Anda di halaman 1dari 13

UJIAN TENGAH SEMESTER

SILVIKULTUR NON-KAYU

KONTEKS SEJARAH SILVIKULTUR

Disusun oleh :
Ardiatma Maulana
16 / 403522 / PKT / 01241

PASCASARJANA ILMU KEHUTANAN


FAKULTAS KEHUTANAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2017
Silvikultur pertama kali dikembangkan di Eropa Tengah yang awalnya dipelajari sebagai ilmu
sastra dan kemudian diadopsi oleh negara-negara Amerika Utara. Perkembangan silvikultur
dan kehutanan dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya adalah faktor eksternal yang
berasal dari luar hutan yang memiliki pengaluh paling besar dalam perkembangan silvikultur.
Faktor eksternal tersebut ada berbagai macam bentuk, yaitu :

- Tekanan populasi
- Pergeseran tren ekonomi
- Kemajuan ilmiah dan teknik

Penduduk Eropa meningkat drastis dalam 2000 tahun terakhir. Pada tahun 1309-1317 Eropa
Tengah mengalami bencana kelaparan dan penyakit tipus serta terjadi perang pada tahun 1618-
1648 yang menyebabkan turunnya laju kenaikan penduduk. Peristiwa lain yang menyebabkan
laju pertumbuhan penduduk berkurang adalah Imigrasi penduduk Eropa Tengah ke Amerika
Utara pada abad ke 19 dikarenakan Amerika Utara memiliki teknologi bercocok tanam yang
baru dan berkembang, tanaman kentang telah menjadi sumber makanan yang baru dan
perkembangan teknik di bidang kedokteran (McNeely, 1994). Sejak saat itu, fokus pertanaman
di Eropa Tengah berfokus pada produksi kayu yang bersamaan dengan laju revolisi
industialisasi (Koch & Skovsgaard, 1999).

Pergeseran tren ekonomi terjadi pada awal abad 18. Pergeseran tersebut terjadi karena banyak
industri pertanian dari bagian wilayah Eropa Tengah berganti menjadi industri logam, besi,
garam dan kaca yang menyebabkan permintaan kayu sebagai bahan kayu bakar meningkat
pesat (Turnock, 2001). Pergeseran tersebut sangat mempengaruhi perkembangan silvikultur
yang sudah mengesampingkan masalah sustainabilitas. Pada abad ke 18 permintaan kayu
sebagai bahan bakar mulai menurun karena telah digantikan oleh batu bara dan minyak. Sampai
sekarang penggunaan kayu sudah tidak lagi untuk penggunaan bahan bakar (untuk skala
industri), akan tetapi lebih menguntungkan secara ekonomi jika dijual dalam bentuk utuh.

Pada abad 19 muncul gagasan bahwa tujuan hutan adalah memaksimalkan keuntungan dari
pemilik lahan hingga tahun 1990an, masyarakat mulai sadar tentang pelestarianlingkungan
sehingga produksi kayu ditekan sedemikian rupa agar dapat memasukan unsur ekologi
didalamnya.
Manusia telah aktif memanipulasi lingkungan selama ribuan tahun lamanya untuk
mengembangkan prediksi dan ketersediaan sumber dari flora dan fauna (Van Itterbeeck & van
Huis, 2012). Pada saat itu pemanfaatan hutan hanya sebatas pengumpulan kayu bakar. Seiring
berjalannya waktu pemanfaatan hutan dilakukan pada ternak untuk penggembalaan.

Sejak saat itu manusia memahami bahwa lahan terbuka pada hutan dapat meningkatkan vigor
tanaman dan lapisan semak, untuk itu manajement harus dilakukan. Manajement yang telah
dilakukan saat itu yakni hanya sekedar membakar hutan untuk meningkatkan produksi benih
semak sedangkan teknologi menanam, transportasi dan pengolahan kayu tidak berkembang
dengan baik.

Pada akhir era milenium pertama, pemanfaatan hutan diperluas dari merumput sampai pada
produksi kayu besar-besaran karena masyarakat memahami bahwa membakar hutan saja tidak
bisa memenuhi permintaan pasar dan manajemen baru harus dilakukan.

Manajemen awal silvikultur kemudian muncul dengan menanam kayu penghasil kayu
konstruksi dan bahan bakar secara bersamaan dengan cara menjarangi pohon yang tumbuh
kecil untuk produksi kayu bakar agar pohon terbaik tumbuh secara maksimal untuk produksi
kayu konstruksi

Pengelolaan ini masih dekat dengan pemukiman sehingga kurang bisa memenuhi kebutuhan
pasar di berbagai daerah khususnyaglobal. Oleh karena itu, masyarakat mulai mengelola lahan
yang lebih luas. Upaya ini disebut management lanskap. Pengelolaan ini sampai dengan tingkat
penggembalaan dan fokus pada pohon produksi kayu konstruksi karena masuk pada zaman
industrialisasi di Eropa Tengah.

Pada zama industri, masyarakat telah mengelmpokkan beberapa induk kayu yang diinginkan.
Contohnya, kayu besar dan kecil. Unutk itu masyarakat harus mengenal manajemen spesies
campuran. Untuk daerah pegunungan, manajemen lebih ditekankan pada keuntungan non-kayu
seperti pencegah longsor serta pemasok kayu bakar. Pemanfaatan itu hanya belum teratur jenis
dan umurnya sehingga ini dianggap sebagai cikal bakal pengelolaan hutan silvikultur tidak
seumur (uneven- aged silviculture) yang menawarkan keragaman hayati tanpa menurunkan
produksi kayu didalamnya (Lafond, Cordonnier, & Courbaud, 2015).
Inventarisasai dan perencanaan

Peningkatan populasi manusia dan perminataan industri kayu menjadi pengaruh utama
pengelolaan hutan yang baik. Transisi perang 30 tahun (1618-1648), populasi meningkat dan
tuntutan tambang, kaca dan industri pembangunan kapal menyebabkan degradasi hutan besar
besaran di Eropa Tengah. Kondisi tersebut menyebabkan berkembangnya bidang perencanaan
pada bidang ilmu kehutanan di abad 19.

Pada saat itu muncul 2 konsep hutan normal yaitu :

1. Hubungan baik antara stok karbon, pertumbuhan dan hasil


2. Hutan yang berkelanjutan dengan hasil perhitungan perencanaan

Perhitungan perencanaan itu menyebabkan pengelolaan hutan cenderung mengarah pada


asumsi hutan homogen dengan umur seimbang yang sudah menjadi fokus permasalah klasik
sejak zaman dahulu (Pretzsch & Schtze, 2016) dan kemudian diperluas dengan pemikiran
management resiko.

Istilah hutan normal menjadi bagian pada silvikultur secara turun temurun seperti :

- Pengaturan komposisi jenis dan struktur


- Penanaman menyeluruh
- Penjarangan
- Perencanaan pemanenan
- Seleksi pohon

Seleksi pohon dengan menggunakan kontrol / single-tree / metode cek, yaitu menggunakan
pohon plus sebagai acuan menjarangi pohon yang jelek untuk pencapaian hutan normal yaitu
hutan yang homogen sehingga akan memaksimalkan langkah perencanaan.

Pencampuran jenis dan monokultur

Pencampuran jenis didasari pada isu-isu ekologi lalu mulailah masyarakat menanam jenis lebih
dari satu. Namun pada akhir abad 18 muncul kekhaatiran tentang diferensiasi tingkat
pertumbuhan dan aspek kompetitif pada tiap tanaman yang berbeda-beda yang menyebabkan
hanya satu saja spesies yang bertahan. Sehubungan dengan liberalisasi ekonomi yang fokus
pada produktivitas dan seiring dengan penanaman monokultur muncul banyak kritikan
sehingga penanaman jenis campuran dilakukan kembali (Puettmann et al., 2015).
Tegakan dan rotasi

Konsep tegakan merupakan kunci dari silvikultur untuk sukses. Tegakan diartikan sebagai unit
vegetasi homogen / sekelompok pohon yang dikelola oleh rimbawan secara efektif (Rysin,
Savel'eva, & Rysin, 2004).

Secara khusus pergeseran manajemen tegakan dimulai karena

1. Ketidakmampuan pertumbuhan pohon karena penggembalaan


2. Peningkatan pemanenan
3. Untuk tujuan inventarisasi dan perencanaan

Karena efisiensi yang tinggi dari pemetaan dan inventarisasi, infrastruktur dan konsentrasi
aktivitas manajemen dan penanaman, pembagian hutan menjadi luas dan sekarang menjadi
konsep silvikultur secara luas.

Kemudian muncul istilah rotasi tebangan untuk mengatasi berbagai macam faktor eksternal.
Selama masa millenium pertama, lama rotasi ditentukan oleh tujuan hasil pengelolaan. Siklus
pemanenan kayu bakar di Eropa awalnya 3-7 tahun kemudian diperpanjang menjadi 20 tahun.
Unutk kayu konstruksi diperpendek menjadi 40 tahun.

Regenerasi

Sepanjang sejarah regenerasi hanya berfokus pada daerah dengan hutan yang sedikit/ daerah
yang kekurangan akan ketersediaan kayu. Namun, pemikiran tersebut berubah setelah faktor
eksternal muncul.

Sejak dahulu regenerasi vegetatif hanya untuk memenuhi permintaan merumput untuk gembala
dan kayu bakar dengan cara propagasi tunas. Namun hal tersebut hanya dilakukan dekat
pemukiman penduduk sehingga belum diaplikasikan secara luas.

Pada abad 15 barulah regenerasi dilakukan secara lebih luas tetapi hanya menggunakan bibit
alami.
Standarisasi pendidikan

Silvikulturis Amerika Utara mengadopsi sistem silvikultur dari Eropa Tengah hingga terbit
buku teks yang hampir mirip konten dan strukturnya dengan buku teks Eropa Tengah, namun
telah dimodifikasikarena sebagian besar penduduk Amerika tidak begitu tahu kondisi Eropa
Tengah serta konteks bahasa yang berbeda (Haffer, 2001).

Dalam upaya mendorong transisi cepat untuk manajemen hasil berkelanjutan, istilah tebang
pilih muncul di tahun 1930 walaupun masih dengan arti yang luas (McNeely, 1994).

Sistem silvikultur adalah seperangkat praktek manajemen dasar untuk mengatur tegakan dan
campuran spesies. Dilabel pada pembiakan vegetatif tetapi meliputi semua aspek manajemen
tegakan.

Trubusan dan trubusan standar

Regenerasi dengan trubusan sudah menjadi metode manajemen yang baik di Eropa Tengah
pada zama Romawi (Ferraz Filho, Scolforo, & Mola-Yudego, 2014). Dalam hutan trubusan
standar understory dari bekas tbangan tertutupi oleh overstory pohon besar yang kemudian
disebut standar (Brgi, 1999).

Pada abad 15 tekanan terjadi akibat permintaan hutan yang menghasilkan multi produk pada
lahan terbatas, sehingga pohon trubusan yang dominan dipelihara dan di panen hingga
benihnya dapat digunakan sebagai pakan ternak (Trubusan Standar)

Seiring berjalannya waktu, semakin meningkatnya permintaan kayu konstruksi dan pasar
menginginkan kayu bakar yang lebih kecil maka metode regenerasi setandar telah digantikan

Sistem tebang habis

Perkembangan silvikultur tebang habis terkait erat pada zaman industrialisasi dan liberalisme
ekonomi. Kebutuhan kayu bukan untuk penduduk setempat melainkan pasar regional / nasional
(Powers, 1999).

Tebang habis dilakukan sebagai pembersih dalam lahan lengkap hingga materi terkecil guna
meningkatkan penggembalaan dan menghindari kerusakan yang dikarenakan sisa-sisa pohon.
Penanaman pada lahan tebang habis akan menyediakan input cahaya yang penuh sehingga
pemilihan jenis juga harus dipertimbangkan atau dengan naungan (Man & Greenway, 2011).
Sumber benih pohon

Sebagai cara untuk meningkatkan upaya membangun hutan yang lestari, beberapa sistem untuk
penutupan hutan seperti sistem tebang pilih, shelterwood dan sistem seed-tree telah meningkat
di Pegunungan Eropa (Redon, Berg??s, Cordonnier, & Luque, 2014).

Tingginya biaya tenaga kerja dan logistik membuat metode sumber benih pohon terlahir.
Sistem tebang habis pada awal pengelolaan tidak menebang semua pohonnya dikarenakan kayu
hasil tebangan sering tidak laku dan dari situ pengelolamenyadari bahwa pohon dapat menjadi
sumber benih yang baik.

Tebang jalur

Pengelola lalu mengembangkan alternatif lain untuk regenerasi alami biji, yaitu dengan
membuat pohon tepi sebagai sumber benih serta daerah sekitar tepian ditebang habis. Tebang
habis jalur merupakan salah satu cara alternatif untuk menjaga kelestarian dengan regenerasi
alami hutan pada hutan hujan tropis (Wu et al., 2013).

Shelterwood system

Silvikulturis melihat bahwa pohon dengan tajuk yang rimbun dapat memberikan perlindungan
pada salju dan tekanan perkembangan kompetisi vegetasi sehingga memungkinkan pohon baru
didirikan diantaranya.

Untuk mendapatkan keuntungan ini, pohon terbesar tidak ditebang sebagai sumber benih dan
perlindungan regenerasi. Sistem shelterbut kurang begitu menciptakan keragaman struktur dan
tidak selalu signifikan (Alonso Ponce et al., 2016) akan tetapi dapan digunakan sebagai opsi
regenerasi pemulihan yang cepat setelah terjadi kerusakan (de Simon, Alberti, Delle Vedove,
Zerbi, & Peressotti, 2012). Sistem ini difokuskan untuk regenerasi dan bukan untuk memasok
kebutuhan kayu pasar

Femelschlag system

Sistem Femelschlag merupakan sistem regenerasi yang lebih fleksibel dari shelterwood karena
disesuaikan dengan kondisi pada skala spasial yang lebih kecil. Femelschlag didasarkan pada
dua perluasan gap metode regenerasi silvikultur seperti multi-aged, sistem silvikultur berdasar
kerusakan alami (Carter, Seymour, Fraver, & Weiskittel, 2017), sehingga terciptanya distribusi
kelimpahan ukuran pohon serta konstan (Zenner, Sagheb-Talebi, Akhavan, & Peck, 2015).
Para silvikulturis akan memanen pohon yang paling besar sehingga hanya bersisa 1 pohon kecil
Single-tree dan seleksi grup

Dimulai pada abad 19 sistem silvikutur bergerak kearah single-tree yang masih melarang
adalnya tebangan habis untuk menghindari erosi. Sistem single-tree adalah salah satu
pendekatan silvikultur pada manajemen hutan tidak seumur di pegunungan Eropa Tengah
secara turun temurun (Klopcic & Boncina, 2010).

Penentuan single-tree tidak serta merta untuk memberikan berbagai hasil hutan pada
kepemilikan kecil akan tetapi dapat juga untuk memperlebar luasan untuk pengembangan
seleksi kelompok untuk tanaman toleran

Adaptabilitas vs adoptabilitas

Adoptabilitas adalah istilah proses menuju proses mental yang mana bermula pada kesadaran
ide baru dan kemudian memutuskan bagaimana membuat penggunaan ide baru tersebut secara
penuh (Cedamon, Nuberg, Pandit, & Shrestha, 2017).

Sepanjang sejarah silvikulturis telah berjuang untuk mempertimbangkan manfaat dan biaya
pada penerapan praktek dan mengembangkan alat khusus untuk kondisi lokal

1. Silvikulturis berpengalaman jika dihadapkan dengan kondisi lingkungan yang baru


2. Silvikulturis yang telah sukses mengembangkan praktek lokal yang yakin akan temuan
mereka sehingga diberlakukan secara luas.

Kegagalan silvikulturis banyak dikarenakan kurangnya pemahaman ilmiah tentang pentingnya


adaptabilitas lahannya sehingga fenomena ini hanya sebagai ajang promosi diri untuk
pengakuan regional

Ketika metodenya diaplikasikan, maka akan cepat hilang karena metodenya kurang tepat.
Contohnya pemotongan untuk shelterwood yang sebenanya khawatir akan windthrow dan salju
sehingga mengabaikan kondisi ekologi
Integrasi kemajuan ilmiah dalam ajaran silvikultur

Silvikultur pada dasarnya merupakan bidang integratif yang mensintesis informasi dari disiplin
ilmu lainnya. Dengan demikian silvikultur sangat dipengaruhi kemajuan ilmu yang terintegrasi
olehnya.

Pada kedua bahasa inggris dan jerman, silvikultur mengacu pada ilmu pertanian dan pada abad
19 silvikultur telah lebih menekankan pada inventarisasi dan perencanaan dikarenakan
pertimbangan ekologi

Abad 20 buku mengenai silvikultur mulai dibuat sampai pertengahan abad 20. Pandangan
mengenai hutan sebagai ekosistem dan interelasi dari komponen ekologi telah terintegrasi pada
literatur silvikulter. Hingga akhirnya pandangan eco-sentris mulai terbentuk pada beberapa
pemilik lahan hingga akhirnya pergerakan eco-sentris eropa

Praktek pengelolaan yang fokus pada ekosistem menjadi serius di Eropa tengah, seperti Etensi
Panen dimana pohon-pohon besar yang masih hidup atau sudah mati hingga log di tanah harus
dipertahankan setelah panen sebagai warisan biologi

Kesimpulan

Pada hampir dari semua kasus, silvikulturis diharapkan mampu menyediakan nilai yang dicari-
cari pada semua level yang mampu melestarikan lahan. Ini membutuhkan pengertian mengenai
bagaimana lingkungan hidup mempengaruhi struktur, komposisi, pembangunan dan
pengembangan pohon dan komunitas hutan. Mereka harus mengharai besarnya respon dari
faktor fisik dan biologi lingkungan yang menghasilkan perbedaan jenis dari gangguan dan
pemeliharaan. Mereka harus mengenali opsi lain yang akan membuktikan faktor ekologi yang
cocok dalam waktu yang lama. Dan mereka harus belajar bagaimana mengidentifikasi
salahsatu kondisi yang akan menjadi pilihan terbaik bagi pemilik lahan.

Untuk mendukung itu semua, silvikulturis telah meneliti secara detil ekologi hutan atau cabang
dari ilmu tersebut yang dikenal dengan silvika. Silvika mencakup pada karakteristik biologi
dari salah satu ndividu pohon dan komunitas pohon tersebut. Ilmu ini juga mencakup
bagaimana tumbuhan tumbuh dan bereproduksi dan cara bagaimana lingkungan dapat
mempengaruhi karakter dan fisiologinya. Lebih jauh ilmu ini menginvestigasi bagaimana
komunitas pohon dapat di modifikasi lingkungan fisiknya yang dapat mensupport pohon
tersebut untuk tetap hidup (manipulasi lingkungan). Dan studi yang tidak pernah berhenti
mengenai interaksi antara vegetasi dan lingkungan sebagai pembangunan hutan dan perubahan
waktu. Pada umumnya, silvika mengartikan pengetahuan ilmiah menjadi informasi praktikal
mengenai habitat atau tapak yang dibutuhkan untuk pembangunan tegakan hutan dan meliputi
spesies pohon yang berbeda

Sebagai sebuah gabuan antara ilmu dan seni, silvikulture tergantung pada kombinasi dari
pengetahuan dan pendapat. Itu meliputi metode dalam mengatasi tegakan hutan dari pandakan
silvika dan ekologi hutan serta dimodifikasi dengan faktor ekonomi. Pengertian tersebut
meliputi finansial, institusional dan konsentrasi sosial. Untuk melakukan ini silvikulturis
menelti informasi dan teknik dari berbagai sumber ilmu untuk menolong mereka menjadi lebih
baik dalam mengidentifikasi dan mengevaluasi pilihan untuk management pengelolaan. Dan
untuk memperkirakan pendapatan yang akan dihasilkan pada perlakuan silvikultur tersebut.
Diartikan sebagai aplikasi pengelolaan dari ilmu, ekonomi dan sosial untuk administrasi dan
pekerjaan hutan untuk tujuan tertentu. Pada bagian dari perhatian integrasi biologi dan ekologi
silvikultur dengan pertimbangan pada aturan, hukum administrasi, bisnis dan finansial.

Dalam kedua hal yakni Management hutan dan silvikultur, para pengelola dan expert
memainkan peranan penting ketika memanipulasi karakter dan kondisi dari semua asek hutan.
Dan bagaimana menediakan hasil ekonomi terbaik dan perhatian ekologis (Nyland, 2002).
REFERENSI

Alonso Ponce, R., Roig Gmez, S., Bravo-Fernndez, A., del Ro, M., Montero, G., &
Pardos, M. (2016). Dynamics of ecosystem services in Pinus sylvestris stands under
different managements and site quality classes. European Journal of Forest Research,
Under 3rd(MacDicken 2015). https://doi.org/10.1007/s10342-016-1021-4

Brgi, M. (1999). A case study of forest change in Swiss lowlands. Landscape Ecology, 14,
567575.

Carter, D. R., Seymour, R. S., Fraver, S., & Weiskittel, A. (2017). Reserve tree mortality in
two expanding-gap silvicultural systems 20years after establishment in the Acadian
forest of Maine, USA. Forest Ecology and Management, 389, 149157.
https://doi.org/10.1016/j.foreco.2016.12.031

Cedamon, E., Nuberg, I., Pandit, B. H., & Shrestha, K. K. (2017). Adaptation factors and
futures of agroforestry systems in Nepal. Agroforestry Systems.
https://doi.org/10.1007/s10457-017-0090-9

de Simon, G., Alberti, G., Delle Vedove, G., Zerbi, G., & Peressotti, A. (2012). Carbon
stocks and net ecosystem production changes with time in two Italian forest
chronosequences. European Journal of Forest Research, 131(5), 12971311.
https://doi.org/10.1007/s10342-012-0599-4

Ferraz Filho, A. C., Scolforo, J. R. S., & Mola-Yudego, B. (2014). The coppice-with-
standards silvicultural system as applied to Eucalyptus plantations - a review. Journal of
Forestry Research, 25(2), 237248. https://doi.org/10.1007/s11676-014-0455-0

Haffer, J. (2001). Ornithological research traditions in central Europe during the 19th and
20th centuries. Journal Fur Ornithologie, 142, 2793.
https://doi.org/10.1007/BF01651446

Klopcic, M., & Boncina, A. (2010). Patterns of tree growth in a single tree selection silver fir-
European beech forest. Journal of Forest Research, 15(1), 2130.
https://doi.org/10.1007/s10310-009-0157-1

Koch, N., & Skovsgaard, J. P. (1999). Sustainable management of planted forests: some
comparisons between Central Europe and the United States. New Forests, 17, 1122.
https://doi.org/10.1023/a:1006520809425
Lafond, V., Cordonnier, T., & Courbaud, B. (2015). Reconciling Biodiversity Conservation
and Timber Production in Mixed Uneven-Aged Mountain Forests: Identification of
Ecological Intensification Pathways. Environmental Management, 56(5), 11181133.
https://doi.org/10.1007/s00267-015-0557-2

Man, R., & Greenway, K. J. (2011). Effects of artificial shade on early performance of white
spruce seedlings planted on clearcuts. New Forests, 41(2), 221233.
https://doi.org/10.1007/s11056-010-9223-y

McNeely, J. a. (1994). Lessons from the past: forests and biodiversity. Biodiversity and
Conservation, 3(1), 320. https://doi.org/10.1007/BF00115329

Nyland, R.D. 2002. Silviculture: Concepts and applications, 2nd edition. New York:
McGrawHill.

Powers, R. F. (1999). On the sustainable productivity of planted forests. New Forests,


17(Hermann 1976), 263306. https://doi.org/10.1023/a:1006555219130

Pretzsch, H., & Schtze, G. (2016). Effect of tree species mixing on the size structure,
density, and yield of forest stands. European Journal of Forest Research, 135(1), 122.
https://doi.org/10.1007/s10342-015-0913-z

Puettmann, K. J., Wilson, S. M., Baker, S. C., Donoso, P. J., Drssler, L., Amente, G.,
Bauhus, J. (2015). Silvicultural alternatives to conventional even-aged forest
management - what limits global adoption? Forest Ecosystems, 2(1), 8.
https://doi.org/10.1186/s40663-015-0031-x

Redon, M., Berg??s, L., Cordonnier, T., & Luque, S. (2014). Effects of increasing landscape
heterogeneity on local plant species richness: how much is enough? Landscape Ecology,
29(5), 773787. https://doi.org/10.1007/s10980-014-0027-x

Rysin, L. P., Savel'eva, L. I., & Rysin, S. L. (2004). Forest monitoring in urbanized
areas. Russian Journal of Ecology, 35(4), 209213.
https://doi.org/10.1023/B:RUSE.0000033787.32574.dd

Turnock, D. (2001). Environmental problems and policies in East Central Europe: A


changing agenda. GeoJournal, 55(2/4), 485505. https://doi.org/10.2307/41147645
Van Itterbeeck, J., & van Huis, A. (2012). Environmental manipulation for edible insect
procurement: a historical perspective. Journal of Ethnobiology and Ethnomedicine, 8(3),
17. https://doi.org/10.1186/1746-4269-8-3

Wu, L., Deng, Y., Watanabe, S., Takakazu, S., Qin, J., Zhong, J., & Zhang, J. (2013). Early
response of stand structure and species diversity to strip-clearcut in a subtropical
evergreen broad-leaved forest in Okinawa Island, Japan. New Forests, 44(3), 427442.
https://doi.org/10.1007/s11056-012-9353-5

Zenner, E. K., Sagheb-Talebi, K., Akhavan, R., & Peck, J. L. E. (2015). Integration of small-
scale canopy dynamics smoothes live-tree structural complexity across development
stages in old-growth Oriental beech (Fagus orientalis Lipsky) forests at the multi-gap
scale. Forest Ecology and Management, 335, 2636.
https://doi.org/10.1016/j.foreco.2014.09.023

Anda mungkin juga menyukai