AGROFORESTRI
Disusun Oleh :
NIM : 18/424083/KT/08658
FAKULTAS KEHUTANAN
YOGYAKARTA
2019
HUTAN WANAGAMA: PENGEMBANGAN PROSPEKTIF DAN BERKELANJUTAN
Berdasarkan hasil analisis vegetasi oleh Wahyuningtyas, et al. (2013), porang banyak
ditemukan di bawah naungan tegakan bambu (Gigantochloa atter), jati (Tectona Grandis), dan
Mahoni (Swietenia mahagoni). Porang yang dapat tumbuh dengan baik dibawah tegakan itu
menjadi alasan petani di Blora banyak yang membudidayakannya. Porang tidak menggaggu
pertumbuhan jati, bertoak belakang dari itu porang dapat membantu pertumuhan dari pohon jati
yang ada. Porang tumbuh optimal pada kondisi lingkungan, yaitu; suhu 25-35 oC dan curah hujan
antara 300-500 mm/bulan. Produksi umbi yang optimal dapat diperoleh setelah tiga periode daur,
yaitu sekitar tiga tahun (Sumarwoto, 2012).
Keunggulan porang adalah untuk industri antara lain untuk mengkilapkan kain, perekat
kertas, cat kain katun, woll dan bahan imitasi yang memilii sifat lebih baik dari amilum dengan
harga lebih murah, tepungnya dapat dipergunakan sebagai pengganti agar-agar, sebagai bahan
pembuat negative flem, isolator dan selusoid karena sifatnya yang mirip selulosa. Sedangkan
larutannya bila dicampur dengan gliserin atau natrium hidroksida bisa dibuat bahan kedap air,
juga dapat dipergunakan untuk menjernihkan air dan memurnikan bagian-bagian keloid yang
terapung dalam industri bir, gula minyak dan serat. Bahan makanan dari porang banyak disukai
oleh masyarakat Jepang untuk makanan khas jepang berupa mie shirataki aau tahu konyaku
(Vuksan, et al. 2000).
Dalam hitungan normal, 100 pohon porang bisa menghasilkan Rp 500.000,00 dengan
perhitungan sebagai berikut:
= Rp 500.000,00/100 pohon
Pada penerapan agroforestri, untuk luasan 1 hektare bisa ditanam sebanyak 4.500 bibit,
sehingga bisa menghasilkan 12 ton/Ha, yakni dengan perhitungan 4.500 X 4 kg. Jika 1 hektare
bisa menghasilkan 12 ton, dan dikalikan dengan harga Rp 2.500/kg, kurang lebih bisa
menghasilkan Rp 45.000.000/Ha. Pengolahan umbi porang menjadi chip ataupun tepung dapat
memberikan nilai tambah. Jika umbi porang dihargai sebesar Rp 2.500,00/kg, maka chip porang
dihargai sekitar Rp 27.000,00/kg, dan maka harga tepung porang dapat mencapai Rp
250.000,00/kg.
Selain itu tanaman pertanian yang dapat dijadikan sebagai penambah produktivitas lahan
di Wanagama yang dapat dikombinasikan baik dengan jati adalah padi gogo. Padi dipilih karena
padi adalah pangan pokok masyarakat Indonesia selain umbi-umbian dan jagung. Seperti yang
diketahui bahwa padi berperan penting dalam kelangsungan hidup manusia, coba saja bila takada
padi bagaimana kehidupan manusia yang jelas-jelas tergantung pada hasil produksi padi.
Masyarakat mengenal padi terdiri atas dua jenis, yaitu padi sawah yang ditanam di lahan basah
yangberirigasi, sementara padi ladang ditanam dalam lahan kering yang mengandalkan hujan,
danbiasanya ditanam dengan sistem huma atau pertanian tebang bakar. Padi bagi masyarakat
petaniBogor lahan rawa pasang surut bukan hanya sebagai komoditas ekonomis semata, tetapi
lebih dari itu karena padi merupakan komoditas sosial budaya (Hariyati, 2018).
Padi gogo adalah salah satu jenis padi yang ditanam di daerah tegalan atau di tanah
kering secara menetap oleh beberapa petani. Padi gogo tidaklah membutuhkan air yang banyak
dalam penanamannya. Pada umumnya ditanam di daerah tanah kering sehingga banyak kita
jumpai di daerah yang berbukit - bukit (Priyastomo, et al., 2006). Padi gogo yang ditanam petani
adalah varietas lokal, umurnya lima hingga enam bulan, ditanam secara turun temurun.
Penanaman dilakukan pada akhir bulan Agustus sampai awal September karena sudah memasuki
awal musim penghujan. Kemudian panen pada bulan Febuari sampai awal bulan Maret (Sution,
2017). Peranan padi gogo dalam penyediaan gabah nasional menjadi semakin penting. Hal ini
disebabkan karena semakin berkurangnya areal persawahan dan adanya indikasi pelandaian
peningkatan laju produksi padi sawah, sedangkan tingkat pertumbuhan penduduk cukup tinggi
(Rahayu, et al., 2006). Padi gogo memiliki sifat-sifat varietas unggul padi gogo antara lain
berdaya hasil tinggi, tahan terhadap penyakit utama, umur genjah sehingga sesuai dikembangkan
dalam pola tanam tertentu, dan rasa nasi enak (pulen) dengan kadar protein relatif tinggi
(Nazirah dan Damanik, 2015).
Di beberapa daerah tadah hujan orang mengembangkan padi gogo, suatu tipe padi lahan
kering yang relatif toleran tanpa penggenangan seperti di sawah. Di Lombok dikembangkan
sistem padi gogo rancah, yang memberikan penggenangan dalam selang waktu tertentu sehingga
hasil padi meningkat.Biasanya di daerah yang hanya bisa bercocok tanam padi gogo
menggunakan model Tumpang Sari. Sistem Tumpang sari yaitu dalam sekali tanam tidak hanya
menanam padi, akan tetapi jugatanaman lain dalam satu lahan. Padi gogo biasanya di tumpang
sari dengan jagung atau Ketela Pohon (Roidah, 2015).
Adanya hubungan yang baik diantara pohon jati, tanaman porang dan padi gogo
menjadikan ketiganya cocok untuk di kombinasikan. Berdasarkan fakta yang di dapati
dilapangan, pohon jati menjadi naungan yang baik bagi tanaman porang yang harus memiliki
naungan. Padi gogo pun menjadi solusi dari penanaman padi dengan kebutuhan air yang lebih
rendah dari varietas padi yang lain. Padi gogo pun sangat cocok dijadikan pendamping untuk
pohon jati. Pada implementasinya diperlukan yang integrasi dari seluruh aspek produksi dan
pemasaran untuk mendapatkan hasil yang memuaskan.
Selama ini, agroforestry yang berkembang di Wanagama masih sebatas untuk memenuhi
kebutuhan pangan masyarakat sekitar tanpa memperhatikan keefektifan produktivitas lahan.
Sehingga masih banyak lahan dengan system agroforestry yang belum maksimal. Terbukti
rantai perekonomian masyarakat sekitar masih “jalan di tempat” dalam artian belum meningkat
secara optimal. Agroforestry Jati dengan porang perlu dicoba dan dimanfaatkan oleh warga
sekitar Wanagama yang memiliki lahan untuk mendongkrak perekonomian mereka. Selain itu,
alternatif lain yang bisa dicoba adalah dengan kombinasi antara jati dan padi gogo. Padi gogo
tidak memerlukan air yang banyak sehingga cocok untuk ditanam di Wanagama yang memiliki
tanah yang kering dan kemarau berkepanjangan.
DAFTAR PUSTAKA
Achmad,B dan Ris Hadi Purwanto. (2014). Peluang Adopsi Sistem Agroforestri Dan
Kontribusi Ekonomi Pada Berbagai Pola Tanam Hutan Rakyat Di
Kabupaten Ciamis. Jurnal Bumi Lestari.14(1) : 15-26
Amin, Arman Syahrul, Emban Ibnurusyd, Mas’ud Junus. (2017). Preferensi Masyarakat terhadap
Pola Pemanfaatan Lahan Hutan Rakyat di Desa Lekopancing, Kecamatan Tanralili,
Kabupaten Maros. Jurnal Hutan dan Masyarakat. 9(2): 131-135
Anggraeni, T. E. (2002). Kajian Pengaruh Faktor Sosial-Ekonomi Rumah Tangga Petani
terhadap Pola Agroforestry pada Hutan Rakyat di Pakuan Ratu Kabupaten Way Kanan.
(Skripsi). Universitas Lampung. Bandar Lampung.
Anonim. (1988). Master Plan Wanagama 1 Sebagai Pendukung Pembangunn Hutan Tanaman
Industri. Buku 1. Departemen Kehutanan Repulik Indonesia dan Fakultas Kehutana
UGM: Yogyakarta
Dewanto, J. dan B. H. Punomo. (2009). Pembuatan Koyaku dari Umbi Iles – iles atau Porang.
Enters T. (2000). Site, technoogy and productivity of teak plantation in Southeast Asia. Jurnal
Unasylva. 20(1): 55-61
Ganjari, L. E. (2014). Pembibitan Tanaman Porang dengan Model Agroekosistem Botol Plastik.
Jurnal Widya Warta. 12(1): 43-58
Hairiah.K, Widyanto, Suhardjito, Sardjono. (2003). Fungsi Dan Peranan Agroforestri. ICRAF :
Bogor
Hariati, Aswar Limi, Alam Fyka. (2018). Analisis Pendapatan dan Kontribusi Usahatani Padi
Gogo Terhadap Pendapatan Rumahtangga di Desa Bubu Kecamatan Kambowa
Kabupaten Buton Utara. Jurnal Ilmiah Agribisnis. 3(5): 130-134
Khotbawan.I, Hawalid, Siti Aminah. (2015). Pengaruh Jarak Tanam Dan Pemberian Pupuk
Hayati Terhadap Pertumbuhan dan Produksi Tanaman Kedelai dan Jagung Dengan pola
Tanam tumpang sari di lahan Lebak. Jurnal Klorofil. 10(2): 76-81
Koswara, S. (2013). Teknologi Penelolaan Umbi- umbian: Pengeolaan Umi Porang. IPB Press:
Bogor
Kusumedi, P. (2005). Potensi Sengon Pada Hutan Rakyat Di Desa Pacekelan Kabupaten
Wonosobo. Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan. 2(1): 103-114
Mawardi P. (2012). Kaya dari Investasi Jati Barokah. PT Agro Media Pustaka: Jakarta.
Nazirah L dan J. Damanik. (2015). Pertumbuhan dan Hasil Tiga Varietas Padi Gogo pada
Perlakuan Pemupukan. Jurnal Floratek. 10: 54-60
Priyastomo, V., Yuswiyanto., D.R. Sari., dan S. Hakim. (2006). Peningkatan Produksi Padi
Gogo Melalui Penekatan Model Pengelolaan Tanaman dan Sumberdaya Terpadu. UMM
Press: Malang
Purwanto, A. (2014). Pembuatan Brem Padat dari Umbi Porang. Jurnal Widya Warta. 3(1):16-28
Purwanto, RH & Oohata S. (2002). Estimation of biomass and net primary prodction in a planted
teak forest in Madiu, East Java Indonesia. Forest Research Kyoto 7, 54-68.
Purwowidodo. (1991). Gatra Tanah dalam Pembangunan Hutan Tanaman. IPB Press : Bogor
Pusat Peneitian dan Pengembangan Porang Indonesia. (2013). Budidaya dan Pengembangan
Porang Sebagai Salah Satu Potensi Bahan Baku Lokal. Universtas Brawijaya: Malang
Univesitas Sebelas Maret: Surakarta
Qurniati,R. (2010). Peilaku Masyarakat Dalam Pengelolaan dan Pemanfaaatan hutan rakyat.
Jurnal Ilmu Pertanian Indinesia. 15(3): 141-146
Rahayu M., Prajitno D & Syukur A. (2006). Pertumbuhan Vegetatif Padi Gogo dan Beberapa
Varietas Nanas dalam Sistem Tumpangsari di Lahan Kering Gunung Kidul Yogyakarta.
UGM: Yogyakarta
Roidah I.S. (2015). Analisis Pendapatan Usahatani Padi Musim Hujan dan Musim Kemarau di
Desa Sepatan Kecamatan Gondang Kabupaten Tulungagung. Jurnal Agribisnis Fakultas
Pertanian. 11(13): 45-55
Sanchez, PA. (1995). Science in agroforestry. Agroforestry Systems 3.0:5-55.
Sari, Ramdani dan Suharti. Tumbuhan Porang: Prospek Budidaya Sebagi Salah Satu Sistem
Agroforestry. Jurnal Info Etnis Eboni. 12(2): 97-110
Sarief, S. (1986). Ilmu Tanah pertanian. Pustaka Guara Bandung: Bandung
Sumarwoto. (2005). Iles – iles (Amorphophallus muelleri); Deskripsi dan Sifat – sifat Lainnya.
Jurnal Biodiversitas. 6(3): 185-190
Sumarwoto. (2012). Peluang Bisnis Beberapa Macam Produk Hasil Tanaman Iles Kuning di
DIY Melalui Kemitraan dan Teknik Budidaya. Bisuness Conference: Yogyakarta
Sundawati, Watimena, Widiyanto. (2003). Agroforestry di Indonesia. ICRAF : Bogor
Suseno, OH. (2004). Sejaah Wanaama I. In: Atmosudarjo, S., Pramudibyo, R.I.S dan
Raoeprawiro, S. Dari Bukit – bukit Gundul ke Wanagma I. Yayasan Sarana Wan Jaya:
Jakarta
Sution. (2017). Teknologi Budidaya Padi Gogo di Kalimantan Barat Kabupaten Sanggau. Jurnal
Pertanian Agros. 19(1): 77-87
Surana, Y. (2001). Budidaya Jati. Swadaya: Bogor
Vuksan, V., J.L. Sievenpiper, R. Owen, J.A. Swilley, P. Spadafora, D.J. Jenkis, E. Vidgen, F.
Brghenti, R.G. Josse, L.A. Leiter, Z. Xu dan R. Novokmet. (2000). Benfical Effects of
Vicous Dietary Fiber From Konjucmannan in Subjects With The Insulin Resistance
Syndrome : Result of A Controlled Metabolic Trial. Diabetes Care. 23(1): 9-14
Wahuningtyas, R. D., R Azraningsih, dan B. Rahardi. (2013). Peta dan Struktur Vegetasi
Naungan Porang di Wilayah Malang Raya. Jurnal Biotropika. 1(4): 139-143