Anda di halaman 1dari 7

Pengelolaan Hutan di Masa Depan : Berdasarkan Paradigma Pembangunan Kehutanan di Abad 21

22/11/2007 04:25 Pengelolaan Hutan di Masa Depan : Berdasarkan Paradigma Pembangunan Kehutanan di Abad 21 (Forest Management in the Future : Based on Forestry Development Paradigm in the 21th Century)
Ringkasan : Sumber daya hutan Indonesia memiliki peranan penting dalam menghasilkan devisa negara. Pada masa-masa awal pembangunan, eksploitasi sumber daya hutan hanya berorientasi pada timber based management yang menitikberatkan pada manfaat ekonomis semata. Memasuki abad 21, pembangunan kehutanan Indonesia dihadapkan pada permasalahan yang makin kompleks. Salah satu permasalahan yang dihadapi adalah masalah deforestasi hutan dengan laju yangtinggi berdasarkan data Ditjen RLPS pada tahun 2000 mencapai 1,6 juta hektar/tahun. Dengan laju kerusakan yang tinggi tersebut luas hutan Indonesia mengalami penurunan yang signifikan, hal tersebut mengakibatkan sumber daya hutan Indonesia mengalami penurunan potensi yang sangat berarti. Berdasarkan pertimbangan di atas, diperlukan suatu pemikiran yang serius mengenai pengelolaan hutan di masa kini dan masa yang akan datang. Pengelolaan hutan di masa yang akan datang harus sejalan dengan arah pembangunan kehutanan di abad 21 yang telah bergeser dari orientasi ekonomi ke arah pembangunan kehutanan yang berorientasikan pada resource and community based development, yang dijabarkan sebagai berikut : (1) Perubahan orientasi produksi kayu dari hutan alam ke hutan tanaman; (2) Perubahan orientasi dari hasil hutan kayu ke hasil hutan non kayu dan jasa; (3) Pergeseran pola pengusahaan hutan dari konglomerasi ke peningkatan peran masyarakat; (4) Perubahan bentuk pengelolaan hutan dari optimasi produksi log ke optimasi fungsi hutan; dan (5) Pergeseran kewenangan pengelolaan hutan dari sentralisasi ke desentralisasi. Summary : Indonesia forest resources has meaningful role in order to gain the income for the country. In the beginning of the development era in Indonesia, forest resources exploitation is oriented to the timber based management, which is more focus on economic benefit. In 21th century, Indonesia forestry development is faced to the complex problem, one of these problems is forest deforestation with high rate that is 1.6 millions hectares/years based on Ditjen RLPS data in 2000. It is causing the significantly decreasing of Indonesian forest and also effecting to the decreasing of its potential. Based on this consideration, it needs the serious thought concerning the forest management currently and in the future. Forest management in the future must be managed agree with forestry development paradigm in the 21th century which is oriented to the resources and community based development, those are : (1) The changing of wood production orientation from natural forest to the plantation forest; (2) The changing of orientation from wood forest product to the non wood forest product; (3) The changing of forest concession from conglomeration to the enhance of people role; (4) The changing of forest management form, from optimized log production to the optimized forest function; (5) The changing of forest management authority from centralization to the decentralization. Sumber : Fitri Nurfatriani dan Doddy S. Sukadri (Buletin Vol. 2 No. 2 Th 2001)

PARADIGMA BARU PEMBANGUNAN KEHUTANAN


Pendahuluan Hutan Indonesia seluas 120,35 juta hektar merupakan kelompok hutan tropis ketiga terbesar di dunia setelah Brasil dan Zaire, mempunyai fungsi utama sebagai paru-paru dunia serta penyeimbang iklim global. Dalam tataran global, keanekaragaman hayati Indonesia menduduki posisi kedua di dunia setelah Columbia sehingga keberadaannya perlu dipertahankan. Selama tiga dekade terakhir, sumberdaya hutan telah menjadi modal utama pembangunan ekonomi nasional, yang memberi dampak positif antara lain terhadap peningkatan devisa, penyerapan tenaga kerja dan mendorong pengembangan wilayah dan pertumbuhan ekonomi. BPS (2000) menunjukkan devisa sektor kehutanan pada Pelita VI/1992-1997 sebesar US$16.0 milyar, atau sekitar 3,5% dari PDB nasional. Namun demikian pemanfaatan hasil hutan kayu secara berlebihan dan besarnya perubahan kawasan hutan untuk kepentingan non kehutanan menyebabkan timbulnya berbagai permasalahan lingkungan, ekonomi, dan sosial. Pembangunan selama kurang lebih tiga puluh tahun telah mengabaikan keberadaan dan fungsi hutan secara ekologis dan sosial sehingga terjadi peningkatan deforestasi dan kemiskinan masyarakat dari tahun ke tahun. Sebagai akibatnya laju degradasi hutan antara tahun 1997-2003 diperkirakan sebesar 2.83 juta hektar per tahun dengan devisa hanya sebesar US$13,24 milyar atau terjadi penurunan sebesar 16,6 persen (Bappenas, 2003) dan semakin tingginya jurang kemiskinan di Indonesia, terutama masyarakat di sekitar hutan. Kerusakan hutan yang sangat memprihatinkan dan pengabaian keberadaan masyarakat di dalam dan sekitar hutan yang semakin memburuk telah mendorong terjadinya perubahan paradigma pembangunan kehutanan di Indonesia. Perubahan paradigma tersebut adalah pengelolaan hutan yang berorientasi pada produk dan peningkatan devisa, sentralisasi serta penitikberatan pengusahaan kayu (timber extraction and state based forest management), menjadi pengelolaan hutan yang berorientasi pada kepentingan masyarakat dan lingkungan, desentralisasi dan berbasiskan masyarakat serta pengelolaan ekosistem hutan (resources and community based forest management).

Salah satu wujud nyata perubahan paradigma pembangunan kehutanan adalah dengan diterbitkannya Undang-Undang RI Nomor: 41/1999 tentang Kehutanan menggantikan Undang-Undang Kehutanan Nomor: 5/1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan.

Paradigma Baru Pembangunan Kehutanan Memasuki dasawarsa terakhir Abad XX terjadi perubahan mendasar dalam pengelolaan sumberdaya hutan di Indonesia. Hal ini diduga akibat adanya tuntutan global terhadap pelestarian sumberdaya alam yang menguasai hajad hidup orang banyak tersebut, didasarkan pada penghormatan terhadap hak-hak masyarakat lokal. Dimulai dengan boikot kayu tropis oleh beberapa kalangan pencinta lingkungan di beberapa negara Eropa Barat (a.l. Robin Wood) menjelang akhir dasawarsa 80-an, tuntutan sertifikasi pengelolaan lestari dari beberapa negara konsumen (yang mendorong lahirnya ITTO), hingga desakan internal guna meratifikasi hasil-hasil KTT Bumi di Rio de Janeiro (1992), membuat negara-negara tropis termasuk Indonesia untuk meninjau kembali dan menyempurnakan kebijakan kehutanannya (TTPK-HKM, 2000). Gerakan serupa sebenarnya telah dimulai pertengahan tahun 70-an, dimana pada waktu itu juga ada dorongan internasional untuk melihat kepentingan pemanfaatan hutan bagi pembangunan masyarakat lokal (Forestry for Local Community Development FAO), seiring dengan perkembangan social forestry dan agroforestry, serta penetapan tema Forest for People pada konggres kehutanan ke-8 di Jakarta (1978). Hanya saja bagi negara-negara penghasil kayu, khususnya di Asia Tenggara seperti Indonesia, orientasi kemasyarakatan seperti itu belum dipandang kepentingannya. Hal ini terbukti dengan respon yang diberikan terbatas pada proyekproyek perhutanan sosial di Pulau Jawa, kalaupun ada yang dilaksanakan di luar Jawa (a.l. atas dukungan Ford Foundation) tidak pernah ada tindak lanjutnya, Hal tersebut dikarenakan tahun 70-an justru merupakan awal kebangkitan eksploitasi hutan alam guna mendukung program-program pembangunan. Sebagaimana telah diuraikan pada bab terdahulu, pengembangan sistem pemberian konsesi (hak pengusahaan hutan/HPH) kepada perusahaan swasta skala besar dan badan usaha milik negara

(BUMN) di Indonesia pada dekade tersebut, justru diikuti dengan pengembangan industri perkayuan dan pembangunan hutan tanaman (HTI) pada dekade berikutnya, Respon yang berbeda terhadap tuntutan global pada tahun 90-an pada dasarnya dikarenakan situasi telah berubah. Disamping adanya kebutuhan mutlak dan saling ketergantungan antar negara yang demikian besar, juga fakta akan semakin menipisnya luasan dan penurunan kualita sumberdaya alam setelah satu periode ijin pengelolaan hutan alam dengan sistem konsesi skala besar. Contoh konkrit adalah di Kalimantan Timur (Kaltim) . Sebagai propinsi kaya hutan kedua di Indonesia setelah Papua (atau Irian Jaya), hingga awal tahun 90 Kaltim diperkirakan telah memiliki lahan hutan tidak produktif seluas sekitar 1,0 hingga 2,0 juta hektar (Fandeli, 1992). Jumlah ini dipertimbangkan bisa jauh lebih besar, karena data yang ada pada statistik sulit untuk dipastikan ketepatannya, sementara kebakaran hutan tahun 1981/82 saja telah menghanguskan 3,6 juta hektar. Ditambah lagi memperhitungkan kebakaran hutan tahun 1997/98, yang diperhitungkan memusnahkan sekitar 5,0 juta hektar hutan meskipun yang resmi diumumkan hanya 600.000 hektar saja (Siegert dan Hoffmann, 1998; Sardjono, 1999b). Di sisi lain upaya untuk merehabilitasi dan melindungi sumberdaya alam yang tersisa selain memerlukan kesungguhan dalam pelaksanaannya, juga dana yang besar dan jumlah aparat yang memadai, yang justru menjadi kendala utama Departemen Kehutanan. Dengan demikian dari sisi ekonomis dan politis, pelibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan menjadi alternatif yang paling strategis. Keseluruhan kondisi ini dipertimbangkan mendorong lahirnya berbagai kebijakan kehutanan yang lebih berorientasi kerakyatan, diantaranya Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 622/1995 ; yang selanjutnya diperbaiki dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 677/1998, tentang Hutan Kemasyarakatan (atau sering disingkat HKM). Setelah reformasi digulirkan awal tahun 1998, ruang yang lebih besar bagi partisipasi masyarakat semakin leluasa diperjuangkan oleh berbagai kalangan akademisi dan lembaga swadaya masyarakat, dan tampaknya juga disadari kepentingannya oleh pemerintah terutama para pembuat kebijakan. Minimal inisiatif politik untuk menegaskan orientasi kerakyatan mulai kental terlihat pada berbagai kebijakan dan peraturan perundangan. Sementara konteks masyarakat lokal senantiasa menjadi "highlight" dalam setiap pertemuan yang membahas tentang pengelolaan SDA.

Hal penting lainnya yang mendukung adanya peluang yang lebih besar bagi partisipasi masyarakat lokal, adalah semakin terkikisnya superioritas pemerintah (baca pemerintah pusat) akibat adanya tuntutan-tuntutan desentralisasi dan otonomi dari berbagai daerah, terutama daerah kaya sumberdaya alam seperti keempat propinsi di Kalimantan (Kaltim, Kalteng, Kalbar, dan Kalsel) yang meminjam istilah Lambrie (2000) merupakan "dompet republik". Secara ringkas, perubahan konseptual pembangunan kehutanan yang lebih banyak memberikan peluang kepada partisipasi masyarakat disarikan sebagaimana Tabel 1 di bawah ini. Tabel 1. Pergeseran Konseptual yang Diperlukan Untuk Mewujudkan Kehutanan Masyarakat No. A 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. B. 8. 9. 10. 11. 12. 13. C. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. Dari Sikap dan Orientasi Pengendalian Penerima manfaat Pengguna Pembuatan keputusan unilateral Orientasi penerimaan Keuntungan nasional Diarahkan oleh rencana Institusional dan Administratif Sentralisasi Manajemen(perencanaan, pelaksanaan,pemantauan) oleh pemerintah Top down Orientasi target Anggaran kaku untuk rencana kerja besar Aturan-aturan untuk menghukum Metode Manajemen Kaku Tujuan tunggal Keseragaman Produk tunggal Menu manajemen yang tetap dengan aturan Silvikultur tunggal Tenaga kerja/buruh/pengumpul Menuju Dukungan / fasilitasi Mitra Pengelola Partisipatif Orientasi sumberdaya Orientasi keadilan lokal Proses belajar / evolusi Desentralisasi Kemitraan Partisipatif / negosiatif Orientasi proses Anggaran fleksibel dengan rencana mikro Penyelesaian konflik Fleksibel Tujuan ganda / beragam Keanekaragaman Produk beragam Beragam pilihan aturan silvikultur untuk spesifikasi lokasi Regenerasi alam Manajer/pelaksana/pemroses/pemasar

Sumber : Campbell (1997) dalam Suhardjito dkk. (2000:13)

Mencermati

berbagai perundangan

terkait desentralisasi

dalam pengelolaan

sumberdaya alam a.l. UU 22/1999 (tentang Pemerintahan Daerah), dan UU 25/1999 (tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah), dengan contoh undang-undang yang terkait langsung dengan sumberdaya hutan yaitu UU 41/1999, kita dapat mencatat perbaikan posisi masyarakat dan kelembagaan lokal sebagai berikut (Sardjono, 2000b): 1. Adanya kewenangan masyarakat yang berhimpun dalam satu kesatuan masyarakat hukum yang disebut "desa" untuk melaksanakan proses dan mekanisme administrasi pemerintahan dan kelembagaan desa. 2. Menyangkut pengelolaan sumberdaya hutan, masyarakat lokal dan adat, khususnya melalui koperasi dan kelembagaan lainnya memiliki kesempatan memperoleh ijin pemanfaatan hutan dalam bentuk ijin Pemungutan Hasil Hutan, Hak Pengusahaan Hutan Kemasyarakatan, Hutan Hak, Hutan Adat, dan juga Hutan Desa; 3. Dalam kaitannya dengan pengelolaan sumberdaya hutan, disamping pemanfaatan masyarakat juga memiliki hak-hak lainnya, yaitu memperoleh dan memberikan masukan informasi dari atau terhadap rencana pemanfaatan sumberdaya, serta terlibat dalam pengawasan pemanfaatan; 4. Masyarakat juga berhak memperoleh ganti rugi terhadap kerusakan sumberdaya hutan dan melakukan gugatan perwakilan bilamana dirugikan kehidupannya. serta untuk turut serta mengawasinya. Meskipun demikian peran dan keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam termasuk sumberdaya hutan akan sangat tergantung dari Peraturan Pemerintah dan khususnya Peraturan Daerah sebagai penjabaran dari undang-undang. Dengan kata lain inisiatif proaktif (dan tentu saja keikhlasan) pemda propinsi dan kabupaten/kota dalam upaya menyeimbangkan kepentingan ekonomi (a.l. upaya memperoleh Pendapatan Asli Daerah/PAD sebesar-besarnya) dengan sebenarbenarnya itikad untuk pemberdayaan atau penguatan masyarakat dan kelembagaan lokal di tingkat desa.

Penutup Disadari bahwa untuk melaksanakan pengelolaan hutan dengan paradigma yang baru menuntut kesungguhan dan komitmen dari semua pihak, tidak terkecuali masyarakat lokal sebagai aktor utamanya. Tantangan bagi kita ialah mempersiapkan penguatan kelembagaan lokal dan kemampuan sumberdaya manusia di tingkat desa. Hal tersebut sangat penting dalam rangka masyarakat lokal mampu menerima kewenangan dan mempertanggungjawabkan kesempatan pengelolaan sumberdaya hutan secara lestari. Pembangunan kehutanan tidak akan pernah memberikan jaminan kesejahteraan dan kemakmuran, bilamana hanya berhenti pada paradigma saja, tetapi tidak pernah diimplementasikan secara nyata dan konsisten di lapangan.

Daftar Pustaka Departemen Kehutanan. 2005. Rencana Strategis Kementerian Negara/Lembaga Departemen Kehutanan Tahun 2005-2009. Jakarta. S Lambrie, I. 2000. Pengelolaan Sumberdaya Alam dalam Konteks Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Dalam Sembiring, S. N, Niel, M, Phantom, Edy, M, Sugeng. R. 2000. Menjadi Tuan Di Tanah Sendiri. Menuju Desentralisasi Pengelolaan Sumberdaya Alam Kalimantan Timur. NRM-Pemda Kaltim-WWF-APKSA. Samarinda. Sardjono, Mustofa Agung. 1999. Kehutanan Masyarakat: Sebagai Tradisi Atau Paradigma Pengelolaan Hutan. DI Yogyakarta: Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat. ____________________. 2000b. Mengembangkan Akses Masyarakat Lokal terhadap Sumberdaya Hutan di Kalimantan Timur. Fahutan/CSF Unmul. Samarinda. Suharjito, D, A. Khan, W. A. Djatmiko, M. T. Sirait, S. Evelyna. 2000. Karakteristik Pengelolaan Hutan Berbasiskan Masyarakat. Studi Kolaboratif FKKM. FKKM-Ford Foundation. Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai