Anda di halaman 1dari 22

Mata kuliah :

AGROFORESTRI

PROGRAM STUDI KEHUTANAN


FAK. PERTANIAN UNSRAT
Semester ganjil 2021/2022
PERTEMUAN KE-1

PENDAHULUAN:
MASALAH-MASALAH DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA
ALAM LINGKUNGAN PADA KAWASAN HUTAN DAN PERTANIAN
A. Sejarah dan Perkembangan Agroforestri

1. Fase Agroforestri Klasik


2. Pra-agroforestri Modern
3. Agroforestri Modern

Ad. 1. Fase Agroforestri Klasik:


 Dari Nomaden berubah menetap: sistem praktek tebas-bakar atau
perladangan berpindah (7000 SM), sistem hutan kebun, & kebun
pekarangan oleh masyarakat tradisional. Dimulai dari tanaman
tumbuh spontan dari biji-biji yang dibuang di lahan pertanian
sekitar tempat tinggal atau mempertahankan/ memelihara pohon-
pohon dan permudaan yang sudah ada. Perkembangan
selanjutnya dilakukan budidaya penanaman.
Ad. 2. Pra-agroforestri modern:
Akhir abad XIX, hutan tanaman (pepohonan sengaja ditanam - man-made
forest) menjadi tujuan utama. “Agroforestri” dipraktekkan sebagai sistem
pengelolaan lahan

Pada pertengahan 1800-an dimulai penanaman jati (Tectona grandis -


Verbenaceae) di sebuah daerah di Birma oleh Sir Dietrich Brandis (seorang
rimbawan Jerman yang bekerja untuk Kerajaan Inggris). Penanaman jati
dilakukan melalui sistem “Taungya” (Taung = bukit; ya = budidaya), diselang-
seling atau dikombinasikan dengan tanaman pertanian (tanaman pangan
semusim).
Kelebihan dari sistem ini bukan saja dapat menghasilkan bahan pangan, tetapi
juga dapat mengurangi biaya pembangunan dan pengelolaan hutan tanaman
yang memang sangat mahal. Kesuksesan sistem ini mendorong
penyebarannya semakin luas, tidak saja ke seluruh Birma (1867), akan tetapi
juga ke daerah-daerah jajahan Inggris lainnya, a.l. Afrika Selatan (1887), India
(1890) dan Bangladesh (1896) (King, 1987; Lowe, 1987; MacDicken dan
Vergara, 1990). Sistem taungya diperkenalkan untuk pertama kalinya di
Indonesia oleh Pemerintah Kolonial Belanda dalam rangka pengelolaan hutan
jati juga sekitar akhir abad XIX. Selanjutnya taungya dikenal di Indonesia
sebagai sistem tumpangsari. Banyak ahli yang berpendapat bahwa sistem
taungya adalah cikal bakal agroforestri modern.
Banyak ahli berpendapat bahwa Sistem Taungya adalah cikal bakal
sistem agroforestri modern., namun masih terdapat beberapa hal yang
masih dianggap kurang, yaitu a.l:
-AF klasik/tradisional sifatnya lebih polikultur & lebih besar manfaat utk
masyarakat dibandingkan AF modern; AF modern lebih fokus pd
kombinasi tanaman keras/pohon komersial dengan tanaman sela
terpilih. AF modern keragaman kombinasi berkurang dari pohon
bermanfaat atau satwa liar yang menjadi bagian terpadu dalam sistem
tradisional
-Hanya sedikit, bahkan tidak ada perhatian terhadap komponen
pertanian, petani ataupun produk-produknya. Sistem taungya memang
dirancang melulu untu kehutanan saja. Masyarakat setempat
dieksploitasi utk kepentingan kehutanan/kayunya.
-‘Kesuksesan’ sistem taungya karena masyarakat “lapar tanah” (akibat
keterbatasan penguasaan lahan dalam kondisi jumlah penduduk
padat). Keikutsertaan masyarakat lebih banyak disebabkan
keterpaksaan, bukan keuntungan yang dapat diperolehnya
-Pembangunan hutan lebih penting daripada konservasi tanah..
Pd waktu itu, ada 4 (empat) pertimbangan dalam kaitannya dengan
kelemahan taungya tersebut:
1.Hutan negara dianggap tidak bisa diganggu gugat.
2.Ancaman/gangguan terhadap kawasan hutan sebagian besar
dianggap berasal dari para petani, khususnya melalui praktek
perladangan berpindah.
3.Ada anggapan bahwa lebih menguntungkan mengganti hutan-hutan
alam yang terlantar atau yang kurang menghasilkan dengan hutan
tanaman.
4.Pembangunan hutan tanaman merupakan niaga yang mahal,
khususnya karena masa pemeliharaan yang lama.

Ad. 2. Agroforestri modern:


-Awal tahun 70-an, revolusi hijau bisa dicapai , tapi sebagian besar
petani tidak cukup modal untuk berpartisipasi karena besarnya biaya
faktor-faktor produksi dan status kepemilikan lahan petani yang belum
pasti.
-Berkurangnya luas hutan karena bertambahnya penduduk
Kedua hal tersebut mendorong Bank Dunia (World Bank)
menggalakkan Program-program Perhutanan Sosial untuk peningkatan
produksi pangan dan konservasi lingkungan tanpa mengabaikan pihak
kehutanan berproduksi dan memanfaatkan kayu.
-Perubahan kebijakan FAO pada Kongres Kehutanan Sedunia ke-8 di
Jakarta (1978), tema poko “Forest for People” dan penetapan
Kelompok Diskusi Khusus “Forestry for Rural Communities”
-Tumbuhnya agroforestri modern tidak lepas dari studi yang dibiayai
oleh International Development Research Centre (IDRC) Canada
dengan hasil studi berjudul “Trees, Food, and People: Land
Management in the Tropics” (Hutan, bahan pangan, dan masyarakat:
Pengelolaan Lahan di wilayah Tropis). Dala laporan, telah
direkomendasikan pentingnya peneltian-penelitian Agroforestri.
-Tahun 1977 dibentuk badan internasional yang menangani peneltian
agroforestri yang bernama ICRAF (International Council for Research
in Agroforestry) yang mulanya berpusat di Royal Tropical Institute,
Amsterdam sebelum pindah ke Nairobi (1978).
-Tahun 1990, ICRAF menjadi International Centre for Research in
Agroforestry.. Awal Agustus 2002 menjadi World Agroforestry Centre.
Agrofrestry dikembangkan dari hubungan antara pertanian dan kehutanan
sbg respon terhadap kebutuhan manusia dan kondisi lingkungan:
Permasalahan pengelolaan sumberdaya alam lingkungan di kawasan hutan dan
pertanian muncul dari kegiatan-kegiatan kehutanan dan pertanian, seperti:
reboisasi, alih fungsi lahan (perkebunan), pengelolaan alam, tanaman semusim,
makanan ternak tahunan, ternak, dll. Berbagai kegiatan tersebut memunculkan
kendala-kendala:
-Pertanian subsisten
-Kekurangan, makan ternak, kayu bakar, dan kayu kecil
- tanah-tanah terdegradasi
-Pemilikan lahan
-Modal kecil/rendah dan tenaga kerja tinggi/banyak

AGROFORESTRI:
-Penanaman pohon untuk reklamasi lahan terdegradasi
-Agroforestri zone penyangga
-Lahan berhutan yang berisikan pohon-pohon multi fungsi/guna
-Hutan kebun
-Sistem-sistem terpadu dengan “ pohon-pohon non-kehutanan” (pekarangan,
perkebunan)
-Tanaman tahunan berkayu (pohon pagar, pohon kayu bakar, pohon batas)
AGROFORESTRI, salah satu solusi untuk:
• memperbaiki dan meningkatkan produksi pertanian &
kehutanan
• memperbaiki dan meningkatkan efisiensi penggunaan tenaga
kerja dan sumberdaya.
• proteksi dan perbaikan tanah dan sumber-sumber air.
• meningkatkan efisiensi penggunaan lahan.
• menurunkan biaya penanaman pohon melalui produksi
pertanian jangka pendek.
• Menyediakan naungan bagi tanaman pertanian yang
membutuhkannya (toleran).
• produksi jangka menengah dan panjang dari buah-buahan.
• produksi jangka panjang dari pohon (kayu bakar, pertukangan,
dll).
• Meningkatkan produksi total untuk dimakan dan dijual
Kebanyakan, Sistem Agroforestri memiliki 3 (tiga) Atribut:

1.Produktivitas. AF bertujuan untuk memelihara atau meningkatkan


produksi ( berkaitan dengan komoditi) serta produktivitas (lahan). AF
memperbaiki produktivitas dengan berbagai cara. Meningkatkan output
produk-produk pohon, memperbaiki hasil tanaman semusim yang
berasosiasi, mengurangi input sistem tanaman pertanian, dan
meningkatkan efisiensi tenaga kerja
2.Sustainibilitas. Dengan mengkonservasi produksi berbasis
sumberdaya potensial, terutama melalui pengeruah=pengaruh
menguntungkan tanaman tahunan terhadap tanah, agroforestri dapat
memelihara konservasi dan kesuburan secara berkelanjutan.
3.Adoptabilitas. Kata “adopt”, berarti “accept”, berbeda dengan kata
“modify” atau “change”. AF adalah istilah/kata baru untuk praktek lama, AF
telah diterima oleh petani. Implikasinya adalah perbaikan atau introduksi
teknologi baru harus sesuai dengan praktek-praktek petani.
 AGROFORESTRY is a collective name for land-use systems and
technologies where woody perrenials (trees, shrubs, palms,
bamboos, etc.) are deliberately used on the same land-
management units as agricultural crops and/or animals, in some
form of spatial arrangement or temporal sequence. In Agroforestry
systems there are both ecological and economical interactions
between the different components (Lundgren and Raintree, 1982)

- terdiri dari dua atau lebih jenis tanaman (atau tanaman


dan hewan)
- selalu memiliki dua atau lebih ouput
- siklusnya selalu lebih dari satu tahun
- secara ekologi dan ekonomi lebih kompleks daripada
monokultur
Menurut Lundgren (1982), definisi agroforestri seyogyanya menitikberatkan
dua karakter pokok yang umum dipakai pada seluruh bentuk agroforestri yang
membedakan dengan sistem penggunaan lahan lainnya:

1)Adanya pengkombinasian yang terencana/disengaja dalam satu bidang lahan


antara tumbuhan berkayu (pepohonan), tanaman pertanian dan/atau
ternak/hewan baik secara bersamaan (pembagian ruang) ataupun bergiliran
(bergantian waktu);

2)Ada interaksi ekologis dan/atau ekonomis yang nyata/jelas, baik positif


dan/atau negatif antara komponen-komponen sistem yang berkayu maupun
tidak berkayu.
Beberapa istilah yang sebelumnya
dicampuradukkan dengan agroforestri:
Perhutanan Sosial (Social Forestry):
Upaya/kebijakan kehutanan yang ditujukan untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat di sekita hutan. Produk utama berupa kayu
dan non-kayu. Dalam prakteknya dapat berupa pembangunan hutan
tanaman (man-made forest) atau penanaman pohon pada lahan milik
masyarakat yang dimanfaatkan bagi industri besar.

Hutan Kemasyarakatan (Community-Forestry) dan Hutan Rakyat


(Farm-Forestry)
Dua istilah ini merupakan bagian dari perhutanan sosial (social-
forestry). Hutan kemasyarakatan (community forestry) adalah hutan
yang perencanaan, pembangunan, pengelolaan, dan pemungutan
hasil hutan serta pemasarannya dilakukan sendiri oleh masyarakat
yang tinggal di sekitar hutan. Pelaksanaannya dapat dibantu pihak
kehutanan, tapi utamanya keuntungan bagi masyarakat bukan individu.
Hutan rakyat (farm-forestry) adalah hutan di mana petani/pemilik
lahan menanam pepohonan di lahannya sendiri. Mereka biasanya
telah mengikuti pendidikan, latihan dan penyuluhan kehutanan
ataupun memperoleh bantuan untuk kegiatan kehutanan.

Hutan Serba-Guna (Multiple Use Forestry)


Hutan serba-guna adalah praktek kehutanan yang mempunyai dua
atau lebih tujuan pengelolaan, meliputi produksi, jasa atau
keuntungan lainnya. Dalam penerapan dan pelaksanaannya bisa
menyertakan tanaman pertanian atau kegiatan peternakan.
Walaupun demikian hutan serba guna tetap merupakan kehutanan
(dalam arti penekanannya pada aspek pohon, hasil hutan dan lahan
hutan), dan bukan merupakan bentuk pemanfaatan lahan terpadu
sebagaimana agroforestri yang secara terencana diarahkan pada
pengkombinasian kehutanan dan pertanian untuk mencapai
beberapa tujuan yang terkait dengan degradasi lingkungan serta
problema masyarakat di pedesaan.
Forest Farming
Istilah Forest farming sebenarnya mirip dengan multiple use forestry, yang
digunakan untuk upaya peningkatan produksi lahan hutan, yaitu tidak melulu
produk kayu, tetapi juga mencakup berbagai bahan pangan dan hijauan.
Praktek ini juga sering disebut “Dreidimensionale Forstwirtschaft" atau
kehutanan dengan tiga dimensi. Di Amerika, istilah forest farming digunakan
untuk menyatakan upaya pembangunan hutan tanaman oleh petani-petani kecil

Ecofarming
Ecofarming adalah bentuk budidaya pertanian yang mengusahakan sedapat
mungkin tercapainya keharmonisan dengan lingkungannya. Dalam hal tertentu
dalam ecofarming bisa saja memasukkan komponen pepohonan atau
tumbuhan berkayu lainnya sehingga dapat disebut agroforestri. Dalam eco-
farming tidak selalu dijumpai unsur kehutanan dalam kombinasinya, sehingga
dalam hal ini ecofarming merupakan kegiatan pertanian.
Tujuan AGROFORESTRI

Produksi Proteksi / Jasa lingkungan:


(pertanian, kehutanan): Erosi tanah
Jangka pendek Windbreak
Jangka menengah Shelterbelt
Jangka panjang Sumber air, dll
Beberapa masalah (ekologi dan ekonomi) berikut menjadi mandat agroforestri
dalam pemecahannya:
1)Menjamin dan memperbaiki kebutuhan bahan pangan:
• Meningkatkan persediaan pangan baik tahunan atau tiap-tiap musim; perbaikan
kualitas nutrisi, pemasaran, dan proses-proses dalam agroindustri.
• Diversifikasi produk dan pengurangan risiko gagal panen.
• Keterjaminan bahan pangan secara berkesinambungan.
2) Memperbaiki penyediaan energi lokal, khususnya produksi kayu bakar:
Suplai yang lebih baik untuk memasak dan pemanasan rumah (catatan: yang
terakhir ini terutama di daerah pegunungan atau berhawa dingin).
3)Meningkatkan, memperbaiki secara kualitatif dan diversifikasi produksi bahan
mentah kehutanan maupun pertanian:
•Pemanfaatan berbagai jenis pohon & perdu, khususnya untuk produk2 subtitusi
ketergantungan dari luar (misal: zat pewarna, serat, obat-obatan, zat perekat, dll.)
atau yang mungkin dijual agar dapat pendapatan tunai.
•Diversifikasi produk
4) Memperbaiki kualitas hidup daerah pedesaan, khususnya pada daerah
dengan persyaratan hidup yang sulit di mana masyarakat miskin banyak
dijumpai:
• Mengusahakan peningkatan pendapatan, ketersediaan pekerjaan yang
menarik.
• Mempertahankan orang-orang muda di pedesaan, struktur keluarga
yang tradisional, pemukiman, pengaturan pemilikan lahan.
• Memelihara nilai-nilai budaya.

5) Memelihara dan bila mungkin memperbaiki kemampuan produksi dan


jasa lingkungan setempat:
• Mencegah terjadinya erosi tanah, degradasi lingkungan.
• Perlindungan keanekaragaman hayati.
• Perbaikan tanah melalui fungsi ‘pompa’ pohon dan perdu, mulsa dan
perdu.
• Shelterbelt, pohon pelindung (shade trees), windbrake, pagar hidup (life
fence).
• Pengelolaan sumber air secara lebih baik
Mandat agroforestri dapat dicapai dengan mengoptimalkan interaksi
positif antar komponen penyusunnya. Beberapa keunggulan
agroforestri dibandingkan sistem penggunaan lahan lainnya:

1.Produktivitas (Productivity): produk total sistem campuran dalam


agroforestri jauh lebih tinggi dibandingkan monokultur. Hal tersebut
karena keluaran (output) dari satu bidang lahan yang beragam dan
outputnya merata sepanjang tahun. Keuntungan tanaman campuran:
kegagalan satu komponen/jenis tanaman akan dapat ditutup oleh
keberhasilan komponen/jenis tanaman lainnya.

2.Diversitas (Diversity): Adanya pengkombinasian dua komponen atau


lebih daripada sistem agroforestri menghasilkan diversitas yang tinggi,
baik menyangkut produk maupun jasa. Dengan demikian dari segi
ekonomi dapat mengurangi risiko kerugian akibat fluktuasi harga pasar.
Sedangkan dari segi ekologi dapat menghindarkan kegagalan fatal
pemanen sebagaimana dapat terjadi pada budidaya tunggal (monokultur).
3. Kemandirian (Self-regulation): Diversifikasi yang tinggi dalam
agroforestri diharapkan mampu memenuhi kebutuhan pokok
masyarakat dan petani kecil, serta sekaligus melepaskannya dari
ketergantungan terhadap produk-produk luar. Berfungsinya
kemandirian sistem untuk akan lebih baik dalam arti tidak
memerlukan banyak input dari luar (a.l. pupuk, pestisida), dengan
diversitas yang lebih tinggi daripada sistem monokultur

3. Stabilitas (Stability): Praktek agroforestri yang memiliki


diversitas dan produktivitas yang optimal mampu memberikan
hasil yang seimbang sepanjang pengusahaan lahan, sehingga
dapat menjamin stabilitas (dan kesinambungan) pendapatan
petani.

semuelratag@unsrat.ac.id
semuelratag@gmail.com

Tugas: 1. Cari definisi-definisi AF lainnya dan 2. rumuskan sendiri


definisi AF menurut pengertian anda.
TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai