Anda di halaman 1dari 7

Penebanngan Hutan

Saat ini, hanya kurang dari separuh Indonesia yang memiliki hutan,
merepresentasikan penurunan signifikan dari luasnya hutan pada awalnya. Antara 1990
dan 2005, negara ini telah kehilangan lebih dari 28 juta hektar hutan, termasuk 21,7
persen hutan perawan. Penurunan hutan-hutan primer yang kaya secara biologi ini adalah
yang kedua di bawah Brazil pada masa itu, dan sejak akhir 1990an, penggusuran hutan
primer makin meningkat hingga 26 persen. Kini, hutan-hutan Indonesia adalah beberapa
hutan yang paling terancam di muka bumi. Jumlah hutan-hutan di Indonesia sekarang ini
makin turun dan banyak dihancurkan berkat penebangan hutan, penambangan,
perkebunan agrikultur dalam skala besar, kolonisasi, dan aktivitas lain yang substansial,
seperti memindahkan pertanian dan menebang kayu untuk bahan bakar. Luas hutan hujan
semakin menurun, mulai tahun 1960an ketika 82 persen luas negara ditutupi oleh hutan
hujan, menjadi 68 persen di tahun 1982, menjadi 53 persen di tahun 1995, dan 49 persen
saat ini. Bahkan, banyak dari sisa-sisa hutan tersebut yang bisa dikategorikan hutan yang
telah ditebangi dan terdegradasi.
Efek dari berkurangnya hutan ini pun meluas, tampak pada aliran sungai yang
tidak biasa, erosi tanah, dan berkurangnya hasil dari produk-produk hutan. Polusi dari
pemutih khlorin yang digunakan untuk memutihkan sisa-sisa dari tambang telah merusak
sistem sungai dan hasil bumi di sekitarnya, sementara perburuan ilegal telah menurunkan
populasi dari beberapa spesies yang mencolok, di antaranya orangutan (terancam),
harimau Jawa dan Bali (punah), serta badak Jawa dan Sumatera (hampir punah). Di pulau
Irian Jaya, satu-satunya sungai es tropis memang mulai menyurut akibat perubahan iklim,
namun juga akibat lokal dari pertambangan dan penggundulan hutan.
Penebangan kayu tropis dan ampasnya merupakan penyebab utama dari
berkurangnya hutan di negara itu. Indonesia adalah eksportir kayu tropis terbesar di
dunia, menghasilkan hingga 5 milyar USD setiap tahunnya, dan lebih dari 48 juta hektar
(55 persen dari sisa hutan di negara tersebut) diperbolehkan untuk ditebang. Penebangan
hutan di Indonesia telah memperkenalkan beberapa daerah yang paling terpencil, dan
terlarang, di dunia pada pembangunan. Setelah berhasil menebangi banyak hutan di
daerah yang tidak terlalu terpencil, perusahaan-perusahaan kayu ini lantas memperluas
praktek mereka ke pulau Kalimantan dan Irian Jaya, dimana beberapa tahun terakhir ini
banyak petak-petak hutan telah dihabisi dan perusahaan kayu harus masuk semakin
dalam ke daerah interior untuk mencari pohon yang cocok. Sebagai contoh, di
pertengahan 1990an, hanya sekitar 7 persen dari ijin penambangan berada di Irian Jaya,
namun saat ini lebih dari 20 persen ada di kawasan tersebut.
Di Indonesia, penebangan kayu secara legal mempengaruhi 700.000-850.000
hektar hutan setiap tahunnya, namun penebangan hutan illegal yang telah menyebar
meningkatkan secara drastis keseluruhan daerah yang ditebang hingga 1,2-1,4 juta hektar,
dan mungkin lebih tinggi - di tahun 2004, Menteri Lingkungan Hidup Nabiel Makarim
mengatakan bahwa 75 persen dari penebangan hutan di Indonesia ilegal. Meskipun ada
larangan resmi untuk mengekspor kayu dari Indonesia, kayu tersebut biasanya
diselundupkan ke Malaysia, Singapura, dan negara-negara Asia lain. Dari beberapa
perkiraan, Indonesia kehilangan pemasukan sekitar 1 milyar USD pertahun dari pajak
akibat perdagangan gelap ini. Penambangan ilegal ini juga merugikan bisnis kayu yang
resmi dengan berkurangnya suplai kayu yang bisa diproses, serta menurunkan harga
internasional untuk kayu dan produk kayu.

A. Indonesia Merupakan Penebang Hutan Terbesar

Indonesia menghancurkan kira-kira 51 kilometer persegi hutan setiap harinya,


setara dengan luas 300 lapangan bola setiap jam. Angka tersebut diperoleh dari kalkulasi
berdasarkan data laporan ‘State of the World’s Forests 2007’ yang dikeluarkan the UN
Food & Agriculture Organization’s (FAO). Menurut laporan tersebut sepuluh negara
membentuk 80 persen hutan primer dunia, dimana Indonesia, Meksiko, Papua Nugini dan
Brasil mengalami kerusakan hutan terparah sepanjang kurun waktu 2000 hingga 2005.

B. Mengapa Hutan Kita Rusak

Kerusakan hutan kita dipicu oleh tingginya permintaan pasar dunia terhadap kayu,
meluasnya konversi hutan menjadi perkebunan sawit, korupsi dan tidak ada pengakuan
terhadap hak rakyat dalam pengelolaan hutan.Industri perkayuan di Indonesia memiliki
kapasitas produksi sangat tinggi dibanding ketersediaan kayu. Pengusaha kayu
melakukan penebangan tak terkendali dan merusak, pengusaha perkebunan membuka
perkebunan yang sangat luas, serta pengusaha Industri perkayuan di Indonesia memiliki
kapasitas produksi sangat tinggi dibanding ketersediaan kayu. Pengusaha kayu
melakukan penebangan tak terkendali dan merusak, pengusaha perkebunan membuka
perkebunan yang sangat luas, serta pengusaha pertambangan membuka kawasan-kawasan
hutan. Dan hal ini juga makin diperparah dengan kondisi pemerintah yang korup, yang
menganggap hutan sebagai sumber uang dan dapat dikuras habis untuk keperluan pribadi
atau kelompok.
Manajemen hutan di Indonesia telah lama dijangkiti oleh korupsi. Petugas
pemerintahan yang dibayar rendah dikombinasikan dengan lazimnya usahawan tanpa
reputasi baik dan politisi licik, larangan penebangan hutan liar yang tak dijalankan,
penjualan spesies terancam yang terlupakan, peraturan lingkungan hidup yang tak
dipedulikan, taman nasional yang dijadikan lahan penebangan pohon, serta denda dan
hukuman penjara yang tak pernah ditimpakan. Korupsi telah ditanamkan pada masa
pemerintahan mantan Presiden Jendral Haji Mohammad Soeharto (Suharto), yang
memperoleh kekuasaan sejak 1967 setelah berpartisipasi dalam perebutan pemerintahan
oleh militer di tahun 1967. Di bawah pemerintahannya, kroni tersebar luas, serta banyak
dari relasi dekat dan kelompoknya mengumpulkan kekayaan yang luar biasa melalui
subsidi dan praktek bisnis yang kotor.

C. Bagaimana Penebangan Hutan Itu Terjadi

Penebangan hutan di Indonesia yang tak terkendali telah dimulai sejak akhir tahun
1960-an, yang dikenal dengan banjir-kap, dimana orang melakukan penebangan kayu
secara manual. Penebangan hutan skala besar dimulai pada tahun 1970. Dan dilanjutkan
dengan dikeluarkannya ijin-ijin pengusahaan hutan tanaman industri di tahun 1990, yang
melakukan tebang habis (land clearing). Selain itu, areal hutan juga dialihkan fungsinya
menjadi kawasan perkebunan skala besar yang juga melakukan penebangan hutan secara
menyeluruh, menjadi kawasan transmigrasi dan juga menjadi kawasan pengembangan
perkotaan. Di tahun 1999, pemerintah daerah membagi-bagikan kawasan hutannya
kepada pengusaha daerah dalam bentuk hak pengusahaan skala kecil. Di saat yang sama
juga terjadi peningkatan aktivitas benebangan hutan tanpa ijin yang tak terkendali oleh
kelompok masyarakat yang dibiayai pemodal yang dilindungi oleh aparat pemerintahan
dan keamanan.

D. Dampak kerusakan hutan

Dengan semakin berkurangnya hutan di Indonesia, maka sebagian besar kawasan


di Indonesia merupakan kawasan yang rentan akan bencana, seperti kekeringan maupun
tanah longsor. Sejak tahun 1998 hingga pertengahan 2003, tercatat telah terjadi 647
kejadian bencana di Indonesia dengan 2022 korban jiwa dan kerugian milyaran rupiah,
dimana 85% dari bencana tersebut merupakan bencana banjir dan longsor yang
diakibatkan oleh kerusakan hutan [Bakornas Penanggulangan Bencana, 2003].
Selain itu, Indonesia juga akan kehilangan tumbuhan dan hewan yang beragam
yang selama ini menjadi kebanggaan bangsa Indonesia. Sementara itu, hutan juga
merupakan sumber kehidupan bagi rakyat Indonesia. Hutan merupakan penghasil
makanan, obat-obatan, serta menjadi tempat hidup bagi sebagian besar rakyat Indonesia.
Seiring dengan makin meningkatnya kerusakan hutan di Indonesia, semakin tinggi juga
tingkat kemiskinan di Indonesia. Ilmuwan di berbagai belahan dunia telah membuktikan
hubungan langsung antara kerusakan hutan dengan bencana banjir dan longsor, konflik
dengan masyarakat, hilangnya keanekaragaman hayati, timbulnya kebakaran hutan dan
juga sebagai salah satu faktor pemicu perubahan iklim global.

E. Upaya yang Dilakukan Untuk Mencegah Penebangan Hutan

Pemerintah Indonesia melalui keputusan bersama Departemen Kehutanan dan


Departemen Perindustrian dan Perdagangan sejak tahun 2001 telah mengeluarkan
larangan ekspor kayu bulat (log) dan bahan baku serpih. Dan pada tahu 2003,
Departemen Kehutanan telah menurunkan jatah tebang tahunan (jumlah yang boleh
ditebang oleh pengusaha hutan) menjadi 6,8 juta meter kubik setahun dan akan
diturunkan lagi di tahun 2004 menjadi 5,7 juta hektar setahun.
Pemerintah juga telah membentuk Badan Revitalisasi Industri Kehutanan (BRIK)
yang bertugas untuk melakukan penyesuaian produksi industri kehutanan dengan
ketersediaan bahan baku dari hutan. Selain itu, Pemerintah juga telah berkomitmen untuk
melakukan pemberantasan illegal logging dan juga melakukan rehabilitasi hutan melalui
Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GNRHL) yang diharapkan di tahun
2008 akan dihutankan kembali areal seluas tiga juta hektar.

F. Akibat Penebangan Hutan, 2.100 Mata Air Mengering


Kelangkaan minyak tanah yang kerap mendera penduduk di berbagai daerah di
Banyumas, Jawa Tengah, akhir-akhir ini dikhawatirkan memacu penduduk kembali
menggunakan kayu bakar dan menebang pohon tanaman keras. Jika itu terjadi, kerusakan
sumber air (mata air) akan semakin cepat. Di Banyumas saat ini tinggal 900 mata air,
padahal tahun 2001 masih tercatat 3.000 mata air. Setiap tahun rata-rata sekitar 300 mata
air mati akibat penebangan terprogram (hutan produksi) maupun penebangan tanaman
keras milik penduduk, ujar Wisnu Hermawanto, Kepala Dinas Kehutanan dan
Perkebunan Banyumas, Kamis (25/8). Akan tetapi akibat berbagai tekanan baik
kebutuhan hidup maupun perkembangan penduduk, perlindungan terhadap sumber air
maupun tanaman keras atau hutan rakyat semakin berat.
Di lain pihak, penduduk yang di lahannya terdapat sumber air tidak pernah
memperoleh kompensasi sebagai ganti atas kesediaannya untuk tidak menebangi
pohonnya. Kesulitan penduduk memperoleh minyak tanah berdampak pada peningkatan
penggunaan kayu bakar. Penduduk di daerah pedesaan yang jauh dari pangkalan minyak
tanah memilih menebang pohon untuk kayu bakar.
Satu ikat kayu bakar ukuran sedang sekarang harganya sudah Rp 7.000, ujar Wisnu. Ia
memprediksi, setiap hari sekitar 1.500 pohon milik penduduk di Banyumas ditebang
untuk dijadikan kayu bakar sebagai pengganti minyak tanah. (nts)

Sumber: Kompas, Jumat, 26 Agustus 2005


Di Indonesia, penebangan kayu secara legal mempengaruhi 700.000-850.000
hektar hutan setiap tahunnya, namun penebangan hutan illegal yang telah menyebar
meningkatkan secara drastis keseluruhan daerah yang ditebang hingga 1,2-1,4 juta hektar,
dan mungkin lebih tinggi – di tahun 2004, Menteri Lingkungan Hidup Nabiel Makarim
mengatakan bahwa 75 persen dari penebangan hutan di Indonesia ilegal. Meskipun ada
larangan resmi untuk mengekspor kayu dari Indonesia, kayu tersebut biasanya
diselundupkan ke Malaysia, Singapura, dan negara-negara Asia lain. Dari beberapa
perkiraan, Indonesia kehilangan pemasukan sekitar 1 milyar USD pertahun dari pajak
akibat perdagangan gelap ini. Penambangan ilegal ini juga merugikan bisnis kayu yang
resmi dengan berkurangnya suplai kayu yang bisa diproses, serta menurunkan harga
internasional untuk kayu dan produk kayu.

Manajemen hutan di Indonesia telah lama dijangkiti oleh korupsi. Petugas


pemerintahan yang dibayar rendah dikombinasikan dengan lazimnya usahawan tanpa
reputasi baik dan politisi licik, larangan penebangan hutan liar yang tak dijalankan,
penjualan spesies terancam yang terlupakan, peraturan lingkungan hidup yang tak
dipedulikan, taman nasional yang dijadikan lahan penebangan pohon, serta denda dan
hukuman penjara yang tak pernah ditimpakan. Korupsi telah ditanamkan pada masa
pemerintahan mantan Presiden Jendral Haji Mohammad Soeharto (Suharto), yang
memperoleh kekuasaan sejak 1967 setelah berpartisipasi dalam perebutan pemerintahan
oleh militer di tahun 1967. Di bawah pemerintahannya, kroni tersebar luas, serta banyak
dari relasi dekat dan kelompoknya mengumpulkan kekayaan yang luar biasa melalui
subsidi dan praktek bisnis yang kotor.

G. Pendekatan Neo-Humanisme

Hutan-hutan Indonesia menghadapi masa depan yang suram. Walau negara


tersebut memiliki 400 daerah yang dilindungi, namun kesucian dari kekayaan alam ini
seperti tidak ada. Dengan kehidupan alam liar, hutan, tebing karang, atraksi kultural, dan
laut yang hangat, Indonesia memiliki potensi yang luar biasa untuk eko-turisme, namun
sampai saat ini kebanyakan pariwisata terfokus pada sekedar liburan di pantai. Sex-
tourism merupakan masalah di beberapa bagian negara, dan pariwisata itu sendiri telah
menyebabkan permasalahan-permasalahan sosial dan lingkungan hidup, mulai dari
pembukaan hutan, penataan bakau, polusi, dan pembangunan resort.

Melihat dampak dari penebangan hutan secara liar tersebut,maka perlu adanya
suatu cara untuk mencegah terjadinya hal tersebut. Dalam hal ini, penulis ingin
memberikan kontribusi dalam menyikapi adanya penebangan hutan tersebut dengan cara
pendekatan secara neo-humanis. Di bawah ini akan diuraikan beberapa pendekatan neo-
humanis dalam mencegah dan mengurangi terjadinya penebangan hutan secara liar :
Penduduk lokal biasanya bergantung pada penebangan hutan di hutan hujan untuk
kayu bakar dan bahan bangunan. Pada masa lalu, praktek-praktek semacam itu biasanya
tidak terlalu merusak ekosistem. Bagaimanapun, saat ini wilayah dengan populasi
manusia yang besar, curamnya peningkatan jumlah orang yang menebangi pohon di suatu
wilayah hutan hujan bisa jadi sangat merusak. Sebagai contoh, beberapa wilayah di
hutan-hutan di sekitar kamp-kamp pengungsian di Afrika Tengah (Rwanda dan Congo)
benar-benar telah kehilangan seluruh pohonnya. Oleh karena itu, perlu adanya bimbingan
dan penyuluhan kepada penduduk setempat tentang betapa pentingnya keberadaan hutan
bagi kehidupan semua umat.
Dalam hal penebangan hutan secara konservatif, denagn cara menebang pohon
yang sudah tidak berproduktif lagi. Jangan sampai pohon yang masih muda dan masih
berproduktif ditebang. Selain itu, sebaiknya masyrakat sekitar perlu diberi arahan dalam
penebangan pohon, di antaranya larangan untuk menebang pohon yang sebagai plasa
nutfah. Selanjutnya, setiap menebang satu pohon, harus seerag menaggabti denagn
menamam pohon kembali sebanyak satu pohon. Bila pendekatan ini dapat dilaksananakn
secara tanggung jwab, niscaya tidak akan lagi terjadi penggundulan hutan.
Melakukan pembenahan terhadap sistem hukum yang mengatur tentang
pengelolaan hutan menuju sistem hukum yang responsif yang didasari prinsip-prinsip
keterpaduan, pengakuan hak-hak asasi manusia, serta keseimbangan ekologis, ekonomis,
dan pendekatan neo-humanisme.
Selanjutnya perlu adanya suatu program peningkatan peranan masyarakat dalam
pengelolaan sumber daya alam dan pelestarian hutan. Tujuan dari program ini adalah
untuk meningkatkan peranan dan kepedulian pihak-pihak yang berkepentingan dalam
pengelolaan sumber daya alam dan pelestarian lingkungan hidup. Dalam upaya
pemberdayaan masyarakat lokal harus diselenggarakan dan difasilitasi berbagai pelatihan
untuk meningkatkan kepedulian lingkungan di kalangan masyarakat, seperti pelatihan
pengendalian kerusakan hutan bagi masyarakat dan pelatihan lingkungan hidup untuk
para tokoh dalam masyarakat agar nantinya bisa membawa masyarakat yang sadar akan
lingkungannya.
Melalui pendekatan neo-humanisme ini, juga perlu dibentuk suatu kelompok
peduli hutan dalam masyarakat yang bertugas memantau keadaan hutan di sekitarnya dan
melakukan pelestarian hutan, kemudian menularkan ilmu-ilmu yang telah diperoleh dari
berbagai pelatihan manajerial kehutanan kepada masyrakat di sekitarnya, sehingga
nantinya akan ada rasa saling memiliki dengan adanya keberadaan hutan tersebut.
Melakukan program reboisasi secara rutin dan pemantauan tiap bulannya dengan
dikoordinir oleh tokoh-tokoh masyarkat setempat. Dengan adanya pemantauan tersebut,
maka hasil kerja keras dari reboisasi yang telah dilaksanakan akan tetap terpantau secara
rutin mengenai perkembanganya dan potensi ke depannya.
Selain itu, perlu adanya inovasi pelatihan keterampilan kerja di masyarakat secara
gratis dan rutin dari pihak-pihak yang terkait, seperti Dinas Tenaga Kerja,dll, sehinnga
masyarakat tidak hanya bergantung pada hasil hutan saja, tetapi dapat mengembangkan
keterampilan-keterampilan dimilkinya.

Penutup

Sementara itu, peningkatan peranan dan pelibatan masyarakat dalam pengelolaan


sumber daya alam dan pelestarian lingkungan hidup harus terus ditingkatkan. Kegiatan-
kegiatan yang dilakukan akan diarahkan kepada upaya: peningkatan dan pengakuan atas
peran dan kepemilikan masyarakat adat dalam pengelolaan sumber daya alam dan
lingkungan hidup; penyusunan pedoman mekanisme konsultasi publik dalam penetapan
kebijakan dan peraturan dalam rangka pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan
hidup; pengembangan pola kemitraan dengan masyarakat lokal dalam pengawasan
pengelolaan sumber daya alam dan pengendalian kualitas lingkungan hidup.
A. Latar Belakang

Saat ini, hanya kurang dari separuh Indonesia yang memiliki hutan. Perlu
diketahui bahwa penebangan hutan baik itu legal ataupun ilegal, HPH maupun liar,
merupakan ancaman untuk masyarakat.Mungkin kita merasa biasa saja dengan bencana
seperti itu di Indonesia, tetapi bencana ini sudah terjadi berulang-ulang kali karena
penebangan hutan yang dilakukan oleh manusia sendiri. Jumlah hutan-hutan di Indonesia
sekarang ini makin turun dan banyak dihancurkan berkat penebangan hutan,
penambangan, perkebunan agrikultur dalam skala besar, kolonisasi, dan aktivitas lain
yang substansial, seperti memindahkan pertanian dan menebang kayu untuk bahan bakar.
Indonesia memiliki harapan bahwa dengan ditebangnya hutan-hutan di Indonesia
justru akan mendapatkan devisa yang banyak dan yang sebenarnya justru
menguntungkan, tetapi sayangnya Indonesia salah menggunakan hutan. Pada
kenyataannya, efek dari berkurangnya hutan ini pun meluas, tampak pada aliran
sungai yang tidak biasa, erosi tanah, dan berkurangnya hasil dari produk-produk hutan.
Polusi dari pemutih khlorin yang digunakan untuk memutihkan sisa-sisa dari tambang
telah merusak sistem sungai dan hasil bumi di sekitarnya, sementara perburuan ilegal
telah menurunkan populasi dari beberapa spesies yang mencolok, di antaranya orangutan
(terancam), harimau Jawa dan Bali (punah), serta badak Jawa dan Sumatera (hampir
punah). Di pulau Irian Jaya, satu-satunya sungai es tropis memang mulai menyurut akibat
perubahan iklim, namun juga akibat lokal dari pertambangan dan penggundulan hutan.

Anda mungkin juga menyukai