Anda di halaman 1dari 15

TUGAS UJIAN AKHIR SEMESTER

AGROFORESTRI

“PENGEMBANGAN AGROFORESTRI DI WANAGAMA DENGAN


PRODUK UNGGUL”

Disusun Oleh :

Nama : Gina Kismunisya Putri

NIM : 18/4301313/KT/08820

FAKULTAS KEHUTANAN

UNIVERSITAS GADJAH MADA

YOGYAKARTA

2019
PENGEMBANGAN AGROFORESTRI DI WANAGAMA
DENGAN PRODUK UNGGUL

Agroforestry merupakan sistem penggunaan lahan secara terpadu yang mengombinasikan


pepohonan dengan tanaman pertanian dan/atau ternak (hewan) yang dilakukan baik secara
bersama-sama atau bergilir dengan tujuan untuk menghasilkan dari penggunaan lahan yang
optimal dan berkelanjutan (Sardjono dkk, 2003) Agroforestri berawal dari perubahan budaya
sekitar tahun 7000 SM dari berburu dan mengumpulkan makanan menjadi bercocok tanam dan
beternak. Kemudian pada abad XIX pembangunan hutan tanaman menjadi tujuan utama. Pada
tahun 80-an mulailah dilakukan penanaman jati dengan sistem taungya (Sundawati dkk, 2003).
Perubahan budaya dalam mendapatkan makanan sehari-hari menjadikan perubahan paradigma
pangan pada masa itu. Bercocok tanam menjadi alternatif dari sumber makanan selain berburu.
Berburu yang sangat mendominan tidak bisa di tentukan keberlanjutannya menjadi problematik
untuk kebutuhan pangan harian. Bercocok tanam hadir sebagai wujud perkembangan pola hidup
manusia. Di titik inilah masyarakat mengenal beberapa komoditas yang dapat dikonsumsi hasil
uji coba tanaman liar di hutan. Perkembangan terus betrlanjut hingga manusia telah dapat
menanam sendiri dengan membuka atau memanfaatkan lahan hutan di area teritorial masing-
masing.
Sistem ini menjadi jawaban bagi solusi pemanfaatan lahan secara lebih efisien. Ketiga
instrumen tersebut sejatinya dapat berjalan dengan harmonis. Dinamika kehidupan makhluk
hidup yang natural berjalan untuk saling menjadi penyangga kehidupan. Namun seiring dengan
perkembangan zaman, sistem tersebut lebih di kenal menjadi solusi problematika lahan dengan
produktivitas rendah.
Menurut Anggraeni (2002) Agroforestri memiliki beberapa komponen penyusun yakni
bidang kehutanan, pertanian, perikanan, dan peternakan. Komponen penyusun tersebut dapat di
kombinasikan sesuai dengan keinginan si pemilik lahan dan keadaan lingkungan di sekitar lahan
Beberapa jenis agroforestry berdasarkan komponen penyususn ada 4 macam yakni :
1. Agroforestri (Kombinasi antara bidang kehutanan dan pertanian)
2. Silvopastural (Kombinasi antara bidang kehutanan dan peternakan)
3. Silvofishery (Kombinasi antara bidang kehutanan dan perikanan)
4. Agrosilvipastrural (Kombinasi antara bidang kehutanan, pertanian, dan peternakan.)

Menurut Kusumedi (2005) Jenis jenis diatas juga dikembangkan melalui berbagai tipe
pengaplikasian agroforestry.Tipe pengaplikasian agroforestry ini dibagi menadi 4 macam yakni :
1. Trees along border
Dimana lahan yang digunakan memiliki komponen penyusun berupa tanaman pertanian,
kehutanan, maupun peternakan. Pola tanam yang digunakan adalah dengan menanam tanaman
kehutanan yang dominan pohon di bagian tepi lahan sebagai pagar. Sedangkan lahan dibagian
tengah dijadikan sebagai bidang olah untk tanaman pertanian maupun peternakan.
2. Alley cropping
Adalah pola agroforestry dimana lahan dibuat seperti lorong dengan pola pohon sebanyak
minimal 2 kolom dan bidang olah dibuat memanjang seperti lorong.
3. Alternate rows
Adalah pola agroforestry dimana lahan dibuat berselang seling antara pohon dan tanaman
pertanian.
4. Random mixture
Adalah pola agroforestri dimana pohon dan tanaman pertanian ditanam secara random
dalam satu lahan

Produksi total diharapkan bisa ditingkatkan melalui pencampuran berbagai jenis pola
tanam agroforestry. Selain itu, pencampuran pohon dengan tanaman semusim seperti tanaman
pangan, buah dan obat adalah upaya petani dalam menyiasati kebutuhan sehari-hari. Namun
kenyataannya tidak semua kombinasi jenis tanaman pada agroforestry bisa bersinergi
menghasilkan total produksi, seperti disinyalir Sanchez (1995) bahwa seringkali hasil dari hasil
nyata agroforestry tidak meningkat, malah menurun. Sehubungan dengan masalah tersebut,
campuran berbagai jenis pada pola tanam agroforestry yang saat ini dikembangkan masyarakat
perlu dikaji sinergisitasnya dan dievaluasi nilai ekonominya, agar tersedia informasi campuran
berbagai jenis tanaman yang paling layak dikembangkan pada wilayah tertentu. Selanjutnya,
kombinasi berbagai jenis tanaman pada pola agroforestry tersebut diharapkan bisa menjadi
model yang bisa diadopsi oleh masyarakat. (Achmad, 2014).
Menurut Hairiah, 2003 keunggulan sosial budaya yaitu keunggulan agroforestri yang
berhubungan dengan kesesuaian (adoptibility) yang tinggi dengan kondisi pengetahuan,
ketrampilan dan sikap budaya masyarakat petani. Hal ini karena agroforestri memiliki:
1. Teknologi yang fleksibel, dapat dilaksanakan mulai dari sangat intensif untuk
masyarakat yang sudah maju, sampai kurang intensif untuk masyarakat yang masih
tradisional dan subsisten
2. Kebutuhan input, proses pengelolaan sampai jenis hasil agroforestri umumnya sudah
sangat dikenal dan biasa dipergunakan oleh masyarakat setempat
3. Filosofi budidaya yang efisien, yakni memperoleh hasil yang relatif besar dengan
biaya atau pengorbanan yang relatif kecil.
Keunggulan politis, agroforestri dapat memenuhi hasrat politik masyarakat luas dan
kepentingan bangsa secara keseluruhan, yakni:
1. Agroforestri dapat dan sangat cocok dilakukan oleh masyarakat luas, adanya
pemerataan kesempatan usaha, serta menciptakan struktur supply yang lebih
kompetitif
2. Dapat meredakan ketegangan atau konflik politik, yang selama ini terus memanas
akibat ketimpangan peran antar golongan dan ketidakadilan ekonomi.
3. Kepercayaan yang diberikan masyarakat akan direspon dengan ‘rasa memiliki’ dan
menjaga sumber daya hutan/lahan yang memberi manfaat.

Agroforestry yang banyak berkembang di wanagama adalah agrosilvopastural.


Agroforestri jenis ini merupakan kombinasi antara tanaman kehutanan,pertanian,dan peternakan.
Agroforestri berkembang di Wanagama sebagai kesuksesan dari bersatunya hutan dengan
masyarakat sekitar. Hal itu terjadi karena masyarakat dapan mencari penghasilan di dalam hutan.
Selain itu, masyarakat juga dapat memanfaatkan lahan yang tidak digunakan dibawah tegakan.
Di Wanagama sendiri tanaman kehutanan yang ditanam berupa jati, akasia, kupu-kupu, mahoni,
dan gmelina. Tanaman pertanian berupa jagung,kacang, dan singkong. Serta tanaman peternakan
berupa rumput gajah, lamtoro, dan kolonjono. Pola yang banyak dikembangkan di lahan
Wanagama adalah trees along border dan alley cropping. Pola ini banyak digunakan karena
dianggap paling efektif dalam produktivitas lahan untuk memenuhi kebutuhan pangan.
Hutan Wanagama I dinilai sebagai salah satu contoh suksesi hutan hasil rehabilitasi lahan
kritis di Indonesia. Awalnya, Wanagama merupakan bukit gundul yang gersang dan tandus.
Fakultas Kehutanan UGM mulai masuk pada tahun 1964 dengan menanam berbagai jenis pohon
pada lahan seluas 10 ha. Murbei (Morus alba) merupakan jenis tanaman yang dikembangkan
pertama kali bersama masyarakat sekitar untuk usaha ulat sutera. Usaha tersebut membuahkan
hasil dan mendapat perhatian serius dari Direktorat Kehutanan sebagai pemilik lahan. Lahan
penghijauan diperluas menjadi 79,9 ha dan diserahkan sepenuhnya kepada Fakultas Kehutanan
UGM tahun 1967. Penghijauan terus diperluas hingga tertanam lebih dari 169 jenis tumbuhan
yang terbagi 9 petak dan 65 blok tanaman dalam lahan seluas 600 ha (Anonim, 1988). Saat ini
Wanagama I telah memiliki luas sekita 600an hektare. Keberhasilan dari rehabilitasi lahan ini
menjadi rujukan bagi lahan kritis di dunia. Wanagama sendiri dibangun dengan 3 pendekatan
yaitu fisik, biologi, kimia dan sosial ekonomi. Dengan keterkaitan keempatnya kompleksitivas
dari kehadiran Wanagama sangat dirasakan banyak elemen masyarakat.

Keadaan topografi di Wanagama sebagian besar terdiri dari batuan bertanah. Sehingga
tanah di Wanagama tanahnya masih tergolong muda yang disebut entisol. Jenis tanah yang ada
di Wanagama yang merupakan bagian dari tanah entisol adalah tanah litosol. Tanah Litosol
merupakan jenis tanah yang relatif masih muda. Solum tanah Litosol umumnya dangkal (<10
cm) dan berada diatas batuan induk (Darmawijaya ,1996) Menurut Sarief (1986) produktivitas
tanah Litosol tergolong rendah, yang dikarenakan sifat fisik, kimia, dan biologi tanahnya jelek.
Oleh karena itu dibutuhkan tanaman yang mudah tumbuh dan dapat membantu pembentukan
tanah, sehingga diharapkan meningkatkan kedalaman solum tanah dan produktifitas tanah itu
sendiri. Solum tanah yang tipis menjadi permasalahan utama pada awal pembangunan
Wanagama. Untuk itu diperlukan suksesi menggunakan tanaman legum sebagai pioneer yang
dapat mengikat nitrogen bebas sebagai sumber makanan. Kemudian biomassa bertambah seiring
dengan peningkatan seresah di lantai hutan.
Komposisi dan struktur vegetasi tiap petak Hutan Wanagama I sangat beragam sesuai
dengan sistem pengelolaan yang dilakukan. Berbagai jenis pohon telah ditanam dengan pola
homogen maupun heterogen yang merupakan kombinasi dari sistem agroforestry teknik
tumpangsari. Tumpangsari merupakan teknik pengelolaan lahan dengan menanam jenis tanaman
pokok berupa jati (Tectona grandis) dan beberapa tanaman palawija. Jati terus berkembang di
Hutan Wanagama sehingga pada tahun 1989 Pangeran Charles dari Kerajaan Inggris menanam
satu jenis jati yang kemudian dikenal di seluruh dunia (Suseno 2004). Pola tanam tumpangsari
merupakan sistem pengelolaan lahan pertanian dengan mengkombinasikan intensifikasi dan
diversifikasi tanaman. Tumpangsari merupakan bagian dari multiple cropping yaitu penanaman
lebih dari satu tanaman pada waktu yang bersamaan atau selama periode tanam pada satu tempat
yang sama (Khotbawan, 2015). Tumpangsari aplikatif di Wanagama berupa kombinasi tanaman
jati dengan ketela, kacang-kacangan dengan tanaman ketela, dan tanaman jagung dengan
tanaman ketela. Tujuan tumpangsari yang dilakukan masyarakat di sekitar Wanagama untuk
memenuhi kebutuhan persediaan makanan dalam setahun. Pada awalnya tumpangsari dilakukan
masyarakat sekitar Wanagama setelah lahan Wanagama yang tandus telah berubah menjadi
tutupan hutan yang cukup rapat. Dengan pendekatan sosial ekonomi, pengelola Wanagama mulai
mengedukasi masyarakat untuk peningkatan produktivitas hasil panen dan keanekaragaman
jenisnya.
Pola tumpangsari yang dilakukan masyarakat yaitu menanam jagung dengan ketela
secara bersamaan pada musim hujan, lalu jagung dipanen setelah 4 bulan dan untuk ketela
dipanen setelah 11 bulan dari masa tanam. Pola ini dapat dilakukan secara berkelanjutan. Pola
tumpang sari yang diakukan masyarakat menggunakan pola tanam trees along border yang
diterapkan pada hutan rakyat. Hutan wanagama yang bersatu dengan masyarakat ini juga
banyak dijumpai hutan – hutan milik rakyat. Sejarah wanagama sendiri tidak lepas dari
kontribusi masyarakat sekitar.
Hutan rakyat merupakan hutan hak yang berada pada tanah yang dibebani hak milik. Status
kepemilikan ini memberikan kebebasan bagi pemiliknya dalam pengelolaan dan pemanfaatan
lahannya (Qurniati,2010). Di Indonesia hutan rakyat memiliki status kepemilikan perseorangan.
Letaknya berada di non kawasan hutan . Pohon dari hutan rakyat ini ditanam secara acak atau
disebut tidak teratur. Pohon yang ditanam juga tidak seumur, komposisi penyusunnya juga acak
sesuai kebutuhan pemilik, baik mau diseragamkan, maupun di kolaborasi dengan pohon
lainnya. Tujuan utama dari hutan rakyat ini untuk mengisi kekosongan lahan sehingga dapat
menjadi lahan produktif, berbeda dengan fungsi hutan negara.
Pada lahan hutan rakyat tersebut para petani memadukan tanaman kayu dengan tanaman
pertanian (agroforestry) serta menerapkan pola percampuran berbagai jenis tanaman dalam satu
lahan (mix plantation) (Amin, 2017). Perpaduan ini diharapkan dapat memaksimalkan
penggunaan lahan. Tanaman kayu yang dominan memiliki waktu panen yang panjang dapat di
selingan dengan tanaman pertanian. Tanaman pertanian dapat untuk di jual maupun untuk
memenuhi kebutuhan sehari-hari. Perpaduan ini dapat diterapkan dengan 2 atau lebih komoditas
tanaman tergantung kebutuhan pasar maupun kebutuhan harian rumah tangga.
Tanaman yang banyak dijumpai di hutan Wanagama adalah jati. Jati banyak
dikembangkan oleh warga karena mudah dalam perawatannya. Namun, untuk panennya
membutuhkan waktu yang lama. Kayu jati merupakan salah satu jenis kayu tropis yang sangat
penting karena reputasinya sebagai kayu berkualitas tinggi. Masyarakat memilih kayu jati karena
penampilannya yang menarik, kuat, memiliki keawetan alami yang tinggi serta pengerjaannya
yang mudah. Dari tahun ke tahun permintaan kayu jati meningkat sekitar 13-17% per tahun
seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk serta kenaikan taraf hidup masyarakat (Mawardi,
2012). Jati memang memiliki karakteristik yang kuat hingga dapat mencapai ekslusif.
Penggunaan jati yang terus meningkat akibat dari fanatisme masyarakat Indonesia. Jati tergolong
kayu yang mahal karena kekuatan dan keawetannya. Selain itu jati juga mudah untuk di proses
menjadi barang mebel atau perkakas. Fanatisme terhadap jati tidak berhenti di sana saja, banyak
juga ukiran – ukiran yang menggunakan kayu jati karena dianggap memiliki kekhasan tersendiri.
Tanaman jati diklasifikasikan famili Verbenaceae, genus Tectona, dan nama spesies
Tectona grandis Linn.F. Selain Tectona grandis, famili Verbenaceae juga memiliki spesies lain
yang seperti jati di Indonesian, yaitu Tectona hamiltoniana Wall, tumbuh di daerah kering
Myanmar dan Tectona philippinensis Benth & Hooker yang tumbuh di hutan Batangas dan
Mindoro (Pulau Iling), Filipina. T. Grandis merupakan jati yang mempunyai kualitas kayu yang
paling baik dibandingkan 2 jenis Tectona lainnya (Suryana, 2001). Sebab dasar itu masyarakat di
Wanagama lebih banyak mengembangkan jati T. Grandis untuk memenuhi kebutuhan
kehidupannya, dengan cara menanamnya di hutan rakyat miliknya. Hal itu diharapkan pada saat
membutuhkan uang maka kayu jati itu dapat dijual kepada pengepul kayu, sedangkan saat butuh
kayu untuk membangun rumah maupun kandang maka jati ditebang walaupun umurnya dan
diameternya masih bisa tumbuh.
Jati tumbuh dalam kondisi terbaik di tempat tumbuh tanah aluvial yang dalam dan
pengairan yang baik dengan curah hujan tahunan 900-2.500 mm serta suhu antara 17 dan 43 0C
(Enters, 2000; Pandey dan Brown, 2000). Tipe tempat tumbuh adalah 6 sampai 7 bulan musim
hujan dan curah hujan 200 mm per bulan diikuti oleh 5 atau 6 musim kering (Purwanto dan
Oohata, 2002). Tempat tumbuh ini bertolak belakang dengan keadaan yang ada di Wanagama.
Dimana musim hujan hanya sebentar dan didominasi oleh musim kemarau, sehingga tanahnya
kering dan sampai retak. Namun, jati dapat tumbuh baik disana dengan adaptasi yang
dimilikinya. Tidak hanya jati local, jati unggul pun seperti jati mega dapat tumbuh dengan baik
dan memiliki kualitas yang sangat baik dibandingkan jati jenis lainnya.
Secara geologis, tanaman jati tumbuh di tanah dengan batuan induk berasal dari formasi
batu kapur, granit, gneis, mica, schist, batu pasir, kuarsa, endapan, schale, dan lempung.
Pertanaman jati akan tumbuh lebih baik pada lahan dengan kondisi fraksi lempung, lempung
berpasir, atau pada lahan liat berpasir. Sesuai dengan sifat fisiologisnya dan untuk menghasilkan
pertumbuhan yang optimal, jati memerlukan kondisi solum lahan yang dalam dan keasaman
tanah (pH) optimum sebesar 6,0. Namun pada kasus tertentu, dijumpai pertanaman jati yang
tumbuh baik dengan pH rendah (4,0-5,0). Tanaman jati sensitif terhadap rendahnya nilai
pertukaran oksigen dalam tanah, maka pada lahan yang berporositas dan memiliki drainase baik
akan menghasilkan pertumbuhan tanaman jati yang baik. Ini terjadi karena akar tanaman jati
lebih mudah menyerap unsur hara pada kondisi tersebut. Kondisi kesuburan lahan juga akan
berpengaruh terhadap perilaku fisiologis tanaman dan ditunjukkan oleh perkembangan riap
tumbuh (tinggi dan diamter). Unsur kimia pokok (makro elemen) yang penting dalam
mendukung pertumbuhan jati adalah kalsium (Ca), Pospor (P), Kalium (K), dan Nitrogen (N).
(Purwowidodo, 1990).
Pohon jati yang siap ditebang dengan memiliki syarat tertentu yaitu batangnya harus
berdiamater >30cm dan berumur 25 tahun ke atas. Sehingga pohon jati tersebut tidak dipanen
secara seluruhnya akan tetapi harus menunggu para pembeli dan batang berdiameter >30 cm
berumur 25 tahun ke atas. Dengan sistem ini pemilik dari pohon jati tersebut bisa mengatur harga
sendiri dan tidak akan mengalami kerugian besar pada angka naik turunnya harga pasar. 2. Nilai
ekonomi kayu jati dihitung berdasarkan pendapatan yang diperoleh dari hasil penjualan kayu jati
adalah pengusahaan jati. Jumlah pohon yang dipanen sebanyak 350 pohon dengan total volume
sebesar 173,0925 m3/ha, dan ratarata diameter 30 cm dengan tinggi bebas cabang rata-rata 10 m
dengan penjualan perkubiknya Rp. 1.200.000 total penjualan dalam panen 350 pohon dengan
luas lahan 1 ha sebesar Rp 207.711.000 danv dikurangi dengan upah pekerja yang menebang
pohon sebesar Rp. 5.000.000/ha sehingga predikisi total hasil pendapatan dari penjualan kayu
jati dalam 1 ha sebesar Rp. 202.711.000. (Tagfira, 2018)
Jati membutuhkan waktu lama untuk bisa dipanen. Hal itu membuat para petani jati
kesusahan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya selama menunggu hasil panen jati
tersebut.Atas dasar itulah dibutuhkan tanaman yang bisa di panen setiap tahun untuk memenuhi
kebutuhan hidup. Tanaman yang dipilih berupa tanaman pertanian yang dapat dimanfaatkan
untuk memenuhi kebutuhan pangan maupun dijual utnuk memenuhi kebutuhan hidupnnya.
Contoh tanaman pertanian yang dapat digunakan adalah jagung,kacang, dan singkong. Namun
tanaman yang lebih unggul dan dapat dikombinasikan baik dengan jati adalah porang dan padi
gogo.
Porang (Amorphophallus muelleri Blume) adalah salah satu jenis tanaman iles-iles yang
tumbuh dalam hutan. Porang merupakan tumbuhan semak (herba) yang berumbi di dalam tanah.
Umbi porang berpotensi memiliki nilai ekonomis yang tinggi, karena mengandung glukomanan
yang baik untuk kesehatan dan dapat dengan mudah diolah menjadi bahan pangan untuk
mencukupi kebutuhan sehari-hari (Pusat Penelitian dan Pengembangan Porang Indonesia,
2013). Porang dikenal dengan beberapa nama lokal, tergantung pada daerah asalnya seperti
acung atau acoan oray (Sunda), kajrong (Nganjuk) (Dewanto dan Purnomo, 2009)
Tumbuhan porang termasuk ke dalam familia Araceae (talas-talasan) dan tergolong genus
Amorphophallus. Di Indonesia, ditemukan beberapa spesies yaitu A. campanulatus, A.
oncophyllus, A. variabilis, A. specabilis, A. decussilvae, A. muelleri dan beberapa jenis lainnya
(Koswara, 2013).

Tumbuhan porang mempunyai batang tegak, lunak, halus berwarna hijau atau hitam
dengan bercak putih. Batang tunggal (seing disebut batang semu) memecah menjadi tiga batang
sekunder dan akan memecah menjadi tangkai daun. Perkembangan morfologinya berupa daun
tunggal menjari dengan ditopang oleh satu tangkai daun yang bulat. Pada tangkai daun akan
keluar beberapa umbi batang sesuai musim tumbuh (Sumarwoto, 2005).

Helaian daun memanjang dengan ukuran antara 60-200cm dengan tulang-tulang daun
yang kecil terlihat jelas pada permukaan bawah daun. Panjang tangkai daun antara 40-180 cm
dengan daun-daun yang lebih tua berada pada pucuk di antara tiga segmen tangkai daun
(Ganjari, 2014).
Tumbuhan porang sifatnya toleran naungan (membutuhkan naungan), sehingga cocok
dikembangkan sebagai tanaman sela di antara jenis kayu-kayuan, yang dikelola dengan sistem
agroforestry. Intensitas naungan yang dibutuhkan porang untuk mendukung pertumbuhannya
adalah minimal 40% (Sari dan Suharti, 2015). Jansen, et al. (1996) dalam Purwanto (2014)
bahwa untuk mencapai produksi umbi porang yang tinggi diperlukan intensitas naungan antara
50%-60%.

Berdasarkan hasil analisis vegetasi oleh Wahyuningtyas, et al. (2013), porang banyak
ditemukan di bawah naungan tegakan bambu (Gigantochloa atter), jati (Tectona Grandis), dan
Mahoni ( Swietenia mahagoni).

Porang tumbuh optimal pada kondisi lingkungan, yaitu; suhu 25-35 oC dan curah hujan
antara 300-500 mm/bulan. Produksi umbi yang optimal dapat diperoleh setelah tiga periode daur,
yaitu sekitar tiga tahun (Sumarwoto, 2012).

Keunggulan porang adalah untuk industri antara lain untuk mengkilapkan kain, perekat
kertas, cat kain katun, woll dan bahan imitasi yang memilii sifat lebih baik dari amilum dengan
harga lebih murah, tepungnya dapat dipergunakan sebagai pengganti agar-agar, sebagai bahan
pembuat negative flem, isolator dan selusoid karena sifatnya yang mirip selulosa. Sedangkan
larutannya bila dicampur dengan gliserin atau natrium hidroksida bisa dibuat bahan kedap air,
juga dapat dipergunakan untuk menjernihkan air dan memurnikan bagian-bagian keloid yang
terapung dalam industri bir, gula minyak dan serat. Bahan makanan dari porang banyak disukai
oleh masyarakat Jepang untuk makanan khas jepang berupa mie shirataki aau tahu konyaku
(Vuksan, et al. 2000).

Dalam hitungan normal, 100 pohon porang bisa menghasilkan Rp 500.000,00 dengan
perhitungan sebagai berikut:

= 2.5 kg/umbi/pohon X 100 pohon

= 250 kg/umbi X Rp 2,500/kg

= Rp 500.000,00/100 pohon
Pada penerapan agroforestry, untuk luasan 1 hektare bisa ditanam sebanyak 4.500 bibit,
sehingga bisa menghasilkan 12 ton/Ha, yakni dengan perhitungan 4.500 X 4 kg. Jika 1 hektare
bisa menghasilkan 12 ton, dan dikalikan dengan harga Rp 2.500/kg, kurang lebih bisa
menghasilkan Rp 45.000.000/Ha. Pengolahan umbi porang menjadi chip ataupun tepung dapat
memberikan nilai tambah. Jika umbi porang dihargai sebesar Rp 2.500,00/kg, maka chip porang
dihargai sekitar Rp 27.000,00/kg, dan maka harga tepung porang dapat mencapai Rp
250.000,00/kg.

Selain itu tanaman pertanian yang dapat dijadikan sebagai penambah produktivitas lahan
di Wanagama yang dapat dikombinasikan baik dengan jati adalah padi gogo. Padi dipilih karena
padi adalah pangan pokok masyarakat Indonesia selain umbi-umbian dan jagung. Seperti yang
diketahui bahwa padi berperan penting dalam kelangsungan hidup manusia, coba saja bila tak
ada padi bagaimana kehidupan manusia yang jelas-jelas tergantung pada hasil produksi padi.
Masyarakat mengenal padi terdiri atas dua jenis, yaitu padi sawah yang ditanam di lahan basah
yang beririgasi, sementara padi ladang ditanam dalam lahan kering yang mengandalkan hujan,
dan biasanya ditanam dengan sistem huma atau pertanian tebang bakar. Padi bagi masyarakat
petani Bogor lahan rawa pasang surut bukan hanya sebagai komoditas ekonomis semata, tetapi
lebih dari itu karena padi merupakan komoditas sosial budaya. (Hariati, 2018)

Padi gogo adalah salah satu jenis padi yang ditanam di daerah tegalan atau di tanah
kering secara menetap oleh beberapa petani. Padi gogo tidaklah membutuhkan air yang banyak
dalam penanamannya. Pada umumnya ditanam di daerah tanah kering sehingga banyak kita
jumpai di daerah yang berbukit - bukit (Priyastomo et al. 2006). Padi gogo yang ditanam petani
adalah varietas lokal, umurnya lima hingga enam bulan, ditanam secara turun temurun.
Penanaman dilakukan pada akhir bulan Agustus sampai awal September karena sudah memasuki
awal musim penghujan. Kemudian panen pada bulan Febuari sampai awal bulan Maret (Sution,
2017). Peranan padi gogo dalam penyediaan gabah nasional menjadi semakin penting.Hal ini
disebabkan karena semakin berkurangnya areal persawahan dan adanya indikasi pelandaian
peningkatan laju produksi padi sawah, sedangkan tingkat pertumbuhan penduduk cukup tinggi
(Rahayu et al. 2006). Padi gogo memiliki sifat-sifat varietas unggul padi gogo antara lain
berdaya hasil tinggi, tahan terhadap penyakit utama, umur genjah sehingga sesuai dikembangkan
dalam pola tanam tertentu, dan rasa nasi enak (pulen) dengan kadar protein relatif tinggi
(Nazirah dan Damanik, 2015).

Di beberapa daerah tadah hujan orang mengembangkan padi gogo, suatu tipe padi lahan
kering yang relatif toleran tanpa penggenangan seperti di sawah. Di Lombok dikembangkan
sistem padi gogo rancah, yang memberikan penggenangan dalam selang waktu tertentu sehingga
hasil padi meningkat.Biasanya di daerah yang hanya bisa bercocok tanam padi gogo
menggunakan model Tumpang Sari. Sistem Tumpang sari yaitu dalam sekali tanam tidak hanya
menanam padi, akan tetapi jugatanaman lain dalam satu lahan. Padi gogo biasanya di tumpang
sari dengan jagung atau Ketela Pohon. (Roidah, 2015).
DAFTAR PUSTAKA

Achmad,B dan Ris Hadi Purwanto. (2014). Peluang Adopsi Sistem Agroforestri Dan
Kontribusi Ekonomi Pada Berbagai Pola Tanam Hutan Rakyat Di
Kabupaten Ciamis. Jurnal Bumi Lestari.14(1) : 15-26

Amin, Arman Syahrul, Emban Ibnurusyd, Mas’ud Junus. (2017). Preferensi Masyarakat terhadap
Pola Pemanfaatan Lahan Hutan Rakyat di Desa Lekopancing, Kecamatan Tanralili,
Kabupaten Maros. Jurnal Hutan dan Masyarakat. 9(2): 131-135
Anggraeni, T. E. (2002). Kajian Pengaruh Faktor Sosial-Ekonomi Rumah Tangga Petani
terhadap Pola Agroforestry pada Hutan Rakyat di Pakuan Ratu Kabupaten Way Kanan.
(Skripsi). Universitas Lampung. Bandar Lampung.

Anonim. (1988). Master Plan Wanagama 1 Sebagai Pendukung Pembangunn Hutan Tanaman
Industri. Buku 1. Departemen Kehutanan Repulik Indonesia dan Fakultas Kehutana
UGM: Yogyakarta

Darmawijaya, Isa. (1996). Klasifikasi Tanah. UGM Press: Yogyakatya.

Dewanto, J. dan B. H. Punomo. (2009). Pembuatan Koyaku dari Umbi Iles – iles atau Porang.

Enters T. (2000). Site, technoogy and productivity of teak plantation in Southeast Asia. Jurnal
Unasylva. 20(1): 55-61
Ganjari, L. E. (2014). Pembibitan Tanaman Porang dengan Model Agroekosistem Botol Plastik.
Jurnal Widya Warta. 12(1): 43-58
Hairiah.K, Widyanto, Suhardjito, Sardjono. (2003). Fungsi Dan Peranan Agroforestri. ICRAF :
Bogor

Hariati, Aswar Limi, Alam Fyka. (2018). Analisis Pendapatan dan Kontribusi Usahatani Padi
Gogo Terhadap Pendapatan Rumahtangga di Desa Bubu Kecamatan Kambowa
Kabupaten Buton Utara. Jurnal Ilmiah Agribisnis. 3(5): 130-134
Khotbawan.I, Hawalid, Siti Aminah. (2015). Pengaruh Jarak Tanam Dan Pemberian Pupuk
Hayati Terhadap Pertumbuhan dan Produksi Tanaman Kedelai dan Jagung Dengan pola
Tanam tumpang sari di lahan Lebak. Jurnal Klorofil. 10(2): 76-81

Koswara, S. (2013). Teknologi Penelolaan Umbi- umbian: Pengeolaan Umi Porang. IPB Press:
Bogor
Kusumedi, P. (2005). Potensi Sengon Pada Hutan Rakyat Di Desa Pacekelan Kabupaten
Wonosobo. Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan. 2(1): 103-114

Mawardi P. (2012). Kaya dari Investasi Jati Barokah. PT Agro Media Pustaka: Jakarta.
Nazirah L dan J. Damanik. (2015). Pertumbuhan dan Hasil Tiga Varietas Padi Gogo pada
Perlakuan Pemupukan. Jurnal Floratek. 10: 54-60
Priyastomo, V., Yuswiyanto., D.R. Sari., dan S. Hakim. (2006). Peningkatan Produksi Padi
Gogo Melalui Penekatan Model Pengelolaan Tanaman dan Sumberdaya Terpadu. UMM
Press: Malang
Purwanto, A. (2014). Pembuatan Brem Padat dari Umbi Porang. Jurnal Widya Warta. 3(1):16-28
Purwanto, RH & Oohata S. (2002). Estimation of biomass and net primary prodction in a planted
teak forest in Madiu, East Java Indonesia. Forest Research Kyoto 7, 54-68.
Purwowidodo. (1991). Gatra Tanah dalam Pembangunan Hutan Tanaman. IPB Press : Bogor
Pusat Peneitian dan Pengembangan Porang Indonesia. (2013). Budidaya dan Pengembangan
Porang Sebagai Salah Satu Potensi Bahan Baku Lokal. Universtas Brawijaya: Malang
Univesitas Sebelas Maret: Surakarta
Qurniati,R. (2010). Peilaku Masyarakat Dalam Pengelolaan dan Pemanfaaatan hutan rakyat.
Jurnal Ilmu Pertanian Indinesia. 15(3): 141-146

Rahayu M., Prajitno D & Syukur A. (2006). Pertumbuhan Vegetatif Padi Gogo dan Beberapa
Varietas Nanas dalam Sistem Tumpangsari di Lahan Kering Gunung Kidul Yogyakarta.
UGM: Yogyakarta
Roidah I.S. (2015). Analisis Pendapatan Usahatani Padi Musim Hujan dan Musim Kemarau di
Desa Sepatan Kecamatan Gondang Kabupaten Tulungagung. Jurnal Agribisnis Fakultas
Pertanian. 11(13): 45-55
Sanchez, PA. (1995). Science in agroforestry. Agroforestry Systems 3.0:5-55.
Sardjono, Tony..D, Hadisusilo, Wijayanto.(2003). Klasifikasi dan Pola Kombinasi Komponen
Agroforestrry. ICRAF : Bogor

Sari, Ramdani dan Suharti. Tumbuhan Porang: Prospek Budidaya Sebagi Salah Satu Sistem
Agroforestry. Jurnal Info Etnis Eboni. 12(2): 97-110
Sarief, S. (1986). Ilmu Tanah pertanian. Pustaka Guara Bandung: Bandung

Sumarwoto. (2005). Iles – iles (Amorphophallus muelleri); Deskripsi dan Sifat – sifat Lainnya.
Jurnal Biodiversitas. 6(3): 185-190
Sumarwoto. (2012). Peluang Bisnis Beberapa Macam Produk Hasil Tanaman Iles Kuning di
DIY Melalui Kemitraan dan Teknik Budidaya. Bisuness Conference: Yogyakarta
Sundawati, Watimena, Widiyanto. (2003). Agroforestry di Indonesia. ICRAF : Bogor

Suseno, OH. (2004). Sejaah Wanaama I. In: Atmosudarjo, S., Pramudibyo, R.I.S dan
Raoeprawiro, S. Dari Bukit – bukit Gundul ke Wanagma I. Yayasan Sarana Wan Jaya:
Jakarta

Sution. (2017). Teknologi Budidaya Padi Gogo di Kalimantan Barat Kabupaten Sanggau. Jurnal
Pertanian Agros. 19(1): 77-87
Surana, Y. (2001). Budidaya Jati. Swaday: Bogor
Vuksan, V., J.L. Sievenpiper, R. Owen, J.A. Swilley, P. Spadafora, D.J. Jenkis, E. Vidgen, F.
Brghenti, R.G. Josse, L.A. Leiter, Z. Xu dan R. Novokmet. (2000). Benfical Effects of
Vicous Dietary Fiber From Konjucmannan in Subjects With The Insulin Resistance
Syndrome : Result of A Controlled Metabolic Trial. Diabetes Care. 23(1): 9-14
Wahuningtyas, R. D., R Azraningsih, dan B. Rahardi. (2013). Peta dan Struktur Vegetasi
Naungan Porang di Wilayah Malang Raya. Jurnal Biotropika. 1(4): 139-143

Anda mungkin juga menyukai