Konflik juga bersifat struktural. Hal ini ditandai dengan adanya kebijakan-
kebijakan pemerintah dalam penguasaan dan kegunaan tanah serta pengelolaan
sumber daya alam (SDA) yang disebabkan adanya benturan-benturan antara pihak
yang hendak mengusai tanah dan pihak yang mempunyai hak dan kepentingan
atas tanah. Selain itu juga dipengaruhi peraturan perundang-undangan dan
kebijakan pemerintah yang tumpang-tindih.
Penyelesaian konflik agraria merupakan salah satu tujuan reforma agraria. Dengan
melihat secara sinkronisasi dan konsistensi berbagai aturan hukum di bidang
pertanahan dalam kaitannya dengan Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 mengenai SDA,
khususnya di bidang pertanahan, dengan tidak melepaskan kaitannya dengan
UUPA Nomor 5 Tahun 1960 sebagai payung hukum dari semua aturan hukum
agraria. Pembentukan Tim Percepatan Penyelesaian Konflik Agraria (TPPKA)
yang bertugas menerima pengaduan kasus, menganalisis kasus, memverifikasi
lapangan, mengadakan rapat koordinasi, dan memberikan rekomendasi
penyelesaian, menandakan bahwa pemerintah serius menangani konflik agraria.
Oleh sebab itu, koordinasi antarinstansi yang terkait dengan masalah
agraria/pertanahan untuk mengatasi atau mencegah tumpang-tindih kewenangan
maupun tumpang-tindih administrasi pertanahan sangat penting. Penyelesaian
tumpang-tindih di antara instansi-instansi pemerintah harus dilakukan secara
musyawarah atau melalui instansi yang lebih tinggi dengan mekanisme
koordinasi.
Rekomendasi
Beberapa rekomendasi terkait penyelesaian konflik agraria yang perlu segera
dilakukan;
1. menyangkut penataan di bidang peraturan perundang-undangan tentang
penyelesaian konflik agraria, mulai UU, PP, perda, sampai dengan surat
keputusan bupati.
2. adanya peran serta semua pihak, yaitu pihak yang memerlukan tanah,
masyarakat yang tanahnya terkena pembangunan, pemda, serta pemimpin
informal/ketua-ketua masyarakat hukum adat.
3. pemda berlaku sebagai mediator independen (tidak memihak).
4. DPRD berkomitmen kuat untuk membantu masyarakat.
5. buka saluran keluhan warga sebelum terjadi konflik.
6. para pihak harus membangun komunikasi yang intensif.
7. sosialisasi dan monitoring kesepakatan.
8. pilihan kompensasi yang bersifat sustainable.
9. akses masyarakat terhadap tanah dan sumber daya tidak putus.
10. perlu ada pemahaman dan pengetahuan yang setara mengenai hukum di antara
para pihak.
11. keputusan diambil secara sukarela dan tidak dimanipulasi.
12. mediator memahami sosiobudaya masyarakat setempat.
13. identifikasi sumber, aktor, dan cakupan konflik/sengketa.