuk haknya
mengambil kayu dari hutan, maka dalam konsesi konservasi, emerging konsesi membayar
pemerintah untuk haknya melindungi hutan (CIFOR, 2001). (Qodriyatun 2016)
Hilangnya hutan-hutan tersebut berarti juga hilangnya berbagai jasa yang disediakan oleh
hutan seperti pengatur daur hidrologi, penyimpan karbon, dan tentunya penyedia sumber daya
hayati yang ada di dalamnya yang merupakan sumber pangan dan pengobatan bagi manusia.
Kondisi ini kemudian memunculkan suatu pendekatan baru yang memadupadankan antara
konservasi dengan pembangunan. Dasar pendekatannya adalah bagaimana menciptakan
mekanisme berbasis pasar untuk konservasi hutan (Pagiola et al., 2002;1– 14).
Melalui mekanisme ini diharapkan hutan terselamatkan di satu sisi, dan masyarakat tetap
mendapatkan keuntungan secara ekonomi dari hutan tersebut melalui penjualan jasanya di sisi
lain. Melalui konsesi konservasi, aspek ekologi, ekonomi, dan sosial berjalan bersama dalam satu
pengelolaan hutan. Konsep konsesi konservasi coba diterapkan oleh Pemerintah Indonesia
melalui kebijakan restorasi ekosistem di hutan produksi. Suatu kebijakan yang muncul dari
keprihatinan para kalangan pecinta lingkungan atas kondisi hutan Indonesia yang terus
mengalami degradasi dan deforestasi.

Kebijakan restorasi ekosistem diluncurkan di tengah upaya pemerintah melakukan upaya


rehabilitasi hutan yang tiada memberikan hasil. Baik upaya pemulihan hutan melalui program
dana reboisasi maupun melalui program Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan (GERHAN)
(Supriatna, 2008:84). Bahkan dalam catatan Center for International Forestry Research/CIFOR
(Nawir dkk, 2008), pemerintah dinilai gagal dalam melaksanakan rehabilitasi hutan. Terlihat dari
target pemerintah untuk merehabilitasi 18,7 juta hektare dari hutan yang terdegradasi dari tahun
1970- an hingga tahun 2004 tidak berhasil. Bahkan sisa hutan yang terdegradasi yang seharusnya
24,9 juta hektare, justru bertambah menjadi dua kali lipat yaitu 43,6 juta hektare.

Menurut Wibowo dan Handayani (2006), bahwa ekosistem hutan mangrove tersusun oleh
flora yang termasuk dalam familia rhizoporaceae, combretaceae, meliaceae, sonneratiaceae,
euphorbiaceae dan sterculiaceae. Sementara itu, pada zona ke arah darat ditumbuhi oleh jenis
paku-pakuan (Acrostichum aureum). Salah satu tipe zonasi hutan mangrove di Indonesia
menurut Bengen (2001) dalam Fachrul (2007) adalah sebagai berikut:

 Daerah yang paling dekat dengan laut, dengan substrat agak berpasir, sering
ditumbuhi oleh Avicennia sp. Pada zona ini biasa berasosiasi dengan Sonneratia
sp yang dominan tumbuh pada Lumpur dalam yang kaya bahan organik.
 Lebih ke arah darat, hutan mangrove umumnya didominasi oleh Rhizophora sp.
Pada zona ini juga dijumpai Bruguiera sp dan Xylocarpus sp.
 Zona berikutnya didominasi oleh Bruguiera sp.
 Zona transisi antara hutan mangrove dengan hutan dataran rendah biasa
ditumbuhi nipah (Nypa fructicans) dan beberapa spesies palem lainya.(Eddy et al.
2019)

Kebudayaan Melayu merupakan suatu kebudayaan besar yang pernah berjaya di


Nusantara. Jauh sebelum kehadiran kolonialisasi bangsa-bangsa Eropa di Nusantara, kebudayaan
Melayu telah ada dan hidup di daerah-daerah pesisir (perairan) yang juga merupakan jalur
strategis transportasi dan jalur perniagaan internasional yang penting pada masanya.1 Sehingga
hal ini memberi dampak masyarakat Melayu menjadi masyarakat yang terbuka baik secara fisik
maupun secara kultural. Lokasi pemukiman masyarakat Melayu yang tidak terisolir tersebut
memungkinkan masyarakat Melayu terbiasa berhubungan dengan dunia luar, dengan demikian,
sudah sejak dahulu masyarakat Melayu menjadi masyarakat yang senantiasa berhubungan
dengan orang asing2 . Posisi masyarakat Melayu tersebut yang berada pada jalur-jalur
perdagangan memberi dua dampak besar dalam kehidupan Melayu. Pertama masyarakat Melayu
menjadi masyarakat yang egaliter. Kedua masyarakat Melayu sangat dekat dengan dunia Islam
yang dibawa oleh para pedagang dari Timur Tengah yang datang ke Nusantara sebagai pedagang
yang mengemban misi dakwah. Sementara itu pada masa kolonial, penyebutan Melayu sendiri
mengidentikkan penyebutan secara umum pada masyarakat pribumi.(H Kara 2014)

Darul Ulum yang terletak di tepi sungai seluas tujuh hektar, telah ditetapkan sebagai zona
haram—zona terlarang untuk pembangunan—dan di wilayah itu telah ditanam ratusan pohon,
termasuk pohon mangga, alpukat, dan durian, ditanam di situ. Pengelola pesantren menjelaskan
skema ini terinspirasi oleh ajaran Nabi Muhammad sendiri untuk melindungi sumber daya alam
di Semenanjung Arab, dan dengan mencontoh Nabi secara signifikan telah meningkatkan
kualitas tanah dan udara di lingkungan pesantren mereka. Setiap siswa diharuskan menanam
pohon sebelum mereka lulus. Pada eko-pesantren lainnya, seperti di sekolah Al-Haramain di
Lombok Barat, ada proyek perhutanan sosial yang melibatkan siswa dan keluarga dan telah
melakukan reboisasi lahan seluas 31 hektar, di mana keluarga tersebut dapat menanam dan
memanen pohon sesuai rencana usaha yang dikembangkan oleh masyarakat.(The Asia
Foundation n.d.)
DAFTAR PUSTAKA

Eddy, Syaiful, Iskhaq Iskandar, Moh. Rasyid Ridho, dan Andy Mulyana. 2019. “Restorasi Hutan
Mangrove Terdegradasi Berbasis Masyarakat Lokal.” Jurnal Indobiosains 1(1): 1–13.
https://jurnal.univpgri-palembang.ac.id/index.php/biosains.
H Kara, O Anlar MY Ağargün. 2014. “Kebudayaan Melayu.” Paper Knowledge . Toward a
Media History of Documents 7(2): 107–15.
Qodriyatun, S N. 2016. “Konsesi Konservasi Melalui Kebijakan Restorasi Ekosistem di Hutan
Produksi.” Aspirasi: Jurnal Masalah-masalah Sosial 7(1): 49–62.
http://jurnal.dpr.go.id/index.php/aspirasi/article/view/1279.
The Asia Foundation. “Restorasi Hutan Aceh.”

Anda mungkin juga menyukai